37
BAB III KRITIK INTERN DAN EKSTERN NOVEL “BELANTIK”
3. 1. Biografi Ahmad Tohari Ahmad Tohari lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas (Jawa Tengah), 13 Juni 1948. Pendidikan terakhhirnya adalah tamat SMA di Purwokerto (1966) dan pernah bekerja di majalah Kelurga dan Amanah. Ia pun pernah mengikuti International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat (1990) dan pada tahun 1995 menerima hadiah Sastra ASEAN. Karyanya antara lain : Kubah (1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jantera Bianglala (1986), Di Kaki Bukit Cibalak (1986), Senyum Karyamin (1989), Bekisar Merah (1993), dan Lingkar Tanah Lingkar Air (1995). Karya-karya Ahmad Tohari bisa dikatakan sangat erat dengan nilainilai agamis, karena menurutnya sastra dan agama adalah wujud pertanggungjawaban terhadap peradaban. Agama menggunakan kitab suci, sedangkan sastra merupakan karya akal manusia. Ahmad Tohari percaya dan bahkan yakin bahwa karya sastra merupakan pilihan untuk berdakwah atau mencerahkan batin manusia agar senantiasa mau membaca ayat-ayat Tuhan. Dengan mengarang itulah Ahmad Tohari berharap ikut serta membangun moral masyarakat yang
38
beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi dan menakut-nakuti yang lemah. 50 Bagi Ahmad Tohari, Tuhan harus dipahami dengan membaca simbolsimbol-Nya yang tampak pada mereka yang terpinggirkan, yang menderita, yang sakit secara sosial, politik, dan pendidikan. Sementara itu dapat dikatakan bahwa kepengarangan Ahmad Tohari berangkat dari kesadaran yang kukuh untuk memanfaatkan karya sastra sebagai peningkatan masyarakat agar semakin beradab. Oleh karena itu, hampir seluruh karyanya berbicara tentang nasib manusia yang menderita. Secara garis besar, memang tampaklah bahwa karya-karya Ahmad Tohari berkisah tentang penderitaan, keterpinggiran dan kenelangsaan. 3.2. Deskripsi Novel Novel “Belantik” Karya Ahmad Tohari tampil dalam bentuk buku dengan ukuran panjang 21 cm, lebar 14, 08 cm, tebal 0,8 cm. Buku ini berisi 142 hlm. Halaman 1 sampai 4 memuat tulisan judul, undang-undang Hak cipta, cover dalam dan ucapan terimakasih serta terbitan buku tanpa pengantar. Cerita dari novel ini langsung dimulai dari halaman 5 dan berakhir pada halaman 142, tanpa disertai biografi penulis. Mengenai cover luar dari Belantik tampil dengan cover lukisan seorang wanita cantik, rambut terurai dan dihadang seorang laki-laki tua serta di sisi depan tampak seorang perempuan separuh baya dengan muka bulat, berambut kriting dan dandanan menor sedang tersenyum ceria.
50
Yudiono K. S., Ahmad Tohari, Karya dan Dunianya, Grasindo, Jakarta, 2003, hlm.1-2.
39
Ilustrasi ini memberikan gambaran kepada pembaca mengenai sosok seorang wanita cantik yang selalu ketakutan dan berada dalam ketidaberdayaan karena dominasi seorang laki-laki. Sedangkan tulisan Belantik ditulis dengan huruf tegak berwarna putih dengan gaya yang formal. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendukung ilustrasi cerita sehingga tulisan ini dapat menjadi cover of interest atau sampul yang menarik bagi pembaca. Adapun kombinasi warna keseluruhan cover terdiri dari warna merah marun, hijau, orange, kuning, biru dan putih yang menjadi warna dasar judul, serta hitam warna dari pengarang. 3. 3. Kritik Intern terhadap novel “Belantik” karya Ahmad Tohari 3.3.1 Tema Pada umumnya, tema sebuah karya sastra tidak dikemukakan secara jelas (eksplisit) baik dalam bentuk kata maupun kalimat. Tetapi kebanyakan tema disampaikan secara tidak langsung (implisit) dan menyusupi keseluruhan cerita. Tema dalam sebuah karya sastra tidak disampaikan begitu saja akan tetapi disampaikan melalui sebuah jalinan cerita. Orang hanya akan menemukan tema sebuah cerita setelah ia membaca dan menafsirkannya. Tema pokok dari novel Belantik adalah nasib seorang wanita cantik yang tidak berdaya akibat ulah mucikari yang ingin memanfaatkan kecantikannya demi uang. Pengarang mengemukakan tema tersebut melalui tokoh utama yaitu Lasi.
40
Lasi, gadis cantik, yang berasal dari desa Karangsoga pada mulanya adalah seorang janda yang ingin melepaskan diri dari permasalahan ekonomi, kemudian ia pergi ke Jakarta dan jatuh di tangan mucikari kelas atas Bu Lanting. Bu Lanting kemudian mempertemukan Lasi dengan Pak Handarbeni, seorang tokoh politik terkenal dan kaya raya. Namun karena ketidakberdayaannya kemudian Lasi diserahkan lagi ke Pak Bambung. Peristiwa itu menyadarkan Lasi betapa terkoyak martabatnya sebagai permpuan, tetapi terlanjur sulit mengatasinya. Dalam kondisi batin yang limbung itulah Lasi meninggalkan rumahnya tanpa sopir pribadi dan tanpa rencana pula dengan bus umum menuju Karangsoga. Di sanalah Lasi sempat mengadu kepada Eyang Mus (seorang tokoh agama di Karangsoga) tentang kerumitan masalahannya. Sementara itu Eyang Mus mengaku tidak dapat berbuat banyak, namun kemudian Eyang Mus berhasil meyakinkan pemuda Kanjat untuk membuktikan kemampuannya mengatasi masalah tersebut. 3.3.2 Amanat Karya
sastra
selain
berfungsi
sebagai
hiburan
bagi
pembacanya, juga berfungsi sebagai sarana pendidikan. Dengan kata lain, pengarang selain ingin menghibur pembaca (penikmat) juga ingin mengajari pembaca. Ajaran yang ingin disampaikan pengarang itu dinamakan amanat. Jadi amanat adalah unsur pendidikan, terutama pendidikan moral, yang ingin disampaikan oleh pengarang pada
41
pembaca lewat karya sastra yang ditulisnya. Unsur pendidikan ini tentu saja tidak disampaikan secara langsung. Pembaca karya sastra baru dapat mengetahui unsur pendidikannya setelah membaca seluruhnya. Dalam novel belantik ini amanat atau pesan yang disampaikan adalah nilai-nilai moral, kejujuran, kebenaran, dan kasih sayang. Disamping itu belantik juga mengajak pembaca untuk tetap bersimpati kepada mereka yang jujur, lurus, benar, tetapi mungkin juga lemah dan terkalahkan. Hal ini tampak
dari bagaimana penulis menceritakan
tokoh utama lagi yang tetap sopan dan rendah hati walaupan ia bergelimang harta. Gambaran itu terlihat ketika ia pergi tanpa sopir pribadi dan berjalan kaki di lorong-lorong untuk mencari rumah sopir pribadinya. Gambaran lain seperti ketika sedang menangis karena ketidakberdayaannya menghadapi Bu Lanting, Pak Handarbeni dan Pak Bambung. 3.3.3. Penokohan Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dan cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebuit dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan.51Dalam menentukan siapa tokoh utama dan siapa
51
hlm 79.
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, Sinar Baru Algesindo, Bandung ,2004,
42
tokoh tambahan pembaca dapat melihat keseringan pementasannya dalam suatu cerita. Berdasarkan
pedoman
tersebut
tidakalah
salah
apabila
kemudian karakter “Lasi” disebutkan sebagai tokoh utama, karena karakter inilah yang paling dominan dan mewarnai perjalanan cerita dari awal hingga akhir. Dalam Novel ini tokoh “Lasi” digambarkan seorang janda muda yang cantik, yang berasal dari desa Karangsoga. Lasi terpaksa mengadu nasib ke Jakarta karena ingin lepas dari himpitan ekonomi. Disamping itu
Lasi mempunyai karakter rendah hati dan tidak
sombong . Selain Lasi sebagai tokoh utama, ada tokoh pendamping dalam novel ini. Bu Lanting misalnya, dalam novel ini Bu Lanting merupakan seorang mucikari kelas atas, yang selalu menghantui kehidupan Lasi dan berusaha memanfaatkan kecantikan Lasi untuk dipersembahkan kepada laki-laki hidung belang. Bu Lanting adalah sosok yang pendengki, pemboros, dan licik. Pak Handarbeni dalam novel ini adalah suami Lasi yang kaya raya. Ia adalah seorang usahawan dan tokoh politik kelas atas. Bambung juga mewarnai cerita ini, Bambung adalah juga seorang usahawan dan tokoh politik atas negeri ini, seperti halnya Handarbeni, Bambung juga menginginkan Lasi untuk bisa menjadi istri simpanannya.
43
Sedangkan Kanjat, kekasih lama Lasi, merupakan seorang pemuda yang mempunyai sifat baik hati, tampan dan taat beragama. Serta seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di lingkungannya. Eyang Mus adalah tetangga Lasi di Karangsoga. Ia adalah seorang tokoh agama yang selalu menenangkan hati. Bu Wiryaji dan Pak Mukri adalah orang tua Lasi yang bijaksana. Selain berbagai karakter di atas adalah beberapa tokoh yang mewarnai dunia novel ini, misalnya Pak Min, sopir pribadi Handarbeni, Oning sekretaris pribadi Handarbeni. Ia adalah gadis manis yang lucu dan masih kebocah-bocahan. Ada juga mayor Brangas, seorang polisi yang menjemput Lasi, ia adalah suruhan dari Lanting dan Bambung. Disamping itu juga ada Pardi, sopir truk keluarga Kanjat. Ia adalah yang mengantar Kanjat bolak-balik Karangsanga-Jakarta untuk mencari Lasi. 3.3.4. Alur Merupakan rangkaian peristiwa yang sambung-menyambung dalam sebuah cerita berdasarkan logika sebab akibat. Dalam sebuah cerita terdapat berbagai peristiwa-peristiwa. Akan tetapi, peristiwaperistiwa dalam cerita itu tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya. Rangkaian peristiwa itulah yang membentuk plot atau alur cerita. Jadi, plot itu memperlihatkan bagaimana cerita berjalan.
44
Alur dalam novel “Belantik” karya Ahmad Tohari adalah sebagai berikut: 1. Halaman 5-12
: Pak Handarbeni resah, Lasi, bekisar merahnya
dipinjam oleh Bambung. Kemudian Bu Lanting seorang mucikari menyarankan agar merelakan Lasi dipinjam oleh orang lain. 2. Halaman 13-38 : Lasi diajak ke Singapura oleh Bu Lanting untuk menemani pacarnya yaitu Bambung. Akan tetapi Lasi diminta untuk menemani Pak Bambung di sebuah perjamuan mewah di Singapura oleh Bu Lanting. 3. Halaman 39-54 : Bu Lanting menjebak Lasi agar tetap menemani Pak Bambung. Ia sengaja pindah ke hotel lain dengan alasan kencan dengan bule. Lasi sempat sekamar dengan Pak Bambung namun itu hanya sebatas menemani minum dan ngobrol. Keesokannya Pak Bambung harus kembali ke Jakarta karena ada urusan mendadak. 4. Halaman 57-60 : Sesampai di Jakarta Lasi mendapat telepon dari Bu Lanting, mengapa dia tidak memberikan apa-apa kepada pak Bambung. Bu Lanting juga memberitahukan bahwa ia sudah cerai dengan Handarbeni. 5. Halaman 61-69 : Begitu mendengar sudah dicerai oleh Handarbeni, Lasi bingung, terkejut, kini dia milik Pak Bambung. Ia pergi naik Taksi menuju rumah Pak Min, hanya minta tolong Mak Min untuk memijatnya kemudian pulang naik bus kota. 6. Halaman 70-74 : Bus kota berhenti di terminal kemudian Lasi
45
memilih bus yang menuju ke desa Karangsanga. Ia pulang menemui keluarganya dan berharap bertemu dengan Kanjat. 7. Halaman 75- 85 : Eyang Mus menceritakan kedatangan Lasi yang sedang banyak masalah. Beliau meminta Kanjat menemuinya, Kanjat bersedia, di rumah Lasi bercerita tentang kehidupannya di Jakarta. Malah Kanjat berniat untuk mengawini Lasi. Namun Lasi menolak dengan alasan di janda dua kali sedang Kanjat masih perjaka. 8. Halaman 86-94 : Lasi memutuskan untuk bersembunyi di rumah pamannya di Sulawesi Tengah. Diantar oleh Kanjat, namun sebelum melakukan perjalanan jauh ke Sulawesi dinikahkan terlebih dahulu. 9. Halaman 95-98 : Lasi menginap di Surabaya karena kapal laut yang akan ke Sulawesi akan berangkat dua hari lagi. Mereka terlibat percakapan yang serius tapi penuh kasih sayang. 10. Halaman 98-100 :Tiba-tiba Bu Lanting dan Mayor Brangas datang ke penginapan tersebut dan memaksa Lasi untuk ikut bersama mereka. Sementara Kanjat tak kuasa menahannya, karena mereka terlibat percekcokan hebat. 11. Halaman 102-112: Perjalanan dari Surabaya ke Jakarta Las i terus menangis, sesampainya di rumah ia masih saja ngambek hingga kurang lebih satu bulan
lamanya. Akan tetapi kemudian ia tersadar
bahwa dirinya terlambat datang bulan dan ia memastikan kalau dirinya hamil. Sementara Bu Lanting terus menggodanya, namun ia bertekad untuk menjaga kesucian kandungannya. Kemudian Lasi
46
memberitahukan kabar gembira tersebut kepada Kanjat lewat telepon. 12. Halaman 112-127: Bambung mengunjungi Lasi, tetapi dengan sikap ramah dan sopan Lasi menyambutnya. Tidak lama kemudian Lasi memberitahukan perihal kehamilannya. Antara percaya dan tidak Bambung
pergi meninggalkan Lasi dan segera menelepon Bu
Lanting. Mencurahkan kemarahannya kepada Bu Lanting. 13. Halaman 121-127: Kanjat memberitahukan kepada Bu Wiryaji, Eyang Mus dan Mukri perihal Lasi. Kanjat tidak berbuat apa-apa, ia hanya pasrah dan berdoa menunggu saat bersama tiba. 14. Halaman 128-132: Radio menyiarkan perihal pergulatan para elit yang sedang berlangsung, disamping itu Kanjat juga telibat pembicaraan serius tentang Bambung dengan teman-teman di kantornya. Bambung diperiksa oleh kepolisian karena suatu hal. Dan Kanjat memutuskan untuk menyusul Lasi ke Jakarta, kemudian ia mengajak Pardi, sopir truknya untuk menemani dalam pencarian itu. 15. Halaman 133-138: Pardi dan Kanjat sampai di Jakarta dan akhirnya ia menemukan ciri-ciri rumah yang di huni oleh
Lasi. Melalui
pembicaraan panjang lebar dengan satpam maka akhirnya Kanjat mengetahui keberadaan Lasi dan segera menyusul Lasi di pengadilan. Lasi dan kanjat bertemu di pengadilan tersebut dan Kanjat berjanji akan mengusahakan kebebasannya. 15. Halaman 139-142: Lasi dapat dibebaskan oleh seorang pengacara, teman
47
Kanjat. Dan segera mereka memutuskan untuk kembali ke Karangsanga, meskipun Bu Lanting sempat menghadang. Ajakan Bu Lanting tidak digubris mereka. Mereka segera melanjutkan perjalanan ke Karangsoga dengan suasana riang dan mengharukan dengan truk pengangkut gula. 3.3.5. Latar Peristiwa yang dialami tokoh-tokoh cerita terjadi di tempat tertentu, waktu tertentu dan dalam suasana tertentu pula. Tempat, waktu, dan suasana terjaadinya peristiwa dalam cerita dinamakan setting atau latar. Jadi, setting mencakup tiga hal, yaitu setting tempat, setting waktu dan setting suasana.52 1. Setting tempat Setting tempat adalah tempat peristiwa itu terjadi. Novel Belantik ini menggambarkan setting tempat di Karangsanga, Jakarta, dan Singapura. Misalnya, hal ini terdapat dalam ungkapan: “Menunggu kedatangan Bu Lanting yang sudah menghubunginya lewat telepon tadi siang, Lasi duduk tak tenang di beranda rumahnya yang megah di Slipi, Jakarta Barat. Kunjungan Bu Lanting menyenangkan hati Lasi karena perempuan gemuk itu satusatunya teman akrabnya.” 2. Setting waktu Setting waktu adalah kapan peristiwa itu terjadi. Dalam novel ini setting waktu adalah pagi, sore dan malam hari. Contoh misalnya:
52
Arul Wiyanto, Op. Cit., hlm. 82.
48
“Jam setengah lima pagi bus itu mencapai ruas jalan raya yang membelah desa Karangsanga pada sebuah mulut jalan desa bus itu berhenti dan Lasi turun. Berdiri sejenak untuk memulihkan kesadaran, ia melangkah masuk kampung. Sepi, udara terasa dingin. Langit timur mulai temaram. Lasi turun berjalan dalam keremangan kabut, berteman suara langkah sendiri.” 3. Setting Suasana Peristiwa itu terjadi dalam suasana apa? Suasana ada 2 macam, yaitu suasana lahir dan batin. Dalam novel ini, suasana juga melingkupi lahir dan batin, misalnya terapat dalam ungkapan: “Rasa haru dan rasa rindu muncul bersama hati Lasi. Air matanya menitik. Dadanya menyesak. Tetapi ia terus melangkah. Ada cericit tikus busuk di selokan tepi jalan. Atau keletak suara tetes embun yang jatuh menimpa sampah daun. Dan suasana menjelang pagi yang tenang dan terasa akrab membuatnya merasa sepenuhnya kembali direngkuh oleh kesejukan tanah kelahiran.”
3.3.6. Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan. Dengan cara yang khas itu kalimat-kalimat yang dihasilkannya menjadi hidup. Karena itu, gaya bahasa dapat menimbulkan perasaan tertentu, dapat menimbulkan reaksi tertentu dan dapat menimbulkan tanggapan pikiran pembaca. Semuanya itu menyebabkan karya sastra menjadi indah dan bernilai seni. 53 Bahasa yang digunakan novel ni terdiri dari percampuran bahasa Indonesia, Ingris, Arab dan Jawa. Meskipun bahasa Indonesia mendominasi dalam novel ini, akan tetapi terdapat sisipan bahasa
53
Ibid., hlm. 84.
49
Inggris yang dengan mudah dipahami oleh pembaca. Seperti yang digunakan novel ini Seperti pada halaman 26 dan 28: “Dalam pesawat menuju Singapura, gairah Bu Lanting terlihat pada semangat cas-cis-cus-nya yang tak bisa disela. Ngomong dan ngomong terus. Pelayanan yang ditawarkan pramugari ditolaknya dengan “No thank you. I need nothing. Sementara Lasi hanya diam. Kadang tersenyum demi mengenakkan Bu Lanting.”54 Bahasa Arab dalam novel ini sifatnya lebih kepada ungkapan seperti
salam
(assalamu’
alaikum)
puji-pujiaan
(al-hamdulillaah)
walimah, hasaballah (hasbunallah wa nikmal wakil). Sedangkan bahasa Jawa banyak sekali dipergunakan baik dalam percakapan-percakapan, ataupun dalam tembang-tembang Jawa atau nyanyian-nyanyian jawa. Misalnya terdapat dalam ungkapan-ungkapan sebagai berikut: “Pak, saya hanya bisa menirukan nasehat atau wewarah yang dulu disampaikan almarhum ayah. Yah, sekedar wewarah seorang petani tua tidak pernah mengunyah genting sekolah.” “Wewarah apa? Dulu ayah sering bilang, agar bisa hidup tenang, orang harus selalu eling dan nrima ing pandum, tidak ngumbar kanepson atau mengumbar keinginan.” Atau dalam nyanyian- nyanyian Jawa, misalnya: Bumine goyang-bumine goyang arane lindu Wong ora sembahyang, wong ora sembahyang bakale wudhu Dadi wong urip dari wong urip sing ati-ati Aja nuruti, aja nuruti senenging ati...
3.4. Sinopsis Novel “Belantik” Novel belantik diawali dengan kisah Pak Handarbeni yang resah setelah didesak oleh Bu Lanting yang mengabarkan keinginannya Pak 54
Tohari, Ahmad, Belantik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 26.
50
Bambung meminjam Lasi. Lelaki kaya raya itu sadar bahwa dirinya tidak mampu lagi membanggakan kejantanannya, sampai-sampai memberi kesempatan kepada Lasi untuk memperolehnya dari lelaki manapun. Akan tetapi, wibawanya terasa goyah ketika ada lelaki lain di dekatnya yang benar-benar menginginkan Lasi. Sementara itu Lasi yang belum tercerabut dari latar tradisi desa Karangsanga ternyata tidak memahami makna pinjam-meminjam itu dan pada akhirnya tidak sanggup melakukan penyimpangan moral itu walaupun sudah terjepit dalam lingkungan sekelompok orang yang justru menikmatinya, seperti Pak Han, Bu Lanting dan Pak Bambung. Ternyata Lasi masih mampu mempertahankan harga dirinya sebagai istri Pak Handarbeni meskipun bersedia mendampingi Pak Bambung dalam sebuah perjalanan mewah di Singapura dan bahkan sempat sekamar dengan lelaki-lelaki itu karena permainan Bu Lanting yang memang seorang mucikari. Beruntung pula kesempatan berada di Singapura itu amat terbatas karena secara mendadak Pak bambung harus kembali ke Jakarta. Tidak lama kemudian, Lasi mereguk pengalaman baru yang sulit dipahaminya, yaitu diceraikan oleh Pak Han dan diserahkan kepada Pak Bambung. Peristiwa itu menyadarkan Lasi betapa terkoyak martabatnya sebagai permpuan, tetapi terlanjur sulit mengatasinya. Dalam kondisi batin yang limbung itulah Lasi melangkah meninggalkan rumahnya tanpa sopir pribadi dan tanpa rencana pula dengan bus umum sampailah ke desa Karangsoga di saat fajar merekah.
51
Di sanalah Lasi sempat mengadu atau sesambat kepada Eyang Mus tentang kerumitan masalah dirinmya sebagai seorang janda yang baru saja dicerai Pak Handarbeni dan dengan mudah diserahkan atau dipercayakan kepada Pak Bambung yang bernafsu menikahinya. Di satu sisi, tetap menyadari martabatnya sebagai seorang perempuan, dan disisi lain lagi merasa ketakutan melepasakan diri dari “kekuasaan” Bu Lanting dan Pak Bambung yang telah memberinya kekayaan berlimpah. Sementara itu Eyang Mus berhasil meyakinkan pemuda Kanjat untuk membuktikan kemampuannya mengatasi masalah tersebut. Salah satu kemungkinan itu adalah pergi bersembunyi ke paman Ngalwi di daerah transmigrasi Sulawesi Selatan. Pada mulanya, Kanjat pun kebingungan mencari-cari cara terbaik dan pada akhirnya menyetujui usulan Lasi yang ingin bersembunyi ke paman Ngalwi di Sulawesi Selatan. Ketika Kanjat menyampaikan rencana itu ke hadapan Eyang Mus, berkembang persoalan teknis kepergian mereka yang saat itu bukanlah pasangan suami istri. Alasannya adalah nilai kepantasan yang masih dipegang dan berlaku di Karangsanga berkaitan dengan perjalanan jauh sepasanga laki perempuan yang bukan atau belum sah sebagai
suami-istri. Alasan itu hampir menyurutkan
semangat Kanjat, tetapi kemudian justru merupakan landasan terbaik bagi Eyang Mus dan orang-orang terdekat untuk menikahkan Lasi dengan Kanjat.
52
Persoalan
ternyata
belum
selesai
disini,
terbukti
dengan
munculnya ulah Bu Lanting yang merasa dilecehkan oleh kepergian Lasi. Dengan bantuan aparat kepolisian, mereka berhasil menyusul Lasi dan Kanjat di Surabaya dan dengan paksa memboyong ke Jakarta. Kanjat pun tidak mampu mengatasi masalah seketika karena berhadapan dengan polisi dan kekuasaan. Di akhir cerita dikisahkan bahwa Lasi berada di salah satu rumah mewah Pak Bambung, kehamilannya yang makin besar, keselamatan janin dari kemungkinan nafsu Pak Bambung, dan perkembangan politik tingkat tinggi di Jakarta yang menggiring Pak Bambung dan kelompoknya berurusan dengan Kejaksaan Agung. Sementara itu, Kanjat yang menyadari keterbatasan dirinya harus bersabar hingga berita-berita koran, siaran radio, dan obrolan orang seputar kehancuran prestasi kelompok Bambung di kancah politik nasional memang membesarkan semangat Kanjat yang pada akhirnya bertekad mencari Lasi di Jakarta. Padahal sebenarnya Kanjat sendiri belum mengetahui tempat tinggal Lasi, kecuali dikatakan sebuah rumah mewah dengan ciri-ciri tertentu di sekitar hotel Indonesia. Namun, tekad Kanjat semakin mantap setelah menyimak beritaberita koran terbitan Jakarta yang mengabarkan Bambung dan beberapa orang dekatnya sudah ditahan di Kejaksaan Agung. Dengan
bantuan sopir Pardi yang sudah lama bekerja pada
keluarga Kanjat, berangkatlah lelaki pahlawan desa Karangsanga itu ke Jakarta. Ternyata tidak mudah menemukan Lasi di celah belantara Jakarta
53
yang bagi Kanjat sendiri adalah wilayah asing. Untunglah pengalaman Pardi sebagai sopir truk gula kelapa yang sudah sekian tahun mondarmandir Karangsanga-Jakarta merupakan modal kerja yang sangat menguntungkan. Mula-mula mereka hanya menemukan rumah Pak Bambung yang diperkirakan dihuni Lasi, tetapi nyatanya sepi. Tidak lama kemudian, mereka mendapatkan informasi keberadaan Lasi di rumah tahanan kejaksaan sebagai calon saksi, dan setelah lima belas hari mengurus proses administrasi hukumnya maka berhasillah Kanjat membebaskan perempuan itu dari status tahanan sementara dan mengajak pulang ke Karangsoga. Perjalanan kembali ke Karangsoga tidak ditempuh Lasi dengan sedan mewah dan sopir pribadi Pak Min seperti ketika masih menjadi istri Handarbeni, tidak juga dengan
bus umum seperti ketika nekat
meninggalkan rumah mewahnya setelah diceraikan suaminya, tetapi ikhlas bersama kanjat menumpang truk gula kelapa yang disopiri Pardi. Akhirnya Lasi dan Kanjat pulang ke desa kelahirannya dan hidup bersama di Karangsoga.
54
55
BAB III UNSUR INTERN DAN EKSTERN NOVEL “BELANTIK” 3. 1. Biografi Ahmad Thohari Ahmad Tohari lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas (Jawa Tengah), 13 Juni 1948. Pendidikan terakhhirnya adalah tamat SMA di Purwokerto (1966) dan pernah bekerja di majalah Kelurga dan Amanah. Ia pun pernah mengikuti International Writing Program di Lowa City, Amerika Serikat (1990) dan pada tahun 1995 menerima hadiah Sastra ASEAN. Karyanya: Kubah (1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jantera Bianglala (1986), Di Kaki Bukit Cibalak (1986), Senyum Karyamin (1989), Bekisar Merah (1993), dan Lingkar Tanah Lingkar Air (1995). Karya-karya Ahmad Tohari bisa dikatakan sangat erat dengan nilainilai agamis, karena menurutnya sastra dan agama adalah wujud pertanggungjawaban terhadap peradaban. Agama menggunakan kitab suci, sedangkan sastra merupakan karya akal manusia. Ahmad Tohari percaya dan bahkan yakin bahwa karya sastra merupakan pilihan untuk berdakwah atau mencerahkan batin manusia agar senantiasa mau membaca ayat-ayat Tuhan. Dengan amenagrang ituklah Ahmad Tohari berharap ikut serta membangun moral masyarakat yang beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi dan menakut-nakuti yang lemah. Bagi Ahmad Tohari, Tuhan harus dipahami dengan membaca simbolsimbol-Nya yang tampak pada mereka yang terpinggirkan, yang menderita, yang sakit secara sosial, politik, dan pendidikan. Sementara itu dapat dikatakan bahwa kepengarangan Ahmad Tohari berangkat dari kesadaran yang kukuh untuk memanfaatkan karya sastra sebagai peningkatan masyarakat agar semakin beradab. Oleh karena itu, hampir seluruh karyanya berbicara tentang nasib manusia yang menderita. Secara garis besar, memang tampaklah bahwa karya-karya Ahmad Tohari berkisah tentang penderitaan, keterpinggiran dan kenelangsaan.
56
3.2. Deskripsi Novel Novel “Belantik Karya Ahmad Tohari” tampil dalam bentuk buku dengan ukuran panjang 21 cm, lebar 14, 08 cm, tebal 0,8 cm. Buku ini berisi 142 hlm. Halaman 1 sampai 4 memuat tulisan judul, undang-undang Hak cipta, cover dalam dan ucapan terimakasih serta terbitan buku tanpa pengantar. Cerita dari novel ini langsung dimulai dari halaman 5 dan berakhir pada halaman 142, tanpa disertai biografi penulis. Mengenai cover luar dari Belantik tampil dengan cover lukisan seorang wanita cantik, rambut terurai dan dihadang seorang laki-laki tua serta di sisi depan tampak seorang perempuan separuh baya dengan muka bulat, berambut kriting dan dandanan menor sedang tersenyum ceria. Ilustrasi ini memberikan gambaran kepada pembaca mengenai sosok seorang wanita cantik yang selalu ketakutan dan berada dalam ketidaberdayaan karena dominasi seorang laki-laki. Sedangkan tulisan Belantik ditulis dengan huruf tegak berwarna putih dengan gaya yang formal. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendukung ilustrasi cerita sehingga tulisan ini dapat menjadi cover of interest bagi pembaca. Adapun kombinasi warna keseluruhan cover terdiri dari warna merah marun, hijau, orange, kuning, biru dan putih yang menjadi warna dasar judul, serta hitam warna dari pengarang. 3. 3. kritik intern terhadap novel “Belantik” karya Ahmad Tohari 3.3.1 Tema Pada umumnya, tema sebuah karya sastra tidak dikemukakan secara jelas (eksplisit) baik dalam bentuk kata maupun kalimat. Tetapi kebanyakan tema disampaikan secara tidak langsung (implisit) dan menyusupi keseluruhan cerita. Tema dalam sebuah karya sastra tidak disampaikan begitu saja akan tetapi disampaikan melalui sebuah jalinan cerita.Kita hanya akan menemukan tema sebuah cerita setelah kita membaca dan menafsirkannya.
57
Tema pokok dari novel Belantik adalah nasib seorang wanita cantik yang tidak berdaya akibat ulah mucikari yang ingin memanfaatkan kecantikannya demi uang. Pengarang mengemukakan tema tersebut melalui tokoh utama yaitu Lasi. Lasi, gadis cantik, yang berasal dari desa Karangsongo pada mulanya adalah seorang janda yang ingin melepaskan diri dari permasalahan ekonomi, kemudian ia pergi ke Jakarta dan jatuh di tangan mucikari jelas atas Bu Lanting. Bu Lanting kemudian mempertemukan Lasi dengan Pak Handarbeni, seorang tokoh politik terkenal dan kaya raya. Namun ketidakberdayaannya kemudian Lasi diserahkan lagi ke Pak Bambung. Peristiwa itu menyadarkan Lasi betapa terkoyak martabatnya sebagai permpuan, tetapi terlanjur sulit mengatasinya. Dalam kondisi batin yang limbung itulah Lasi meninggalkan rumahnya tanpa sopir pribadi dan tanpa rencana pula dengan bus umum menuju Karangsongo. Di sanalah Lasi sempat mengadu kepada Eyang Mus (seorang tokoh agama di Karangsongo) tentang kerumitan masalahannya. Sementara itu Eyang Mus mengaku tidak dapat berbuat banyak, namun kemudian Eyang Mus berhasil meyakinkan pemuda Kanjat untuk membuktikan kemampuannya mengatasi masalah tersebut. 3.3.2 Amanat karya sastra selain berfungsi sebagai hiburan bagi pembacanya, juga berfungsi sebagai sarana pendidikan. Degan kata lain’pengarang selain inginmenghibur pembaca (penikmat) juga inign
mengajari
pembaca.Ajaran yang ingin disampaikan pengarang itu dinamakan amanat.Jadi amanat adalah unsur pendidikan, terutama pendidikan moral, yam\ng ingin disampaikan oleh pengarang pada pembaca lewat karya sastra yang ditulisnya. Unsur pendidikan ini tentu saja tidak disampaikan secara langsung. Pembaca karya sastra baru dapat mengetahui unsur pendidikannya setelah membaca seluruhnya.
58
Dalam novel belantik ini amanat atau pesan yang disampaikan adalah
nilai-nilai
moral,
kejujuran,
kebenaran,dan
kasih
sayang.Disamping itu belantik juga mengajak pembaca untuktetap bersimpati kepa mereka yang jujur,lurus, benar ,tetapi mungkln juga lemah dan terkalahkan.Hal ini tampak tampak dari bagaimana penulis menceritakan tokoh utama lagi yang tetap sopan dan rendah hati walaupan ia bergelimang harta.Gambaran itu terlihat ketika ia pergi tanpa sopir pribadi dan berjalan kaki di lorng-lorong untuk mencari rumah sopir pribadinya.Gmbaran lai seperti ketika lagi menangis karena ketidakberdayaannya menghadapi Bu lanting,pak Handarbeni dan pak Bambung. 3.33 Penokohan Peristiwa dalam karua fiksi seperti halnya perisatiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu.Pelaku yang mengemban peristiwa dan cerita fiksi sehingga peristiwa itu mmpu menjalin suatu cerita disebuit dengan tpkoh.Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan.5Dalam menentukan siapa tokoh utama dan siapa tokoh tambahan pembaca dapat melihat keseringan pementasanya dalam suatu cerita. Berdasarkan pedoman tersebut tidakalah salah apabila kemudian karakter “lasi” disebutkan sebagai tokoh utama, karena kaakter lsilah yang paling dominan dan mewarnai perjalanan cerita dari awal hingga akhir. Dalam Novel ini tokoh “lasi” digambarkan seorang janda muda yang catik,yang berasal dari desa karang soga. Lasi terpaksa mengadu nasib kejakarta karena ingin lepas dari himpitan ekonomi.Disamping itu lasi mempunyai karakter rendah hati dan tidak sombong . Selain lasi ebagai tokoh utama,ada tokoh pendamping dalam novel ini.Bu lanting misalnya,dalam novel ini Bu lanting merupakan eorang mutikari kelas atas,yang selalu menghantui kehidupan lasi dan berusaha memanfaatkan
5
Aminuddin,pengantar apresiasi karya sastra,Sinar Baru Algensirdo,Bndunjg ,2004.hlm 79.
59
kecantikan lasi untuk dipersembahkan kepada laki-laki hidung belang. Bu lanting adalah sosok yang pendengki, pemboros, dan licik. Pak Handarbeni dalam Novel ini adalah suami lasi yang kaya raya.Ia adalah seorang usahawan dan tokoh politik kelas atas. Bambung juga mewarnai cerita ini, Bambung adalah juga seorang usahawan dan tokoh politik atas negeri ini ;seperti halnya Handarbeni, Bambung juga menginginkan lasi untuk bisa menjadi istri simpananya. Sedangkan Kanjat, kekasih lama Lasi, merupakan seorang pemuda yang mempunyai sifat baik hati, tampan dan taat beragama. Serta seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di lingkungannya. Eyag Mus adalah tetangga Lasi di Karangsanga. Ia adalah seorang tokoh agama yang selalu menangkan hati. Bu Wirjati dan Pak Mukri adalah orang tua kandung Lasi yang bijaksana. Selain berbagai karakter di atas adalah beberapa tokoh yang mewarnai dunia novel ini, misalnya Pak Min, supir pribadi Handarbeni, Oning sekretasris pribadi Handarbeni. Ia adalah gadis manis yang lucu dan masih kebocah-bocahan. Ada juga mayor Brangas, seorang polisi yang menjemput Lasi, ia adalah suruan dari Lanting dan Bambung. Disamping itu juga ada Pardi, Supir truk keluarga Kanjat. Ia adalah yang mengantar Kanjat bolak-balik Karangsanga-Jakarta untuk mencari Lasi. 3.3.4 Alur Merupakan
rangkaian peristiwa yang sambung-menyambung dalam
sebuah cerita berdasarkan logika sebab akibat. Dalam sebuah cerita terdapat berbagai peristiwa-peristiwa. Akan tetapi, peristiwa-peristiwa dalam ceita itu tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya. Rangkaian peristiwa itulah yang membentuk plot atau alur ceita. Jadi, plot itu memperlihatkan bagaimana cerita berjalan. Alur dalam novel “Belantik” karya Ahmad Tohari adalah sebagai berikut: 3.
Hal 5-12 : pak handarbeni resah Lasi bekisar merahnya dipinjam oleh Bambung kemudian Bu Lanting seorang Mucikari menyarankan agar merelakan Lasi dipinjam oleh orang lain.
60
4.
hal 13-38
: Lasi diajak ke Singapura oleh Bu Lanting untuk
menemani pacarnya yaitu Bambung. Akan tetapi Lasi diminta untuk menemani Pak Bambung di sebuah perjamuan mewah di Singapura oleh Bu Lanting. 5.
hal 39-54
: Bu Lanting menjebak Lasi agar tetap menemani Pak
Bambung. Ia sengaja pindah ke hotel lain dengan alasan kencan dengan bule. Lasi sempat sekamar dengan Pak Bambung namun itu hanya sebatas menemani minum dan ngobrol. Keesokannya pak Bambung harus kembali ke Jakarta karena ada urusan mendadak. 6.
hal 57-60
: sesampai di Jakarta Lasi mendapat telepon dari Bu
Lanting, mengapa dia tidak memberikan apa-apa kepada pak Bambung. Bu Lanting juga memberitahukan bahwa ia sudah cerai dengan Handarbeni. 7.
hal-61-69
: begitu mendengar sudah dicerai oleh Handarbei, Lasi
bingung, terkejut kini dia milik Pak Bambung. Ia pergi naik taksi menuju rumah Pak Min, hamya minta tolong Mak Min untuk memijatnya kemudian pulang naik bus kota. 8.
hal 70-74
: Bus kota berhenti di terminal kemudian Lasi memilih bus
yang menuju ke desa Karangsanga. Ia pulang menemui keluarganya dan berharap bertemu Kanjat teman. 9.
hal 75- 85
: eyang Mus menceritakan kedatangan Lasi yang sedang
banyak masalah. Beliau meminta Kanjat menemuinya, Kanjat bersedia di rumah Lasi bercerita tentang kehidupannya di Jakarta. Malah Kanjat berniat untuk mengawini Lasi. Namun Lasi menolak dengan alasan di janda dua kali sedang Kanjat masih perjaka. 10.
hal 86-94
:
Lasi
memutuskan
untuk
bersembunyi
di
rumah
pamannaya di Sulawesi Tengah. Diantar oleh Kanjat, namun sebelum melakukan perjalanan jauh ke sulawesi dinikahkan terlebih dahulu. 11.
hal 95-98
: Lasi menginap di Surabaya karena kapal laut yang akan ke
Sulawesi akan berangkat dua hari lagi. Mereka terlibat percakapan yang serius tapi penuh kasih sayang.
61
12.
hal 98-100
: tiba-tiba Bu Lanting dan Mayor Brangas datang ke
penginapan tersebut dan memaksa lasi untuk ikut bersama mereka. sementara Kanjat tak kuasa menahannya, karena mereka terlibat percekcokan hebat. 13.
hal 102-112
: perjalanan dari Surabaya ke Jakarta Lasi terius menangis,
sesampainya di rumah ia masih saja ngambek hingga kurang lebih satu bulan lamanya. Akan tetapi kemudian ia tersadar bahwa dirinya datang bulan dan ia memastikan kalau dirinya hamil. Sementara Bu Lanting terus saja menggodanya, namun ia bertekad untuk menjaga kesucian kandungannya. Kemudian Lasi memberitauhukan kabar gembira tersebut kepada Kanjat lewat telepon. 14.
hal 112-127
: Bambung mengunjungi Lasi, tetapi dengan sikap ramah
dan sopan Lasi menyambutnya. Tidak lama kemudian Lasi memberitahukan perihal kehamilannya. Antara percaya dan tidak Bambung pergi meninggalkan Lasi dan segera menelepon Bu Lanting. Mencurahkan kemarahannya kepada Bu Lanting. 15.
hal 121-127
: Kanjat memberitahukan kepada Bu Wiryati, Eyang Mus
dan Mukri perihal Lasi. Kanjat tidak berbuat apa-apa, ia hanya pasrah dberdoa menunggu saat bersama tiba. 16.
hal 128-132
: radio menyiarkan perihal pergulatan para elit yang sedang
berlangsung, disamping itu Kanjat juga telibat pembicaraan serius tentang Bambung dengan teman-teman di kantornya. Bambung diperiksa oleh kepolisian karena suatu hal. Dan Kanjat memutuskan untuk menyusul Lasi ke Jakarta, kemudian ia mengajak Pardi, supir truknya untuk menemani dalam pencarian itu. 17.
hal 133-138
: pardi dan Kanjat sampai di Jakarta dan akhirnya ia
menemukan ciri-ciri rumah yang di huni oleh Lasi. Melalui pembicaraan panjang lebar dengan satpam maka akhirnya Kanjat mengetahui kebradaan lasi dan segera menyusul Lasi di pengadilan. Lasi dan kanjat bertemu di pengadilan tersebut dan Kanjat berjanji akan mengusahakan kebebasannya. 18.
hal 139-142
: lasi dapat dibebaskan oleh seorang pengacara, teman
kanjat. Dan segera mereka memutuskan untuk kembali ke Karangsanga.
62
Meskipun Bu Lanting sempat menghadang. Ajakan Bu Lanting tidak digubris mereka. mereka segera melanjutkan perjalanan ke Karangsanga dengan suasana riang dan mengharukan dengan truk pengangkut gula. 3.3.5 Latar Peristiwa yang dialami tokoh-tokohh cerita terjadi di tempat tertentu, waktu tertentu dan dalam suasana tertentu pula. Tempat, waktu, dan suasana terjaadinya peristiwa dalam cerita dinamakan setting atau latar. Jadi, setting mencakup tiga hal, yaitu setting tempat, setting waktu dan setting suasana.6 1. Setting tempat Setting tempat adalah tempat peristiwa itu terjadi. Novel Belantik ini menggambarkan setting tempat di Karangsanga, Jakarta, dan Singapura. Misalnya, hal ini terdapat dalam ungkapan: “Menunggu
kedatangan
Bu
Lanting
yang
sudah
menghubunginya lewat telepon tadi siang, Lasi duduk tak tenang di beranda rumahnya yang megah di Slipi, Jakarta Barat. Kunjungan Bu Lanting menyenangkan hati Lasi karena perempuan gemuk itu satusatunya teman akrabnya.” 2. Setting waktu Setting waktu adalah kapan peristiwa itu terjadi. Dalam novel ini setting waktu adalah pagi, sore dan malam hari. Contoh misalnya: “Jam setengah lima pagi bus itu mencapai ruas jalan raya yang membelah desa Karangsanga pada sebuah mulut jalan desa bus itu berhenti dan Lasi turun. Berdiri sejenak untuk memulihkan kesadaran, ia melangkah masuk kampung. Sepi, udara terasa dingin. Langit timur mulai temaram. Lasi turun berjalan dalam keremangan kabut, berteman suara langkah sendiri. 3. Setting Suasana Peristiwa itu terjadi dalam suasana apa? Suasana ada 2 macam, yaitu suasana lahir dan batin. Dalam novel ini, suasana juga melingkupi lahir dan batin, misalnya terapat dalam ungkapan: “Rasa haru dan rasa rindu muncul bersama hati Lasi. Air matanya menitik. Dadanya menyesak. Tetapi ia terus melangkah. Ada cericit tikus busuk di 6
Op.cit., Arul Wijayanto, hlm. 82.
63
selokan tepi jalan. Atau keletak suara tetes embun yang jatuh menimpa sampah daun. Dan suasana menjelang pagi yang tenang dan terasa akrab membuatnya merasa sepenuhnya kembali di rengkuh oleh kesejukan tanah kelahiran.” 3.3.6 Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan. Dengan cara yang khas itu kalimat-kalimat yang dihasilkannya menjadi hidup. Karena itu, gaya bahasa dapat menimbulkan perasaan tertentu, dapat menimbulkan reaksi tertentu dan dapat menimbulkan tanggapan pikiran pembaca. Semuanya itu menyebabkan karya sastra menjadi indah dan bernilai seni. 7 Bahasa yang digunakan novel ni terdiri dari percampuran bahasa Indonesia, Ingris, Arab dan Jawa. Meskipun bahasa Indonesia mendominasi dalam novel ini, akan tetapi terdapat sisipan bahasa Inggris yang dengan mudah dipahami oleh pembaca. Seperti yang digunakan novel ini Seperti pada halaman 26 dan 28: “Dalam pesawat menuju Singapura, gairah Bu Lanting terlihat pada semangat cas-cis-cus-nya yang tak bisa disela. Ngomong dan ngomong terus. Pelayanan yang ditawarkan pramugari ditolaknya dengan “No thank you. I meet notting. Sementara Lasi hanya diam. Kadang tersenyum demi mengenakkan Bu lanting.8 Bahasa Arab dalam novel ini sifatnya lebih kepada ungkapan seperti salam (assalamu’ alaikum) puji-pujiaan (al-hamdulilaah) walimah, hasaballah (haasbunallah wa nikmal wakil). Sedangkan bahasa jawa banyak sekali dipergunakan baik dalam percakapan-percakapan, ataupun dalam tembang-tembang Jawa atau nyanyian-nyanyian jawa. Misalnya terdapat dalam ungkapan-ungkapan sebagai berikut: “Pak, saya hanya bisa menirukan nasehat atau wewarah yang dulu disampaikan almarhum ayah. Yah, sekedar wewarah seorang petani tua tidak pernah mengunyah genting sekolah.” “Wewarah apa? Dulu aayah sering bilang, agar bisa hidup tenang, orang harus selalu eling dan nrima ing pandum, tidak ngumbar kanepson atau mengumbar keinginan.” Atau dalam nyanyian- nyanyian jawa, misalnya: 7 8
Ibid. hlm. 84. Ahmad Tohari, Belantik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 26.
64
Bumine goyang-bumine goyang arane lindu Wong ora sembahyang, wong ora sembahyang bakale wudhu Dadi wong urip dari wong urip sing ati-ati Aja nuruti nuruti, aja nuruti senenging ati... 3.4 Sinopsis Novel “Belantik” Novel belantik diawali dengan kisah Pak Handarbeni yang resah setelah didesak oleh Bu Lanting yang mengabarkan keinginannya Pak bambung meminjam Lasi. Lelaki kaya raya itu sadar bahwa dirinya tidak mampu lagi membanggakan kejantanannya, sampai-sampai memberi kesempatan kepada Lasi untuk memperolehnya dari lelaki manapun. Akan tetapi, wibawanya terasa goyah ketika ada lelaki lain di dekatnya yang benarbenar menginginkan Lasi. Sementara itu Lasi yang belum tercerabut dari latar tradisi desa Karangsanga ternyata tidak memahami makna pinjammeminjam itu dan pada akhirnya tidak sanggup melakukan penyimpangan moral itu walaupun sudah terjepit dalam lingkungan sekelompok orang yang justru menikmatinya, seperti Pak Han, Bu Lanting dan Pak Bambung. Ternyata Lasi masih mampu mempertahankan harga dirinya sebagai istri Pak Handarbeni meskipun bersedia mendampingi Pak Bambung dalam sebuah perjalanan mewah di Singapura dan bahkan sempat sekamar dengan lelaki-lelaki itu karena permainan Bu Lanting yang memang seorang mucikari. Beruntung pula kesempatan berada di Singapura itu amat terbatas karena secara mendadak Pak bambung harus kembali ke Jakarta. Tidak lama kemudian, Lasi mereguk pengalaman baru yang sulit dipahaminya, yaitu diceraikan oleh Pak Han dan diserahkan kepada Pak bambung. Peristiwa itu menyadarkan Lasi betapa terkoyak martabatnya sebagai permpuan, tetapi terlanjur sulit mengatasinya. Dalam kondisi batin yang limbung itulah Lasi melangkah meninggalkan rumahnya tanpa sopir pribadi dan tanpa rencana pula dengan bus umum sampailah ke desa Karangsanga di saat fajar merekah. Di sanalah Lasi sempat mengadu atau sesambat kepada Eyang Mus tentang kerumitan masalah dirinmya sebagai seorang janda yang baru saja
65
dicerai Pak Handarbeni dan dengan mudah diserahkan atau dipercayakan kepada Pak Bambung yang bernafsu menikahinya. Di satu sisi, tetap menyadari martabatnya sebagai seorang perempuan, dan disisi lain lagi merasa ketakutan melepasakan diri dari “kekuasaan” Bu Lanting dan Pak Bambung yang telah memberinya kekayaan berlimpah. Sementara itu Eyang Mus berhasil meyakinkan pemuda Kanjat untuk membuktikan kemampuannya mengatasi masalah tersebut. Salah sstu kemungkinan itu adalah pergi bersembunyi ke paman Ngalwi di daerah transmigrasi Sulawesi Selatan. Pada mulanya, Kanjat pun kebingungan mencari-cari cara terbaik dan pada akhirnya menyetujui usulan Lasi yang ingin bersembunyi ke paman Ngalwi di Sulawesi Selatan. Ketika Kanjat menyampaikan rencana itu ke hadapan Eyang Mus, berkembang persoalan teknis kepergian mereka yang saat itu bukanlah pasangan suami istri. Alasannya adalah nilai kepantasan yang masiuh dipegang dan berlaku di Karangsanga berkaitan dengan
perjalanan dengan
perjalanan jauh sepasanga laki
perempuan yang bukan atau belum sah sebagai suami-istri. Alasan itu hampir menyurutkan semangat Kanjat, tetapi kemudian justru merupakan landasan terbaik bagi Eyang Mus dan orang-orang terdekat untuk menikahkan Lasi dengan Kanjat. Persoalan
ternyata
belum
selesai
disini,
terbukti
dengan
munculnya ulah Bu Lanting yang merasa dilecehkan oleh kepergian Lasi. Dengan bantuan aparat kepolisian, mereka berhasil menyusul Lasi dan Kanjat di Surabaya dan dengan paksa memboyong ke Jakarta. Kanjat pun tidak mampu mengatasi masalah seketika karena berhadapan dengan polisi dan kekuasaan. Di akhir ceita dikisahkan bahwa Lasi berada di salah satu rumah mewah Pak bambung, kehamilannya yang makin besar, keselamatan janin dari kemungkinan nafsu Pak Bambung, dan perkembangan politik tingkat tinggi di Jakarta yang menggiring Pak Bambung dan kelompoknya berurusan kejaksaan agung. Sementara itu, Kanjat yang menyadsari
66
keterbatasan dirinya harus bersabar hungga beritta-beita koran, siaran radio, dan obroloan orang seputar kehancuran prestasi kelompok bambung di kancah politik nasional memang membesarkan semangat kanjat yang pada akhirnya bertekad mencari Lasi di Jakarta. Padahal sebenarnya Kanjat sendiri belum mengetahui tempat tinggal Lasi, kecuali dikatakan sebuah sebuah rumah mewah dengan ciri-ciri tertentu di sekitar hotel Indonesia. Namun, tekad Kanjat semakin mantap setelah menyimak beitaberita koran terbitan jakarta yang mengabarkan Bambung dan beberapa orang dekatnya sudah ditahan di kejaksaan agung. Dengan bantuan sopir Pardi yang suah lama bekerj apada keluarga Kanjat, berangkatlah lelaki pahlawan desa Karangsanga itu ke Jakarta. Ternyata tidak mudah menemukan Lasi di celah belantara Jakarta yang bagi Kanjat sendiri adalah wilayah asing. Untunglah pengalaman Pardi sebagai sopir truk gula kelapa yang sudah sekian tahun mondar-mandir Karangsanga-Jakarta mrp modal kerja yang sangat menguntunkan. Mulamula mereka hanya menemukan rumah Pak Bambung yang diperkirakan dihuni Lasi, tetapi nyatanya sepi. Tidak lama ditemukan, mereka mendapatkan informasi keberadaan Lasi dirumah tahanan kejaksaan sebagai calon saksi, dan setelah lima belas hari mengurus proses administrasi hukumnya maka berhasillah Kanjt membebaskan perempuan itu dari status tahanan sementara dan mengajak pulang ke Karangsanga. Perjalanan kembali ke karangsanga tidak ditempuh Lasi dengan sedan mewah dan sopir pribadi Pak Min seperti ketika masih menjadi istri handarbeni, tidak juga dengan
bus umum seperti ketika nekat
meninggalkan rumah mewahnya setelah diceraiakn suaminya, tetapi ikhlas bersama kanjat menumpang truk gula kelapa yang disopiri Pardi.