BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hukum Advokat Pada Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Secara Nonlitigasi Dalam Sistem Peraturan PerundangUndangan di Indonesia Sebelum membahas lebih jauh mengenai kedudukan hukum advokat pada penyelesaian sengketa ekonomi syariah secara nonlitigasi, perlu kiranya untuk diuraikan mengenai pengertian kedudukan hukum dan kedudukan advokat dalam sistem penegakan hukum. Sebab pada prinsipnya penyelesaian sengketa ekonomi syariah secara nonlitigasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya penegakan hukum. Hal ini penting untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai konsep kedudukan hukum advokat pada penyelesaian sengeketa ekonomi syariah secara nonlitigasi dalam sistem peraturan perundangundangan di Indonesia. 1. Pengertian Kedudukan Hukum Mengacu pada pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “kedudukan” dirumuskan sebagai: tempat kediaman; tempat pegawai (pengurus perkumpulan) tinggal untuk melakukan pekerjaan, atau jabatannya; letak atau tempat suatu objek; tingkatan atau martabat; keadaan yang sebenarnya; dan/atau status (keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara).153
Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan (online), http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php, (22 Februari 2015). 153
73
Berkenaan dengan hal tersebut, Soerjono Soekanto mendefinisikan “kedudukan” sebagai: “…suatu posisi tertentu dalam struktur kemasyarakatan yang didalamnya berisi hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu tersebut merupakan peran (role). Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya disebut pemegang peranan (role occupant).”154 Sementara itu yang dimaksud dengan “hukum” adalah keseluruhan peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwenang, dan peraturan itu bersifat memaksa serta memiliki sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut. 155 Berdasarkan bentuknya, hukum terbagi menjadi dua, yakni hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis adalah hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan (statute law), sedangkan hukum tidak tertulis adalah hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, namun tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan dan tetap berlaku dan ditaati (unstatutery law), seperti hukum kebiasaan/adat.156 Berdasarkan kedua penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “kedudukan hukum” adalah suatu posisi atau status tertentu
dalam
sistem
peraturan
perundang-undangan
yang
didalamnya
terkandung hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1983), hlm 20. 155 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1986), hlm 39. 156 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, hlm 72. 154
74
2. Kedudukan Advokat Dalam Sistem Penegakan Hukum Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.157 Dengan demikian, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan harus dilaksanakan berdasarkan hukum yang berlaku. Prinsip negara hukum ini menuntut antara lain adanya pembagian kekuasaan, kepastian hukum, peradilan yang bebas dan tidak memaksa, serta jaminan kesederajatan bagi setiap warga negara di hadapan hukum. Sebagai konsekuensi yuridis dari prinsip pembagian kekuasaan tersebut adalah dipisahnya kekuasaan negara menjadi tiga aspek atau yang dikenal juga dengan istilah trias politica, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Secara sederahana dapat dijelaskan bahwa dalam hal ini badan legislatif menjalankan fungsi sebagai pembentuk hukum, sedangkan badan eksekutif menjalankan fungsi pelaksananya, sementara itu badan yudikatif menjalankan fungsi pengawasan atau penegakan hukum. Kekuasaan yudikatif dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikenal dengan istilah kekuasaan kehakiman, yakni suatu kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam hal ini kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, serta badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam
157
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
75
undang-undang.158 Pengaturan lebih lanjut mengenai fungsi kekuasaan kehakiman ini telah diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman itu diantaranya adalah Komisi Yudisial, yaitu suatu badan yang bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung serta wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 159 Sementara itu dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 dijelaskan bahwa yang dimaksud “badanbadan lain” tersebut mencakup kepolisian, kejaksaan, Advokat, dan lembaga pemasyarakatan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa fungsi utama kekuasaan kehakiman adalah dalam rangka penegakan hukum dan keadilan. Penegakan hukum (law enforcment) secara sederhana dirumuskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. 160 Keinginan hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah segala pemikiran dan gagasan yang telah tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan berlaku. Sementara itu Indra Sahnun Lubis mengungkapkan bahwa penegakan hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun prosedur Arbitrase dan APS. Sedangkan dalam pengertian sempit, penegakan hukum tersebut menyangkut kegiatan penindakan atas setiap Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 160 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, (Bandung, Sinar Baru, 1983) hlm 24. 158 159
76
pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya melalui proses peradilan pidana. 161 Dalam konteks penegakan hukum inilah kemudian dikenal adanya empat pilar penegak hukum atau disebut juga dengan istilah catur wangsa, yaitu penyidik (polisi), penuntut (jaksa), pengadil (hakim) dan pembela (advokat).162 Pada penjelasan sebelumnya telah dikemukakan bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009, salah satu diantara “badan-badan lain” yang fungsinya berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman adalah Advokat. Pengaturan mengenai profesi Advokat sendiri telah diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.163 Lebih lanjut, dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 telah ditegaskan bahwa status Advokat adalah sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri, yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Adanya ketentuan ini semakin menegaskan bahwa sebagai penegak hukum, profesi Advokat mempunyai kedudukan yang setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. 164 Berkenaan dengan hal ini, Indra Sahnun Lubis berpendapat bahwa kedudukan Advokat selaku penegak hukum tersebut memerlukan suatu organisasi sebagai wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
Indra Sahnun Lubis, Advokat Sebagai Salah Satu Bagian dari Pelaksana Fungsi Kehakiman, makalah disampaikan dalam Dialog Nasional Tentang Hukum dan Eksistensi serta Kompetensi Lembaga Negara di Bidang Penegakan Hukum dalam Sistem UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, BPHN berkerjasama dengan Forum Konstitusi, Jakarta, 3 Desember 2009, hlm 2. 162 Ari Yusuf Amir, Strategi Bisnis Jasa Advokat, (Yogyakarta, Navila Idea, 2008), hlm 18. 163 Terhadap UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat sebenarnya telah diajukan RUU Advokat yang baru, namun karena banyaknya kontroversi pro dan kontra serta berbagai alasan lainnya, akhirnya RUU Advokat yang baru tersebut batal disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 24 September 2014 yang lalu. Lihat: Fiddy Anggriawan, 25 September 2014, Kisruh RUU Advokat Batal Disahkan (online), http://nasional.sindonews.com/read/905097/12/kisruh-ruu-Advokat-batal-disahkan-1411629571, diakses pada 16 Januari 2015. 164 Penjelasan atas Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. 161
77
UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Dengan demikian, maka organisasi Advokat itu pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas, yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara. 165 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003, Advokat merupakan salah satu instrumen pelaksana kekuasaan kehakiman yang memiliki kedudukan sebgai penegak hukum yang setara dengan aparat penegak hukum lainnya dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Profesi Advokat senantiasa dibutuhkan dalam setiap proses hukum, baik dalam perkara pidana, perdata maupun tata usaha negara, baik yang diselesaikan secara litigasi melalui prosedur di Pengadilan ataupun secara nonlitigasi melalui prosedur arbitrse dan alternatif penyelesaian sengketa. Dengan demikian, jelaslah bahwa profesi Advokat memiliki kedudukan dan peran yang penting dalam penegakan hukum. 3. Kedudukan Advokat Pada Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Secara Nonlitigasi Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa salah satu implikasi dari prinsip negara hukum yang dijalankan di Indonesia mengharuskan adanya pembagian kekuasaan negara yang salah satunya adalah Kekuasaan Kehakiman, yang menjalankan fungsi negara dalam penegakan hukum dan keadilan. Penegakan hukum sendiri mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum, serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran
165
Lubis, Advokat Sebagai Salah Satu Bagian dari Pelaksana Fungsi Kehakiman, hlm 4.
78
atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik secara litigasi melalui prosedur di Pengadilan ataupun secara nonlitigasi di luar Pengadilan. Dalam rangka melaksanakan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai penegak hukum menjadi begitu signifikan. Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk upaya memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka didalam hukum. Keberadaan UU Nomor 18 Tahun 2003 juga semakin mempertegas peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang memberikan jasa hukum bagi masyarakat pencari keadilan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Pada proses penyelesaian sengketa perdata secara litigasi, kedudukan advokat sebagai kuasa dimuka hakim diatur dalam ketentuan HIR/Rbg yang merupakan acuan bagi pelaksanaan hukum acara perdata di Pengadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 123 HIR/Pasal 147 Rbg, kedudukan advokat sebagai kuasa dalam proses litigasi perkara perdata adalah: a. Pemberi kuasa berkedudukan sebagai pihak materiil (prinsipal), sedangkan penerima kuasa sebagai pihak formil; b. Kuasa hukum dianggap mewakili sepenuhnya bila pihak materiil tidak hadir dalam persidangan, sebagaimana dicantumkan dalam surat kuasa khusus; c. Kuasa dapat dianggap mendampingi pihak materiil apabila sama-sama hadir di persidangan;
79
d. Hakim berkuasa untuk bertanya langsung kepada pihak materiil tanpa melalui kuasa hukum; e. Jika pihak materiil hadir tanpa penasehat hukumnya, maka secara hukum ia hadir dalam sidang; f. Jika pihak maeriil berbeda pendapat dengan pihak formil maka yang harus diambil adalah pendapat pihak materiil, karena pada dasarnya pihak materiil tersebut yang berkepentingan; g. Pihak materiil dapat mengesampingkan pihak formil, namun tidak bisa sebaliknya; Selain dalam proses litigasi di Pengadilan, dewasa ini kebutuhan akan jasa profesional Advokat pada proses nonlitigasi di luar Pengadilan juga semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat dalam menghadapi dunia bisnis yang kini telah memasuki era pasar bebas dan kompetisi terbuka. Terlebih lagi dengan semakin pesatnya perkembangan ekonomi syariah dalam tiga dasawarsa terakhir, juga turut berdampak pada semakin meningkatnya potensi timbulnya sengketa atau masalah hukum diantara pelaku usaha ekonomi syariah tersebut. Berkenaan dengan hal ini, pada umumnya para pihak yang bersengketa menggunakan jasa profesional Advokat untuk membantu penyelesaian permasalahan hukum yang sedang mereka hadapi. Sebagaimana
halnya
penyelesaian
perkara
perdata
secara
umum,
penyelesaian sengeketa ekonomi syariah dapat diselesaikan melalui prosedur litigasi dan nonlitigasi. Pada pembahasan sebelumnya telah dipaparkan bahwa terdapat tiga bentuk penyelesaian sengketa ekonomi syariah, yakni penyelesaian
80
sengketa melalui perdamaian (shulhu), penyelesaian melalui Arbitrase syariah (tahkim), dan penyelesaian melalui lembaga Peradilan Agama (qadha). Dalam konteks ini, penyelesaian sengeketa ekonomi syariah melalui perdamaian dan Arbitrase syariah dapat dikategorikan sebagai bentuk penyelesaian sengketa nonlitigasi yang pengaturannya mengacu pada ketentuan dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Disinilah letak peran penting seorang Advokat dalam mengarahkan proses penyelesaian sengketa tersebut, apakah akan diselesaikan secara litigasi melalui prosedur di peradilan, atau secara nonlitigasi. Berkenaan dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah secara nonlitigasi, terdapat ketentuan bahwa dalam perkara-perkara perdata seorang Advokat harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a Kode Etik Advokat Indonesia. Lebih lanjut mengenai hal ini, Humphrey R. Djemat berpendapat bahwa, “Tantangan yang dihadapi Advokat dewasa ini adalah meningkatkan partisipasinya dalam rangka mempromosikan ADR sebagai salah satu bentuk pilihan penyelesaian sengketa dan memberikan pelayanan dengan standar tinggi di bidangnya. Disamping itu, seorang Advokat juga mempunyai fungsi untuk berusaha mendekatkan perbedaan yang ada diantara para pihak yang bertikai, dan seyogyanya seorang Advokat melihat hal itu sebagai tugas mereka untuk mecari penyelesaian awal suatu sengketa di luar sistem Pengadilan dengan fokus mencapai hasil yang terbaik bagi klien mereka.”166 Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa sebagai pemberi jasa hukum yang bertindak untuk kepentingan hukum kliennya, Advokat memiliki kewajiban moral untuk mengarahkan penyelesaian sengketa melalui prosedur nonlitigasi di luar Pengadilan. Peran Advokat dalam penyelesaian sengketa Humphrey R. Djemat, Advokat dan Peranannya dalam Menyelesaikan Sengketa Melalui ADR, Indonesia Arbitration Quarterly Newsletter, Number 7/2009, Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Jakarta, 2009, hlm 5. 166
81
nonlitigasi sangat penting mengingat keahlian dan pengetahuan mereka berkenaan dengan
aspek-aspek
hukum
keperdataan dan perikatan serta
prosedur
penyelesaian sengketa di luar peradilan. Untuk kepentingan penyelesaian sengketa yang cepat, efektif dan efisien, umumnya para pihak yang bersengketa cenderung lebih memilih untuk menempuh prosedur nonlitigasi. Dalam hal ini, terdapat dua bentuk penyelesaian sengketa nonlitigasi yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999, yaitu Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). a. Kedudukan Advokat Pada Penyelesaian Sengketa Melalui APS Penyelesaian sengketa melalui APS, baik dalam bentuk konsultasi, negosiasi, mediasi, maupun konsiliasi, pada dasarnya sesuai dengan konsep penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui cara perdamaian (shulhu), yang dalam proses penyelesaiannya lebih mengedepankan prinsip-prinsip musyawarah. Musyawarah sendiri didefinisikan sebagai tindakan dalam bentuk perundingan secara damai antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan dan mendapatkan penyelesaian atas sengketa yang dihadapi. 167 Pengaturan mengenai proses penyelesaian sengketa melalui shulhu ini diatur secara khusus dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Bab XVIII tentang Shulhu, yang diberlakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008. Merujuk pada Pasal 523 ayat (1) KHES, terdapat ketentuan bahwa shulhu dapat dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa atau orang yang dikuasakan untuk hal itu sepanjang disebutkan dalam surat kuasa. Lebih lanjut
167
Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, hlm 137.
82
dalam Pasal 524 ayat (1) KHES ditegaskan bahwa seseorang yang menunjuk pihak lain sebagai penerima kuasanya untuk melakukan shulhu atas suatu sengketa, maka pemberi kuasa terikat dengan shulhu tersebut. Perihal pemberian kuasa ini telah diatur secara khusus dalam KHES Bab XVII tentang Wakalah. Berdasarkan ketentuan Pasal 459 KHES, seseorang atau suatu badan usaha berhak menunjuk pihak lain sebagai penerima kuasanya untuk melaksanakan suatu tindakan yang dapat dilakukannya sendiri, memenuhi suatu kewajiban, dan/atau untuk mendapatkan suatu hak dalam kaitannya dengan suatu transaksi yang menjadi hak dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini, pihak yang memberi kuasa disebut muwakkil, sedangkan pihak yang menerima kuasa disebut wakil.168 Lebih lanjut dalam Pasal 458 ayat (1) KHES disebutkan bahwa syarat seorang penerima kuasa diantaranya adalah harus sehat akal pikiran, memiliki pemahaman terhadap hal yang dikuasakan kepadanya, dan memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Sementara itu dalam Pasal 2 ayat (1) KHES ditentukan bahwa seseorang dipandang memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum apabila telah berusia 18 tahun dan/atau telah menikah. Ketentuan mengenai wakil dalam sebagaimana telah dijelaskan di atas pada prinsipnya sesuai dengan ruang lingkup tugas advokat sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Nomor 18 Tahun 2003. Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka (2) UU Nomor 18 Tahun 2003, diantara bentuk-bentuk jasa hukum yang diberikan Advokat dapat berupa menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi dan melakukan tindakan hukum lainnya untuk kepentingan klien. Begitu pula halnya syarat-syarat wakil yang diatur dalam Pasal 458 ayat (1) KHES sejalan dengan
Pasal 452 ayat (1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah jo. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008. 168
83
syarat-syarat advokat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003, yang diantaranya adalah harus berusia minimal 25 tahun, berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum, telah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat dan lulus ujian yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat, dan magang sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut pada kantor Advokat. Berdasarkan ketentuan tesebut, batas usia minimal 25 tahun untuk dapat diangkat menjadi Advokat tentu sudah memenuhi syarat kecakapan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) KHES. Sementara itu keharusan untuk memiliki ijazah sarjana pendidikan tinggi hukum, mengikuti pendidikan khusus profesi advokat, lulus ujian profesi, dan kewajiban untuk magang sekurang-kurangnya 2 tahun bagi seorang Advokat dapat dianggap telah memenuhi standar keilmuan di bidang hukum, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 458 ayat (1) KHES. Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa ketentuan mengenai wakil dalam KHES adalah sesuai dengan ketentuan mengenai advokat dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Sehingga penulis berkesimpulan bahwa pada penyelesaian sengketa ekonomi syariah secara nonlitigasi Advokat berkedudukan sebagai wakil yang memberikan jasa hukum untuk menjalankan kuasa, mewakili atau melakukan tindakan hukum lainnya demi kepentingan hukum klien yang memberikan kuasa kepadanya. Mengacu pada kedudukan advokat tersebut di atas, maka dapat dilihat peran advokat pada masing-masing bentuk penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui APS yang dipaparkan berikut ini.
84
1) Penyelesaian Sengketa Melalui Konsultasi Konsultasi sebagai salah satu bentuk APS merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut klien, dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhannya. 169 Berkenaan dengan hal ini, UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak memuat pengaturan yang jelas mengenai konsep kosultasi itu sendiri maupun syarat dan kriteria dari konsultan yang dimaksud. Namun demikian, apabila dikaitkan dengan kedudukan advokat pada penyelesaian sengketa nonlitigasi, konsep mengenai konsultasi tersebut di atas pada prinsipnya sejalan dengan ruang lingkup tugas profesi Advokat sebagaimana diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2003. Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka (2) UU Nomor 18 Tahun 2003, tugas Advokat adalah memberikan jasa hukum yang salah diantaranya adalah memberikan konsultasi hukum. Lebih lanjut dalam ketentuan peralihan Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 dinyatakan bahwa penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat UU Advokat mulai berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam UU Advokat. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa advokat dapat berperan sebagai konsultan pada proses penyelesaian sengketa melalui konsultasi, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka (2) dan Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003. Proses konsultasi pada penyelesaian sengketa nonlitigasi sangat diperlukan dalam rangka mendudukkan persoalan yang dihadapi, dimana pada
169
Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, hlm 7.
85
tahap ini Advokat selaku konsultan hukum memberikan layanan informasi hukum (legal information) kepada kliennya yang diharapkan dapat memberikan pencerahan dan pemahaman atas masalah yang dihadapi dan mengetahui cara penyelesaian yang terbaik. 170 Pada proses konsultasi ini, advokat berperan penting dalam menentukan bentuk penyelesaian mana yang paling tepat untuk sengketa yang sedang dihadapi. Berkenaan dengan hal ini, Humphrey R. Djemat mengungkapkan bahwa advokat bertugas untuk menjelaskan pilihan hukum yang dapat ditempuh oleh klien untuk mempertahankan haknya, baik melalui jalur litigasi maupun melalui jalur nonlitigasi melalui Arbitrase atau APS. Disamping itu, klien juga perlu diberi informasi mengenai waktu dan biaya yang diperlukan bila memilih salah satu bentuk penyelesaian tersebut. Seorang konsultan harus memastikan bahwa kliennya
telah
mempertimbangkan
secara
cermat
mengenai
apa
yang
sesungguhnya ingin dicapai dalam sengketa itu, akibat jangka pendek maupun jangka panjang dari dari proses hukum tersebut dalam kaitannya dengan bisnis mereka, termasuk hubungan baik diantara para pihak yang telah terbina sebelumnya.171 2) Penyelesaian Melalui Negosiasi Negosiasi didefinisikan sebagai suatu proses tawar-menawar sebagai upaya untuk mencapai suatu kesepakatan diantara para pihak melalui proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar atas sengketa atau masalah yang sedang dihadapi, yang dilaksanakan secara mandiri oleh para pihak tanpa keterlibatan pihak ketiga 170 171
Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, hlm 47. Humphrey R. Djemat, Advokat dan Peranannya dalam Menyelesaikan Sengketa Melalui ADR, hlm 6.
86
sebagai penengah.172 Sebagaimana halnya dengan konsultasi, UU Nomor 30 Tahun 1999 juga tidak memuat pengaturan lebih lanjut mengenai konsep negosiasi maupun syarat-syarat dan kriteria seorang negosiator. Namun jika merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka (2) UU Nomor 18 Tahun 2003, tugas Advokat adalah memberikan jasa hukum yang termasuk diantaranya menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan kliennya. Lebih lanjut dalam Pasal 459 KHES juga ditegaskan bahwa seseorang atau badan hukum berhak menunjuk pihak lain sebagai penerima kuasanya untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang merupakan hak dan/atau kewajibannya. Berdasarkan ketentuan ini, dapat dipahami bahwa pada penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui negosiasi Advokat dapat berperan sebagai negosiator apabila diberi kuasa oleh kliennya untuk mewakili dan membela kepentingan klien tersebut dalam proses negosiasi. Dengan demikian, seorang Advokat dituntut untuk memiliki kemampuan bernegosiasi yang kuat, dimana dalam proses perundingan nantinya seorang Advokat diharapkan dapat memberikan argumentasi yang jelas, sistematis dan berdasar, sehingga mampu menjembatani kepentingan klien yang diwakilinya dengan pihak lain yang bersengketa tersebut. Secara lebih rinci, peran advokat pada proses negosiasi dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yakni tahap sebelum negosiasi (pre-negosiasi), ketika negosiasi berlangsung, dan terakhir adalah tahap setelah negosiasi (post-negosiasi). Pada tahap pre-negosiasi, seorang advokat dapat berperan dalam proses inisiasi untuk menjajaki kemungkinan para pihak membuka dialog untuk merundingkan
172
Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, hlm 24.
87
bersama mencari penyelesaian masalah yang saling menguntungkan, menyusun aturan negosiasi, merencanakan agenda pelaksanaan negosiasi, dan menyiapkan data-data serta dokumen yang diperlukan untuk memperlancar proses negosiasi. Sementara itu pada tahap pelaksanaan negosiasi, advokat dapat berperan dalam menyiapkan draf perjanjian yang memuat opsi-opsi terkait substansi kepentingan dengan kriteria objektif yang diharapkan dapat diterima oleh kedua belah pihak, bertindak sebagai negosiator yang mewakili kliennya, memastikan agar negosiasi berjalan sesuai dengan aturan yang telah disepakati, serta membuat dokumen kesepakatan negosiasi. Sedangkan pada tahap post-negosiasi, advokat berperan dalam mendaftarkan dokumen hasil kesepakatan negosiasi ke Pengadilan Negeri dan memastika bahwa hasil kesepakatan tersebut diimplementasikan dengan baik oleh para pihak. 3) Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 1999, para pihak yang bersengketa atas dasar kesepakatan tertulis dapat menyelesaikan sengketa atau beda pendapat melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun seorang mediator. Namun demikian, UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak mengatur secara eksplisit mengenai konsep mediasi ataupun syarat-syarat dan kriteria seorang mediator. Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dijelaskan bahwa mediasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan diantara para pihak dengan dibantu oleh mediator.173 Mediator dalam hal ini adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam Pasal 1 angka (7) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. 173
88
proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. 174 Merujuk pada ketentuan Pasal 8 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2008, para pihak yang bersengketa dapat memilih mediator diantara beberapa pilihan yang telah ditentukan, yaitu: hakim bukan pemeriksa perkara pada Pengadilan yang bersangkutan, Advokat atau akademisi hukum, profesi bukan hukum yang dianggap menguasi pokok sengketa, dan hakim majelis pemeriksa perkara. Lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 terdapat ketentuan bahwa pada dasarnya setiap orang yang menjalankan fungsi mediator wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga yang telah terakreditasi oleh Mahkamah Agung. Pengaturan mengenai mediator yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah nonlitigasi juga terdapat dalam ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam Pasal 1 angka (12) UU Nomor 2 Tahun 2004 dijelaskan bahwa, “Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut sebagai mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam suatu perusahaan.” Berdasarkan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa mediaor hubungan industrial haruslah pegawai instansi pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. Sementara itu dalam Pasal 9 UU Nomor 2 Tahun 2004 diatur mengenai syaratsyarat bagi mediator hubungan industrial, yaitu: beriman dan bertakwa kepada Pasal 1 angka (6) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. 174
89
Tuhan YME; warga negara Indonesia, sehat jasmani, menguasai peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan baik, serta berpendidikan minimal Strata Satu (S1). Selain itu, ketentuan mengenai mediator juga diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Dalam Pasal 5 ayat (1) PBI Nomor 8/5/PBI/2006 terdapat ketentuan bahwa Bank Indonesia menunjuk mediator untuk melaksanakan mediasi perbankan. Adapun syarat-syarat mediator perbankan diatur dalam Pasal 5 ayat (2) PBI Nomor 8/5/PBI/2006, yaitu: memiliki pengetahuan di bidang perbankan, keuangan dan/atau hukum, tidak mempunyia kepentingan finansial atau kepentingan lainnya atas penyelesaian sengketa perbankan yang ditanganinya, dan tidak memiliki hubungan sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan pihak nasabah atau yang mewakilinya dan pihak bank. Dari uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa disamping menjadi wakil yang menjalankan kuasa untuk kliennya, juga terbuka kemungkinan bagi advokat untuk berperan sebagai mediator. Meskipun UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak mengatur secara eksplisit mengenai mediator, namun berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2008, Advokat dapat berperan sebagai mediator apabila memiliki sertifikat mediator yang telah terakreditasi oleh Mahkamah Agung. Demikian pula halnya dalam proses mediasi perbankan, Advokat dapat berperan sebagai mediator apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dan telah ditunjuk oleh Bank Indonesia, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 PBI Nomor 8/5/PBI/2006.
90
Sementara itu dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, Advokat tidak dapat menjadi mediator karena peran tersebut hanya dikhususkan bagi pegawai instansi pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka (12) UU Nomor 2 Tahun 2004. Disamping itu, hal tersebut juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf c UU Nomor 18 Tahun 2003 yang menetapkan bahwa salah satu syarat Advokat adalah tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Dengan demikan, Advokat jelas tidak dimungkinkan untuk menjadi mediator dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial. Sebagai wakil yang diberikan kuasa oleh kliennya, ada beberapa peran yang dapat dilakukan oleh seorang advokat pada proses mediasi, antara lain: mempersiapkan klien yang telah setuju untuk mediasi dengan memberikan informasi tentang prosedur dan berbagai potensi yang dapat digunakan dalam proses mediasi; membuat konsep awal bagi klien untuk dipresentasikan atau memberikan saran kepada klien tentang hal-hal yang perlu disampaikan dalam proses perundingan; berpartisipasi selama sesi mediasi, baik sebagai peserta maupun sebagai pemberi saran; mengatur jadwal pertukaran dokumen; menyiapkan syarat-syarat penyelesaian atau akta perdamaian sesuai dengan hasil kesepakatan para pihak; dan mengawal proses yang sedang berlangsung agar standar mediasi benar-benar dilaksanakan oleh mediator.175
175
Humphrey R. Djemat, Advokat dan Peranannya dalam Menyelesaikan Sengketa Melalui ADR, hlm 8.
91
4) Penyelesaian Sengketa Melalui Konsiliasi Konsiliasi sebagai salah bentuk APS merupakan upaya penyelesaian sengketa dengan cara melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral yang memiliki kewenangan untuk memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian kepada para pihak. 176 Sebagaimana halnya dengan konsultasi, negosiasi dan mediasi, UU Nomor 30 Tahun 1999 juga tidak mengatur secara eksplisit mengenai konsep konsiliasi maupun syarat-syarat dan kriteria seorang konsiliator. Namun demikian, konsep mengenai konsiliasi terdapat dalam ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam Pasal 1 angka (13) UU Nomor 2 Tahun 2004 dijelaskan bahwa, “Konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.” Lebih lanjut dalam Pasal 1 angka (14) UU Nomor 2 Tahun 2004 dijelaskan definisi konsiliator ssebagai berikut: “Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator dan ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.” Sementara itu berdasarkan Pasal 17 UU Nomor 2 Tahun 2004 terdapat ketentuan bahwa konsiliator yang menangani penyelesaian perselisihan industrial melalui konsiliasi harus terdaftar pada kantor instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Sedangkan syarat-syarat untuk dapat menjadi konsiliator diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2004, 176
Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan, hlm 48.
92
yaitu: beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berkewarganegaraan Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 45 tahun, berpendidikan minimal S1, sehat jasmani, berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik, berpengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 tahun, dan menguasai peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan. Berikutnya dalam Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2004 dijelaskan bahwa konsiliator yang telah terdaftar tersebut diberi legitimasi oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, penulis berkesimpulan bahwa pada penyelesaian sengketa melalui proses konsiliasi, disamping menjalankan peran sebagai wakil bagi kliennya, juga terdapat kemungkinan bagi Advokat untuk dapat menjalankan peran sebagai konsiliator selama memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator dan mendaftarkan diri atau terdaftar di kantor Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota, serta mendapat legitimasi dari Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaaan, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 17 dan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2004. Sementara itu, sebagai wakil yang diberikan kuasa oleh kliennya, peran yang dapat dilakukan oleh seorang advokat pada proses konsiliasi pada prinsipnya sama dengan peran advokat pada proses mediasi, karena prosedur konsiliasi pada prinsipnya sama dengan prosedur mediasi.
93
b. Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Selain melalui mekanisme APS sebagaimana telah dipaparkan pada pembahasan di atas, penyelesaian sengketa ekonomi syariah secara nonlitigasi juga dapat dilakukan melalui Arbitrase. Ketentuan Pasal 1 angka (1) UU Nomor 30 Tahun 1999 menjelaskan bahwa Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase dalam literatur sejarah hukum Islam lebih identik dengan istilah tahkim yang didefinisikan sebagai pengangkatan seorang atau lebih sebagai hakam (wasit atau juru damai) oleh para pihak yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai. 177 Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Arbitrase termasuk kategori penyelesaian sengketa secara adjudikatif, yaitu penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga yang berwenang untuk mengambil keputusan, yang mana hal ini pada prinsipnya hampir sama dengan proses litigasi di Pengadilan. Namun berbeda dengan institusi pengadilan dimana majelis hakim sebagai pihak ketiga bersifat involuntary atau telah ditunjuk, arbiter sebagai pihak ketiga pada arbitrase bersifat voluntary atau dapat dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa. Dengan demikian, kedudukan advokat pada penyelesaian sengketa melalui arbitrase pada prinsipnya adalah sama dengan kedudukan advokat pada proses litigasi di pengadilan, yakni sebagai pihak formil yang menerima kuasa untuk mewakili atau mendampingi klien selaku pihak materiil dalam proses beracara di
177
Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, hlm 98.
94
lembaga arbitrase, sebagaimana ketentuan Pasal 123 HIR dan Pasal 147 Rbg. Oleh sebab itu, penulis berkesimpulan bahwa kedudukan advokat pada penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui arbitrase adalah sama dengan kedudukan advokat pada penyelesaian sengketa melalui APS, yakni sebagai wakil yang memberikan jasa hukum untuk menjalankan kuasa, mewakili atau melakukan tindakan hukum lainnya demi kepentingan hukum klien yang memberikan kuasa kepadanya. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui arbitrase di Indonesia dilaksanakan oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang pengaturan dan pelaksanaannya mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengeketa. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh Lembaga Arbitrase untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang penyelesaiannya diserahkan melalui Arbitrase, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka (7) UU Nomor 30 Tahun 1999. Untuk dapat menjadi seorang arbiter, setidak-tidaknya harus memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999 sebagai berikut: 1) Cakap melakukan tindakan hukum; 2) Berumur sekurang-kurangnya 35 tahun; 3) Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;
95
4) Tidak memiliki kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan Arbitrase; 5) Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999 juga terdapat beberapa profesi tertentu yang secara tegas tidak diperbolehkan untuk menjadi arbiter, yaitu hakim, jaksa, panitera, dan pejabat peradilan lainnya. Tidak diperbolehkannya para pejabat tersebut di atas untuk menjadi arbiter dimaksudkan untuk menjamin objektifitas arbiter dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau Majelis Arbitrase.178 Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, profesi Advokat tidak termasuk diantara profesi yang dilarang untuk menjadi arbiter. Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa pada proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui Arbitrase, disamping berkedudukan sebagai wakil bagi kliennya, juga terbuka kemungkinan bagi Advokat untuk dapat berperan sebagai arbiter selama memenuhi syarat-syarat arbiter sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999 dan telah dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh Lembaga Arbitrase sebagai seorang arbiter.
Penjelasan atas Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 178
96
B. Implikasi Kedudukan Hukum Advokat Pada Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Secara Nonlitigasi dalam Sistem Peraturan PerundangUndangan di Indonesia Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, implikasi berarti keterlibatan atau keadaan terlibat; yang termasuk atau tersimpul; yang tidak dinyatakan; atau yang mempunyai hubungan keterlibatan.179 Sedangkan kata dampak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: pengaruh kuat yang mendatangkan akibat (baik positif maupun negatif). Kata akibat sendiri mempunyai arti sesuatu yang menjadi kesudahan atau hasil suatu peristiwa, persyaratan atau keadaan yang mendahuluinya. Sementara itu kata konsekuensi berarti akibat dari suatu perbuatan atau persesuaian dengan yang dahulu. 180 Pada konteks penelitian ini digunakan istilah implikasi hukum daripada istilah dampak hukum atau akibat hukum karena kata implikasi hukum mengandung maksud dampak atau akibat hukum secara tidak langsung (implisit). Disamping itu, dalam istilah implikasi hukum juga terkandung maksud tanggung jawab hukum untuk melakukan perubahan hukum secara terus menerus, karena hukum itu sendiri terus berkembang sesuai tuntutan reformasi zamannya. Hal ini sejalan dengan salah satu fungsi hukum, yaitu hukum sebagai sarana perubahan sosial (law is a tool of social engineering).181
Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1991), hlm 374. 180 Ibid, hlm 207, 17, dan 519. 181 Jazim Hamidi, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung, Unpad, 2005), hlm 203-204. 179
97
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, kebutuhan akan jasa profesional Advokat pada proses nonlitigasi di luar Pengadilan semakin meningkat seiring dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat dalam menghadapi dunia bisnis yang kini telah memasuki era pasar bebas dan kompetisi terbuka. Disamping memiliki kewajiban moral untuk mengarahkan penyelesaian sengketa melalui prosedur nonlitigasi, peran Advokat dalam penyelesaian sengketa nonlitigasi menjadi penting mengingat keahlian dan pengetahuan mereka berkenaan dengan aspek-aspek hukum keperdataan dan perikatan serta prosedur penyelesaian sengketa di luar peradilan. Mengacu pada ketentuan Pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 1999, para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketanya secara mandiri melalui Arbitrase maupun melalui APS dengan konsultasi, negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Namun berbeda halnya dengan Arbitrase, UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak memuat pengaturan yang jelas mengenai konsep APS maupun syarat-syarat, kirteria serta mekanisme pengangkatan konsultan,
negosiator, mediator,
konsiliator. Sementara itu, UU Nomor 18 Tahun 2003 dengan tegas telah menyatakan bahwa Advokat berstatus sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri, yang bertugas untuk memberikan jasa hukum baik berupa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendapingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lainnya untuk kepentingan hukum kliennya. Pada pembahasan sebelumnya juga telah dikemukakan bahwa pada proses penyelesaian sengketa melalui konsultasi, UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak memberikan rumusan apapun mengenai syarat-syarat ataupun kriteria pihak yang dapat bertindak sebagai konsultan. Sementara itu, tugas seorang Advokat
98
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (2) UU Nomor 18 Tahun 2003 adalah memberikan jasa hukum yang salah satunya bentuknya adalah berupa konsultasi hukum. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Advokat dapat bertindak sebagai konsultan dalam proses penyelesaian sengketa melalui konsultasi. Begitu juga halnya dalam proses penyelesaian melalui negosiasi, tidak ada syarat-syarat ataupun kriteria khusus mengenai negosiator dalam UU Nomor 30 Tahun 1999. Maka dari itu, dalam proses negosiasi seorang Advokat dapat berperan sebagai negosiator apabila diberi kuasa oleh kliennya untuk mewakili dan membela kepentingan klien tersebut. Sebagaimana halnya dengan konsultasi dan negosiasi, UU Nomor 30 Tahun 1999 juga tidak mengatur secara rinci mengenai syarat dan kriteria seorang mediator. Meskipun dalam Pasal 9 UU Nomor 2 Tahun 2004 dimuat syarat-syarat bagi mediator, namun ketentuan ini merupakan lex specialis yang hanya berlaku pada penyelesaian sengketa hubungan industrial. Bahkan dalam Pasal 1 angka (13) UU Nomor 2 Tahun 2004 dengan jelas disebutkan bahwa mediator hubungan industrial adalah pegawai instansi pemerintahan yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. Sementara itu ketentuan dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 hanya mensyaratkan bahwa seorang mediator harus memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah terakreditasi oleh Mahkamah Agung. Lebih lanjut dalam Pasal 8 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ditentukan bahwa Advokat merupakan salah satu profesi yang dapat dipilih menjadi mediator apabila memiliki sertifikat mediator.
99
Tidak jauh berbeda dengan mediasi, UU Nomor 30 Tahun 1999 juga tidak memberikan rumusan apapun mengenai konsiliator pada proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi. Ketentuan mengenai syarat dan kriteria konsiliator ditemukan dalam Pasal 19 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2004 yang salah satunya adalah harus memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial minimal selama 5 tahun. Adapun yang dimaksud dengan “pengalaman di bidang hubungan industrial” tersebut diantaranya adalah pengalaman sebagai kuasa hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan konsultan hukum di bidang hubungan industrial. 182 Ketentuan dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 juga tidak mengatur bahwa konsiliator hubungan industrial harus pegawai instansi pemerintahan bidang ketenagakerjaan, melainkan hanya harus terdaftar dan mendapatkan legitimasi dari Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2004. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa pada penyelesaian sengketa melalui konsiliasi, Advokat dapat berperan sebagai konsiliator apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Sementara itu dalam penyelesaian sengketa melalui Arbitrase, terdapat ketentuan bahwa para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus, sebagaimna dinyatakan dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999. Mengenai siapa yang dapat mewakili para pihak tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut dalam UU Nomor 30 Tahun 1999. Dengan
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-10/MEN/V/2005 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Konsiliator serta Tata Kerja Konsiliasi. 182
100
demikian, dapat diartikan bahwa Advokat dapat mewakili para pihak untuk beracara di Lembaga Arbitrase, sesuai dengan ruang lingkup jasa hukum yang diberikan Advokat sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1 angka (2) UU Nomor 18 Tahun 2003. Disamping itu, UU Nomor 30 Tahun 1999 juga telah menetapkan syaratsyarat khusus bagi seorang arbiter, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999. Bahkan ditegaskan beberapa profesi tertentu yang tidak diperbolehkan untuk menjadi arbiter, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999, yaitu hakim, jaksa, panitera, dan pejabat peradilan lainnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, Advokat dapat berperan menjadi seorang arbiter pada proses penyelesaian sengketa melalui Arbitrase sepanjang memenuhi syarat-syarat dan kriteria sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999, serta telah dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau ditunjuk oleh Pengadilan negeri atau oleh badan Arbitrase sebagai seorang arbiter. Penyelesaian sengketa melalui mekanisme APS tersebut di atas dapat dikategorikan sebagai penyelesaian dengan cara-cara perdamaian di luar Pengadilan yang dalam konsep ekonomi syariah dikenal dengan istilah shulhu. Berdasarkan ketentuan Pasal 523 ayat (1) KHES, shulhu dapat dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa atau orang yang dikuasakan untuk hal itu sepanjang disebutkan dalam surat kuasa. Lebih lanjut, dalam Pasal 459 KHES ditentukan bahwa seseorang atau badan usaha berhak menunjukk pihak lain sebagai penerima kuasanya untuk melaksanakan suatu tindakan yang dapat dilakukannya sendiri, memenuhi suatu kewajiban, dan/atau untuk mendapatkan
101
suatu hak dalam kaitannya dengan suatu transaksi yang menjadi hak dan tanggungjawabnya. Dalam hal ini, pihak yang memberi kuasa disebut muwakkil, sedangkan pihak yang menerima kuasa disebut wakil.183 Sementara itu dalam Pasal 458 ayat (1) KHES disebutkan bahwa syarat seorang penerima kuasa diantaranya adalah harus sehat akal pikiran, memiliki pemahaman terhadap hal yang dikuasakan kepadanya, dan memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian, dalam konteks penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang dilakukan melalui prosedur shulhu, Advokat berkedudukan sebagai wakil dari para pihak yang bersengketa. Dalam hal ini seorang Advokat sebagai pemberi jasa hukum bertugas untuk menjalankan kuasa, mewakili atau melakukan tindakan hukum lainnya demi kepentingan hukum klien yang memberikan kuasa kepadanya, sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka (2) UU Nomor 18 Tahun 2003. Adapun halnya Arbitrase dalam literatur sejarah hukum Islam lebih identik dengan istilah tahkim yang didefinisikan sebagai pengangkatan seorang atau lebih sebagai hakam (wasit atau juru damai) oleh para pihak yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai. 184 Kedudukan Advokat dalam proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah secara nonlitigasi melalui mekanisme APS dan Arbitrase sebagaimana telah dijelaskan di atas memiliki beberapa implikasi. Pertama, ketiadaan pengaturan yang jelas mengenai syarat-syarat, kriteria dan pengangkatan bagi konsiliator, negosiator, mediator, konsiliator dan penasehat ahli dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 telah mengakibatkan terjadinya kekosongan norma (vacuum of norm) Pasal 452 ayat (1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah jo. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008. 184 Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bandung, Refika Aditama, 2011), hlm 98. 183
102
sehingga menimbulkan celah hukum bagi Advokat untuk berperan sebagi konsultan,
negosiator,
mediator,
konsiliator
dan penasehat
ahli dalam
penyelesaian sengketa ekonomi syariah secara nonlitigasi melalui mekanisme alternatif penyelesaian sengketa. Sementara itu ketentuan mengenai syarat dan kriteria mediator maupun konsiliator dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 merupakan lex specialis terhadap UU Nomor 30 Tahun 1999, sehingga berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali maka ketentuan dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tersebut hanya berlaku bagi mediator dan konsiliator pada proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sedangkan ketentuan mengenai syarat dan kriteria mediator yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 merupakan lex inferior terhadap UU Nomor 30 Tahun 1999, sehingga berdasarkan asas lex superior derogat legi inferior maka ketentuan dalam peraturan tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum bagi pengaturan mediator secara umum. Disamping itu, ketentuan dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tersebut pada dasarnya mengatur mengenai proses mediasi di Pengadilan, yang mana hal ini mengindikasikan bahwa mediasi yang dimaksud dalam peraturan tersebut merupakan bagian dari proses litigasi, bukan proses nonlitigasi. Kedua, terjadinya kekaburan makna kedudukan Advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Terjadinya hal yang demikian ini dikarenakan beberapa faktor sebagai berikut: a) bahwa dalam penjelasan Pasal 5 UU Nomor 18 Tahun 2003 dijelaskan bahwa status Advokat sebagai penegak hukum tersebut dimaksudkan sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang
103
mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan, sementara itu penyelesaian sengketa melalui APS merupakan bentuk penyelesaian sengketa nonlitigasi yang dilakukan diluar Pengadilan, juga tidak ada tahap pemeriksaan dan pembuktian dalam prosedur APS—kecuali Arbitrase—sebagaimana halnya pada proses litigasi, dimana dalam hal ini Advokat sebagai penegak hukum berperan untuk membantu hakim dalam mencari dan membuktikan kebenaran materiil pada persidangan di Pengadilan; b) bahwa seyogyanya kedudukan Advokat sebagai penegak hukum tersebut juga diikuti dengan pemberian kewenangan bagi Advokat dalam menjalankan peran dan fungsinya, sementara itu UU Nomor 18 Tahun 2003 sendiri tidak mengatur mengenai kewenangan Advokat. Begitu pula halnya dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak memuat pengaturan apapun mengenai kewenangan Advokat dalam proses penyelesaian sengketa melalui APS. Sehingga dengan demikian, kewenangan Advokat timbul setelah mendapatkan kuasa dari kliennya, dan ruang lingkupnya terbatas pada hal-hal yang hanya dikuasakan klien kepada Advokat tersebut. Ketiga, bahwa dalam kedudukannya sebagai mediator, konsiliator dan arbiter, seorang advokat dituntut untuk bersikap independen dan netral, yang bebas dari segala kepentingan baik terhadap para pihak yang bersengketa maupun terhadap objek sengketa. Dengan demikian, dalam hal ini advokat tidak dalam kapasitasnya sebagai pemberi jasa hukum yang bertindak untuk kepentingan kliennya, sehingga advokat tidak dapat menjadi mediator, konsiliator ataupun arbiter terhadap sengketa diantara para pihak yang menjadi kliennya. Sementara itu dalam kedudukannya sebagai konsultan dan negosiator, seorang advokat
104
tentunya terikat dengan dan bertindak untuk kepentingan hukum kliennya, yang dalam hal ini kewenangan advokat sebagai konsultan maupun negosiator diperoleh setelah mendapatkan surat kuasa khusus dari kliennya. Keempat, bahwa kedudukan hukum advokat pada penyelesaian sengketa ekonomi syariah secara nonlitigasi mempunyai implikasi bahwa advokat dalam hal ini merupakan kebutuhan klien dalam mengurus sengketanya, yang oleh peraturan perundang-undangan belum dijelaskan secara limitatif. Dengan demikian, relasi wakil dengan muwakkil pada proses penyelesaian sengketa tersebut adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak antara advokat dengan klien, dimana kewenangan advokat dalam hal ini bersifat mandataris. Tanpa bantuan advokat, para pihak yang bersengketa akan cukup kesulitan jika harus mengurus sendiri proses penyelesaian sengketanya, mengingat keahlian dan pengetahuan advokat berkenaan dengan aspek-aspek keperdataan, khsususnya di bidang hukum perikatan serta prosedur penyelesaian sengketa nonlitigasi.
105