BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang terdiri dari data time series tahunan selama periode tahun 2003-2010 dan data cross section sepuluh negara non-tradisional Asia. Sumber data yang diperoleh berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), UN Commodity and Trade Database, WDI (World Development Indicator) dari World Bank, Kementerian Perdagangan,
Gabungan
Pengusaha
Makanan
dan
Minuman
Indonesia
(GAPMMI) dan CEPII database. Selain itu, data pendukung lainnya diperoleh melalui berbagai literatur serta sumber-sumber lain yang relevan. Data mengenai ekspor produk makanan dan minuman olahan yang diteliti dalam penelitian ini diperoleh dari UN Comtrade dengan kode Harmonized System (HS 2002) seperti pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Kode Produk Makanan dan Minuman Olahan dalam Harmonized System (HS) No 1 2 3 4
Komoditi Roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis Kembang gula Jus buah dan jus sayuran Teh
Kode HS 1905 1704 2009 0902
Sumber : UN Comtrade, 2012
3.2. Metode Analisis Penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif. Metode analisis kuantitatif yang digunakan adalah metode Export Product Dynamic (EPD), Revealed Comparative Advantage (RCA), dan gravity model. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan Eviews 6. 3.2.1. Export Product Dynamics (EPD) Salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran yang baik tentang tingkat daya saing adalah Export Product Dynamics (EPD). Indikator ini
26
mengukur posisi pasar dari produk suatu negara untuk tujuan pasar tertentu. Ukuran ini mempunyai kemampuan untuk membandingkan kinerja ekspor diantara negara-negara di seluruh dunia. Sebuah matriks EPD terdiri dari daya tarik pasar dan informasi kekuatan bisnis. Daya tarik pasar dihitung berdasarkan pertumbuhan dari permintaan sebuah produk untuk tujuan pasar tertentu, dimana informasi kekuatan bisnis diukur berdasarkan pertumbuhan dari perolehan pasar (market share) sebuah negara pada tujuan pasar tertentu. Kombinasi dari daya tarik pasar dan kekuatan bisnis ini menghasilkan karakter posisi dari produk yang ingin dianalisis ke dalam empat kategori. Keempat kategori itu adalah “Rising Star”, “Falling Star”, “Lost Opportunity”, dan “Retreat” (Bappenas, 2009). Posisi pasar yang ideal adalah yang mempunyai pangsa pasar tertinggi pada ekspornya sebagai “Rising Star” atau “bintang terang”, yang menunjukkan bahwa negara tersebut memperoleh tambahan pangsa pasar pada produk mereka yang bertumbuh cepat (fast-growing products). “Lost Opportunity” atau “kesempatan yang hilang”, terkait dengan penurunan pangsa pasar pada produkproduk yang dinamis, adalah posisi yang paling tidak diinginkan. “Falling Star” atau “bintang jatuh” juga tidak disukai, meskipun masih lebih baik jika dibandingkan dengan “Lost Opportunity” atau “kesempatan yang hilang”, karena pangsa pasarnya tetap meningkat. Sementara itu, “Retreat” atau “kemunduran” biasanya tidak diinginkan, tetapi pada kasus tertentu 'mungkin' diinginkan jika pergerakannya menjauhi produk-produk yang stagnan dan menuju produk-produk yang dinamik (Bappenas, 2009). Tabel 3.2. Matriks Posisi Daya Saing Share of Country’s Export in World Trade (x) Rising (Competitive) Falling (Non-Competitive)
Share of Product in World Trade (y) Falling Rising (Dynamic) (Stagnant) Rising Star Falling Star Lost Opportunity Retreat
Sumber : Esterhuizen, 2006 dalam Bappenas, 2009
Untuk lebih memahami matriks posisi daya saing dapat dilihat melalui tampilan Gambar 3.1 yang menggambarkan posisi pasar pada masing-masing
27
kuadran dengan d sum mbu x sebaagai pangsaa pasar eksspor dan suumbu y seebagai pangsa pasar produk. y Lost Opportunity
Rising Star
+ ‐ R Retreat
0 ‐
+
x
Falling Star
Gam mbar 3.1. Keekuatan Bisn nis dan Daya Tarik Passar dalam M Metode EPD Catatan:
Sumbu x menggambarkkan peningkaatan pangsa pasar p ekspor negara terteentu di perdagangann dunia. Sumbu y menggambar m rkan pening gkatan pangsa pasar prroduk terten ntu di perdagangann dunia.
Addapun rumuus yang diguunakan dalam m perhitunggan EPD inii, diantaranya: •
Sumbbu x: Pertum mbuhan kekkuatan bisniis atau diseb but pangsa pasar p ekspoor i: t ⎛X ⎛ X ij ⎞ ⎟⎟ × 100 % − ∑ ⎜⎜ ij ij ⎠ t =1 ⎝ t =1 ⎝ W ij t T t
∑ ⎜⎜ W •
Sumbbu y:
⎞ ⎟⎟ × 100 % ⎠ t −1
Pertum mbuhan dayya tarik pasaar atau diseebut pangsa pasar produuk: t
⎛ Xt ⎞
⎟ ∑ ⎜⎝ Wt W ⎠ t =1
t
t ⎛X ⎞ × 100 % − ∑ ⎜ t ⎟ × 100 % t =1 ⎝ Wt ⎠ t −1 T
Keterangaan : Xij
: Nilai N ekspor produk i Inndonesia ke pasar non-ttradisional A Asia
Wij
: Nilai N ekspor produk i Dunia D ke passar non-traddisional Asiaa
Xt
: Nilai N total ekkspor Indonnesia ke pasaar non-tradiisional Asiaa
Wt
: Nilai N total ekkspor Duniaa ke pasar non-tradision n nal Asia
T
: Juumlah tahunn analisis Meetode EPD D ini digunnakan untuk k menganaalisis sepuluuh negara non-
tradisionall Asia yanng terdiri dari d Bahrain n, India, Camboja, C L Lebanon, Macao, M
28
Malaysia, Pakistan, Sri Lanka, Thailand, dan Turki yang berpotensi dijadikan negara tujuan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia dengan melihat daya saing serta performa dari produk makanan dan minuman olahan yang diekspor ke negara-negara tersebut. 3.2.2. Revealed Comparative Advantage (RCA) Metode RCA merupakan metode analisis untuk menentukan keuntungan komparatif atau daya saing. Melalui analisis perhitungan RCA, posisi daya saing dari produk makanan dan minuman olahan Indonesia di pasar non-tradisional Asia dapat diketahui. Kinerja ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia ke pasar non-tradisional Asia merupakan variabel yang diukur dengan menghitung pangsa nilai ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia terhadap total ekspor ke pasar non-tradisional Asia yang selanjutnya dibandingkan dengan pangsa nilai ekspor dunia ke pasar non-tradisional Asia. Sehingga dapat diketahui secara kuantitatif kemampuan ataupun ketidakmampuan produk makanan dan minuman olahan Indonesia bersaing di pasar non-tradisional Asia. Adapun metode perhitungan RCA adalah sebagai berikut: RCA =
Xijt / Xjt Wijt / Wjt
Dimana : Xijt
: Nilai ekspor produk i Indonesia ke pasar non-tradisional Asia
Xjt
: Nilai total ekspor Indonesia ke pasar non-tradisional Asia
Wijt
: Nilai ekspor produk i dunia ke pasar non-tradisional Asia
Wjt
: Nilai total ekspor dunia ke pasar non-tradisional Asia
•
Jika nilai RCA>1, menyatakan bahwa produk-produk tersebut memiliki keunggulan komparatif atau berdaya saing kuat.
•
Jika nilai RCA<1, menyatakan bahwa produk-produk tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif atau berdaya saing lemah.
29
3.2.3. Estimasi Gravity Model 3.2.3.1. Perumusan Model Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di pasar non-tradisional Asia dianalisis dengan menggunakan gravity model melalui metode regresi data panel dengan model logaritma. Variabel-variabel yang diduga mempengaruhi permintaan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di pasar non-tradisional Asia, yaitu GDP per kapita riil negara tujuan ekspor, populasi penduduk negara tujuan ekspor, jarak ekonomi, nilai tukar riil mata uang negara tujuan ekspor terhadap dolar Amerika Serikat, harga ekspor relatif komoditi dan nilai ekspor tahun sebelumnya. Dengan demikian, model ekonometrika untuk faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di pasar non-tadisional Asia adalah sebagai berikut: Ln Xijt = β0 + β1 Ln GDPCjt + β2 Ln POPjt + β3 Ln JEijt + β4 Ln ERijt + β5 Ln HRit+ β6 Ln Xij(t-1) + εit Dimana: β0
: Intersep
β1, β2, …, β5
: Koefisien variabel-variabel independen yang diuji secara statistik dan ekonometrika
Xijt
: Nilai ekspor produk i Indonesia ke negara tujuan tahun ke-t (US$)
GDPCjt
: GDP per kapita riil negara tujuan pada tahun ke-t (US$)
POPjt
: Populasi negara tujuan pada tahun ke-t (orang)
JEijt
: Jarak ekonomi pada tahun ke-t (km)
ERijt
: Nilai tukar riil pada tahun ke-t (mata uang negara tujuan/US$)
HRijt
: Harga ekspor relatif komoditi i ke negara tujuan pada tahun ke-t (US$/kg)
Xij(t-1)
: Nilai ekspor pada tahun sebelumnya, ke t-1 (US$)
εit
: error term
30
3.2.3.2. Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel Dalam melakukan pemilihan model untuk sebuah penelitian diperlukan dasar pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Pengujian statistik pemilihan model dalam pengolahan data panel meliputi: 1. Chow Test Chow test adalah pengujian untuk memilih apakah model Pooled Least Square atau Fixed Effect Model yang digunakan. Dalam pengujian ini dilakukan hipotesa sebagai berikut: H0 : Model Pooled Least Square (PLS) H1 : Model Fixed Effect (FEM) Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan F-statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow: Chow =
ESS – ESS / N ESS / NT N K
Dimana: ESS1 = Residual Sum Square hasil pendugaan model PLS ESS2 = Residual Sum Square hasil pendugaan FEM N
= Jumlah data cross section
T
= Jumlah data time series
K
= Jumlah variabel penjelas Statistik Chow Test mengikuti distribusi F-statistik dengan derajat bebas
(N-1, NT-N-K) jika nilai Chow statistic (F-stat) hasil pengujian lebih besar dari Ftabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah fixed effect model dan begitu juga sebalinya. 2. Hausman Test Hausman test adalah pengujian untuk memilih apakah Random Effect Model atau Fixed Effect Model yang digunakan. Model fixed effect mengandung unsur trade off, yaitu hilangnya unsur derajat bebas dengan memasukkan variabel
31
dummy. Namun, penggunaan model random effect juga harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Berikut ini hipotesa Hausman test: H0 : Model Random Effect H1 : Model Fixed Effect Sebagai dasar penolakan H0, maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan sebagai berikut: m = (β – b) (M0 – M1)-1 (β – b) ~χ2 (K) dimana β adalah vektor statistik variabel fixed effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, M0 adalah matriks kovarians untuk dugaan fixed effect model, dan M1 adalah matriks kovarians untuk dugaan random effect model. Jika nilai m hasil pengujian lebih besar dari χ2-tabel, maka cukup bukti melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect dan begitu pula sebaliknya. 3. LM Test LM test (The Breusch-Pagan LM Test) adalah pengujian untuk memilih apakah Random Effect Model atau Pooled Least Square yang digunakan. Pengujian hipotesisnya sebagai berikut: H0 : Model Pooled Least Square H1 : Model Random Effect Dasar penolakan H0 dengan cara membandingkan antara nilai statistik LM dengan nilai Chi-square. Apabila nilai LM hasil perhitungan lebih besar dari χ2tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang akan digunakan adalah random effect model, dan sebaliknya. 3.2.3.3. Pengujian Asumsi Model dan Pengujian Hipotesis Untuk dapat menghasilkan model yang efisien, tidak bias, dan konsisten, maka perlu dilakukan pendeteksian terhadap pelanggaran asumsi dasar model
32
ekonometrika dengan melakukan pengujian asumsi pada model menyangkut uji multikolinearitas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas. A. Pengujian Asumsi Model 1. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas merupakan suatu penyimpangan asumsi akibat adanya keterkaitan atau hubungan linear antar variabel bebas penyusun model. Suatu model regresi dikatakan memiliki gejala multikolinearitas jika terdapat beberapa indikasi berikut ini (Gujarati, 1978): a. Nilai R2 tinggi (misalnya antara 0,7 dan 1), tetapi variabel bebas banyak yang tidak signifikan. b. Tanda tidak sesuai yang diharapkan. c. Korelasi sederhana antar variabel individu tinggi (Rij tinggi). d. R2 < rij menunjukkan adanya multikolinearitas. Terdapat beberapa cara mengatasi masalah multikolinearitas, diantaranya: a. Menggunakan informasi sebelumnya b. Mengkombinasikan data cross section dan data time series c. Menghilangkan variabel yang sangat berkorelasi d. Mentransformasikan variabel e. Penambahan data baru 2. Uji Autokorelasi Akibat adanya autokorelasi dalam model yang diestimasi, yaitu pendugaan parameter masih tetap tidak bias dan konsisten. Namun, penduga ini memiliki standar error yang bias ke bawah, atau lebih kecil dari nilai yang sebenarnya sehingga nilai statistik uji-t tinggi (overestimate). Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan metode Generalized Least Square dalam estimasi model. Untuk mengetahui ada tidaknya masalah autokorelasi pada model dapat dilihat dari hasil uji Durbin-Watson (DW). Kisaran nilai Durbin-Watson (DW) yang mengindikasikan ada tidaknya masalah autokorelasi dapat dilihat pada Tabel 3.3.
33
Tabel 3.3. Selang Nilai Statistik Durbin-Watson serta Keputusannya Nilai Durbin-Watson DW < 1,10 1,10 < DW < 1,54 1,55 < DW < 2,46 2,46 < DW < 2,90 DW > 2,91 Sumber: Firdaus, 2004
Kesimpulan Ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Tidak ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Ada autokorelasi
3. Uji Heteroskedastisitas Jika seluruh faktor pengganggu pada model tidak memiliki varian yang konstan maka diduga model mengalami masalah heteroskedastisitas atau dengan kata lain, heteroskedastisitas terjadi jika ragam sisaan tidak konstan. Mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan Sum Square Resid pada Weighted Statistics dengan Sum Squared Resid pada Unweighted Statistics. Jika Sum Square Resid pada Weighted Statistics < Sum Squared Resid pada Unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Untuk mengatasi masalah ini digunakan metode White Heteroscedasticity yang diestimasi dengan Generalized Least Square (GLS). B. Pengujian Hipotesis Adapun kriteria yang ditentukan untuk dapat menguji model yang dianalisis sudah baik atau tidak baik, yaitu (Juanda, 2009): 1. Uji-F Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen di dalam model secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen yang digunakan. Perumusan hipotesis yang digunakan adalah: H0 : β1 = β2 = β3 = βk = 0 H1 : Minimal ada satu nilai β yang tidak sama dengan nol Kriteria ujinya adalah jika Fhitung > Ftabel,α,(k-1)(n-k) maka tolak H0, dimana k adalah jumlah variabel (dengan intercept) dan jumlah observasi yang dilambangkan dengan huruf n. selain itu, jika probabilitas (p-value) < taraf nyata,
34
maka sudah cukup bukti untuk menolak H0. Jika tolak H0 berarti secara bersamasama variabel bebas dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas pada taraf nyata α persen, demikian pula sebaliknya. 2. Uji-t Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen secara individu (masing-masing) berpengaruh signifikan atau tidak terhadap variabel independen. Hipotesis yang digunakan sebagai berikut: H0 : βk = 0 H1 : βk ≠ 0 Kriteria uji yang digunakan adalah jika │thitung│> tα/2,(n-k) maka tolak H0, dimana jumlah observasi dilambangkan dengan huruf n, dan huruf k melambangkan jumlah variabel (termasuk intercept). Selain itu, jika probabilitas (p-value) lebih kecil dari taraf nyata maka dapat digunakan juga untuk menolak H0. Jika tolak H0 berarti variabel bebas dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas pada taraf nyata α persen, demikian pula sebaliknya. 3. Koefisien Determinasi Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui besarnya daya menerangkan dari variabel independen terhadap variabel dependen pada model. Nilai R2 berkisar antara nol sampai 1 (0