BAB III METODE PENELITIAN A. Paradigma Penulisan Setiono, mensitasi arti metodologi dalam Kamus Bahasa Belanda yang ditulis Woyowasito (1976, 401) menjelaskan, bahwa: Metotologi, juga metodologie yang dalam arti umum merupakan ilmu tentang metode. Metodologi dalam arti umum berarti suatu sistematis
tentang
prinsip-prinsip
yang
studi yang logis dan
mengarahkan
suatu
penelitian.
Metodologi juga berarti cara ilmiah untuk mencari kebenaran1 Cara ilmiah untuk mencari suatu kebenaran diperlukan metode yang tepat dan akurat. Sebelum memerlukan metode penelitian yang tepat, perlu ditentukan konsep atau tipe hukum apa yang akan diteliti. Bertalian dengan konsep hukum ini, Setiono mensitasi pendapat Soetandyo Wignyosoebroto, bahwa: Terdapat lima konsep hukum, yaitu: 1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal; 2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional; 3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan tersistematisasi sebagai judge make law; 4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variable sosial yang emperik; 5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.2
1
Setiono, Metode Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010, hal 3 2 Setiono, Ibid hal 20
146
147
Berpijak dari kelima konsep hukum tersebut, Setiono mengkongkretkan bahwa hukum itu dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu: 1. Hukum yang bersifat universal; 2. Hukum positif; 3. Hukum putusan hakim; 4. Hukum sosial yang terlembagakan, dan 5. Hukum yang ada pada benak manusia…. Konsep hukum pertama, kedua dan ketiga disebut penelitian hukum normatif yang doktrinal dan metodenya disebut sebagai metode doktrinal. Konsep keempat dan kelima adalah kosep hukum nomologik. Hukum ini dikonsep bukan sebagai rules, tetapi sebagai regularitas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau dalam alam pengalaman. Penelitian ini tergolong penelitian empiris atau penelitian non-doktrinal3. Berdasarkan lima konsep hukum tersebut, penulis dalam penelitiannya menitiberatkan pada konsep hukum yang ketiga, yaitu : putusan hakim karena salah satu bagian dari putusan hakim itu terdapat pertimbangan hakim. Untuk mencari kebenaran dan keadilan substantif, pertimbangan hakim dapat diteliti melalui dua pendekatan, yaitu: pertama pendekatan doktrinal. Hakim adalah manusia, merupakan obyek yang organik, artinya, secara anatomi, orang sedunia mempunyai fungsi ginjal (kidney), liver dan pencernaan (pancreas) yang sama. Fungsi kidney, liver dan pancreas adalah fungsi organ manusia yang bersifat eksak (exact). Dari pendekatan doktrinal, penulis menyoroti legal substance yang diterapkan dalam sistem peradilan pidana anak mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Konvensi-Konvensi PBB, seperti: The Convention on the Rights of the Child, G.A res. 44/25, annex, .U.N. Doc. A /44/49 (1989), The Beijing Rules Adopted by G.A resolution 40/33 of 29 November 1985, The Tokyo Rules, G.A res 45/110, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UndangUndang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, undang-undang lain dan aturan perundangan yang 3
Setiono, Ibid hal 22
148
berkaitan dengan sistem peradilan pidana anak.
Pendekatan
kedua adalah
pendekatan hukum non-doktrinal atau pendekatan nomologik. Pendekatan ini (pendekatan non-doktrinal) dilakukan karena hakim merupakan manusia atau obyek un-organic yang mempunyai akal, pikiran, kepentingan dan nafsu yang acapkali bertentangan dengan nilai keadilan substantif. Intuitif atau nurani keadilan, tidaklah cukup hanya disoroti dari kemampuan (kecerdasan intelektual) dalam memahami undang-undang, peraturan perundangan dan keebenaran formil, tetapi juga harus disoroti kemampuan (kecerdasan emosional dan spiritual) hakim dalam memahami kebenaran materiil. Melalui pendekatan nomologik (nondoktrinal) ini, penulis ingin menganalisis the personal behavior of the judges, paradigma
hakim dalam memahami kebenaran hukum pidana materiil untuk
anak. Menurut penulis, hakim tidak mempertimbangkan hasil laporan litmas dari Bapas dalam putusan pidana anak adalah salah satu contoh hakim tidak menggunakan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dalam memahami kebenaran hukum pidana materiil untuk anak. Sebagai obyek an-organik (un-organic object), hakim juga manusia yang mempunyai niat, keinginan, dan kepentingan yang komplek yang terkadang sulit untuk diukur, dinilai atau digeneralisasikan secara zakeljiek. Secara kualitatif, metode non-doktrinal dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu, misalnya dalam hukum pidana dapat dikaji dari segi kriminologi, viktimologi, psikiatri forinsik, jika pelaku tindak pidana masih di bawah umur, dapat disoroti dari psikologi perkembangan, pedagogic, faktor internal dan eksternal anak. Hakim pidana anak dalam menjatuhkan putusan tidak hanya mempertimbangkan segi yuridis, tetapi juga harus mempertimbangkan segi sosiologis dan filosofis.
149
Soerjono Soekanto, mengatakan: Penelitian hukum normatif mencakup peneltian asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronnisasi vertical dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum4 Sejalan dengan penggabungan dua pendekatan metode doktrinal dan nondoktrinal tersebut, Burhan Arshofa, mengatakan: Penggabungan dua metode dalam satu metode ini didasarkan pada konsep legal positivism yang mengemukakan bahwa norma hukum yang tertulis, dibuat dan diundangkan oleh Negara yang berwenang. Penelitian hukum non-doktrinal adalah hukum yang dikonsepkan bukan sebagai rules, tetapi sebagai regularitas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau dalam alam pengalaman, suatu realita sosial yang terjadi dalam pengalaman indrawi dan emperis5 Hukum
selalu
berkembang
mengikuti
perkembangan
alam
dan
perkembangan manusia (mobile knowledge and mobile people or global knowledge and global people). Jika ilmu pengetahuan dan manusia berkembang, maka paradigma hukum juga berkembang. Bertalian dengan paradigma hukum ini, Suteki mensitasi pendapat N.K Denzin dan Lincoln, bahwa: dalam bidang hukum dapat dikenal adanya 4 paradigma hukum, yaitu: 1. Legal Positivism, 2. Legal Postpositivism, 3. Critical Legal Theory dan 4. Legal Constructivism or Legal Pluralism6 Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah Legal Post Positivisme. Penulis
tidak
hanya menyoroti kajian normatif, tetapi juga
menyoroti kajian sosilogis dan filosofis. Penggunaan paradigma ini didasarkan pada legal reasoning hakim yang masih cenderung menganut pemikiran
4
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif,Suatu Tinjauan Singkat, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 14 5 Burhan Arshofa, Metode Penelitian Hukum. Renika Cipta, Jakarta, 1996, hal 34 6 Suteki, Rekontruksi Politik Hukum Tentang Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Air Berbasis Nilai Keadilan Sosial (Studi Privatisasi Pengelolaan Sumber Daya Air), Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2008, hal
150
positivistic yang sudah tidak
menjamin nilai keadilan yang substantif dalam
proses peradilan anak. Oleh karena itu melalui metode kualitatif dan kuantitatif diharapkan dapat ditemukan makna-makna yang tersembunyi di balik obyek maupun subyek yang akan diteliti. Bertalian dengan penggunaan metode kualitatif ini, Lexy J Moleong mengatakan, bahwa: Metode kualitatif ini digunakan karena ada beberapa pertimbangan: Pertama menyesuaikan metode kuantitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak; Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden; Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.7 Selanjutnya Lexy J Moleong menambahkan, bahwa: Penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara induktif. Analisis data secara induktif ini digunakan karena beberapa alasan. Pertama, proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan jamak sebagai yang terdapat dalam data. Kedua, analisis induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti – responden menjadi eksplisit, dapat dikenal dan akuntabel. Ketiga, analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan membuat keputusankeputusan tentang dapat tidaknya pengalihan pada suatu latar lainya. Keempat, analisis induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan – hubungan. Kelima, analisis demikian dapat memperhitungkan nilainilai secara eksplisit sebagai dari struktur analitik.8 B. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mendiagnosa penyebab kenakalan yang dilakukan oleh Juveniles (teenagers), mendiagnosa mengapa kebijakan hakim dalam penjatuhan pidana anak nakal di Indonesia belum dapat mencerminkan keadilan substantif dan mengevaluasi bagaimana seharusnya model kebijakan 7
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Cetakan ketigapuluhsatu, 2013, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hal 10 8 Lexy J Moleong, Loc Cit
151
hakim pidana anak yang dapat mencerminkan keadilan substantif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah socio-legal melalui kajian doktrinal dan non-doktrinal. C. Kajian Penelitian Sesuai dengan tujuan dan pokok permasalahan tersebut, maka sasaran yang relevan untuk diteliti adalah : 1. Norma-norma hukum positif tentang kebijakan hakim baik yang berbentuk undang-undang , diskresi, doktrin-doktrin maupun peraturan pemerintah yang berkaitan dengan proses peradilan anak nakal. 2. Para legislator di DPR Pusat dan Anggota DPR yang duduk di Panja dan Bamus dalam bidang peradilan anak. 3. Para praktisi hukum : Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Avokat, dan petugas Bapas yang terbiasa menangani masalah peradilan anak nakal 4. Para teorisi, pakar hukum , LSM dan Pembina Penyelenggara Perlindungan Perempuan dan Anak (P3 A). D. Lokasi Penelitian Sesuai dengan tujuan dan pokok permasalahan tersebut, maka lokasi di lapangan yang secara random dijadikan obyek penelitian adalah :DPR Pusat Jakarta, Pengadilan Negeri Surabaya, Polrestabes Surabaya, Kejaksaan Surabaya Selatan, Bapas Medaeng dan P3A Sidoarjo. E. Sumber Data Sumber data primer diperoleh melalui bahan hukum berupa kitab undangundang hukum pidana, kitab undang-undang hukum acara pidana,
undang-
undang pengadilan anak, undang-undang sistem peradilan pidana anak, undangundang
perlindungan anak, peraturan pemerintah , putusan pengadilan dan
doktrin lain yang berkaitan dengan pengadilan anak, wawancara dengan para
152
legislator, praktisi hukum pengadilan anak (penyidik, penuntut umum, hakim, avokat, petugas Bapas) , anggota LSM, P 3 A dan para pakar hukum di bidang peradilan anak nakal. Sumber data sekunder berupa dokumen, risalah perundangundangan, konsep perundang-undangan, konsep teori dan literatur lain yang berkaitan dengan masalah peradilan anak nakal. F. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode pengumpulan data sekunder ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumentasi. Metode pengumpulan data primer dilakukan dengan berwawancara dan melakukan observasi. Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi langsung dari yang diwawancarai. Dalam melakukan observasi dapat ditempuh melalui tiga elemen, yaitu : 1. lokasi atau tempat di mana situasi penelitian itu berlangsung; 2. manusia-manusia pelaku atau aktor yang menduduki status tertentu dan memainkan peranan tertentu, dan 3. kegiatan atau aktivitas para pelaku pada lokasi berlangsungnya suatu situasi sosial G. Penyajian dan Analisis Data Data
yang
terkumpul
disajikan
secara
kualitatif
Penganalisaan data dilakukan secara kualitatif dengan
dan
kuantitatif.
melakukan analisis
deskriptif dan preskriptif dengan dilengkapi analisis yuridis emperis, analisis histories dan analisis komperatif. Analisis data dilakukan dengan cara menelaah data, membaginya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensitesa, mencari pola dan menentukan apa yang dapat dilaporkan. Analisis data dalam penelitian normatif dapat dilakukan melalui tiga proses, yaitu: reduksi data, penyamaran data dan penarikan kesimpulan. Pada penelitian non-doktrinal, analisis data
153
dilakukan
dengan
menggunakan model analisis mengalir (flow model of
analysis) maupun analisis interaktif (interactive model of analysis)9 Model analisis mengalir berarti melakukan analisis dengan menjalin secara parallel ketiga komponen analisis secara terpadu, baik sebelum mengumpulkan data, pada waktu pengumpulan data, maupun sesudah pengumpulan data. Ketiga komponen data tersebut adalah: reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Analisis data dalam penelitian ini dapat digambarkan pada Bagan 8 di bawah ini: Bagan 8 Analisis Data Penelitian
Pengumpulan Data
Sajian Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan /Verifikasi
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, 1984 hal 250
154
a.Reduksi Data Reduksi
data
adalah
bagian
analisis
yang
berbentuk
mempertegas,
memperpendek, membuat focus, membuang hal-hal yang tidak penting, dan mengantur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilaporkan. Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data dari fildnote. Proses ini berlangsung sejak awal penelitian dan pada saat pengumpulan data. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data dengan cara demikian sehingga kesimpulankesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. b. Penyajian data Penyajian
data sebagai kumpulan informasi tersusun yang memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data merupakan suatu cara yang utama bagi pelitian kualitatif. Untuk itu data harus valid. Sajian data sebaiknya berbentuk table, gambar, matriks, jaringan kerja dan kaitan kegiatan sehingga memudahkan peneliti untuk mengambil kesimpulan c. Penarikan Kesimpulan Kesimpulan merupakan bagian dari satu konfigurasi yang utuh. Kesimpulan diverifikasi selama penelitian berlangsung. Metode dalam penelitian ini digunakan untuk mengungkap kebenaran dan memahaminya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan induktif, yaitu: mencari, menjelaskan dan memahami
prinsip-prinsip umum yang berlaku
dalam
kehidupan masyarakat dengan memulai dari kenyataan (phenomena) menuju ke teori (thesis). Dalam silogisme induktif, premis-premis selalu berupa hasil pengamatan yang diverifikasi. Konklusi dari silogisme induksi selalu berupa deskripsi atau eksplanasi tentang ada tidaknya hubungan (kausal) antara berbagai variable socio-legal
155
H. Batasan Operasional Variabel merupakan abstraksi dari gejala atau fenomena yang akan diteliti. Variabel dapat dipelajari secara utuh apabila memahami istilah operasional di bawah ini: 1. Kebijakan yudisial hakim adalah kebijakan yang dipergunakan hakim dalam memutus perkara pidana anak. Kebijakan yudisial hakim yang dipergunakan dalam memutus suatu perkara tidak terlepas dari pertimbangan hakim untuk menciptakan keadilan substantif dalam peradilan pidana anak. Pertimbangan hakim yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis. 2. Penegakan hukum dalam penelitian ini adalah penegakan hukum pidana anak nakal di Indonesia. Obyek kajian yang disoroti dalam penelitian ini adalah posisi anak sebagai pelaku tindak pidana, meskipun dalam kajiannya juga menyinggung posisi anak sebagai korban tindak pidana. 3. Kajian sosiologi hukum adalah kajian pelaku tindak pidana anak yang dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara memiliki faktor internal dan eksternal yang berbeda dengan faktor internal dan eksternal yang dimiliki orang dewasa. 4.Anak nakal adalah anak yang melakukan perbuatan kenakalan yang berhadapan dengan hukum pidana. I. Kerangka Pemikiran Dasar pemikiran untuk mengungkap problematika yang diajukan pada bagian perumusan masalah digunakan beberapa teori sebagai unit atau pisau analisis. Teori yang bersifat micro yang dipakai sebagai pisau analisis adalah Teori Interaksionalis Simbolik Blumer, Teori Pembuatan Kebijakan Wayne Parson, Teori Restorative Justice Paulus Hadi Soeprapto, Teori Sobural (Sosial – Budaya dan Struktural) Sahetapy, Teori Sibernetika Talcott Parson, Teori Shell (The Unity of Knowledge) Edward O Wilson, Teori Fungsi The Codes of Rules
156
and Regulations Lawrence M Friedman dan Konsep Hukum Progresif Satjipto Rahardjo. Law Making institution (DPR dan Presiden), Sanctioning institution/ guardian law Institution (Mahkamah Konstitusi) dan role occupant (adresat hukum---masyarakat, stakeholder) adalah merupakan cara bekerjanya hukum dalam masyarakat.Teori Interaksionalis Simbolik digunakan untuk menganalisis perilaku Pejabat Pembuat Keputusan (Policy or Decision Maker) pada tataran yang dipadu dengan Teori Pembuat Kebijakan menurut Wayne Parson dapat dikatagorikan dalam beberapa model pendekatan, yaitu: model pendekatan kekuasaan, institusional, rasionalitas, pilihan publik dan alternatifnya informasi psikologis. Teori pembuat kebijakan tersebut, perlu dikaitkan dengan teori sibernetika Talcott Parson. Suteki mensitasi pendapat Talcott Parson bahwa dalam teori sibernetika perlu dicermati: Tingkah laku individu tidak merupakan tingkah laku biologis, tetapi harus ditinjau sebagai tingkah laku yang berstruktur. Tingkah laku seserorang harus ditempatkan dalam kerangka sistem sosial yang luas yang terbagi dalam subsistem, sub-sistem. Tingkah laku invidu dibatasi oleh dua lingkungan dasar yang masing-masing bersifat fisik dan ideal, yaitu lingkungan fisik organik (physic – organic environment) dan lingkungan realitas tertinggi (the ultimate reality environment). Di antara kedua lingkungan dasar tersebut, terdapat sub-sistem yang merupakan satu kesatuan herarkis, yaitu sub-sistem budaya dengan fungsi mempertahankan pola; sub-sistem sosial dengan fungsi integrasi; sub-sistem politik dengan fungsi mencapai tujuan; dan sub-sistem ekonomi dengan fungsi melakukan adaptasi. Menurut Talcott Parson:..every society faces four sub-system problems, such as: adaptation, goal attainment, integration and pattern maintenance or latency10 Berpijak dari teori tersebut, seorang hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana anak, tidaklah cukup hanya mempertimbangkan segi yuridis normatif, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor budaya, tujuan dan ekonomi. Paulus Hadisuprapto dengan konsep teori reintegrative shaming menawarkan penyelesaian kasus pidana anak dengan menitikberatkan pada unsur pedagogik dan menghindari faktor stigmatik bagi anak. Pemakaian teori 10
Suteki, Op Cit h 136
157
reintegrative shaming ini, bertujuan untuk mengintegrasikan teori labeling, subcultural delinquency, controlling theory, opportunity theory dan learning theory. Penjatuhan pidana terhadap anak yang berusia di bawah 12 tahun rentan menimbulkan rasa stigmatik bagi anak. Oleh karena itu, Paulus Hadisuprapto mengatakan: Konsep pemikiran Reintegrative Shaming secara kriminologi memperlihatkan kendalanya terutama dalam upaya mengintegrasikan berbagai konsep teoritik kriminologi tentang kejahatan yang dominat saat ini, yaitu: (a). labeling theory, (b). sub-cultural delinquency theory, (c). controlling theory, (d). opportunity theory dan (e). learning theory menjadi satu teori, yaitu reintegrative shaming.11 Berdasarkan teori reitegrative shaming tersebut, perlu dicari cara terbaik untuk penyelesaian kasus pidana anak. Meskipun tindak pidana anak secara implicit tidak disebutkan sebagai delik aduan, penyelesaian kasus pidana anak perlu dibentuk forum ‘famely group conference’ yang melibatkan pelaku tindak pidana anak, orang tua pelaku tindak pidana anak, korban, orang tua korban, dan penyidik tindak pidana anak untuk merumuskan dan mencari solusi yang terbaik bagi perkembangan jiwa dan kepentingan masa depan anak. Tujuan utama restorative justice adalah merehabilitasi pelaku tindak pidana anak bukan pemberian sanksi balas dendam. Disamping peradilan restorative justice juga dapat dilakukan penyelesaian perkara anak secara diversi yaitu penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (proses peralihan peradilan) bagi pelaku tindak pidana anak yang diancam pidana di bawah 7 tahun pidana penjara (Vide Pasal 7 angka 2 huruf (a) UU Sistem Peradilan Anak). Jika tujuan peradilan pidana anak itu untuk memperoleh nilai keadilan substatif, maka pertimbangan hakim harus dititikberatkan pada kebenaran hukum materiil disamping kebenaran hukum formil. Pertimbangan hukum materiel tidak terlepas dari pertimbangan hukum yang bersifat sosiologis. Oleh karena itu, hakim dalam memberikan pertimbangan sosiologis perlu juga mempertimbangkan teori sobural Sahetapy yaitu pertimbangan hukum
11
Paulus Hadisuprapto, Op Cit, h 374
158
yang menyoroti aspek sosial, budaya dan kultural dan teori ini bertalian erat dengan teori sibernetika Talcott Parson di atas. Hal ini sejalan dengan sifat kejahatan yang terlalu luas. Bertalian dengan sifat kejahatan yang terlalu luas ini, Sahetapy mensitasi pendapat Hermann Mannhein (1970-30), bahwa: Criminology is no way limited in the scope of its scientific investigation to what is legally crime in a given country at a given time, and it is free to use its own classification12 Dari uaraian ini jelas bahwa kriminologi tidak mempunyai batasan yang jelas mengenai kejahatan baik dilihat dari visi hukum maupun ilmu pengetahuan yang terlalu luas di suatu negara dan kriminologi bebas memberikan penggolongan tersendiri mengenai kejahatan tersebut. Ruang lingkup hukum memang tidak bertepi, berlaku dan bekerja di mana saja (omny present) sesuai dengan sifat kredonya yang dinamis, seirama dengan perkembangan manusia di dunia. Hal ini sesuai dengan teori konsep hukum
progresif Satjipto Rahardjo. Dalam teori konsep hukum progresif,
manusia berada di atas hukum. Hukum hanya menjadi sarana untuk menjamin dan menjaga berbagai kebutuhan manusia. Hukum tidak lagi dipandang sebagai suatu dokumen yang absolut dan berada secara otonom. Hukum progrsif yang bertumpu pada manusia, membawa konsekuensi pentingnya kreativitas. Kreativitas dalam konteks penegakan hukum, selain dimaksudkan untuk mengatasi ketertinggalan hukum… secara lugas Satjipto Rahardjo dalam bahasa Jawa dikatakan bahwa hukum “keponthal-ponthal”… mengatasi ketimpangan hukum, juga dimaksudkan untuk membuat terobosan-terobosan hukum, apabila dipandang perlu dilakukan rule breaking. Terobosan-terobosan ini diharapkan
12
J.E Sahetapy, D.B Mardjono Reksodiputro, Parados Dalam Kriminologi, CV Rajawali, Jakarta, 1982, h 2
159
dapat mewujudkan tujuan kemanusiaan melalui bekerjanya hukum, yaitu hukum yang dapat membuat bahagia13 Suteki mensitasi pendapat Satjipto Rahardjo tentang cirri-ciri wajah hukum progresif sebagai berikut: 1.Kajian hukum progresif berusaha mengalihkan titik berat kajian hukum yang semula menggunakan optic hukum berupa rules menuju ke perilaku. 2.Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat, meminjam istilah Nonet dan Selznick bertipe responsif. 3.Hukum progresif berbagi faham dengan legal realism karena hukum tidak dipandang dari kaca mata hukum sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. 4.Hukum progresif memiliki kedekatan dengan sociological jurisprudence dari Rscoe Pound yang mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan tetapi keluar dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum. 5.Hukum progresif memiliki kedekatan dengan teori hukum alam, karena peduli terhadap hal-hal yang ‘meta –juridical’ 6.Hukum progresif memiliki kedekatan dengan Critical Legal Studies namun cakupannya lebih luas. Latar belakang kelahiran hukum progresif adalah ketidakpuasan dan keprihatinan atas kualitas penegakan hukum di Indonesia. Berdasarkan latar belakang ini dapat dikatakan bahwa spirit hukum progresif adalah spirit pembebasan. Pembebasan yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1.Pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas dan teori yang selama ini dipakai. 2.Pembebasan terhadap kultur penegakan hukum (administration of justice) yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambat usaha hukum untuk menyelesaikan persoalan14 Suteki menambahkan, bahwa: Selain asumsi dasar, identitas serta spirit yang disebutkan tersebut, maka hukum progresif memiliki karakter yang progresif memiliki karakter yang progresif dalam hal sebagai berikut: 13
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, Vol I/No.1/April 2005, PDIH UNDIP, Semarang, h 5 14 Suteki, Op Cit h .69
160
1.Bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagian manusia dan oleh karenanya memandang hukum selalu dalam proses law in making 2.Peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik lokal, nasional maupun global. 3.Menolak status quo manakala menimbulkan dekadensi, suasana korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan dan pembrontakan yang berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum15 Mencermati wajah dan karakter hukum progresif tersebut, sistem peradilan dan penegakan hukum pidana anak di Indonesia harus diubah dengan paradigma hukum progresif. Oleh karena sistem penegakan hukum pidana di Indonesia menganut asas Integrated Criminal Justice System, maka paradigma penegak hukum mulai dari penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim yang menangani proses peradilan anak harus mengubah paradigma hukum yang lama atau hukum status quo menjadi paradigma hukum progresif. Perubahan paradigma ini juga harus diberlakukan di kalangan akademisi dan avokat yang menekuni perkara pidana anak. Secara substansial, perubahan paradigma itu harus ditinjau dari aspek pemidanaan, pertanggungjawaban pidana dan pemberian sanksi pidana anak. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dibuat Kerangka Pemikiran Keadilan Substantif Pidana Anak, seperti yang terlihat dalam Bagan 9 di bawah ini:
15
Suteki, Ibid, h 69
161
Bagan 9 KERANGKA PEMIKIRAN KEADILAN SUBSTANTIF PIDANA ANAK Juvenile Delinquency Yang Berhadapan Dengan Hukum Pidana Pendekatan Doktrinal dan NonDoktrinal
Metode Kualitatif dan Kuantitatif -Legal Positiviem Asumsi Kenakalan, Tindak Pidana Anak
Paradigma Hukum
-Legal Postpositivism -Legal Contructivism Legal Pluralism
Peradilan Restoratif dan Peradilan Diversi
Pertimbangan Hukum Yuridis, Sosiologis dan Filosofis
Konsep Hukum Progresif, The Best Interest for Juveniles, Peradilan Berbasis Pancasila Tujuan Keadilan Substantif