33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan studi deskriptif-analitik dengan pendekatan cross sectional.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
3.2.2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Januari sampai November 2013 yang meliputi studi kepustakaan, pengajuan judul, pengumpulan data/sampel, pengolahan data dan laporan hasil penelitian.
Tabel 3.1. Waktu pelaksanaan penelitian WAKTU PELAKSANAAN KEGIATAN
JANUARIAPRIL 2013
MEI 2013
AGUSTUS 2013
SEPTEMBEROKTOBER 2013
NOVEMBER 2013
Studi Kepustakaan Pengajuan judul Pengumpulan Data Pengolahan Data Laporan Hasil Penelitian
Universitas Sumatera Utara
34
3.3. Subjek Penelitian 3.3.1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua slaid sitologi KGB yang didiagnosis sebagai metastasis karsinoma nasofaring di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan.
3.3.2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah sediaan sitologi KGB yang sesuai dengan kriteria inklusi dan sesuai dengan besar sampel penelitian.
3.3.3. Besar Sampel Besar sampel yang diperlukan adalah berdasarkan perhitungan dengan melihat proporsi yang digunakan pada penelitian ini sebesar 50% karena belum ada penelitian mengenai tampilan LMP1 pada sediaan sitologi biopsi aspirasi jarum halus pada KGB leher dengan metastasis karsinoma nasofaring. Tingkat kemaknaan yang dipergunakan pada penelitian ini adalah 0,05 dengan interval kepercayaan 95%, sehingga dari tabel Z-score diperoleh Zα=1,96. Perkiraan besarnya sampel penelitian berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus :
Keterangan : n= besar sampel
Universitas Sumatera Utara
35
Zα = tingkat kepercayaan (95%→ Z-score= 1,96) p= proporsi penelitian (50% atau 0,5) q= 1-p d= presisi penelitian, yaitu kesalahanpenelitian yang dapat diterima (20% atau 0,2)
Maka besar sampel pada penelitian ini ditetapkan 34 slaid sitologi metastasis KNF di KGB. 3.3.4. Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan metoda non random sampling dengan teknik consecutive sampling.
3.4. Kriteria Inklusi Dan Eksklusi 3.4.1. Kriteria Inklusi: Yang termasuk kriteria inklusi adalah semua sediaan sitologi biopsi aspirasi jarum halus pada pembesaran KGB leher yang didiagnosis sebagai metastasis KNF. Pewarnaan sediaan sitologi dengan menggunakan Papanicolaou dan dilihat dengan mikroskop cahaya. 3.4.2. Kriteria Eksklusi: 1. Sediaan sitologi dari pembesaran KGB leher bukan sebagai metastasis KNF. 2. Sediaan sitologi dari pembesaran KGB leher sebagai metastasis KNF dengan data klinis yang tidak lengkap.
Universitas Sumatera Utara
36
3. Sediaan sitologi dari pembesaran KGB yang rusak (slaid yang patah, tergores) dan tidak dapat dibaca, jumlah sel yang terlalu sedikit (tidak adekuat), sel- sel yang terlalu menggumpal, serta sediaan yang tidak dapat dipoles dengan imunositokimia LMP1. 3.5. Variabel Penelitian Variabel yang diteliti adalah : a. Variabel bebas adalah LMP1 b. Variabel terikat adalah metastasis KNF pada KGB leher
3.6. Kerangka Operasional SLAID SITOLOGIK DARI KGB LEHER PENDERITA KNF DENGAN PEMBESARAN KGB LEHER YANG DILAKUKAN SIBAJAH (REKAM MEDIK)
METASTASIS KNF
KERATINIZING SQUAMOUS CELL CARCINOMA
NONKERATINIZING CARCINOMA
BASALOID SQUAMOUS CELL CARCINOMA
LMP1 (+) IMUNOSITOKIMIA DENGAN LMP1 LMP1 (-) Gambar 3.1. Skema kerangka operasional
Universitas Sumatera Utara
37
3.7. Definisi Operasional 1. Karsinoma nasofaring adalah tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. 2. Penderita karsinoma nasofaring dengan pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher adalah penderita yang didiagnosis sebagai karsinoma nasofaring berdasarkan gambaran klinis, radiologis maupun patologi anatomi, dan pada pemeriksaan dijumpai pembesaran KGB di leher baik dengan cara melihat (inspeksi) maupun dengan perabaan (palpasi). 3. Sitologi biopsi aspirasi jarum halus (Sibajah) suatu teknik pengambilan sediaan sitologi pada benjolan yang teraba di leher pada saat melakukan palpasi, dengan menggunakan alat pistolet dan spuit 10cc, kemudian dihapuskan ke kaca slaid, difiksasi dengan alkohol 96% kemudian diwarnai dengan hematoksilin dan eosin. 4. Metastasis KNF adalah perluasan karsinoma nasofaring di luar jaringan nasofaring yang didiagnosis dengan pemeriksaan patologi anatomi, perluasan karsinoma ini dapat secara langsung, melalui pembuluh limfe (limfogen) maupun melalui pembuluh darah (hematogen). 5. Keratinizing squamous cell carcinoma adalah jenis karsinoma nasofaring yang pada pemeriksaan mikroskopik menunjukkan adanya diferensiasi dari sel skuamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi, dengan sitoplasma sel yang melimpah mengandung keratin. 6. Nonkeratinizing carcinoma adalah jenis karsinoma nasofaring dengan gambaran mikroskopik tidak menunjukkan keratinisasi.
Universitas Sumatera Utara
38
7. Basaloid squamous cell carcinoma adalah jenis karsinoma nasofaring yang terdiri dari komponen sel-sel basaloid dan sel-sel skuamous. 8. Imunositokimia dengan LMP1 adalah suatu pemeriksaan laboratorium terhadap sediaan Sibajah dengan menggunakan pewarnaan khusus antibodi Latent Membrane Antigen 1 (LMP1) terhadap target protein dalam sel yang berperan sebagai antigen dalam pemeriksaan ini. Hasil pulasan LMP1 adalah tampilan pulasan warna coklat pada membran maupun sitoplasma sel-sel KNF dengan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 400x pada 5 lokasi lapangan pandang yang dinyatakan dengan:
Negatif, bila tidak berhasil menampilkan warna coklat, dimana pada saat proses yang sama kontrol (+) menampilkan warna coklat dengan pewarnaan kromogen DAB.
Positif, bila terlihat tampilan pulasan warna coklat pada membran maupun sitoplasma sel sel-sel KNF dan pada saat yang sama kontrol (+) juga menampilkan warna yang sama.
Yang dinilai pada sediaan ada 2 yaitu : Skor intensitas warna coklat : 0 = negatif +1 = lemah +2 = sedang +3 = kuat Skor kuantitas atau distribusi : banyaknya sel yang positif terwarnai 0 = tidak ada sel yang terwarnai
Universitas Sumatera Utara
39
1 = jumlah sel yang terwarnai 1-10% 2 = jumlah sel yang terwarnai 11-50% 3 = jumlah sel yang terwarnai 51-100% Skor imunoreaktivitas diperoleh dengan menjumlahkan skor intensitas dengan skor kuantitas, dari 0-6. Interpretasi : 0
: negatif
1-3
: ekspresi lemah
4-6
: ekspresi kuat
1-6
: positif (Chen et al, 2010).40
3.8. Prosedur Kerja Data penderita KNF yang mengalami metastasis pada KGB leher yang dilakukan sibajah diambil dari rekam medik Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Berdasarkan data tersebut, diperoleh slaid sitologi, yang kemudian diberi kode untuk diperiksa kembali (review) secara double blind oleh peneliti dibantu oleh dua orang ahli Patologi Anatomi, untuk memisahkan antara keratinizing squamous cell carcinoma, nonkeratinizing carcinoma dan basaloid squamous cell carcinoma (diagnosis berdasarkan pada klasifikasi WHO tahun 2005). Kemudian pada slaid sitologi dilakukan destaining (pelunturan zat warna) dengan merendam slaid ke dalam larutan asid alcohol (HCl 1% dalam alkohol 70% v/v) selama selama 5-10 menit (sampai slaid jernih) sehingga slaid sediaan hapusan siap untuk diwarnai dengan
imunositokimia.
Selanjutnya
dilakukan
prosedur
pewarnaan
Universitas Sumatera Utara
40
imunositokimia dengan LMP1. Tampilan dari LMP1 dievaluasi, ditabulasi dan dibandingkan berdasarkan klasifikasi diagnosis karsinoma nasofaring dan dibuat dalam bentuk tabel. Data tersebut kemudian diolah dan dianalisis secara statistik.
3.8.1. Prosedur pengambilan sampel sitologi dengan sibajah Peralatan yang digunakan adalah pistolet Comeco, disposable spuit 10 ml, ukuran jarum 22-23 G, kapas alkohol dan plesterin penutup luka. a. Kulit didesinfeksi tanpa menggunakan anestesi. Nodul KGB difiksasi dengan jari tangan sambil kulit di atasnya diregangkan. b. Apabila jarum sudah berada di dalam nodul, piston ditarik ke arah proksimal dan tekanan di dalam tabung menjadi negatif dan aspirat mengandung sejumlah sel masuk ke dalam lumen jarum atau tabung suntik. c. Apabila aspirat telah terlihat pada muara jarum pegangan piston dilepaskan sehingga tekanan dalam tabung kembali seperti semula d. Jarum dibebaskan dari tabung suntik, piston ditarik ke arah proksimal, jarum disatukan kembali, sehingga ruangan tabung bertekanan positif. Lalu ujung jarum diletakkan pada kaca objek, piston didorong secara hati-hati dan aspirat diteteskan di atas kaca objek dan dibuat sediaan hapus. Untuk mengosongkan jarum atau tabung, prosedur ini dapat dilakukan berulang-ulang. e. Sediaan hapusan segera direndam dalam alhohol 95% selama 1 menit kemudian dikeringkan di udara.
Universitas Sumatera Utara
41
3.8.2. Prosedur pewarnaan sampel dengan Papanicolaou Pewarnaan menurut Papanicolaou pada penelitian ini menggunakan Papanicolaou Staining Kit produksi Merck, yang terdiri atas pewarnaan Papanicolaou standar berupa Gill 2 Hematoxyllin, EA-50 dan Orange G-6. Zat aktif yang terdapat pada cairan pewarna antara lain: (a) Gill 2 Hematoxillin: Aluminium sulfate
3,3%
Hematoxillin
0,376%
(b) Bluing reagent: Sodium bicarbonate
0,18%
Lithium carbonate
0,85%
(c) Orange-G-6: Orange –G
0,67%
Phosphotungstic acid
0,02%
(d) EA-50: Eosin-Y
0,45%
Phosphotungstic acid
0,2%
Light Green SF Yellowish
0,1%
(e) Shandon Mounting Medium: Methacrylate polymer
Prosedur
30,8%
pewarnaan Papanicolaou dimulai dengan meletakkan slaid
sediaan hapusan pada wadah pertama pada nampan berisi alkohol 95% disebelah tanda panah berkode ”start” yang terletak di pojok kiri bawah nampan. Langkah
Universitas Sumatera Utara
42
selanjutnya dengan mengikuti arah tanda panah sebanyak 18 langkah sebagai berikut: 1. Slaid direndam dalam wadah alkohol 95% selama 1 menit 2. Selanjutnya slaid dicelup dalam wadah alkohol 95% sebanyak 10 kali celupan 3. Selanjutnya slaid dicelup dalam wadah air suling sebanyak 10 kali celupan 4. Selanjutnya slaid direndam dalam larutan Hematoxyllin Gill 2 selama 1 menit 5. Selanjutnya slaid dicelup dalam wadah air suling sebanyak 10 kali celupan 6. Selanjutnya slaid direndam dalam larutan Bluing Reagent selama 1 menit 7. Selanjutnya slaid dicelup dalam wadah air suling sebanyak 10 kali celupan 8. Selanjutnya slaid dicelup dalam wadah alkohol 95% sebanyak 10 kali celupan 9. Selanjutnya slaid direndam dalam larutan Orange-G-6 selama 1 menit 10. Kemudian slaid dicelup dalam wadah alkohol 95% sebanyak 10 kali celupan 11. Selanjutnya slaid dicelup dalam wadah alkohol 95% sebanyak 10 kali celupan 12. Selanjutnya slaid direndam dalam larutan EA-50 selama 1 menit 13. Selanjutnya slaid dicelup dalam wadah alkohol 95% sebanyak 10 kali celupan 14. Selanjutnya slaid dicelup dalam wadah alkohol 95% sebanyak 10 kali celupan
Universitas Sumatera Utara
43
15. Selanjutnya slaid dicelup dalam wadah alkohol 100% sebanyak 10 kali celupan 16. Selanjutnya slaid dicelup dalam wadah alkohol 100% sebanyak 10 kali celupan 17. Selanjutnya slaid dicelup dalam wadah Xylene sebanyak 10 kali celupan 18. Terakhir slaid direndam dalam larutan Xylene selama 1 menit 19. Tutup slaid menggunakan Shandon Mounting Medium.
3.8.3. Prosedur pewarnaan sampel dengan imunositokimia LMP1 Slaid yang telah diwarnai sebelumnya dengan pewarnaan rutin direndam dalam larutan asam alkohol selama 5-10 menit untuk melunturkan warna sehingga preparat/sediaan hapusan siap untuk diwarnai dengan imunositokimia. 1. Destaining (Xylol I, Xylol II, Xylol III)…………………..@ 5 menit 2. Rehidrasi dalam etanol dengan gradasi menurun (Alkohol absolut, alkohol 96%, alkohol 80%, alcohol 70%)…………………@ 4 menit 3. Cuci dengan air mengalir…………………………………….. 5 menit 4. Blocking Endogen Peroksida 0,5% (Methanol 100 ml+ H2O2 1,6 ml)…………………………………………………………..@30 menit 5. Cuci dengan air mengalir……………………………………… 5 menit 6. Masukkan slaid dalam larutan target retrieval untuk pretreatment dengan TRIS-EDTA dan dipanaskan (cook 1-2, microwave… 10 menit. 7. Didinginkan selama ± 30 menit. 8. Cuci dalam PBS ph 7,4………………………………………. 3 menit. 9. Tandai populasi sel dengan Pap pen.
Universitas Sumatera Utara
44
10. Blocking dengan Normal Horse Serum 5%........................... 15 menit 11. Inkubasi dengan antibodi primer (anti-EBV Latent Membrane Protein 1 antibody, ab7502) dalam temperatur kamar……………….. 60 menit 12. Cuci dalam PBS ph 7,4……………………………………….. 3 menit. 13. Teteskan Universal-link………………………………………….. 15 menit. 14. Cuci dalam PBS ph 7,4 ………………………………………. 3 menit. 15. Teteskan Trekavidin-HRP Label…………………………….. 15 menit. 16. Cuci dalam PBS ph 7,4 ………………………………………. 3 menit. 17. Teteskan larutan diaminobenzidine (DAB)+Substrat Buffer, 2-5 menit. 18. Cuci dengan air mengalir……………………………………... 5 menit. 19. Counterstain dengan hematoxylin………………………………… 5 menit. 20. Cuci dengan air mengalir……………………………………… 5 menit 21. Masukkan ke dalam larutan Litium karbonas jenuh (5% dalam akuades)……………………………………………………….. 2 menit. 22. Cuci dengan air mengalir……………………………………… 5 menit 23. Dehidrasi dalam etanol dengan gradasi bertingkat (80%, 96%, absolut, absolut)……………………………………………………@ 5 menit. 24. Clearing (Xylol I, Xylol II, Xylol III)……………………@ 5 menit. 25. Mounting + cover glass 26. Lihat tampilan imunositokimia LMP1 di bawah mikroskop.. .
3.9. Alat dan Bahan Penelitian 3.9.1. Alat-Alat Penelitian Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah : pistolet Cameco, disposable spuit 10 ml, ukuran jarum 22-23G panjang 30-50 mm, kapas alkokol,
Universitas Sumatera Utara
45
inkubator, staining jar, rak kaca objek, kaca objek, rak inkubasi, pensil Diamond, pipet mikro, kertas saring, pengukur waktu, gelas Erlenmeyer, gelas beker, tabung sentrifus 15 ml, microwave, spin master, thermolyte stirrer, entelan, deck glass dan mikroskop cahaya.
3.9.2. Bahan Penelitian a. Slaid sediaan hapusan yang telah didiagnosis dengan pulasan Papanicolaou sebagai metastasis karsinoma nasofaring. b. Pulasan imunositokimia dengan menggunakan metode The EnVision+ Dual Link System kit, teknik pulasan imunositokimia 2 langkah. Antibodi primer yang digunakan adalah anti-EBV Latent Membrane Protein 1 antibody (ab7502), Mouse monoclonal (cs1,cs2,cs3,cs), prediluted, abcan. The EnVision+ Dual Link System kit terdiri dari : 1 botol Dual endogenous enzyme block
(15 ml)
1 botol Labelled polymer-HRP
(15 ml)
1 botol DAB+ Substrat Buffer
(18 ml)
1 botol DAB+ Chromogen
(1 ml)
Larutan PBS pH 7,4: NaCl 87,5 gr + KH2PO4 1,92 gr dalam aquadest 800 ml. Tambahkan dengan Na2HPO42H2O 15,33 gr, aduk sampai larut. Tambahkan aquades sampai satu liter. Bila akan digunakan, harus diencerkan 10X.
Universitas Sumatera Utara
46
Larutan litium karbonas: 50 gr litium karbonas Tambahkan aquades sampai satu liter. Larutan Tris EDTA: Tris (2,422 gr) EDTA (0,744 gr) Tambahkan aquades sampai satu liter. . 3.10. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan adalah hasil pulasan imunositokimia LMP1 terhadap sampel sediaan sitologi dari KGB leher. Untuk penilaian terhadap pulasan imunositokimia LMP1 adalah sebagai berikut : a. Kontrol positif : slaid sediaan karsinoma nasofaring yang telah diketahui positif terhadap LMP1 b. Kontrol negatif: slaid karsinoma nasofaring dengan antibodi primer yang digantikan dengan serum normal. c. Positif : warna coklat yang tertampil pada sitoplasma dan membran sel tumor (KNF)
3.11. Analisa Data Analisa data dilakukan secara komparatif antara tampilan imunositokimia LMP1 pada metastasis KNF leher jenis klasifikasi histologi karsinoma nasofaring yaitu keratizining squamous cell carcinoma dan nonkeratinizing carcinoma dengan menggunakan Fisher’s exact test.
Universitas Sumatera Utara
47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 2.3. Hasil Penelitian Dari seluruh data penderita lesi KGB leher dengan diagnosis metastasis KNF yang tercatat dalam rekam medik Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU tahun 2012-2013, diperoleh 34 kasus yang termasuk dalam kriteria inklusi dalam penelitian ini. Karakteristik subjek penelitian terlihat pada tabel 4.1. Distribusi berdasarkan usia penderita diketahui penderita termuda dengan usia 39 tahun sedangkan penderita tertua berusia 89 tahun. Kelompok usia terbanyak adalah kelompok usia 50-59 tahun yaitu sebanyak 10 orang (29,4%). Penderita KNF terbanyak adalah laki-laki yaitu sebanyak
21 kasus (61,8%),
sedangkan penderita perempuan sebanyak 13 kasus (28,2%). Perbandingan lakilaki terhadap perempuan adalah 21:13. Penderita dengan diameter KGB kurang dari 6 cm sebanyak 28 orang (82,4%) sedangkan penderita dengan ukuran 6 cm atau lebih sebanyak 6 orang (17,6%). Penderita dengan gejala-gejala pembesaran KGB disertai gejala hidung dan telinga (TRIAS I) diperoleh sebanyak 23 orang (67,6%), sedangkan penderita dengan gejala pembesaran KGB disertai gejala intracranial (saraf dan mata), hidung dan telinga (TRIAS II) sebanyak 11 orang (32,4%). Penderita KNF dengan pembesaran KGB tunggal diperoleh sebanyak 25 orang (73,5%) sedangkan dengan pembesaran KGB multipel sebanyak 9 orang (26,5%). Berdasarkan klasifikasi histopatologik WHO jenis yang terbanyak adalah nonkeratinizing carcinoma yaitu sebanyak 31 kasus (91,2%) sedangkan jenis keratinizing squamous cell carcinoma sebanyak 3 kasus (8,8%). Jenis basaloid squamous cell carcinoma tidak dijumpai. Berdasarkan skor imunoreaktivitas
Universitas Sumatera Utara
48
diperoleh tampilan negatif sebanyak 6 kasus (17,6%) dan tampilan positif sebanyak 28 kasus (82,4%) dengan rincian ekspresi lemah sebanyak 8 kasus (23,5%), sedangkan ekspresi kuat sebanyak 20 kasus (58,8%).
Tabel 4.1. Data karakteristik sampel penelitian KARAKTERISTIK
KETERANGAN
JENIS KELAMIN
LAKI-LAKI
21
61,8
PEREMPUAN
13
38,2
TOTAL
34
100
1
2,9
40-49 TAHUN
9
26,5
50-59 TAHUN
10
29,4
60-69 TAHUN
7
20,6
≥ 70 TAHUN
7
20,6
TOTAL
34
100
< 6 CM
28
82,4
≥ 6 CM
6
17,6
TOTAL
34
100
TRIAS I
23
67,6
TRIAS II
11
32,4
TOTAL
34
100
TUNGGAL
25
73,5
MULTIPEL
9
26,5
TOTAL
34
100
UNILATERAL
30
88,2
4
11,8
34
100
3
8,8
31
91,2
UMUR
UKURAN (DIAMETER) KGB
TRIAS
JUMLAH KGB
LATERALISASI
n
< 40 TAHUN
BILATERAL TOTAL KLASIFIKASI
KSCC NONKERATINIZING CARCINOMA
0
0
34
100
NEGATIF
6
17,6
POSITIF
28
82,4
34
100
BSCC
TOTAL SKOR IMUNOREAKTIVITAS
%
TOTAL TRIAS I= KGB membesar, gejala hidung & telinga (+) TRIAS II= : KGB membesar, gejala hidung & telinga, mata & saraf (+) KSCC= Keratinizing squamous cell carcinoma BSCC= Basaloid squamous cell carcinoma
Universitas Sumatera Utara
49
Skor imunoreaktivitas LMP1 pada sampel penelitian dapat dilihat pada tabel 4.2. Dari 34 sampel penelitian diperoleh 6 kasus menunjukkan tampilan yang negatif, 8 kasus menunjukkan ekspresi lemah dan 20 kasus menunjukkan ekspresi yang kuat. Tabel 4.2. Skor imunoreaktivitas LMP1 pada 34 sampel penelitian
KLASIFIKASI WHO
SKOR IMUNOREAKTIVITAS EKSPRESI EKSPRESI NEGATIF LEMAH KUAT
TOTAL
n
%
n
%
n
%
n
%
KERATINIZING SQUAMOUS CELL CARCINOMA
3
50
0
NONKERATINIZING CARCINOMA
3
50
8
TOTAL
6
100
8
0 28,6 28,6
0 20 20
0 71,4 71,4
3 31 34
8,8 91,2 34
Diagram pie distribusi KNF yang bermetastasis ke KGB leher berdasarkan usia dapat dilihat pada gambar 4.1. < 40 thn
>70 thn 40-49 thn
60-69 thn
50-59 thn
Gambar 4.1. Diagram distribusi frekuensi KNF yang bermetastasis ke KGB leher berdasarkan usia penderita
Distribusi KNF yang bermetastasis ke KGB leher berdasarkan lateralisasi KGB disajikan dalam bentuk grafik dapat dilihat pada gambar 4.2.
Universitas Sumatera Utara
50
f r e k u e n s i
Unilateral
Bilateral
Lateralisasi Gambar 4.2. Grafik distribusi frekuensi KNF yang bermetastasis ke KGB leher berdasarkan lateralisasi KGB
Grafik distribusi KNF yang bermetastasis ke KGB leher berdasarkan ukuran KGB dapat dilihat pada gambar 4.3.
f r e k u e n s i
≥ 6CM
< 6CM
UKURAN Gambar 4.3. Grafik distribusi frekuensi KNF yang bermetastasis ke KGB leher berdasarkan ukuran KGB Grafik distribusi KNF yang bermetastasis ke KGB leher berdasarkan jumlah KGB dapat dilihat pada gambar 4.4.
Universitas Sumatera Utara
51
f r e k u e n s i
MULTIPEL
TUNGGAL
JUMLAH KGB Gambar 4.4. Grafik distribusi frekuensi KNF yang bermetastasis ke KGB leher berdasarkan jumlah KGB
Perbandingan skor imunoreaktivitas LMP1 terhadap lateralisasi KGB dapat dilihat pada tabel 4.3. Dari 30 sampel KGB unilateral terdapat 6 sampel dengan tampilan LMP1 yang negatif dan 24 sampel dengan tampilan LMP1 positif. Empat sampel KGB bilateral, seluruhnya dengan tampilan LMP1 positif. Tampilan LMP1 yang negatif seluruhnya diperoleh dari KGB unilateral (100%). Analisa perbandingan dilakukan dengan Fisher’s exact test dengan nilai p=0,441.
Tabel. 4.3. Hubungan skor imunoreaktivitas LMP1 terhadap lateralisasi KGB SKOR IMUNOREAKTIVITAS LMP1 LATERALISASI KGB
UNILATERAL BILATERAL TOTAL
NEGATIF
POSITIF
n
%
n
%
6 0 6
100 0 100
24 4 28
85,7 14,3 100
p*
0,441
* p-value Fisher's exact test
Universitas Sumatera Utara
52
Perbandingan skor imunoreaktivitas LMP1 terhadap ukuran (diameter) KGB dapat dilihat pada tabel 4.4. Seluruh sampel dengan tampilan LMP1 negatif adalah KGB dengan ukuran kurang dari 6 cm (100%), sedangkan tampilan LMP1 positif diperoleh dari seluruh sampel KGB dengan ukuran ≥ 6 cm yaitu sebanyak 6 kasus (21,4%) dan 22 sampel KGB dengan ukuran < 6 cm. Analisa perbandingan dilakukan dengan Fisher’s exact test dengan nilai p=0,280. Tabel 4.4. Hubungan skor imunoreaktivitas LMP1 terhadap ukuran (diameter) KGB SKOR IMUNOREAKTIVITAS LMP1 UKURAN (DIAMETER) KGB
< 6 CM ≥ 6 CM TOTAL
NEGATIF
POSITIF
p*
n
%
n
%
6 0 6
100 0 100
22 6 28
78,6 21,4 100
0,280
* p-value Fisher's exact test
Perbandingan
skor
imunoreaktivitas
LMP1
terhadap
klasifikasi
histopatologik karsinoma nasofaring berdasarkan klasifikasi WHO dapat dilihat pada tabel 4.5. Seluruh sampel keratinizing squamous cell carcinoma yaitu sebanyak 3 kasus menunjukkan tampilan LMP1 yang negatif, sedangkan jenis nonkeratinizing carcinoma sebanyak 31 kasus, 3 kasus menunjukkan tampilan LMP1 negatif, dan 28 kasus menunjukkan tampilan LMP1 positif. Seluruh sampel keratinizing squamous cell carcinoma yaitu sebanyak 3 kasus menunjukkan tampilan LMP1 yang negatif, dan seluruh tampilan LMP1 yang positif diperoleh dari sampel nonkeratinizing carcinoma. Analisa perbandingan dilakukan dengan Fisher’s exact test dengan nilai p=0,003.
Universitas Sumatera Utara
53
Tabel 4.5. Hubungan skor imunoreaktivitas LMP1 terhadap klasifikasi histopatologik KNF (berdasarkan klasifikasi WHO) KLASIFIKASI SKOR IMUNOREAKTIVITAS LMP1
KERATINIZING SQUAMOUS CELL CARCINOMA
NEGATIF POSITIF TOTAL
TOTAL
NONKERATINIZING CARCINOMA
n
%
n
%
3 0 3
100 0 100
3 28 31
9,68 90,32 100
p*
N
% 6 28 34
17,6 82,4 100
0,003
* p-value Fisher's exact test
Perbandingan skor imunoreaktivitas LMP1 terhadap jumlah KGB yang membesar dapat dilihat pada tabel 4.6. Dari 25 kasus dengan KGB tunggal, diperoleh 5 kasus menunjukkan tampilan LMP1 negatif
dan 20 kasus
menunjukkan tampilan LMP1 positif. Dari 9 kasus dengan KGB multipel, diperoleh 8 kasus menunjukkan tampilan LMP1 positif dan hanyai 1 kasus menunjukkan tampilan negatif. Analisa perbandingan dilakukan dengan Fisher’s exact test dengan nilai p=0,487.
Tabel 4.6 Hubungan skor imunoreaktivitas LMP1 terhadap jumlah KGB yang membesar SKOR IMUNOREAKTIVITAS LMP1 UKURAN (DIAMETER) KGB
TUNGGAL MULTIPEL TOTAL
NEGATIF
POSITIF
p*
n
%
n
%
5 1 6
83,3 16,7 100
20 8 28
71,4 28,6 100
0,487
* p-value Fisher's exact test
Universitas Sumatera Utara
54
2.4. Pembahasan Dari seluruh data penderita lesi KGB leher dengan diagnosis metastasis KNF yang tercatat dalam rekam medik Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU tahun 2012-2013, diperoleh 34 kasus yang termasuk dalam kriteria inklusi dalam penelitian ini. Dalam literatur dinyatakan bahwa angka kejadian KNF di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus baru per tahun per 100.000 penduduk.3,7 Catatan dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa KNF menduduki urutan keempat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker kulit. Seluruh bagian THT (telinga hidung dan tenggorokan) di Indonesia sepakat mendudukkan KNF pada peringkat pertama penyakit kanker pada area ini. Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5 per 100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5 per 100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5 per 100.000).3 Penelitian Fachiroh di Yogyakarta menyatakan insiden penderita KNF 3,9 orang per 100.000 penduduk. Di Bagian THT FK-UI RSCM selama periode 19881992 didapati 511 penderita baru KNF. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 1998-2000 ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan leher. Dari beberapa penelitian di Indonesia dan di luar negeri, kasus dini hanya ditemukan antara 3,8%-13,9%, dibandingkan dengan kasus lanjut (stadium III dan IV) sekitar 88,1%-96,2%.7 Di RSUP HAM periode Juli 2005-Juni 2006 dari 79 penderita KNF seluruhnya berada pada stadium lanjut, tidak dijumpai penderita dengan stadium dini.3,5,6,10,15 Pada penelitian ini jumlah kasus yang terkumpul sejak Januari 2012 sampai September 2013 berdasarkan rekam
Universitas Sumatera Utara
55
medik Laboratorium Patologi Anatomi FK USU adalah sebanyak 68 kasus dengan gejala utama pembesaran KGB leher. Gejala hidung dan telinga sering bukan merupakan alasan untuk datang berobat, bahkan sebagian sudah disertai gejala intrakranial, dengan demikian pasien biasanya datang pada stadium lanjut. Berdasarkan literatur insidensi KNF di daerah endemik mulai meningkat usia 20 tahun dan mencapai puncak pada dekade IV dan V. KNF lebih sering dijumpai pada laki-laki dengan perbandingan laki-laki : perempuan 3:1.6 Pada penelitian ini distribusi berdasarkan usia penderita diketahui penderita termuda dengan usia 39 tahun sedangkan penderita tertua berusia 89 tahun. Kelompok usia terbanyak adalah kelompok usia 50-59 tahun yaitu sebanyak 10 orang (29,4%). Penderita KNF terbanyak adalah laki-laki yaitu sebanyak 21 kasus (61,8%), sedangkan penderita perempuan sebanyak 13 kasus (28,2%). Perbandingan lakilaki terhadap perempuan adalah 1,6 :1. Penderita KNF dengan pembesaran KGB tunggal diperoleh sebanyak 25 orang (73,5%) sedangkan dengan pembesaran KGB multipel sebanyak 9 orang (26,5%). Penderita dengan ukuran diameter KGB kurang dari 6 cm sebanyak 28 orang (82,4%) sedangkan penderita dengan ukuran diameter KGB 6 cm atau lebih sebanyak 6 orang (17,6%). Ukuran diameter pembesaran kelenjar getah bening leher berhubungan dengan stadium penderita. Ukuran KGB < 6 cm menunjukkan penderita dalam stadium N1 atau Stadium IIB. Ukuran KGB < 6 cm apabila dijumpai secara bilateral/multipel akan meningkatkan stadium penderita menjadi N2 atau Stadium III-IVA. Sedangkan ukuran diameter KGB > 6 cm menunjukkan penderita dalam stadium N3 atau Stadium IVB. 1,2,6,10,37,39
Universitas Sumatera Utara
56
Penderita dengan gejala-gejala pembesaran KGB disertai gejala hidung dan telinga (TRIAS I) diperoleh sebanyak 23 orang (67,6%), sedangkan penderita dengan gejala pembesaran KGB disertai gejala intrakranial (saraf dan mata), hidung dan telinga (TRIAS II) sebanyak 11 orang (32,4%). Penderita dengan gejala intrakranial menunjukkan keterlibatan saraf yang merupakan tanda-tanda stadium lanjut (T4 atau stadium IVA). Berdasarkan klasifikasi histopatologik WHO jenis yang terbanyak adalah nonkeratinizing carcinoma yaitu sebanyak 31 kasus (91,2%) sedangkan jenis keratinizing squamous cell carcinoma sebanyak 3 kasus (8,8%). Jenis basaloid squamous cell carcinoma tidak dijumpai. Menurut literatur insidensi KNF pada daerah endemik yang terbanyak adalah jenis nonkeratinizing carcinoma, sedangkan pada daerah resiko rendah (non endemik) jenis keratinizing squamous cell carcinoma lebih sering terjadi.1 Negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia merupakan daerah dengan insidensi KNF yang tinggi1,3,5,6 dengan demikian jenis nonkeratinizing carcinoma merupakan yang terbanyak. Dalam beberapa penelitian diperoleh ekspresi LMP-1 sekitar 60-90% penderita.1,2,9,37,40 Nonkeratinizing nasopharyngeal carcinoma berhubungan dengan
Epstein-Barr
virus
(EBV)
dalam
hampir
100%
kasus,
tanpa
memperhatikan latar belakang etnik penderita. Chan et al menyatakan EBV latent membrane protein-1 (LMP1) positif hanya pada 30-40% kasus dan tampilan immunostaining-nya sering lemah dan patchy dengan demikian metode pemeriksaan ini dianggap tidak andal untuk menunjukkan keberadaan EBV.1 Pada penelitian ini diperoleh tampilan LMP1 positif sebanyak 28 kasus (82,4%) dengan rincian ekspresi lemah sebanyak 8 kasus (28,6%), sedangkan ekspresi kuat
Universitas Sumatera Utara
57
sebanyak 20 kasus (71,4%), dengan distribusi sebagian bersifat difus. Berdasarkan tampilan LMP1 pada penelitian ini diketahui bahwa EBV terlibat dalam patogenesis sebagian besar penderita KNF yang datang ke Laboratorium Patologi Anatomi FK USU Medan. Perbandingan skor imunoreaktivitas LMP1 terhadap lateralisasi KGB pada tabel 4.3. Dari 30 sampel KGB unilateral terdapat 6 sampel dengan tampilan LMP1 yang negatif dan 24 sampel dengan tampilan LMP1 positif. Empat sampel KGB bilateral, seluruhnya dengan tampilan LMP1 positif. Tampilan LMP1 yang negatif seluruhnya diperoleh dari KGB unilateral (100%). Analisa perbandingan dilakukan dengan Fisher’s exact test dengan nilai p=0,441 yang berarti tidak terdapat perbedaan tampilan LMP1 pada sediaan KGB unilateral dan bilateral. Diperlukan sampel yang lebih luas untuk melihat hubungan skor imunoreaktivitas LMP1 terhadap lateralisasi KGB. Lateralisasi KGB berhubungan dengan stadium klinik penderita KNF. Pada penelitian ini seluruh KGB yang bilateral (stadium lanjut) menunjukan ekspresi LMP1 yang kuat, namun jumlah sampel belum cukup untuk menunjukkan hubungan tampilan LMP1 dengan stadium klinik penderita. Perbandingan skor imunoreaktivitas LMP1 terhadap ukuran (diameter) KGB pada tabel 4.4. Seluruh sampel dengan tampilan LMP1 negatif adalah KGB dengan ukuran kurang dari 6 cm (100%), sedangkan tampilan LMP1 positif diperoleh dari seluruh sampel KGB dengan ukuran ≥ 6 cm yaitu sebanyak 6 kasus (21,4%) dan 22 sampel KGB dengan ukuran < 6 cm. Analisa perbandingan dilakukan dengan Fisher’s exact test dengan nilai p=0,280 yang berarti tidak terdapat perbedaan tampilan LMP1 pada KGB dengan ukuran < 6 cm dan ≥ 6 cm.
Universitas Sumatera Utara
58
LMP1 yang merupakan salah satu protein EBV diketahui mempunyai peranan dalam pertumbuhan karsinoma bahkan dalam metastasis KNF.8,9 Studi oleh Zheng et al menyatakan bahwa dalam sel epitel manusia LMP1 mengubah beberapa materi fungsional yang terlibat dalam progresi dan invasi tumor. Temuan dalan studi ini menunjukkan bahwa LMP1 meningkatkan transkripsi dan ekspresi MMP-9 melalui NF-kB dan AP-1 yang menjadi salah satu mekanisme LMP1 dalam memediasi invasi dan metastasis sel-sel KNF. EBV melalui LMP1 mempunyai peranan dalam mempercepat terjadinya invasi dan metastasis.28 Ukuran diameter KGB berhubungan dengan stadium klinik penderita KNF. Pada penelitian ini hubungan skor imunoreaktivitas LMP1 terhadap ukuran KGB tidak dapat diukur disebabkan jumah sampel yang tidak mencukupi. Perbandingan
skor
imunoreaktivitas
LMP1
terhadap
klasifikasi
histopatologik karsinoma nasofaring berdasarkan klasifikasi WHO pada tabel 4.5. Seluruh sampel keratinizing squamous cell carcinoma yaitu sebanyak 3 kasus menunjukkan tampilan LMP1 yang negatif, sedangkan jenis nonkeratinizing carcinoma sebanyak 31 kasus, 3 kasus menunjukkan tampilan LMP1 negatif, dan 28 kasus menunjukkan tampilan LMP1 positif. Seluruh tampilan LMP1 yang positif diperoleh dari sampel nonkeratinizing carcinoma. Analisa perbandingan dilakukan dengan Fisher’s exact test dengan nilai p=0,003 yang berarti terdapat perbedaan tampilan LMP1 pada keratinizing squamous cell carcinoma dibanding nonkeratinizing carcinoma. Hal ini mendukung penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa jenis nonkeratinizing carcinoma lebih berhubungan dengan EBV.1 EBV mempunyai sifat morfisme pada sel epitel nasofaring dan sel-sel limfosit sehingga tampilan LMP1 pada sel-sel karsinoma menjadi petunjuk bahwa
Universitas Sumatera Utara
59
asal sel tersebut berasal dari nasofaring.17,18,36 Tampilan LMP1 dapat dipakai sebagai diagnosis pendukung untuk menentukan metastasis karsinoma berasal dari nasofaring terutama pada jenis nonkeratinizing carcinoma. Perbandingan skor imunoreaktivitas LMP1 terhadap jumlah KGB yang membesar pada tabel 4.6. Dari 25 kasus dengan KGB tunggal, diperoleh 5 kasus menunjukkan tampilan LMP1 negatif dan 20 kasus menunjukkan tampilan LMP1 positif. Dari 9 kasus dengan KGB multipel, diperoleh 8 kasus menunjukkan tampilan LMP1 positif dan hanyai 1 kasus menunjukkan tampilan negatif. Analisa perbandingan dilakukan dengan Fisher’s exact test dengan nilai p=0,487 yang berarti tidak terdapat perbedaan tampilan LMP1 pada KGB tunggal maupun multipel. Diperlukan jumlah sampel yang lebih besar untuk mengetahui hubungan tampilan LMP1 terhadap jumlah KGB yang terlibat dalam metastasis KNF.
Universitas Sumatera Utara
60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa LMP1 tertampil pada 82,4% kasus KNF yang bermetastasis pada KGB leher yang diperiksa di Laboratorium PA FKUSU. Terdapat perbedaan tampilan LMP1 pada jenis histopatologik keratinizing squamous cell carcinoma yang seluruhnya negatif dibanding nonkeratinizing carcinoma dengan tampilan LMP1 yang bervariasi. Pewarnaan imunositokimia LMP1 pada sediaan sitologi biopsi aspirasi KGB leher dapat dipergunakan untuk diagnosis metastasis KNF jenis nonkeratinizing carcinoma. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan secara multisenter untuk mengetahui hubungan LMP1 dengan lateralisasi KGB, ukuran (diameter) KGB dan jumlah KGB yang terlibat dalam metastasis KNF.
5.2. Saran 5.2.1. Saran Kepada Klinisi Pada penelitian ini diketahui rincian gambaran klinik dan hasil pemeriksaan radiologik sangat penting untuk mengarahkan diagnosis metastasis KNF pada KGB leher, sehingga diharapkan klinisi memberikan keterangan lengkap tentang gambaran klinis penderita yang terdiri dari gejala/tanda hidung, gejala/tanda telinga, gejala/tanda intrakranial (saraf dan mata) dan hasil pemeriksaan radiologik (CT-scan atau MRI).
Universitas Sumatera Utara
61
5.2.2. Saran Kepada Ahli Patologi Status KGB yang diperiksa antara lain lokasi/level KGB, ukuran, jumlah dan lateralisasi (unilateral atau bilateral) sangat penting dalam membantu menentukan diagnosis dan stadium penderita KNF. Sangat penting mencantumkan hal-hal tersebut di atas dalam menentukan hasil pemeriksaan penderita.
5.2.3. Saran Kepada Peneliti Lain Pemeriksaan adanya EBV dapat membantu menentukan terapi dan prognosis penderita KNF. Diharapkan dilakukan penelitian yang lebih lanjut dengan sampel yang lebih luas dan pemeriksaan yang lebih lengkap (dengan protein EBV lainnya seperti EBER, EBNA dan lain-lain) sehingga diperoleh hasil penelitian yang lebih bermakna.
Universitas Sumatera Utara