BAB III KEPENGURUSAN HARTA PERSATUAN
A. BEHEER DAN BESCHIKKING Untuk pembicaraan lebih lanjut, perlu dibicarakan lebih dahulu perbedaan antara beheer dan beschikking. Kada beheer atau tindakan pengurusan, dalam hukum dibedakan dari beschikking atau tindakan pemilikan. Beheer adalah tindakan pengurus barang-barang (yang ditaruh dibawah beheer), mengusahakan agar memberikan hasil (seperti menyewakan), meliputi pula tindakan-tindakan seperti menagih, menguangkan (tagihan-tagihan, kirimankiriman uang, wesel, deviden), menyerahkan hasil kepada orang yang berhak, memperbaiki/reparasi barang-barang. Beschikking ialah tindakan menguangkan modalnya dengan maksud untuk menghendaki hasilnya. Sebenarnya sulit untuk memberikan batasan secara tegas antara beheer dan beschikking, semunya bergantung dari keadaan. Pada umumnya beschikking meliputi tindakan-tindakan seperti : menjual, membebani dan memindahtangankan.
Hukum Perkawinan - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
1
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
Pembatasan Atas Hak Beheer Suami Kita lihat bahwa kekuasaan suami atas harta persatuan adalah luas sekali. Pembuat Undang-undang menyadari hal tersebut dan karenanya terhadap kekuasaan suami dalam Undang-undang didadakan pembatasan dan disamping itu si istripun dapat minta diperjanjikan pembatasan dalam perjanjian kawin (pasal 140 ayat 3). Pembatasan kekuasaan Suami atas harta persatuan
- Oleh Undang-Undang - Berdasarkan perjanjian (tercantum dalam perjanjian)
Pembatasan melalui undang-undang Undang-undang memberikan pembatasan terhadap wewenang suami dalam pasal 124 ayat 3 : “Selaku hibah antara yang masih hidup, ia tak diperbolehkan menggunakan barang-barang persaruan baik barang-barang tak bergerak, maupun barang-barang begerak, untuk seluruhnya, untuk sebagaian yang tertentu atau sejumlah dari itu, melainkan untuk menyelenggarakan kedudukan bagi anak-anak dari perkawinan mereka”.
Hukum Perkawinan - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
2
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
Kecakapan Membuat dan Mengubah Perjanjian Kawin : BW memberikan beberapa peraturan mengenai mereka yang : a. Minderjarig Bagi mereka yang masih minderjarig untuk membuat perjanjian kawin memerlukan bantuan perwalian/pengampuan dari mereka yang ijinnya diperlukan untuk melangsungkan perkawinan (pasal 35, 36 BW). b. Wandraag Yang dimaksud ialah seseorang dalam kondisi fisik sehat sebagai orang dewasa, tetapi dalam melakukan perbuatan melawan hukum perlu orang sebagai pengampu, hal ini terjadi terhadap orang yang boros, mabuk (pasal 452, 151 BW). Pasal 147 BW Menetapkan bahwa perjanjian kawin harus dibuat sebelum perkawinan. Pasal 149 BW Perjanjian kawin tidak boleh diubah sepanjang perkawinan. Pasal 152 BW Perjanjian kawin baru berlaku terhadap pihak ketiga sejak hari pendaftarannya dan Kepaniteraan Pengadilan Negeri.
Hukum Perkawinan - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
3
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
Undang-undang Perkawinan No. 1/1974 (29 ayat 4) : Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut (perjanjian kawin) tidak dapat diubah kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk menambah dan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga. Persatuan Antara Suami-Istri Di depan telah dikemukakan, bahwa suatu perkawinan mempunyai akibat hukum : a. Terhadap persoon suami istri. b. Terhadap harta (kekayaan) suami istri. Di dalam pasal 199 ayat 1 BW, ditetapkan bahwa “sejak saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami-istri”. Selanjutnya pasal 121 mengatakan : Sekedar mengenai beban-bebannya (passivanya), persatuan itu meliputi utang suami-istri masing-masing yang terjadi baik sebelum, maupun sepanjang perkawinan. Sifat Harta Persatuan : Persatuan harta bulat antara suami-istri bersifat tetap sepanjang perkawinan, suami-istri tidak dapat mengadakan perubahan, sekalipun atas dasar persetujuan suami-istri (pasal 119 ayat 2 BW).
Hukum Perkawinan - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
4
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
Untuk menjaga prinsip tersebut pembuat Undang-undang membuat ketentuanketentuan yang bersifat melindungi asas tersebut. a. Antara suami-istri tidak diperkenankan mengadakan perjanjian jual beli (pasal 147 BW). b. Suami-istri tidak boleh saling hibah menghibahi (pasal 1678 BW) c. antara suami-istri tidak boleh mengadakan tukar-menukar (pasal 1546 jo 1467 BW). d. Antara suami-istri tidak boleh mengadakan perjanjian perburuhan (pasal 1601 i BW). B. PECAHNYA HARTA PERSATUAN Hak Istri Untuk Menuntut Pemecahan Harta Persatuan Di dalam sistem BW, ternyata suami mempunyai kekuasaan yang luas sekali, terutama atas harta persatuan, sebab “ia sendiri yang melakukan beheer atas harta persatuan” (pasal 124 ayat 1 BW) dan beheernya disini meliputi tindakan-tindakan pemilikan/beschikking v (pasal 124 ayat 2), sedang menurut yursprudensi ia tak usah memberikan pertanggung jawaban atas beheer yang dilakukan olehnya. Pembentuk undang-undang tahu benar kemungkinan adanya kasus yang demikian itu dan ia pun bukannya tidak berupaya untuk mengatasi terjepitnya kedudukan sang istri. Ia memberikan kepada istri suatu hak untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan, agar harta persatuan dipecah, sehingga persatuan harta suami istri dan yang telah ada dipecah menjadi dua bagian, masing-masing suami istri mendapat ½ (setengah) dari harta persatuan.
Hukum Perkawinan - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
5
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
Syarat-Syarat Untuk Tuntutan Pemecahan Harta Persatuan PASAL 186 BW, mengatakan : Sepanjang perkawinan setiap istri berhak mengajukan tuntutan kepada Hakim akan permisahan harta kekayaan, akan tetapi hanya dalam hal-hal sebagai berikut : a. Jika suami karena kelakuannya tidak baik (wangedraag) telah memboroskan harta kekayaan persatuan dan menghadapkan segenap keluarga kepada bahaya keruntuhan. b. Jika karena tak adanya ketertiban dan tidak becusnya suami mengurus harta kekayaannya sendiri, jaminan atas harta kawin si istri dan segala apa yang menurut hukum menjadi hak si istri, tidak ada lagi atau jika dalam mengurus harta perkawinan si istri, harta ini dibahayakan. Permohonan pemecahan harta persatuan dan turut sertanya pihak ketiga sebagai penyela. Bila salah satu syarat tersebut ada, maka istri dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri, agar harta persatuan antara dia dan suaminya dipecah. Dalam proses pengajukan permohonan tersebut pembuat undang-undang masih memperhatikan kepentingan pihak ketiga kreditur dengan masyarakat agar tuntutan sang istri diumumkan (187 BW). Syarat
tersebut
dimaksudkan
agar
pihak
ketiga
kreditur
yang
berkepentingan dapat menyela sebagai pihak yang berperkara antara suami dan istri, dengan maksud untuk dapat mengajukan keberatan-keberatan (188 BW) dan dengan demikian dapat minta perlindungan agar kepentingan-kepentingannya tidak dirugikan dengan pemecahan harta persatuan tersebut.
Hukum Perkawinan - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
6
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
Ada suatu tindakan preventif terhadap hak beheer suami selama proses pemecahan harta persatuan. Pitio menunjuk kepada pasal 823 Rv (reglement op de Rechts vordering) di mana antara lain ditentukan bahwa istri dapat :
Menuntut penyegelan
Pencatatan boedel dan penilaian atas barang-barang bergerak harta persatuan atau harga pribadi suami.
C. PENYELESAIAN HUTANG PERSATUAN & HUTANG PRIBADI Hutang Persatuan merupakan semua hutang-hutang, (pengeluaranpengeluaran) yang dibuat, baik oleh suami maupun istri atau bersama-sama, 1. Untuk keperluan kehidupan keluarga mereka, 2. Pengeluaran untuk keperluan mereka bersama-sama, termasuk pengeluaran sehari-hari. 3. Hutang untuk pendidikan anak atau memperbaiki rumah milik mereka bersama. Sedang Hutang Pribadi merupakan hutang-hutang yang dibuat suami atau istri untuk : 1. Kepentingan pribadi mereka, yang bukan merupakan pengeluaran sehari-hari, 2. Pengeluaran untuk kepentingan pribadi mereka masing-masing.
Hukum Perkawinan - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
7
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
Karena suami adalah orang yang mengelola melakukan beheer atas harta persatuan, maka dialah yang menanggung kemungkinan adanya gugatan untuk hutang-hutang persatuan. Namun benar sekali seperti dikatakan oleh Diephuys, istri dapat diseret kedepan Pengadilan untuk mempertanggung-jawabkan :
Hutang-hutang yang membebani dirinya sebelum perkawinan.
Hutang-hutang yang dibuat olehnya sepanjang perkawinan.
Hutang-hutang untuk kebutuhan rumah tangga yang dibuat olehnya dengan didampingi oleh suami. Jadi jawaban atas siapa dan dengan harta mana yang bertanggung jawab
atas suatu hutang bergantung dari :
Siapa yang membuat hutang ?
Hutang untuk apa ?
Kapan hutang itu dibuat ?
Prinsip Penyelesaian Hutang-Hutang a. Untuk perhitungan INTERN : antara suami-istri :
Masing-masing suami/istri memikul hutang peribadinya sendiri.
Bersama-sama, mereka-suami dan istri memikul hutang persatuan, besarnya
tanggungan
masing-masing
akan
ternyata
pada
waktu
berakhirnya persatuan harta (pasal 130 BW) yaitu masing-masing untuk ½ (setengah) bagian.
Hukum Perkawinan - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
8
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
b. Untuk perhitungan EXTERN, ke luar terhadap pihak ketiga.
Suami-istri masing-masing bertanggung jawab atas hutang pribadinya sendiri-sendiri, yaitu dengan harta pribadinya masing-masing.
Harta persatuan menanggung hutang persatuan.
Harta pribadi suami/istri dapat dipertanggung jawabkan terhadap hutang persatuan yang dibuat oleh dirinya/pihaknya, atau dibalik : Hutang persatuan dapat mengambil pelunasannya dari harta pribadi suami/istri yang membuat hutang tersebut.
Pertanggung jawaban hutang-hutang para pihak (suami-istri) terhadap pihak ketiga disebut Obligation. Ketentuan mengenai Hutang Untung dan Rugi ada didalam pasal 155 BW dan selanjutnya. Semua keuntungan yang diperoleh dan smua kerugian yang diderita sepanjang perkawinan
menjadi bagian dan
beban suami-istri menurut
perbandingan yang sama besarnya (1:1). Hutang Hasil Dan Pendataan Kalau kita mendengar kata “hasil dan pendapatan”, maka yang terbayang oleh kita adalah sesuatu yang positif, yang menguntungkan. Dengan demikian, maka semua hutang-hutang yang ada diluar hutang menjadi kewajiban/priva si pembuat utang.
Hukum Perkawinan - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
9
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
Soal : Bu Lastri menjalani perkawinan dengan Pak Giman mulai tahun 1960 sampai tahun 1990, didalam perkawinan sesudah dan sebelumnya terjadi hal-hal sebagai berikut :
Bu Lastri dan Pak Giman tahun 1955 mendapat hibah dari orang tuanya masing-masing Rp. 5 juta.
Bu Lastri 1955 membeli mobil seharga Rp. 7 juta.
Bu Lastri tahun 1962 mendapat sewa dari mobilnya Rp. 1 juta.
Selama perkawinan punya HP Rp. 25 juta.
Bu Lastri hutang ke toko onderdil mobil untuk memperbaiki mobil yang dibeli tahun 1955 sebesar Rp. 1 juta.
Pada tahun 1965, Pak Giman mendapat hasil makelaran tanah sebesar Rp. 2 juta.
Pertanyaan : Bagaimana penyelesaian soal tersebut bila waktu perkawinan Pak Giman hutang di Bank sebesar Rp. 30 juta dengan mendapat persetujuan dari Bu Lastri. Selesaikan soal tersebut menganut sistem untung rugi dan hasil pendapatan.
Hukum Perkawinan - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
10
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya