BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Permasalahan mendasar yang terjadi di dunia kehutanan diantaranya adalah kerusakan sumberdaya hutan yang tinggi sementara kapasitas masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan masih rendah. Salah satu penyebab adanya kerusakan hutan yang begitu tinggi salah satunya disebabkan oleh kegagalan kebijakan kehutanan yang tidak berpihak pada masyarakat dan juga tidak berpihak pada kelestaraian sumberdaya hutannya itu sendiri.
Kondisi ini kemudian
memunculkan banyak inisiatif dalam pengelolaan hutan khususnya pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM/community-based forest management) menjadi salah satu pilihan dalam sebuah sistem pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat menuju pengelolaan hutan yang lestari. Seiring dengan perubahan tersebut, banyak LSM yang terlibat aktif dan intensif dalam mendampingi masyarakat menuju pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat.
Pengembangan kapasitas dan penguatan kelembagaan
masyarakat di sekitar hutan telah menjadi agenda utama dari banyak LSM Kehutanan. Pemerintah juga telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang berhubungan dengan PHBM. Kebijakan yang telah dikeluarkan diantaranya adalah Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.26/Menhut-II/2005 tentang Pemanfaatan Hutan Hak, Permenhut No. P.23/Menhut-II/2007 tentang Hutan Tanaman Rakyat, Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, dan terbaru adalah Permenhut No. P.49/Menhut-II/2007 tentang Hutan Desa.
Kebijakan
pemerintah ini sebagai upaya untuk memberikan ruang bagi masyarakat untuk memperoleh hak-haknya dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Meskipun dalam pelaksanaannnya masih menemui kendala, termasuk belum tersedianya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Selain kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, dibeberapa lokasi, misalnya di Propinsi Jambi, pemerintah daerah juga mengeluarkan sejumlah
peraturan desa (Perdes) maupun peraturan daerah (Perda) dan Surat Keputusan (SK) Bupati untuk memberikan sejumlah hak-hak masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutannya yang memang telah terbukti mampu menjaga hutannya. Di sisi lain, banyak LSM Kehutanan yang bergerak dalam bidang pengembangan PHBM yang bersentuhan langsung dengan suatu kawasan hutan, mempunyai keragaman program, metodologi, sebaran wilayah yang luas dan pendekatan yang berbeda-beda pula. Pada dasarnya program yang dijalankan oleh LSM Kehutanan ini yang bertujuan untuk mengembangkan institusi lokal pada tingkat masyarakat dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara adil dan berkelanjutan. Program yang dilakukan oleh LSM ini mendapatkan banyak dukungan dana dari lembaga donor, khususnya lembaga donor dari luar negeri. Bentuk dukungan yang diberikan lembaga donatur dalam program community forestry diantaranya adalah program pemberdayaan masyarakat dan program pengembangan kemitraan (partnership). Salah satu lembaga donor yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah SGPPTF UNDP yang berjalan mulai tahun 2005 – 2007. Melalui program ini telah diberikan sejumlah dana kepada 25 LSM yang tersebar di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah. Tema utama SGPPTF ini adalah pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang terpadu. Program pengembangan masyarakat (community empowerment) dalam bentuk program pengembangan PHBM yang dilakukan oleh LSM Kehutanan diharapkan akan mampu meningkatkan kapasitas dan keahlian masyarakat pengelola hutan. Pengembangan PHBM ini juga diharapkan secara signifikan dapat mengurangi tekanan dan kerusakan terhadap fungsi-fungsi kelestarian sumber daya hutan yang memegang peranan sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Selain itu juga untuk membangun kapasitas dan jejaring (network) diantara pemangku kepentingan (stakeholders) untuk
mencapai pengelolaan
hutan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan sehingga keterkaitan pada pemangku kepentingan lain dapat memenuhi kebutuhan dasar dan jasa-jasa lainnya. Namun disisi lain, kadang beberapa program yang dilakukan oleh LSM Kehutanan belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam
penyusunan proposal dan mekanisme monitoring dan evaluasi program misalnya, terkadang masyarakat tidak dilibatkan dari awal sehingga terjadi lack/gap antara kebutuhan masyarakat dan kepentingan LSM Kehutanan itu sendiri. Terkadang masyarakat hanya dijadikan sebagai alat justifikasi untuk memperoleh dukungan finansial dari lembaga donor. Untuk itu, yang patut diperhatikan adalah bahwa seluruh program yang diusung oleh LSM Kehutanan seharusnya merupakan program yang memang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Ini berarti bahwa selama rangkaian proses kegiatan dalam suatu program selalu melibatkan peran aktif dari masyarakat sebagai penerima manfaat (beneficiaries), mulai dari analisis sosial, penyusunan proposal, sampai dengan monitoring dan evaluasi program. Rangkaian kegiatan ini berkaitan dengan keberlanjutan program yang akan memberikan dampak langsung terhadap masyarakat. Apabila program yang dilakukan LSM telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat maka diharapkan masyarakat akan mampu mengelola hasil program itu sendiri tanpa adanya ketergantungan pendanaan dari lembaga pendampingnya maupun dari lembaga donor (funding agency). Upaya LSM untuk mendapatkan pengakuan dan kepercayaan publik tidak cukup dengan menyumbang pada atau bekerjasama dengan konstituennya. Ada hal lain yang sangat esensial bagi LSM untuk mendapatkan kepercayaan tersebut, yaitu LSM harus berusaha mempertanggungjawabkan apa yang sudah dan akan dilakukan dengan transparan ke publik.
Upaya ini dilakukan dalam rangka
menuju pengelolaan hutan yang lestari dan kapasitas masyarakat meningkat. Dalam
penelitian
ini,
indikator-indikator
penilaian
kinerja
yang
dikembangkan oleh Yayasan Tifa (2006) akan dijadikan sebagai acuan dalam melakukan penilaian kinerja LSM. Ukuran kinerja akan menilai 6 elemen utama, yaitu elemen Visi dan Misi, elemen Program, elemen Tata Laksana, elemen Administrasi, elemen Keuangan, dan elemen Legitimasi. Melalui indikator ini dapat
ditentukan
tindakan-tindakan
yang
diperlukan
untuk
melakukan
peningkatan kapasitas lembaga hingga bisa menjadi sebuah lembaga yang yang mempunyai kinerja lebih baik.
Untuk melihat peran LSM dalam program PHBM terkait dengan pendekatan dengan masyarakat, dilakukan metode analisis pengembangan institusi lokal (Afiff, 2007). Ada empat dimensi institusi yang dikembangkan dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan PHBM, yaitu: (1) pengaturan tata kuasa dan tata guna lahan, (2) pengaturan tata produksi, dan (3) pengaturan tata konsumsi. Untuk itu, penelitian ini mempunyai nilai penting dalam merumuskan pengembangan strategi dan program LSM Kehutanan dalam pengembangan PHBM di Indonesia melalui penilaian peran LSM sebagai lembaga yang bersentuhan langsung dengan masyarakat dan hutannya.
Karena peran LSM
sangat penting dalam konteks pendampingan dan advokasi, maka bila kinerja LSM baik dan selalu meningkat maka harapannya akan menuju tujuan utama yaitu pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang lestari dan masyarakat sejahtera.
Pada Gambar 1 dapat dilihat kerangka pemikiran
penelitian penilaian kinerja LSM dalam program PHBM.
Paradigma Lama State-based forest management • • • •
Kebijakan pemerintah yang pro pengusaha besar (HPH dan HTI) Konsep hutan dan masyarakat terpisah Mengutamakan kepentingan ekonomi Eksploitasi besar-besaran
• • • • •
Akibatnya: Hutan rusak dan tidak lestari Tidak diakuinya kearifan lokal Konflik pemanfaatan sumberdaya hutan Tidak ada partisipasi masyarakat Kapasitas dan kelembagaan masyarakat lemah
Munculnya Paradigma Baru Community-based forest management (PHBM) • • • • •
Kebijakan Pemerintah
Tujuan: Hutan lestari dan masyarakat sejahtera Hutan dan masyarakat tidak terpisah Menumbuhkan kembali kearifan lokal Resolusi konflik Meningkatkan kapasitas dan kelembagaan masyarakat
Masyarakat pengelola hutan
LSM: agen perubahan dan lembaga pendorong hutan lestari dan masyarakat sejahtera
Analisis Kinerja dan Analisis Pengembangan Institusi Lokal
Strategi Peningkatan Peran LSM dalam program PHBM
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lembaga Donor
Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan Peneliti yang selama ini bekerja dan bersentuhan langsung dengan LSM-LSM pendamping masyarakat dalam mempromosikan PHBM di Indonesia. Peneliti juga pernah menjabat sebagai Project Manager untuk Program Development Facilities (PDF) pada SGP PTF - UNDP kerjasama dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) pada tahun 2005 – 2007 dengan tema Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat yang Terpadu di 25 LSM Kehutanan Indonesia untuk region Jawa, region Sumatera dan region Sulawesi (lihat Lampiran 1). Penelitian ini difokuskan pada beberapa LSM yang mendapatkan dana dari Program
Pembangunan
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(United
Nations
Development Programme/UNDP) yang didukung oleh Komisis Eropa (European Commission/EC) melalui program SGPPTF di Indonesia pada periode 2005 – 2007. Melalui program ini telah diberikan sejumlah dana kepada 25 LSM yang tersebar di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah. Tema utama SGPPTF ini adalah pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang terpadu. Pemilihan responden terpilih didasarkan pada beberapa kriteria diantaranya adalah pola pendampingan oleh LSM Kehutanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat sekitar hutan; mengangkat isu konservasi, pendampingan teknis (technical assistant), dan advokasi; isu yang diangkat bersifat khas dan fokus pada isu lokalitas, dan wilayah kerjanya berada di hutan negara dan/atau hutan milik. Hasil identifikasi terhadap 25 LSM Kehutanan yang menjadi mitra SGP PTF UNDP menghasilkan beberapa kategori LSM berdasarkan isu pokok yang diangkat oleh LSM, yaitu konservasi (3 LSM), pendampingan teknis (6 LSM), advokasi (11 LSM), dan penelitian (3 LSM). Terdapat 2 kelompok tani yang tidak digolongkan ke dalam terminologi LSM.
LSM yang melakukan kegiatan
penelitian tidak djadikan sebagai sampel karena tidak sesuai dengan kriteria pemilihan sampel, termasuk 2 KTH yang dikategorikan bukan sebagai LSM tetapi organisasi rakyat. Pemilihan sampel ini diambil melalui metode stratified sampling yang artinya mengelompokkan populasi ke dalam beberapa kelompok yang lebih kecil, kemudian disampel secara acak dari kelompok-kelompok tersebut untuk kategori
konservasi, pendampingan teknis, dan advokasi masing-masing sebanyak 3 LSM. Pemilihan sampel ini juga didasarkan pada keterwakilan dari beberapa LSM yang mempunyai isu pokok yang sama. Jumlah sampel yang dipilih adalah sebanyak 9 LSM yang tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Lampung (Tabel 1). Tabel 1. Identifikasi LSM Kehutanan yang Menjadi Fokus Penelitian No
Isu Pokok
Nama LSM
Wilayah
LPPSP
Jawa Tengah
Konservasi di sabuk hijau mangrove
Lembah
Jawa Timur
Konservasi di lahan milik dan hutan lindung
3
Mitra Bentala
Lampung
4
Persepsi
Jawa Tengah
Sertifikasi ekolabel di lahan milik
Paramitra
Jawa Timur
Pola kemitraan di lahan milik dan hutan produksi
6
SHK Lestari
Lampung
7
YBL Masta
Jawa Tengah
RMI
Jawa Barat
Advokasi masyarakat adat di Taman Nasional Gunung Salak-Halimun
Watala
Lampung
Advokasi hutan kemasyarakatan di hutan lindung
1 2
5
8
Konservasi
Pendampingan teknis
Advokasi
9
Fokus proyek
Konservasi mangrove di hutan lindung
Ekowisata di Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman Advokasi tanah simpen di hutan produksi
Sumber: Diolah dari proposal 25 LSM yang menjadi mitra SGP PTF – UNDP periode 2005 2007
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November – Desember 2008 di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung. 3.3. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui faktor yang memperngaruhi kinerja LSM Kehutanan. Target ditentukan berdasarkan penilaian indikator pada ukuran kinerja LSM. Analisis kuantitatif digunakan dalam pembobotan yang menggunakan metode penilaian skor (scoring criteria) untuk setiap indikator. Hasil pembobotan digunakan untuk menentukan kinerja LSM dalam program PHBM. 3.4. Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan, diolah dan dianalisis diantaranya adalah:
a. Data primer Data ini diperoleh dengan melakukan survei kuantitatif dan survei kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari hasil pengisian kuesioner yang diisi oleh LSM Kehutanan. Sedangkan untuk data kualitatif akan dilakukan melalui 2 tahap, yaitu : Tahap 1. Melakukan wawancara dan focus group discussion (FGD) dengan pimpinan dan staf di 9 LSM Kehutanan terpilih serta melakukan wawancara dengan beberapa
tokoh LSM di Indonesia untuk
memperkaya data dan informasi, bila diperlukan. Tahap 2. Melakukan wawancara dan focus group discussion (FGD) dengan masyarakat sebagai kelompok sasaran (target goups) dan penerima manfaat (beneficiaries) dari proyek yang dilakukan oleh 9 LSM Kehutanan yang mendampingi masyarakat. b. Data skunder Data ini diperoleh melalui 2 tahap, yaitu: Tahap 1. Identifikasi fokus proyek dari 25 LSM Kehutanan yang menjadi mitra SGPPTF UNDP periode 2005 – 2007 Tahap 2.
Melakukan verifikasi dari dokumen-dokumen baik yang
dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan oleh 9 LSM Kehutanan terpilih. Untuk lebih jelasnya jenis dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis dan Sumber Data Penelitian No
Jenis dan Sumber Data
Elemen Data Primer
1
Visi dan Misi
2
Tata Laksana
3
Administrasi
4
Program
5
Pengelolaan Keuangan
6
Legitimasi
Observasi dan FGD/wawancara dengan pimpinan dan staf
Observasi dan FGD/wawancara dengan pimpinan dan staf , wawancara dengan stakeholders, dan wawancara dengan target group
Observasi dan FGD/wawancara dengan pimpinan dan staf
Observasi dan FGD/wawancara dengan pimpinan dan staf
Data Skunder Dokumen struktur organisasi, review dokumen, AD/ART, risalah rapat, dan peraturan organisasi Dokumen struktur organisasi, review dokumen, AD/ART, risalah rapat, peraturan organisasi, pola rekruitmen terbuka (iklan, mailing list), laporan tahunan keuangan dan program, newsletter, website atau home page, dokumen hasil pertemuan, dokumen hasil pengawasan pihak eksternal (laporan audit, monev, dll.) AD/ART, risalah rapat, peraturan organisasi, konfirmasi, cross check antara dokumen (struktur organisasi, uraian tugas personel), observasi, website atau home page, dokumentasi personalia, peraturan personalia, iklan dan mailing list, dan review dokumen Review dokumen tentang Visi-MisiTujuan dan program, laporan media massa, dokumen peta analisis isu dan analisis stakeholder program, dokumen perencanaan, Annual report, Project report, biodata staf, laporan keuangan, laporan visitasi/evaluasi, laporan program, laporan keuangan, laporan audit, dokumen hasil Monev, dan instrumen Monev Dokumen rencana keuangan, dokumen anggaran, dokumen peraturan organisasi, dokumen rencana keuangan, dokumen informasi keuangan, hasil audit keuangan oleh pihak ketiga, dokumen laporan keuangan, fundraising plan, daftar donatur, dokumen kebijakan, dan peraturan organisasi Undangan, hasil kunjungan untuk riset, pengaduan masyarakat, surat permintaan dampingan, publikasi media, keterlibatan dalam pengambilan keputusan publik dan konsultansi
3.5. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data 3.5.1. Analisis Kinerja 3.5.1.1. Penentuan Elemen Kinerja Penentuan elemen kinerja LSM Kehutanan didasarkan pada alat ukur (tools) yang telah dikembangkan oleh Tifa (2006). Tools ini berisi 6 elemen yang dapat dijadikan sebagai elemen penilaian kinerja LSM, yaitu: 1. Elemen Visi – Misi dan Tujuan Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu orientasi visi dan misi, proses perumusan visi dan misi, fungsi visi dan misi dalam kaitannya dengan program PHBM, dan konsistensi dalam melaksanakan visi dan misi. 2. Elemen Tata Laksana (Governance) Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu mekanisme pengambilan keputusan internal, mekanisme pertanggungjawaban kepada publik, dan aksesibilitas laporan tahunan. 3. Elemen Administrasi Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu tugas dan tanggung jawab staf, kompetensi pelaksana proyek, program pengembangan kapasitas, pendokumentasian data dan informasi, kemudahan mengakses data dan informasi, sistem perekrutan, dan evaluasi kinerja staf. 4. Elemen Program Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu perencanaan program yang sesuai dengan persoalan yang terjadi di masyarakat, terintegrasinya program PHBM dengan program yang lain, adanya perencanaan strategis yang disusun secara partisipatif, adanya identifikasi dan akses terhadap sumberdaya yang diperlukan terkait dengan program, kesesuaian perencanaan dengan proses pelaksanaan, penerima manfaat program, metodologi pelaksanaan program, pelibatan para pihak dalam program, dampak program, adanya mekanisme monitoring dan evaluasi program, adanya alat bantu pelaksanaan monitoring dan evaluasi program, adanya keterlibatan masyarakat
dalam monitoring dan evaluasi, adanya tindak lanjut dari monitoring dan evaluasi program, dan efektifitas hasil evaluasi. 5. Elemen Pengelolaan Keuangan Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu sumber pendanaan program, mekanisme pertanggungjawaban keuangan, strategi penggalangan dana, adanya upaya diversifikasi sumberdaya, dan adanya sumber dana abadi. 6. Elemen Legitimasi Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu diseminasi gagasan kepada publik, kepercayaan masyarakat terhadap LSM, dan dukungan masyarakat terhadap LSM Melalui penilaian terhadap indikator ini maka dapat ditentukan tindakantindakan yang diperlukan dalam bentuk rekomendasi untuk melakukan peningkatan kapasitas dan kinerja LSM dalam melaksanakan program PHBM menuju PHBML dan masyarakat sejahtera. 3.5.1.2. Pembobotan Elemen Kinerja Untuk menentukan bobot terhadap setiap elemen dan indikator kinerja dari masing-masing LSM maka dilakukan dengan penilaian dalam kuesioner. Penentuan bobot dilakukan pada setiap LSM pada lembar penilaian masingmasing dalam sebuah kuesioner.
Nilai setiap indikator yang dilakukan
pembobotan menunjukkan tingkat pencapaian kinerja LSM tersebut. Setiap LSM akan dinilai berdasarkan 3 skala intensitas atau level untuk setiap indikatornya (Tifa, 2006), yaitu: 1. Level 1 atau Kurang (K), jika setiap indikator yang sedang dinilai belum dapat dipenuhi ataupun potensinya sangat rendah untuk dapat dipenuhi dalam jangka waktu yang relatif singkat; 2. Level 2 atau Cukup (C), jika setiap indikator yang sedang dinilai dapat terpenuhi meskipun masih diperlukan sejumlah upaya untuk pemeliharaan dan keberlanjutannya secara tetap dan terus menerus; 3. Level 3 atau Baik (B), jika setiap indikator yang sedang dinilai dapat secara optimal terpenuhi dan menunjukan adanya potensi untuk pemeliharaan dan keberlanjutannya secara tetap atau terus menerus.
Bila terdapat LSM yang berada dalam kondisi di antara dua level (misalnya antara level 1 atau Jelek dan 2 atau Cukup), maka penilaian dilakukan pada kondisi yang paling mendekati diantara dua level tersebut. Dalam penelitian ini, setiap indikator mempunyai bobot yang sama. Kinerja LSM dinilai dari pembobotan setiap elemen yang diperoleh dengan menentukan nilai setiap indikator terhadap jumlah nilai secara keseluruhan indikator. Penilaian secara menyeluruh ini mengacu pada rumus dalam metode pengambilan keputusan sertifikasi PHBML yang dikembangkan oleh LEI yang diatur dalam Pedoman LEI 99 – 44 tentang Pedoman Pengambilan Keputusan Sistem Sertifikasi PHBML (LEI, 2001) yaitu: 1. Kinerja yang baik, jika B ≥ 50% x n dan C ≥ 25% x n 2. Kinerja yang cukup baik, jika B ≥ 25% x n dan C ≥ 50% x n 3. Kinerja yang kurang baik, jika selain yang diatas. dimana: B = jumlah indikator yang mendapatkan nilai baik (level 3) C = jumlah indiaktor yang mendapatkan nilai cukup (level 2) n = jumlah indikator Penilaian ini akan menentukan bentuk rumusan rekomendasi dan strategi ke depan yang diperlukan bagi peningkatan kinerja setiap LSM.
Melalui
peningkatan kinerja LSM dalam program pengembangan PHBM diharapkan dapat memberikan dampak positif yang signifikan dan manfaat yang besar bagi PHBM dan masyarakatnya. Pemerintah seharusnya juga dapat berperan dalam program PHBM ini. Peran pemerintah juga diharapkan dapat mendukung program PHBM yang dilakukan oleh LSM. Pola kemitraan dan dukungan dari semua pihak sangat diharapkan untuk mewujudkan PHBM yang lestari dan masyarakat sejahtera.
3.5.2. Analisis Model Pengembangan Institusi Lokal Penelitian ini juga menggunakan analisis model pengembangan institusi lokal yang dikembangkan oleh Afiff (2007). Pengertian institusi dalam konsep ini bukan hanya dalam pengertian umum yang berarti organisasi atau lembaga. Institusi yang dimaksud disini merupakan semua aturan baik formal maupun informal yang digunakan dan dipraktekkan oleh masyarakat di suatu tempat yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Menurut Ostrom (1990), dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, aturan-aturan ini mengatur siapa yang berhak untuk membuat keputusan tentang pemanfaatan dan pengelolaan, apa saja aktivitas yang diperbolehkan dan tidak boleh dilakukan, aturan mana saja yang akan digunakan, dan bagaimana seseorang dapat memperoleh akses terhadap sumberdaya tertentu. Berdasarkan Afiff (2007), terdapat empat dimensi institusi yang dikembangkan dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang berbasis masyarakat. Empat dimensi tersebut adalah: 1. Pengembangan institusi yang terkait dengan pengaturan tata kuasa tenurial dan tata guna lahan. Adanya kepastian akan akses dan kontrol terhadap lahan dan sumberdaya hutan merupakan isu yang paling banyak diangkat dalam program yang mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Adanya kepastian akses atau pengusahaan adalah salah satu prasyarat penting dalam pengelolaan hutan yang lestari.
Tumpang tindih penguasaan antara lain merupakan
penyebab dari adanya ketidakpastian tenurial pada wilayah yang dikelola oleh masyarakat.
Ketidakpastian penguasaan tenurial dan akses masyarakat
terhadap hutan seringkali dilihat sebagai salah satu alasan mengapa masyarakat seringkali tidak terlalu antusias untuk mencari strategi pengelolaan sumberdaya alam untuk tujuan jangka panjang.
2. Pengembangan institusi yang terkait dengan tata produksi Ketika kepastian tenurial dapat diperoleh masyarakat, maka tantangan selanjutnya adalah mengembangkan institusi yang terkait dengan penataan produksi. Terdapat dua level strategi pengembangan yang perlu dipikirkan yaitu: (i) strategi pengembangan tata produksi pada tingakt kelompok atau komunitas, dan (ii) strategi pengembangan tata produksi pada tingkat rumah tangga. Dua strategi ini jelas saling terkait. Strategi tata produksi pada tingkat kelompok atau komunitas pada dasarnya adalah mencari bentuk usaha bersama yang melibatkan semua anggota kelompok. Sementara untuk strategi pengembangan tata produksi pada tingkat rumah tangga petani, pendekatan yang banyak didorong oleg LSM pada komunitas di sekitar hutan adalah dengan cara mendorong tumbuhnya jenis-jenis usaha ekonomi rumah tangga yang bertujuan untuk menurangi ketergantungan petani pada hutan. 3. Pengembangan institusi yang terkait dengan tata konsumsi. Perubahan pola konsumsi umumnya berpengaruh besar pada cara masyarakat menilai sumberdaya alam ini. Dengan semakin pentingnya mata uang dalam kehidupan masyarakat di pedesaan, maka sedikit banyak juga berpengaruh pada cara ereka menilai dan memaknai sumberdaya alam yang mereka miliki atau kelola.
Tanah atau lahan pertanian atau hutan pada
awalnya bukanlah komoditi ekonomi bagi masyarakat pedesaan.
Dengan
adanya perubahan nilai ini, maka tanah atau lahan sekarang berubah menjadi komoditi yang mempunyai nilai ekonomis sehingga menjadi objek jual beli. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi ini biasanya akan mendorong adanya peningkatan ekspoitasi dari sumberdaya alam yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya dan keberlangsungan pelayanan alam dari ekosistem hutan buat masyarakat itu sendiri. Upaya dan strategi pengembangan institusi di tingkat lokal pada dasarnay dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu kondisi fisik dan sumberdaya alam setempat; faktor-faktor ekonomi politik pada tingkat internasional, nasional, dan daerah; serta faktor dinamika sosial dan politik lokal.
Pengembangan institusi di tingkat lokal dengan berbagai faktor yang mempengaruhi tersebut bertujuan untuk mencapai pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 dibawah ini.
Konteks Ekonomi Politik di Tingkat Internasional – Nasional - Daerah
Pengaturan Tata Kuasa Tenurial
Karakteristik Fisik dan Sumberdaya Alam Setempat
Pengaturan Tata Guna Lahan Pengaturan Tata Produksi Pengaturan Tata Konsumsi
Masyarakat Desa
Pengembangan Institusi Lokal
Pengelolaan Lingkungan yang Berkelanjutan dan Berkeadilan Sosial
Kelompok/ Komunitas
Dinamika Sosial dan Politik Lokal
Gambar 2. Kerangka Konseptual Pengembangan Institusi Lokal (Afiff,2007)
3.5.3. Metode Perancangan Program Metode perancangan program yang digunakan adalah melalui pendekatan Logical Framework Approach (LFA). Menurut Tonny (2007), LFA merupakan sebuah alat manajemen dan perencanaan dengan menggunakan teknik visualisasi yang mampu membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses perencanaan dan pengelolaan program. Melalui metode ini dapat dirumuskan tujuan-tujuan secara jelas sehingga ikut mendorong tercapainya pengambilan keputusan saat ada pendapat dan harapan berbeda dari stakeholders. Metode ini juga dapat digunakan untuk menyusun informasi secara sistematik serta dapat menghasilkan sebuah rancangan program yang konsisten dan realistis. Langkah-langkah dalam penyusunan LFA adalah: 1. Analisis Masalah Melakukan analisis terhadap masalah inti yang dihadapi dalam peningkatan peran LSM dalam program PHBM. Pada bagian ini dibahas penyebab dan akibat utama dan langsung terjadinya masalah inti. 2. Analisis Tujuan Melakukan analisis terhadap rumusan negatif dan analisis masalah menjadi keadaan positif yang layak. Pada tahap ini dianalisis pada tingkattingkat yang lebih rendah serta yang mencerminkan tindakan yang cukup operasional. 3. Matrik Perencanaan Proyek Membuat matrik perencanaan proyek yang menyajikan sebuah ringkasan sistematik yang memperhatikan kaitan-kaitan antara berbagai komponen proyek dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai. 4. Rencana Pelaksanaan Rencana pelaksanaan adalah pedoman kerja yang secara rinsi mengalokasikan waktu, personil, dan sarana yang diperlukan untuk melaksanakan semua kegiatan proyek. 5. Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi (monev) adalah upaya yang harus dilakukan secara terus-menerus maupun berkala untuk menjaga agar pelaksanaan proyek sesuai dengan rencana-rencana yang telah ditetapkan.
Hasil-hasil monev
menjadi dasar penyesuaian rencana-rencana pada tahap-tahap pelaksanaan selanjutnya. Kerangka LFA dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini.
Peran LSM
Rencana Program
Monitoring dan Evaluasi
Matrik Perencanaan Program
Analisis Perumusan Strategi
Analisis Tujuan
Analisis Masalah
Gambar 3. Diagram Alur Metode Logical Framework Approach (LFA)