32
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis / Desain Penelitian Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan desain potong lintang.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Rumah Sakit (RS) Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam mulai
bulan
Februari
2016
sampai
dengan
sampel
terpenuhi.
Pemeriksaan biofilm bakteri dengan pewarnaan hematoxylin eosin dilakukan
di
Departemen
Patologi
Anatomi
Fakultas
Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, pemeriksaan kultur bakteri dan uji kepekaan antibiotik dilakukan di Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3.3 Populasi, Sampel dan Besar Sampel 3.3.1 Populasi Populasi penelitian ini adalah penderita rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional di RS Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam mulai bulan Februari 2016 sampai dengan sampel terpenuhi.
32
Universitas Sumatera Utara
33
3.3.2 Sampel Sampel penelitian adalah penderita rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional yang kemudian diambil jaringan dari sinus maksila dan atau etmoidnya serta dilakukan swab pada meatus medianya di RS Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam yang memenuhi kriteria inklusi pada bulan Februari 2016 sampai dengan sampel terpenuhi. Kriteria inklusi: a. Penderita rinosinusitis kronis dimana sinus yang terlibat minimal sinus maksila atau sinus etmoid yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional. b. Pada penderita rinosinusitis kronis bilateral sampel diambil dari sisi sinus yang paling banyak terinfeksi. c. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian dan menandatangani formulir persetujuan mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi a. Mukosa yang tidak adekuat untuk analisis b. Swab yang tidak adekuat untuk analisis 3.3.3 Besar sampel Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus:
Zα √po (1-po) + Zβ √pa (1-pa) n= eterangan: pa - po
2
Universitas Sumatera Utara
34
Keteragan: n
= Jumlah sampel minimal yang diperlukan
Zα
= Kesalahan tipe 1 = 1,96
po
= Proporsi kultur bakteri (+) pada populasi yang tidak beresiko atau dengan biofilm (-) = 79% = 0,79 (Foreman, et al., 2009)
Zβ
= Kesalahan tipe 2 = 0,842
pa
= propprsi kultur bakteri (+) pada penderita dengan biofilm (+)
pa-po = 20% = 0,20 pa-0,79 = 0,20 pa
= 0,99
n
=
1,96 √0,79x0,21 + 0,842 √0,99x0,01
2
0,2 n
= 19,45 = 20
Besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah 20 3.3.4 Teknik pengambilan sampel Pengambilan sampel penelitian adalah secara non probability consecutive sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan ke dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu hingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 1995).
Universitas Sumatera Utara
35
3.4 Variabel Penelitian Variabel independent: biofilm. Variabel dependent: kultur bakteri.
3.5 Definisi Operasional 3.5.1 Rinosinusitis kronis adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal selama lebih dari 12 minggu (Fokkens, et al., 2012). 3.5.2 Bedah sinus endoskopik fungsional adalah teknik bedah minimal invasif dimana sel-sel udara pada sinus dan ostiumnya dibuka dengan cara tampak langsung (Slack dan Bates, 1998). 3.5.3 Polip adalah pembengkakan mukosa yang berbentuk seperti anggur, lembut, licin dan mobile (Schlosser dan Woodworth, 2009). 3.5.4 Biofilm adalah komunitas mikroba dalam bentuk sesil yang ditandai dengan sel-sel yang secara ireversibel melekat pada substratum atau satu sama lainnya (Donlan dan Costerton, 2002; Foreman, at al., 2009; Hassan, et al., 2011). Ada beberapa teknik pemeriksaan biofilm, salah satu diantaranya adalah pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin (Mathur, et al., 2006; Taj, et al., 2012). Pemeriksaan
biofilm
dengan
pewarnaan
hematoxylin
eosin
memerlukan alat-alat sebagai berikut: a. 1
set
alat
untuk
pemeriksaan
dengan
pewarnaan
hematoxylin eosin b. Mikroskop cahaya Olympus Cx19 (Germany) Pemeriksaan
biofilm
dengan
pewarnaan
hematoxylin
eosin
memerlukan bahan-bahan sebagai berikut: a. Xylene
Universitas Sumatera Utara
36
b. Ethanol 70%, 80%, 95%, 96%, 100% c. Hematoxylin eosin d. Air suling e. Asam hidroklorida 0,1% Pemeriksaan biofilm dilakukan pada jaringan mukosa sinus maksila dan atau sinus etmoid. 3.5.5 Kultur
bakteri
adalah
suatu
pemeriksaan
menanam
dan
melakukan isolasi bakteri pada media perbenihan dari spesimen untuk mengetahui spesies bakteri (Iswara, 1987). Alat yang diperlukan: a. 1 set alat untuk pemeriksaan kultur bakteri b. 1 set alat untuk pewarnaan gram c. Inkubator bakteriologis d. mikroskop Bahan yang diperlukan: a. Transport swabs (Oxoid) b. Agar darah c. Agar Mac Conkey d. Zat warna ungu kristal e. Air keran f. Larutan lugol g. Alkohol 96% h. Fuchsin-air (safranin) Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan pada swab meatus media. 3.5.6 Uji
kepekaan
antibiotik
adalah
suatu
pemeriksaan
untuk
mengetahui apakah bakteri peka (susceptible), kurang peka (intermediate) atau tidak peka (resistant) terhadap suatu antibiotik (Iswara, 1987).
Universitas Sumatera Utara
37
Alat yang diperlukan: a. 1 set alat untuk pemeriksaan uji kepekaan antibiotik b. Penggaris Bahan yang diperlukan: a. Agar Muller Hinton b. Cakram antibiotik
3.6 Alat Ukur 3.6.1 Alat
Lampu kepala merk Ryne dan alat THT rutin merk Renz
Alat penghisap sekret (suction) merk Thomas Medipump tipe 1132 GL
1 set alat endoskopi
1
set
alat
untuk
pemeriksaan
dengan
pewarnaan
hematoxylin eosin
Mikroskop cahaya Olympus Cx19 (Germany)
1 set alat untuk pemeriksaan kultur bakteri
1 set alat untuk pewarnaan gram
Inkubator bakteriologis
1 set alat untuk pemeriksaan uji kepekaan antibiotik
Penggaris
Formulir persetujuan ikut penelitian
Catatan medis penderita dan status penelitian penderita
3.6.2 Bahan
Formalin 4%
Xylene
Ethanol 70%, 80%, 95%, 96%, 100%
Hematoxylin eosin
Air suling
Asam hidroklorida 0,1%
Universitas Sumatera Utara
38
Transport swabs (Oxoid)
Agar darah
Agar Mac Conkey
Zat warna ungu kristal
Air keran
Larutan lugol
Alkohol 96%
Fuchsin-air (safranin)
agar Muller Hinton
Cakram antibiotik
3.6.3 Cara kerja Semua subyek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi durante
operasi
diambil
swab
pada
meatus
medianya
menggunakan transport swab dan jaringan mukosa sinus maksila dan atau sinus etmoid diambil menggunakan forcep yang kemudian difiksasi dalam formalin 4% selama 48 jam. Bahan swab diproses 2-4 jam setelah sampel diambil untuk kultur bakteri. Dan dilakukan uji kepekaan antibiotik pada semua bakteri yang terisolasi. Jaringan mukosa sinus maksila dan atau etmoid kemudian diwarnai dengan hematoxylin
eosin
dengan
menggunakan
prosedur
patologi
standar. Pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin dilakukan dengan cara: potongan mukosa dideparafinisasi dalam xylene (2x5 menit) dan direhidrasi secara berturut-turut selama 1 menit dicuci dengan ethanol 100%, 96%, 80%, dan 70%. Kemudian diwarnai dengan hematoxylin selama 2 menit, dicuci dengan air suling, dicuci dengan asam hidroklorida 0,1% dalam 50% ethanol, dicuci dengan air keran selama 15 menit, diwarnai dengan eosin selama 1 menit, dan dicuci lagi dengan air suling. Slide-nya kemudian didehidrasi dengan ethanol 95% dan 100% secara berurutan diikuti
Universitas Sumatera Utara
39
dengan xylene (2x5 menit) dan ditutup dengan coverslip. Kemudian slide
dianalisa
dengan
mikroskop
cahaya
Olympus
Cx19
(Germany) dengan pembesaran 20x dan 40x. Hasil pemeriksaan pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin: dengan pewarnaan hematoxylin eosin rutin biofilm tampak sebagai bentuk yang ireguler dari kelompok bakteri basofilik kecil, substansi ekstrapolimer, dan sisa eritrosit dan leukosit yang terperangkap pada permukaan epitel. Sampel diklasifikasikan menjadi, biofilm positif bila terdapat keterlibatan permukaan mukosa yang dianalisa dan biofilm negatif bila tidak ada keterlibatan permukaan mukosa yang dianalisa.
Gambar 3.1. Pewarnaan hematoxylin eosin, kiri: tampak epitel respiratori bersilia yang normal, kanan: tampak kelompok bakteri basofilik kecil pada permukaan epitel (Hochstim, et al., 2010)
Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan cara: swab yang diambil dari meatus media kemudian diinokulasi pada agar darah dan agar Mac Conkey. Lalu diinkubasi pada 37oC selama 24 jam dalam inkubator bakteriologis. Setelah itu lempeng agar diperiksa apakah ada pertumbuhan koloni bakteri. Selanjutnya dilakukan
Universitas Sumatera Utara
40
pewarnaan gram pada bakteri yang tumbuh untuk melihat morfologinya. Setelah bakteri difiksasi pada gelas objek kemudian dituangkan zat warna ungu kristal di atas sediaan selama 1-5 menit. Lalu sediaan dicuci dengan air keran selama 5-10 detik, kemudian digenangi dengan larutan lugol selama 1 menit, setelah itu dicuci kembali dengan air keran (5-10 detik). Selanjutnya sediaan dicelup dan digoyang dalam bak berisi alkohol 96% selama 30 detik. Sediaan dicuci dengan air keran kembali. Lalu digenangi dengan fuchsin-air (safranin) selama 1-2 menit, dan dicuci kembali dengan air keran, lalu keringkan di udara. Setelah kering, sediaan dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000x. Pemeriksaan uji kepekaan antibiotik kemudian dilakukan pada semua bakteri yang terisolasi dengan menggunakan metode difusi lempeng Kirby Bauer pada agar Muller Hinton menggunakan lempeng antibiotik Hi media. Cakram antibiotik diletakkan pada permukaan lempeng agar dengan bantuan pinset steril dan ditekan sedikit agar melekat dengan baik, lalu dieramkan pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Kemudian daerah hambatan di sekitar cakram antibiotik
yang
tidak
ditumbuhi
oleh
koloni
bakteri
diukur
diameternya dalam milimeter dengan penggaris lalu disesuaikan dengan tabel modified Kirby Bauer method.
3.7 Teknik Pengumpulan Data Data
primer
diambil
dari
lembar
pemeriksaan
dan
hasil
pemeriksaan terhadap subyek penelitian di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher RS Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam. Data mengenai biofilm bakteri diperoleh dari hasil pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin terhadap jaringan dari sinus maksila dan
Universitas Sumatera Utara
41
atau sinus etmoid di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Dan data mengenai hasil kultur bakteri dan uji kepekaan antibiotik diperoleh dari pemeriksaan yang dilakukan di Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3.8 Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan program Statistical Packet for The Social and Science (SPSS) kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Analisis univariat untuk data deskriptif. Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antar variabel. Variabel katagorik menggunakan uji Chi Square pada taraf kepercayaan 95% dan variabel numerik menggnakan uji T Independent bila data berdistribusi normal, bila tidak normal digunakan uji Mann Whitney. Uji normalitas menggunakan uji Shapiro Willk.
3.9 Hipotesa Statistik H1 : terdapat hubungan antara ekspresi biofilm bakteri dengan kultur bakteri.
Universitas Sumatera Utara
42
3.10 Kerangka Kerja Pasien rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional
Mukosa sinus maksila dan atau sinus etmoid diambil menggunakan forcep
Sampel dilakukan pemeriksaan patologi anatomi dengan pewarnaan hematoxylin eosin
Biofilm
Swab dari meatus media
Sampel dilakukan pemeriksaan kultur bakteri
Uji kepekaan antibiotik
Spesies bakteri
Antibiotik yang sensitif
Pengumpulan dan analisa data
Universitas Sumatera Utara
43
3.11 Jadwal Penelitian
NO
Jenis Kegiatan
1.
Persiapan proposal
2.
Presentasi proposal
3.
Pengumpulan data
4.
Pengolahan data dan
Waktu I
II
III
IV
V
pembuatan laporan 5.
Laporan hasil
Universitas Sumatera Utara
32
BAB IV HASIL PENELITIAN
Penelitian diikuti oleh sebanyak 32 orang pasien rinosinusitis kronik yang telah memenuhi krinteria inklusi. Pasien dengan jenis kelamin lakilaki berjumlah 18 orang (56,3%), dengan rerata usia 37,44 tahun. subyek dengan kebiasaan merokok terdapat sebanyak 9 orang (28,1%). Keluhan pasien terbanyak adalah hidung tersumbat sebanyak 30 orang (93,8%), diikuti keluhan sekret hidung (75%), nyeri wajah (68,8%) dan gangguan penciuman (53,1%). Hasil pemeriksaan bakteri menunjukkan dari 32 sampel, semuanya dijumpai kultur bakteri positif (100%), dimana 21 sampel diantaranya dengan biofilm positif (65,6%)
Tabel 4.1
Karakteristik Subyek Penelitian
Karakteristik Subyek
n = 32
Jenis Kelamin, n (%) Laki-laki Perempuan Usia, rerata (SB), tahun Merokok, n (%) Ya Tidak Keluhan, n (%) Hidung tersumbat Sekret hidung Nyeri wajah Gangguan penciuman Polip
18 (56,3) 14 (43,8) 37,44 (15,63) 9 (28,1) 23 (71,9) 30 (93,8) 24 (75) 22 (68,8) 17 (53,1) 11 (34,4)
Hasil Kultur Bakteri, n (%) Gram Positif Gram Negatif
21 (65,6) 11 (34,4)
44
Universitas Sumatera Utara
33
Tabel 4.2
Perbedaan
Keberadaan
Bakteri
berdasarkan
Karakteristik Demografi Bakteri Karakteristik Demografi
p*
Gram (+)
Gram (-)
n = 21
n = 11
Laki-laki
12 (66,7)
6 (33,3)
Perempuan
9 (64,3)
5 (35,7)
37,76
36,82 (15,66)
0,874b
0,681a
Jenis Kelamin, n (%)
Usia, rerata (SB), tahun
1,000a
(15,99) Merokok, n (%) Ya
5 (55,6)
4 (44,4)
Tidak
16 (69,6)
7 (30,4)
35,14 (40)
15,55 (11,35)
Lama Gejala, rerata (SB), bulan a
0,433c
Fisher’s Exact, b T Test, c Mann Whitney
Tabel
4.2
menyajikan
perbedaan
hasil
pemeriksan
bakteri
berdasarkan karakterisik demografi subyek yaitu jenis kelamin, usia, kebiasaan merokok dan lama gejala keluhan rinosinusitis. Tidak ditemukan
perbedaan
yang
signifikan
hasil
pemeriksaan
bakteri
berdasarkan karakteristik demografi (p>0,05).
Universitas Sumatera Utara
34
Tabel 4.3
Perbedaan Keberadaan Bakteri berdasarkan Gejala/Keluhan Rinosinusitis Kronis Bakteri
Gejala/Keluhan
Gram (+)
Gram (-)
n = 21
n = 11
20 (66,7)
10 (33,3)
1 (50)
1 (50)
Ada
16 (66,7)
8 (33,7)
Tidak ada
5 (62,5)
3 (37,5)
14 (63,6)
8 (36,4)
7 (70)
3 (30)
Ada
11 (64,7)
6 (35,3)
Tidak ada
10 (66,7)
5 (33,3)
Ada
6 (54,5)
5 (45,5)
Tidak ada
15 (71,4)
6 (28,6)
p*
Hidung tersumbat, n (%) Ada Tidak ada
1,000a
Sekret hidung, n (%) 1,000a
Nyeri wajah, n (%) Ada Tidak ada
1,000a
Gangguan Penciuman, n (%) 0,907b
Polip, n (%)
a
0,442a
Chi Square, bFisher’s Exact Tabel
4.3
menyajikan
perbedaan
hasil
pemeriksan
bakteri
berdasarkan karakterisik demografi subyek berdasarkan gejala/keluhan rhinosinusitis kronis. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa tidak ditemukan
perbedaan
hasil
pemeriksaan
bakteri
yang
signifikan
berdasarkan gejala/keluhan rinosinusitis kronis (p>0,05).
Universitas Sumatera Utara
35
Tabel 4.4
Hubungan Biofilm dan Keberadaan Bakteri Kultur Bakteri
Biofilm Positif
Negatif
Positif
21
-
Negatif
11
-
Tabel 4.4 menyajikan hubungan biofilm dan keberadaan bakteri dimana dari semua sampel baik biofilm positif maupun biofilm negatif hasil kultur bakterinya positif.
Tabel 4.5
Hubungan Biofilm dengan Keberadaan Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif Bakteri
Biofilm
Gram (+)
Gram (-)
n = 21
n = 11
Positif
15 (71,4)
6 (28,6)
Negatif
6 (54,5)
5 (45,5)
p*
0,442
*Fisher’s Exact Hasil studi menunjukkan dari 21 orang subyek dengan biofilm positif terdapat 15 orang (71,4%) ditemukan bakteri gram positif, dan dari 11 subyek dengan biofilm negatif ditemukan 6 orang (54,5%) bakteri gram positif. Hasil analisis menggunakan uji fisher’s exact ditemukan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara hasil biofilm positif dengan hasil pemeriksaan bakteri (p=0,442, p>0,05).
Universitas Sumatera Utara
36
Tabel 4.6
Distribusi Isolasi Bakteri Gram Positif
Organisme Staphylococcus epidermidis Staphylococcus aureus
Jumlah
Persentase
n = 21 16
76,19
5
23,81
Tabel 4.6 menyajikan distribusi bakteri gram positif dimana dari 21 sampel bakteri, Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif yang paling banyak dijumpai (76,19%), diikuti oleh Staphylococcus aureus (23,81%).
Tabel 4.7
Tes Sensitifitas Bakteri Gram Positif
Antibiotik
Sensitifitas (%)
Amoxicillin - Clavulanat
90,48
Ciprofloxacin
90,48
Cefotaxime
85,71
Chloramfenicol
80,95
Gentamicin
76,19
Eritromicin
61,90
Tetrasiklin
61,90
Clindamicin
57,14
Amoxicillin
52,38
Ampicilin
28,57
Dari tabel 4.7 menunjukkan hasil tes sensitifitas pada bakteri gram positif, dimana Ciprofloxacin (90,48%) dan Amoxicilin-Clavulanat (90,48%)
Universitas Sumatera Utara
37
merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram positif, diikuti oleh Cefotaxime (85,71%). Tabel 4.8
Distribusi Isolasi Bakteri Gram Negatif
Organisme
Jumlah
Persentase
n = 11 2
18,18
Acinetobacter baumannii
1
9,09
Klebsiella pneumonia
7
63,64
Pseudomonas aeruginosa
1
9,09
Escherichia coli
Tabel 4.8 menyajikan distribusi bakteri gram negatif dimana dari 11 sampel bakteri, Klebsiella pneumonia merupakan bakteri gram negatif yang paling banyak dijumpai (63,64%), diikuti oleh Escherichia coli (18,18%).
Tabel 4.9
Tes Sensitifitas Bakteri Gram Negatif
Antibiotik
Sensitivitas (%)
Ciprofloxacin
100
Imipenem
100
Cefoperazone
90,91
Ceftazidin
90,91
Tetrasiklin
72,73
Chlorampenicol
63,64
Cotrimoxazole
63,64
Gentamicin
63,64
Ampicilin
9,09
Universitas Sumatera Utara
38
Dari tabel 4.9 menunjukkan hasil tes sensitifitas pada bakteri gram negatif, dimana Ciprofloxacin (100%) dan Imipenem (100%) merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram negatif, diikuti oleh Cefoperazone (90,91%) dan Ceftazidin (90,91%).
Tabel 4.10
Distribusi Isolasi Bakteri Pada Sampel Biofilm Positif Organisme
Bakteri Gram (+): - Staphylococcus epidermidis - Staphylococcus Aureus Bakteri Gram (-): - Acinetobacter baumannii - Klebsiella pneumonia - Pseudomonas aeruginosa
Jumlah n = 21
Persentase
12 4
57,14 19,65
1 3 1
4,76 14,29 4,76
Tabel 4.10 menyajikan distribusi bakteri pada sampel biofilm positif dimana dari 21 sampel, Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif yang paling banyak dijumpai (57,14%), diikuti oleh Staphylococcus aureus (19,65%). Bakteri gram negatif yang paling banyak dijumpai adalah Klebsiella pneumonia (14,29%).
Tabel 4.11
Distribusi Isolasi Bakteri Pada Sampel Biofilm Negatif Organisme
Bakteri Gram (+): - Staphylococcus epidermidis - Staphylococcus Aureus Bakteri Gram (-): - Escherichia coli - Klebsiella pneumonia
Jumlah n = 11
Persentase
4 1 2
36,36 9,09 18,18
4
36,36
Universitas Sumatera Utara
39
Tabel 4.11 menyajikan distribusi bakteri pada sampel biofilm negatif dimana dari 11 sampel bakteri, Staphylococcus epidermidis dan Klebsiela pneumonia merupakan bakteri yang paling banyak dijumpai (36,36%).
Tabel 4.12
Tes Sensitifitas Bakteri Pada Sampel Biofilm Positif dan Biofilm Negatif Sensitifitas (%)
Jenis Antibiotik
Biofilm (+)
Biofilm (-)
Gram (+)
Gram (-)
Gram (+)
Gram (-)
86,67
100
100
100
-
100
-
100
86,67
-
100
-
80
-
100
-
Cefoperazone
-
100
-
80
Ceftazidin
-
100
-
80
Chloramfenicol
86,67
66,67
66,67
60
Gentamicin
73,33
66,67
83,33
60
Tetrasiklin
66,67
83,33
50
60
Clindamicin
40
-
100
-
Eritromicin
53,30
-
83,33
-
Amoxicillin
40
-
83,33
-
-
50
-
80
20
16,67
50
100
Ciprofloxacin Imipenem Amoxicilin - Clavulanat Cefotaxime
Cotrimoxazole Ampicilin
Dari tabel 4.12 menunjukkan hasil tes sensitifitas pada bakteri gram positif, sampel biofilm positif dimana Ciprofloxacin, Chlorampenicol, dan Imipenem merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram positif (86,67%), diikuti oleh Cefotaxime (80%). Hasil tes sensitifitas pada bakteri gram negatif sampel biofilm positif dimana
Universitas Sumatera Utara
40
Ciprofloxacin, Cefoperazone, Ceftazidin, dan Imipenem merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram negatif (100%), diikuti oleh Tetrasiklin (83,33%). Hasil tes sensitifitas pada bakteri gram positif sampel biofilm negatif dimana Ciprofloxacin, Amoxicillin-Clavulanat, Cefotaxim dan Clindamicin merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram positif (100%), diikuti oleh Gentamicin, Amoxicilin dan Eritromicin yaitu 83,33%. Hasil tes sensitifitas pada bakteri gram negatif, sampel biofilm negatif dimana Ciprofloxacin, Ampicilin dan Imipenem merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram negatif (100%), diikuti oleh Cotrimoxazole, Cefoperazone dan Ceftazidin yaitu 80%.
Universitas Sumatera Utara
32
BAB V PEMBAHASAN
Rinosinusitis kronis merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering dijumpai, mempengaruhi 4-28 % populasi di Eropa dan Amerika Serikat.
Penyakit
ini
secara
signifikan
menurunkan
kualitas
hidup
penderitanya dan merupakan masalah sosioekonomi dalam masyarakat. Pasien dengan rinosinusitis berulang atau kronis dilaporkan mengalami penurunan kesehatan secara umum dan vitalitas jika dibandingkan dengan populasi umum (Dlugaszewska, et al., 2015). Rinosinusitis kronis memiliki banyak penyebab yang terdiri dari infeksi (virus, bakteri dan jamur), anatomi, alergi, disfungsi mukosilier kongenital (misalnya fibrosis kistik, diskinesia siliari primer atau didapat) dan gangguan sistemik. Adanya bakteri di dalam hidung dan sinus paranasal pada populasi rinosinusitis kronis telah dapat dibuktikan, dan kebanyakan praktisi percaya bahwa bakteri memiliki peranan pada sebagian besar kasus. Apakah bakteri memiliki peranan secara langsung atau tidak langsung dalam perkembangan rinosinusitis kronis belum dapat ditentukan secara pasti (Schlosser dan Woodworth, 2009). Berdasarkan publikasi oleh National Institutes of Health, lebih dari 80% dari semua infeksi melibatkan biofilm. Biofilm berhubungan dengan banyak kondisi medis termasuk diantaranya alat-alat medis yang terpasang lama, plak gigi, infeksi saluran pernapasan atas, peritonitis, dan infeksi urogenital. Baik bakteri gram positif maupun gram negatif memiliki kemampuan untuk membentuk biofilm (Donlan, 2001; Hassan, et al., 2011; Reid, 1999).
53
Universitas Sumatera Utara
33
Pada kasus sinusitis dengan episode berulang, koloni dari berbagai macam mikroba cenderung terbentuk pada sinus. Oleh karena itu, saat ini diduga bahwa biofilm bakteri sebagai salah satu faktor etiopatologi yang memiliki peranan dalam terjadinya rinosinusitis kronis (Dlugaszewska, et al., 2015). Deteksi biofilm pada pasien rinosinusitis kronis yang menjalani FESS sangatlah penting karena sangat berhubungan dengan kegagalan terapi dan gejala yang menetap (prognosis) dan terapi yang akan diberikan (Hong, et al., 2014). Saat ini baku emas untuk mengidentifikasi adanya biofilm adalah confocal scanning laser microscopy yang digunakan bersamaan dengan fluorescent in-situ hybridization (FISH) (Keir, Pedelty dan Swift, 2011). Sangat disayangkan confocal scanning laser microscopy merupakan peralatan yang tidak murah dan tidak tersedia luas. Namun dikarenakan terdapat peningkatan bukti bahwa biofilm berperan penting dalam banyak penyakit kronis, maka penting untuk mengidentifikasi metode yang lebih mudah dan lebih murah untuk meneliti biofilm pada sampel klinis. Ketersediaan pewarnaan hematoxylin-eosin yang luas dalam laboratorium patologi klinik membuatnya menjadi metode yang sangat praktis untuk mendeteksi biofilm dalam praktek klinis (Hochstim, et al., 2010; Natili dan Leipzig, 2014). Pewarnaan hematoxylin-eosin dapat menginvestigasi lapisan jaringan dan arsitektur mikroskopisnya. Identifikasi mikrobiologi dari agen infeksi berbeda yang terlibat dalam formasi biofilm memerlukan pemeriksaan kultur bakteri. Biofilm sangat penting untuk dideteksi karena berhubungan erat dengan kegagalan terapi dan gejala yang menetap (Toth, et al., 2011). Penatalaksanaan pasien dengan rinosinusitis kronis merupakan suatu tantangan bagi dokter spesialis telinga hidung tenggorok, karena banyaknya faktor yang terlibat dalam patofisiologi dari penyakit ini. Faktor lingkungan termasuk berbagai macam mikroorganisme dan interaksi dengan pejamu
Universitas Sumatera Utara
34
bertanggung jawab terhadap gejala dari rinosinusitis kronis. Adanya biofilm pada pasien dengan rinosinusitis kronis bertanggung jawab terhadap hasil yang buruk setelah terapi bedah dengan FESS (Dlugaszewska, et al., 2015). Mikroorganisme
memiliki
peranan
penting
dalam
menyebabkan
rinosinusitis kronis, sehingga agen antimikroba merupakan terapi primer. Namun anbtimikroba yang diberikan adalah secara empiris tidak berdasarkan pada
hasil
isolasi
dan
sensitifitas
mikroorganisme,
sehingga
dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan insiden resistensi pada beberapa mikroorganisme dan membuat penanganan dari infeksi ini menjadi lebih rumit. Data mikrobiologi yang terperinci sangat diperlukan dalam memandu penatalalaksanaan sinusitis kronis (Udayasri dan Radhakumari, 2016). Pasien dengan rinosinusitis kronis mengkonsumsi antibiotik dalam jangka waktu lama, hal ini dapat menyebabkan terjadinya resistensi. Bersamaan dengan pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan, penggunaan obat yang tidak efisien, konsumsi obat dengan dosis yang salah, dan penggunaan antibiotik yang tidak bijaksana, semuanya berkontribusi terhadap rendahnya sensitifitas mikroorganisme terhadap antibiotik (Araujo, et al., 2007). Berdasarkan karakteristik subyek penelitian sebanyak 32 pasien, didapati pada pasien rinosinusitis kronis jumlah penderita dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan rasio 1,29:1. Penelitian oleh Boase dkk yang melibatkan 38 penderita rinosinusitis kronis juga mendapati jumlah laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan dengan rasio 1,37:1. Rasio yang lebih tinggi didapati pada penelitian oleh Foreman dkk dengan jumlah sampel 50 pasien dengan rasio 1,5:1. Dan penelitian oleh You dkk dengan jumlah sampel 90 pasien mendapati rasio laki-laki dan wanita sebesar 1,78:1.
Universitas Sumatera Utara
35
Rata-rata umur subyek penelitian ini adalah 37 tahun. Studi oleh Udayasri dkk menyebutkan bahwa insiden rinosinusitis kronis paling sering dijumpai pada kelompok umur 21-40 tahun, sebanyak 65%. Studi oleh D. Shrestha dkk juga melaporkan bahwa insiden rinosinusitis kronis terbanyak didapati pada kelompok umur 21-40 tahun, sebanyak 68%. Biofilm positif pada penelitian ini dijumpai pada 21 dari 32 sampel pasien (65,6%). Hampir sama dengan yang didapati oleh Hochstim dkk dalam penelitiannya yang mendapatkan insiden biofilm positif sebanyak 62% yaitu 15 orang dari 24 sampel. Hong dkk dalam penelitiannya mendeteksi biofilm pada 28 pasien dari 55 sampel (50,9%) lebih kecil bila dibandingakan dengan penelitian ini. Berbeda dengan Hochstim dkk dan Hong dkk, beberapa penelitian berikut ini memperoleh hasil yang lebih tinggi, penelitian yang dilakukan oleh You dkk dengan jumlah sampel 90 orang menjumpai insiden biofilm positif sebesar 71,1%. Penelitian yang dilakukan oleh Foreman dkk pada 50 orang penderita rinosinusitis kronis mendapati insiden biofilm positif sebesar 72%, angka yang relatif sama dengan You dkk. Insiden biofilm yang lebih tinggi dilaporkan oleh Sanclement dkk yang melibatkan 30 orang, sebesar 80%, dan penelitian oleh Zhang dkk sebesar 83,3%. Peran biofilm sebagai etiologi patologis utama pada rinosinusitis kronis dapat membantu menjelaskan manifestasi klinis dari penyakit. Sekali biofilm terbentuk, dapat menyebabkan resisten terhadap pertahanan tubuh host dan terapi
eksternal
dikarenakan
antigen
yang
terus-menerus
ada
dan
perkembangan proses inflamasi kronis (Harvey dan Lund, 2007; Keir, Pedelty dan Swift, 2011). Lebih lanjut lagi, adanya biofilm telah dihubungkan dengan sinusitis yang gejala klinisnya lebih buruk (Bendouah, et al., 2006; Foreman, et al., 2009). Temuan ini direplikasikan pada studi baru-baru ini dimana dijumpai pasien rinosinusitis kronis dengan biofilm positif memiliki skor gejala
Universitas Sumatera Utara
36
klinis yang lebih buruk secara signifikan dibandingkan dengan yang nonbiofilm (Foreman, et al., 2009). Gejala yang paling sering dijumpai pada penderita rinosinusitis kronis pada penelitian ini adalah hidung tersumbat (93,8%), diikuti oleh sekret hidung (75%), nyeri wajah (68,8%), dan penciuman berkurang (53,1%). Penemuan ini sesuai dengan penelitian dari You dkk yang juga menjumpai keluhan hidung tersumbat (98,9%) sebagai keluhan terbanyak, diikuti dengan sekret hidung (96,7%), penciuman berkurang (53,3%), nyeri wajah (50%). Hal yang berbeda didapati oleh Udayasri dkk yang mendapati bahwa keluhan sekret hidung (95,2%) adalah keluhan yang paling sering didapati, diikuti oleh hidung tersumbat (94,4%), nyeri wajah (56%), dan penciuman berkurang (6,4%). Penelitian oleh D. Shrestha dkk juga melaporkan bahwa sekret hidung (90%) adalah keluhan terbanyak, diikuti oleh hidung tersumbat (88%). Nasal polip pada penelitian ini dijumpai pada 11 dari 32 orang (34,4%). Angka yang tidak jauh berbeda dengan penelitian oleh Udayasri dkk sebesar 32% dan penelitian oleh Goel dkk sebesar 32,5%. Hasil pemeriksaan bakteri pada penelitian ini menunjukkan dari 32 sampel, semuanya dijumpai kultur bakteri positif (100%), dimana 21 sampel diantaranya dengan biofilm positif (65,6%). Walaupun semua sampel kultur bakterinya positif namun tidak semua bakteri dalam bentuk biofilm tetapi ada juga yang dalam bentuk planktonis (bakteri yang bebas bergerak). Disamping itu, bukan hanya bakteri yang dapat membentuk biofilm tetapi patogen jamur juga mampu memproduksi biofilm (Costerton, et al., 2003; Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sanglard, 2002). Bakteri gram positif yang terbanyak dijumpai pada penelitian ini adalah Staphylococcus epidermidis sebanyak 76,19% diikuti oleh Staphylococcus aureus
23,81%.
Udayasri
dkk
pada
penelitiannya
mendapatkan
Universitas Sumatera Utara
37
Staphylococcus
aureus
yang
Staphylococcus
coagulase
terbanyak
negatif
yaitu
24,29%.
43,92%
Araujo
dkk
diikuti
oleh
memperoleh
Staphylococcus aureus sebagai bakteri gram positif terbanyak 31%, diikuti oleh Staphylococcus coagulase negatif 23% dan Streptococcus pneumonia 13%. Foreman dkk melaporkan Staphylococcus aureus sebagai bakteri terbanyak yaitu 40%. Kamath dkk juga mendapatkan Staphylococcus aureus yang terbanyak yaitu 43%. Diantara bakteri gram negatif yang terbanyak dijumpai pada penelitian ini adalah Klebsiella pneumonia sebanyak 63,64%. Sama dengan yang didapatkan oleh Udayasri dkk dimana Klebsiella species juga merupakan bakteri gram negatif terbanyak, dijumpai sebanyak 11,21%. Kamath dkk juga mendapatkan Klebsiella species sebagai bakteri gram negatif terbanyak (9%). Bakteri gram negatif lain yang dijumpai pada penelitian ini adalah Escherichia Acinetobacter
coli
(18,18%),
baumannii
Pseudomonas
(9,09%).
Udayasri
aeruginosa dkk
juga
(9,09%)
dan
menemukan
Escherichia coli dalam penelitiannya sebanyak 7,47%. Berdasarkan publikasi oleh National Institutes of Health, baik bakteri gram-positif maupun gram-negatif memiliki kemampuan untuk membentuk biofilm. Bakteri yang sering terlibat termasuk diantaranya Enterococcus faecalis, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus viridans, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus mirabilis dan Pseudomonas aeruginosa (Donlan, 2001; Hassan, et al., 2011; Reid, 1999). Perbedaan profil organisme antar studi menggambarkan variasi daerah, pola penggunaan antimikroba, perbedaan metodologi, atau gambaran keparahan penyakit (Boase, et al., 2013). Pada penelitian ini didapatkan bakteri gram positif sensitif terhadap Ciprofloxacin dan Amoxicillin-Clavulanat yaitu sebanyak 90,48%, diikuti oleh Cefotaxim 85,71%, Chloramfenicol 80,95%, dan Gentamicin 76,19%. Hampir
Universitas Sumatera Utara
38
sama dengan yang diperoleh oleh Udayasri dkk yang mendapatkan semua bakteri gram positif sensitif terhadap Vancomycin (100%), diikuti oleh Ciprofloxacin (90%), Clindamycin (90%) dan Gentamicin (60%). Semua bakteri gram negatif pada penelitian ini sensitif terhadap Imipenem dan Ciprofloxacin (100%), diikuti oleh Ceftazidin dan Cefoperazone sebanyak 90.91%. Udayasri dkk, M. Hashemi dkk dan Jee dkk juga mendapatkan semua bakteri gram negatif sensitif terhadap Imipenem (100%). Pada sampel dengan biofilm positif bakteri yang paling banyak dijumpai
adalah
Staphylococcus
epidermidis
(57,14%),
diikuti
oleh
Staphylococcus aureus (19,65%). Temuan ini tidak mengejutkan karena bakteri gram positif adalah penyebab terbanyak dari sampel biofilm positif sebesar 71,43%. Dari hasil tes isolasi bakteri pada sampel dengan biofilm positif, hasil sensitifitas
antibiotik
tidak
jauh
berbeda
dengan
hasil
keseluruhan.
Ciprofloxacin tetap menjadi antibiotik yang paling tinggi tingkat sensitifitas nya baik pada bakteri gram positif (86,67%) maupun bakteri gram negatif (100%).
Universitas Sumatera Utara
39
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan
6.1.1 Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ekspresi biofilm bakteri dengan kultur bakteri. 6.1.2 Bakteri yang terbanyak menyebabkan rinosinusitis kronis adalah bakteri gram positif, dimana Staphylococcus epirdermidis menjadi bakteri penyebab yang tertinggi. 6.1.3 Pada pasien dengan biofilm positif, Staphylococcus epidermidis juga menjadi bakteri penyebab yang utama. 6.1.4 Ciprofloxacin merupakan antibiotik dengan tingkat sensitifitas tertinggi pada penderita rinosinusitis kronis, baik pada bakteri gram positif maupun gram negatif. 6.1.5 Pada penderita dengan biofilm positif, Ciprofloxacin juga menjadi antibiotik dengan tingkat sensitifitas tertinggi baik pada bakteri gram positif maupun gram negatif.
60
Universitas Sumatera Utara
40
6.2
Saran
6.2.1 Sebaiknya pasien rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional dilakukan kultur bakteri dan uji sensitifitas agar penatalaksanaan pasien dengan rinosinusitis kronis dapat optimal. 6.2.2 Antibiotik Ciprofloxacin dapat menjadi terapi antibiotik empiris pada pasien dengan rinosinusitis kronis.
Universitas Sumatera Utara