BAB III METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini adalah observasional dengan jenis penelitian analitik yang akan menilai hubungan antara Rotavirus dengan terjadinya invaginasi pada anak. Pendekatan yang digunakan pada rancangan penelitian ini adalah Cross Sectional Study. Penelitian ini merupakan penelitian crosssectional atau studi potong lintang,
yang dilakukan pada pasien anak dengan suspek invaginasi
dibandingkan pasien anak dengan diare. Penelitian crossectional sering disebut juga dengan penelitian transversal karena variabel bebas (faktor risiko) dan variabel tergantung (efek) diobservasi hanya sekali pada saat yang sama. Variabel bebas adalah rotavirus, Variabel tergantung adalah invaginasi. Parameter yang diukur adalah jenis kelamin, usia, status gizi, suku.
3.2.
Waktu dan Tempat Penelitian Waktu Penelitian
: Oktober 2013 – Maret 2014
Tempat Penelitian : 1.
Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2.
Laboratorium Sequencing Division, Macrogen Inc World Meridian Venture Centre 10F Seoul, Republic of Korea.
3.
Rumah Sakit Tempat Peneliti Bekerja: 64
Universitas Sumatera Utara
3.3.
Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi: Anak usia 1 bulan- 3 tahun: Populasi I
: Anak usia 1 bulan – 3 tahun secara klinis dinilai sebagai anak suspek invaginasi.
Populasi II
: (Kontrol) Anak usia 1 bulan-3 tahun secara klinis dinilai sebagai anak yang menderita diare.
2. Sampel penelitian diambil dengan penetapan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi dalam bentuk data nominal. Besar sampel untuk analisis data kategori, dengan menggunakan Rumus Sample Size Determination in Multinomial Logistik Regresi (Hosmer &Lemeshow, 1998) yaitu : Rule of thumbs: Besar sampel adalah 10 kali jumlah variabel bebas yang diteliti. Karena pada penelitian ini terdapat 5 variabel bebas, maka besar sampel adalah: 50 minimum subjek.
3.4.
Variabel Penelitian 1. Variabel Independen:
Rotavirus (Protein NSP4) yang berinteraksi dengan umur, jenis kelamin, status gizi, suku pasien. 2. Variabel Dependen: Invaginasi =
( + ) invaginasi type invaginasi ( - ) invaginasi
3.5.
Alur Penelitian Dilakukan KRITERIA INKLUSI
p e n c a t
Dilakukan O pe Universitas Sumatera Utara ra
SUBYEK PENELITIAN
populasi
KELOMPOK SUSPEK INVAGINASI.
Kelompok Anak Dengan
Dilakukan p e
Diare
n c a t a t a n d
3.6.
a
Prosedur Penelitian
n
3.6.1. Kriteria Inklusi
p
1. Pasien usia 1 bulan sampai 3 tahun.
e n
2. Anak yang secara klinis dinilai sebagai anak g dengan suspek invaginasi. u
3. Anak yang secara klinis dinilai sebagai anak dengan diare. k
4. Bersedia mengikuti penelitian.
u r
5. Durante operasi ditemukan invaginasi karena idiopatik. a
n
3.6.2. Kriteria Eklusi
jenis kelamin,
umur,status 1. Terdapat lebih dari satu diagnosis pada gizi pasien.
2. Anak dengan kelainan kongenital.
d a n s u k u
Universitas Sumatera Utara
3. Tidak ditemukan invaginasi durante operasi. 4. Menolak mengikuti penelitian.
3.6.3. Demografi Responden Penelitian Penelitian ini diikuti oleh 55 pasien anak yang telah memenuhi kriteria inklusi yaitu pasien dengan usia 1 bulan sampai 3 tahun, anak yang secara klinis dinilai sebagai suspek invaginasi dan anak dengan diare. Karakteristik responden yang dilihat yaitu jenis kelamin, usia responden, nilai status gizi yang meliputi status gizi baik, status gizi kurang dan status gizi lebih, karakteristik yang lain yaitu suku. Pada responden dilihat juga mengenai riwayat diare dan jenis invaginasi.
3.7.
Karakteristik Protein NSP4
3.7.1. Etik Penelitian Setelah mendapat perizinan untuk melakukan penelitian dari rumah sakit tempat dilakukannya penelitian dan kesediaan dari orang tua atau wali dari anak suspek invaginasi dan anak dengan diare yang
menjadi subjek penelitian, melalui anamnesis secara
Autoanamnesis kepada orang tua atau wali dari subjek penelitian, peneliti mengisi rekam medis yang terdapat di rumah sakit tempat penelitian dilakukan (nama, umur, jenis kelamin, status gizi, suku, alamat). Kemudian identifikasi anak suspek invaginasi (trias invaginasi) dan anak dengan diare yang berumur 1 bulan sampai 3 tahun yang datang ke rumah sakit untuk menegakkan diagnosis. Selanjutnya dilaksanakan penanganan medis terhadap anak suspek invaginasi dan anak diare (SOP). Kemudian dilakukan pemeriksaan dengan metode PCR dan dilanjutkan pemeriksaan dengan metode Sequencing DNA pada Feses anak suspek invaginasi dan anak diare. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) adalah suatu tekhnik pemeriksaan yang digunakan untuk mereplikasi materi genetik dalam jumlah yang banyak dengan cara
Universitas Sumatera Utara
menentukan sepasang primer yang mengapit sekuens DNA yang dikehendaki. Pemeriksaan DNA sequencing bertujuan untuk dapat mengetahui kode genetik dari molekul DNA, dimana akan dihasilkan fragmen-fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi, yang satu sama lain berbeda sebanyak satu basa tunggal. Dari fragmen-fragmen tersebut bisa ditarik kesimpulan mengenai urutan asam nukleat molekul DNA yang diperiksa.
2.5.3. Sampel Klinis Pemeriksaan feses pada anak: 1.
Bahan dan Peralatan yang diperlukan: - Feses Feses diambil anak suspek invaginasi dan anak dengan diare.Feses
ditampung di dalam tempat (vial) yang bersih dan kering. Feses diambil sebanyak 1-2 ml atau 1-2 gram. Sampel tersebut harus segera dibawa ke laboratorium atau bila tidak harus disimpan pada suhu 2°C sampai 8°C dan harus diperiksa dalam waktu kurang dari 48 jam (2 hari). Bila tidak diperiksa dalam waktu tersebut maka harus dibekukan pada suhu -70°C sampai -80°C. 2.
Cara Kerja:
Persiapan sampel: Sampel feses cair dicampur dengan lembut, ambil sekitar 400 ul sampel (sampel feses cair), lalu vortex selama 15 detik lanjutkan dengan mensentrifugasi 12.000 rpm selama 10 menit, kemudian mbil 140 ul supernatant dan masukkan ke dalam 1,5 mL tabung mikro. Ekstraksi RNA Virus: Selanjutnya RNA virus diekstraksi menggunakan QIAmp Viral RNA Mini Kit (Qiagen, Cat Number: 52904) dengan tahapan: Pada supernatan feses ditambahkan 560 ul Buffer AVL tambahkan 6 ul carrier RNA (Qiagen), campur dengan pulse-vortexing selama 15 detik, lalu Inkubasi pada ruangan
Universitas Sumatera Utara
dengan suhu (15–25°C) selama10 menit, kemudian sentrifugasi tabung selama 15 detik untuk menghilangkan ampas dari tutup bagian dalam, tambahkan 560 ul ethanol (96–100%), campur dengan pulse-vortexing selama 15 detik, sentrifugasi tabung selama 15 detik untuk menghilangkan ampas dari tutup bagian dalam. Apply 500 ul the solution to the QIAamp Mini spin column without wetting the rim, sentrifugasi tabung dengan kecepatan 8000 rpm, selama 1 menit. Letakkan QIAamp kesebuah tabung pengumpul 2 ml yang bersih (buang tabung yang mengandung filtrat). Ulangi langkah sebelumnya untuk hasil yang lebih baik. Kemudian tambahkan 500 ul Buffer AW1 sentrifugasi leher tabung dengan kecepatan 8000 rpm selama 1 menit lalu letakkan leher pemutar QIAamp kesebuah tabung pengumpul 2 ml yang bersih (buang tabung yang mengandung filtrat). Selanjutnya tambahkan 500 ul Buffer AW2, sentrifugasi leher tabung dengan kecepatan 12000 rpm selama 3 menit. Ambil filtrat dan letakkan bagian belakang leher QIAamp Mini ke tabung yang sama (buang filtrat), sentrifugasi leher tabung yang kosong dengan kecepatan 12000 rpm selama 1 menit, lalu tambahkan 50 ul Buffer AVE, inkubasi pada suhu ruangan selama 2 menit, sentrifugasi leher tabung dengan kecepatan 12000 rpm selama 2 menit. Note: Jika tidak langsung di RT-PCR, hasil elusi dapat disimpan pada -800 C selama tidak lebih dari 5 hari. A.
RT-PCR Rotavirus A, B, dan C
1.
Duplex RT-PCR Rotavirus A dan C (OneStep RT-PCR Kit, Qiagen; Cat 210210
(100 reaksi). Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan teknik RT-PCR. Reaksi PCR dilakukan pada total volume 25 µL dengan campuran reaksi yang terdiri dari 5x One Step RT-PCR Buffer, 10 mM dNTP Mix, 5x Q Solution, masing-masing 10 µM primer Beg9, VP7-1, G8NS1, G8NA2, 4 unit enzim mix pol, RNA dan DEPC – treated water. Semua kondisi preparasi bekerja di atas es. Sebelum RNA ditambahkan ke dalam mix RT-PCR, RNA dipanaskan pada 920C selama 2 menit, kemudian segera ditaruh diatas es [agar RNA double stranded tetap terpisah], kemudian masukkan RNA ke dalam mix RT-PCR). Siklus PCR berlangsung
Universitas Sumatera Utara
40x siklus yang terdiri dari : suhu 500C selama 30 menit untuk sintesis cDNA, tahap denaturasi awal pada suhu 950C selama 15 menit, denaturasi akhir pada suhu 940C selama 30 detik, dilanjutkan dengan tahap annealing pada suhu 550C selama 30 detik, tahap ekstensi awal 720C selama 60 detik dan ekstensi akhir 720C selama 7 menit. Pasangan primer yang digunakan adalah sebagai berikut (Chaimongkol et al., 2012; Yan et al., 2004). Beg9
: 5’-GGCTTTAAAAGAGAGAATTTCCGTCTGG-3’
VP7-1
: 5’-ACTGATCCTGTTGGCCATCCTTT-3’
G8NS1
: 5’-ATTATGCTCAGACTATCGCCAC-3’
G8NA2
: 5’-GTTTCTGTACTAGCTGGTGAAC-3’
2.
RT-PCR Rotavirus B (OneStep RT-PCR Kit, Qiagen; Cat number: 210210
(100 reaksi) Untuk rotavirus B amplifikasi dilakukan dengan menggunakan teknik RT-PCR. Reaksi PCR dilakukan pada total volume 25 µL dengan campuran reaksi yang terdiri dari 5x One Step RT - PCR Buffer, 10 mM dNTP Mix, 5x Q Solution, masing-masing 10 µM primer Beg9, VP7-1, G8NS1, G8NA2, 4 unit enzim mix pol, RNA dan DEPC – treated water. Semua kondisi preparasi bekerja di atas es. Sebelum RNA ditambahkan ke dalam mix RT-PCR, RNA dipanaskan pada 920C selama 2 menit, kemudian segera ditaruh diatas es [agar RNA double stranded tetap terpisah], kemudian masukkan RNA ke dalam mix RT-PCR). Siklus PCR berlangsung 40x siklus yang terdiri dari: suhu 500C selama 30 menit untuk sintesis cDNA, tahap denaturasi awal pada suhu 950C selama 15 menit, denaturasi akhir pada suhu 940C selama 30 detik, dilanjutkan dengan tahap annealing pada suhu 420C selama 2 menit, tahap ekstensi awal 720C selama 60 detik dan ekstensi akhir 720C selama 7 menit. Semua kondisi preparasi bekerja di atas es. Sebelum RNA ditambahkan ke dalam mix RT-PCR, RNA dipanaskan pada 92oC selama 2 menit, kemudian segera ditaruh diatas
Universitas Sumatera Utara
es [agar RNA single stranded tidak kembali menjadi double stranded], kemudian masukkan RNA ke dalam mix RT-PCR). Primer yang digunakan pada amplifikasi untuk rotavirus B adalah sebagai berikut [Gouvea et al., 1991; Sen et al., 2000]: Bl
: 5’-CTATTCAGTGTGTCGTGAGAGG-3’
B4
: 5’-CGTGGCTTTGGAAAATTCTTG-3’
Hasil RT - PCR kemudian dianalisis pada 1.5% gel agarose dengan hasil positif Rotavirus B jika berada pada marka 489 pb. 3.
Interpretasi Hasil
Jika positif rotavirus dilanjutkan dengan reaksi berikut: RT-PCR NSP4 Rotavirus (SuperScript® III One-Step RT-PCR System with Platinum®Taq High Fidelity, Invitrogen, Cat number: 12574-030 (25 reaksi); 12574-035 (100 reaksi). Reaksi PCR dilakukan pada total volume 25 µL dengan campuran reaksi yang terdiri dari 2x Reaction mix, masing-masing 10 µM primer forward dan reverse, 4 unit SuperScript® III RT/ Platinum® Taq High Fidelity, RNA dan DEPC – treated water. Semua kondisi preparasi bekerja di atas es. Sebelum RNA ditambahkan ke dalam mix RT-PCR, RNA dipanaskan pada 92oC selama 2 menit, kemudian segera ditaruh diatas es [agar RNA double stranded tetap terpisah],kemudian masukkan RNA ke dalam mix RT-PCR). Siklus PCR berlangsung 40x siklus yang terdiri dari : suhu 500C selama 30 menit untuk sintesis cDNA, tahap denaturasi awal pada suhu 950C selama 2 menit, denaturasi akhir pada suhu 940C selama 15 detik, dilanjutkan dengan tahap annealing pada suhu 510C selama 2 menit, tahap ekstensi awal 680C selama 3 menit dan ekstensi akhir 680C selama 7 menit.
Universitas Sumatera Utara
Table 2.1 RT PCR dan Sekuensi Primer
B.
Prioritas pasangan primer untuk RT-PCR
Prioritas I: NSP01-F : 5’-GGCTTTTAAAAGTTCTGTT-3’ NSP01-R : 5’-ACCATTCCTTCCATTAAC-3’ Prioritas II: NSP02-F : 5- TAAAAGTTCTGTTCCGAGAG-3’ NSP02-R : 5’- GATTGGTTAAACGGGATTA-3’ Produk RT-PCR dianalisis pada 1.5% gel agarose. Hasil positif gen NSP 4 jika berada pada marka 738 pb. JIka positif NSP4, fragmen DNA NSP4 dipurifikasi menggunakan QIAquick Gel ExtractionKits, Qiagen, Cat number: 28704 (50 samples).
Universitas Sumatera Utara
3.
DNA sequencing
DNA Hasil purifikasi diukur konsentrasi DNA nya, kemudian dilanjutkan dengan reaksi DNAsequencing. DNA sequencing dapat dilakukan di lembaga Eijkman atau IHVCB UI, atau ditempat lain yang ada mesin sekuensernya.Primer untuk reaksi sequencing (Cunliffe et al., 1997) Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan tersebut diatas anak suspek invaginasi dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operasi explorasi laparotomy dan dinilai apakah anak tersebut memang terbukti mengalami invaginasi dengan penyebab idiopatik.
3.7.3. Pengolahan dan Analisis Data Data diperoleh dari anamnesis dan hasil observasi. Data ditabulasi dan diolah secara statistik dengan program komputerisasi. Pengumpulan data dilakukan dengan anamnesa dan pengisian rekam medis terhadap subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sampai jumlah sampel minimal terpenuhi. Data karakteristik subyek yang diperoleh dari pengumpulan data meliputi: data umur, jenis kelamin, status gizi, hasil pemeriksaan fases (rotavirus +/-) dan hasil temuan durante operasi (invaginasi +/-).
3.7.3.1. a.
Analisis Statistik
Analisa Deskriptif: Dilakukan analisis deskriptif dengan menentukan nilai rata-
rata, standar deviasi dan rasio prefalen (RP). b. 1.
Statistik Infrensial Analisis Univariat: Analisa Univariate, merupakan langkah pertama analisis
statistik yaitu analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Dalam analisis ini mendiskripsikansemua variable independen yaitu rotavirus, umur, jenis kelamin, status gizi anak,suku dan variable dependen yaitu hasil temuan durante operasi explorasi laparotomy (invaginasi +/-).
Universitas Sumatera Utara
2.
Analisis Bivariat: Dalam hal ini dipakai uji Chi Square dengan derajat
kemaknaan 95%. Dalam analisis ini mendiskripsikan dua variabel yang mempunyai hubungan, yaitu: -
Anak yang terinfeksi / tidak terinfeksi rotavirus dengan temuan invaginasi/tidak
invaginasi durante operasi. -
Usia anak dengan temuan invaginasi/tidak invaginasi durante operasi anak.
-
Jenis kelamin anak dengan temuan invaginasi/tidak invaginasi durante
-
Status gizi anak dengan temuan invaginasi/tidak invaginasi durante operasi.
-
Suku anak dengan temuan invaginasi/tidak invaginasi durante operasi.
3.
Analisis Multivariate: Analisa multivariate yang dilakukan terhadap lebih dari
operasi.
dua variabel, analisis multivariate yang dipilih adalah regresi logistik. Dalam analisis ini mendiskripsikan hubungan antara: -
variabel terikat/akibat ( dependent variabel) invaginasi (type invaginasi)
dengan variabel bebas/sebab (independent variabel) rotavirus, umur, jenis kelamin genetik status gizi, suku. -
Hasil pengamatan tersebut ditabulasi
Regresi Logistik merupakan salah satu metode regresi yang digunakan untuk mencari hubungan antara variabel respon bersifat kategorik berskala nominal, ordinal dengan satu atau lebih variabel penjelas kontinu maupun kategorik. Jika variabel respon berskala nominal digunakan regresi logistik multinomial (Fahmeir dan Tutz, 1994), sedangkan pada peubah variabel berskala ordinal digunakan regresi logistik ordinal. Syarat Analisa Regresi Logistik: -
Tidak mengasumsikan hubungan linier antar variabel dependen dan
independent. -
Variabel dependen harus bersifat dikotomi (2 variabel).
Universitas Sumatera Utara
-
Variabel independent tidak harus memiliki keragaman yang sama antar
kelompok variabel. -
Kategori dalam variabel independent harus terpisah satu sama lain atau
bersifat eksklusif. -
Sampel yang diperlukan dalam jumlah relatif besar, minimum dibutuhkan
hingga 50 sampel data untuk sebuah variabel prediktor (bebas). Regresi logistik mempunyai tujuan untuk memperkirakan besarnya probabilitas kejadian tertentu di dalam suatu populasi sebagai suatu fungsi eksplanatori.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Hasil Analisis Univariat Penelitian dikuti 55 orang pasien anak. Jumlah anak laki-laki sebanyak 38 orang (69,1%) sedangkan anak perempuan 17 orang (30,9%). Kebanyakan pasien anak dengan gizi baik sebanyak 28 orang (50,9%) dan suku terbanyak adalah suku Batak sebanyak 22 orang (40%) (Tabel 4.1.1). Tabel 4.1.1. Karakteristik Responden Penelitian Karakteristik
Frekuensi
Persentase
Laki-laki
38
69,1
Perempuan
17
30,9
Gizi kurang
9
16,4
Gizi baik
28
50,9
Gizi lebih
18
32,7
Batak
22
40,0
Jawa
15
27,3
Melayu
7
12,7
Minang
7
12,7
Tionghoa
4
7,3
Responden Jenis Kelamin
Status Gizi
Suku
Berdasarkan analisis deskriptif, rerata usia responden adalah 6,6 bulan dengan SB 4,37 bulan (Tabel 4.1.2).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.1.2. Analisis Deskriptif 78 Usia Responden Usia (bulan) Rerata
6,6
Simpangan baku
4,37
Minimum
2
Maksimum
25 5,42 – 7,78
95% IK
Sebanyak 28 anak (50,9%) diketahui positif rotavirus dari pemeriksaan fesesnya (Tabel 4.1.3). Tabel 4.1.3. Distribusi Frekuensi Responden dengan Rotavirus Rotavirus A
Frekuensi
Persentase
+
28
50,9
-
27
49,1
Mayoritas pasien anak yang diperiksa NSP4 ditemukan dengan hasil yang negatif yaitu sebanyak 47 anak (85,5%) (Tabel 4.1.4). Tabel 4.1.4. Distribusi Frekuensi Responden dengan NSP4 NSP4
Frekuensi
Persentase
Universitas Sumatera Utara
+
8
14,5
-
47
85,5
Sebagian besar pasien (52,7%) dengan riwayat diare akut, dikuti dengan diare persisten, disentri (Tabel 4.1.5). Tabel 4.1.5. Distribusi Frekuensi Responden dengan Riwayat Diare Riwayat Diare
Frekuensi
Persentase
Tidak diare
11
20,0
Diare akut
29
52,7
Disentri
3
5,5
Diare persisten
12
21,8
Dari 55 orang anak yang mengikuti penelitian ditemukan (63,6%) dengan invaginasi dan 46.4% diare (Tabel 4.1.6.). Tabel 4.1.6. Distribusi Frekuensi Responden dengan Invaginasi Invaginasi
Frekuensi
Persentase
Invaginasi
35
63,6
Diare
20
36,4
Tipe invaginasi terbanyak yang ditemukan adalah tipe ileo-colica sejumlah 38,2%, diikuti tipe ileo-caecal, colo colica dan ileoileal (Tabel 4.1.7.). Tabel 4.1.7. Distribusi Frekuensi Tipe Invaginasi Tipe Invaginasi
Frekuensi
Persentase
Universitas Sumatera Utara
Ileo-ileal
3
5,5
Ileo-colica
21
38,2
Ileo-caecal
6
10,9
Colo-colica
5
9,1
4.2. Hasil Analisis Bivariat Dari hasil analisis menggunakan uji chi square ditemukan hubungan yang signifikan antara status gizi dengan terjadinya invaginasi pada pasien anak (p=0,034). Nilai OR yang diperoleh adalah 1,542 (95% IK 1,074 – 2,214) yang menunjukkan bahwa anak-anak dengan gizi lebih berisiko akan mengalami invaginasi 1,542 kali dibandingkan anak-anak dengan status gizi kurang dan baik. Sebanyak 83,3% anak gizi lebih mengalami invaginasi sedangkan pada anak-anak dengan status gizi baik dan kurang hanya 54,1% yang mengalami invaginasi. Hasil analisis chi square menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan antara jenis kelamin dan suku dengan terjadinya invaginasi (p>0,05) (Tabel 4.2.1).
Tabel 4.2.1. Hubungan Karakteristik dan Invaginasi
Kelompok
Karakteri stik
Invag inasi
P
O R
95% IK
D iare
Jenis kelamin Laki-laki
25 (65,8)
Perempua n
1 3 (34,2)
10 (58,8)
0 ,620
1
,118
0,415-
4,362
7 (41,2)
Universitas Sumatera Utara
Gizi Gizi lebih
15 (83,3)
Gizi kurang
dan
3 (16,7)
20 gizi
(54,1)
0 ,034
1
1,074 -2,214
1
0,856 -1,864
,542
1 7 (45,9)
baik Suku Batak
16 (72,7)
Bukan Batak
6 (27,3)
19 (57,6)
0 ,252
,263
1 4 (42,4)
Dengan menggunakan uji chi square ditemukan hubungan yang signifikan keberadaan rotavirus dalam feses dengan kejadian invaginasi (p=0,004) dengan nilai OR 1,848 (95% IK 1,172 – 2,915) yang artinya adalah anak-anak yang ditemukan positif rotavirus dalam fesesnya akan berisiko mengalami invaginasi sebesar 1,848 kali dibanding anak-anak yang tidak ditemukan rotavirus dalam fesesnya. Sebanyak 82,1% anak dengan rotavirus mengalami invaginasi sedangkan pada anak yang tidak ditemukan rotavirus kejadian inaginasi hanya terjadi pada 44,4% anak (Tabel 4.2.2.).
Tabel 4.2.2 Hubungan Rotavirus dan Invaginasi Kelompok
Rotavirus A, n %
Inva
23 (82,1)
-
Diare
ginasi
+
5 (17,9)
12
p
O R
0 ,004
IK 1
,848
95%
1,172-
2,915
15
Universitas Sumatera Utara
(44,4)
(55,6)
Dengan menggunakan uji T independent diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara kadar neutrofil dan terjadinya invaginasi (p=0,0001). Rerata kadar neutrofil pada anak dengan invaginasi jauh lebih tinggi (79,03) dibanding anak-anak dengan diare/tanpa invaginasi (56,55). Rerata umur anak dengan invaginasi dan tanpa invaginasi tidak berbeda (p=0,752) dimana pada anak dengan invaginasi rerata usia adalah 6,74 bulan dan tanpa invaginasi adalah 6,36 bulan (Tabel 4.2.3.). Tabel 4.2.3. Hubungan
Usia
dan
Kadar
Neutrofil
terhadap
Terjadinya
Invaginasi
Usia
Invaginasi
Diare
P
6,74 (±5,04)
6,36
0,752
56,55
0,0001
(±2,98) Kadar Neutrofil
79,03 (±4,36) (±6,25)
Dengan menggunakan uji Fisher’s exact diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan antara NSP4 dan terjadinya invaginasi (p=1,000). Sebanyak 62,5% anak-anak yang ditemukan NSP4 mengalami invaginasi, sedangkan pada kelompok anak yang tidak ditemukan NSP4 proporsi anak yang mengalami invaginasi sebesar 63,8% (Tabel 4.2.4.).
Tabel 4.2.4. Hubungan NSP4 dan Invaginasi
Universitas Sumatera Utara
N SP4
Kelompok Invag inasi
Dia
P
3
1
re 5
+
(62,5)
(37,5) 30
-
(63,8)
,000
O R 0
95% IK
0,549 – 1,746
,979
17 (36,2)
4.3. Hasil Analisis Multivariat Berdasarkan hasil analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda dengan metode enter ditemukan hanya rotavirus yang berpengaruh terhadap terjadinya invaginasi pada pasien anak dengan nilai p = 0,005. Nilai OR yang diperoleh dari pemodelan multivariat adalah 5,750 (95% IK 1,682 – 19,661) yang menunjukkan bahwa anak-anak yang terinfeksi rotavirus berisiko akan mengalami invaginasi sebesar 5,75 kali lebih besar dibandingkan anak-anak yang tidak terinfeksi rotavirus (4.3.1)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.3.1. Analisis
Regresi
Logistik
Berganda
Faktor-Faktor
yang
berpengaruh terhadap Terjadinya Invaginasi
Variabel
Koef
P
OR
9
isien
5% IK
Seleks i1 Konsta nta
368,071
Jenis kelamin
994 -
18,026 Gizi
10,3
Suku
1 ,000
4,274
Rotavir
1 ,000
12,4 04
NSP4
1 ,000
45,536
Neutrof il
, 999
28
us
,
, 999
5,44 4
, 994
,000
,
,000
000
30576,024
, 000 ,
,014
000
243825,71 1
, 000 ,
,000
000
231,431
, 000
Seleks i2 Konsta nta
363,738
Jenis kelamin
, 994
19,204
Suku
, 999
2,596
1 ,000
,000
,000
,075
, 000 , 000 , 000
Universitas Sumatera Utara
Rotavir us
22,7 31
NSP4
998 -
54,991 Neutrof il
,
, 999
5,39 9
, 993
744734490 2,422
, 000 ,
,000
000
221,219
Seleks i3 Konsta nta
362,950
Jenis kelamin
994 -
19,088 Rotavir
us
, 999
22,7 65
NSP4
, 998
57,315
Neutrof il
,
, 999
5,38 6
, 993
,000
,
,000
000
770749832 8,265
, 000 ,
,000
000
218,332
, 000
Seleks i4 Konsta nta
686,572
Rotavir us
990 12,9
52 NSP4
, 999
74,703
Neutrof il
,
, 999
9,87 8
, 990
,000
421533,40 7
, 000 ,
,000
000
19490,883
, 000
Seleks
Universitas Sumatera Utara
i5 Konsta nta
685,608
Rotavir us
990 12,8
81 Neutrof
il
,
, 999
9,86 4
, 990
,000
392937,72 1
19230,195
, 000 , 000
Seleks i6 Konsta nta
,223
Rotavir us
, 565
1,74 9
, 005
,800
5,750
1 ,682
19,6 61
Nilai Diagnostik Neutrofil untuk Memprediksi Terjadinya Invaginasi dengan Kurva ROC
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.3.1. Kurva ROC dari Kadar Neutrofil untuk Memprediksi Invaginasi
Kadar neutrofil dalam studi ini memilliki kemampuan untuk memprognosis seorang anak apakah mengalami invaginasi atau tidak. Hasil analisis menggunakan kurva ROC diperoleh bahwa area di bawah kurva (AUC) ROC adalah 100% (95% IK: 100-100; p = 0,0001).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.3.2..
Kurva Sensitivitas dan Spesifisitas Neutrofil terhadap
Invaginasi
Berdasarkan kurva sensitifitas dan spesifisitas pada gambar 2 maka diperoleh nilai Cut Off untuk Neutrofil adalah 69 mg/dl. Dengan menggunakan cut off point 69 mg/dl maka diperoleh nilai sensitifitas dan spesifisitas masing-masing adalah 100% (Tabel 4.3.2.). Tabel 4.3.2. Nilai
Diagnostik
Neutrofil
untuk
Memprediksi
Terjadinya
Invaginasi dengan Kurva ROC
Invaginasi P ositif N eutrofil
N
Se nsitifitas
Spe sifisitas
N DP
N
DN
egatif 3
0
5
10 0
0
100
1 00
1
00
3
5
Universitas Sumatera Utara
Dengan menggunakan uji Fisher’s exact tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara keberadaan rotavirus dalam feses terhadap tipe invaginasi (p=0,640). Sebanyak 82,1% anak dengan rotavirus mengalami invaginasi tipe ileum sedangkan pada anak yang tidak ditemukan rotavirus kejadian inaginasi tipe ileum
terjadi pada 91,7% anak (Tabel
4.3.3.). Tabel 4.3.3. Hubungan Rotavirus dan Tipe Invaginasi Tipe Invaginasi
Rota virus A
Il lon 1
4
9 (82,6) -
95% IK
Co
eum +
O
p R
0
(17,4)
1
,640
0,699 – 1,161
0
,901
1
1 (91,7)
(8,3)
Dari hasil analisis menggunakan uji Fisher’s exact ditemukan hubungan yang signifikan antara suku dengan terjadinya invaginasi pada pasien anak (p=0,049). Nilai OR yang diperoleh adalah 1,357 (95% IK 1,037 – 1,776) yang menunjukkan bahwa anak-anak dengan suku Batak berisiko akan mengalami invaginasi tipe ileum 1,357 kali dibandingkan anak-anak yang tidak bersuku Batak. Seluruh anak bersuku Batak memiliki invaginasi tipe ileum sementara anak yang tidak bersuku Batak memiliki invaginasi tipe ileum sebanyak 73,7%. Hasil analisis Fisher’s exact menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan antara jenis kelamin dan status gizi dengan tipe invaginasi (p>0,05) (Tabel 4.3.4). Tabel 4.3.4. Hubungan Karakteristik dan Tipe Invaginasi Kelompok
Karakteri stik
Il eum
C olon
p
O R
95% IK
Universitas Sumatera Utara
Jenis kelamin Laki-laki
2
3
2 (88)
(12)
Perempu an
8
0 ,610
1
0,781 –1,549
,100
2
(80)
(20)
Gizi Gizi lebih
1
2
3 (86,7) Gizi kurang
dan
(13,3)
1 gizi
1 ,000
1
0,778 –1,337
1
1,037 –1,776
,02
3
7 (85)
(15)
baik Suku Batak
1
0
6 (100) Bukan Batak
0 ,049
1
,357
5
4 (73,7)
(26,3)
Dengan menggunakan uji T independent diketahui tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dan kadar neutrofil dengan tipe invaginasi (p>0,05) (Tabel 4.3.5.). Tabel 4.3.5. Hubungan Usia dan Kadar Neutrofil dengan Tipe Invaginasi
Tipe Invaginasi
Usia Kadar Neutrofil
p
Ileum
Colon
6,4 (5,04)
8,8 (5,07)
0,331
79,03
79 (3,46)
0,988
(4,55)
Universitas Sumatera Utara
Dengan menggunakan uji Fisher’s exact diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan antara NSP4 dengan tipe invaginasi (p=1,000). Seluruh anak-anak yang ditemukan NSP4 mengalami tipe invaginasi ileum, sedangkan pada kelompok anak yang tidak ditemukan NSP4 proporsi anak yang mengalami tipe invaginasi ileum sebesar 83,3% (Tabel 4.3.6.). Tabel 4.3.6. Hubungan NSP4 dengan Tipe Invaginasi Tipe Invaginasi
N
Ile
SP4
um
Col
p
0
1,0
(100)
1
00 25
-
R
on 5
+
O
,2
95% IK
1,023 – 1,408
5
(83,3)
(16,7)
Dengan menggunakan uji Fisher’s exact ditemukan hubungan yang signifikan antara keberadaan rotavirus dalam feses terhadap ada tidaknya NSP4 (p=0,004) dengan nilai OR 0,714 (95% IK 0,565 – 0,903) yang menunjukkan bahwa dengan ditemukan rotavirus dalam feses pasien anak maka risiko ditemukannya NSP4 adalah 0,714 dibanding anak yang tidak ditemukan rotavirus dalam fesesnya atau dengan kata lain keberadaan rotavirus merupakan faktor protektektif terhadap ditemukannya NSP4. Sebanyak 71,4% anak dengan rotavirus ditemukan NSP4 sedangkan pada anak yang tidak ditemukan rotavirus keberadaan NSP4 terjadi pada seluruh anak (Tabel 4.3.7.). Tabel 4.9
Hubungan Rotavirus dengan NSP4
NSP4
Rotavi rus A +
P
+
-
20
8
0
O R
95% IK
0
0,565
-
Universitas Sumatera Utara
(71,4) -
(28,6) 27
,004
,714
0,903
0
(100)
Keseluruhan sampel penelitian kemudian dilakukan prosedur
pemeriksaan
elektroforesis gel pada pasien yang invaginasi positif rotavirus dengan jumlah 23 sampel dengan hasil pada gambar berikut.
M
NC
1V
2V
A
A
395bp
1)
M A
NC
4V
6V
A
395bp
2)
Universitas Sumatera Utara
M
NC
7V
8V
9V
A
A
A
10V
11V
A
A
395bp
3) M
NC
13V A
395bp
4)
M
NC
16V 17V A
A
19V 20V 21V A
A
A
395bp
5)
M
NC
23V 25V A
A
Universitas Sumatera Utara
395bp
6)
M
NC
27V A
28V 30V A
A
395bp
7) M
NC 31V 33V
A A
34V
A
395bp
8)
Gambar 4.5.1. 1)1v,2V; 2)4V, 6V; 3)7V-11V; 4)13V; 5)16V-17V, 19V-21V; 6) 23V, 25V; 7)27V, 28V, 30V; 8)31V, 33V dan 34V. Gambar ini menjelaskan bahwa terdeteksi Rotavirus A yaitu berada di 395 bp sebanyak 23 sampel. Kemudian hasil Rotavirus Positif dilakukan elektroforesis gel NSP4 dengan hasil pada gambar 20.
Universitas Sumatera Utara
M
NC
2V A
A
8V 10V 11V 16V 25V 31V
A
A
A
A
A
34V A
738bp
Gambar 4.6.1. Hasil dari Elektroforesis gel NSP4 dimana dapat terlihat dari 25 sampel yang terdapat rotavirus positif, hanya 8 yang terdapat NSP 4 pada pasien Invaginasi dengan NSP 4 berada di 738 bp.
Hasil PCR dan Sekunsing
1.
Pohon Filogenetik dan Homologi DNA Gen NSP4 Rotavirus
Dari semua sampel yang positif PCR rotavirus A, hanya 8 sampel yang berhasil dilakukan amplifikasi fragmen DNA gen NSP4. Hasil amplifikasi kemudian dilakukan reaksi DNA sekuensing. Hasil reaksi DNA sekuensing dianalisis menggunakan teknik overlapping editing menggunakan software SeqScape V 2.7 (Applied Biosystems). Diantara semua strain virus yang berhasil dianalisis, strain virus 8V diperoleh dari pasien diare dengan invaginasi, sedangkan yang lainnya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) diperoleh dari pasien diare dengan tidak mengalami invaginasi. Berdasarkan analisis pohon filogenetik sekuen nukleutida gen NSP4 yang dianalisis dalam studi ini menunjukkan bahwa strain rotavirus 51, 21, 9, dan 16 sangat berkorelasi dekat (Gambar 21) dengan homologi DNA 100% (Gambar 22). Strain 8V sangat berkorelasi dekat dengan strain 18 (Gambar 21) dengan homologi DNA 100% (Gambar 22). Strain 17 dan 2D menunjukkan homologi DNA 99.6%, sedangkan homologi DNA ke dua strain (17 dan
Universitas Sumatera Utara
2D) dengan strain lainnya berkisar 99.6%-99.8%. Homologi DNA dua strain (8V dan 18) dengan strain lainnya berkisar 99.6-99.8%. Secara keseluruhan, kisaran homologi DNA semua strain virus yang dianalisis adalah berkisar 99.6-100% (Gambar 22). Aligmen sekuen DNA NSP 4 dari semua strain rotavirus yang dianalisis dalam studi ini dapat dilihat pada lampiran.
Gambar 19. Pohon filogenetik berdasarkan sekuen DNA gen NSP4 rotavirus, yang dikonstruksi menggunakan MEGA 5.0 menggunakan method maximum likelihood. Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi, sedangkan yang lainnya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan tidak mengalami invaginasi.
Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi tidak menunjukkan perbedaan sekeun DNA NSP4 dengan strain virus 18 dari pasien diare dengan tidak invaginasi, namun berbeda dengan strain laiinya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan non invaginasi.
Universitas Sumatera Utara
Seq->
2D
8V
9
16
17
18
21
99.8
99.8
99.6
99.6
99.8
99.8
99.8
99.6
100
99.8
ID
100
99.8
99.8
100
51 2D
ID
99.6 99.8
8V
99.6
ID 99.8
9
99.8
99.8
100 Gambar 20. Homologi sekuen DNA gen NSP4 rotavirus dari semua strain yang
dianalisis. Strain dengan 16 virus 8V dari 99.8pasien 99.8diare 100 ID invaginasi, 99.8 sedangkan 99.8 100 yang lainnya (2D, 100diare dengan tidak mengalami invaginasi. 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien 17
99.6
99.6
99.8
99.8
ID
99.6
99.8
99.8
2. 18 Pohon Filogenetik NSP4 99.6 dan 100Homologi 99.8 Asam 99.8 Amino 99.6 Protein ID 99.8Rotavirus 99.8
Pohon filogenetik berdasarkan sekuen asam amino protein NSP4 menunjukkan 21
99.8
99.8
100
100
99.8
99.8
ID
bahwa semua strain yang dianalisis membentuk 2 grup (Gamabr 23). Grup pertama terdiri 100
dari strain 21, 51, 17, 16, 9, dan 2D menunjukkan tingkat homologi asam amino 100% 51
99.8
(Gambar 24), sedangkan grup
99.8
ID dua ke
100
100
99.8
99.8
100
yang terdiri dari strain 8V dan 18 menunjukkan
homologi asam amino 100%. Homologi ke dua grup tersebut adalah 99.4%. Secara keseluruhan, kisaran homologi asam amino semua strain virus yang dianalisis adalah berkisar 99,4%-100% (Gambar 24). Aligmen sekuen asam amino protein NSP 4 dari semua strain rotavirus yang dianalisis dalam studi ini dapat dilihat pada sub bab berikutnya. Sama halnya dengan hasil analisis pohon filogenetik dan homologi berdasarkan sekuen DNA gen NSP4, analisis berdasarkan asam amino protein NSP4 juga bahwa Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi tidak menunjukkan perbedaan sekuen asam amino NSP4 dengan strain virus 18 dari pasien diare dengan tidak invaginasi, namun berbeda dengan strain laiinya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan non invaginasi.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 21. Pohon filogenetik berdasarkan sekuen asam amino protein NSP4 rotavirus, yang dikonstruksi menggunakan MEGA 5.0 menggunakan method maximum likelihood. Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi, sedangkan yang lainnya dari pasien diare dengan tidak mengalami invaginasi.
Seq->
2D
8V
9
16
17
18
21
100
100
100
99.4
100
99.4
99.4
99.4
100
99.4
ID
100
100
99.4
100
100
ID
100
99.4
100
100
100
ID
99.4
100
51 2D
ID
99.4 100
8V
99.4
ID 99.4
9
100
99.4 100
16
100
99.4 100
17
100
99.4
Gambar 22. Homologi sekuen asam amino protein NSP4 rotavirus dari semua 100
strain yang dianalisis. Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi, sedangkan yang 18 9, 16, 17, 18, 0.994 10051) dari 99.4pasien 99.4 ID tidak 99.4 lainnya (2D, 21, dan diare99.4 dengan mengalami invaginasi. 99.4 21
3. 51
100
99.4
100
100
100
99.4
ID
100
100
99.4
100
Analisis substitusi100 asam amino 100
99.4
100
ID
Universitas Sumatera Utara
Hasil aligmen sekuen asam amino protein NSP4 dari semua strain rotavirus yang dianalisis dalam studi ini dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa strain 8V dan 18 mengalami substitusi asam amino pada posisi asam amino ke 7, dari asam amino asam glutamik (E) menjadi leusin (L). Asam glutamik merupakan asam amino bersifat hidrofilik, sedangkan leusin adalah asam amino bersifat hidrofobik; oleh karena itu, perubahan asaam amino tersebut merupakan perubahan asam amino dari yang bersifat hidrofilik menjadi asam amino hidropobik. Untuk daerah asam amino lainnya tidak menunjukkan substitusi asam amino (Gambar 25).
....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 10
20
30
40
50
60
70
2D
MEKLTDFNYT LSVITLMNST LHTILEDPGM AYFPYIASVL TVLFTLHKAS IPTMKIALKT SKCSYKVVKY
8V
......L... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
9
.......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
16
.......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
17
.......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
18
......L... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
21
.......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
51
.......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 80
90
100
110
120
130
140
2D
CVVTIFNTLL KLAGYKEQIT TKDEIEKQMD RVVKEMRRQL EMIDKLTTRE IEQVELLKRI YDKLMVQSIG
8V
.......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
9
.......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
16
.......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
17
.......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
18
.......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
21
.......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
51
.......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
Universitas Sumatera Utara ....|....| ....|....| ....|....| ....|
Gambar 23. Alignmen sekuen asam amino protein NSP4 dari 8 strain virus yang berhasil dianalsis dalam studi ini. Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi, sedangkan yang lainnya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan tidak mengalami invaginasi. Kotak: posisi substitusi asam amino.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian baru dalam hal penyebab invaginasi yaitu peneliti ingin melihat apakah ada hubungan mengenai protein nontstruktural 4 rotavirus terhadap terjadinya diare dan dapat menyebabkan terjadinya invaginasi. Hal ini didasari bahwa penyakit invaginasi sering didahului oleh diare, dimana diare pada anak sering disebabkan oleh rotavirus. Invaginasi adalah suatu penyakit pada anak yang memerlukan tindakan emergensi. Diagnosis pasti invaginasi pada anak sulit untuk ditegakkan karena gejala spesifik invaginasi “Trias Invaginasi” tidak selalu ditemukan saat anamnesis kepada orang tua anak maupun pada saat pemeriksaan (Mac Mahon, 1991). Penyakit invaginasi ini sering mengalami keterlambatan dalam penanganan dikarenakan keterlambatan dalam mendiagnosis pasien. Penyebab terjadinya invaginasi hingga sekarang masih belum diketahui dengan jelas. Sehingga ada 2 teori yang menjelaskan mengenai etiologi invaginasi ini yaitu idiopatik dan kausatif (Kim-Choy, Shih, 2002; Virginia, 2000). Penelitian diikuti 55 pasien yang terdiri dari pasien yang meliputi pasien diare dan invaginasi. Dari 55 pasien ini terdapat 63,6% pasien anak dengan invaginasi dan 36,4% pasien diare.Tingkat kejadian invaginasi berdasarkan jenis kelamin terdiri atas 65,8% pasien invaginasi laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh Hanz-Iko tahun 2006 yang menyatakan bahwa kejadian untuk invaginasi lebih dominan pada jenis kelamin laki-laki. penelitian yang dilakukan oleh Kombo tahun 2001 menunjukkan perbandingan tingkat kejaadian invaginasi pada anak antara laki-laki dan perempuan berbanding 3:1. Chen tahun 2005 juga 98 menyatakan bahwa bahwa 65% dari kasus yang diteliti adalah jenis kelamin laki-laki yang menderita invaginasi. Awasthi et al tahun 2009 melakukan penelitian mengenai surveillance invaginasi yaitu menyatakan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih dominan terjadi invaginasi dibanding-kan perempuan. Sedangkan untuk kejadian diare juga mengalami hasil yang sama yaitu jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan yaitu 34,2%
Universitas Sumatera Utara
pasien laki-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian yang di lakukan Awasthi et al tahun 2009 yang menyatakan tingkat kejadian diare di 5 negara lebih banyak terjadi pada jenis kelamin pria. Hal ini dapat terjadi berdasarkan pupolasi dari suatu negara (Chen, 2005) dan pengambilan sampel yang dilambil. Pasien yang menjadi responden penelitian ini didominasi suku Batak yaitu 22%. Hal ini tidak memiliki nilai yang bermakna karena penelitian yang dilakukan di daerah sumatera utara dengan dominan penduduk adalah suku batak. Analisis deskriptif responden yang dilihat yaitu usia. Berdasarkan penelitian dapat terlihat bahwa rerata usia pasien yang menjadi subyek penelitian yaitu 6,6 bulan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Sapan pada tahun 2007 dan Rajiv et al 2009 yang menyatakan bahwa kejadian invaginasi sering terjadi pada anak dengan usia dibawah dari 1 tahun. Kejadian invaginasi sering terjadi pada anak usia kecil dari 2 tahun (Difiore, 1999; Mulchhy, 1982; Gardness, 1962, Bruce, 1987). Chen tahun 2005 menyatakan bahwa usia kejadian invaginasi kecil dari 1 tahun yaitu 72%. Status gizi terbanyak pada pasien dengan invaginasi adalah gizi baik yaitu 54,1%, sedangkan pada pasien dengan diare sebanyak 45.9%. Dari hasil analisis menggunakan uji chi square ditemukan hubungan yang signifikan antara status gizi dengan terjadinya invaginasi pada pasien anak (p=0,034). Nilai OR yang diperoleh adalah 1,542 (95% IK 1,074 – 2,214) yang menunjukkan bahwa anak-anak dengan gizi lebih berisiko akan mengalami invaginasi 1,542 kali dibandingkan anak-anak dengan status gizi kurang dan baik. Sebanyak 83,3% anak gizi lebih mengalami invaginasi sedangkan pada anak-anak dengan status gizi baik dan kurang hanya 54,1% yang mengalami invaginasi. Sedangkan Penelitian yang dilakukan oleh Pisacane tahun 1992 dan Cunnane tahun 1990 menyatakan bahwa masalah gizi tidak memperlihatkan hasil yang bermakna, karena harus ditelaah lagi mengenai asupan pada anak, apakah anak tersebut mengkonsumsi Air Susu Ibu atau susu formula. Status gizi seharusnya dapat menjamin seorang bayi untuk dapat bertahan dengan sistem imun terhadap infeksi. Peneliti juga melihat prevalensi terhadap tipe invaginasi pada pasien yaitu
Universitas Sumatera Utara
di dapati Tipe invaginasi yang terbanyak ditemukan pada pasien invaginasi yaitu ileo-colica sebanyak 38,2%. Pada pasien anak dengan invaginasi ditemukan 82.1% positif Rotavirus jenis A sedangkan pada anak dengan diare 17,9%. Dengan menggunakan uji chi square ditemukan hubungan yang signifikan keberadaan rotavirus dalam feses terhadap kejadian invaginasi (p=0,004) dengan nilai OR 1,848 (95% IK 1,172 – 2,915) yang artinya adalah anak-anak yang ditemukan positif rotavirus dalam fesesnya akan berisiko mengalami invaginasi sebesar 1,848 kali dibanding anak-anak yang tidak ditemukan rotavirus dalam fesesnya. Berdasarkan hasil analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda dengan metode enter ditemukan hanya rotavirus yang berpengaruh terhadap terjadinya invaginasi pada pasien anak dengan nilai p = 0,005. Nilai OR yang diperoleh dari pemodelan multivariat adalah 5,750 (95% IK 1,682 – 19,661) yang menunjukkan bahwa anak-anak yang terinfeksi rotavirus berisiko akan mengalami invaginasi sebesar 5,75 kali lebih besar dibandingkan anak-anak yang tidak terinfeksi rotavirus. Penelitian yang telah dilakukan oleh Estes yang dijelaskan pada Kombo tahun 2001, Estes melakukan penelitian pada Bayi babi yang di berikan rotavirus, dengan jangka waktu 72 jam menunjukkan adanya intususepsi. Rajiv, 2009 menyatakan bahwa hanya 4 sampel yang terdeteksi rotavirus dari 42 sampel. Berdasarkaan penelitian yang di lakukan oleh Robert tahun 2004 yang menyatakan bahwa penyebab diare terbanyak adalah rotavirus. Peneliti melakukan pemeriksaan dengan PCR untuk mendeteksi NSP4 pada pasien invaginasi untuk melihat resiko terjadinya invaginasi. Hal ini didasari pada pasien yang invaginasi sering didahului oleh diare, sedangkan diare pada anak sering disebabkan oleh rotavirus. Rotavirus merupakan penyebab utama penyakit diare pada bayi manusia dan binatang muda, termasuk anak sapi dan anak babi. Infeksi pada orang dewasa dan binatang juga sering (Jawetz, 2005). Sedangkan menurut Harper tahun 2008 Rotavirus menyebabkan sebagian besar penyakit diare pada bayi dan anak tetapi tidak pada orang dewasa.
Universitas Sumatera Utara
Rotavirus adalah penyebab tertinggi dari gastroenteritis pada anak-anak di seluruh dunia (Malek, 2006). Menurut Vaishalli tahun 2012 rotavirus adalah etiologi yang paling penting dalam menyebabkan gastroenteritis pada bayi dan anak-anak. Secara umum, jumlah dari kejadian diare yaitu 37% dari semua kasus yang disebabkan oleh rotavirus dan 453.000 kematian pertahun pada anak kurang dari 5 tahun. Sedangkan untuk kejadian diare di Indonesia 60% disebabkan oleh rotavirus (Soenarto, 2009). Rotavirus telah dideteksi pada 41% pasien dengan invaginasi, meskipun penelitian terkontrol hanya sedikit dilakukan, infeksi rotavirus menyebabkan
lymphadenopathy dan
penebalan dinding ileum distal yang dapat menjadi lead point terjadinya invaginasi. Karena hal tersebut rotavirus dinilai mempunyai kaitan dengan terjadinya invaginasi pada beberapa kasus (Julie, 2004). Rotavirus menginfeksi usus halus dan merupakan penyebab utama dari diare berat pada anak. Infeksi rotavirus lebih sering terjadi pada anak dibawah umur 1 tahun, yang merupakan resiko tertinggi untuk menderita invaginasi (Kelly, 2006). Anak dengan imunodefisiensi, rotavirus dapat menyebabkan penyakit yang berat dan lama. Diagnosis laboratorium berupa adanya rotavirus dapat dilihat didalam feses dan darah pada saat titer antibodi meningkat.Virus didalam feses dapat dilihat dengan menggunakan IEM, uji aglutinasi lateks atau ELISA dan juga dapat dilihat dengan Rotavirus Rapid Test Kit (Biomeroux). Ekskresi virus didalam feces dapat menetap hingga 50 hari setelah awitan diare, sedangkan pemeriksaan antibody rotavirus dilakukan dengan Uji Hambatan Hemaglutinasi terhadap antigen rotavirus yang diisolasi dari penderita diare akut (Harper, 2008). Hasil infeksi rotavirus pada sel epitel usus lebih komplek dan menginduksi respon seluler yang lebih beragam. Serupa dengan bakteri, patogenesis dari rotavirus melibatkan enterotoksin, aktivasi sistem saraf enterik, dan malabsorbsi (Ciarlet, 2001). Infeksi rotavirus pada sel menyebabkan perubahan besar dalam homeostasis Ca
2+
.
Perubahan ini termasuk
Universitas Sumatera Utara
peningkatan permeabilitas membran-plasma, konsentrasi cytosolic, dan total sell Ca2+ (Zambrano, 2008). Ada tiga penelitian virologis kecil yang mencoba mengevaluasi adanya kaitan yang potensial antara invaginasi dengan infeksi rotavirus. Dengan pemeriksaan mikroskop elektron spesimen fekal, suatu penelitian prospektif menemukan bukti infeksi rotavirus pada 11 dari 30 (37%) anak dengan invaginasi. Dalam penelitian prospektif lainnya rotavirus dapat dideteksi secara serologis pada 2 dari 24 pasien (10%). Tidak satupun penelitian ini dapat menunjukkan secara meyakinkan bahwa infeksi rotavirus mempunyai peranan penting dalam terjadinya invaginasi (Chang, 2002). Diare yang disebabkan oleh rotavirus pertama kali dianggap sebagai malabsorbsi. Sejak tahun 1996, berbagai ide bermunculan diantaranya menyatakan bahwa NSP4 memiliki peran penting dalam sekresi cairan dan elektrolit, oleh karena itu hal ini mewakili sekretori enterotoksin virus baru (Mathie, 2007). Selama infeksi, NSP4 berfungsi sebagai enterotoksin viral dengan berikatan dengan reseptor ekstraselluler dan mengaktivasi jalur transduksi sinyal yang meningkatkan level Kalsium ([Ca2+]i)intraselluler melalui pelepasan ion Kalsium dari Retikulum Endoplasma (Megan, 2011). Untuk memperantarai efek pada percobaan in vivo, NSP4 harus disekresikan atau dilepaskan dari sel rotavirus yang terinfeksi dalam bentuk terlarut, bagaimanapun juga pada penelitian sebelumnya telah terindikasi bahwa sebuah glikoprotein transmembran terlokalisasi dalam kompartemen endomembran dalam sebuah sel yang terinfeksi (Bugarcic, 2006). Protein nonstruktural rotavirus NSP4, sebuah glikoprotein transmembran retikulum endoplasma, meningkatkan level Ca2+ sitoplasmik intraselluler melalui jalur fosfolipase C-independen yang dibutuhkan virus pada replikasi dan morfogenesis (Joseph, 2010; Farideh, 2001; Zambrano, 2008). Daerah enterotoksin pada peta asam amino NSP4: 114 sampai 135 yang dibedakan dengan penelitian fungsional dari sintesis peptide yang overlapping (Parr, 2011; Mathie, 2006). NSP4 rotavirus
sangat
penting
untuk
replikasi,
transkripsi,
dan
morfogenesis
namun bagaimana NSP4 kontribusi untuk proses tersebut masih kurang
Universitas Sumatera Utara
dipahami. protein
Kemampuan virus
dan
NSP4
seluler
berinteraksi protein,
secara
termasuk
berbeda
calnexin,
dengan
beberapa
laminin-3,
fibronektin,
caveolin, domain integrin, dan tubulin (Hu et al, 2013). NSP4 disintesis sebagai glikoprotein transmembran retikulum endoplasma (RE) dan terdiri dari tiga
domain
hidrofobik (H1-H3) dengan dua situs glikosilasi mannose N-linked berorientasi ke sisi luminal RE di H1 domain, domain transmembran H2 urutan sinyal untuk tidak memecah, domain viroporin residu
bermuatan
sitoplasmik sedikit
yang
yang
positif
dan
mengandung
diketahui
tentang
amphipathic daerah
α-helix
melingkar-coil
N-terminus,
mungkin
dan berfungsi sebagai
dibentuk oleh sekelompok (H3) dan karena
diikuti
oleh
domain
C-terminus. bersifat
Relatif
hidrofobik
(Groft et al, 2002). Berdasarkan data ini, peneliti melakukan penelitian untuk melihat apakah gen protein NSP4 dapat menginduksi terjadinya invaginasi pada anak. Dengan menggunakan uji Fisher’s exact ditemukan hubungan yang signifikan antara keberadaan rotavirus dalam feses terhadap ada tidaknya NSP4 (p=0,004) dengan nilai OR 0,714 (95% IK 0,565 – 0,903) yang menunjukkan bahwa dengan ditemukan rotavirus dalam feses pasien anak maka risiko ditemukannya NSP4 adalah 0,714 dibanding anak yang tidak ditemukan rotavirus dalam fesesnya atau dengan kata lain keberadaan rotavirus merupakan faktor protektif terhadap ditemukannya NSP4. Sebanyak 71,4% anak dengan rotavirus ditemukan NSP4 sedangkan pada anak yang tidak ditemukan rotavirus keberadaan NSP4 terjadi pada seluruh anak. Dengan menggunakan uji Fisher’s exact diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan antara NSP4 dan terjadinya invaginasi (p=1,000). Sebanyak 62,5% anak-anak yang ditemukan NSP4 mengalami invaginasi, sedangkan pada kelompok anak yang tidak ditemukan NSP4 proporsi anak yang mengalami invaginasi sebesar 63,8%. Hal ini banyak kemungkinan yang menjadi penyebab tidak terdapatnya hubungan antara NSP4 dengan terjadinya invaginasi diantaranya yaitu sampel. Sebaiknya pemeriksaan pemeriksaan PCR dilakukan pada laboratorium yang sama. Untuk mendapatkan hasil yang baik sebaiknya
Universitas Sumatera Utara
sampel penelitian di simpan di tempat yang seharusnya. Pemeriksaan hasil PCR sebaiknya dilakukan oleh operator yang sama. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bahwa rotavirus merupakan salah satu penyebab terjadi invaginasi sehingga untuk dokter bedah dan dokter anak memikirkan untuk dilakukan
penelitian
mengenai
bagaimana
pemberian
imuniasi
Rotavirus,
apakah
memberikan efek untuk mengurangi tingkat kejadian invaginasi pada anak. Sedangkan untuk dokter layanan primer dapat waspada jika mereka mendapatkan pasien anak dengan diare atau adanya trias invaginasi sehingga mereka dapat melakukan pemeriksaan yang sederhana berupa rapid test untuk memeriksa ada atau tidaknya rotavirus dan dapat dilakukan penatalaksanaan lanjutan di rumah sakit terdekat.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan
1.
Jumlah anak laki-laki sebanya 69,1% sedangkan anak perempuan 30,9%.
Kebanyakan pasien anak dengan gizi baik 50,9% dan sukku terbanyak adalah suku Batak 40%. Usia responden rerata usia responden 6.6 bulan.
Universitas Sumatera Utara
2.
Sebagian besar pasien 52,7% dengan riwayat diare akut, dikuti dengan diare
persisten, disentri. Dari Penelitian ditemukan 63,6% dengan invaginasi dan 46.4% diare. 3.
Tipe invaginasi terbanyak yang ditemukan adalah tipe ileo-colica, diikuti tipe
ileo-caecal, colo colica dan ileoileal. Hasil analisis menggunakan uji chi square ditemukan hubungan yang signifikan antara status gizi dengan terjadinya invaginasi pada pasien anak (p=0,034) (Tabel 4.2.1). Nilai OR yang diperoleh adalah 1,542 (95% IK 1,074 – 2,214) yang menunjukkan bahwa anak-anak dengan gizi lebih berisiko akan mengalami invaginasi 1,542 kali dibandingkan anak-anak dengan status gizi kurang dan baik. Sebanyak 83,3% anak gizi lebih mengalami invaginasi sedangkan pada anak-anak dengan status gizi baik dan kurang hanya 54,1% yang mengalami invaginasi. Hasil analisis chi square menunjukkan bahwa tidak ditemukan
107 hubungan antara jenis kelamin dan suku terhadap terjadinya invaginasi (p>0,05). 4.
Hasil analisis menggunakan uji Fisher’s exact ditemukan hubungan yang
signifikan antara suku dengan terjadinya invaginasi pada pasien anak (p=0,049). Nilai OR yang diperoleh adalah 1,357 (95% IK 1,037 – 1,776) yang menunjukkan bahwa anak-anak dengan suku Batak berisiko akan mengalami invaginasi tipe ileum 1,357 kali dibandingkan anak-anak yang tidak bersuku Batak. Seluruh anak bersuku Batak memiliki invaginasi tipe ileum sementara anak yang tidak bersuku Batak memiliki invaginasi tipe ileum sebanyak 73,7%.Hasil analisis Fisher’s exact menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan antara jenis kelamin dan status gizi terhadap tipe invaginasi (p>0,05) 5.
Dengan menggunakan uji T independent diketahui terdapat hubungan yang
signifikan antara kadar neutrofil dan terjadinya invaginasi (p=0,0001). Rerata kadar neutrofil pada anak dengan invaginasi jauh lebih tinggi (79,03) dibanding anak-anak dengan diare/tanpa invaginasi (56,55). Rerata anak dengan invaginasi dan tanpa invaginasi tidak
Universitas Sumatera Utara
jauh berbeda (p=0,752) dimana pada anak dengan invaginasi reata usia adalah 6,74 bulan dan tanpa invaginasi adalah 6,36 bulan. 6.
Dengan menggunakan uji T independent diketahui tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara usia dan kadar neutrofil terhadap tipe invaginasi (p>0,05). 7.
Kadar neutrofil dalam studi ini memilliki kemampuan untuk memprognosis
seorang anak apakah mengalami invaginasi atau tidak. Hasil analisis menggunakan kurva ROC diperoleh bahwa area di bawah kurva (AUC) ROC adalah 100% (95% IK: 100-100; p = 0,0001) 8.
Keseluruhan sampel feses baik dari pasien dengan diare dan invaginasi
dilakukan PCR menggunakan primer spesifik Rotavirus A. Hasil positif PCR Rotavirus A menggunakan PCR memberikan produk amplifikasi fragmen DNA sebesar 395 bp. Dari total 55 sampel, 19 sampel (1v, 2V, 4V, 7V, 8V, 11V,13V,16V, 17V, 19V, 20V, 21V, 23V, 25V, 27V,30V, 31V, 33V, dan 34V) menunjukkan hasil positif Rotavirus A 9.
Dengan menggunakan uji chi square ditemukan hubungan yang signifikan
keberadaan rotavirus dalam feses terhadap kejadian invaginasi (p=0,004) dengan nilai OR 1,848 (95% IK 1,172 – 2,915). Artinya adalah anak-anak yang ditemukan positif rotavirus dalam fesesnya akan berisiko mengalami invaginasi sebesar 1,848 kali dibanding anak-anak yang tidak ditemukan rotavirus dalam fesesnya. Sebanyak 82,1% anak dengan rotavirus mengalami invaginasi sedangkan pada anak yang tidak ditemukan rotavirus kejadian inaginasi hanya terjadi pada 44,4% anak. 10.
Dengan menggunakan uji Fisher’s exact tidak ditemukan hubungan yang
signifikan antara keberadaan rotavirus dalam feses terhadap tipe invaginasi (p=0,640) (Tabel 4.5.2). Sebanyak 82,1% anak dengan rotavirus mengalami invaginasi tipe ileum sedangkan pada anak yang tidak ditemukan rotavirus kejadian inaginasi tipe ileum terjadi pada 91,7% anak. 11.
Semua sampel yang positif Rotavirus A dilakukan amplifikasi gen NSP4.
Produk PCR adalah sekitar 738 bp (Gambar 4.6.1). Dari total 19 sampel positif Rotavirus A,
Universitas Sumatera Utara
hanya 8 sampel (2V, 8V, 10V, 11V, 16V, 25V, 31V, dan 34V) yang berhasil dilakukan amplifikasi gen NSP4. 12.
Berdasarkan analisis pohon filogenetik sekuen nukleutida gen NSP4 yang
dianalisis menunjukkan bahwa strain rotavirus 51, 21, 9, dan 16 sangat berkorelasi dekat dengan homologi DNA 100%. Strain 8V sangat berkorelasi dekat dengan strain 18 dengan homologi DNA 100%. Strain 17 dan 2D menunjukkan homologi DNA 99.6%, sedangkan homologi DNA ke dua strain (17 dan 2D) dengan strain lainnya berkisar 99.6%-99.8%. Homologi DNA dua strain (8V dan 18) dengan strain lainnya berkisar 99.6%-99.8%. Secara keseluruhan, kisaran homologi DNA semua strain virus yang dianalisis adalah berkisar 99.6100%. 13.
Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi tidak menunjukkan
perbedaan sekeun DNA NSP4 dengan strain virus 18 dari pasien diare dengan tidak invaginasi, namun berbeda dengan strain laiinya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan non invaginasi. 14.
Dari hasil analisis pohon filogenetik berdasarkan sekuen asam amino protein
NSP4 menunjukkan bahwa semua strain yang dianalisis membentuk 2 grup. Grup pertama terdiri dari strain 21, 51, 17, 16, 9, dan 2D menunjukkan tingkat homologi asam amino 100%, sedangkan grup ke dua yang terdiri dari strain 8V dan 18 menunjukkan homologi asam amino 100%. Homologi ke dua grup tersebut adalah 99.4%. Secara keseluruhan, kisaran homologi asam amino semua strain virus yang dianalisis adalah berkisar 99.4-100%. 15.
Dari hasil analisis pohon filogenetik dan homologi berdasarkan sekeun DNA
gen NSP4, dan hasil analisis berdasarkan asam amino protein NSP4 dijumpai Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi tidak menunjukkan perbedaan sekeun asam amino NSP4 dengan strain virus 18 dari pasien diare dengan tidak invaginasi, namun berbeda dengan strain laiinya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan non invaginasi. 16.
Berdasarkan
jenis
invaginasi
diketahui
bahwa
invaginasi
ileo-colica
merupakan jenis invaginasi terbanyak dengan jumlah 60% diikuti oleh invaginasi ileo-caecal dengan jumlah 17,1%.
Universitas Sumatera Utara
17.
Tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian
invaginasi (p=0,620). Tidak ditemukan hubungan antara usia dengan kejadian invaginasi (p=0,542). 18.
Selanjutnya, untuk variabel status gizi, suku, dan riwayat diare juga tidak
berhubungan secara signifikan dengan kejadian invaginasi (p>0,05). 6.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut : 1.
Untuk penelitian lain yang berfokus pada pembuktian keterlibatan NSP 4
dalam invaginasi, penelitian ini dapat dijadikan acuan dan bahan referensi sebagai usaha untuk membuktikan keterlibatan protein NSP 4 pada kejadian invaginasi. 2.
Sebaiknya pemeriksaan PCR dan pemeriksaan Sequencing DNA dilakukan
pada satu laboratorium yang sama untuk menghindari kerusakan sampel pada saat pengiriman sampel antar laboratorium. Isolasi DNA yang dilakukan diLaboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dimana sampel yang digunakan disimpan dalam freezer dengan temperatur -20C, dengan adanya gangguan aliran listrik dari PLN mungkin mempengaruhi kualitas isolasi.
Universitas Sumatera Utara