BAB III KONSEP ING NGARSA SUNG TULADHA ING MADYA MANGUN KARSA TUT WURI HANDAYANI DALAM PERSPEKTIFAL-QUR’AN
A. Konsep Ing Ngarsa Sung Tuladha dalam Perspektif Al Qur’an Ki Hadjar Dewantara mengajarkan pentingnya sistem Tri Pusat pendidikan yang satu sama lain saling berkaitan yaitu pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga hal ini akan sangat berpengaruh pada watak dan kepribadian anak. Dalam mendidik anak diberi tuntunan dan dorongan agar tumbuh dan berkembang atas kodratnya sendiri. Pamong wajib mendorong anak didiknya dengan metode Ing Ngarsa Sung Tuladha yang artinya bila berada di depan harus bisa menjadi contoh.1 Taman Siswa sendiri terus tumbuh dan berkembang, Ki Hajar memang berhasil membuat fondasi Taman Siswa yang menolak konsep regeering, tucht, en orde (paksaan, hukuman, dan ketertiban) yang menjadi ciri utama gaya pendidikan Belanda. Pada sistem ini, guru menjadi figur sentral, sedangkan murid hanya menjadi objek. Pada 1957, Ki Hajar mengenalkan konsep orde en vreden (tertib dan Damai), dengan bertumpu pada prinsip pertumbuhan menurut kodrat. Konsep inilah yang terkenal dengan metode Among, trilogi peran kepemimpinan pendidik, yakni Ing Ngarsa Sung Tuladha (selalu menjadi contoh dalam perilaku dan ucapan).2 Firman Allah SWT dalam surat At-Tahrim ayat 6 yang berbunyi :
1
Suparto Rahardjo, Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959, (Yogyakarta : Ar Ruzz Media, 2014), hlm. 57. 2 Ibid,. hlm. 49.
34
35
ٌازةُ َعهَ ْيٍَا َم ََلئِ َكت َ يَا أَيٍَُّا انَّ ِريهَ آَ َمىُُا قُُا أَ ْوفُ َض ُك ْم ََأَ ٌْهِي ُك ْم وَازًا ََقُُ ُدٌَا انىَّاسُ ََ ْان ِح َج َّ َِغ ََلظٌ ِشدَا ٌد ََل يَ ْعصُُن ََّللاَ َما أَ َم َسٌُ ْم ََيَ ْف َعهُُنَ َما ي ُْؤ َمسَُن “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. Ayat ini memberikan tuntunan kepada kaum beriman bahwa: hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kamu antara lain dengan meneladani Nabi dan pelihara juga keluarga kamu yakni istri, anak-anak dan seluruh yang berada dibawah tanggung jawab kamu dengan membimbing dan mendidik mereka agar kamu semua terhindar dari batubatu antara lain yang dijadikan berhala-berhala. Diatasnya yakni yang menangani neraka itu dan bertugas menyiksa penghuni-penghuninya adalah malaikat-malaikat yang kasarkasar hati dan perlakuannya, yang keras-keras perlakuannya dalam melaksanakan
tugas
penyiksaan,
yang
tidak
mendurhakai
Allah
menyangkut apa yang Dia perintahkan kepada mereka sehingga siksa mereka jatuhkan-kendati mereka kasar-tidak kurang dan tidak juga terlebih dari apa yang diperintahkan Allah, yakni sesuai dengan dosa dan kesalahan masing-masing penghuni neraka dan mereka juga senantiasa dan dari saat ke saat mengerjakan dengan mudah apa yang diperintahkan Allah kepada mereka.3
3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al mishbah (Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an) volume 14, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 326.
36 Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke-6 ini turun, „umar berkata, “ Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami? Rasulullah SAW menjawab, “ larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkan mereka melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadamu.4 Ayat diatas menjelaskan untuk memelihara diri sendiri dan keluarga dari api neraka. Ayat ini dimaksudkan bagi pendidik atau seorang guru haruslah bisa menata diri sebagai bentuk dari contoh kepribadiannya yang baik, dan nantinya akan ditularkan kepada keluarga dan masyarakat luas. Oleh karena itu, seorang guru harus bisa melindungi dan mengarahkan dirinya, keluarga, serta orang lain agar nanti bisa selamat dunia akhirat dan bebas dari siksa neraka.
. حدثىا صعيد به عمازة. حدثىا عهي به عياط. حدثىا انعباس به انُنيد اندمشقي صمعج أوش به مانك يحدد عه زصُل َّللا صهى َّللا. أخبسوي انحازد به انىعمان ً ابه ماج-) قال ( أكسمُا أََلدكم َأحضىُا أدبٍم: عهيً َ صهم “Menceritakan kepada al- „abbas bin al-walid al-damasyqiy. Menceritakan kepada kami „ali bin „iyasy. Menceritakan kepada kami sa‟id bin „umarah. Menceritakan kepadaku al-harits bin an-nu‟man. Aku mendengar Anas bin Malik berkata dari Rasulullah SAW berkata: Muliakanlah anak-anakmu dan baguskanlah budi pekerti mereka”. Dalam hadits diatas mengingatkan kepada seorang pendidik agar senantiasa untuk memuliakan anaknya. Mulia disini bisa diperluas maknanya dengan bersifat baik, adil, jujur dan bijaksana kepada anak didiknya. Dan yang dicerminkan dalam hadits ini adalah untuk mengajarkan akhlak yang baik. Pendidik diharuskan untuk memiliki 4
Kementrian Agama Republik Indonesia, Alqur‟an dan tafsirnya jilid 10 (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), hlm. 205.
37
kepribadian yang baik, agar anak didiknya akan mencontoh sifatnya dan tugas ini juga sangat sesuai dengan hadits Rasulullah yang artinya; “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (tingkah laku)”.
Tingkah laku juga menjadi cerminan atau tolak ukur bagi manusia. Karena manusia yang sempurna adalah manusia yang ta‟at kepada Allah dalam beribadah (hablu minallah) dan juga bisa berbuat baik kepada sesame makhluk ciptaan Allah yang ada disekitarnya. Sehingga pembentukan akhlak yang baik harus diprioritaskan, untuk membangun dan menjadikan manusia yang sempurna (insan kamil). Konsep Ing Ngarsa Sung Tuladha tidak hanya diartikan untuk pendidik saja bisa juga diartikan seorang pemimpin yang memimpin anggotanya. Al Qur‟an bukan tidak membicarakan sama sekali tentang masalah kepemimpinan, karena Al Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia. Selain menyebut tentang pemimpin (imam, khalifah, wali) Al Qur‟an juga mengemukakan tentang prinsip-prinsip dasar kepemimpinan seperti amanah keadilan dan musyawaroh. Pembahasan ini bermaksud mengulas masalah kepemimpinan dalam Al Qur‟an dan prinsip-prinsip yang harus dimiliki seorang pemimpin.5 Oleh sebab itu, menurut konsep Islam, semua orang adalah pemimpin. Dan setiap orang harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada sesamanya di dunia dan kepada Tuhan kelak di akhirat. Yang terdapat dalam surat An Nisa‟ ayat 58 yang berbunyi : 5
Said Agil Husin Al Munawar, Al Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta : Ciputat Press, 2002), hlm. 194.
38
َّ إن َّ اس أَ ْن حَحْ ُك ُمُا بِ ْان َع ْد ِل ِ َّللاَ يَأْ ُم ُس ُك ْم أَ ْن حُؤَ ُّدَا األ َماوَا ِ َّث إِنَى أَ ٌْهٍَِا ََإِ َذا َح َك ْمخُ ْم بَ ْيهَ انى َّ َّللاَ وِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم بِ ًِ إِ َّن َّ إِ َّن صيسًا ِ ََّللاَ َكانَ َص ِميعًا ب Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. Amanah ini pula kembali diminta oleh Nabi Musa as kepada Nabi Harun as yang diserahi mandat memimpin untuk sementara Bani Israil. Pesan Nabi Musa itu pada hakikatnya adalah amanah yang harus dipelihara pemegang mandat kepemimpinan, yang dipegang Nabi Harun. Jadi seseorang pemimpin atau kepala negara adalah pemegang amanah, baik amanah Tuhan maupun dari rakyat.6 B. Konsep Ing Madya Mangun Karsa dalam Perspektif Al Qur’an Ajaran kepemimpinan Ki Hajar Dewantara yang sangat populer di kalangan masyarakat adalah Ing Ngarsa Sung Tuladha Ing Madya Mangun Karsa Tut Wuri Handayani. Ajaran ini pada intinya menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus memliki tiga sifat agar dapat menjadi panutan bagi bawahan atau anak buahnya. Sama halnya dengan Ing Madya Mangun Karsa berarti di tengah, Mangun berarti membangkitkan atau menggugah, dan Karsa diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi, makna dari kata itu adalah seorang pemimpin di tengah kesibukannya
6
Ibid,. hlm. 203.
39
harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat kerja anggota bawahannya.7 Firman Allah surat An-nahl ayat 43 yang berbunyi :
َُحي إِنَ ْي ٍِ ْم فَاصْأَنُُا أَ ٌْ َم ان ِّر ْك ِس إِ ْن ُك ْىخُ ْم ََل حَ ْعهَ ُمُن ِ ََُ َما أَزْ َص ْهىَا ِم ْه قَ ْبهِكَ إِ ََّل ِز َج ًاَل و “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.
Ayat ini kembali menguraikan kesesatan pandangan mereka menyangkut kerasulan Nabi Muhammad SAW. Dalam penolakan itu, mereka selalu berkata bahwa manusia tidak wajar menjadi utusan Allah, atau paling tidak dia harus disertai oleh malaikat. Ayat ini menegaskan bahwa: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kepada umat manusia kapan dan dimanapun, kecuali orang-orang lelaki, yakni jenis manusia pilihan, bukan malaikat yang Kami beri wahyu kepada mereka; antara lain melalui Jibril; Maka wahai orang-orang yang ragu atau tidak tahu bertanyalah kepada Ahli Dzikr, yakni orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. Thaba>
thaba>‟i
salah
seorang
ulama‟
dari
aliran
syi‟ah berpendapat bahwa ayat ini menginformasikan bahwa dakwah keagamaan dan risalah kenabian adalah dakwah yang disampaikan oleh manusia biasa yang mendapat wahyu dan bertugas mengajak manusia menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.8 Simpulan dari ayat ini mengenai seorang pendidik adalah pendidik sebagai penyuluh yang selalu 7
Suparto Rahardjo, op,. cit. hlm. 104. M. Quraish Shihab, Tafsir Al mishbah (Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an) volume 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 233. 8
40
memberikan
peringatan
dan
pembimbing
bagi
semuanya
demi
mendakwahkan amar ma‟ruf nahi munkar. Selanjutnya dilanjutkan dengan ayat 44 yang berbunyi :
ْ انزب ُِس ََأَ ْو ُّ ََ ث َاس َما وُ ِّز َل إِنَ ْي ٍِ ْم ََنَ َعهٍَُّ ْم يَخَفَ َّكسَُن ِ بِ ْانبَيِّىَا ِ َّزَنىَا إِنَ ْيكَ ان ِّر ْك َس نِخُبَيِّهَ نِهى “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Para Rasul yang kami utus sebelummu itu semua keteranganketerangan, yakni mukjizat-mukjizat nyata yang membuktikan kebenaran mereka sebagai Rasul, dan sebagian membawa pula zubur, yakni kitabkitab yang mengandung ketetapan-ketetapan hukum dan nasihat-nasihat yang seharusnya menyentuh hati, dan kami turunkan kepadamu adDzikr, yakni Al-Qur‟an, agar engkau menerangkan kepada seluruh umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, yakni Al-Qur‟an itu, mudah-mudahan dengan penjelasanmu mereka mengetahui dan sadar dan supaya mereka senantiasa berpikir lalu menarik pelajaran untuk kemaslahatan hidup duniawi dan ukhrawi mereka.9 Ayat ini mengisyaratkan dan menegaskan lagi akan tugas seorang guru (pendidik) agar senantiasa tidak henti-hentinya untuk mengamalkan segala ilmu yang telah didapatkannya serta mentransfer segala pengetahuan yang ada kepada semua peserta didik khususnya, dan umumnya kepada seluruh umat elemen masyarakat.
9
Ibid,. hlm. 236.
41
Hal itu juga terkait dengan dakwah Rasulullah saw, berdakwalah di jalan Allah tanpa kekerasan atau penyerangan, dengan hati yang lembut, cara yang baik, tanpa mengharapkan upah apapun. Karena bagaimanapun ini semua untuk kepentingan dirinya sendiri, karena balasan melekat dalam amal itu sendiri. Balasannya adalah kebebasan, karena pekerjaan ini berasal dari suatu keadaan berupa penyerahan diri dan kedamaian. Hanya setelah memperbaiki diri sendiri barulah seseorang dapat mulai memperbaiki orang lain.10
ب فَبَ ِّشسْ يُ بِ َم ْغفِ َس ٍة ََأَجْ ٍس َك ِس ٍيم ِ إِوَّ َما حُ ْى ِر ُز َم ِه احَّبَ َع ان ِّر ْك َس ََخَ ِش َي انسَّحْ َمهَ بِ ْان َغ ْي Artinya : “Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orangorang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia”. (QS. Yasin ayat 11). Ayat ini merupakan perintah khusus kepada Nabi Muhammad, namun ayat ini juga berlaku kepada setiap orang yang menyeru manusia kepada jalan Allah (dakwah). Orang hanya memperingatkan orang-orang yang mau mengikuti peringatan atau zikir kepada Allah. Seseorang hanya dapat memberi peringatan kepada mereka
yang mengikuti dan
memperhatikan, mengingat apa yang telah ada dalam diri mereka sebelumnya, sebelum adanya makhluk, yang telah menyatu dalam diri mereka.11
10
Syekh Fadhlullah Haeri, Jantung Al Qur‟an, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2000),
hlm. 30. 11
Syekh Fatkhullah Haeri, Ibid,. hlm. 31.
42
C. Konsep Tut Wuri Handayani dalam Pespektif Al-Qur’an Al Qur'an adalah sumber utama ajaran Islam dan pedoman hidup bagi setiap muslim. Al Qur‟an bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan alam sekitarnya. Untuk mempelajari ajaran Islam secara sempurna, diperlukan pemahaman terhadap kandungan Al Qur‟an dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten.12 Dalam pendidikan Barat, seseorang mempertahankan konsepkonsep pendidikannya ke arah tujuan umum pendidikan. Pendidikan untuk hidup, untuk waktu terluang, untuk efisiensi sosial dan bentuk kewarganegaraan yang demokratis adalah hanya contoh-contoh tujuan pendidikan umum Barat. Dalam pendidikan Islam, tujuan umunya adalah membentuk kepribadian sebagai khalifah Allah atau sekurang-kurangnya mempersiapkan ke jalan yang mengacu kepada tujuan akhir manusia.13 Tut wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berarti memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. Tut Wuri handayani ialah seorang komandan atau pemimpin harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang.14 Anakanak murid atau bawahan mulai percaya diri perlu didorong untuk berada di depan. Orang tua, guru atau pemimpin perlu memberi dukungan dari
12
Said Agil Husin Al Munawar, op,. cit. hlm. 3. Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur‟an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 133. 14 Suparto Rahardjo, op,. cit. hlm. 104. 13
43
belakang. Sudah seharusnya generasi tua memberi kesempatan kepada generasi yang lebih muda untuk berkiprah.15 Hal itu, dikisahkan oleh Allah dalam firmannya Surat Al-Kahfi ayat 66-70.
ال إِوَّكَ نَ ْه حَ ْضخ َِطي َع َ َ) ق66( ال نًَُ ُمُ َصى ٌَمْ أَحَّبِعُكَ َعهَى أَ ْن حُ َعهِّ َم ِه ِم َّما ُعهِّ ْمجَ ُز ْشدًا َ َق ْ ) ََ َك ْيفَ حَصْ بِ ُس َعهَى َما نَ ْم حُ ِح66( ص ْبسًا ال َصخ َِج ُدوِي إِ ْن َشا َء َ َ) ق66( ط بِ ًِ ُخ ْبسًا َ َم ِع َي َّ ال فَئ ِ ِن احَّبَ ْعخَىِي فَ ََل حَضْأ َ ْنىِي ع َْه َش ْي ٍء َحخَّى َ َ) ق66( صي نَكَ أَ ْمسًا َ َُّللا ِ صابِسًا ََ ََل أَ ْع َ أُحْ ِد )67( د نَكَ ِم ْىًُ ِذ ْكسًا “Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekalikali tidak akan sanggup sabar bersama aku. dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".
Dalam pertemuan kedua tokoh itu musa berkata kepadanya, yakni kepada hamba Allah yang memperoleh ilmu khusus itu, “ Bolehkah aku mengikutimu secara bersungguh-sungguh supaya engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari apa, yakni ilmu-ilmu yang telah di ajarkan Allah kepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku menuju kebenaran?”, Dia menjawab, “Sesungguhnya engkau hai musa sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Yakni peristiwa-peristiwa yang engkau akan alami bersamaku, akan membuatmu tidak sabar. Dan, yakni padahal bagaimana engkau dapat sabar atas sesuatu, yang engkau belum jangkau 15
Ibid,. hlm. 75.
44 secara
menyeluruh
hakikat
beritanya?”
Engkau
tidak
memiliki
pengetahuan bathiniah yang cukup tentang apa yang akan engkau lihat dan alami bersamaku itu.16 Ucapan hamba Allah ini, memberi isyarat bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun anaknya menuntun anak didiknya dan memberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika sang pendidik mengetahui bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarinya.17 Mendengar komentar sebagaimana terbaca pada ayat yang lalu dia, Nabi Musa AS tertata kepada hamba yang shaleh itu ”engkau Insyaallah akan mendapati aku sebagai seorang penyabar yang insyaallah mampu menghadapi ujian dan cobaan, dan akau tidak akan menentangmu dalam sesuatu perintah yang engkau perintahkan atau urusan apapun”. “Dia berkata, jika engkau mengikutiku secara bersungguh-sungguh, ,maka seandainya engkau melihat hal-hal yang tidak sejalan dengan pendapatmu atau bertentangan dengan apa yang engkau ajarkan, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, yang aku kerjakan atau ku ucapakan sampai bila tiba waktunya nanti aku sendiri menerangkannya kepadamu”. Demikian hamba yang shaleh itu menetapkan syarat ke ikut sertaaan Nabi Musa AS. Ucapan Isyaallah itu disamping merupakan adab yang di ajarkan semua agama dalam menghadapi sesuatu di masa depan, ia juga 16
M. Quraish Shihab, Tafsir Al mishbah (Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an) volume 8, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 97. 17 Ibid., hlm. 99.
45
mengandung makna permohonan kiranya memperoleh bantuan Allah SWT dalam menghadapi sesuatu. Apalagi dalam belajar, khususnya dalam
mempelajari
dan
mengamalkan
hal-hal
yang
bersifat
batiniah/tasawuf. Ini lebih penting lagi bagi seseorang yang telah memiliki pengetahuan, karena boleh jadi pengetahuan, karena boleh jadi pengetahuan yang dimilikinya tidak sejalan dengan sikap atau apa yang di ajarkan sang guru.18 Kisah ini antara Nabi Musa dan Khidir bisa menjadi pedoman dalam adab dan sopan santun seorang murid terhadap gurunya dan semangat untuk mencari ilmu.19 Selanjutnya beberapa ayat ini juga mengsiyaratkan bahwa seorang guru harus bisa menghormati muridnya dengan berbaik hati. Selain itu, seorang guru harus bersikap bijaksana dengan memberikan kesimpulan atas pengajaran yang diberikan kepada muridnya, sehingga anak didiknya akan mengetahui maksud materi pengajaran. Fungsi pendidikan sebagai proses alih nilai, secara makro mempunyai tiga sasaran. Pertama, bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan antara kemampuan kognitif dan psikomotor di satu pihak serta kemampuan efektif di pihak lain. Kedua, dalam sistem ini nilai yang dialihkan juga termasuk nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia yang senantiasa menjaga harmonisasi hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan 18
alam
sekitarnya.
Ketiga,
dalam
alih
nilai
juga
dapat
Ibid,. hlm. 100-101. Kementrian Agama Republik Indonesia, Alqur‟an dan tafsirnya jilid 5 (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), hlm. 642. 19
46
ditransformasikan tata nilai yang mendukung proses industrialisasi dan penerapan teknologi.20 Tujuan yang akan dicapai adalah membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniyah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat. Dengan demikian diharapkan bahwa bangsa Indonesia yang terkenal sangat religius ini akan menjadi bangsa yang kuat dan maju serta makmur dan sejahtera, terutama maju dalam dunia pendidikan sebagai basis pembangunan suatu bangsa.21 Al-Qur‟an adalah akhlak Muhammad Rasulullah, atau Muhammad Rasulullah adalah al-Qur‟an hidup. Bila kita hendak mengarahkan pendidikan kita, menumbuhkan karakter yang kuat pada anak didik, siapa lagi model yang memiliki karakter yang sempurna kecuali Muhammad Rasulullah. Itulah alasannya mengapa al-Qur‟an dipilih untuk menjadi basis dari pendidikan karakter.22
( َََل أَوَا3)( َََل أَ ْوخُ ْم عَابِ ُدَنَ َما أَ ْعبُ ُد2) َ( َل أَ ْعبُ ُد َما حَ ْعبُ ُدَن1) َقُمْ يَا أَيٍَُّا ْان َكافِسَُن (6) ( نَ ُك ْم ِديىُ ُك ْم ََنِ َي ِدي ِه5) ( َََل أَ ْوخُ ْم عَابِ ُدَنَ َما أَ ْعبُ ُد4) عَابِ ٌد َما َعبَ ْدحُ ْم Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku". (QS. Al-Kafirun: 1-6).
20
Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur‟ani dalam Sistem Pendidikan Islam, (Ciputat: Ciputat Press, 2005), hlm. 14. 21 Ibid., hlm. 15. 22 Bambang Q-Anees dan Adang Hambali, Pendidikan Berbasis Al-Qur‟an, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009), hlm. 6.
47 Pernyataan Al-Qur‟an tersebut memperlihatkan secara dramatik sebuah dobrakan yang sangat radikal terhadap paham politeisme yang sebelumnya telah berkembang luas dalam kehidupan masyarakat. Dengan pernyataan itu, agama Islam mengarah pada suatu sikap keagamaan yang amat fundamental. Dari sudut pandang Etika, pernyataan tersebut membawa konsekuensi yang amat penting, karena dengan demikian nilai (moral) semua manusia haruslah diukur dengan menggunakan standar penilaian yang benar-benar dapat diandalkan dari sudut pandang keagamaan. Dengan demikian, dalam Al-Qur‟an nilai moral dari setiap perbuatan manusia pada tahap paling awal ditentukan oleh keberadaan elemen keimanan kepada Allah pada diri pelakunya.23 Pendidikan akhlak menekankan pada sikap, tabiat, dan perilaku yang menggambarkan nilai-nilai kebaikan yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah Saw selalu menganjurkan kepada umatnya agar memperhatikan budi pekerti anak dengan baik, karena akhlak merupakan implikasi dari tauhid kepada Allah dan dari sinilah penilaian apakah seseorang itu benar bertauhid atau sebaliknya. Seperti yang diriwayatkan Baihaqi, “Dari Abdillah dan Beliau berkata: Peliharalah shalat anak-anak kamu dan ajarkanlah kebaikan (budi pekerti yang baik) kepada mereka karena sesungguhnya kebaikan (budi pekerti) itu merupakan pembiasaan”. (HR. Baihaqi).24
23
Miftakhul Huda, Al-Qur‟an dalam Perspektif Etika dan Hukum, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 87. 24 Said Agil Husin Al Munawar, op., cit., hlm. 50.
48
Pendidikan harus dapat mendorong peserta didik menjadi manusia pembelajar (yang bersungguh-sungguh mencari ilmu, bersungguh-sungguh menafakuri dan menasyakuri ciptaan Allah, mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, mempertahankan kebaikan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh sekian banyak orang, kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan atau teori). 25 Akhlak menurut pengertian Islam adalah salah satu hasil dari iman dan ibadah manusia tidak sempurna kecuali kalau dari situ muncul akhlak yang mulia. Maka akhlak dalam Islam bersumber pada iman dan taqwa serta mempunyai tujuan langsung yang dekat yaitu harga diri dan tujuan jauh, yaitu ridha Allah Swt. Implementasi akhlak dalam Islam tersimpul dalam karakter pribadi Rasul. Dalam pribadi Rasul, ada nilai-nilai akhlak yang mulia dan agung.26 Akhlak tidak diragukan lagi memiliki peran besar dalam kehidupan manusia. Pembinaan akhlak itu memang individual, meskipun ia dapat berlaku dalam konteks yang individual. Karenanya pembinaan akhlak dimulai dari sebuah grakan individual yang kemudian diproyeksikan menyebar ke individu-individu lainnya, kemudian setelah jumlah individu yang tercerahkan secara akhlak akan menjadi banyak dengan sendirinya akan mewarnai kehidupan masyarakat. Pembinaan akhlak selanjutnya dalam lingkungan keluarga dan harus dilakukan sedini mungkin sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan
25 26
Bambang Q-Anees, dkk, op., cit., hlm. 54. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Cet. Ke-3, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 114.
49
perkembangan anak. Melalui pembinaan akhlak pada setiap individu dan keluarga akan tercipta peradaban masyarakat yang tentram sejahtera.27 Ajaran akhlak senantiasa diajarkan, contoh dan teladan. Keutamaan akhlak bagi seluruh umat manusia terdapat dalam diri Rasulullah SAW. Allah telah menegaskan keutamaan dan keistimewaan Rasul sebagai hamba dan Rasulnya. Sifat yang diberikan kepada nabi terakhir yaitu “akhlak yang agung” (khuluq azhim), Al Qur‟an yang menyebut sebagian mereka dengan sifat-sifat seperti “yang bertaqwa” (taqiyy), “pemberi petunjuk” (rasyid), “murah hati” (halim), “ahli tobat” (awwab), “yang syukur” (syakur) dan seterusnya.28
27
Ramayulis, Ibid, hlm. 120. Hasan Syamsi Basya, Mendidik Anak Zaman Kita, Cet. Ke-1, (Jakarta: Zaman, 2011), hlm. 248. 28