38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Paradigma Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti, maupun oleh para praktisi melalui model-model tertentu. Model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma. Sebagai citra fundamental dari pokok permasalahan di dalam suatu ilmu, paradigma menggariskan hal yang seharusnya dipelajari. Paradigma, menurut Bogdan dan Biklen, adalah “kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian”.33 Paradigma juga dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi (perilaku yang didalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu).
33
J. Moleong, Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remadja Rosdakarya, Bandung, 2006. Hal. 49
39
Terdapat berbagai macam paradigma sejak abad pencerahan hingga era globalisasi, terdapat empat paradigma ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan. Empat paradigma tersebut adalah “Positivism, Post-positivism (yang kemudian dikenal sebagai Classical Paradigm atau Conventionalism Paradigm), Critical Theory (realisme) dan Constructivism”.34 Perbedaan dari keempat paradigma tersebut dapat dilihat dari cara pandang masing-masing terhadap realitas yang digunakan dan cara yang
ditempuh
untuk
melakukan
pengembangan
penemuan
ilmu
pengetahuan. Tabel 4. Tiga Paradigma Ilmu Sosial Positivisme dan Postpositivisme
Konstruktivisme
Menempatkan ilmu sosial seperti ilmu-ilmu alam dan fisika, dan sebagai metode yang terorganisir untuk menyatukan deductive logic dengan pengamatan empiris, agar mendapatkan konfirmasi tentang hukum kausalitas yang dapat digunakan untuk memprediksi pola
Memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action, melalui pengamatan langsung terhadap pelaku sosial dalam setting yang alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana pelaku sosial yang
Teori Kritis
(Interpretatif) Mentakrifkan ilmu sosial sebagai proses kritis mengungkap “the real structure” dibalik ilusi dan kebutuhan palsu yang ditampakkan dunia materi, guna mengembangkan kesadaran sosial untuk memperbaiki kondisi kehidupan subjek
34
J. Moleong, Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remadja Rosdakarya, Bandung, 2006. Hal. 68
40
umum tertentu.
gejala
sosial bersangkutan menciptakan penelitian. dan memelihara dunia sosial.
(Moleong, 2006:72). Dalam ilmu sosial, critical theory atau konstruktivisme mendapat tempat yang lebih pas. Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan paradigma penelitian konstruktivisme. “Aliran konstruktivisme menyatakan bahwa realitas itu ada dalam beragam bentuk konstruksi mental yang didasarkan pada pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik, serta tergantung pada pihak yang melakukannya”. 35 Karena itu, realitas yang diamati oleh seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang sebagaimana yang biasa dilakukan dikalangan positivis atau post-positivis. “Dalam paradigma ini, hubungan antara pengamat dan objek merupakan satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi antara keduanya”. 36 Atas dasar pengertian itulah maka penulis menggunakan paradigma konstruktivis. Karena dalam penelitian ini penulis lebih banyak menggunakan nalar dan dalam memberikan penjelasan tentang makna dan
J. Moleong, Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remadja Rosdakarya, Bandung, 2006. Hal. 69
35 36
J. Moleong, Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remadja Rosdakarya, Bandung, 2006. Hal. 71
41
tanda dalam iklan yang diteliti, penulis juga melihat kepada beberapa teoriteori dari para ahli yang diterapkan untuk memecahkan makna simbol dan tanda yang terdapat dalam visual iklan es krim Haagen-Dazs versi “Waiting Only Makes It Sweeter” ini.
3.2.
Metode Penelitian Varian dari metode penelitian kualitatif yang digunakan adalah analisis semiotika Ferdinand de Saussure. Semiotika merupakan studi tentang memahami
sederetan
luas
objek-objek,
peristiwa-peristiwa,
seluruh
kebudayaan sebagai kumpulan tanda (text) dan mempelajari bagaimana tanda-tanda tersebut menghasilkan makna. Metode semiotika memfokuskan perhatiannya pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya. Semiotika memiliki tiga bidang studi utama, yaitu tanda itu sendiri, kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda dan kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Saussure lebih memfokusikan perhatiannya pada tanda itu sendiri. Tanda ialah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya (Fiske, 2010:60). Pengertian mengenai tanda tidak bisa terlepas dari salah satu tokoh dalam semiologi yaitu Ferdinand de Saussure. Berawal dari pemikiran Saussure, yang paling penting dalam konteks semiologi adalah pandangannya tentang tanda. “Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier)
42
dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah ‘bunyi yang bermakna’ atau ‘coretan yang bermakna’. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180).37 Peneliti menggunakan analisis semiotika Ferdinand de Saussure. Menurut Saussure tanda terbuat atau terdiri dari: 1.
Bunyi-bunyi dan gambar (sounds and images), disebut sebagai “signifier”.
2.
Konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar (The concepts these sounds and images), disebut “signified” berasal dari kesepakatan.
Oleh karenanya, untuk mengkaji iklan cetak es krim Haagen-Dazs dalam perspektif semiotika, penulis mengkajinya menggunakan sistem tanda pada iklan. Hal ini dianggap tepat sebab iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik yang verbal maupun yang ikon. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, khususnya dalam iklan radio, televisi maupun film. Kajian sistem tanda dalam iklan juga mencakup objek. Objek iklan ialah hal yang ingin diiklankan dengan menggunakan kajian semiotika Saussure.
37
Alex sobur, Semiotika komunikasi , Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009, hal.46
43
3.3.
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri. Peneliti pada penelitian kualitatif bekerja sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir, serta pada akhirnya menjadi pelapor hasil penelitian. 1.
Data Primer Data yang diperoleh dari observasi langsung dari mengamati dan mengkaji
iklan
cetak
es
krim
Haagen-Dazs
pada
majalah
Cosmopolitan tahun 2011. 2.
Data Sekunder Studi Kepustakaan, internet, buku dan dokumentasi dari iklan, website, maupun informasi lain yang mampu membantu penelitian ini dan relevan dengan masalah yang diteliti.
3.4.
Unit Analisa Berdasarkan tipe dan metode penelitian yang telah penulis tetapkan, maka fokus yang akan diamati dalam penelitian ini adalah visualisasi yang lebih mengarah pada display (bentuk tampilan) dan pesan yang terdapat pada: 1.
Gambar Model/Endorser Gambar yang akan diteliti dalam penelitian ini ialah gambar seorang wanita cantik.
44
2.
Tulisan Tulisan yang akan diteliti adalah setiap tulisan yang berhubungan dengan iklan es krim Haagen-Dazs yang berada di majalah Cosmopolitan.
3.
Warna Penggunaan warna dalam iklan Haagen-Dazs juga turut menjadi ulasan yang akan dikaji oleh peneliti. Serta akan dicermati dan dianalisa secara keseluruhan makna yang muncul pada iklan tersebut.
3.5.
Teknik Analisis Data Kode merupakan sistem pengorganisasian tanda. Kode mempunyai sejumlah unit (atau kadang-kadang satu unit) tanda. Cara menginterpretasi pesan-pesan yang tertulis yang tidak mudah dipahami. Jika kode sudah diketahui, makna akan bisa dipahami. Dalam semiotik, kode dipakai untuk merujuk pada struktur perilaku manusia. Budaya dapat dilihat sebagai kumpulan kode-kode. Contoh: Kita tahu kalau menghidangkan steak, maka tidak pernah kita letakkan nasi di sampingnya dan bukan pula kentang rebus, tapi selalu kentang goreng. Saussure merumuskan dua cara pengorganisasian tanda ke dalam kode, yaitu: 1. Paradigmatik
45
Merupakan sekumpulan tanda yang dari dalamnya dipilih satu untuk digunakan. Misalnya, kumpulan bentuk untuk rambu lalu lintas – persegi, lingkaran atau segitiga – merupakan bentukbentuk paradigma, dengan paradigma itu sekumpulan simbol dapat bekerja di dalamnya. Karena itu berlaku sistem seleksi tanda. Artinya, setiap kita berkomunikasi, kita mesti memilih dari sebuah paradigm. Dalam semiotic, paradigmatic digunakan untuk mencari oposisi-oposisi (simbol-simbol) yang ditemukan dalam teks (tanda) yang bisa membantu memberikan makna. Dengan kata lain, bagaimana oposisi-oposisi yang tersembunyi dalam teks menggeneralisasi makna. 2. Sintagmatik Merupakan pesan yang dibangun dari paduan tanda-tanda yang dipilih. Rambu lalu lintas adalah sintagma, yakni paduan dari bentuk-bentuk pilihan dengan simbol pilihan. Dalam bahasa misalnya, kosakata adalah paradigma dan kalimat adalah sintagma. Semua pesan melibatkan seleksi (dari paradigma) dan kombinasi (ke dalam sintagma). Dalam semiotic, sintagma digunakan untuk menginterpretasikan teks (tanda) berdasarkan urutan
kejadian/peristiwa
yang
memberikan
makna
atau
46
bagaimana urutan peristiwa/kejadian menggeneralisasi makna.38
Analisa paradigmatik adalah analisa bahasa yang digunakan untuk
memahami makna kata dengan cara membandingkan kata yang memiliki kemiripan makna, atau justru bertentangan. Hubungan paradigmatik merupakan hubungan di antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan dengan unsur-unsur yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan, hubungan in absentia. Hubungan paradigmatik dapat kita peroleh dengan cara penyulihan atau substitusi atau komutasi.39 Lalu dalam kaitannya dengan sense, Lyons menjelaskan bahwa sense hanya dapat diterangkan dalam konteks sense-relations antara leksem yang satu dengan leksem lain, atau antara ekspresi yang satu dengan ekspresi yang lain dalam sistem bahasa yang sama. Sebagaimana telah dikenal dari de Saussure, relasi itu ada yang bersifat sintagmatik, ada yang bersifat paradigmatic. Berkaitan dengan itu, Lyons menggunakan konsep “relasi kombinatorial” (sintagmatik) dan konsep “relasi substitusional” untuk menentukan makna sebuah leksem. Demikianlah, misalnya makna leksem baru harus dikaji kemungkinan berkombinasinya secara sintagmatik dengan leksem-leksem lain.40 38
Rachmat Kriyantono, Teknis Praktis Riset Komunikasi, Jakarta, 2006, Hal. 270
39
Untung Yuwono, Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, Jakarta, 2010, Hal. 203
40
Hasan Alwi, Telaah Bahasa dan Sastra, Jakarta, 2002, Hal. 114
47