BAB III MAJAZ DALAM AL-QUR’AN.
A. Ragam Dan Penggunaan Majaz Dalam Al-Qur’an. Pada
bab
sebelumnya
telah
diuraikan
bagaimana
paradigma
pengalihan makna dalam susastra Arab. Dari beberapa kategori paradigma pengalihan makna bahasa, dari bentuk denotatif (haqiqah) ke bentuk metafora (majaz) sebagaimana disinggung pada bab sebelumnya, secara umum dapat kita jelaskan sebagai berikut: Pertama; Majaz (Metafora).
Menurut Abd al-Qahir al-Jurjani
(W.471 H) majaz adalah kebalikan haqiqah. Sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain disebut dengan haqiqah. Sedangkan majaz adalah sebaliknya, yaitu perpindahan makna dasar ke makna lainnya, atau pelebaran medan makna dari makna dasar karena ada alasan tertentu. Secara teoritik, majaz adalah peralihan makna dari yang leksikal menuju yang literer, atau dari yang denotatif menuju yang konotatif karena ada alasan-alasan tertentu.1 Misalnya dalam al-Qur’an surat al-Mu’min ayat 13:
(13 :)ﺍﳌﺆﻣﻦ... ﻗﹰﺎﺎ ِﺀ ِﺭﺯﺴﻤ ﻦ ﺍﻟ ﻣ ﻝﹸ ﹶﻟﻜﹸﻢﻨﺰﻭﻳ ﺎِﺗ ِﻪﻢ ﺁﻳ ﻳﺮِﻳ ﹸﻜ ﻮ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﻫ Artinya:
“Dialah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untukmu rizki dari langit.”(QS. Al-Mu’min: 13)2
Kata “rizqa” di atas adalah ungkapan majaz, karena Allah tidak mungkin menurunkan rezeki dari langit, misalnya berupa rumah, mobil, makanan, dan sebagainya. Allah adalah Dzat Yang Maha Kasih kepada hamba-hamba- Nya, karena Kasih-Nya itu kemudian Allah menurunkan hujan dari langit. Tanah-tanah menjadi subur sehingga semua jenis tanaman dan
1
A. Muzakki dan Syuhadak, Bahasa dan Sastra dalam al-Qur’an, UIN Malang Press, Malang, 2006, hlm. 82. 2 Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, CV. Al-Waah, Semarang, 1993, hlm. 761.
39
40
tumbuhan tumbuh dengan baik. Itulah maksud rezeki dari Allah yang diturunkan dari langit akibat dari turunnya hujan. Juga dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 19:
ﻢ ﻓِﻲ ﻌﻬ ﺎِﺑﻌﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﹶﺃﺻ ﺠ ﻳ ﻕ ﺮ ﺑﻭ ﺪ ﻋ ﺭ ﻭ ﺕ ﺎﺎ ِﺀ ﻓِﻴ ِﻪ ﹸﻇﹸﻠﻤﺴﻤ ﻦ ﺍﻟ ﻣ ﺐ ٍ ﻴﺼ ﻭ ﹶﻛ ﹶﺃ (19 : )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ.ﻦ ﻂ ﺑِﺎﻟﹾﻜﺎِﻓﺮِﻳ ﻣﺤِﻴ ﹲ ﻪ ﻭﺍﻟﻠﹼ ﺕ ِ ﻮ ﻤ ﺭ ﺍﹾﻟ ﺣ ﹶﺬ ﺍ ِﻋ ِﻖﺼﻮ ﻦ ﺍﻟ ﻣ ﺁﺫﹶﺍِﻧﻬِﻢ Artinya: “atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 19)3 Kata “ashabi”‘ di atas secara leksikal maknanya adalah jari-jari, dan mustahil bagi orang-orang munafik menyumbat telinganya dengan semua jari karena takut bunyi guntur yang mengakibatkan kematian. Andaikata pun itu bisa terjadi pasti mereka akan melakukannya, karena mereka benar-benar mengalami ketakutan yang dahsyat. Tetapi yang dimaksud “ashdbi”‘ dalam ayat tersebut adalah sebagian dari jari-jari, bukan semuanya. Juga perhatikan pula dalam al-Qur’an surat az-Zumar ayat 30;
(30 : )ﺍﻟﺰﻣﺮ.ﻮ ﹶﻥﻴﺘﻣ ﻢﻧﻬﻭِﺇ ﺖ ﻴﻣ ﻚ ﻧِﺇ Artinya: “Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati.”(QS. Az-Zumar: 30)4 Maksud ayat tersebut menurut Fadlal Hasan Abbas, sebagaimana dikutip oleh A. Muzakki dan Syuhadak, adalah bukan seperti pada terjemahan di atas, sekalipun itu tidak bisa disalahkan. Tetapi ia berpendapat lain, bahwa ayat itu diungkapkan oleh Allah dalam bentuk majaz sehingga memiliki pengertian lain, yaitu “orang yang mati tidak bisa diajak berdialog”.5
3
Ibid., hlm. 11. Ibid., hlm. 750. 5 Fadlal Hasan Abbas, al-Balaghah Fununuha wa Afnanuha, Dar al-Furqan, Aman, 1987, hlm. 153. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, ibid, hlm, 83-84. 4
41
Ulama ahli balaghah mengatakan, dalam kajian majaz sesungguhnya tidak ada perbedaan yang amat vital dengan isti’arah. Perbedaan keduanya terletak pada ‘alaqah (relasi antara makna dasar dengan makna lain). Jika ‘alaqah-nya
musyabahah
(ada
kesesuaian),
maka
disebut
isti’arah.
Sebaliknya, jika ‘alaqah-nya gairu musyabahah (tidak ada kesesuaian), maka disebut majaz.6 Maksud dari definisi di atas, karena ada alasan-alasan tertentu mencakup pengertian adanya ‘alaqah dan qarinah (indikator atau sesuatu yang mencegah pemakaian makna dasar). Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut:
ﺛﻮﺏ ﻻﺑﺲ Artinya: “Baju yang dipakai.” Makna yang sebenarnya adalah baju yang memakai, karena term “labis” bermakna sebagai pelaku. Ini mustahil terjadi. Ungkapan tersebut sebenarnya berbunyi “tsaubun malbus” (baju yang dipakai), term “malbus” bermakna obyek atau sasaran. Di sini ‘alaqah-nya adalah ghairu musyabahah, tidak adanya kesesuaian antara makna dasar (labis) dengan makna lain (malbus). Pemahaman ini terjadi hanya berdasarkan pada logika dan tradisi semata, bukan dari sisi struktur kalimatnya. Berbeda dengan ungkapan isti’arah berikut ini:
ﺏ ﺭ ﻚ ﺎِﺋﺪﻋ ﻢ ﹶﺃﻛﹸﻦ ِﺑ ﻭﹶﻟ ﺒﹰﺎﺷﻴ ﺱ ﹾﺃﻌ ﹶﻞ ﺍﻟﺮ ﺘﺷ ﺍﻲ ﻭﻢ ِﻣﻨ ﻌ ﹾﻈ ﻦ ﺍﹾﻟ ﻫ ﻭ ﻲﺏ ِﺇﻧ ﺭ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ (4 :ﻴﹰﺎ )ﻣﺮﱘﺷ ِﻘ Artinya: “Ia berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo`a kepada Engkau, ya Tuhanku.” (QS. Maryam: 4).7
6
Ahmad al-Hasyimi, Jawahir Al-Balaghah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, 1960, hlm. 291. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid., hlm, 84-85. Bahkan M. Nurkholis Setiawan justru memasukan isti’arah menjadi bagian dari bentuk majaz, artinya majaz tidak berdiri sendiri. Nurkholis mencoba membagi kategori majaz menjadi beberapa bentuk sebagai berikut: 1). Isti’arah (metafora), 2). Tasybih (seni perbandingan), 3). Matsal (parabel), 4). Kinayah (metonimie). Lihat M. Nurkholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, ELSAQ Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 206-252. 7 Departemen Agama RI., op.cit.,, hlm. 462.
42
Secara leksikal kata “isyta’ala” bermakna menyala, “al-ra’su” bermakna kepala, dan “syaiba” bermakna uban. Dan mustahil jika ungkapan tersebut diterjemahkan “dan kepalaku menyala uban”. Perpindahan makna “isyta’ala” (menyala) kepada “nabata” (tumbuh) karena di situ ada kata “al-ra’su” (kepala) adalah sesuai (musyabah). Maksudnya, kata “nabata” diserupakan dengan “isyta’ala” karena uban yang tumbuh di kepala sangat banyak. Kemudian kata “nabat” dibuang dan yang menjadi qarinah (indicator) adalah kata “syaiba” (uban). Jadi ‘alaqah-nya adalah musyabahah, yaitu kesesuaian antara kata nabata, al-ra’su dan syaiba. Keindahan dan kesempurnaan ungkapan dalam ayat ini tidak hanya terletak pada atau berpulang pada peminjaman kata (isti’arah) yang digunakan, melainkan juga berpulang pada kekhususan formulasi kalimat dalam ayat itu sendiri. Formulasi yang dimaksud adalah pilihan gaya tutur yang dipakai serta relasi antar struktur bagian kalimat yang satu dengan bagian lainnya. Kata “isyta’ala” dalam konteks ini mengacu kepada rambut yang memutih, meskipun secara leksikal dianggap mengacu kepada kata “alra’su”. Rahasia dari ungkapan ini terletak pada kata “isyta’ala” yang mengacu kepada rambut yang memutih, seolah rambut terbakar sehingga seluruhnya berubah menjadi warna putih. Makna dasar dari ungkapan ayat di atas adalah “rambut yang memutih”, akan tetapi dengan struktur kalimat dalam ayat itu maknanya berkembang menjadi “rambut kepala memutih dengan tidak meninggalkan sisa sehelai rambut pun yang berwarna hitam”.8 Kedua; Tasybih (Simile). Secara etimologis tasybih berarti penyerupaan. Sedangkan secara terminologis adalah menyerupakan dua perkara atau lebih yang memiliki kesamaan dalam hal tertentu.9 Para sastrawan Arab menjelaskan bahwa tasybih merupakan elemen vital dalam karya sastra. Menurut mereka tasybih memiliki empat unsur utama, yaitu; 1) sesuatu yang diperbandingkan (al-musyabbah), 2) obyek perbandingan (almusyabbah bih), 3) alasan perbandingan (wajh al-syibh), dan 4) perangkat 8 9
hlm, 87.
A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid., hlm, 86. Ahmad al-Hasyimi, Ibid., hlm. 247. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid.,
43
perbandingan (adat al- tasybih). Sedangkan almusyabbah dan musyabbah bih disebut tharafan altasybih, yaitu dua pilar yang harus ada dalam sebuah ungkapan kalimat yang berbentuk tasybih. Al-Jahiz sebagaimana dikutip oleh M. Nurkholis Setiawan, mendefinisikan tasybih sebagai seni perbandingan.10 Ahmad Badawi, sebagaimana dikutip A. Muzakki dan Syuhadak, mengatakan bahwa tasybih berfungsi memperjelas makna serta memperkuat maksud dari sebuah ungkapan.11 Sehingga orang yang mendengarkan pembicaraan bisa merasakan seperti pengalaman psikologis si pembicara. Dalam persoalan-persoalan yang berkaitan dengan eskatologis al-Qur’an seringkali menggunakan bahasa metaforis yang diungkapakan dalam bentuk gaya bahasa simile (tasybih). Karena bahasa metaforis memiliki kekuatan yang bisa mempertemukan antara ikatan emosional dan pemahaman kognitif sehingga seseorang dimungkinkan untuk mampu melihat dan merasakan sesuatu yang berada jauh di belakang teks. Contoh, bagaimana al-Qur’an menggambarkan hari kiamat? Di situ ditampilkan suara derap pasukan berkuda yang gagah yang siap melumatkan musush dalam sekejap. Ada lagi al-Qur’an menggambarkan ketika suatu saat nanti bintang-gemintang saling bertabrakan yang satu menghancurkan yang lain sehingga memunculkan suara gemuruh yang tak terpikirkan dan manusiapun lari tunggang langgang karena ketakutan. Menurut analisa psikolinguistik, metafor dan bahasa ikonografik yang disajikan al-Qur’an sangat efektif untuk menghancurkan kesombongan masyarakat jahiliyah Arab kala itu yang tingkat sastranya dikenal sangat tinggi.12 Perhatikan firman Allah yang melukiskan peristiwa hari kiamat dalam surat al-Qaari’ah ayat 1-5:
10
M. Nurkholis Setiawan, op.cit., hlm. 224. Ahmad Badawi, Min Balaghah al-Qur’an, Dar al-Nahdlah, Kairo, 1950, hlm. 190. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid., hlm, 88. 12 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Paramadina, Jakarta, 1996, hlm. 83. 11
44
ﺱ ﺎﻳﻜﹸﻮ ﹸﻥ ﺍﻟﻨ ﻡ ﻮ ﻳ (3) ﻋﺔﹸ ﺎ ﺍﹾﻟﻘﹶﺎ ِﺭﻙ ﻣ ﺍﺩﺭ ﺎ ﹶﺃﻭﻣ (2) ﻋﺔﹸ ﺎ ﺍﹾﻟﻘﹶﺎ ِﺭ( ﻣ1) ﻋﺔﹸ ﺍﹾﻟﻘﹶﺎ ِﺭ (5) ﺵ ِ ﻨﻔﹸﻮﻬ ِﻦ ﺍﹾﻟﻤ ﺎ ﹸﻝ ﻛﹶﺎﹾﻟ ِﻌﺠﺒ ِ ﺗﻜﹸﻮ ﹸﻥ ﺍﹾﻟﻭ (4) ﺙ ِ ﺒﺜﹸﻮﻤ ﺵ ﺍﹾﻟ ِ ﺍﻛﹶﺎﹾﻟ ﹶﻔﺮ (5-1 :)ﺍﻟﻘﺮﻋﺔ Artinya: “Hari kiamat, Apakah hari kiamat itu?, Tahukah kamu apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia seperti kupu-kupu yang bertebaran Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihamburhamburkan”.(QS. Al-Qaari’ah: 1-5)13 Tidak ada seorang pun yang mengetahui seperti apa hari kiamat itu? Masyarakat Arab jahiliyah yang menjadi sasaran pertama al-Qur’an diturunkan di mana mereka berhati keras, berwatak kaku, berpikiran terbatas yang terkungkung oleh pegunungan dan padang pasir yang tandus, tidak ada tanaman yang tumbuh maka untuk meneguhkan keyakinan mereka bahwa kehidupan dunia adalah fana Allah menggambarkan hari kiamat seperti kupukupu yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihamburhamburkan. Dalam keyakinan kita, sebagai seorang muslim tentu hari kiamat tidak sama persis seperti ilustrasi dalam ayat-ayat di atas. Namun hal itu perlu diketahui, bahwa peristiwa-peristiwa ghaib seringkali diilustrasikan dengan sesuatu yang konkrit karena konteks masyarakat yang dihadapi Nabi Muhammad saw memiliki karakter dan watak yang kaku. Karena itu hari kiamat dipersamakan dengan sesuatu yang nampak oleh penglihatan mereka, dengan maksud agar tumbuh keyakinan kuat terhadap ajaran yang dibawa Nabi Saw.14 Juga dalam firman Allah yang menggambarkan sifat-sifat penghuni neraka lantaran mereka tidak mensyukuri nikmat yang diberikan. Perhatikan surat al-A’raf ayat 179 berikut:
13 14
Departemen Agama RI., op.cit., hlm. 1093. A. Muzakki dan Syuhadak, op.cit., hlm, 89-90.
45
ﻢ ﻭﹶﻟﻬ ﺎﻮ ﹶﻥ ِﺑﻬﻳ ﹾﻔ ﹶﻘﻬ ﺏ ﱠﻻ ﻢ ﹸﻗﻠﹸﻮ ﻬ ﺲ ﹶﻟ ِ ﺍﻹِﻧﻦ ﻭ ﺠ ِ ﻦ ﺍﹾﻟ ﻣ ﻢ ﹶﻛﺜِﲑﹰﺍ ﻨﻬ ﺠ ﺎ ِﻟﺭﹾﺃﻧ ﺪ ﹶﺫ ﻭﹶﻟ ﹶﻘ ﻢ ﻫ ﺑ ﹾﻞ ﺎ ِﻡﻧﻌﻚ ﻛﹶﺎ َﻷ ﻭﻟﹶـِﺌ ﺎ ﹸﺃﻮ ﹶﻥ ِﺑﻬﻤﻌ ﺴ ﻳ ﻢ ﺁﺫﹶﺍ ﹲﻥ ﱠﻻ ﻭﹶﻟﻬ ﺎﻭ ﹶﻥ ِﺑﻬﺼﺮ ِ ﺒﻳ ﻦ ﱠﻻ ﻴﻋ ﹶﺃ (179 : )ﺍﻻﻋﺮﺍﻑ.ﺎِﻓﻠﹸﻮ ﹶﻥﻢ ﺍﹾﻟﻐ ﻫ ﻚ ﻭﻟﹶـِﺌ ﺿﻞﱡ ﹸﺃ ﹶﺃ Artinya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orangorang yang lalai.”(QS. Al-A’raf: 39)15 Kandungan tasybih dalam ayat di atas adalah “ula’ika kal an’am” (mereka seperti binatang ternak) . Sebuah gaya bahasa yang ringkas, padat, jelas dan penuh dengan makna. Orang-orang yang kufur terhadap nikmat Allah, seperti orang yang dikaruniai hati tapi tidak dipergunakan untuk berpikir, dikaruniai penglihatan tapi tidak dipergunakan untuk melihat kebesaran-Nya, dan dikaruniai telinga tapi tidak dipergunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Dari tiga sifat orang-orang yang kufur Allah cukup mempersamakan dengan satu ungkapan, yaitu “binatang ternak”. Walaupun ia punya panca indra yang lengkap, tetapi ia tidak punya rasa malu, sering memakan makanan milik orang lain, tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dan bahkan mereka lebih sesat dari pada binatang ternak. Secara sosiologis, barangkali Allah mempersamakan mereka dengan binatang ternak karena kebanyakam masyarakat Arab jahiliyah memiliki binatang-binatang ternak, dan itu menjadi simbol kekayaan. Dan bahkan ada satu surat dalam al-Qur’an yang namanya surat “al-An’am” (binatang ternak). Dengan demikian, karena seringnya melihat binatang ternak mereka 15
Departemen Agama RI., op.cit., hlm. 251-252.
46
akan menjadi mantap dengan mengetahui sifat-sifatnya. Sehingga mereka bisa membandingkan antara orang-orang yang pandai bersyukur dan orang-orang yang kufur.16 Contoh lain bentuk ungkapan tasybih seperti dalam surat an-Nuur ayat 39 di bawah ini:
ﺎﺀﻩﻰ ِﺇﺫﹶﺍ ﺟﺣﺘ ﺎﺀﺂ ﹸﻥ ﻣ ﺍﻟ ﱠﻈﻤﻪﺴﺒ ﺤ ﻳ ﻌ ٍﺔ ﺏ ِﺑﻘِﻴ ٍ ﺍﺴﺮ ﻢ ﹶﻛ ﻬ ﺎﹸﻟﻋﻤ ﻭﺍ ﹶﺃﻦ ﹶﻛ ﹶﻔﺮ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻭ .ﺏ ِ ﺎﺤﺴ ِ ﻊ ﺍﹾﻟ ﺳﺮِﻳ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻭﺑﻪﺎﻩ ِﺣﺴ ﻮﻓﱠﺎ ﹶﻓﺪﻩ ﻪ ﻋِﻨ ﺪ ﺍﻟﻠﱠ ﺟ ﻭ ﻭ ﺌﹰﺎﺷﻴ ﺪﻩ ﺠ ِ ﻳ ﻢ ﹶﻟ (39 :)ﺍﻟﻨﻮﺭ Artinya: “Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orangorang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amalamal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya”. (QS. An-Nuur: 179)17 Melihat kondisi geografi tanah Arab yang sulit untuk mendapatkan air, maka dalam ayat tersebut Allah mempersamakan amal-amal orang kafir seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air dan bila didatangi tidak didapatinya. Satu gambaran yang benar-benar membuat mereka untuk berfikir mendalam, bahwa apa yang mereka lakukan selama ini di hadapan Allah tidak akan mendapatkan balasan sedikit pun. Allah mempersamakan amal-amal orang kafir dengan fatamorgana, karena di tempat mereka hidup sangat sulit untuk mendapatkan air, dan itu menjadi sumber kehidupan masyarakat Arab secara keseluruhan, sehingga dengan demikian mereka lebih mudah membaca fenomena alam untuk kemudian direfleksikan kepada keyakinannya yang selama ini dianggap benar.18
16
Lihat A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid., hlm, 91. Departemen Agama RI., op.cit.,hlm. 551. 18 A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid., hlm, 93. Mengenai definisi selengkapnya lihat M. Murkholis Setiawan, op. cit, hlm.208-222. 17
47
Ketiga; Isti’arah (Peminjaman Kata). Para ahli bahasa, termasuk kritikus sastra meski banyak memberikan definisi isti’arah berbeda-beda, namun inti yang dimaksud saling mendekati. Misalnya definisi yang dikemukakan Ibn Qutaibah (w. 276 H), isti’arah adalah peminjaman kata untuk dipakai dalam kata yang lain karena ada beberapa faktor. Pada lazimnya, orang Arab sering meminjam kata dan menempatkannya untuk kata lain tatkala ditemukan alasan-alasan yang memungkinkan. Juga dengan Tsalab (w. 291 H), ia mengatakan, isti’arah adalah peminjaman makna kata untuk kata lainnya yang mana kata tersebut pada awalnya tidak memiliki makna yang dipinjamkan. Sementara al-Jurjani (w. 471 H) mendefinisikan isti’arah sebagai peralihan makna dari kata yang dalam penggunaan bahasa keseharian memiliki makna dasar, atau makna asli, kemudian karena alasan tertentu makna tersebut beralih kepada makna lainnya bahkan terkadang melampaui batas makna leksikalnya. Ia menjelaskan, bahwa isti’arah senantiasa mengandung unsur perbandingan. Konsep isti’arah sebenarnya berangkat dan bermuara dari bentuk gaya bahasa tasybih. Jadi pada hakikatnya ungkapan bentuk isti’arah ini adalah ungkapan bentuk tasybih yang paling tinggi. Menurut Ahmad al-Hasyimi dan para ahli balaghah lainnya, isti’arah mempunyai tiga unsur; 1) musta’ar lah (musyabbah), 2) musta’ar minhu (musyabbah bih), dan 3) musta’ar (kata yang dipinjam).19 Untuk lebih jelasnya perhatikan firman Allah surat Ibrahim ayat l:
ﻢ ﺑ ِﻬﺭ ﻮ ِﺭ ِﺑِﺈ ﹾﺫ ِﻥﺕ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟﻨ ِ ﺎﻦ ﺍﻟﻈﱡﹸﻠﻤ ﺱ ِﻣ ﺎﺝ ﺍﻟﻨ ﺨ ِﺮ ﻚ ِﻟﺘ ﻴ ِﺇﹶﻟﺎﻩﺰﹾﻟﻨ ﺏ ﺃﹶﻧ ﺎﺍﻟﹶﺮ ِﻛﺘ (1 : )ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ.ﺤﻤِﻴ ِﺪ ﻌﺰِﻳ ِﺰ ﺍﹾﻟ ﻁ ﺍﹾﻟ ِ ﺍﺻﺮ ِ ِﺇﻟﹶﻰ Artinya: “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”.(QS. Ibrahim: 1)20 19
Ahmad al-Hasyimi, op. cit, hlm. 304. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, ibid, hlm, 93-94. 20 Departemen Agama RI., op.cit., hlm. 379.
48
Dalam ayat di atas terdapat tiga kata yang dipinjam, yaitu 1) aldzulumat (gelap gulita), 2) al-nur (cahaya), dan 3) al-shirath (jalan). Kata “aldzulumat” dipinjam dari kata “al-kufr” (kekufuran), asalnya kekufuran diserupakan dengan suasana gelap gulita karena sama-sama tidak ada cahaya atau petunjuk. Kemudian kata “al-kufr” dibuang dan maksudnya dipinjamkan kepada kata “al-dzulumat” Juga kata “al-nur” dipinjam dari kata “al-iman” (keimanan), asalnya keimanan diserupakan dengan cahaya karena sama-sama menerangi kehidupan. Kemudian kata “al-iman” dibuang dan maksudnya dipinjamkan kepada kata “al-nur”. Dan kata “al-shirath” dipinjam dari kata “al-Islam” (keislaman), asalnya jalan diserupakan dengan Islam karena sama-sama memberikan cara atau petunjuk. Kemudian kata “al-Islam” dibuang
dan
maksudnya
dipinjamkan kepada kata “al-shirath”. Jadi, dalam memahami ayat tersebut hendaknya kata “al-dzulumat” dipahami sebagai kekufuran, kata “a-lnur” dipahami dengan keimanan, dan kata “al-shirath” dipahami dengan keislaman. Secara logika, diturunkannya al-Qur’an untuk manusia bukan karena mereka supaya keluar dari suasana gelap gulita menuju cahaya untuk memperoleh jalan. Al-Qur’an adalah wahyu sebagai pedoman hidup manusia, ia diturunkan oleh Allah agar manusia bisa keluar dari kekufuran menuju keimanan dengan aturan yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam. Contoh isti’arah yang lain adalah;
ﻌﻪ ﻣ ﻱ ﺃﹸﻧ ِﺰ ﹶﻝ ﺭ ﺍﻟﱠ ِﺬ ﻮﻮﹾﺍ ﺍﻟﻨﺒﻌﺗﺍﻩ ﻭ ﻭﺼﺮ ﻧﻭ ﻩ ﻭﺰﺭ ﻋ ﻭ ﻮﹾﺍ ِﺑ ِﻪﻣﻨ ﻦ ﺁ ﻓﹶﺎﱠﻟﺬِﻳ... (157 : )ﺍﻻﻋﺮﺍﻑ.ﻮ ﹶﻥﻤ ﹾﻔِﻠﺤ ﻢ ﺍﹾﻟ ﻫ ﻚ ﻭﻟﹶـِﺌ ﹸﺃ Artinya: “…Dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. AlA’raf: 157)21 Kata “nur” di sini dipinjam untuk memperjelas misi dan pesan kenabian, karena keduanya memiliki fungsi meyakinkan, menghilangkan, 21
Ibid., hlm. 246-247.
49
serta menepis keraguan atas kebenaran misi kenabian tersebut. Jadi maksud kata “al-nur” adalah kehadiran Nabi Muhammad saw.22 Keempat; Kinayah. Al-Mubarrad (w.258 H) merupakan sarjana bahasa yang melakukan sistematisasi mengenai konsep kinayah. Dalam karyanya “al-Kamil”, al-Mubarrad menguraikan tiga model kinayah beserta fungsinya, i) menjadikan sesuatu lebih umum, ii) memperindah ungkapan, dan iii) untaian pujian. Namun al-Mubarrad tidak banyak mengulas pada model pertama dan ketiga, ia lebih menitikberatkan pada model yang kedua, yaitu kinayah sebagai penyempurna keindahan ungkapan, khususnya yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an. Kinayah adalah mengungkapan kata, tetapi yang dimaksud bukan makna dari kata itu, sekalipun bisa dibenarkan kalau dipahami sesuai dengan makna dasarnya. Misalnya dalam peribahasa Arab dikatakan: “Tangan panjang” Di kalangan orang Arab sangat popular istilah “al-yad al-thawilah” untuk menyebut (sebagai kinayah) kepada seseorang yang suka memberi atau membantu. Tetapi kalau “al-yad al-thawilah” dipahami sebagai tangan yang panjang, sesuai dengan makna dasarnya juga tidak salah. Inilah kinayah.23 Perhatikan pula dalam surat az-Zukhruf ayat 18:
(18 : )ﺍﻟﺰﺧﺮﻑ.ﲔ ٍ ِﺒ ﻣﻴﺮﺎ ِﻡ ﹶﻏﺨﺼ ِ ﻮ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟ ﻭﻫ ﻴ ِﺔﺤ ﹾﻠ ِ ﹸﺄ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﻨﺸﻳ ﻦﻭﻣ ﹶﺃ Artinya: “Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran”. (QS. Az-Zukhruf: 18)24 Menurut Fadlal Hasan, ayat tersebut diturunkan kepada Nabi yang dilatarbelakangi oleh kebiasaan orang Arab jahiliyah yang membenci anak anak wanita dan menguburnya hidup-hidup. Selain itu, mereka juga menyangka bahwa malaikat itu anak perempuan Allah. Kemudian ayat tersebut diturunkan sekaligus memperkuat kebodohan dan kedangkalan pemikiran mereka. Dalam ungkapan ayat di atas “man yunasysya’u fil 22
A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid., hlm, 94-96. Lihat penjelasan selengkapnya dalam M. Nurkholis Setiawan, op.cit., hlm.245-252. 24 Departemen Agama RI. op.cit., hlm. 796. 23
50
hilyati” (orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan) adalah kinayah bagi seorang wanita. Karena yang sering berhias dan berdandan, serta tidak memiliki kekuatan dalam pertengkaran adalah wanita.25 Kelima; Tauriyah (Menampakkan Makna Lain). Tauriyah secara bahasa adalah menyembunyikan sesuatu dan menampakkan yang lain. Sedangkan secara istilah adalah menyampaikan bahasa atau kata dalam bentuk tunggal (mufrad), tetapi ia memiliki dua makna (ambigu), yaitu makna dekat (denotatif) dan makna jauh (konotatif), tetapi yang dikehendaki adalah makna konotatifnya. Misalnya dalam surat al-An’am ayat 60 :
ﻰﻴ ﹾﻘﻀﻢ ﻓِﻴ ِﻪ ِﻟ ﻌﺜﹸﻜﹸ ﺒﻳ ﺎ ِﺭ ﹸﺛﻢﻨﻬﻢ ﺑِﺎﻟ ﺘﺣ ﺮ ﺟ ﺎ ﻣﻌﹶﻠﻢ ﻳﻭ ﻴ ِﻞﻢ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ﻮﻓﱠﺎ ﹸﻛ ﺘﻳ ﻮ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﻭﻫ (60 :)ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ.ﻤﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﻌ ﺗ ﻢ ﺘﻨﺎ ﹸﻛﻢ ِﺑﻤ ﹸﺌ ﹸﻜﻨﺒﻳ ﻢ ﹸﺛﻢ ﻜﹸﺮ ِﺟﻌ ﻣ ﻴ ِﻪ ِﺇﹶﻟﻰ ﹸﺛﻢﺴﻤ ﻣ ﺟ ﹲﻞ ﹶﺃ Artinya: “Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur (mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Al-An’am: 60)26 Pada kata “jarahtum” memiliki dua makna, 1) kamu kerjakan, sebagai makna dekat atau denotatif, dan 2) melakukan dosa-dosa, sebagai makna jauh atau konotatif. Tetapi yang dikehendaki dalam ayat di atas adalah makna yang kedua, yaitu melakukan dosa-dosa. Karena dalam konteks kalimat tersebut terkait dengan umur dan pertanggungjawaban amal perbuatan, sehingga kata ‘ jarahtum” lebih tepat kalau dipahami melakukan dosa-dosa. Pemahaman seperti ini tidak cukup dengan membaca terjemahnya saja, tetapi penguasaan terhadap sebab-sebab turunnya ayat, keterkaitan antara maksud kalimat yang satu dengan lainnya, dan ketajaman dzauq sangat menentukan.27
25
A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid., hlm, 96-98. Departemen Agama RI., op.cit., hlm. 196. 27 A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid., hlm, 98-99. 26
51
Keenam; Thibaq (Antitesis). Secara bahasa thibaq berarti kecocokan. Menurut istilah adalah mengumpulkan atau menyandingkan dua kata yang berlawanan makna, kalau lebih dari satu kata maka ia disebut muqabalah. Maksud berlawanan di sini adalah bukan seperti yang terdapat pada kata antonim. Contoh thibaq sebagai berikut;
ﺭ ﹸﺛﻢ ﻮﺍﻟﻨﺕ ﻭ ِ ﺎﻌ ﹶﻞ ﺍﻟﻈﱡﹸﻠﻤ ﺟ ﻭ ﺽ ﺭ ﻭﹾﺍ َﻷ ﺕ ِ ﺍﻤﻮ ﺴ ﻖ ﺍﻟ ﺧﹶﻠ ﺪ ِﻟﻠﱠ ِﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﻤ ﺤ ﺍﹾﻟ (1 : )ﺍﻻﻧﻌﺎﻡ.ﻌ ِﺪﻟﹸﻮ ﹶﻥ ﻳ ﻢ ﺑ ِﻬﺮ ﻭﺍ ِﺑﻦ ﹶﻛ ﹶﻔﺮ ﺍﱠﻟﺬِﻳ Artinya: “Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka”. (QS. AlAn’am: 1)28 Kata “al-samawat” (langit) dan “al-ardl” (bumi) adalah dua kata yang disejajarkan dan maknanya saling berlawanan, begitu juga dengan kata “aldzulumat” (gelap gulita) dan “al-nur” (cahaya). Contoh yang lain misalnya:
.ﲑ ﺼ ِ ﺑ ﻤﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﻌ ﺗ ﺎ ِﺑﻤﺍﻟﻠﱠﻪﻦ ﻭ ﺆ ِﻣ ﻣ ﻭﻣِﻨﻜﹸﻢ ﺮ ﻢ ﻛﹶﺎِﻓ ﻢ ﹶﻓﻤِﻨ ﹸﻜ ﺧﹶﻠ ﹶﻘﻜﹸ ﻮ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﻫ (2 :)ﺍﻟﺘﻐﺎﺑﻦ Artinya: “Dia-lah yang menciptakan kamu, maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang beriman. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. At-Taghabun: 2).29 Kata “kafir” yang disejajarkan dengan kata “mu’min” adalah bentuk thibaq. Sedangkan contoh muqabalah adalah sebagai berikut;
ﻮ ﹶﻥﺮﺟ ﻳﻭ ﺮﺏ ﻢ ﹶﺃ ﹾﻗ ﻬ ﻳﻮﺳِﻴﹶﻠ ﹶﺔ ﹶﺃ ﺍﹾﻟﺑ ِﻬﻢﺭ ﻮ ﹶﻥ ِﺇﻟﹶﻰﺘﻐﺒﻳ ﻮ ﹶﻥﺪﻋ ﻳ ﻦ ﻚ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﺃﹸﻭﻟﹶـِﺌ (57 : )ﺍﻹﺳﺮﺍﺀ.ﺤﺬﹸﻭﺭﹰﺍ ﻣ ﻚ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺑﺭ ﺏ ﻋﺬﹶﺍ ِﺇﻥﱠﺑﻪﻋﺬﹶﺍ ﺎﻓﹸﻮ ﹶﻥﻳﺨﻭ ﺘﻪﻤ ﺣ ﺭ 28 29
Departemen Agama RI., op.cit., hlm. 86. Ibid., hlm. 940.
52
Artinya: “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al-Isra’: 57)30 Kata “yarjuna” (mengharap) dan kata “rahmatuhu” (rahmat) adalah dua kata yang memiliki makna berdekatan, kemudian disejajarkan dengan dua kata yang berlawanan, yaitu kata “yakhafuna” (takut) dan kata “adzabahu” (siksa) yang juga memiliki makna yang berdekatan pula. Dalam susunan mensejajarkan dua kata atau lebih yang memiliki kedekatan makna dan kemudian didatangkan juga dua kata atau lebih yang berlawanan, inilah yang dimaksud dengan muqabalah. Juga perhatikan dua susunan ayat di bawah ini:
(7) ﻯﺴﺮ ﻴ ِﻟ ﹾﻠﻩﺮﻴﺴﺴﻨ ( ﹶﻓ6) ﻰﺴﻨ ﺤ ﻕ ﺑِﺎﹾﻟ ﺪ ﺻ ﻭ (5) ﺗﻘﹶﻰﺍﻋﻄﹶﻰ ﻭ ﻦ ﹶﺃﺎ ﻣﹶﻓﹶﺄﻣ ﻯﺴﺮ ﻌ ِﻟ ﹾﻠﻩﺮﻴﺴﺴﻨ ( ﹶﻓ9) ﻰﺴﻨ ﺤ ﺏ ﺑِﺎﹾﻟ ﻭ ﹶﻛﺬﱠ (8) ﻰﻐﻨ ﺘﺳ ﺍﺨ ﹶﻞ ﻭ ِ ﺑ ﻦﺎ ﻣﻭﹶﺃﻣ (10-5 :( )ﺍﻟﻴﻞ10) Artinya: “Adapun orang yang memberikan (harta di jalan Allah) dan bertaqwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga). Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah” (QS. Al-Lail: 5-10)31 Dalam susunan pertama terdapat enam kata yang memiliki makna berdekatan, kemudian disejajarkan dengan enam kata yang berlawanan sekaligus memiliki makna yang berdekatan, perhatikan susunan kalimat yang kedua:
(10) ﻯﺴﺮ ﻌ ِﻟ ﹾﻠﻩﺮﻴﺴﺴﻨ ( ﹶﻓ9) ﻰﺴﻨ ﺤ ﺏ ﺑِﺎﹾﻟ ﻭ ﹶﻛﺬﱠ (8) ﻨﻰﻐ ﺘﺳ ﺍﺨ ﹶﻞ ﻭ ِ ﺑ ﻦﺎ ﻣﻭﹶﺃﻣ (10-8 :)ﺍﻟﻴﻞ 30 31
Ibid., hlm. 432. Ibid., hlm. 1067.
53
Artinya: “Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustkan pahala yang terbaik. Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar” (QS. Al-Lail: 8-10).32 Ketujuh; Jinas. Jinas adalah kesesuaian huruf dan bunyi dari dua kata, atau kata-kata tersebut berakar dari kata yang sama (derivasi), tetapi kata tersebut memiliki makna yang berbeda. Misalnya pada surat al-Ruum ayat 55:
ﻮﺍﻚ ﻛﹶﺎﻧ ﻋ ٍﺔ ﹶﻛ ﹶﺬِﻟ ﺎﺮ ﺳ ﻴﺎ ﹶﻟِﺒﺜﹸﻮﺍ ﹶﻏﻮ ﹶﻥ ﻣﺠ ِﺮﻣ ﻤ ﺍﹾﻟﺴﻢ ِ ﹾﻘﻋﺔﹸ ﻳ ﺎﻡ ﺍﻟﺴ ﺗﻘﹸﻮ ﻡ ﻮ ﻳﻭ (55 : )ﺍﻟﺮﻭﻡ.ﺆﹶﻓﻜﹸﻮ ﹶﻥ ﻳ Artinya: “Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa, mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja), seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran)” (QS. Ar-Ruum: 55)33 Dalam ayat di atas terdapat dua kata yang sama, baik dari sisi hurufnya maupun bunyinya, yaitu kata “as-sa’ah”. “Sa’ah” yang pertama bermakna hari kiamat, sedangkan “sa’ah” yang kedua bermakna waktu atau zaman. Juga perhatikan pula surat al-Kafirun di bawah ini:
ﺎﻭ ﹶﻥ ﻣﺎِﺑﺪﻢ ﻋ ﺘﻭ ﹶﻻ ﺃﹶﻧ (2) ﻭ ﹶﻥﺒﺪﻌ ﺗ ﺎ ﻣﺪﻋﺒ ( ﹶﻻ ﹶﺃ1) ﻭ ﹶﻥﺎ ﺍﹾﻟﻜﹶﺎِﻓﺮﻳﻬﺎ ﹶﺃﹸﻗ ﹾﻞ ﻳ ﻢ ( ﹶﻟ ﹸﻜ5) ﺪﻋﺒ ﺎ ﹶﺃﻭ ﹶﻥ ﻣﺎِﺑﺪﻢ ﻋ ﺘﻭ ﹶﻻ ﺃﹶﻧ (4) ﻢ ﺗﺪﻋﺒ ﺎﺪ ﻣ ﺎِﺑﺎ ﻋﻭ ﹶﻻ ﹶﺃﻧ (3) ﺪﻋﺒ ﹶﺃ (6-1 : )ﺍﻟﻜﻔﺮﻭﻥ.ﻲ ﺩِﻳ ِﻦ ﻭِﻟ ﻢ ﻨ ﹸﻜﺩِﻳ Artinya: “…Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
32 33
Ibid., hlm. 1069. Ibid., hlm. 650.
54
Untukmu lah agamamu, dan untukkulah agamaku.”(QS. AlKafirun: 1-6)34 Dalam ayat tersebut di atas terdapat beberapa kata yang sama yang berakar dari satu jenis kata, yaitu “abada” (menyembah). Sekalipun maknanya sama-sama menyembah, tetapi masing-masing pelakunya berbeda, inilah yang disebut dengan jinas isytiqaq (derivasi).35
B. Majaz Pada Ayat-Ayat Mutasyabihat. Dalam ulum al-Qur’an, kita telah mengetahui bahwa al-Qur’an selain memiliki
ayat-ayat
yang
muhkamat
juga
memiliki
ayat-ayat
yang
mutasyabihat, yakni ayat-ayat yang dalam memahaminya diperlukan kerjakerja penafsiran yang melampaui makna dzahir suatu ayat menuju makna bathin.36 Pada ayat-ayat mutasyabihat inilah memahami prinsip-prinsip majaz menjadi sangat penting karena majaz secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengalihan makna dari bentuk denotatif ke bentuk metafor, dengan kata lain melampaui makna haqiqahnya. Mengenai pengertian muhkam dan mutasyabihat, terdapat banyak perbedaan pendapat, menurut Manna al-Qattan setidaknya ada beberapa perbedaan, di antaranya: Pertama; muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sementara mutasyabihat adalah ayat yang maksudnya hanya diketahui oleh Allah sendiri. Kedua; muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedangkan mutasyabihat mengandung banyak wajah. Ketiga; muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara 34
Ibid., hlm. 1112. A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid., hlm, 102-104. 36 Mengenai terdapatnya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat sudah dijelaskan sendiri oleh Allah swt dalam al-Qur’an yakni pada surat Ali Imran ayat 7 yang artinya: “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orangorang yang berakal”. 35
55
langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabihat tidaklah demikian, ia memerlukan penjelasan dengan merujuk pada qarinahqarinahnya dan juga ayat-ayat yang lain.37 Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam al-Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, misalnya ayat tentang halal, haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabihat para ulama mencontohkan dengan ayat-ayat mansukh dan ayat-ayat tentang asma Allah swt dan sifat-sifat-Nya, diantaranya adalah pada surat Thaha ayat 5
(5) ﻯﺘﻮﺳ ﺵ ﺍ ِ ﺮ ﻌ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ ﻦ ﻤ ﺣ ﺍﻟﺮ Artinya: “ar-Rahman bersemayam di atas ‘Arsy”. Surat al-Qashas ayat 88 :
(88) ...ﻬﻪ ﺟ ﻭ ﻚ ِﺇﻟﱠﺎ ﺎِﻟﻲ ٍﺀ ﻫ ﺷ ﹸﻛﻞﱡ... Artinya: “Segala sesuatu pasti akan binasa kecuali wajah-Nya”. Surat al-Fath ayat 10 :
(10)...ﻢ ﻳﺪِﻳ ِﻬﻕ ﹶﺃ ﻮ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﻓﻳﺪ... Artinya: “Tangan Allah di atas tangan mereka”. Surat al-An’am ayat 18 :
(18)...ﺎ ِﺩ ِﻩﻕ ِﻋﺒ ﻮ ﹶﻓﻮ ﺍﹾﻟﻘﹶﺎ ِﻫﺮ ﻭﻫ ... Artinya: “Dan Dialah yang berkuasa di atas hamba-hamba-Nya”. Surat al-Fajr ayat 22 :
(22) ...ﻚ ﺑﺭ ﺎﺀﻭﺟ Artinya: “Dan datanglah Tuhanmu”. 37
Manna al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Litera AntarNusa, Jakarta, Cet ke 6, 2001, hlm. 305-306.
56
Surat al-Fath ayat 6
(6) ... ﻢ ﻴ ِﻬﻋﹶﻠ ﻪ ﺐ ﺍﻟﱠﻠ ﻀ ِ ﻭ ﹶﻏ ... Artinya: “Dan Allah memarahi mereka”. Surat al-Bayyinah ayat 8 :
(8)... ﻢ ﻬ ﻨﻋ ﻪ ﻲ ﺍﻟﱠﻠ ﺿ ِ ﺭ ... Artinya: “Allah ridha terhadap mereka”. Dan surat Ali Imran ayat 31 :
(31) ... ﻪ ﺍﻟﻠﹼﺒﻜﹸﻢﺤِﺒ ﻮﻧِﻲ ﻳﺗِﺒﻌ ﻓﹶﺎ... Artinya: “Maka ikutilah Aku, niscaya Allah akan mencintaimu”. Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lainnya yang menerangkan hal serupa. Secara umum para ulama juga berbeda pendapat mengenai pensikapannya terhadap ayat-ayat mutasyabihat, ada ulama yang menerima keberadaan ayat ayat-mutasyabihat dan ada juga yang menolaknya. Akan tetapi ada juga ulama yang bersikap kompromi terhadap kedua pendapat di atas dengan memahami makna ta’wil.38 Dengan merujuk makna ta’wil maka akan jelaslah bahwa antara kedua pendapat yang saling kontra sebenarnya bisa dipertemukan, karena makna ta’wil digunakan untuk menunjukan tiga makna, yakni; Pertama; memalingkan sebuah lafaz dari makna yang kuat (rajih) ke makna yang lemah (marjuh), karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian ta’wil yang dimaksudkan oleh ulama muta’akhirin.
Kedua;
ta’wil
dengan
makna
tafsir
(menerangkan,
menjelaskan), yaitu pembicaraan untuk menafsirkan lafaz-lafaz agar maknanya dapat dipahami. Ketiga; ta’wil adalah haqiqat (substansi) yang kepadanya pembicaraan dikembalikan. Makna ta’wil dari apa yang diberitakan Allah tentang zat dan sifat-sifat-Nya ialah zat-Nya itu sendiri yang
38
Pembahasan mengenai ta’wil, lihat pada bab II.
57
kudus dan hakikat sifat-sifat-Nya.39 Dengan pembahasan ini jelaslah bahwa pada hakikatnya tidak terdapat pertentangan antara kedua pendapat tersebut. Persoalannya hanya berkisar pada perbedaan arti ta’wilnya. Memang dalam al-Qur’an terdapat lafaz-lafaz mutasyabihat yang makna serupa dengan makna yang kita ketahui di dunia, akan tetapi hakikatnya adalah berbeda. Misalnya asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya, meskipun serupa dengan nama-nama hamba dan sifatnya dalam hal lafaz dan makna kully-nya (universal), akan tetapi hakikatnya tidak sama. Para ulama memahami betul makna lafaz tersebut dan dapat membedakannya, namun hakikat sebenarnya merupakan ta’wil yang hanya diketahui oleh Allah. Oleh karena itu ketika ditanyakan kepada Malik tentang makna istiwa’ dalam firman Allah: “ar-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa”, mereka menjawab: “maksud istiwa’ (bersemayam) telah kita ketahui, namun mengenai bagaimana caranya kita tidak bisa mengetahuinya. Iman kepadanya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah”. Rabi’ah bin Abdurrahman, guru Malik, jauh sebelumnya pernah berkata: “arti istiwa’ sudah kita ketahui, namun bagaimana caranya tidak kita ketahui, hanya Allah lah yang mengetahui apa sebenarnya,
rasul
pun
hanya
menyampaikan:
sedang
kita
wajib
mengimaninya”. Jadi jelas bahwa arti istiwa’ itu sendiri sudah kita ketahui, tetapi caranyalah yang tidak diketahui.40 Demikian juga halnya dengan berita-berita dari Allah mengenai hari kemudian. di dalamnya terdapat lafaz-lafaz yang maknanya serupa dengan apa yang kita kenal di dunia, tetapi hakikatnya tidaklah sama. Misalnya di akhirat terdapat mizan (timbangan), jannah (taman), dan nar (api). Dan di dalam taman-taman itu terdapat sungai-sungai yang airnya tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai khamr yang lezat rasanya bagi para peminumnya, dan sungai-sungai madu yang disaring”.41 Dan di dalamnya terdapat tahta yang ditinggikan, dan gelasgelas yang terletak (di dekatnya) bantal-bantal sandaran yang tersusun dan 39
Lihat Manna al-Qattan, op.cit, hlm. 308-309. Manna al-Qattan, Ibid., hlm. 310. 41 Lihat dalam surat al-Qital ayat 15. 40
58
permadani-permadani yang terhampar.42 Berita-berita tersebut harus kita yakini dan diimani, dan segala apa yang ada di akhirat pada hakikatnya adalah berbeda dengan apa yang kita ketahui di dunia. Namun hakikat perbedaan ini tidak kita ketahui karena termasuk ta’wil yang hanya diketahui oleh Allah semata. Dari penjelasan di atas kiranya dapat kita pahami bahwa majaz erat kaitannya dengan ayat-ayat mutasyabihat, dimana prinsip-prinsip majaz adalah perpindahan makna dasar ke makna lainnya, atau pelebaran medan makna dari makna dasar karena ada alasan tertentu. Secara teoritik, majaz adalah peralihan makna dari yang leksikal menuju yang literer, atau dari yang denotatif menuju yang konotatif karena ada alasan-alasan tertentu. Prinsipprinsip majaz ini merupakan kebalikan dari haqiqah, yakni sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengandung kemungkinan makna lain.
42
Lihat surat al-Ghasyiyah ayat 13-16.