Bakti Sutopo, Beberapa Jejak Kelisanan dalam...70
BEBERAPA JEJAK KELISANAN DALAM NOVEL DI KAKI BUKIT CIBALAK KARYA AHMAD TOHARI: PERSPEKTIF WALTER J. ONG Bakti Sutopo E-mail:
[email protected] Abstrak: The aim of this study is to uncover the existence of the oral elements in the novel Di Kaki Bukit Cibalak by Ahmad Tohari. It is necessary to construct the convention of oral theories that propounded by Walter J. Ong. This convention shows that there are several oral elements in the novel. The oral element in the novel Di Kaki Bukit Cibalak there are agonistic, homeostatic, conservative, copious, episodic, additive, and moral teachings. Key words: novel, oral characteristic, and orality impressions. Kemampuan berpikirannya manusia berdampak pada perkembangan budaya manusia, yakni budayanya selalu dinamis. Selain itu, perkembangan budaya manusia juga dipengaruhi oleh semakin berkembangnya kebutuhan mereka yang harus dipenuhi. Perkembangan kebudayaan manusia terdiri atas tiga tahap, yakni tahap mitis, tahap ontologi, dan tahap fungsional (Paursen, 1985: 18). Ketiga tahap tersebut tidak terpisah sama sekali, tetapi di antara tahap-tahap itu masih terdapat unsur-unsur tahap yang lain. Khusus terkait dengan sastra, sastra merupakan salah satu unsur yang terdapat dalam kebudayaan manusia. Dengan demikian, perkembangan sastra juga seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia. Fenomena nyata dalam sastra yang terkait erat dengan perkembangan kebudayaan manusia adalah ketika terjadi pergeseran dari tradisi lisan ke tulis. Secara umum telah dipahami bahwa tradisi lisan merupakan tradisi yang mendahului tradisi tulis. Tradisi tulis, yang berkembang di berikutnya, dianggap tradisi yang lebih maju daripada tradisi lisan. Perkembangan pesat keberaksaraan tidak serta merta menghapus aspek-aspek yang terdapat dalam kelisanan. Seiring dengan kondisi yang demikian, dalam perkembangan kesastraan dapat dikatakan bahwa dalam
sastra tulis modern pun masih dapat ditemukan sisa-sisa kelisanan. Beberapa penelitian terhadap sastra telah membuktikan terdapat adanya unsur kelisanan dalam sastra tulis, di antaranya yang dilakukan oleh Rusyana dan Quin. Ada sejumlah materi folkloristik dalam novel-novel Sunda. Materi tersebut berupa unsur naratif lama (tokoh dan alur mitos, legenda, dongeng), kisah lama (Aji Saka, Pangeran Gotama), uga (ramalan kejadian yang akan datang), cacandran (deskripsi tempat), totonden (kejadian alam yang mempengaruhi kehidupan manusia), dan paribahasa (peribahasa) (Rusyana dalam Ras & Robson [ed.], 1991: 115-133). Hampir sama dengan pernyataan Rusyana, Quin (1992: 42-43) yang meneliti poetika novel Jawa, menemukan adanya pengaruh beberapa unsur kelisanan dalam novel Jawa, termasuk gaya bahasanya. Pada rangkaian perkembangan kesusastraan Indonesia modern, unsur kelisanan juga dapat ditemukan dalam novel-novel, terutama novel yang ditulis oleh pengarang yang kental dengan latar budaya etnis asalnya, serta dalam novel yang erat dengan kehidupan sosiologis masyarakat yang melahirkan novel tersebut. Dalam konteks ini, terhadap beberapa karya Ahmad Tohari dapat dimunculkan hipotesis bahwa dalam beberapa karyanya terdapat jejak unsur
Bakti Sutopo, Beberapa Jejak Kelisanan dalam...71
kelisanan yang dapat ditemukan. Hipotesis tersebut dilandasi alasan utama bahwa karya-karya Ahmad Tohari sebagian besar berkaitan dengan permasalahan kehidupan sehari-hari, permasalahan kehidupan yang akrab dengan manusia. Selain itu, Ahmad Tohari sering menonjolkan gaya tutur dalam karya-karyanya. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Yudiono (2003: 8), yakni kehidupan orang-orang desa dengan persoalan masing-masing tampak menonjol dalam karya Ahmad Tohari. Salah satu novel yang ditulis oleh Ahmad Tohari adala Di Kaki Bukit Cibalak (DKBC). Novel DKBC merupakan novel pertama Ahmad Tohari yang pernah terbit sebagai cerita bersambung di harian Kompas pada tahun 1979, kemudian dibukukan oleh Pustaka Jaya tahun 1986. Setelah itu, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta menerbitkannya tahun 1994 dan tahun 2001 mengalami cetak ulang. Ditinjau dari segi judul, DKBC sudah dapat dipastikan sebagai novel yang mengisyaratkan kehidupan latar alam pedesaan yang tidak asing lagi di mata kebanyakan pembaca. Penggunaan Bukit Cibalak mempunyai perbandingan lurus dengan tempat-tempat yang secara riil dapat ditemukan dalam peta, di antaranya, Gunung Ciremai, Ciliwung, Cintandui, Cilacap dan berbagai nama tempat di wilayah Jawa Barat atau Jawa Tengah bagian barat. Dapat diterima bahwa Bukit Cibalak merupakan salah satu tempat yang berada di daerah Banyumas, tempat tinggal penulis. Berdasarkan hal-hal tersebut, DKBC dapat juga dipahami sebagai novel yang kontekstual, merepresentasikan persoalan kehidupan manusia, serta isinya mudah diterima. DKBC bukan hanya dari segi tema dan latar cerita yang menarik, melainkan
demikian juga dengan cara penceritaannya. DKBC dituturkan dengan gaya khas kepengarangan Ahmad Tohari, yakni dengan bahasa yang sudah familiar di kalangan pembaca, terutama pembaca yang berlatarbelakang budaya Jawa. Selain itu, struktur bahasa dan alur pemikiran dalam DKBC cenderung sederhana, namun unit-unit tertentu dijelaskan secara detail oleh pengarang, sehingga pembaca dapat secara jelas mendapatkan informasi, tanpa ada ruang untuk berimajinasi terhadap acuan yang lain. Alasan-alasan itulah yang mendasari DKBC memungkinkan untuk diteliti unsur-unsur kelisanannya. Masih adanya unsur-unsur kelisanan dalam karya sastra modern memang dimungkinkan karena perkembangan budaya manusia pada tahap tertentu masih terdapat unsur tahap perkembangan yang lain atau sebelumnya. Kelisanan dalam novel modern membuktikan adanya keterkaitan antara kelisanan dan keberaksaraan. Masalah yang muncul ketika melihat kelisanan dalam novel yang berada dalam tradisi keberaksaraan adalah tidak semua unsur kelisanan dapat ditemukan dalam novel. Dengan kata lain, tidak semua novel mendapat pengaruh unsur kelisanan. Kelisanan yang terdapat dalam novel modern dapat dikatakan sebagai jejakjejak peninggalan tradisi kelisanan, yang dapat dianggap sebagai sebuah tradisi yang mendahului tradisi keberaksaraan. Berhubungan dengan adanya unsur kelisanan dalam DKBC yang menjadi masalah penelitian ini, sebagaimana diuraikan di atas maka rumusan masalah yang muncul adalah jenis-jenis unsur kelisanan dalam DKBC dan fungsi unsur kelisanan tersebut dalam DKBC. Perspektif tentang kelisanan yang dikemukakan oleh Walter J. Oong merupakan perspektif yang digunakan
Bakti Sutopo, Beberapa Jejak Kelisanan dalam...72
untuk mengungkap masalah-masalah itu, karena perspektif tersebut dapat secara jelas mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan kelisanan. Adapun judul penelitian ini adalah “Beberapa Jejak Kelisanan dalam Novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari: Perspektif Walter J. Oong”. METODE Aspek kelisanan yang dikemukakan oleh Walter J. Ong dapat dikatakan pendekatan yang tidak hanya berorientasi pada struktur otonom statis novel, melainkan juga menyikapi secara dinamis dalam kaitannya dengan perspektif historisnya serta kaitannya dengan latar belakang kultur sosial. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan konsep-konsep W.J Oong terdapat kaitan dengan konsep-konsep strukturalisme dinamik. Acuan aspek naratif adalah unsur-unsur kelisanan, sedangkan sosialnya adalah tradisi lisan masyarakat tradisional Indonesia. Karena penelitian ini memadukan dua aspek, yakni struktur sastra dan kultur sosial, maka penilitian ini menggunakan ancangan penelitian kualitatif yang dielaborasikan dengan metode strukturalisme dinamik. Konsep-konsep kelisanan yang digunakan pada penelitian ini adalah konsep-konsep yang diungkapkan oleh Ong (1989) dalam buku Orality and Literacy: The Technologizing of the word. Ong (1989: 31) memaparkan secara panjang-lebar tentang kelisanan dan berupaya mengeneralisasikan sesuatu yang disebut dengan psikodinamika budaya lisan primer atau the psychodynamics of primary oral cultures. Terdapat tiga komponen besar yang dibahas oleh Ong yang berkenaan dengan kelisanan, yakni pemikiran lisan (oral thought), ekspresi lisan (oral expression), dan naratif lisan (oral narrative). Dalam
kelisanan yang produknya bermediumkan verbal, ketiga hal tersebut merupakan ciriciri yang berulang-ulang. Ditegaskan oleh Ong (1989) untuk mempelajari produk lisan primer yang menggunakan medium verbal, pertama kali dengan memperhatikan bunyi yang alami itu sendiri sebagai bunyi. Bahasa dalam kelisanan bersifat segera lenyap (evanescent) dan tidak kekal (perishable). Dua hal tersebut menuntut masyarakat lisan untuk mengatasi produk budayanya agar tidak segera lenyap dan hilang dari ingatan. Pemikiran lisan yang dihasilkan harus bersifat mudah diingat mengesankan atau luar biasa (memorable thought), ekspresi lisan yang dihasilkan harus mudah diingat kembali (nomonic expressions), dan wacana lisan yang dapat menampung segala keperluan kehidupan masyarakat adalah narrtive genre. Pemikiran Lisan, Ekspresi Lisan dan Naratif Lisan: Beberapa Karakteristiknya Seperti telah disebutkan di atas bahwa terdapat tiga komponen penting dalam kelisanan, yakni pemikiran lisan, ekspresi lisan, dan naratif lisan. Masingmasing ketiga hal tersebut mempunyai karakteristik yang stereotipe. Pertama, Pemikiran lisan. Pemikiran lisan bersifat kontekstual konservatif, agonistik, dan homeostatis. Kontekstual diwujudkan dengan mengacu pada dunia riil kehidupan masyarakat, persoalan manusia dalam kehidupan sehari-hari, “...oral cultures must conceptualize and verbalize all their knowledge with more or less close reference to human lifeworld, assimilitating the alien, objective world to the more immediate, familiar interaction of human beings” (Ong, 1989: 42). Konservatif pada masyarakat lisan sangat diperlukan karena berfungsi untuk mempertahankan apa yang dihasilkan dari timbulnya eksperimentasi intelektual, “the
Bakti Sutopo, Beberapa Jejak Kelisanan dalam...73
need esthablishes a highly traditionalist or conservative set mind that with good reason inhibits intellectual experimentation”(Ong, 1989: 41). Agonistik dalam masyarakat lisan diwujudkan dengan adanya hubungan pertikaian atau persaingan, misalnya penggambaran sifat atau identitas secara polaristik: baik >< buruk, pahlawan >< penjahat, pengabdi >< pengkhianat, “Writing foster abstractions that disengage knowledge from the arena where human being struggle with one another” (Ong, 1989: 44). Homeostatis dalam masyarakat lisan diwujudkan dengan kehidupan yang tenang, seimbang, mencegah terjadinya pertikaian, membuang semua kenangan masa lalu yang tidak relevan dengan masa kini. Kekuatan yang memerintahkan homeostatis adalah menjadikan rasa direfleksikan dengan kondisi kata dalam masyarakat lisan primer. Hal itu terjadi karena masyarakat lisan tidak mempunyai kamus seperti halnya masyarakat tulis. Kata akan mempunyai arti yang relevan saat dipakai. “that is to stay, oral societies live very much in a present which keeps itself in equilibrium or homeostatis by sloughing off memories which no longer have present relevance” (Ong, 1989: 46). Kedua, Ekspresi lisan. Ekspresi pada masyarakat lisan cenderung bertujuan agar mudah diingat kembali. Berangkat dari hal tersebut, ciri-ciri ekspresi lisan masyarakat lisan antara lain: formulaik, aditif, agregatif, dan kopius. Formulaik dilakukan oleh masyarakat lisan dengan maksud agar dapat membantu terbentuknya wacana ritmis sehingga menjadi alat bantu untuk mengingat kembali ekspresi tersebut secara mudah, cepat dan tepat, “formulas help implement rhytmic discourse and also act as mnemonic aids in their own right, as set expressions circulating thourgh the mouths and ears of all” (Ong,
1989: 35). Dalam formula, ide hakiki merupakan kata kunci formula. Formula inti tersebut digunakan secara berulangulang dengan mengalami variasi, sinonim, atau kombinasi. Adapun aditif bermula juga dari pola pikir yang sederhana yang dikemas dalam struktur kalimat yang sederhana juga, “ A fmiliar instance of additive style is the creation naratif....produced in a culture wih still massive oral resedue, keep close in many ways to the additive....(Ong, 1989:37). Gaya aditif sebagai gaya penambah (additive mode), kecenderungan untuk merangkai sejumlah sinonim atau nyaris sinonim untuk memperkuat arti kata yang digunakan (Teeuw, 1994: 16). Selanjutnya, ciri ekspresi lisan agregatif. Agregatif terkait dengan penggunaan formula yang bersifat sintetik untuk meningkatkan daya ingat. Agregatif mengandung kristalisasi sifat atau ciri untuk memudahkan pengingatan kembali, “This characteristic is closely tied to relience on formula to implement memory,... Once a formularry expression has crystallized, it had best be kept intact (Ong, 1989: 38-39). Terakhir, ciri ekspresi lisan kopius atau redundan. Kopius dimaksudkan untuk menjaga kontak dengan audiens sehingga menjadi fungsional jika pembicaraan berulang mengatakan hal yang sama atau ekuivalensi “ redundancy, repitition of the just said, keeps both speaker and hearer surely on the track” (Ong, 1989: 40). Gejala kelebih-lebihan (copiousness) disebabkan oleh kemungkinan menghindari penggunaan anafora (Teeuw, 1994: 18). Ketiga, naratif lisan. Ciri yang menonjol naratif lisan adalah penggunaan alur episodik, tokoh datar, dan mengandung ajaran moral. Alur episodik merupakan penataan insiden atau peristiwa dalam struktur naratif lisan
Bakti Sutopo, Beberapa Jejak Kelisanan dalam...74
untuk mencapai klimaks, berbeda dengan alur naratif modern yang disusun sebagai alur linear klimaks. Alur episodik sesuai dengan cara berpikir masyarakat tradisional yang menghandalkan cara alamiah dalam mengisahkan pengalaman hidup sehari-hari, berupa episode-episode, “If we take the climactic linear plot as the paradigm of plot, the epic has not plot” (Ong, 1989: 144). Tokoh datar dalam naratif lisan berasal dari model penokohan naratif yang hanya menampilkan satu sisi karakter atau satu kualitas psikologis. Sebaliknya, dalam naratif modern ditampilkan tokoh dengan karakter bulat yang mempresentasikan kompleksitas kejiwaan, kompleksitas motivasi dan kompleksitas pertumbuhan internal psikologis tokoh, “We know now that the type „heavy‟ (or „flat‟) character derives orginally from primary oral narrative .....”(Ong, 1989: 151). Terakhir ajaran moral. Ajaran moral dalam naratif lisan diperoleh dari budaya masyarakat lisan yang mempelajari, memiliki, dan mempraktikkan ajaran moral atau etika yang diterima dan dipelajari secara magang, “They learn by apprenticeshiphunting with exprieced hunters, for example-by discipleship, which is a kind of apprenticeship, by listening, by repeating what they hear...”(Ong, 1989: 9). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Unsur Pemikiran Lisan dalam DKBC Agonistik Pengaruh unsur kelisanan yang berupa agonistik dalam DKBC adalah dengan ditemukanya gagasan dualisme. Polarisasi pemikiran pada dualisme merupakan sisa pemkiran masyarakat lisan. Gagasan dualisme dapat ditemukan dalam mitologi atau cerita rakyat tentang
asal-usul dunia dan manusia. Ada alam lahir dan batin, atas dan bawah, matahari dan bumi. Dalam beberapa prasasti ditemukannya lingga dan yoni. Paling menonjol, dualisme dapat dilihat pada cerita wayang. Pada wayang, khususnya yang bersumber dari Mahabarata, terdapat dua pembagian kubu besar , yakni Pandawa dan Kurawa. Umumnya, Pandawa dianggap sebagai lambang kebaikan, sedangkan Kurawa mewakili keburukan. Paparan tersebut membuktikan bahwa pemikiran dualisme merupakan pemikiran khas masyarakat dengan tradisi lisan. Dalam novel DKBC, gagasan dualisme ditunjukkan dengan adanya dua nilai yang berbeda atau bertentangan, baik dan jahat. Pertentangan tersebut memungkinkan terjadinya konflik. Baik dan jahat dalam DKBC dipresentasikan dua tokoh utama, yakni Pak Dirgo dan Pambudi. Polarisasi dualisme antara Pak Dirgo dengan Pambudi tersebut, memiliki implikasi yang luas dalam pengembangan cerita novel DKBC. Pak Dirga adalah lurah desa Tanggir yang mengalahkan Pak Badi saat pemilihan. Dari segi moral, Pak Dirga mempunyai sifat yang buruk. Pak Dirga suka judi, bergonta-ganti istri hingga enam kali. Di samping itu, Pak Dirga suka menilep uang dari lumbung desa, yang berupa simpanan dari warga desa. Terpilihnya Pak Dirgo menjadi kepala desa meresahkan perasaan Pambudi, pemuda 24 tahun yang menjadi pengurus koperasi lumbung desa sejak sebelum Pak Dirgo menjadi lurah Tanggir. Pertentangan sifat antara keduanya dimulai ketika salah satu warga desa yang tidak mampu, Mbok Ralem akan meminjam uang di koperasi untuk berobat ke Yogya tidak diberi ijin oleh Pak Dirga. Pak Dirga beralasan bahwa Mbok Ralem masih mempunyai utang dan jika diberi
Bakti Sutopo, Beberapa Jejak Kelisanan dalam...75
utang lagi, Mbok Ralem tidak akan bisa mengembalikan. Karena Mbok Ralem orang miskin, Pambudi tetap meminta agar Pak Dirgo mengijinkan koperasi memberi pinjaman pada Mbok Ralem. Pambudi mulai kecewa dengan sifat Pak Dirga. Puncaknya, Pak Dirga mengajak Pambudi untuk memanipulasi pembelian pohon kelapa yang terkena proyek jalan di desa Tanggir. Pambudi menolak dan menyatakan keluar dari koperasi desa karena pertentangan sikap dengan Pak Dirga. “Pambudi,” kata Pak Dirga.”Hitung sekarang berapa pinjaman perempuan ini berikut bunganya sekarang.” “Dua puluh tujuh setengah kilo,” jawab Pambudi dengan suara setengah tertahan. “Nah, itu. Utangmu dua tahun yang lalu belum bisa kubayar kembali. Sekarang kau mau pinjam lagi, bagaimana?” (Tohari, 2005: 21). Pertentangan antara Pak Dirga dengan Pambudi terus mengemuka dalam cerita DKBC, terlihat ketika Pak Dirga mengambil Sanis, seorang gadis pujaan Pambudi. Sebelumnya, Pak Dirga juga sempat meminta pertolongan seorang dukun, Eyang Wira, walau usaha itu terbilang gagal. Pertentangan antara Pak Dirga dengan Pambudi yang sekaligus mewakili sifat baik, bagi Pambudi, di sisi lain, mewakili sifat buruk, bagi Pak Dirga merupakan wujud dari konstruksi pola pikir sederhana masyarakat lisan. Selain paparan di atas, pemilihan nama yang digunakan untuk mempresentasikan pertentangan dua sifat juga terkesan mudah dipahami dan cenderung sudah dikenal dalam beberapa cerita rakyat. Pemilihan nama tokoh Pak Dirga sebagai
tokoh yang mempresentasikan sifat jahat adalah hal yang lazim. Dirga secara etimologi hampir sama dengan nama yang ada dalam pewayangan, khususnya kubu kurawa. Terdapat kesamaan antara Dirdengan Dur- yang berarti merasa lebih atau sombong. Pambudi, sebagai tokoh yang mempresentasikan kebaikan juga sudah dapat dilihat dari namanya. Pambudi berarti orang yang berbudi atau orang yang mempunyai budi baik. Dalam masyarakat lisan pemilihan nama cenderung sederhana, tetapi terkesan sudah mencerminkan sifatnya. Pertentangan antara kedua tokoh cerita di atas tidak dibenturkan secara frontal, dengan berhadap-hadapan, tetapi dikemas dengan sembunyi-sembunyi. Seperti halnya ketika Pak Dirga ingin mengusir Pambudi. Pak Dirga menggunakan jasa orang lain untuk memasang di rumah Pambudi guna-guna yang diperoleh dari Eyang Wira. Dia menyuruh Bagol. Demikian juga ketika Pambudi hendak menurunkan Pak Dirga sebagai lurah, Pambudi mengangkat masalah korupsi dan berbagai penyelewengan Pak Dirga melalui koran Kalawarta. Selain tanpa ada konfrontasi secara frontal, terkadang pertentangan disampaikan secara interior monolog. “Nah, katakan siapa orang itu,” desak Pambudi. “Pak Dirga,” jawab Bagol singkat. Ayah Pambudi terkejt. Wajahnya memancarkan kecemasan yang amat sangat (Tohari, 2005: 77). Tulisan-tulisan Pambudi dalam Kalawarta sudah dikenal orang secara luas. Ia mempunyai kegemaran mempertengahkan masalah-masalah kemasyarakatan, cara yang khas Pambudi. Seri tulisannya yang terakhir diberi judul “Kemajuan di Pedesaan Perlu Arah yang Lebih
Bakti Sutopo, Beberapa Jejak Kelisanan dalam...76
Jelas”, mendapatkan sambutan yang luas (Tohari, 2005: 148). Tradisional atau Konservatif Konservatif pada masyarakat lisan sangat diperlukan karena berfungsi untuk mempertahankan apa yang dihasilkan dari timbulnya eksperimentasi intelektual. Pada masyarakat lisan, untuk menjadikan pengetahuan yang dimilikinya lebih berharga memerlukan usaha yang sangat sulit. Pemikiran konservatif dalam DKBC tampak ketika masih adanya beberapa anggapan yang irasional terhadap seorang lurah, masih percaya dengan dukun, dan masih adanya sarana-saran mistis. Seseorang terpilih menjadi lurah bukan karena berasal dari kemampuan intern individual seseorang tersebut, tetapi ada kekuatan di luar dirinya, kekuatan yang menitahkan seseorang menjadi lurah, yakni dengan menjatuhkan wahyu cakraningkat. Pemikiran konservatif seperti itu terwujud dalam masyarakat lisan karena masih menganggap adanya hubungan yang erat antara mikrokosmos dengan makrokosmos, masih ada kekuatan yang lebih perkasa dibanding kekuatan manusia, yakni kekuatan yang bersifat gaib. Kepercayaan yang didasari dengan pemikiran yang irasional tersebut erat kaitannya dengan pola pikir masyarakat yang masih sederhana, tanpa didukung dengan kemampuan intelektual yang selayaknya. “Orang-orang di sini percaya bahwa seseorang tidak menjadi lurah kalau ia tidak dijatuhi wahyu cakraningkrat” (Tohari, 2005: 94). Selain percaya terhadap adanya wahyu yang dijatuhkan oleh Yang Di Atas, dalam DKBC juga masih ada kepercayaan terhadap dukun sebagai tempat untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Kepercayaan pada seorang
dukun tersebut merupakan sisa-sisa kepercayaan masyarakat tradisional yang animisme dan dinamisme. Dalam hal ini, dukun dianggap sebagai perantara yang dapat menjembatani antara dirinya dengan Yang Kuasa sehingga keinginannya dapat terkabul. Usaha mengatasi masalah dengan pergi minta pertolongan pada dukun dilakukan oleh Pak Dirga dan Bu Runtah. Dukun yang didatangi keduanya adalah Eyang Wira. Pak Dirga minta tolong ke Eyang Wira untuk menyingkirkan Pambudi dari desa Tanggir secara halus. Beberapa syarat dan sesaji dipersiapkan oleh Pak Dirga karena dia percaya dengan memenuhi syarat diajukan oleh Eyang Wira, Pambudi dapat disingkirkan. Adapun Bu Runtah pergi ke menemui Eyang Wira ketika dia mendengar Pak Dirga akan menikah lagi dengan Sanis. Bu Runtah minta agar Eyang Wira bisa memecahkan masalah yang dihadapinya. Eyang Wira bersedia dengan syarat Bu Runtah mauberhubungan badan terlebih dahulu dengannya. Selain itu, Bu Runtah disyaratkan makan pisang yang sudah diberi guna-guna oleh Eyang Wira dan sampai rumah agar menggantung uleg. Semua yang dilakukan oleh Bu Runtah itu bisa mengatasi masalahnya, yakni kelakian Pak Dirga tidak dapat difungsinya untuk berhubungan badan dengan Sanis. Hari Anggara Kasih adalah sebutan mistik bagi hari Selasa Kliwon... Di rumah Eyan Wira yang terletak di pedukuhan kecil, seorang sedang bertamu. Pemilik rumah beserta tamunya duduk di ruang dalam (Tohari, 2005: 60). Kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat mistis, irasional mmerupakan ciri khas pola pikir yang belum modern atau masih bersifat tradisional. Pada masyarakat lisan, pola
Bakti Sutopo, Beberapa Jejak Kelisanan dalam...77
pikir tradisional juga bermanfaat untuk memudahkan mengingat kembali pengetahuan yang didapatkannya. Bagi mereka, pengetahuan hanya dapat diendapkan dalam pikiran dan ingatan. Ayah Pambudi selalu menekankan padanya dengan berpedoman wani ngalah, luhur wekasane. Berani mengalah, menjadikan kita luhur pada akhirnya (Tohari, 2005: 93). Pada konteks ini, warga Tanggir tidak melihat secara objektif siapa yang salah dan siapa yang berada pada pihak yang benar. Warga Tanggir masih menganggap orang yang menjadi lurah adalah orang yang mendapatkan wahyu cakraningrat. Anggapan itu berimplikasi pada keseharian orang Tanggir bahwa apapun yang dilakukan oleh lurahnya, walau bertentangan dengan moral dianggap sebagai kebenaran. Sehingga tidak ada jalan keluar bagi warga biasa bila terjadi pertentangan dengan lurahnya, kecuali mengalah dan menghindar dari desanya. Hal tersebut, seperti tampak pada kutipan di bawah ini. Orang-orang di sini percaya bahwa seseorang tidak menjadi lurah kalau ia tidak dijatuhi wahyu cakraningkrat. Keyakinan itu diperkuat oleh kenyataan kenapa Pak Dirga yang terpilih tahun lalu, bukan Pak Badi yang terkenal memiliki keluhuran budi. Jadi dengan keyakinan semacam itu, penduduk akan tetap menjunjung tinggi lurahnya, meskipun lurahnya itu selalu bertindak menurut kemauannya sendiri dan merugikan penduduk.” “Dengar,Nak, sudah lama Ayah merenungkan masalah ini. Ayah ingin menyingkir dari desa ini untuk kepentinganmu sendiri serta atas keputusan dan pertimbanganmu. Bukan lari
sebagai orang yang dkalahkan. Dengan demikian sekaligus kau menolong Ayah, sebab Lurah tidak akan membenciku lagi,...(Tohari, 2005: 94). Kontekstual atau Close to Human Lifeworld Kontekstual diwujudkan dengan mengacu pada dunia riil kehidupan masyarakat, persoalan manusia dalam kehidupan sehari-hari, “...oral cultures must conceptualize and verbalize all their knowledge with more or less close reference to human lifeworld, assimilitating the alien, objective world to the more immediate, familiar interaction of human beings” (Ong, 1989: 42). Novel DKBC menggambar kehidupan secara detail di lingkungan pedesaan, yakni desa Tanggir, kecamatan Kalijambe. Persoalan-persoalan yang diangkat dalam novel DKBC merupakan persoalan keseharian masyarakat pedesaaan. Persoalan itu di antaranya tentang gambaran perekonomian orang miskin yang tergantung pada tengkulak (direpresentasikan oleh tokoh Bu Sum, terkenal sebagai tengkulak gula yang besar perannya di desa Tanggir) , intrik-intrik yang dilakukan oleh pamong desa (direpresentasikan oleh Pak Dirga, lurah yang pandai main bola, berjudi dan sering ganti isteri, serta oleh tokoh Poyo, pemuda pengganti Pambudi sebagai pengurus koperasi), kepercayaan pada beberapa nilai tradisional (pameo Jawa), serta kisah empati terhadap sesama yang mengalami kesengsaraan yang khas masyarakat desa (Pambudi terhadap Mbok Rantem). Persoalan-persoalan tersebut merupakan persoalan yang akrab ditemui dalam masyarakat pedesaan, khususnya di Jawa. Akhir kisah DKBC menunjukkan pentingnya hal yang penting, yaitu terkait persoalan mendasar yang berkisar pada
Bakti Sutopo, Beberapa Jejak Kelisanan dalam...78
perjuangan manusia menegakkan kebenaran, kejujuran, kasih sayang dengan latar belakang kehidupan desa yang memang dikenal oleh pengarang (Yudiono, 2003: 9). Unsur Ekspresi Lisan Kopius (Berlebihan) atau redundan Dalam tradisi lisan, kopius diwujudkan dengan penggunaan formula, paralelisme, repitisi. Kelimpahan penggunaan kosa kata dan sinonim, menghasilkan ekspresi yang mendetail, bertele-tele, dan artifisial. Kopius dalam novel DKBC dapat ditemukan pada deskripsi tempat dan deskripsi keadaan tokoh. Di awal novel dikenalkan tempat, yakni Bukit Cibalak dengan sedetail mungkin dan dengan mengunakan beberapa kata yang sinonim. Dulu, jalan setapak itu adalah terowongan yang menembus belukar puyengan. Bila iringiringan kerbau lewat, tubuh mereka tenggelam di bawah terowongan samak itu. Hanya bunyi korakan yang tergantung pada leher merek terdengar dengan suara berdentang-dentang, iramanya tetap dan datar. Burungburung kucica yang terkejut, terbang mencicit. Mereka tetap tidak mengerti mengapa kerbaukerbau senang mengusik ketentraman belukar Puyengan tempat burung-burung kecil itu bersarang. Meskipun kerbaukerbau itu telah jauh memasuki hutan jati Bukit Cibalak, suara korakan mereka masih tetap terdengar. Dan bunyi korakan adalah peranda yang selalu didengarkan oleh majikan. Para pemilik kerbau di sekitar Bukit Cibalak tidak mengembalakan ternak mereka. Binatang itu bebas
berkeliaran mencari rumput, mencari umbut gelagah, atau berkubang di tepi hutan jati. Sering kali kerbau-kerbau itu tidak pulang ke kandang. Artinya, mereka tidur di hutan atau sedang berahi pada penjantan milik tetangga di sana (Tohari, 2005: 5). Deskripsi tentang tempat sebagai pembuka kisah novel DKBC di atas terkesan sangat lengkap dan detail, termasuk gambaran manusia serta kerbaunya. Terdapat tiga halaman sendiri yang mengambarkan tempat (hal. 5-7). Dalam deskripsi tersebut tak hanya deskripsi pada segi fisik, tetapi juga bersifat psikologis dengan menggunakan kata-kata yang diulang atau sejenis (sinonim). Seperti pada kutipan di atas, pengulangan beberapa kata, misal kerokan, rumput dengan umbut, suara dengan irama, memberi kesan yang berlebihan. Selain itu, pembuka paragraf menggunakan kata dulu. Kata dulu merupakan konsep waktu yang dimiliki oleh masyarakat lisan. Konsep waktu dulu mengacu pada saat yang tidak pasti. Penggunaan kata dulu juga menunjukkan adanya kesamaan dengan cerita yang dimiliki masyarakat lisan yang menggunakan kata-kata pembuka, yakni dengan kata-kata konon, suatu saat, dahulu kala, hatta, dan lain-lain. Kopius juga tampak pada deskripsi tokoh cerita Sanis. Sanis digambarkan secara mendetail, jelas, tetapi terkesan bertele-tele. Pendeskripsian tokoh itu juga menggunakan kata-kata yang berulang atau bersinonim. Penggambaran secara mendetail pada diri tokoh tersebut mengakibatkan pembaca tidak lagi diberi ruang untuk berimajinasi tentang sesuatu yang terkait dengan diri Sanis,. Penggambaran terhadap Sanis sudah
Bakti Sutopo, Beberapa Jejak Kelisanan dalam...79
didapat oleh pembaca (pendengar dalam tradisi lisan) dalam cerita. Dua orang gadis tanggung sedang berjalan menuju Balai Desa. Mereka adalah Sanis dan Jirah. Sanis adalah anak modin di Tanggir. Ayah Sanis tidak memiliki tanah sedikit pun, kecuali tanah bengkok yang ia terima sebagai gaji seorang modin. Tugas ayah Sanis adalah segala sesuatu yang menyangkut upacara keagamaan, dan menjaga surau di desa itu. Aneh, hal yang demikian amat baik bagi pertumbuhan badan Sanis. Karena ayahnya tidak memiliki tanah itulah, gadis itu tidak pernah naik-turun lereng Cibalak. Sanis memiliki tungkai yang lurus, tidak bengkok seperti kebanyakan perempuan Tanggir. Pancuran air bening di samping surau membasuh muka Sanis setiap hari. Mukanya bersih. Dan gadis Pak Modin ia mempunyai pembawaan yang menawan; bila ia hendak menoleh, Sanis selalu menggulirkan bola matanya lebih dulu ke arah orang yang memanggilnya (Tohari, 2005: 9). Bila dikaitkan dengan cerita wayang, penggambaran diri Sanis dalam DKBC seperti halnya penggambaran (cecandran) tokoh wayang oleh Sang Dalang. Ada pengulangan kata sebagai penegas, tetapi terkesan belebihan, yaitu penggunaan kata lurus dengan tidak bengkok pada rangkaian kata Sanis memiliki tungkai yang lurus, tidak bengkok seperti kebanyakan perempuan Cibalak. Aditif atau Gaya Penambah Gaya penambah merupakan gaya yang khas dalam komposisi lisan. Gaya
penambahan merupakan metode untuk menghubungkan elemen-elemen naratif atau merangkaikan peristiwa. Elemenelemen itu bersifat pragmatis, yakni dengan menggunakan penjajaran sederhana, sehingga menghasilkan kalimat-kalimat pendek yang monoton. Dalam novel DKBC dapat ditemukan beberapa kalimat yang menggunakan kata penghubung yang terletak di depan. Penggunaan kata dan di depan menunjukkan adanya upaya merangkai peristiwa secara sederhana dan agar mudah dipahami oleh pembaca. Penggunaan kata dan dalam DKBC tampak pada kutipan di bawah ini. Lurah yang baru juga diharapkan mau menutup-nutupi penduduk yang pekerjaannya mencuri kayu angsana yang baru saja ditanam di tanah-tanah milik pemerintah. Dan ada lagi, hendaknya lurah yang baru nanti segera mengganti istrinya (Tohari, 2005: 13). Siang itu penduduk Tanggir menentukan siapa yang akan menjadi lurah mereka. Dan ternyata keluhuran budi, kearifan, serta kejujuran...(Tohari, 2005: 16). Karena merasa menemukan jalan buntu, Pambudi mulai berpikir untuk mencari pekerjaan lain. Dan keputusannya untuk meninggalkan pekerjaannya yang lama datang dua bulan ke depan (Tohari, 2005: 19). Unsur Naratif Lisan Alur Episodik Alur episodik sesuai dengan cara berpikir masyarakat tradisional yang menghandalkan cara alamiah dalam mengisahkan pengalaman hidup seharihari, berupa episode-episode, “If we take the climactic linear plot as the paradigm of
Bakti Sutopo, Beberapa Jejak Kelisanan dalam...80
plot, the epic has not plot” (Ong, 1989: 144). Alur cerita pada masyarakat lisan tidak dibuat untuk membuat klimaks sebagaimana dalam tradisi tulis. Novel DKBC bercerita kehidupan sehari-hari masyarakat Cibalak dan beberapa sisi kehidupan di Yogyakarta dengan alamiah dan berepisodik. Hal itu dibuktikan dengan adanya pembedaan bagian-bagian yang berisi cerita yang menggambarkan suatu rangkaian cerita tertentu yang berkelanjutan secara berurutan pada bagian-bagian berikutnya. Pada bagian pertama novel DKBC bercerita kondisi geografis dan sosiologis masyarakat Desa Tanggir secara lengkap, termasuk saat pemilihan desa. Pada bagian kedua DKBC mengisahkan ketidaksepahaman antara tokoh Pambudi dengan Pak Dirga, lurah desa Tanggir. Pada bagian ketiga, DKBC melanjutkan rangkaian dari bagian kedua, yakni berisi upaya-upaya Pambudi mencarikan biaya Mbok Ranem untuk mengoperasi penyakitnya. Selanjutnya, di bagianbagian DKBC berikutnya juga terlihat rangkaian cerita yang dikembangkan secara episodik. Adanya kaitan-kaitan peristiwa yang berurutan antara bagian satu dengan bagian yang lain, dalam DKBC tidak ditemukan alur yang dibuat secara flashback. Hal tersebut juga sekaligus berdampak pada cerita dalam DKBC menjadi mudah dipahami dan mudah diingat oleh pembacanya. PEMBAHASAN Masyarakat yang menghidupkan tradisi lisan menempatkan ajaran moral sebagai salah satu kriteria dalam menilai sastra yang berkualitas. Dapat diartikan pula, bagi masyarakat yang menganut tradisi lisan, ajaran moral mempunyai peranan yang penting dan harus ada dalam
karya sastra mereka. Ajaran moral terkait dengan dorongan untuk berbuat baik yang merupakan suara hati setiap manusia (Magnus-Suseno, 1991: 14). Suara hati manusia dapat memutuskan kebenaran dan kesalahan perbuatan-perbuatan secara individual. Adapun ajaran moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, pedoman-pedoman, baik lisan maupun tulisan, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Bagi Ong (1989: 9), manusia dari budaya lisan primer, telah mempratikkan ajaran kebijaksanaan luhur. Apabila ajaran moral juga termasuk di dalam ajaran kebijaksanaan luhur pada masa budaya lisan primer dan naratif merupakan genre wacana yang fungsional pada zamannya. Hal tersebut, membuktikan ajaran moral telah sejak dahulu direkam dan dilestarikan di dalam naratif lisan. Ajaran moral dalam novel DKBC adalah pengamalan gelem ngalah, nanging ora kalah atau ngalah luhur wekasane. Ajaran moral itu dapat dilihat ketika ayah Pambudi menyarankan agar dia tidak bertahan di desa Tanggir untuk menghindari permusuhan yang berkelanjutan dengan Pak Dirga, lurah Tanggir. Ayah Pambudi menekankan penting bagi Pambudi untuk menuruti tutur orang tua: wani ngalah, luhur wekasane. Berani mengalah, menjadikan manusia luhur pada akhirnya. Setelah merenungkan perkataan ayahnya, Pambudi akhirnya keluar dari Tanggir menuju ke Yogyakarta bertemu kawannya saat di SMA yang sedang kuliah di kota yang sama. Sikap mengalah yang dilakukan oleh Pambudi ternyata tidak membuat Pambudi terpuruk dalam menjalani hidupnya. Sebaliknya, Pambudi berhasil menjadi orang yang dikenal dalam masyarakat luas termasuk di Tanggir sendiri. Hal penting, melalui
Bakti Sutopo, Beberapa Jejak Kelisanan dalam...81
tulisan-tulisan di koran Kalawarta Pambudi berhasil mengungkap buruknya keadaan sosial Tanggir dan karena tulisantulisannya itu, Lurah Tanggir, yakni Pak Dirga diturunkan dari kedudukannya sebagai lurah oleh Bupati melalui camat Kalijambe. Paparan tersebut membuktikan bahwa Pambudi, orang yang mengalah, akhirnya berhasil membuktikan kebenaran berada di pihaknya. Lurah juga menjadi benci padaku. Turutilah tutur kata para orang tua: wani ngalah, luhur wekasane. Berani mengalah, menjadikan kita luhur pada akhirnya” (Tohari, 2005: 93). Kutipan di atas, selain mengisyaratkan adanya ajaran moral, juga menegaskan pengukuhan nilai yang diturunkan dari generasi sebelumnya dengan cara lisan. Hal itu terbukti adanya rangkaian kata Turutilah tutur kata para orang tua. Berarti, prinsip wani ngalah, luhur wekasane didokumentasikan dengan cara mengingat, bukan dengan cara membaca suatu dokumen tertulis. Prinsip tersebut tidak hilang dalam memori masyarakat Jawa, serta dianggap bersifat fleksibel di segala kondisi dan situasi. Dapat dikatakan, wani ngalah, luhur wekasane merupakan ajaran yang dapat menyesuaikan dengan jaman, alias tidak lekang karena waktu. Selain mengajarkan manusia agar menghindari konflik dengan cara mengalah, DKBC juga mengajarkan untuk berempati terhadap orang lain. Hal itu direpresentasikan oleh Pambudi yang berusaha keras membantu agar Mbok Ralem mendapatkan pengobatan. Sikap empati terhadap sesama, terutama pada manusia yang sedang menderita, sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat tradisional. Pada hakikatnya, masyarakat tradisional belum terpengaruh dengan nilai-nilai yang individualis. Dalam
masyarakat tradisional, semua anggota masyarakat merupakan saudara. Altruisme, yakni asas hidup bertolongmenolong dengan sesama merupakan kesadaran kolektif yang terdapat dalam masyarakat tradisional. Kesimpulan Uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, dalam sastra tulis dapat ditemukan unsurunsur narasi yang dipengaruhi tradisi lisan karena perkembangan dari budaya lisan ke tulis tidak serta merta menghapus keseluruhan unsur pada budaya lisan. Adapun unsur naratif yang terdapat pada masyarakat lisan di antaranya aditif, agregatif, redundan, konservatif, mengisahkan kehidupan manusia seharihari, agonistik, empatik, homeostatis, situasional, berisi ajaran moral, episodik, dan tokoh berkarakter datar . Kedua, novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari merupakan salah satu bentuk karya sastra yang dihasilkan dalam budaya tulis yang mendapatkan pengaruh unsur-unsur kelisanan. Ketiga, unsur kelisanan yang terdapat dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak terdiri atas agonistik, homeostatis, konservatif, kopius, beralur episodik, aditif, dan terdapat ajaran moral. Saran Bagi pembaca novel Indonesia modern, unsur-unsur kelisanan dalam novel Indonesia modern merupakan hal yang menarik. Selain itu, melihat beberapa kelisanan dalam novel Indonesia modern dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk menikmati dan mengapresiasi novel Indonesia modern secara umum, dan khususnya novel yang se-genre dengan novel-novel yang ditulis oleh Ahmad Tohari.
Bakti Sutopo, Beberapa Jejak Kelisanan dalam...82
Bagi peneliti sastra, adanya unsur kelisanan dalam novel DKBC karya Ahmad Tohari dapat dikembangkan untuk meneliti novel-novel Indonesia modern yang lain, sehingga dapat memperkaya aspek-aspek penelitian kesusastraan Indonesia. Di samping itu, pengungkapan unsur kelisanan dalam novel Indonesia modern dapat digunakan untuk mengetahui dominannya pengaruh kelisanan terhadap novel-novel Indonesia modern. Daftar Pustaka
Finnegan, Ruth. 1977. Oral Poetry: Its Nature, Significance and Social Context. Cambridge: Cambridge University Press. K.S,
Yudiono. 2003.Ahmad Tohari: Karya dan Dunianya. Jakarta: Gramedia.
Magnis Suseno, Frans. 1991. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius. Ong, W.J. 1982. Orality and Literacy: The Technologizing of the Word. London & New York: Methuen. Ras & Robson (Ed.). 1991.Varriation, Transformation, and Meaning. Leidean: KITLV Press. Tohari, Ahmad.2005. Di Kaki Bukit Cibalak. Jakarta: Gramedia. Teeuw,
A.
1994. Indonesia Kelisanan
Antara dan
Keberaksaraan. Pustaka Jaya. Van
Jakarta:
Paursen, C.A.1985. Strategi Kebudayaan. Terjemahan Dick Hartoko. Yogyakarta: Kanisius.