32
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Kerangka Berfikir Sebagai bagian dari sistem tata air, situ merupakan subsistem terbuka,
secara de jure situ merupakan milik negara (state property) dan cenderung merupakan sumberdaya bersama sehingga berpotensi mengalami “the tragedy of the common”. Faktanya, secara de facto kebanyakan situ yang ada terjebak pada kepemilikan yang terbuka (open access) sehingga tidak jelas mekanisme kelembagaannya.
Hal ini menyebabkan terjadi permasalahan seperti: kondisi
rusak, pendangkalan, tercemar berat dan hilang sama sekali tergantikan oleh pemanfaatan yang lain.
Jika dilihat dari permasalahan yang ada maka
penyebabnya diprediksi karena pengelolaan (kelembagaan) dan penataan kawasan sekitar situ yang tidak jelas arahnya. Permasalahan penataan kawasan terkait dengan (1) Perencananaan, (2) Pemanfaatan dan (3) Pengendalian.
Sedangkan permasalahan kelembagaan
terkait dengan (1) Batas yurisdiksi, (2) Property right dan (3) Aturan representasi. Batas yurisdiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam kelembagaan. Konsep ini dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga. Property right mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat, tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya.
Aturan representasi mengatur siapa yang berhak
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Permasalahan kelembagaan dan penataan kawasan ini kemudian ditentukan oleh karakteristik fisik lingkungan (dalam hal ini karakteristik situ), karakteristik pemangku kepentingan yang ada, desain kelembagaan, dan faktor lainnya. Skema pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
33
Gambar 2. Kerangka Berfikir
3.2
Kerangka Pendekatan Operasional Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data-data sekunder,
yaitu berupa data-data serial perkembangan situ sekurangnya dalam 20 tahun terakhir. Data ini dibutuhkan untuk melihat perubahan penggunaan lahan dan pelaku perubahan. Sedangkan data primer digunakan untuk melihat faktual fisik situ sekarang dan melihat persepsi para pemangku kepentingan dalam melihat fungsi situ dan sistem pengelolaan yang dianggap baik untuk diimplementasikan. Data primer juga digunakan untuk melihat faktor-faktor yang dominan yang mempengaruhi pengelolaan situ selama ini. Untuk melihat keterkaitan antara tujuan penelitian, analisis dan parameter yang digunakan, maka data yang dibutuhkan dan output penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
34
Tabel 7. Tujuan, Analisis, Data dan Ouput Penelitian Tujuan Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas situ
Mengetahui pemahaman stakeholder terhadap pengelolaan situ Mengidentifikasi mekanisme kelembagaan pengelolaan situ
3.3.
Analisis Analisis Peta dan data statistik, Data dokumen diolah dengan Analisis Burt karena data kelembagaan bersifat katagorial/ kualitatif Analysis Hierarchy Process (AHP) yang merupakan salah satu alat untuk menganalisa proses kebijakan Deskriptif eksploratif dari hasil wawancara mendalam
Data Kondisi situ Faktor penjelas (39 sampel situ)
Output Teridentifikasinya faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi situ
Persepsi pemangku kepentingan terhadap pengelolaan situ (26 responden) Empiris Lapangan (6 lokasi observasi)
Karakteristik proses kelembagaan pengelolaan situ
Eksplorasi karakteristik tata laksana pengelolaan situ
Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilakukan di Jakarta dengan melibatkan beberapa
stakeholders kunci yang mempunyai kewenangan formal dan kepentingan dalam pengelolaan situ di wilayah DKI Jakarta. Penelitian dilakukan selama dua bulan yaitu bulan Februari sampai dengan Maret tahun 2011.
3.4.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara
menggunakan kuesioner yang telah disiapkan, pengamatan langsung (observasi) dan pengumpulan data sekunder. Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan dan analisis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan.
Selain itu,
pengumpulan data sekunder juga dilakukan melalui analisis dan telaah terhadap kebijakan-kebijakan maupun profil yang berhubungan dengan keragaan situ.
35
Pengumpulan Data Primer Tujuan pengumpulan data primer adalah untuk memperoleh data empiris secara langsung dari pihak-pihak terkait
Pengumpulan data primer
dilakukan dengan dua metode: a.
Metode Kuantitatif, yaitu pengumpulan data yang melibatkan 26 responden stakeholders (pemangku kepentingan) yang terpilih untuk Analysis Hierarchy Process (AHP) melalui wawancara terstruktur dengan kuesioner.
b.
Metode Kualitatif, melalui wawancara mendalam dengan responden terkait serta obsevasi. Secara ringkas jenis data dan metode pengumpulnya dapat dilihat pada
Tabel 8.
Tabel 8. Jenis Data dan Metode Pengumpulannya No
Sumber Data
Parameter
Jenis Data
A. Data Sekunder 1. 2.
Peta rencana Data statistik
Rencana peruntukan
DS DS
Data pendukung Karakteristik situ
DS DS
-
W
- Jakarta Dalam Angka (JDA) - Laporan penelitian terkait Inventarisasi situ oleh BBSCC, DTR, DPU, BPLHD Prov. DKI Jakarta
3
B. Data Primer Kuesioner AHP
1.
Observasi
2.
Persepsi stakeholders Kondisi fisik Lokasi
W,O
Kelembagaan
Keterangan : DS = Data Sekunder; O=Observasi/pengamatan; W= Wawancara
3.5.
Penentuan Sampel dan Responden Berdasarkan data registrasi, jumlah situ di Wilayah Provinsi DKI
Jakarta berbeda satu sama lain tergantung kepada instansi pengumpul data. Berdasarkan versi Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, jumlah situ sebanyak 27 buah, sedangkan menurut Dinas Tata Kota DKI Jakarta sebanyak 14 buah dan
36
menurut Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta sebanyak 28 buah.
Pencatatan oleh pemerintah pusat cq Kementrian
Pekerjaan Umum juga mengalami kerancuan. Data registrasi situ menyebutkan jumlah sebanyak 18 buah, sementara data sensus menyebutkan jumlah sebanyak 149 buah, karena berdasarkan kondisi lapangan dengan pertimbangan tertentu. BPLHD misalnya menentukan jumlah situ lebih pada aspek pencemaran, sedangkan pemerintah pusat lebih menekankan pada situ yang berada pada aliran sungai Ciliwung Cisadane. Situ yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu kawasan genangan air, baik air permukaan ataupun resapan air yang terbentuk alami dan terdaftar di salah satu sumber yang tersebut di atas. Oleh karena itu dari sekian banyak data dari aneka sumber tersebut akhirnya diperoleh sampel yang diambil adalah sebanyak 39 situ yang diharapkan dapat memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai keragaman permasalahan yang dihadapi, khususnya di Wilayah DKI Jakarta.
Untuk lebih jelasnya mengenai proses
penentuan dan kondisi 39 situ tersebut dapat dilihat pada bagian lampiran. Untuk
mengetahui
persepsi
pemangku
kepentingan
terhadap
pengelolaan situ digunakan Analysis Hierarchy Process dengan melakukan penyebaran kuesioner terhadap 26 responden yang mewakili instansi berikut ini: 1. Bappenas 2. Ditjen SDA Kementrian PU 3. Dinas PU DKI Jakarta 4. BPLHD DKI Jakarta 5. Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) 6. Dinas Pariwisata DKI Jakarta 7. Pengusaha Pariwisata 8. Bank Dunia 9. Profesional (Konsultan, Pakar, Masyarakat Pemerhati)
37
Metode yang digunakan berikutnya adalah wawancara mendalam dan observasi. Menurut Moleong (1994), Metode ini biasanya digunakan untuk untuk memperoleh infomasi tentang pengalaman, pendapat, perasaan, dan hal-hal subyektif lainnya dari informan, yang berkaitan dengan topik dan tujuan penelitian. Kriteria pemilihan informan tersebut disesuaikan dengan topik dan tujuan yang ingin dicapai.
Informan untuk diwawancarai dipilih diantara
individu-individu yang diasumsikan atau sudah bisa dipastikan memiliki informasi yang ingin diperoleh. Tidak ada ketentuan baku dalam menentukan jumlah informan. Jumlah informan tergantung kepada tujuan penelitian, kuantitas dan
kualitas
informasi
yang
dibutuhkan,
kapasitas
informan
serta
varian/keragaman latar belakang informan (untuk membandingkan informasi antar informan agar semakin memperkaya informasi itu sendiri). Kekuatan informasi hasil wawancara terletak pada tingkat kepercayaan masyarakat umum terhadap kebenaran dan kenyataan yang digambarkan dari informasi tersebut. Metode ini dinilai tepat digunakan untuk mengetahui makna yang tersembunyi. Data yang diperoleh dari wawancara mendalam dan obervasi diolah dan dideskripsikan dengan penguraian yang logis. Metode penentuan sample adalah purposive sampling yaitu bagian dari pengambilan sampling non probabilitas (Non probability). Asumsinya penulis mengetahui atau memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang ingin diteliti dan objek penelitian adalah objek yang tidak secara umum dianggap homogen (general). Metode ini juga berpengaruh pada teknik pengambilan responden yang akan diwawancarai, karena terkait dengan pengetahuan responden mengenai objek penelitian. Oleh sebab itu reponden yang dipilih adalah responden yang memiliki kedekatan dengan objek penelitian. Untuk masyarakat awam kedekatan yang dimaksud adalah pengguna atau orang yang terkena dampak langsung dari perubahan pemanfaatan lahan di sekitar situ. Sedangkan untuk tokoh masyarakat dipilih karena dianggap memiliki pengetahuan mengenai kelembagaan situ. Untuk keperluan tersebut di atas maka situ yang akan dijadikan sampel adalah situ yang dapat mewakili kondisi bagus, sedang dan buruk, dengan rincian dapat dilihat pada Tabel 9.
38
Tabel 9. Sampel Situ Terpilih untuk Observasi Kategori Situ dengan kondisi bagus
Nama Situ Babakan
Situ Lembang Situ dengan kondisi sedang
Situ dengan kondisi buruk
Situ Rawa Dongkal (Cibubur Indah) Situ Pengilingan/ Aneka Elok Situ Rawa Badung Situ Rorotan
Lokasi Ukuran Srengseng 32 ha Sawah, Jagakarsa, Jaksel Gondangdia, 1 ha Menteng, Jakpus Cibubur, 12 ha Ciracas Jakarta Timur
Fungsi Konservasi, rekreasi, ekonomi
Keterangan Rutin
Konservasi, rekreasi
Rutin
Konservasi
Rutin
Perum Aneka Elok, Penggilingan Jatinegara, Cakung
5,8 ha
Konservasi
Insidentil/ tidak terawat
2,5 ha
Konservasi
Rorotan, Jakut
25 ha
Konservasi, rekreasi (dalam perencanaan)
Diserobot masyarakat, pendangkalan Proses pembenahan
3.6. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
3.6.1. Analisis Korespondensi – Tabel Burt Analisis Korespondensi – Tabel Burt digunakan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas situ. Analisis ini ekuivalen dengan Analisis Kuantifikasi Hayashi II1 yang banyak digunakan di Jepang, karena sulitnya memperoleh software Analisis Kuantifikasi Hayashi II maka dalam pengolahan data digunakan Analisis Korespondensi – Tabel Burt yang banyak digunakan di Perancis. Selain itu pemilihan model Analisis ini didasarkan pada kemampuan model terhadap hasil penelitian yang memiliki banyak variabel 1
Hasil konsultasi pribadi dengan Dr. Ir. HR. Sunsun Saefulhakim pada tanggal 30 Mei 2011
39
penjelas, dengan model ini dapat dilihat variabel penjelas mana yang paling mempengaruhi kualitas situ. Berdasarkan
Benzérci
(1973)
web
book
statistic
Analisis
Korespondensi – Tabel Burt bertujuan untuk menduga parameter keterkaitan antara variabel-variabel penjelas dengan satu tujuan tertentu yang bersifat pengelompokkan. Analisis ini dapat digunakan untuk mengukur faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kondisi situ. Variabel-variabel yang digunakan adalah variabel kualitas situ, variabel-variabel kelembagaan dan variabel-variabel non kelembagaan. Masing-masing variabel penjelas diukur dalam data yang bersifat kategorikal (nominal dan atau ordinal). Model analisis untuk kondisi situ dapat dituliskan sebagai berikut : Y = f ( X 1,, X 2 , X 3 , X 4, X 5 , X 6 , X 7 , X8 )
Variabel yang digunakan adalah : Y = Variabel kondisi situ dengan kategori : 1. Buruk 2. Sedang 3. Bagus X1 = Kestabilan dengan kategori : 1. Tidak stabil 2. Stabil X2 = Ukuran dengan kategori : 1. Kecil 2. Sedang 3. Besar X3 = Pola sifat lingkungan dengan kategori : 1. Tidak tertata 2. Tertata X4 = Interaksi (ketergantungan) dengan kategori : 1. Kecil 2. Sedang 3. Tinggi X5 = Tingkat pemanfaatan dengan kategori : 1. Minimal 2. Sedang 3. Optimal
40
X6 = Pengelola Situ dengan kategori : 1. Lainnya 2. Pemda 3. Pemerintah Pusat X7 = Peraturan dengan kategori : 1. Tidak ada 2. Ada X8 = Dana pengelolaan situ dengan kategori : 1. Tidak cukup 2. Cukup Jika ditabulasikan maka model analisis dapat digambarkan sebagai berikut.
Tabel 10. Variabel Kategorial Kondisi Situ Variabel Y = Kondisi situ
Kategori Bagus
Sedang Jelek X1 = Kestabilan
Stabil Tidak stabil
X2 = Ukuran (ha)
X3 = Pola sifat lingkungan
Kecil Sedang Besar Tertata Tidak Tertata
X4 = Interaksi (ketergantungan)
Kecil Sedang
Tinggi
Keterangan Kondisi air situ tidak tercemar dan badan situ bagus, batasnya jelas dan pengelolaanya bagus Kondisi situ berada di tengah-tengah antara kondisi bagus dan jelek Kondisi air situ tercemar dan badan situ tidak terawat, batasnya tidak jelas dan pengelolaanya tidak bagus Luas situ dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan Luas situ dari tahun ke tahun mengalami perubahan (penyempitan) 0–5 5 – 15 > 15 Memiliki lansekap yang fungsional dan estetika Pemanfaatan tumpang tindih dan mengabaikan estetika Terletak di daerah non permukiman dan dikuasai oleh sebuah otoritas Terletak di permukiman penduduk, dikuasai dan digunakan oleh kalangan tertentu Terletak di permukiman penduduk, dikuasai dan digunakan oleh banyak pihak
41
Variabel X5 = Tingkat pemanfaatan
X6 = Pengelola situ
X7 = Peraturan
Kategori Optimal
Sedang Minimal Pemerintah pusat Pemerintah daerah Lainnya Ada
Tidak X8 = Dana pengelolaan situ
Cukup Tidak cukup
Keterangan Memiliki tiga fungi utama (1) Konservasi (pengendali banjir dan resapan tampungan), (2) Bermanfaat secara sosial (pariwisata) dan ekonomi (3) Tidak ada daya rusak Hanya 2 fungsi saja Hanya 1 fungsi saja Pemerintah pusat Pemerintah daerah Perguruan tinggi, swasta, Ada peraturan yang melindungi keberlangsungan situ baik melalui SK Gubernur maupun lainnya Tidak ada peraturan yang melindungi keberlangsungan situ Dana pengelolaan mencukupi untuk mengelola situ Dana pengelolaan tidak mencukupi untuk mengelola situ
Adapun tahapan Analisis Korespondensi – Tabel Burt adalah: 1. Tahap 1, Skor (Koordinat Dimensi 1) Tujuan dari analisis korespondensi adalah untuk mereproduksi jarak antar baris dan titik-titik kolom dalam sebuah tabel dua arah dalam tampilan yang lebih rendah-dimensi. Data yang diperoleh kemudian diberi skor setiap kategori dari tiap variabel kategorial Y, yakni variabel X1 sampai X8 2. Tahap 2, Proses Subtitusi Tabel data variabel kategorial Y, X1 sampai X8 untuk 39 situ diubah menjadi Tabel Skor variabel kategorial X1 sampai X8 untuk 39 situ 3. Tahap 3, Multikorelasi Dari Tabel skor variabel kategorial X1 sampai X8 untuk 39 situ kemudian dilakukan Analisis Korelasi antar varibel X1 sampai X8.
Multikorelasi
ditunjukkan dengan matriks korelasi antar varibael X1 sampai X8.
42
4. Tahap 4, Analisis PCA Langkah selanjutnya adalah mentranformasi menjadi variabel ortogonal dengan Analisis Faktor Metode Ekstrasi PCA dan Rotasi Varimaks Normal. Dalam statistika, PCA (Principal Component Analysis) adalah teknik yang digunakan untuk menyederhanakan suatu data, dengan cara mentransformasi data secara linier sehingga terbentuk sistem koordinat baru dengan varians maksimum.
Prosedur PCA pada dasarnya adalah bertujuan untuk
menyederhanakan
variabel
(mereduksi) dimensinya.
yang
diamati
dengan
cara
menyusutkan
Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan
korelasi diantara variabel bebas melalui transformasi variabel bebas asal ke variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa disebut dengan principal component. 5. Tahap 5, Analisis Regresi Berganda Selanjutnya dengan menggunakan Analis Regresi Berganda diperoleh hasil uji nyata terhadap nilai penduga parameter koefisien keterkaitan ini menunjukkan variabel-variabel penjelas mana saja yang paling nyata (significant) kaitannya dengan variabel pengelompokkan tersebut. Analis Regresi merupakan suatu metode analisis statistik yang mempelajari pola hubungan antara dua atau lebih variabel. Pada kenyataan sehari-hari sering dijumpai sebuah kejadian dipengaruhi oleh lebih dari satu variabel, oleh karenanya dikembangkanlah analisis regresi berganda dengan model : Y = β + β + β + + β +ε p p Y X X ... X 0 1 1 2 2
43
Secara ringkas Prosedur Analisis Korespondensi – Tabel Burt dapat dilihat pada Gambar 3. 1 Analisis Multiple Regression Y=f(F1...F3)
Hasil Akhir Analisis
Parameter Model Y=f(F1...F3) Tabel Loading: Korelasi antara F1...F3 dengan Variabel X1...X8
Tabel Data Variabel Kategorial Y, X1…X8 untuk 39 situ
5
Tabel Skor Variabel Ortogonal (Faktor) F1…F8 untuk 39 situ
4 Transformasi Variabel X1...X8 Menjadi Variabel Ortogonal dengan Analisis Faktor Metode Ekstraksi PCA dan Rotasi Varimaks Normal
2
Tabel Skor Variabel Kategorial Y untuk 39 situ Cek 3 Multikolinearitas dengan Analisis Korelasi antar Variabel X1...X8
Proses Substitusi
Multiple Correspondence Analysis (Hayashi II)
Skor (Koordinat Dimensi 1) Tiap Kategori dari Tiap Variabel Kategorkal Y, X1…X8
Tabel Skor Variabel Kategorial X1…X8 untuk 39 situ
Multikolineaitas Ditunjukkan dengan Matriks Korelasi antar Variabel X1...X8
Gambar 3. Prosedur Analisis Burt
3.6.2. Analisis Pemahaman dan Pemanfaatan Situ oleh Stakeholders AHP (Analysis Hierarchy Process) Analisis terhadap pemahaman (persepsi) stakeholders di sekitar situ dilakukan dengan menggunakan analisis proses hirarki (AHP). Metode dan Teori AHP menurut Mahi (1991) mensyaratkan penggunaannya untuk tidak keluar dari beberapa aturan baku yang sederhana.
Beberapa aturan yang dibuat ini
dimaksudkan untuk mempermudah proses analisanya. Dalam hal pengukuran, AHP menggunakan kebiasaan prilaku manusia dalam melakukan pengukuran sederhana, yaitu dengan menggunakan perbandingan. Asas perbandingan sering digunakan sebagai metode ukur instrumen input nantinya.
Membandingkan
merupakan proses perhitungan paling mudah yang mampu dilakukan manusia. Dalam membandingkan dua objek w1 dan w2, manusia secara otomatis akan membentuk suatu skala rasio antara w1 dan w2 atau w1/w2. Bentuk rasio inilah
44
yang menjadi input dasar model AHP yang sekaligus menyatakan persepsi seseorang dalam menghadapi suatu masalah pengambilan keputusan. Karena otak manusia ada batasnya, maka skala rasio ini juga memiliki batas tertentu. Model AHP menggunakan batas 1 hingga 9 yang dianggap cukup mewakili persepsi manusia. Adanya suatu standar atau batasan tertentu dalam skala ini didasarkan beberapa alasan. Pertama, perbedaan hal-hal yang kualitatif akan mempunyai arti dan dapat dijamin keakuratannya apabila dibandingkan dalam besaran yang sama dan jelas.
Alasan kedua adalah, secara umum seseorang dapat menyatakan
perbedaan hal-hal kualitatif dalam lima istilah umum yaitu: sama, lemah, kuat, sangat kuat dan absolut. Komprominya sendiri dapat dibuat dengan penilaian yang lebih detail dan akurat diantara masing-masing nilai ukur tersebut. Keduanya membentuk sembilan nilai yang berurutan untuk menyatakan sifat manusia secara jelas dan tepat. Kesimpulan ini diperkuat lagi dengan pendapat yang menyatakan bahwa sikap seseorang terhadap suatu permasalahan kualitatif secara garis besar terbagi tiga: menerima, sama saja (indifferent) dan menolak. Setiap klasifikasi tersebut kemudian dibagi tiga lagi untuk menentukan klasifikasi yang lebih jelas yaitu: rendah, sedang dan tinggi. Dua orang yang dihadapkan dengan suatu permasalahan, mungkin akan memberikan reaksi menolak, tetapi belum tentu derajat penolakannya sama. Satu orang mungkin menolak keras (tinggi) sedangkan yang satunya lagi menolak biasa saja (sedang). Dengan dasar tiga klasifikasi utama yang dipecah masing-masing menjadi subklasifikasi maka secara keseluruhaan jelas ada sembilan tingkat persepsi manusia. Alasan ketiga didasarkan pada penelitian Miller (1956) dalam Mahi (1991)
menyimpulkan
bahwa
manusia
tidak
dapat
secara
simultan
membandingkan lebih dari tujuh objek (tambah atau kurang dua). Pada kondisi tersebut
manusia
akan
kehilangan
konsistensinya
dalam
melakukan
pembandingan. Pada umumnya manusia mampu membandingkan paling sedikit lima eleman secara konsisten.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka
disusunlah suatu bentuk skala perbandingan antara dua objek yang dianggap umum seperti di bawah ini.
45
Tabel 11. Skala Perbandingan antara Dua Objek 1 3
Equal Importance (sama pentingnya) Moderate Importance of One Over Another (relatif penting satu dengan lainnya) 5 Strong or Essential Importance (kuat atau cukup penting) 7 Very Strong or Demostrated Importance (sangat kuat atau menunjukan kepentingannnya) 9 Extremely Importance (sangat penting) 2,4,6,8 Nilai antara untuk menilai kebalikannya Atau dengan model pengamatan sederhana lainnya, intervel penilaian akan nampak seperti berikut: 1
Sangat tidak penting
2
3
Kurang penting
4
5
Sedang
6
7
8
Penting
9
Sangat penting
Dalam model AHP, langkah selanjutnya yang harus ditempuh adalah membuat matriks perbandingan (pair wise comparation). Cara ini digunakan untuk mengetahui elemen mana yang paling disukai atau paling penting setelah nilai persepsi dimasukkan untuk setiap perbandingan antara elemen-elemen yang berada dalam satu tingkatan. Bentuk matriknya adalah simetris atau biasa disebut dengan matriks bujursangkar. Apabila ada tiga elemen yang diperbandingkan dalam satu tingkatan maka matriksnya akan berbentuk 3 x 3. Ciri utama dari matriks perbandingan yang dipakai AHP adalah elemen diagonalnya dari kiri atas ke kanan bawah adalah satu karena yang diperbandingkan adalah dua elemen yang sama. Selain itu matriks yang terbentuk akan bersifat matriks resiprokal dimana elemen A lebih disukai dengan skala 3 dibandingkan elemen B, maka dengan sendirinya elemen B lebih disukai dengan skala 1/3 dibanding A. Dengan dasar kondisi-kondisi di atas dan skala standar input AHP dari 1 hingga 9, maka dalam matriks perbandingan terseebut angka terendah yang mungkin terjadi adalah 1/9, sedangkan angka tertinggi yang mungkin terjadi adalah 9/1.
46
Untuk mengukur bobot prioritas sebagai langkah selanjutnya tidaklah terlalu sulit. Saat ini telah dikembangkan program komputer perhitungan AHP yang mudah dan cepat. Hasil akhir dari perhitungan bobot prioritas tersebut merupakan suatu bilangan desimal dibawah satu (misalnya 0,01 sampai 0,99) dengan prioritas untuk elemen-elemen dalam satu kelompok sama dengan satu.
Konsistensi dalam AHP Hal yang menarik dari model AHP adalah tidak adanya syarat konsistensi mutlak.
Dasar dari teori utilitas manusia berangkat dari konsep
‘transitivity` dimana konsistensi 100% merupakan syarat mutlak. Apabila A lebih disukai daripada B dan B lebih disukai dari pada C maka sudah pasti A lebih disukai dari C.
Pada kenyataannya, prinsip ini tidak dapat berlangsung
sepenuhnya pada praktek kehidupan sehari-hari. daripada A.
Dapat saja C lebih disukai
Hal ini lebih banyak karena faktor-faktor non eksak yang ikut
berperan didalamnya dan adanya persepsi dalam fikir manusia itu sendiri. Pengukuran konsistensi dalam model AHP dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah mengukur konsistensi setiap matriks perbandingan dan tahap kedua mengukur konsistensi keseluruhan hirarki. Pengukuran konsistensi matriks itu sendiri didasarkan atas suatu eigenvalue maksimum.
Dengan eigenvalue
maksimum, inskonsistensi yang biasa dihasilkan matriks perbandingan dapat diminimumkan.
Penyusunan modal AHP Dalam model AHP dikenal adanya aksioma-aksioma yang dalam pengertiannya merupakan sesuatu yang tidak dapat dibantah kebenarannya atau pasti terjadi. Misalnya, dalam ilmu ukur dikenal aksioma bahwa diantara dua titik hanya dapat dilewati sebuah garis lurus, atau matahari terbit di timur dan tenggelam di barat. Dalam model AHP ada empat buah aksioma yang harus diperhatikan. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan tidak validnya model yang dipakai yaitu :
47
Aksioma 1:
Reciprocal Comparison Pengambilan keputusan harus dapat membuat perbandingan dan menyatakan preferensinya. Preferensi itu sendiri harus memenuhi syarat resiprokal, yaitu kalau A lebih disukai dari B dengan skala x, maka B lebih disukai dari A dengan skala 1/x
Aksioma 2:
Homogenity Preferensi seseorang harus dapat dinyatakan skala terbatas atau dengan kata lain elemen-elemennya dapat dibandingkan satu sama lain.
Kalau aksioma ini dipenuhi maka elemen-elemen yang
diperbandingkan tersebut tidak homogen dan baru dibentuk suatu ‘cluster’ (kelompok elemen-elemen baru). Aksioma 3:
Independence Preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada, objektif secara keseluruhan.
melainkan oleh
Ini menunjukan bahwa pola
ketergantungan atau pengaruh dalam model AHP adalah searah ke atas.
Artinya perbandingan antara elemen-elemen dalam satu
tingkatan dipengaruhi atau tergantung oleh elemen-elemen dalam tingkatan di atasnya. Aksioma 4:
Expectation Tujuan pengambilan keputusan dalam struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka pengembilan keputusan tidak memakai seluruh kriteria dan atau objektif yang tersedia aau diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap.
Secara sederhana penggunaan model AHP akan mengikuti beberapa aktivitas seperti berikut ini: a.
Identifikasi Sistem Identifikasi dimaksudkan untuk mencari faktor-faktor yang berpengaruh pada kondisi dalam penelitian ini. Dari seluruh faktor yang teridentifikasi, dipilih
48
beberapa faktor yang dominan. Prosesnya sendiri dilakukan dengan beberapa stakeholder yang terlibat dalam proyek ini. b.
Penyusunan Hirarki Merupakan tahapan vital dari keseluruhan proses AHP, oleh karena itu dalam penyusunan harus benar-benar memberikan gambaran menyeluruh dari semua aspek yang dianalisis untuk dijadikan pedoman dalam penarikan kesimpulan. Pada prinsipnya penyusunan hirarki adalah untuk mengubah gambaran yang didapatkan pada identifikasi sistem ke dalam bentuk hirarki sesuai kaidah-kaidah AHP.
c.
Penyusunan Kuesioner Kuesioner dibuat berdasarkan hirarki yang telah disusun. Responden yang dipilih adalah responden yang ahli dalam bidang penelitian ini. Responden diminta untuk membandingkan setiap elemen dalam setiap tingkatan pada masing-masing hirarki. Untuk memudahkan permasalahan, kuesioner dibuat dalam bentuk tabel atau matriks perbandingan.
d.
Penilaian Pendapat Individu Setelah pengisian oleh responden kedalam matriks individu, langkah selanjutnya adalah menilai dari konsistensi kuesioner tersebut agar dapat dituangkan
dalam
penelitian
dan
bila
perlu
dilakukan
perbaikan
jawaban/pendapat dari responden tersebut. e.
Perhitungan Matriks Pendapat Gabungan Seluruh responden yang matriks pendapat individunya konsisten, dicari ratarata geometriknya. Hasil perhitungan ini merupakan pendapat gabungan dari seluruh responden.
Matriks pendapat ini digunakan untuk memperoleh
penilaian secara kelompok terhadap permasalahan yang telah disusun dalam hirarki. f.
Pengolahan Horisontal Dilakukan untuk mencari nilai prioritas dalam setiap tingkatan hirarki. Nilai ini menunjukan bobot kepentingan setiap elemen pada suatu tingkatan terhadap elemen-elemen pada tingkatan diatasnya.
49
g.
Pengolahan vertikal Pengolahan ini dimaksudkan untuk mancari prioritas menyeluruh dari setiap tingkatan hirarki terhadap fokus hirarki. Nilai ini diperoleh melalui perkalian setiap vektor prioritas pada setiap tingkatan dengan vektor prioritas menyeluruh pada tingkatan di atasnya.
Secara umum tahapan pengambilan keputusan dengan metode AHP adalah sebagai berikut:
Mulai
Pengolahan Vertikal
Identifikasi Sistem Menghitung Vektor Prioritas Pengisian Matriks Pendapat Individu
Selesai Revisi Pendapat
CI :CR memenuhi
Menyusun Matriks Gabungan
Gambar 4. Tahapan Pengambilan Keputusan dengan Metode AHP Sumber : Saaty (1993)
50
Penyusunaan Model AHP Secara garis besar, aplikasi AHP dilakukan dalam dua tahap yaitu: Penyusunan hirarki dan evaluasi hirarki. Penyusunan hirarki yang lazim disebut dekomposisi hirarki memakai tiga proses berurutan dan saling berhubungan yaitu: identifikasi level, definisi konsep dan formulasi pertanyaan. Langkah pertama adalah mengidentifikasi level-level dan elemen-elemen yang akan ditempatkan dalam suatu level yang sama.
Kemudian semua level dan elemen tadi
didefinisikan dan dipakai dalam tahap formulasi pertanyaan. Langkah-langkah ini dianggap penting mengingat dari sinilah validitas dan keampuhan model dapat diuji. Pembentukan hirarki ini sendiri haruslah mencakup hal-hal yang relevan untuk menunjuk masalah yang ada senyata mungkin tetapi tidak terlalu berlebihan sehingga hirarki kehilangan sensitivitasnya terhadap perubahan-perubahan dari elemen. Pembentukan hirarki harus mempertimbangkan lingkungan di sekitar masalah. Selain itu penyusunan hirarki harus mampu mengidentifikasi asosiasi peserta terhadap masalah tersebut. Secara sederhana prosesnya akan nampak seperti dalam bagan berikut ini:
Identifikasi Tingkatan dan Elemen Definisi Konsep Formulasi Pertanyaan
Pengisian Persepsi dan Prioritas Sintesa Konsistensi
Gambar 5. Langkah Penerapan Model AHP Dekomposisi (Penyusunan Hirarki)
51
Proses penyusunan hirarki untuk kepentingan penulisan thesis ini akan disampaikan sebagai berikut: Pertama, mengidentifikasikan tujuan keseluruhan pembuatan hirarki atau yang lazim disebut “goal’ atau ‘ultimate goal’. Kemudian, dilakukan penentuan kriteria-kriteria yang diperlukan atau kira-kira sesuai dengan tujuan keseluruhan.
Kriteria ini terdiri dari syarat-syarat atau
keadaan yang sekiranya dapat menunjang tercapainya sebuah “goal’ dan biasanya masih bersifat umum (general).
Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan
penambahan sub-sub kriteria di bawah setiap kriteria. Sub kriteria merupakan penjabaran lebih detail dari kriteria yang masih bersifat umum tersebut. Terakhir, identifikasi alternatif-alternatif yang akan dievaluasi dibawah sub-sub kriteria. Isinya dapat berupa atribut-atribut kriteria.
Pengelolaan situ optimal
Tujuan Akhir
Tujuan Penataan Kawasan Situ
Proses Penyelenggaraan Penataan Kawasan Situ
Pelaku yang berperan
Konservasi (Pelestarian)
Perencanaan
Pemerintah Pusat
Pendayagunaan (Pemanfaatan)
Pemantauan dan Evaluasi
Pelaksanaan
Pemerintah Daerah
Pengendalian daya rusak
Dunia Usaha
Penegakan Hukum
Masyarakat
Gambar 6. Kerangka AHP
3.6.3. Analisis Kelembagaan yang Mempengaruhi Kualitas Situ Berdasarkan skenario yang dibuat oleh Agrawal (2002) maka analisis kelembagaan adalah sebagai berikut. (1) Faktor Karakteristik Sumberdaya f) Sumberdaya bersifat stabil dan mudah didelineasi g) Eksternalitas negatif dari pemanfaatan sumberdaya relatif kecil
52
h) Tingkat pemanfaatan sumberdaya yang moderat i) Dinamika sumberdaya relatif sudah dipahami dan teridentifikasi (2) Faktor karakteristik pengguna (CPRs appropriators) d) Pengguna-pengguna yang memiliki tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi akan cenderung memiliki kesepakatan-kesepakatan bersama tentang pembatasan-pembatasan penggunaan sumberdaya. e) Pengguna-pengguna yang memiliki saling keterkaitan dan resiprositas dalam rentang waktu yang lama akan mendorong kerjasama dan membangun social capital. f) Heterogenitas pengguna terhadap realitas ekologis yang berlangsung menyusun ulang kesepakatan-kesepakatan yang ada (3) Disain Kelembagaan (Institutional design) Elemen-elemen esensial untuk suksesnya kelembagaan pengelola CPRs ditentukan oleh kemampuan dari CPRs appropriators untuk: d) Berkomunikasi e) Membuat peraturan-peraturan pengelolaan sumberdaya dengan baik f) Menerapkan penalti bagi perilaku pelanggaran aturan (4) Faktor Luar c) Politik (seperti UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air, UU Nomor 26 Tahun 2006 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 24 Tahun 2007 dan UU Nomor 5 tahun 1960). d) Teknologi (aspek teknologi diasumsikan sejalan dengan pemahaman masyarakat tentang perilaku sehat seperti teknologi pembuangan sampah/limbah dan teknologi budidaya yang berkelajutan).
3.6.4. Analisis Perilaku Analisi perilaku dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran mengenai siasat yang dilakukan oleh subyek-subyek yang dalam kerangka hukum melanggar atau mengkonstruksi ulang aturan main.
Analisis perilaku ini
dilakukan dengan cara wawancara mendalam. Pertanyaan yang digali terkait dengan perubahan dalam perilaku dan perubahan yang diharapkan terjadi jika ada
53
perubahan kelembagaan dalam pengelolaan situ.
Analisa perilaku melihat
hubungan-hubungan antara peristiwa (apa yang terjadi, dimana, kapan, siapa yang terlibat dan mengapa), situasi (apa yang paling berharga bagi responden menyangkut berbagai peristiwa) dan konteks (yaitu apa yang diasosiasikan responden sebagai hubungan-hubungan yang bersifat kausal).
Eksplorasi
pertanyaan ini dapat dilakukan dengan metode transek, diagram venn, dan sejarah kawasan. Menyangkut rezim sumberdaya maka akan digali pengetahuan mereka mengenai tipologi rezim sumberdaya dan bagaimana mereka memperlakukan ‘property’ (stock and flow) sesuai dengan rezim sumberdaya.