BAB III KEBERADAAN DAN KEGIATAN TAO SEBAGAI AGAMA BAGI MASYARAKAT ETNIK TIONGHOA DI KOTA SEMARANG
3.1. Sejarah Kedatangan Etnik Tionghoa di Kota Semarang Menurut J.R. van Berkum dan Muhammad Husayn, bahwa jauh sebelum rombongan Cheng Ho datang ke Semarang telah ada pemukiman orang-orang Tionghoa di sekitar pelabuhan Gedung Batu (Simongan) cukup beralasan karena berdasarkan barang-barang kuno yang berhasil ditemukan misalnya: tembikar, guci, dan sejenisnya di beberapa daerah di Indonesia, seperti Jawa Barat, Lampung, Batanghari (Riau), dan Kalimantan Barat. Benda lain yang ikut memberikan kemungkinan tersebut, ditemukannya sejumlah genderang perunggu berukuran besar di Sumatera Selatan. yang mempunyai kesamaan dengan gcnderang perunggu Tiongkok pada masa Dinasti Han. Termasuk dalam budaya Dongson atau Heger Type I yang diproduksi di desa Dongson, sebuah desa kecil di propinsi Thanh Hoa, Teluk Tonkin (sebelah utara Vietnam) pada tahun 600 SM sampai abad 3 M1 (Setiono, 2002:17). Bermula dari dugaan-dugaan tersebut dapat ditarik kesimpulan, hubungan lalu lintas antara orang-orang Cina dari daratan Cina dengan Nusantara telah berlangsung lama. Berdasarkan kronik (catatan berbagai peristiwa yang disusun berdasarkan urutan waktu) dan cerita dalam Dinasti Han maka pada masa
1
Setiono, Benny G. 2002. Cina Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa. Hlm. 17.
36
pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang (1-6 SM), ternyata Tiongkok telah mengenal Nusantara yang disebut Huang-Tse. Perjalanan pulang pergi dari Tiongkok ke Nusantara memerlukan waktu satu tahun karena pengaruh musim, sehingga banyak pengembara (pedagang) dari daratan Cina yang harus tinggal selama enam bulan dan akhirnya jatuh cinta dengan negeri yang kaya ini. Apalagi kalau dibandingkan dengan negeri tempat mereka berasal, yang tandus dan banyak terjadi bencana alam dan peperangan yang berkepanjangan. Pada masa kerajaan Airlangga terdapat koloni-koloni Cina yang menetap antara lain di Tuban, Gresik, Jepara, Lasem, dan Banten. Satu hal yang penting adalah orang-orang Cina mau dan dapat memepertahankan kependudukannya. Karena mereka diterima oleh penduduk pribumi setempat untuk membaur dan hidup berdampingan dengan damai2. Menurut catatan yang ada, orang-orang Cina mulai berdatangan ke Indonesia pada abad IX yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Tang untuk berdagang dan mencari kehidupan baru. Ketika Laksamana Cheng Ho mcngunjungi Jawa, Cheng Ho menjumpai berbagai pemukiman yang luas dari para pedagang Cina yang tiba pada akhir abad XIV. Sekalipun pada masa itu, kaisar Zhu Yuanzhang dengan tegas melarang orang Cina melakukan perdagangan dan perjalanan ke luar negeri sendiri-sendiri. Dalam sejarah diketahui pada zaman Mataram kuno kira - kira abad VII, Semarang sudah merupakan pelabuhan penting. Sekarang letaknya disekitar Pasar Bulu di kaki 2
Toer, Pramoedya Ananta. 1998. Hoakkiau di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya. Hlm. 206-211.
37
bukit Bergota yang terdiri dari beberapa bukit kecil, seperti Bukit Brintik (kini masih bisa dilihat di perbukitan belakang Gereja Kathedral) dan Bukit Mugas (sekarang terdapat gedung PTP dan Universitas Stikubank di belakang pom bensin) hingga daerah Tlogo Bayem. Di sebelah selatan dan barat Bukit Bergota terdapat antara lain bukit Candi dan Bukit Simongan yaitu daerah sekitar Gedung Batu sekarang. Waktu itu pendatang-pendatang dari daratan Tiongkok sudah banyak yang bermukim di sana. Tidak diketahui secara pasti, siapakah orang Cina yang pertama kali bermukim di sekitar pelabuhan Gedung Batu. Meski dalam arsip Kongkoan atau Chineese Road yaitu institusi resmi orang Cina yang terdiri dari Mayor, Kapten, dan Letnan yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda untuk mengurusi masalahmasalah ringan dalam kelompok mereka seperti pencatatan perkawinan yang terdapat di setiap kota besar di Indonesia, disebutkan bahwa Sam Poo Tay Djien atau Cheng Ho adalah yang pertama kali menginjakkan kakinya di tanah Semarang. Cheng Ho, Zheng He, The Hoo, Sam Poo adalah satu nama yang dibelakang hari menjadi semacam “tokoh mitologi” yang sangat dikeramatkan dikalangan etnik Tionghoa bahkan sampai sebagai dewa diberbagai kelenteng dengan sebutan “Sam Po Kong” oleh para penganut Konfusianis. Sebuah anakhronisme, Maestro Cheng Ho pun di kemudian hari dikenal dengan banyak sebutan, diantaranya adalah Sam Po Tay Djien, Sam Poo Tay Kam, Sam Poo Toa Lang3. Cheng Ho adalah utusan dari Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming untuk 3
Hidayatullah, A.F. 2005. Kelenteng Sam Po Kong (Ekspresi Kebudayaan Cina Jawa Islam di Kota Semarang. Semarang. Skripsi Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo. Hlm. 35.
38
mengadakan pelayaran ke daerah-daerah di Lautan Selatan dari tahun 1405 sampai tahun 1433 dan mungkin telah mengunjungi Semarang pada tahun 14064 (Kasmadi dan Wiyono, 1985:77). Yang jelas, mereka menganggap leluhurnya untuk pertama kali datang di Indonesia adalah mendarat di Bantam (Banten). Kemudian berpencar ke daerah lain seperti Jepara, Lasem, Rembang, Demak, Tanjung, Buyaran, dan akhirnya sampai ke Semarang. Wang Jinghong (Ong King Hong), sang jurumudi dan sepuluh awak kapal lainnya yang ditinggal di Semarang oleh rombongan besar Laksamana Cheng Ho ketika hendak meneruskan perjalanannya ke Tuban, karena Wang Jinghong sakit keras dan setelah sembuh dengan dibantu oleh awak kapal yang ikut ditinggal, mereka membuka pemukiman baru di sekitar pelabuhan Gedung Batu (Simongan). Tidak jauh dari tempat mereka tinggal memang telah ada pemukiman penduduk yang dihuni oleh penduduk asli dan warga etnik Cina yang lebih dahulu datang ke Semarang. Belakangan orang-orang etnik Cina yang merantau ke Semarang memilih bertempat tinggal di sekitar Kelenteng Sam Po Kong karena Gedung Batu memiliki Hong-sui (Geomancy) yang bagus dibandingkan dengan daerah lain di Semarang yang waktu itu masih berupa tegalan dengan beberapa rumah penduduk yang letaknya berdampingan dengan rawa-rawa ataupun comberan, disamping untuk "ngalap berkah" dari Sam Po Kong.
4
Kasmadi, Hartono. dan Wiyono. 1985. Sejarah Sosial Kota Semarang (1900-1950). Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Hlm. 77.
39
Tidak jauh dari pemukiman Gedung Batu tinggallah seorang etnik Tionghoa benama Souw Pan Djiang yang jago silat dan di rumahnya sering diadakan semacam diskusi dengan warga etnik Tionghoa yang lain tentang kiatkiat berdagang di Semarang. Sekarang daerah tersebut dikenal dengan nama Panjangan, dulu disebut sebagai desa Sepanjang, yang berasal dari kata PanDjiang yang merupakan dua kata terakhir dari nama Souw Pan Djiang5 (Liem Thian Joe, 1933). Kebanyakan orang-orang Cina yang merantau ke Semarang ataupun daerah lain mayoritas adalah pedagang berbagai jenis barang khas daratan Tiongkok seperti tembikar, porselen, kain sutera dan lain sebagainya. Kebiasaan dari mereka (pedagang Cina) adalah membawa uang tangci sebagai alat pembayaran yang sah. Lantaran bentuknya yang persegi dan berlubang ditengahnya, dan ketika mereka hendak bepergian selalu merenceng (merangkai) uang tersebut dan melilitkannya di pinggang. Saat itu, penduduk Semarang menyebutnya uang Kentang, sedangkan penduduk di wilayah Kedu seperti Magelang, Temanggung, Kebumen, dan Purworejo menyebutnya dengan uang Gobok. Sebelum kedatangan orang Belanda, penduduk etnik Tionghoa di Semarang atau daerah lain di Indonesia hidup damai dengan penduduk setempat. Mereka hidup membaur dan berkulturasi dengan budaya masing-masing. Disamping berdagang. orang etnik Tionghoa juga bermata pencaharian sebagai petani dan tukang. Umumnya mereka tidak membawa serta istri dari Tiongkok 5
Joe, Liem Thian. 1933. Riwayat Semarang: Dari Djamanja Sam Po Sampe Terhapoesnja Kongkoan. Tjitakan Pertama. Semarang-Batavia: Boekhandel-Ho Kim Yoe.
40
dan menikah dengan perempuan local sehingga lahirlah keturunan campuran yang biasa disebut peranakan dan telah merasa menjadi orang Indonesia. Meski demikian, orang Indonesia pada umumnya memandang orang etnik Tionghoa terbagi kedalam dua golongan, yaitu Peranakan dan Totok. Penggolongan tersebut bukan hanya berdasarkan faktor kelahiran saja, artinya orang Peranakan itu tidak hanya yang lahir di Indonesia, hasil perkawinan silang antara orang etnik Tionghoa dan orang Indonesia. Sedangkan orang Totok bukan hanya orang etnik Tionghoa yang asli kelahiran Cina. Akan tetapi penggolongan tersebut juga menyangkut soal derajat penyesuaian dan akulturasi dari para perantau etnik Tionghoaterhadap kebudayaan Indonesia yang ada di sekitarnya. Sedangkan derajat akulturasi itu tergantung kepada jumlah generasi para perantau itu telah berada di Indonesia dan kepada intensitet perkawinan campuran yang telah terjadi di antara para perantau itu dengan orang Indonesia. Penggolongan diatas jelas bermuatan politis, sebagaimana sentimen anti-Cina yang dihembuskan oleh pemerintah Belanda ketika menjajah Indonesia, kemudian diperburuk lagi oleh pemerintahan pada masa Presiden Soeharto6. Orang-orang Cina seperti yang tinggal di kota-kota lain, dibedakan antara peranakan dan totok. Peranakan adalah yang sudah lama tinggal di Indonesia, sudah berbaur dengan masyarakat pribumi, berbahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat, dan
6
Vasanty, Puspa. 2002. Kebudayaan Orang-Orang Cina di Indonesia. dalam Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cetakan ke-19. Jakarta: Djambatan. Hlm. 353-357.
41
berperilaku seperti pribumi. Adapun totok, adalah orang-orang Cina pendatang baru, yang datang baru sekitar satu0dua generasi, dan berbahasa Cina7 Major William Thorn dalam buku laporannya selaku Deputy QuarterMaster General to the Forces Serving in Java, menyatakan orang-orang Cina tidak membawa istri dari Tiongkok karena memang ada larangan untuk membawa atau mengirim perempuan keluar dari Tiongkok. Mereka pada umumnya mengawini perempuan Jawa atau Melayu, atau membeli budak untuk dijadikan gundik atau istri. Tidak kurang dari 5.000 orang etnik Tionghoa yang segera datang ke Batavia kemudian menyebar ke seantero Jawa begitu mendengar kabar bahwa Inggris telah merebut Pulau Jawa8. Migrasi wanita etnik Cina ke Asia tenggara baru di mulai pada abad ke-l9 dan awal abad ke-20. Sebelumnya imigran etnik Tionghoa hanya terdiri laki-laki saja. Migrasi wanita etnik Tionghoa ini bertalian dengan fasilitas penggunaan kapal api dan murahnya tarif angkutan. Sejak itu migrasi orang etnik Tionghoa baik laki-laki maupun perempuan meningkat tajam. Menyinggung soal kemurnian penduduk Indonesia, Dr.Josef Glinko (2000), pakar antropolog Universitas Airlangga menyatakan, khusus untuk masyarakat Cina sebagai mereka yang telah ratusan tahun meninggalkan tanah airnya, memang hanya pria. Dengan demikian, mau tk mau mereka lantas kawin dengan para wanita disini, jadilah keturunannya anak beranak ikut menghuni Indonesia. “Lha, mana yang tetap non pribumi kalau begini? Hanya orang bodoh yang mempersoalkanya........”. 7 8
Rustopo. 2007. Menjadi Jawa.Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hlm. 62-68. Setiono, Op.cit. 53-54.
42
Kota Semarang telah diciptakan sebagai sebuah kota oleh van Bamellen di tahun 1659 merupakan pelabuhan penting di jalur pantai utara Jawa. Yang mana keadaannya sangat menarik perhatian berbagai pedagang yang datang dari Arab, India, Persia, Cina, dan tak ketinggalan pula orang-orang Eropa. Orang Eropa yang pertama kali datang ke Semarang adalah orang Portugis, menetap di sekitar “kota lama” (Heerenstraat), yaitu sekitar Gereja Blenduk. Sedangkan Belanda masuk Semarang mulai awal abad ke-17. Pada masa itu, Semarang merupakan sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Kerajaan Demak yang kemudian jatuh dalam kekuasaan Mataram dibawah pimpinan Amangkurat I. Sewaktu terjadi peperangan antara Pangeran Trunojoyo melawan pihak Mataram dibawah pimpinan Raja Amangkurat II, Souw Pan Djiang bersama warga etnik Tionghoa lainnya yang menguasai ilmu silat, berada di pihak Trunojoyo. Pihak Mataram terdesak sampai di Kartasura. Penguasa Kartasura meminta bantuan kepada Mataram. Hingga Amangkurat II mengambil keputusan untuk meminta bantuan kepada VOC (Vereenidge Oost Indische Compagnie), yaitu kongsi dagang Belanda yang mempunyai tugas mengatur (memonopoli) perniagaan di negeri jajahan Pemerintahan Belanda. Orang Jawa menyebutnya Kumpeni, dan orang etnik Cina menyebutnya Kong Pan Ge9. VOC tersebut bertugas menumpas para pemberontak Trunojoyo. VOC atau Kompeni berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Informasi tentang tahun terjadinya peristiwa pemberontakan tersebut berbeda-beda, misalnya dalam
9
Hidayatullah. Op.cit. 53.
43
Arsip Kongkoan disebutkan terjadi pada tahun 1628, padahal menurut A.J. Eijkman dalam bukunya Geschiedenis van Nederland Oost-Indie disebutkan bahwa Kartasura baru didirikan oleh Amangkurat II pada tahun 1678, sedangkan menurut Raffles dalam bukunya Raffles History of Java disebutkan bahwa pemberontakan tersebut terjadi pada tahun 173110. Sebagai imbalannya, pihak Mataram menyerahkan daerah Semarang kepada Kompeni. Semarang resmi dibawah kekuasaan Kompeni sejak tanggal 15 Januari 1678. Dalam Arsip Kongkoan karya dari Liem Thian Joe, peristiwa itu terjadi pada 15 Januari 1724. Namun pada tahun 1799 VOC mengalami bangkrut sehingga Semarang diambil alih oleh pemerintah Belanda yang secara otomatis diterapkan pemerintahan kolonial Belanda. Perpindahan pemukiman orang-orang etnik Tionghoa yang lazim disebut pecinan, dari Gedung Batu ke tempat sekarang yang merupakan wilayah Kelurahan Kranggan, adalah bermula dari perlawanan orang-orang etnik Tionghoa di Batavia (Jakarta) pada tahun 1740 yang mengakibatkan terbunuhnya 10.000 orang etnik
Cina. Pada tahun 1743 pemberontakan tersebut dapat
ditumpas oleh Belanda. Untuk mengantisipasi peristiwa serupa, pemerintah Belanda di Semarang memaksa pindah orang-orang etnik Tionghoa di Gedung Batu untuk bermukim di Semarang yaitu di daerah Kali Semarang agar mudah diawasi. Daerah-daerah itu meliputi daerah sekitar Beteng, Wotgandul, Cap Kau King, Gang Pinggir, dan Kali Koping. Untuk pengawasan dibangunlah sebuah gedung sebagai tangsi
10
Ibid. Hlm.52
44
militer di ujung Bojong tepatnya di jalan Djurnatan. Gedung tersebut di namakan “De Werttensbergse Kazerne”. Namun sekarang gedung itu telah dimusnahkan, menjadi kawasan pertokoan Semarang Plaza. Alasan Belanda memindahkan orang-orang etnik Tionghoa yaitu agar mudah diawasi dan untuk menghambat kontak hubungan dengan warga etnik Tionghoa di daerah lain. Oleh karena itu Belanda memperkenankan warga etnik Tionghoa untuk mendirikan tempat tinggalnya dimana saja asal masih dalam wilayah yang ditetapkan oleh penguasa. Untuk sebelah utara, selatan dan timur yaitu berbatasan dengan kali Semarang. Kali Semarang itu mengalir dan memutar diantara Cap Kauw King, Gang Pinggir, dan Pekojan yang pada waktu itu merupakan akses terpenting sebagai jalur perdagangan dari pelabuhan menuju ke daerah-daerah pedalaman. Sedangkan sebelah barat berbatasan dengan sebuah tegalan yang dinamakan Beteng11. Akibatnya orang-orang etnik Tionghoa lalu mendirikan bangunannya sekenanya saja, sampai sekarang masih bisa kita lihat bekas-bekasnya, misalnya, jalan di Gang Baru sebelah selatan sedikit lebar, sedangkan yang disebelah utara sangat sempit. Selanjutnya, kota Semarang semakin maju perdagangannya. Orang-orang etnik Tionghoa ramai mengembangkan kebiasaan dari negeri moyangnya yaitu judi. Pusat perjudian terkonsentrasi di daerah Gang. Pinggir, tepatnya di ujung Gang Tjilik. Dampak dari ramainya perjudian di kawasan baru tersebut adalah berdiri pula tempat-tempat pegadaian. Dimana para penjudi yang tidak hanya
11
Joe.Op.cit. Hlm. 6.
45
orang etnik Tionghoa, pendatang dari India, Arab, Persia, Belanda dan juga orang Jawa sendiri pun ikut serta agar mudah mendapatkan uang. Pihak Belanda pun memungut pajak judi. Dan pada tahun 1724 pemerintah Belanda mengeluarkan uang resmi. Meski di Semarang waktu itu telah beredar pula uang Gobok (Tangci) dan Real. Uang resmi yang dikeluarkan Belanda disebut dengan Hollandsche Duitten. Sementara uang Gobok berlaku hingga tahun 1855, kemudian diganti dengan uang Cent12 (Tio,tth:21). Perlu untuk diketahui, saat itu kali Semarang masih jernih dan dalam, sehingga kapal-kapal berukuran sedang bisa masuk dan bersandar di Kali Koping Gang Pinggir yang kemudian membawa kemajuan pesat bagi daerah Pecinan sampai ke arah timur yang sekarang dikenal dengan nama Petudungan. Pembauran antara warga etnik Tionghoa dengan penduduk asli maupun dari sukusuku lain yang mayoritas beragama Islam dengan ditunjang adanya sebuah Pesantren, membawa Petudungan berkembang pesat hingga hutan-hutan dibuka untuk pemukiman baru dan jalan sebagai akses menuju Demak terutama melewati jalan Ambengan. Setelah peristiwa pembantaian orang etnik Tionghoa pada bulan Oktober 1740 oleh Kompeni Belanda, terjadilah pengungsian besar-besaran dari Jakarta ke daerah Jawa Tengah. Maka terbentuklah konsentrasi pemukiman etnik Tionghoa di Semarang, dan di sana berdirilah kelenteng-kelenteng seperti Kwee Lak Kwa (TITD Sinar Samudera), Tay Kak Sie, dan lain sebagainya. Kemudian pada tahun 1797, pihak Belanda membuka hutan-hutan di
12
Tio. Op.cit. Hlm.21.
46
daerah Pekojan yang pada saat itu dikenal sebagai tempat bermukimnya orang Koja, yaitu warga keturunan India yang menikah dengan penduduk asli setempat. Pembukaan hutan tersebut untuk kenyamanan warga Belanda. Akibatnya pekuburan etnik Tionghoa dipindahkan di kaki bukit Candi, yaitu disekitar jalan Sriwijaya, jalan Gergaji, dan jalan Diponegoro atau jalan Siranda. Untuk keperluan acara pemindahan kuburan tersebut, warga etnik Tionghoa mengadakan upacara besar-besaran untuk menolak bala. Untuk mengenangnya dibuatlah inskripsi yang bertuliskan "Lam Boe 0 Mie Too Hoet Kian An", yang dipahatkan di ujung jalan Petolongan yang tembusannya sampai jalan Pekojan13. Dalam perkembangannya, daerah Pekojan masuk ke dalam wilayah Pecinan. Seiring bertambahnya pendatang yang bermukim, menyebabkan pelebaran daerah Pekojan. Sampai-sampai bekas penjara di pojok perempatan Djurnatan pun diubah menjadi pusat pertokoan. Untuk keamanan daerah Pecinan, warga etnik Tionghoa mengajukan izin kepada pemerintah Belanda selaku penguasa agar diperbolehkan membangun pintu gerhang di empat penjuru daerah Pecinan. Pertama, di jalan Sebandaran yang menikung ke arah jalan Jagalan. Kedua, di sudut jalan Cap Kau King berbatasan dengan jalan Benteng. Ketiga, di jalan Gang Warung. Dan keempat, di seberang jembatan Pekojan. Akhirnya pada tahun 1811, Semarang jatuh ke tangan Inggris. Ketika itu Gubernur Jenderal Hindia-Belanda adalah Jenderal Jannssens. Penyerahan kekuasaan dilakukan di Benteng Ungaran yang sekarang menjadi sebuah asrama.
13
Ibid. Hlm. 21
47
Setelah perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-RRC yang berlaku mulai 15 Desember 1960, orang-orang Etnik Tionghoa yang semula berstatus warga negara asing (WNA), ada yang memilih menjadi WNI, tetapi ada pula yang menolak atau ditolak sebagai WNI. Status hukum WNI berdasarkan perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-RRC itu dinyatakan tidak berlaku setelah keluar Inpres Nomor 2 Tahun 1980 dan Kepres Nomor 13 Tahun 1980. Orang-orang Etnik Tionghoa WNI kemudian menerima SBKRI dari Camat setempat atas nama Ketua Pengadilan Negeri.
3.2. Sejarah Masuknya Agama Tao di Kota Semarang Agama Tao berasal dari negeri Tiongkok (China) sejak 7000 tahun yang lalu, umumnya agama Tao diyakini berasal dari Kaisar Kuning (Huang Di) karena beliau yang pertama kali memperkenalkan nilai-nilai Tao dalam menjalankan pemerintahannya. Dikembangkan oleh Lao Tzu dengan Kitab Suci Tao De Jing yang ditulisnya, kemudian oleh Zhang Tao Ling mengkodifikasikan ritus-ritus keagamaan Tao seperti tentang bagaimana cara memuja (sembahyang) pada Dewa dengan baik dsb, sehingga ajaran-ajaran Tao menjadi sebuah institusi keagamaan yang well organized. Diyakini bahwa agama Tao masuk dan berkembang di Indonesia sejak abad 6 SM seiring dengan masuknya etnik Tionghoa pada wilayah Nusantara yang dapat dibuktikan dengan kronik bangsa Han yang saat itu berada dibawah kepemimpinan Kaisar Wang Ming, para pendatang dari daratan China ini masuk membawa agama-agama yang berkembang di negeri Tiongkok sambil melakukan
48
kegiatan perdagangan. Agama-agama yang berkembang di Tiongkok selain agama Tao, adalah Khonghucu dan Buddha, para pendatang ini mengaplikasikan nilainilai kegamaan dalam ajaran Tao dengan membangun sejumlah kelenteng sebagai tempat ibadah. Dan pada masa-masa pelayaran Laksamana Cheng Hoo antara tahun 1405-1433 telah menemukan akulturasi budaya antara Tiongkok-Nusantara dengan adanya sejumlah kelenteng yang tersebar di seluruh wilayahnya, dan diantara sejumlah kelenteng itu adalah Jin De Yuan yang dilukiskan oleh seniman Belanda F.Velentjin pada tahun 1726 tapi sayangnya kelenteng ini kemudian terbakar habis saat terjadi peristiwa berdarah bagi etnik Tionghoa di Batavia tahun 1740 14. Kedatangan agama Tao di Kota Semarang tidak dapat diketahui dengan pasti, akan tetapi banyak tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh-tokoh agama di daerah ini yang mengaitkan dengan datangnya etnik Cina di Kota Semarang khususnya, dan di Jawa pada umumnya. Hal ini ditandai dengan jatuhnya dinasti Ming pada tahun 1683 yang mengakibatkan timbulnya gelombang imigran besarbesaran bangsa Cina ke berbagai bangsa di Asia tenggara, salah satunya Indonesia. Orang Cina yang datang ke Indonesia sebagian besar berasal dari dua propinsi, yakni Propinsi Fujien (Fukien) dan Guangdong (Kwan Fu)15. Adanya gelombang imigran tersebut berkaitan dengan iklim politik yang kurang menguntungkan di negeri Tiongkok, karenna pada dinasti Qing tidak 14
15
Setiono. Op.cit. Hlm.26. Dewi. Shinta, ISR., 2005, Boen Bio, Benteng Terakhir Umat Khonghucu, Surabaya : Penerbit JB. Books. Hlm. 2.
49
memberi keleluasaan atau kebebasan kepada orang Cina. Selain itu, keadaan alam yang kurang subur juga turut mendoorong terjadinya migrasi tersebut. Oleh karena itu, orang-orang Cina tersebar kemana-mana, terutama suku Hokkian dan suku Kwong Fu (Kanton). Orang-orang Hokkian lebih banyak berdiam di Jawa dan menjalankan profesinya sebagai pedagang, sedangkan orang Kwan Fu lebih banyak berdiam di Sumattera dan kalimantan Barat, serta menjalankan profesinya sebagai pekerja di perkebunan dan pertambangan. Kedatangan orang-orang Cina tersebut telah membawa tradisi-tradisi leluhurnya dan atau budaya-budaya leluhurnya yang sudah lama berkembang di daerah asalnya, seperti: agama dan kepercayaan tradisonal. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Tan I Ming (Wawancara, 21 Mei 2014), bahwa banyak, kalau bukan sebagian besar masyarakat dari daratan Cina yang mengenal dan memeluk agama, seperti Kong Hu Cu dan Tao. Bahkan, pada abad ke 17 sudah ada bangunan-bangunan tua di Kota Semarang yang bernama klenteng, seperti Klenteng Siu Hok Bio di Wotgandul Timur. Konon, klenteng ini didirikan pada tahun 1753 oleh komunitas etnik Tionghoa yang dikenal sebagai klenteng tertua di Kota Semarang. Di klenteng ini, dewa utama adalah Hok Teng Tjeng, yang merupakan dewa utama dalam ajaran Taoisme. Selain itu, di Kota Semarang juga terdapat bangunan klenteng tua yang disebut “Klenteng Tay Kak Sie”. Klenteng ini dibangun sekitar tahun 1746, sebagaimana tertulis pada pintu masuk klenteng Tay Kak Sie itu. Pada awalnya, Klenteng Tay Kak Sie ini digunakan untuk memuja Yang Mulia Dewi Welas Asih Koan Sie Im Po Sat. Dalam perkembangannya, klenteng tersebut digunakan
50
sebagai tempat pemujaan berbagai Dewa Dewi dari aliran Tao maupun Konfusianisme. Hal ini ditandai dengan adanya ornamen-ornamen dan atau simbol-simbol yang berhubungan dengan kepercayaan Tao, dan Konfusianisme, seperti: atap klenteng yang berhiaskan sepasang naga sedang memperebutkan matahari. Naga dalam mitologi Cina merupakan binatang yang melambangkan keadilan, kekuatan, dan penjaga barang-barang suci. Naga atau Liong mempunyai makna sebagai lambang kejayaaan atau kemakmuran karena persatuan dari berbagai unsur yang ada. Selain itu, di atas klenteng terdapat simbol singa atau qillin sebagai lambang panjang umur, kemegahan, kebahagiaan, kebajikan, dan kebijaksanaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa agama Tao sudah masuk di tanah Jawa, khususnya Kota Semarang. Bahkan, jauh sebelum itu agama Tao telah masuk di tanah Jawa sekitar abad ke 15. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Hariyono16 bahwa pada abad ke 15 telah ada orang Cina di Jawa yang beragama Tao. Hal ini dapat dilihat ketika Raden Patah ingin menegakan Islam di tanah Jawa, dimana seluruh pantai utara dikuasainya. Namun, ketika sampai di Semarang (di sekitar Sam Po Kong), pasukan tidak menaklukkan orang yang tidak beragama Islam, karena penduduk disitu memiliki kemahiran membuat kapal yang akan berguna untuk melebarkan kekuasaan Demak. Bahkan, Pengrajin kapal ini ikut membantu menyelesaikan masjid Demak.
16
Rahmadani, Arnis, 2007, Religi Etnis Cina di Jawa, Semarang: Balai Litbang Agama Semarang. Hlm. 62.
51
Bagi umat Tao, ritual keagamaan berada di tempat-tempat peribadatan Tridharma (TITD) yang dikenal dengan sebutan klenteng, sedangkan klenteng pada hakikatnya merupakan tempat ibadat bersama bagi umat Tridharma. Sebagai ciri umat Tridharma adalah terbiasa untuk menghargai dan merasa ikut memiliki kedua ajaran yang lain, meskipun biasanya setiap orang condong pada satu ajaran saja17. Di Tiongkok, konsep semacam ini dikenal dengan “Sam Kauw” dalam dialek Hokkian berarti tiga (sam) agama/ajaran (kauw), yang dimaksud adalah tiga ajaran yang meliputi Taoisme, Budhisme, dan Konfusianisme. Di Indonesia, konsep “sam kauw” dikenal dengan istilah “Tridharma” yang didirikan oleh Kwee Tek Hoay pada tahun 1934. Etnik Tionghoa sangat menghargai nilai-nilai kemuliaan keluarga berdasarkan ajaran-ajaran baik dari agama Tao, Khonghucu dan juga agama Buddha, ketiga agama ini telah tersinkretasi menjadi suatu pranata nilai yang ajeg dalam budaya Thionghoa. Medio tahun 1930-an para tokoh dari kalangan etnik Thionghoa merasa bahwa semakin banyak anggotanya yang melupakan nilai-nilai luhur tersebut, dimulai dengan adanya Thiong Hwa Hwee Kwan (THHK) yang merupakan organisasi yang berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Khonghucu hadir untuk mengembalikan masyarakat Thionghoa untuk kembali menegakkan prinsipprinsip luhur budaya timur yang telah terkikis oleh kapitalisme barat. Kehadiran THHK membawa semangat baru bagi Kwee Tek Hoay untuk mendirikan Sam Kauw Hwee (San Jiao Hui, yakni Masyarakat Tiga Agama), tujuan organisasi ini 17
Herman Jaya, David. 2013, Bahan Penataran Dharmaduta Tridharma Jawa Tengah, Semarang : PTITD se-Indonesia. Hlm. 7.
52
adalah mempersatukan, menyebarluaskan ajaran tiga agama (Tao, Khonghucu, dan Buddha). Tapi pada dasarnya organisasi ini lebih bersifat kekeluargaan bagi intern etnik Tionghoa, dan tidak bermaksud untuk memfusikan ketiga agama menajdi satu agama tunggal sebagaimana yang diungkapkan oleh D.E.Willmott, sebagai berikut: “Ajaran tumimbal lahir tidak diselaraskan dengan ajaran leluhur, dan caracara hidupyang agak berbeda yang disiratkan dalam Kesalehan Khonghucuisme, Peninggalan Keduniawian Budhisme, dan Kepasifan Taoisme, dianjurkan secara terpisah atau bersama. Banyak anggota dan penceramah terutama merupakan penganut dari salah satu dari ketiga agama itu, sementara meminjam gagasan-gagasan yang sesuai dari dua yang lain” (Suryadinata, 2002:180).
Organisasi Sam Kauw Hwee inilah yang kemudian beralih nama menjadi Tri Dharma pada masa-masa setelah G 30S PKI yang menstigmaisasi Tionghoa baik secara kultural, politik, dan ini berdampak dengan enggannya pemerintah mengakui kedua agama Tiongkok (Tao dan Khonghucu) sebagai sebuah agama, lain halnya dengan agama Budha yang lebih dikenal di Indonesia (karena agama Budha sebelumnya telah menjadi suatu agama mayoritas saat era nusantara). Di tempat ibadat Tridharma ini, kegiatan yang dilakukan hanya sebatas sembahyang bersama (pemujaan dewa/dewi atau altar sam kauw) sehingga terpelihara ikatan kebersamaan antar sesama orang Tionghoa. Namun, secara keyakinan umat Tridharma percaya kepada “Trinabi” (sam kauw Seng Jin/San Jiao Seng Ren) secara seimbang, yakni nabi Kong Cu, nabi Lao Tse, dan Budha. Pendirian tempat ibadat Tridharma ini dimaksudkan untuk membendung arus 53
kristenisasi yang dilakukan oleh para penginjil barat pada orang-orang Cina. Dengan kesatuan umat “tiga agama”, maka dianggap cukup kuat dalam membendung kritenisasi itu. Setelah Indonesia merdeka 1945, maka Tridharma sudah bernaung di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Bali yang kemudian berubah menjadi Dirjen Bimas Hindu dan Buddha. Kini, Tridharma bernaung di bawah Dirjen Bimas Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia.
3.3. Perkembangan Agama Tao di Kota Semarang Di Indonesia, ketika negara hadir dengan melabeli agama Tao hanya sebagai salah satu nilai filsafat kebudayaan yang berasal dari hasil pemikiran masyarakat etnik Tionghoa yang berasal dari daratan Cina, pendapat negara menjadi begitu dangkal tanpa memikirkan lebih bijak bahwa agama erat kaitannya dengan keyakinan dan kepercayaan terhadap kekuatan sang Pencipta bagi setiap penganutnya. Keyakinan para umat terhadap keberadaan Tuhan didasari dengan dogma-dogma teologi kanonik. Agama Tao dianggap hanya sebagai suatu nilai filsafat karena adanya prasangka-prasangka etnik terhadap etnik Tionghoa, dan sayangnya nilai-nilai dalam agama Tao berbeda jamaknya agama yang diakui oleh negara seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindhu dan Budha sehingga dengan mudahnya label itu melekat pada agama Tao. Nilai-nilai moral pada agama Tao bersumber pada Kitab Suci Tao De Jing yang kurang dikenal masyarakat secara umum, imbasnya
54
prasangka-prasangka terhadap etnik Tionghoa menguat pada umat Tao yang dianggap “tidak beragama” namun hanya “percaya pada Tuhan Yang Maha Esa”. Pengakuan Negara terhadap agama tertentu yang dianggap memiliki jumlah penganut dihitung secara kuantitas patut menjadi kajian di masa mendatang karena persoalan utama adalah apakah kriteria utama untuk bisa menentukan sebuah agama bisa diakui secara resmi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ? Apakah agama dengan penganut yang sedikit tidak bisa mendapatkan tempat di rumah sendiri di tanah air Indonesia ? Apakah yang menjadi konsep pengakuan agama oleh pemerintah adalah agama tersebut harus berasal dari Timur Tengah sehingga agama asli yang lahir dan berkembang di tanah air hingga kini belum bisa memperoleh pengakuan secara legal dari pemerintah. Ini sangat kontradiksi ketika agama Baha’i yang juga menjadi salah satu agama import sudah memperoleh pengakuan dan pelayanan oleh Negara. Tentu hal ini akan menjadi kecemburuan bagi pemeluk agama lainnya yang masih belum diakui oleh negera. Meskipun penganut sedikit, agama-agama yang berkembang di Indonesia sudah lama dipeluk oleh masyarakat/suku/etnik yang mendiami bumi nusantara sehingga eksistensi mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Maka konsep untuk melihat agama bisa diterima atau tidak oleh pemerintah tentunya juga harus dilihat secara sosiologis dan cultural. Peneliti memandang bahwa melalui perumusan teori 4Cs yang dikembangkan oleh Swidler dan Mojzes tentang agama dapat dijadikan pedoman oleh pemerintah dalam mengakui sebuah agama yang sudah lahir, berkembang, dan dipeluk secara turun temurun oleh rakyat Indonesia. Memang konsekuensinya, akan ada banyak agama di tanah air bila setiap agama
55
yang memenuhi kriteria 4 Cs di kemudian hari menjadi agama resmi di Indonesia. Bila sudah diakui, tentu saja diperlukan aturan untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama. Kearifan lokal di setiap daerah memungkinkan pemeluk agama tersebut bisa hidup berdampingan dan menjalin hubungan satu sama lainnya. Tentu saja kehadiran Negara masih diperlukan untuk melakukan pembinaan kehidupan keagamaan sehingga toleransi antarumat beragama tetap terjaga di bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konsepsi agama akan sangat berbeda bagi setiap agama dan umat dari agama itu sendiri, jika kita melihat konsepsi agama dalam Islam dan Katolik tentunya sangat berbeda, begitu pula antara Hindhu dan Kristen Protestan pun akan terjadi hal yang sama. Lantas bagaimana dengan agama Tao? Selama ini agama Tao dalam pandangan awam seringkali dikaitkan dengan agama Buddha karena beberapa kemiripan dalam ritus peribadatannya, misalnya penilaian awam ini muncul karena masyarakat melihat bahwa umat Budha melakukan ritus keagamaan dengan menggunakan salah satu sarana seperti hio (dupa) yang juga dapat ditemui dalam ritus keagamaan Tao. Jadi sebenarnya apa yang dapat dikatakan sebagai “agama”? Konsepsi tentang agama akan menjadi sangat debatable dari perspektif setiap individu yang meyakininya. Oleh sebab itu agama dalam keanekaragamannya itu hanya memerlukan deskripsi (penggambaran) untuk memahaminya, bukan definisi (batasan). Di Semarang, banyak umat Tao yang mengunjungi Kelenteng Tay Kak Sie untuk melaksanakan ritual keagamaan. Hal ini disebabkan oleh nuansa klenteng tua yang memiliki arsitektur bagus, baik dari segi ornamen maupun hiasan-
56
hiasannya. Bahkan, kebanyakan dewa/dewi dalam Kelenteng Tay Kak Sie ini adalah dewa/dewi agama Tao. Sementara itu, kelenteng ini kurang memiliki fasilitas ritual keagamaan bagi umat Tao yang memadai, seperti: ruang atau tempat pemujaaan dewa/dewi agama Tao. Karena itu, ada beberapa tokoh umat Tao yang tergabung dalam Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) untuk memikirkan tentang pendirian kelenteng di tempat lain yang lebih representatif. Perlu diketahui bahwa PUTI adalah sebuah organisasi yang berbentuk paguyuban dan bersifat kekeluargaan serta bebas dijadikan wadah bagi seluruh umat Tao di Indonesia. Organisasi ini bersifat sosial (bukan politik) dan tidak mencampuri urusan para anggotanya dalam permasalahan ibadahnya. Karena itu, PUTI hanya berusaha menjadi sebuah wadah tempat bernaung dan bersatunya umat Tao di Indonesia. Di Kota Semarang ini PUTI terbentuk pada tanggal 3 Januari 2001, yang diketuai oleh Edhy Prasetyo Hartono. Organisasi PUTI ini memiliki kegiatan sosial, seperti: bakti sosial untuk musibah gempa dan gunung meletus, pemberian bantuan alat-alat tulis bagi anak-anak sekolah kurang mampu, dan pemberian sembako bagi orang-orang miskin, donor darah, dan sebagainya. Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) ialah suatu organisasi yang bergerak dibidang sosial yang memiliki kegiatan antara lain donor darah, kunjungan ke panti jompo dan yatim piatu, serta berpartisipasi dalam membantu korban bencana alam. Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) memiliki visi dan misi sebagai berikut: 1) Visi Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI): Menggalang persaudaraan antar umat Tao di seluruh Indonesia untuk
57
menciptakan
sinergi
dengan
memperhatikan
keselarasan
dan
keharmonisan hubungan antar umat beragama di Indonesia, untuk mengisi pembangunan bangsa dan negara Indonesia secara proaktif dan positif. 2) Misi Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI): Mengkordinasi dan merangkum aspirasi umat Tao Indonesia demi tegaknya persatuan dan persaudaraan diantara penganut Tao dari berbagai macam aliran dan persaudaran demi terciptanya komunikasi, saling pengertian dan keselarasan gerak dalam kegiatan keagamaan maupun kegiatan sosial untuk turut mewujudkan pembangunan manusia Indonesia yang ber-Ketuhanan dan berkepribadian luhur seutuhnya. Melalui paguyuban inilah, mereka umat Tao membahas pendirian tempat ibadah agama Tao dan akhirnya mereka dapat membangun rumah ibadah klenteng yang dikenal dengan “Sinar Tao” di Jl. Madukoro Blok AA/BB Semarang. Lembaga keagamaan ini telah terdaftar di Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama Republik Indonesia tertanggal 15 Desember 2003. Kemudian kelenteng ini diresmikan oleh Drs I Wayan Sanjaya, M. Si (Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha) pada tanggal 18 Januari 2004. Meskipun klenteng ini secara administratif dibawah naungan TITD yang terdata di Kementerian Agama Wilayah Jawa Tengah, tetapi pembinaan agama Tao dilakukan melalui Majlis Tri Dharma Indonesia (MTI) yang berpusat di Lampung. Hal ini dikarenakan hanya majelis inilah yang dianggap bisa memberikan pembinaan agama Tao kepada umat di Kelenteng “Sinar Tao” di Semarang.
58
Jadi, kelenteng bukan saja merupakan tempat ibadat yang mampu memenuhi kebutuhan spiritual umatnya, namun ia juga sekaligus merupakan pusat kebudayaan Cina, serta pusat kegiatan dan interaksi sosial para warga etnik Tionghoa, yang secara psikologis merasa berada di rumah sendiri. Bagi warga etnik Tionghoa, melestarikan kelenteng adalah ibarat mempertahankan rumahnya sendiri18. Umat Tao di Semarang beribadah di Wan Fu Gong Dao Guan atau sering disebut sebagai Tempat Ibadah Sinar Tao. Tempat Ibadah Sinar Tao didirikan pada tahun 2002 dan diresmikan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu & Budha, Bapak Drs. I Wayan Suarjaya, M.Sc. pada tanggal 18 Januari 2004. Wan Fu Gong merupakan kelenteng Tao di Semarang, meski demikian umatnya juga berasal dari kota-kota di Jawa Tengah. Dao Guan Dao Jia (tempat ibadah agama Tao) didominasi warna merah dan kuning. Ditinjau dari bentuk dan bahan strukturnya cukup modern yakni menggunakan pipa besi sebagai konstruksi atapnya, sehingga bisa dikatakan bahwa tempat ibadah ini mempertimbangkan “ramah lingkungan”19. Kategori untuk tempat ibadah ini ialah Dao Guan, yang bernama Wan Fu Gong. Dimana sesuai dengan kategori Dao Guan, seperti halnya di negara yang lainnya, yaitu merupakan sebuah tempat beribadah dan penyelenggaraan upacara
18
Tjan K. 2007. Pengetahuan Umum Tentang Tri Dharma. Semarang: Benih Bersemi. Hlm. 10-11.
19
Seputar Semarang, 2007, Sinar Tao: Peringatan Kebesaran Tai Shang Lao Jun, Semarang, Edisi 196 Tahun IV. Hlm. 11.
59
ritual agama Tao, disamping itu juga memberikan bimbingan kerohanian berupa penjabaran ajaran agama Tao pada umatnya serta memberikan pelayananpelayanan lainnya pada umatnya seperti upacara pengangkatan anak (Kwe-pang anak), upacara bersyukur, upacara pemberkatan pernikahan, dan upacara kematian. Wan Fu Gong Dao Guan dapat dikatakan merupakan yang pertama dan satu-satunya Dao Guan yang didirikan di Jawa Tengah, dimana sebagai tuan rumahnya adalah Maha Dewa Tai Shang Lao Jun. Tempat Ibadah Sinar Tao merupakan sebuah tempat ibadah bagi umat Tao di Semarang dan sekitarnya dan memiliki ciri khas yaitu kesemua sosok Dewa dan Dewi nya merupakan Dewa Dewi yang dipuja oleh umat Tao. Kegiatan dan pengelolaan dari tempat ibadah ini dilakukan oleh Yayasan Sinar Tao Semarang dan juga didukung oleh Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) DPC Semarang dan mendapat bimbingan kerohanian dari Majelis Tri Dharma Indonesia yang berpusat di Jakarta. Organisasi keagamaan bagi umat Tao awalnya memang menjadi satu dengan MATRISIA (Majelis Tri Dharma Indonesia) bersama dengan agama Khonghucu dan Buddha. karena agama Tao dan Khonghucu tidak dianggap sebagai agama maka pelaksanaan pembinaannya berada di bawah Perwalian Umat Budha Indonesia (Walubi). Walubi tediri dari berbagai macam organisasi Budha Dharma/ShanghaShangha, diantaranya adalah MATRISIA, MAPANBUMI (Majelis Pandita Budha Dharma Indonesia), MAJABUMI (Majelis Agama Budha Mahayana Indonesia),
60
Majelis Agama Budha Dharma Kasogatan Indonesia, Majelis Agama Budha Maitreya Indonesia (MABUMI). Diawali dengan Resolusi MPRS No. III/Res/MPRS/1966 tentang Pembinaan Kesatuan Bangsa yang memberikan perhatian penuh terhadap suatu kondisi keagamaan yang ada di negara Indonesia, yang diungkap dalam Pasal 1 sebagai berikut: (1)Mengintensifkan pendidikan Agama sebagai unsur mutlak untuk nation dan character building di semua sekolah dan lembaga pendidikan, dengan memberikan kesempatan yang seimbang; (2)Melarang usaha penambahan dan pengembangan doktrin-doktrin yang bertentangan dengan Pancasila, antara lain Marxisme-
Leninisme
(Komunisme). Resolusi ini memberikan gambaran bahwa pendidikan keagamaan sangat penting dalam menjaga stabilitas pertahanan keamanan nasional Indonesia yang sempat terganggu oleh insiden G 30 S PKI, PKI sebagai partai yang memiliki kecenderungan ideologi politik kiri (komunis) dianggap lekat dengan budaya China karena komunisme saat itu berjaya di RRC (Republik Rakyat China). Imbasnya segala hal yang berbau China menjadi seolah-olah adalah komunis, inilah yang menjadikan agama Tao direduksi maknanya hanya menjadi sebuah aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Berlakunya Inpres No.14 Tahun 1967 tentang Adat Istidat tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina mengharuskan pelaksanaan kegiatan ibadat “agama Cina” terbatas dalam
61
lingkungan keluarga dan perseorangan, dengan adanya ketentuan ini maka umat Tao (dan Khonghucu) dibatasi laku peribadatannya. Pemerintah yang saat itu menjustifikasi Negara Cina memiliki pengaruh yang besar terhadap hadirnya komunisme di Indoensia, menginginkan stabilitas nasional sesuai dengan karakter budaya lokal dan disertai kondisi spiritual keagamaan yang masif dalam setiap kegiatan pemerintahan demi terwujudnya cita-cita bangsa. Melalui TAP MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, ditegaskan bahwa bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab sesuai TAP MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghyatan dan Pengamalan Pancasila alinea 4. TAP MPR No.II/MPR/1978 kemudian ditindak lanjuti oleh Menteri Agama dengan memberikan interpretasi subyektif yang menyatakan bahwa aliran kepercayaan adalah bukan agama dengan Instruksi Menteri Agama No.4 Tahun 1978 tentang Kebijaksanaan Mengenai Aliran-aliran Kepercayaan, Instruksi Menag ini menjadi landasan pada Sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkam yang merasa perlu dikeluarkannya petunjuk pengisian kolom “Agama” pada lampiran formulir Keputusan Menteri Dalam Negeri No.221a Tahun 1975 Tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian Pada Kantor Catatan Sipil Sehubungan
62
Dengan
Berlakunya
Undang-Undang
Perkawinan
Serta
Peraturan
Pelaksanaannya. Hasil Sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkam tanggal 27 September 1978 No.K-212/Set.Neg/10/1978 itu ditindak lanjuti oleh Menteri Dalam Negeri dengan dikeluarkannya surat edaran pada semua Gubernur dan Bupati di seluruh wilayah Indonesia, disinilah masalah mulai timbul SE Mendagri No.477/74054 tanggal 18 November 1978 Tentang Petunjuk Pengisian Kolom “Agama” pada Lampiran SK.Mendagri No.221a Tahun 1975, memberikan interpretasi yuridis bahwa yang dimaksud dengan agama terbatas hanya pada lima agama saja yakni Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindhu, dan Budha. Surat edaran inilah yang kemudian menjadi dasar pengakuan oleh negara terhadap lima agama, implikasinya diluar kelima-nya tersebut dapat dikatakan hanya sebagai sebuah “aliran kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” dan saat itu agama Khonghucu dan agama Tao adalah yang termasuk kedalam kategori ini Oleh karena itu, Kelenteng “Sinar Tao” ini tetap di bawah naungan TITD sehingga menggnakan altar “Tri Nabi” yakni nabi Kong Cu, Nabi Lao Tse, dan Budha Sakyamuni/Gautama. Hanya saja, pembinaan agama (Tao) nya dilakukan melalui Majelis Tridharma Indonesia (MTI) yang berpusat di lampung, bukan Majelis Tao Indonesia (MTI) yang berpusat di Medan. Perlu diketahui bahwa kelenteng di Jawa Tengah yang mendapat pembinaan MTI Pusat Lampung hanyalah kelenteng “Sinar Tao” di Jl Madukoro Semarang dan kelenteng “Sinar Kasih Tao” di Jl. Sriwijaya, Magelang. Di dalam kelenteng ini, patung-patung atau arca-arca yang lebih dominan adalah patung atau arca dewa/dewi yang
63
disembah oleh umat Agama Tao. Hal ini terlihat pada kelenteng “Sinar Tao” yang memiliki 13 patung, yakni: Maha Dewa Dai Sang Lauw Cin, Dewa Erl Lang Shen, Dewa Jay Shen Ya, Dewa Fuk Tek Cen Shen, Dewa Shien Thien Sang Tie, Dewa Pau Shen Ta Tie, Dewa Zhen Huang Lauw Yek, Dewa Kwan Shen Tie Cin, Dewa Kwang Tek Cuen Huang, Dewi Ciu Thien Sien Nie, Dewi Thien Sang Shen Muk, Dewa/Dewi Hek Hek Erl Sien, dan Dewa Yek Shia Lau Ren. Jika dilihat ornamennya, maka Kelenteng Sinar Tao dan Kelenteng Sinar Kasih Tao tersebut berbeda dengan kelenteng-kelenteng lainnya yang lebih mistis, patung-patungnya kecil, dan suasana di dalamnya terkesan gelap dan angker. Berbeda dengan kelenteng “Sinar Tao” atau kelenteng “Sinar Kasih Tao” yang memiliki arsitektur modern dan elegan, sehingga seluruh ruang terkesan terang, terbuka, dan bercahaya. Kemudian ornamen-oranamen yang mencolok hanya pada pintu gerbang depan yang terdapat dua naga (kanan dan kiri), dan depan pintu masuk yang terdapat patung singa atau killin, dan dua tiang besar di depan pintu masuk terukir ornamen naga juga. Sedangkan di atas atap rumah hanya berbentuk genteng biasa, tidak seperti kelenteng-kelenteng lainnya yang terdapat ornamen patung naga dan atau killin. Meski patung-patung didominasi oleh dewa/dewi agama Tao, tetapi tidak menutup kemungkinan agama lain (Konghucu dan Budha) melakukan pemujaan/ sembahyang di kelenteng ini. Di dalam klenteng ini terdapat simbol ajaran Tao yang sangat dogmatis, yakni simbol Tao (Tai Ji, artinya keagungan yang tak terbatas) yang berbentuk lingkaran di bagi menjadi dua bagian secara simetris, yakni satu bagian yang terang dan bagian lainnya yang gelap. Bagian yang gelap melambangkan “Yin” (-
64
) dan bagian yang terang melambangkan “Yang” (+). Yin melambangkan malam, gelap, bumi, air, dingin, batin, feminin, dan sebagainya. Sedangkan “Yang” melambangkan siang, terang, langit, panas, keras, fisik, maskulin, dan sebagainya. Keberadaan “Yin” dan “Yang” adalah saling berlawanan tetapi juga saling membutuhkan, sehingga bersatunya “Yin” dan “Yang” dalam satu lingkaran sebagai lambang harmoni, yang disebut kesempurnaan dalam Tao (Tai Ting). Dalam pandangan Huston Smith20, asas Yinyang menunjukkan segala pertentangan yang mendasar dalam hidup ini, seperti: baik-jahat, aktif-pasif, positif-negatif, terang-gelap, musim panas-musim dingin, pria-wanita, dan seterusnya. Akan tetapi, asas ini merupakan dualisme yang berlawanan tetapi tidak bertentangan secara mutlak. Karena itu, asas Yinyang ini pada hakikatnya menolak segala dikhotomi yang tajam, sebab asas-asas ini mengandung makna saling melengkapi dan saling mengimbangi satu dengan lainnya. Pada saat ini, umat Tao di Kota Semarang mengalami perkembangan yang lebih banyak didominasi oleh orang-orang dari daratan Cina. Menurut Tan I Ming (Wawancara, tanggal 20 Mei 2014), bahwa jumlah umat Tao di Kota Semarang berkisar antara 500 orang sampai 600 orang. Hal ini terlihat pada saat perayaan hari kebesaran Kelenteng Sinar Tao, yang banyak dihadiri umat Tao dari berbagai daerah, seperti: Yogjakarta, Magelang, Temanggung, Solo, Ambarawa, Salatiga, Temanggung, Kudus, dan Jepara. Akan tetapi, umat Tao yang aktif mengikuti kegiatan dan sembahyang di kelenteng Sinar Tao ini hanya sekitar 100 s/d 150 orang. Jumlah umat sebanyak ini dapat dilihat ketika terjadi upacara sembahyang 20
Smith, Huston. 1999. Agama-Agama Manusia (Terj.). Saafroedin Bahar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm. 247.
65
atau pemujaan dewa/dewi pada setiap tanggal 1 dan atau tanggal 15 bulan Imlek. Namun, jika dilihat pada upacara sembahyang atau pemujaan dewa/dewi pada hari minggu maka umat Tao hanyab berkisar antara 40-50 orang 3.4. Ajaran Agama Tao Agama, secara umum dapat di definisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Bagi penganutnya, agama bersisikan ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akherat. Karena itu, Parsudi Suparlan21 mengatakan bahwa agama merupakan sistem keyakinan dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya pribadi, dan diwujudkan dalam tindakantindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadah) yang sifatnya individual ataupun kelompok dan sosial yang melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat. Dalam hal ini, ajaran agama Tao secara umum dapat dijelaskan melalui definisi agama yang umum digunakan dalam studi keagamaan. Definisi agama itu adalah definisi yang dikemukakan oleh Leonard Swidler dan Paul Mojzes. Definisi itu dapat disebut sebagai definisi 4 Cs. Keempat Cs tersebut adalah creed, code, cult, dan community yang akan diuraikan sebagai berikut:
21
Suparlan, Parsudi. Loc cit. hlm.v.
66
“Creed refers to the cognitive aspect of a religion, it is everything that goes into the ”explanation: of the ultimate meaning of life; Code of behavior or ethics includes all the rules and customs of action that somehow follow from one aspect or another of the Creed; Cult means all the ritual activities that relate the follower to one aspect or other of the transcendent, either directly or indirectly. Prayer is an example of the former, and certain formal behavior toward representatives of the transcendent, such as priests, is an example of the latter; Community-structure refers to the relationship among the followers. This can vary widely, from a very egalitarian relationship, as among quakers, through a”republican” structure as Presbyterians have, to a monarchical structure, as with some Hasidic Jews vis-a-vis their Rebbe”.
3.4.1. Tao Ditinjau dari Definisi Kepercayaan (Creed) 1) Kepercayaan kepada Tuhan Creed merupakan kepercayaan tentang sesuatu yang secara mutlak dianggap benar bagi kehidupan manusia. Kebenaran itu dapat berbentuk dewa atau Tuhan atau AIlah, akan tetapi dapat juga berbentuk yang bukan itu, seperti misalnya gagasan, kesenangan, dan sebagainya. Creed adalah pengakuan yang diyakini bahwa ada sesuatu yang disebut Yang Mutlak itu yang berpengaruh atas kehidupan manusia. Karena misterisunya Yang Mutlak itu sehingga dapat dibedakan antara yang disebut Theos dan yang disebut Non-Theos. Theos dari bahasa Yunani menunjuk kepada suatu illah, dewa,
67
yang disebut Tuhan, atau Allah, atau siapa saja. Sedangkan yang Non-Theos, bisa berarti bukan illah, tetapi berupa gagasan, kekuatan, atau apa saja. Tao meyakini adanya Tuhan, akan tetapi konsep Tuhan tidak mudah difahami dengan akal-budi manusia. Untuk menjelaskannya, perlu difahami konsep “Tao” atau “Dao” dalam metafisika Taoisme. Konsep Tao atau Dao dapat diartikan sebagai “kebenaran sejati” atau “kebenaran yang paling hakiki”. Tao juga dapat diartikan sebagai “keberadaan” atau “jalan kehidupan” (way of life), sehingga siapa saja yang bisa menyelaraskan dengan Tao maka berbahagialah hidupnya. Selain itu, Tao juga bisa diartikan sebagai sumber atau asal usul alam semesta. Dalam kitab Tao Te Tjing disebutkan bahwa Tao adalah sumber segala sesuatu. Dan segala sesuatu muncul dari satu sumber yang sama. Langit yang luas, bumi yang kukuh, alam yang indah, lembah yang subur, semuanya berasal dari yang satu itu. Menurut Tjan K22 bahwa kebenaran sejati dan atau sumber segala sesuatu adalah hakikat Tuhan Yang Maha Esa. Tao menggunakan lambang Ba Kua Dai Chi sebagai lambang keagamaan. Ba Kua melambangkan segala sesuatu yang ada di alam semesta dan juga melambangkan segala arah yang berarti 4 penjuru dan 8 arah (Ba). Dai Chi merepresentasikan hakikat substansi Tao dimana lambang Yin menunjukan kesan “tiada”, lambang Yin menunjukkan sifat Tao yang tidak berwujud, tidak bernama, Maha Agung, dan tiada berbatas. Sedangkan lambang Yang menunjukkan “ada”,
22
Tjan K., 2013, Ajaran Dao Secara Ringkas, dalam bahan Penataran Dharmaduta Tridharma, Semarang : PITD se- Indonesia. Hlm. 15.
68
lambang ini mendeskripsikan fungsi dan karya dari Tao yang merupakan awal dari segala yang ada di alam semesta, dengan kata lain lambang ini mereprsentasikan sifat Maha Pencipta dan Maha Kuasa. Tuhan, dalam agama Tao bukan sosok dan bukan sebuah nama, melainkan keberadaan yang absolut (The Existence and The Absolute). Dia adalah satusatunya yang ada, tak ada lainnya dan tak ada saingannya, Dia dinamakan “Taiji” yang melambangkan dao sebagai ke-ada-an, ke-satu-an, dan atau ke-esa-an mutlak. Dari Yang Esa (The One) ini melahirkan “Yang Dua”, yakni “Yang” dan “Yin”. Tjan K mengatakan bahwa Yin Yang adalah sifat dualisme segala ciptaan, yakni aspek positif (yang) dan aspek negatif (yin). Kedua sifat ini bisa bersifat saling melengkapi, saling bergantian, saling berlawanan, dan saling menandingi, seperti: ada-tiada, pria-wanita, siang-malam, tinggi-rendah, baik-jelek, dan sebagainya23 Dari Yang Dua tersebut akan melahirkan Yang Ketiga (Shan Chai), yakni bumi, langit, dan manusia, dan dari Yang Ketiga melahirkan semua makhluk (kesatuan alam semesta). Karena itu, konsep Tuhan dalam agama Tao sebenarnya tidak mengenal istilah penciptaan, melainkan melahirkan, yakni Yang Satu (Tao) melahirkan Yang Dua (Yang dan Yin), dan yang Dua melahirkan Yang Tiga (Kesatuan Yang dan Yin atau kesatuan alam semesta dan manusia). Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Yang Liping (2005:96): Tao creates one, One creates two, Two creates three, And three creates everything in the world
23
Tjan K & Kwa Tong Hay, 2010, Berkenalan dengan Adat dan Ajaran Tionghoa, Yogjakarta : Penerbit Kanisius Hlm. 38.
69
(Tao melahirkan yang satu, Yang satu melahirkan yang dua, yang dua melahirkan yang tiga, dan yang tiga melahirkan segala sesuatu yang ada di dunia). Tuhan, atau sebut nama apa saja yang diberikan kepada-Nya tidak pernah mengharapkan sesuatu, dan tidak pernah menuntut sesuatu dari manusia. Akan tetapi, manusia terkadang memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga mencari perlindungan kepada “Sang Penguasa Alam”. Karena itu, mulailah manusia berusaha mengadakan hubungan yang lebih pribadi dengan menjalankan pemujaan-pemujaan dan atau persembahyangan untuk memohon perlindungan. Tuhan, dalam agama Tao biasanya disebut sebagai “Tian Gong” atau “Thian Kong” dalam dialek Hokkian). Bagi umat Tao, Thian adalah penguasa tertinggi alam semesta ini, sebab itu kedudukanNya berada di tempat yang paling agung. Dengan demikian, Tao atau Dao merupakan realitas tertinggi yang dibayangkan sebagai lambang Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Lika24 (2012:88), Tao atau Dao adalah Dzat Yang Maha Agung, Yang Mahabesar, absolut, kekal, dan abadi. Dia menciptakan dan atau mengatur seluruh isi alam semesta.Dia tidak berawal dan tiada berakhir. Dia maha adil dan maha pengasih tanpa pandang bulu, sehingga semua manusia di hadapan Tao atau Dao adalah sama, tidak ada yang lebih tinggi antara yang satu dengan lainnya. Batasan yang membedakannya adalah apakah manusia mampu mengamalkan ajaran Dao (Xiu Dao) sampai mendapatkan Dao dan bersatu dengan-Nya.
24
Lika, ID., 2012, Dao De Jing, Kitab Suci Utama Agama Tao, Jakarta : Penerbit Kompas Gramedia. Hlm. 88.
70
Sebagaimana yang terjadi di Indonesia ketika negara memberikan penilaian terhadap agama-agama tertentu dengan perspektif yang berbeda dari keyakinan umat, tolok ukur yang digunakan adalah nilai-nilai moral yang ada pada agama tersebut memiliki perbedaan yang mungkin jamak ditemui pada agama yang “dikehendaki” oleh negara (Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindhu, dan Budha) yang memunculkan stigma bahwa “keyakinan umat” tidak dapat disebut sebagai “agama” namun hanya sebagai falsafah terhadap Tuhan atau Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jika ditilik lebih lanjut sebenarnya makna kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah memang suatu pemikiran filosofis tentang keberadaan Tuhan dan ini merupakan esensi dari semua agama yang ada di dunia, lantas keengganan negara untuk mengakui agama Tao adalah suatu pandangan subyektif yang muncul karena alasan-alasan berlatar-belakang prasangka etnik yang telah mengakar di Indonesia sejak lama. Negara sebagai pengayom bagi setiap warga negaranya memberikan perlindungan, jaminan dan pengakuan terhadap agama atau keyakinan mereka. Agama menjadi salah satu hak paling asasi bagi manusia, dimana karena sifat agama itu sendiri yang sakral dan sangat bergantung pada keyakinan dan kepercayaan dari setiap individu yang begitu personal.
2) Kepercayaan terhadap Nabi dan Dewa/Dewi Agama Tao mempercayai adanya dzat yang Maha Agung, Maha Esa, Maha Sempurna yang disebut dengan Tian atau Dhian (Tuhan), namun agama
71
Tao juga meyakini akan adanya dewa-dewi. Agama Tao percaya bahwa sosok mortal manusia dapat menjadi dewa karena sanggup berbuat jasa yang besar bagi masyarakat ataupun orang lain, kategori perbuatan-perbuatan baik tersebut, sebagai berikut: a. Bisa memberikan keteladanan yang luar biasa dalam perilaku kebijaksanaan untuk umat manusia; b. Berjasa besar dalam membangun/memperjuangkan kedamaian bagi negara dan masyarakatnya; c. Bisa mencegah/menanggulangi bencana yang membahayakan umat manusia; d. Sanggup menyumbangkan nyawanya demi membela keyakinan tentang kebenaran sejati. Di dalam Agama Tao juga terdapat kepercayaan terhadap nabi, yakni Nabi Lao Zi. Ia dikenal sebagai perintis ajaran Taoisme dan sekaligus penulis kitab terbesar agama tao, yakni kitab “Tao Te Ching”. Masyarakat pada saat itu sangat menghormati Nabi Lao Zi karena banyaknya ilmu pengetahuan yang dikuasainya sehingga banyak orang yang meminta nasehat kepadanya. Karena itu, nama Lao Zi dikenang oleh masyarakat sepanjang masa, baik sebagai seorang filosuf yang dihormati dan sebagai seorang suci atau dewa yang sangat dimuliakan. Dia dilahirkan di negeri Cina sekitar tahun 640 SM, yang konon berusia sekitar 150 – 200 tahun. Usia yang sepanjang ini diyakini dapat dicapai oleh umatnya karena ia hidup di jalan Tao sebagai prinsip dasar hidupnya. Namanya sendiri adalah Erh, sedangkan nama keluarganya adalah Li, sehingga nama Lao Zi seringkali disebut Li Erh. Bahkan, nama Lao Zi seringkali disebut sebagai “putra
72
tua”, “sahabat tua”, dan atau “sang guru tua”. Hal ini dimaksudkan sebagai gelar penghormatan dan kecintaan kepada Lao Zi yang mengembangkan ajaran Tao untuk menuju kesatuan dan keselarasan dengan alam. Semasa mudanya, Lao Tzi pernah bertugas sebagai seorang pegawai kerajaan pada masa Dinasti Chou (111-255 SM). Di kerajaan ini, ia diberi tugas untuk mengelola dokumen-dokumen dan surat-surat kuno yang bersejarah, serta buku-buku suci dan rahasia. Dengan pengalamannya ini, Lao Zi dapat mempelajari sejarah dan data-data peninggalan sejarah serta memperhatikan kejadian-kejadian di sekelilingnya, termasuk memperhatikan keadaan sosial dan politik kerajaan itu. Dalam masa kerjanya, ia menekankan dan sekaligus mempraktekkan sebuah kehidupan yang jauh dari keinginan diri atau hasrat semata, yaitu suatu kehidupan yang murni dan bersih. Keadaan yang demikian ini sangat membantu Lao Zi untuk membentuk sebuah teori atau ajaran, yang dikenal sebagai aliran Taoisme. Dalam agama Tao, ada tiga tokoh yang dimuliakan sebagai leluhur agama Tao, yakni Kaisar Kuning (Huang Di), Lao Zi, dan Zhang Ling. Kaisar kuning diakui sebagai cikal bakal orang Cina dan sekaligus diakui sebagai cikal bakal Taoisme. Lao Zi adalah penerus dan pengembang ajaran Tao yang dirintis oleh Huang Di, sehingga ia dikenal sebagai penggubah Taoisme. Kemudian ia dikenal sebagai Nabi Lao Zi yang mengajarkan kitab kepada para pengikut-pengikutnya, yakni “Tao Te Ching”. Kemudian Zhang Ling dikenal sebagai Zhang Dao Ling (guru langit) sebagai pendiri sekte ortodoks Tao. Sekte ini mengajarkan umatnya
73
untuk melakukan amal secara luas dan menjadikan Tao sebagai agama orang Cina. Sebagai ciri umum agama Tao adalah memuja arwah di alam semesta, seperti langit, bumi, binatang, gunung, sungai, angin, orang suci, leluhur, dan sebagainya. Bahkan, pemujaan terhadap arwah yang menghuni tubuh manusia, seperti roh jantung, roh paru-paru, roh hati, dan roh ginjal. Pemujaan yang termulia adalah Tao, tetapi Tao sendiri di luar jangkauan akal manusia. Karena itu, agama Tao memanusiakan Tao menjadi tiga maha roh (Trisuci) yang bernama “San Qing (Tiga Mahasuci), yakni Yuan Shi, Ling-bao, dan Dao-de. Mereka itulah dikenal sebagai dewa tertinggi dalam agama Tao, yakni Yu Qing, Shang Qing, dan Thai Qing. San Qing ini sebagai sumber segalanya, tetapi mereka tidak menguasai alam semesta, sebab yang menguasainya adalah Shang Di, yakni Thian Gong, yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa (Tjan K, 2010:50-51). Itulah sebabnya agama Tao dapat dikatakan sebagai suatu agama polytheisme yang menyembah dewa-dewa. Hal ini sebagaimana terlihat di Kelenteng Sinar Tao Semarang, dewa/dewi yang dipuja oleh umat Tao meliputi: dewa langit yang divisualisasikan sebagai Thian Kung, Dewa Thai Shang Lao Yun sebagai sang Maha Dewa, Dewa Cheng Huang Lao Ye, Dewa Xuan Tian Shang Di, Dewa Bao Sheng Da Di, Dewa Fu De Zheng Shen, Dewa Guang Ze Zun Wang, Dewa Er Lang Sen, Dewa Jiu Tian Yuan Nu, Dewa Tian Shang Sheng Mu, Dewa Cai Shen Lao Ye, Dewa Guan Sheng Di Jun, Dewa Yue Yia Lao Ren, dan Dewa He He Er Xian. Dewa-dewa tersebut, biasanya dipuja oleh umat Tao
74
pada setiap tanggal 1 dan tanggal 15 bulan Imlek (Lunar) dan pada hari-hari kebesaran dewa/dewi.
3.4.2. Tao Ditinjau dari Definisi Tindakan/Perilaku (Code) Code merupakan pedoman tata tindak (perilaku) yang timbul akibat adanya kepercayaan (creed). Maksudnya, tindakan manusia terjadi berdasarkan pemahaman atas kepercayaan di atas. Tindakan-tindakan ini termasuk kategori tindakan etis. Code yaitu seperangkat tindakan yang bersumber pada keyakinan dalam Creed tadi seperti harus berbuat kebajikan dan sebagainya. Agama Tao memiliki ajaran moralitas yang sangat tinggi, yang tercermin dalam prinsip dasar Tao, yakni “Kesetiaan” dan “Bakti”. Agama Tao mengajarkan umatnya untuk menghormati langit dan bumi, menghormati leluhur, mengasihi sesama, dan berdamai dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu, agama Tao mengajarkan prinsip keadilan, kesetaraan, dan damai. Karena itu, pengembangan diri bagi umat Tao meliputi dua aspek, yakni aspek ke dalam dan aspek keluar. Dalam aspek keluar, agama Tao mengajarkan bahwa seseorang harus setia, berbakti, berbuat kebajikan dan cermat. Dalam aspek ke dalam, agama Tao mengajarkan bahwa seseorang harus jujur, teguh memegang prinsip yang baik dan benar. Hal ini dimaksudkan untuk memajukan diri sendiri, membantu orang lain tanpa ada batasan apapun. Berbuat baik sangat ditekankan dalam agama Tao, sebagaimana yang dikatakan oleh Taw Taubing (Wawancara, tanggal 23 Mei 2014), sebagai berikut:
75
“Dalam teks Tai Shang Gan Yin Pian disebutan bahwa bila seseorang telah mencapai Tao, maka ia akan menjadi yang terdepan dalam berbuat kebaikan, welas asih pada orang lain, berdedikasi tinggi pada tugasnya, membantu orang yang patut dibantu dengan tanpa pamrih, hormat pada orang tua, memberi perhatian yang besar kepada yang muda, tidak merusak leingkungan termasuk tanah, tumbuh-tumbuhan dan serangga, berempati dan berusaha membantu kepada orang yang membutuhkannya, berempati dan berusaha menyelamatkan kepada orang-orang yang sedang dirundung kemalangan, memandang keberuntungan orang lain sebagai keberuntungannya sendiri, dan sebaliknya memandang kemalangan orang lain sebagai kesusahan dirinya sendiri”.
Ajaran etika tersebut dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga terwujud sikap dan perilaku yang baik ketika berhubungan dengan sesama umat Tao ataupun masyarakat pada umumnya. Dengan etika semacam ini, maka akan tercipta hubungan yang harmonis dan teratur ntara sesama umat beragama. Dalam kehidupan sehari-hari, etika semacam ini terlihat pada cara-cara berpakaian, berbicara, berjalan, bahkan makan dan tidur. Semua aspek kehidupan ini tidak hanya dilakukan oleh Taois (umat Tao), melainkan juga pendeta Tao. Hal ini disebabkan oleh tanggung jawab seorang pendeta Tao yang harus memiliki moral dan mental yang baik dibandingkan umat biasa. Oleh karena itu, seorang pendeta Tao harus memenuhi aturan atau ketentuan etika agama Tao agar mencapai tingkat religiusitas yang lebih tinggi. Hal ini dimaksudkan agar seorang pendeta Tao tidak melakukan perbuatan yang tidak baik, perkataan dan
perilaku yang membahayakan moral. Keberadaan
aturan ini pada hakikatnya bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan kemurnian dan integritas umat ataupun pendeta agar selalu menuju di jalan Tao. Etika semacam ini sebenarnya bersumber pada ajaran “Yin Yang” yang menyebutkan bahwa segala sesuatu di dunia ini mengandung dua unsur yang 76
saling berlawanan, dan setiap unsur yang berlawanan tersebut saling tergantung satu sama lain. Ajaran ini kan dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan damai. Masalah-masalah yang berkaitan dengan hal agama menjadi menarik untuk disimak dimana kita tahu bahwa berbicara tentang agama tidak akan terlepas dari hal-hal yang bersifat spiritual, dimana sesuatu yang sacred (suci), ghaib, ataupun mungkin mistis ada di dalamnya. Namun semua ini takkan lepas dari apa yang disebut sebagai “umat”, golongan yang mendukung dan meyakini akan keberadaan agama sebagai sarana pendekatkan diri pada sang Causa Prima (biasa disebut dengan Tuhan, Dewa, Allah) yang bersifat transedental dan tentunya berlawanan dengan keprofanan manusia. Keyakinan umat akan keberadaan Tuhan dimanifestasikan kedalam ritus peribadatan yang telah dinisbatkan dalam Kitab Suci yang bersumber dari wahyuNya, ritus-ritus ini dapat bersifat individual maupun komunal. Agama menjadi suatu pranata nilai yang memberikan pedoman bagi manusia (umatnya) dalam menjalani kehidupan dunia dan pencapaian kesempurnaan di akhirat, karenanya pelaksanaan nilai-nilai keagamaan ini disertai pula dengan sanksi yang bersifat transeden berupa dosa dari Tuhan. Bagi manusia peran agama sebagai pedoman dalam mempertanyakan keberadaan dirinya sendiri serta alam semesta tidak dapat dipisahkan dari pandangan hidup yang diwarnai oleh perasaan sakral (suci) sehingga sulit bagi orang lain diluar lingkungan agama tersebut melihat bagaimana agama mempengaruhi perilaku manusia, dimana pemeluk agama diliputi oleh keyakinan,
77
kesetiaan, dan kekaguman terhadap nilai-nilai moral dalam agama (Nothingham, 2002:4). Akan sangat bijaksana bagi kita untuk tidak menilai agama dari perspektif personal kita yang tentunya akan sangat berbeda dengan para penganutnya, dimana tolok ukur agama berada pada religusitas umat dari agama itu sendiri. Sumber-sumber kebajikan bagi umat Tao tertuang dalam kitab suci yang menjadi pegangan hidup bagi umat Tao. Agama Tao juga mempercayai adanya kitab suci yang bernama “Tao Te Ching”. Kitab ini merupakan pemikiran Nabi Lao Zi yang dijadikan sebagai pedoman moral dan etika bagi umat manusia yang ditulis pada abad ke 6 SM. Penulisan kitab ini terdiri atas 5.000 kata, dan tersusun dalam 81 bab, yang terdiri atas dua bagian, yakni: 1). bagian pertama terdiri atas 37 bab yang menerangkan tentang Tao, yang diyakini ada dimana-mana dan asal mula dari segala sesuatu yang di alam ini; 2). bagian kedua terdiri atas 44 bab yang menerangkan tentang Te (kebajikan), yakni daya dan atau kekuatan yang diperoleh dengan mengikuti Tao. Karena itu, isi kitab ini pada prinsipnya adalah mengembangkan jalan Tao agar selaras dengan kehidupan alam. Selain kitab Tao Te Ching tersebut, agama Tao juga mengenal kitab lain, yakni Kitab Chuangzi dan Kitab Liezi. Kitab Chuangzi merupakan kumpulan 33 bab essai yang terdiri atas tiga bagian, yakni bab dalam, bab luar, dan bab lainlain. Kitab ini lebih banyak diperuntukkan untuk rakyat jelata sebagai pedoman hidup mereka dibandingkan dengan para penguasa. Kitab Liezi merupakan kumpulan cerita-cerita dan hiburan-hiburan dalam filsafat. Kitab ini juga berisikan bahan-bahan yang ditulis selama 600 tahun, terutama yang berkaitan dengan
78
ajaran-ajaran untuk memahami agama Tao. Secara umum ajaran dari agama Tao bersumber dari Kitab Suci Tao De Jing (Kitab tentang Kebijakan dan Kebajikan), namun agama Tao juga memiliki sejumlah kitab suci lainnya yang harus diyakini oleh umatnya, antara lain: a. Dai Sang Lao Jun Zhen Jing (Kitab Suci Maha Dewa Dai Sang Lao Jin); b. Er Lang Shen Zhen Jing (Kitab Suci Dewa Er Lang Shen); c. Fu Tek Zhen Shen Zhen Jing (Kitab Suci Dewa Fu Tek Zhen Shen); d. Wang Di Zhi Jing (Empat Kitab Kaisar Kuning(Huang Di); e. Dai Bing Jing (Kitab Dai Bing atau Kitab Aman Sentosa); f. Qing Jing Jing (Kitab Hening Tanpa Pamrih); g. Shen Tian De Tao Zhen Jing (Kitab Suci demi Mendapat Tao dan Naik Ke Langit). Kitab-kitab tersebut pada hakikatnya adalah tiga kitab klasik Tao yang saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Hal ini terlihat pada pembukaan kitab Tao Te Ching yang menyebutkan: “Tao yang dapat dijabarkan bukanlah Tao yang sejati; nama yang dapat diberikan pada Nya, bukanlah arti yang sesungguhnya. Dia adalah tak bernama, dan tak berwujud, serta tak terjangkau oleh pemikiran normal. Tao adalah sumber dari semua kehidupan, sesuatu yang bukan pribadi tetapi bukan Dewa/Roh. Tao adalah sesuatu yang tak bernama tetapi berada di belakang layar alam semesta ini. Kehidupan ini sinonim dengan Keberadaan, dengan Tuhan, dengan Allah” (Anand Krisna, 1998: xv)”.
Selama ini banyak hal-hal negatif yang berhembus tentang agama Tao di Indonesia, selain karena pengaruh stigma yang diterima etnik Cina juga adanya kesesatan informasi tentang keberadaan agama Tao. Agama Tao sering pula
79
dianggap sebagai ajaran mistis, misterius, dan seolah-olah enggan bersentuhan dengan dunia luar, semua ini lebih karena minimya pemahaman masyarakat tentang bagaimana sebenarnya agama Tao. Orang cenderung menjustifikasi agama Tao hanya sebagai nilai-nilai filsafat karena tidak mampu menangkap essensi ajaran Tao yang tertuang pada Kitab Suci Tao De Jing, kitab suci ini berisi 5000 kata bijak dari Lao Tzu yang sederhana namun memiliki makna yang dalam sehingga
banyak
orang
menilai
dengan
subyektifitasnya
sendiri
(multiinterpretable) dan terkadang menimbulkan kesesatan pemahaman.
3.4.3. Tao Ditinjau dari Definisi Peribadatan (Cult) Cult yaitu ritus dan upacara yang dilakukan dalam hubungan dengan Creed sebagai cara upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang dipercayai tadi, baik sebagai cara untuk memahami kehendak-Nya atau memperbaiki kembali kesalahan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak kepercayaan tadi. Setiap agama memiliki sistim upacara yang bertujuan untuk mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib. Sistim upacara ini terdiri atas beraneka-ragam upacara dengan berbagai macam unsurnya, seperti berdoa, bersaji, bersujud, berkorban, makan bersama, dan sebagainya25 Dalam agama Tao, sistim upacara yang dilakukan oleh penganutnya berbentuk pemujaan atau sembahyang. Setiap tanggal 1 dan 15 bulan (Imlek), umat agama Tao senantiasa melaksanakan ritual keagamaan di kelenteng Sinar Tao. Pada tanggal-tanggal 25
Koentjaraningrat, Op.cit.138-139.
80
tersebut umat Tao berdatangan menuju ke Kelenteng Sinar Tao di jl. Madukoro Blok AA/BB Semarang. Sebagian diantara mereka datang secara individual (perorangan), dan sebagian diantara mereka datang dengan keluarganya, seperti anak dan isterinya. Ketika datang, mereka langsung masuk ke dalam klenteng untuk mengambil “hio” atau dupa yang telah disediakan oleh pengurus kelenteng. Kemudian mereka langsung melakukan pemujaan/sembahyang ke dewa/dewi agama Tao. Perlu diketahui bahwa pelaksanaan pemujaan/sembahyang ini adakalana dilakukan secara perorangan, dan adakalanya dilakukan secara bersama/berkelompok. Pertama-tama, pemujaan/sembahyang dilakukan di hadapan Dewa Langit, sebagai manifestasi Tian Kong, Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian pemujaan/ sembahyang di hadapan Maha Dewa Lao Zi, lalu secara berturut-turut melakukan pemujaan/sembahyang di hadapan dewa/dewi agama Tao, sebagai-mana tersebut di atas. Setelah itu, mereka berkumpul di tempat yang telah disediakan untuk saling bertegur sapa, bercerita, berdiskusi, dan sebagainya. Pada saat inilah pengurus yayasan atau tokoh-tokoh agama tao memberikan informasi-informasi penting kepada umat, baik menyangkut masalah keagamaan ataupun masalahmasalah lainnya, seperti: tata cara ibadah, bakti sosial, dan sebagainya. Kemudian pertemuan diakhiri dengan pemujaan/sembahyang bersama yang dipimpin oleh tokoh-tokoh agama Tao. Selain itu, pemujaan/sembahyang dewa/dewi juga dilakukan pada hari-hari kebesaran agama Tao, seperti perayaan hari kebesaran Sang Maha Dewa Lao Zi. Di kelenteng Sinar Tao, perayaan hari kebesaran dilakukan pada tanggal 15 bulan
81
5 Imlek. Pada saat ini diselenggarakan upacara pemujaan/sembahyang bersama, sebagaimana pada tanggal 1 dan 15 bulan Imlek. Hanya saja, masyarakat Tao yang mengikutinya berjumlah lebih banyak. Jika pada pemujaan/sembahyang tanggal 1 dan 15 bulan Imlek hanya diikuti sekitar 100 – 150 orang, maka pada kebesaran ini diikuti oleh umat Tao sekitar 500 – 600 orang. Hal ini disebabkan peserta ritual keagamaan tidak hanya berasal darai kota Semarang, melainkan dari umat Tao di luar kota Semarang, seperti; Solo, Jepara, Kudus, Woonosobo, Magelang, dan Temanggung. Agama Tao dalam menghitung hari menggunakan penanggalan “Imlek” yang merupakan hasil karya dari Khuang Cheng Zi sejak ±2703 tahun yang lalu. Penanggalan Imlek ini menggunakan perhitungan berdasarkan peredaran bulan. Penanggalan ini selain digunakan dalam kehidupan sehari-hari juga dalam menentukan hari-hari besar kegamaan dalam agama Tao, hari-hari besar yang dirayakan oleh umat Tao sebagai berikut:
82
Tabel 1: Hari-Hari Besar Agama Tao Yang Diperingati Oleh Umat Tao Tanggal
Bulan (Imlek)
Keterangan
Nama Dewa-Dewi
15
5 Imlek
Maha Dewa Tao
Thay Shang Lao Jun
19
2 Imlek
Kelahiran Dewi Gwan
Gwan Yin (Welas Asih)
Yin 19
6 Imlek
Naik Ke Surga
19
9 Imlek
Wafatnya Dewi Gwan Yin
9
9 Imlek
Pelindung Anak
Li Na Zha
24
6 Imlek
Dewa Kesetiaan
Gwan Gong
3
3 Imlek
Penjaga Langit
Xuan Thian Zhang Di
2
2 Imlek
Penjaga Bumi
Fu De Zheng Shen
22
4 Imlek
Dewa Kekayaan
Chai Shen Ye
22
2 Imlek
Dewa Petani
Gong De Jun Ong
23
3 Imlek
Dewi Penjaga Laut
Thien Shang Shen Mu
28
8 Imlek
Dewa Pelindung
Er Lang Zhen
9
9 Imlek
Pelindung Wanita
Ciu Thian Xian Nie
19
7 Imlek
Penguasa Waktu
Tai Su Ye
15
3 Imlek
Dewa Pengobatan
Bao Sheng Da Di
3
2 Imlek
Dewa Pendidikan
Wan Chang Tee Cin
83
Dalam menjalankan pemujaan/sembahyang kepada dewa/dewi, umat Tao harus melaksanakan “San Li Jiu Kou”, yakni membungkuk tiga kali dan bersujud tiga kali hingga menyentuhkan jidadnya ke matras atau lantai. Bersujud dan membungkuk merupakan tradisi Cina untuk menunjukkan penghormatan yang paling tinggi. Penghormatan dilakukan dengan cara melipat dua tangan di depan perut dan menurunkannya selagi membungkukkan badan ke depan. Pada umumnya, saat menghormati para dewa hendaknya dilakukan dengan membakar dan memasang dupa atau hio, karena hal ini memiliki makna bahwa asap dupa merupakan sarana untuk menyampaikan maksud dan tujuannya kepada para dewa/dewi.
84
Foto: Peribadatan Umat Tao
85
3.4.4. Tao Ditinjau dari Definisi Komunitas (Community) Antara Khonghucu dengan Tao sama-sama tergabung dalam Tridharma sebagai satu organ kesatuan hanya ada di Indonesia. Tridharma tidak pernah mempunyai hubungan ke negara lain. Tridharma lahir karena dahsyatnya misimisi Agama Nasrani yang berorientasi menyedot Umat Buddha keturunan Tionghoa pada akhir abad 19. Kwee Tek Hoay mendirikan Sam Kauw Hwee setelah Tiong Hoa Hwee Koan gagal memelihara dan mengembangkan ajaran Khong Hu Cu dan Beliau menganggap Khong Kauw Hwee yang didirikan di Solo pada tahun 1918 dan di kota-kota lain kurang memasyarakat atau kurang memberikan harapan. Ong Kie Tjay membentuk Tempat Ibadat Tri Dharma karena klentengklenteng di Jawa Timur terancam punah sebagai akibat dari persepsi yang kurang lengkap dari Penguasa Perang Daerah terhadap klenteng yang dianggapnya sebagai Lembaga Kecinaan yang non agama pasca G30S/PKI tahun 1965. Tahun 1954 lahir di Bogor Persatuan Pemuda Pemudi Sam Kauw Indonesia (P3SKI) yang kini menjadi Pemuda Tridharma Indonesia. Salah satu pendirinya adalah Souw Tjiang Poh atau lebih dikenal dengan nama Yogamurti bermukim di Bandung. Istilah Tridharma (3 agama) adalah nama baru dari Sam Kauw (dari bhs. Hokkian: Sam = tiga, Kauw = agama, maklum nama yang berbau Cina harus ganti nama). Sam Kauw Hwee didirikan pada Mei 1934 oleh Kwee Tek Hoay, dengan tujuan untuk membendung Kristenisasi pada orang-orang Tionghoa. Karena perubahan agama (menjadi Kristen) dianggap sebagai penolakan unsur
86
kebudayaan Tionghoa oleh orang Tionghoa sendiri. Dalam pandangan Sam Kauw Hwee, tiga agama ini dapat disebut sebagai agama Tionghoa. “itoe Sam Kauw aken mendjadi satoe philosofie agama jang paling lengkep dan memberi faedah besar bagi manoesia, teroetama bangsa Tionghoa jang leloehoernja soedah kenal itoe tiga peladjaran sadari riboean taon laloe”. (tulisan Kwee Tek Hoay di Sam Kauw Gwat Po edisi Feb 1939). Konsep Tridharma/SamKauw/Sanjiao/Tiga Agama bukan hanya ada di Indonesia, tetapi sudah berakar mulai abad ke-12 di Tiongkok. Ditambah dengan sifat bangsa Tionghoa yang suka mencampur adukkan ajaran agama (sinkretisme) yang ada. Banyak bagian kebudayaan Tionghoa yang sudah tercampur-baur dengan unsur dari ketiga agama ini. Tridharma (Hanzi: hanyu pinyin: sanjiao) adalah sebuah kepercayaan yang tidak dapat digolongkan ke dalam agama apapun. Tridharma disebut Samkau dalam dialek Hokkian, berarti harfiah tiga ajaran. Tiga ajaran yang dimaksud adalah Taoisme, Buddhisme dan Konfusianisme. Tridharma lebih tepat disebut sebagai salah satu bentuk kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa sebagai hasil dari sinkretisme ketiga filsafat yang mempengaruhi kebudayaan Tionghoa dan sejarah Tiongkok sejak 2500 tahun lalu. Tridharma
adalah
Sam
Kauw
/
San
Jiao.
Sam Kauw / San Jiao adalah Tiga Agama/Ajaran yang merupakan keimanan yang dianut secara merata umum oleh orang Tionghoa yang oleh orang orang Barat dikatakan sebagai Chinese Religion atau Agama Tionghoa. Bila sampai saat ini banyak orang di luar mengatakan bahwa Tridharma itu bagian dari Buddha maka
87
secara organisatoris memang benar bahwa organisasi Tridharma berada di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Kementerian Agama RI. Lao Tze mengajarkan bahwa Tao adalah sumber misteri, kedalaman dasar dari ada. Konsep Tao tersebut mempunyai makna metafisik sebagai kebenaran absolut, realitas terakhir, dasar yang kekal dari ada. Dalam Konfusianisme konsep Tao mempunyai makna etis. Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme, ketiga agama tersebut hidup berdampingan saling melengkapi dan isi mengisi, disamping memang
sejalan
dengan
praktek
kesalehan
Cina.
Seorang
penganut
Konfusianisme, misalnya, akan meminta seorang pendeta agama Buddha untuk membacakan doa bagi orang yang mati karena Buddha memberikan perspektif yang menarik tentang orang mati. Selain itu ia juga akan mempraktekan ajaranajaran Tao untuk menentukan tempat penguburan yang baik. Konfusianisme mengajarkan bagaimana belajar menjadi manusia yang sebenarnya. Dalam dunia filsafat, inilah yang merupakan inti dari ajaran etika. Community yakni umat yang bersama-sama memiliki Creed, Code, dan Cult yang sama. Adanya kenyataan suatu umat (komunitas) yang terkait dalam kepercayaan itu. Secara organisatoris, umat Tao di Kota Semarang dipimpin oleh pengurus yayasan Sinar Tao yang sudah mengalami beberapa kali perubahan kepengurusan. Pada awal berdirinya, yayasan Sinar Tao ini diajukan oleh beberapa orang tokoh agama Tao ke Kantor Notaris Roekiyanto, SH tertanggal 3 Desember 2001. Tokoh Umat Tao tersebut adalah Amen Wahyudi Tairas, Dede Leota, Lie Ka Moh, Tan I Ming, dan Andi Sandjojo Tairas. Keenam orang tokoh tersebut tinggal di Kota Semarang, yang kemudian disebut sebagai dewan pendiri
88
Yayasan Sinar Tao yang berkedudukan di Kota Semarang. Dewan pendiri tersebut mengangkat beberapa orang pengurus yang terdiri atas ketua yaitu Thomas Susanto, wakil ketua yaitu Hardjo Subagyo Suprapto, sekretaris yaitu Slamet Sugiyo, wakil sekretaris yaitu Robert Athur Wijaya, bendahara yaitu Adhitama Nugraha S, wakil bendahara yaitu Handrijana Hardha, humas yaitu Harry Kristianto dan wakil humas yaitu Sugiyanto Nitisastro. Semua pengurus tersebut beretnik Tionghoa dan bertempat tinggal di Kota Semarang. Kemudian
pengurus
Yayasan
Sinar
Tao
melakukan
perubahan
kepengurusan baru yang ditetapkan oleh akte notaris tertanggal 01 April 2010, sebagai berikut: Penasehat
: Pimpin Lika
Ketua Umum
: Hadi Sugiyono
Sekretaris I
: Hardjo Subagio Suprapto
Bbendahara I
: Nyonya Debbie Wijaya
Bendahara II
: Nyonya Titik Sianiwati
Kemudian pada tahun 2013 diadakan pergantian kepengurusan baru yang dipimpin oleh Oey Taw Ping (Hadi
Sugiyono). Dalam menjalankan
kepemimpinan nya, ia dibantu oleh seorang wakil ketua bernama Liem Cheik Tiong dan dua orang sekretaris bernama Paw Ping Gwan dan Tao Hok Nguan. Sebagai bendahara adalah Song Mei Juan dan Jessica Movin Hadi. Mereka disebut sebagai pengurus harian dalam kepengurusan ini. Kemudian mereka dibantu oleh pengurus-pengurus lainnya, yakni: seksi rumah tangga adalah Siaw Sin Chen dan Oei Gwan Tjing; Pembantu muda adalah Tan I Ming, Hoo Ming 89
Mei, dan Ong Sioe Gwat; Seksi konsumsi adalah Kho Lioe Hwa dan Law Jen Sion; seksi keamanan adalah Teng Paw Kwok; seksi upacara dan ritual adalah Khow Tjuan Hok dan Go Sow They; seksi kerohanian/litbang adalah They Kien Tjong dan Tan I Ming. Secara kelembagaan, kelenteng Sinar Tao ini dibina oleh dua majelis, yang keduanya di bawah naungan Bimas Budha Kementerian Agama RI. Sebagai tempat ibadat Tridharma (TITD), Kelenteng Sinar Tao ini terdaftar sebagai lembaga keagamaan Buddha sehingga mendapat pembinaan langsung dari Bimas Buddha Kementerian Agama Kota Semarang. Di sisi lain, Kelenteng Sinar Tao ini mendapat pembinaan keagamaan, secara khusus agama Tao dari Majelis Tridharma Indonesia (MTI) yang berpusat di Lampung. Perlu diketahui bahwa MTI ini berbeda dengan organisasi keagamaan Tao yang dibentuk oleh “Taosu Kusumo” pada tahun 1974 di Medan, Sumatera Utara. Organisasi ini dideklarasikan oleh simpatisan Tao pada tahun 1992 di Jakarta, dengan nama Majelis Tao Indonesia (MTI). Di Jawa Tengah, telah terbentuk sebuah lembaga keagamaan Dewan Pimpinan Wilayah Majelis Tridharma Indonesia Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Tengah, dengan susunan pengurus sebagai berikut: Ketua
: Adi Sandjoyo Tairas
Wakil Ketua
: Thomas Susanto
Sekretaris
: Harjo Subagyo Suprapto
Bendahara
: Handrijana Hardha
Wakil Bendahara
: Kuswanto Soeharsono
90
Humas
: Slamet Sugiyo
Semua pengurus tersebut adalah umat agama Tao yang aktif di kelenteng “Sinar Tao” Semarang. Pada umumnya, mereka adalah orang-orang keturunan etnik Tionghoa yang sibuk dengan urusan bisnis. Meskipun demikian, mereka biasanya dapat berkumpul di kelenteng pada hari pemujaan/sembahyang tanggal 1 dan 15 bulan Imlek dan atau pada hari-hari kebesaran, seperti Hari Kebesaran Maha Dewa Lao Zi. Dilihat dari personilnya, sebagian diantara mereka memiliki rangkap jabatan dalam organisasi di lingkungan kelenteng Sinar Tao. Hal ini terlihat pada beberapa orang yang duduk di organisasi Yayasan Sinar Tao, namun sebagian ada yang duduk di organisasi Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI), dan sebagian ada yang duduk di organisasi Majelis Tridharma Indonesia (MTI). Berdirinya Paguyuban Umat Tao Indonesia, banyak mendapatkan respon terutama dari kalangan Taoyu. Banyak timbul pertanyaan mengenai keberadaan PUTI ini merupakan sebagai sebuah ekspresi sikap untuk mengetahui lebih banyak dan dalam mengenai PUTI. Dalam kesempatan ini, sekretariat PUTI PUSAT berusaha menginformasikan hal-hal mengenai PUTI ini terutama untuk kalangan Taoyu. PUTI didirikan dengan latar belakang inisiatif beberapa aktifis Taoyu yang merasakan perlunya sebuah badan (organisasi) Tao untuk mengantisipasi perkembangan Tao kita yang semakin besar dan memerlukan sebuah wadah resmi untuk menampung semua aspirasi gerak serta menjadi perwakilan dalam berhubungan keluar, baik dalam aspek sosial maupun dalam aspek hukumnya. PUTI adalah sebuah organisasi yang berbentuk Paguyuban, sehingga bersifat sangat kekeluargaan dan bebas dalam menjadi wadah bagi
91
seluruh umat Tao di Indonesia. Oleh karena itu secara otomatis semua umat Tao dapat menjadi anggotanya. PUTI adalah organisasi yang bersifat sosial (bukan politik) selain itu PUTI tidak mencampuri urusan para anggotanya dalam permasalahan ibadah (siutao)nya. PUTI hanya berusaha menjadi sebuah wadah tempat bernaung serta bersatunya umat Tao di Indonesia. Berdirinya PUTI dengan kepengurusan Pusatnya di Jakarta ini, sampai saat ini telah disukung para Taoyu di berbagai daerah dengan berdirinya PUTI Daerah, antara lain:
1. PUTI Daerah Jakarta, tanggal 10 Oktober 2000 2. PUTI DaerahLampung, tanggal 28 Oktober 2000 3. PUTI Daerah Mojokerto, tanggal 14 November 2000 4. PUTI Daerah Jombang, tanggal 8 Desember 2000 5. PUTI Daerah Surabaya, tanggal 21 Desember 2000 6. PUTI Daerah Jambi, tanggal 24 Desember 2000 7. PUTI Daerah Bali, tanggal 11 Januari 2001 8. PUTI Daerah Kediri, tanggal 21 Januari 2001 9. PUTI Daerah Semarang, tanggal 3 Februari 2001 10. PUTI Daerah Kedu, tanggal 4 Februari 2001
Secara umum, organisasi keagamaan Tao di Semarang ini memiliki kegiatan-kegiatan, antara lain: a. Bidang Pendidikan Dalam pendidikan, umat agama Tao di kelenteng “Sinar Tao” memiliki kajian keagamaan. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada setiap
92
hari minggu dan diikuti sekitar 20 – 25 orang. Peserta kajian kebanyakan diikuti oleh para remaja agama Tao, namun ada sebagian umat yang berusia tua. Sedangkan orang yang mengajar kajian ini (pembina) adalah tokoh-tokoh agama Tao, seperti: Iwan Budiwiyono, Adhi Sandjojo, dan Amen Wijaya. Adapun materi yang dikaji adalah hal-hal yang berkenaan moralitas dan budi pekerti, seperti berbakti kepada kedua orang tua, setia kepeda negara, mawas diri, dan sebagainya.
b. Bidang Sosial Dalam bidang sosial, umat agama tao seringkali mengadakan kegiatan sosial kepada masyarakat sekitar. Kegiatan ini berbentuk bakti sosial dan donor darah. Kegiatan bakti sosial dilakukan sebanyak 2 – 3 kali dalam setahun. Dalam kegiatan ini, sasarannya adalah panti asuhan dan anak yatim, panti jompo, panti wreda, fakir miskin, dan anak-anak sekolah, bahkan korban bencana alam. Khusus kegiatan bakti sosial yang diberikan kepada masyarakat sekitar, biasanya dilakukan pada saat menjelang hari Raya Lebaran. Adakalanya, kegiatan ini diberikan dalam bentuk santunan sosial, bantuan pendidikan, dan bazar atau pasar murah. Sementara itu, kegiatan donor darah dilakukan dengan mengundang PMI ke kelenteng Sinar Tao, yang biasanya dilakukan menjelang peringatan Hari Kebesaran Mahadewa di Kelenteng Sinar Tao. Seluruh rangkaian kegiatan ini, dikoordinir oleh Tan I Ming, seorang ketua organisasi Paguuban Umat Tao Indonesia (PUTI) Cabang Kota Semarang.
93
c. Hubungan Umat Beragama Dalam hal ini, hubungan umat beragama yang dimaksud adalah hubungan intern dan antar umat beragama. Dalam hubungan intern umat beragama terlihat pada peringatan hari Kebesaran di lingkungan kelentengkelenteng di Kota semarang. Biasanya, setiap kelenteng saling memberi undangan selaku anggota Perkumpulan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD) ketika sedang mengadakan perayaan hari kebesaran. Pada saat ini, para ketua TITD berkumpul dan saling berinteraksi antara satu sama lain. Diantara pimpinan kelenteng di Semarang yang saling mengundang, antara lain: Kelenteng Tay Kak Sie Gang Lombok, Kelenteng Xuan Tian Shang Grajen, Kelenteng Sinar Samodra di Jalan Gang Pinggir, Kelenteng Siu Hok Bio di Jalan Wotgandul, dan Kelenteng See Hoo Kiong di jalan Sebandaran, dan Kelenteng Tri Setia Bakti di Jalan Tanggul Raya. Dalam hubungan antar umat beragama, umat agama Tao seringkali mendapat undangan sembahyang arwah yang diselenggarakan oleh yayasan Perkumpulan Sosial “Boen Hian Tong” Rasa Dharma, yang terletak di jalan Gang Pinggir 31 Semarang. Yayasan ini merupakan perkumpulan warga etnik Tionghoa yang diyakini tertua di Semarang, sebab perkumpulan ini berdiri sejak tahun 1876. Dengan perkumpulan ini, sesama warga etnik Tionghoa merasakan suasana keakraban karena seringnya berkumpul bagi warga etnik Tiongghoa di Yayasan Rasa Dharma ini.
94
Keakaraban etnik Tionghoa dengan etnik Jawa juga tercermin pada kegiatan Barongsai. Pentas seni Barongsai biasanya diselenggarakan pada hari raya Imlek. Pemain Barongsai tidak hanya etnik Tionghoa namun etnik Jawa juga ikut memainkan Liong. Gerakan meliuk-meliuk di atas kayu sebagai tempat pijakan untuk melompat dengan iringan bunyi-bunyian gendering khas Tionghoa. Dengan sambutan ini, etnik Tionghoa yang beragama apapun, termasuk agama Tao dapat merayakan Imlek kembali secara terbuka. Dari uraian tersebut, aktivitas sosial yang melibatkan umat beragama yang berbeda-beda adalah sembahyang arwah. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini diikuti oleh tujuh umat beragama, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Khonghucu dan Tao. Perlu diketahui bahwa ketujuh umat beragama ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni enam umat beragama telah diakui sebagai agama yang sah kepemelukannya (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha), sedangkan sebuah agama (Tao) yang belum diakui sebagai agama yang sah kepemelukannya. Masing-masing umat beragama tersebut berkumpul dan mendoakan para arwah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Hal ini dapat dilakukan oleh masing-masing umat beragama karena dilandasi dengan semangat dalam membangun kerukunan antar umat beragama di daerah ini.
3.5. Pencantuman Agama Tao Dalam KTP Terkait Status Kewarganegaraan Mengingat anasir yang jamak ditemui sebagai prasyarat ketika suatu negara berdiri, yaitu adanya warga negara, wilayah dan sebuah pemerintahan yang
95
berdaulat yang saling terkait dan bersifat kumulatif. Sebagai sebuah wadah politik masyarakat (a state of political society) dimana peran anggota yang bergabung di dalamnya menjadi sebuah elemen yang sangat penting, dengan kata lain sebagai sebuah organisasi negara dikuatkan oleh rakyat (warga negara) sebagai anggotanya (Raz, 1978:6). Meski elemen warga negara sebagai anggota negara menjadi begitu penting, tetapi kita tidak dapat menafikkan kedua syarat lainnya sebagai suatu kesatuan yang membangun sebuah negara. Adanya warga negara tidak akan memiliki arti apabila wilayah sebagai tempat bernaung tidak dimiliki, dan ketika keduanya telah dipenuhi tanpa suatu pemerintahan yang berdaulat maka negara tersebut belum dapat dikatakan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Dipengaruhi oleh sejarah perkembangan negara maka definisi tentang warga negara menjadi begitu beragam, definisi tersebut berkaitan dengan kondisi yang menentukan kelayakan seseorang disebut sebagai “warga negara” berdasarkan klasifikasi tertentu yang sesuai dengan zaman ketika sebuah negara berdiri. Pada saat zaman Yunani kuno penggolongan warga negara tentunya berbeda dengan apa yang terjadi di masa kini, seperti apa yang diungkapkan oleh Plato dalam karyanya yang berjudul “Republic”. Plato mendeskripsikan penggolongan warga negara menjadi tiga bagian (kelas) yaitu; pertama, golongan pemimpin yang berasal dari para filsuf umumnya disebut sophia karena kebijaksanaannya. Kedua, golongan yang memiliki keberanian dan keteguhan hati untuk berkorban demi negara dengan menjaga
96
keamanan negara. Kaum andreia ini bersama golongan pertama seluruhnya melayani negara, dan karenanya mereka tidak hidup berkeluarga dan tidak memilki kekayaan. Kelas ketiga terdiri dari orang-orang yang memiliki keutamaan lain, yakni pengendalian diri (soophrosune). Yaitu para petani dan tukang, dimana mereka tidak memiliki peranan dalam negara26. Konsepsi ini didasarkan pada pemikiran Plato tentang keadilan, diyakini oleh Plato bahwa umumnya setiap manusia lebih bisa melihat hal-hal yang besar daripada yang bersifat lebih kecil. Sehingga untuk terciptanya suatu negara yang adil maka diperlukan unsur yang sangat penting untuk membangunya, yakni individu yang adil sebagai seorang warga negara. Keadilan akan tercipta ketika warga negara yang terbagi ke dalam kelas-kelas tersebut bertindak sesuai dengan tempatnya dan tugas yang telah menjadi konsekuensinya. Lain halnya dengan Aristoteles berpendapat bahwa negara itu merupakan suatu persekutuan yang mempunyai tujuan tertentu, yang terbentuk karena adanya penggabungan manusia dimulai dari organisasi terkecil berupa keluarga. Dengan kata lain manusia (individu) tidak dapat dipisahkan dari masyarakat atau negara, terdapat korelasi erat yang terjalin diantara keduanya. Sehingga yang dimaksud dengan warga negara adalah manusia-manusia yang hidup di dalam polis sebagai satu kesatuan, karena pada hakekatnya manusia adalah seorang “mahluk polis” atau (zoon politikoon)27.
26
Huijbers, Theo. 1988. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Cetakan Ke-empat. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 23.
27
Soehino. 2000. Ilmu Negara. Cetakan Ke-tiga. Yogyakarta: Liberty. Hlm. 25.
97
Dewasa ini di ranah hukum tata negara orang-orang yang berdiam di dalam wilayah suatu negara biasa disebut penduduk dan terbagi menjadi dua, yaitu warga negara dan orang asing. Menurut John Alder dalam “Constitusional and Administrative Law”, bahwa perbedaan kedudukan antara warganegara dan orang asing adalah; “In this general sense citizenship means full membership of a state. Citizenship can be distinguished from other relationships in that citizenship involves rights againts and duties to the whole community as opposed to those who concerning only people we know personally such as friends and family or right arising by agreement. In the civic republican tradition (Chapter1), citizenship is particularly associated with active participation entitlements of individuals againts the state. The unpleasant side of citizenship is that it entails ‘exclusion’ in the sense of an unwelcoming attitude to those regarded as non-citizens, who in UK law are labelled ‘aliens’. Yang dimaksud dengan warganegara adalah anggota dari suatu negara dimana hubungan diantara keduanya diatur secara yuridis, dengan disertai konsekuensi berupa privileges dan immunities. Selain menerima privileges dan immunities tersebut mereka harus membuktikan loyalitasnya kepada negara dengan dibebani sejumlah kewajiban (duty). Orang asing atau aliens adalah penduduk diluar warganegara yang berdiam di wilayah suatu negara dengan suatu kondisi permission,
dan hubungan yang terjalin diantara orang asing-negara
hanya berlangsung saat dia menempati wilayah negara tersebut. Status kewarganegaraan sejak seseorang dilahirkan sampai maut menjemputnya dirasakan sangat penting, hal ini merupakan langkah awal untuk menentukan seseorang tunduk pada yurisdiksi suatu negara. Karena status kewarganegaraan terkait dengan pemenuhan dan perlakuan yang harus dipenuhi dalam wilayah hukum perdata maupun hukum pidana, namun yang paling utama 98
adalah di wilayah hukum publik dimana relasi yang terjalin antara negarawarganegara lebih nyata28. Ketika seseorang telah dengan jelas mengakui dirinya sebagai seorang warganegara, dan mau tunduk kedalam yurisdiksi negara tersebut sebagai bentuk loyalitasnya maka ikatan antara negara dan warganegara tersebut umumnya dinyatakan dalam bentuk surat-surat, baik keterangan maupun keputusan yang digunakan sebagai bukti adanya keanggotaan tersebut. Di awal-awal masa kemerdekaan pengaturan tentang bukti identitas kependudukan erat kaitannya dengan usaha pemerintah dalam mengawasi orang asing yang hadir di wilayah negara, patut dipahami tindakan pemerintah tersebut karena saat itu stabilitas pertahanan dan keamanan negara dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Salah satu bentuk bukti identitas diri kependukan berupa KTP atau biasa disebut Kartu Tanda Penduduk yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1 angka (14) Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Sebelum kehadiran Undang-Undang No.23 Tahun 2006 pengaturan KTP diatur dalam Kepres No.52 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Penduduk, pengaturan pendaftaran penduduk diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No.8 tahun 1977 tentang Pelaksanaan Pendaftaran Penduduk dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.7 tahun 1982 tentang Pelaksanaan Administrasi Penduduk di Desa dan Kelurahan.
28
Sartono, Romlah. Upaya Hukum Mengatasi Apatride (Stateless). Yuridika No.2 Tahun XI,Maret-April 1996. 99
Perkembangan agama Tao di Semarang sudah sejak cukup lama, sejalan dengan datangnya etnik Tionghoa di Indonesia. Akan tetapi, perkembangannya hingga kini tergolong sangat lamban, karena agama ini tidak mengenal missi melainkan hanya warisan leluhurnya. Selain itu, perkembangan agama ini juga mengalami keterpurukan selama 30 tahun lebih karena kebijakan pemerintah yang kurang menguntungkan, terutama di masa Orde Baru. Hal ini terlihat pada kebijakan pemerintah yang berupa Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Implikasi dari adanya peraturan ini adalah agama ataupun adat istiadat yang berasal dari daratan Cina, seperti agama Tao terlarang di Indonesia. Hal ini berimplikasi juga pada pencatuman agama dalam administrasi kependudukan, terutama KTP. Di era reformasi, perkembangan agama ini mulai terbuka, yang ditandai dengan dicabutnya Inpres No 14/1967 dan diterbitkannya Keppres No 6/2000. Ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden Republik Indonesia, beliau mengeluarkan kebijakan berupa Keppres No.6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China yang melarang agama dan adat istiadat China beredar di Indonesia secara terang-terangan. Keppres No.6 Tahun 2000 ini melegalkan segala aktivitas kegamaan dan adat istiadat Cina yang sempat dilarang, dan kemudian Presiden Megawati menyikapinya dengan menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari besar keagamaan, yakni sebagai hari libur nasional. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun memberikan angin segar terhadap perkembangan aktivitas keagamaan dan adat
100
istiadat Cina. Hal ini terlihat pada sambutannya pada peringatan Imlek di bulan Februari tahun 2006, yaitu: “... Kita tidak ingin lagi bersikap diskriminatif, kita telah berubah. Walaupun saya masih sering mendengar adanya keluhan, biasanya berkaitan dengan pelayanan administrasi kependudukan, keimigrasian, menjalankan ibadah agama, dan mencatatkan perkawinan”.
Oleh karena itu, pelayanan dan bimbingan hak-hak sipil bagi umat beragama Tao selama ini dirasakan lebih baik dibandingkan dengan era-era pemerintahan sebelumnya. Pada era pemerintahan terdahulu, umat Tao seolah dipaksakan untuk masuk agama lain, karena umat agama Tao harus memilih salah satu agama yang diakui kepemelukannya oleh pemerintah, yakni Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha. Dalam hal ini, umat agama Tao memilih agama Buddha untuk dicantumkan dalam KTP, karena sebagai aliran/sekte “Tridharma”. Meskipun demikian, umat agama Tao dalam kehidupan sehari-hari diberikan kebebasan untuk menjalankan ritual keagamaan sesuai dengan keyakinannya. Bagi umat agama Tao, mencantumkan agama apapun di dalam KTP bukan masalah, karena essensi beragama tidak berada di KTP, melainkan berada dalam kehidupan sehari-hari atau dalam kehidupan bermasyarakat.
3.6. Legitimasi Hak Warga Negara Melalui Kartu Tanda Penduduk Status kewarganegaraan membedakan antara warga negara dan orang asing, tentunya perbedaan ini membawa konsekuensi yang tidak sama bagi keduanya. Tidak dapat diingkari kondisi riil suatu negara dimana wilayahnya didiami oleh tidak hanya penduduk yang notabene warga negaranya sendiri,
101
melainkan juga orang asing yang datang walaupun mungkin hanya bersifat sementara. Kehadiran orang asing ini tidak akan mudah diawasi apabila tidak diakomodir oleh suatu mekanisme yang terorganisir dengan baik, untuk itu dibutuhkan suatu sistem administrasi pendaftaran penduduk. Sistem administrasi pendaftaran penduduk ini akan membantu negara untuk memperoleh data yang pasti tentang siapa saja yang termasuk kedalam kategori warga negara atau orang asing, karena data-data kependudukan tersebut akan mempengaruhi kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah dalam mewujudkan cita-cita bangsa melalui pembangunan. Sesuai dengan Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No.28 Tahun 2005 Tentang Petunjuk Teknis Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil Di Daerah bahwa pada dasarnya sistem administarasi kependudukan merupakan bagian sistem administrasi negara, yang mempunyai peran penting dalam pemerintahan dan pembangunan dimana sistem administrasi kependudukan ini diarahkan pada: a Pemenuhan hak asasi setiap orang di bidang pelayanan administrasi kependudukan; b Peningkatan kesadaran penduduk akan kewajibannya untuk berperan serta dalam pelaksanaan kependudukan; c Pemenuhan data statistik kependudukan dan statistik peristiwa kependudukan; d Dukungan terhadap perencanaan pembangunan kependudukan secara nasional, regional dan lokal;
102
e Dukungan terhadap pembangunan sistem administrasi kependudukan guna meningkatkan pemberian pelayanan publik tanpa diskriminasi. Sayangnya selama ini kegiatan administrasi kependudukan mengalami banyak kendala dan ruwet, tidak heran karena terlalu banyak aturan tentang masalah administrasi kependudukan yang tumpang tindih. Sesuai dengan Penjelasan Umum Undang-undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bahwa aturan-aturan administrasi kependudukan sebelumnya masih mengacu pada ketentuan yang ada pada produk hukum kolonial sehingga benyak ditemui perlakuan diskriminatif di dalamnya yang membeda-bedakan suku, keturunan, dan agama. Dijelaskan
bahwa
selain
adanya
diskriminasi
tersebut,
kegiatan
administrasi kependudukan tidak didukung oleh kemampuan pemerintah dalam mengelola informasi kependudukan dalam suatu database yang akuntabel, seringkali karena kelemahan ini seseorang mampu memiliki KTP ganda (http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=Berita&op=detail_berita&id=1157) Kehadiran Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Adminstrasi Kependudukan diharapkan mampu menjadi problem solving bagi kegiatan administrasi kependudukan, dalam Undang-Undang ini terdapat pengaturan tentang NIK (Nomor Induk Kependudukan) yakni nomor yang secara khusus diberikan sebagai bukti diri penduduk yang bersifat unik, khas, tunggal dan melekat pada seseorang sepanjang masa. Sesuai dengan Pasal 13 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), sebagai berikut: (1) Setiap penduduk wajib memiliki NIK
103
(2) NIK sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berlaku seumur hidup dan selamanya, yang diberikan oleh pemerintah dan diterbitkan oleh Instansi Pelaksana kepada setiap Penduduk setelah dilakukan pencatatan biodata. (3) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam setiap Dokumen Kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan paspor, surat izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, polis asuransi, sertifikat hak atas tanah, dan penerbitan dokumen identitas lainnya. Sesuai dengan Penjelasan Umum Undang-Undang No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan bahwa hal penting dari pengaturan mengenai penggunaan nomor induk kependudukan (NIK) merupakan identitas penduduk Indonesia dan kunci akses dalam melakukan verifikasi dan validasi jati diri seseorang guna mendukung pelayanan publik di bidang administrasi kependudukan. Sebagai kunci akses dalam pelayanan kependudukan NIK dikembangkan kearah identifikasi tunggal bagi setiap penduduk. Untuk penerbitan NIK, setiap penduduk wajib mencatatkan biodata Penduduk yang diawali dengan pengisian formulir biodata Penduduk di desa/kelurahan secara benar. NIK wajib dicantumkan dalam setiap Dokumen Kependudukan, baik dalam pelayanan Pendaftaran Penduduk maupun Pencatatan Sipil, serta sebagai dasar penerbitan berbagai dokumen yang ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan. Langkah awal untuk mendapatkan NIK adalah melaksanakan kewajiban melaporkan peristiwa kependudukan yang terjadi kepada Instansi Pelaksana
104
sebagaimana diatur oleh ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang berbunyi: “Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.” Ketentuan diatas mewajibkan setiap penduduk untuk melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya, mekanismenya secara umum diawali dengan melakukan pencatatan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk kepada instansi pelaksana. Pengaturan tentang pencatatan tersebut diatur oleh suatu peraturan petunjuk teknis pelaksanaan tentang penyelenggaraan pendaftaran penduduk, karena UndangUndang No.23 Tahun 2006 ini baru diundangkan pada tanggal 29 Desember 2006 maka peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan masih belum terbentuk sehingga masih mengggunakan peraturan pelaksana yang berlaku sebelumnya sesuai dengan Pasal 102 dari Undang-Undang ini yang berbunyi sebagai berikut: “Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, semua Peraturan Pelaksanaan yang berkaitan dengan Administrasi Kependudukan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini” Maka
mekanisme
pencatatan
pendaftaran
penduduk
ini
masih
menggunakan peraturan lama yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri No.28 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil di Daerah, mekanisme pencatatan biodata penduduk disebutkan didalam Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 28 Tahun 2005 Tentang
105
Petunjuk Teknis
Pedoman Penyelenggaraan
Pendaftaran
Penduduk dan
Pencatatan Sipil di Daerah, sebagai berikut: 1.
Untuk WNI Dalam Pencatatan Biodata Penduduk, Petugas melakukan tugasnya
sebagai berikut: a
Memeriksa status penduduk dan kebenaran surat bukti keterangan yang dimiliki, seperti: (1) Surat Pengantar dari RT/RW atau Dusun/Lingkungan; (2) Dokumen Penduduk yang dimiliki, antara lain Kartu Tanda Penduduk atau Akta Kelahiran; (3) Surat Keterangan Pendaftaran Kedatangan dari Luar Negeri (Khusus NIK WNI yang baru datang dari Luar negeri).
b
Melakukan verifikasi dan validasi isian formulir biodata penduduk dan kelengkapan berkas pendaftaran biodata penduduk;
c
Mengirimkan formulir ke Tempat Perekaman Data Kependudukan (TPDK) dan mengarsipkan biodata.
2.
Untuk Penduduk Orang Asing Khusus untuk penduduk Orang Asing, pelaporan diri untuk pencatatan
biodata penduduk dilakukan oleh unit kerja yang mengelola pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil di kabupaten/kota, sebagai berikut: a
Memeriksa status penduduk dan kebenaran surat bukti keterangan yang dimiliki, seperti: (1) Surat Pengantar dari RT/RW/dusun/lingkungan;
106
(2) Izin Tinggal Terbatas atau Izin Tinggal Tetap; b
Menerima dan meneliti isian formulir biodata penduduk dan kelengkapan berkas pendaftaran biodata penduduk;
c
Mengirimkan formulir ke Tempat Perekaman Data Kependudukan (TPDK) dan mengarsipkan berkas biodata. Output dari kegiatan pencatatan biodata penduduk tersebut adalah
diterbitkannya Dokumen Kependudukan yang meliputi: a Biodata Penduduk: adalah keterangan yang berisi elemen data tentang jati diri, informasi dasar serta riwayat perkembangan dan perubahan keadaan yang dialami oleh Penduduk sejak saat kelahiran; b KK (Kartu Keluarga): adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga; c KTP (Kartu Tanda Penduduk): adalah identitas resmi Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seleuruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d Surat Keterangan Kependudukan: adalah surat keterangan yang paling sedikit memuat keterangan tentang nama lengkap, NIK, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, agama, alamat, Peristiwa Penting dan Peristiwa Kependudukan seseorang, yang meliputi; Surat Keterangan Pindah; Surat Keterangan Pindah Datang; Surat Keterangan Pindah ke Luar Negeri; Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri; Surat Keterangan Tempat Tinggal; Surat Keterangan Kelahiran; Surat Keterangan Lahir Mati; Surat Keterangan Pembatalan
107
Perkawinan; Surat Keterangan Pembatalan Perceraian; Surat Keterangan Kematian; Surat Keterangan Pengangkatan Anak; Surat Keterangan Pelepasan Kewarganegaraan Indonesia; Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas; Surat Keterangan Pencatatan Sipil.; dan e Akta Pencatatan Sipil: adalah dokumen yang dihasilkan dari kegiatan Pencatatan Sipil yang terdiri atas: 1. Register Akta Pencatatan Sipil, memuat antara lain: a Jenis peristiwa penting; b NIK dan ststus kewarganegaraan; c Nama orang yang mengalami Peristiwa Penting; d Nama dan identitas pelapor; e Tempat dan tanggal peristiwa; f Nama dan identitas saksi; g Tempat dan tanggal dikeluarkannya akta; h Nama dan tanda tangan Pejabat yang berwenang. 2. Kutipan Akta Pencatatan Sipil, terdiri atas kutipan akta: a Kelahiran; b Kematian; c Perkawinan; d Perceraian; dan e Pengakuan anak
108
Dari kelima dokumen kependudukan yang ada tersebut, hanya KTP –lah yang menjadi suatu bukti diri identitas seorang penduduk yang bersifat personal yang bersentuhan langsung dengan kehidupan bermasyarakat. KTP menjadi bukti diri yang pertama kali akan dipertanyakan kepada seorang penduduk ketika melaksanakan aktivitas yang mensyaratkan identitas diri, contohnya ketika seseorang hendak berurusan dengan bank maka KTP-lah yang diminta sedari awal untuk legitimasi statusnya, bahkan KTP erat sekali kaitannya dengan masalah pemilu atau pilkada dimana data kependudukan yang tercantum dalam KTP menjadi dasar menentukan seseorang berhak mengikuti pemilu atau tidak. KTP berkaitan erat dengan hak-hak keperdataan maupun hak-hak kenegaraan29. Oleh karenanya setiap penduduk wajib memiliki KTP dan wajib dibawa kemanapun mereka pergi sebagaimana yang diatur ketentuan Pasal 63 ayat (1) jo Pasal 63 ayat (5) Undang-Undang No.23 Tahun 2006, yang berbunyi: (1) “Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP” (5) “Penduduk yang telah memiliki KTP wajib membawa pada saat bepergian”. KTP (Kartu Tanda Penduduk) mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah negara Republik Indonesia, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa 29
Media Praja. Saatnya Menertibkan Admintrasi Kependudukan. Media Praja Edisi 1-15 November 2006.
109
berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemegang KTP, serta memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya. Masalah mulai timbul ketika KTP bergesekan dengan suatu komunitas penduduk yang memiliki perbedaan kondisi dengan apa disyaratkan oleh pemerintah, ketika seorang penduduk hendak mengajukan haknya untuk memperoleh bukti diri status kependudukannya berupa KTP terganjal pada masalah religi yang diyakininya. Masalah ini dialami oleh sejumlah penduduk yang memiliki keyakinan berbeda dengan keyakinan yang diakui oleh pemerintah, dalam hal ini umat Tao adalah salah satu entitas penduduk yang mengalami perlakuan diskriminatif ketika menuntut haknya memperoleh KTP sebagai bukti diri yang dilegitimasi. Umat Tao mengalami hambatan karena keyakinan mereka tidak dapat dicantumkan di kolom agama dalam format KTP tersebut, keyakinan yang dianut oleh mereka (agama Tao) dianggap bukanlah “agama” atau lebih tepatnya bukanlah agama yang diakui oleh pemerintah. Lantas “agama” yang bagaimanakah yang dapat diterima oleh pemerintah sehingga layak untuk dicantumkan dalam KTP sebagai bagian dari identitas seorang penduduk ?. Ketentuan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukzn yang berbunyi: “Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”
110
Sedangkan dari Penjelasan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang ini juga tidak memberikan gambaran yang berarti tentang apa yang dimaksud dengan istilah “agama yang belum diakui” dan “pengahayat kepercayaan”, karena yang ada hanya keterangan “cukup jelas”. Padahal belumlah jelas dengan apa yang dimaksud oleh ketentuan tersebut terhadap konsepsi “agama yang belum diakui” dan “penghayat kepercayaan”. Di dalam Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juga tidak memberikan penjelasan yang berarti tentang konsepsi “agama yang belum diakui”, namun di dalam peraturan pelaksana ini dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan “penghayat kepercayaan”. Pasal 1 angka (19) PP No.37 Tahun 2007 menyatakan bahwa: “Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Tentunya para penghayat kepercayaan ini akan “mempercayai” sesuatu hal yang dapat dikategorikan sebagai suatu sistem kepercayaan, Pasal 1 angka (18) dari Peraturan ini menjelaskan bahwa: “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia”. Bila kita mengikuti definisi tentang aliran kepercayaan dari ketentuan PP No.37 Tahun 2007 bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan keyakinan personal yang diimplementasikan pada ritus habitual wujud
111
ketaqwaan terhadap Tuhan. Namun janggalnya adalah ritus ibadat itu bersumber dari pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia, apakah lantas “aliran kepercayaan” seperti Tao dapat dikategorikan sebagai kepercayaan terhadap Tuhan yang nilai-nilainya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia? Dan jawaban yang kita dapatkan adalah bahwa Tao tidak merupakan agama lokal bangsa Indonesia, karena nilai-nilai ajaran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam kedua agama ini tidaklah bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia melainkan kearifan budaya Tiongkok (China). Bila aturan dari PP No.37 Tahun 2007 menjadi suatu alas hukum untuk melarang umat Tao menuliskan identitas keagamaannya pada kolom agama di KTP karena bukanlah “agama” melainkan “aliran kepercayaan” tidak dapat dibenarkan, secara logika kita dapat mengatakan bahwa agama Tao adalah agama lokal Tiongkok dan bukan agama lokal bangsa Indonesia laiknya ajaran Sapta Dharma dan Subud. Dari beberapa ketentuan diatas tidak memberikan gambaran kepada kita mengapa masalah kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat mengahambat seseorang untuk memperoleh KTP, dimana kartu tersebut merupakan hak penduduk untuk dilegitimasi statusnya sebagai bagian dari entitas penduduk di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ternyata permasalahan ini bersumber dari keruwetan yang terjadi selama beberapa dekade yang lampau dalam sejarah bangsa Indonesia, berujung dari problematika kewarganegaraan yang dialami oleh etnik Tionghoa secara general yang terjadi
112
jauh sebelum Indonesia medeka namun diperparah oleh kondisi pasca G 30 S PKI yang menimbulkan prasangka kultural terhadapnya. Agama Tao adalah agama yang berasal dari negeri Tiongkok (China) sebagai negeri asal etnik Tionghoa, jadi penganut Tao umumnya berasal dari etnik tersebut. Segala yang berbau China atau Cina dianggap buruk dan lekat dengan aliran kiri (komunis: PKI) sehingga pemegang otoritas saat itu mengambil kebijakan berupa Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Implikasi dari adanya peraturan ini adalah baik agama maupun adat istiadat yang berasal dari China terlarang di Indonesia, sehingga “agama” seperti Tao pun dilarang keberadaannya. Tak pelak di bidang administrasi kependudukan agama-agama itu pun tidak dapat dicantumkan dalam dokumen kependudukan, terutama KTP. Polemik ini diperparah dengan munculnya SE Mendagri No.477/74054 tentang Petunjuk Pengisian kolom Agama pada tanggal 18 Nopember 1978, yaitu: “....Berdasarkan Ketetapan MPR NO.IV/MPR/1978, tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, dan sesuai dengan Instruksi Menteri Agama No.4 Tahun 1978 jelas dinyatakan bahwa aliran kepercayaan adalah bukan Agama. Agama yang diakui oleh Pemerintah ialah: Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha. Dan memperhatikan juga hasil Sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkam tanggal 27 September 1978No.K212/Set Neg/10/78 maka perlu dikeluarkan petunjuk pengisian kolom “Agama” pada lampiran formulir Keputusan Menteri Dalam Negeri No.221a Tahun 1975”. Untuk itu dapat dijelaskan sebagai berikut: “Terhadap formulir Model 1 sampai dengan Model 7 dan formulir Model A dan B tentang izin Perkawinan apabila tercantum kolom Agama maka bagi yang tidak menganut salah satu dari kelima Agama yang resmi diakui oleh Pemerintah seperti antara lain penganut kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lain-lain maka pada kolom Agama pada fomulir dimaksud cukup diisi dengan tanda garis pendek mendatar (-).”
113
Sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya bahwa KTP merupakan legitimasi status penduduk, sehingga dengan adanya bukti idetitas diri itu mereka dapat mengajukan claim akan haknya maupun mengakses semua lini kehidupan bermasyarakat. Realita yang terjadi di masyarakat ketika para penganut agama Khonghucu maupun Tao hendak mengurus KTP mereka kembali dihadang oleh masalah teknis karena sedari awal mereka telah dikategorikan sebagai “agama setrip” – karena sesuai petunjuk pengisian kolom agama yang mengharuskan agama mereka cukup diisi dengan tanda garis pendek mendatar (-) atau setrip, sehingga istilah agama setrip melekat padanya – seharusnya kolom agama di KTP mereka pun diisi dengan tanda (-) namun yang terjadi mereka diharuskan berafiliasi dengan “agama resmi” – dengan kata lain mereka diharuskan kompromi dengan menafikkan keyakinan yang dianutnya dengan mencantumkan keenam agama yang diakui pada KTP. Dalam perkembangannya karena KTP begitu crucial tidak sedikit para penganut agama Tao, sehingga penganut agama Tao tersebut terpaksa mengingkari ajaran agamanya berafiliasi dengan agama resmi, mereka menuliskan kolom agama yang ada dalam KTP tersebut dengan mencantumkan “agama resmi” yang diakui Pemerintah Indonesia saat ini tapi seringkali mereka cenderung memilih agama Budha sebagai identitas keagamaannya. Diskriminasi di bidang pelayanan KTP ternyata tidak berpengaruh pada pelayanan perkawinan bagi umat Tao yang sudah dilayani oleh Pemerintah Indonesia. Sejak Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan berlaku, maka pengaturan tentang pencatatan sipil tunduk pada
114
Undang-Undang No.23 Tahun 2006 karena kegiatan pencatatan sipil masuk ke dalam kegiatan Administrasi Kependudukan. Sebelumnya Pemerintah Indonesia dalam hal pelayanan perkawinan memakai Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 mengharuskan setiap perkawinan dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaan dari para penduduk dan dicatatkan, seperti yang dijelaskan oleh Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yaitu: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap
perkawinan
dicatat
menurut
peraturan
perundang-
undangan yang berlaku. Pelaksanaannya diatur dalam PP No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Ditindak lanjuti dengan Surat Menteri Dalam Negeri No.221 a Tahun 1975 Tentang Ketentuan Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil Sehubungan dengan Berlakunya Undang-Undang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya. Menegok masa lalu ketika dimulai berlakunya Inpers No 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa yang membatasi tentang keberadaan Tao yang dianggap hasil kebudayaan China membuat perkawinan dan pencatatan perkawinan yang dilaksanakan umat ini memiliki pengaturan yang berbeda dengan agama-agama lain yang diakui oleh pemerintah. Hal ini membuat perkawinan yang dilaksanakan dengan hukum agama Tao tidak dapat diakui oleh pemerintah, yang ditegaskan oleh Surat Edaran Menteri Dalam 115
Negeri No.477/74054 tanggal 11 Novemeber 1978 Tentang Petunjuk Pengisian Kolom “Agama” pada lampiran SK.Mendagri No.221 a Tahun 1975 Tentang Ketentuan Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil Sehubungan dengan Berlakunya Undang-Undang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya, sebagai berikut: … Sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.221 a Tahun 1975 Tentang Ketentuan Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil Sehubungan dengan Berlakunya UndangUndang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya perlu dijelaskan bahwa: Berdasarkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978, tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, dan sesuai dengan Instruksi Menteri Agama No.4 Tahun 1978 jelas dinyatakan bahwa aliran kepercayaan adalah bukan Agama. Agama yang diakui oleh Pemerintah ialah: Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu dan Budha. Dan memperhatikan juga hasil Sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkan tanggal 27 September 1978 No.K-212/Set Neg/10/78 maka perlu dikeluarkan petunjuk pengisian kolom “Agama” pada lampiran SK.Menteri Dalam Negeri No.221 a Tahun 1975. Untuk itu dapat dijelaskan sebagai berikut: Terhadap formulir Model 1 sampai dengan Model 7 dan formulir Model A dan B tentang izin Perkawinan apabila tercantum kolom Agama maka bagi yang tidak menganut agama resmi diakui oleh Pemerintah seperti antara lain penganut keprcayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lain-lain maka pada kolom Agama pada formulir dimaksud cukup diisi dengan tanda garis pendek mendatar (-)”.
Sehubungan dengan sikap pemerintah terhadap agama-agama diluar agama resmi (biasa disebut aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa) dan pelaksanaan perkawinan, pencatatan perkawinan dan perceraian, terdapat beberapa surat edaran dari menteri-menteri (dimungkinkan bisa menimbulkan masalah bagi jaminan hak beragama di Indoensia, karena seharusnya muatan surat edaran tidaklah mengikat secara hukum) terkait yang memberikan baik petunjuk pengisian kolom agama maupun tata cara perkawinan bagi mereka, yaitu: 116
1.
Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 17 Mei 1977 No.Pem.18/2/45 Perihal Pengangkatan Pimpinan Tuntunan Kerohanian Sapta Darma Jawa Timur sebagai Pembantu Catatan Sipil;
2.
Surat Menteri Agama tanggal 3 Juni 1978 Perihal Masalah Menyangkut Aliran Kepercayaan;
3.
SK.Jaksa Agung Republik Indonesia No.Kep.089/J.A/9/78 Tentang Larangan Pengedaran/Penggunaan Surat Kawin yang dikeluarkan oleh Yayasan Pusat Srati Darma Yogyakarta;
4.
Surat Edaran Menteri Agama tanggal 18 Oktober 1978 No.B.VI/11215/78 Tentang Masalah penyebutan Agama, perkawinan, sumpah dan penguburan jenazah bagi umat beragama yang dihubungkan dengan Aliran Kepercayaan;
5.
Surat Menteri Agama tanggal 28 Desember 1979 No.MA/650/1979 Tentang Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
6.
Surat Edaran Mendagri tanggal 12 Januari 1980 No.477/286/S.J Tentang Pencatatan Perkawinan bagi para Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
7.
Surat Kejaksaan Agung Republik Indonesia (bersifat rahasia) tanggal 18 Mei 1981 No.R-651/D.1/1981 Tentang Petunjuk Presiden R.I. tentang perkawinan pria dan wanita penganut Aliran Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
8.
Surat Kejaksaan Agung Republik Indonesia(bersifat rahasia) tanggal 29 September 1984 No.R-1274/D.3/9/1984 Tentang PerkawinanMenurut Tata Cara Kepercayaan;
117
9.
Surat Menteri Dalam Negeri (bersifat rahasia) tanggal 15 November 1984 No.X.474.2/4000/PUOD
Tentang
Perkawinan
Menurut
Tata
Cara
Kepercayaan; 10. Surat Kejaksaan Agung Republik Indonesia (bersifat rahasia)tanggal15 April 1985
No.R-625/D.4/4/1985
No.X.474.2/4000/PUOD
Tentang
Tentang
Pengiriman
Perkawinan
Surat
Menurut
Depdagri Tata
Cara
Kepercayaan tanggal 15 Nopember 1984. Hal-hal pokok yang menyangkut tentang pencatatan sipil bagi umat Tao tunduk pada peraturan tentang pencatatan sipil secara umum sesuai Kepres No.12 Tahun 1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil, hanya saja jika terdapat kolom agama yang harus diisikan dalam formulir harus diisikan sesuai petunjuk Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054 Tentang Petunjuk Pengisian Kolom “Agama”, yakni dengan tanda garis pendek mendatar (-). Umat Tao berbeda dengan umat Khonghucu yang kini agamanya sudah resmi diakui oleh Pemerintah Indonesia. Pada masa umat Khonghucu belum dilayani Pemerintah Indonesia pada pelayanan perkawinan bisa dilihat pada kasus perkawinan yang dimulai pada tahun 1995 ketika khalayak dikejutkan oleh perlawanan dari pasangan Budy Wijaya dan Lanny Guito yang ditolak untuk mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil Surabaya karena keduanya dianggap melakukan perkawinan tidak sesuai dengan agama resmi tetapi sesuai “ajaran” Khonghucu, sehingga pasangan ini memutuskan untuk menggugat KCS Surabaya pada PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara).
118
Akibatnya perkawinan keduanya dianggap tidak pernah ada dan hal ini membuat anak hasil dari perkawinan itu yang bernama Fuji tidak dapat dikeluarkan akte kelahiran, reaksi keras bermunculan dari banyak kalangan seperti Dede Oetomo, Eko Soegitario, Sri Soemantri, bahkan Gus Dur seorang cendekiawan muslim yang concern terhadap hak-hak beragama. Dibandingkan dengan Khonghucu yang melakukan perlawanan secara represif terhadap pemerintah, umat Tao cenderung untuk bersikap dialogis dan melakukan pendekatan persuasif, keyakinan yang bersumber dari ajaran agama Tao membuat mereka lebih kompromistis sehingga muncul penilaian awam bahwa mereka lunak atau mungkin berada dalam kondisi hypocrisy sebagaimana yang dicetuskan oleh Djohan Effendy. Umat Tao selama ini ketika bergesekan dengan kegiatan yang mensyaratkan keyakinannya dituliskan dalam sebuah dokumen memilih untuk menuruti kehendak umum dengan menuliskan agama Budha sebagai agamanya. Umat Tao selama ini ketika bergesekan dengan kegiatan yang mensyaratkan keyakinannya dituliskan dalam sebuah dokumen kependudukan memilih untuk menuruti kehendak umum dengan menuliskan agama Budha sebagai agamanya. Sikap umat Tao itu tidak lepas dari azas dasar yang dianut oleh umat Tao yang bersumber pada Kitab Suci Tao De’ Jing yang berati “Aturan mengenai Jalan dan Kebajikan” mengajarkan bahwa: “Water is like the highest good Because it flows to the lowest place While people strive to move upward Water goes freely downward And on its effortless course Nourishes everything in its path Such is the way of the Tao.(The qualities of Tao, Tao De Jing 8)
119
....It means that Tao is like water, flexible, yielding, but relentless. Mysteriously its essences is fluid, like water. And like astream of water, if an obstacle impedes Tao’s progress, it goes around it. Wheter we conceive of Tao in terms of event, people, nature, action or nonaction, Tao continues to flow unceasingly, coursing like a river toward an unknown destiny” 30 Perjuangan ini membuahkan hasil di era Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia, beliau mengeluarkan kebijakan berupa Keppres No.6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China yang melarang agama dan adat istiadat China beredar di Indonesia secara terang-terangan. Walaupun kehadiran dari Keppres ini adalah sebagai reaksi dari peristiwa Budy Wijaya-Lanny Guito yang notabene merupakan umat Khonghucu, namun korelasi yang terjalin dengan agama Tao adalah dimana keduanya adalah agama yang berasal dari China dan banyak dianut oleh etnik Cina. Keppres No.6 Tahun 2000 ini melegalkan segala aktivitas kegamaan dan adat istiadat China yang sempat dilarang, selepas era pemerintahan Abdurahman Wahid penggantinya yakni Megawati menyikapi masalah Khonghucu dengan menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari besar keagaamaan dan sebagai hari libur nasional. Saat pemerintahan Presiden SBY, juga memberikan angin segar terhadap perkembangan agama Khonghucu, dimulai dari statement yang dikeluarkan oleh Presiden sendiri ketika menghadiri peringatan Imlek pada bulan Februari tahun 2006 yang lalu, yaitu:
30
Simpkins, Alexander. 2002. Tao in Ten. Boston: Tutle Publishing Boston. Hlm. 12. 120
“Kita tidak ingin lagi bersikap diskriminatif, kita telah berubah. Walaupun saya masih sering mendengar adanya keluhan, biasanya berkaitan dengan pelayanan administrasi kependudukan, keimigrasian, menjalankan ibadah agama, dan mencatatkan perkawinan”31 Tindak lanjut dari pernyataan Presiden itu adalah langkah yang diambil oleh Mendagri Moh. Ma’ruf melalui SE.Mendagri No.470/336/SJ yang memerintahkan agar gubernur, bupati, dan wali kota se Indonesia memberikan pelayanan administrasi kependudukan kepada penganut Khonghucu dengan menambah keterangan agama Khonghucu pada dokumen kependudukan yang ada selama ini. Logika yang timbul kemudian adalah jika serangkaian tindakan yang diambil oleh para penguasa tersebut merupakan kebijakan untuk menyelesaikan perlakuan diskriminatif yang diterima oleh etnik Thionghoa secara umum dan khususnya penganut agama Khonghucu. Maka selayaknya kebijakan tersebut berlaku pula pada agama Tao dan penganutnya, karena kedua agama itu bersumber dari negara yang sama yakni China. Jika pemerintah konsisten dengan hierarki norma peraturan perundangundangan maka SE.Mendagri No.470/336/SJ yang memerintahkan setiap gubernur, bupati/walikota di setiap daerah di wilayah Indonesia untuk mempermudah umat Khonghucu dalam mencatatkan agama Khonghucu dalam setiap dokumen kependudukan tidak perlu dikeluarkan oleh Mendagri, dengan alasan yaitu:
31
Taufik, Ahmad. Penantian Panjang Penganut Khonghucu. Tempo. 27 Maret-2 April 2006. Hlm. 67. 121
a. Adanya Sila Pertama Pancasila yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” membawa gambaran bahwa bangsa Indonesia meyakini akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, dan menunjukkan bahwa Indonesia adalah religious nation state. b. Sila Pertama Pancasila mendasari pikiran yang terkandung dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, Pasal ini tidak memberikan batasan (limitasi) terhadap agama-agama apa saja yang dapat berkembang di Indonesia, dan/atau agama-agama apa saja yang diberikan pengakuan oleh negara.. c. Adanya
Undang-Undang
No.1/Pn.Ps/1965
Tentang
Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang memberikan perlindungan tehadap agama-agama yang ada di Indonesia tidak memberikan batasan terhadap agama-agama tertentu untuk dapat berkembang dan diakui oleh negara, selain itu penyebutan keenam agama dalam Pasal 1 Undang-Undang ini hanya merupakan deskripsi agama-agama yang banyak dianut oleh penduduk Indonesia. d. Dikeluarkanya Kepres No.6 Tahun 2000 Tentang Pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina dengan sendirinya telah memberikan legitimasi atas keberadaan “agama-agama lokal China” yang semula teralienasi oleh Inpres No.14 Tahun 1967 dan aturanaturan pelaksanaanya. e. Materi muatan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tidak seharusnya memiliki muatan produk hukum setingkat undang-undang, dimana materi muatan SE.Mendagri No.470/336/SJ bersifat regelling yang mengikat untuk umum
122
seharusnya hanya ada pada undang-undang yang merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh wilayah kekuasaan legislatif bersama Presiden. Menilik
ruwetnya
masalah
pengisian
kolom
agama
pada
KTP
menimbulkan kondisi pro-kontra terhadap dicantumkannya agama sebagai bagian dari format KTP, tanggapan yang timbul tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu: a Setuju akan dicantumkannya kolom agama sebagai bagian dari format KTP, dan negara memberi penegasan agama apa saja yang diakui b Setuju dicantumkannya kolom agama pada KTP, dan jenis agama yang dapat dituliskan diserahkan kepada individu masing-masing untuk menentukannya. Atau dengan kata lain tidak ada limitasi terhadap agama-agama untuk diakui oleh negara. c Tidak perlu adanya kolom agama, karena agama tidak ada kaitannya dengan hak publik yang dapat dinikmati oleh individu. Sebagaimana yang diungkap oleh Franz Magnis-Suseno bahwa: “kebenaran agama kita bukan milik kita orang beragama, melainkan rahmat Tuhan....Tidak usahlah kita menjadi hakim atas keyakinan orang lain”32.
3.7. Pelayanan Hak-Hak Sipil Bagi Umat Tao Oleh Pemerintah Saat Ini Jaminan konstitusi terhadap kemerdekaan beragama sebagaimana dalam UUD 1945 pasal 29 tidak saja berlaku pada enam agama besar yang dipeluk hampir oleh seluruh penduduk Indonesia, tetapi juga pemeluk agama-agama dan 32
Suseno, Franz Magnis. 1998. Agama-agama, Kerukunan, dan Kerendahan Hati, dalam Franz Magnis Suseno. Mencari Makna Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 11.
123
kepercayaan lainnya yang ada di Indonesia. Umat agama-agama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai warga negara berhak untuk mendapatkan pelayanan negara tanpa diskriminasi. Salah satu prinsip pelayanan publik menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 tahun 2004 adalah prinsip kesamaan hak, di mana pelayanan publik tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, status ekonomi. Enam agama besar, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu,Budha, dan Khonghucu telah mendapatkan pelayanan dalam struktur organisasi Kementerian Agama. Aliran kepercayaan juga telah diakomodir kepentingannya oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian yang membidangi kebudayaan. Namun agama lainnya, di luar 6 agama di atas mengalami persoalan dalam mendapatkan pelayanan dari negara yang disebabkan karena identitas keagamaan mereka. Hak anak-anak mereka untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama dan oleh guru yang seagama juga tidak terpenuhi. Pendidikan agama dalam regulasi yang ada hanya merujuk pada pendidikan agama untuk enam agama besar saja. Persoalan krusial dalam konteks di atas adalah Negara memiliki kesulitankesulitan untuk melakukan pelayanan terhadap kepentingan semua agama yang ada di Indonesia. Sementara pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan pelayanan negara terhadap semua umat beragama di Indonesia sebagaimana pernyataan Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin, bahwa beliau adalah menterinya semua agama. Oleh karena itu dibutuhkan definisi dan kriteria agama
124
yang tepat untuk konteks pelayanan negara. Tao bisa menjadi fenomena kebangkitan agama di negara modern yang lebih menunjukkan pertumbuhan religius movement yang beriringan dengan munculnya sejenis religiousitas yang tersembunyi (invisible religion), perkembangan kehidupan keagamaan di Indonesia juga diwarnai berbagai kecenderungan pemikiran dan gerakan. Hubungan antara etnik
Cina dan
agama Tao telah melahirkan apa yang disebut elective affiliation. Konsep elective affiliation yaitu suatu kedekatan agama tertentu dengan nilai-nilai, struktur sosial, kelas sosial, kelompok sosial, atau etnik tertentu 33. Analisis Peneliti terhadap keberadaan agama Tao bahwa agama Tao merupakan model ethno-religius di Indonesia yang tampak dalam fenomena agama yang menjadi identitas komunitas tertentu, dalam hal ini komunitas tersebut adalah komunitas Tionghoa, maka peneliti memberikan istilah bagi agama Tao sebagai “Agama Marginal” di Indonesia. Dengan istilah “Marginalized Religion”, maka posisi kelompok keagamaan itu dipahami sebagai konstruksi dari dinamika internal kelompok itu dan relasinya secara sosial dan politis dengan kelompok lain. Menurut peneliti, “Marginalized Religion” itu sebenarnya adalah model dari “Pencarian Spiritualitas (Seeking Spirituality)”. “Pencarian” ini dapat diartikan sebagai upaya untuk pengukuhan kembali konsep manusia sempurna (whole person), termasuk rasa memiliki secara emosional dan intuitif. Karakter “pencarian” yang seringkali menembus batas-batas agama formal dan mapan inilah yang meletakkan religiusitas gaya 33
Kurtz, Lester. 1995. God in The Global Village. California: Pine Forge Press. Hlm. 1314.
125
baru ini sebagai “agama marginal”. Di dalam meneliti perkembangan Tao, peneliti berpendapat bahwa Tao sebagai gerakan agama baru (new religious movement) di era modern ini atau yang biasa dikenal dengan sebutan “new age”, meskipun selama ini Tao merupakan termasuk salah satu ajaran Tri Dharma. Sebutan “New Age” merupakan nama gerakan spiritual yang concern pada perdamaian dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh setiap agama. Agama Tao merupakan salah satu bentuk penting dalam fenomena kebangkitan agama di Indonesia. Peneliti juga memberikan suatu analisa bahwa agama Tao merupakan suatu gerakan spiritual lintas iman (multi faith spiritual movement), karena didalam ajaran agama Tao, selain kepercayaan terhadap ajaran Tao juga lebih dekat dengan akar praktek agama Buddha. Kebangkitan spiritualisme semacam ini dapat menumbuhkan persoalan baru mengenai kebebasan, pluralisme, dan hak-hak minoritas di Indonesia. Kalangan etnik tertentu dianggap “belum beragama” sejauh mereka belum memeluk satu diantara “agama resmi” yang diakui di Indonesia, mereka dianggap hanya memiliki “religi” atau “kepercayaan”. Bahkan Koentjaraningrat menyarankan, bahwa ketiga istilah baik agama, religi, maupun kepercayaan memiliki definisi sendiri-sendiri. Agama merupakan yang diakui secara resmi dalam negara kita, religi merupakan sistem-sistem yang tidak atau belum diakui secara resmi, dan kepercayaan merupakan komponen kedua dalam tiap agama dan religi. Meskipun kata “kepercayaan” dicantumkan dalam UUD 1945 bukan
126
berarti hidup mereka terjamin. Dalam interpretasi-interpretasi selanjutnya kata “kepercayaan” terus mengalami tarik menarik. Hal ini yang pada akhirnya membuat aliran kepercayaan dan agama-agama suku di bawah pengawasan dan pembinaan Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan yang berdiri pada tahun 197834. Menurut pemahaman peneliti bahwa dalam pandangan penguasa negara (pemerintah) dan penguasa “agama universal”, maka bila ada komunitas keagamaan yang dianggap menyimpang dari “agama mainstream” yang dianut negara, maka komunitas keagamaan tersebut harus “dibersihkan” atau “ditundukkan” ke dalam wadah agama yang sudah ditentukan penguasa dengan sejumlah syarat, diantaranya adalah “agama lokal” harus merubah sistem ajarannya dan disesuaikan dengan ajaran atau pandangan doctrinal “agama mainstream” yang berlaku. Apabila menolak, maka negara tidak akan mengakui mereka sebagai “agama” dan hanya sebatas sebagai “aliran kepercayaan”. Menurut peneliti, istilah “aliran kepercayaan” adalah sebuah istilah yang “diskriminatif” karena bagi umat yang mengakui agama Tao pasti mereka akan tetap menganggap Tao sebagai agama. Menurut pemahaman peneliti, bahwa Konstitusi, Perundangan, dan Peraturan Pemerintah Indonesia sejauh ini memang belum memberi perlakuan yang sama terhadap “agama universal” dan “agama lokal”, apalagi “agama baru”. Penafsiran dan pemaknaan dari Pasal 29 UUD 1945 terutama ayat 2 masih menempatkan “agama universal” dan “agama lokal” pada dua kutub 34
Saidi, Anas. (Ed.). 2004. Menekuk Agama, Membangun Tahta. Jakarta: Desantara. Hlm. 34. 127
yang “diametral” dan “kontradiktif”. “Agama universal” ditempatkan sebagai “agama resmi” yang diakui negara, sementara “agama lokal” dianggap “bukan agama” tetapi hanya “aliran kepercayaan”. Berdasarkan TAP MPR No.4 Tahun 1978, maka “agama universal” yang diakui Pemerintah Indonesia yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Buddha. Dan Khonghucu TAP MPR No.4 Tahun 1978 sering dijadikan sebagai acuan yuridis-formal mengenai legitimasi keagamaan di Indonesia. Ketegasan tentang 5 agama resmi selanjutnya termuat dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054 tanggal 18 Desember 1978 sehingga menghapus ketentuan lama yang termaktub dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia No.1 Tahun 1965 sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara No.2736 Tahun 1965, dan juga UU No.5 Tahun 1965 yang mengakui Konghucu sebagai bagian dari “agama mainstream” yang diakui Pemerintah Indonesia. Penetapan Presiden Republik Indonesia No.1 Tahun 1965 ini tidak hanya dicantumkan Konghucu tetapi juga Yahudi, Zaratrustra, Shinto, dan Taoisme. Tapi pencantuman inipun sebetulnya hanya bersifat konstatasi tentang agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia, bukan bersifat pembatasan bahwa hanya agama-agama itulah yang diakui dan berhak hidup di Indonesia, tetapi dalam prakteknya tidak demikian. Konghucu kembali menjadi agama yang diakui Pemerintah Indonesia pada masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, sedangkan terhadap “agama-agama baru” tampaknya Pemerintah Indonesia belum bisa memberikan jaminan. TAP MPR No.4 Tahun 1978 tidak hanya memuat peraturan mengenai
128
“agama resmi” yang diakui Pemerintah Indonesia tetapi juga telah menarik garis yang tegas antara “agama” dan “aliran kepercayaan”. “Agama” sebagai sesuatu yang luhur dan “aliran kepercayaan” hanya menduduki posisi “kelas dua” dibawah “agama”. Ketetapan ini ditindaklanjuti Pemerintah Republik Indonesia melalui Kemnetrian Agama dalam sebuah Instruksi Menteri Agama No.4 Tahun 1978 yang menolak “kelompok aliran kepercayaan” sebagai “agama” dan melepaskannya dari pembinaan oleh Kementerian Agama. Adanya sejumlah peraturan dan perundangan yang “diskriminatif” berdampak pada pandangan yang sinis dan tidak empatik dari masyarakat mayoritas
terhadap
komunitas
keagamaan
lokal.
Adanya
perlakuan
diskriminatif tersebut dapat mengakibatkan “agama lokal” kurang dihargai dan akhirnya mengalami diskriminasi, terpinggirkan, terpuruk, terhegemoni, dan kehilangan haknya untuk dihargai sebagai bagian dari kemajemukan agama. Menurut peneliti, sebutan istilah “agama marginal” sangatlah tepat diberikan untuk keberadaan agama Tao di Indonesia. Sejak
Undang-Undang
No.23
Tahun
2006
tentang Administrasi
Kependudukan berlaku, maka pengaturan tentang pencatatan sipil tunduk pada Undang-Undang No.23 Tahun 2006 karena kegiatan pencatatan sipil masuk ke dalam kegiatan Administrasi Kependudukan. Meskipun keberadaan agama Tao di Indonesia sebagai “agama marginal” namun pada kenyataannya kehidupan beragama umat Tao berjalan secara alamiah tanpa adanya hambatan. Setelah sekian lama mengalami berbagai macam diskriminasi, namun umat Tao cenderung untuk bersikap dialogis dan melakukan pendekatan persuasif. Saat ini,
129
dalam hal perkawinan, umat agama Tao tidak mengalami hambatan dalam pencatatannya. Ketika terjadi perkawinan, maka terlebih dahulu tokoh agama Tao menguruskan persyaratan administrasi atau surat-surat berkenaan dengan syaratsyarat perkawinan. Melalui Majlis Tridharma Indonesia (MTI), surat-surat tersebut diserahkan ke Kantor Catatan Sipil. Setelah ditentukan hari perkawinannya, maka perkawinan dilaksanakan di kelenteng “Sinar Tao” di Jl. Madukoro AA/BB Semarang. Sebelum upacara perkawinan dimulai, mereka melakukan sembahyang di kelenteng “Sinar Tao, tepatnya di depan altar Maha Dewa Lao Zi. Upacara perkawinan dipimpin oleh ruhaniwan/pendeta agama Tao, yakni Adhi Sandjojo Tairas. Di tempat inilah seluruh keluarga calon penganten laki-laki dan perempuan untuk mengikuti upacara ritual perkawinan dan sekaligus menyaksikan pencatan perkawinan oleh seorang utusan Kantor Catatan Sipil Kota Semarang. Prosesi perkawinan umat Tao nampak ketika diatas altar Maha DewaTao, diletakkan 5 macam buah sebagai lambang dari U Fuk (Lima kebahagiaan). Di kanan-kiri hiolo terdapat 9 pasang lilin merah yang diatur dari yang pendek ke yang tinggi. Sebagai pemanis, diletakkan rangkaian bunga. Ada pula yang memasang kain merah untuk semakin memeriahkan ruangan. Begitu tiba, pengantin dijemput oleh sepasang Huang Ie yang bertugas sebagai penjemput pengantin. Mereka dibawa ke ruang upacara dengan diiringi lagu Kwe Ming Li. Upacara pun segera dimulai. Pemimpin upacara yang berjumlah 3 orang memimpin para Fu Fak untuk sembahyang. Setelah para Fu Fak berdiri di kanan-
130
kiri tempat upacara, barulah pengantin dan orang tua mereka diantar ke depan altar untuk sembahyang, diiringi lagu Kung Huo. Pengantin beserta orang tua sembahyang dengan menggunakan 1 hio besar dipimpin oleh salah seorang pemimpin upacara. Seusai sembahyang, orang tua pengantin dipersilahkan duduk di tempat yang telah disediakan. Orang tua mempelai pria di sebelah kanan dan orang tua mempelai wanita di sebelah kiri. Acara Cing Ciu (Mempersembahkan arak) dimulai. Dengan diiringi lagu Syiek Suang Jing atau terima kasih, kedua mempelai Kui (bersujud) mempersembahkan arak sebagai lambang hormat serta terima kasih mereka kepada orang tua yang telah membesarkan, mendidik serta memberikan kasih sayang sehingga dewasa dan dapat mulai menempuh sebuah kehidupan sendiri yang mandiri. Acara dilanjutkan dengan suatu Tanya jawab antara pemimpin upacara dengan pengantin. Para pemimpin upacara berhak menilai apakah kedua mempelai memang cukup layak secara mental untuk membangun sebuah rumah tangga sendiri. Selanjutnya adalah Acara Tukar Cincin. Dengan diiringi lagu Se Yen (Kuucap Janji), mempelai berdua saling mengikatkan diri. Para pemimpin upacarapun memberikan beberapa nasehat yang berguna dalam kehidupan pernikahan mereka kelak. Puncaknya pernikahan disahkan dengan memberikan simbol berupa kalungan hati kepada masing-masing pengantin, yang kemudian disatukan dengan sebuah kalungan besar berbentuk hati juga, sebagai tanda
131
bersatunya dua hati. Hadirin serentak memberikan tepuk tangan sambil menyanyikan lagu Cu Fuk, yang berarti selamat berbahagia. Upacara diakhiri dengan ucapan selamat dari para pemimpin upacara beserta Fu Fak yang lalu diikuti oleh keluarga dan hadirin. Sebelum meninggalkan Taokwan, kedua mempelai sembahyang mengucapkan terima kasih. Lagu Gembira Ria dan Tao Ciao Ti Ce (Umat Tao) mengantar kepergian mereka. Demikianlah, dua buah hati telah menjadi satu, bahu membahu menempuh sebuah kehidupan yang baru. Begitu juga dalam ritual kematian, umat agama Tao memberikan pelayanan bagi umat yang meningggal dunia. Ritual kematian yang dimaksudkan adalah serangkaian kegiatan untuk mengurus jenazah sampai ke pemakaman. Dalam hal ini, pengurus kelenteng “Sinar tao” terlebih dahulu mengadakan ritual kematian, yang dinamakan “Jao Tu”. Upacara ini dimaksudkan untuk menghantarkan arwah ke alam keabadian, yang diikuti oleh keluarga yang berduka. Biasanya, upacara Jao Tu dilakukan oleh 12 orang ruhaniwan, dan salah satunya berlaku sebagai pemimpin upacara yang membacakan doa-doa atau mantra-mantra agar almarhum memperoleh kehidupan yang damai, dan memberikan rasa aman dan ketenteraman bagi keturunan yang ditinggalkannya. Ritual kematian tersebut dilakukan di rumah duka, tempat almarhum disemayamkan, seperti di Rumah Duka Iwan dan Rumah Duka Pantiwilasa. Di tempat inilah, mereka melakukan ritual kematian dengan pembakaran dupa. Diantara mereka ada seorang yang bertugas membawa Siang Fen (bubuk
132
cendana) yang akan dibakar di anglo kecil di bawah peti jenazah agar harumnya tembus ke langit tingkat sembilan. Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa pelayanan hak-hak sipil oleh pemeritah dirasakan jauh lebih baik oleh umat agama Tao, karena pemerintah telah memberikan kelonggaran-kelonggaran sebagai warga negara Indonesia, seperti: hak menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, hak mendapatkan pelayanan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, dan sebagainya. Bagi umat agama Tao, perlakuan diskriminatif selama ini tidak direspon secara frontal, melainkan cenderung untuk bersikap persuasif dan dialogis. Hal ini terlihat ketika umat Tao disyaratkan agar mencantumkan agama Budha dalam sebuah dokumen kependudukan, dan mereka memilih untuk menurutinya. Sikap umat Tao semacam ini tidak lepas dari azas dasar yang dianut oleh umat Tao yang bersumber pada Kitab Suci “Tao Te Ching”, yang berarti “Aturan mengenai Jalan dan Kebajikan”. Karena itu, umat agama Tao tidak banyak tuntutan kepada pemerintah, utamanya berkenaan dengan pengakuan terhadap agama Tao. Sebab hal ini membawa konsekwensi yang lebih berat kepada eksistensi agama Tao sendiri, seperti: penyiapan SDM, penyiapan sarana dan prasarana, bahkan penyiapan struktur kelembagaan. Sejak era pemerintahan Gus Dur, etnik Tionghoa Indonesia telah merasakan “kemerdekaan” untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya, Pelayanan bagi Tao Yuan (umat Tao) kini pun sudah tersebar di sejumlah Taokuan (tempat ibadah umat Tao ) yang tersebar di Indonesia yaitu Thay Ping Gong Sinar Suci Jakarta; Wan Fu Gong Sinar Mulia Bandung; Zheng Dao Gong
133
Dewa Agung Jambi; Qing Jing Gong Suci Mulia Bandar Lampung; Zi Xiao Gong Sinar Bakti Bangka; Xuan Guang Gong Sinar Agung Tao Palembang; Ci Ai Dao Guan Cinta Kasih Mojokerto; Qing Ping Gong Sinar Damai Makassar; Jing Hua Gong Sinar Murni Medan; Zheng Shan Gong Sinar Sejati Binjai; Wan Fu Gong Sinar Tao Semarang; Thay Qing Gong Maha Suci Surabaya; dan Tao Kwan Sinar Cerah
Pontianak
(http://taoindonesia.info/2011/10/20/taokuan-tempat-ibadah-
umat-tao-di-indonesia/ Diunduh 17 Agustus 2013 – 11.59 WIB)
134