BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi potong lintang
(cross-sectional).
Desain
cross-sectional
adalah
desain
penelitian
epidemiologi yang tidak memiliki dimensi waktu. Pengukuran terhadap seluruh variabel yang diteliti hanya dilakukan satu kali, pada waktu yang sama (Sastroasmoro dan Ismael, 2008). Dalam penelitian ini, peneliti ingin menganalisis asosiasi kadar kadmium dalam air sumur dengan tekanan darah masyarakat Desa Namo Bintang. Penelitian cross-sectional dilakukan untuk melihat asosiasi pajanan (exposure) dengan penyakit (disease of interest) yang diukur dalam periode waktu yang singkat dan dapat digunakan untuk melihat besaran masalah dan tingkat risiko pada suatu kelompok. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Namo Bintang, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Lokasi ini dipilih karena dianggap sebagai kawasan dengan kualitas air tanah/sumur yang memiliki potensi besar tercemar kadmium dari air lindi yang berasal dari TPA. Studi yang dilakukan sebelumnya oleh Ashar dan Santi (2011) membuktikan bahwa air sumur dari jarak 94 m – 971 m dari TPA yang berjumlah 60 sumur, seluruhnya memiliki kandungan kadmium melebihi 0,005 mg/l dengan kadar terendah adalah 0,0187 mg/l dan tertinggi 0,1957 mg/l serta
53 Universitas Sumatera Utara
54
rerata 0,02 mg/l, dalam hal ini telah melebihi nilai ambang batas yang dipersyaratkan dalam Permenkes No.416/Menkes/Per/IX/1990 tentang persyaratan kualitas air bersih. Waktu penelitian dari penyusunan proposal, pengumpulan data di lapangan, analisis data hingga penyusunan laporan hasil penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Juli 2016.
3.3.
Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang Kota Medan Tahun 2016 dengan jumlah 6708 orang. 3.3.2. Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari populasi masyarakat yang terpilih melalui kriteria yang telah ditentukan. 1. Besar Sampel Penelitian Besaran sampel minimal yang harus diambil dalam penelitian ini dihitung berdasarkan ukuran sampel untuk uji hipotesis beda 2 rata-rata (Lemeshow, 1997). Untuk menentukan besar sampel uji hipotesis beda 2 rata-rata menggunakan formula besar sampel sebagai berikut: n
=
dimana,
Universitas Sumatera Utara
55
N
: besar sampel yang dibutuhkan
Z1-α/2
: Nilai z pada derajat kepercayaan 1-α/2 yang digunakan adalah 5% = 1,96
Z1-β
: Nilai z pada kekuatan uji (power) 1-β yang digunakan adalah 90%
μ1
: Kelompok masyarakat yang konsumsi air sumur yang mengandung Cd rendah dan rata-rata kadmium dalam urin
μ2
: Kelompok masyarakat yang konsumsi air sumur yang mengandung Cd tinggi dan rata-rata kadmium dalam urin Pada umumnya nilai σ2 tidak diketahui, sehingga σ2 umumnya diperkirakan dari
varians gabungan: Sp2 = Dimana, S12
: Standar deviasi pada kelompok 1, dan
S22
: Standar deviasi pada kelompok 2 Tabel 3.1 Perhitungan Besar Sampel dari Beberapa Variabel
No. Variabel 1. Jenis kelamin 2. 3.
Kadmium sumur Merokok
4.
Umur
di
μ1
μ2 0,0325
Jumlah 40
0,052
88
0,111
0,138
86
0.217
0.313
42
0,24 air 0,0268
Sumber μ Chaumnot, 2013 Shuaibu, 2014 Chaumont, 2013 Chaumont, 2013
Universitas Sumatera Utara
56
Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel dari persamaan (3.1) maka didapatkan jumlah sampel sebesar 88 responden. Untuk menanggulangi kemungkinan adanya sampel yang tidak memenuhi kriteria inklusi, maka jumlah sampel ditambah 10% dari total sampel. Jadi, total sampel minimal adalah 96 responden. 2. Teknik Pengambilan Sampel Sampel dipilih secara stratified random sampling dengan menentukan kriteria sebagai berikut: 1.
Kriteria inklusi Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Menggunakan air sumur di lokasi penelitian sebagai sumber utama untuk keperluan air minum dan memasak. Air sumur yang dimaksud adalah air sumur yang terus menerus dan aktif digunakan untuk keperluan air minum dan memasak. Air sumur dalam penelitian ini juga tidak diolah dengan perlakuan kimia. b. Telah bermukim di lokasi penelitian minimal 7 tahun. Penentuan lama bermukim ini sesuai dengan waktu paruh eliminasi kadmium dari dalam tubuh yaitu selama 7 – 16 tahun (Nordberg et al., 2007). c. Bersedia menjadi responden dalam penelitian. d. Laki-laki dan perempuan yang berusia 18 tahun atau lebih.
2.
Kriteria eksklusi Adapun kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Tidak menggunakan air sumur sebagai sumber air minum.
Universitas Sumatera Utara
57
b. Wanita pada masa menstruasi, menyusui atau hamil.
3.4.
Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Data Primer Data primer dalam penelitian ini adalah seluruh variabel penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner terhadap responden yang terpilih untuk mendapatkan informasi secara lengkap dan terperinci serta melakukan pemeriksaan tekanan darah dan uji laboratorium terhadap air sumur yang digunakan oleh responden untuk mengetahui kadar kadmiumnya. Pengambilan sampel air sumur diambil pada kedalaman 20 cm di bawah permukaan air sumur lalu sampel tersebut dimasukkan ke dalam wadah plastik yang tidak berwarna. Setelah itu ditambahkan asam nitrat sampai pH ≤ 2 untuk mengawetkan sampel, selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk dianalisa (Standar Nasional Indonesia, 2009). 3.4.2. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari profil Puskesmas Kecamatan Pancur Batu. Cara memperoleh data dan instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data selengkapnya tercantum dalam Tabel 3.2.
Universitas Sumatera Utara
58
Tabel 3.2 Metode Pengumpulan Data Variabel Usia Jenis kelamin Pekerjaan Status gizi
Cara memperoleh data Wawancara Wawancara Wawancara Mengukur tinggi badan dan berat badan
Kebiasaan merokok Wawancara Kadar kadmium Mengukur kadar kadmium pada air sumur dari sampel air sumur milik responden Jumlah asupan air Wawancara Durasi Pajanan Wawancara Tekanan darah Mengukur tekanan darah responden saat tenang/istirahat dalam posisi tidur sebanyak 2 (dua) kali dengan interval 5 menit. Diambil nilai rata-rata hasil pengukuran
Instrumen Kuesioner Kuesioner Kuesioner Timbangan berat badan (bathroom scale) dengan tigkat ketelitian 1 kg dan pengukur tinggi badan (microtoise) dengan tingkat ketelitian 1 cm Kuesioner Atomic Absorbance Spectrophotometer (AAS) Kuesioner Kuesioner Tensimeter merek Omron
3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1 Variabel Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu: a.
Variabel dependen adalah tekanan darah.
b.
Variabel independen adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan, status gizi, kebiasaan merokok, hipertensi, kadar kadmium pada air sumur, jumlah asupan air, dan durasi pajanan.
Universitas Sumatera Utara
59
3.5.2 Definisi Operasional Tabel 3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel Dependen Usia
Jenis Kelamin Pekerjaan
Status gizi
Kebiasaan merokok Tekanan darah
Definisi Operasional Lama hidup responden yang dihitung berdasarkan ulang tahun terakhir Jenis seks genital responden Jenis aktivitas rutin yang dilakukan responden untuk memenuhi kebutuhan seharihari Status gizi responden ditentukan dengan cara menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan dan dimasukkan dalam formula berat badan (kg) dibagi tinggi badan (cm2) Kebiasaan seharihari responden dalam bentuk menghisap rokok Tekanan darah adalah tekanan darah sistole dan tekanan darah diastole yang diukur dengan menggunakan alat ukur : Tensoval dengan Satuan : mmHg
Skala Ukur
Hasil ukur
Ordinal
0. < 43 tahun 1. > 43 tahun
Nominal
0. Laki-laki 1. Perempuan 0. Tidak Beresiko 1. Berisiko
Ordinal
Ordinal
0. Tidak Obesitas 1. Obesitas
Ordinal
0. Tidak 1. Ya
Ordinal
0. Normal 1. Hipertensi
Universitas Sumatera Utara
60
Tabel 3.3 (Lanjutan) Variabel Definisi Skala Ukur Dependen Operasional Kadar kadmium Kadar kadmium Ordinal dalam air sumur yang terukur dari hasil pemeriksaan sampel air sumur menggunakan AAS Jumlah asupan air Jumlah air yang Ordinal dikonsumsi responden yang berasal dari air sumur dari rumah yang ditinggali responden yang dihitung dalam liter/hari Durasi Pajanan Banyaknya waktu Ordinal dalam tahun responden mengkonsumsi air yang berasal dari air sumur
Hasil ukur 0. < 0,005μg/l 1. > 0,005μg/l
0. < 2 Liter/hari 1. > 2 Liter/hari
0. < 19 Tahun 1. > 19 Tahun
3.6. Metode Pengukuran 3.6.1 Pengukuran Kadmium Air Sumur Pemeriksaan laboratorium kadar kadmium pada air sumur menggunakan prosedur pengukuran kadmium sesuai dengan metode Standar Nasional Indonesia tahun 2009 yang telah mengacu pada metode standar internasional yaitu Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater 21 th Edition (2005), sebagai berikut : 3.6.1.1 Ruang Lingkup Metode ini digunakan untuk penentuan logam kadmium total dan terlarut dalam air dan air limbah secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)-nyala pada
Universitas Sumatera Utara
61
kisaran kadar Cd 0,05 mg/l sampai dengan 2 mgl/l dengan panjang gelombang 228,8 nm. 3.6.1.2 Prinsip Analit logam kadmium dalam nyala udara-asetilen diubah menjadi bentuk atomnya, menyerap energi radiasi elektromagnetik yang berasal dari lampu katoda dan besarnya serapan berbanding lurus dengan kadar analit. 3.6.1.3 Bahan a. Air bebas mineral. b. Asam nitrat (HNO₃) pekat p.a. c. Logam kadmium (Cd) dengan kemurnian minimum 99,5%. d. Gas asetilen (C₂H₂) HP dengan tekanan minimum 100 psi. e. Larutan pengencer HNO₃ 0,05M. f. Larutkan 3,5 mL HNO₃ pekat ke dalam 1000 mL air bebas mineral dalam gelas piala. g. Larutan pencuci HNO₃ 5% (v/v). h. Tambahkan 50 mL asam nitrat pekat ke dalam 800 mL air bebas mineral ke dalam gelas. i. Udara tekan HP atau udara tekan dari kompresor. 3.6.1.4 Peralatan a. Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) nyala. b. Lampu katoda berongga (Hollow Cathode Lamp / HCL) cadmium.
Universitas Sumatera Utara
62
c. Gelas piala 100 mL dan 250 mL. d. Pipet volumetrik 10,0 mL dan 50,0 mL. e. Labu ukur 50,0 mL; 100,0 mL; dan 1000,0 mL. f. Erlenmeyer 100 mL. g. Corong Gelas. h. Kaca arloji. i. Pemanas listrik. j. Seperangkat alat saring vakum. k. Saringan membran dengan ukuran pori 0,45 µm. l. Timbangan analitik dengan ketelitian 0,0001g. m. Labu semprot. 3.6.1.5 Pengawetan Contoh Uji Bila contoh uji tidak dapat segera diuji, maka contoh uji diawetkan sesuai petunjuk di bawah ini. Wadah
: Botol plastik (polyethylene) atau botol gelas.
Pengawet
: Untuk logam total, asamkan dengan HNO₃ hingga pH <2.
Lama Penyimpanan
: 6 bulan
Kondisi penyimpanan : Suhu Ruang 3.6.1.6 Persiapan Pengujian Siapkan contoh uji yang telah disaring dengan saringan membran berpori 0,45 µm.
Universitas Sumatera Utara
63
3.6.1.7 Persiapan contoh uji kadmium total Siapkan contoh uji untuk pengujian kadmium total, dengan tahapan sebagai berikut. a. Homogenkan contoh uji, pipet 50 mL contoh uji dan masukkan ke dalam gelas piala 100 mL atau erlenmeyer 100 mL. b. Tambahkan 5 mL asam nitrat pekat, bila menggunakan gelas piala, tutup dengan kaca arloji dan bila dengan erlenmeyer gunakan corong sebagai penutup. c. Panaskan di pemanas listrik secara perlahan-lahan sampai sisa volumenya 15 mL sampai dengan 20 mL. d. Jika destruksi belum sempurna (tidak jernih), maka tambahkan lagi 5 mL asam nitrat pekat, kemudian tutup gelas piala dengan kaca arloji atau tutup erlenmeyer dengan corong dan panaskan lagi (tidak mendidih). Lakukan proses ini secara berulang sampai semua logam larut, yang terlihat dari warna endapan dalam contoh uji menjadi agak putih atau contoh uji menjadi jernih. e. Bilas kaca arloji dan masukkan air bilasnya ke dalam gelas piala. f. Pindahkan contoh uji ke dalam labu ukur 50 mL (saring bila perlu) dan tambahkan air bebas mineral sampai tepat tanda tera dan dihomogenkan. g. Contoh uji siap diukur serapannya. 3.6.1.8 Pembuatan larutan induk logam kadmium, Cd 100 mg Cd/L a.
Timbang ± 0,100 g logam kadmium, masukkan ke dalam labu ukur 1000 mL. Tambahkan 4 mL asam nitrat pekat sampai larut ( ≈ 100 mg Cd/L ).
Universitas Sumatera Utara
64
b.
Tambahkan 8 mL asam nitrat pekat dan air bebas mineral hingga tepat tanda tera dan homogenkan.
c.
Hitung kadar kadmium berdasarkan hasil penimbangan.
3.6.1.9 Pembuatan larutan baku logam kadmium, Cd 10 mg Cd/L a.
Pipet 10 mL larutan induk 100 mg Cd/L, masukkan ke dalam labu ukur 100 mL.
b.
Tepatkan dengan larutan pengencer sampai tanda tera dan homogenkan.
3.6.1.10 Pembuatan larutan kerja logam kadmium (Cd) a.
Pipet 0,0 mL; 0,5 mL; 1 mL; 2 mL; 5 mL; 10 mL dan 20 mL larutan baku kadmium, Cd 10 mg/L masing-masing ke dalam labu ukur 100 mL.
b.
Tambahkan larutan pengencer sampai tepat tanda tera sehingga diperoleh kadar logam besi 0,0 mg/L; 0,05 mg/L; 0,5 mg/L; 0,1 mg/L; dan 0,2 mg/L.
3.6.1.11 Prosedur dan pembuatan kurva kalibrasi a.
Operasikan alat dan optimasikan sesuai dengan petunjuk penggunaan alat untuk pengukuran kadmium. Catatan 1: salah satu cara optimasi alat dengan uji sensitivitas. Catatan 2: tambahkan matrix modifier dan atau atasi gangguan pengukuran sesuai dengan SSA yang digunakan.
b.
Aspirasikan larutan blanko ke dalam SSA-nyala kemudian atur serapan hingga nol.
c.
Aspirasikan larutan kerja satu persatu ke dalam SSA-nyala, lalu ukur serapannya pada panjang gelombang 228,8 nm, kemudian catat.
d.
Lakukan pembilasan pada selang aspirator dengan larutan pengencer.
Universitas Sumatera Utara
65
e.
Buat kurva kalibrasi dari data pada butir c diatas, dan tentukan persamaan garis lurusnya.
f.
Jika koefisien korelasi regresi linier (r) < 0,995, periksa kondisi alat dan ulangi langkah pada butir b sampai dengan c hingga diperoleh nilai koefisien r ≥ 0,995.
g.
Uji kadar kadmium dengan mengaspirasikan contoh uji ke dalam SSA-nyala dan ukur serapannya pada panjang gelombang 228,8 nm. Bila diperlukan, lakukan pengenceran.
h.
Catat hasil pengukuran.
3.6.1.12 Cara Uji Uji kadar kadmium dengan tahapan sebagai berikut. a.
Aspirasikan contoh uji ke dalam SSA nyala dan ukur serapannya pada panjang gelombang 228,8 nm. Bila diperlukan, lakukan pengenceran.
b.
Catat hasil pengukuran.
3.6.1.13 Perhitungan kadar logam kadmium Kadar logam kadmium dihitung sebagai berikut: Cd (mg/L) = C x fp Keterangan: C adalah kadar yang didapat hasil pengukuran (mg/L); fp adalah faktor pengenceran. 3.6.2 Prosedur Pengukuran Tekanan Darah Tekanan darah adalah suatu kekuatan darah yang menekan dinding pembuluh darah diukur dalam satuan mmHg dengan alat ukur tensi meter (normal : sistole 90-
Universitas Sumatera Utara
66
140 mmHg, diastole 60-90 mmHg) yang diukur sebanyak 2 kali untuk melihat perubahan tekanan darah dengan kategori 1 : Tetap, 2 : Tidak Tetap (Berubah). Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan menggunakan Tensimeter yaitu alat untuk mengukur tekanan darah. Adapun cara penggunaanya adalah: 1.
Pengukuran dilakukan sebanyak 2 kali dengan tenggang waktu sekitar 5 menit.
2.
Siapkan lembar data hasil pemeriksaan.
3.
Siapkan alat pengukuran tekanan darah yaitu Tensimeter.
4.
Pasang manset, letakkan manset ± 2,5 cm diatas arteri tersebut dan bagian tengah bladder dipasang diatas arteri tersebut, pasang manset melingkari lengan atas tersebut dan kaitkan ujungnya.
5.
Tutup katup dengan mengunci sampai rapat, lalu tekan tombol START untuk memulai pengukuran.
6.
Setelah hasil ditampilkan pada layar, tekan tombol STOP lalu buka manset dari lengan responden.
7.
Catat hasil pemeriksaan yang telah dilakukan kepada responden (Yuni, 2010).
3.7 Pengolahan dan Analisis Data 3.7.1 Pengolahan Data Langkah-langkah pengolahan data meliputi editing, coding, processing, cleaning dan tabulating.
Universitas Sumatera Utara
67
a. Editing adalah tahapan kegiatan memeriksa validitas data yang masuk seperti memeriksa kelengkapan pengisian kuesioner, kejelasan jawaban, relevansi jawaban, dan keseragaman pengukuran. b. Coding adalah tahapan kegiatan mengklasifikasi data dan jawaban menurut kategori masing-masing sehingga memudahkan dalam pengelompokan data. c. Processing adalah tahapan kegiatan memproses data agar dapat dianalisis. Pemrosesan data dilakukan dengan cara meng-entry (memasukkan) data hasil pengisian kuesioner ke dalam master tabel atau database komputer. d. Cleaning yaitu tahapan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry dan melakukan koreksi jika terdapat kesalahan. e. Tabulating merupakan tahapan kegiatan pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan mudah dapat dijumlah, disusun, dan ditata untuk disajikan dan dianalisis. 3.7.2. Analisis Data a.
Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh informasi tentang masing-
masing variabel baik variabel dependen dan independen. Variabel yang bersifat kategorik yaitu: usia, jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan merokok, jumlah asupan air, durasi pajanan, sumber air bersih dideskripsikan menggunakan distribusi frekuensi dengan ukuran persentase atau proporsi, sedangkan untuk variabel yang bersifat numerik yaitu: kadar kadmium dalam air sumur dan tekanan darah disajikan
Universitas Sumatera Utara
68
menggunakan ukuran rerata, simpangan baku, minimum, maksimum dan Interval Kepercayaan 95%. b.
Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan atau
perbedaan antara masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Untuk mengetahui normalitas distribusi data digunakan uji Kolmogorov Smirnov. Penelitian ini menggunakan uji korelasi untuk melihat hubungan kadmium yang terdapat pada air sumur terhadap tekanan darah masyarakat. Signifikansi hubungan atau perbedaan rerata berdasarkan pada nilai alpa 5%, bila p < 0,05 maka dikatakan signifikan dan sebaliknya bila p ≥ 0,05 berarti tidak signifikan. c.
Analisis Multivariat Analisis multivariat dilakukan untuk melihat hubungan semua variabel pajanan
dan faktor risiko terhadap outcome atau penyakit pada populasi yang diteliti. Pada analisis ini dapat dibedakan dan diidentifikasi apakah variabel pajanan menjadi faktor utama dalam menimbulkan resiko kesehatan pada masyarakat di sekitar TPA sampah atau disebabkan oleh faktor risiko lain yang lebih berpengaruh seperti faktor individu. Analisis yang digunakan adalah linier regresi ganda.
Universitas Sumatera Utara
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum TPA Namo Bintang TPA Namo Bintang merupakan salah satu areal tempat pembuangan akhir sampah sebahagian Kota Medan dan daerah di sekitarnya yang terletak di ujung sebelah Timur dusun II Desa Namo Bintang, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang. Luas dari TPA Namo Bintang adalah ± 16,8 km 2. Sejak dioperasikan pemakaiannya pada tanggal 5 Juli 1987 oleh Dinas Kebersihan Kota Medan dengan volume sampah 3.180 m3 per hari dan kegiatan pengelolaan dari pukul 08.00 – 17.00 WIB setiap harinya, mengakibatkan lokasi TPA Namo Bintang telah menjadi perbukitan yang dipenuhi oleh sampah. Saat ini, areal penampungan sampah melayani 4 (empat) wilayah sumber asal sampah, yaitu: 1.
Wilayah I, meliputi Kecamatan Medan Kota, Medan Area, Medan Amplas, dan Medan Johor.
2.
Wilayah II, meliputi Kecamatan Medan Timur, Medan Perjuangan, Medan Denai dan Medan Tembung.
3.
Wilayah III, meliputi Kecamatan Medan Petisah, Medan Barat, Medan Sunggal dan Medan Helvetia.
4.
Wialayah IV, meliputi Kecamatan Medan Polonia, Medan Baru, Medan Selayang dan Medan Tuntungan.
69 Universitas Sumatera Utara
70
Jarak lokasi TPA Namo Bintang dari pusat Kota Medan sekitar 15 km dan jarak
dengan
permukiman
penduduk
sekitarnya
berkisar
500
m.
Untuk
mempermudah pendistribusian sampah, jalan menuju ke lokasi TPA dibuat menjadi 3 (tiga) jalur, dimana jalur satu dan dua digunakan untuk truk yang masuk sedangkan jalur tiga digunakan untuk truk yang keluar. Kondisi dan situasi TPA Namo Bintang dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut. Tabel 4.1. Kondisi dan Situasi TPA Namo Bintang Tahun 2010 No 1.
Uraian
Data
Lokasi: - Desa Namo Bintang - Kecamatan Pancur Batu - Kabupaten Deli Serdang Luas 16,8 km2 2. Pemilikan Lahan/ Pengelola Dinas Kebersihan Kota Medan 3. Jarak Lahan 4. - Pemukiman 500 m - Sungai 5 km (sungai Tuntungan) - Pantai 15 km (Belawan) - Pusat Kota 15 km Kondisi Tanah 5. - Asal Tanah Liat - Lapisan Dasar Pengoperasian 5 Juli 1987 6. Sistem Pemusnahan Open Dumping 7. Fasilitas Penunjang 8. - Truk 108 buah - Incenerator Ada (rusak) - Compousting Ada (rusak) Sumber: Data Dinas Kebersihan Kota Medan 2010 Sistem pembuangan sampah di TPA Namo Bintang dilakukan secara open dumping (sistem terbuka), dimana truk sampah membuang sampah pada zona yang sudah ditentukan, kemudian diatur penempatannya oleh alat berat (bulldozer).
Universitas Sumatera Utara
71
Sampah secara mekanis dibuang, ditumpuk, ditimbun, diratakan, dipadatkan, dan dibiarkan membusuk serta mengurai sendiri secara alami di TPA. Sebagian lain dibakar secara langsung di tempat dengan atau tanpa menggunakan fasilitas incinerator/tungku pembakaran karena incinerator di TPA Namo Bintang sedang dalam keadaan rusak. Berdasarkan profil TPA Namo Bintang Tahun 2010, ketinggian timbunan sampah bervariasi ± 5-13 m dari lantai kantor operasional dengan tinggi timbunan sampah maksimum di dekat jalan operasional. Hampir seluruh areal TPA sudah tertimbun sampah kecuali areal TPA di bagian terendah sekitar 1Ha yang masih berupa rawa dan kolam galian tanah. Berdasarkan
Surat
Keputusan
(SK)
Walikota
Medan
No.
658.1/317.K/III/2013 menetapkan bahwa sejak tanggal 19 Februari 2013, TPA Namo Bintang ditutup. Dengan ditutupnya TPA maka setiap orang atau badan dilarang membuang sampah di loksi tersebut. Dasar penetapan SK adalah dikeluarkannya Undang-Undang No. 18 tahun 2008 yang melarang pengoperasian TPA secara open dumping karena dianggap dapat mengancam kesehatan masyarakat. Di samping itu, luas lahan TPA dianggap sudah tidak mampu/memadai lagi untuk menampung buangan produksi sampah penduduk kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
72
Gambar 4.1 Peta Lokasi TPA Namo Bintang, Titik Pengambilan Sampel Air Sumur
Universitas Sumatera Utara
73
4.2. Analisis Univariat 4.2.1. Karakteristik Responden Informasi mengenai gambaran karakteristik individu meliputi usia, jenis kelamin, pekerjaan, status gizi dan kebiasaan merokok. Data jarak dari usia dan IMT berdistribusi normal, sehingga data numerik diubah menjadi kategorik untuk analisis selanjutnya melalui cut off point menggunakan rerata. Untuk kelompok usia mayoritas responden berusia > 43 Tahun sebanyak 52,1 persen. Untuk jenis kelamin mayoritas responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 69,8 persen. Untuk pekerjaan responden mayoritas bekerja tidak berisiko terpapar kadmium sebanyak 90,6 persen, untuk status gizi responden mayoritas memiliki gizi tidak obesitas sebanyak 92,7 persen dan untuk kebiasaan merokok mayoritas responden tidak merokok sebanyak 59,4 persen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut : Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden No 1.
2.
3.
Variabel Usia Responden < 43 Tahun > 43 Tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pekerjaan Tidak Berisiko Terpapar Kadmium Berisiko Terpapar Kadmium
n
%
56 40
58,3 41,7
29 67
30,2 69,8
87 9
90,6 9,4
Universitas Sumatera Utara
74
Tabel 4.2 (Lanjutan) No 4.
5.
Variabel Status Gizi Tidak obesitas Obesitas Kebiasaan Merokok Tidak Ya Total
n
%
89 7
92,7 7,3
57 39 96
59,4 40,6 100,0
4.2.2. Paparan Kadmium dari Penggunaan Air Sumur Informasi mengenai gambaran paparan kadmium dari penggunaan air sumur yang terdiri dari jumlah asupan air sumur, durasi pajanan dan kandungan cadmium air sumur. Dalam penelitian ini diperoleh data berdisitribusi normal sehingga data numerik diubah menjadi kategorik untuk analisis selanjutnya melalui cut off point menggunakan rerata. Jumlah asupan air sumur yang di konsumsi responden per hari dengan rentang antara 1 sampai 3,5 liter per hari dengan rata-rata 1,99 atau 2 liter per hari setelah dikategorikan diketahui bahwa jumlah asupan air sumur yang dikonsumsi responden mayoritas kurang atau sama dengan 2 Liter/hari sebanyak 67,7 persen. Untuk durasi pajanan responden dengan air sumur dengan rentang antara 7 sampai 64 tahun dengan nilai rata-rata responden mengalami pajanan dengan air sumur selama 18,92 atau 19 tahun setelah dikategorikan diketahui bahwa durasi pajanan mayoritas kurang atau sama dengan 19 tahun sebanyak 65,6 persen. Untuk kadar kadmium dalam air sumur dengan rentang 0,0017 sampai 0,0196 μg/l, dengan rata-rata kadar kadmium dalam
Universitas Sumatera Utara
75
air sumur sebesar 0,0079 μg/l. Berpatokan pada nilai Permenkes no.416 tahun 1990 untuk Cd dalam air sumur tidak boleh melebihi 0,005 mg/l, maka distribusi kandungan Cd dalam air sumur masyarakat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kandungan Cd kurang atau sama dengan 0,005 mg/l dan kandungan Cd dalam air sumur lebih dari 0,005 mg/l. Hasil penelitian menunjukkan proporsi kandungan kadmium dalam air sumur responden mayoritas dengan kandungan Cd lebih dari 0,005 mg/l adalah sebesar 65,5 persen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.3. Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Paparan Kadmium dari Penggunaan Air Sumur No Variabel 1. Jumlah Asupan Air Sumur < 2 Liter/hari > 2 Liter/hari 2. Durasi Pajanan < 19 Tahun > 19 Tahun 3. Kadmium air sumur < 0,005μg/l > 0,005μg/l
Mean 1,99
SD 0,56
Min 1
Max 3,5
n (%) 65 (87,7) 31 (32,3)
19,08
12,60
7
64 63 (65,6) 33 (34,4)
0,0079 0,0047 0,0017 0,0196 33 (34,4) 63 (65,6)
4.2.3. Tekanan Darah Untuk tekanan darah responden mayoritas belum pernah melakukan pemeriksaan tekanan darah sebelumnya. Adapun hasil pengukuan tekanan darah sistolik responden dengan rentang antara 96 sampa 240 mmHg dengan rata-rata 134 sedangkan tekanan darah diastolik dengan rentang antara 58 sampai 130 mmHg.
Universitas Sumatera Utara
76
Berdasarkan kategori tekanan darah diketahui bahwa mayoritas dengan tekanan darah normal yaitu sebanyak 62,5 persen. dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut : Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Tekanan Darah Responden No Variabel 1. Tekanan Darah Sistolik 2. Tekanan Darah Diastolik Normal Hipertensi
Mean 134,00 83,63
SD 22,44 12,81
Min 96 58
Max 240 130
n (%)
60 (62,5) 36 (37,5)
4.3. Analisis Bivariat 4.3.1. Uji Chi Square 4.3.1.1.Hubungan Karakteristik Individu dengan Tekanan Darah Masyarakat di Desa Namo Bintang Kabupaten Deli Serdang Berdasarkan analisis bivariat karakteristik individu dengan tekanan darah yang terdiri dari usia, jenis kelamin, pekerjaan, status gizi dan kebiasaan merokok hanya variabel usia yang memiliki hubungan yang bermakna dengan tekanan darah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia kurang dari 43 tahun terdapat 71,4 persen dengan tekanan darah normal dan 28,6 persen dengan hipertensi. Sedangkan usia diatas 43 tahun terdapat 50,0 persen dengan tekanan darah normal dan 50,0 persen dengan hipertensi. Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dibuktikan ada hubungan yang bermakna antara usia dengan tekanan darah (p=0,05; PR= 0,571) dengan CI [(0,341-0,959)] ini menunjukkan bahwa responden dengan usia > 43 tahun memiliki peluang terkena hipertensi (0,571 kali lebih besar) dibandingkan responden dengan usia < 43 tahun. Untuk selang kepercayaan didapat [(0,341-0,959)] nilai
Universitas Sumatera Utara
77
prevalen rate <1 sehingga menunjukkan bahwa usia sebagai faktor risiko kejadian hipertensi pada taraf kepercayaan 95%. Variable ini berkandidat diikut sertakan dalam uji Regresi Logistik Ganda (p < 0,25). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki terdapat 55,2 persen dengan tekanan darah normal dan 44,8 persen dengan hipertensi. Sedangkan perempuan terdapat 65,7 persen dengan tekanan darah normal dan 34,3 persen dengan hipertensi. Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dibhuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara usia dengan tekanan darah (p=0,364; PR= 1,306) dengan CI [(0,775-2,201)] ini menunjukkan bahwa responden dengan jenis kelamin laki-laki memiliki peluang terkena hipertensi (1,306 kali lebih besar) dibandingkan responden dengan jenis kelamin perempuan usia. Untuk selang kepercayaan didapat [(0,775-2,201)] nilai prevalen rate <1 sehingga menunjukkan bahwa jenis kelamin sebagai faktor risiko kejadian hipertensi pada taraf kepercayaan 95%. Variable ini tidak berkandidat diikut sertakan dalam uji Regresi Logistik Ganda (p > 0,25) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan yang tidak berisiko terpapar cadmium terdapat 64,4 persen dengan tekanan darah normal dan 35,6 persen dengan hipertensi. Sedangkan pekerjaan yang berisiko terpapar cadmium terdapat 44,4 persen dengan tekanan darah normal dan 55,6 persen dengan hipertensi. Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan tekanan darah (p=0,29; PR= 0,641) dengan CI [(0,3351,227)] ini menunjukkan bahwa responden dengan pekerjaan yang berisiko terpapar
Universitas Sumatera Utara
78
kadmium memiliki peluang terkena hipertensi (0,641 kali lebih besar) dibandingkan responden dengan pekerjaan yang tidak terpapar kadmium. Untuk selang kepercayaan didapat [(0,335-1,227)] nilai prevalen rate <1 sehingga menunjukkan bahwa pekerjaan sebagai faktor risiko kejadian hipertensi pada taraf kepercayaan 95%. Variable ini tidak berkandidat diikut sertakan dalam uji Regresi Logistik Ganda (p > 0,25). Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan status gizi tidak obesitas terdapat 64,0 persen dengan tekanan darah normal dan 36,0 persen dengan hipertensi. Sedangkan responden dengan status gizi obesitas terdapat 42,9 persen dengan tekanan darah normal dan 57,1 persen dengan hipertensi. Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan tekanan darah (p=0,42; PR= 0,629) dengan CI [(0,3131,266)] ini menunjukkan bahwa responden dengan statusgizi obesitas memiliki peluang terkena hipertensi (0,629 kali lebih besar) dibandingkan responden dengan status gizi tidak obesitas. Untuk selang kepercayaan didapat [(0,313-1,266)] nilai prevalen rate <1 sehingga menunjukkan bahwa status gizi sebagai faktor risiko kejadian hipertensi pada taraf kepercayaan 95%. Variable ini tidak berkandidat diikut sertakan dalam uji Regresi Logistik Ganda (p > 0,25). Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan kebiasaan tidak merokok terdapat 63,2 persen dengan tekanan darah normal dan 36,8 persen dengan hipertensi. Sedangkan responden dengan kebiasaan merokok terdapat 61,5 persen dengan tekanan darah normal dan 38,5 persen dengan hipertensi. Hasil analisis
Universitas Sumatera Utara
79
statistik dengan uji Fisher’s Exact dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan tekanan darah (p=1,00; PR= 0,958) dengan CI [(0,588-1,615)] ini menunjukkan bahwa responden dengan kebiasaan merokok berisiko memiliki peluang terkena hipertensi (0,958 kali lebih besar) dibandingkan responden dengan kebiasaan tidak merokok. Untuk selang kepercayaan didapat [(0,588-1,615)] nilai prevalen rate <1 sehingga menunjukkan bahwa kebiasaan merokok sebagai faktor risiko kejadian hipertensi pada taraf kepercayaan 95%. Variable ini tidak berkandidat diikut sertakan dalam uji Regresi Logistik Ganda (p > 0,25). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 4.5. berikut : Tabel 4.5. Analisis Hubungan Karakteristik Individu (Usia, Jenis Kelamin, Pekerjaan, Status Gizi dan Kebiasaan Merokok) dengan Tekanan Darah Pada Masyarakat di Desa Namo Bintang Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016 Variable
40 20
71,4 50,0
16 20
28,6 50,0
56 40
100,0 100,0
16 44
55,2 65,7
13 23
44,8 34,3
29 67
100,0 100,0
58 4
64,4 44,4
31 5
35,6 55,8
87 9
100,0 100,0
57 3
64,0 42,9
32 4
36,0 57,1
89 7
100,0 100,0
PR (95% CI) 0,571 (0,3410,959) 1,306 (0,7762,201) 0,641 (0,3351,227) 0,629 (0,3131,266)
36 24
63,2 61,5
21 15
36,8 38,5
57 39
100,0 100,0
0,958 (0,5681,615)
Normal N % Usia < 43 Tahun > 43 Tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pekerjaan Tidak berisiko Berisiko Status Gizi Tidak obesitas Obesitas Kebiasaan Merokok Tidak Ya
Tekanan Darah Hipertensi Jumlah N % n %
Nilai p 0,05
0,36
0,29
0,42
1,00
Universitas Sumatera Utara
80
4.3.1.2.Hubungan Paparan Kadmium Pada Air Sumur dengan Tekanan Darah Masyarakat di Desa Namo Bintang Kabupaten Deli Serdang Berdasarkan analisis bivariat paparan kadmium air sumur dengan tekanan darah yang terdiri dari jumlah asupan air minum, durasi pajanan, dan kadmium dalam air sumur hanya variabel jumlah asupan air minum yang memiliki hubungan yang bermakna dengan tekanan darah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan jumlah asupan air minum < 2 Liter/hari terdapat 70,8 persen dengan tekanan darah normal dan 29,2 persen dengan hipertensi. Sedangkan responden dengan jumlah asupan air minum > 2 Liter/hari terdapat 45,2 persen dengan tekanan darah normal dan 54,8 persen dengan hipertensi. Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dibuktikan ada hubungan yang bermakna antara jumlah asupan air minum dengan tekanan darah (p=0,02; PR= 0,533) dengan CI [(0,325-0,875)] ini menunjukkan bahwa responden dengan dengan jumlah asupan air minum > 2 Liter/hari memiliki peluang terkena hipertensi (0,533 kali lebih besar) dibandingkan responden dengan jumlah asupan air minum < 2 Liter/hari. Untuk selang kepercayaan didapat [(0,325-0,875)] nilai prevalen rate <1 sehingga menunjukkan bahwa jumlah asupan air minum sebagai faktor risiko kejadian hipertensi pada taraf kepercayaan 95%. Variabel ini berkandidat diikut sertakan dalam uji Regresi Logistik Ganda (p < 0,25). Hasil penelitian menunjukkan bahwa durasi pajanan < 19 Tahun terdapat 63,5 persen dengan tekanan darah normal dan 36,5 persen dengan hipertensi. Sedangkan durasi pajanan > 19 Tahun terdapat 60,6 persen dengan tekanan darah normal dan
Universitas Sumatera Utara
81
39,4 persen dengan hipertensi. Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara durasi pajanan dengan tekanan darah (p=0,83; PR= 0,927) dengan CI [(0,543-1,581)] ini menunjukkan bahwa responden dengan durasi pajanan > 19 Tahun memiliki peluang terkena hipertensi (0,927 kali lebih besar) dibandingkan responden dengan durasi pajanan < 19 Tahun. Untuk selang kepercayaan didapat [(0,543-1,581)] nilai prevalen rate <1 sehingga menunjukkan bahwa durasi pajanan sebagai faktor risiko kejadian hipertensi pada taraf kepercayaan 95%. Variable ini tidak berkandidat diikut sertakan dalam uji Regresi Logistik Ganda (p > 0,25) Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadmium air sumur < 0,005 mg/l terdapat 60,6 persen dengan tekanan darah normal dan 39,4 persen dengan hipertensi. Sedangkan kadar cadmium air sumur > 0,005 mg/l terdapat 63,5 persen dengan tekanan darah normal dan 36,5 persen dengan hipertensi. Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara cadmium dalam air sumur dengan tekanan darah (p=0,83; PR= 1,079) dengan CI [(0,633-1,841)] ini menunjukkan bahwa responden dengan cadmium dalam air sumur > 0,005 mg/l memiliki peluang terkena hipertensi (1,079 kali lebih besar) dibandingkan responden dengan cadmium dalam air sumur < 0,005 mg/l. Untuk selang kepercayaan didapat [(0,633-1,841)] nilai prevalen rate <1 sehingga menunjukkan bahwa cadmium dalam air sumur sebagai faktor risiko kejadian hipertensi pada taraf kepercayaan 95%. Variable ini tidak berkandidat diikut sertakan dalam uji Regresi Logistik Ganda (p > 0,25). Dapat dilihat pada tabel 4.6. berikut :
Universitas Sumatera Utara
82
Tabel 4.6. Analisis Hubungan Kadar Kadmium (Jumlah Asupan Air Minum, Durasi Pajanan dan Kadmium Air Sumur) dengan Tekanan Darah Pada Masyarakat di Desa Namo Bintang Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016 Variable Normal n % Jumlah Asupan Air Minum < 2 Liter/hari > 2 Liter/hari Durasi Pajanan < 19 Tahun > 19 Tahun Kadmium Air Sumur < 0,005 mg/ > 0,005 mg/l
Tekanan darah Hipertensi Jumlah N % n %
PR (95% CI)
46 14
70,8 45,2
19 31
29,2 54,8
65 31
100,0 100,0
40 20
63,5 60,6
23 13
36,5 34,4
63 33
100,0 100,0
0,533 (0,3250,875) 0,927 (0,5431,581)
20 40
60,6 63,5
13 23
39,4 36,5
33 63
100,0 100,0
1,079 (0,6331,841)
Nilai p
0,02
0,83
0,83
4.3.2. Uji Korelasi Untuk mengetahui hubungan dua variabel yaitu antara variabel independen dengan satu variabel dependen maka digunakanlah analisis statistik bivariat. Pada penelitian ini analisis bivariat yang digunakan adalah uji korelasi, sebelum masuk ke analisis bivariat apabila data berjenis metrik/ numerik maka terlebih dahulu di lakukan uji asumsi normalitas data masing-masing variabel independen dan dependen. Asumsi normalitas dikatakan jika nilai p > 0,05. Tabel 4.7. Hasil Uji Normalitas Data No 1. 2 3. 4. 5.
Variabel Usia Jenis Kelamin Pekerjaan Status Gizi Kebiasaan Merokok
Df 96 96 96 96 96
P 0,161 0,001 0,001 0,026 0,001
Keterangan Data Berdistribusi Normal Data Tidak Berdistribusi Normal Data Tidak Berdistribusi Normal Data Tidak Berdistribusi Normal Data Tidak Berdistribusi Normal
Universitas Sumatera Utara
83
Tabel 4.7 (Lanjutan) No 6. 7. 8. 9. 10.
Variabel Jumlah Asupan Air Sumur Durasi Pajanan Kadmium air sumur Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik
Df 96 96 96 96 96
P 0,001 0,001 0,001 0,004 0,001
Keterangan Data Tidak Berdistribusi Normal Data Tidak Berdistribusi Normal Data Tidak Berdistribusi Normal Data Tidak Berdistribusi Normal Data Tidak Berdistribusi Normal
Berdasarkan tabel 4.7 diatas dapat dilihat bahwa variabel hanya variabel usia ang berdistribusi normal karena memiliki nilai p 0,161 (p> 0,05) maka analisis univariat menggunakan uji linier dikatakan berhubungan jika memiliki nilai p > 0,05. Sedangkan variabel jenis kelamin, pekerjaan status gizi, kebiasaan merokok, jumlah asupan air sumur, durasi pajanan, kadmium dalam air dan tekanan darah sistolik maupun diastolik tidak berdistribusi normal karena memiliki nilai p < 0,05, sehingga untuk analisis bivariat menggunakan korelasi Spearman dengan tingkat kepercayaan 95%. Dikatakan ada hubungan antara variabel dependen dengan independen apabila nilai p < 0,005. Adapun hasil uji korelasi seperti yang terlihat pada tabel berikut : Tabel 4.8. Hasil Uji Linier dan Uji Korelasi dengan Tekanan Darah Sistolik No 1
Variabel Usia
No 2 3 4 5 1. 2. 3.
Variabel Jenis Kelamin Pekerjaan Status Gizi Kebiasaan Merokok Jumlah Asupan Air Sumur Durasi Pajanan Kadmium air sumur
N
Linier
P
96 n 96 96 96 96 96 96 96
1,420 Spearman 0,037 0,097 0,138 0,070 0,229 0,130 0,013
0,118 P 0,718 0,348 0,181 0,495 0,025 0,206 0,902
Universitas Sumatera Utara
84
Berdasarkan tabel 4.8 diatas dapat dilihat bahwa variabel usia memiliki nilai p (0,118) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara usia dengan tekanan darah sistolik, jenis kelamin memiliki nilai p (0,718) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan jenis kelamin dengan tekanan darah sistolik, pekerjaan memiliki nilai p (0,348) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan pekerjaan dengan tekanan darah sistolik, status gizi memiliki nilai p (0,181) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan status gizi dengan tekanan darah sistolik, kebiasaan merokok memiliki nilai p (0,495) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan kebiasaan merokok dengan tekanan darah sistolik, jumlah asupan air sumur memiliki nilai p(0,025) < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara jumlah asupan air sumur dengan tekanan darah sistolik. Untuk variabel durasi pajanan memiliki nilai p(0,206) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara durasi pajanan terhadap tekanan darah sistolik. Untuk variabel kadmium air sumur memiliki nilai p(0,902) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara Kadmium air sumur terhadap tekanan darah sistolik. Tabel 4.9. Hasil Uji Linier dan Uji Korelasi dengan Tekanan Darah Diastolik No 1
n
Linier
P
Variabel Jenis Kelamin Pekerjaan Status Gizi Kebiasaan Merokok
96 n 96 96 96 96
1,283 Spearman 0,083 0,109 0,061 0,052
0,195 P 0,420 0,290 0,553 0,614
Usia No
2 3 4 5
Variabel
Universitas Sumatera Utara
85
Tabel 4.9 (Lanjutan) No 6. 7. 8.
Variabel Jumlah Asupan Air Sumur Durasi Pajanan Kadmium air sumur
n 96 96 96
Pearson Correlation 0,271 0,058 0,088
P 0,008 0,574 0,392
Berdasarkan tabel 4.9 diatas dapat dilihat bahwa variabel usia memiliki nilai p (0,195) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara usia dengan tekanan darah diastolik, jenis kelamin memiliki nilai p (0,420) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan jenis kelamin dengan tekanan darah diastolik, pekerjaan memiliki nilai p (0,290) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan pekerjaan dengan tekanan darah diastolik, status gizi memiliki nilai p (0,553) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan status gizi dengan tekanan darah diastolik, kebiasaan merokok memiliki nilai p (0,614) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan kebiasaan merokok dengan tekanan darah diastolik, jumlah asupan air sumur memiliki nilai p(0,008) < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara jumlah asupan air sumur dengan tekanan darah diastolik. Untuk variabel durasi pajanan memiliki nilai p(0,574) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara durasi pajanan terhadap tekanan darah diastolik. Untuk variabel kadmium air sumur memiliki nilai p(0,392) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara Kadmium air sumur terhadap tekanan darah diastolik.
Universitas Sumatera Utara
86
Tahap selanjutnya sebelum dilakukan analisis multivariat adalah seleksi bivariat dengan syarat apabila nilai p <0,25 dapat masuk dalam uji multivariat, berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa untuk analisis multivariat faktor yang lebih berhubungan dengan tekanan darah sistolik variabel usia, status gizi, jumlah asupan air sumur, durasi pajanan bisa masuk kedalam analisis multivariat. Sedangkan untuk analisis multivariat faktor yang lebih berhubungan dengan tekanan darah diastolik usia dan jumlah asupan air sumur yang bisa masuk kedalam analisis multivariat.
4.4. Analisis Multivariat 4.4.1. Uji Regresi Linear Berganda Analisis multivariat dilakukan dengan uji regresi linear berganda untuk menentukan model persamaan untuk mengestimasikan tekanan darah sistolik berdasarkan variabel usia dan jumlah asupan air sumur. Adapun hasil model terakhir yang terbentuk dari uji regresi linear berganda dengan metode stepwise dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.10 Model Terakhir Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Tekanan Darah Sistolik Variabel B T Sig Constant 91,823 9,294 0,001 Usia 0,494 3,067 0,003 Jumlah Asupan Air Sumur 10,627 2,810 0,006 R square 0,172
Universitas Sumatera Utara
87
Dari tabel 4.10 diatas dapat dilihat model persamaan regresi linear berganda yang terbentuk sebagai berikut : Tekanan Darah = 91.82 + 0,494 (Usia) + 10,62 (Jumlah Asupan Air Sumur) Persamaan regresi linier berganda diatas dapat diartikan sebagai berikut, pada usia yang berisiko yaitu jika usia bertambah 1 tahun maka akan meningkatkan tekanan darah sistolik sebesar 0,49mmHg dan dengan penambahan 1 liter jumlah asupan air sumur maka akan meningkatkan tekanan darah sebesar 10,62 mmHg. Tabel 4.11. Model Terakhir Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Tekanan Darah Distolik Variabel B T Sig Constant 71,129 15,238 0,001 Jumlah Asupan Air Sumur 6,274 2,781 0,007 R-Square 0,076
Dari tabel 4.11 diatas dapat dilihat nilai determinan regresi sebesar dan 0,076 yang berarti bahwa model yang terbentuk dapat menjelaskan tekanan darah berdasarkan variabel jumlah asupan air sumur sebesar 7,6%. Adapun model persamaan regresi linear berganda yang terbentuk sebagai berikut : Tekanan Darah = 71.13 + 6,27 (Jumlah Asupan Air Sumur) Persamaan regresi linier berganda diatas dapat diartikan bahwa jika dengan penambahan 1 liter jumlah asupan air sumur maka akan meningkatkan tekanan darah diastolik sebesar 6,27 mmHg.
Universitas Sumatera Utara
88
4.4.2. Uji Regresi Logistik Berganda Analisis multivariat dilakukan untuk menentukan variable independen yaitu karakteristik individu dan paparan kadar kadmium pada air sumur yang lebih berhubungan dengan tekanan darah. Uji yang digunakan dalam analisis multivariat ini adalah Uji Regresi Logistik yaitu mencari variable yang dominan berhubungan dengan tekanan darah. Berdasarkan uji bivariat, maka didapat 2 (dua) variable saja yang dapat diikutsertakan dalam analisis multivariate menggunakan uji regresi logistic berganda dengan metode Backward Stepwise (Wald) (p<25), yaitu variable usia dan jumlah asupan air minum sebagaimana terlihat pada tabel 4.12 berikut : Tabel 4.12 Model Terakhir Hasil Analisis Regresi Logistik Berganda Variabel Usia Jumlah Asupan Air Sumur Constant
B 0,977
S.E 0,451
P value 0,030
Exp (B) 2,658
1,136 -1,337
0,468 0,362
0,015 0,001
3,114 0,263
95% Exp (B) 1,098-6,431 1,244-7,793
Dari tabel 4.10 diatas dapat dilihat bahwa analisis uji regresi logistik berganda menghasilkan variable yang mempunyai hubungan yang paling dominan dengan tekanan darah di Desa Namo Bintang Kabupaten Deli Serdang yaitu variable usia dan jumlah asupan air sumur. Jika dilihat nilai PR hasil uji regresi linear logistic berganda diketahui variable jumlah asupan air sumur memiliki PR 3,114 [(95% CI = 1,2447,793)], hal ini menunjukkan bahwa variabel jumlah asupan air sumur merupakan variabel yang paling kuat hubungannya dengan tekanan darah di Desa Namo Bintang Kabupaten Deli Serdang.
Universitas Sumatera Utara
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1. Hasil Pemeriksaan Kadmium Air Sumur Regulasi di Indonesia mengatur bahwa kandungannya dalam air bersih sesuai dengan Permenkes No 416 tahun 1990 tidak boleh melebihi 0,005 mg/l atau 5 μg/l. Dalam Permenkes No 492 tahun 2010 tentang “Persyaratan Kualitas Air Minum” disebutkan kandungan tertinggi kadmium di dalam air minum adalah 0,003 mg/l atau 3 μg/l. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan kadmium tertinggi yang terdeteksi dari sumur milik warga di sekitar TPA adalah 19,6 μg/l dan kadar terendah 1,7 μg/l dengan demikian terdapat masyarakat yang terpapar pada kadar kadmium dalam air sumur yang melebihi nilai baku mutu air bersih dan melewati baku mutu air minum. Di tahun 2008, Pemerintah Kota Medan melalui Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Energi dan Sumber Daya Mineral (sekarang telah berganti nama menjadi Badan Lingkungan Hidup) menemukan kelima sumur pantau yang berada dalam radius 300 meter dari TPA mempunyai kandungan kadmium yang melebihi kadar maksimum (0,005 mg/l) dengan kisaran 0,011 mg/l sampai 0,026 mg/l (Dinas Kebersihan, 2008). Berikutnya di tahun 2011, Nainggolan membuktikan bahwa 30 sumur milik warga yang tinggal dalam radius kurang dari 200 m dari TPA juga memiliki kandungan kadmium pada kisaran kadar antara 0,213 – 0,531 mg/l atau 42,6 – 106,2 kali lebih tinggi dari baku mutu. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh studi yang dilakukan oleh Ashar dan Santi (2011) yang melaporkan 60 sumur milik warga di sekitar TPA memiliki kandungan
89 Universitas Sumatera Utara
90
kadmium dengan rerata 0,02 mg/l atau empat kali lebih tinggi dari baku mutu. Bila dibandingkan dengan studi-studi sebelumnya di lokasi yang sama, maka penelitian ini menunjukkan kandungan kadmium yang lebih rendah dengan kisaran kadmium antara 0,0017 sampai 0,0196 μg/l. Namun lebih tinggi dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ashar (2015) melaporkan kandungan kadmium dengan kisaran kadmium antara 0,00069 μg/l sampai 0,0156 μg/l. Adanya variasi musim dapat memengaruhi kandungan logam berat dalam air tanah. Pengambilan sampel air sumur dalam studi ini dilakukan pada bulan Juli 2016. Berdasarkan data dari BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) (2016) diketahui bahwa pada bulan Juli termasuk pada musim kemarau. Pada musim kemarau tingginya evaporasi mengakibatkan pengaruh pada penurunan produksi air lindi dan aktifitas mikroba. Sebaliknya, pada musim hujan banyak terjadi presipitasi. Hal ini akan menaikkan kelembaban kandungan air lindi dan menyebabkan peningkatan fermentasi anaerob bahan-bahan organik. Proses penguraian pada musim hujan akan lebih cepat dibandingkan musim kemarau. Oleh sebab itu, musim hujan akan membantu aktifitas mikroba menghasilkan lebih banyak air lindi dan penguraian bahan organik dibandingkan musim panas dan kering (Ifeanychukwu, 2008). Kandungan Cd yang terdapat pada air sumur yang digunaan untuk minum masih dalam batas aman, walaupun demikian sebaiknya dalam mengkonsumsi air minum tetap perlu diperhatikan, karena meskipun kadar logam yang terdapat dalam air minum kecil ada kemungkinan terjadi penumpukan logam dan menyebabkan efek toksik pada manusia yang mengkonsumsi air minum tersebut
Universitas Sumatera Utara
91
dalam jangka waktu yang lama. Menurut Nordberg et al, dalam Widowati (2008) logam berat jika sudah terserap ke dalam tubuh maka tidak dapat dihancurkan tetapi akan tetap tinggal di dalamnya hingga nantinya dibuang melalui proses ekskresi. Kandungan Cd yang diabsorpsi oleh tubuh manusia melalui makanan, akan ditransformasikan dalam darah yang berikatan dengan sel darah merah yang memilki protein berat molekul rendah, yaitu metalotionin (MT) yang memilki berat molekul 6000, banyak mengandung sulfhidril, dan dapat mengikat 11% kadmium dan seng. Metalotionin (MT) memiliki daya ikat yang sama terhadap beberapa jenis logam berat sehingga kandungan logam berat bebas dalam jaringan berkurang. Kemungkinan besar pengaruh toksisitas kadmium disebabkan oleh interaksi antara kadmium dan protein tersebut sehingga memunculkan hambatan terhadap aktivitas kerja enzim. Metalotionin merupakan protein yang sangat peka dan akurat sebagai indikator pencemaran. Setelah Cd memasuki darah, Cd didistribusikan dengan cepat ke seluruh tubuh. Pengikat oksigen dalam jaringan bisa menyebabkan lebih tingginya kadar Cd dalam jaringan tersebut. Kadmium memilki afinitas yang kuat terhadap hati dan ginjal (Widowati, 2008). Logam kadmium (Cd) juga akan mengalami proses biotransformasi dan bioakumulasi dalam organisme hidup (tumbuhan, hewan dan manusia). Logam ini masuk ke dalam tubuh bersama makanan yang dikonsumsi. Dalam tubuh biota perairan jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami peningkatan dengan adanya proses biomagnifikasi di badan perairan. Disamping itu, tingkatan biota dalam sistem rantai makanan turut menentukan jumlah Cd yang
Universitas Sumatera Utara
92
terakumulasi. Di mana pada biota yang lebih tinggi stratanya akan ditemukan akumulasi Cd yang lebih banyak, sedangkan pada biota top level merupakan tempat akumulasi paling besar. Bila jumlah Cd yang masuk tersebut telah melebihi nilai ambang mutu maka biota dari suatu level atau strata tersebut akan mengalami kematian dan bahkan kemusnahan (Palar, 2008). Demikian pula halnya, jika manusia mengonsumsi air minum dari sumur yang telah terkontaminasi Cd akan mengalami proses bioakumulasi pada hati dan ginjal, kemudian akan menyebabkan gangguan fungsi organ tubuh atau cacat tubuh (Darmono, 1995). Efek akan muncul saat daya racun yang dibawa kadmium tidak dapat lagi ditolerir tubuh karena adanya akumulasi kadmium dalam tubuh. Efek kronis dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok salah satunya adalah terhadap darah dan jantung. Apabila Cd masuk ke dalam tubuh maka sebagian besar akan terkumpul di dalam ginjal, hati dan sebagian yang dikeluarkan melalui saluran pencernaan. Kadmium dapat mempengaruhi otot polos pembuluh darah secara langsung maupun tidak langsung lewat ginjal, sebagai akibatnya terjadi kenaikan tekanan darah (Palar, 2008). Keracunan kronis terjadi bila memakan atau inhalasi dosis kecil dalam waktu yang lama. Gejala akan terjadi setelah selang waktu beberapa lama dan kronik. Kadmium pada keadaan ini menyebabkan nefrotoksisitas, yaitu gejala proteinuria, glikosuria, dan aminoasidiuria disertai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus ginjal serta dapat menyebabkan gangguan kardiovaskuler dan hipertensi.
Universitas Sumatera Utara
93
Hal tersebut terjadi karena tingginya afinitas jaringan ginjal terhadap Kadmium. Gejala hipertensi ini tidak selalu dijumpai pada kasus keracunan kadium. Efek kronis kadmium dapat pula menimbulkan anemia karena CdO. Penyakit ini karena adanya hubungan antara kandungan kadmium yang tinggi dalam darah dengan rendahnya hemoglobin.
5.2.
Tekanan Darah Masyarakat di Desa Namo Bintang Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tekanan darah responden
mayoritas dengan tekanan darah normal yaitu sebanyak 62,5 persen. Eum dkk (2008) mengamati adanya hubungan dosis respon antara kadar kadmium urin dan hipertensi. Dari seluruh subjek dalam studi yang menggunakan warga Korea sebagai respondennya terdapat 26,2% yang mempunyai hipertensi. Dari populasi tersebut, kadar kadmium dalam darah adalah 1,67 μg/L, dan risiko terjadinya hipertensi adalah 1,51. Hubungan yang signifikan juga ditemukan antara kadar kadmium dalam darah dan tekanan darah dalam sebuah penelitian di Amerika Serikat (AS). Berbagai mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan peran kadmium dalam memudahkan terjadinya aterosklerosis. Pertama, kadmium adalah kation divalen yang terikat ke kelompok sulphydryl yang mengandung enzim, yang secara tidak langsung dapat meningkatkan pembentukan oksigen reaktif dan mengganggu respon anti stres oksidatif oleh pengikatan metalotionein. Kedua, kadmium dapat menghambat siklus sel dengan mengganggu jalur sinyal sel dan menginduksi bentuk atipikal apoptosis yang melibatkan ruptur endotel membran sel plasma, dengan aktivasi makrofag. Ketiga, kadmium dapat sebagian berperan
Universitas Sumatera Utara
94
pada terbentuknya aterosklerosis melalui mekanisme vasopresor seperti peran vasokonstriktor, penghambatan substansi vasodilator seperti oksida nitrit, atau aktivasi sistem saraf simpatis. Di ginjal, kadmium dapat menginduksi retensi garam dan peningkatan volume, yang dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi. Kadmium yang telah diketahui menyebabkan kerusakan ginjal di tempat kerja, berkontribusi pada hipertensi sistemik dan aterosklerosis karena kadmium menyebabkan kerusakan di ginjal, yang merupakan organ penting dalam pengaturan tekanan darah (Satarug et al. 2010).
5.3. Hubungan Karakteristik Masyarakat yang Mengkonsumsi Air yang Mengandung Kadmium dengan Tekanan Darah 5.3.1. Hubungan Usia dengan Tekanan Darah Dalam studi ini, kelompok usia mayoritas responden berusia > 43 Tahun sebanyak 58,3 persen. Kemudian hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dibuktikan ada hubungan yang bermakna antara usia dengan tekanan darah. Menggunakan uji linier usia juga memiliki hubungan dengan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik. Berdasarkan uji multivariat diketahui bahwa usia sebagai salah satu faktor dominan menyebabkan hipertensi dimana setiap bertambahnya 1 tahun usia responden menyebabkan kenaikan tekanan darah sebesar 0,5 mmHg. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia memiliki hubungan terhadap kejadian hipertensi yang dialami oleh responden, dimana semakin bertambahnya usia atau semakin tua responden maka akan semakin berisiko terkena hipertensi. Dalam
penelitian
ini
seluruh
responden
merupakan
orang-orang
yang
Universitas Sumatera Utara
95
mengkonsumsi air sumur yang telah diperiksa mengandung kadmium. Berdasarkan hal tersebut dengan Kejadian hipertensi yang dialami oleh responden yang berusia diatas 43 tahun juga akan semakin parah apabila responden tersebut juga terpapar oleh kadmium. Penelitan Harvey et al (2009) menyatakan bahwa pengaruh akumulasi Cd menunjukkan peningkatan Cd dalam darah (B-Cd) pada umur 30-45 tahun. Hal ini dikarenakan orang yang lebih tua mempunyai konsentrasi B-Cd lebih tinggi dibanding orang dewasa. Satarung (2002) melaporkan bahwa akumulasi kadmium di ginjal akan meningkat sesuai pertambahan usia, tidak mengalami peningkatan sampai usia 50 tahun. Asupan kadmium melalui diet sekitar 25-30 μg per hari pada kelompok usia 41-50 tahun akan memberikan peningkatan kadar kadmium dalam tubuh sampai 18 mg Teori ini sesuai dengan pendapat Nordberg (1992) yang menyatakan bahwa konsentrasi B-Cd pada umumnya lebih rendah pada anak-anak dibanding orang dewasa, yakni <0.1- 0.5 μg/L. Hal ini dikarenakan sifat logam Cd yang terakumulasi akan menimbulkan dampak kesehatan setelah 10-30 tahun (ATSDR, 1999). Kaitan usia dengan tekanan darah menurut Dhianningtyas & Hendrati, (2006), Pada umumnya penderita hipertensi adalah orang-orang berusia diatas 40 tahun, namun saat ini tidak menutup kemungkinan diderita oleh orang usia muda. Sebagian besar hipertensi primer terjadi pada usia 25-45 tahun dan hanya pada 20% terjadi dibawah usia 20 tahun dan diatas 50 tahun. Hal ini disebabkan karena orang pada usia produktif jarang memperhatikan kesehatan, seperti pola makan dan pola hidup yang kurang sehat seperti merokok
Universitas Sumatera Utara
96
Berdasarkan teori tersebut peneliti berasumsi bahwa usia berhubungan dengan tekanan darah yaitu responden yang usianya lebih tua dan mengkonsumsi air sumur yang mengandung kadmium maka akan berisiko mengalami peningkatan Cd dalam darahnya dan ginjal sehingga mengakibatkan terjadinya disfungsi ginjal dan jantung dan pada akhirnya memengaruhi fungsi jantung dalam memompa darah yang mengakibatkan hipertensi. Penelitian ini sesuai dengan pendapat Vita (2004) tekanan darah akan cenderung tinggi bersama dengan peningkatan usia. Umumnya sistolik akan meningkat sejalan dengan peningkatan usia., sedangkan diastolic akan meningkat sampai usia 55 tahun, untuk kemudian menurun lagi. Berdasarkan referensi tersebut dapat diketahui umur responden dalam penelitian ini masih dalam keadaan normal untuk peningkatan dan penurunan tekanan darah atau dapat diasumsikan peningkatan dan penurunan tekanan darah sesuai berdasarkan usia masing-masing masyarakat sebagai responden. 5.3.2. Hubungan Jenis Kelamin dengan Tekanan Darah Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dan uji korelasi dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan tekanan darah. Dalam studi ini, Untuk jenis kelamin mayoritas responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 69,8 persen. Pada penelitian ini karakteristik individu berdasarkan jenis kelamin perempuan lebih banyak jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dikarenakan peneliti mendatangi rumah-rumah warga pada waktu siang hingga sore dan pada saat demikian paling banyak dijumpai wanita, sedangkan populasi pria sebagian besar sedang bekerja. Cara pengukuran
Universitas Sumatera Utara
97
jenis kelamin dilakukan dengan metode wawancara dan alat ukur yang digunakan adalah kuesioner. Kaitan jenis kelamin dengan kadar kadmium dan tekanan darah secara teori, perempuan mempunyai konsentrasi B-Cd lebih tinggi dibanding laki-laki (Hansen and Abbott, 2009). Beberapa studi menunjukkan bahwa kandungan kadmium urin perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Studi-studi tersebut membuktikan bahwa kandungan besi yang rendah dapat meningkatkan absorbsi kadmium dari saluran cerna melalui makanan. Hal ini merupakan penyebab tingginya kandungan kadmium pada perempuan. Penurunan kandungan besi pada perempuan terjadi pada saat menstruasi, kehamilan, kurang gizi, dan saat menyusui (Adnan, 2012). Penyebab hipertensi sekunder sudah diketahui dengan pasti yaitu karena gangguan pada hormon pengatur tekanan darah, fungsi ginjal yang terganggu dan penggunaan pil kontrasepsi. Beberapa faktor lain juga dapat menjadi pemicu terjadinya hipertensi yaitu kurang gerak badan, obesitas atau kelebihan berat badan, konsumsi garam yang berlebihan, merokok dan minuman keras (Tirtawinata, 2006). Penelitian ini tidak mengikutsertakan perempuan yang menjadi responden tersebut sedang dalam masa menstruasi, kehamilan, penyakit keganasan dan penyakit ginjal. Oleh sebab itu, peneliti berasumsi bahwa sebagian besar responden perempuan tidak sedang mengalami penurunan kandungan besi sehingga absorbsi kadmium dari saluran cerna melalui makanan juga rendah sehingga tidak berisiko mengalami gangguan tekanan darah. Kaitan jenis kelamin dengan tekanan darah berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa kebanyakan responden dalam penelitian ini berjenis
Universitas Sumatera Utara
98
kelamin perempuan, pria pada umumnya lebih mudah terserang hipertensi dibandingkan dengan wanita. Hal ini mungkin disebabkan kaum pria lebih banyak mempunyai faktor yang mendorong terjadinya hipertensi seperti stress, kelelahan dan makan tidak terkontrol, biasanya wanita akan mengalami peningkatan resiko terkena hipertensi setelah masa menopause sekitar 45 tahun. (Purwati, Salimar, Rahay, 1997) Menurut Sigalingging (2011) rata-rata perempuan akan mengalami peningkatan resiko tekanan darah tinggi (hipertensi) setelah menopouse yaitu usia diatas 45 tahun. Perempuan yang belum menopouse dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL rendah dan tingginya kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) mempengaruhi terjadinya proses aterosklerosis (Anggraini dkk, 2009). Ellison (1989) telah membuktikan bahwa pelepasan oksida nitrit lebih banyak terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Oksida nitrit dapat disebut sebagai faktor pelindung karena gangguan sintesis oksida nitrit akan mengakibatkan terjadinya hipertensi dan kerusakan ginjal. Verhagen et al (2000) menyatakan bahwa oksida nitrit bukan saja merupakan vasodilator tapi juga dapat mencegah terjadinya agregasi trombosit, adhesi leukosit, proliferasi otot polos vaskuler dan mengendalikan permeabilitas endotel, proses-proses yang sangat penting dalam patogenesis aterosklerosis dan glomerulosclerosis. Faktor-faktor lain juga dapat memengaruhi toksisitas kadmium (Nath et al., 1984). Uptake dan metabolisme kadmium dapat dipengaruhi oleh keberadaan
Universitas Sumatera Utara
99
beberapa logam diantaranya zink, besi, kalsium, dan tembaga. Konsumsi protein juga dapat memengaruhi uptake kadmium. Defisiensi vitamin C dan D, piridoxin, dan tiamin juga dikaitkan dengan peningkatan absorpsi atau akumulasi kadmium. Penyakit kronik seperti hipertensi dan diabetes telah diketahui dapat meningkatkan risiko kerusakan ginjal, kemungkinan meski dalam kadar subklinik dapat meningkatkan ekskresi protein setelah pajanan kadmium (Mueller, 1993). 5.3.3. Hubungan Pekerjaan dengan Tekanan Darah Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pekerjaan responden mayoritas bekerja tidak berisiko terpapar kadmium sebanyak 90,6 persen. Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dan uji korelasi dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan tekanan darah Sebagian besar responden adalah wanita sebagai ibu rumah tangga. Manusia dapat terpapar pada kadmium selain di tempat kerja adalah di lingkungan pemukiman, khususnya melalui konsumsi makanan dan air minum yang terkontaminasi kadmium seperti beras dan gandum yang dipanen dari tanah yang tercemar kadmium. Pekerja-pekerja industri yang tinggal di daerah yang tercemar kadmium harus melakukan pemantauan karena mereka dapat terpapar adanya tambahan kadmium melaui konsumsi beras yang terkontaminasi kadmium dan jenis makanan lainnya. Jin et al. (2004) membandingkan tingkat kerusakan ginjal di antara para pekerja peleburan besi yang tinggal di daerah yang tercemar kadmium (group kombinasi) dengan warga yang tidak pernah bekerja terpapar kadmium namun tinggal di daerah yang sama (group area). Prevalensi kerusakan ginjal terlihat lebih tinggi pada group kombinasi daripada group area. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
100
membuktikan bahwa pajanan di tempat kerja dan di pemukiman tercemar kadmium mengakibatkan lebih tingginya prevalensi disfungsi ginjal. Berdasarkan pendapat tersebut peneliti berasumsi bahwa sebagian besar responden merupakan ibu rumah tangga yang tidak berisiko terpapar kadmium di tempat kerja sehingga tidak berisiko mengalami disfungsi ginjal dan gangguan tekanan darah. Bertolak belakang dengan hasil penelitian ini secara teori, pajanan Cd melalui asupan makanan lebih berisiko terhadap wanita yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Hal tersebut dikarenakan pada ibu rumah tangga memiliki frekuensi terpajan yang lebih besar (Purnomo and Purwana, 2008) dibandingkan dengan wanita dan laki laki yang bekerja aktif di luar rumah. Hal ini juga tidak sejalan dengan penelitian Kartikawati (2008) yang menyatakan bahwa frekuensi hipertensi pada masyarakat pesisir lebih banyak dialami oleh wanita yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian Masengi et al (2013) yang menyatakan bahwa pekerjaan memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian hipertensi pada masyarakat pesisir dikarenakan ibu rumah tangga atau yang tidak atif berkerja di luar rumah memiliki asupan yang tinggi dibandingkan dengan yang bekerja aktif di luar rumah. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan tekanan darah dimana sebagian besar responden adalah wanita yang bekerja sebagai ibu rumah tangga yang tidak memiliki frekuensi pajanan kadmium di tempat kerja yang terpapar oleh kadmium dibandingkan
dengan
wanita
atau
laki-laki
yang
aktif
bekerja
yang
Universitas Sumatera Utara
101
memungkinkan terkena paparan cadmium di tempat kerja sehingga tidak berisiko mengalami gangguan ginjal dan hipertensi. 5.3.4. Hubungan Status Gizi dengan Tekanan Darah Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dan uji korelasi dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan tekanan darah hal ini mungkin disebabkan karena mayoritas responden memiliki status gizi tidak obesitas atau normal sebanyak 92,7 persen sehingga tidak berisiko mengalami peningkatan kadmium dalam tubuh dan tidak berisiko mengalami hioertensi. Sebuah studi cross-sectional menunjukkan prevalensi albuminuria meningkat dengan peningkatan indeks massa tubuh (IMT). Penelitian yang lain membuktikan bahwa IMT yang lebih tinggi mengindakasikan adanya albuminuria pada seseorang. Korelasi yang signfikan antara IMT dan laju ekskresi albuminuria juga dilaporkan pada laki-laki dengan diabetes tipe II (Metcalf et al., 1992). Obesitas merupakan faktor risiko dari berbagai penyakit. Khususnya, obesitas berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal dan albuminuria. Orang-orang dengan obesitas telah diketahui akan mengalami protenuria berat dan sindrom glomerulosklerosis segmental. Karakteristik temuan ginjal yang dapat diamati adalah pelebaran glomerulus dan adanya pola sklerosis segmental fokal (Sharma, 2009). Namun bertolak belakang dengan hasil studi yang dilakukan oleh Padilla et al (2010). Mereka melakukan analisis hubungan antara logam-logam toksik dengan obesitas sentral. Hasil studi menunjukkan bahwa logam-logam seperti barium dan thalium berhubungan secara positif dengan obesitas, yang maknanya
Universitas Sumatera Utara
102
adalah bahwa pada orang yang obesitas akan memiliki kandungan logam barium dan thalium yang tinggi. Salah satu penjelasannya adalah logam barium dan thalium akan menginduksi stres oksidatif yang dapat meningkatkan lipogenesis saat pelepasan energi. Stres oksidatif secara langsung juga menghasilkan radikal bebas. Namun demikian, untuk logam yang lain seperti timbal, kadmium, kobalt dan cesium berhubungan secara negatif dengan obesitas, artinya pada individuindividu obesitas maka kadar logam-logam ini akan lebih rendah dibandingkan individu yang tidak mengalami obesitas. Kadmium, kobalt dan cesium memiliki efek yang sama dengan timbal yaitu dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Ginjal yang mengalami gangguan akan mencegah filtrasi kreatinin, yang akan menghasilkan pemecahan kreatin kinase di dalam otot yang berakhir dengan penurunan berat badan. Pada orang obesitas, terdapat banyak kompleksitas yang memicu meningkatnya tekanan darah. Peningkatan tonus vascular, garam ginjal, dan retensi air adalah inisiator utama hipertensi pada obesitas. Menkanisme yang mendasari antara lain hiperleptinemia, meningkatnya FFA, hiperinsulinemia, dan insulin resisten, semuanya menyebabkan stimulasi simpatik, peningkatan tonus vaskular, disfungsi endotel, dan retensi sodium pada renal. Kompresi parenkim pada renal pada orang obesitas oleh lemak-lemaknya akan memperlambat aliran tubulus ginjal yang mana juga akan menyertai terjadinya hipertensi. Sebagai tambahan, peningkatan aktifitas RAS, sebagai hasil aktifasi simpatis dan peningkatan sintesis jaringan adipose, adalah umum pada orang obesitas, mengakibatkan retensi pada sodium dan air pada ginjal (Wahba, 2007).
Universitas Sumatera Utara
103
Salah satu faktor risiko hipertensi yang dapat dikontrol adalah obesitas. Risiko hipertensi pada seseorang yang mengalami obesitas adalah 2 hingga 6 kali lebih tinggi dibanding seseorang dengan berat badan normal (Muniroh, Wirjatmadi, 2007). Penelitian ini berasumsi bahwa adan hubungan antara berat badan dengan hipertensi. Bila berat badan meningkat diatas berat badan ideal maka risiko hipertensi juga meningkat (Hull,1996). Penelitian Framingham menunjukan bahwa orang yang obesitas akan mengalami peluang hipertensi 10 kali lebih besar (Dhianningtyas & Hendrati, 2006). Penurunan berat badan sebesar 5,9 pounds berkaitan dengan penurunan TDS dan TDD sebesar 1,3 mmHg dan 1,2 mmHg (Budisetio,2001). Menurut Lily Ismudiati Rilantono (2002) dalam Dhianningtyas dan Hendrati (2006) menerangkan bahwa insiden hipertensi meningkat 54 hingga 142% pada penderita-penderita yang gemuk. Hal yang serupa pun dikemukakan oleh Purwanti (2005), bahwa orang yang kegemukan lebih mudah terkena hipertensi. Dikaitkan dengan tekanan darah peneliti berasumsi bahwa status gizi mayoritas responden dalam penelitian ini tidak memiliki risiko mengalami gangguan tekanan darah khususnya hipertensi karena berdasarkan hasil penelitian ditemukan mayoritas responden dengan status gizi normal sehingga tidak berisiko terkena hipertensi. Untuk mengetahui seseorang memiliki berat badan yang berlebih atau tidak, dapat dilihat dari perhitungan BMI (Body Mass Index) atau Indeks Massa Tubuh (IMT).Menurut Utoyo (1996) dalam Suryati 2005, hubungan tekanan darah dengan berat badan, lebih nyata untuk tekanan sistolik daripada tekanan diastolik.
Universitas Sumatera Utara
104
5.3.5. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Tekanan Darah Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kebiasaan merokok mayoritas responden tidak merokok sebanyak 59,4%. Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dan uji korelasi dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan tekanan darah. Tidak terdapatnya hubungan kebiasaan merokok dengan tekanan darah berdasarkan penelitian ini disebabkan oleh kebanyakan responden merupakan wanita dan lebih banyak yang tidak merokok sehingga tidak berisiko terpapar cadmium dari rokok sehingga kecil kemungkinan mengalami gangguan tekanan darah terutama hipertensi. Penelitian terdahulu menunjukkan efek merokok terhadap kesehatan dapat dilihat berdasarkan penelitian Ashar (2015) yang dilakukan di lokasi yang sama menunjukkan bahwa kandungan kadmium di urin dan B2MG urin pada responden perokok dalam lebih tinggi dibandingkan responden yang bukan perokok. Responden yang mempunyai kebiasaan merokok sebanyak 20 orang dengan rerata kadmium dalam urin dan B2MG urin adalah 8,01 μg/g kreatinin dan 1220,18 μg/g kreatinin sedangkan pada bukan perokok dengan kadar masing-masing adalah 5,99 μg/g kreatinin dan 1143,42 μg/g kreatinin. Meskipun, berdasarkan uji statistik tidak ditemukan perbedaan yang signifikan namun terlihat jelas kadar kadmium urin dan B2MG urin lebih tinggi pada perokok. Efek rokok terhadap tekanan darah dapat dilihat berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siburain (2004) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan tekanan darah. Akan
Universitas Sumatera Utara
105
tetapi berbeda dengan penelitian Retnowati (2010) didapatkan hasil tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi. Hubungan merokok dengan hipertensi memang belum jelas. Menurut literatur, nikotin dan karbondioksida yang terkandung dalam rokok akan merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri, elastisitas pembuluh darah berkurang sehingga menyebabkan tekanan darah meningkat (Depkes,2007). Mekanisme ini menjelaskan mengapa responden yang merokok setiap hari memiliki risiko untuk menderita hipertensi. Kebiasaan merokok bisa meningkatkan resiko tekanan darah tinggi (hipertensi) karena nikotin yang terkandung dalam rokok bisa mengakibatkan pengapuran pada dinding pembuluh darah (Singalingging, 2011). Nikotin dan karbondioksida yang terkandung dalam rokok akan merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri, elastisitas pembuluh darah berkurang sehingga pembuluh darah menjadi kaku dan menganggu aliran darah sehingga menyebabkan tekanan darah meningkat (Anggara dan Prayitno, 2013). 5.4.
Hubungan Paparan Kadmium dengan Tekanan Darah Berdasarkan hasil penelitian dikatahui bahwa diantara 3 (tiga) variabel
kadar kadmium hanya variabel jumlah asupan kadmium yang berhubungan secara signifikan dengan tekanan darah. 5.4.1. Hubungan Jumlah Asupan Air Sumur dengan Tekanan Darah Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact maupun uji korelasi dibuktikan ada hubungan yang bermakna antara jumlah asupan air minum dengan tekanan darah. Hasil analisis
Universitas Sumatera Utara
106
multivariat menggunakan uji regresi logistik juga menunjukkan bahwa jumlah asupan air sumur sebagai variabel yang paling besar hubungannya dengan hipertensi yang dialami oleh responden dimana berdasarkan hasil uji regresi linear diketahui besarnya korelasi antara jumlah asupan air sumur terhadap tekanan darah yaitu dalam setiap 1 liter air minum yang mengandung kadmium apabila dikonsumsi responden akan meningkatkan tekanan darah sistolik sebesar 10,62 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 6,27 mmHg. Dengan demikian apabila semakin besar jumlah asupan air sumur yang mengandung kadmium dikonsumsi oleh responden maka akan berisiko semakin meningkatkan tekanan darah baik sistolik maupun diastoliknya sehingga menyebabkan hipertensi. Jumlah asupan air sumur adalah jumlah air yang dikonsumsi responden yang berasal dari air sumur dari rumah yang ditinggali responden yang dihitung dalam liter/hari. Pada penelitian ini rata-rata masyarakat Namo Bintang mengkonsumsi air sumur telah terpajan kadmium sebanyak 1,99 atau 2 liter per hari. Jumlah air yang dikonsumsi paling banyak adalah sebanyak 3,5 liter per hari sedangkan yang paling sedikit sebanyak 1 liter per hari. Jumlah asupan air sumur yang di konsumsi responden per hari dengan rentang antara 1 sampai 3,5 liter per hari dengan rata-rata 2 liter per hari setelah dikategorikan diketahui bahwa jumlah asupan air sumur yang dikonsumsi responden mayoritas kurang atau sama dengan 2 Liter/hari sebanyak 87,7 persen. Penelitian tentang pengaruh kadmium dengan tekanan darah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya pada lokasi penelitian yang sama yaitu penelitian Ashar T (2015) menjelaskan bahwa hipertensi yang dialami oleh
Universitas Sumatera Utara
107
responden sebagai prediksi bahwa responden tersebut memiliki kadar albumin urin dimana model regresi linier yang dihasilkan dapat memprediksi kadar albumin urin sebesar 29,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan terbalik antara tekanan darah dengan kadar kadmium dimana hipertensi dapat memprediksi mahwa seseorang memiliki kadar kadmium dalam urin. Dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kadar kadmium dalam air sumur berkorelasi secara bermakna dengan kadar B2MG urin. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar TPA Namo Bintang telah terbukti mengalami gangguan ginjal akibat pajanan kadmium dari lingkungan yaitu air sumur dengan ditemukannya biomarker kerusakan dini ginjal dari urin yaitu kadar B2MG urin yang telah melewati nilai normal. Berdasarkan data dalam penelitian ini sebanyak 32 orang warga (40%) mengalami gangguan ginjal irreversible sedangkan 16 warga lainnya (20%) masih dalam level yang masih dapat dicegah kerusakan ginjalnya. Penelitian selanjutnya oleh Ashar YK (2016) dimana dalam penelitiannya jumlah asupan air sumur dikaitkan dengan Kadmium urin menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan yang signfikan antara jumlah asupan air dengan kadmium urin. Beberapa penelitian epidemiologi telah mengukur tingkat kadmium darah dan urine. Di Belgia, studi CadmiBel menilai konsekuensi kesehatan dari kontaminasi cadmium di lingkungan (Staessen et al. 1991, 2000). Dalam analisis prospektif terhadap 336 laki-laki dan 356 perempuan yang berada di dua daerah pedesaan studi CadmiBel (Staessen et al. 2000), perubahan tingkat kadmium darah antara 1985-1989 (baseline) dan 1991-1995 (tindak lanjut) yang positif
Universitas Sumatera Utara
108
berkaitan dengan perubahan tekanan darah sistolik dan diastolik, meskipun asosiasi secara statistik signifikan hanya untuk tekanan darah diastolik pada perempuan. Sejalan dengan penelitian tersebut, tidak ada hubungan yang ditemukan antara kadmium urine dan tingkat tekanan darah. Risiko relatif untuk mengembangkan hipertensi pasti untuk penggandaan tingkat kadmium darah awal adalah 1,28 (95% CI, 0,87-1,88), dan untuk dua kali lipat dari tingkat kadmium urine dasar itu 1,16 (95% CI, 0,84-1,62) (Staessen et al. 2000). Karena darah atau kadmium urine yang tidak berhubungan dengan peningkatan tekanan darah berdasarkan analisis cross-sectional dari semua peserta studi CadmiBel (n = 2.086) (Staessen et al. 1991) dan asosiasi secara statistik yang signifikan hanya untuk tekanan darah diastolik pada perempuan (Staessen et al. 2000). Dengan demikian hubungan antara perubahan cadmium darah dan tekanan darah yang ditemukan dalam penelitian tersebut dianggap tidak pasti. Studi-studi lain tentang hubungan kadmium darah dan urin dengan tekanan darah telah diukur, dengan temuan yang tidak konsisten. Di Amerika Serikat, sebuah sub-sampel dari 951 orang dewasa yang berpartisipasi dalam NHANES II (1976-1988) menunjukkan hubungan positif tetapi sederhana antara kadmium urine dengan tingkat tekanan darah (Whittemore et al. 1991). Studistudi lain telah lebih kecil dan temuan mereka tunduk pada variabilitas acak substansial (Beevers et al 1976;. McKenzie dan Kay 1973; Pizent et al, 2001; Vivoli et al 1989; Whittemore et al 1991). Akhirnya, di daerah tercemar kadmium di Jepang, 52 wanita dengan penyakit Itai-Itai memiliki sistolik dan diastolik lebih rendah dibandingkan dengan 104 wanita usia yang sama yang tinggal di luar
Universitas Sumatera Utara
109
wilayah tercemar kadmium (Kagamimori et al. 1986). Meskipun nefrotoksisitas penting, hipertensi belum dilaporkan sebagai temuan yang khas pada pasien penyakit Itai-Itai di daerah tercemar kadmium di Jepang (Nordberg et al. 2007). Kemungkinan relevansi temuan dari populasi yang terkena kadmium menjelaskan hubungan yang terbalik atau nol atau bahkan mungkin antara tingkat kadmium urine dan titik-titik tekanan darah akhir dalam penelitian ini tidak diketahui. Paparan kadmium menginduksi hipertensi pada model hewan (Satarug et al. 2006), meskipun mekanisme untuk hipertensi terkait kadmium tetap tidak jelas. Mekanisme utama untuk toksisitas kadmium adalah penipisan glutathione dan perubahan sulfhidril homeostasis (Valko et al . 2005), sehingga secara tidak langsung meningkatkan stres oksidatif dan peroksidasi lipid (Yiin et al. 1999). Kadmium menginduksi cedera ginjal proksimal tubulus, retensi garam, dan overload volume yang dapat menghasilkan hipertensi (Satarug et al. 2006). Mekanisme potensial lainnya termasuk agonis parsial untuk saluran kalsium (Varoni et al 2003.), aksi vasokonstriktor langsung, aktivasi sistem saraf simpatik, dan penghambatan zat vasodilator seperti nitrat oksida (Bilgen et al 2003; Varoni et al 2003.). Karena tingkat kadmium digunakan dalam model eksperimental yang jauh lebih tinggi daripada paparan pada populasi umum di AS, relevansi mekanisme untuk hipertensi manusia tidak pasti. Dalam sampel yang representatif dari orang dewasa AS yang berpartisipasi dalam NHANES 1999-2004, tingkat kadmium dalam darah dikaitkan dengan peningkatan sederhana tingkat tekanan darah tetapi tidak dalam urin. Tidak ada hubungan antara tingkat kadmium dan prevalensi hipertensi.
Universitas Sumatera Utara
110
Berdasarkan status merokok, asosiasi untuk kadmium darah dan tingkat tekanan darah lebih kuat di antara tidak pernah perokok, menengah antara mantan perokok, dan kecil atau nol di kalangan perokok. Kedua biomarker kadmium urin dan kadmium darah jangka panjang dan paparan kadmium yang sedang berlangsung, meskipun kadmium darah mencerminkan eksposur baru-baru ini lebih baik dari kadmium urine (ATSDR 1999; Elinder et al 1988; Jarup et al 1983). Dalam penelitian tersebut, hubungan yang lebih kuat dari kadmium darah dibandingkan dengan kadmium urine disebabkan oleh status merokok dan cotinine serum. Hubungan positif antara kadmium darah dengan tekanan darah dipengaruhi oleh paparan kadmium jangka panjang. Atau, mungkin bahwa secara biologis kadmium darah lebih aktif daripada kadmium urine. Kadmium diserap melalui saluran pernafasan dan pencernaan. Dalam kondisi paparan kronis, kadmium diangkut dalam darah dibatasi terutama untuk metallothionein. Metallothionein adalah berat molekul rendah protein mengikat logam-diinduksi oleh paparan kadmium yang memainkan peran penting dalam metabolisme cadmium dan toxicokinetics (Nordberg et al. 1992, 2007). Induksi metallothionein tergantung pada dosis dan frekuensi paparan kadmium. Misalnya, perokok aktif mungkin untuk menginduksi metallothionein karena mereka berulang kali terpapar kadmium dari asap rokok. Dengan mengikat cadmium, metallothionein dapat melindungi ginjal dan organ lainnya dari efek racun kadmium (Nordberg et al. 1992). Di korteks ginjal, senyawa kadmiummetallothionein disimpan dalam sel-sel tubular dengan hanya sebagian kecil dari beban tubuh yang dikeluarkan melalui urine (ATSDR 1999). Akibatnya, kadmium
Universitas Sumatera Utara
111
semakin terakumulasi dengan usia di ginjal dan organ lainnya, meskipun penelitian otopsi menunjukkan bahwa konsentrasi kadmium dalam ginjal menurun setelah 45-50 tahun (Nordberg et al 2007; Satarug et al 2003; Travis dan haddock 1980). Meskipun fluktuasi dalam hasil paparan kadmium dalam fluktuasi kadmium darah, beberapa perubahan yang diamati dalam kadmium urine yang dengan tidak adanya kerusakan tubulus, mencerminkan akumulasi kadmium dalam tubuh dari waktu ke waktu (Nordberg et al. 1992). Studi eksperimental pada tingkat paparan rendah diperlukan untuk menentukan dampak jangka pendek dibandingkan paparan kadmium jangka panjang terhadap tekanan darah dan relevansi induksi metallothionein.. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Studi yang dilakukan Rango (2015) menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi kontaminan anorganik dalam sumber air minum terhadap tingkat kontaminan nefrotoksik dengan CKDu daerah endemis dan non endemis. Konsentrasi unsur nefrotoksik paling penting (As, Cd, U, dan Pb) dari sumber air minum di semua sampel daerah berada di bawah 1,6 mg/ L, dan semuanya di bawah pedoman batas kualitas air untuk kontaminan ini yang disarankan oleh WHO, US EPA, dan Uni Eropa. Pengukuran studi ini hanya dikumpulkan pada satu titik waktu, sehingga konsentrasi elemen ini tidak bervariasi. Pajanan kadmium dari air minum relatif bukan merupakan pajanan yang penting bila dibandingkan yang berasal dari makanan. Namun, bila ditemukan kandungan kadmium yang tinggi dapat mengakibatkan efek yang merugikan kesehatan. Jumlah asupan harian kadmium melalui makanan dan air minum di
Universitas Sumatera Utara
112
daerah yang terkontaminasi berat diperkirakan sekitar 600–2000 μg/hari. Di daerah lain yang tidak begitu tercemar jumlah asupan harian hanya sekitar 100390 μg/hari. Kasus itai-itai disease (osteomalasia dengan berbagai derajat osteoporosis disertai penyakit tubulus ginjal yang berat) dan proteinuria dengan berat molekul rendah dilaporkan terjadi pada penduduk di sekitar area pemukiman di Jepang yang sangat terkontaminasi dengan kadmium pada konsentrasi yang sangat tinggi (WHO, 2004). Food
and
Agriculture
Organization, World
Health
Organization
(FAO/WHO) dan The Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) dalam pertemuan ke 16 nya menetapkan Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) untuk kadmium 400-500 μg kadmium untuk orang dewasa. Ini sesuai dengan masukan kadmium yang dapat ditolerir sementara 0.81 (yaitu., 400 ÷7÷70) ke 1.01 μg/kg/day, yang telah disederhanakan menjadi 1 μg/kg/day dan ditetapkan tanpa perubahan pada pertemuan-pertemuan berikutnya (JECFA 2004). Bagaimanapun, hubungan toksisitas Cd pada ginjal dan tulang telah diamati pada orang-orang dengan intake Cd yang baik sesuai dengan PTWI (Satarug Dan Moore 2004). Paparan 30-50 μg Cd per hari untuk orang dewasa atau 0.43-0.57 μg/kg/day atau
0,00043-0,00057
mg/kg/hari
telah
dihubungkan
dengan
peningkatan risiko patah tulang, kanker, kelainan fungsi ginjal, dan hipertensi (Satarug et al.2000; Satarug et al.2003). Untuk itu, FAO/WHO menyarankan batas mingguan yang bersifat melindungi dan konsumen itu berada pada risiko intake kadmium di bawah PTWI (Winnie et al, 2007).
Universitas Sumatera Utara
113
The European Food Safety Authority (2009) menyatakan bahwa kadmium berkaitan dengan infraksi myocardial (Everett and Frithsen 2008) dan perubahan dalam fungsi kardiovaskular (Schutte et al. 2008). Penyelidikan lebih mendalam dari efek kadmium baik jangka pendek maupun efek jangka panjang pada orang yang tidak merokok yang terpajan kadmium memiliki hubungan terhadap hipertensi dan penyakit kardiovaskular berdasarkan identifikasi dosis dan respon kadmium dari waktu ke waktu. Toksisitas
kadmium
telah
dikaitkan
dengan
beberapa
disfungsi
kardiovaskular melalui kerusakan terhadap endotel vaskular, pengurangan ketersediaan NO (nitric oxide) dan penurunan viabilitas sel otot polos pembuluh darah (Washington, 2006). Penurunan kadar protein endotel oksida nitrat sintase (eNOS) juga mengganggu jalur sinyal dan fungsi reseptor, lebih lanjut mengakibatkan disfungsi vaskular. Kadmium juga dilaporkan mengubah kalsium mekanisme intraseluler dan menyebabkan peningkatan vasokonstriksi, semua mengarah ke peningkatan tekanan darah (Nwokocha, 2013). toksisitas kadmium dan efek pada disfungsi jaringan diperkirakan pada kemampuannya untuk mengganggu proses genomik melalui metilasi DNA (Anetor, 2012) dan peningkatan spesies oksigen reaktif (ROS). Stres oksidatif yang meningkat disebabkan oleh paparan kadmium dilaporkan juga menyebabkan peningkatan produksi lipoprotein dan akhir produk low-density glikasi (Mitra, 2011), lebih meningkatkan kaskade inflamasi dan kerusakan pembuluh darah. Ini peningkatan tekanan oksidatif dalam jaringan pembuluh darah adalah penyebab utama dari arteriosclerosis.
Universitas Sumatera Utara
114
Peningkatan kadar kadmium dalam tubuh merupakan bukti yang menunjukkan bahwa kadmium adalah risiko faktor untuk morbiditas kematian dan penyakit kardiovaskular, serta zat pencemar dari asupan makanan (European Food Safety Authority 2009; Reuben 2010). Temuan penelitian ini mengindikasikan adanya hubungan antara jumlah asupan kadmium dengan tekanan darah sistolik. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat hubungan antara kadmium dengan tekanan darah seperti indikator fisiologis kadmium di pusat, jantung, dan efek vaskular; faktor gizi hormonal, faktor genetik dan riwayat penyakit jantung. Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa jumlah asupan kadmium dari air sumur yang diminum oleh masyarakat Namo Bintang berhubungan dengan tekanan darah disebabkan oleh nilai ambang dosis yang masuk kedalam tubuh responden sudah melebihi batas toleransi yang menyebabkan terjadinya gangguan tekanan darah sehingga menyebabkan terjadinya gangguan fungsi ginjal kemudian berpengaruh terhadap tekanan darah. Eum et al. (2008) dalam penelitiannya berdasarkan pemantauan antara pemberian dosis kadmium dan respon terhadap tekanan darah menunjukkan hubungan yang positif antara paparan kadmium dengan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik, dan efek dari kadmium terhadap tekanan darah nyata lebih kuat saat fungsi ginjal menurun. 5.4.2. Hubungan Durasi Pajanan dengan Tekanan Darah Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dan uji korelasi dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara durasi pajanan dengan tekanan darah. Durasi pajanan yang
Universitas Sumatera Utara
115
dimaksud adalah lamanya waktu responden mengkonsumsi air sumur yang mengandung Cd dalam satuan tahun. Untuk durasi pajanan responden dengan air sumur dengan rentang antara 7 sampai 64 tahun dengan nilai rata-rata responden mengalami pajanan dengan air sumur selama 19 tahun setelah dikategorikan diketahui bahwa durasi pajanan mayoritas kurang atau sama dengan 19 tahun sebanyak 65,6 persen. Rerata durasi pajanan air sumur yang mengandung kadmium di lokasi penelitian adalah 19,08 tahun dengan durasi pajanan terendah 7 tahun dan terlama 64 tahun. Hasil penelitian Ashar (2015) membuktikan bahwa proteinuria telah ditemukan pada 48 orang responden (60%). Proteinuria yang ditemukan adalah berupa protein dengan berat molekul rendah yaitu B2MG urin. Protein lain yang diperoleh adalah albumin yang juga terdapat pada 6 orang responden (7,5%). Dari hasil analisis statistik tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara durasi pajanan dan kadar B2MG urin dan tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara durasi pajanan berdasarkan ada tidaknya albuminuria. Pada penelitian ini rata-rata masyarakat Namo Bintang telah terpajan kadmium melalui air sumur selama 19 tahun. Responden yang paling lama terpajan adalah 64 tahun sedangkan yang paling singkat 7 tahun. Nilai rata-rata terpajan kadmium masyarakat Namo Bintang masih dibawah nilai default yang ditetapkan US-EPA (1991) untuk risiko nonkanker yaitu 30 tahun. Pada saat ini rata-rata durasi pajanan baru 19 tahun hal ini menunjukkan tingkat risiko kesehatan bagi populasi dan individu masyarakat Namo Bintang masih aman dari gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh kandungan kadmium dalam air sumur
Universitas Sumatera Utara
116
yang dikonsumsi oleh mereka setiap hari. Pemajanan kadmium dengan konsentrasi yang rendah dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan kasus keracunan kronis akibat kadmium. Ginjal adalah organ kritis yang lebih sering diserang oleh kadmium tetapi pada kondisi tertentu (waktu pajanan yang pendek) menyebabkan radang paru-paru (WHO, 1992). Kadmium yang terakumulasi di dalam ginjal sepanjang waktu, dan mencapai konsentrasi yang toksik sesudah bertahun-tahun terpapar dapat menyebabkan penyakit ginjal (Kusnoputranto, 1995). Pada keracunan kronis yang disebabkan oleh kadmium umumnya berupa kerusakan-kerusakan pada banyak sistem fisiologis tubuh. Sistem-sistem tubuh yang dapat dirusak oleh keracunan kronis logam kadmium adalah pada sistem urinaria (ginjal), sistem respirasi (pernafasan/paru-paru), sistem sirkulasi (darah) dan jantung. Di samping semua itu, keracunan kronis tersebut juga merusak kelenjar reproduksi, sistem penciuman dan bahkan dapat mengakibatkan kerapuhan pada tulang (Palar, 2004). Pajanan kadmium yang berkepanjangan dapat menimbulkan penyakit tulang, yang pertama kali dilaporkan dari sungai Jinzu di Jepang, dimana sekitar 150 kasus penyakit Itai Itai dikenal. Pajanan kadmium berasal dari air sungai yang terkontaminasi yang digunakan untuk irigasi sawah. Penderita Itai Itai kebanyakan adalah perempuan berusia 40 tahun yang tinggal di daerah endemis selama lebih dari 30 tahun. Kandungan kadmium yang ditemukan dalam tulang beberapa kali lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang tak terpajan. Dari hasil pemeriksaan terhadap 46 penderita Itai Itai rerata kadar kadmium dalam tulang adalah 2,7 μg/g berat badan pada laki-laki dan 1,8 7 μg/g berat badan pada perempuan. Kadar
Universitas Sumatera Utara
117
kadmium pada tulang orang-orang yang tidak terpajan masing-masing adalah 0,3 dan 0,6 7 μg/g berat (Gonick, 2008). Waktu paruh kadmium di dalam tubuh adalah antara 15 sampai 30 tahun. waktu paruh yang begitu lama disebabkan fakta bahwa kadmium tidak seperti bahan toksik orgnik, yang sering terdegradasi secara metabolik menjadi turunan yang kurang toksik, kadmium masih tetap berada dalam bentuk yang utuh di dalam sistem biolologis. Kadmium yang masuk melalui oral ataupun melalui paru-paru akan terdeposit terutama di hati dan ginjal. Kadmium akan bertahan di dalam organ ini dalam waktu yang lama (10 sampai 30 tahun). Kandungan kadmium dalam tubuh akan meningkat seiring dengan pertambahan usia karena eliminasi yang sangat rendah dari tubuh yaitu hanya sekitar 0,001 % per hari (ATSDR, 2008). Keracunan Cd yang bersifat kronis yang disebabkan oleh daya racun yang dibawa oleh logam Cd, terjadi dalam selang waktu yang sangat panjang. Peristiwa ini terjadi karena logam Cd yang masuk kedalam tubuh dalam jumlah kecil, sehingga dapat diterima oleh tubuh pada saat tersebut. Akan tetapi, karena proses masuknya terjadi secara terus-menerus secara berkelanjutan, maka pada saat tertentu tubuh tidak mampu lagi memberikan toleransi terhadap daya racun yang dibawa oleh Cd. Pemaparan Cd dalam kadar yang rendah akan menimbulkan kasus keracunan kronis akibat Cd. Cd dieksresi sangat lamban dengan waktu paruh sekitar 30 tahun. Efek toksik logam sangat berkaitan dengan tingkat dan lamanya paparan. Umumnya, makin tinggi kadar suatu logam dan makin lama paparan, efek toksik suatu logam akan lebih besar. Cd dalam suatu dosis tunggal
Universitas Sumatera Utara
118
dan besar dapat menginduksi gangguan saluran cerna. Sedangkan asupan Cd dalam jumlah kecil tetapi berulang kali dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal. Hasil peneltian ini sejalan dengan penelitian yang dilakuakn oleh Ashar YK (2016) yang menunjukkan hasil bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara durasi pajanan dan kadar kadmium urin. Berdasarkan penjelas tersebut peneliti berasumsi bahwa tidak adanya hubungan durasi pajanan dengan tekanan darah disebabkan oleh durasi pajanan kadmium dalam penelitian ini menunjukkan tingkat risiko kesehatan bagi populasi dan individu masyarakat Namo Bintang masih aman dari gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh kandungan kadmium dalam air sumur yang dikonsumsi oleh mereka setiap hari. Namun, pemajanan kadmium dengan konsentrasi yang rendah dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan kasus keracunan kronis akibat kadmium sehingga masyarakat Namo Bintang tetap berisiko mengalami gangguan tekanan darah. Menurut Palar (2004) Pada keracunan kronis yang disebabkan oleh kadmium umumnya berupa kerusakan-kerusakan pada banyak sistem fisiologis tubuh. Sistem-sistem tubuh yang dapat dirusak oleh keracunan kronis logam kadmium adalah pada sistem urinaria (ginjal), sistem respirasi (pernafasan/paruparu), sistem sirkulasi (darah) dan jantung. 5.4.3. Hubungan Kadar Kadmium Air Sumur dengan Tekanan Darah Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact dan uji uji korelasi dibuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara cadmium dalam air sumur dengan tekanan darah. Berdasarkan teori,
Universitas Sumatera Utara
119
kadmium sebagai logam berat dapat meningkatkan kadar Cd dalam tubuh apabila terpajan dalam waktu yang cukup lama, tetapi dalam penelitian ini tidak demikian, ini kemungkinan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah dan sampel penelitian yang kurang dalam penelitian ini. Kadar kadmium air sumur adalah kadar kadmium yang terukur dari hasil pemeriksaan sampel air sumur menggunakan AAS. Hasil penelitian menunjukkan proporsi kandungan kadmium dalam air sumur responden mayoritas dengan kandungan Cd lebih dari 0,005 mg/l adalah sebesar 65,5 persen Tidak terdapatnya hubungan antara kadar kadmium dengan tekanan darah dalam penelitian ini secara sederhana dapat dijelaskan bahwa meskipun mayoritas air sumur dengan kandungan Cd lebih dari 0,05 mg/l namun pada kenyataannya tekanan darah responden lebih banyak masih dalam keadaan normal. Hal ini dapat disebabkan karena air sumur yang melebihi nilai ambang batas tersebut dikonsumsi tidak melebihi jumlah dan durasi pajanan yang tinggi sehingga masih mampu ditolerir oleh tubuh responden karena efek toksik paparan kadmium juga dipengaruhi oleh faktor lain salah satunya yaitu jumlah asupan air sumur yang di minum dan durasi panajan kadmium tersebut. Sumber kadmium terbesar dalam penelitian ini berasal dari pajanan air sumur yang mengandung kadmium, hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ashar (2015) lebih dari 90% responden terpajan pada kadar di atas batas aman yang diperkenankan. Berdasarkan uji statisitik tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara jumlah kadmium dalam air sumur terhadap kadar kadmium urin.
Universitas Sumatera Utara
120
Menurut US EPA (1985), konsumsi aman kadmium adalah sebesar 0,001 mg/kg/hari untuk intake melalui makanan. Artinya bahwa intake kadmium dengan kadar yang tidak melebihi 0,001 mg/kg/hari akan tetap aman dan tidak memberikan efek negatif bagi kesehatan meskipun intake terjadi setiap hari, sepanjang hidup (Daud A, 2013). Logam kadmium di dalam air dan makanan yaitu sekitar 1-10% akan memasuki tubuh melalui saluran pencernaan. Kadmium akan meyerang hati dan ginjal dan terakumulasi di dalam tubuh. Kadmium dengan konsentrasi kecil akan dikeluarkan perlahan dalam urin dan feses. Namun, ketika konsentrasi kadmium yang masuk ke dalam tubuh tinggi, maka akan membebani kemampuan hati dan ginjal (ATSDR, 2012). timbulnya rasa sakit dan panas pada bagian dada. Sementara untuk keracunan bersifat kronik terjadi dalam selang waktu yang panjang seperti kerusakan pada sistem-sistem tubuh yaitu kerusakan sistem ginjal, sistem pernafasan, sistem sirkulasi darah, dan jantung yang dapat berakhir dengan kematian. Lamanya pemaparan logam kadmium di dalam tubuh dapat berlangsung antara 5-10 tahun (Daud A, 2011). Penelitian Zul Alfian (2005) menjelaskan keracunan kronis kadmium (200 μg per gram) dapat menyebabkan terjadinya kerusakan ginjal. Efek keracunan kronis yang lain yaitu: emphysema, hipertensi dan osteomalacia. Namun dalam penelitian ini diketahui bahwa kandungan kadmium yang terdapat dalam air sumur dan digunakan sebagai air minum dalam konsentrasi yang rendah. Oleh karena itu kadmium dalam penelitian ini tidak memberikan pengaruh terhadap tekanan darah.
Universitas Sumatera Utara
121
Dalam penelitian ini tidak terdapat hubungan antara kadar kadmium dalam air sumur dengan tekanan darah. Hal ini sejalan dengan penelitian Ashar T (2015) yang menyatakan Hubungan yang tidak signifikan terjadi karena adanya variasi asupan kadmium dari air sumur dan lama warga terpajan terhadap sumber kadmium yang sama serta dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak di teliti dalam penelitian ini. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ashar YK (2016) yang menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kadar Cd air sumur terhadap Cd dalam urin. Berdasarkan penjelas tersebut peneliti berasumsi bahwa tidak adanya hubungan kadar kadmium dengan tekanan darah disebabkan kadar kadmium bagi populasi dan individu masyarakat Namo Bintang masih dalam batas yang dapat ditolerir oleh responden dan tidak menyebabkan gangguan kesehatan khususnya gangguan tekanan darah. Namun, kadar kadmium dalam sumur dengan konsentrasi yang rendah namun dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan kasus keracunan kronis akibat kadmium sehingga masyarakat Namo Bintang tetap berisiko mengalami gangguan tekanan darah. Menurut Palar (2004), pada keracunan kronis yang disebabkan oleh kadmium umumnya berupa kerusakan-kerusakan pada banyak sistem fisiologis tubuh. Sistem-sistem tubuh yang dapat dirusak oleh keracunan kronis logam kadmium adalah pada sistem urinaria (ginjal), sistem respirasi (pernafasan/paru-paru), sistem sirkulasi (darah) dan jantung.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan :
1.
Karakteristik responden berdasarkan kelompok usia mayoritas responden berusia > 43 Tahun sebanyak 52,1 persen. Untuk jenis kelamin mayoritas responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 69,8 persen. Untuk pekerjaan responden mayoritas bekerja tidak berisiko terpapar kadmium sebanyak 90,6 persen, untuk status gizi responden mayoritas memiliki gizi tidak obesitas sebanyak 92,7 persen dan untuk kebiasaan merokok mayoritas responden tidak merokok sebanyak 59,4 persen.
2.
Jumlah asupan air sumur yang di konsumsi responden kurang atau sama dengan 2 Liter/hari sebanyak 67,7 persen. Untuk durasi pajanan responden mayoritas kurang atau sama dengan 19 tahun sebanyak 65,6 persen. Untuk kadar kadmium dalam air sumur mayoritas dengan kandungan Cd lebih dari 0,005 mg/l adalah sebesar 65,5 persen.
3.
Tekanan darah responden mayoritas dengan tekanan darah normal yaitu sebanyak 62,5 persen
4.
Berdasarkan hubungan karakteristik masyarakat yaitu usia, jenis kelamin, pekerjaan, status gizi dan kebiasaan merokok hanya variable usia yang berhubungan dengan tekanan darah.
122 Universitas Sumatera Utara
123
5.
Berdasarkan hubungan paparan cadmium pada air sumur yang terdiri dari variable jumlah asupan air sumur, durasi pajanan dan cadmium air sumur hanya jumlah asupan air sumur yang berhubungan dengan tekanan darah.
6.
Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang paling dominan berhubungan dengan tekanan darah berdasarkan nilai prevalen rate adalah jumlah asupan air sumur dimana setap penambahan 1 liter jumlah asupan air sumur meningkatkan tekanan darah sistolik sebesar 10,62 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 6,27 mmHg.
6.2. Saran 1.
Pelayanan Kesehatan dan Pemerintah a. Menganjurkan pada warga agar tidak mengkonsumsi air sumur melaui air minum atau masakan. b. Memberikan pelatihan pada masyarakat untuk mengaplikasikan teknologi sederhana untuk menurunkan kandungan kadmium dalam air sumur dengan metode saringan sederhana dengan media pasir, arang aktif dan pasir zeolit yang telah terbukti berhasil menurunkan kandungan logam berat di air. c. Segera melakukan langkah-langkah pengendalian pencemaran air tanah dengan membangun parit-parit dan kolam penampung air lindi dari penguraian sampah di TPA, pembuatan Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS), serta melapisi dengan bahan kedap air (plastik) di dasar tumpukan sampah untuk mengurangi pencemaran air lindi di lingkungan sekitar.
Universitas Sumatera Utara
124
d. Pemilahan sampah dengan cara penggunaan 2 jenis truk atau lebih truk pengangkut sampah serta memisahkan limbah baterai dan elektronik. e. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan advokasi kepada Pemerintah Kabuaten Deli Serdang agar dapat membangun fasilitas sarana air bersih yang dapat diakses oleh seluruh warga masyarakat yang bermukim di wilayah TPA Namo Bintang. 2.
Masyarakat Desa Namo Bintang a. Menganjurkan masyarakat agar tidak menggunakan air sumur sebagai sumber air minum dan menggantinya dengan cara membeli air minum dalam kemasan yang berasal dari depot air minum, karena telah terbukti bahwa rata-rata masyarakat Namo Bintang mengkonsumsi air sumur telah terpajan kadmium sebanyak 1,99 atau 2 liter per hari karena dari hasil penelitian setiap kali penambahan 1 liter jumlah asupan air sumur maka akan meningkatkan tekanan darah sistolik sebesar 10,62 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 6,27 mmHg, tetapi warga masih diperbolehkan memanfaatkan air sumur untuk keperluan air bersih misalnya untuk mencuci pakaian, mandi, buang air besar dan lain lain. b. Masyarakat yang selama ini sudah mengkonsumsi air sumur sebagai air minum dan didapati mengalami tekanan darah tinggi disarankan untuk mengkonsumsi ekstrak kunyit dimana kunyit mengandung kukumin yaitu senyawa yang telah terbukti dapat menurunkan akumulasi kadmium dalam darah dan sebagai agen pelindung terhadap tekanan darah dan gangguan vascular yang disebabkan oleh kadmium (Kukongviriyapan, 2014).
Universitas Sumatera Utara
125
c. Melakukan pengolahan sederhana untuk menurunkan kandungan kadmium dalam air sumur yaitu dengan aplikasi saringan pasir yang disertai dengan penambahan media arang aktif dan pasir zeolit yang telah terbukti menurunkan kandungan logam berat dalam air. Saryati dkk (2004) telah melakukan penelitian eksperimen dengan membuat komposit arang aktifzeolit-karboksi metil selulosa yang bertujuan untuk mengolah air sumur menjadi air minum. Hasilnya membuktikan bahwa komposit tersebut mampu menurunkan kandungan Fe, Cd, Pb, dan bakteri coli dalam air sampai 100%. 3.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut dengan mengukur
biomarker efek lain yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat, seperti pengukuran kadium dalam darah, urin dan rambut sebagai indikator telah terjadi gangguan tekanan darah pada seseorang.
Universitas Sumatera Utara