PERKEMBANGAN TRADISI ETNIK MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA GORONTALO
JURNAL
Nama
: IBRAHIM HASAN
NIM
: 231 409 046
JURUSAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2015
PERKEMBANGAN TRADISI ETNIK MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA GORONTALO Ibrahim Hasan1, Darwin Une2,Yusni Pakaya3 1 Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah, 2-3 Dosen Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo Email:
[email protected] ABSTRAK Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini proses perkembangan tradisi masyarakat Tionghoa di kota Gorontalo dan presepsi masyarakat terhadap perkembangan tradisi masyarakat Tionghoa di Kota Gorontalo. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa sejarah kedatangan Etnik masyarakat Tionghoa berawal pada tahun 273 yang silam dimana perkembangan masyarakat Tionghoa pada saat itu berupaya untuk mengumpulkan uang berupa ringgit untuk membangun sebuah Klenteng di kota gorontalo dan perkembangan masyarakat Tionghoa. Perkembangan Tradisi Masyarakat Tionghoa di Kota Gorontalo berawal dari datanngnya pedagang dari Cina di Kota Gorontalo yang kemudian berbaur dengan masyarakat pribumi Gorontalo yang memiliki cirikhas yang unik, hal ini disebabkan oleh tradisi masyarakat Tionghoa dengan tradisi dan budaya Gorontalo. Hal ini bisa dilihat dengan adanya pernikahan antar penduduk asli Tionghoa dan pendduk asli pribumi yang menghasilkan keturunan yang dapat mengkombinasikan antara tradisi masyarakat Tionghoa dan tradisi budaya Gorontalo. Tradisi masyarakat Tionghoa yang ada di Kota Gorontalo diataranya adalah, CapG Gome, Peringatan Hari besar Waisak, Ziarah Kubur, sembayang Arwah dan tradisi pernikahan serta tradisi makanan sebagai cara ritual.
Kata Kunci : Etnik Tionghoa
PENDAHULUAN Agama budha seperti agama jainah, bergerak dalam bidang pemikiran hindu pada kebanyakan prinsipnya. Pemunculan keduanya adalah merupakan suatu reaksi terhadap kekerasan brahmana dan penindasan yang dilakukan mereka yang
1
Ibrahim Hasan, Penulis Skripsi PERKEMBANGAN TRADISI ETNIK MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA GORONTALO 2 Drs.H.Darwin Une, M.Pd Dosen Pembimbing I 3 Hj. Yusni Pakaya S.Pd.,M.Pd Dosen Pembimbing II
menyebabkan golongan-golongan yang lain bangkit menentang, terutama golongan ksatria yang terdiri dari anak-anak raja dan prajurit-prajurit. Berbicara tentang ketradisian Tionghoa adalah membicarakan kepercayaan tradisional yang ada dalam masyarakat Tionghoa, seakan – akan kepercayaan tadilah yang membentuk ketradisian dan cara hidup masyarakat Tionghoa selama ribuan tahun. Sebenarnya, kepercayaan tradisional hanyalah sebagian kecil dari ketradisian Tionghoa itu sendiri, namun kepercayaan tradisional yang terbentuk dari ketradisian leluhur masyarakat Tionghoa sejak zaman pra-sejarah kemudian menjadi salah satu tulang punggung transformasi ketradisian Tionghoa selama ribuan tahun dalam sejarahnya. Jadi dapat dikatakan, kepercayaan tradisional ini muncul dari ketradisian dan merupakan bagian darinya dan dalam perkembangannya juga mempengaruhi bentuk ketradisian dan segala transformasinya. Melihat salah satu tradisi sepeti gotong Tapekong, orang yang sujud berdoa, bertanya dengan ciamsie dan lain-lain. Pemandangan ini dapat kita lihat di kelentengkelenteng. Pada kenyataannya, semua yang kita lihat itu hanya permukaan dari kepercayaan orang Tiongkok, permukaan itu mengandung pemahaman yang luas dan berisi makna filosofis yang mendalam. Makna dan pemahaman itu tidak dapat dilihat atau dipahami seperti hanya melihat patung-patungnya atau prosesinya. Di kota Gorontalo masyarakat Tionghoa sudah mulai menyesuaikan dengan adat istiadat ataupun tradisi yang ada di gorontalo itu sendiri. Akan tetapi masyarakat Tionghoa juga tidak melupakan tradisi ataupun tradisi yang sudah di turunkan oleh nenek moyang kepada mereka. Salah satu bukti sampe saat ini masyarakat Tionghoa masih merayakan tradisi mereka.
PERMASALAHAN Proses perkembangan tradisi masyarakat Tionghoa di Gorontalo dsn presepsi masyarakat terhadap perkembangan tradisi masyarakat Tionghoa di Goronatalo?
METODE Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif yang membahas tentang kajian fenomenologis dan diungkapkan secara deskriptif analisis kritis, dan
penelitian ini bersifat naturalistic yang memfokuskan pada pengumpulan infomasi tentang keadaan atau realita yang sedang berlangsung dengan menggambarkan sifat dari keadaan saat penelitian dilakukan, serta memeriksa dari suatu gejala tertentu secara alamiah (William dan lexy Moleong, 1995: 16-17).
Tujuannya untuk mengetahui
efektivitas pencapaian tujuan, hasil, atau dampak suatu kegiatan mengenai proses pelaksanaan yang telah direncanakan. KAJIAN TEORI Tradisi didasarkan pada simbol. Ahli antropologi Leste White (dalam Haviland;Fatonah dkk,2003:7) berpendapat bahwa semua perilaku manusia penuh dengan penggunaan lambang dan simbol. Menurut Mulyana, Dedi ;2000:57 tradisi adalah suatu cara hidup yang dimiliki sekelompok orang yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. Zat-zat pembawa sifat dan ciri-ciri tradisi tersebut saling mempengaruhi, sebagaimana lingkungan geofisik dimana kita dibesarkan mempengaruhi kita. Oleh karena itu tradisi dapat dikatakan seluruh hasil usaha manusia dengan budinya berupa segenap sumber jiwa, yakni cipta, rasa, dan karsa. Tradisi dapat juga diusahakan demi keindahan dan permainan, juga demi nilai-nilai dari realitas yang dikandung olehnya. Dengan demikian seni, permainan, sport, magis, dan agama masuk kedalam tradisi. Disitulah Nampak kerja spiritual manusia didalam bentuk kehidupan. Itulah semua aspek etika dari daya menciptakan tradisi (Widagdho, 1999:27). Menurut Parson, masyarakat tradisional biasanya memiliki kewajiban kekeluargaan, komunitas dan kesukuan, sementara masyarakat modern lebih bersifat individualistik. Masyarakat tradisional memandang penting status warisan dan bawaan (ascription), sebaliknya masyarakat modern lebih memperhatikan prestasi (achivement). Masyarakat tradisional belum merumuskan fungsi-fungsi kelembagaanya secara jelas (fungtionally diffused) sehingga mengakibatkan pola kerja yang tidak efisien, sebaliknya masyarakat modern telah merumuskan secara jelas tugas masing-masing kelembagaan. (Warsito , 2001 :11) Sejarah ketradisian Tionghoa seperti ketradisian kuno lainnya juga dimulai dengan mitologi – mitologi. Di zaman dahulu kala, leluhur orang Tionghoa mulai menuliskan pandangan mereka terhadap alam semesta ini. Mereka menganggap bahwa sebelum dunia ini terbentuk, langit (Tian) dan bumi (Di) merupakan satu kesatuan yang disebut dengan keadaan tidak berbentuk atau chaos (Hun Dun). 18 ribu tahun kemudian, seorang bernama Pan Gu (Cerita Legenda) mulai memisahkan langit dan bumi. Setiap hari, langit bertambah tinggi 3.3 meter, bumi bertambah tebal 3.3 meter dan Pan Gu bertambah tinggi 3.3 meter. Demikian seterusnya 18 ribu tahun berlalu dan langit telah
sangat tinggi, bumi telah sangat tebal. Setelah Pan Gu wafat, anggota tubuhnya kemudian menjadi matahari dan bulan, gunung dan laut, sungai dan danau. Inilah yang disebut sebagai legenda Pan Gu memisahkan langit dan bumi (Pan Gu Kai Tian Di) dan Pan Gu juga mendapat gelar Raja Langit Pertama (Yuan Shi Tian Wang). Jadi, sebenarnya juga ada mitologi penciptaan di dalam kepercayaan tradisional Tionghoa, cuma Pan Gu adalah tetap merupakan sosok manusia yang kemudian menjadi tokoh legendaris yang tidak pernah di-Tuhan-kan. Di kemudian hari, dalam mitologi bangsa Tionghoa juga ada tokoh legendaris Nu Wa yang dikenal sebagai ibu pertama dari bangsa Tionghoa menciptakan manusia dan menambal langit yang bocor. Fu Xi yang mengajarkan cara membuat jala dan menangkap ikan, beternak dan berburu, menciptakan Ba Gua (8 diagram) dan Shen Nung
yang
mengajari
cara
bertani,
ahli
obat-obatan
tradisional.
Di masa ini, leluhur orang Tionghoa menganggap bahwa alam semesta ini terbagi atas 2 bagian yaitu langit dan bumi. Namun sampai pada munculnya Taoisme dan masuknya Buddhisme ke Tiongkok, bagian alam semesta tadi berkembang menjadi yang sekarang kita kenal yaitu 3 bagian yang terdiri dari alam Langit (Tian Jie), alam Bumi (Ming Jie) dan alam Baka (You Jie). Dan dalam perkembangannya akhirnya lahir aliran yang disebut sebagai Tri-Dharma (Sam Kau = hokkian, Shan Jiau = mandarin) yaitu gabungan antara Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme. Pada dasarnya, ada beberapa orang yang mengartikan Tri-Dharma sebagai kepercayaan tradisional yang telah ada jauh sebelum agama eksis dan merupakan bagian dari tradisi (sinkretisme tradisi), dan masing – masing saling mempengaruhi bentuk dan transformasi ketiga agama tadi dalam batas – batas tertentu. Dan ada pula yang mengatakan, di zaman dulu, ada atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa, mereka tetap akan memegang teguh kepercayaan tradisional ini. HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Tradisi Masyarakat Tionghoa di Kota Gorontalo Perkembangan masyarakat Tionghoa turun temurun sampai dengan sekarang dikenal dengan Cap Game (Tapikong). Cap Game diadakan 2 minggu setelah hari raya imlek. Menurut kalender Cina pada tanggal 1 bulan 1 dilangit, satu minggu sesudah imlek diadakan sembahyang Tuhan yang di adakan jam 12 malam.
Dalam aqidah pelaksanaan Cap Game hanya dilaksanakan khusus kebudayaan china akan tetapi tradisi ini sudah membaur dengan masyarakat Gorontalo untuk perayaannya. Sebagian tradisi dari Cap Game diikut sertakan dengan tari-tarian masyarakat Gorontalo yaitu tarian dana-dana dan menampakan sebuah tulisan Bhineka Tunggal Ika pada mobil yang sudah dihias sedemikian rupa. Pada setiap tanggal 15 bulan 15 dilangit diadakan Cap Game di Tiongkok yang menandakan atau memeriahkan keberhasilan penduduk untuk bercocok tanam, sehingga masyarakat Tiongkok dapat merasakan hasil bercocok tanam mereka sendiri. Keadaan Etnik Tionghoa di Kota Gorontalo Sebagian besar warga komunitas Tionghoa adalah keturunan-campuran, hasil perkawinan antara para pendatang dari daratan Tiongkok maupun daerah lainnya di Nusantara, dengan warga penduduk setempat khususnya Kota Gorontalo. Sebagai warga perantau baik semasa pemerintahan Hindia Belanda maupun setelah kemerdekaan, warga komunitas Tionghoa-Gorontalo menjalankan “tradisi” dan budaya yang diwarisi turuntemurun, terutama yang berhubungan dengan agama dan kepercayaan. Kehadiran sejumlah klenteng sejak dua abad lalu menjadi salah satu pusat peribadatan, dan pada masa ketika keberadaan Konghucu di Indonesia belum diakui sebagai agama resmi, klenteng-klenteng yang ada menjadi pusat pelaksanaan “tradisi leluhur”.
Masyarakat etnik Tionghoa di kota Gorontalo sudah hadir pada 200 tahun yang lalu. Mereka melebur menjadi warga setempat yang memiliki pasang surut sejarah panjang, meski tak selalu mulus. Sebab, adalah suatu fakta sejarah yang tak terbantah, bahwa warga etnik Tionghoa di Kota Gorontalo adalah pendatang sehingga keberadaannya bukan lagi hal baru.
Fakta sejarah ini tak bias dihapus dan harus
diterima sebagai bagian integral kehidupan orang Cina di Kota Gorontalo. Leluhur orang Tionghoa bermigrasi secara bergelombang sejak ratusan tahun yang lalu. Catatan – catatan dari cina menyatakan bahwa kerajaan kuno di Nusantara terah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cinafaktor inilah yang kemudian menyuburkan erdagangan dan lalulintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya. Keadaan Sosial Budaya Perkembangan Tradisi Masyarakat Tionghoa di Kota Gorontalo berawal dari datanngnya pedagang dari Cina di Kota Gorontalo yang kemudian berbaur dengan masyarakat pribumi Gorontalo yang memiliki cirikhas yang unik, hal ini disebabkan
oleh tradisi masyarakat Tionghoa dengan tradisi dan budaya Gorontalo. Hal ini bisa dilihat dengan adanya pernikahan antar penduduk asli Tionghoa dan pendduk asli pribumi yang menghasilkan keturunan yang dapat mengkombinasikan antara tradisi masyarakat Tionghoa dan tradisi budaya Gorontalo. Berdasarkan hasil observasi lapangan data jumlah penduduk penganut agama Budha di Kota Gorontalo berdasarkan data Kanwil Kemenag Provinsi Gorontalo tahun 2014 sejumlah 7939 jiwa atau dapat dipresentasikan 0,09% jumlah penganut agama Budha, selain itu juga di Kota Gorontalo terdata penganut agama konghucu sejumlah 5 jiwa. Rumah ibadah khususnya di Kota Gorontalo sejumlah 1 buah yaitu Klenteng Budha Kota Gorontalo. Pada umumnya penduduk penganut agama Budha di Kota Gorontalo merupakan masyarakat Tionghoa yang sudah menetap di Kota Gorontalo. Salah satu factor masyarakat Tionghoa menetap tinggal di Kota Gorontalo adalah untuk berdagang. Proses perkembangan tradisi masyarakat Tionghoa di Kota Gorontalo Perdagangan merupakan salah satu factor utama dalam peningkatan ekonomi masyarakat Tionghoa di Kota Gorontalo. Hal ini terbukti dengan adanya bangunanbangunan toko besar maupun kecil yang di rintis oleh masyarakat Tionghoa di Kota Gorontalo (Nara Sumber Tiyong Liyong Chun). Hal pertama adalah soal pemukiman. “Kampung Cina” yang sejak dahulu sekaligus merupakan pusat perdagangan misalnya, pada awalnya merupakan kumpulan bangunan-bangunan tempat usaha (toko) sekaligus sebagai rumah tinggal. Dewasa ini fungsi sebagai rumah tinggal itu semakin berkurang dan banyak warga Tionghoa memilih untuk menetap di pemukiman-pemukiman warga setempat. Dari sisi aktivitas, “Kampung Cina” sebagai lokasi aktivitas perdagangan tidak lagi didominasi oleh pedagang-pengusaha warga Tionghoa. Hasil amatan dan perhitungan kasar menunjukkan bahwa warga komunitas etnis Gorontalo dan Bugis-Makassar lebih banyak beraktivitas di wilayah ini dibandingkan dengan warga Tionghoa. Warga etnis Gorontalo umumnya berjualan di emperan atau juga di bagian pintu toko-toko warga Tionghoa, ada yang merupakan bagian dari tokotoko yang ada, namun lebih banyak menjalankan usaha sendiri seperti halnya para pembeli emas, reparasi jam tangan dan sebagainya. Keadaan seperti ini membuahkan
interaksi aktif antara mereka, mulai dari soal ijin berjualan di depan pintu toko, dan sebagainya. Presepsi masyarakat terhadap perkebangan tradisi masyarakat Tionghoa di Kota Gorontalo Sebagian masyarakat Gorontalo khususnya tokoh agama Putu Supartana berpandangan bahwa tradisi masyarakat Tionghoa justru bertentangan dengan nilai-nilai agama berdasarkan mayoritas agama di Provinsi Gorontalo khususnya di Kota Gorontalo. Menurut pandangan sebagian masyarakat (Nanang Ying) Yang menarik pada masyarakat Cina Gorontalo adalah keteguhannya dalam memegang akar kebudayaan asal, yaitu Cina. Dalam masyarakat Cina terdapat hari-hari khusus pada setiap bulan yang bernama Cap Go, Ce it, dimana pada hari-hari tersebut masyarakat Cina diwajibkan untuk bersembahyang pada bulan. Selain itu ada pula hari raya Ceng Beng ,hari raya dimana masyarakat Cina bersembahyang pada leluhur yang telah meninggal, dan tentu saja tahun baru Cina yaitu Xin Cia. Biasanya pada masyarakat Cina Gorontalo selalu terdapat setidaknya satu altar sembahyang, banyak pula yang memiliki altar sembahyang lebih dari satu dan diletakkan di depan rumah. Maryam Lamad L. A Uw mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan tradisi leluhur misalnya, ada pelaksanaan upacara yang hanya melibatkan anggota kerabat dari penginisiatif dan seakan-akan kelihatannya seperti tidak membaur. Namun, apabila ditelisik mulai dari pelaku, penyedia tempat dan berbagai kebutuhan untuk pelaksanaan sebuah upacara misalnya, akan jelas menunjukkan adanya pelibatan tenaga dari penduduk lokal, terutama dari pihak tetangga dan kenalan. Kenyataan seperti itu pula menghadirkan realita sosial seperti adanya situasi keharmonisan hubungan antara warga komunitas Tionghoa dengan penduduk lokal. Hubungan antara orang Tionghoa yang ada di Manado dengan penduduk lokal telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Jika kita melihat lagi pergaulan warga komunitas Tionghoa di Manado, maka akan nampak bahwa warga komunitas Tionghoa tidak hanya bergaul dengan golongan mereka sendiri.
Perkembangan Tradisi Masyarakat Tionghoa di Kota Gorontalo Hari Raya Waisak Hari Raya Tri Suci Waisak adalah salah satu dari empat hari raya Agama Budha. Hari raya ini disebut Tri Suci Waisak karena pada hari waisak terjadi tiga peristiwa penting, yakni kelahiran pangeran Sidharta Gautama, tercapainya penerangan sempurna oleh Pertpa Gautama, dan mangkatnya sang Budha Gautama. Tiga kejadian tersebut (kelahiran, Penerangan, Kematian) terjadi pada hari yang sama ketika bulan purnama di bulan Waisak. Masyarakat Tionghoa di Kota Gorontalo merayakan Hari Tri Suci Waisak dengan mengikuti Puja Bhakti di Vihara dan bermeditasi pada saat detik-detik Waisak. Perayaan Hari Waisak di Kota Gorontalo mengikuti keputusan Secara tradisional dipusatkan secara nasional di komplek Candi Borobudur, Jawa Tengah. Rangkaian perayaan Waisak nasional secara pokok adalah sebagai berikut: 1. Pengambilan air berkat dari mata air (umbul) Jumprit di Kabupaten Temanggung dan penyalaan obor menggunakan sumber api abadi Mrapen, Kabupaten Grobogan. 2. Ritual "Pindatapa", suatu ritual pemberian bahan makanan kepada para biksu oleh masyarakat (umat) untuk mengingatkan bahwa para biksu mengabdikan hidupnya hanya untuk berpuja bakti tanpa melakukan mata pencaharian. 3. Semadi pada detik-detik puncak bulan purnama. Penentuan bulan purnama ini adalah berdasarkan perhitungan falak, sehingga puncak purnama dapat terjadi pada siang hari. Selain tiga upacara pokok tadi dilakukan pula pradaksina, pawai, serta acara kesenian. Sembahyang para arwah Sembhayang para arwah bagi masyarakat Tionghoa di Kota Goontalo lebih menekankan pada etika kehidupan yang bersifat duniawi. Hal ini dapat kita simak pada ucapan Confucius yaitu bahwa bagaimana manusia dapat mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan kematian, jika hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan belum mereka ketahui (Koentjaraningrat, 2002: 367). Ajaran Confucianisme merupakan cara pembelajaran menjadi manusia melalui interaksi dengan sesama manusia secara terus menerus. Pembelajaran menjadi manusia
ini mengandung empat dimensi pemahaman
yaitu pertama, berkaitan dengan cara
menyatukan dan menyelaraskan antara hati dan pikiran dengan tubuh dan jiwa. Kedua, cara menjalin hubungan yang bermanfaat dengan komunitas manusia secara luas, baik dengan keluarga, masyarakat, bangsa dan komunitas global. Ketiga, cara menjalin hubungan yang harmonis, bermanfaat dan berkelanjutan dengan alam. Keempat, cara menyelaraskan hubungan antara jiwa dan pikiran dengan Tuhan penguasa semesta (Tu Wei - Ming , 2005: 14) Intisari dari Confucianisme terletak pada masalah keluarga dan ketatanegaraan. Keharmonisan keluarga dikaitkan dengan bentuk kebaktian kepada orang tua, yang kemudian konsepsi ini diformulasikan dalam bentuk pemujaan leluhur. Bentuk bakti kepada orang tua dan leluhur dilakukan dengan merawat abu leluhur di dalam rumah dan melakukan sembahyang untuk pemujaan leluhur yang dipimpin oleh kepala keluarga (Lasiyo. et.al, 1995: 9). Pemujaan / penghormataan kepada leluhur yang dilakukan oleh masyarakat Cina di Kota Gorontalo ditandai oleh disediakannya altar/meja pemujaan berwarna merah ( lak ) yang diletakkan di
ruang depan rumah orang Cina.
Di atas meja tersebut
ditempatkan hiolo (tempat menancapkan hio atau batang dupa) dari timah, berkaki empat dan mempunyai pegangan di kiri-kanannya. Pada bagian depan hiolo diukir dengan tulisan hi yang artinya bahagia. Pada kiri dan kanan hiolo diletakkan pelita atau lilin warna merah, yang saat ini sudah banyak diganti dengan lampu listrik warna merah. Pemujaan kepada leluhur ini dilaksanakan setiap tanggal 1 dan tanggal 15 bulan Cina. Selain itu juga dilaksanakan pada tahun baru Imlek, perayaan Ceng Beng (upacara membersihkan
kubur
leluhur),
perayaan
Peh
Cun
(perayaan
memperingati
tokoh/pahlawan Kut Goan dari kerajaan Chou), Cit Gwee (sembahyang untuk para arwah leluhur), upacara Cioko ( sembahyangan yang dilakukan pada tanggal 15 bulan 7 tahun Imlek, untuk arwah-arwah leluhur yang tidak disembahyangkan oleh sanak keluarganya yang masih hidup di dunia) dan lain sebagainya. Pemujaan kepada leluhur ini masih berlangsung karena orang Cina percaya bahwa kematian tidak memisahkan hubungan batin antara anak dan orang tua/leluhurnya. Selain itu bila hubungan batin antara leluhur dan keturunannya terus dijaga, maka diharapkan arwah leluhur dapat melindungi dan memberikan berkah serta kesejahteraan kepadan keturunannya.
Upacara pemujaan/penghormatan kepada leluhur ini dilakukan oleh seluruh keluarga, sehingga acara ini juga merupakan reuni keluarga besar. Dalam lingkungan keluarga Cina, terutama Cina totok yang berkewajiban untuk melaksanakan pemujaan kepada leluhur dan merawat meja abu adalah anak laki-laki tertua. Anak perempuan yang sudah menikah tidak berkewajiban membuat altar pemujaan untuk leluhur, karena dia berkewajiban untuk memelihara altar atau meja abu leluhur suaminya. Adat Perkawinan Pengaruh budaya dan tradisi yang hidup dalam masyarakat Tionghoa juga mempengaruhi peran gender mereka. Kepercayaan dan ajaran moral Taoisme dan Confucianisme telah mengajarkan keharmonisan hubungan-hubungan antara anggotaanggota keluarga dan hubungan-hubungan dalam masyarakat. Taisme mengajar hubungan-hubungan yang harminis antara orangtrua dan anak, suami dan istri, Raja dan rakyat, saudara yang lebih tua dan saudara yang lebih muda. Confucianisme juga mengatur hubungan-hubungan sosial secara harminis, antara pemerintah dengan para menteri dan rakyat, ayah dengan anak laki-laki, saudara laki-laki tertua dengan yang lebih muda, suami dengan istri dan teman dengan istri. Lambang penghormatan terhadap wanita Tionghoa dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tionghoa yaitu dilaksakannya pemujaan terhadap Dewi Kuan Yin yang menjadi lambang kasih sayang. Dari fakta-fakta yang hidup dalam masyarakat Tionghoa, maka dapat dikatakan bahwa di satu sisi wanita tampak mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki tetapi di satu sisi lain sebagai pelengkap untuk bisa memperkuat kedudukan laki-laki melalui sistem kekerabatan patrilineal Zhun-Jie yang berarti Festival Musim Semi yang jatuh pada tanggal 1 bulan 1 Almenak Imlek, Ceng Beng atau Hari Membersihkan Kuburan yang jatuh pada 5 April, Tuan Wu Jie , Festival Perlombam Perahu Naga atau Festival Bacang yang jatuh pada tanggal 5 bulan 5 Imlek, dan Zhong-Chiu-Jie yang berarti Festival Pertengahan Musim Rontok atau yang lebih dikenal sebagai Festival Rembulan yang jatuh pada tanggal 15 bulan 8 almenak lmlek merupakan hari-hari besar Etnik Tionghoa. Tetapi yang paling ramai dimeriahkan adalah Festival Musim Semi yang merupakan Tahun Baru Imlek. Festival Musim Semi dalam penanggalan Imlek atau Lunar ini selain dirayakan oleh etnik Tionghoa, juga dirayakan oleh berbagai suku bangsa dan etnik di dunia dengan
cara mereka masing-masing. Tentu, yang dominan(=berpengaruh kuat) adalah versi(=model) Tiongkok. Dalam masyarakat Tionghoa, Tahun Baru Imlek dianggap sebagai hari raya kultural(=kebudayaan) secara umum. Di Kota Gorontalo, eksistensi(=keberadaan) Masyarakat Tionghoa semakin diakui setelah Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 2000 tentang pencabutan Inpres No. 14 Tahun l967. Pengakuan bahwa masyarakat Tionghoa adalah sebagian dari bangsa ini seperti menjadi paripurna(=lengkap) setelah presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Hari Raya Imlek dalam daftar tanggal mereh almanak Indonesia. Pada hari-hari sekitar tahun baru Imlek ini, pusat perbelanjaan, hotel, dan restoran semuanya ganti baju, menghiasi diri dengan nuasa merah. Perayaan tahun baru Imlek sama meriahnya dengan perayaan Leberan dan Natal. Kesenian barongsai dan tarian liong dapat tampil di depan public, bahkan di sejumlah pusat perbelanjaan, barongsai yang dulu menjadi simbol represi sekarang menjadi simbol kebebasan. Salah satu aspek yang erat melekat pada perayaan Tahun Baru Imlek ini, selain ucapan selamat “Gongxi” adalah pemberian “Hongbao” alias amplop merah berisi uang sebagai simbol selamat. Di lingkungan keluarga hanya anak yang belum berkeluarga yang berhak memperoleh upeti(=uang yang diberikan kepada seseorang) merah itu. Pada tradisinya(=adat kebiasaan), kemeriahan Tahun Baru Imlek bermulai dari upacara sembahyang kepada Dewa Dapur, upaya untuk mengantarkan dewa perapian ini naik ke langit dari tanggal 23 bulan 12 Imlek sampai pada tanggal 30 bulan 12 Imlek. Dewa Perapian ini dianggap pengatur ruang dapur dan pelindung rumah tangga. Pada tanggal 23 bulan 12 Imlek yang juga disebut Tahun Baru Kecil, beliau membawa buku catatan hidup keluarga naik ke langit untuk melaporkan perbuatan baik atau jahat para anggota keluarga rumah tangga dalam periode satu tahun lalu kepada Maha Kaisar Yu-Huang. Baik tidaknya kehidupan keluarga disatu tahun mendatang tergantung pada mulut Dewa Dapur di hadapan Maha Kaisar Yu-Huang. Maka di atas meja sembahyang juga sering terdapat gula-gula, dengan maksud agar Dewa Dapur bermulut manis. Dewa Dapur akan kembali ke bumi pada tanggal 30 bulan 12 Imlek yaitu malam Tahun Baru Imlek. Selesai upcara penjemputan dewa Dapur di malam tahun baru, orang-orang baru siap menyambut musim semi.
Menjelang hari raya Tahun Baru Imlek, masyarakat Tionghoa umumnya menyibukkan diri untuk menyambut datangnya musim semi. Kesibukan mereka beruparupa dari membersihkan lingkungan sampai sibuk membuat bermacam-macam santapan dan masakan. Untuk memperingan pekerjaan, maka dibagi-bagi penugasannya agar tidak simpang-siur. Tugas ini bukanlah suatu hal yang ringan karena mereka harus mempersiapkan 12 macam masakan untuk acara sembahyang kepada leluhur. Menjelang hari raya tahun baru Imlek Masyarakat Tionghoa hampir dipastikan selalu membuat masakan Sansheng , Sansheng berarti tiga jenis binatang. Disebut masakah Sansheng karena masakan ini terdiri dari tiga jenis binatang yaitu seekor ikan, seekor ayam dan sepotong daging babi. Maksud menyajikan ketiga jenis binatang ini untuk mengingatkan manusia bahwa yang hidup di alam dunia ini bukan hanya manusia tetapi masih banyak mahluk hidup lainnya dan kita hidup di darat itu memerlukan udara dam air. Ketiga jenis binatang itu dianalogikan sebagai lambang kehidupan. Misalnya, ayam, hidup di darat dan di udara karena dia memiliki sayap, tetapi tidak dapat terbang. Kemudian ikan hidup di dalam air, dan babi hidup di darat. Masakan Sansheng ini untuk mengingatkan kita agar sebagai manusia tidak meniru sifat yang dilakukan oleh ketiga jenis binatang itu. Misalnya babi, binatang ini sangat malas hanya makan dan tidur sehingga tidak ada gunanya, oleh sebab itu manusia harus rajin kerja tidak dibolehkan meniru sifat dari babi yang hanya tahu makan dan tidur. Sedangkan ayam, binatang ini selalu makan berpindah-pindahan, misalnya ketika ia makan yang di depan matanya belum habis ia sudah berpindah ke tempat lain. Manusia dilarang meniru sifat serakah seperti sifat yang dimiliki binatang ayam. Ikan, karena kulitnya bersisik, binatang ini justru diumpamakan binatang ular, dan pengertiannya dari ikan ini agar manusia tidak dibolehkan berlaku jahat kepada seorang lain, karena ular dianggap binatang yang sangat jahat. Masakah Sansheng merupakan tradisi yang mempunyai makna bagi kehidupan manusia. Masakan Sansheng bagi penganut agama Tao merupakan bagian dari acara ritual namun bagi penganut agama lainnya merupakan tradisi agar perayaan tahun baru Imlek ini terlihat meriah. Sembahyang Tahun Baru Imlek menggunakan masakan Sansheng lazimnya dilakukan antara 1 s/d 7 hari sebelum tahun baru. Masakan Sansheng ini bukan hanya
pada perayaan hari raya tahun baru Imlek melainkan pada acara-acara lain misalnya pada acara sembahyang kematian yang ditujukan kepada leluhur. Cara penyajian dari masakan Sansheng ini cukup sederhana. Pengolahan masakan ini cukup direbus saja tanpa harus memakai bumbu. Lalu ketiganya itu diletakkan di atas meja sembahyang. Bisanya ikan di sebelah kiri, ayam di tengah-tengah dan daging babi di sebelah kanan. Setelah dipersembahkan untuk sembahyang kemudian baru diolah kembali dengan memakai bumbu sesuai selera masing-masing orang. Masakan Sansheng ini sudah ada turun temurun dari nenek moyang, dan sudah merupakan tradisi bagi masyarakat Tionghoa. Walaupun dia bukan beragama Tao kalau dia mau boleh saja membuat masalah Sansheng ini. Ziarah Kubur Hari Ceng Beng telah menjadi hari penting peringatan nenek moyang bagi masyarakat Tionghoa Indonesia. Tidak peduli seberapa jauh, tidak peduli seberapa sibuk bekerja, masyarakat Tionghoa Indonesia semuanya akan membawa seluruh anggota keluarga pergi berziarah. Masyarakat berharap dapat mengikuti adat kebiasaan orang tua dengan penuh rasa hormat, mengenali dan melaksanakan adat nenek moyang, mengingat asal usul, melanjutkan tradisi baik leluhur dan mengajarkan budaya tradisional kepada generasi berikutnya. Menurut penanggalan masehi, hari Ceng Beng diperingati setiap tahun antara tanggal 4 sampai 6 pada bulan April, atau bertepatan dengan waktu munculnya dedaunan berwarna hijau zamrud sebagai penanda dimulainya musim semi yang cerah, juga bertepatan dengan waktu yang baik untuk mulai bertamasya, maka zaman dahulu ada kegiatan tamasya Ceng Beng, serta serangkaian kegiatan olah raga mulai dilaksanakan. Ketika berziarah, kita harus membawa makanan, minuman, buahbuahan, kertas uang, dupa, lilin dan barang-barang lain ke pemakaman. Makanan dipersembahkan di depan makam keluarga, lalu kertas uang dibakar. Kemudian seluruh keluarga berkumpul bersembahyang dan bersujud member hormat. Terakhir, pulang ke rumah setelah makanan dihabiskan. Dilihat dari sejarah, awal mulanya Tradisi Ceng Beng di China diperkirakan dimulai sejak Dinasti Zhou, memiliki sejarah lebih dari 2000 tahun. Perayaan Ceng Beng adalah perayaan yang sangat penting, karena begitu mulai perayaan Ceng Beng, suhu udara meningkat, waktunya yang tepat untuk petani bercocok tanam di musim semi. Pada mulanya, jika
ditelusuri tahun terjadinya, maka cerita atau kisah mengenai Jie Zi Tui yang terjadi sekitar tahun 600-an sebelum Masehi pada zaman Musim Semi Gugur merupakan tahun yang paling awal mengenai Festival Qing Ming (hari Ceng Beng). Seperti agama Buddha, Kong Hu Chu, dan Tao mereka sangat menganggap perayaan Ceng Beng sangatlah penting. Mereka semua menyarankan orang yang masih hidup untuk mencari pahala yang gunanya untuk diberikan kepada orang yang telah meninggal, karena dapat mengurangi penderitaan mereka di akhirat. Tradisi Ceng Beng merupakan tradisi orang keturunan Tionghoa turun-temurun, dimana ada orang keturunan pasti disitulah tradisi Ceng Beng masih dilakukan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada responden Tionghoa generasi ke-3 perayaan Cengbeng masih terus dilakukan. Walaupun berbeda-beda agama yang mempengaruhi beberapa perubahan, tetapi semangat dan rasa hormat tetap masih ada pada diri mereka. Sehingga sampai generasi ke-3 perayaan Ceng Beng masih dilakukan. Hari Ceng Beng telah menjadi hari penting peringatan nenek moyang bagi masyarakat Tionghoa Indonesia. Tidak peduli seberapa jauh, tidak peduli seberapa sibuk bekerja, masyarakat Tionghoa Indonesia semuanya akan membawa seluruh anggota keluarga pergi berziarah. Masyarakat berharap dapat mengikuti adat kebiasaan orang tua dengan penuh rasa hormat, mengenali dan melaksanakan adat nenek moyang, mengingat asal usul, melanjutkan tradisi baik leluhur dan mengajarkan budaya tradisional kepada generasi berikutnya. Menurut penanggalan masehi, hari Ceng Beng diperingati setiap tahun antara tanggal 4 sampai 6 pada bulan April, atau bertepatan dengan waktu munculnya dedaunan berwarna hijau zamrud sebagai penanda dimulainya musim semi yang cerah, juga bertepatan dengan waktu yang baik untuk mulai bertamasya, maka zaman dahulu ada kegiatan tamasya Ceng Beng, serta serangkaian kegiatanolah raga mulai dilaksanakan. Ketika berziarah, kita harus membawa makanan, minuman, buah-buahan, kertas uang, dupa, lilin dan barang-barang lain ke pemakaman. Makanan dipersembahkan di depan makam keluarga, lalu kertas uang dibakar. Kemudian seluruh keluarga berkumpul bersembahyang dan bersujud member hormat. Terakhir, pulang ke rumah setelah makanan dihabiskan.
Dilihat dari sejarah, awal mulanya Tradisi Ceng Beng di China diperkirakan dimulai sejak Dinasti Zhou, memiliki sejarah lebih dari 2000 tahun. Perayaan Ceng Beng adalah perayaan yang sangat penting, karena begitu mulai perayaan Ceng Beng, suhu udara meningkat, waktunya yang tepat untuk petani bercocok tanam di musim semi. Pejabat yang mengikuti Zhong Er dalam pengasingan meninggalkan Zhong Er karena tidak tahan dengan kondisi penderitaan yang dialami mereka. Sehingga hanya sisa beberapa Pejabat Setia saja yang masih mengikuti Zhong Er, salah satu diantara para pejabat yang masih setia mengikuti Zhong Er adalah Jie Zi Tui. Suatu hari, Zhong Er pingsan karena tidak tahan dengan kelaparan, Jie Zi Tui memotong daging kakinya sendiri dan kemudian memanggang daging tersebut untuk dimakan oleh Zhong Er. Sembilan belas tahun kemudian, Zhong Er berhasil pulang ke Negaranya dan naik tahta menjadi Raja yang dikenal dengan Raja Jin Wen Gong. Setelah Jin Wen Gong naik tahta menjadi Raja Negara Jin, beliau langsung memberikan penghargaan kepada mereka yang telah setia mengikutinya pada saat pengasingannya. Tetapi satusatunya yang Raja Jin Wen Gong lupakan adalah Jie Zi Tui, yaitu orang yang telah memberikannya makanan (daging Jie Zi Tui sendiri) saat pingsan. Begitu ada yang mengingatkan Raja Jin Wen Gong mengenai Jie Zi Tui, Raja Jin Wen Gong langsung merasakan saat sedih dan bersalah karena telah 3 melupakan orang yang begitu berjasa kepadanya. Beliau langsung memerintahkan orang untuk mengundang Jie Zi Tui ke Istana untuk memberikan penghargaan. Undangan tersebut selalu ditolak oleh Jie Zi Tui, akhirnya Raja Jin Wen Gong memutuskan untuk mengundangnya sendiri ke Rumah Jie Zi Tui. Tetapi yang didapat adalah rumah yang kosong dan pintunya tertutup rapat. Jie Zi Tui tidak ingin menemui sang Raja dan telah meninggalkan rumah tersebut menuju ke tempat persembunyiannya dalam Gunung Mian. Raja Jin Wen Gong memerintahkan Pengawal Pribadinya untuk melakukan pencarian dalam Gunung Mian, tetapi tidak ditemukan juga. Kemudian ada Pejabat yang mengusulkan untuk membakar Gunung Mian di 3 arah, sisakan 1 arah saja untuk jalan keluar Jie Zi Tui. Usulan tersebut akhirnya disetujui oleh Raja Jin Wen Gong dan memerintahkan pembakaran Gunung Mian. Api tersebut membakar Gunung Mian selama tiga hari tiga malam sampai padam dengan sendirinya, tetapi Jie Zi Tui tidak keluar dari Gunung Mian Juga. Raja dan para pengawalnya pun menuju ke dalam Gunung Mian untuk mencari Jie Zi
Tui, tetapi yang ditemukannya adalah Mayat Jie Zi Tui beserta Ibunya di dekat sebuah Pohon Liu besar. Raja Jin Wen Gong menatap mayat Jie Zi Tui sambil menangis dengan sedih. Di Pohon besar tempat dekat mayat Jie Zi Tui terdapat sebuah lubang yang disumbat oleh sesuatu, rupanya adalah kain yang bertuliskan sebuah puisi. Sang Raja menguburkan Jie Zi Tui dan Ibunya di dekat Pohon Liu dimana tempat mereka meninggal. Untuk mengenang jasa-jasa Jie Zi Tui, Raja Jin Wen Gong kemudian menggantikan nama Gunung Mian menjadi Gunung Jie dan menetapkan hari membakar gunung sebagai hari “Han Shi Jie” serta menghimbau rakyatnya untuk tidak melakukan pembakaran dan menyalakan api serta hanya makan makanan dingin pada hari tersebut. Pada Tahun kedua, Raja Jin Wen Gong beserta Menterinya mengunjungi Gunung Jie untuk melakukan pengenangan terhadap Jie Zi Tui. Pohon yang telah mati terbakar disamping kuburan Jie Zi Tui tersebut hidup kembali dan sangat indah. Sang Raja dan Menterinya kemudian membersihkan kuburan Jie Zi Tui dan menamai Pohon “Liu” tersebut menjadi “Qing Ming Liu serta menggantikan nama hari tersebut menjadi Hari Qing Ming (Ceng Beng). Setelah itu, Raja Jin Wen Gong selalu menyimpan kain yang berisikan puisi Jie Zi Tui di dalam lengan bajunya untuk mengingatkan diri agar selalu bijaksana dalam memerintah negaranya. Dan memang, negara Jin merupakan salah satu negara diantara 5 negara terkuat pada zaman musim Semi Gugur (Chun Qiu). Rakyat Negara Jin selalu mengenang jasa-jasa Jie Zi Tui membuat bentuk seekor burung walet dengan menggunakan tepung kemudian digantung didepan pintu rumah semua untuk memanggil Rohnya Jie Zi Tui dan dinamai dengan “Zi Tui Yen”. Selain itu, Rakyat Negara Jin juga hanya makan makanan yang telah disiapkan pada hari sebelumnya, tidak ada aktifitas masak makanan ataupun menyalakan api pada hari tersebut. Hari Qing Ming menjadi suatu Festival yang sangat besar dan penting semenjak itu. Seperti halnya kajian oleh Zang mei jin, (2013) Universitas Keguruan Harbin dari hasil penelitiannya diketahui dari dulu hingga sekarang Perayaan Ceng Beng merupakan sebuah budaya 4 untuk berbakti kepada orangtua, juga rasa terima kasih kepada leluhur, sebagai kewajiban turuntemurun setiap generasi, juga merupakan sebuah tradisi masyarakat yang tidak dapat dihilangkan.
Dalam keadaan demikian, sejumlah orang Tionghoa telah dibaur dan tidak merasa sebagai Tionghoa lagi. Leo menegaskan bahwa kelompok etnik Tionghoa tidak lenyap dan jumlahnya masih sangat besar di Indonesia. Dengan berubahnya kebijakan pemerintah menjadi lebih akomodatif, kebangkitan identitas diri etnik Tionghoa bukan hal yang tidak mungkin. Tulisan Charles Coppel membahas kesulitan etnik Tionghoa untuk dapat diterima oleh kaum nasionalis Indonesia sebagai bagian dari nasion Indonesia. Penulis menggunakan perspektif sejarah, sejak zaman kolonial hingga sekarang. Menurut Coppel, masyarakat kolonial membeda-bedakan penduduk Indonesia berdasarkan ras/suku bangsa yang mempengaruhi pemikiran nasionalis-nasionalis Indonesia, sehingga mengakibatkan terpisahnya peranakan Tionghoa dari pergerakan nasional Indonesia. Di samping itu, nasionalisme Tionghoa timbul lebih awal dari nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Tionghoa termasuk peranakan, tumbuh terpisah dari dan dikehendaki pemerintah Indonesia „rezim Orde Baru‟ dengan kebijakan asimilasinya. Di satu sisi kecenderungan untuk mempertahankan identitas etniknya terdapat pada sebagian warga etnik Tionghoa; sedangkan di sisi lain, mereka telah merasa menjadi bagian dari masyarakat Indonesia Nasionalisme Indonesia dikonstruksi berdasarkan konsep „kepribumian‟ (indigenism), dan etnik Tionghoa dikategorikan sebagai orang asing atau Vreemde Oosterlingen (Foreign Oriental) yang dianggap bukan merupakan bagian dari nasional Indonesia. Nasion Indonesia didefinisikan sebagai „milik‟ bangsa pribumi, yaitu kelompok yang mempunyai daerah mereka sendiri. Kedudukan orang Tionghoa sebagai „orang asing‟ dibahas oleh Parsudi Suparlan dengan menitikberatkan pentingnya menerapkan konsep kesukubangsaan (atau etnikitas) dalam masyarakat Indonesia. Selanjutnya, konsep pribumi sebagai tuan rumah telah berakar di bumi Indonesia. Etnik Tionghoa dianggap sebagai nonpribumi dan pendatang baru yang tidak bisa diterima sebagai sukubangsa Indonesia sebelum mereka mengasimilasi diri. Menurut Suparlan, pribumi juga mempunyai stereotipe tentang etnik Tionghoa. Mereka memiliki persepsi bahwa etnik Tionghoa merupakan sebuah kelompok etnik yang menduduki tangga ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari pribumi. Implikasinya, konsep masyarakat majemuk yang menekankan pada pentingnya kesukubangsaan, akan selalu menempatkan posisi orang
Cina sebagai orang asing, walaupun orang Cina tersebut berstatus WNI. Secara tidak langsung, ia mengatakan bahwa etnik Tionghoa yang nonpri harus membaur menjadi pribumi kalau ingin diterima sebagai orang Indonesia. Tidak bisa dinafikan bahwa rezim Soeharto memberlakukan kebijakan asimilasi total. Usman Pelly membahas penerapan kebijakan ini dalam sekolah asimilatif di Sumatra Utara selama zaman Orde Baru. Ia melakukan penelitian lapangan di delapan sekolah asimilatif yang didirikan pada masa Orde Baru. Ia membandingkan nilai-nilai pelajar etnik Tionghoa di sekolah-sekolah ini, yang terdiri atas sekolah nasional swasta. Ia menarik kesimpulan bahwa para pelajar etnik Tionghoa lebih membaur dalam sekolah yang dikelola oleh yayasan agama Islam dibandingkan dengan mereka yang berada dalam lingkungan sekolah nasional. KESIMPULAN DAN SARAN Perkembangan Tradisi Masyarakat Tionghoa di Kota Gorontalo berawal dari datanngnya pedagang dari Cina di Kota Gorontalo yang kemudian berbaur dengan masyarakat pribumi Gorontalo yang memiliki cirikhas yang unik, hal ini disebabkan oleh tradisi masyarakat Tionghoa dengan tradisi dan budaya Gorontalo. Hal ini bisa dilihat dengan adanya pernikahan antar penduduk asli Tionghoa dan pendduk asli pribumi yang menghasilkan keturunan yang dapat mengkombinasikan antara tradisi masyarakat Tionghoa dan tradisi budaya Gorontalo. Tradisi masyarakat Tionghoa yang ada di Kota Gorontalo diataranya adalah, CapG Gome, Peringatan Hari besar Waisak, Ziarah Kubur, sembayang Arwah dan tradisi pernikahan serta tradisi makanan sebagai cara ritual. DAFTAR PUSTAKA Dr.M.Munandar Soelaeman, 2006. Ilmu Sosial Dasar:Teori dan Konsep Ilmu Sosial. penerbit:Refika Aditama, Bandung. David Kaplan.1999 Teori Tradisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Geertz, Cilfforg. 1992. Ketradisian Dan Agama. Kanisius: Yogyakarta Koentjaraningrat. (1982). Manusia dan ketradisian di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Moleong, Lexy J. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif.Yogyakarta: Rake Sarasin. Mulyana, Dedy, 2007. Ilmu Komunikasi suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya Shalaby Ahmad, 2001. Perbandingan Agama, Jakarta : PT Bumi Aksara. Warsito, 2001. Pergeseran Sosial Tradisi Masyaraat Samin. Tesis Master Universitas Muhamadiyah Malang. Widagdho Joko, 1999. Ilmu Tradisi Dasar, Jakarta: Bumiaksara