BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terletak di pantai Natal Kecamatan Natal Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan bulan April‒Juni 2016.
Sumber : Digitasi Bakosultanal,Bappada Sumut 2013 3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian untuk mengumpulkan data-data morfologi antara lain : kantong plastik berlabel, pipa paralon, transek kuadrat 1x1 m untuk sampling, pH meter, GPS, DO Meter (DO-5519 Lutron), refraktometer, keeping secchi, stopwatch, kamera, meteran, gabus, termometer, pipet tetes, tali, ice box dan alat-alat tulis. Bahan yang digunakan aquadest, alkohol 70% untuk tumbuhan lamun dan makrozoobentos yang diobservasi di lapangan.
16
Universitas Sumatera Utara
17
3.3 Penentuan Stasiun Lokasi penelitian ditetapkan sebanyak 4 stasiun dengan metode Purposive Sampling. a. Stasiun I Stasiun ini merupakan daerah perairan yang sangat dangkal ketika air laut surut yang secara georafis terletak 0º37.196 ‒99º4.961 LU BT. Tumbuhan lamun yang dijumpai adalah Cymodocea rotundata
Gambar 6. Lokasi Penelitian Stasiun 1 b. Stasiun II Stasiun ini merupakan daerah dekat muara sungai Panggautan dan pemukiman penduduk yang secara geografis terletak 0º37.738 ‒99º4.317 LU BT. Tumbuhan lamun yang dijumpai adalah Enhalus acoroides.
Gambar 7. Lokasi Penelitian Stasiun II
Universitas Sumatera Utara
18
c. Stasiun III Stasiun ini merupakan daerah dekat teluk dan jauh dari pemukiman penduduk yang secara geografis terletak 0º37.674 ‒99º4.198 LU BT. Tumbuhan lamun yang dijumpai adalah Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis dan Halodule pinifolia.
Gambar 3.2 Lokasi Penelitian Stasiun II Gambar 8. Lokasi Penelitian Stasiun III d. Stasiun IV Stasiun ini merupakan daerah yang ditumbuhan lamun jenis Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule pinifolia dan tidak terdapat pemukiman penduduk secara geografis terletak 0º37.759 LU‒99º4.103 BT.
Gambar 3.2 Lokasi Penelitian Stasiun II Gambar 9. Lokasi Penelitian Stasiun IV
Universitas Sumatera Utara
19
3.4 Pengambilan Sampel Makrozoobentos dan Tumbuhan Lamun Pengambilan sampel dilakukan dengan metode observasi langsung yang dilakukan pada waktu air laut surut agar tidak terkendala dengan arus dan gelombang untuk mempermudah pengambilan sampel makrozoobentos dan tumbuhan lamun. Kuadran pengamatan dengan transek kuadrat 1x1 m. Pada tiap lokasi sampling (satsiun I, stasiun II, stasiun III dan stasiun IV) ditetapkan dua garis transek yang ditarik tegak lurus kearah laut. Titik awal transek kuadrat dimulai dari garis pantai sejauh 5 meter tegak lurus. Transek kuadrat kedua diambil dari titik akhir transek kuadrat pertama sejauh 5 meter. Jarak antara dua garis transek adalah 10 meter. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 5 kali pengulangan. Pengambilan sampel makrozoobentos dengan menggunakan sekop dengan bukaan 20x20 cm. Sampel yang telah diambil kemudian di saring dengan menggunakan sieve net berukuran 1 mm.
Sampel
makrozoobentos dan tumbuhan lamun yang telah diambil dibersihkan dengan air. Sampel makrozoobentos dan tumbuhan lamun yang sudah di dapat pada setiap plot ditempatkan dalam kantong plastik berlabel yang berbeda, selanjutnya diberi larutan alkohol 70%. Identifikasi dilakukan dengan cara mengamati bentuk dan struktur tubuh dan sampel makrozoobentos menggunakan lup dan dicocokkan dengan buku identifikasi Dharma (1998) Pennak (1978). Pada masing-masing lamun dihitung persentase tutupan lamun selanjutnya diidentifikasi jenis tumbuhan lamun dengan melihat bentuk daun dan rhizoma berdasarkan buku identifikasi.
Gambar 10. Desain Penelitian
Universitas Sumatera Utara
20
3.5 Pengukuran Parameter Lingkungan Parameter lingkungan yang diukur yaitu suhu, kecepatan arus, derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (DO), salinitas, penetrasi cahaya yang dilakukan in situ pada setiap stasiun pengamatan. BOD, COD dilakukan di laboratorium. Pengukuran pada waktu pagi hari (suhu, pH dan DO) serta ketika pasang dan surut (kekeruhan dan kecepatan). Pengukuran dilakukan disetiap stasiun penelitian dengan 5 kali pengulangan. a. Temperatur air Temperatur diukur dengan menggunakan termometer air raksa, dimana termometer air raksa dimasukkan kedalam air ± 10 menit kemudian dibaca skalanya. b. Penetrasi Cahaya Penetrasi cahaya diukur dengan menggunakan keeping secchi. Keeping secchi dimasukkan ke dalam badan air sampai keeping secchi tidak terlihat kemudian diukur panjang tali yang masuk kedalam air. c. Kecepatan arus Kecepatan arus diukur dengan menggunakan gabus yang diletakkan di atas air dan dibiarkan mengalir mengikuti arus, kecepatan arus diukur dengan stopwatch sesuai dengan jarak yang ditentukan. d. Salinitas Pengukuran salinitas dengan mengguakan alat refraktometer. Air sampel diambil dengan mengunakan pipit tetes dan dibaca skala yang terdapat di dalam refraktometer. e. pH pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil dari dasar perairan sampai pembaca pada alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut. f. Dissolved Oxygen (DO) Dissolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan alat DO Meter (DO5519 Lutron) dengan cara memasukkan DO meter kedalam sampel air sampai pembaca alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada DO Meter tersebut.
Universitas Sumatera Utara
21
g. Kejenuhan Oksigen Kejenuhan oksigen dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Kejenuhan (%) =
O 2(u ) x 02(t )
Dimana: O2 (u) = Nilai konsentrsi oksigen yang diukur (mg/l) O2 (t) = Nilai konsentrasi oksigen sebenarnya sesuai dengan harga temperatur. Tabel nilai oksigen terlarut maksimum terlampir (lampiran 1) h. BOD Pengukuran BOD dilakukan dengan menggunakan metoda winkler. Sampel diambil kemudian dimasukkan kedalam botol dan diberi perlakuan sesuai dengan yang terdapat pada lampiran 2. i. COD Pengukuran COD dilakukan dengan metoda refluks di Laboratorium. Bagan kerja pada lampiran 3. j. Jenis Substrat/Fraksi Substrat Pengambilan sampel substrat dilakukan dengan membenamkan pipa paralon sedalam ±20 cm. Sampel Subtrat yang diambil ± 200gr dan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label. Analisis butiran substrat dilakukan dengan metode segitiga tekstur tanah USDA. Analisa jenis substrat dan kandungan organik akan dilakukan di Laboratorium Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Gambar 11. Diagram Segitiga Tekstur Tanah USDA
Universitas Sumatera Utara
22
Secara keseluruhan pengukuran faktor lingkungan beserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini Tabel 1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Lingkungan Penelitian No Parameter Satuan Alat Tempat 1
Temperatur air
ºC
Termometr air raksa
In situ
2
Penetrasi cahaya
Cm
Keping seechi
In situ
3
Kecepatan arus
m
/det
Stopwatch, gabus, meteran
In situ
4
Salinitas
‰
Refraktometer
In situ
5
pH
-
pH air
In situ
6
DO
mg/l
DO Meter (DO-5519 Lutron)
In situ
7
Kejenuhan Oksigen
-
Laboratorium
8
BOD
mg/l
Metoda winkler dan inkubasi
Laboratorium
9
COD
mg/l
Metoda Refluks
Laboratorium
%
3.6 Analisis Data 3.6.1 Makrozoobentos Sampel makrozoobentos yang telah diidentifikasi selanjutnya dianalisis dengan perasamaan sebagai berikut : a. Kepadatan Populasi (K) K=
Jumlah Individu Suatu Jenis Luas Area
b. Kepadatan Relatif (KR) KR =
Kepada tan Suatu Jenis x 100% Jumlah Kepada tan Seluruh Jenis
c. Frekuensi Kehadiran (FK) FK =
Jumlah Plot yang Ditempati Suatu Jenis x 100% Jumlah Total Plot
Universitas Sumatera Utara
23
Dimana : FK = 0‒25%
: Kehadiran Sangat Jarang
FK = 25‒50% : Kehadiran Jarang FK = 50‒75% : Kehadiran Sangat FK > 57%
: Kehadiran sering/absolut
d. Dominansi (C) Indeks dominansi digunakan untuk memperoleh informasi mengenai spesies yang mendominasi dalam suatu komunitas. Rumusnya sebagai berikut (Odum 1993):
ni C = ∑ i =1 N S
2
C = Indeks dominansi (Index of dominance) Ni = nilai dari setiap spesies (jumlah individu ke-i) N = nilai total seluruh spesies (jumlah individu total yang telah ditemukan) Nilai indeks dominanansi berkisar antara ‒1. 0Indeks 1 menunjukkan dominansi oleh satu jenis spesies sangat tinggi (hanya terdapat satu jenis pada satu stasiun). Indeks 0 menunjukkan bahwa antara jenis-jenis yang ditemukan tidak ada yang mendominasi. e. Indeks Keanekaragaman Indeks keanekaragaman (H’) menggambarkan keanekaragaman populasi secara matematis untuk mempermudah menganalisis jumlah individu masing-masing jenis pada suatu komunitas. Perhitungan Indeks keanekaragaman (H’) dengan persamaan Shannon-Wiener (Krebs, 1978). s
H ' = − ∑ ( pi ln pi ) i =1
dimana : H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S = jumlah spesies Pi = Jumlah individu masing-masing jenis (i=1,2,3…) Dengan nilai H’ : 0
= keanekaragaman rendah
2,302
= keanekaragaman sedang
H’>6,907
= keanekaragaman tinggi
Universitas Sumatera Utara
24
f. Indeks Keseragaman Indeks keseragaman untuk mengetahui sebaran tiap jenis marozoobentos dalam luas area pengamatan. Indeks ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus Indeks Evannnes (Odum 1993) sebagai berikut :
J' =
H' H' = ln S H maks
dimana : J’ = indeks keseragaman (Evanness index) H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S
= Jumlah spesies
Nilai Indeks keseragaman berkisar antara‒1.0
Indeks yang mendekati 0
menunjukkan adanya jumlah individu yang terkonsentrasi pada satu atau beberapa jenis. Nilai Indeks keseragaman yang mendekati 1 menunjukkan bahwa jumlah individu di setiap spesies adalah sama atau hampir sama. g. Indeks Similaritas (IS) atau Indeks Kesamaan Indeks kesamaan mencari kesamaan antara spesies yang berada pada lokasi yang berbeda. Indeks ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus Michael (1984). IS =
2c x 100% a+b
dimana a = jumlah spesies pada lokasi a b = jumlah spesies pada lokasi b c = jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b
Universitas Sumatera Utara
25
3.6.2
Tumbuhan Lamun
a. Persentase Komposisi Jenis Lamun Persentase komposisi jenis yaitu persentase jumlah individu suatu jenis lamun terhadap jumlah individu secara keseluruhan. Menurut Brower et al., (1990) rumus yang digunakan dalam perhitungan lamun sebagai berikut : P=
Ni × 100% N
Keterangan : P = Persentase setiap lamun (%) Ni = Jumlah setiap spesies i N = Jumlah total seluruh spesies b. Kerapatan Jenis Lamun Kerapatan jenis adalah jumlah individu lamun (tegakan) per satuan luas. Kerapatan lamaun dapat dihitung berdasarkan rumus Blower et al., (1990) Di = ni/A Keterangan : Di = kerapatan jenis (ind/m2) ni = jumlah total tegakan dari jenis ke-i A = luas area plot pengamatan c. Persentase Tutupan Lamun Persentase penutupan lamun dengan menggunakan metode Saito dan Atobe sebagai berikut (English et al, 1994) :
C=
∑ Ci N
dimana C = persen penutupan lamun pada setiap stasiun Ci = persen penutupan lamun pada setiap plot transek N = Jumlah plot transek di setiap stasiun Kriteria kondisi lamun berdasarkan persen penutupan yang digunakan adalah : >75 %
= sangat baik
50‒57% = baik 25‒49% = sedang < 25%
= buruk
Universitas Sumatera Utara
26
3.7 Analisis Statistik Analisa statistik dilakukan untuk menguji perbedaan nilai keanekaragaman makrozoobentos di setiap stasiun penelitian. Pengujian dilakukan dengan menggunakan uji statistic One-way ANOVA selanjutnya dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan Uji Tukey. Analisis korelasi untuk mengetahui hubungan antara penutupan lamun dengan keanekaragaman makrozoobentos.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Tumbuhan Lamun
4.1.1
Persentase Komposisi Jenis Lamun Hasil penelitian menunjukkan terdapat 4 spesies lamun yang hidup disekitar
perairan pantai Natal. Jenis lamun yang ditemukan yaituEnhalusacoroides, Halophilaovalis, Halodulepinifolia, dan Cymodecearotundata. Persentase komposisi jenis lamun di perairan pantai Natal dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Persentase (%) Komposisi Jenis Lamun di Perairan Pantai Natal No Nama Spesies ST1 ST2 ST3 ST4 100 32,11 34,69 1 Enhalus acoroides 35,96 35,81 2 Halophila ovalis 100 14,31 11,32 3 Cymodecea rotundata 17,61 18,18 4 Halodule pinifolia Total 100 100 100 100 Tabel 2 menunjukkan ada dua stasiun pengamatan yang hanya terdapat satu jenis lamun yaitu pada stasiun I dan II, dimana pada stasiun I hanya terdapat jenis Cymodecea rotundata, sedangkan Enhalus acoroides merupakan jenis yang dijumpai pada stasiun II. Stasiun Imemilki kondisi perairan lebih dangkal 80–100 cm dalam keadaan pasang dan 30–50 cm dalam keadaan surut, sehingga cahaya matahari dapat menembus hingga dasar perairan oleh sebab itu jenis Cymodecea rotundata dapat berkembang dengan baik. Sesuai dengan pernyataan Brouns dan Heijs (1986) jenis Cymodocearotundatamenyukai perairan yang terpapar sinar matahari.Cymodocea rotundata dapat tumbuh di daerah dangkal saat air surut mencapai kedalaman kurang dari 1 meter saat surut terendah (Kiswara,1997). Stasiun IImempunyai kedalaman 150–200 cm saat pasang dan ketinggian saat surut mencapai 50–60 cm. Stasiun II ini
hanya dijumpai jenis Enhalus
acoroides, kawasan ini berdekatan dengan muara sungai Panggautan menyebabkan daerah ini menerima banyak masukan air tawar, sehingga salinitas di kawasan ini cenderung lebih sering berubah-ubah. Tingkat kekeruhan yang tinggi juga diduga
27
Universitas Sumatera Utara
28
menjadi penyebab tidak ditemukannya lamun dari jenis yang lain hidup disini. Hal yang sama juga disampaikan oleh Sangaji (1994) bahwa Enhalus acoroides dapat tumbuh pada perairan yang keruh selanjutnya Bengen (2001) menjelaskan bahwa Enhalusacoroides merupakan lamun yang tumbuh pada substrat berlumpur dari perairan keruh dan dapat membentuk jenis tunggal, atau mendominasi komunitas padang lamun. Stasiun III mempunyai kedalaman 250–220 cm saat pasang dan saat surut mempunyai kedalaman 60–90 cm, sedangkan dan stasiun IV mempunyai kedalaman 255–220cm saat pasang dan kedalaman air laut saat surut mencapai 60–92 cm. Stasiun III dan IVini dijumpai jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, dan Cymodecea rotundata. Keempat jenis lamun ini dapat tumbuh di daerah dengan kedalam sedang atau daerah pasang surut dengan kedalaman perairan berkisar antara 100–500 cm (Kiswara, 1997). 4.1.2
Kerapatan Jenis Lamun Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan terdapat 4 jenis tumbuhan
lamun yang hidup di kawasan perairan pantai Natal. Terdapat perbedaan kerapatan jenis
pada
masing-masing
stasiun
pengamatan.
Kerapatan
jenis
Enhalus
acoroidesberkisar antara 24,6–37,4 Ind/m2. Kerapatan jenis Halophila ovalis berkisar antara 38,6–39,2 Ind/m2. Kerapatan jenis Cymodecea rotundata dan Halodule pinifolia masing-masing berkisar antara 12,2–100,4 Ind/m2 dan 19,2–19,6 Ind/m2. Tabel 3. Kerapatan Jenis Lamun di Perairan Pantai Natal (Ind/m2) No Nama Spesies ST1 ST2 ST3 30,2 35 1 Enhalus acoroides 39,2 2 Halophila ovalis 40,2 15,6 3 Cymodecea rotundata 19,2 4 Halodule pinifolia
ST4 37,4 38,6 12,2 19,6
Stasiun I didominasi oleh jenis Cymodecea rotundata dengan jumlah 40,2 Ind/m2.Menurut Brouns dan Heijs (1986) jenis Cymodocearotundatamenyukai perairan yang terpapar sinar matahari, jenis lamun tersebut merupakan lamun yang kosmopolit, yaitu dapat tumbuh hampir di semua kategori habitat. Cymodoceae
Universitas Sumatera Utara
29
rotundata merupakan jenis yang masuk dalam magnozosterid. Tingginya frekuensi kerapatan jenis Cymodocearotundata pada seluruh stasiun pengamatan menunjukkan jenis ini dapat menyesuaikan diri dengan karakteristik habitat perairan pantai Natal seperti yang dinyatakan oleh den Hartog (1970) bahwa jenis lamun Magnozosterid (lamun dengan bentuk daun yang panjang dan menyerupai pita dengan daun yang tidak terlalu lebar) dapat dijumpai pada berbagai habitat, jenis lamun ini sering ditemukan di daerah dangkal hingga daerah yang terekspos ketika air laut surut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis Enhalus acoroides dapat ditemukan pada tiga stasiun penelitian, yaitu pada stasiun II, III, dan IV dengan kerapatan yang cenderung sama yaitu berada pada kisaran 24,6–34,7 Ind/m2, hal ini menunjukkan bahwa jenis ini dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar perairan pantai Natal. Substrat pada stasiun II,III, dan IV yang berjenis lempung liat berpasir dan lempung berpasir sangat cocok bagi Enhalus acoroides.Sangaji (1994) menyatakan bahwa Enhalusacoroides dominan hidup pada substrat dasar berpasir dan pasir sedikit bercampur lumpur dan kadang-kadang terdapat dasar yang terdiri dari campuran pecahan karang yang telah mati. Enhalus acoroides juga lebih tahan terhadap kekeruhan dibandingkan dengan spesies yang lain. Menurut Bengen (2001) menyatakan bahwa Enhalusacoroides merupakan lamun yang tumbuh pada substrat berlumpur dari perairan keruh dan dapat membentuk jenis tunggal, atau mendominasi komunitas padang lamun. Jenis Enhalus acoroides memiliki toleransi untuk perubahan suhu, salinitas dan jenis substrat lebih luas dibanding jenis lainnya (Poedjirahajoe etal. 2013). Jenis Halophila ovalisdan Halodule pinifolia hanya terdapat pada dua stasiun penelitian yaitu pada stasiun III dan IV. Kerapatan jenis Halophila ovalis berkisar antara 38,6–39,2 Ind/m2, dan kerapatan jenis Halodule pinifolia berkisar antara 19,2–19,6 Ind/m2. Kerapatan kedua jenis ini hampir sama dikedua stasiun penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan stasiun III dan IV sangat baik untuk kehidupan kedua jenis lamun ini. Keberadaan spesies ini tidak ditemukan pada stasiun I dan II juga diakibatkan kawasan ini dekat dengan kawasan pemukiman warga. Selain faktor eksternal faktor internal juga sangat mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
30
perkembangan lamun hal ini sesuai dengan pernyataan Kiswara etal (2010) bahwa pertumbuhan lamun bukan hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti suhu, salinitas, kecerahan dan substrat dasar serta ketersediaan nutrien di perairan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor internal seperti fisiologis dan metabolisme lamun. 4.1.3
Persentase Tutupan Lamun (%) Persentase tutupan lamun merupakan gambaran kondisi ekosistem lamun,
semakin tinggi persentase tutupan lamun maka akan semakin baik pula kondisi ekosistem lamun tersebut. Persentase tutupan lamun pada ke 4 stasiun penelitian menunjukkan perbedaan kondisi ekosistem padang lamun di perairan pantai Natal. Persentase tutupan seperti terlihat pada Gambar 12.
Gambar 12.Persentase Tutupan Lamun pada Stasiun Penelitian Gambar 12 menunjukkan perbedaan persentase tutupan lamun pada masingmasing stasiun penelitian. Persentase tutupan lamun tertinggi berada pada stasiun IV, dimana 83,8% kawasan ini ditutupi padang lamun, sedangkan persentase tutupan lamun terendah terdapat pada stasiun II, dimana hanya 29% dari kawasan ini yang ditutupi padang lamun. Perbedaan ini disebabkan perbedaan karakteristik perairan di masing-masing stasiun. Menurut Dahuri etal(2004) luas tutupan dan sebaran lamun dapat dipengaruhi ketersediaan nutrien pada substrat yang tidak merata sehingga lamun hanya tumbuh pada titik tertentu. Kondisi stasiun I tergolong dalam kondisi cukup baik, stasiun II tergolong buruk, stasiun III dan IV tergolong sangat baik. Kriteria ini sesuai dengan KEPMEN-LH Nomor 200 tahun 2004 yang menyatakan
Universitas Sumatera Utara
31
bahwa kondisi ekosistem lamun yang sangat baik memiliki persen tutupan ≥75 %,5057% kondisi baik, 25-49% kondisi cukup baik, dan < 25% kondisi buruk. Rendahnya persentase tutupan pada stasiun II diduga disebabkan karena kawasan ini merupakan kawasan yang paling dekat dengan muara sungai dan pemukiman warga, sehingga kawasan ini mendapatkan dampak langsung dari aktivitas masyarakat yang ada disekitar kawasan ini. Stasiun III dan IV persentase tutupan lamun sangat tinggi, karena kawasan ini jauh dari pemukiman warga. Stasiun ini juga berada pada kawasan teluk, memungkinkan perairan itu terlindungi dari arus dan gelombang yang kuat, sehingga kecepatan arus pada kawasan ini tergolong rendah. Rendahnya kecepatan arus sangat mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan lamun. 4.2
Makrozoobentos
4.2.1
Nilai Kepadatan populasi, Kepadatan Relatif, Frekuensi Kehadiran Hasilpenelitian
yang
dilakukandi
Natalmenunjukkanadanyaperbedaankepadatan makrozoobentosdisetiapstasiunnya,
dari
perairan populasi
keempatstasiunpengamatandiperoleh16
jenis makrozoobentos yang terdapat di ekosistem lamun perairan Natal. Kepadatan populasi masing-masing jenis makrozoobenthos seperti terlihat pada Tabel 4. Hasil analisis diperoleh nilai kepadatan (K), kepadatan relatif (KR) dan frekuensi kehadiran (FK) yang bervariasi. Jenis kerang-kerangan (Bivalvia) memiliki nilai Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) tertinggi pada stasiun I, II, dan IV. Pada stasiun IAnadara inaequivalvis menjadi jenis yang paling banyak dijumpai dengan nilai (K)1,2 ind/m2, (KR) 15,79%, dan (FK)100% (Tabel 4). Stasiun I dan IV jenis Anadara antiquata menjadi jenis yang paling sering dijumpai dengan nilai masing-masing (K) 1,6 Ind/m2, (KR) 17,79%, (FK) 80% pada stasiun II, dan (K) 1,2 Ind/m2, (KR) 14,29%, (FK) 80% pada stasiun IV.Tingginya Nilai K,KR dan FK pada jenis kerang-kerangan ini dapat dikaitkan dengan berbagai faktor fisika kimia, seperti jenis substrat yang didominasi oleh pasir (Tabel 8),hal ini didukung oleh pernyataan Lind (1979) yang menyatakan bahwa substrat pasir merupakan habitat yang paling disukai makrozoobentos.
Universitas Sumatera Utara
32
Menurut Hemminga dan Duarte (2000) beberapa jenis kerang-kerangan ditemukan hidup menempel di substrat keras di daerah lamun. Hemminga dan Duarte (2000), menyatakan bahwa keberadaan suatu jenis makrozoobentos di daerah lamun tidak bergantung sepenuhnya pada keberadaan vegetasi lamun. Faktor lingkungan seperti hidrodinamika, karakteristik substrat, kedalaman dan salinitas seringkali lebih memiliki pengaruh terhadap keberadaan suatu jenis makrozoobentos di daerah lamun. Faktor lain seperti suhu, pH, salinitas juga menjadi penyebab tingginya nilai K, KR, dan FK yang ditemukan. Hasil penelitian di Pantai Natal didapat nilai suhu berkisar antara 28–31oC, pH 7,3–7,4, dan salinitas antara 30–33‰ (Tabel 7). Nilai ini sangat mendukung bagi perkembangan biota perairan, dimana pH optimum bagi biota perairan berada pada kisaran 7–8,5, salinitas ≥ 30‰, dan suhu berkisar antara 29–32oC (Barus 2004; Short & Choles 2003). Tingginya kepadatan kerang-kerangan juga dapat dikaitkan dengan kandungan bahan organik yang terdapat pada substrat perairan pantai Natal. Hasil pengukuran kadar C organik berada pada kisaran 1,10–1,40%, (tabel 8). Senyawa karbon yang ada terkandung dalam jaringan lamun berkisar antara 30–40% dari total berat kering lamun (Hemminga dan Duarte 2000). Bahan organik termasuk salah satu komponen vital bagi komunitas lamun. Ketersediaan bahan organik di alam dapat menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan lamun (Erftemeijer dan Middelburg 1993; Hemminga dan Duarte 2000; Barron dan Duarte 2009; Wicks etal. 2009). Menurut Koch (2001) kandungan bahan organik dalam sedimen di daerah lamun berkisar antara 0,5–16,5%, tetapi umumnya kurang dari 5%. Wood (1987) menyatakan bahwa bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber makanan bagi organisme bentik, sehingga jumlah dan laju pertambahannya dalam sedimen mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi organisme dasar.
Universitas Sumatera Utara
33
Tabel 4 Kepadatan Populasi(Ind/m2), Kepadatan Relatif (%), dan Frekuensi Kehadiran (%) Makrozoobentospada masing-masing Stasiun Pengamatan di Perairan Pantai Natal Kelas Gastropoda
Bivalvia
Echinoidea Holothuroidea Malacostraca Amphineura Anthozoa
Spesies Polinices lacteus Prosobranchia Murex trapa Terebra Amanda Faunus ater Strombus pugilis Conus betulinus Anadara antiquate Anadara trapezia Anadara inaequivalvis Atrina pectinata Laganum depressum Holothuroidea edulis Sesarma sp Cryptochiton sp Astraea caelata Jumlah
Nama Lokal Siput polinices Siput prosobrancia Siput murek (siput duri) Siput terebra Siput sumpil Siput gonggong Keong kerucut (cone shells) Kerang batu Kerang kukur Kerang bulu Kerang pulut Sand dollar Tripang Kepiting wideng Citon Siput Tumpeng
K 0,2 0,2 0,2 0,8 0,4 0,6 0,2 0,6 0,2 1,2 0,8 1 0,6 0,2 0,2 0,2 7,6
Stasiun 1 KR FK 2,63 2,63 2,63 10,53 5,26 7,89 2,63 7,89 2,63 15,79 10,53 13,16 7,89 2,63 2,63 2,63 100
20 20 20 60 40 40 20 60 20 100 80 100 60 20 20 20
K 0,8 1,2 0,4 0,2 0,8 1,4 1,6 1,4 0,2 0,6 0,4 9
Stasiun 2 KR FK 8,89 13,33 4,44 2,22 8,89 15,56 17,78 15,56 2,22 6,67 4,44 100
60 40 40 20 60 80 80 80 20 60 40
Stasiun 3 K KR 0,2 0,4 0,2 0,4 0,8 0,4 0,4 0,4 1 0,2 0,6 0,6 1,4 0,4 0,2 7,6
2,63 5,26 2,63 5,26 10,53 5,26 5,26 5,26 13,16 2,63 7,89 7,89 18,42 5,26 2,63 100
FK
K
20 20 20 40 60 40 40 40 100 20 40 40 100 40 20
0,6 0,8 0,6 0,2 0,2 0,2 0,2 1,2 1 0,2 0,8 0,4 1 0,4 0,6 8.4
Stasiun 4 KR FK 7,14 9,52 7,14 2,38 2,38 2,38 2,38 14,29 11,90 2,38 9,52 4,76 11,90 4,76 7,14 100
60 60 60 20 20 20 20 80 100 20 80 40 80 40 60
Universitas Sumatera Utara
34
4.2.2
Indeks Dominansi, Keanekaragaman, dan Keseragaman Hasil analisis indeks dominansi (C), keanekaragaman (H’), dan
keseragaman (J’) menunjukkan adanya perbedaan koefisien indeks di setiap stasiunnya. Nilai masing-masing indeks disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5. Nilai Indeks Dominansi, Keanekaragaman, dan Keseragaman di Perairan Pantai Natal
No
Stasiun
Indeks
1 Dominansi (C) 2 Keanekaragaman (H’) 3 Keseragaman (J’)
1 0,09 2,55 0,92
2 0,22 2,59 1,08
3 0,09 2,52 0,93
4 0,09 2,53 0,93
Tabel 5 menunjukkan bahwa koefisien indeks dominansi berada pada kisaran 0,09–0,22 atau mendekati 0, dapat diartikan bahwa tidak ada satu jenis spesies yang mendominsi di setiap stasiun penelitian. Sejalan dengan Odum (1993) yang menyatakan bahwa nilai indeks dominannsi berkisar antara‒1.0 Indeks 1 menunjukkan dominansi oleh satu jenis spesies sangat tinggi (hanya terdapat satu jenis pada satu stasiun). Indeks 0 menunjukkan bahwa antara jenisjenis yang ditemukan tidak ada yang mendominasi. Tidak ditemukannya spesies yang mendominasi di setiap stasiun berarti bahwa kondisi lingkungan ekosistem perairan pantai Natal masih tergolong baik, karena masih banyak spesies yang dapat beradaptasi dengan baik pada ekosistem ini. Indeks Keanekaragaman (H’) pada stasiun penelitian berkisar antara 2,52– 2,59 (Tabel 5). Indeks keanekaragaman tertinggi dijumpai pada stasiun II sebesar 2,59 dan yang terendah pada stasiun III sebesar 2,52. Tinggnya Indeks Keanekaragaman pada stasiun II ini disebabkan jenis dan jumlah makrozoobentos yang didapat pada stasiun ini paling banyak dibandingkan stasiun I, stasiun III dan stasiun IV. Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan semakin besarnya keragaman dan proporsi masing-masing jenis yang semakin merata (Krebs,1985). Hasil
analisis
makrozoobentos
pada
menunjukkan perairan
pantai
bahwa Natal
tingkat tergolong
keanekaragaman pada
tingkat
keanekaragaman sedang, dimana koefisien H’ bernilai lebih dari 2,30. Hal ini sesuai dengan pernyataan Krebs (1978) dimana apabila nilai H’ 0
Universitas Sumatera Utara
35
sedang, dan H’>6,90 keanekaragaman tergolong tinggi. Keanekaragaman tergolong sedang
menunjukkan bahwa kondisi lingkungan perairan cukup
mendukung bagi kehidupan makrozoobentos, seperti substrat dasar perairan yang berpasir, kandungan oksigen terlarut dalam air yang cukup tinggi (7,3–7,8), dan suhu yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah (28–30⁰C), pH yang normal serta kecepatan arus yang relatif tenang dan sedikit turbelensi. Kandungan nitrat (0,15–0,13 mg/L) dan fosfat (0,014–0,012 mg/L) pada perairan juga masih dikategorikan baik, nitrat dan fosfat dengan kadar tinggi akan mempengaruhi keanekaragaman makrozoobentos. Analisis indeks keseragaman menunjukkan bahwa koefisien J’ mendekati 1, hal ini berarti bahwa jumlah individu setiap spesies adalah sama, atau tidak ada jenis terentu yang lebih banyak ditemukan pada satu kawasan area pengamatan. Menurut Odum (1993) bahwa Indeks yang mendekati 0 menunjukkan adanya jumlah individu yang terkonsentrasi pada satu atau beberapa jenis. Nilai Indeks keseragaman yang mendekati 1 menunjukkan bahwa jumlah individu di setiap spesies adalah sama atau hampir sama. Indeks Keseragaman berbanding lurus dengan indeks dominansi, dimana semakin tinggi koefisien indeks dominansi maka akan semakin tinggi pula indeks keseragaman. Nilai indeks dominansi yang mendekati 0 berarti tidak adanya spesies yang mendominasi di satu kawasan pengamatan. Sama halnya dengan indeks keseragaman dimana jika koefisien indeks keseragaman mendekati 1 maka sebaran spesies pada satu kawasan merata, atau seragam.
4.2.3
Indeks Similaritas (Kesamaan) Analisis terkait indeks similaritas (IS) menunjukkan adanya perbedaan
struktur komunitas makrozoobentos di ekosistem padang lamun pantai natal. Hasil analisis disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Nilai Indeks Similaritas (Kesamaan) di Perairan Pantai Natal Stasiun 1 2 3
1 -
2 84,61 -
3 96,55 88,00 -
4 96,55 88,00 100,00
Universitas Sumatera Utara
36
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai indeks similaritas antara stasiun I dan II sebesar 84,61% , stasiun I dan III sebesar 96,55% , stasiun I dan IV sebesar 96,55%, stasiun II dan III sebesar 88 %, stasiun II dan IV sebesar 88 % serta stasiun III dan IV sebesar 100% (Tabel 6). Indeks similaritas yang diperoleh dapat dikategorikan bahwa antara stasiun I dan II, stasiun I dan III, serta stasiun I dan IV, stasiun II dan III, stasiun II dan IV, serta stasiun III dan IV dikategorikan memiliki kesamaan tinggi. Kesamaan ini karena faktor ekologi dan faktor fisik kimia yang hampir sama antara stasiun tersebut. Kondisi yang hampir sama menyebabkan terdapat kesamaan nilai spesies pada setiap stasiun tersebut sangat mirip. Kesamaan komunitas yang tinggi antara dua lingkungan yang dibandingkan sangat ditentukan oleh kondisi faktor-faktor lingkungan yang terdapat pada kedua lingkungan tersebut (Krebs,1985). 4.3
Parameter Kualitas Perairan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi kualitas perairan disekitar ekosistem lamun pantai natal tergolong baik, hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Pengukuran Parameter Kualitas Perairan Pantai Natal Hasil Baku No Parameter Satuan Mutu * ST1 ST2 ST3 ST4 ºC 28-30 28-31 28-30 28-30 28-30 1. Suhu Penetrasi cahaya Cm 150 150 150 150 300 2. m /det 0,25 0,20 0,18 0,18 3. Kecepatan arus ‰ 30-33 30-32 30-33 30-33 33-34 4. Salinitas 7,3 7,3 7,4 7,3 7-8,5 5. Ph mg/L 7,4 7,8 7,7 7,3 >5 6. DO % 97,3 102,5 101,2 96,0 7. Kejenuhan Oksigen mg/L 1,85 2,96 1,92 1,07 20 8. BOD5 mg/L 18,78 16,21 14,92 14,56 9. COD Sumber : * KepMen LH Nomor 51Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut Suhu Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan organisme di perairan khususnya lautan, karena pengaruhnya terhadap aktivitas metabolisme ataupun perkembangbiakan dari organisme tersebut. Suhu mempengaruhi proses fisiologi yaitu fotosintesis, laju respirasi, dan pertumbuhan. Lamun dapat tumbuh pada
Universitas Sumatera Utara
37
kisaran 5–35⁰C, dan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25–30⁰C (Marsh et al, 1986) sedangkan pada suhu di atas 45⁰C lamun akan mengalami stres dan dapat mengalami kematian (McKenzie, 2008). Kisaran suhu optimal bagi pertumbuhan lamun adalah 15–30°C, apabila suhu perairan berada di luar kisaran optimal tersebut, maka kemampuan lamun dalam proses fotosintesis akan menurun dengan drastis pula (Dahuri et al, 2001). Penetrasi Cahaya Kecerahanan secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan lamun karena berpengaruh terhadap penetrasi cahaya yang masuk ke perairan yang dibutuhkan oleh lamun untuk berfotosintesis. Kecerahan perairan dipengaruhi oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup seperti plankton maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan sebagainya. Cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun di perairan pantai yang keruh (Hutomo, 1997). Umumnya lamun membutuhkan kisaran tingkat kecerahan 4–29% untuk dapat tumbuh dengan rata-rata 11% (Hemminga&Duarte, 2000). Kecepatan Arus Kecepatan arus di Pantai Natal berkisar 0,18–0,23 m/s ketika pasang dan surut 0,19–0,25 m/s. Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun I dan kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun III dan IV. Arus pada perairan tersebut relatif tenang dan sedikit turbelensi. Kawuri et al (2012) melaporkan bahwa
kecepatan
arus
mempengaruhi
penyebaran
makrozoobentos
dan
pertumbuhan lamun.
Salinitas Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur, lamun akan mengalami kerusakan fungsional jaringan sehingga mengalami kematian apabila berada di luar batas toleransinya. Beberapa lamun dapat hidup pada kisaran salinitas 10–45‰ (Hemminga dan Duarte, 2000), dan dapat bertahan hidup pada daerah estuari, perairan tawar, perairan laut, maupun di daerah hipersaline sehingga salinitas menjadi salah satu faktor distribusi lamun secara
Universitas Sumatera Utara
38
gradien (Mckenzie, 2008). Thalassia dapat tumbuh optimum pada kisaran salinitas 24-35‰, namun dapat juga ditemukan hidup pada salinitas 35–60‰ dengan waktu toleransi yang singkat (Zieman, 1986 dalam Hemminga&Duarte, 2000). Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman atau kebasaan (pH) tertinggi terdapat pada stasiun yaitu sebesar 7,4, pada stasiun 3 stasiun yang lain nilai pH sama yaitu sebesar 7,3 (Tabel 7). pH di keempat stasiun masih memungkinkan untuk hidup Makrozoobentos. Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH berkisar anatara 6,5–7,5 (Wardhana, 1994). Menurut Kristanto (2002), bahwa nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Oksigen Terlarut (DO) dan Kejenuhan Oksigen Oksigen terlarut penting untuk respirasi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi temperatur. Hasil penelitian menunjukkan kadar oksigen terlarut berkisar antara 7,6–7,8 mg/L, nilai ini tergolong baik, sesuai dengan KepMen LH Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut yang menyatakan bahwa kadar minimum oksigen terlarut >5 mg/L. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air pada temperatur 0oC sebesar 14,16 mg/L , kelarutan ini akan menurun jika temperatur air meningkat (Barus, 2004). Menurut Sanusi (2004), nilai DO yang berkisar di antara 5,45–7,00 mg/L cukup bagi proses kehidupan biota perairan. Barus (2004), menegaskan bahwa nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar 6–8 mg/L, makin rendah nilai DO maka makin tinggi tingkat pencemaran ekosistem tersebut. Kadar oksigen terlarut dalam batas 4,5–7 mg/L tidak mengubah jumlah toleransi konsumsi oksigen oleh Bivalvia baik pada suhu rendah (20–25ºC) maupun tinggi (30ºC) sebagai batas optimum (Brotowidjoyo,1993). Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa tingkat saturasi oksigen di perairan pantai Natal memiliki nilai rata-rata yang under saturation (dibawah 100%) kecuali pada stasiun II dan III yang mempunyai nilai oksigen yang over
Universitas Sumatera Utara
39
saturation(diatas 100%).
Tidak ditemukan nilai oksigen yang dalam tingkat
saturation atau jenuh (nilai 100%), hal ini menunjukkan bahwa masih terjadi proses difusi dalam mencapai kesetimbangan antara di perairan dengan di atmosfer seperti terlihat dalam Tabel 7. Effendi (2003) menjelaskan bahwa tingkat kejenuhan oksigen dengan nilai 100% menunjukkan bahwa tidak terjadinya proses difusi dalam mencapai kesetimbangan antara perairan dengan di atmosfer. BOD dan COD Nilai BOD selama pengamatan di perairan Natal menunjukkan kisaran 1,07–2,96 mg/L. Kisaran nilai BOD masih dalam ambang batas normal atau masih baik bagi kehidupan biota laut. Hal ini mengacu pada Kep MENLH No.51 tahun 2004 menetapkan ambang batas maksimum kandungan BOD bagi kehidupan laut adalah 20 mg/L, dari sudut pandang tersebut terlihat bahwa kondisi perairan di daerah Natal masih dalam kondisi yang baik bagi kehidupan biota laut. Nilai COD yang didapat dari hasil pengamatan di perairan Natal berkisar antara 14,56–18,78 mg/L. Nilai ini tergolong dalam kisaran baik bagi biota laut. Apabila nilai COD tinggi maka hal ini manunjukkan bahwa bahan organik yang ada di perairan lebih banyak dalam bentuk yang sukar didegradasi secara biologis. Dalam Kep MENLH No.51 tahun 2004 tidak disebutkan nilai baku mutu untuk COD namun demikian nilai COD yang terlalu tinggi tidak baik untuk kehidupan biota laut khususnya plankton karena akan banyak oksigen yang digunakan dalam menguraikan bahan organik tersebut. Nilai COD di perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/L sedangkan di perairan tercemar dapat lebih dari 200 mg/L (Effendi, 2003).
Universitas Sumatera Utara
40
4.4
Substrat Hasil analisis ukuran butiran sedimen menunjukkan perbedaan komposisi
butiran disetiap stasiunnya. Skala ukuran butiran tanah sesuai dengan kelas ukuran butiran yang dikeluarkan oleh United State Department of Agricultural (USDA, 2006) ukuran secara umum dibagi menjadi 3 kelas ukuran yaitu, pasir (Sand), debu (Silt), dan Liat (Clay). Hasil analisis seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Analisis Sedimen di Perairan Pantai Natal Stasiun Pengamatan Parameter Satuan I II III % 53,84 51,84 45,84 Pasir % 18,56 24,56 22,56 Debu % 27,60 23,60 31,60 Liat -----Llip Llip Llip Tekstur % 1,23 1,10 1,40 C-organik mg/L 0,15 0,13 0,15 Nitrat mg/L 0,014 0,012 0,012 Fosfat Keterangan : Llip = Lempung liat berpasir Lp = Lempung berpasir
IV 53,84 26,56 19,60 Lp 1,12 0,15 0,012
Menurut Short dan Coles (2003), proporsi butiran sedimen dalam bentuk kerikil yang besar mengindikasikan tingginya energi gelombang atau kecepatan arus di daerah tersebut, sebaliknya, proporsi kerikil yang besar, menunjukkan kemungkinan rendahnya kandungan bahan organik dan nutrien dalam sedimen. Sedimen dalam lingkungan perairan laut umumnya berasal dari proses pelapukan. Sebagian berasal dari material hasil pelapukan batuan di darat yang dibawa ke laut melalui sungai, sedangkan material lainnya berasal dari proses pelapukan material yang berasal dari kerangka atau bagian tubuh makhluk hidup (Mc Lachlan dan Brown 2006). Karakteristik sedimen yang paling penting adalah ukuran butiran sedimen. Hal ini terkait dengan kemampuan sedimen tersebut untuk mengikat bahan organik dan nutrien yang dibutuhkan oleh ekosistem lamun dan biota asosiasi yang hidup di dalamnya. Karakteristik sedimen yang lain adalah porositas dan permiabilitas. Porositas terkait dengan kemampuan butiran pasir untuk mengisi ruang yang kosong dalam suatu volume tertentu, sedangkan permiabilitas adalah kemampuan dari sedimen untuk melewatkan air (Mc Lachlan dan Brown, 2006).
Universitas Sumatera Utara
41
Porositas terkait dengan ukuran butiran sedimen. Makin kecil (halus) ukuran butiran sedimen, makin banyak ruang antar butiran sedimen yang terisi. Hal
ini
menyebabkan
sedimen
yang
halus
memiliki
kemampuan
menyimpan/menahan air yang lebih baik. Secara tidak langsung, nutrien dan zat hara yang terlarut dalam air pun dapat disimpan dengan baik. Hal ini menjelaskan mengapa kandungan bahan organik dan nutrien pada sedimen halus umumnya relatif lebih tinggi. Tingginya kandungan air yang tertahan dalam sedimen halus menyebabkan kemampuan sedimen halus untuk melewatkan air (permeabilitas), menjadi lebih rendah dibandingkan sedimen dengan ukuran butiran yang lebih besar. Dengan kata lain, sedimen berbutir besar lebih mudah kehilangan kandungan bahan organik/ nutrien (Knox 2001; Mc Lachlan dan Brown 2006). Hasil analisis sampel struktur sedimen dari pantai Natal (Tabel 8), menunjukkan bahwa, kondisi substrat pada setiap plot lebih banyak didominasi oleh pasir. Menurut Short dan Coles (2003), proporsi butiran sedimen dalam bentuk kerikil yang besar mengindikasikan tingginya energi gelombang atau kecepatan arus di daerah tersebut sebaliknya proporsi kerikil yang besar menunjukkan kemungkinan rendahnya kandungan bahan organik dan nutrien dalam sedimen. Bahan organik termasuk salah satu komponen vital bagi komunitas lamun. Ketersediaan bahan organik di alam dapat menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan lamun (Erftemeijer dan Middelburg 1993; Hemminga dan Duarte 2000; Barron dan Duarte 2009; Wicks et al. 2009). Lamun dengan struktur kanopi dan rhizomanya yang rumit, diketahui memiliki kemampuan menjebak material organik (Hemminga dan Duarte 2003). Material organik yang terjebak berasal dari berbagai sumber, diantaranya dari limbah rumah tangga atau bahkan dari serasah daun lamun yang telah mati. Nilai kandungan organik yang di dapat pada keempat stasiun pengamatan berkisar antara 1,10–1,40%. Lamun dapat hidup di daerah yang tinggi bahan organik maupun yang rendah bahan organik. Ada perbedaan morfologi antara lamun yang hidup di daerah yang tinggi bahan organik dengan yang rendah bahan organik. Lamun yang tumbuh di sedimen rendah bahan organik mempunyai daun yang lebih pendek dan sempit. Secara keseluruhan nilai kandungan organik dari
Universitas Sumatera Utara
42
keempat stasiun ini tergolong rendah. Menurut Djaenuddin et al (1994) kandungan orgaanik < 1% dikategorikan sangat rendah, 1%–2% dikategorikan rendah,
2,01%–3% dikategorikan sedang, 3%–5% dikategorikan tinggi, dan
>5,01% dikategorikan sangat tinggi Fungsi utama ekosistem lamun dapat memberikan nutrisi terhadap biota yang berbeda disekitarnya. Menurut Green dan Short (2003) Pertumbuhan morfologi dan produktivitas primer dipengaruhi ketersediaan zat hara fosfat, nitrogen. Nitrat sangat mudah larut dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Hasil pengamatan didapat kadar nitrat berkisar antara 0,15–0,13 mg/L. Menurut effendi (2003) nitrat yang melebihi 0,2 mg/L dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi di perairan. Kadar fosfat yang didapat berkisar antara 0,014–0,012 mg/L, nilai kandungan ini masih sesuai dengan kandungan fosfat yang umumnya dijumpai diperairan. Kandungan fosfat yang normal berdasarkan baku mutu air untuk biota laut Kepmen LH No 51 Tahun 2000 sebesar 0,015 mg/L. 4.5
Analisis Stastistik Hasil analisis uji One-way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang
nyata pada keanekaragaman makrozoobentos antar stasiun pengamatan (P <0,05), selanjutnya dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan Uji Tukey. Perbedaan ini menunjukkan bahwa setiap stasiun penelitian memiliki perbedaan karakteristik. Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan semakin besarnya keragaman dan proporsi masing-masing jenis yang semakin merata (Krebs,1985). Hasil analisis korelasi Pearson antara keragaman makrozoobentos dengan tutupan bernilai -0,949 ini berarti hubungan antara tutupan lamun dengan keanekaragaman makrozobentos di kawasan ini sangat kuat berlawanan arah artinya semakin tinggi tutupan lamun semakin rendah keanekragaman makrozoobentos. Tingginya persentase tutupan lamun tidak selalu diikuti oleh tingginya keanekaragaman makrozobentos di kawasan tersebut. Tutupan lamun yang terlalu rapat dapat menutupi bagian substrat sehingga makrozoobentos yang
Universitas Sumatera Utara
43
hidup pada substrat berkurang jumlahnya karena terjadinya persaingan dalam hal ruang. Hemminga dan Duarte (2000) menyatakan juga bahwa keberadaan suatu jenis makrozoobentos di daerah lamun tidak sepenuhnya bergantung pada vegetasi lamun. Faktor lingkungan fisika, kimia, maupun biologi memiliki pengaruh terhadap keberadaan suatu jenis makrozoobentos di daerah lamun. Makrozoobentos. Jenis bivalvia dan gastropoda pada umumnya ditemukan pada substrat dasar sementara organisme lainnya hanya tinggal sementara sebagai tempat mencari makan dan perlindungan dari peredator. Hal yang sama juga diungkapkan Ilahi et al, (2013) bahwa kelimpahan dan keanekaragaman makrobentos hanya ditentukan 12% oleh kerapatan lamun, sebaliknya 88% ditentukan oleh faktor lain, termasuk fisik kimia perairan.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal : 1. Kondisi ekosistem lamun pantai Natal tergolong sehat dengan rata-rata tutupan lamun ≥ 60%. Terdapat 4 jenis lamun yang hidup di perairan pantai Natal yaitu Cymodecea rotundata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule pinifolia. 2. Terdapat 16 jenis makozobentos yang hidup pada kawasan ekosistem lamun pantai Natal. Indeks Keanekaragaman makrozobentos di ekosistem lamun pantai Natal berada pada kondisi sedang (H’= 2,3292,593). 3. Korelasi yang sangat kuat terjadi antara keragaman makrozoobentos dengan tutupan lamun dengan nilai -0,949
5.2 Saran Sebaiknya dilakukan penambahan stasiun pengamatan pada penelitian selanjutnya agar diketahui kondisi ekosistem lamun pantai Natal secara keseluruhan. Bagi pemerintah diharapkan agar menjadikan ekosistem lamun pantai natal sebagai zona konservasi lamun, agar tidak terjadi kerusakan pada ekosistem lamun di daerah pantai Natal.
44
Universitas Sumatera Utara