RAGAM PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM, EKONOMI SYARIAH DAN ADAT
RAGAM PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM, EKONOMI SYARIAH DAN ADAT
Dr. Chuzaimah Batubara, MA
RAGAM PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM, EKONOMI SYARIAH DAN ADAT
Dr. Chuzaimah Batubara, MA
Editor : Dr. M. Ridwan, MA
Desain Cover : Bayu Nugroho Desain Layout : Fauzi Ispana Diterbitkan Oleh: FEBI UIN-SU Press Gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Univesitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-SU) Jl. Williem Iskandar Pasar V Medan Estate 20371 Telp./HP. 0813 6116 8084 Email:
[email protected] Cetakan Pertama, November 2015 ISBN : 978-602-73510-2-8
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin penulis dan penerbit.
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakātuh Alhamdulillah, berkat rahmat, hidayah, dan kasih sayang-Nya, penulis dapat menyelesaikan buku ini sesuai dengan harapan penulis dan rekanrekan di FEBI UIN Sumatera Utara. Selawat dan salam penulis haturkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat, dan umatnya yang setia mengikuti ajaran dan senantiasa merindukan syafaatnya di Hari Akhirat nanti. Buku yang ada di tangan pembaca ini, Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum dan Ekonomi Syariah dan Adat merupakan hasil telaah terhadap berbagai pemikiran hukum terkait salah satu fungsi hukum, yaitu dalam rangka menyelesaikan sengketa atau konflik yang terjadi di masyarakat. Ada beragam model penyelesaian sengketa yang lahir dari disiplin ilmu hukum maupun berdasarkan perkembangan masyarakat. Buku ini mencoba menggambarkan secara ringkas dan sistematis model-model penyelesaian sengketa baik dari segi hukum negara RI, hukum Islam maupun hukum adat. Penulis berharap buku ini dapat memberi manfaat bagi mahasiswa, para praktisi hukum, praktisi ekonomi/bisnis syariah, dan masyarakat umum yang berminat tentang penyelesaian sengketa. Selesainya buku ini tentu merupakan hasil kerja dan bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Nur Ahmad Fadhil Lubis, MA dan Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA sebagai guru dan pembimbing penulis dalam mengenalkan teoriteori hukum khususnya masalah penyelesaian sengketa, para pimpinan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Bapak Dekan Dr. H. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag yang tidak saja memberikan dukungan tapi juga dengan senang memberi arahan dan bantuan koleksi bukunya yang banyak bagi kelengkapan referensi buku ini, para Wakil Dekan I & III, Dr. Muhammad Yafiz, MA dan Dr. Muhammad Ridwan, MA. Secara khusus, penulis
i
menyampaikan terima kasih dan doa kepada kedua almarhum orang tua penulis, yang telah melahirkan, membesarkan dan mendidik penulis, sehingga penulis bisa seperti ini, suamiku tercinta, Dr. H. Saidurrahman, M.Ag yang telah mendukung aktivitas penulis sebagai dosen sekaligus umi dari tiga buah hati kami, Aufa Awalia Said, Zidan Abdullah Said dan Arsyad Baihaqi Said. Untuk merekalah, penulis mempersembahkan karya sederhana ini. Terakhir, sesuai pepatah, “Tak ada gading yang tak retak”, maka demi kesempurnaan buku ini, penulis menerima saran dan kritik konstruktif dari para pembaca. Semoga kritik-kritik itu menjadi amal sholeh yang akan mendapat pahala yang besar dari Allah Swt. Amin. Medan, Oktober 2015
Chuzaimah Batubara
ii
Daftar Isi
Kata Pengantar .................................................................................................................... i Daftar Isi .................................................................................................................................. iii BAB I PENDAHULUAN BAB II FUNGSI HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA A. Fungsi Hukum dalam Masyarakat ................................................................ 5 B. Penyelesaian Sengketa Hukum: Litigasi dan Non Litigasi................ 13 BAB III RAGAM TEORI PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF A. Penyelesaian Sengketa Alternatif / Alternative Dispute Resolution (ADR)........................................................................................................ 27 B. Ruang Lingkup Alternative Dispute Resolaution (ADR).................... 34 C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Melalui ADR................................. 51 D. Pengaruh Alternative Dispute Resolution (ADR) terhadap Eksistensi Peradilan................................................................................................. 61 E. Alternative Dispute Resolution (ADR) di Beberapa Negara.............. 62
iii
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUKUM ISLAM A. Konsep Hukum Islam ............................................................................................ 67 B. Bentuk Penyelesaian Sengketa ......................................................................... 70 BAB V SENGKETA EKONOMI SYARI’AH A. Gambaran Umum..................................................................................................... 97 B. Model Penyelesaian Sengketa ........................................................................... 99 C. Upaya Pencegahan Sengketa dalam Bisnis Syariah............................. 110 BAB VI PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUKUM ADAT A. Konsep Hukum Adat............................................................................................... 113 B. Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Adat ............................................ 117 C. Penyelesaian Sengketa Masyarakat Adat Aceh....................................... 122 D. Peran Lembaga Adat dalam Penyelesaian Kasus Sengketa: Kasus Aceh ................................................................................................................... 133 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN
iv
BAB I PENDAHULUAN
Kajian sengketa pada dasarnya tergolong dalam disiplin Anthropologi hukum yang telah berkembang cukup lama. Sengketa merupakan sesuatu ketika terdapat pihak yang merasa dirugikan pihak lain. Pihak yang merasa dirugikan menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua dan apabila pihak kedua tidak menanggapi dan memuaskan pihak pertama, serta menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadilah apa yang disebut sengketa.1 Akan tetapi, dalam konteks hukum, khususnya hukum kontrak, yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan. Hoebel Adamson di antara anthropolog yang mencurahkan pemikir an dalam kajian sengketa. Keberadaan sengketa sangat terkait dengan satu tugas hukum yaitu menyelesaikan gangguan-gangguan yang terjadi dengan pelanggaran norma atau oleh karena ada pihak yang berpendapat bahwa haknya telah dilanggar pihak lain. Dalam karyanya The Cheyenne Way, Hoebel melakukan penelitian hukum suku Indian Cheyenne dengan menganalisis sekitar 53 kasus sengketa meliputi kasus pembunuhan, aturan-aturan penyelesaiannya, proses penentuan hukum, pelaksanaan sanksi, kasus sengketa perkawinan, warisan dan banyak kasus lainnya. Melalui kajian sengketa ini, maka peneliti tersebut berhasil mengungkap bagaimana hukum berfungsi dalam penyelesaian sengketa, dan itulah
1
Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute resolution) & Arbitrase: Proses Pelembaga an dan Aspek Hukum (Bogor: Ghalia, 2000), h. 34.
1
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat merupakan salah satu indikasi dari bekerjanya hukum.2 Nader adalah seorang anthropolog lain yang mengkonsentrasikan kajiannya terhadap sengketa dengan fokus pada pemrosesan sengketa atau apa yang dia namakan disputing process,3 dengan mendasarkan pada beberapa asumsi, yaitu: 1.
Rentangan dari sengketa yang muncul dalam masyarakat jumlahnya terbatas.
2. Hampir di setiap masyarakat digunakan sejumlah prosedur publik yang terbatas untuk menghadapi sengketa dan untuk menghindarinya (peradilan, pertandingan, perantara). 3. Para pihak bersengketa mempunyai kemungkinan memilih metode dan cara penyelesaian sengketa mereka (arbitrase, mediasi, adjudikasi, kekerasan dan sebagainya). 4. Rentangan dari fungsi laten dan manifest dari hukum, bervariasi dalam masyarakat - masyarakat manusia.4 Nader dan Todd juga mengemukakan pandangan mengenai fasefase dalam sengketa, yaitu tahap pra-konflik (grievance / preconflict), tahap konflik (conflict), dan tahap sengketa (dispute).5 Tahap pra-konflik mengacu kepada keadaan atau kondisi di mana seseorang atau kelompok merasakan adanya ketidakadilan, dan mengadakan keluhan. Perasaan sakit hati itu bisa berupa imajinasi atau nyata, tergantung pada persepsi pihak yang merasa diperlakukan tidak adil, pada prinsipnya ia merasa dirugikan. Tahap ini bisa mengalami eskalasi melalui konfrontasi atau berubah menjadi konflik, tetapi sebaliknya bisa juga meredam. Ketika pihak yang merasa dirugikan tersebut menyampaikan keluhannya kepada pihak yang dianggap melanggar haknya, maka ini memasuki tahap konflik. Kedua belah pihak menyadari adanya masalah di antara mereka. Tahap inipun bisa mengalami eskalasi dan melebar atau sebaliknya bisa juga redam melalui upaya pemaksaan (coercion), atau
2
Ihromi, “Beberapa Catatan mengenai Metode Kasus Sengketa yang Digunakan dalam Anthropologi Hukum,” h. 206-207. 3
Laura Nader and Harry Todd, The Disputing Process: Law in Ten Societies (New York: Columbia University Press). 4
Ibid.,, h. 10
5
Ibid., h. 14-15.
2
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat negosiasi dengan pihak lawan. Selanjutnya tahap sengketa merupakan akibat dari adanya eskalasi tahap konflik, dan konflik tersebut diangkat ke permukaan atau diumumkan kepada publik. Akhirnya, pihak ketiga hadir dalam konflik tersebut. Ketiga tahap di atas tidak mesti terjadi secara berurutan. Pihak yang merasa dirugikan bisa saja meningkatkan keluhannya ke tahap sengketa tanpa melalui tahap konflik, misalnya bisa saja pihak yang merasa dirugikan langsung mengadukan keluhannya ke pengadilan. Akan tetapi, peredaman (descalation) setiap saat bisa juga terjadi bila salah satu pihak berusaha membiarkan atau menghindari terjadinya konflik. Fokus dalam studi-studi anthropologi hukum mengenai sengketa dapat dikategorikan dalam dua pola. Pertama, pola struktural-fungsional di mana sengketa dilihat dari posisi dan struktur sengketa itu sendiri. Di sini, peneliti mengamati struktur (lembaga, kelompok sosial), dan otoritas penyelesaian sengketa yang berada di tangan, headmean, bigman, chief yang bertindak sebagai hakim, beserta teknik-teknik untuk menyelesaikannya. Kedua, pola prosesual di mana sengketa ditempatkan sebagai proses sosial yang melekat dalam hubungan-hubungan sosial. Dalam bentuk ini, fokus penelitian bergeser dari masalah lembaga dan kelompok sosial (struktur) ke masalah individual dan pilihan-pilihan hukum di mana seseorang dipaksa untuk memilih dalam suatu sengketa. Dalam setiap situasi sengketa pada tahap manapun, orang melakukan interaksi. Mereka terlibat dalam proses pembuatan keputusan mengenai bagaimana cara terbaik untuk memaksimalkan keuntungan mereka, cara terbaik untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan dari sengketa. Pola ini berfokus pada orangorang yang membuat keputusan yang didasarkan kepada sejumlah faktorfaktor yang berkompetisi.6 Seiring dengan perkembangan zaman, masalah sengketa berkem bang dengan beragam masalah baik masalah individu, keluarga maupun masyarakat dari aspek sosial, ekonomi dan budaya. Untuk konteks masyarakat Indonesia, penerapan ekonomi syari’ah di berbagai aktivitas
6 Ibid., h. 15-16. Pola kedua ini dijadikan kerangka konsep oleh Irianto dalam penelitiannya mengenai proses penyelesaian sengketa warisan di masyarakat Batak Toba. Sulistyowati Irianto, “Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi”, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta, (Ed.), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi (Jakarta: Obor, 2010), h. 55.
3
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat ekonomi juga melahirkan berbagai benturan kepentingan yang menjurus kepada konflik ataupun sengketa antara individu, kelompok maupun lembaga. Beranjak dari pemikiran di atas, buku ini berupaya menyajikan ragam bentuk penyelesaian sengketa yang menjadi pilihan masyarakat sesuai dengan konteks dan masalah yang dipersengketakan. Pada bahagian pertama, penulis mendeskripsikan posisi penyelesaian sengketa dalam ranah fungsi hukum. Bab-bab selanjutnya mengurai ragam model penyelesaian sengketa alternatif, penyelesaian sengketa dalam hukum Islam, ekonomi Islam dan adat.
4
BAB II FUNGSI HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
A. Fungsi Hukum dalam Masyarakat Hidup bermasyarakat merupakan hal yang mutlak bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan fisik, biologis dan sosial, serta untuk dapat bertahan hidup menghadapi tantangan iklim dan lingkungan.7 Di lain sisi, kita tahu bahwa setiap manusia memiliki sifat sendiri-sendiri yang terwujud dalam perilaku yang berbeda-beda, yang berkaitan dengan kehendak untuk hidup sebebas-bebasnya tanpa ada pengendalian, yang dalam sosiologi dikenal penyerahan sebagian kebebasannya agar dapat hidup bermasyarakat. Jika hal itu tidak diperhatikan maka setiap berkumpulnya manusia akan selalu terjadi perselisihan, saling menyaingi, adu kekuatan untuk menguasai suatu objek yang tidak memungkinkan manusia untuk hidup bermasyarakat dengan tenang dan penuh ketertiban. Oleh karena itu untuk hidup bermasyarakat, manusia perlu batasan dan menyesuaikan perilakunya sehingga tercipta perilaku umum.8 Perilaku umum atau pola tingkah laku tertentu masyarakat tersebut dihasilkan dari pengalaman ke pengalaman yang kemudian mereka jadi kan dasar untuk menetapkan hal-hal apa saja yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh masyarakat dalam rangka menjaga kelangsungan hidup lembaga tersebut. Setiap anggota masyarakat tidak bebas bertindak melain
7
h. 43.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : Kencana, 2008),
8
Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap (Jakarta: Bina Aksara, 1998), h. 1-2..
5
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat kan harus mengingat apa yang dibolehkan oleh kelompoknya berdasarkan norma bahwa setiap individu tidak boleh merugikan individu lainnya atau masyarakat. Apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan itu perlu dituangkan secara konkret baik secara tertulis atau melalui kebiasaankebiasaan yang dilakukan dalam bentuk bermasyarakat, menjadi aturanaturan yang membatasi individu dalam berpola tingkah pekerti dalam hidup bermasyarakat. Aturan-aturan itulah yang disebut hukum.9 Berangkat dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa hukum adalah suatu fenomena empiris dan sifatnya hanya dapat dimengerti ketika dihubungkan dengan masyarakat. Hukum bekerja dengan cara memancing perbuatan seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyarakat. Untuk keperluan pemancangan tersebut, maka hukum menjabarkan pekerjaannya dalam berbagai fungsi. Friedman menguraikan bahwa pada taraf yang paling umum, hukum dengan seperangkat sistemnya memiliki beberapa fungsi:10 Fungsi pertama, untuk mendistribusikan dan menjaga alokasi nilai-nilai yang benar menurut masyarakat. Salah satu nilai yang sangat signifikan dalam kepastian fungsi ini berjalan adalah keadilan. Pelaksanaan keadilan di tengah-tengah masyarakat telah menjadi perdebatan panjang tidak hanya di kalangan ahli hukum tapi juga para filosof hukum selama berabadabad. Inti dari persoalan alokasi nilai keadilan adalah gagasan bagaimana mempertemukan orang dan hal apa yang pantas mereka dapatkan, ditinjau secara etis – tidak lebih dan tidak kurang. Dengan bahasa lain, sistem hukum diharapkan untuk menjamin distribusi yang benar atau tepat atau yang paling nyaman di antara orang-orang dan kelompok. Fungsi kedua, untuk menyelesaikan sengketa dalam masyarakat. Benturan-benturan – yang sangat sulit dihindari – kepentingan yang ber beda ataupun gesekan saat proses interaksi sesama anggota masyarakat sangat mungkin melahirkan konflik - konflik. Disinilah hukum berfungsi sebagai mesin ataupun tempat yang dituju setiap individu untuk menyelesaikan konflik-konflik mereka, dan merampungkan sengketa. Fungsi hukum ini sifatnya tidak begitu global. Selain hukum, aktor-aktor penting di tengah masyarakat seperti orang tua, guru, tokoh agama, para
9
Marzuki, Pengantara Ilmu Hukum, h. 43-53.
10
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Terjemah M. Khozim, cet. IV (Bandung: Nusa Media, 2011), h. 19-23.
6
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat majikan, dan lainnya juga mampu menjalankan fungsi ini. Selain itu, masyarakat tertentu memberikan bobot lebih terhadap fungsi ini daripada masyarakat lainnya. Umumnya dalam masyarakat Indonesia terutama di wilayah pedesaan, misalnya, tidak umum orang-orang pergi ke pengadilan hanya untuk menyelesaikan sengketa-sengketa kecil dengan tetangga atau untuk meluruskan pertengkaran dalam keluarga. Di sini, para orang tua atau tokoh adat dan agama memiliki peran penting dalam menyelesaikan konflik tersebut. Fungsi ketiga yang pokok dari sistem hukum adalah kontrol sosial – pada dasarnya berupa pemberlakuan peraturan mengenai perilaku yang benar. Friedman menegaskan bahwa hukum pidana dapat dikatakan sebagai kontrol sosial primer. Pada keadaan ini, para polisi dan hakim memahami bahwa para pencuri dan pelanggar peraturan lainnya akan dihukum. Sementara kontrol sosial sekunder adalah menasehati, memberi pelajaran, merehabilitasi, dan ini sama pentingnya dengan kontrol sosial primer. Pencuri yang tertangkap dan diseret ke pengadilan tidak semata-mata dikontrol dengan hukuman penjara; ia juga “diberi pelajaran”. Pengadilan-pengadilan di seluruh dunia bertindak sebagai guru moral, reformer, dan pelaku rehabilitasi. Jadi, kontrol sosial primer secara otomatis menjalankan kontrol sosial sekunder. Hukum, dengan demikian, digolongkan sebagai sarana untuk melakukan kontrol sosial, yaitu suatu proses memengaruhi orang-orang untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Mekanisme kontrol sosial sebagai segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan; untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai masyarakat yang bersangkutan. Bagi masyarakat yang menjunjung konsensus, hukum menjamin keterpaduan sosial dan perubahan ketertiban sosial melalui keseimbangan berbagai konflik kepentingan. Hukum sebagai kontrol sosial dijalankan untuk menggerakkan berbagai aktivitas, yang melibatkan lembaga masyarakat (negara) sebagai suatu lembaga yang diorganisir secara politik melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya. Selain itu hukum sebagai sarana social engineering ditujukan untuk melakukan perubahan-perubahan tingkah laku individu sebagai anggota masyarakat. Pada konteks ini, hukum tidak hanya dihadapkan pada penyelesaian masalah yang ada, tetapi juga merekayasa
7
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat dan merubah seluruh aktivitas masyarakat. Di sini hukum tidak hanya bersifat statis dan berorientasi masa sekarang, namun juga diharapkan mampu menjangkau masa yang akan datang. Fungsi keempat dari hukum adalah menciptakan norma-norma itu sendiri, bahan-bahan mentah bagi kontrol sosial. Kekuatan-kekuatan sosial melontarkan tekanan-tekanan; tuntutan-tuntutan ini “membentuk” hukum, namun institusi-institusi yang ada pada sistem hukum menuai tuntutan-tuntutan itu, menghablurkan dan mengubahnya menjadi peraturan, prinsip, dan instruksi-instruksi bagi para pegawai negeri dan penduduk pada umumnya. Pada konteks inilah menurut Friedman hukum bertindak sebagai instrumen perubahan yang tertata, rekayasa sosial (social engineering).11 Sebagai contoh paling jelas adalah fungsi legislatif. Pengadilan melalui hakim telah melahirkan ketentuan-ketentuan atau hukum. Berbagai unit di pemerintahan telah memiliki kekuasaan untuk mengarahkan dan mengontrol. Terakhir, institusi-institusi hukum juga menjalankan fungsi rutin atau fungsi pencatatan. Mereka bertindak sebagai gudang atau memori bagi ribuan transaksi yang dibutuhkan atau dikehendaki dalam dunia modern. Mereka memberkas dan memelihara catatan-catatan; mereka memangkas transaksi-transaksi menjadi rutinitas dan efisien. Ketika orang mendaftarkan akte, mengesahkan surat wasiat, atau meminta surat kematian, mereka menggunakan fungsi hukum yang ini. Fungsi hukum sebagai social engineering menurut Roger Cotterrell dalam karyanya The Sociology of Law12 merupakan bentuk pemikiran Roscou Pound.13 Hukum dalam pemikiran Pound berfungsi mengamankan kohesi sosial serta perubahan sosial yang teratur dengan mengimbangkan kepentingan-kepentingan yang berkonflik – individual (kepentingan
11 Pemikiran Friedman ini sejalan dengan pemikiran Sartjipto Rahardjo. Lihat Sartjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, cet. III (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), h. 111. 12
Dalam karyanya ini, Cotterrell menganalisis pemikiran empat ahli hukum – Roscou Pound, Emile Durkheim, Llewellyn dan Talcott Parsons secara tajam dan ringkas berbagai macam fungsional hukum yang dikemukakan keempat tokoh ini. Roger Cotterrell, Sosiologi Hukum, terjemah Narulita Yusron (Bandung: Nusa Media, 2012), h. 97-136. 13 Beberapa karya Roscou Pound yang dijadikan bahan kajian oleh Cotterrell adalah “The Limits of Effective Legal Action” International Journal of Ethics, 27, 1917, h. 150-67; dan Introduction to Philosophy of Law, 1954.
8
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat pribadi warga negara individual), sosial (muncul dari kondisi yang sering terjadi dalam kehidupan sosial) dan publik (khususnya kepentingan negara). Perekayasaan sosial (social engineering) yang teratur melalui hukum bagi Pound menuntut agar kepentingan-kepentingan di atas diseimbangkan dengan cara yang rasional dan konsisten, meski perubahan yang diciptakan berjalan lambat. Tetapi hukum tetap dipandang sebagai sebuah mekanisme yang netral yang dapat menjaga keseimbangan antara semua individual, sosial dan publik. Ia harus mewakili konsensus umum.14 Emile Durkheim, sejalan dengan Pound, melihat bahwa analisis terhadap doktrin hukum memberikan sebuah rute menuju pemahaman tentang kohesi sosial. Kohesi sosial tergantung pada komitmen moral terhadap kesejahteraan kolektif (individu-individu masyarakat). Hukum juga merupakan sebuah ‘indeks’ yang kasat mata dari ruang lingkup moral yang tak kasat mata. Macam hukum yang berbeda mengekspresikan macam kohesi yang berbeda pula. Namun, yang pasti kohesi didasarkan pada nilai-nilai dan pandangan bersama dari sebagian besar anggota dalam suatu masyarakat. Bagi Durkheim hukum dan moralitas itu tidak terpisahkan. Tanpa adanya komitmen moral mendukungnya maka hukum tidak dapat menjadi bagian dari masyarakat.15 Berbeda dengan Pound dan Durkheim, seorang sarjana hukum Amerika Karl Llewellyn16 mengetengahkan gagasannya mengenai tugashukum, atau fungsi-fungsi dasar hukum dalam empat macam, yaitu: sebagai resolusi perkara/perselisihan (konflik); reorientasi dan penyaluran preventif tingkah laku dan ekspektasi untuk menghindari konflik; alokasi otoritas di dalam kelompok; dan keempat sebagai ‘net-drive’ (dorongan jaringan) – pengorganisasian dan penyelarasan aktifitas di dalam kelompok untuk memberikan arahan dan insentif kepada para anggotanya.17
14
Cotterrell, Sosiologi Hukum, h. 101-103.
15
Cotterrell menganalisis beberapa karya Durkheim, di antaranya: The Division of Labour in Society, transl. by G. Simpson (New York: Free Press, 1964); Juga The Rules of Sociological Method and Selected Texts on Sociology and its Method, transl. by W. D. Hall’s (London: Macmillan, 1982). Cotterrell, Sosiologi Hukum, h. 105 16 Beberapa karya Llewellyn yang dirujuk: “A Realistic Jurisprudence: The Next Step” 30 Col L Rev, 1979: p. 431-65; “The Normative, the Legal, and the Law-Jobs: The Problem of Juristic Method” 49 Yale LJ, 1940: 1355-400; The Common Law Tradition: Deciding Appeals (Boston: Little, Brown, 1960). 17
Ibid., h. 111.
9
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Llewellyn menilai bahwa resolusi perselisihan memiliki tugas hukum yang dominan. Fungsi hukum ini terus menerus mengeluarkan bahan untuk memenuhi kebutuhan tugas hukum lainnya. Secara sederhana, hukum dalam konsep Llewellyn merupakan pengatur dari kehidupan sosial. Hukum tidak berfungsi secara konservatif maupun progresif. Dinamo kehidupan hukum ada di dalam kelompok, tetapi tidak ada aspek tertentu dalam kehidupan kelompok – atau di dalam masyarakat – yang memiliki hak yang lebih tinggi dari yang lainnya di dalam menentukan perubahan atau stabilitas.18 Hukum bergerak dan berfungsi sesuai kebutuhan masyarakat. Terakhir Roger Cotterrell menyajikan pemikiran pemikir Amerika lainnya bidang Sosiologi Hukum, Talcott Parsons19 terkait fungsi hukum. Parsons juga melihat hukum memiliki empat persyaratan fungsional, tapi dari empat tersebut terdapat satu persyaratan khusus yang begitu penting, yaitu fungsi integrasi sistem internal. Fungsi khusus ini akan memelihara hubungan emosional dan sosial yang tepat antara para anggota dari sistem tersebut. Tiga masalah fungsional hukum lainnya adalah pencapaian tujuan–yakni menjaga agar sistem tetap berjalan menuju tujuannya apa pun itu; pemeliharaan pola (atau kelatenan, demikian Parsons kadang menyebutnya)–menciptakan, mempertahankan dan mengembalikan energi, motif dan nilai-nilai dari anggota sistem supaya pola keseluruhan dari kegiatan dan energi di dalam sistem dapat terus dihasilkan; dan adaptasi sistem pada kondisi yang luas dari lingkungannya termasuk lingkungan fisiknya.20 Steven Vago menyatakan bahwa hukum sebagai kontrol sosial memiliki dua proses dasar. Pertama, hukum menginternalisasikan normanorma dalam individu dan kelompok. Kedua, kontrol terhadap normanorma tersebut. Kedua hal tersebut terjadi karena adanya tekanan-tekanan dari luar (external pressure).21
18
Ibid., h. 112.
19
Parsons tergolong pakar hukum yang produktif dengan karya-karya yang berkualitas dan menjadi rujukan maupun bahan studi dalam disiplin hukum. Di antara tulisannya adalah Essays in Sociological Theory (Glencoe: Free Press, 1954); Structure and Process in Modern Societies (Glencoe: Illinois: Free Press, 1960); Sociological Theory and Modern Society (New York: Free Press, 1967). 20
Cotterrell, Sosiologi Hukum, h. 113-114.
21
Steven Vago, Law Society, h. 203.
10
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Sosial kontrol adalah konsekuensi dari sosialisasi, di mana di dalamnya proses pembelajaran pengaturan-pengaturan tingkah laku diberikan kepada kelompok sosialnya. Individu-individu di dalam sosial tersebut mengembangkan kontrol pribadinya (self-control) dengan apa yang sesuai, dengan apa yang diharapkan dan dengan apa yang diinginkan dalam situasi khusus. Masyarakat membutuhkan motivasi untuk mengkonfirmasi norma-norma yang berlaku dengan mengabaikan adanya tekanan dari luar. Kita dapat mengambil contoh bahwa seorang murid tidak akan mencontek karena takut ketahuan atau orang membayar pajak karena takut dikenakan sanksi. Jadi di tengah masyarakat melalui sosial kontrol ini, terdapat konformasi kepada norma-norma hukum yang diberlakukan karena individu-indvidu disosialisasikan untuk mempercayai bahwa mereka harus bekerjasama untuk mentaati peraturan tanpa adanya tekanan pihak luar atau terbebas dari reaksi orang lain. Dengan demikian, fungsi hukum dalam hal ini adalah mengatur hukum individu-individu anggota masyarakat sekaligus mengontrol masyarakat secara konformasi bahwa mereka melakukan dan menaati hukum tanpa adanya tekanan atau paksaan dari luar dirinya. Hukum dengan fungsinya sebagai sosial kontrol dapat dilihat dari dua aspek pula yaitu dalam fungsinya sebagai kontrol sosial secara informal dan sebagai kontrol sosial secara formal.22 Kontrol sosial informal merupakan teknik-teknik di mana para individu yang saling mengenal secara personal akan menunjukkan rasa sukanya dan menunjukkan rasa ketidaknyamanan pada mereka yang tidak disukai. Mekanisme kontrol sosial yang informal ini lebih efektif terjadi pada kelompok dan hubungan masyarakat di mana tatap muka dan kedekatan anggota masyarakat berlangsung secara sederhana. Menurut Emile Durkheim bahwa hubungan sosial dan kontrol sosial di dalam masyarakat yang sederhana, di desa atau di kota kecil cenderung lebih efektif.23 Bila persoalan hukum di tengah masyarakat muncul menurut fungsi kontrol sosial informal, penyelesaian hukum tidak dilakukan oleh kelompok pelaksana hukum yang resmi dan tidak ada orang atau pelaksana yang ditunjuk secara formal untuk menyelesaikan kasus hukum tersebut.24
22
Lebih lanjut baca Steven Vago, Law Society, h. 204-224.
23
Sebagaimana dikutip oleh Steven Vago, Law Society, h. 204.
24
Ibid.
11
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Sedangkan dalam fungsi hukum sebagai kontrol sosial secara formal maka pelaksanaan hukum dilakukan secara formal dan petugas hukum ditunjuk secara resmi. Kontrol sosial secara formal merupakan karkateristik dari masyarakat yang lebih kompleks dengan masyarakat yang lebih heterogen, kelompok masyarakat yang bersaing, dan kelompok-kelompok yang memilki ideologi yang berbeda-beda. Kontrol secara formal ini muncul ketika kontrol secara informal tidak cukup menjadi konformasi bagi normanorma hukum tertentu. Sosial kontrol secara formal ini ditandai dengan dengan sistem kelompok-kelompok yang memiliki spesialisasi, teknik yang standar, sanksi hukum yang sudah diprediksi secara umum. Sosial kontrol yang formal ini sejalan dengan lembaga sosial dan juga ditandai dengan prsosedur yang jelas dan ada peraturan yang memaksanya seperti undangundang, keputusan, ketetapan, peraturan dan lain-lain. Sosial kontrol secara formal ini diatur oleh individu sebagai administrasi yang menempati posisi dalam lembaga formal tersebut. Dua tipe utama dari fungsi hukum sosial kontrol yaitu kontrol sosial yang dilembagakan oleh negara dan dan diberi kekuasaan untuk menggunakan kekuatan memaksa dalam hal hukum dan kontrol sosial yang dilakukan oleh para agen dan masyarakat selain negara seperti oleh lembaga-lembaga masyarakat, kelompok-kelompok bisnis, universitas atau kelompok-kelompok lain. Lembaga-lembaga sosial yang diatur dalam menciptakan komformasi ini dimaksudkan untuk membangun model prilaku dan membangun prosedur dalam memenuhi kepuasan kebutuhan manusia, sekalipun prosedur-prosedur ini sendiri memunculkan tingkat tertentu dalam pemaksaan peraturan hukum demi mekanisme perwujudan konformasi hukum ini.25 Dari dua model fungsi hukum sebagai sosial kontrol di atas, yaitu sebagai kontrol sosial informal dan sebagai kontrol sosial formal maka penyelesaian kasus atau sengketa hukum yang muncul di tengah masyarakat juga dilakukan secara formal dan informal. Penyelesaian kasus hukum secara informal tentu menggunakan jalur dan prosedur yang informal. Penyelesaiannya tidak dilakukan dengan mekanisme yang formal tetapi lebih cenderung menggunakan penyelesaian hukum secara keakraban dan perdamaian. Sedangkan penyelesaian kasus hukum yang formal akan menempuh jalur hukum yang formal pula. Prosedur dan mekanisme formalnya harus ditempuh secara bertahap sanksi hukum telah ditetapkan berdasarkan undang-undang atau peraturan yang berlaku. 25
Steven Vago, Law Society, h. 207.
12
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat
B. Penyelesaian Sengketa Hukum: Litigasi dan Non Litigasi Sengketa lahir dari sebuah konflik yang tidak terselesaikan. Konflik secara sederhana dapat dimaknai sebagai hasil dari sebuah perbedaan yang ada pada setiap individu, dan hasil dari perbedaan keinginan setiap orang. Jadi sebuah konflik sangat sulit untuk dihindari, sementara sengketa sangat mungkin tidak terjadi.26 Secara umum penyelesaian sengketa hukum dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan dan diselesaikan dengan proses peradilan. Penyelesaian sengketa jenis ini disebut juga dengan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi (litigation). Kedua, penyelesaian sengketa hukum di luar jalur pengadilan. Penyelesaian sengketa jenis ini disebut dengan penyelesaian sengketa non litigasi (non litigation).27 Berikut diuraikan kedua jenis model penyelesaian sengketa di bawah ini : 1.
Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Litigasi
Litigasi diartikan sebagai proses administrasi dan peradilan (court and administrative proceedings).28 Vinod K. Agarwal menyatakan bahwa: “Litigation is a process which take place in the court rooms. These court rooms are open to public. Any member of the public can enter a court room and can watch, so long as he wishes, the court proceedings of any case….While litigation is an adversorial, formal and inflexible process, alternative dispute resolution methods may be less adversorial, less formal and more flexible process. In litigation, rules of evidence and procedure have to be strictly followed.”29 (Litigasi merupakan proses (penyelesaian sengketa) yang berlangsung di ruang Pengadilan. Ruang Pengadilan ini terbuka untuk umum.
26
Law Reform Commisson (LRC), Consultation Paper: Alternative Dispute Resolution (LRC CP 50, 2008), h. 9. 27
Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), h. 11; juga Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternative Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 19. 28
Eisenberg, “Private Ordering Through Negotiation Dispute Settlement and Rule Making”, 89 Harv. L, 1976, h. 637. 29
Vinod K. Agarwal, “Alternative Dispute Resolution Methods”, dalam United Nations Institute for Training and Research (UNITAR), Document No. 14: Alternative Dispute Resolution Methods (Geneva: United Nations Institute for Training and Research (UNITAR), 2001), h. 4.
13
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Setiap orang dari masyarakat umum boleh masuk ke ruang sidang dan menyaksikan proses persidangan selama yang dia inginkan…Berbeda dengan proses litigasi yang sifatnya formal dan tidak fleksibel, metode dan proses Alternatif Penyelesaian Sengketa sifatnya tidak berbentuk peradilan, kurang formal dan fleksibel. Dalam litigasi, ketentuanketentuan mengenai bukti dan prosedur harus diikuti secara ketat. Dalam proses litigasi terdapat pihak ketiga yang memiliki kekuatan untuk memutuskan dan menetapkan solusi di antara para pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa juga tidak memiliki hak untuk menetapkan para hakim yang berwenang menyelesaikan sengketa mereka. Seluruh hakim ditetapkan dan dibayar oleh negara.30 Bentuk penanganan kasus melalui jalur proses di peradilan ini dapat berupa kasus perdata maupun pidana. Litigasi merupakan proses yang sangat dikenal di kalangan para ahli hukum dan pengacara (lawyer) dengan karakteristik adanya pihak ketiga yang mempunyai kekuatan untuk memutuskan (to impose) solusi di antara para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut biasanya hakim atau pembuat keputusan di dalam pengadilan. Penyelesaian melalui litigasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur penyelesaian melalui peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan khusus seperti peradilan anak, peradilan niaga, peradilan pajak, peradilan penyelesaian hubungan industrial dan lain-lain. Proses litigasi di dalam pengadilan juga dikenal sebagai tuntutan hukum dan istilah biasanya mengacu pada persidangan pengadilan sipil. Sengketa yang terjadi dan diperiksa akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Dalam penyelesaian sengketa melalui litigasi ini, setiap pihak yang bersengketa mendapatkan kesempatan untuk mengajukan gugatan dan bantahan, dimana proses sebelumnya menghendaki para pihak memperhatikan asas yang berlaku dalam gugat-menggugat. Satu asas yang cukup penting adalah siapa yang menggugat, wajib membuktikan kebenaran gugatannya. Asas ini dijabarkan dalam pasal 1865 KUHPdt yang mengemukakan bahwa: “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang
30
Ibid.
14
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat lain, menunjuk suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.” Proses litigasi ini merupakan proses hukum yang dianut secara ketat oleh pendukung aliran realism.31 Suatu aliran hukum yang diterapkan di masyarakat di mana bagian terbesar hukum itu dikembangkan melalui pengadilan-pengadilannya.32 Realisme hukum memandang hukum sebagai sesuatu yang benar-benar realistis dilaksanakan. Aliran realism ini banyak dipraktekkan pada masyarakat Amerika Serikat, sehingga mereka disebut sebagai masyarakat litigatif. Aliran ini tidak banyak diterapkan pada masyarakat Jepang yang anti litigatif atau masyarakat yang menggunakan hukum tertulis dalam bentuk perundang-undangan.33 Sementara masya rakat Aceh dalam perkembangan terkini menunjukkan ke arah integrasi dari litigatif dan non litigatif. Legislasi berbagai bentuk Peraturan Daerah atau Qanun yang mengatur berbagai dimensi kehidupan menegaskan bahwa masyarakat Aceh yang menggunakan hukum tertulis dalam bentuk perundang-undangan dan menjadi ciri aliran realism. Namun, peneguhan peran adat dalam masyarakat pada sisi lain mengisyaratkan bahwa masyarakat Aceh juga termasuk anti litigatif. Sebagai sebuah proses hukum yang harus benar-benar, maka penyelesaian hukum litigasi memiliki kelebihan-kelebihan di antaranya: a. Kepastian dan perlindungan hukum.34 b. Memberi keuntungan bagi pihak yang menang atau dimenangkan dalam gugatannya.35
31 Dalam pandangan penganut Realisme, hukum adalah hasil dari kekuatankekuatan sosial dan kontrol sosial. Beberapa ciri realisme yang terpenting diantaranya, realisme adalah gerakan dari pemikiran dan kerja tangan hukum. Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya, realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan harusnya ada, untuk tujuan-tujuan studi. Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum, sepanjang ketentuan-ketentuan dan konsepsi hukum menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orang. Realisme menekankan evolusi tiap bagian hukum dengan mengingatkan akibatnya. Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012). 32
Ibid., h. 102.
33
Ibid.
34
Amriani, Mediasi, h. 19.
35
Ali dan Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, h. 105.
15
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat c.
Mendelegasikan atau menyerahkan perkara hukum kepada pihak dan yang dianggap ahlinya,36 seperti hakim, polisi, jaksa, pengacara dan lain-lain, termasuk lembaga yang dianggap kompeten menngani persoalan hukum seperti pengadilan.
d. Keputusan hukum yang tunggal. Hukum adalah apa yang diputus kan oleh hakim. Kepribadian dan pandangan pribadi hakim me mainkan peranan penting dalam proses terwujudnya putusan.37 e. Hakimmemilikiwewenangpenuh.Parahakimdalammenerapkan suatu aturan hukum, melakukan penafsiran terhadap suatu kondisi nyata, mempraktikkan kebijakannya dan putusannya sendiri serta bukan sekadar menyatakan aturan hukum tertentu, melainkan di situ hakim membuat hukum sendiri yang lazim dikenal sebagai judge made law. Jadi, sebuah aturan hanya diakui sebagai hukum apabila aturan itu ditetapkan oleh hakim dalam proses peradilan. Sementara itu, undang-undang maupun materi hukum lain hanya merupakan sumber hukum.38 f.
Penyelesaian sengketa hukum litigasi berfungsi sebagai katup penekan (pressure valve) bagi kasus-kasus hukum di negara hukum dan demokrasi.39
Selain memiliki kelebihan, proses litigasi ini memiliki banyak kekurangan dan kelemahan karena litigasi memaksa para pihak pada posisi yang saling berlawanan dan memerlukan pembelaan (advocacy) atas setiap maksud yang dapat mempengaruhi keputusan. Oleh karena itu, litigasi mengangkat seluruh persoalan materi maupun prosedur untuk persamaan kepentingan dan mendorong para pihak melakukan penyelidikan fakta.
36
Ibid..
37
Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran para sosiolog hukum beraliran realism, yaitu studi tentang hukum sebagai sesuatu yang benar-benar secara realistis dilaksanakan. Para pencetus dan penganut realisme hukum ini antara lain John Chipman Gray, Jerome Frank, dan Karl Liewellyn. Realisme di bidang hukum lahir dan berkembang di Amerika Serikat, kemudian juga berkembang di Skandinavia. Lihat, Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 101. 38
Pandangan ini merupakan bahagian dari pemikiran penganut aliran hukum realism, John Chipman Gray tertuang dalam karyanya The Nature an Sources of the Law (1909). Achmad Ali, ibid., h. 102. 39
Amriani, Mediasi, h. 18.
16
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Meletakkan keputusan pada penyelesaian secara pengadilan dinilai cenderung merusak keharmonisan antarwarga masyarakatnya. Sengketa yang diselesaikan di Pengadilan berdampak sampai dalam kehidupan masyarakat di luar pengadilan dan berlangsung lama. Sengketa pengadilan yang menghasilkan win-lose solution pada akhirnya akan memutus hubungan bahkan mungkin saja menimbulkan konflik baru bagi para pihak ketika mereka berada di luar pengadilan.40 Selain itu, keinginan berlebihan terhadap penyelesaian secara litigasi disinyalir sebagai penyebab terjadinya cukup banyak kebingungan dan prilaku berlebihan di kalangan para hakim dalam membentuk dan membuat hukum. Sebahagian pakar sosiologi hukum menganggap bahwa hukum bukanlah apa yang dilaksanakan oleh pengadilan, melainkan pengadilan adalah pranata yang melaksanakan hukum.41 Litigasi juga tidak cocok untuk sengketa yang bersifat polisentris atau melibatkan banyak pihak, banyak persoalan dan beberapa kemungkinan alternatif penyelesaian. Proses litigasi mensyaratkan banyak pembatasan sengketa dan persoalan sehingga hakim atau pengambil keputusan lainnya dapat lebih siap membuat keputusan.42 Penyelesaian model inipun dianggap model penyelesaian paling lama dan paling umum digunakan untuk penyelesaian sengketa publik maupun privat.43 Namun, penyelesaian sengketa melalui litigasi masih tetap eksis dan diperlukan hingga sekarang karena hal-hal khusus yang hanya dimiliki lembaga pengadilan, yaitu kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan sementara (provisional). Kekurangan lainnya yang terlihat dari pilihan penyelesaian secara litigasi adalah beban finansial yang dapat mempengaruhi sikap seseorang apakah akan menggugat atau tidak. Maka, seorang penggugat hanya akan membawa kasusnya ke pengadilan, jika ia akan diuntungkan dengan tindakan itu. Akhirnya, masyarakat akan menetapkan pilihan apakah pengadilan sebagai wadah penyelesaian sengketa atau konflik hukum yang dihadapinya atau tidak masih tergantung pada berbagai faktor non hukum, antara lain biaya yang harus dikeluarkan serta waktu yang dipakai selama proses pengadilan itu.
40
Ibid.
41
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi kajian Empiris Terhadap Hukum, h. 103. 42 Garry Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Seri DasarDasar Hukum Ekonomi Arbitrase di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), h. 6. 43
Amriani, Mediasi, h. 19.
17
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Amriani juga mencatat beberapa kelemahan lembaga peradilan sebagai tempat penyelesaian sengketa.44 Pertama, penyelesaian sengketa yang lambat, karena banyaknya prosedur yang harus dilalui; beban pengadilan yang bertambah bila banyak kasus yang masuk; proses pemeriksaan yang formal dan teknis (formalistic and technical). Belum lagi bila kasus tidak selesai dalam satu tingkat pengadilan. Untuk kasus Indonesia sendiri misalnya – bila kasus tidak selesai - mengharuskan melalui beberapa tingkatan, yakni tingkat pertama di pengadilan negeri (PN); tingkat kedua di pengadilan tinggi (PT) untuk tingkat banding, dan tingkat ketiga adalah mahkamah agung (MA) sebagai tingkat kasasi yang merupakan instansi terakhir dalam hierarki lembaga peradilan.45 Kedua, biaya perkara yang mahal. Bila dikaitkan dengan lamanya proses penyelesaian sengketa di pengadilan maka biaya yang diperlukan sangat mahal.46 Selain harus membayar pengacara yang relatif mahal, orang yang memilih penyelesaian sengketanya melalui jalur pengadilan juga harus mengerahkan sumber daya, waktu dan fikiran. Ketiga, putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah dan tidak memuaskan para pihak yang bersengketa. Melalui sistem litigasi ini tidak mungkin akan dicapai sebuah keputusan yang dianggap adil. Di mana kedua belah pihak merasa menang dan setuju dengan hasil keputusan pengadilan. Hal ini terjadi karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah. Keempat, kemampuan hakim yang bersifat generalis. Kelima, peradilan dianggap tidak tanggap terhadap kepentingan masing-masing pihak dan bersikap tidak responsif. Keenam, adversary dimana para pihak saling menyerang dan mencari bukti 44
Ibid., 40-48.
45
Lambatnya proses penyelesaian sengketa melalui litigasi ini terjadi di berabagai negara. Jepang membutuhkan waktu 10-15 tahun, Korea Selatan selama 5-7 tahun dan Peradilan Indonesia membutuhkan waktu 7-12 tahun. Proses yang lambat ini juga didukung oleh adanya trend banding, kasasi dan peninjaun kembali terhadap perkara yang disengketakan.Mahkamah Agung menetapkan bahwa proses dari tingkatan Pertama (PN) dan banding (PT) harus selesai dalam enam bulan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) no6 tahun 1992.Namun faktanya dengan ini MA memeroleh banyak limpahan kasus yang tidak selesai sehingga terjadi penumpukan kasus yang tidak bisa diselesaiakan dalam waktu singkat. Yahya Harahap et. al, “Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan,” Laporan Penelitian, BPHN, Jakarta, 1996, h. 9. 46
Di Amerika Serikat, mahalnya biaya dan banyaknya kasus litigasi ini dihubungkan dengan perekonomian negara. Untuk melihat beberapa pendapat tentang hal ini baca misalnya Ali dan wiwie Heryani, Sosiologi Hukum: Kajian empiris, h. 19-23.
18
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat dan fakta untuk gugatan dan serangannya. Ketujuh, prosedur yang ketat, sehingga kepentingan para pihak justru kurang terpenuhi. Kedelapan, lawyer oriented karena prosedur yang kaku dan rumit maka hanya para ahli hukum atau pengacara saja yang dapat melaksanakan acara di pengadilan. Kesembilan, win-lose solution, sistem peradilan mendasarkan keputusannya pada nilai benar dan salah saja sehingga hasil akhirnya adalah terdapat pihak yang kalah dan pihak yang menang.47 Dengan demikian maka akan menjadikan hubungan para pihak menjadi putus bahkan dapat saja memicu konflik baru ketika mereka berada di luar pengadilan. Peradilan yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan dan memiliki kelemahan-kelemahan ini menjadikan pengadilan hanya dijadikan pilihan terakhir (last resort). Proses ini digunakan terutama ketika sengketa tidak bisa diselesaikan dengan cara lain. Para peneliti World Bank menilai penyelesaian melalui litigasi cenderung menghabiskan biaya besar, dan pilihan penyelesaian melalui Peradilan tidak cocok untuk kasus-kasus kecil yang nilai ekonomisnya tidak sebanding dengan nilai biaya perkara yang akan dikeluarkan ketika ditempuh jalur Pengadilan.48 Di Indonesia landasan untuk menciptakan suatu peradilan yang sederhana, cepat dan biaya murah ditungkan dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Namun peradilan tidak mampu menggerakkan dan mendinamisir ide, jiwa dan semangat ketentuan tersebut,49 karena terbentur pada faktor-faktor yang ada didalam maupun diluar undang-undang tersebut. Menyadari lambatnya penyelesaian sengketa malalui peradilan di Indonesia, pada tahun 1992 dikeluarkan suatu kebijakan oleh Mahkamah Agung bahwa setiap perkara yang ditangani peradilan tingkat pertama dan banding harus selesai dalam waktu tidak lebih enam bulan.50 Sebagai dampaknya arus perkara makin cepat dan deras melaju ke tingkat kasasi, sehingga menimbulkan penumpukan perkara di Mahkamah Agung RI.
47
Steven Vago, Law and Society (USA: Pearson Prentice Hall, 2009), h. 300.
48
Investment Climate Advisory Services of the World Bank Group, Alternative Dispute Resolution Guidelines (Washington: The World Bank Group, 2011), h. 18. 49
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997) h.307 50
T.M.Luthfi Yazid, “Penyelesaian Sengketa Melalui ADR”, Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun III No.1/1996, h.96
19
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Pilihan terhadap penyelesaian sengketa berikutnya adalah melalui jalur non litigasi yaitu jalur yang dilakukan di luar pengadilan. Lembaga alternatif juga tampaknya didasarkan pada pertimbangan fleksibilitas, yaitu tidak diharuskannya para pihak untuk mengikuti prosedur yang baku sebagaimana yang ada dalam litigasi. Pihak ketiga yang dimintakan bantuannya untuk menyelesaikan sengketa tidak harus berpedoman pada prosedur beracara sebagaimana yang terjadi pada badan pengadilan, para pihak bebas menentukan berdasarkan kesepakatan dan mufakat.51 2. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Non Litigasi Penyelesaian sengketa hukum non litigasi adalah penyelesaian seng keta hukum di luar pengadilan.52 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan didasarkan kepada para pihak yang ingin melakukan pengelolaan sengketa, yaitu bagaimana cara para pihak menghadapi dan menyelesaikan sengketa yang diperkarakan. Tentu saja banyak cara yang dapat ditempuh oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa hukum mereka tergantung pada situasi dan kondisi. Bila para pihak menginginkan jalur hukum dengan cara ‘perdamaian’ maka para pihak harus mengambil penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan. Bentuk-bentuk atau cara-cara penyelesaian di luar peradilan atau non litigasi ini bermacam-macam yang terangkum dalam istilah Alternative Dispute Resolution (ADR).53 Bentuk-bentuk penyelesaian non-litigasi yang berkembang di Indonesia dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, dari sisi hukum tradisional atau hukum adat maka penyelesaian sengketa hukum non litigasi yang hidup di masyarakat memiliki bentuk yang beragam sesuai dengan beragamnya suku budaya dan hukum masyarakat yang ada di Indonesia. Penyelesaian non litigasi di kalangan masayarakat Indonesia sudah dipraktekkan sejak lama bahkan menjadi akar budaya hukum yang hidup
51
Perubahan dalam proses penyelesaian sengketa ini mulai tampak juga pada negara-negara yang cenderung realism. Amerika Serikat misalnya sebagai negara yang masyarakatnya lebih menyukai litigasi perlahan-lahan meninggalkan penyelesaian sengketa litigasi, khusunya di bidang bisnis. dan sebaliknya masyarakat Jepang yang dikenal sebagai anti litigasi perlahan-lahan mulai menerima litigasi. Ali dan Wiwie Heryani, Menjelalajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, h. 105. 52
Agarwal, “Alternative Dispute Resolution Methods”, h. 4.
53
Ibid. Di kalangan akademik hukum Indonesia istilah Alternative Dispute Resolution (ADR) dikenal dengan istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Takdir Rahmadi, Mediasi, h. 10-12.
20
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat sebagai bagian hidup mereka. Sebagai contoh masyarakat Bali, Aceh, Batak dan lain-lain memiliki sistem penyelesaian hukum masing-masing. Kedua, dari sisi penyelesaian hukum yang diakui dalam kajian hukum dewasa ini, maka bentuk-bentuk penyelesaian non litigasi dikenal dengan istilah Alternative Dispute Resolution (ADR). Bentuk atau model dengan ADR sangat bervariasi, antara lain mediasi, negosiasi, konsiliasi, arbitrase54 dan Restorative Justice.55 Sekalipun, pada prakteknya penyelesaian sengketa hukum atau Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam hukum adat masyarakat Indonesia juga dapat berbentuk mediasi, konsiliasi, arbitrase, negosiasi dan (pemulihan keadaan secara adil), namun setiap hukum adat tersebut memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh hukum adat lain dan tidak dimiliki oleh bentuk-bentuk non litigasi yang ada pada masyarakat modern dewasa ini. Proses penyelesaian hukum di luar pengadilan ini tampaknya semakin berkembang dan mendapat pengakuan bahkan dalam dunia peng adilan. Hakim sebagai pemutus hukum bagi para pihak yang bersengketa tidak dibenarkan menolak perkara apapun alasannya. Oleh karena itu
54
Lihat Investment Climate Advisory Services of the World Bank Group, Alternative Dispute Resolution Guidelines 55
Praktik restorative justice sebagai salah satu bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR) telah dipergunakan oleh berbagai negara di dunia untuk menyelesaikan tindak pidana melalui proses di luar peradilan pidana formal. Secara umum dalam konsep restorative justice tidak membatasi dan menempatkan tindak pidana apa saja yang dapat diselesaikan. Setiap tindak pidana dapat diselesaikan dengan penyelesaian di luar peradilan formal melalui proses restorative justice, hanya saja pelaksanaan proses tersebut harus sesuai dengan prinsip utama restorative justice. Restorative justice telah diterapkan di beberapa negara untuk menyelesaikan beberapa macam tindak pidana yang terjadi di masyarakat. Sebagai contoh di Negara Italia, menurut aturan pidananya, ada beberapa tindak pidana yang dapat dilakukan dengan perdamaian tanpa dirujuk kepada sistem peradilan pidana formal, yaitu: melukai seseorang (personal injury), kekeliruan dalam membantu seseorang yang membutuhkan pertolongan (failure to come to the aid of someone in distress), penghinaan (insult), pencemaran nama baik (libel), penyerangan (assault), perampasan (usurpation), pencurian aliran air (illegal water diversion), penguasaan tanah illegal (illegal occupation of land), perusakan barang (damage to property), membunuh binatang ternak orang lain (killing animals flock or herd), pencacatan atau pengotoran barang (defacement or soiling of property), menjual minuman beralkohol pada anak-anak (selling alcohol to minor), membuat orang lain menjadi mabuk (causing another person to become intoxicated), menjual alcohol pada seseorang yang sedang mabuk (selling alcohol to individuals who are intoxicated), kegagalan memenuhi kewajiban untuk menyediakan pendidikan dasar (failure to fulfill obligation to provide a basic education), pelanggaran terhadap moral masyarakat (offence against public moral). Tindakan yang dilakukan terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah: perundingan/ langkah perbaikan, diversi dan tindakan penghukuman. Lihat Lode Walgrave, Repositioning Restorative Justice (UK: Willan Publishing, First Editions, 2003), h. 289.
21
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat hakim menganjurkan para pihak untuk menyelesaikan perkara hukumnya di luar pengadilan. Keberadaan Alternative Dispute Resolution (ADR) yang semakin berkembang ini juga didasari dari keinginan masyarakat yang mengharapkan tatanan masyarakat tetap langgeng dan haromonis, tidak terjadi konflik karena adanya penyelesaian win-win solution dari hasil akhir sengketa. Tampaknya sosial hukum masyarakat ini terus bergerak untuk kepentingan masyarakat sosial tersebut.56 Penyelesaian non litigasi semakin tampak jelas keberadaannya dalam penerapan hukum. Penerimaan non litigasi ini juga berkembang di masyarakat Amerika yang cendurung litigatif sebagaimana pernyataan Abraham Lincoln yang dikemukakan oleh Achmad Ali, “Discourage litigation. Persuade your neighbours to compromise whenever you can. point out them how the nominal winner is often a real looser – in fees, expenses, and waste of time. As a peacemaker, the lawyers has a superior opportunity of being a good man. There will be business enough.” (Perkecil litigasi (peran peradilan). Bujuklah para tetangga untuk berkompromi sepanjang yang dapat anda lakukan. Tunjukkan kepada mereka bagaimana orang yang hanya namanya saja disebut pemenang, tetapi sering di dalam kenyataannya lebih merupakan pihak yang nyatanyata kalah, yaitu kalah dalam biaya, pembayaran, dan pemborosan waktu. Sebagai pembuat perdamaian para pengacara mempunyai suatu kesempatan luar biasa untuk menjadi seorang).57 Penyelesaian sengketa non litigasi ini juga dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat yang masih ingin mempertahankan hubungan sosial dengan pihak atau para pihak yang berperkara. Di Amerika, proses penyelesaian sengketa semacam ini banyak didominasi para pebisnis yang tetap ingin menjaga hubungan baik dengan rekan atau mitra bisnisnya. Suami istri yang tetap ingin mempertahankan hubungan mereka tidak akan mengadukan pasangannya ke pengadilan tetapi menyelesaikan sengketa mereka dengan kompromi dan konsultasi.58 Model-model penyelesaian non litigasi ini akhirnya merambah luas ke bidang-bidang hukum yang lain baik perdata maupun pidana.59
56
Steven Vago, Law and Society, h. 300-301.
57
Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, h. 35.
58
Steven Vago, Law and Society, h. 300.
59
Penyelesaian hukum non litigasi pada umumnya hanya digunakan dalam
22
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Keberadaan penyelesaian hukum non litigasi yang banyak diterima masyarakat modern ini, tampaknya juga didasarkan pada kelebihankelebihan yang ada. Beberapa kelebihan penyelesaian hukum non litigasi sebagai berikut:60 Pertama, melalui non litigasi waktu penyelesaian sengketa hukum cenderung cepat, karena tidak ada prosedur yang ketat dan rumit. Kedua, bila proses penyelesaian hukumnya cepat maka biaya yang diperlukan tidak atau murah. Ketiga, melalui non litigasi para pihak yang bersengketa dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan/melalui suatu situasi yang saling menguntungkan (win-win solution) dengan memberikan atau melepaskan kelonggaran atas hak-hak tertentu berdasarkan asas timbal balik. Dengan kata lain kesepakatan diserahkan kepada para pihak (voluntary). Keempat, dengan win-win solution, hasil penyelesaian sengketa hukum cenderung menyentuh keadilan bagi para pihak. Kelima, penyelesaian hukum non litigasi lebih menjaga dan memenuhi kepentingan para pihak dari berbagai aspek termasuk dalam hal menjaga nama baik para pihak (interest based and future looking). Keenam, informal dan fleksibel. Prosedur yang dilakukan seperti pemanggilan para pihak tidak kaku dan bersifat fleksibel, termasuk desain penyelesaian sengketa yang mereka inginkan.61 Ketujuh, penyelesaian non litigasi memiliki nilai tawar menawar dengan para pihak.62
perkara hukum perdata yang membicarakan kepentingan (interest). Faktanya dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia tidak membedakan sengketa dalam perkara perdata (hukum privat) atau hukum pidana. Kedua-dua perkara hukum tersebut kenyataannya sering diselesaikan dengan cara non litigasi. Baca Takdir Rahmadi, Mediasi, h. 30-31. 60
Conflict Management Group (CMG), “Alternative Dispute Resolution Practitioners Guide”, dalam www.usaid.gov/sites/default/files/documents/1868/200sbe. pdf, didownload pada tanggal 12 Juni 2012. 61
Nurnaningsih Amriani, Mediasi, h. 29-30.
62
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syari’ah Hukum Adat dan Hukum Nasional (Jakarta: Kencana: 2011), h. 78.
23
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Sekalipun banyak memiliki kelebihan, tentu saja penyelesaian sengketa non litigasi ini juga mempunyai kekurangan atau kelemahan. Pertama, kepastian hukum yang tidak mengikat. Kedua, penyelesaian non litigasi hanya dapat dilaksanakan bila para pihak yang bersengketa sama-sama memiliki kemauan dan keinginan menyelesaikan secara konsesus. Ketiga, pihak yang beriktikad tidak baik memiliki kesempatan memanfaatkan proses ini untuk mengulur-ulur waktu penyelesaian sengketa, dengan tidak menghadiri pertemuan atau sekedar untuk melihat kelemahan pihak lawan, untuk kemudian diajukannya ke litigasi. Keempat, beberapa kasus yang bersifat ideologis yang membahayakan masyarakat umum tidak dapat diselesaikan dengan jalur non litigasi, misalnya anti nuklir karena membahayakan lingkungan.63 Di Indonesia, Pancasila sebagai dasar filosofi kehidupan bermasyara kat, telah mengisyaratkan bahwa asas penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat atau non litigasi lebih diutamakan, seperti tersirat juga dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dengan sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan, maka manusia Indonesia sebagai warga masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Dalam menggunakan hakhaknya tersebut warga negara harus menyadari perlunya: a. Selalu memperhatikan dan mengutamakan kepentingan Negara dan kepentingan masyarakat; b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain; c.
Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama;
d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan; e. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah; f.
Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur;
g. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi
63
Takdir Rahmadi, Mediasi, h. 27-29.
24
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.64 Selain itu, keadilan sebagai tujuan penyelesaian kasus hukum, menu rut John Rawls, terkadang tidak terwujud disebabkan kegagalan hakim untuk menegakkan peraturan yang tepat ataupun menginterpretasikan peraturan secara benar dan tepat.65 Keputusan pengadilan sebagai hukum akan dihormati ketika keputusan itu sesuai dengan konteks keadilan yang dimaknai dan diterima masyarakat. Dalam konteks praktis, kegagalan memfasilitasi keadilan melalui proses peradilan akan berujung pada kemarahan masyarakat kepada hakim, pengacara dan juga jaksa. Banyak faktor pemicu kegagalan menghadirkan keadilan melalui proses peradilan, di antaranya dikarenakan kinerja para individu penegak keadilan itu termasuk hakim dan jaksa yang lemah atau tidak professional, perilaku amoral atau tidak etis para pelaku peradilan yang ingin menguntungkan pihak-pihak tertentu dan mengeruk keuntungan pribadi.66 Kondisi wilayah Republik Indonesia yang merupakan negara kepulau an dimana masih banyaknya daerah yang sulit dijangkau membuat banyak para praktisi hukum dan pemerintah mengakui kesulitan menerapkan penyelesaian kasus maupun sengketa secara adil dan proposional di masyarakat desa terpencil, bahkan kebanyakan mereka mengetahui terkadang tidak mungkin memaksakan penyelesaian sengketa yang terjadi di masyarakat ini dengan model-model masyarakat urban atau perkotaan yang biasanya memiliki ciri khas penyelesaian sengketa secara khusus. Dalam konteks ini, maka pilihan penyelesaian non litigasi pada banyak kasus hukum yang tidak berdampak besar seperti pengancaman agama, jiwa, harta dan negara menjadi keniscayaan. Sebagaimana pernyataan peneliti World Bank tentang Alternative Dispute Resolution: “Disputes of lower value are not economical to resolve via mainstream litigation of their disproportionate costs”67 (Sengketa kecil atau yang memiliki nilai ekonomi
64
Lihat Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). 65
John Rawls, A Theory of Justice (Massachusetts: The zelknap Press of Harvard University, 1971), h. 235. 66
A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto (Jakarta: ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), 2004), h. 109-110. 67
Investment Climate Advisory Services of the World Bank Group, Alternative Dispute Resolution Guidelines (Washington: The World Bank Group, 2011), h. 18.
25
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat kecil/rendah tidak ekonomis dan cocok apabila diselesaikan melalui proses litigasi karena nilai atau harga yang dihasilkan tidak seimbang dengan biaya peradilan).
26
BAB III RAGAM TEORI PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF
A. Penyelesaian Sengketa Alternatif / Alternative Dispute Resolution (ADR) Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah sebuah istilah Bahasa Inggris yang memiliki berbagai arti dalam bahasa Indonesia seperti Alternatif Penye lesaian Sengketa (APS), Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS), Mekanisme Alter natif Penyelesaian Sengketa (MAPS), Penyelesaian Sengketa Alternatif.68 Para peneliti Conflict Management Group – sebuah NGO (Non Government Organization) Internasional dalam buku panduan mengenai ADR menjelaskan, “The term “alternative dispute resolution” or “ADR” is often used to describe a wide variety of dispute resolution mechanism that are short of, or alternative to, full-scale court process. The term can refer to everything from facilitated settlement negotiation in which disputants are encouraged to negotiate directly with each other prior to some other legal process, to arbitration system and minitrials that look and feel very much like courtroom process.”69
68 Di kalangan akademik hukum Indonesia istilah Alternative Dispute Resolution (ADR) dikenal dengan istilah alternatif Penyelesaian sengketa atau pilihan penyelesaian sengketa. Takdir Rahmadi, Mediasi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2010), h. 10-12. 69
Scott Brown. et.all., Conflict Management Group (CMG), “Alternative
27
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Jadi istilah Alternative Dispute Resolution (ADR) selalu digunakan untuk menggambarkan berbagai mekanisme penyelesaian sengketa yang merupakan alternatif dari proses penyelesaian sengketa di Pengadilan. Istilah ADR mengacu pada bentuk negosiasi – yang mana para pihak yang bersengketa saling bernegosiasi sebelum proses hukum lainnya di jalani, bentuk arbitrase dan peradilan mini yang menyerupai proses di ruang sidang pengadilan. Black Law Dictionary menjelaskan ADR adalah “….. procedures setting dispute by means other than litigation; e.g.by arbitration, mediation, minitrial. Such procedures; which are usually lesscostly and more axpeditious, are increasingly being used in commercial and labor dispute, divorce action, in resolving motor, vehicle and medical malpractice, tort claims, and in other disputes that would likely otherwise involve court litigation.70 (Prosedur penyelesaian sengketa yang berbeda dengan proses litigasi; seperti dengan arbitrase, mediasi, peradilan mini. Prosedur tersebut yang biasanya dengan biaya murah lebih sering digunakan dalam sengketa bisnis dan buruh, perceraian, serta dalam kasus kecelakaan lalulintas, malpraktek di bidang kesehatan, penganiayaan kecil dan berbagai sengketa yang tidak begitu membutuhkan penyelesaian secara litigasi atau peradilan). Pengertian di atas menekankan pada prosedur yang dijalankan, sementara ada yang mengemukakan pemahaman ADR tidak hanya pada ‘proses’ tetapi juga keterlibatan para pihak yang bersengketa ataupun orang lain sebagai pihak ketiga.71 Adapun kata atau istilah “alternative” dalam ADR dipahami dengan makna “looking outside the courtroom setting to resolve disputes.”72 (menyelesaikan sengketa di luar ruang pengadilan). Abdurrasyid menilai bahwa istilah “alternatif” ini dalam penggunaan seharihari mengisyaratkan pendekatan non-konfrontatif dan kooperatif untuk penyelesaian suatu sengketa.73 Sebagaian besar praktisi ADR memandang Dispute Resolution Practitioners Guide”, dalam www.usaid.gov/sites/default/files/ documents/1868/200sbe.pdf, didownload pada tanggal 12 Juni 2012, h. 4 70
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Six Edition (St. Paul, Minn, West Publishing Co, 1990), h. 78 71
Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsolidasi, dan Arbitrase (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 38. 72 Reymone Bymen, et. all., Report Alternative Dispute Resolution: Mediation and Conciliation (Dublin 4: Law Reform Commission, 2010), h. 1. 73
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa (Jakarta:
28
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat penerapan ADR membutuhkan ketrampilan dan tanggung jawab profesional tingkat tinggi. Berbeda dalam proses litigasi, para pihak yang bersengketa bersikap konfrontatif dan non-kooperatif.74 Dalam Consultation Paper (Makalah/buku Konsultasi) yang disusun oleh Law Reform Commission diuraikan: “In general term, the Commission understand ADR to represent a broad spectrum of structured process which are fundamental to any modern civil justice system in providing greater access to individualized justice for all citizens. ADR should no been seen as a separate entity from the court-based arrangements for civil justice but rather should be seen as an integral part of the entire system. The acronym ADR is as flexible as the process it embodies. It has been described as “A halfway house between the certainty of the adversarial system and the flexibility of negotiation. Emanating from the United States, the letters ADR evolved originally as an acronym for Alternative Dispute Resolution. Historically this referred to an alternative to the courts. This original view of ADR as an “alternative” dispute resolution mechanism to litigation in the court system is no longer appropriate. Current practice of mediation internationally demonstrates that ADR and litigation “are not homogenous, separate and opposed entities.”75 Secara umum, Law Reform Commission ingin menegaskan bahwa ADR merupakan sebuah bentuk besar dari proses terstruktur yang sangat fundamental bagi setiap individu masyarakat untuk mendapatkan akses keadilan bagi dirinya. Sebenarnya ADR tidak harus dipandang sebagai sebuah bentuk yang terpisah dari sistem litigasi atau penyelesaian sengketa di Pengadilan, namun bisa dilihat sebagai bentuk yang terintegrasi dengan keseluruhan sistem. ADR ini merupakan proses yang sifatnya fleksibel. Secara historis, ADR dimaksudkan sebagai alternatif dari penyelesaian sengketa di Pengadilan. Namun, pengertian awal ADR sebagai mekanisme penyelesaian sengketa alternatif dari sistem litigasi di Pengadilan sudah tidak lagi memadai. Perkembangan terakhir di dunia internasional
Fikahati Aneska Bekerja sama dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia, 2002), h. 26. 74
Ibid.
75
Nicola White et. all, Consultation Paper: Alternative Dispute Resolution (Dublin 4: Law Reform Commission, 2008), h. 39.
29
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat menegaskan bahwa ADR dan litigasi bukan dua buah konsep yang berbeda, terpisah antara satu dan lainnya, dan saling bertentangan. Ciri utama ADR adalah para pihak memutuskan hasil dari yang disengketakan menjadi putusan finalnya. Proses yang ditempuh adalah melalui bentuk-bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa itu sendiri, seperti negosiasi yaitu penyelesaian langsung oleh pihak yang bersengketa, atau mediasi yaitu dengan bantuan pihak ketiga namun pihak ketiga (penengah) tidak menetapkan suatu keputusan, tetapi menggunakan suatu proses tersetruktur untuk membantu para pihak menyelesaikan apa yang mereka sengketakan. Pengendalian terhadap bentuk-bentuk penyelesaian akhir tetap berada di tangan pihak-pihak yang bersengketa. Phillip D. Bostwick cenderung berpendapat ADR sebagai sebuah perangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan: (1) Menyelesai kan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para pihak; (2) Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi; (3) Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan.76 Kelahiran konsep Alternative Dispute Resolution (ADR) sebenarnya dipicu dari fenomena yang lahir dari kelemahan sistem peradilan dalam penyelesaian sengketa.77 Berbagai kritik ditujukan terhadap kedudukan dan keberadaan peradilan di seluruh dunia. Kritik keras terhadap kinerja institusi pengadilan, di antaranya yang paling menonjol adalah lambatnya proses penyelesaian sengketa, biaya perkara yang mahal, banyaknya putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah yang menganut prinsip lose-win (menang dan kalah) dan menimbulkan permusuhan, birokrasi dan formalistic system dari sistem peradilan itu sendiri menjadi sorotan tajam oleh banyak pemikir dan praktisi hukum serta masyarakat luas. Untuk mengatasi masalah tersebut, di Inggris pada tahun 1985 Lord Hailsham, sebagaimana diungkap Yahya Harahap, dengan dibantu oleh
76 Phillip D. Bostwick, “Going Private With the Judicial System: Making Creative Use of ADR Procedures to Resolve Commercial Space Disputes”, Journal of Space Law, volume 23, Nomor 1, Tahun 1995, h. 26. 77
Fakta-fakta kelemahan proses penyelesaian sengketa di Pengadilan banyak diungkap oleh para pemerhati dan penulis ADR. Lihat, Bymen, et. all., Report Alternative Dispute Resolution, h. 1-3; Bostwick, “Going Private With the Judicial System”, h. 20; Maggie T. Grace, “Criminal Alternative Dispute Resolution: Restoring Justice, Respecting Responsibility, and Renewing Public Norms”, Vermont Law Review, Vol. 34 : 563, 2010, h. 564-565.
30
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat sebuah panitia mengemukakan usul perbaikan sistem peradilan, dalam rangka untuk menciptakan suatu peradilan yang efisien dan produktif. Pertama, penggabungan peradilan tingkat pertama dengan peradilan tingkat banding. Kedua tingkat peradilan tersebut “terintegrasi” yang disebut dengan “One court system” atau “unified court system” atau disebut juga “one court entry system”. Kedua, “full trial disclosure”, maksudnya pada saat gugatan diajukan, sekaligus dibarengi dengan pengajuan bukti-bukti, termasuk keterangan para saksi (witness statements). Ketiga, pemeriksaan perkara diatur dengan sistem manajemen, berupa: “time table” yang terprogram. Keempat, dilakukan penambahan jam persidangan setiap harinya. Kelima, penerapan sistem “in court arbitration system” khusus bagi perkara-perkara yang nilai gugatannya berkisar antara $1.000 sampai dengan $5.000, yang bertindak sebagai arbiter adalah hakim sendiri.78 Kritik terhadap kinerja Peradilan ini juga lahir dan berkembang di Amerika Serikat, yang kemudian momentum formalnya lahir pada tahun 1976 ketika Chief Justice Burger of the United States Supreme Court (seorang ketua hakim Agung Amerika Serikat) menawarkan solusi dan menghimbau para hakim dan pengacara untuk menyelesaikan sengketa melalui mekanisme di luar proses peradilan. Tawarannya ini kemudian disambut banyak praktisi hukum dan pemerintah dimana kongres USA berhasil memberlakukan “the Civil Justice Reform Act of 1999 (CJRA) yang kemudian memerintahkan untuk menerapkan rencana mereduksi biaya pencarian keadilan dan waktu (A civil justice Expense and Delay Reduction Plan (EDRP)”.79 EDRP bertujuan, “to facilitate deliberate adjudication of civil cases on the merits, monitor discovery. improve litigation management, and ensure just, speedy and inexpensive resolution of civil disputes.”80 (Memfasilitasi putusan yang dikehendaki dalam perkara perdata, keuntungan, memonitor pene muan fakta-fakta, meningkatkan manajemen litigasi, dan memastikan putusan yang adil, cepat dan tidak mahal). Ketetapan kongres USA ini menghendaki 6 prinsip yang perlu diperhatikan oleh pengadilan USA untuk mempertimbangkan pengembangan EDRP81, yakni:
78
M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997) h. 307 79
Bostwick, “Going Private With the Judicial System”, h. 20; Grace, “Criminal Alternative Dispute Resolution”,h. 564-565. 80
Bostwick, “Going Private With the Judicial System”, h. 21.
81
Ibid.
31
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat 1.
Systematic, differential treatment of civil cases (Menerapkan beberapa cara secara sistematis bagi sengketa perdata);
2. Early ongoing judicial control of the trial process (Melakukan pengawasan judicial secara dini); 3.
Discovery and case management conferences (Membicarakan mana jemen perkara serta penemuan-penemuan baru);
4. Encouragement of voluntary exchange of information among litigants and other cooperative discovery devices (Meningkatkan saling pemberian informasi secara sukarela di antara para pihak dan menciptakan kerjasama menemukan tata cara lainnya); 5.
Prohibition of discovery motions absent a certification of a good faith effort to reach agreement with opposing counsel (Meningkatkan niat baik untuk sampai kepada kesepakatan di antara penasehat hukum); and
6. Authorization to refer cases to ADR programs (Meningkatkan usaha menyerahkan penyelesaian sengketa ke ADR). Perkembangan ADR juga menyentuh wilayah Republik Indonesia dalam bentuk yang bermacam-macam seperti mediasi dan arbitrase.82 ADR memiliki dasar dan pengakuan dalam sistem hukum Indonesia, sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya83 bahwa Pancasila dan UUD 1945 menjadi fondasi utama penerapan ADR di Negara RI. Keduanya telah mengisyaratkan seluruh komponen penegak hukum dan warga Negara RI untuk menegakkan musyawarah untuk mufakat sebagai langkah dalam penetapan suatu keputusan. Jadi, gagasan penerapan ADR yang muncul di Negara-negara Barat terutama yang dimotori oleh Amerika Serikat secara legal filosofisnya telah diakui oleh falsafah dan perundang-undangan Indonesia. Secara khusus, Pemerintah RI merespon perkembangan yang terjadi di dunia internasional dengan meratifikasi beberapa konvensi internasional yang berkaitan dengan arbitrase internasional, seperti Konvensi Washington dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968, Konvensi New York diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 dan UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.84 Di samping itu,
82 Nurnaningsih Amriani, Mediasi, Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011), h. 14. 83 Lihat penjelasan mengenai kelemahan litigasi pada bab II, sub Penyelesaian Kasus Hukum Non Litigasi. 84
Djoni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi,
32
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat HIR/RBg mengatur pula lembaga perdamaian (dading). Ketentuan dalam Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg, dan pasal-pasal lainnya dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, khususnya ketentuan Pasal 132 HIR/Pasal 156 RBg mewajibkan hakim terlebih dahulu mengusahakan perdamaian di antara para pihak sebelum pemeriksaan perkara dilakukan oleh hakim. Berdasar ketentuan di atas, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menetapkan Lembaga Damai (Ex. Pasal 130 HIR/154 RBg), kemudian DPR mengesahkan Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara.85 Pada sisi lain, pengadilan dan Mahkamah Agung juga telah melegitimasi keberadaan Arbitrase sebagai salah satu model penyelesaian sengketa baik dalam bentuk penguatan/ pengakuan terhadap Perjanjian arbitrase, penegasan terhadap kompetensi absolut Arbitrase, dan juga pelaksanaan putusan Arbitrase.86 Eksistensi ADR telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan akademisi dan praktisi hukum terutama terkait penerapannya dalam penyelesaian sengketa atau kasus kriminal atau pidana. Grace dalam karya akademik mengenai “Criminal Alternative Dispute Resolution” berargumen bahwa penerapan restorative justice telah membuktian ADR mampu menampilkan sebuah realitas sosial mengenai kejahatan yang di dalamnya terlihat tanggungjawab mendalam individu dari para pihak yang terlibat, serta komitmen terhadap norma-norma sosial.87
Mediasi, Konsolidasi, dan Arbitrase (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 8-9. 85 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyele saian Sengketa sebenarnya pembaharuan dari Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvoredering. Staatblad 1847: 52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staa blad 1941:44) serta Pasal 705 Reglemen Acara untuk daerah luar jawa dan madura (rechtsreglement Bujtenewesten, Staadblad 1927: 227). 86 Terdapat beberapa dasar hukum yang lain bagi pelaksanaan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam berbagai ruang lingkup sengketa selain yang disebutkan di atas, antara lain Peraturan Pemerintah RI nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Peangadilan; Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 02 tahun 2003 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan; Peraturan Bank Indonesia No. 8/5Pbi/2006 tentang Mediasi Perbankan. Banyaknya peaturan ini menunjukkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa hukum dalam berbagai bidang di luar pengadilan telah diterima sebagai salah satu upaya solusi sengketa hukum. 87
Lihat, Grace, “Criminal Alternative Dispute Resolution”.
33
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Grace mengemukakan argumentasinya untuk membantah pemikiran yang dilontarkan oleh banyak penentang ADR, di antaranya Owen Fiss. Fiss, sebagaimana diungkap Grace menilai ADR dalam konteks kriminal telah menjadikan sengketa ke dalam ranah privat dengan mengatasnamakan keadilan umum bagi masyarakat. ADR bagi Fiss sangat bersifat individual dan tidak mampu mewujudkan tujuan masyarakat. ADR juga telah menghilangkan “kekuasaan pasif” seorang hakim dalam proses penyelesaian sengketa, dan mengurangi bahkan menghilangkan peran penting norma umum masyarakat dan hak-hak individual dengan lebih mengutamakan semata penyelesaian secara privat. Dalam bahasa tajam Fiss menyebut ADR melahirkan “Imbalance of Power” (Ketidakseimbangan Kekuasaan), “Absence of Authorative Consent” (Absen Perhatian Penguasa), “Lack of Continuing Judicial Involvement” (tidak adanya Pelaksanaan Peradilan yang terus menerus), serta hasil dari ADR hanya “Justice rather than Peace” (Mengutamakan keadilan daripada kedamaian). Inti dari kritik Owen Fiss terhadap ADR terletak pada pandangan bahwa ADR telah menghilangkan fungsi sosial dari perangkat hukum, karena ADR mungkin telah menciptakan keadilan bagi para pihak yang bersengketa, tetapi keadaan masyarakat tetap terabaikan tanpa ada penyelesaian.88 Kritik tajam lainnya yang dilontarkan para penentang ADR berkisar pada konsep ‘privatisasi’ yang diterapkan dalam ADR. Menempatkan sengketa pada wilayah individual daripada publik menurut mereka telah menghilangkan tanggungjawab penting masyarakat, dan melemahkan posisi kelompok masyarakat yang tidak memiliki pengaruh atau kekuasaan.89
B. Ruang Lingkup Alternative Dispute Resolaution (ADR) Kontroversi ADR yang ditampilkan oleh para akademisi dan praktisi hukum lahir tidak hanya bersumber dari proses dari ADR, tapi juga berasal dari substansi dan ruang lingkup ADR tersebut. Perdebatan lahir ketika mereka mengajukan berbagai pertanyaan dan argumentasi seputar apakah semua sengketa dapat diselesaikan oleh ADR, apakah ADR telah memenuhi rasa keadilan hukum?.
88
Ibid., h. 568.
89
Jean R. Sternlight, “Is Alternative Dispute Resolution Consistens With The Rule of Law? Lesson From Abroad”, De Paul Law Review, Vol. 56:569, 2007, h. 570.
34
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Para peneliti Law Reform menyatakan bahwa tidak semua sengketa dapat diselesaikan secara ADR, seperti juga tidak semua sengketa cocok diputuskan oleh Pengadilan. Keputusan untuk pemilihan ADR sebagai penyelesaian sengketa umumnya dilandaskan pada berbagai faktor,90 misalnya: 1.
Mediasi atau negosiasi (ADR) akan sangat membantu ketika para pihak yang bersengketa menginginkan harmonisasi hubungan mereka tetap terjaga;
2. Sengketa yang terjadi melibatkan keluarga yang sensiti dan cenderung untuk mendapatkan privasi dari proses penyelesaian sengketa mereka, atau sengketa bisnis yang juga menginginkan suasana yang khusus dan privat. 3. Arbitrase merupakan pilihan yang tepat untuk sengketa dimana para pihak tidak memiliki hubungan personal yang harus dipertahankan, tapi menginginkan sengketa cepat diselesaikan. 4. Bantuan para ahli atau ombudsmen akan sangat membantu para individu dari kalangan rakyat biasa ketika bersengketa melawan perusahan besar. 5.
Mediasi atau intervensi pakar ahli akan sangat cocok untuk kasus sengketa yang menyangkut hal-hal teknis dengan bukti-bukti yang banyak dan akurat.
6. ADR dengan berbagai bentuk akan sesuai untuk sengketa yang jika diselesaikan dengan peradilan memakan biaya besar dibanding nilai yang dihasilkan dari sengketa tersebut. Senada dengan penjelasan para peneliti Law Reform di atas, Conflict Management Group menegaskan berbagai faktor yang dapat mendukung penerapan ADR untuk beragam konflik. Di antara faktor pendukung penerapan ADR dalam menciptakan tujuan keadilan hukum adalah: 1.
ADR diterapkan untuk mendukung reformasi peradilan terutama dalam hal efektifitas dan efisiensi.
2. ADR dapat memangkas ketidak efektifan proses pengadilan. 3. ADR dapat meningkatkan kepuasan bagi para pihak yang bersengketa terhadap hasil yang dicapai. 90
16-17.
Nicola White et. all, Consultation Paper: Alternative Dispute Resolution, h.
35
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat 4. ADR dapat meningkatkan akses keadilan bagi kelompok-kelompok marginal dan rentan atau tidak beruntung (disadvantage group), misalnya para wanita yang berhadapan dengan sistem peradilan formal yang bias gender, atau kelompok minoritas. 5.
ADR juga dapat mengurangi keterlambatan penyelesaian dari segi waktu dan materi dari segi biaya.91
Namun, pandangan di atas menunjukkan bahwa ADR tidak sepenuhnya dapat diterapkan. Rangkaian program sebagai pendukung implementasinya perlu didesain secara tepat sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah dan masyarakat.92 Tujuan utama lahirnya ADR adalah sengketa warga diselesaikan dengan cara yang sesuai dan kebutuhan para pihak yang bersengketa, serta prinsip-prinsip fundamental keadilan, sebagaimana dikatakan peneliti dari Law Reform, Reymone Bymen, “Civil disputes are resolved in a way that needs of the parties and conforms to fundamental principles of justice.”93 Atau dalam bahasa Grace, “As forms of ADR, they remove legal conflicts from the courts with the general goal of benefitting all parties, reducing litigation costs and delays, and preventing subsequent legal disputes.”94 Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur berbagai bentuk ADR yang dapat diberlakukan dalam penyelesaian berbagai sengketa. Dalam pasal 1 angka 10 Undang-undang ini disebutkan lima macam tata cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu: konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Berikut penjelasan mengenai metode-metode tersebut: 1.
Konsultasi
Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan di dalam Undang-undang No. 30 tahun 1999 mengenai makna maupun arti dari konsultasi. Pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang ber
91 Scott Brown. et.all., Conflict Management Group (CMG), “Alternative Dispute Resolution Practitioners Guide”, h. 9-17. 92 Sternlight, “Is Alternative Dispute Resolution Consistens With The Rule of Law? Lesson From Abroad”, h. 569-572. 93
Bymen, et. all., Report Alternative Dispute Resolution, h. 1.
94
Grace, “Criminal Alternative Dispute Resolution: Restoring Justice, Respecting Responsibility, and Renewing Public Norms”, h. 567.
36
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat sifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang menyatakan sifat keterkaitan atau kewajiban untuk memenuhi dan mengikuti pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan.95 Konsultasi atau consultation diartikan sebagai aktivitas konsultasi atau perundingan klien dengan penasehat hukumnya.96 Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan konsultan yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya. Konsultasi juga difahami sebagai pertimbangan orang-orang (pihak) terhadap suatu masalah. Konsultasi sebagai salah satu penyelesaian sengketa dengan cara Alternative Dispute Resolution (ADR) pada praktiknya dapat dilakukan dengan menyewa kosultan untuk dimintai pendapatnya dalam upaya penyelesaian masalah atau sengketa hukum. Konsultasi tidak menghasilkan keputusan tetapi memberikan pendapat hukum yang dapat dijadikan rujukan bagi para pihak untuk menyelesaikan masalah.97 Jadi peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidak dominan, konsultan hanya memberikan pendapat (hukum) yang selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak. 2. Negosiasi Kata negosiasi sering disebut dengan istilah “berunding” atau “bermu sya warah” sedangkan orang yang mengadakan perundingan disebut negosiator. Negosiasi (negotiation) atau perundingan diartikan proses yang dilakukan oleh dua pihak oleh dua pihak dengan permintaan (kepentingan) yang saling berbeda dengan membuat suatu persetujuan secara kompromis dan memberikan kelonggaran.98
95
Gunawan Wijaya. Seri Hukum Bisnis, h. 86.
96
Bryan A. Garner, editor in chief, Black’s Law Dictionary (St Paul Minn: West Group, 1999), h. 97 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syari’ah dalam persfektif Kewenangan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2012), h. 442. 98
Mark E. Roszkowski, Business Law, Principles, Cases and Policy
37
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Negosiasi juga didefinisikan sebagai the process of working to cometo an agreement with other parties, an interaction and comunication process as dynamic and varied, and a subtle and nuanced, as human themselves are or can be99 (proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain, suatu proses dengan interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beraneka ragam, dapat lembut dan bernuansa, sebagaimana manusia itu sendiri). Dalam penyelesaian sengketa dengan negosiasi ini para pihak yang bersengketa tidak mesti langsung terlibat dalam negosiasi. Mereka boleh mewakilkan kepentingan kepada negosiator yang telah ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa atau permasalahan para pihak.100 Negosiasi ini merupakan salah satu strategi penyelesaian sengketa, dimana para pihak setuju untuk menyelesaikan persoalan mereka melalui proses musyawarah, perundingan atau ‘urung rembuk’.101 Negosiasi dapat dilakukan untuk tujuan kerjasama, bantuan atau persetujuan pihak lain, atau ingin menyelesaikan atau mengurangi per sengketaan atau perselisihan. Dengan demikian ruang lingkup negosiasi dapat mencakup mulai dari kerjasama atau transaksi bisnis pada berbagai levelnya sampai persaingan atau sengketa hukum. Para pihak yang terlibat dalam negosiasi mungkin saja dua orang, satu lawan satu, atau banyak pihak, aliansi dan koalisi yang bergerak. Permasalahan yang menjadi bahan negosiasi mungkin saja permasalahan tunggal atau banyak, berlaku satu kali atau bekali-kali bahkan terus menerus.102 Mekanisme negosiasi penyelesaian sengketa harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung antara para pihak yang bersengketa tanpa melibatkan orang ketiga sebagai penengah. Proses ini tidak melibat kan pihak ketiga, karena para pihak atau wakilnya berinisiatif sendiri menyelesaikan sengketa mereka. Para pihak terlibat secara langsung dalam dialog dan prosesnya.103 Negosiasi hanya dapat dilakukan di
99 Gary Goodpaster, Negotiating and Mediating: A Guide to Negotiation and Negotiated Dispute Resolution, 1993, h. 5. 100
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syari’ah, h. 443.
101
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Cet. I (Jakarta: Kencana, 2009), h. 9. 102
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum: Kajian empiris Terhadap Pengadilan (Jakarta: Kencana, 2012), h. 23-24. 103
Simon A. Robert dan Michael Palmer, Dispute Processes: ADR dan the Primary From of Decision Making (USA: Cambridge University, 2005), h. 125.
38
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat luar pengadilan, tidak sama dengan mediasi dan konsiliasi yang dapat dilakukan di pengadilan dan di luar pengadilan.104 Ketika permasalahan atau sengketa meningkat antara para pihak dan permasalahan tidak selesai dengan melakukan negosiasi, maka penyelesaian sengketa hukum dengan cara negosiasi ini dapat beralih menjadi mediasi atau konsiliasi.105 Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling sederhana dan murah. Walaupun demikian, sering juga pihak-pihak yang bersengketa mengalami kegagalan dalam bernegosiasi karena tidak menguasai teknik bernegosiasi yang baik. Secara umum teknik negosiasi dapat dibagi menjadi: 106 a. Teknik negosiasi kompetitif. Teknik negosiasi kompetitif atau sering kali diistilahkan dengan teknik negosiasi yang bersifat alot (tough) adalah teknik negosiasi yang bercirikan menjaga agar tuntunan tetap tinggi sepanjang proses negosiasi, menganggap perunding lain sebagai musuh, jarang memberikan konsesi dan sering kali menggunakan cara yang berlebihan. Tujuan penggunaan teknik ini adalah sebagai suatu cara mengintimidasi lawan dalam memenuhi permintaan dan tuntunan, membuat pihak lawan kehilangan kepercayaan diri, mengurangi harapan pihak lawan, serta pada akhirnya lawan menerima kurang dari apa yang diharapkan sebelumnya. b. Teknik kooperatif. Teknik kooperatif menganggap pihak negosiator lawan bukan sebagai musuh, namun sebagai mitra kerja mencari kepentingan bersama. Para pihak penyelesaian kooperatif berkomunikasi satu sama lain untuk menjajaki kepentingan, nilai-nilai bersama (shared interest and values), dengan menggunakan rasio dan akal sehat sebagai cara menjajaki kerja sama. Hal yang dituju oleh negosiator kooperatif adalah penyelesaian yang adil berdasarkan analisis yang objektif (berdasarkan fakta hukum) melalui upaya membangun atmosfer yang positif dan saling percaya.
104
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syari’ah, h. 443.
105
Syahrizal Abbas, Mediasi, h. 9-10.
106
Nurnaningsih Amriani, Mediasi, h. 24-25.
39
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat c.
Teknik negosiasi lunak dan keras adalah saling melengkapi, dimana teknik negosiasi lunak menempatkan pentingnya hubungan baik antarpihak yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan
d. Teknik negosiasi keras menempatkan perunding sangat dominan terhadap perunding lunak, menganggap pihak lawan adalah musuh dan bertujuan untuk memperoleh kemenangan. e. Teknik yang bertumpu pada kepentingan (interest based) adalah jalan tengah atas pertentangan keras-lunak yang memiliki empat komponen dasar yaitu: orang, kepentingan, solusi dan kriteria objektif. Untuk menghasilkan suatu negosiasi yang efektif, maka perlu diperhatikan tahapan-tahapan dalam proses negosiasi yang berlangsung. Howard Raiffa membagi tahap-tahap negosiasi menjadi beberapa, yaitu:107 a. Tahap persiapan b. Tahap tawaran awal (opening gambit), c.
Tahap pemberian konsesi, dan
d. Tahap akhir permainan (end play) Disamping tahapan-tahapan negosiasi, perlu juga diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi. Negosiasi dapat berlangsung efektif dan mencapai kesepakatan yang bersifat stabil apabila terdapat berbagai kondisi yang memengaruhinya yaitu:108 a. Para pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan kesadaran masing-masing (willingness to negotiate). b. Para pihak siap melakukan negosiasi (preparedness). c.
Para pihak mempunyai wewenang mengambil keputusan (authoritative).
d. Para pihak memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat menciptakan saling ketergantungan (relative equal bar gaining power).
107 Howard Raiffa, The Art and Science of Negotiation (Cambridge: Harvard University Press, 1982), pp. 119-130 oleh Nurnaningsih Amriani, Mediasi, h. 27. 108
Mahkamah Agung R.I., Mediasi dan Perdamaian (Jakarta: MA-RI, 2004), h. 38.
40
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat e. Para pihak mempunyai kemauan menyelesaikan masalah (willingness to settle). f.
Para pihak menginginkan pilihan terbaik untuk samapi pada kesepakatan yang dinegosiasi.
g. Para pihak memiliki rasa berkepentingan terhadap penyelesaian sengketa. h. Para pihak tidak mempunyai kendala psikologis yang besar. Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, para pihak yang ber sengketa dapat melakukan negosiasi yang efektif. Kelebihan penyelesaian sengketa melalui negosiasi adalah pihak-pihak yang bersengketa sendiri yang akan menyelesaikan sengketanya berdasarkan keinginan masingmasing. Pihak-pihak yang bersengketa adalah pihak yang paling tahu mengenai masalah yang menjadi sengketa mereka. Mereka memilih sendiri cara penyelesaian sengketa yang diinginkan. Para pihak yang bersengketa dapat mengontrol jalannya proses penyelesaian sengketa ke arah penyelesaian yang mereka inginkan.109 3. Mediasi Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, yaitu: “mediate” yang berarti “berada di tengah”. Makna ini menunjukkan pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari pihak yang bersengketa.110 Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia, mediasi diartikan sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.111 Syahrizal Abbas mencatat tiga unsur penting dari defenisi mediasi. Pertama, dalam mediasi terdapat dua pihak 109
Nurnaningsih, Mediasi, h. 28.
110
Syahrizal Abbas, Mediasi, h. 1-2.
111
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 569.
41
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat atau lebih yang bersengketa. Kedua, dalam mediasi terdapat pihak ketiga yang bukan berasal dari pihak-pihak yang bersengketa. Ketiga, tugas pihak ketiga adalah sebagai penasehat (mediator) bukan sebagai sebagai pengambil keputusan.112 Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan keputusan bagi para pihak. Mediator bersifat netral dan tidak memihak yang tugasnya membantu para pihak yang bersengketa untuk mengindentifikasikan isu-isu yang dipersengketakan mencapai kesepakatan. Dalam fungsinya mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan. Ciri pokok dari mediasi adalah pertama, mediator mengontrol proses negosiasi; kedua, mediator tidak membuat keputusan, mediator hanya memfasilitasikan. Keputusan ada di tangan para pihak yang memiliki prinsip win-win solution, sekalipun keputusan itu tidak dianggap baik oleh mediator, tetapi mungkin saja dianggap baik oleh para pihak.113 Mediasi pada dasarnya dilakukan untuk menggali kepentingan para pihak sehingga dapat dipertemukan. Dalam mediasi tidak mencari siapa yang salah siapa yang benar namun berupaya mempertemukan masing-masing keinginan dan kepentingan para pihak untuk dicari penyelesaiannya. Mediasi harus memenuhi syarat –syarat agar dapat berjalan dengan baik dan berhasil membantu penyelesaian masalah para pihak yang bersengketa. Mediasi akan berhasil atau berfungsi dengan baik, bila memenuhi persyaratan; pertama, para pihak mempunyai kekuatan tawar menawar yang sebanding. Kedua, para pihak mengharapkan hubungan setelah sengketa berjalan dengan baik. Ketiga, terdapat persoalan yang memungkinkan terjadinya pertukaran (trade offs). Keempat, adanya batas waktu atau urgensi untuk menyelesaikannya. Kelima, para pihak tidak memiliki permusuhan yang lama. Keenam, para pendukung dapat dikendalikan. Terakhir, lebih mementingkan penyelesian masalah daripada hanya memenuhi kepentingan hak pribadi semata. 114
112
Syahrizal Abbas, Mediasi, h. 2-3.
113
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syari’ah, h. 450.
114 Gary Goodpaster, “Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa,” dalam Seri Dasar-dasar Hukum Ekonomi 2 (Jakarta: Ghalia, 1995), h.17. Baca juga Erman Rajagukguk, Penyelesaian Sengketa Alternatif (Jakarta: FH UI), h. 24.
42
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat 4. Konsiliasi Konsiliasi diartikan sebagai usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisih an. Apabila para pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa, proses ini disebut konsiliasi. Hal ini yang menyebabkan istilah konsiliasi kadang sering diartikan dengan mediasi.115 Konsiliasi dapat juga diartikan sebagai upaya membawa pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak secara negosiasi.116 Konsiliasi atau pemufakatan diartikan sebagai penciptaan penye suaian pendapat dan penyelesaian suatu sengketa dengan suasana per sahabatan dan tanpa ada rasa permusuhan yang dilakukan di pengadilan sebelum dimulainya persidangan dengan maksud untuk menghindari proses litigasi.117 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai upaya yang membawa pihak-pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan.118 Negosiasi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan yang sedang berlangsung, baik dilaksanakan di luar atau di dalam pengadilan. Dengan demikian, fungsi negosiasi adalah untuk mencegah proses litigasi. Hakim memiliki tugas untuk menawarkan para pihak yang untuk melakukan negosiasi sebelum membawa permasalahan ke dalam proses litigasi. Hal ini konsiliasi merupakan satu alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan di luar maupun di dalam pengadilan.119 Proses negosiasi melibatkan para pihak dalam suatu seng keta dengan bantuan pihak ketiga yang netral (konsiliator), mengidentifikasikan masalah, menciptakan pilihan-pilihan, dan mempertimbangkan pilihan penyelesaian masalah. Konsiliasi dilakukan bila mediasi tidak dapat menyelesaikan sengketa. Dengan kata lain, konsiliasi akan dilakukan bila mediasi tidak berhasil. Dengan demikian, konsiliasi tidak terlalu jauh berbeda dengan mediasi, yaitu sama-sama menggunakan pihak 115
Suyud Margono, ADR, h. 29.
116
Joni Emerzon, Alternatif, h. 90-91.
117
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, h.
118
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
119
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syari’ah, h. 447.
h. 218.
43
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat ketiga dalam penyelesaian sengketa. Keputusan yang dihasilkan juga sama-sama bersifat final dan mengikat. Salah satu perbedaan antara konsiliasi dan mediasi terletak pada rekomendasi yang diberikan pihak ketiga kepada pihak yang bersengketa. Dalam mediasi pihak ketiga bertugas membimbing para pihak yang bersengketa untuk sampai pada kesepakatan sebagai penyelesaian sengketa sedang kan dalam konsiliasi, pihak ketiga dapat memberikan rekomendasi untuk para pihak dalam menyelesaikan sengketa.120 Berikut karakteristik mediasi dan konsiliasi yang hampir sama.121 a. Proses penyelesaian sengketa sama-sama dilakukan di luar pengadilan b. Pihak ketiga sama-sama netral dan diterima oleh para pihak c.
Pihak ketiga sama-sama bertugas membantu para pihak mencari penyelesaian
d. Pihak ketiga sama-sama tidak memiliki wewenang pengambilan keputusan e. Tujuannya sama-sama mencari kesepakatan yang dapat diterima para pihak untuk mengakhiri sengketa. Berbeda dengan negosiasi dan mediasi, dalam proses konsiliasi, konsiliator mempunyai peran luas aktif, karena seorang konsiliator bertugas sampai memberikan rekomendasi penyelesaian – sedangkan mediator hanya mem bimbing – dengan memberikan syarat penyelesaian dan mendorong para pihak untuk mencapai kesepakatan.122 5.
Penilaian Ahli dan Pendapat Hukum
Penilaian ahli dapat diartikan sebagai pendapat hukum atau legal opinion atas permintaan dari para pihak yang bersengketa. Penilaian ahli adalah suatu proses yang menghasilkan suatu pendapat objektif, independen dan tidak memihak atas fakta-fakta atau isu-isu yang diper
120
Nurnaingsih, Mediasi, h. 34.
121
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syari’ah, h. 447. Lihat juga Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Solusi dan Antisipasi Peminat Bisnis dalam Menghadapi Sengketa Kini dan Mendatang (Yogyakarta: Citra Media, 2006), h. 93. 122
Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian (jakarta: MA-RI, 2004), h. 158.
44
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat sengketakan oleh seorang ahli yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa. Di dalam melakukan proses ini dibutuhkan persetujuan dari para pihak untuk memberikan dan mempresentasikan fakta dan pendapat dari para pihak kepada ahli. Ahli tersebut kemudian akan melakukan penyelidikan dan pencarian fakta guna mendapatkan informasi lebih lanjut dari para pihak dan akan membuat pendapat keputusan sebagai ahli bukan sebagai hakim atau arbiter. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altertatif Penyelesaian Sengketa juga mengenal istilah pendapat para ahli sebagai bagian dari Alternative Dispute Resolution (ADR), pemberian opini atau pendapat hukum dapat merupakan suatu masukan dari berbagai pihak dalam menyusun atau membuat perjanjian maupun dalam memberikan penafsiran ataupun pendapat terhadap salah satu atau lebih ketentuan dalam perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak untuk memperjelas pelaksanaannya.123 Dasar hukum penyelesaian sengketa hukum dengan pendapat ahli adalah pasal 52 Undang-undang no. 30 tahun 1990 yang menyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian.124 6. Arbitrase. Arbitrase atau arbitration diartikan sebagai a method of dispute resolution involving one or more neutral third parties who are agreed to by the disputing parties and whose decision is binding.”125 Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 1 ayat (1), arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Tokoh hukum memiliki pandangan yang berbeda, apakah arbitrase termasuk dalam bentuk penyelesaian sengketa litigasi atau non litigasi dalam hal ini Alternative Dispute Resolution (ADR). Perbedaan pendapat mereka disebabkan pada cara pengambilan keputusan yang dilakukan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang menggunakan
123
Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis, h. 94 - 96.
124
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syari’ah, h. 459.
125
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, h. 100.
45
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat cara memutus (adjudicative) seperti di pengadilan. Nurnaningsih mengatakan bahwa arbitrase adalah bentuk penyelesaian sengketa litigasi atau pengadilan.126 Sedangkan Takdir Rahmadi lebih cenderung dengan pendapat yang mengatakan bahwa arbitrase termasuk kepada penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR) sekalipun proses penyelesaian sengketa dengan cara memutus (adjudicative). 127 Perbedaan pandangan ini mungkin dikarenakan Arbitrase telah berkembang menjadi bentuk penyelesaian sengketa yang sifatnya komersial yang menyerupai proses litigasi – mirip dengan proses peradilan, formal, biaya tinggi dan menjadi objek bagi para pengacara hukum.128 Sengketa yang dapat diselesaikan melalui hanya sengketa di bidang perdata atau perdagangan. Untuk melakukan secara arbitrase, para pihak menyetujui untuk melepaskan hak-haknya mengajukan perkara ke pengadilan nasional. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase cenderung lebih cepat, lebih non formal, lebih murah, lebih mudah penyesuaiannya dan lebih rahasia dibandingkan penyelesaian perkara di pengadilan.129 Karakteristik hasil penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah kewenangan para pihak. Keputusan hasil arbitrase bersifat final dan mengikat. Hal ini disebutkan dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altertatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang menyelesaikan sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase dan putusan arbitrase adalah final (final and binding), artinya tidak dapat dilakukan banding, peninjauan kembali atau kasasi, serta putusannya berkekuatan hukum tetap bagi para pihak. Arbitrase memiliki prinsip-prinsip: a. Penyelesaian sengketa dilakukan di luar peradilan. b. Keinginan untuk menyelesaikan sengketa di luar peradilan harus berdasarkan atas kesepakatan yang dibuat oleh pihak yang bersengketa.
Nurnaningsih Amriani, Mediasi, h. 19.
126
Takdir Rahmadi, Mediasi, h. 12.
127
128 Lihat, Thomas J. Stipanowick, “Arbitration: The “New Litigation”,” University of Illinois Law Review, No. 1, 2010, h. 8-9. 129
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum, h. 36.
46
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat c.
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa dalam bidang perdata dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersangkutan.
d. Para pihak menunjuk arbiter/ wasit di luar pejabat peradilan seperti hakim, jaksa, panitera tidak dapat diangkat sebagai arbiter. e. Pemeriksaan sengketa dilaksanakan secara tertutup. Pihak yang bersengketa mempunyai hak yang sama dalam mengemukakan pendapat masing-masing. f.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional.
g. Arbiter/ majelis arbiter mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan. h. Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari sejak pemerik saan ditutup. Putusan arbitrase bersifat final and binding artinya final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat. i.
Putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter kepada panitera pengadilan Negeri, dan dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua PN, atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Melihat prinsip-prinsip arbitrase yang telah dikemukakan maka dapat dikatakan bahwa arbitrase mirip dengan pengadilan, dan arbiter mirip dengan hakim, namun ada beberapa perbedaan: (1) Pengadilan bersifat terbuka, arbitrase bersifat tertutup; (2) mengaju kan tuntutan ke pengadilan tidak membutuhkan persetujuan pihak lawan, tuntutan ke arbitrase harus didasari persetujuan pihak lawan dengan menggunakan Perjanjian Arbitrase, (3) proses pengadilan formal dan kaku, arbitrase lebih fleksibel; (4) Hakim pada umumnya generalist, arbiter dipilih atas dasar keahlian; (5) putusan pengadilan masih bisa diajukan banding, kasasi dan PK, putusan Arbitrase bersifat final dan mengikat tidak dapat dibanding atau dikasasi; (6) Hakim mengenal yurisprudensi, arbiter tidak mengenal hal tersebut; (7) Hakim cenderung memutus perkara atas dasar ketentuan hukum, arbiter pula memutus atas dasar keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono).
47
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Gambaran perbedaan dan perbandingan antara Mediasi, Negosiasi dengan Arbitrase dan Litigasi secara ringkas dapat lihat dalam tabel berikut: Perbandingan antara Perundingan (Negosiasi, Mediasi), Arbitrase, dan Litigasi Proses
Perundingan
Arbitrase
Yang mengatur
Para pihak (parties)
Arbiter
Hakim
Prosedur
Informal
Agak formal sesuai dengan rule
Sangat formal dan teknis
Jangka waktu
segera (3-6 minggu)
Agak cepat (3-6 bulan)
Lama (2 tahun lebih)
Biaya
Murah (low cost)
Terkadang sangat mahal
Sangat mahal (expensive)
Aturan pembuktian
Tidak perlu
Agak informal
Sangat formal dan teknis
Publikasi
Konfidensial
Konfidensial
Terbuka untuk umum
Hubungan para pihak
Kooperatif
Antagonistis
Antagonistis
Fakus penyelesaian
For the future
Masa lalu (the past)
Masa lalu (the past)
Metode negosiasi
Kompromis
Sama keras pada prinsip hukum
Sama keras pada prinsip hukum
Komunikasi
Memperbaiki yang sudah lalu
Jalan buntu (blocked)
Jalan buntu (blocked)
Result
Win-win
Win-lose
Win-lose
Pemenuhan
Sukarela
Selalu ditolak dan mengajukan oposisi
Ditolak dan mencari dalih
Suasana emosional
Bebas emosi
Emosional
Emosi bergejolak
48
Litigasi
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Penyelesaian secara arbitrase dapat dinilai sebagai bentuk ADR yang popular di Indonesia. Setidaknya terdapat tiga badan Arbitrase di Indonesia yang terkenal, yaitu: BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) dan BASYARNAS (Badan Arbitrase Syari’ah Nasional).130 Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)131 bertujuan memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata bersifat nasional dan yang bersifat Internasional. Berdirinya lembaga ini diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, pada tanggal 3 Desember 1977. Prakarsa Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dalam mendirikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( BANI) sesuai dengan UU No 1 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri, yang menyatakan bahwa dalam rangka pembinaan pengusaha Indonesia Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dapat melakukan antara lain jasa jasa baik dalam peberian surat keterangan, Arbitrase dan rekomendasi mengenai pengusaha bisnis Indonesia, termasuk legalisasi surat –surat yang diperlukan bagi kelancaran usahanya. BANI adalah jenis Arbitrase yang melembaga, dimana bentuk Arbitrase semacam ini akan tetap ada walaupun sengketa yang telah diputus telah selesai atau telah ada sebelum sengketa ini timbul. Di mana keberadaannya hanya untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu dan setelah sengketa telah diputus, keberadaan dan fungsi Arbitrase ini lenyap dan berakhir begitu saja. Di Indonesia minat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase mulai meningkat sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Perkembangan ini sejalan dengan arah globalisasi, di mana penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah menjadi pilihan pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Selain karakteristik cepat, efisien dan tuntas, arbitrase menganut prinsip win-win solution, dan tidak berteletele karena tidak ada lembaga banding dan kasasi. Biaya arbitrase juga lebih terukur, karena prosesnya lebih cepat. Keunggulan lain arbitrase 130 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syari’ah dalam persfektif Kewenangan Peradilan Agama, h. 461-471. 131 Untuk lebih lanjut tentang Bani dan arbitrase baca priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa: Suatu Pengantar (Jakarta: Fikahati Aneska, 2002), h. 223 – 254.
49
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat adalah putusannya yang serta merta (final) dan mengikat (binding), selain sifatnya yang rahasia (confidential) di mana proses persidangan dan putusan arbitrase tidak dipublikasikan. Berdasarkan asas timbal balik putusan-putusan arbitrase asing yang melibatkan perusahaan asing dapat dilaksanakan di Indonesia, demikian pula putusan arbitrase Indonesia yang melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di luar negeri. a.
DalamrangkaturutsertadalamupayapenegakanhukumdiIndonesia menyelenggarakan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi diberbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya antara lain di bidang-bidang Korporasi, Asuransi, Lembaga Keuangan, Fabrikasi, Hak Kekayaan Intelektual, Lisensi, Franchise, Konstruksi, Pelayaran/maritim, Lingkungan Hidup, Penginderaan Jarak Jauh, dan lain-lain dalam lingkup peraturan perundangundangan dan kebiasaan internasional.
b. Menyediakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau bentuk-bentuk alternatif penyelesaian seng keta lainnya, seperti negiosiasi, mediasi, konsiliasi dan pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan Peraturan Prosedur BANI atau peraturan prosedur lainnya yang disepakati oleh para pihak yang berkepentingan. c.
Bertindak secara otonom dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan.
d. Menyelenggarakan pengkajian dan riset serta program-program pelatihan/pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR) yang ada di Indonesia berikutnya adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) merupakan salah satu wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Pendirinya diprakarsai oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI), pada tanggal 21 Oktober 1993. Tujuan berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sendiri adalah sebagai badan permanen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah perubahan dari nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Kemudian
50
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat selama kurang lebih 10 (sepuluh) tahun Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjalankan perannya, dan dengan pertimbangan yang ada bahwa anggota Pembina dan Pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sudah banyak yang meninggal dunia, juga bentuk badan hukum yayasan sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sudah tidak sesuai dengan kedudukan BAMUI tersebut, maka atas keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor : Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang sebelumnya direkomendasikan dari hasil RAKERNAS MUI pada tanggal 23-26 Desember 2002. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) merupakan badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kehadiran Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) mem berikan kontribsi bagi umat Islam Indonesia, bukan saja karena dilatar belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan syariat Islam, melainkan juga lebih dari itu adalah menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan di kalangan umat. Karena itu, tujuan didirikan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai badan permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain dikalangan umat Islam. Berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) ini tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat Islam, kontekstual ini jelas dihubungkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Syariah (BPRS) serta Asuransi Takaful yang lebih dulu lahir. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan belum mengatur mengenai bank syariah, akan tetapi dalam menghadapi per kembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kom petitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk perbankan. Bahwa dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasinya beberapa perjanjian inter nasional di bidang perdagangan barang dan jasa, diperlukan penyesuaian
51
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat terhadap peraturan Perundang-undangan di bidang perekonomian, khususnya sektor perbankan, oleh karena itu dibuatlah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undangundang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mengatur tentang perbankan syariah. Dengan adanya Undang-undang ini maka pemerintah telah melegalisir keberadaan bank-bank yang beroperasi secara syariah, sehingga lahirlah bank-bank baru yang beroperasi secara syariah. Dengan adanya bank-bank yang baru ini maka dimungkinkan terjadinya sengketasengketa antara bank syariah tersebut dengan nasabahnya sehingga Dewan Syariah Nasional menganggap perlu mengeluarkan fatwa-fatwa bagi lembaga keuangan syariah, agar didapat kepastian hukum mengenai setiap akad-akad dalam perbankan syariah, dimana di setiap akad itu dicantumkan klausula arbitrase yang berbunyi: “Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”. Dengan adanya fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut dimana setiap bank syariah atau lembaga keuangan syariah dalam setiap produk akadnya harus mencantumkan klausula arbitrase, maka semua sengketasengketa yang terjadi antara perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah dengan nasabahnya maka penyelesaiannya harus melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari dalam lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya. Bahkan, dari kalangan non muslim pun dapat memanfaatkan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) selama yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan sengketa.
7. Restorative Justice (JR) Bentuk lain yang dapat digolongkan sebagai bentuk lain dari Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah Restorative Justice yang dipahami sebuah sebuah proses hukum bagi tindak pidana di luar Pengadilan. Restorative Justice merupakan terminologi asing yang baru dikenal di Indonesia belakangan ini dengan istilah Keadilan Restoratif.
52
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Pengertian keadilan restoratif dapat merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 6 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) yang berbunyi sebagai berikut: “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.” Dasar hukum Restorative Justice (RJ): a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. b. Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. c.
Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Per aturan Perundang-undangan.
d. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. e. Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Restorative Justice (RJ) umumnya dikenal sebagai kebijakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut; sebagai penentu keputusan akhir dari suatu kasus sengketa, konflik, pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan diskresi atau pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak tertentu. Pada beberapa kasus dilanjutkan dengan permintaan kepada pelaku atau pelanggar agar mengakomodasi kerugian korban. Istilah umum yang populer adalah dilakukannya “perdamaian” dalam perkara pelanggaran hukum pidana. Keadilan Restoratif tidak berfokus pada hukuman penjara, melainkan pada bagaimana perbaikan/pemulihan keadaan korban pasca tindak pidana yang dilakukan dengan cara negosiasi atau mediasi antara pelaku, korban dan mediator terlatih.132 Dalam hal ini, pelaku tindak pidana dapat diwajibkan untuk membayar ganti rugi, melakukan kerja sosial, atau
132
Grace, “Criminal Alternative Dispute Resolution: Restoring Justice, Respecting Responsibility, and Renewing Public Norms”, h. 565-566.
53
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat tindakan wajar lain yang ditetapkan oleh penegak hukum/pengadilan.133 Dengan demikian Restorative Justice (RJ) merupakan salah satu model Alternative Dispute Resolution (ADR), saja hanya Restorative Justice (RJ) lebih ditujukan pada kejahatan terhadap sesama individu/ anggota masyarakat daripada kejahatan terhadap negara. Dalam Restorative Justice (RJ), pihakpihak yang terlibat lebih diutamakan untuk menyelesaikan masalahnya bukan semata-mata melalui penyelesaian hukum, tetapi memberikan kesempatan kepada para pihak yang terlibat untuk menentukan solusi, membangun rekonsiliasi, demikian pula membangun hubungan yang baik antara korban dan pelaku. Hubungan baik ini berguna untuk, salah satunya, menekan residivisme. Dalam hal ini, korban memainkan peran yang utama dalam proses penyelesaian masalah dan dapat mengajukan tuntutan sebagai kompensasi kepada pelaku.134 Restorative Justice (RJ) menekankan pendekatan yang seimbang antara kepentingan pelaku, korban dan masyarakat dimana terdapat tanggungjawab bersama antar para pihak dalam membangun kembali sistem sosial di masyarakat.
C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Melalui ADR ADR sebagai bentuk penyelesaian sengketa memiliki mekanisme yang bervariasi sesuai dengan jenis yang dipilih, namun semuanya seputar pengaturan kesepakatan para pihak, intervensi ataupun bantuan dari pihak ketiga serta proses yang akan ditempuh. Berikut penjelasan mekanisme penyelesaian sengketa melalui ADR berdasarkan ketentuan yang berlaku di Indonesia. Sesuai dengan prosedur yang ditempuh dalam ADR sifatnya confidential (rahasia) atau bersifat privasi, maka Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur mekanisme dan prosedur yang harus ditempuh oleh para pihak yang terlibat.
133 Penelitian terhadap penerapan Restorative Justice di Indonesia dapat dirujuk ke: Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice (Bandung: Refika Aditama, 2009); Sabian Utsman, Restorative Justice: Hukum Masyarakat Nelayan Saka dalam Sistem Huum Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013). 134 Harkristuti Harkrisnowo, “Victims: the forgotten stakeholders of the Indo nesians Criminal Justice System,” dalam Wing-Cheong Chan (ed), Support for Victims of Crime in Asia (New York: Routledge, 2008), h. 284-285.
54
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Kesepakatan para pihak mengenai bentuk penyelesaian sengketa yang mereka inginkan merupakan hal pertama yang diatur. Dalam pasal 2 dan 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 misalnya menyebutkan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul dapat diselesaikan dengan cara arbitrase atau jenis ADR lainnya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Ketentuan ini memberikan keleluasan bagi para pihak untuk menetapkan aturan main terhadap penyelesaian sengketa mereka. Jika para pihak dalam penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat memperoleh jalan buntu dan belum menuangkannya dalam perjanjian, atas kesepakatan tertulis sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui bantunan seorang atau lebih penasihat ahli atau mediator. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga ADR, usaha mediasi dapat dilaksanakan dalam waktu 7 (hari).135 Kesepakatan yang dicapai dalam proses ADR bersifat final dan mengikat para pihak untuk diterapkan dan wajib didaftarkan di pengadilan negeri. Dengan demikian terlihat bahwa peran pengadilan sebagai lembaga yudisial masih sangat kuat dan memiliki kekuatan hukum (pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999). Dalam pemeriksaan perkara sengketa perdata di Pengadilan, proses perdamaian sebagai tujuan utama ADR sebenarnya dapat diusahakan. Hakim yang mengadili wajib mengusahakan perdamaian antara kedua belah berperkara. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 154 R. Bg atau Pasal 130 H1R, yang menjelaskan bahwa: a. Apabila pada hari yang telah ditentukan, kedua belah pihak hadir, maka pengadilan dengan perantaraan Ketua sidang berusaha memperdamaikan mereka; b. Apabila perdamaian tercapai pada waktu persidangan, dibuat suatu akta perdamaian yang mana kedua belah pihak dihukum akan melaksanakan perjanjian itu; akta perdamaian itu berkekuatan dan dijalankan sebagai putusan yang biasa; c.
Terhadap putusan sedemikian itu tidak dapat dimohonkan banding;
135
Lihat Pasal 6 ayat 4 dan 5 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
55
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat d. Dalam usaha untuk memperdamaikan kedua belah pihak, diperlukan bantuan seorang juru bahasa.136 Berdasarkan ketentuan di atas, pada hari sidang pertama apabila kedua belah pihak hadir, pada saat itulah hakim dapat berperan secara aktif. Untuk keperluan perdamaian hakim dapat menunda persidangan untuk memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak berperkara. Pada hari sidang berikutnya apabila mereka berhasil mengadakan perdamaian, disampaikanlah kepada hakim dipersidang hasil perdamaian yang lazimnya berupa surat perjanjian di bawah tangan yang ditulis di atas kertas bermaterai atau acte van darling. Berdasarkan adanya perdamaian tersebut maka hakim menjatuh kan putusannya, yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan lainnya. Hanya dalam hal ini banding tidak dapat dimungkinkan. Usaha perdamaian terbuka sepanjang pemeriksaan dipersidangan. Dengan dicapainya perdamaian maka proses pemeriksaan perkara berakhir. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002 meng gariskan kebijakan internal yang isinya : a. Hakim atau Majelis yang menyidangkan perkara dengan sungguhsungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan ketentuan Pasal 130 H.I.R atau Pasal 154 Rbg, tidak hanya sekedar formalitas menganjurkan perdamaian; b. Hakim yang ditunjuk dapat bertindak sebagai fasilitator yang membantu para pihak baik dari segi waktu, tempat, dan pengumpulan data-data dan argumentasi para pihak dalam rangka persiapan ke arah perdamaian; c.
Pada tahap selanjutnya apabila dikehendaki para pihak yang berperkara, Hakim atau pihak lain yang ditunjuk dapat bertindak sebagai mediator yang akan mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang disengketakan dan berdasarkan informasi yang diperoleh serta keinginan masing-masing pihak dalam rangka perdamaian,
136
K.Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RVG/HIR,( Penerbit Ghalia Indonesia,Jakarta 1981), h. 23-24.
56
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat mencoba menyusun proposal perdamaian yang kemudian dikonsultasikan dengan para pihak untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan atau win-win solution; d. Hakim yang ditunjuk sebagai fasilitator atau mediator oleh para pihak tidak dapat menjadi Hakim majelis pada perkara yang bersangkutan untuk menjaga objektifitas; e. Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator, maupun mediator kepada Hakim yang bersangkutan diberikan waktu paling lama tiga bulan, dan dapat diperpanjang, apabila ada alasan untuk itu dengan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri, dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 6 Tahun 1992. f.
Persetujuan para pihak dituangkan dalam persetujuan tertulis dan ditanda tangani, kemudian dibuatkan Akte Perdamaian atau Dading, agar para pihak dihukum untuk menepati apa yang disepakati atau disetujui tersebut;
g. Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat dijadikan bahan penilaian atau reward bagi hakim yang menjadi fasilitator atau mediator; h. Apabila usaha-usaha yang dilakukan oleh hakim tersebut tidak berhasil, Hakim yang bersangkutan melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Mejelis dan pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan oleh majelis Hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak untuk berdamai selama proses pemeriksaan berlangsung; i.
Hakim yang menjadi fasilitator maupun mediator wajib membuat laporan kepada Ketua Pengadilan Negeri secara teratur;
j.
Apabila terjadi proses perdamaian, maka proses perdamaian tersebut dapat dijadikan sebagai alasan penyelesaian perkara melebihi ketentuan 6 bulan.137
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, yang isinya mengatur tata cara penyelesaian sengketa melalui mediasi. Mediator hakim tunggal yang di
137 Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks. Pasal 130 HIR/154/RBg.).
57
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat tunjuk oleh Ketua Pengadilan tingkat pertama. Hakim mediator di sini adalah hakim yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak bersengketa dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama menurut Peraturan Mahkmah Agung tersebut wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Dalam melaksanakan fungsinya mediator wajib mentaati kode etik mediator. Penyelesaian sengketa melalui mediasi menurut Peraturan Mahkamah Agung tersebut ada dua tahap, yaitu : a. Tahap Pra Mediasi yang diatur dalam Pasal 7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yaitu : pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak yang hadir diberitahu akan kewajiban untuk menumpuh terlebih dahulu jalur mediasi dan hakim harus menjelaskan prosedur mediasi dan berusaha mendorong dan memotivasi para pihak atau kuasa hukum untuk berperan aktif di dalam proses mediasi intinya para pihak yang berperkara lebih dahulu menuntut mediasi, dan hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi. Dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja setelah sidang pertama, para pihak dan atau kuasa hukum mereka wajib berunding guna memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan atau mediator di luar daftar pengadilan termasuk biaya yang akan timbul akibat pemilihan mediator; dan b. Tahap Mediasi yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 13 bahwa dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pemilihan atau pemilikan mediator yang disepakati, para pihak wajib menyerahkan fotocopy dokumen yang memuat duduk perkara, fotocopy surat-surat yang diperlukan, dan hal-hal yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua Majelis Hakim. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan di tanda tangani oleh para pihak
58
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat dan mediator. Kesepakatan wajib memuat klausula pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai. Para pihak wajib menghadap kembali pada hakim yang mengadili perkara, pada hari siding yang telah ditentukan untuk memberitahukan telah tercapainya kesepakatan. Selanjutnya, hakim mengukuhkan kesepakatan sebagai akta perdamaian. Apabila mediasi tidak menghasilkan kesepakatan dalam waktu maksimal 40 hari, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim. Setiap pihak diberi kesempatan untuk mempresetasikan suatu outline kepada mediator. Meskipun biasanya pihak yang mengajukan kasus yang memulai presentasi. Tujuan dari presentasi ini adalah memberikan informasi kepada mediator tentang sengketa mereka, memberikan kesempatan kepada para pihak untuk didengar dan juga memberi kesempatan kepada setiap pihak mendengarkan kasus sengketa yang terjadi dari pihak lainnya secara langsung. Mediator bisa pula memerintahkan agar pihak-pihak yang berseng keta memberikan keterangan tentang kasus yang terjadi antara para pihak lalu mediator akan membuat ringkasan presentasi masing-masing pihak guna memastikan bahwa pihak lain telah mendengar dan mengerti. Peran mediator selanjutnya mengidentifikasi masalah atau hal yang sudah disepakati bersama diantara para pihak. Hal ini akan membantu para pihak melihat aspek positif pada permasalahan, Mediator berperan penting dalam menunjukkan beberapa masalah yang telah disepakati para pihak yang bersengketa, dalam hal yang substantif misalnya mengenai hak atas tanah. Setelah para pihak menguraikan semua permasalahan dari sengketa yang terjadi lalu mediator membuat struktur untuk pertemuan mediasi, yang meliputi masalah-masalah yang diperselisihkan dan sedang ber kembang, sedang dikonsultasikan oleh para pihak, sehingga tersusun suatu daftar isu menjadi suatu agenda. Selanjutnya proses mediasi akan beralih kepada tahap negosiasi, mediator mempertemukan para pihak yang bersengketa ataupun wakilwakil yang diberi kuasa dari para pihak untuk berbicara langsung satu sama lainnya. Mediator berperan menjaga kelangsungan acara mediasi, mencatat kesepahaman, meringkas atau membuat kesimpulan, dan sekalikali mengintervensi atau memberi jalan tengah dalam proses komunikasi dalam mediasi.
59
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Bentuk lain dari mediasi, mediator mengatur seluruh arah pembicaraan, langsung terlibat dalam mediasi kepada para pihak dan wakil kuasa dari para pihak serta menawarkan solusi. Pertemuan terpisah merupakan suatu cara atau jalan tengah dalam proses mediasi, mediator akan memanggil pihak-pihak yang bersengketa secara terpisah baik itu pertemuan dengan wakil kuasa dari pihak maupun dari pihak yang bersengketa itu sendiri. Mediator mengadakan pertemuan secara terpisah berguna untuk : a. Menggali kasus sengketa yang terjadi dari pihak yang satu dengan pihak yang lain agar tercipta kesepakatan. b. Memberikan suasana dinamis pada proses mediasi apabila ditemukan jalan buntu dari suatu permasalahan sengketa. Para pihak dan kuasa hukum pihak dapat pula meminta terpisah, kuncinya mediator mengadakan pertemuan secara terpisah antara satu pihak dengan pihak lain. Setelah mengadakan pertemuan terpisah, para pihak dikumpulkan kembali guna mendiskusikan dan membuat negosiasi akhir. Di dampingi oleh mediator sebagai pihak perantara atau pengawas. Para pihak yang bersengketa mendapatkanhasil akhir dari mediasi yang telah mereka jalani dengan pembacaan hasil oleh mediator. Mediator berfungsi sebagai fasilitator semata, keputusan akhir mediasi ditentukan para pihak yang bersengketa. Seluruh keinginan dan kesepakatan didokumentasikan oleh mediator. Hasil dari mediasi akan dituangkan dalam tulisan atau catatan sebagai nota kesepakatan dan ditandatangani, kemudian disempurnakan oleh pihak kuasa dari para pihak yang bersengketa sehingga menjadi kesepakatan akhir. Keputusan perdamaian itu dituangkan dalam “Akta Perdamaian” yang dibuat oleh hakim atau mediator. Kedua belah pihak dihukum untuk mentaati isi “Akta Perdamaian” itu, dan isinya pada umumnya sudah jelas sekali dan diakhiri dengan menghukum kedua belah pihak untuk membayar biaya perkara masing-masing. Akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu putusan hakim yang biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.138
138
Retnowulan Sutantio, “Mediasi dan Dading”, dalam Proceedings Rangkaian Lokakarya Terbatas Hukum Kepailitan Dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum bekerja sama dengan Pusdiklat Mahkamah Agung RI dan Konsultan Hukum Ey Rum & Rekan, 2003), h. 36-37.
60
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat
D. Pengaruh Alternative Dispute Resolution (ADR) terhadap Eksistensi Peradilan. Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan keberadaan peradilan sebagai lembaga penyelesaian sengketa litigasi.139 Namun, berbagai kelemahan yang melekat pada sistem peradilan itu, menyebabkan lembaga peradilan semakin dihindari oleh masyarakat pencari keadilan dan mencari bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alternatif lain bagi penyelesaian sengketa yang dihadapinya.140 Berbagai kritik ditujukan terhadap kedudukan dan keberadaan peradilan di seluruh dunia. Tidak hanya di negara-negara berkembang, tetapi juga di negara-negara maju, justru kritik lebih gencar dilakukan, terutama dari kalangan komunitas bisnis. Penghindaran penyelesaian sengketa di pengadilan di kalangan komunitas bisnis, umumnya adalah karena pertimbangan efisiensi, kemanfaatan dan kepercayaan sehingga perkara yang menyangkut keuangan diajukan ke pengadilan didasarkan pada itikad buruk, hanya jika salah satu pihak yang berpekara ingin menunda pembayaran agar dapat terus menggunakan uang atau nilai uang dibayarkan nanti menjadi lebih kecil sebagai akibat inflasi. Kritik keras terhadap kinerja institusi pengadilan, di antaranya yang paling menonjol adalah penyelesaian sengketa lambat, biaya perkara yang mahal, putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, dan menimbulkan permusuhan. Kritik atas lambatnya penyelesaian sengketa melalui litigasi merupakan kenyataan yang umumnya dan sulit dihilangkan. Oleh karena birokratis dan formalistic dari sistem peradilan itu sendiri memang sangat potensial memperlambat penyelesaian sengketa.141
139
Wicipto Setiadi, “Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR),” dalam http://rizalunpad.wordpress.com/2011/11/25/penyelesaiansengketa-melalui-alternative-dispute-resolution-adr-oleh-dr-wicipto-setiadi-s-h-ma/ diakses tanggal 18 Januari 2014. 140
Fakta ini tidak hanya ditemukan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, tapi juga terjadi di Republik Indonesia bahkan diatur dalam perangkat peraturan perundang-undangan untuk menjamin eksistensi ADR. Untuk konteks Amerika Serikat, penelitian Stipanowich bukti atas fakta ini. Lihat Thomas J. Stipanowich, “ADR and the “Vanishing Trial”: The Growth and Impact of Alternative Dispute Resolution, Journal of Empirical Legal Studies, Volume I, Issue 3, November 2004, h. 843-912. 141
Lihat Sternlight, “Is Alternative Dispute Resolution Consistens With The Rule of Law? Lesson From Abroad”, h. 569-572.
61
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Di Indonesia landasan untuk menciptakan suatu peradilan yang sederhana, cepat dan biaya murah dituangkan dalam Pasal 4 ayat 2 Undangundang No. 14 Tahun 1970. Namun peradilan tidak mampu menggerakkan dan mendinamisir ide, jiwa dan semangat ketentuan tersebut,142 karena terbentuk pada faktor-faktor yang ada didalam maupun diluar undangundang tersebut. Menyadari lambatnya penyelesaian sengketa malalui peradilan di Indonesia, pada tahun 1992 dikeluarkan suatu kebijakan oleh Mahkamah Agung bahwa setiap perkara yang ditangani peradilan tingkat pertama dan banding harus selesai dalam waktu tidak lebih enam bulan.143 Sebagai dampaknya arus perkara makin cepat dan deras melaju ke tingkat asasi, sehingga menimbulkan penumpukan perkara di Mahkamah Agung RI. Setidaknya, ADR atau Alternatif Penyelesaian Sengketa yang telah diformalkan dan diaplikasikan baik oleh lembaga-lembaga hukum maupun lembaga masyarakat seperti kelembagaan adat memberikan dampak pada penurunan jumlah kasus yang diajukan ke Pengadilan. Selain itu, tujuan dari proses hukum suatu kasus atau sengketa akan benar-benar terpenuhi karena umumnya ADR dilaksanakan dan keputusan berdasarkan keinginan para pihak yang terlibat di dalamnya, dan diputuskan berdasarkan rasa keadilan mereka.
E. Alternative Dispute Resolution (ADR) di Beberapa Negara. Beberapa negara telah menggunakan Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam berbagai bentuk termasuk mediasi, arbitrase ataupun bentuk ADR yang lain. Beberapa negara yang menggunakan Amerika dan juga Jepang. 1.
Alternative Dispute Resolution (ADR) di Amerika.
Di kalangan masyarakat Amerika awalnya cenderung menggunakan litigasi atau pengadilan sebagai upaya penyelesaian masalah hukumnya. Terdapat anggapan bahwa masyarakat Amerika tidak puas dengan sistem peradilan maka mereka beralih mencari alternatif sebagai pilihan penye lesaian sengketa hukum. 142
M.Yahya harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997) h. 307. 143
T.M.Luthfi Yazid, “Penyelesaian Sengketa Melalui ADR”, Jurnal Hukum Lingkungan Tahun III No.1/1996, h.96
62
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Konsep Alternative Dispute Resolution (ADR) pertama kali muncul di Amerika Serikat bentuk jawaban atas reaksi masyarakat Amerika Serikat sendiri terhadap sistem peradilan mereka. Ketidakpuasan yang dimaksud bersumber pada persoalan waktu yang digunakan sangat lama dengan biaya sangat mahal serta diragukan kemampuannya dalam menyelesaikan secara memuaskan kasus-kasus yang rumit. Meskipun masyarakat Amerika erikat terkenal sebagai masyarakat modern dengan didominasi oleh cara ligitasi dengan selalu meneriakan kata “see you in court”, walaupun masalah yang dihadapi atau masalah yang disengketakan adalah masalah kecil atau sepele. Istilah Alternative Dispute Resolution (ADR) relatif baru dikenal di negara kita.144 Maka upaya penyelesaian hukum mengutamakan Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai upaya utama sedangkan ligitasi ditempatkan sebagai upaya akhir bila Alternative Dispute Resolution (ADR) tidak berhasil dilakukan. Di Amerika terdapat beberapa lembaga Alternative Dispute Resolution Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam berbagai bentuk. Di Amerika, pusat arbitrase Institusional adalah American Arbitrase Association (AAA). Lembaga ini didirikan tahun 1926, bersifat non-profit dan non-goverment, cara penyelesaian sengketa hukum berdasarkan klasual arbitrase dan keputusannya bersifat mengikat. Selain itu, terdapat sistem arbitrase yang menghubungkan antara arbitrase dan pengadilan. Sistem ini disebut dengan compulsory arbitrase system. Sistem penyelesaian sengketa yang memadu secara koneksitas antara arbitrase dan pengadilan. Jika para pihak dapat menerima keputusan arbitrase, keputusan itu dikukuhkan di pengadilan. Sebaliknya, kalau keputusan arbitrase tidak di terima maka sengketa di bawa ke pengadilan. Selanjutnya, alternatif penyelsaian sengketa yang dilakukan di Amerika adalah dalam bentuk mediasi. Mediation atau mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan jalur perundingan yang melibatkan mediator yang berperan menjadi penengah. Conciliation atau konsiliasi juga dilakukan oleh masyarakat Amerika. Konsiliasi adalah sistem tahap awal proses mediasi dengan acuan penerapan “apabila seorang diajukan kepada proses mediasi dan tuntutan yang diajuka pihak yang mengklaim dapat diterima”. Namun salah satu bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR) yang popular di kalangan masyarakat Amerika adalah Mini Trial. Proses Mini
144
Harijah Damis, “Hakim Mediasi”, Mimbar Hukum, No. 63, h. 24.
63
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat trial (persidangan mini) penyelesaianya terdiri dari 5 tahap yakni: (1) persetujuan Mini Trial, (2) persiapan kasus (3) mendengarkan keterangan (4) Advisor memberi pendapat (5) mendikusikan penyelesaian. Summary Jury Trial juga menjadi salah satu alternatif penyelesaian sengketa hukum bagi masyarakat Amerika. Summary Jury Trial atau Persidangan dengan kesimpulan juri yakni pemeriksaan juri sebagai suatu sarana untuk menghemat waktu pengadilan dan sumber daya, dan proses ini mirip dengan proses litigasi penuh. 2. Alternative Dispute Resolution (ADR) di Jepang. Di Jepang, perkembangan Arbitrase Jepang ditandai dengan berdirinya lembaga-lembaga arbitrase sebagai berikut, Pusat arbitrase institusional adalah The Japan Comercial Arbitration Association (JCAA) dan UNCITRAL Arbitration Rule, yang bersifat domestik dan internasional. Proses penyelesaian dalam lembaga ini menggunakan sistem koneksitas antara mediasi, dan arbitrase. Labour Commision, didirikan pada tahun 1945. Komisi ini menangani yurisdiksi sengketa perburuan dan proses penyelesaianya melalui sistem koneksitas antara mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. The Comisition for Adjustment of Contruction Work Dispute, didirikan tahun 1956. Yurisdiksi komisi ini adalah sengketa kontruksi. Penyelesaian sengketa yang digunakan adalah sistem koneksitas antara mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. The Environmental Dispute Coordination Commission, didirikan pada tahun 1972. Yurisdiksi komisi ini adalah sengketa lingkungan. Penyelesaian sengketa yang digunakan adalah sistem koneksitas antara mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Arbitrase Center of Local Bar Association, didirikan pada tahun 19790. Yurisdiksi komisi ini adalah sengketa kecil (small claim). Penyelesaian sengketa yang digunakan adalah sistem koneksitas antara konsiliasi, dan arbitrase. Sedangkan the Center Of Handling Traffic Dispute, didirikan pada tahun 1978. Yurisdiksi komisi ini adalah sengketa lalu lintas. Penyelesaian sengketa yang digunakan adalah sistem koneksitas antara konsiliasi, dan rekomendasi. Di Jepang, mediasi cukup populer, namun sistemnya selalu bersifat koneksitas dengan konsiliasi dan arbitrase. Bila mediasi gagal proses
64
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat sengketa tidak langsung dihentikan, tapi dilanjutkan dengan konsiliasi dan mediator bertindak sebagai konsiliator. Bila konsiliasi juga gagal, proses penyelesaian langsung melalui arbitrase dan konsiliator bertindak sebagai arbiter. Sistem arbitrase di Jepang ini disebut dengan wakai dan chotei. Wakai adalah kesepakatan antara para pihak yang bersengketa dalam gugatan tertentu, yang berisi penyelesaian sengketa di muka hakim yang menangani kasus litigasi tersebut. Sementara, chotei adalah kesepakatan antara para pihak dalam suatu perkara chotei tertentu, yang berisi penyelesaian sengketa di muka Komisi Chotei.145 Dalam proses mediasi Wakai ini, hakim secara aktif berupaya keras tanpa sikap menonjolkan diri untuk melangsungkan Wakai baik yang memuaskan kedua belah pihak. Sukses atau tidaknya Wakai terletak di pundak para hakim. Hakim dan panitera berperan penting. Peran panitera sama pentingnya dengan hakim dalam proses Wakai, ibarat memegang tandu di kedua ujungnya, mereka harus bekerjasama.146 Takeyoshi Kawashima mengatakan : “Bahwa perdamaian yang besar selama tiga ratus tahun Tokugawa dapat dipertahankan karena pertikaian di antara warga Negara diselesaikan secara harmonis melalui administrasi mereka sendiri yang otonom, dengan menghindari sebanyak mungkin cara dengan prosedur Pengadilan.”147 Pada umumnya, penelitian mengenai proses penyelesaian sengketa di Jepang sejak zaman Tokugawa hingga modern tidak memberi keraguan sedikitpun tentang adanya kesinambungan dan penguatan praktek pendamaian hingga masa sekarang ini. Baik pada masa Jepang tradisional maupun pada masa Jepang Modern, suatu bentuk dari perdamian telah dan masih berlaku untuk bagian tersebar persengketaan yang timbul dalam konteks sosial yang berubah secara berangsur-angsur.148
145 Yoshiro Kusano, WAKAI: Terobosan Baru Penyelesaian Sengketa (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2008); Lihat juga, Takeyoshi Kawashima, “Penyelesaian Pertikaian di Jepang Komtemporer”, Dalam AAG Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum Buku II (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1988), h. 105-110 146
Yoshiro Kusano, WAKAI, h. 28.
147
Kawashima, “Penyelesaian Pertikaian di Jepang Komtemporer”, h. 105-110.
148
Dan Fenno Handerson, “Modernisasi Hukum dan Politik di Jepang”, dalam AAG Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum Buku II (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1988), h.76
65
66
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUKUM ISLAM
A. Konsep Hukum Islam Pembahasan mengenai penyelesaian sengketa dalam hukum Islam sangat terkait dengan konsep syari’ah, tapi juga fiqh – dua buah konsep yang seringkali menimbulkan pengertian yang rancu ketika dikaitkan dengan ungkapan “hukum Islam”, dan terkadang dipahami dalam makna yang sama.149 Untuk lebih mendekatkan pemahaman mengenai konsep ‘hukum Islam’, maka berikut ini diuraikan secara ringkas konsep-konsep terkait terutama istilah syari’ah dan fiqh. Nur Ahmad Fadhil menegaskan bahwa penyamaan atau pengguna an kata ‘syari’ah’ dengan makna ‘Islamic law’ (hukum Islam) merupakan kesalahan dan bersifat terlalu menyederhanakan makna dari kata ‘syari’ah’. ‘Syariah’ sebagai konsep benar memiliki kandungan hukum di dalamnya, namun harus dipahami bahwa syari’ah mengandung aspek dan dimensi selain ‘hukum’, yaitu aspek ketuhanan dan merupakan ‘God’s plan for the proper ordering of all human activities’ (rencana Tuhan dalam mengatur seluruh aktivitas manusia).150 Dalam bahasa Qadri Azizy, “the highway of good life”, artinya “jalan besar untuk kehidupan yang baik”.151
149
Nur Ahmad Fadhil Lubis, A History of Islamic Law in Indonesia (Medan: IAIN Press Medan, 2000), h. 6; Ghufran A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 81 150
Lubis, A History of Islamic Law in Indonesia, h. 6.
151
A. Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Islam: Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 53.
67
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Jadi dalam konteks kehidupan, syari’ah bagi umat Islam berarti nilai-nilai agama yang dapat memberi petunjuk bagi setiap manusia termasuk di dalamnya hukum. Syari’ah secara lughawi berarti ‘jalan ke sumber air atau ‘tempat yang dilalui air sungai’, ‘jalan setapak yang harus diikuti’, atau ‘jalan lurus’. Sedangkan orang Arab sendiri menggunakan istilah ini khususnya dengan ‘jalan setapak menuju sumber air yang tetap dan diberi tanda yang jelas, sehingga tampak oleh mata’.152 Pengertian secara literal ini juga sesuai dengan apa yang jelas terkandung dalam makna serta visi dan misi syari’ah itu sendiri, yakni meliputi segala ketentuan Allah, sehingga pada dasarnya mencakup hal-hal yang berkaitan dengan hukum, akidah dan akhlak.153 Syari’at bersifat mutlak dan baku, dalam arti berlaku universal dan tidak berubah. Karenanya, sedikit sekali ketentuan syariat yang tertuang dalam sumbernya (Alquran dan Hadits) yang bersifat rinci. Kedua sumber hukum Islam ini hanya menjelaskan garis besar dan prinsip-prinsip umum. Sedangkan fiqh secara etimologis berarti ‘faham’ atau ‘mengetahui dan memahami sesuatu’. Dalam pengertian ini, fiqh merupakan sinonim kata al-fahm (paham).154 Alquran sendiri menggunakan kata ‘fiqh’ dalam pengertian “memahami” dengan makna umum, sebagaimana dalam ungkapannya li yatafaqqah fi al-din. Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa pada masa Nabi, istilah “fiqh” tidak hanya berlaku untuk permasalahan hukum saja, melainkan juga meliputi pemahaman seluruh aspek ajaran Islam. Dalam konsep ushūl al-fiqh terminologi “fiqh” sering dimaknai dengan pemahaman terhadap hukum syara’155 yang bersifat amaliyah yang dikaji dari dalil-dalilnya secara terperinci. Adapun amaliyah berarti segala amal perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan bidang ibadat,
152 Jamal al-Dῑn Muhammad Ibn Manzūr bin Mukarram al-Ansaῑ, Lisān al‘Arab, juz III, (Mesir: Dar al-Misriyyah, t.th.), h. 235-238; Ibrahim Anis et al., Mu’jam al-Wasit, Juz II, Cet. I (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 942; Abû al-Qâsim Abû al-Husain ibn Muhammad Raghῑb al-Asfihanῑ, Mufradat Alfāz al-Qur’ān, (Beirut: Dar as-Syamsiyyah, 1992), h. 819. 153
Pemahaman ini banyak dikembangkan oleh para pemikir hukum Islam meski dalam bahasa yang berbeda namun subtansi yang sama. Lihat, Muhammad Salam Madkur, al-Fiqh al-Islāmī (Kairo: Maktabah Abd al-Wahhab, 1955), h. 11; Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, h. 53. 154
Majd ad-Din Muhammad bin Ya’qub al-Fairuza’abadi as-Syirazi, al-Qamus al-Muhit, juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h. 286; Muhammad bin Abi Bakr bin ‘Abd al-Qadir al-Razi, Mukhtar as-Sihhah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 674. 155
Muhammad Abū Zahrah, Ushūl Fiqh (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1985), h. 56
68
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat mu’amalat, kepidanaan, dan lain sebagainya bukan berhubungan dengan aqidah. Pemberian makna terhadap term syari’ah dan fiqh sebagaimana dipaparkan di atas berimplikasi pada pemahaman bahwa syari’ah merupakan konsep substansial dari seluruh ajaran Islam, yang meliputi aspek keyakinan, moral, dan hukum. Sedangkan fiqh lebih merupakan upaya pemahaman ajaran Islam tersebut. Jadi, fiqh cenderung sebagai konsep fungsional. Konsep yang disebut terakhir ini, pada perkembangan selanjutnya melahirkan berbagai disiplin ilmu keislaman, yang merupakan upaya pengembangan dan penjabaran konsep syari’ah yang substansinya masih bersifat global. Kemudian fiqh membentuk disiplin ilmu tersendiri yang melingkupi hukum Islam, yang kemudian juga melahirkan rancangan metodologisnya, yakni ushūl al-fiqh. Secara sederhana dijelaskan bahwa syari’ah, meskipun bukan hukum dalam pengertian yang setepatnya, adalah hukum Islam. Fiqh adalah suatu ilmu yang menyimpulkan aturan-aturan hukum dari syari’ah. Syari’ah merupakan realitas metafisik yang diketahui melalui Alquran dan hadits-hadits Nabi. Persoalan apakah segala sesuatu yang terkandung dalam Alquran dan Hadits adalah hukum maka itu menggiring pada penjelasan kepada fiqh. Karenanya, untuk tujuan-tujuan praktis, bahkan dalam kerancuan ini, fiqh berarti hukum Islam.156 Penempatan konsep fiqh dan syari’ah dengan ‘hukum Islam’ dapat dipahami dari teori hukum yang dikemukakan oleh Kerr. Menurut Kerr hukum Islam mengandung empat dimensi, yaitu: (1) Kehendak Tuhan, yang merupakan satu-satunya realitas fisik; (2) Hubungan spiritual antara manusia dan Tuhan; (3) Hubungan normatif antara manusia dengan manusia; (4) Hubungan non-normatif antara manusia dan alam.157 Untuk lebih memahami keempat dimensi ini, Masud menyajikan tabel yang menggambarkan hasil dari keterhubungan keempatnya, sebagai berikut:158
156
Muhammad Khalid Masud, Shātibī’s Philosophy of Islamic Law (New Delhi: Adam Publishers & Distributors, 2006), h. 20. 157
Malcolm. H. Kerr, Islamic Reform, The Political and Legal Theories of Muhammad ‘Abduh and Rashīd Rīḍā (California: University of California Press, 1966), h. 21. 158
Masud, Shātibī’s Philosophy of Islamic Law, h.29.
69
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat FOUR LEVELS OF MEANING (EMPAT TINGKATAN ARTI) Level (Tingkat)
Relationship (Hubungan)
Expression (Ekspresi/Istilah Yang Lahir)
Tingkat Pertama
Kehendak Tuhan
Dīn Syarī’ah
Tingkat Kedua
Hubungan spiritual antara manusia dan Tuhan
Syarī’ah Fiqh (‘ibadah)
Tingkat Ketiga
Hubungan normatif antara manusia dengan manusia
Fiqh Society (Masyarakat) Custom /Social Practices (Adat, praktik sosial) (Mu‘amalah)
Tingkat Keempat
Hubungan nonnormatif antara manusia dan alam
Habits/Social Behavior (Kebiasaan/Prilaku Sosial) (‘Adah)
Dengan merujuk pada empat tingkatan makna ini, kita bisa mengatakan bahwa syari’ah termasuk dalam tingkatan arti yang pertama, dan fiqh mencakup baik tingkat arti yang kedua maupun yang ketiga. Tingkat arti yang ketiga dan keempat menyangkut hasil dari perubahanperubahan sosial dan hukum. Dari dimensi ini disimpulkan bahwa hukuman dan sanksi dalam hukum Islam bersifat relijius dan moral, bukan sebatas perdata dan pidana atau bersifat kemanusiaan. Dalam pemahaman ini, hukuman terhadap suatu kejahatan dipandang sebagai hukuman yang batas-batas ketentuannya ditetapkan Allah (hudud Allah). Bahasa lainnya, ketentuan hukuman adalah hak Tuhan.159
B. Bentuk Penyelesaian Sengketa Penyelesaian sengketa atau konflik dalam hukum Islam dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui jalur putusan hakim pengadilan (qadha) dan melalui jalur perdamaian (islah atau al-ṣulḫ). Akan tetapi
159 Penjelasan ini dikemukakan oleh ahli hukum Islam Barat yang pemikirannya banyak dijadikan rujukan J. Schacht. J. Schacht, Introduction to Islamic Law (New York: Oxford, 1962), h. 176.
70
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Alquran sangat menganjurkan perdamaian sebagai pilihan utama dalam penyelesaian sengketa atau konflik. Sebagai contoh, jika terjadi sengketa suami istri (syiqāq) maka QS. An-Nisā’ [4]: 35 menganjurkan agar masingmasing pihak mengutus juru runding atau ḫakam yang ditugaskan untuk memediasi penyelesaian sengketa. Putusan ḫakam ini diharapkan dapat mendamaikan kedua pihak yang berkonflik atau bersifat mendamaikan. Firman Allah Swt:
ََ ْ ْ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ ْ َ ُ َ َ ً ّ ْ َ ْ َ َ َ ً ّ ْن أَ ْهل َها إن يُريدا وإِن ِخفتم ِشقاق بي ِن ِهما فابعثوا حكما ِمن أه ِل ِه وحكما ِم ِ ِ ِ ً الل هَّ اَك َن َعل َ الل هَّبَيْنَ ُه َما ۗ إ َّن ُ إ ْص اَل ًحا يُ َو ّفق ً يما َخب ﴾٣٥﴿ ريا ِ ِ ِ ِ ِِ “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara kedua nya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisā’ [4]: 35) Selanjutnya dalam perkembangan, penyelesaian sengketa hukum Islam terformulasi dalam tiga sistem, yaitu: sistem perdamaian (ṣulḥ/ iṣlāh), arbitrase (taḥkim), dan pengadilan kekuasaan kehakiman (wilayat al-Qadla).160 1.
Perdamaian (ṣulḥ/iṣlāh)
Al-ṣulḥ atau al-iṣlāh secara harfiah berarti perdamaian, perbaikan atau reformasi; lawan dari kata al-ifsād yang secara harfiah berarti kehancuran atau menghancurkan dan kebinasaan atau membinasakan.161 Alquran menyebut istilah al-ṣulḥ dengan semua perubahan bentuk taṣrifnya sebanyak 27 kali.162 Dari 27 kali penyebutan istilah al-ṣulḥ di dalam Alquran, terdapat lima ayat (Qs. al-Baqarah [2]: 182 dan 224; an-Nisā’ [4]:
160 Ralph H. Salmi, et al, Islam and Conflict Resolution: Theories and Practices (Lanham, Md: University Press of America, 1998). 161 Jamaluddῑn Abi al-Faḍal Muḥammad bin Makram Ibn Manẓūr, Lisānul‘Arab, Jilid II (Beirut: Dārul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), h. 610-611; Louis Ma’luf, alMunjid fῑ al-Lughah wa al-A’lam (Beirut: Dar al-Masyriq, Cet. XXVIII, 1986), h. 432. 162
Muhammad Fu’ad ‘Abdul Bāqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ Al-Qur’an, cet. ke-4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 520-521.
71
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat 128, serta al-Hujurāt [49]: 9-10) yang menghubungkannya secara langsung dengan obyek yang harus didamaikan, seperti perbaikan di antara dua pihak yang berselisih, perdamaian di antara internal kaum muslim yang terlibat konflik, dan perdamaian di antara umat manusia yang terlibat ketegangan secara global. Hal ini tidaklah berarti bahwa ayat-ayat Alquran yang tidak menyebutkan konteks sosial al-iṣlāh, yakni perbaikan, perdamaian, atau reformasi memiliki kadar pesan perdamaian yang lebih rendah dibandingkan ayat-ayat yang menyebut konteks al-iṣlāh secara khusus. Sebab tema pokok al-iṣlāh secara keseluruhan di dalam Alquran merupakan jantung ajaran Islam.163 Secara terminology kata al-ṣulḥ dimaknai secara beragam oleh para ulama, di antaranya Imam Taqiy al-Din Abi Bakr ibn Muhammad al-Husaini dalam kitab Kifâyat al-Akhyar menjelaskan bahwa al-ṣulḥ adalah akad yang memutuskan perselisihan dua pihak yang berselisih.164 Sementara Sayyid Sabiq berpendapat bahwa al-ṣulḥ merupakan kesepakatan untuk mengakhiri pertikaian antara dua pihak yang bertikai. Masing-masing dari kedua belah pihak yang mengadakan kesepakatan ini disebut muṣliḥ. Hak yang diperselisihkan disebut muṣālaḥ ‘anhu. Sedangkan apa yang ditunaikan oleh salah satu dari kedua belah pihak kepada lawan pertikaiannya untuk mengakhiri pertikaian disebut muṣālaḥ ‘alaih atau badal aṣ-ṣulḥ.165 Dengan mengetengahkan pengertian yang lebih rinci, Hasbi Ash-Shiddiqie menerangkan bahwa al-ṣulḥ adalah akad yang disepakati dua orang yang bertengkar dalam hak untuk melaksanakan sesuatu, dengan akad itu dapat hilang perselisihan.166 Dari pengertian di atas diketahui bahwa dalam perdamaian terdapat dua pihak, yang sebelumnya di antara mereka ada suatu persengketaan, dan kemudian para pihak sepakat untuk saling melepaskan semua atau sebagian dari tuntutannya dengan tujuan mengakhiri persengketaan di antara mereka (pihak yang bersengketa).
163
Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar Umat Beragama, Jilid I (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2008), h. 119. 164 Imam Taqiy al-Din Abu Bakr ibn Muhammad, Kifayat al-Akhyar (Al-Ma’arif Bandung, t.t.), h. 271. 165
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 3 (Kairo: Dar al-Fikr, 2006), h. 938.
166
Hasbie Ash-Ashidiqi, Pengantar Fiqh Muamalah (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 92.
72
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Perdamaian dalam syari’ah sangat dianjurkan, sebab dengan adanya perdamaian di antara para pihak yang bersengketa, maka akan terhindar kehancuran silaturrahmi (hubungan kasih sayang) di antara para pihak, dan sekaligus permusuhan di antara mereka akan dapat diakhiri. Perdamaian ditetapkan berdasarkan Alquran, Sunnah, dan Ijma’ untuk mewujudan ketenteraman setelah terjadi pertikaian, dan untuk menghilangkan kedengkian dan dendam yang berkepanjangan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian. Secara umum konsep perdamaian dapat diaplikasikan dalam beberapa konteks,167 yaitu: a. Perdamaian untuk Seluruh Umat Manusia Perdamaian bagi seluruh umat manusia diungkap Alquran bukan hanya dengan term al-ṣulḥ dan seluruh derivatifnya tapi juga menggunakan term as-salām dan as-salāmah. Kata salām disebut 42 kali di dalam Alquran. Secara etimologis berasal dari kata dasar salima (dalam bentuk tunggal) atau as-salām (dalam bentuk jamak), yang bermakna tidak ada perang; al-barā’ah yang berarti bebas dari segala ketakutan; dan al-‘āfῑyat yang berarti sejahtera, selamat atau bebas dari segala yang tercela.168 Makna-makna ini kemudian berkembang dan menghasilkan arti-arti lain, seperti ‘memberi’, ‘menerima’, ‘patuh’, ‘tunduk’, ‘berdamai’, ‘tenteram’, ‘tidak cacat’, dan ‘ucapan selamat’. Akan tetapi, keberagaman arti itu tidak sampai meninggalkan arti asalnya, misalnya ‘memeluk agama Islam’ diungkapkan dengan aslama karena dengan memeluk agama Islam, seseorang selamat dari kesesatan.169 Agama yang diserukan oleh Rasulullah Muhammad SAW bernama ‘Islam’ karena dengan Islam pemeluknya mesti tunduk kepada Allah. Ketundukan itu, membawa keselamatan bagi dirinya di dunia dan akhirat.
167 Pembagian ini didasarkan pada pemikiran Khadijah an-Nabrawi. Beliau menjelaskan bahwa konsep al-ṣulḥ, as-salām dan as-salāmah merupakan esensi ajaran Islam yang harus diwujudkan oleh setiap muslim bagi dirinya secara individu, keluarga, kaum kerabat, tetangga, sesama kaum muslim, dan seluruh umat manusia secara universal. Khadijah an-Nabrawi, Mausu’ah Ushul Fikr as-Siyāsiyyi, wal Itima’iyyi wal Iqtiṣādiyyi, Jilid I (Kairo: Dārus Salām, 1414/2004), h. 504-506. 168
Ibnu Manẓūr, Lisānul ‘Arab, Jilid XII, h. 336-337.
169
A. Rahman Ritonga, “SALĀM” dalam Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa kata, Jilid 3 (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 870.
73
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Alquran menggambarkan kata salām untuk aneka makna, antara lain sebagai: 1)
Ucapan ‘salam’ yang bertujuan mendoakan orang lain agar men dapat keselamatan dan kesejahteraan (QS. adz-Dzāriyāt [51]: 25)
2) Nikmat besar yang dianugerahkan Allah kepada hambahamba-Nya, seperti di dalam QS. Ash-Shāffāt [37]: 120), serta kepada Nabi Ilyas dan keluarganya (QS. ash-Shāffāt [37]: 130). 3) Sifat atau keadaan sesuatu; misalnya di dalam QS. al-Mā’idah [5]: 16, yang menggambarkan sifat atau keadaan jalan-jalan yang ditelusuri oleh orang-orang beriman, subulus-salām dan di dalam QS. al-An’ām [6]: 127 yang menggambarkan negeri yang damai dan sentosa (dārus salām). 4) Sifat dan nama Allah, seperti QS. al-Ḫasyr [59]: 23, yang menjelask an bahwa Dia Yang Mahaesa itu terhindar dari segala aib, kekurangan, dan kepunahan yang dialami oleh para makhluk. 5) Menggambarkan sikap ingin berdamai atau meninggalkan pertengkaran, seperti QS. al-Furqān [25]: 63, yang memuji hambahamba-Nya (‘ibadur raḥman) yang selalu mencari kedamaian walaupun dengan orang-orang yang jahil. Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu apabila disapa dengan katakata yang menghina, mereka menjawabnya dengan kata-kata yang santun dan lembut. Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan penjelasan tentang sifat-sifat hamba Allah yang beriman. Pertama, bahwa mereka adalah orang yang menjalani kehidupan dengan rendah hati, tenang dan berwibawa jauh dari sifat otoriter dan sombong. Kedua, apabila orang-orang bodoh menyapa mereka dengan kata-kata yang kasar, mereka tidak membalasnya dengan kata-kata yang sama kasarnya; akan tetapi mereka memaafkannya dan menyalami mereka. Orang-orang beriman itu tidak mengeluarkan kata-kata kecuali yang baik-baik saja. Mereka mengikuti akhlak Rasulullah SAW sehingga kebodohan mereka bagi orang-orang beriman tidak menambah apa pun selain menambah kemampuan kaum beriman untuk lebih memahami dan memaafkan.170
170
‘Imāduddῑn Abi al-Fida; Ismail bin Katsῑr, Tafsῑr Al-Qur’ān al-‘Aẓῑm, Jilid V (Beirut: Dar al-Fikr, 1966), h. 163.
74
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Penjelasan di atas menunjukkan bahwa konsep salām dan ṣulḥ dalam Alquran tidak terbatas pada perjuangan mewujudkan perdamaian diri sendiri secara individu, tapi meliputi keluarga dan sesama kaum muslim saja bahkan bagi umat manusia secara universal. Upaya mengimplementasikan perdamaian bagi seluruh umat manusia dapat dilakukan dalam beberapa cara berikut: Pertama, dengan membudayakan ucapan salam yang dipahami dan difungsikan dengan tepat. Masyarakat muslim dapat membudaya kan ucapan ‘salam’ dalam keseharian. Dalam QS. al-An’am [6]: 54 diuraikan bahwa ucapan salam akan menyebarkan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya, menumbuhkan kesadaran untuk menciptakan perdamaian dan pertobatan dari tindakan fasad (tindakan kejahatan yang bertentangan dengan akal budi dan nurani). Salam perdamaian ini dapat berfungsi sebagai sistem nilai dalam berinteraksi dengan sesama umat manusia, baik muslim maupun bukan muslim.171 Firman Allah:
َ َ َّْ م ْ َ ٰ ََ َ َ َ َ ذَّ َ ُ ْ ُ َ َ َ َ ُ ْ َ اَ ٌ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ُّ ُ ْ لَى حة ع نف ِس ِه الر الين يؤ ِمنون بِآياتِنا فقل سلم عليكم ۖ كتب ربكم ِ وإِذا جاءك َ ُ ُ َّ َ َ َ ُ َ َ َ ً نك ْم ُس ٌ اب من َب ْعده َوأَ ْصلَ َح فَ َأنَّ ُه َغ ُف ٌ ور َّرح ﴾٥٤﴿ يم ۖ أنه َم ْن َع ِمل ِم ِ وءا جِبهال ٍة ث َّم ت ِِ ِ “Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka katakanlah, “Salamun ‘alaikum (selamat sejahtera untuk kamu).” Tuhanmu telah menetapkan sifat kasih sayang pada diri-Nya, (yaitu) barang-siapa berbuat kejahatan di antara kamu karena kebodohan, kemudian dia bertobat setelah itu dan memperbaiki diri, maka Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (QS. al-An’am [6]: 54) Kedua, dengan mengembangkan sikap kepedulian terhadap fakir miskin, kaum duafa, dan orang-orang yang tergolong penyandang masalah kesejahteraan sosial. Tim Tafsir Lajnah Kementerian Agama RI menilai bahwa pesan perdamaian yang terkandung di dalam ucapan as-salām harus diikuti oleh tindakan al-iḥsān, yaitu melakukan
171
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an Tematik, h. 133.
75
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat kebaikan dengan keikhlasan dan kesadaran serta mempersembahkan perbuatan itu hanya untuk dan karena Allah172 sebagaimana tertuang dalam firman Allah:
َ َ ً َ َ ً ْ ّ ُ ََ ُ ْ ُ َ َّ َ َ لَى ْ َ ْ ُ ُ ْ ُ َ َّ ً ٰ ويط ِعمون الطعام ﴾ إِنما نط ِعمكم لِوج ِه٨﴿ كينا ويتِيما وأ ِسريا ِ ع ح ِب ِه ِمس ُ ُ َُ ْ َ َ ً َ ا ُ َ ََّ خ ُ الل هَّ اَل نُر ً ُاف من َّر ّبنَا يَ ْو ًما َعب ً ك وسا ﴾ ِإنا ن٩﴿ ورا يد ِمنكم جزاء ول ش ِ ِ ِ ِ ٰ ْي ُ ُ َّ َ َ ْ َ َ َ َََّ َ َ ُ ُ ُ هَّ ر ً س َ ْاه ْم نَ ر ُ ُض ًة َو ر ً َق ْم َطر ﴾ َو َج َزاهم١١﴿ ورا ﴾ فوقاهم الل ش ذلِك الومِ ولق١٠﴿ يرا ِ ُ َب َما َص ر ً بوا َج َّن ًة َو َحر ﴾١٢﴿ يرا ِ ِ “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan, (sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu. Sungguh, kami takut akan (azab) Tuhan pada hari (ketika) orang-orang berwajah masam penuh kesulitan.” Maka Allah melindungi mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka keceriaan dan kegembiraan. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabarannya (berupa) surga dan (pakaian) sutera”.(QS. al-Insan [76]: 8-12). 2. Perdamaian Internal Kaum Muslimin yang Bersengketa Konsep al-ṣulḥ dalam konteks penyelesaian sengketa di kalangan kaum muslimin tertuang dalam Alquran secara jelas. Allah berfirman:
َّ ُ ْ ُ َْ َ ْ ُ َ ْ َ ُ َ َ َ َ ْ ْ َ ُ َ لَىَ أ ٰ خ َر ٰ َّى َف َقاتِلوا ال يِت َتبْ يِغ َح ى ت فأص ِلحوا بينهما ۖ ف ِإن بغت ِإحداهما ع ال ََ َ ى َّ ُّ الل هَّ حُي ُ ْ َ ْ َ ْ َ ُ َ ْ َ ُ ْ َ َ ْ َ َل أَ ْمر الل هَّ ۚ فَإن ف ٰ ب ِ َ اءت فأص ِلحوا بينهما بِالعد ِل َوأق ِسطوا ۖ إِن ِ ِت يِفء إ ِ ِ َ َ ُ ْ َ َ َ َّْ َ ْ ُ ْ ُ َ ْ َ ٌ َ ْ ُ َ ن َ ال ْ ُم ْقسط َ ك ْم ۚ َو َّات ُقوا َّالل ه ﴾ ِإنما المؤ ِمنون ِإخوة فأص ِلحوا بي أخوي٩﴿ ني ِ ِ َ ُ ََ َ َّ ُ ْ ُ ْ م ﴾١٠﴿ حون لعلكم تر
172
Ibid., h. 135.
76
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat “Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”. (QS. al-Ḫujurāt [49]: 9-10) Ayat Alquran di atas menegaskan bahwa bagi seluruh umat Islam dituntut untuk melakukan perdamaian (al-ṣulḥ) bagi saudaranya sesama muslim. Ayat dari QS. al-Ḥujurāt [49]: 9-10 turun ketika terjadi pertengkaran Abdullah bin Ubay dengan seorang sahabat Rasulullah Saw. dari kaum Anshar. Penjelasan ini terungkap dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, hadis ke 2494 dalam kitab hadisnya, yang berbunyi:
َ َ ُ ْ َ ُ َ َ ً َ َ َّ َ َ ُ ْ َ َ َ ٌ َ ْ ُ َ َ َّ َ ٌ َّ َ ُ َ َ َّ َ َ ِقيل:الل هَّ عنه قال حدثنا مسدد حدثنا معت ِمر قال س ِمعت أ يِب أن أنسا ر يِض ُ َّ َ ْت َعب َ ْالل هَّ َعلَيْه َو َسلَّ َم ل َ ْو أَ َتي ُ ب َص ىَّل ُ ب َص ىَّل َّ ب فَ ْان َطلَ َق إ يَلْ ِه ٍّ َالل هَّ ْب َن أ ي ِّ لن ُّ انل َّالل ه د ِ ِ ِ ِل ِ ي ِي ََ ٌ َ ٌ َ َ َ ُ َ َ َ ُ ْ َ َ ُ ْ ُ ْ َ َ َ ْ َ ً َ َ َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ه أ ْرض َس ِبخة فل َّما ِعلي ِه وسلم ور ِكب مِحارا فانطلق المس ِلمون يمشون معه و ي َ ََ َ ْ ََ َ ُ َّ ُّ َ ىَّ ُ َ َ ْ َ َ َّ َ َ َ َ ي َ ِت م ُ ْك َع يِّن َوالل هَّلَ َق ْد َآذان َن ن أتاه انل يِب صل الل هَّعلي ِه وسلم فقال ِإل ار َك فقال ح ِ ِي ِ َ َْ ُ ٌ ْ أ َح ُ َالل هَّ َعلَيْه َو َسلَّ َم أَ ْطي ْ ُ ْ الن ْ َص ُ ل َم ُ ار َر ُسول الل هَّ َص ىَّل رجل ِمن ب ِرحيًا ِ َّالل ه ِ ِ ِ ِ ار ِمنهم َو ِ ِّ َُ ُ ٌ ْ َ ْ َ َ َ َ ُ َ َ َ ل ُ َ ْ َ َ ُْ َْ َ ََ َ ْ حابُه اح ٍد ِمنهما أص ِ الل هَّرجل ِمن قو ِم ِه فشتمه فغ ِضب ِلك َو ِ ِمنك فغ ِضب ِلعب ِد َ َْ أ َْ اَ َ َ ْ َ ُ َ رَ ْ ٌ ج ْ َاليْدي َوانلِّ َعال َفبَلَ َغنَا َأ َّن َها أُنْزل َ { َوإ ْن َطائ َفت:ت ان ِ يد و ِ فكن بينهما ضب بِال َ ِر ِ ِ ِ ِ ِ ْ ُ ْ ََ ََُْ َ ْ ُْ ْ 173.} حوا بَينَ ُه َما ِمن المؤ ِم ِنني اقتتلوا فأص ِل Musaddad menyampaikan kepada kami dari Mu’tamir yang berkata, aku mendengar dari ayahku bahwa Anas berkata, “Pernah dikatakan 173
Muḥammad ibn Ismā’il al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Jordan: Bait al-Afkār al-Dauliyyah, 1998), h. 300.
77
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat kepada Nabi Saw., “Bagaimana jika engkau mendatangi Abdullah bin Ubay?” Nabi pun pergi menemuinya dengan menunggang keledai, kaum Muslimin pun turut pergi bersama beliau – Madinah adalah tanah yang mengandung garam – ketika Nabi Saw. Tiba, Abdullah bin Ubay berkata, “Menjauhlah dariku! Demi Allah, bau busuk keledaimu telah menggangguku.” Seorang Anshar lalu berkata, “Demi Allah! Bau keledai Rasulullah Saw. lebih wangi daripada baumu.” Lalu seseorang dari suku Abdullah marah untuk membela Abdullah, sehingga mereka berdua saling mencaci maki. Orang-orang dari kedua belah pihak pun tersulut kemarahannya sehingga mereka saling pukul memukul dengan ranting (kurma), sandal, dan tangan. Kemudian sampai kepada kami kabar bahwa telah turun ayat, “Dan apabila ada dua golongan orang-orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.” (HR. Bukhārī). Beberapa langkah-langkah operasional yang ditempuh untuk mencipta kan perdamaian dua kelompok muslim yang berkonflik sebagai berikut174: Pertama, bahwa perdamaian itu merupakan nilai fundamental yang harus diwujudkan, karena itu meskipun secara empiris keadaan begitu gawat dan mengkhawatirkan yang ditandai dengan perang atau adu fisik di antara dua golongan kaum beriman; maka usaha untuk mendamaikan harus tetap diusahakan. Pemerintah dan masyarakat – dapat diwakili oleh organisasi dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh dan terkemuka harus turut berpartisipasi mendamaikan dua kelompok yang berkonflik. Kedua, jika berbagai cara dan strategi sudah dilakukan untuk menye lesaikan konflik, ketegangan, dan perang di antara dua kubu, maka Al-Qu’ran mengizinkan pemerintah atau penguasa yang sah untuk menggunakan senjata guna memerangi bughat, yakni pihak yang tidak mau mengikuti perintah, memaksakan kehendak, dan secara terbuka menolak berbagai upaya untuk mengakhiri konflik dan perang. Ketiga, Alquran mengizinkan menggunakan senjata untuk meng akhiri perang dengan target dan langkah yang terukur, yakni hingga pihak yang menolak untuk berdamai bersedia mematuhi perintah Allah, menghentikan perang, dan bersedia maju ke meja perundingan untuk membahas perjanjian damai.
174
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an Tematik, h. 129-130.
78
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Keempat, Alquran menekankan agar kaum muslim mendukung keinginan pihak yang ingin berdamai dengan mewujudkan perdamaian yang adil dan bermartabat, seta menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa. Kelima, Alquran menegaskan bahwa semua tahapan untuk mewujud kan perdamaian harus didasarkan pada prinsip bahwa semua orang beriman itu adalah saudara, sehingga atas dasar persaudaraan itu, lahir energi yang kuat dari kedua belah pihak yang bertikai untuk berdamai. Keenam, perdamaian yang sudah dicapai berkat kerja keras dan usaha dari berbagai pihak tersebut, harus dijaga kesinambungan dengan men ciptakan pola hidup takwa yang akan mendatangkan ramat dan kasih sayang Allah. 3. Perdamaian (al-ṣulḥ) dalam Sengketa Keluarga Keluarga merupakan unit masyarakat terkecil yang menjadi dasar bagi penciptaan individu baru yang cinta damai. Ruang lingkup perdamaian yang berbasis pada keluarga menurut Alquran dapat dikategorikan dalam 2 bentuk, yaitu: Pertama, perdamaian yang melibatkan keluarga besar dan kaum kerabat seperti perdamaian dalam pelaksanaan wasiat dan hukum kewarisan. Firman Allah Ta’ala:
َ ُْ َ َ َ ْ ُ ْ َ َ رَ َ َ َ َ ُ ُ ْ َ ْ ُ َ َ َيرْ ً ْ َ َّ ُ ْ َ َ ْ َ أ َ القْ َرب ني ك ِتب عليكم ِإذا حض أحدكم الموت ِإن ت َرك خ ا الو ِصية لِلو دِالي ِن و ِ ََّ َ َ َّ هَ َ ْ َ َ َ َ ُ َ َّ َ ْ ُ ُ لَىَ ذ ْ َْ َ َّ ُ ْ ََ ًّ لَى َ ال ين ِ ﴾ فمن بد ُل بعدما س ِمعه ف ِإنما إِثمه ع١٨٠﴿ وف ۖ حقا ع المت ِقني ِ بِالمع ُر َ ََ ْ َ ً َ َ ْ ََ ُّ ٌ الل هَّ َسم ٌ يع َعل َ ُيبَ ّدلُونَ ُه ۚ إ َّن وص َجنَفا أ ْو ِإث ًما فأ ْصل َح ٍ ﴾ فمن خاف ِمن م١٨١﴿ يم ِ ِ ِ ِ ٌ الل هَّ َغ ُف ٌ ور َّرح َ بَيْنَ ُه ْم فَ اَل إ ْث َم َعلَيْه ۚ إ َّن ﴾١٨٢﴿ يم ِ ِ ِ ِ ”Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. Barangsiapa mengubahnya (wasiat itu), setelah mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang mengubahnya. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Tetapi barangsiapa khawatir bahwa pemberi wasiat (berlaku) berat sebelah atau berbuat salah, lalu dia mendamaikanantara mereka, maka dia tidak berdosa. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (QS. al-Baqarah [2]: 180-182)
79
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Ayat ini menegaskan kewajiban berwasiat sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah. Wasiat itu dilakukan oleh orang yang masih hidup dan dieksekusi (dilaksanakan) isi wasiat itu oleh orang yang berwasiat. Wasiat yang ditulis tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang berwasiat. Wasiat juga tidak dapat diperuntukkan kepada ahli waris yang pembagiannya telah diatur dalam hukum waris. Ketika ketentuan ini dilanggar, maka wasiat tersebut harus diperbaiki dan diarahkan sehingga tidak menimbulkan perselisihan di antara ahli waris dan penerima wasiat. Perdamaian harus diciptakan demi kemaslahatan banyak pihak seperti demi pewasiat, ahli waris maupun penerima wasiat. Kedua, perdamaian yang melibatkan keluarga inti, yaitu perdamaian yang berkaitan dengan hak dan kewajiban suami istri. Dalam QS. anNisā’ [4]: 128 Allah memerintahkan iṣlaḥ (perdamaian) bagi suami istri yang terlibat perselisihan atau memiliki hubungan yang tidak harmonis, sebagaimana firman-Nya:
ْ َ ْ ُ َ َ ْ َ َ َ َ ُ ََ ْ َ ُ ُ ً َ ْ ْ َ ً َ ا ْ َ ْ َام َرأَ ٌة َخاف حا بَينَ ُه َما ت ِمن بع ِلها نشوزا أو ِإعراضا فل جناح علي ِهما أن يص ِل وإِ ِن َ َُ ْ ً َ ُّ ْ ُ َيرْ ٌ َ ُ ْ َ أْ َ ُ ُ ُّ َّ َ حُ ْ ُ َ َ َّ ُ َ َّ َ ا الل هَّكن صلحا ۚ والصلح خ ۗ وأح رِض ِت النفس الشح ۚ وإِن ت ِسنوا وتتقوا ف ِإن َ ََُْ َ ً ون َخب ﴾١٢٨﴿ ريا بِما تعمل ِ ”Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyūz dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. QS. an-Nisā’ [4]: 128 Ayat di atas berbicara iṣlaḥ (perdamaian) ketika suami melakukan nusyūz (ketidakpatuhan). Ayat ini juga terungkap dalam sebuah hadis yang menjelaskan makna dan keterangan konteks pemberlakuan ayat QS. anNisā’ (4): 128 ini:
َ َ َ َ َ َ َّ َ َ َ ُ ْ َ ْ ُ َ ْ َ ُ َ َ َّ َ يد َحدثنَا ُسفيَان ع ْن ِهشامِ ب ْ ِن ُع ْر َوة ع ْن أ ِبي ِه ع ْن اَعئِشة ٍ حدثنا قتيبة ب ُن س ِع ُ َّ َ ُ ْ َ َ ً َ ْ ْ َ ً ُ ُ َ ْ َ ْ ْ َ َ ٌ َ َ ْ ْ َ َ ْ َ ُ َ َ الر ُجل ر يِض الل هَّعنها { وإِن امرأة خافت ِمن بع ِلها نشوزا أو ِإعراضا } قالت هو 80
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat
ْ َ ْ ْ َ ُ ُ َ َ َ َ َ ُ ُْ ْ َ َ َ اَ ُ ْ ُ ُ رَ ً َ ْ َ يرْ َ ُ َ ير ْ يَ َرى ِمن امرأتِ ِه ما ل يع ِجبه ِكبا أو غ ه ف ِ يد فِراقها فتقول أم ِسك يِن واق ِسم يِل َ ت فَ اَل بَأ ْ َس إ َذا تَ َر ْ َت قَال َ َْما شئ 175 َ .اضيا ِ ِ Qutaibah bin Sa’id menyampaikan kepada kami dari Sufyan, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahntya, dari Aisyah (tentang firman Allah), “Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyūz atau bersikap tidak acuh…,” (QS. an-Nisā’ (4): 128), dia berkata, “Seorang laki-laki melihat sesuatu yang tidak dia sukai dari istrinya, yaitu ketuaannya atau hal lainnya, lalu dia berniat menceraikannya, lantas sang istri berkata, “Jangan ceraikan aku! Engkau boleh membagi (nafkah) untukku semaumu.” Kemudian dia berkata, “Itu dibolehkan jika mereka berdua sama-sama ridha.” (HR. Bukhārī). Hadis di atas menerangkan pandangan Aisyah terhadap aplikasi ṣulḥ dari QS. an-Nisā’ (4): 128 ketika terjadi perselisihan atau nusyūz dari pihak suami. Inti perdamaian yang dicapai tetap mengacu pada keridhaan kedua belah pihak. Sementara ketika istri yang berlaku nusyūz176, maka Alquran mengajukan beberapa cara atau langkah iṣlaḥ (perdamaian) yang dapat ditempuh suami sebagaimana tertuang dalam QS. an-Nisā’ [4]: 34, yaitu:
175
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, h. 301.
176
Istilah nusyûz secara literal berarti “bangkit”, “menonjolkan”, atau “mengeluar kan”. Implikasinya, makna-makna tersebut juga berarti “melawan”. Imam ar-Raghib al-Asfahani berpendapat bahwa nusyûz mengandung makna “perlawanan terhadap suaminya”, dan “melindungi laki-laki lain atau mengembangkan hubungan yang tidak sah.” Secara isthilahi, nusyûz antara suami istri berarti: ‘salah satu pihak tidak menyukai yang lain. Kata nusyûz di sini juga terambil dari kata nasyz, yang berarti: ‘terangkatnya salah satu pihak dari mencintai pihak lain’, seperti terangkatnya sesuatu dari tanah atau seseorang berdiri dari duduknya. Lihat Abû al-Qâsim Abû al-Ḫusain ibn Muḫammad ibn al-Râghib al-Ashfahânî, Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, Cet. III, Taḫqîq Shafwân ‘Adnân Dâȗdî, (Bairut: Dâr asy-Syâmiyyah, 2002). Asghar Ali Engineer telah melakukan reinterpretasi konsep nusyûz secara lebih logis dan sosiologis. Kata nusyûz ini dapat diartikan dengan “sakit hati”, yang secara istilah melingkupi segala bentuk perbuatan jelek yang disengaja dari seorang isteri kepada suaminya atau seorang suami kepada isterinya, termasuk apa yang sekarang ini dilukiskan dengan “kejahatan mental atau psikologis” yang kebanyakan menimpa suami maupun isteri, ia juga merujuk kepada “perlakuan yang tidak wajar”, dalam arti fisik dari isteri maupun suami. Dalam konteks ini, perlakuan yang tidak wajar dari seorang isteri mengandung makna suatu kesengajaan dan pelanggaran yang keras dari “kewajiban perkawinannya”. Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, Terj. Agus Nuryatno (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 70.
81
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat a. Suami dianjurkan untuk menasihati istrinya dengan kata-kata yang baik dan rasional, berisi hikmah dan mampu menyadarkan kekeliruan istrinya. b. Jika dengan nasihat yang lembut ini tidak berhasil, maka Alquran menyarankan agar suami memilih pisah ranjang untuk beberapa waktu lamanya. Dengan pisah ranjang ini diharapkan istri bisa menghentikan prilaku nusyūznya. c.
Jika kedua cara tersebut belum membuahkan hasil, Alquran meng izinkan suami untuk memilih cara ketiga, yaitu memukul istri, jika diyakini bahwa cara ini membawa efek jera dan menyadarkan istrinya untuk mengakhiri sikap nusyūznya kepada suami.
Jadi, perintah Allah untuk menciptakan iṣlaḥ (perdamaian) dituju kan untuk menciptakan dan menjaga keharmonisan, keteraturan dan kelestarian ikatan pernikahan. Ketika sebuah keluarga hidup dengan damai dan sejahtera, generasi yang berkualitas akan lahir, tumbuh dan berkembang serta siap menebar perdamaian ke seluruh penjuru dunia. Terlihat bahwa Alquran menekankan agar umat Islam lebih menge depankan usaha perdamaian ketika terjadi perselisihan atau persengketan baik perselisihan dalam keluarga maupun dalam berhubungan dengan manusia atau masyarakat lainnya. Selain Alquran, Rasulullah Saw. juga menganjurkan pelaksanaan perdamaian ini. Salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzī dari Umar ibn Auf al-Muzanni, Rasulullah bersabda:
ْ ً َ َ َّ َ َ ْ َ ًُّ ْ ُ َ ٌ َ نْ َ ْ ُ ْ َ اَّ ُ ْ ً َ َّ َ َ اَ ا َ اما َوال ُم ْس ِل ُمون الصلح جائِز بي المس ِل ِمني ِإل صلحا حرم حلل أو أحل حر َلَى َّ َ َ ًاَ ا ْ َشوطه ْم إ اَّل ر ُ ُع ر 177 ً َ َ ش ًطا َح َّر َم َحلل أ ْو أ َحل حراما ِ ِِ Perdamaian dibolehkan di kalangan kaum muslimin, selain perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan orang-orang Islam (yang mengadakan perdamian itu) bergantung pada syarat-syarat mereka (yang telah disepakati), selain syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. (HR. Turmudzī)”.
177
Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa Ibn Saurah al-Tirmidzi, Sūnan al-Tirmidzi (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 2002), h. 566.
82
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Hadis ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhārī mengenai sebuah peristiwa perdamaian yang diberikan Rasulullah terhadap orang Badui yang sebelumnya telah melakukan perdamaian dengan lawannya tidak berlandaskan kebenaran atau Alquran:
ََح َّد َثنَا َآد ُم َح َّد َثنَا ْاب ُن أَب ذئْب َح َّد َثنا ْالز ْهر ُّي َع ْن ُعبَيْد الل هَّ بْن َعبْد الل هَّ َعن ُّ ِ ِ ٍ ِ ِي ِ ِ ِ ِ َ َ َ َ َ ٌّ َ ْ َ َ َجْ ُ َ ِّ َ َ ُ َ ْ ُ َ َ ا َ ْ ََْ َََْ ُ َ َّه اب فقال يَا َر ُسول ر ع أ اء ج ال ق ا م ه ن ع الل ض ِي ر ن ه ال ال خ ٍ ِأ يِب هريرة وزي ِد ب ِن د ِي ِي َ ام َخ ْص ُم ُه َف َق َال َص َد َق اقْض بَيْنَنَا ب َ الل هَّ اقْض بَيْنَنَا بكتَاب الل هَّ َف َق َّالل ه ِ ِ ِ ِ ِ اب ِ ِ ِ ِ ِ ِ كت ُ َ َ َ ْ ًَ لَىَ َ َ َ ى َّ ُّ َ ْ َ َْ َ َ أ ْ َّ َ ْ َلَى َ َا الرج ُم اب ِإن اب ْ يِن كن َع ِسيفا ع هذا ف َزن بِام َرأتِ ِه فقالوا يِل ع اب ِنك ِفقال العر ي َ ََ َ َ ْ ُ ْ ْ ُ َ ْ ْ َ َ َ َ َ ُ َّ َ ْ ُ َ ْ َ ْ ْ َ َ ُ َّ لَى َ ت أهل ال ِعل ِم فقالوا إِن َما ع اب ْ ِنك ففديت اب يِن ِمنه بِ ِمائ ٍة ِمن الغن ِم وو يِلد ٍة ثم سأل َ ُ َ ْ َ َََّ دْ ُ َ َ َ ْ ُ اَ َ َ َ َّ ُّ َ ىَّ ُ َ َ ْ َ َ َّ َ أَ ْ ن َ ك َما ب اب جل ِمائ ٍة وتغ ِريب عمٍ فقال انل يِب صل الل هَّعلي ِه وسلم لق ِضي بين ِ ِ ِ كت َ ْ ََ َّ ْ َ َ ُ َ ْ َ َ ُ َ َ ٌّ َ َ ْ َ َ لَى َ ْ يب اَعمٍ َوأَ َّما أَن ُ ك َج دْ ُل مائَة َو َت ْغر ت يَا الل هَّأما الو يِلدة والغنم فرد عليك وع اب ِن ِ ٍ ِ ِ ََ ُ َ ْ َ م َ َ ُُ َ ْ ُ َ ُ َ ْ ُ لَىَ ْ َ َ َ َ َ ْ م 178 َ َ َ .ارجْ َها فغ َدا َعليْ َها أني ٌس فرجها أنيس لِرج ٍل فاغد ع امرأ ِة هذا ف Adam menyampaikan kepada kami dari Ibnu Abu Dzi’ib dari az-Zuhri, dari Ubaidullah bin Abdullah bahwa Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid al-Juhani berkata, “Seorang Badui datang dan berkata, “Wahai Rasulullah! Putuskanlah perkara di antara kami berdasarkan hukum Allah.” Lawannya pun berdiri dan berkata, “Dia benar. Putuskanlah perkara di antara kami berdasarkan hukum Allah.” Orang itu berkata, “Anakku adalah buruh yang bekerja untuk orang ini lalu dia berzina dengan istrinya, kemudian mereka berkata, “Anakmu harus dirajam,” maka aku menebus anakku dengan seratus ekor kambing dan budak perempuan. Setelah itu, aku bertanya kepada orangorang berilmu, mereka berkata, “Anakmu harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun.” Nabi Saw. pun bersabda, “Sungguh, aku akan memutuskan perkara di antara kalian berdua berdasarkan hukum Allah. Kambing dan budak perempuan harus dikembalikan kepadamu, kemudian anakmu harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Engkai wahai Unais, pergilah untuk menemui istri orang ini kemudian rajamlah dia.” Unais pun pergi menemuinya, kemudian merajamnya.” (HR. Bukhārī).
178
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, h. 301.
83
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Kedua hadis di atas memberikan penegasan kepada kaum muslimin agar melakukan ṣulḥ dalam menyelesaikan sengketa mereka, kecuali alṣulḥ yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal atau perdamaian yang menetapkan kesepakatan yang berisi kezaliman. Bahkan Umar ibn Khattab mewajibkan hakim pada masanya untuk mengajak para pihak melakukan perdamaian (al-ṣulḥ), baik pada awal proses perkara diajukan kepadanya, maupun pada masa persidangan yang sedang berjalan di pengadilan. Hakim tidak boleh membiarkan para pihak tidak menempuh upaya damai. Hakim harus proaktif dan mendorong para pihak mewujudkan kesepakatan damai dalam sengketa mereka.179 Putusan mahkamah yang mengikat para pihak tidak dapat memuaskan hati kedua belah pihak, karena putusan tersebut dibuat berdasarkan fakta dan bukti yang telah menempatkan para pihak dalam keadaan menang atau kalah.180 Rasulullah Saw. telah meninggalkan banyak pedoman dan praktik ṣulḥ yang bisa dijadikan acuan bagi umat Islam dalam memutuskan perkaraperkara secara damai. Di antara ṣulḥ yang paling terkemuka dalam sejarah masa Rasulullah adalah perdamaian yang dilakukan Rasulullah dari pihak muslimin dengan penduduk Mekkah yang dikenal dengan “Perjanjian Hudaibiyah”. Imam Bukhārī menjelaskan beberapa hadis mengenai pelaksanaan perdamaian Hudaibiyah ini, yaitu:
َ َ َ ُ َ َّ َ َ ْ ُّ ُ ْ ُ ْ َ َُ َّ َ َ ر َ ُ ْ ُ َّ َ َُ َّ َ َ ح ان َحدثنَا فليْ ٌح ع ْن نافِ ٍع ع ْن اب ْ ِن ِ حدثنا ممد بن رافِ ٍع حدثنا سيج بن انلعم َ ُ َ َّ َ َ ُ ْ َ ُ َ َ َ َ ُ َ َ َ ً َ ْ ُ َ َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ ََّ ى ِعمر ر ي حال الل هَّ صل الل هَّ علي ِه وسلم خرج معت ِمرا ف ِ ض الل هَّ عنهما أن رسول َْ َُ َّ ُ ُ ْ َ ْ َ ُ َ نْ َ بْ ْ َ َ َ َ ْ َ ُ َ َ َ َ ْ َ ُ حْ َ ْ َ َ َ ُ ْ لَى َ كفار ق َري ٍش بينه َوبي ت فنح َر هديه َوحلق رأسه بِالُدي ِبي ِة َوقاضاهم ع أن ِ الي َ َّا َ َي ْعتَم َر الْ َع َ ام ال ْ ُم ْقب َل َو اَل حَيْم َل س اَل ًحا َعلَيْه ْم إ اَّل ُسيُوفًا َو اَل يُق يم بِ َها ِإل َما أ َح ُّبوا ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َْ ُ َ َ ً ََ ْ َ َ ْ ْ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ َ َ َ اَ َ َ حَ ُ ْ َ َ َّ َ َ َ َ َ ا فاعتم َر ِمن العامِ المق ِب ِل فدخلها كما كن صالَهم فلما أقام بِها ثلثا أم ُروه أن 181 َ َ َ َ َ ُ ْ َخ .يرج فخرج 179
Muhammad Mahmud Arnus, Tarîkh al-Qadhâ’ fi al-Islâm (Cairo: AlMathba’ah al-Misriyah al-Hadisah, 1987), h. 13. 180
Ibid., h. 14.
181
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, h. 302.
84
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Muḥammad bin Rafi’ menyampaikan kepada kami dari Suraij bin an-Nu’man, dari Fulaih, dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah Saw pergi untuk menunaikan ibadah Umrah tetapi orang-orang kafir Quraisy menghalangi beliau memasuki Baitullah. Oleh karena itu, beliau menyembelih hadyu dan mencukur rambut kepalanya di Hudaibiyah, kemudian beliau melakukan perundingan dengan mereka, dalam perundingan itu diputuskan: beliau boleh melakukan Umrah pada tahun berikutnya tetapi beliau tidak boleh membawa senjata kecuali pedang, beliau tidak boleh tinggal di Mekkah, kecuali dalam batas waktu yang mereka inginkan. Kemudian mereka melakukan Umrah pada tahun berikutnya, beliau memasuki Mekkah sesuai dengan perjanjian. Kemudian setelah tiga hari tinggal di Mekkah, mereka meminta beliau keluar, maka beliau pun keluar.
َ َ َ ُ ََّ ْ َّ ِّ َ ى ُ َ َ َ ْ ُ ُ َ ُ َّ الل هَّ َعليْ ِه َو َسل َم ث َّم تكون ع ْن أ يِب ُسفيَان َوقال َع ْوف ْب ُن َمال ِ ٍك عن انل يِب صل َ َ َ ُْ ْ َ ٌ َ ْ َ ُ ْ َ َ ن َّ اء َوالْم ْس َو ُر َع ْن ُ ي بَن أْال ْص َفر َو ِفي ِه َس ْه ُل ْب ُن ُحنَيْ ٍف َوأ ْس َم ِّ انل ب ِ ِ ِهدنة بينكم وب ي ِي َ َ َ ْ ُ َ ْ ُ َ َ َّ َ ُ ْ َ ْ ََ ىَّ ُ َ َ ْ َ َّ َ َ ُ ى يد ع ْن أ يِب ٍ صل الل هَّ علي ِه َوسل َم َوقال موس ب ُن مسعو ٍد حدثنا سفيان ب ُن س ِع َ ُ ََّ َ ُ َ ْ ُ َ َ َ َ َ َ َّ ُّ َ ى َ َ ْ َ َاق َع ْن ال ْ ر الل هَّ َعليْ ِه با ِء ب ْ ِن اَع ِز ٍب ر يِض الل هَّ عنهما قال صالح انل يِب صل ِإسح ََ َ َّ َ ْ ُ رْ َ َ ْ َ حْ ُ َ ْ َ لَىَ َ اَ َ َ ْ َ َ لَى َ ع أَ َّن َم ْن أَتَ ُاه م ْن ال ْ ُم رْشك ني ش ِكني يوم الدي ِبي ِة ع ثلث ِة أشياء ِ ِِ ِ وسلم الم ََ َّ ُ يَ ْ ْ َ َ ْ َ َ ُ ْ ْ ْ ُ ْ َ َ ْ َ ُ ُّ ُ َ لَى َ ع أَ ْن يَ ْد ُخلَ َها ِم ْن قَابل َو ُيق يم بِ َها رده ِإل ِهم ومن أتاهم ِمن المس ِل ِمني لم يردوه و ِ ٍِ َ َ َ َ ْ ََّ ْ َ ْ َ ْ َ ح َِّ ا ْ َّ ُ ُ ََّ اَ َ َ َ َّ َ اَ َ ْ ُ َ َ ا اء أبُو َجن َد ٍل السل ِح السي ِف والقو ِس ون ِوهِ فج ان ِ ثلثة أيامٍ ول يدخلها إِل جِبلب ُ ْ َ ْ َ َ ْ َ ٌ ْج ُل ف ُقيُوده فَ َر َّد ُه إ يَلْه ْم قَ َال أَبُو َعب ُ ْ َح د الل هَّل ْم يَذك ْر ُم َؤ َّمل ع ْن ُسفيَان أبَا َجن َد ٍل ِِ ِ ِي ي ِ ِ ََ َ َ اَّ ُ ُ ِّ ِّ ا 182 .السل ِح وقال ِإل جِبلب Dari Abu Sufyan. Auf bin Malik meriwayatkan dari Nabi Saw., “… kemudian akan terjadi perjanjian damai antara kalian dan bani alAshfar (Romawi). Dalam riwayat ini ada riwayat dari Sahl bin Hunaif, “Aku menyaksikan apa yang terjadi pada Abu Jandal,” dan juga riwayat dari Asma’ dan al-Miswar dari Nabi Saw. Musa bin Mas’ud berkata dari 182
Ibid., h. 301-302.
85
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Sufyan bin Sa’id menyampaikan kepada kami, dari Abu Ishaq bahwa al-Bara’ bin Azib berkata, “Nabi Saw. mengadakan perjanjian damai dengan kaum musyrikin Mekkah di Hudaibiyah, dalam perjanjian itu diputuskan 3 ketetapan: Jika ada orang musyrik yang datang kepada Nabi Saw. beliau harus mengembalikannya kepada mereka, jika ada orang Muslim yang datang kepada mereka, mereka tidak akan mengembalikannya (kepada beliau); beliau boleh memasuki Mekkah tahun depan dan tinggal di sana selama tiga hari, beliau tidak boleh memasukinya kecuali hanya dengan membawa senjata tertentu seperti pedang, panah, dan semisalnya. Kemudian Abu Jandal datang dengan cara berjalan yang angkuh, maka beliau mengembalikannya kepada mereka.” Abu Abdullah berkata, “Dalam riwayat Muammal dari Sufyan, tidak disebutkan mengenai Abu jandia, dia hanya berkata sampai, “kecuali hanya dengan membawa senjata tertentu.” Prinsip penerapan ṣulḥ sebagaimana dianjurkan Rasulullah tersebut, baru terjadi bila memenuhi sejumlah rukun dan syaratnya karena ṣulḥ merupakan salah satu bentuk akad183 dalam hukum Islam. Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh menyebutkan bahwa ṣulḥ merupakan salah satu jenis akad dari 13 akad bernama, yaitu akad yang sudah ditentukan namanya oleh Pembuat Hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain.184 Para ulama cenderung merumuskan rukun ṣulḥ dalam dua panda ngan yang berbeda. Jumhur ulama berpandangan rukun ṣulḥ terdiri atas empat unsur, yaitu: adanya kedua belah pihak yang melakukan ṣulḥ, lafaz ijab qabul, ada kasus yang dipersengketakan dan adanya bentuk perdamaian yang disepakati oleh kedua belah pihak. Jika ketiga hal ini sudah terpenuhi,
183 Kata akad berasal dari al-‘aqd yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan. Lihat, Ahmad Abu al-Fath, Kitāb al-Mu’āmalah fī asy-Syarī’ah alIslāmiyyah wa al-Qawānin al-Miṣriyyah (Mesir: Maṭba’ah al-Busfir, 1913), jilid I, h. 139. Sebagai salah satu istilah hukum Islam, akad umumnya dipahami sebagai “Pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad. Basya, Mursyīd al-Hairan ilā Ma’rifah Aḥwāl al-Insān (Kairo: Dār al-Furjanī, 1983), h. 49. 184
Ke 13 akad yang disebutkan Wahbah az-Zuhaily adalah: (1) al-bai’ (jual beli); (2) al-qarḍ (pinjam mengganti); (3) al-ijārah (sewa menyewa); (4) al-ju’alah (sayembara); (5) asy-syirkah (persekutuan); (6) al-hibah (hibah); (7) al-ida’ (penitipan); (8) al-i‘arah (pinjam pakai); (9) al-kafalah (penanggungan); (10) al-hiwalah (pemindahan utang); (11) ar-rahn (gadai); (13) dan al-ṣulḥ (perdamaian). Lihat Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), juz IV, h. 84.
86
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat maka perjanjian itu lahir suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya. Perlu ditegaskan bahwa perjanjian damai yang sudah disepakati itu tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Jika ada pihak yang tidak menyetujui isi perjanjian itu, maka pembatalan perjanjian itu harus atas persetujuan kedua belah pihak. Secara teknis dalam kasus hukum, tidak semua perkara yang diaju kan ke pengadilan dapat diselesaikan melalui jalur al-ṣulḥ. Perkara atau sengketa yang dapat ditempuh penyelesaiannya melalui jalur al-ṣulḥ adalah perkara yang di dalamnya mengandung hak manusia (haq al-‘ibad) dan bukan perkara yang menyangkut hak Allah (haq Allah). Dalam ketegorisasi hukum, perkara atau sengketa yang diajukan upaya damai atau al-ṣulḥ adalah perkara yang berkaitan dengan hukum privat, terutama yang berkaitan dengan harta dan keluarga. Sedangkan dalam dimensi publik atau perkara pidana, seperti zina, qazaf, pencurian, minum khamar, dan lain-lain tidak dapat dilakukan upaya damai, karena disana terdapat hak Allah secara murni.185 Pembunuhan tergolong tindak pidana yang secara langsung meng ganggu fisik seseorang, walaupun kepentingan umum juga terganggu di sini, tapi sifatnya tidak langsung. Pelakunya akan dituntut atau diberikan ampunan (maaf) atas tindakan yang dilakukannya tersebut oleh korban yang bersangkutan atau keluarga korban. Ia akan diproses dalam kepen tingan si korban dan keluarganya, baik dalam penyelidikan delik pidana (investigating the crime), pengusutan atau penuntutan hukum qishâsh (prosecuting the punishment). Pemerintah sebagai public authority dalam hal ini tidak memiliki wewenang untuk memberikan intervensi.186 Dari berbagai pandangan mengenai ṣulḥ, Abdul Manan merinci syaratsyarat sahnya suatu perjanjian damai yang mesti dipenuhi, yaitu:187 a. Hal yang menyangkut subjek. Tentang subjek atau orang yang melakukan perdamaian harus orang cakap bertindak menurut hukum. Selain dari itu, orang yang
185
Ibid., juz V, h. 295-297.
186
Muhammad Salim al-‘Awwa, “The Basis of Islamic Penal System,” di dalam The Islamic Criminal Justice System, Ed. M. Cherif Bassiouni, (New York: Oceana Publication, Inc, 1991), h. 141-142 187
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syari’ah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 428-429.
87
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat melaksanakan perdamaian harus orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk melepaskan haknya atau hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut. Ini dikarenakan tidak semua orang yang cakap bertindak menurut hukum secara otomatis memiliki kekuasaan atau wewenang, seperti: pertama, wali atas harta benda orang yang berada di bawah perwaliannya; kedua, pengampu atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya, dan ketiga, nazir (pengawas) wakaf atas hak milik wakaf yang ada di bawah pengawasannya. b. Hal yang menyangkut objek. Beberapa ketentuan yang mesti dipenuhi terkait objek, yaitu: pertama, berbentuk harta, baik berwujud maupun yang tidak berwujud seperti hak milik intelektual yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserahterimakan dan bermanfaat; kedua, dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidakjelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian baru terhadap objek yang sama. c.
Persoalan yang boleh didamaikan (diṣulḥkan).
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa hal-hal yang dapat dan boleh didamaikan hanya dalam bentuk pertikaian harta benda yang dapat dinilai dan sebatas hanya kepada hak-hak manusia yang dapat diganti. Dengan kata lain, persoalan perdamaian itu hanya diperbolehkan dalam bidang muamalah saja, sedangkan hal-hal yang menyangkut hak-hak Allah tidak dapat didamaikan.188 d. Pelaksana Perdamaian. Pelaksana perjanjian damai bisa dilaksanakan dengan dua cara, yakni di luar sidang pengadilan atau melalui sidang pengadilan. Di luar sidang pengadilan, penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan baik oleh mereka sendiri (yang melakukan perdamaian) tanpa melibatkan pihak lain, atau meminta bantuan orang lain untuk menjadi penengah (wasit), itulah kemudian disebut dengan arbitrase, atau hakam. Pelaksanaan perjanjian damai melalui sidang pengadilan dilangsungkan pada
188 Ini sejalan dengan penjelasan sebelumnya penulis ketengahkan mengenai tidak bolehnya pelaksanaan ṣulḥ untuk perkara yang menyangkut hak Allah (haq Allah).
88
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat saat perkara sedang diproses dalam sidang pengadilan. Di dalam ketentuan perundang-undangan ditentukan bahwa sebelum perkara diproses, atau dapat juga selama diproses bahkan sudah diputus oleh pengadilan tetapi belum mempunyai kekuatan hukum tetap, hakim harus menganjurkan agar para pihak yang bersengketa supaya berdamai. Seandainya hakim berhasil mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, maka dibuatlah putusan perdamaian. Selanjutnya, kedua belah pihak yang melakukan perdamaian itu dihukum untuk mematuhi perdamaian yang telah mereka sepakati. 4. Taḥkim Dalam perspektif hukum Islam, taḥkim dapat dipadankan dengan istilah arbitrase. Taḥkim berakar dari kata ‘hakkama’ artinya memutuskan. Wilayah taḥkim adalah wilayah yang didapatkan dari perseorangan. Secara terminologi, taḥkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa,189 atau dapat juga dipahami sebagai proses dimana adanya dua orang atau lebih yang meminta kepada orang lain agar diputuskan/ diselesaikan perselisihan yang terjadi di antara mereka dengan hukum syar’i.190 Ini merupakan bagian dari al-qadha yang berhubungan dengan harta benda, bukan dengan al-hudûd dan al-qishâsh.191 Hakam adalah orang yang dipilih bertindak sebagai pelaksana penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh kedua pihak yang terlibat sengketa. Al-Hamali menjelaskan kata hakam, “The word can be used in its broad sense to refer to an authorised person to dispose of rights, to settle differences between different persons by suggesting settlement or helping them to reach it, or by issuing a binding decision to settle the dispute. The agreement of the parties defines the type of authorization in each case”.192 Para ulama bersepakat bahwa para pihak yang bersengketa jika setuju dapat memilih ḥakam untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Ketika persetujuan itu telah
189
Ma’luf, al-Munjid fῑ al-Lughah, h. 146.
190
Abu al-Anain Fatah Muhammad, al-Qadha wa al-Itsbat fi al-Fiqh al-Islam (Kairo: Dar al-Fikr, 1976), h. 84; Lihat juga Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan, Peradilan, & Adat dalam Islam, terjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari (Jakarta Timur: KHALIFA, 2004), h. 328 191
Wirdyaningsih, dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), h. 231. 192
Aseel Al-Ramahi, “Sulh: A Crucial Part of Islamic Arbitration”, LSE Law, Society and Economy Working Papers 12/2008, h. 19.
89
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat diambil, maka apa yang menjadi keputusan dari ḥakam itu langsung mengikat oleh karena itu orang yang dipilih untuk menjadi ḥakam adalah yang memiliki kualitas seperti karakteristik seorang hakim (judge). Sedangkan, ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa putusan ḥakam sama halnya dengan fatwa yang tidak mengikat kecuali jika ada ketegasan persetujuan dari kedua belah pihak yang bersengketa. Ada kemungkinan pemikiran ini didasarkan pada prinsip bahwa hakikatnya putusan ḥakam itu adalah suka sama suka antara dua orang yang bersengketa. Ḥakam tidak mempunyai kekuatan untuk memaksa masing-masing pihak yang ternyata di kemudian hari tidak bersedia melaksanakan keputusan itu. Oleh sebab itu, bilamana salah satu pihak tidak bersedia menepati putusan ḥakam itu, maka untuk eksekusinya diserahkan kepada pengadilan untuk membantu pelaksanaan putusan itu.193 5.
Pengadilan Kekuasaan Kehakiman (wilayat al-Qaḍa)
Istilah al-qaḍa’ secara etimologis memiliki banyak arti seperti alfaragh berarti putus atau selesai, al-ada’ berarti menunaikan atau mem bayarkan, dan al-ḥukmu berarti memutuskan, mencegah atau menghalanghalangi.194 Dengan merujuk pada ungkapan kosa kata dan penjelasan Alquran Ali Duraib mengurai beberapa makna al-qaḍa.195 Pertama, al-ḥukmu, yang artinya hukum atau putusan sebagaimana terdapat dalam QS. an-Nisa’ [4]: 65;
ُ َ ُ َج َر بَيْنَ ُه ْم ُث َّم اَل ج َ ُ ّ َت حُي َ يما َش َ وك ف ََّ اَ َ ّ َ اَ ُ ْ ُ َ َ ى ْنفسهم ِ كم ِ ٰ فل َوربِك ل يؤ ِمنون ح ِ ِ ِ يدوا يِف أ َ َْح َر ًجا ّم َّما قَ َضي ً ت َوي ُ َسلّ ُموا ت َ ْسل ﴾٦٥﴿ يما ِ ِ ِ
Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
193
Ibid., h. 15.
194
Muhammad Salam Madkur, al-Qadla fi al-Islam (Kairo: Dar an-Nadha alArabiyah, tt.), h. 11. 195
Suud bin Saad Ali Duraib, at-Tanzim al-Qaḍai fi Mamlakab al-‘Arabiyah (Riyadh: Universitas Ibnu Saud, 1983), h. 37-39.
90
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Kedua, al-qaḍa bermakna al-khatim wa al-luzūm, mengambil putusan dan mengharuskan (QS. Saba’ [34]: 14):
َ َ َ ُ َ َ َ ُ ُ ْ َ ْ َ َْ َ َّ َ َ ْ َ َ َ ْ ْ َ ْ َ َ َ َّ ُ ْ لَىَ ٰ َ ْ اَّ َ َّ ُ أ نسأته ۖ فل َّما خ َّر فلما قضينا علي ِه الموت ما دلهم ع موتِ ِه ِإل دابة الر ِض تأكل ِم َ ُ َ ْ َ ُ َجْ ُّ َ َّ ْ ا َ َّ َ َ َ ْون الْ َغي ُ ْ ب َما بَلثُوا ف الْ َع َذاب ال ني ه م الن أن لو كنوا يعلم ِ تبين ِي ِ ت ِ ِ ِ ِ Maka ketika Kami telah menetapkan kematian atasnya (Sulaiman), tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka ketika dia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentu mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” Ketiga, al-‘amr yang berarti perintah (QS. al-Isrā’ [17]: 23):
ُ َ َ ََ َ ىَ ٰ َ ُّ َ َ اَّ َ ْ ُ ُ اَّ َّ ُ َ ْ َ َ ْ ْ َ ً َّ َ ْ ُ َ َّ َ َ ْ ر ب أ َح ُده َما ك ِ وقض ربك أل تعبدوا ِإل ِإياه وبِالو دِالي ِن ِإحسانا ۚ ِإما يبلغن ِعندك ال ً أَ ْو ك اَل ُه َما فَ اَل َت ُقل ل َّ ُه َما أُ ّف َو اَل َتنْ َه ْر ُه َما َوقُل ل َّ ُه َما قَ ْو اًل َكر يما ٍ ِ ِ Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Keempat, al-bayān berarti penjelasan (QS. Thāhā [20]: 114):
َْ َ َ ىَ ُ ْ َ ُ ح ُ ُ ْ َ ََ ْ َ ُ ْ ىَ ٰ ي َ ال َ ُّق ۗ َو اَل َت ْع ْ ج ْل بالْ ُق ض ِإلْك َوحيُه ۖ َوقل آن ِمن قب ِل أن يق ر فتعال الل هَّالم ِلك ِ ِ ْ ْ ﴾١١٤﴿ َّر ِّب ِزد يِن ِعل ًما Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Alquran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."
91
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Kelima, al-farāgh min as-sai’ wa al-intibā’min hu yang berarti selesai dengan melaksanakan sesuatu (QS. Yūsuf [12]: 68).
ً َ َ َّيَ ْ ا َ ّ ُ ْ َ ْ ُ َ ََ َّ َ َ ُ ْ َ ْ ُ َ َ ُ ْ َ ُ ُ َّ ا اجة الل هَّ ِمن ش ٍء إِل ح ِ َولما دخلوا ِمن حيث أم َرهم أبوهم ما كن يغ يِن عنهم ِمن َ َ ْ َ ََ ْ َ ْ ُ َ َ َ َ َ َّ ُ ذَ ُ ْ ّ َ َ َّ ْ َ ُ َ َ ٰ َّ َ ْ رَ َ َّ ا اس ل يعل ُمون ِ كن أكث انل ِ يِف نف ِس يعقوب قضاها ۚ وإِنه لو ِعل ٍم ل ِما علمناه ول ﴾٦٨﴿
Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan ayah mereka, Maka (cara yang mereka lakukan itu) Tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu hanya suatu keinginan pada diri Ya’qub yang telah ditetapkannya. dan Sesungguhnya Dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. Keenam, al-amal berarti amal atau tindakan (QS. al-Qashash [28]: 15).
ْ َلَى َ ٰ َ ََ ْ َ ّ ْ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ ُ َ نْ َ ْ ا ٰ َو َد َخ َل ال َم ِدينَ َة ي يقتَ ِتل ِن هذا ِمن ِ ني غفل ٍة ِمن أه ِلها فوجد ِفيها رجل ِ ع ِح ََّ لَىَ ذ ََّ َ َ ٰ َ ْ َ ُ ّ َ ْ َ َ َ ُ ذ ٰ َالي ِم ْن َع ُد ّوهِ فَ َو َك َز ُه ُم ى وس ع ه ت يع ش ن م ي ال ِشيع ِت ِه وهذا ِمن عد ِوهِ ۖ فاستغاثه ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ٌ الشيْ َطان ۖ إنَّ ُه َع ُد ٌّو ُّمض ٌّل ُّمب َ ض َعلَيْه ۖ قَ َال َ ٰه َذا م ْن َع ٰ ََف َق ى ﴾١٥﴿ ني ل م ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, Maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir›aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: «Ini adalah perbuatan syaitan Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya). Penyelesaian secara al-Qaḍa atau melalui peradilan ditempuh bagi mereka yang terlibat sengketa setelah tahapan perdamaian dan tahkim tidak berhasil. Proses al-Qaḍa dilaksanakan oleh seorang qaḍi (hakim) yang ditunjuk oleh pemerintah. Proses penyelesaian sengketa melalui al-Qaḍa di banyak kasus tidak mampu menyelami hakikat fakta sebenarnya dari persengketaan para pihak, karena hakim hanya mampu memahami dan memutuskan perkara sebatas alat bukti kuat yang diajukan kepadanya.
92
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Atas dasar keyakinan dan bukti-bukti yang ada, maka hakim memutuskan hukum tersebut, padahal hakikatnya yang paling tahu adalah para pihak yang bersengketa. Jadi, penyelesaian melalui adjudikasi tidak dapat menjamin kepuasan para pihak yang bersengketa, karena ada pihak yang memiliki keterbatasan dalam pengajuan alat bukti. Oleh karenanya, sejumlah ayat Alquran lebih mengutamakan penyelesaian sengketa melalui perdamaian di hadapan hakim. Alquran dan Hadis Nabi menawarkan proses penyelesaian sengketa di pengadilan melalui dua cara, yaitu pembuktian fakta hukum, dan penye lesaian melalui perdamaian. Penyelesaian sengketa melalui proses pem buktian fakta hukum dilakukan dengan pengajuan sejumlah alat bukti oleh para pihak dalam menuntut atau mempertahankan haknya dihadapan pengadilan.196 Dalam konteks ini, kaidah hukumnya berlaku ابلينة ىلع المدىع: “ وايلمني ىلع من أنكرAlat bukti dibebankan kepada penggugat, sedangkan sumpah kepada pihak yang mengingkari.”197 Pengajuan alat-alat bukti ini dimaksudkan untuk membuktikan siapa yang berhak dan berwenang terhadap sesuatu dan siapa yang tidak berwenang atau tidak berhak terhadap sesuatu. Melalui alat bukti akan terungkap dengan jelas duduk perkara dan pihak mana yang mendapat hak sesuai dengan hukum Allah. Bukti adalah standar ukur (norma) bagi hakim dalam memutuskan perkara.198 Siapa yang memiliki bukti yang kuat, maka dialah yang akan memenangkan perkara di pengadilan. Hakim akan memutuskan ber dasarkan bukti-bukti kuat yang diajukan para pihak kepadanya. Dalam kenyataannya, pengajuan bukti di pengadilan kadang-kadang juga tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Namun, karena para pihak memiliki kemampuan meyakinkan hakim dengan alat bukti yang diajukan, maka hakim akan memutuskan perkara berdasarkan bukti itu. Hakim tidak tahu hakikat yang sebenarnya dari alat bukti yang diajukan kepadanya, apakah alat bukti tersebut sesuai dengan fakta yang sebenarnya atau tidak. Alat bukti palsu dan kesaksian palsu yang disebutkan Alquran sebagai pertanda bahwa dalam praktik penyelesaian perkara di pengadilan sangat terbuka lebar.
196 Abdul Rahim, The Principles Muhammadan Jurisprudence (London: Luzac & Co, 1991), h. 366-367. 197 Musthafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal ila al-Fiqh al-‘Am al-Islâm fî Tsaubih al-Jadîd (Beirut: Dar al-Fikr, 1965), h. 369. 198
Rahim, The Principles Muhammadan Jurisprudence, h. 368.
93
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Proses penyelesaian sengketa melalui adjudikasi ternyata tidak mampu menyelami hakikat fakta sebenarnya dari persengketaan para pihak, karena hakim hanya mampu memahami dan memutuskan perkara sebatas alat bukti kuat yang diajukan kepadanya. Atas dasar keyakinan hakim dan bukti-bukti yang ada, maka ia memutuskan hukum tersebut, padahal hakikatnya yang paling tahu adalah para pihak yang bersengketa. Jadi, penyelesaian melalui adjudikasi tidak dapat menjamin kepuasan para pihak yang bersengketa, karena ada pihak yang memiliki keterbatasan dalam pengajuan alat bukti. Oleh karenanya, sejumlah ayat Alquran lebih meng utamakan penyelesaian sengketa melalui perdamaian di hadapan hakim. Penyelesaian sengketa melalui peradilan ini berkembang di masya rakat Muslim termasuk di Aceh sebagai bahagian dari wilayah Indonesia. Sekarang ini, pemerintah Aceh telah menerapkan penyelesaian sengketa di Peradilan Syariat melalui Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam pasal 25 yang secara tegas menyebutkan bahwa: a. Peradilan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. b. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas Syari’at Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. c.
Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
Dalam penjelasan resmi pasal ini, disebutkan: “Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang telah ada yang diatur dengan Undangundang Nomor 7 tahun 1989, yang juga berwenang menangani perkaraperkara tertentu sesuai dengan hukum Syari’at Islam, harus dikembangkan, diselaraskan dan disesuikan dengan maksud Undang-undang nomor 18 tahun 2001. Agar tidak terjadi dualism dalam pelaksanaan Peradilan Syari’at Islam yang dapat menimbulkan kerawanan sosial dan ketidakpastian hukum, maka lembaga Peradilan Agama beserta perangkatnya (sarana dan prasarananya) yang telah ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dialihkan menjadi lembaga Peradilan Syari’at Islam.
94
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Kemudian Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam pasal 25 ini dikuatkan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang di dalamnya menegaskan kembali bahwa “Pengadilan Agama yang telah ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syar’iyah (Pasal 1). Adapun ketentuan mengenai kewenangan Mahkamah Syari’iyah pada tingkat pertama dan banding oleh peraturan perundang-undangan di atas diatur dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam. Dalam pasal 49 dari Qanun ini ditetapkan bahwa perkara-perkara di bidang perdata yang meliputi hukum keluarga, hukum perikatan dan hukum harta benda serta perkaraperkara di bidang pidana yang meliputi qishāsh-diyat, ḥudūd dan ta’zīr sebagai kewenangan Mahkamah Syari’iyah. Kewenangan Mahkamah Syari’iyah di bidang hukum pidana ini juga ditetapkan dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: KMA/070/SD/X/2004 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum Kepada Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang di dalamnya menyatakan: Pasal (1): Melimpahkan sebagian kewenangan dari Peradilan Umum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kepada Mahkamah Syar’iyah Nanggroe Aceh Darussalam perkara-perkara Muamalat bagi subjek hukum yang beragama Islam dalam perkara-perkara yang ditetapkan dalam qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pasal (2): Melimpahkan sebagian kewenangan dari Peradilan Umum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kepada Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam perkara-perkara jinayah bagi subjek hukum yang beragama Islam dalam perkara-perkara yang ditetapkan dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jadi jelaslah bahwa kewenangan Mahkamah Syar’iyah adalah memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara dalam bidang al-ahwal al-syakhshiyah, mu’amalah dan jinayah.
95
96
BAB V SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
A. Gambaran Umum Pada masa sekarang ini, ekonomi Islam dengan segala bentuknya seperti bisnis syariah perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya telah berkembang pesat di seluruh dunia tidak terkecuali di Indonesia. Perkembangan ini ditandai dengan terjadinya perubahan-perubahan dalam berbagai bentuk transaksi ekonomi dan perdagangan. Untuk tingkat regional atau ASEAN, pada tahun 2016 Indonesia akan menjadi salah satu destinasi para pelaku bisnis dari berbagai negara ASEAN seiring dengan pemberlakuan kebijakan ekonomi bebas yang terangkum dalam kebijakan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Perubahan ini akan berdampak lahirnya berbagai macam perjanjian baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Salah satu efek munculnya beragam bisnis yang dikelola dari banyak pihak adalah kemungkinan terjadinya benturan atau konflik karena perbedaan pemahaman, kebutuhan, tujuan, harapan dan kepentingan. Secara umum, perselisihan dalam kegiatan ekonomi syariah terutama terkait dengan akad jual beli berkaitan dengan: 1) harga; dan 2) pertanggungjawaban risiko apabila terjadi kerusakan atau kemusnahan barang.199
199
Gemala Dewi, Wirdyaningsih & Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 83.
97
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat 1.
Perselisihan harga
Perselisihan harga terjadi bila terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli mengenai kejelasan harga barang yang disepakati. Upaya penyelesaian untuk kasus sederhana ini biasanya dapat dilakukan dengan menghadirkan bukti dokumen, dan jika tidak ditemukan dokumen dan saksi-saksi tidak dapat dihadirkan maka yang dipakai adalah ketentuan harga yang dikatakan penjual dan diikuti dengan sumpahnya. Pembeli memiliki pilihan apakah dengan mengakui harga yang dikatakan pembeli atau mengingkarinya dengan juga melakukan sumpah untuk harga yang dia tetapkan. Dalam konteks ini, ketika pembeli telah bersumpah, maka dia telah bebas dari kewajiban membayar barang dengan harga yang dikatakan penjual. Barang dapat dikembalikan kepada penjual, baik dalam keadaan seperti sediakala (utuh) atau dalam keadaan rusak.200 2. Perselisihan Pertanggungjawaban Risiko Perselisihan pertanggungjawaban risiko terjadi ketika barang yang menjadi objek jual beli mengalami kerusakan atau musnah. Beberapa penyelesaian yang dapat dilakukan berdasarkan waktu atau kapan terjadinya kerusakan. Pertama, ketika terjadi sebelum serah terima barang, maka penye lesaian yang mesti dilaksanakan: a. Jika barang rusak semua atau sebagiannya sebelum diserahterimakan akibat perbuatan si pembeli, maka jual beli tidak menjadi fasakh (batal), akad berlangsung seperti sebelumnya, dan si pembeli berkewajiban membayar seluruh bayaran; b. Jika kerusakan akibat perbuatan orang lain, maka pembeli boleh menentukan pilihan, antara kembali kepada si orang lain atau membatalkan akad; c.
Jual beli menjadi batal, sebab barang rusak sebelum serah terima akibat perbuatan penjual atau perbuatan barang itu sendiri atau karena bencana;
d. Jika barang rusak karena perbuatan si penjual, pembeli tidak berkewajiban membayar terhadap kerusakan barang tersebut,
200
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Terjemah Kamaluddin A. M.), Jilid 12 (Bandung: al-Ma’arif, 1988), h. 94.,
98
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat sedangkan untuk yang lainnya (utuh) dia boleh menentukan pilihan pengambilalihannya dengan pemotongan harga; e. Jika kerusakan akibat ulah barang tersebut, penjual tetap berke wajiban membayar. Pembeli boleh menentukan pilihan antara membatalkan akad atau mengambil sisa (yang tidak rusak) dengan membayar kesemuanya; f.
Jika kerusakan terjadi akibat bencana dari Tuhan yang membuat kurangnya kadar barang sehingga harga berkurang sesuai dengan yang rusak, dalam hal ini pembeli boleh menentukan pilihan antara membatalkan akad dengan mengambil sisa yang utuh dengan pembayaran.
Kedua, kerusakan barang terjadi sesudah serah terima, maka jalan penyelesaian yang mungkin dilakukan adalah: Pembeli memiliki tanggung jawab atas kerusakan dan berkewajiban untuk membayar semua jika tidak ada alternatif dari penjual (adanya hak khiyar). Hak khiyar diatur dalam hukum Islam untuk mengantisipasi terjadinya sengketa antara pembeli dan penjual, dan agar unsur keadilan dan kerelaan antara keduanya dapat tercipta. Hak khiyar adalah hak memilih melangsungkan atau tidak melangsungkan jual itu disebabkan suatu hal. Jika terdapat hak khiyar, maka si penjual mengganti harga barang atau menggantinya dengan barang yang serupa. Status khiyar, menurut ulama fiqh, adalah disyari’atkan atau dibolehkan karena keperluan mendesak dan mempertimbangkan kemaslahatan bagi masingmasing pihak yang bertransaksi.201
B. Model Penyelesaian Sengketa 1.
Penyelesaian Melalui Pengadilan
Penyelesaian segala jenis sengketa termasuk sengketa ekonomi syariah dalam Tata Hukum Indonesia dapat digolongkan menjadi dua, yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi). Kedua bentuk penyelesaian sengketa ini diatur dalam tiga peraturan perundang-undangan, yaitu 201
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), Juz IV, h. 519.
99
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama,202 UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah,203 serta PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.204 Dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama pasal 49 dijelaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Waris; c.
Wasiat;
d. Hibah; e. Wakaf; f.
Zakat;
g. Infaq; h. Sedekah; dan i.
Ekonomi syariah.
Penjelasan Pasal 49 huruf h “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut Prinsip Syariah, antara lain meliputi: a. Bank syariah; b. Lembaga keuangan mikro syariah; c.
Asuransi syariah;
d. Saham syari’ah e. Reksadana syariah; f.
Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah;
202 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2006 No. 22 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4611. 203 Pasal-pasal dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dikutip dari RUU Perbankan Syariah yang disahkan oleh DPR, 17 Juni 2008, yang dikeluarkan oleh Sekretaris Jenderal DPR RI, 17 Juni 2008 serta Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2008 No. 94 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4867. 204 PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran serta Pelayanan Jasa Bank Syariah dikutip dari Lembaran Negara Tahun 2007 No. 165.
100
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat g. Sekuritas syariah; h. Pembiayaan syariah; i.
Pegadaian syariah;
j.
Dana pensiun lembaga keuanan syariah; dan
k. Bisnis syariah. Hanya saja, sejak awal pengadilan agama sudah dirancang untuk menjunjung tinggi Prinsip Syariah, sehingga UU Perbankan Syariah tidak mempertegasnya lagi. Kebutuhan masyarakat ekonomi syariah ini juga dipenuhi oleh Pemerintah RI dengan mengesahkan PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran serta Pelayanan Jasa Bank Syariah dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dalam Pasal 55 Undang-Undang ini dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa terkait Perbankan Syariah dapat dilakukan melalui dua jalur pengadilan, yaitu: (1) dilakukan oleh pengadilan agama dalam lingkungan peradilan agama serta; (2) di luar pengadilan agama dalam hal para pihak telah memperjanjikan melalui akad bahwa jika terjadi sengekta maka penyelesaian sengketanya dapat melalui di luar pengadilan agama. Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan di luar pengadilan agama sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut: a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan / atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Namun, terdapat suatu catatan bahwa penyelesaian sengketa tadi tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Penjelasan Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai halhal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan pasal ini. Dikaitkan dengan asas personalitas keIslaman, hal ini berarti seorang nonmuslim yang melakukan transaksi pada suatu Lembaga Ekonomi Syariah berarti ia telah menundukkan diri secara sukarela pada ketentuan hukum Islam. Misalnya, apabila terjadi suatu transaksi oleh nasabah nonmuslim di suatu bank Islam, maka hubungan hukum yang terjadi antara nasabah tersebut dengan bank Islam adalah berdasarkan hukum Islam. Dengan bahasa lain, asas penundukan diri sebagai salah
101
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat satu asas yang menyebutkan bahwa kalau seseorang telah bersedia dengan sesuatu, maka dia harus bersedia menerima segala konsekuensi dari sesuatu itu ) ) الرضا بالىشء رضا بما يتودل منه.205 Oleh karena itu, ketika seseorang telah bersedia melakukan perikatan yang didasarkan kepada ekonomi syariah, maka dia harus menerima sengketanya dalam ekonomi syariah diselesaikan dengan sistem penyelesaian sengketa menurut peradilan yang menetapkan hukum Islam. Jadi, penyelesaian sengketa dengan sistem yang Islami hanya ada di Peradilan Agama. Sehingga apabila terjadi suatu sengketa, maka harus diselesaikan menurut hukum Islam. Penyelesaian sengketa melalui peradilan melewati beberapa proses dimulai dengan proses pemeriksaaan perkara. Proses pemeriksaan secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan penggugat, lalu disusul dengan proses jawab menjawab yang akan diawali dengan jawaban dari pihak tergugat, kemudian replik penggugat, dan terakhir duplik dari pihak tergugat. Setelah proses jawab menjawab tersebut selesai, lalu persidangan dilanjutkan dengan acara pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua belah pihak beperkara masing-masing mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan di persidangan. Dalam hukum Islam, alat pembuktian yang dapat diajukan oleh pihak-pihak yang bersengketa sebagai berikut: a. Ikrar (pengakuan para pihak mengenai ada tidaknya sesuatu); b. Syahadat (persaksian); c.
Yamin (sumpah);
d. Riddah (murtad); e.
Maktubah (bukti dokumen tertulis), seperti akta dan surat keterang an;
f.
Tabayyun (upaya mendapatkan penjelasan dari pemeriksa Majelis Pengadilan yang lain daripada majelis pengadilan yang memeriksa misalnya perkara kewarisan; harta berada di luar wilayah pengadilan tempat perkara disidangkan.
Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap berikutnya adalah kesimpulan dari para pihak yang merupakan tahap akhir dari proses pemeriksaan perkara di persidangan. 205
Lihat Jalaluddin al-Suyuti, al-Asybâh wa al-Nazhâ‘ir fî al-Furû’ (Jakarta: asFakofah al-Islamiyah, t.t.), h. 97.
102
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Setelah seluruh tahap pemeriksaan perkara di persidangan selesai, hakim melanjutkan kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan dalam perkara tersebut. Proses selanjutnya yang harus dilakukan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut adalah melakukan konstatir, meng-kualifisir, dan mengkonstituir guna menemukan hukum dan menegakkan keadilan atas perkara tersebut untuk kemudian disusun dalam suatu putusan (vonnis) hakim. Adapun kerangka kerja dari ketiga hal tersebut sebagai acuannya paling tidak diuraikan oleh Arto206 yaitu: Pertama, meng-konstatir artinya menguji benar tidaknya peristiwa atau fakta-fakta yang diajukan para pihak melalu pembuktian menggunakan alatalat bukti yang sah menurut hukum pembuktian. Hal ini harus diuraikan secara sistematis dalam putusan hakim pada bagian duduk perkaranya. Kedua, meng-kualifisir, artinya menilai peristiwa atau fakta yang telah terbukti itu termasuk hubungan hukum apa dan menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikontatir. Hal ini harus diuraikan dalam putusan hakim pada bagian pertimbangan hukumnya. Ketiga, meng-konstituir yakni menetapkan hukum atas perkara tersebut. Dalam hal ini hakim: a. Menetapkan hukum atas perkara tersebut dalam amar putusannya. b. Mengadili sebatas petitum yang ada, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. c.
Menetapkan biaya perkara.
Demikian secara garis besar prosedur pemeriksaan perkara per bankan syariah di pengadilan agama sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Pemerintah RI telah berupaya merespon dampak yang ditimbulkan dari perkembangan ekonomi syariah di negera ini. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa penyelesaian melalui pengadilan selalui dihindari banyak orang dikarenakan proses dan jangka waktu penyelesaiannya yang relative lama dan berlarut-larut, serta oknum-oknum di lembaga peradilan tersebut dianggap cendrung 206
A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (1996), h. 33, 36-37.
103
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat “mempersulit” proses pencarian keadilan. Akhirnya, banyak pihak men coba menghindari penyelesaian sengketa yang dihadapi melalui peradilan ini dan menempuh proses di luar lembaga Pengadilan.207 2. Penyelesaian Melalui Ṣulḥ (Damai) / Musyawarah Ṣulḥ (Damai) / Musyawarah yang dikenal dengan (penyelesaian secara damai) merupakan bentuk penyelesaian yang dianjurkan dalam hukum Islam,208 dan ini telah diuraikan pada BAB sebelumnya. Ketika perselisihan atau sengketa tidak terhindarkan, maka para pihak yang melakukan akad atau perjanjian diwajibkan menempuh upaya penyelesaian secara ṣulḥ (damai). Pelaksanaan ṣulḥ (damai) dalam sengketa ekonomi syariah dapat diartikan sebagai suatu akad untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang saling berlawanan, atau untuk mengakhiri sengketa.209 Pelaksanaan ṣulḥ (damai) ini dapat dilaksanakan dengan beberapa cara, di antaranya: a. Melakukan ibra, yaitu membebaskan debitor dari sebagian ke wajibannya; b. Melakukan mufadhah, yaitu mengganti dengan yang lain, misal nya, ṣulḥ hibah dimana Penggugat menghibahkan sebagian barang yang dituntut kepada Tergugat, ṣulḥ bay, yaitu Penggugat menjual barang yang dituntut kepada tergugat dan ṣulḥ ijarah, yaitu Penggugat mempersewakan barang yang dituntut kepada tergugat. Di pihak lain, sebagai pelaksana perdamaian, tergugat melepaskan barang sengketa selaian dari yang telah dihibahkan oleh penggugat kepadanya, atau membayar sewa.210 Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa dari kedua belah pihak yang bersengketa dituntut untuk melakukan pengorbanan agar perdamaian di antara mereka dapat terwujud. Jadi, dalam proses ṣulḥ (damai) tidak lah semata-mata diharapkan salah satu pihak mengalah total dan mem berikan keuntungan pada pihak lainnya. Kedua belah pihak memiliki
207
Syuaibun, “Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Perspektif UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999,” Istislah: Jurnal Hukum Islam, Vol. III No. 1, JanuariJuni 2004, h. 62. 208
Lihat penjelasan pada Bab Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Islam
209
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h. 88.
210
Ibid.
104
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat tanggungjawab bersama untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai dan baik. Perdamaian atau ṣulḥ untuk seluruh sengketa perdata termasuk seng keta ekonomi syariah dapat dikatakan harus terus diupayakan meski salah satu pihak telah mengajukan perkara sengketanya ke ranah pengadilan. Ini dikarena dalam hukum acara perdata di Republik Indonesia menganut asas upaya penyelesaian damai. Seorang hakim di Pengadilan wajib mendamaikan pihak beperkara. Asas ini mengharuskan pengadilan (hakim) agar dalam menangani suatu perkara perdata yang diajukan kepadanya terlebih dahulu berupaya mendamaikan kedua belah pihak beperkara. Kelalaian hakim mengupayakan perdamaian bagi kedua belah pihak yang akan mengakibatkan batalnya pemeriksaan perkara tersebut demi hukum.211 Kebanyakan pelaku bisnis menilai bahwa sengketa dalam bisnis Syariah adalah suatu yang mesti dihindari bahkan dinilai tabu. Sengketa yang diketahui oleh masyarakat bisnis sangat merugikan reputasi pelaku bisnis dan berpotensi mengurangi kepercayaan klien, nasabah, atau konsumen perusahaan itu sendiri. Berbeda dengan sengketa lingkungan, tenaga kerja, sengketa bisnis syariah umumnya sangat dijaga kerahasiaannya oleh pelaku bisnis karena perjanjian dalam bisnis syariah diharuskan menerapkan prinsip-prinsip syariah yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam pasal 2 dari PBI No. 9/19/PBI/2007. Terkait dengan upaya damai yang harus dilakukan hakim dalam rangka menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi syariah umumnya dan bidang perbankan syariah khususnya di lingkungan peradilan agama, paling tidak ada dua ketentuan yang harus diperhatikan yaitu: ketentuan Pasal 154 R.Bg / 130 HIR dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Ketentuan Pasal 154 R.Bg / 130 HIR dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 01 Tahun 2008 tidak lain merupakan landasan yuridis dalam mengupayakan perdamian di pengadilan tingkat pertama termasuk di lingkungan peradilan agama yang harus dipahami dan diterapkan sebagaimana mestinya. Jika ketentuan Pasal 154 R.Bg / 130 HIR hanya mengisyaratkan bahwa upaya damai yang dilakukan hakim hanya bersifat anjuran, bahkan
211
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 239.
105
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat dikatakan bercorak formalitas dan regulatif serta sukarela, tidak bersifat memaksa,212 maka dalam PERMA No. 01 Tahun 2008 tidak lagi hanya sebatas anjuran atau imbauan yang bersifat formalitas saja, melainkan sudah bersifat memaksa. Dengan demikian, setelah diterbitkannya PERMA tersebut dalam upaya mendamaikan pihak yang beperkara, baik hakim yang menangani perkara bersangkutan maupun para pihak dalam perkara tersebut sama sekali tidak punya pilihan. Hakim wajib terlebih dahulu memerintahkan para pihak untuk menempuh proses mediasi. Sedangkan para pihak wajib terlebih dahulu melaksanakan apa yang diperintahkan hakim tersebut. Sejalan dengan pemikiran di atas, Pasal 4 PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran serta Pelayanan Jasa Bank Syariah menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah dilakukan secara musyawarah. Jika musyawarah tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dilakukan melalui mediasi, termasuk mediasi perbankan. Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah atau melalui lembaga peradilan yang ditentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 4 ayat 1-2 PBI No. 9/19/PBI/2007). Di sini terlihat bahwa urutan model penyelesaian yang diajukan adalah: Pertama, Musyawarah; Kedua, Mediasi: Ketiga, Mekanisme arbitrase, dan terakhir, melalui lembaga peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3.
Taḥkīm
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa taḥkim berarti menjadi kan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa, atau dapat juga dipahami sebagai proses dimana adanya dua orang atau lebih yang meminta kepada orang lain agar diputuskan/diselesaikan perselisihan yang terjadi di antara mereka dengan hukum syar’i.213 Jadi, seorang ḥakam atau juru damai adalah seseorang atau sebuah lembaga yang ditunjuk oleh pihak yang bersengketa dan bukan oleh negara/pemerintah. Saat ini, penyelesaian sengketa melalui taḥkim dikenal dengan istilah arbitrase. Dalam bahasa
212
Ibid, h. 250.
213
Abu al-Anain Fatah Muhammad, al-Qadha wa al-Itsbat fi al-Fiqh al-Islam (Kairo: Dar al-Fikr, 1976), h. 84; Lihat juga Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan, Peradilan, & Adat dalam Islam, terjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari (Jakarta Timur: KHALIFA, 2004), h. 328
106
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat lain penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui taḥkim merupakan satu bentuk penyelesaian sengketa berdasarkan kesepakatan dua belah pihak yang bersengketa dengan menunjuk seorang individu atau sebuah lembaga hukum sebagai ḥakam atau arbiter untuk menyelesaikan sengketa mereka.214 Upaya penyelesian melalui lembaga arbitrase setelah tidak berhasil diselesaikan melalui ṣulḥ (damai). Berkenaan dengan lembaga arbitrase ini, Bank Syariah pada awalnya membentuk lembaga arbitrase syariah yang kemudian dikenal dengan Badan Arbitrase Mu’amalat Indonesia (BAMUI) yang sekarang berganti nama dengan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).215 Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan Peradilan Umum (untuk sengketa ekonomi syariah Peradilan Agama) yang dikenal khusus dalam perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan tentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan kehendak bebas dari para pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.216 Dengan demikian, perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan secara tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa kepada lembaga arbitrase. Dengan adanya kesepakatan tertulis tadi, berarti meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke Pengadilan. Selanjutnya Pengadilan wajib menolak dan tidak akan campur tangan dalam menyelesaikan sengketa yang sudah ditetapkan melalui arbitrase. Telah diterangkan sebelumnya bahwa kewenangan absolute lingkungan peradilan agama tidak menjangkau sengketa atau perkara perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase. Oleh karena itu, hakim dituntut untuk memperhatikan dan memastikan terlebih dahulu ketentuan akad perjanjian sebelum proses pemeriksaan perkara 214
Penjelasan rinci mengenai bentuk penyelesaian sengketa melalui taḥkim dapat dilihat dalam penjelsan Bab sebelumnya. 215
Mengenai lembaga Arbitrase ini lihat A.Rahmadi Rosyadi dan Ngatino, Arbitrase Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002). 216
Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia (Bandung: PT. Citra Bakti, 1993), h. 276.
107
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat tersebut berjalan lebih jauh. Bahkan seharusnya, hakim melaksanakan ini sebelum mengupayakan perdamaian bagi para pihak. Jika perkara tersebut ternyata merupakan sengketa perjanjian yang mengandung klausula artibrase, maka tidak perlu lagi hakim melanjutkannya dan mengupayakan perdamaian karena jelas perkara tersebut tidak termasuk wewenang absolute lingkungan peradilan agama.217 Penyelesaian melalui lembaga Arbitrase merupakan pilihan terbaik yang ditempuh sebelum proses lembaga peradilan. Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan beberapa alasan atas pilihan ini, yaitu: a. Kepercayaan dan keamanan; Pada arbitrase, para pihak yang bersengketa diberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas. Mereka juga merasa aman terhadap keadaan yang tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda. b. Keahlian (expertise); Para arbiter adalah orang-orang yang memiliki keahlian menge nai hal yang disengketakan. Para pihak yang bersengketa pun dapat menunjuk arbiter untuk menyelesaikan sengketanya. c.
Cepat dan hemat biaya; Proses penyelesaian sengketa di arbitrase sering kali lebih cepat, tidak terlalu formal dan lebih murah daripada di Pengadilan. Selain itu juga tidak ada kemungkinan kasasi terhadap keputusan arbitrase.
d. Bersifat rahasia; Proses penyelesaian sengketa yang dilakukan di arbitrase bersifat tertutup untuk melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan atau yang merugikan akibat penyingkapan informasi bisnis kepada umum. e. Bersifat nonpreseden; Keputusan arbitrase terdahulu tidak dapat memengaruhi keputusan arbitrase yang akan diputuskan (nonpreseden). Sehingga dimungkinkan untuk perkara yang serupa dihasilkan keputusan arbitrase yang berbeda.
217
Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama & Mahkamah Syariah (Jakarta: Kencana, 2009), Cet. I, h.145-146.
108
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat f.
Kepekaan arbiter; Ciri penting lainnya adalah kepekaan atau kearifan dari arbiter terhadap perangkat aturan yang akan diterapkan oleh arbiter pada perkara-perkara yang ditanganinya.
g. Pelaksanaan keputusan; Keputusan arbitrase bersifat final, sehingga mungkin akan lebih mudah dilaksanakan daripada keputusan pengadilan.218 Selain memiliki kelebihan, arbitrase juga memiliki kelemahan, di antaranya: a. Hanya untuk para pihak bona fide. Arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bona fide atau jujur dan dapat dipercaya. Para pihak yang bonafid adalah mereka yang memiliki kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap kesepakatan, pihak yang dikalahkan harus secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase. Sebaliknya, jika ia selalu mencari-cari peluang untuk menolak melaksanakan putusan arbitrase, perkara melalui arbitrase justru akan memakan lebih banyak biaya, bahkan lebih lama daripada proses di pengadilan. Misalnya, pengusaha yang dikalahkan tidak setuju dengan suatu putusan arbitrase, maka ia dapat melakukan berbagai cara untuk mendapatkan stay of execution (penundaan pelaksanaan putusan) dengan membawa perkaranya ke pengadilan. Demikian pula tidak jarang ditemui di dalam praktik bahwa para pihak, walaupun mereka telah memuat klausul arbitrase dalam perjanjian bisnisnya, tetap saja mereka mengajukan perkaranya ke pengadilan. b. Ketergantungan mutlak para arbiter. Keputusan arbitrase selalu tergantung pada kemampuan teknis arbiter dalam memberikan putusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak. Meskipun arbiter memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang mudah bagi majelis arbitrase untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para pihak yang bersengketa. Pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan arbiter tidak adil, 218
Mariam Darus Badrulzaman, “Peranan BAMUI dalam Pembangunan Hukum Nasional,” dalam Abdul Rahman Saleh, et al., Arbitrase Islam Indonesia (Jakarta: BAMUI kerjasama dengan Bank Muamalat, 1994), h. 58-60. Untuk penjelasan yang sama lihat, Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan (Jakarta: PT. Tatanusa, 2004), Cet. I, h. 76-79.
109
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat demikian pula sebaliknya (pihak yang menang akan mengatakan putusan itu adil). Ketergantungan terhadap para arbiter merupakan suatu kelemahan karena substansi perkara dalam arbitrase tidak dapat diuji kembali (melalui proses banding); mengingat putusan arbitrase bersifat final dan mengikat. c.
Tidak ada preseden putusan terdahulu. Tidak adanya legal precedence atau keterikatan terhadap putusanputusan arbitrase sebelumnya. Artinya, putusan-putusan arbitrase atas suatu sengketa terbuang tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung argumentasi-argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya. Hilangnya precedence tersebut dapat menimbulkan putusan-putusan yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa serupa di masa yang akan datang.
d. Masalah putusan arbitrase asing. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusannya. Kesulitan itu menjadi masalah yang sangat penting karena biasanya di negara pihak yang kalah terdapat harta yang harus dieksekusi. Oleh karena itu, berhasil tidaknya penyelesaian sengketa berkaitan erat dengan dapat tidaknya putusan arbitrase tersebut dilaksanakan di negara dari pihak yang dikalahkan.219 Dalam setiap perjanjian kontrak ekonomi syariah sebaiknya mencan tumkan klausul penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi, dan arbitrase, atau ke lembaga peradilan sebagai pilihan terakhir. Apabila para pihak sepakat menempuh proses arbitrase dalam penyelesaian sengketanya maka sebaiknya mencantumkan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai lembaga arbiter yang menangani penyelesaian perselisihan sengketa mereka.
C. Upaya Pencegahan Sengketa dalam Bisnis Syariah Dalam era global seperti sekarang ini dunia seolah-olah tanpa batas (borderless), orang bisa berusaha dan bekerja di manapun tanpa ada hala ngan, yang penting dapat menghadapi lawannya secara kompetitif. Suatu hal 219 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 14-15.
110
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat yang sering dihadapi dalam situasi semacam ini adalah timbulnya sengketa. Sengketa merupakan suatu hal yang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa sengketa mulai dikenal sejak adanya manusia, di mana ada kehidupan manusia di situ ada sengketa. Oleh karena itu, sengketa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Kenyataan ini tidak menafikan lahirnya sengketa dari sebuah kegiatan bisnis syariah. Setiap perjanjian yang lahir dari kegiatan bisnis mengandung resiko terjadinya sengketa. Akan tetapi, risiko timbulnya sengketa pasti lebih besar dan tidak dapat dihindari jika sejak awal perjanjian tidak mengupayakan pencegahan terjadinya sengketa. Persetujuan yang tidak memperhitungkan faktor-faktor yang relevan dengan jenis kesepakatan sangat rentan menimbulkan persengketaan. Dengan bahasa lain, akad perikatan yang tidak disertai dengan analisis yang matang mengandung kemungkinan terjadinya sengketa. Berdasarkan pemikiran di atas, upaya pencegahan atau preventif untuk memperkecil terjadinya sengketa mutlak dilakukan. Perencanaan transaksi bisnis yang baik merupakan salah satu tindakan yang mesti dilaksanakan oleh para pelaku bisnis syariah. Perencanaan transaksi bisnis yang professional dan akuntabel, seperti prinsip-prinsip syariah yang harus diterapkan, prospek usaha mitra bisnis (business prospect), risiko moral (moral risk), risiko bisnis (business risk), risiko finansial (financial risk), perubahan kebijkan pemerintah merupakan hal-hal yang harus dipikirkan dan dikaji secara matang. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelak sanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penya luran serta Pelayanan Jasa Bank Syariah menetapkan beberapa prinsip yang harus menjadi landasan setiap perjanjian bisnis syariah, yaitu: a. ‘Adl, yaitu menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya, dan mem berikan sesuatu yang hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya. b.
Tawazun, yaitu meliputi keseimbangan aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sector riil, bisnis dan sosial, dan keseimbangan aspek pemanfaatan dan kelestarian.
c.
Maslahah, yaitu merupakan segala bentuk kebaikan yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual serta indivual dan kolektif serta harus memenuhi tiga unsur yakni kepatuhan syariah (halal), bermanfaat dan membawa kebaikan
111
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat (thoyib) dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidak menimbulkan kemudaratan. d. ‘Alamiyah, yaitu dapat dilakukan dengan, oleh, dan untuk semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin). e. Tidak Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah harus dihindarkan. f.
Tidak Maysir, yaitu transaksi yang bersifat spekulatif (untunguntungan) yang tidak terkait langsung dengan produktifitas di sektor riil.
g. Tidak Riba, yaitu pemastian penambahan pendapatan secara tidak sah (bathil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mensyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasiah). h. Tidak Dzalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. i.
Tidak risywah, yaitu tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau bentuk lainnya yang melanggar hukum sebagai upaya men dapatkan fasilitas atau kemudahan dalam suatu transaksi.
Manakala seluruh prinsip-prinsip yang wajib diterapkan dalam setiap transaksi atau perjanjian bisnis syariah dilakukan, maka sengketa antara kedua pihak pelaku bisnis akan sangat kecil terjadi. Upaya lain yang penting dilakukan dalam upaya pencegahan terjadinya sengketa bisnis syariah adalah melakukan pengkajian dan perencanaan yang komprehensif mengenai legal opinion mengenai: a. Jenis dan status perusahaan pihak mitra ditinjau dari segi hukum perdata dan hukum administrasi; b. Hal-hal yang berkenaan dengan persetujuan pimpinan korporasi sesuai sistem yang dianut, dan c.
Menghindari perumusan perjanjian yang sulit dipahami, tidak jelas dan membingungkan.
112
BAB VI PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUKUM ADAT
A. Konsep Hukum Adat Diskursus tentang hukum adat berkembang dalam dua disiplin keilmuan, yaitu aspek Islamic legal theorutical system (sistem hukum Islam atau aspek ushul fiqhnya) dan ethnographic legal studies (studi ethnografi hukum) ketika dikaitkan dengan konsep “adat”. Dari konsep hukum Islam, kata “adat” secara bahasa berasal dari bahasa Arab ‘ādah, yang berarti “kebiasaan” atau “praktik”.220 Ibn Nuzaim memaknai ‘ādah sebagai sesuatu yang terpendam dalam diri manusia, perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat atau akal sehat.221 Dalam konteks hukum, kata ini mengacu kepada kebiasaan atau praktek yang dilakukan terus menerus dan secara akal sehat tidak dapat dijelaskan mengapa kebiasaan itu tercipta (a continous practice whose repetition cannot be explained rationally, al-amr al-mutakarīr min ghayr ‘alāqah ‘aqliyyah).222 Secara teoritis, ‘ādah meski tidak termasuk dalam sumber hukum primer, namun dalam perkembangannya ‘ādah dapat dikukuhkan menjadi hukum
220
Jamāl al-Dīn Muḥammad Ibn Mukarram Ibn Manẓur, Lisān al-‘Arab (Beirut: Dār Ṣādir, 1955), 3, h. 316; dan H. A. R. Gibb and J. H. Kramers (eds), Shorter Encyclopedia of Islam (Leiden: E. J. Brill 1961), s.v. “Adat Law” 221 Zayn al-‘Abidin Ibn Ibrahim Ibn Nuzaim al-Hanafī, al-Asybāh wa al-Naẓāir (Damaskus: Dār al-Fikr, 1983), h. 101. 222 Ayman Shabana, Custom in Islamic Law and Legal Theory: The Development of the Concepts of ‘Urf and ‘Ȃdah in the Islamic Legal Tradition (New York: Palgrave Macmillan, 2010), h. 50.
113
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat sekunder. Sebagai sumber hukum sekunder, ‘ādah diformulasikan oleh ulama dalam bentuk kaidah “Al-‘ādah muḥakkamah” (Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan hukum).223 Salah satu kasus yang masuk dalam perbincangan ulama dengan proses penyelesaian berdasarkan ‘ādah, yaitu kasus mengenai perselisihan mengenai uang atau hutang piutang.224 Selain menggunakan kata ‘ādah dalam konsep hukum Islam juga digunakan term ‘urf. Secara etimologi, term ‘urf digunakan dengan makna kerja “mengetahui/mengenal”. Kata ini memiliki banyak arti tetapi biasanya diarahkan kepada dua makna utama, yaitu “sesuatu yang diketahui/dikenal” sebagai lawan dari “sesuatu yang tidak diketahui”, dan sesuatu yang baik, berharga, dan dapat diterima”.225 Secara bahasa, kata‘urf ditujukan kepada ‘sesuatu prilaku yang secara rasional telah diterima dan dinilai baik dan diterima oleh banyak orang.226 Sesuatu yang tidak ada batasannya dalam syara’ dan bahasa dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan), demikian pendapat al-Isnawi (w.772 H) dalam kitabnya al-Tamḥῑd.227 Para mufassir menafsirkan al-‘urf dengan beragam. Aṭ-Ṭabarī mema hami kata al-‘urf dalam QS. Al-A‘rāf [07]: 199 “setiap sesuatu yang diperintahkan atau diakui baik oleh agama.228 Senada dengan aṭ-Ṭabarī, Rasyid Riḍa menafsirkan al-‘urf sebagai suatu kebiasaan yang sesuai dengan keadaan dan layak dalam kehidupan umat manusia. 229 Di sini terlihat bahwa Alquran menempatkan makna al-‘urf selain dengan arti kebajikan budi pekerti juga sebagai sebuah tradisi yang diamalkan dan diterima oleh masyarakat.
223 Ibn Nuzaim al-Hanafī, al-Asybāh wa al-Naẓāir; h. 101.; Lihat juga Jalaluddin ‘Abd al-Raḥman ibn Abū Bakar Muḥammad al-Suyūṭī, al-Asybāh wa al-Naẓāir (Semarang: Mathba’ah Toha Putra, t.t.) 224 Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah: Kaidah-kaidah Hukum Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), h. 221. 225 Ibn Manẓur, Lisān al-‘Arab, 9: h. 236-243; dan Muḥammad Murtaḍā al-Ḥusaynī al-Zubaydī, Tāj al-‘Arūs min Jawāhir al-Qāmūs, ed. Muṣtafā Ḥijāzi (Kuwait: Wizarat alI‘lām, 1987), 16, h. 135. 226
Alī Ibn Muḥammad al-Sayyid al-Jurjānī, Kitāb al-Ta‘rīfāt (Kairo: Dār alRashād, 1978), h. 171. 227
Jamaluddin ‘Abd al-Raḥῑm al-Isnawi, Al-Tamḥῑd fῑ Takhrῑj al-Furū’ ‘alā alUṣūl, Taḥqῑq Hasan Hitu, cet. ke II (Beirut: Dār al Fikr, 1980),h. 224. Dan Abū ‘Alῑ alḪasan bin Aḥmad ibn al-Banna, al-Muqhnῑ fῑ Syarḥ Mukhtaṣar al-Kharaqi, Taḥqῑq wa Dirāsah Abdul ‘Aziz al-Ba‘imi (Riyadh: Maktabah al-Rasyad, 1994), h. 280. 228
Aṭ-Ṭabarī, Jāmi’u al-Bayān (Kairo: Dar al-Maṭba’ah, 1328 H), h. 21-22.
229
Rasyid Riḍa, Tafsīr al-Manar (Mesir: Maṭba’ah al-Sa’diyah, tt.), h. 430.
114
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Para anthropolog coba menarik kesamaan dan perbedaan konsep Alquran al-‘urf ini dengan makna ‘budaya’. Di antaranya, Kuntowijoyo, anthropolog dan budayawan Indonesia coba membedakan antara dua konsep ini. Budaya menurutnya adalah sebuah sistem yang mempunyai koherensi berupa bentuk-bentuk simbolis dalam wujud kata, benda, laku, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan yang memiliki kaitan erat dengan konsepkonsep epistemologi dari sistem pengetahuan masyarakat. Sistem simbol dan epistemologi ini tidak terpisahkan dari sistem sosial yang membentuk stratifikasi, gaya hidup, sosialisasi, agama, mobilitas sosial dan seluruh perilaku sosial. 230 Sementara al-‘urf kebalikan dari itu, tidak hanya berupa lukisan, nyanyian dan berbagai hal yang berbentuk simbolik saja, namun berwujud seluruh bahagian dari aspek kehidupan umat manusia seperti cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan, sikap dan hasil seluruh kreasi setiap individu. Tetapi kedua konsep ini: al-‘urf dan budaya mengacu pada makna yang sama, yaitu segala daya yang lahir dari budi, cipta dan karsa sebuah masyarakat.231 Penggunaan konsep al-‘urf dan ‘ādah (adat) sangat urgen ketika dikait kan dengan pembahasan mengenai hukum adat di Indonesia. Persoalan hukum adat sebenarnya memiliki sejarah yang panjang dimulai sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, adat telah menjadi bagian dari sistem politik pemerintahan HindiaBelanda dalam melancarkan imperalismenya melalui kebijakan hukum adat (adatrecht). Konsep adatrecht untuk pertama sekali diperkenalkan oleh tokoh hukum Belanda C. Snouck Hurgronje dalam karyanya “De Atjehers”. Dalam buku ini Snouck Hurgronje menyebutkan istilah adatrecht yang merujuk pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam masyarakat Indonesia termasuk Aceh. 232 Dalam konteks
230
Kuntowijoyo, Budaya & Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana , 1999), h. xi.
231
Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Reneka Cipta, 2000), h. 16; lihat juga Muliadi Kurdi, Aceh di Mata Sejarawan: Rekonstruksi Sejarah Sosial Budaya (Banda Aceh: Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), 2009), h. 42. 232
Konsep adatrecht kemudian dikembangkan oleh sarjana Belanda yang juga bekerja bagi pemerintah penjajahan Belanda di Hindia-Belanda (Indonesia) Cornelis van Vollenhoven (1876-1933). Hasil penelitiannya terhadap masyarakat Indonesia melahirkan konsep adatrecht yang berbeda dengan model hukum Eropa (Roman law). Dalam pengertian pemerintah kolonial, masyarakat pribumi memiliki tradisi yang kuat tetapi belum mampu mengurus daerahnya sendiri tanpa pendukung dan instruksi dari Belanda. Kebijakan ini memiliki pengaruh besar dalam sistem peradatan di Nusantara dengan kekuasaan pemerintah Belanda yang tidak terbatas.Namun Apa yang dilakukan Cornelis
115
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat masyarakat Aceh, konsep al-‘urf dan ‘ādah (adat) merupakan dua konsep yang sama, tidak ada pemisahan makna antara keduanya. Kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh dibatasi oleh hukum dan ‘ādah (adat) ataupun al-‘urf, ibarat sawah yang dibatasi oleh pematang. Jika masyarakat berkeinginan mewujudkan situasi dan kondisi kehidupan yang aman, tenteram, rukun dan damai, maka agama dengan ketentuan hukum, ādah (adat) serta al-‘urf harus berjalan seiring dan saling melengkapi.233 Hukum adat terkadang digunakan ketika sumber utama hukum Islam (Alquran, Hadits, Ijmā’ dan Qiyās) tidak membahas mengenai hal yang dimaksud, meskipun ini tidak berarti bahwa hukum yang berasal dari ‘urf /‘ādah bertentangan dengan spirit Islam seperti yang tertuang di dalam Alquran dan hadits. ‘Ādah atau ‘urf sangat berperan dalam menyelesaikan sengketa hukum. Hukum yang dibangun atas dasar maslahah dan adat dapat berubah jika keduanya berubah. 234 Lebih jauh, ādah atau ‘urf sering berperan sebagai satu-satunya rujukan terbaik yang digunakan ketika tidak ada penjelasan hukum dari Alquran dan Hadits. Dalam konteks inilah, rujukan hukum adat merupakan refleksi dari waktu dan tempat tertentu.235 Bahkan dalam konteks penyelesaian hukum secara litigasi (melalui peradilan pun) para hakim negara bertindak sebagai mediator yang terikat oleh preseden tradisi lokal dan kasus-kasus yang telah diputuskan sebelumnya, bukan melalui suatu metode penalaran formal, melainkan menurut pertimbangannya sendiri.236
Van Hollenven sebenarnya sesuai dengan kebijakan “poletik etis” dan prinsip ‘indrect rule’ (pemerintahan tidak langsung) yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Pada prinsipnya pemerintah kolonial tidak mau campur tangan dengan kehidupan masyarakat pribumi di desa-desa, tetapi dengan waktu yang sama otonomi desa dibatasi oleh keinginan ekonomi dan politik Belanda. Pendekatan kontroversial pemerintah kolonial terhadap masyarakat pribumi ini juga diwarnai oleh orientalisme dan paternalisme. Program hukum adat ini bisa kita lihat sebagai suatu perhatian paternalistik atas kesejahteraan penduduk pribumi Indonesia, yang dianggap terancam oleh proses pembangunan komersial dan westernisasi yang tak terkendali. Renske Biezeveld, “The Many Roles of Adat in West Sumatra,” dan James S. Davidson and David Haley, The Revival of Tradition in Indonesian Politics: The Deployment of Adat from Colonialism to Indigenism (London and New Yor: Routledge, 2007), h. 205. 233
Kurdi, Aceh di Mata Sejarawan, h. 46
234
Ini didasarkan pada QS. al-Baqarah [02}: 228; QS. al-Nisa’ [04]: 19; dan QS. al-Ma’idah [05]: 89. 235
Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi, h. 173.
236
Pemikiran ini sejalan dengan temuan Schacht terhadap institusi qadha di masa Umayyah. Lembaga qadhi (peradilan) berkembang dari lembaga pra-Islam hakam (arbitrator). Seperti halnya hakam, qadhi generasi awal menurut Schacht juga terikat oleh preseden tradisi lokal dan kasus-kasus yang telah diputuskan.
116
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Dalam perkembangan sebagai salah satu bahagian dari disiplin ilmu hukum, hukum adat dipahami dengan beragam pengertian. Sarjono Soekanto, umpamanya menegaskan bahwa hukum adat adalah semua aturan/peraturan adat tingkah laku yang menjadi hukum di segala segi kehidupan orang Indonesia dan pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat dengan kesadaran akan adanya keadilan bagi semua pihak. 237 Sementara Hardjito Notopuro menjelaskan bahwa hukum adat merupakan hukum tak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri-ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan bersifat kekeluargaan.238
B. Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Adat Pengamatan terhadap kebudayaan manusia secara lintas budaya menemukan bahwa sengketa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Di tengah masyarakat terdapat sistem pengendalian sosial yang diharapkan setiap warga berlaku konform dengan norma sehingga suatu keadaan yang damai dapat tercipta. Namun, dalam kenyataan di semua masyarakat interaksi di antara mereka telah melahirkan gesekan, ini dikarenakan adanya individu yang tidak mengindahkan norma, dan tindakan itu merugikan kepentingan orang lain. Hubungan yang mulanya terlihat harmonis dan serasi mengalami gangguan. Dalam kondisi ini masyarakat memiliki ciri tersendiri dalam mengatasi perilakuperilaku yang melanggar norma-norma hukum yang telah mereka sepakati. Ada masyarakat yang anggotanya dituntut untuk memiliki ketaatan pada keadaan, dan ada masyarakat yang bersifat lebih luwes dan secara tidak eksplisit lebih longgar dengan memberi ruang atau masih memaafkan sampai derajat tertentu penyimpangan, yang dianggap masih di dalam
Untuk mendukung argumentasinya, schacht menunjukkan keputusan-keputusan qadhi di masa Dinasti Umayyah yang mengandung unsur-unsur lokal. Dalam perkembangan belakangan hukum Islam, keputusan-keputusan ini diasimilasikan ke dalam batang tubuh hukum Islam. J. Schacht, Introduction to Islamic Law (New York: Oxford, 1962), h. 24-25. 237
Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat (Bandung: Alumni, 1978), h. 49. 238
Hardjito Notopuro, “Tentang Hukum Adat Pengertian dan Pembatasan dalam Hukum Nasional” Majalah Hukum Nasional, Nomor 4 Tahun 1969, h. 49.
117
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat batas toleransi. Ada masyarakat yang cenderung menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka tidak dengan cara damai, bahkan masyarakat tersebut memiliki individu yang gemar berperkara.239 Masyarakat manapun sebenarnya memiliki tradisi tersendiri dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka, yang terkadang dengan meman faatkan orang-orang yang di sekitar mereka. Masyarakat Indonesia terbiasa dengan mengutamakan perdamaian dalam penyelesaian konflik dan sengketa. Musyawarah mufakat menjadi langkah yang lazim ditempuh untuk penyelesaian sengketa secara damai. Ali Budiardjo mengungkapkan bahwa hasil studi perkembangan hukum di Indonesia ditemukan bahwa penyelesaian sengketa secara musyawarah atau penyelesaian di luar jalur peradilan negara – dikenal dengan penyelesaian sengketa alternatif (ADR) telah lazim dipraktikkan oleh masyararakat tradisional. Di banyak daerah di Indonesia, kepala desa atau kepala suku masih dianggap penguasa tertinggi dalam memimpin desa, dan sebagai kepala suku atau kelompok etnis yang memiliki kekuasaan bertindak dan menyelesaikan sengketa antara rakyat/ masyarakatnya. Di sini terlihat bahwa masyarakat Indonesia termasuk masyarakat Aceh memiliki kecenderungan penyelesaian sengketa secara damai tanpa peradilan negara (non-litigasi) dengan menggunakan basis budaya sebagai dasar pelaksanaannya. Kepala suku atau pemimpin desa bertindak sebagai mediator, konsiliator atau bahkan sebagai arbitrator.240 Musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan mekanisme integral dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebagai hukum tidak tertulis atau dikenal dengan the living law (hukum hidup/bergerak) dalam bentuk hukum adat (customary law) khususnya terkait proses penyelesaian sengketa. 241 Hukum adat ini oleh Friedman dinilai sebagai the living law
239 T.O. Ihromi, “Kata Pengantar”, dalam Antropologi dan Hukum, Penyunting T.O. Ihromi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), h. 7. 240 Ali Budardjo, dkk., Reformasi Hukum di Indonesia, Terjemah Niar Reksodiputro dan Iman Pambagyo (Jakarta: Cyber Consult, 2000), h. 94. 241 Benda Beckman dalam penelitiannya mengenai penyelesaian sengketa di masyarakat Minangkabau menilai bahwa penyelesaian sengketa di masyarakat ini umumnya dilakukan secara musyawarah baik yang diselenggarakan secara formal maupun informal dalam bentuk pertemuan-pertemuan sore, malam dan waktu lainnya antara beberapa orang. Pertemuan tersebut tergolong dalam bentuk pertemuan adat. Lihat, Keebet von Benda-Beckmann, The Broken Stairwarys to Consensus: Village Justice and State Courts in Minangkabau (Dordrecht-Holland/Cinnaminson-U.S.A, 1984), h. 12. Di sini terlihat bahwa mekanisme musyawarah menjadi bentuk yang telah lama melekat dalam kehidupan masyarakat adat Indonesia termasuk masyarakat Aceh.
118
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat dan menjadi bagian dari sistem hukum yang berlaku pada suatu Negara yang diakui keberadaannya.242 Bagi masyarakat Indonesia yang memiliki ragam budaya, praktik penyelesaian sengketa berkembang cukup lama sejalan dengan sejarah dan perkembangan keberadaan kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami wilayah Nusantara ini. Bahkan jauh sebelum agama Islam masuk ke Indonesia, negeri yang memiliki keragaman ini telah lama melaksanakan proses penyelesaian sengketanya secara khusus dan khas sesuai dengan karakter masyarakat. Di daerah pedalaman Kalimantan, misalnya, banyak sengketa diselesaikan oleh para tua-tua adat saja. Bila suatu pelanggaran dianggap belum berat oleh tokoh adat setempat ia menyelesaikan sendiri dengan yang bersangkutan. Dalam hal pelanggaran yang lebih berat ia memanggil tokoh-tokoh setempat yang lain, dan melalui rapat-rapat ditentukan, apakah tertuduh memang bersalah dan apa hukumannya.243 Contohnya, masyarakat Bali menerapkan hukum Adat awig-awig dimana seluruh sengketa masyarakat harus diselesaikan secara adat yang diputuskan oleh tetua adat.244 Masyarakat Toraja juga memiliki tradisi penyelesaian sengketa tersendiri. Di daerah Toraja di sekitar Rantepao dan Ma’kale, masyarakat mengajukan sengketa mereka kepada suatu dewan yang sejak lama berfungsi untuk menyelesaikan sengketa. Dalam istilah adat, dewan yang merupakan lembaga adat asli itu bernama hadat. Para anggota dewan itu adalah orang-orang yang dianggap sebagai pemimpin dalam suatu desa atau satuan masyarakat lainnya. Dewan hadat ini akan bersidang dalam waktu yang cukup lama untuk menentukan siapa yang bersalah dan sanksi yang harus ditetapkan untuk sebuah sengketa.245 Hasil kajian terhadap sistem penyelesaian sengketa di masyarakat nusantara ini kemudian berkembang dalam disiplin Hukum Adat. Dalam kajian hukum adat ini ditemukan bahwa masyarakat adat nusantara
242
Lawrence Meier Friedman, American Law: An Introduction, 2nd edition (New York: WW Norton & Company, 1998), h. 14. 243
Ibid., h. 16-17.
244
Lihat Fatahillah A. Syukur, “Community Mediation Training in Bali and Papua: Access to Justice in Indonesia.” Paper presented in 1st Asian Mediation Association Conference (Singapore, 2009); .Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Peradilan Desa Alternatif Penyelesaian Sengketa (Denpasar: Yayasan Kemala, 2005). 245
Ibid., h. 17-18.
119
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat sangat mengutamakan penyelesaian sengketa secara damai, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Hal ini disebabkan hukum adat tidak mengenal pembagian kategori hukum dalam ranah publik maupun privat seperti halnya hukum Barat.246 Sanksi sosial bisa diterapkan kepada pihak yang membawa kasusnya langsung ke pengadilan negara tanpa mencoba menyelesaikannya secara damai terlebih dahulu.247 Sistem penyelesaian sengketa yang dipraktikkan masyarakat adat Indonesia merupakan sebahagian kecil dari tradisi adat yang telah dikem bangkan masing-masing masyarakat. Secara universal, menurut M.B. Hooker masyarakat adat di wilayah nusantara memiliki karakteristik yang menjadi dasar mereka dalam bertindak dan berperilaku, yaitu: Pertama, dasar pertalian suatu keturunan (genealogical) yang bermakna hubungan individu, dan pembagian hak dan kewajiban setiap individu anggota masyarakat didasari oleh sistem pertalian keturunan baik itu menurut matrilineal (dari garis ibu) atau patrilinieal (garis bapak) dan pertalian menurut garis bapak dan ibu (tata susunan parentil); atau dibangun atas dasar lingkungan daerah (territorial). Kedua, sifat kemasyarakatan (community). Contoh norma yang dibangun dari asas ini adalah masyarakat adat baik dibangun atas dasar kekerabatan ataupun wilayah memiliki hak atas tanah daripada individu penggarap atau pemilik tanah sebelumnya. Ketiga, asas gotong royong (mutual help or communal duties). Pada karakteristik ini, setiap anggota masyarakat memiliki kewajiban untuk tunduk dan patuh terhadap seperangkat kewajiban seperti kerja gotong royong dalam memanen hasil ladang. Keempat, asas harmonisasi antara masyarakat dengan alam. Seluruh anggota masyarakat diharuskan menjaga keharmonisan alam.248 Senada dengan pemikiran Hooker, Soepomo dalam karyanya Babbab tentang Hukum Adat mengurai corak hidup masyarakat adat sebagai persekutuan desa (levensgemeenschap). Kehidupan bersama masyarakat adat ini memiliki corak sebagai berikut:249 246 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Cet. I, (Jakarta: Kencana, 2009). 247 Fakta ini diungkap dalam penelitian LP3ES tentang The Development of Village Mediation Center sebagaimana diungkap Fatahillah A. Syukur, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) Teori dan Praktek di Pengadilan Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 2011), h. 79. 248
M. B. Hooker, Adat Law in Modern Indonesia ( : Oxford University Press, 1978), h. 55.
249
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1977),
h. 71-76
120
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat 1.
Keagamaan (religious), bersifat kesatuan batin, setiap orang merasa satu kesatuan, dan persekutuan bertugas memelihara keseimbangan lahir dan batin antara golongan dan lingkungan alam sekitarnya. Kebahagian sosial dalam masyarakat akan tetap terjalin apabila keseimbangan itu dipelihara dengan semestinya. Menurut kepercayaan tradisional Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib, yang harus dipelihara agar kebahagian tercipta. Perbuatan-perbuatan bersama ataupun perseorangan, misalnya membuka tanah, usaha perdamaian biasanya disertai dengan upacara relijius yang bermaksud menggunakan kekuatan gaib agar supaya perbuatan itu berhasil baik. Di daerah Kalimantan, umpamanya prosesi perdamaian hasil diakhiri dengan kewajiban bagi yang bersalah untuk menyembelih seekor hewan yang setelah disembelih akan dimakan bersama. Prosesi ini diyakini sebagai wujud persembahan dan untuk mengembalikan situasi pada keadaan semula yang tentram dan damai.250
2. Kemasyarakatan atau komunal. Manusia di dalam hukum adat adalah orang yang terikat kepada masyarakat. Ia bukan individu yang pada asasnya bebas dalam berbuat dan berperilaku meski tidak melanggar batas-batas hukum yang telah ditetapkan, namun ia merupakan warga golongan yang memiliki hak dan kewajiban sesuai ketentu masyarakat adatnya. Umpamanya, seseorang yang memiliki harta benda seperti sebidang tanah, tidak memiliki kewenangan untuk menggunakan tanah tersebut sesuai kemauannya karena benda tersebut mempunyai fungsi sosial yang telah ditetakan oleh masyarakatnya. 3. Kewibawaan. Kewibawaan kepala rakyat di dalam masyarakat adat adalah berdasarkan peristiwa. Misalnya, dam persekutuan yang bersifat genelogis dan territorial, kepala masyarakat adalah anggota yang tertua dari family yang tertua dan yang berkuasa di dalam daerah persekutuan, dan di dalam persekutuan yang bersifat territorial, kepala rakyat biasanya dipilih dari keturunan pembuka desa. Kekuatan gaib masyarakat diyakini menjelma dalam diri kepala rakyat, karenanya setiap perlawanan terhadap kepala rakyat akan mengganggu ketentraman masyarakat sehingga dinilai sebagai pelanggaran hukum yang berat.
250
Ihromi, “Kata Pengantar”, h. 17.
121
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat 4. Pengangkatan Kepala Rakyat. Ketika terjadi pergantian kepala persekutuan, maka biasanya yang dipilih atau diakui sebagai kepala baru adalah ahli waris pertama dari kepala lama dan ditetapkan dalam rapat desa. Jika ditemukan bahwa individu yang seharusnya pengganti kepala rakyat dinyatakan tidak cakap, maka ahli waris yang berikutnya akan dipertimbangkan sebagai pengganti. Kesemua asas di atas menjadi dasar pembentukan norma dan hukum adat dalam persekutuan masyarakat adat. Bagir Manan menegaskan bahwa perdamaian dalam sistem hukum adat Indonesia tidak terbatas pada sengketa perdata. Perdamaian juga lazim dalam perbuatan (perkara) yang bersifat kepidanaan dan diselesaikan dengan sifat kekeluargaan.251 Di sini asas komunitas atau kemasyarakatan berperan besar.252 Sebuah kematian akibat perkelahian atau pertengkaran, perdamaian sangat mungkin diselesaikan melalui kompensasi terhadap keluarga korban yang tidak semata bersifat materil tetapi dapat juga bersifat immateril seperti denda adat. Dalam masyarakat Aceh, umpamanya, pembayaran kompensasi dilakukan dengan konsep di’et (diyat).253
C. Penyelesaian Sengketa Masyarakat Adat Aceh Masyarakat Aceh memiliki corak budaya hukum yang khas dan berbeda dari masyarakat adat lain di nusantara. Salah satu kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh adalah selalu menyelesaikan berbagai persoalan dan sengketa melalui musyawarah gampông, baik berupa persoalan kecil seperti perkelahian anak hingga persoalan pembagian warisan. Persoalan tentang harta warisan, perwalian dan sengketa tanah atau kepemilikan tanah menjadi persoalan utama di kalangan masyarakat yang terkena dampak langsung musibah gempa dan tsunami pada tahun 2004 lalu. Kehidupan masyarakat tidak terlepas dari adat istiadat. Adat merupakan sumber hukum yang terlebih dahulu diterapkan masyarakat.
251 Bagir Manan, “Mediasi Sebagai Alternatif menyelesaiakan Sengketa”, dalam Varia Peradilan, No. 248 Juli 2006, h. 10-11. 252 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspketif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Cet. I (Jakarta: Prenada, 2009), h. 246-247. 253
Ibid., h. 253-260.
122
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Meskipun jarang terdapat hasil peraturan yang tertulis, pelaksanaan adat di Aceh selalu beriringan dengan prinsip syariat Islam. Pada tingkat gampông, pelaksanaan adat biasanya merupakan tanggung jawab keuchik (kepala gampông), imuem meunasah (pemimpin keagamaan di gampông), ulama lokal dan tuha peut (tetua gampông). Kalau terjadi suatu sengketa, para pemimpin gampông tersebut akan berusaha untuk menyelesaikan persoalan itu melalui mufakat atau konsultasi. Dalam proses tersebut, seorang pemimpin gampông akan membantu para pihak untuk mencapai kesepakatan bersama, di mana kedua belah pihak akan mencari jalan keluar yang dihasilkan lewat perdamaian (mediasi). Dalam pemahaman masyarakat Aceh, kalau suatu masalah diselesaikan melalui peradilan umum (Pengadilan Negeri), pada dasarnya akan merugikan para pihak yang bersengketa. Ada beberapa keuntungan yang sering muncul dalam sebuah upaya penyelesaian sengketa secara adat, yaitu sifat kesukarelaan dalam proses, prosedur yang tepat, keputusan nonyudisial, prosedur rahasia (confidentiality), fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah, hemat waktu, hemat biaya, pemeliharaan hubungan, tinggi kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, kontrol dan lebih mudah memperkirakan hasil dan keputusan bertahan sepanjang waktu. Di samping itu, proses penerapan sanksi adat terhadap berbagai sengketa dan pelanggaran adat bersifat tegas dan pasti karena menyangkut kepentingan publik secara luas. Ketegasan tersebut diperlukan untuk memelihara kepentingan pihak lain dan tidak terganggunya sistem sosial yang telah dipraktekkan bersama-sama. Sanksi adat juga tidak bersifat baku; ia sesuai dengan kondisi suatu daerah tertentu karena merupakan suatu kesepakatan yang dijalani bersama. Sifat ini menandakan bahwa hukum adat sangat fleksibel dan tidak sebagaimana halnya hukum formal. Hasil penelitian tentang Penerapan Alternative Dispute Resolution (ADR) Berbasis Hukum Adat pada Lembaga Adat Keujreun Blang di Kabupaten Aceh Besar, hasil kerjasama Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) dengan Satker BRR-Pengembangan Sarpras Hukum NAD-Nias menemukan berbagai macam kasus sengketa termasuk harta warisan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa beberapa metode dan pola penyelesaian sengketa yang dilakukan antara lain: 1.
Penyelesaian secara personal, yaitu penyelesaian yang dilaksanakan secara pribadi oleh tokoh masyarakat berdasarkan kepercayaan para pihak tanpa melibatkan komponen lain.
123
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat 2. Penyelesaian melalui pihak keluarga, yaitu penyelesaian yang dilakukan dengan pendekatan pihak keluarga dari pihak yang bersengketa yang biasanya mempunyai hubungan keluarga yang masih dekat. 3.
Duek Ureung Tuha, yaitu musyawarah terbatas para tokoh masyarakat untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan laporan para pihak.
4. Penyelesaian melalui Lembaga Adat Keujreun Blang, yaitu penyelesaian yang dilaksanakan oleh keujreun terhadap berbagai sengketa, baik berdasarkan laporan dari para pihak atau tidak. 5.
Penyelesaian melalui Peradilan Gampông, yaitu peradilan adat yang diikuti oleh perangkat gampông untuk penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di meunasah atau masjid.
6. Penyelesaian melalui Peradilan Mukim, yaitu peradilan adat yang diikuti oleh perangkat mukim untuk menyelesaikan sengketa yang diajukan oleh para pihak karena tidak puas terhadap putusan peradilan gampông. Praktek-praktek penyelesaian sengketa dalam masyarakat Aceh merupakan pola penyelesaian yang mengadopsi hukum Islam namun diter jemahkan ke dalam hukum adat masyarakat Aceh.254 Praktek penyelesaian sengketa yang telah lama diterapkan dalam masyarakat Aceh terangkum dalam 4 bentuk praktek adat, yaitu suloh, di’iet, sayam dan peumat jaroe (berjabat tangan). Istilah diat (di’iet, diyat), sayam, dan suloh hampir sama fungsi, makna, maksud, dan tujuannya. Ketiga frasa ini sering disebut dalam kaitannya dengan upaya penyelesaian damai terhadap sengketa-sengketa berdarah dalam tata pergaulan masyarakat Aceh di gampông-gampông.Istilah diet lebih bersifat pengganti qishash, karena pihak yang bersalah ternyata dimaafkan oleh keluarga korban, dan maknanya lebih mengarah pada ganti rugi. Sedangkan sayam dan suloh lebih berfungsi pada penegakan keseimbangan (equilibirium) antarkeluarga atau antar pihak, karena keharmonisan sempat terganggu disebabkan perkelahian/pertikaian yang berdarah. Ketika ada dua orang atau lebih bersengketa/berseteru, sehingga timbul perkelahian menggunakan parang/senjata atau benda-benda lain yang menyebabkan ada korban berdarah (luka dan atau meninggal), maka dalam budaya Aceh perkelahian itu dapat diselesaikan melalui jalan
254
Syarizal Abbas, Mediasi, h. 253-267.
124
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat damai yang dilakukan oleh orang-orang tua (perangkatadat gampông). Apabila upaya damai sudah disepakati, maka seluruh dendam kesumat dihilangkan. Bahkan, mereka yang tadinya berseteru atau berkonflik, menjadi bersaudara yangamat erat. Sedangkan kepada pihak keluarga korban diberikan semacam pengganti (kompensasi) dalam bentuk hewan (kambing) sesuai dengan kemampuannya dankeputusan orang-orang tua, pemangku adat. Pada acara tersebut dilakukan peusijuek (tepung tawar) serta makan bersama, kemudian mendengar nasihat ulama, saling memaafkan, yang diakhiri dengan pembacaan doa. Berikut penjelasan ringkas mengenai keempat praktik adat di atas: 1.
Sayam
Sayam adalah salah satu pola penyelesaian konflik yang ditemukan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Pola ini telah lama dipraktikkan dan bahkan jauh lebih lama dari pola di’iet dan suloh. Institusi sayam berasal dari tradisi Hindu, sehingga sebelum Islam datang pola ini telah dikenal dan dipraktikkan oleh masyarakat Aceh. Ajaran dan tradisi Hindu tentang sayam, sebenarnya tidak murni lagi ajaran Hindu, namun sudah disaring oleh syariat Islam. Oleh karenanya, praktik sayam sebagai model penyelesaiaan konflik dalam masyarakat Aceh, bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan syariat islam. Sayam adalah bentuk kompensasi berupa harta yang diberikan oleh pelaku pidana terhadap korban atau ahli waris korban, khusus berkaitan dengan rusak atau tidak berfungsinya anggota tubuh. Bahkan sebagian daerah di Aceh memperlakukan sayam ini sebagai kompensasi dari keluarnya darah seseorang akibat penganiayaan. Umumnya pembayaran kompensasi sayam berupa seekor kerbau, sapi atau kambing, sejumlah uang, dan beberapa helai kain yang diserahkan kepada korban atau keluarganya. Hakikatnya upacara sayam untuk menjalin hubungan baik antara pelaku pidana dan pihak korban atau lebih jelasnya dapat menumbuhkan kembali rasa keharmonisan antara kedua belah pihak yang mengalami sengketa atau konflik, sehingga tidak ada dendam di antaranya. Korban dapat dinyatakan sebagai saudara subut (seolah-olah seperti saudara kandung bagi pelaku pidana). Contohnya, apabila ada dua orang atau lebih bersengketa/berseteru, sehingga timbul perkelahian menggunakan parang/senjata atau benda-benda lain yang menyebabkan ada korban berdarah (luka dan meninggal), maka dalam budaya Aceh perkelahian itu dapat diselesaikan melalui jalan damai yang dilakukan oleh orang-orang tua (perangkat adat gampông)”.
125
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Ada hal yang menarik dari prosesi adat pemberian sayam yaitu termasuk balas dendam tanpa ada korban baru, dikenal dengan adat meulangga. 255 Penerapan adat meulangga ini biasanya karena adanya penghinaan atau penganiayaan. Pada masa lalu, seperti yang diuraikan oleh C. Snouck Hurgronje bahwa penyelesaian pelanggaran ini dilakukan dengan cara pengerahan massa dari gampông yang dihina di bawah pimpinan keuchik untuk melakukan (simbolik) kepada gampông yang meulangga (melanggar). Pihak yang bersalah sudah mengetahui bahwa ini memang harus dihadapi dan dalam hal ini pimpinan gampông telah diberi tahu dan siap mengadakan perlawanan (simbolik juga).256 Kelompok yang mewakili korban datang menjumpai keuchik untuk memberitahukan maksud kedatangan mereka. Pada waktu yang telah ditetapkan orang-orang dari pihak yang di-langga tampil di lapangan mengelilingi gampông yang meulangga. Lalu keuchik pihak yang meulangga tadi menyambut tamu tersebut dengan hormat dan menanyakan maksud mereka. Di sini kedua keuchik melakukan dialog, selanjutnya dilaksanakan penghapusan penghinaan yang telah terjadi dengan simbolik. Keuchik menerima tamu yang tak diundang tersebut dan membawa nya ke rumah si pelaku. Mereka menyoraki agar dia keluar dari rumah. Saat itulah keuchik mendamaikannya secara adat. Ia memotong dua batang pisang di halaman rumah si pelanggar dan menyerahkannya kepada kelompok tersebut. Lalu keuchik desa tersebut akan berdialog dengan kelompok itu untuk menenangkannya. Sebagai simbolis perdamaian, keuchik akan memotong dua batang pisang raja dan menyerahkan kepada kelompok tersebut. “Inilah yang kalian cari, tanamannya sudah dirusak, sebagai balasan,” kata keuchik kepada kelompok tersebut. Setelah menerima pohon pisang raja tersebut, kelompok dari pihak korban akan memotong pohon di pagar rumah si pelanggar, sebagai simbol perusakan. Biasanya zaman dahulu warga menanam pohon kedondong di pagar rumah mereka. Keuchik mempermaklumkan apa yang akan dikerjakan oleh mereka sebagai denda adat terhadap warganya yang telah melakukan pelanggaran. Setelah pohon kedondong itu di potong, kelompok yang datang tersebut akan membangun sebuah miniatur rumah
255 Prosesi adat moulangga ini menurut C. Snouck Hurgronje merupakan salah satu praktik adat yang telah hilang dari kehidupan masyarakat Aceh dewasa ini. Lihat C. Snouck Hurgronje, The Achehnese, Translated by A. W. S. O’Sullivan (Leyden: E. J. Brill, 1906), Vol. I, h. 77. 256
Ibid.
126
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat di halaman rumah si pelanggar. Rumah miniatur tersebut kemudian dibakar sebagai simbol bahwa mereka telah melampiaskan dendam dengan cara membakar rumah si pelanggar. Pembakaran itu disaksikan oleh keuchik dan masyarakat desa setempat. Setelah itu, mereka akan minta izin kepada keuchik untuk kembali ke kampungnya. Sehari setelah opera balas dendam itu selesai, kedua belah pihak selanjutnya bertemu sekali lagi untuk membahas lebih lanjut syaratsyarat untuk memulihkan perdamaian. Menurut kebiasaan yang berlaku pemulihan ini dilakukan dengan membuat acara peusijuek.
127
2. Di’iet Asal usul di’iet 257,suloh dan peumat jaroe berasal dari tradisi dan ajaran Islam, sehingga pola ini langsung dikenal oleh masyarakat Aceh ketika Islam disebarkan pertama kali ke Nusantara.258 Kata di’iet berasal dari istilah Arab, yaitu diyat. Secara bahasa, kata diyat bermakna pengganti jiwa atau pengganti anggota tubuh yang hilang atau rusak. Pengganti ini merupakan harta, baik bergerak maupun tidak bergerak. Diyat merupakan konsep yang terdapat dalam hukum pidana Islam. Diyat difahami sebagai
257
Kata ini berasal dari kata ( دِي َ ٌةdiyah) yang mrupakan ketentuan hukum Islam terkait dengan kasus pembunuhan sebagaimana tertuang dalam QS. An-Nisa’ [4]: 92. Kata ( دِي َ ٌةdiyah) secara hukum menurut ‘Ali ash-Shȃbȗnȋ adalah sesuatu yang diberikan (si pembunuh) sebagai pengganti/tebusan dari darah yang dibunuh kepada ahli waris. Tebusan ini dipahami dalam bentuk materi atau harta berharga. Lihat, Muḫammad ‘Alȋ ash-Shȃbȗnȋ, Rawȃ’iu al-Bayȃn Tafsȋr Ayȃt al-Aḫkȃm min al-Qur’ȃn, Juz I, Cet. I, (Jakarta: Dȃr al-Kutub al-Islȃmiyyah, 2001), h. 388. Allah tidak menjelaskan bentuk dan jumlah materi diyat yang harus dipenuhi oleh seseorang. Ayat tentang diyat hanya memberikan informasi mengenai kewajiban membayar diyat bagi pelaku tindak pidana tertentu, sementara penjelasan-penjelasan tentang kadar dan ukurannya terdapat ditemukan di dalam hadits-hadits Rasulullah saw. Namun, karena haditshadits tentang itu amat beragam, terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah dimaksud dalam hubungannya dengan status korban. Imam Malik, Hanafi dan Syafi’i cendrung berpendapat bahwa diyat bagi pembunuhan yang telah dimaafkan oleh ahli waris korban tergantung dari jenis harta yang diinginkan bisa berupa unta, yaitu seratus ekor unta bagi pembunuhan tidak sengaja, atau uang sebesar seribu dinar, atau dua belas ribu dirham. Lihat, Muḫammad ‘Alȋ asSȃis, Tafsȋr Ayȃt al-Aḫkȃm (Beirut: Dār al-Qāhirah, t.t.), Juz 2, h. 124. Dari beragamnya pendapat mengenai besaran jumlah diyat ini, penulis melihat bahwa hakim dapat menentukan jumlah diyat sesuai dengan standar ekonomi yang berlaku di masyarakat, dan mungkin saja dalam sebuah masyarakat akan berlaku ketentuan yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Jadi, hukum diyat berlaku sesuai dengan konteks waktu dan tempat. Ketentuan ini dapat dilihat dari ungkapan ayat وف ِ ُ ( بِا مْل َ ْعرdengan cara yang baik), yaitu ketentuan diyat itu sesuai dengan ‘urf (kebiasaan) yang berlaku di masyarakat tempat terjadinya pembunuhan. Jika bagi masyarakat Arab, diyat bagi pembunuhan pembunuhan tidak sengaja dan telah dimaafkan oleh ahli waris korban adalah seratus ekor unta bagi, atau uang sebesar seribu dinar, atau dua belas ribu dirham, maka bagi masyarakat Indonesia dapat ditentukan sesuai dengan standar hidup rakyat Indonesia. Satu hal yang penting bahwa penetapan diyat oleh Allah sebenarnya dimaksudkan untuk menjaga nyawa manusia dari kesia-siaan, memberikan kemaslahatan dan jaminan hidup bagi keluarga korban, menyelamatkannya satu nyawa (nyawa pembunuh berupa qishȃsh diganti diyat), dan menunjukkan ketinggian moralitas ahli waris, serta memulihkan kesedihan yang dialami oleh keluarga korban. Oleh karenanya, harga diyat haruslah sebanding dengan itu semua, dan ditetapkan dengan ukuran yang tinggi sehingga si pelaku akan merasa jera untuk melakukan perbuatan buruk (pembunuhan) itu kembali. Lihat, Chuzaimah Batubara, “Qishash Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur’an”, Sosio-Religia: Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial, vol. 9, (Yogyakarta: Lingkar Studi Ilmu Agama dan Ilmu Sosial (LinkSAS), 2010), h. 535-563. 258
Hurgronje, The Achehnese, Vol. I, h. 55-56
bentuk kompensasi atau ganti rugi yang diserahkan oleh pelaku pidana atau keluarganya, kepada korban atau keluarga korban (ahli warisnya) dalam tidak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota tubuh. 3. Suloh. Kata suloh dalam bahasa Aceh berasal dari istilah Arab, yaitu alshulhu atau ihlah, yang berarti upaya perdamaian. Suloh adalah upaya perdamaian antar para pihak yang bersengketa. Dalam tradisi penyelesaian konflik, masyarakat Aceh menggunakan suloh sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan sosial, akibat adanya sengketa atau konflik. Suloh lebih diarahkan pada upaya perdamaian di luar kasus-kasus pidana. Ia ditujukan untuk menyelesaikan kasus perdata dan kasus-kasus yang tidak melukai anggota badan manusia. Sayam dan suloh dipergunakan untuk menyelesaikan berbagai kasus yang bernuansa pidana yang berhubungan dengan jiwa dan anggota badan. 4. Peusijuek dan Peumat Jaroe Bentuk aktivitas adat dan budaya yang melekat pada di’iet, sayam dan suloh adalah peusijuk (tepung tawar) dan peumat jaroe (saling berjabat tangan). Kedua institusi ini dianggap memegang peran penting dalam menjalin rasa persaudaraan (ukhuwah) antara para pihak yang bersengketa. Masyarakat Aceh menganggap belum sempurnanya penyelesaian konflik tanpa ada prosesi peusijuek dan peumat jaroe. Ini adalah bentuk kesempurnaan dari proses di’iet, sayam dan suloh.259 Peusijuek (dingin) juga sering digunakan oleh masyarakat Aceh ketika menempati tempat baru dan pada upacara perkawinan, orang hamil, terlepas dari bahaya, kembali dari merantau dan lain-lain. Semua jenis peusejuk ditunjukan sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang berikan-Nya. Pada waktu peusijuk, kedua pihak yakni yang melanggar dan pihak korban dihadirkan ke Meunasah untuk didamaikan. Peusijuk itu dilakukan di kampung pihak yang dirugikan atau korban atau pihak yang darahnya keluar. Pihak yang menyebabkan darah keluar akan membawa hidangan
259
Muliadi Kurdi, Falsafah Peusijuek Masyarakat Aceh (Banda Aceh: LKAS Institute for Religious and Social studies, 2012), h. 35.
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat bulukat kuneng (nasi ketan kuning) beserta tumpoe untuk melakukan peusijeuk. Pada saat peusijeuk terhadap korban (yang darahnya keluar) dilakukan, pihak pelanggar akan menyerahkan sepotong kain putih sebagai simbol mengharap pertentangan itu dilupakan (hati kembali putih bersih dari dendam). Bersama diserahkannya kain putih tersebut, diberikan pula sayam, sebagai uang tembusan kesalahan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Sayam hanya diberikan pada kasus-kasus bersar yang melukai korban atau menyebabkan korban harus menjalani perawatan. Sayam juga dimaksudkan sebagai uang pengganti perawatan korban. Setelah peusijuk dilakukan, maka tak ada lagi permusuhan antar kedua pihak. Peusijuk meulangga ini sering juga disebut peusijuk ro darah gob, yang bermakna tepung tawar tumpahnya darah orang lain. Peusijuk Meulangga adalah acara tepung tawar akibat pelanggaran pidana yang dilakukan untuk mendamaikan perselisihan atau pertengkaran, baik antar warga maupun antar kelompok warga yang mengakibatkan pertumpahan darah. Peusijuk meulangga biasanya dilakukan di meunasah dipimpin oleh keuchik yang bertindak sebagai wakil dari kedua belah pihak yang bertikai. Ia juga menjadi hakim yang mendamaikan perselisihan tersebut secara adat. Peusijuk dilakukan oleh pihak yang melakukan pelanggaran hingga menimbulkan keluarnya darah pihak lain. Ia harus memberikan sejumah ganti rugi (sayam) sesuai dengan kesepakatan ketika didamaikan oleh keuchik. Zaman dahulu sebagaimana disebut Snouck Hurgronje, peusijuk meulangga diawali dengan denda adat meulangga untuk menghilangkan luka atau hinaan dan dendam pihak yang darahnya keluar. Biasanya pihak yang darahnya keluar akan datang bergerombolan ke kampung pihak yang menyebabkan keluar darah untuk memberi denda adat. Adapun perlengkapan alat-alat dan bahan-bahan yang digunakan dalam proses peusijuek terdiri atas:260 1.
Air dan tepung tawar. Dua unsur in dicampur dan menjadi satu dan dipercikkan pada yang akan di-peusijuek. Ini perlambang bahwa orang yang bersangkutan tetap dalam kesabaran dan kembali berada dalam ketenangan. Istilah lain untuk jenis ini dikenal oleh masyarakat Aceh dengan teupong tabeu.
2. Beras dan padi. Dua unsur ini ditaburkan di sekitarnya. Ini pelambang kesuburan, kemakmuran, semangat, dan keutuhan dari orang-orang
260
Ibid.
130
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat yang bersangkutan akan kembali seperti semula. Istilah lain untuk jenis ini oleh masyarakat Aceh disebut dengan breuh pade (beras-padi) 3.
On Manѐek-manӧ (daun warna-warni). Dan ini pelambang keindahan (estetika), keharmonisan, dan kerukunan.
4. On sinijuek (daun cocor bebek/kalanchoe pinnata). Daun ini pelambang kesejukan, kesabaran, dab ketenangan. 5.
Naleung sambӧ (rumput saut). Salah satu jenis rumput yang biasanya hidup di halaman-halaman rumah atau di tempat agak lembab tapi umumnya tumbuh di tanah yang keras. Jenis rumput ini memiliki akar serabut yang kuat, tidak mudah rapuh dan sangat berbeda dengan jenis rumput lainnya. Bahkan jenis rumput ini tidak mudah dicabut dan ada waktu-waktu tertentu jika ingin mencabutnya. Dulu, orang tua aceh bilang, cara mudah menghilangkan/pencabutan rumput samboe dilakukan apabila terjadi gerhana bulan. Karena itu, jenis rumput ini dijadikan salah satu unsure dalam pelaksanaan peusijuek diharapkan orang yang di-peusijuek itu memiliki kekuatan dan keteguhan, tdak mudah rapuh, memiliki pendirian, dan pengayoman seperti halnya naleung samboe.
6. On sisijuek, on manѐek-manӧ, naleung sambӧ dijalin menjadi satu ikatan, melambangkan pengikatan semua unsure-unsur dan sifat baik itu terwujud dalam persatuan dan keutuan pergaulan hidup pihak-pihak yang bersangkutan di dalam masyarakat. 7. Bu leukat kunѐeng (ketan kuning). Unsur ini lambing perekat dalam membangun kembali kebersamaan dan persaudaraan yang telah retak. Biasanya ketika di-peusijuek (tepung tawar), tokoh adat menempel sedikit ketan kuning ke telinga dan dahi orang yang dipeusijuek. Hal ini juga berujuan agar yang sedang bersengketa kembali akur (lengket) seperti lengketnya nasi ketan. 8. Doa. Doa disampaikan oleh seorang Teungku (tokoh agama), memohon perlindungan dan keberkahan dari Allah Swt, agar terhindar dari segala mara bahaya. Adapun hikmah lain yang dapat dipetik dari doa antara lain: pertama, Doa adalah senjata dan pelindung dari godaan dan hasutan syaitan serta dari kejahatan manusia. Kedua, Doa akan meningkatkan lagi ketaqwaan dan kekuatan iman. Ketiga, Allah akan selalu memberkati bagi hamba-hamba Nya yang selalu berdoa dan meminta kepada-Nya. Keempat, Doa, sebagai obat penyembuh bagi segala jenis penyakit yang ada pada diri manusia. Kelima, Doa mampu
131
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat menenteramkan jiwa, penawar, dan penyembuh hati yang sedang sedih. Alquran menerangkan, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah, ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”(QS. Ar-Ra’du (13): 28). Keenam, Melalui doa, Allah akan membukakan pintu rahmatNya kepada manusia. Ketujuh, Doa, penghubung dan pengikat tali persaudaraan dan kasih sayang di antara semua mukmin. Setelah acara peusijuk selesai para pihak yang terlibat melakukan upacara peumat jaroe. Peumat jaroe (berjabat tangan untuk saling memaafkan) merupakan simbol perbaikan hubungan antara pihak yang bermasalah, dengan harapan konflik antara mereka berakhir. Selanjutnya mereka menjalin hubungan silaturrahmi, yaitu antara keluarga pelaku pidana dan keluarga korban di mana ditandai ketika hari-hari besar Islam mereka saling mengunjungi dengan membawa rantangan atau buah tangan. Sehingga hubungan antara mereka akan semakin kokoh. Prosesi peusijuk sudah dijelaskan sebelumnya yang digunakan untuk semua perkara baik perdata atau pidana. Peusijuk juga dilaksanakan bukan hanya untuk menyelesaikan konflik, tetapi juga menyatakan rasa syukur dapat diwujudkan dengan peusijuk dalam masyarakat Aceh. Setelah acara peusijuk selesai, maka dilanjutkan dengan peumat jaroe antara pihak yang bersengketa. Kegiatan ini dilakukan (difasilitasi), oleh keuchik, teungku imeuem, dan tetua adat. Peumat jaroe merupakan simbol perbaikan hubungan antara para pihak yang bersengketa, dengan harapan konflik antar mereka dapat segera berakhir. Kesimpulannya bahwa istilah diyat (di’et), sayam, dan suloh hampir memiliki fungsi yang sama, makna, maksud, dan tujuannya. Ketiga frasa ini sering disebut dalam kaitannya dengan upaya penyelesaian damai terhadap sengketa-sengketa berdarah dalam tata pergaulan masyarakat Aceh di gampông-gampông. Istilah diet lebih bersifat pengganti qishash, karena pihak yang bersalah ternyata dimaafkan oleh keluarga korban, dan maknanya lebih mengarah pada ganti rugi. Sedangkan sayam dan suloh lebih berfungsi pada penegakan keseimbangan (equilibirium) antar keluarga atau antar pihak, karena keharmonisan mereka sempat terganggu disebabkan perkelahian/ pertikaian yang berdarah.
132
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat
D. Peran Lembaga Adat dalam Penyelesaian Kasus Sengketa: Kasus Aceh Pembahasan peran lembaga adat 261di Aceh terkait erat dengan eksistensi dan fungsi ‘ādah di tengah-tengah masyarakat. Selama pemerintahan kesultanan Aceh, hukum Islam dan adat menjadi sistem hukum yang hidup dan mengatur masyarakat Aceh secara harmonis. Ungkapan ‘hukôm ngon adat, lagѐe zat ngon sipheuet’ 262(hukum dan adat seperti zat dan sifat) mendukung fakta bahwa konstelasi hukum yang
261
Secara umum kedudukan lembaga adat di Aceh tidak jauh berbeda dengan kedudukan lembaga adat lainnya di wilayah hukum adat lainnya di nusantara. Selain menduduki posisi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, juga merupakan lembaga peradilan perdamaian lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat bersangkutan meskipun tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. Hal ini sesuai dengan pasal 51 Undang-Undang 21 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua bahwa lembaga adat adalah sebagai berikut: 1) Peradilan Adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang memunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan; 2) Pengadilan Adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan; 3) Pengadilan Adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan; 4) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya, pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau perkara yang bersangkutan; 5) Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan; 6) Putusan pengadilan adat mengenali delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang, menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap; 7) Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari ketua pengadilan negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana; 8) Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat ditolak oleh pengadilan negeri maka putusan pengadilan adat menjadi bahan pertimbangan hukum pengadilan negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan. 262 Secara lengkap diungkapkan: Adat bak po teumenreuhoen, hukôm bak syiah kuala Qanun bak Putroe Phang, reusam bak laksamana. Adat ngon hukôm lagѐe zat ngon sipheuet, artinya: dalam masalah adat, pemerintah, ekonomi, politik dan sebagainya masyarakat merujuk kepada Sultan Iskandar Muda (memerintah tahun 1607-1636), sedangkan dalam hukum syari’at atau hukum agama masyarakat merujuk kepada Teungku Syiah Kuala atau Syaikh Abd. Al-Rauf al-Singkili. Lihat Abdul Majid, Syari’at Islam dalam Realitas Sosial (Banda Aceh: Yayasan PeNA & Ar-Raniry Press, 2007), h. 2, 20.
133
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat plural antara hukum Islam dan hukum adat telah lama hidup di Aceh. 263 Namun, C. Snouck Hurgronje mengklaim bahwa dalam kehidupan hukum pada abad ke- 19, masyarakat Aceh lebih banyak mengacu kepada “adat” daripada hukum Islam. 264 “Adat” dalam pemahaman Snouck Hurgronje adalah hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan berkembang bersama kehidupan masyarakat dan dijalankan sepenuhnya oleh raja, 265 sedangkan hukum Islam merupakan serangkaian ketentuan dan norma yang dijalankan oleh ulama bersumber dari Tuhan dan secara teoritis bersifat mutlak dan sempurna. Hasil kajian mendalam William Marsden dalam Sejarah Sumatra266 menguraikan hukuman yang diterapkan orang-orang Aceh bagi pelaku kejahatan di sekitar abad ke-18 sangat berbeda dengan ketentuan sanksi yang berlaku dalam hukum pidana Islam. Kejahatan pencurian oleh seorang rakyat biasa, misalnya, akan divonis dengan hukuman gantung di atas pohon dengan benda berat tergantung di kakinya, walaupun terdapat juga hukuman potong jari, tangan dan kaki sesuai dengan seberat apa kasus pencuriannya.267
263 Lukman Munir (ed), Menuju Revitalisasi Hukom dan Adat Aceh (Banda Aceh: Yayasan Rumpun Bambu, 2003). 264 C. Snouck Hurgranje, The Achehnese, trans. By A. W. S. O’Sullivan, vol. 1 (Leiden: E. J. Brill, 1906), h. 72-73, 95-116. 265 C. Snouck Hurgronje, “Het Gajoland en Zijne Beworners”, Gayo, Masyarakat dan Kebudayaan Awal Abad ke 20, (terj.), Hatta Hasan Aman Asnah (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 74. 266
Williem Marsden, Sejarah Sumatra , (terj.), Tim Komunitas Bambu (Depok: Komunitas Bambu, 2008). 267
Dalam hukum pidana Islam, pencuri – orang yang mengambil benda atau barang milik orang lain secara diam-diam untuk dimiliki, diberi sanksi dengan potong tangan atas perbuatan mencurinya sesuai dengan QS. Al-Maidah ayat 38 dan bebarapa hadis Nabi yang menjelaskan bahwa Rasulullah memotong tangan pencuri. Salah satu hadis diriwayatkan dari Sayyidina Aisyah ra. Katanya: Sesungguhnya kaum Quraisy merasa bingung dengan masalah seorang wanita dari kabilah Makhzumiah yang telah mencuri. Mereka berkata: “Siapakah yang akan memberitahu masalah ini kepada Rasulullah Saw.?” Dengan seentak mereka menjawab: “Kami rasa hanya Usamah saja yang berani memaberitahukannya, karena dia adalah kekasih Rasulullah Saw. Maka Usamah pun pergi untuk memberitahu kepada Rasulullah Saw.” Maka Rasulullah Saw. Bersabda: “Jadi maksud kamu semua ialah untuk memohon syafaat terhadap salah satu dari hukum Allah? Kemudian Baginda berdiri dan menjawab: Wahai manusia! Sesungguhnya yang menyebabkan binasa umat-umat sebelum dari kamu ialah, apabila mereka mendapati ada orang mulia yang mencuri, mereka membiarkannya. Akan tetapi apabila mereka dapati orang yang lemah di antara mereka yang mencuri, mereka akan menjatuhkan
134
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Satu contoh lain penerapan hukum Islam dan hukum adat ber barengan terungkap dalam sebuah laporan tahun 1642 yang dikemukakan oleh Pieter Willem, seperti dikutip oleh Amirul Hadi, bahwa seorang warga Aceh divonis mati oleh Qadi al-‘Adil dan dewan hakim lainnya dalam kasus pembunuhan. Terdakwa diberitakan mengajukan petisi untuk membayar sejumlah besar uang sebagai ganti vonis mati tersebut. Qadi kemudian membawa kasus ini kepada Ratu Safiyyat al-Din. Ratu tidak memberikan keputusan, dengan memerintahkan supaya kasus tersebut diselesaikan baik menurut “kebiasaan yang berlaku maupun hukum yang dianut”. 268 Penjelasan kedua makna jenis hukum disebutkan Ratu di atas diuraikan oleh Takeshi Ito,
hukuman ke atasnya. Demi Allah, sekiranya Sayyidatina Fatimah binti Muhammad yang mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya. Lihat Al-Imam Abῑ al-Husaini Muslim abn al-Hujjaj al-Qusyairy an-Naisabury, Shaḫῑh Muslim, Juz 3 (Arabiyah: Dᾱr al-Kutubi as-Sunnah, t.t.), h. 1315. Contoh lain yang menunjukan perbedaan penetapan sanksi oleh peradilan adat kala itu adalah kasus Perampokan, baik di jalan ataupun di dalam rumah, dihukum dengan ditenggelamkan lalu mayatnya dipasung untuk beberapa hari. Jika perampokan dilakukan pada seorang imam atau pemuka agama, maka hukumannya adalah dibakar hiduphidup. Sanksi hukum bagi pelaku pidana perampokan dalam hukum Islam lebih berat jika dibandingkan dengan pencurian, yaitu dibunuh, atu disalib (dipotong tangan dan kakinya), atau dibuang sebagaimana tertuang dalam QS. AlMaidah ayat 3334. Sementara seorang lakilaki yang melakukan perzinahan atau perkosaan dihukum dengan digiring ke tengah lapangan, dikelilingi dan diletakkan di tengahtengah oleh pihak keluarga korban baik ayah ataupun suami, yang telah melaksanakan persidangan terhadap kasus ini. Setiap orang yang melingkarinya akan memegang senjata yang disebut gadubong. Bila si pria berhasil keluar dari lingkaran tersebut, maka dia tidak bisa dihukum lagi. Tetapi yang sering terjadi adalah si pria langsung terpotongpotong. Untuk kasus ini, yang sering terjadi adalah si pria dan keluarganya harus menguburnya seperti mengubur kerbau mati. Sanksi hukum bagi pelaku pidana perampokan dalam hukum Islam lebih berat jika dibandingkan dengan pencurian, yaitu dibunuh, atau disalib (dipotong tangan dan kakinya), atau dibuang sebagaimana tertuang dalam QS. AlMaidah ayat 33 34. Untuk penjelasan sanksi yang diterapkan masyarakat Aceh ini lihat, William Marsden, Sejarah Sumatra, h. 372373. 268
Hadi menyatakan bahwa meski informasi Pieter Willem ini tidak lengkap, “namun ia mengandung dua poin penting, yaitu pengadilan telah menjatuhkan vonis qishash dalam kasus ini, yang mengacu kepada hukum Islam. Selanjutnya, petisi yang diajukan oleh terdakwa untuk membayar sejumlah uang dapat dimaknai sebagai diyat yang diberikan kepada ahli waris korban. Kenyataan bahwa “maaf” tidak diberikan oleh keluarga korban. Dalam hal ini, qishash seharusnya dilaksanakan sesuai dengan hukum Islam. Ketika petisi diajukan oleh terdakwa untuk membayar sejumlah uang, Safiyyat al-Din akhirnya memerintahkan agar kasus ini diproses sesuai dengan “kebiasaan yang berlaku” (traditional practice) atau “hukum yang dianut” (the law of the land).” Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 254-255.
135
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat yaitu: “kebiasaan yang berlaku” bermakna praktik hukum setempat yang telah mentradisi, sementara “hukum yang dianut” mengacu kepada hukum Islam. 269 Terjadi kombinasi atau penggabungan dua bentuk hukuman untuk satu jenis kasus. Perjalanan sejarah Aceh membuktikan bahwa masyarakat Aceh identik dengan Islam, dan agama ini menurut Richard V Weeks, “merupa kan faktor utama identitas personal orang Aceh.”270 Akan tetapi, hasil kajian sejarah menunjukkan bahwa berbagai tindak pidana yang terjadi pada masa kesultanan Aceh, sanksi hukuman yang diberikan meski berbeda dengan ketentuan pidana Islam dan dianggap tidak profesional oleh sebagian orang; namun sanksi tersebut didasarkan pada kebiasaan lokal (adat) yang berbeda dengan ketentuan yang termaktub dalam kitabkitab fiqh.271 Penjelasan di atas menegaskan bahwa ketentuan ‘adat’ telah melekat dalam sistem peradilan yang hidup saat itu serta memiliki karakter dan bentuk yang khas dan berbeda dari ketentuan hukum Islam terutama terkait dengan sanksi hukum di atas. Rekam sejarah menunjukkan bahwa segala peraturan yang berdasarkan syara’ atau syariat di atas selalu ditulis oleh seorang qāḍī mālīk al-‘ādil,272 yang kemudian diimplementasikan oleh Sultan sebagai ketentuan adat di masyarakat.273
269 Takeshi Ito, “The World of the Adat Aceh: A Historical Study of the Sultanate of Aceh,” disertasi Ph.D., (Australian National University, 1984), h. 174. 270 Richard V. Weeks, Muslim Peoples: A World Ethnographic Survey, Vol. 1 (Westport, Connecti-cut: Greenwood Press, 1984), h. 3. 271 Kesimpulan ini diungkap oleh Amirul Hadi dalam penelitiannya mengenai “Akar Sejarah Syari’at Islam di Aceh”. Lihat Amirul Hadi, “Membumikan Islam di Aceh: Mengkaji Akar Sejarah Syari’at Islam”, dalam Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi, h. 242-268. 272 Ini merupakan jabatan yang diberikan kepada para qādī (para fuqaha dan ulama) yang ditunjuk oleh sultan Aceh. Para qādī ini bertugas sebagai hakim agama dan administrator dalam urusan hokum. Oleh karena itu, mereka adalah ahli agama dan sekaligus pegawai kerajaan. Lihat Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth Century Aceh (Leiden: E. J. Brill, 2004), h. 167. 273
Literatur mengenai perkembangan Islam di Aceh mulai sekitar abad ke -16 banyak memuat informasi peranan raja-raja Aceh Dār asl-Salām dalam menjadikan Islam – hukum Islam (syari’at), sebagai hukum yang dianut dan diimplementasikan di tengah-tengah masyarakat. Nūr al-Dīn al-Rānīrī , seorang ulama terkemuka Aceh pada masa itu, menuliskan apresiasinya yang tingga terhadap sultan kerajaan di antaranya Sultan ‘Alā’ al-Dīn Ri‘āyat Shāh “al-Qahhār (w. 1571) atas kebijakannya menerapkan adat istiadat yang berlandaskan norma dan syari’at Islam, dan menjadikan Aceh sebagai benteng kekuatan Islam di nusantara kala itu. Lihat Nūr
136
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Sultan merupakan tokoh dan pemimpin pemerintahan masyarakat pada zaman kesultanan Aceh. Pada masa itu unit pemerintahan otonom yang paling bawah adalah gampông. Gampông merupakan “persekutuan masyarakat hukum adat” terkecil di Aceh. Setingkat di atasnya terdapat mukim menjadi federasi dengan merangkum beberapa gampông. Selanjutnya unit pemerintahan ulѐebalang (kenegerian) merupakan federasi beberapa mukim. Sementara setingkat di atasnya adalah unit pemerintahan Sagoe yang merupakan federasi dari beberapa kenegerian. Terakhir untuk level tertinggi terdapat pemerintahan kesultanan.274 Setiap level dari pemerintahan kesultanan Aceh pada masa itu memiliki lembaga-lembaga adat yang berkedudukan sebagai unit pemerintahan unsur kedinasan dan secara langsung berperan dalam mengatur tatanan kehidupan masyarakat di bidang ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Lembaga-lembaga ini bersifat otonom dan berfungsi sebagai pengatur pengelolaan sumber daya alam secara profesional. Untuk komunitas nelayan ada lembaga adat yang disebut panglima la’ōt, kelompok petani ada lembaga keujruen blang dan kaum peladang ada lembaga peutua seuneubô’.275 Masing-masing lembaga adat ini mempunyai hak dan kewenangan untuk membuat hukum dan memantau pelaksanaannya. Selain itu masing-masing lembaga ada juga memiliki kewenangan untuk membentuk sejenis peradilan sebagai badan pelaksanaan dan penegakan hukum di wilayahnya.276 Di sini terlihat bahwa masyarakat Aceh pada masa itu telah menerapkan sistem penyelesaian kasus hukum, sengketa ataupun konflik secara profesional sesuai dengan kompetensi individu penyelenggara peradilan dan berdasarkan dimana sumber kasus tersebut muncul. 277 Namun, untuk kasus-kasus sengketa kecil seperti sengketa hutang piutang atau perdat kecil dan kejahatan-kejahatan ringan yang tidak
al-Dīn al-Rānīrī, Bustān as-Salatin, Bab 2, Pasal 13, ed. T. Iskandar (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1966), h. 31. 274 T. M. Djuned, “Adat dalam Perspektif Perdebatan dan Praktek Hukum “, dalam Lukman Munir, (ed), Bunga Rampai Menuju Revitalisasi Hukum dan adat Aceh (Banda Aceh: Yayasan Rumpun Bambu dan CSSP Jakarta, 2003),h. 36. 275
Ibid., h. 37.
276
Ibid., h. 37.
277
Kamaruddin, dkk., “Model Penyelesaian Konflik di Lembaga Adat,” dalam Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, volume 21, Nomor 1, Mei 2013, h. 42.
137
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat menimbulkan korban jiwa maupun harta dalam jumlah besar maka pemimpin dan tokoh gampông, yaitu keuchik dan imuem meunasah bersama tuha peuet berusaha mendamaikan dan menyelesaikan sengketasengketa yang melibatkan warganya. Keuchik berperan sebagai hakim wasit atau juru damai yang bertugas mengatur jalannya persidangan/ musyawarah dan memutuskan solusi penyelesaian bagai para pihak yang bersengketa.278 Di sini terlihat bahwa peradilan gampông dan mukim yang diselenggarakan oleh unit gampông dan mukim sebagai wilayah tingkat satu dan dua terendah dari unit pemerintahan kesultanan Aceh merupakan bentuk peradilan formal dan dilegitimasi oleh pemerintah kesultanan Aceh kala itu. Untuk menjamin keberlangsungan peradilan berjalan dengan benar maka orang-orang yang menempati posisi di lembaga adat tersebut adalah mereka yang benar-benar berkualitas dan ahli di bidang hukum. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, status gampông sebagai persekutuan masyarakat hukum adat dan peradilannya tetap dipertahankan sebagai sebuah lembaga formal dalam sistem pemerintahan kolonial. Dalam hal ini peradilan gampông menggunakan Hukum Adat sebagai dasar hukum dalam memutuskan perkara. Namun demikian putusannya tetap bersifat perdamaian sesuai dengan prinsip-prinsip penyelesaian peradilan gampông. Bagi pihak yang tidak puas terhadap putusan peradilan gampông dapat mengajukan lagi perkaranya kepada peradilan meusapat.279 Peradilan meusapat adalah Peradilan tinggi di atas Peradilan Gampông yang menaungi wilayah yang lebih luas dari gampông. Peradilan ini diketuai oleh konteler (kepala wilayah) bersangkutan yang berjumlah sekitar 21 buah di seluruh Aceh. Susunan anggotanya terdiri dari tiga orang hulubalang senior (termasuk panglima sagoe), seorang ulama dan seorang juru tulis. Pengadilan meusapat bertugas mengadili perkara di antara orang bumi putera Aceh saja di wilayah ibukota atau tempat kedudukan hulubalang yang berada dalam daerah yurisdiksi para pihak berperkara. Peradilan ini juga menggunakan adat sebagai dasar pijakan hukum dalam memutuskan perkara, tetapi keputusannya dapat mengikat para pihak.
278
M. Isa Sulaiman, “Tinjauan Historis Peradilan Adat di Aceh”, dalam M. Isa Sulaiman dan H. T. Syamsuddin, (ed), Pedoman Umum Adat Aceh: Peradilan dan Hukum Adat (Banda Aceh: MAA Provinsi NAD, 2007-2008), h. 2. 279 T.M. Juned, “Membedah Adat dan Hukum Masyarakat Aceh”, dalam Lukman Munir, (Ed.), Bunga Rampai Menuju Revitalisasi Hukum dan Adat Aceh (Banda Aceh: Yayasan Rumpun Bambu dan CSSP Jakarta, 2003), h. 38
138
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Pada masa kolonial Belanda, pemerintahan kolonial kemudian membentuk peradilan sejenis peradilan gampông di Aceh secara seragam di seluruh wilayah nusantara. Peradilan jenis ini disebut dinamakan dorpjustitie (peradilan desa) dan hakimnya disebut hakim perdamaian desa. Peradilan desa diberi kekuasaan mengadili semua perkara perdata dan pidana kecil pada tingkat pertama dan kepada hakim di pengadilan landraad, dilarang mengadili sebuah perkara apabila belum dibawa atau diputuskan oleh peradilan desa. Selanjutnya pada masa pemerintah militer Jepang, lembaga peradilan yang berlaku pada masa kolonial Belanda mengalami sedikit perubahan. Para hakim berasal dari cendekiawan di daerah. Militer Jepang melakukan sedikit reformasi guna memperluas partisipasi sosial dan sekaligus membatasi kekuasaan hulubalang yang sebelumnya nyaris absolut. Pusat peradilan berkedudukan di Kutaraja dengan cabangcabangnya pada tiap-tiap daerah bersangkutan dan umumnya orang-orang yang berafiliasi dengan PUSA. Lembaga peradilan yang dibentuk pada masa pemerintahan Jepang terus berlanjut pada zaman revolusi kemerdekaan dengan sedikit mengalami penyesuaian. Selanjutnya pada tahun 1951 pemerintah Republik Indonesia melakukan uniformisasi hukum, pengadilan adat dan pengadilan swapraja yang sudah ada sebelumnya dihapuskan dan digantikan dengan susunan organisasi pengadilan yang baru. Demikian juga halnya dengan pengadilan gampông terus berfungsi hingga tahun 1970 meskipun dalam beberapa hal telah berubah akibat peralihan pemerintahan. Gampông dan perangkatnya masih berfungsi seperti asli yang diatur dalam hukum adat. Kerusakan paling parah dalam sistem peradilan gampông yang sudah turun temurun berkembang dalam masyarakat Aceh terjadi setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 (UU tentang Pemerintahan Desa). Dengan Undangundang tersebut, telah menghilangkan bentuk sistem pemerintahan gampông dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan desa. Sistem pemerintahan desa telah menghapus kedudukan gampông sebagai persekutuan masyarakat hukum adat dan karena itu warganya tidak lagi merasa terikat dengan gampông-nya. Hal ini terjadi karena pemerintahan desa memasukkan struktur lembaga-lembaga baru yang masih asing bagi warganya ke dalam sistem pemerintahan pada tingkat gampông. Sejak itu masyarakat terombang-ambing antara nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru. Keadaan ini menjadikan usaha penegakan hukum pada tingkat gampông menjadi lemah.
139
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Pada era Reformasi menurut Kamaruddin, kejatuhan Pemerintahan Orde Baru yang dimulai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998 telah memicu para penggerak dan pendukung hukum adat di seluruh nusantara untuk menghidupkan kembali hukum adat dan seluruh kelembagaan yang dimiliki masyarakat adat yang pernah berlaku di daerah mereka masing-masing. Akhirnya momentum Reformasi telah menjadi kran pembuka bagi pemerintah daerah meminta kewenangan dalam mengatur sistem pemerintahan dan pengelolaan keuangan sendiri sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Otonomi Daerah. Pemberlakuan UU Otonomi Daerah telah membuka peluang dan kesempatan masyarakat adat di berbagai daerah untuk mengembalikan peran adat dalam kehidupan sosial dan pemerintahan lokal. Upaya untuk merevitalisasi lembaga adat pada masa reformasi dimulai dengan cara menjalin komunikasi antar daerah yang difasilitasi oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat yang ada di Indonesia. Melalui komunikasi ini lahir sebuah gerakan yang disebut dengan gerakan masyarakat adat.280 Eksistensi masyarakat adat, lembaga adat serta peradilan di Aceh mulai diakui sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh jo Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini memang tidak menegaskan secara langsung mengatur tentang Peradilan Adat di Aceh, namun mengatur hak-hak istimewa yang dimiliki oleh Provinsi Aceh, seperti mengenai keistimewaan bidang agama; bidang pendidikan; bidang adat istiadat; dan peran ulama dalam setiap kebijakan Pemerintah Daerah. Dari penegasan undang-undang tersebut dapat diambil suatu pemahaman bahwa Aceh dapat menetapkan berbagai kebijakan untuk memberdayakan pelestarian dan pengembagan adat serta lembaga adat yang dijiwai oleh nilai syariat Islam. Selain itu, Aceh dapat pula membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang ada sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Diawali dengan memperkenalkan nama Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), kemudian berubah menjadi Majelis Adat Aceh (MAA), peraturan perundangan-undangan mengenai adat dan seluruh hal yang berkaitan dengannya kemudian lahir. Undang-undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan jalan yang melahirkan
280
Kamaruddin, dkk., “Model Penyelesaian Konflik di Lembaga Adat,” h. 45.
140
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat berbagai produk hukum berupa Qanun, yang menempatkan kembali lembaga adat dan peran Tuha Peut dalam Pemerintahan Gampông dan Mukim di Aceh. Jadi, keberadaan lembaga adat dikembalikan seperti masa dahulu dimana Lembaga Adat terdapat di dalam setiap level pemerintahan, dimulai dari tingkat gampông/desa, kemukiman, kabupaten/kota hingga tingkat Provinsi. Ketika ada pihak yang tidak senang dan menolak hasil persidangan, maka kasus tersebut dilimpahkan ke Peradilan Mukim sebagai Peradilan Tinggi di atas Peradilan Gampông. Perangkat Peradilan tingkat mukim ini terdiri dari imuem mukim, keuchik, teungku imuem dan pemuka masyarakat yang terdapat dalam daerah yurisdiksinya. Pengadilan meusapat bertugas mengadili perkara diantara orang bumi putera Aceh saja.Peradilan ini juga menggunakan adat sebagai dasar pijakan hukum dalam memutuskan perkara, tetapi keputusannya dapat mengikat para pihak.281 Seiring dengan perkembangan masyarakat di era modern ini, pemerintah bersama masyarakat Aceh kemudian menuangkan makna dan pemahaman mereka mengenai adat dalam peraturan perundangundangan serta para aktor yang terlibat dalam pelaksanaan dan pelestarian adat dan lembaga adat. Perda Pemerintah Aceh (Qanun) Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan adat Istiadat menyebutkan bahwa “Adat adalah aturan perbuatan dan kebiasaan yang telah berlaku dalam masyarakat yang dijadikan pedoman dalam pergaulan hidup di Aceh” (Pasal 1 ayat 10). Sementara hukum adat adalah “Seperangkat ketentuan tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh, yang memiliki sanksi apabila dilanggar” (Pasal 1 ayat 11). Pada tingkat kebupaten, pemerintah Kabupaten Aceh Besar mengeluarkan Qanun Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pembentukan Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Besar, yang menyatakan “Adat adalah Norma-norma atau nilai-nilai yang hidup dan berkembang serta tidak bertentangan dengan Hukum Ajaran Islam yang selalu dipertahankan oleh Masyarakat Aceh Besar” (Pasal 1 ayat 14); dan Adat Istiadat adalah “Kebiasaan-kebiasaan atau Perbuatan yang telah diakui oleh Umum dan dilaksanakan secara berulang-ulang masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam” (Pasal 1 ayat 15). Jadi, hukum adat yang berlaku pada masa lalu dan masa sekarang yang telah ditetapkan dalam berbagai peraturan daerah (qanun) dapat digolongkan kepada tiga bentuk:
281
Sulaiman, “Tinjauan Historis Peradilan Adat di Aceh”, h. 3;
141
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat a. Hukum adat yang hampir mutlak didasarkan pada hukum Allah (al-Qur’an dan Hadits). b. Hukum adat yang dimanifestasikan pada asas musyawarah dan mufakat. c.
Adat istiadat sebagai manifestasi bagi qanun282 dan reusam283 yang mengatur kehidupan masyarakat.
Ketiga bentuk hukum adat di atas sebagaimana diterangkan sebelumnya telah diterapkan sejak zaman kesultanan Aceh hingga sekarang.284 Perkembangan hukum adat di Aceh bergerak bagai sebuah fluktuasi – naik turun. Ini sejalan dengan informasi yang diberikan oleh seorang pemuka adat Aceh bahwa telah terjadi degradasi pemahaman adat di kalangan masyarakat Aceh untuk saat ini. Bencana Alam tsunami telah memberi dua dampak sekaligus untuk perkembangan adat di Aceh. Dampak pertama, kearifan-kearifan lokal mulai terkikis dengan masuknya budaya modernisasi yang datang beserta banyaknya orang dari berbagai penjuru dunia, yang datang melawat ke Aceh, melalui berbagai bantuan. Contoh terdekat, katanya, adalah kebersamaan membangun gampông. Jika sebelumnya masyarakat masih mau bergotong royong dengan sukarela membangungampôngnya,tetapikinihalyangkontrasyangterlihat.Dampak kedua, adalah dampak positif, dimana segala hal tentang adat dan hukum 282
Qanun ini terbagi dalam dua bentuk yaitu Qanun Aceh dan Qanun kabupaten/kota. Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Sementara Qanun Kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota Aceh. Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 283
Tatanan protokuler / seremonial adat istiadat dari ahli-ahli adat yang terus berjalan. Tatanan aturan adat yang dibuat di Gampong. 284
Pada masa kesultanan telah dikenal unit pemerintahan otonom yang paling terendah yaitu gampong – dikenal sebagai “persekutuan masyarakat hukum adat” terkecil di Aceh. Setingkat di atasnya terdapat mukim yang merupakan federasi beberapa gampong. Selanjutnya unit pemerintahan uleebalang (kenegerian) merupakan federasi beberapa mukim. Sementara setingkat di atasnya adalah unit pemerintahan Sagoe yang merupakan federasi dari beberapa kenegerian. Untuk level yang paling atas terdapat pemerintahan kesultanan. T. M. Djuned, "Adat dalam Perspektif Perdebatan dan Praktek Hukum" dalam Lukman Munir, (ed.), Bunga Rampai Menuju Revitalisasi Hukum dan Adat Aceh, (Banda Aceh: Yayasan Rumpun Bambu dan CSSP Jakarta, 2003), h. 36
142
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat adat, kini mulai dibincangkan hingga ke tingkat akademisi di kampus. Dengan adanya kondisi ini, diharapkan implementasi adat Aceh dalam keseharian masyarakat bisa dikembalikan seperti zaman keemasan dulu, apalagi sekarang sudah banyak peraturan-peraturan tentang adat istiadat. 285 Jadi, lembaga adat kembali memiliki peran penting dalam mengontrol dan menghidupkan adat istiadat dalam masyarakat Aceh. Sebagai alat kontrol lembaga adat juga berfungsi sebagai sarana dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial masyarakat seperti konflik antarwarga. Selain itu, sebagai sarana dalam melestarikan dan mengembangkan adat istiadat, lembaga adat senantiasa mengawasi dan mengevaluasi nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Aceh sesuai dengan konteks kekinian. Dasar hukum pembentukan dan pemberdayaan Lembaga Adat Aceh sejak pemberlakuan syariat Islam secara yuridis formil dilandasi oleh sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai payung hukum, yaitu: 1.
Undang-undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, Pasal 3 dan 6 menegaskan bahwa: Daerah diberikan kewenangan untuk menghidupkan adat yang sesuai dengan Syariat Islam.
2. Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyeleng garaan Kehidupan Adat menegaskan bahwa: “Lembaga Adat berfungsi sebagai kontrol keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat.” tugas lembaga adat adalah: a. Menyelesaikan berbagai masalah sosial kemasyarakatan (Pasal 5) b. Menjadi Hakim Perdamaian dan diberikan prioritas utama oleh aparat penegak hukum untuk menyelesaikan berbagai kasus (Pasal 6 dan 10). Peraturan daerah (Perda) Nanggroe Aceh Darussalam nomor 7 tahun 2000 ini di pasal 10 juga menyebutkan bahwa “Aparat penegak hukum memberi kesempatan terlebih dahulu kepada keuchik dan imum mukim untuk menyelesaikan sengketa-sengketa/perselisihan di gampông/mukim masing”. Jadi pasal ini memberi peluang bagi para pihak yang bersengketa menempuh prosedur penyelesaian sengketa melalui Alternative Penyelesaian Sengketa (ADR) di luar proses peradilan formal. Penelitian
285
Wawancara dengan seorang tokoh adat dan hukum Islam Banda Aceh tanggal 08 September 2012.
143
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat lapangan menemukan bahwa kasus-kasus yang masuk atau dilaporkan ke kantor kepolisian di wilayah Aceh terlebih dahulu diselesaikan secara adat sebelum diproses ke tahap penyelidikan.286 3. Qanun No. 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam memberikan wewenang kepada Mukim untuk: a. Memutuskan dan atau menetapkan hukum. b. Memelihara dan mengembangkan adat. c.
Menyelenggarakan perdamaian adat.
d. Menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaraan adat. e. Memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat. f.
Menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat dan adat istiadat.
4. Qanun No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampông Dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, menegaskan bahwa tugas dan kewajiban pemerintahan Gampông adalah: a. Menyelesaikan sengketa adat. b. Menjaga dan memelihara kelestarian adat dan adat istiadat. c.
Memelihara ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya perbuatan maksiat dalam masyarakat.
d. Bersama dengan Tuha peuet dan Imum Meunasah menjadi hakim perdamaian. 5.
Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 tahun 2004 tentang Pembentukan Susunan dan Tata kerja Majlis Adat Aceh (MAA). Perda ini menjelaskan beberapa hal, yaitu: a. Hukum adat adalah Hukum adat Aceh yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di Propinsi Aceh;
286 Hasil Wawancara dengan Wawancara dengan ibu Juwita, Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Aceh pada tanggal 09 Nopember 2012; dengan Ibu Elviana Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) tanggal 09 Nopember 2012; dan Polda Aceh dengan Bapak Reza Sahputra Kanit PPA Kapolres Aceh Besar pada tanggal 12 November 2012
144
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat b. Adat istiadat adalah aturan atau perbuataan yang bersendikan Syariat Islam yang lazim dituruti, dihormati, dimulai sejak dahulu dan dijadikan sebagai landasan hidup dalam masyarkat; c.
Kebiasaan-kebiasaan adalah suatu kegiatan atau perbuatan yang pada dasarnya bukan bersumber dari hukum adat atau adat istiadat akan tetapi hal tersebut telah di akui oleh umum dan dilaksanakan oleh umum dan telah dilaksanakan secara berulang-ulang;
d. Peradilan Adat Gampông adalah peradilan perdamaian melalui musyawarah mufakat yang dipimpin oleh keuchik dengan anggota Tengku Munasah dan Tuha Peut gampông; e.
Peradilan Adat Mukim adalah peradilan perdamaian melakukan musyawarah mufakat yang dipimpin oleh Imuem Mukim dengan anggota imuem syik dan tuha peut mukim.
6. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat pasal 4 menyatakan bahwa: 1)
Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat dimaksudkan untuk membangun tata kehidupan masyarakat yang harmonis dan seimbang yang diridhai, oleh Allah SWT, antara hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya, dan rakyat dengan pemimpin.
2) Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk meningkatkan fungsi dan peran adat dan adat istiadat dalam menata kehidupan bermasyarakat. 7. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Struktur organisasi Lembaga Adat sangat terkait dengan struktur pemerintahan Aceh mulai dari tingkat gampông sebagai level terendah 287 sampai tingkat provinsi. Dari tingkat gampông ini, struktur kelembagaan
287
Setidaknya ada dua unsur yang harus ditemukan untuk menentukan sebuah tempat dapat dikategori sebagai gampong. Pertama, gampong dalam arti fisik sebagai tempat hunian (rumah), blang (persawahan), lampoh/seuneubok (perkebunan), padang (tanah terbuka) dan gle (hutan rimba); kedua gampong dalam arti hukum sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial yang meliputi penduduk, tanah tempat tinggal, tanah kebun dan tanah bercocok tanam.
145
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat adat masyarakat Aceh meliputi dua unsur yang terangkum dalam sebuah gampông: Pertama, dari unsur kepemimpinan di mana umumnya, gampônggampông di Aceh memiliki tiga pilar unsur kepemimpinan (i) keuchik sebagai unsur pemerintahan yang berkedudukan sebagai pimpinan gampông dan pemegang adat, (ii) imuem meunasah sebagai pemegang hukum agama, (iii) ureueng tuha (tuha peut) sebagai badan perwakilan gampông. Keuchik dengan imuem meunasah tidak dapat dipisahkan seperti ayah dan ibu dalam sebuah keluarga. Keduanya merupakan eksekutif atau pelaksana pemerintah gampông, sedangkan tuha peut merupakan badan perwakilan warga yang berfungsi mendampingi keuchik dalam menetapkan keputusan gampông. Kepemimpinan bersama tiga pilar ini menimbulkan keselarasan antara unsur pimpinan. Setiap gampông mempunyai satu atau lebih meunasah sebagai tempat ibadah dan kegiatan adat serta penyelesaian sengketa dengan cara adat di mana ulama menjadi salah satu aktor sentral penyebaran ilmu agama. Unsur kedua rangkuman dari pola penataan dan pemanfaatan ruang di gampông yang mengakomodir kepentingan bersama warga gampông. Penataan dan pemanfaatan ruang di gampông diatur berdasar peranan dan penggunaan tanah dalam kawasan gampông. Secara umum terdapat tiga macam penggunaan kawasan gampông: pertama, tempat hunian (tanoh gampông) yang dipakai untuk mendirikan rumah. Kedua, kawasan budi daya atau bercocok tanam yang dapat merupakan milik perseorangan atau milik gampông seperti kawasan blang (sawah) yang diatur oleh keujruen blang, kawasan laot diatur oleh panglima laot. Ketiga, kawasan milik bersama merupakan tanah atau perairan yang berada dalam kekuasaan gampông yang boleh dipergunakan warga gampông untuk mencari nafkah.288 Berdasarkan dua unsur di atas, lembaga adat diuraikan secara jelas dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat sebagai “Suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu, mempunyai wilayah tertentu dan
Lihat Sanusi M. Syarif, Gampong dan Mukim di Aceh: Menuju Rekonstrusi Pasca Tsunami (Bogor: Pustaka Latin, 2005), h. 12; Soeyatno, “Sejarah Sosial Masyarakat Pedesaan Sibreh, Aceh Besar”, dalam Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh: Hasilhasil Penelitian dengan Metode ‘Grounded Research’ (Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1977), h. 53. 288
Syarif, Gampong dan Mukim di Aceh, 40-41.
146
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat mempunyai harta kekayaan tersendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta penyelesaian hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh”, dalam pasal 2 terdiri dari: 1.
Majelis Adat Aceh (MAA) adalah sebuah penyelenggara kehidupan adat di Aceh yang struktur kelembagaannya sampai tingkat gampông.
2. Imeum mukim atau nama lain adalah kepala Pemerintahan Mukim. 3. Imeuem Chik atau nama lain adalah imeum masjid pada tingkat mukim, orang yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di mukim yang berkaitan bidang agama Islam dan pelaksanaan syari’at Islam. 4. Keuchik atau nama lain merupakan kepala persekutuan masyarakat adat gampông yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan gampông, melestarikan adat istiadat dan hukum adat, serta menjaga keamanan, kerukunan, ketentraman dan ketertiban masyarakat.289 Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 tahun 2004 mengenai Pembentukan susunan dan tata kerja Majlis Adat Aceh (MAA) dalam pasal 11 menyebutkan bahwa: (1) Keuchik berwenang untuk menyelesaikan perselisihan persengketaan/permasalahan
289
(1) Tugas dan kewajiban Keuchik adalah :
1. Memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Gampông; 2. Membina kehidupan beragama dan pelaksanaan Syari’at Islam dalammasyarakat; 3. Menjaga dan memelihara kelestarian adat dan adat istiadat, kebiasaankebiasaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat; 4. Membina dan memajukan perekonomian masyarakat serta memeliharakelestarian lingkungan hidup; 5. Memelihara ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnyaperbuatan maksiat dalam masyarakat; 6. Menjadi Hakim perdamaian antar penduduk dalam Gampông; 7. Mengajukan Rancangan Reusam Gampông kepada Tuha Peuet Gampông untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan menjadiReusam Gampông; 8. Mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Gampông kepada 9. Tuha Peuet Gampông untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya Ditetapkan menjadi Anggaran Pendapatan Belanja Gampông; 10. Keuchik mewakili Gampôngnya di dalam dan di luar Pengadilan dan berhak 11. Menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya. (2) Keuchik sebagai Hakim perdamaian dibantu oleh Imeum Meunasah dan Tuha Peuet Gampông. (3) Pihak-pihak yang keberatan terhadap keputusan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat meneruskannya kepada Imeuem Mukim dan keputusan Imeuem Mukim bersifat akhir dan mengikat. Lihat Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampông, pasal 12.
147
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat yang terjadi di Gampông, baik masalah-masalah dalam keluarga, antar keluarga dan masalah-masalah sosial yang timbul di masyarakat dalam suatu Rapat Adat Gampông; (2) Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan di Gampông atau para pihak yang bersengketa tidak dapat menerima keputusan diselesaikan oleh Imum Mukim dalam Rapat Adat Mukim. 5.
Tuha Peuet Gampông adalah unsur pemerintahan gampông yang ber fungsi sebagai badan permusyawaratan gampông. Dalam Pasal 18 disebutkan Tuha Peuet Gampông mempunyai tugas: membahas dan menyetujui anggaran pendapatan dan belanja gampông, membahas dan menyetujui qanun gampông, mengawasi pelaksanaan pemerintahan gampông, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan gampông, merumuskan kebijakan gampông, memberi nasihat dan pendapat kepada keuchik baik diminta maupun tidak, dan menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku adat.
6. Tuha Lapan adalah perangkat adat yang terdapat di tingkat dan gampông yang berfungsi membantu imeum mukim dan keuchik. Tuha Lapan merupakan pembawa aspirasi dari masyarakat. Jika Tuha Peuet sama dengan DPR di tingkat mukim/gampông, Tuha Lapan merupakan MPR. Penamaan “Tuha Lapan” diambil dari delapan penjuru mata angin. Tuha Lapan beranggotakan unsur Tuha Peuet dan beberapa orang mewakili bidang keahlian sesuai dengan kebutuhan Gampông atau Mukim. 7. Imeuem Meunasah adalah orang yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di gampông yang berkenaan dengan bidang agama Islam, pelaksanaan dan penegakan syariat Islam. Tugas Imeuem Meunasah termasuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku adat, menjaga dan memelihara nilai-nilai adat agar tidak bertentangan dengan syariat Islam (Pasal 23). 8. Keujruen Blang adalah lembaga adat dan hukum yang mengatur dan mengelola segala masalah berhubungan dengan blang (sawah). Selain itu dalam undang-undang ini juga ditegaskan bahwa Keujruen Blang mempunyai tugas memberi nasehat atau sanksi kepada petani yang melanggar aturan-aturan adat meugoe (bertani/bersawah) atau tidak melaksanakan kewajiban lain dalam sistem pelaksanaan sawah secara adat, serta menyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan dengan pelaksanaan usaha pertanian sawah (Pasal 25).
148
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat 9. Panglima La’ōt adalah orang yang memimpin dan mengatur kegiatan di bidang pesisir dan kelautan termasuk di dalamnya tata tertib penangkapan ikan atau hari-hari pantang melaut, serta menyelesaikan sengketa adat dan perselisihan yang terjadi di kalangan nelayan (Pasal 28). 10. Pawang Uteuen adalah orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat yang berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan serta menyelesaikan sengketa antar warga masyarakat dalam pemanfaatan hutan (Pasal 31). 11. Peutua Seuneubô’ adalah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan adat tentang pembukaan dan penggunaan lahan untuk perladangan/perkebunan serta menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam wilayah Seuneubô’. (Pasal 33). 12. Haria Peukan adalah orang yang mengatur ketentuan adat tentang tata pasar tradisional, ketertiban, keamanan, kebersihan pasar, melaksanakan tugas-tugas perbantuan, serta menyelesaikan sengketa yang terjadi di peukan (pasar) (Pasal 36). 13. Syahbanda adalah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan adat tentang tambatan kapal/perahu, lalu lintas dan masuk kapal/perahu di laut, danau dan sungai yang tidak dikelola oleh Pemerintah, serta menyelesaikan sengketa yang terjadi di wilayah pelabuhan rakyat (Pasal 40).
149
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Seluruh struktur lembaga adat ini tergambar dalam skema berikut:
Struktur di atas sangat melekat dalam kehidupan anggota masyarakat ini terlihat dalam rekam wawancara dengan para informan: “Ada strukturnya di Aceh itu, ada keuchik, ada tuha peuet nya. Kita berjumpa dengan mereka yang berkasus, terus ditanya kasusnya bagaimana, ada beberapa yang kita memang selesaikan, seperti kasus di Lepase, di dalam itu ada. Memang waktu itu kita dipanggil untuk ikut memberikan saran ketika terjadi mediasi antara keluarga pihak suami dengan keluarga pihak istri.”290
290
Hasil Wawancara dengan Wawancara dengan ibu Juwita, Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Aceh pada tanggal 09 Nopember 2012
150
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat “Institusi adat di pemerintahan gampông dan mukim dalam masyarakat Aceh ada yang dinamakan dengan Panglima La’ōt, Keujruen Blang, Sineubok, Panglima Uteuen dan Haria Peukan. Setiap intistusi atau lembaga adat ini mempunyai fungsi dan peranan di posnya masing-masing sehingga semua hasil sumber daya alam di gampông dan mukim terlindungi. Institusi adat tersebut dipilih dalam rapat mukim.”291 Masing-masing lembaga adat mempunyai hak dan kewenangan untuk membuat hukum dan memantau pelaksanaannya. Selain itu, masingmasing lembaga adat juga memiliki kewenangan untuk membentuk sejenis peradilan sebagai badan pelaksanaan dan penegakan hukum di wilayahnya. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai permasalahan konflik yang timbul dalam masyarakat Aceh diselesaikan berdasarkan dimana sumber konflik itu muncul. Untuk perselisihan atau konflik kecil, seperti tagihan perdata kecil dan kejahatan-kejahatan ringan yang berlangsung antara sesama warga gampông biasanya diselesaikan oleh Keuchik dan imeum meunasah yang dibantu oleh tuha peuet. Keuchik bertindak sebagai hakim wasit atau juru damai yang bertugas mengatur jalannya persidangan dan memutuskan jalan penyelesaian bagi para pihak yang berkonflik.292 Apabila ada salah satu dari para pihak yang berkonflik menolak perdamaian atau perkaranya tergolong berat, maka perkara itu dibawa ke pengadilan tingkat mukim. Perangkat peradilan tingkat mukim ini terdiri atas imeuem mukim, keuchik, imeuem meunasah dan pemuka masyarakat yang terdapat dalam daerah yurisdiksinya. Pihak yang mengajukan perkara harus menyerahkan uang jaminan (hak ganceng) sebagai ongkos perkara. Menurut Van Langen, sebagaimana yang dikutip Isa Sulaiman, biaya ongkos perkara (hak balee) adalah satu sukee (seperempat) dari setiap empat ringgit nilai harta yang dlpersengketakan. Adapun aturan hukum yang dipakai oleh Iembaga-lembaga pengadilan adat di atas berlandaskan syariah Islam, adat Meukuta alam, Sarakata Sultan Syamsul Alam dan kebiasaan adat yang berlaku.293
291
Wawancara dengan Tengku Meunasah Gampông Lambaru Najit, Banda Aceh , H. Tengku Mahyuddin tanggal 10 November 2012. 292
M. Isa Sulaiman, "Tinjauan Historis Peradilan Adat di Aceh", dalam M. Isa Sulaiman dan H.T. Syamsuddin, (ed.), Pedoman Umum Adat Aceh: Peradilan dan Hukum Adat (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi NAD, 2008), h. 2. 293
Ibid., h. 3
151
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat Struktur Lembaga Adat Aceh ini untuk tingkat gampông dan mukim difungsikan di ‘Peradilan Adat’ sesuai dengan peran masing-masing dan kasus yang ditangani. Skema berikut merupakan gambaran dari unsurunsur lembaga adat yang terlibat dalam proses ‘Peradilan Adat’294 Para penyelenggara peradilan adat sebagaimana ditulis di atas tidak ditunjuk atau diangkat “secara resmi”, tetapi karena jabatannya sebagai Keuchik, Imeuem Meunasah, Tuha Peuet, dan Ulee Jurong (Kepala Dusun) maka mereka secara otomatis menjadi para penyelenggara peradilan adat. Keanggotaan peradilan adat umumnya diwakili oleh kaum lakilaki, tetapi banyak masyarakat mengharapkan kaum perempuan untuk dilibatkan. Mereka terlibat dalam proses penyelenggaraan peradilan adat melalui jalur Tuha Peuet dimana salah satu unsur Tuha Peuet harus ada wakil dari kaum perempuan. Tanggung jawab utama dari penyelenggara/pemangku peradilan adat adalah : 1.
Melaksanakan proses peradilan adat
Para pemangku adat bertanggung jawab terhadap setiap tahapan peradilan adat, mulai dari menerima laporan, memeriksa duduk persoalan sampai pada tahap rapat persiapan sidang akhir dan sampai dengan pemberian putusan peradilan adat. 2. Memutuskan dengan adil Para pemangku adat harus memastikan bahwa setiap keputusankeputusan yang diambil dari sebuah proses paradilan adat sedapat mungkin memenuhi rasa keadilan para pihak yang bersengketa, dimana keputusan yang diambil berdasarkan hasil proses pembuktian dan musyawarah, bukan berdasarkan kepentingan salah satu pihak yang bersengketa. 3. Melindungi hak-hak para pihak yang bersengketa Para pemangku adat bertanggung jawab terhadap pemenuhan hakhak para pihak yang bersengketa mulai dari proses menerima laporan, memeriksa duduk persoalan, proses persidangan sampai pada tahap pelaksanaan putusan-putusan di persidangan.
294
Lihat Majelis Adat Aceh (MAA) dan UNDP (United Nations Development Program), “Monograp Pedoman Peradilan Adat di Aceh: Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel”, (Banda Aceh: UNDP (United Nations Development Program), 2008).
152
Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum, Ekonomi Syariah dan Adat 4. Mencatat Proses dan Keputusan Peradilan Setiap proses dan keputusan-keputusan yang telah diambil harus dicatat secara akurat dalam dokumen administrasi peradilan adat. 5.
Mengarsipkan berkas perkara
Berkas perkara termasuk surat perjanjian yang berisi keputusankeputusan adat harus disimpan atau diarsipkan secara aman oleh pemangku adat, hal ini penting dilakukan untuk menjamin dan mempelancar proses peradilan bagi kasus-kasus lain serta kasus yang sama terulang kembali, sehingga pemangku adat mempunyai referensi dalam melakukan proses peradilan dan mengambil keputusan-keputusan sengketa adat.295 Pelaksanaan Peradilan Adat baik di tingkat gampông maupun mukim diatur dalam Qanun Kabupaten di seluruh wilayah Provinsi Aceh. Dalam Qanun Kabupaten Bireuen Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pemerintahan Gampông diuraikan bahwa Peradilan Adat dilaksanakan dengan berlandaskan pada asas-asas sebagai berikut: a. Terpercaya dan amanah; b. Dapat dipertanggung jawabkan; c.
Kesetaraan di depan hukum;
d. Cepat, mudah dan murah; e. Para pihak ikhlas dan suka rela perkaranya diselesaikan melalui peradilan adat; f.
Penyelesaian damai/kerukunan;
g. Keputusan dibuat berdasarkan musyawarah/mufakat; h. Jujur, adil dan bijaksana; i.
Menghargai keberaneka ragaman peraturan hukum adat; dan
j.
Praduga tak bersalah.296
295 M. Isa Sulaiman, "Tinjauan Historis Peradilan Adat di Aceh", dalam M. Isa Sulaiman dan H.T. Syamsuddin, (ed.), Pedoman Umum Adat Aceh: Peradilan dan Hukum Adat (Banda Aceh: MAA Provinsi NAD, 2007-2008), h. 3. 296
Qanun Kabupaten Bireuen Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pemerintahan Gampong Pasal 137.
153
154
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku dan Artikel ‘Audah, Abd al-Qadir. Al-Tasyrȋ’ al-Jinȃ’i al-Islȃmiy. Beirut: Muassasah alRisȃlah, 1993. Abbas, Syahrizal. Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Cet. I. Jakarta: Kencana, 2009. Abdulsyani. Sosiologi; Sistematika, Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi AKsara, 1994. Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Fikahati Aneska Bekerja sama dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia, 2002. Abū Zahrah, Muḥammad. Uṣūl Fiqh. Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1985. Agarwal, Vinod K. “Alternative Dispute Resolution Methods”, dalam United Nations Institute for Training and Research (UNITAR), Document No. 14: Alternative Dispute Resolution Methods (Geneva: United Nations Institute for Training and Research (UNITAR), 2001): 3-14. Alfian, T. Ibrahim. Wajah Rakyat Aceh dalam Lintasan Sejarah, Jilid XVI. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1978. Ali, Achmad dan Wiwie Heryani. Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012. Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Gragindo Persada, 1996. Aliyah, Samir. Sistem Pemerintahan, Peradilan, & Adat dalam Islam, terjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari. Jakarta Timur: KHALIFA, 2004. Al-Ashfahânî, Abû al-Qâsim Abû al-Ḫusain ibn Muḫammad ibn al-Râghib. Mufradât Alfâzh al-Qur’ân. Beirut: Dar as-Syamsiyyah, 1992.
155
Al-‘Awwa, Muhammad Salim. “The Basis of Islamic Penal System,” di dalam The Islamic Criminal Justice System, Ed. M. Cherif Bassiouni, New York: Oceana Publication, Inc, 1991. Amal, Taufik Adnan dan Samsu Rizal Panggabean. Politik Syariat Islam di Indonesia: Dari Indonesia hingga Nigeria. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004. Amriani, Nurnaningsih. Mediasi Alternative Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan. Jakarta: Rajawali Press, 2011. Anis, Ibrahim et al., Mu’jam al-Wasit, Juz II, Cet. I. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Anonimos, Sistem Peradilan Adat dan Lokal di Indonesia; Peluang dan Tantangan. t.tp.: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan Dukungan dari Patnership for Governance Reform, 2003. Arifin, Bustanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar, Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Arnus, Muhammad Mahmud. Tarîkh al-Qadhâ’ fi al-Islâm. Cairo: AlMathba’ah al-Misriyah al-Hadisah, 1987. Ash-Ashidiqi, Hasbie. Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Assefa, Hizkias. “The Meaning of Reconciliation,” dalam http://www.gppac. net/documents/pbp/part1/2_reconc.htm, diunduh pada tanggal 9 Juni 2012. Azizy, A. Qadri. Eklektisisme Hukum Islam: Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002. Azra, Azyumardi. “Implementasi Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam: Perspektif Sosio-historis”, dalam Rusydi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003. Banakar, Reza and Max Travers (eds.). Theory and Method in Socio-Legal Research. Oxford and Portland Oregon: Hart Publishing, 2005. Bāqi, Muhammad Fu’ad ‘Abdul. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ Al-Qur’an, cet. ke-4. Beirut: Dar al-Fikr, 1994. Basya, Mursyīd al-Hairan ilā Ma’rifah Aḥwāl al-Insān. Kairo: Dār al-Furjanī, 1983. Batubara, Chuzaimah. “Qishash Hukuman Mati dalam Perspektif alQur’an”, Sosio-Religia: Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial, vol. 9, (Yogyakarta: Lingkar Studi Ilmu Agama dan Ilmu Sosial (LinkSAS), 2010), h. 535-563.
156
Benda-Beckmann, C.E. von. The Broken Stairways to Consenus: Village Justice and State Courts at Minangkabau. Dordrecht, Holland / Cinnaminson, U.S.A: Foris Publication, 1984. Benda-Beckmann, Franz von and Keebet von Benda-Beckmann. “The Dynamics of Change and Continuity in Plural Legal Orders,” The Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, 53-54, 2006. Benda-Beckmann, Keebet von. “Pluralisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Pendekatan Teoritis,” dalam HuMa, ed., Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisiplin. Jakarta: HuMa, 2005. Bernard, H. Russell. Research Methods in Anthropology: Qualitative and Quantitative Approaches. Walnut Creek: AltaMira Press, 1995. Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary, Six Edition. St. Paul, Minn, West Publishing Co, 1990. Bostwick, Phillip D. “Going Private With the Judicial System: Making Creative Use of ADR Procedures to Resolve Commercial Space Disputes”, Journal of Space Law, volume 23, Nomor 1, Tahun 1995. Brown, Scott. et.all., Conflict Management Group (CMG), “Alternative Dispute Resolution Practitioners Guide”, dalam www.usaid.gov/ sites/default/files/documents/1868/200sbe.pdf, didownload pada tanggal 12 Juni 2012. Budardjo, Ali., dkk., Reformasi Hukum di Indonesia, Terjemah Niar Reksodiputro dan Iman Pambagyo. Jakarta: Cyber Consult, 2000. Al-Bukhārī, Muḥammad ibn Ismā’il. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Jordan: Bait al-Afkār al-Dauliyyah, 1998. Cotterrell, Roger. Sosiologi Hukum, Terjemah Narulita Yusron. Bandung: Nusa Media, 2012. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1997. Djuned, T. M. “Adat dalam Perspektif Perdebatan dan Praktek Hukum “, dalam Lukman Munir, (ed), Bunga Rampai Menuju Revitalisasi Hukum dan adat Aceh. Banda Aceh: Yayasan Rumpun Bambu dan CSSP Jakarta, 2003. Eisenberg, “Private Ordering Through Negotiation Dispute Settlement and Rule Making”, 89 Harv. L, 1976. Ember, Carol R. dan Melvin Ember, “Teori dan Metode Antropologi Budaya,” dalam T.O. Ihromi (ed.), Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013. Cet. Ke 13.
157
Emirzon, DJoni. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsolidasi, dan Arbitrase. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001. Engineer, Asghar Ali, Pembebasan Perempuan, Terj. Agus Nuryatno. Yogyakarta: LKiS, 1999. Al-Fath, Ahmad Abu. Kitāb ak-Mu’āmalah fī asy-Syarī’ah al-Islāmiyyah wa alQawānin al-Miṣriyyah. Jilid I, Mesir: Maṭba’ah al-Busfir, 1913. Flood, John. “Socio-Legal Ethnography”, dalam Reza Banakar and Max Travers (eds.), Theory and Method in Socio-Legal Research. Oxford and Portland Oregon: Hart Publishing, 2005. Friedman, Lawrence M. Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Terjemah M. Khozim, cet. IV. Bandung: Nusa Media, 2011. _____________. American Law: An Introduction, 2nd edition, New York: WW Norton & Company, 1998. Gawronski, Donald V. History: Meaning and Method. London: Acott, Foresman, and Company, 1969. Gibb, H. A. R. and J. H. Kramers (eds), “Adat Law,” Shorter Encyclopedia of Islam. Leiden: E. J. Brill 1961. Goodpaster, Garry. Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Arbitrase di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995. _____________. “Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa,” dalam Seri Dasar-dasar Hukum Ekonomi 2. Jakarta: Ghalia, 1995. _____________. Negotiating and Mediating: A Guide to Negotiation and Negotiated Dispute Resolution, 1993. Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, Terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press, 1986. Grace, Maggie T. “Criminal Alternative Dispute Resolution: Restoring Justice, Respecting Responsibility, and Renewing Public Norms”, Vermont Law Review, Vol. 34:563, 2010, h. 563-595. Green, Stephen B. “Arbitration: A Viable Alternative for Solving Commerical Disputes in Indonesia,” dalam Timothy Lindsy (ed). Indonesia Law and Society. NSW: Federation Press, 1998. Griffiths, Anne. “Using Ethnography as a Tool in Legal Reasearch: An Anthropological Perspective”, dalam Reza Banakar and Max Travers (eds.), Theory and Method in Socio-Legal Research. Oxford and Portland Oregon: Hart Publishing, 2005.
158
Gunawan, Ary H. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Reneka Cipta, 2000. Hadi, Amirul. Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010. ____________. Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth Century Aceh. Leiden: E. J. Brill, 2004. Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: PT. Alumni, 2006, cet. II. Handerson, Dan Fenno “Modernisasi Hukum dan Politik di Jepang”, dalam AAG Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum Buku II. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1988. Harahap, M. Yahya Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997 Harahap, M. Yahya. et. al, “Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan,” Laporan Penelitian, BPHN, Jakarta, 1996. Harkrisnowo, Harkristuti “Victims: the forgotten stakeholders of the Indonesians Criminal Justice System,” dalam Wing-Cheong Chan (ed), Support for Victims of Crime in Asia. New York: Routledge, 2008. Hartono, Sunayati. Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20. Bandung: Alumni, 1994. Hazairin. Tujuh Serangkai Hukum Islam. Jakarta: Tintamas, 1974. Hoebel, Edward Adamson. “Methods and Techniques,” dalam The Law of Primitive Man: A Study in Comparative Legal Dynamics. The United States of America: Harvard University Press, 1954, edisi 2006. Hooker, M. B. Adat Law in Modern Indonesia. Selangor: Oxford University Press, 1978. Hurgonje. C. Snouck. Aceh di Mata Kolonialis. Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985. ___________. The Achehnese, trans. By A. W. S. O’Sullivan, vol. 1 (Leiden: E. J. Brill, 1906), h. 72-73, 95-116. ___________. “Het Gajoland en Zijne Beworners”, Gayo, Masyarakat dan Kebudayaan Awal Abad ke 20, Terj. Hatta Hasan Aman Asnah. Jakarta: Balai Pustaka, 1996. Ibn al-Banna, Abū ‘Alῑ al-Ḫasan bin Aḥmad. al-Muqhnῑ fῑ Syarḥ Mukhtaṣar al-Kharaqi, Taḥqῑq wa Dirāsah, Abdul ‘Aziz al-Ba‘imi. Riyadh: Maktabah al-Rasyad, 1994.
159
Ibn Katsῑr, ‘Imāduddῑn Abi al-Fida Ismail, Tafsῑr Al-Qur’ān al-‘Aẓῑm, Jilid V, Beirut: Dar al-Fikr, 1966. Ibn Manẓūr, Jamaluddῑn Abi al-Faḍal Muḥammad bin Makram, Lisānul‘Arab, Jilid II, III Beirut: Dārul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003. Ibn Nuzaim, Zayn al-‘Abidin Ibn Ibrahim al-Hanafī, al-Asybāh wa al-Naẓāir. Damaskus: Dār al-Fikr, 1983. Ihromi, Tapi Omas “Beberapa Catatan mengenai Metode Kasus Sengketa yang Digunakan dalam Anthropologi Hukum,” dalam Anthropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001, Edisi ke-2. ___________ “Kata Pengantar”, dalam Antropologi dan Hukum, Penyunting T.O. Ihromi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993. ___________. “Informal Methods of Dispute Settlement”, dalam Cecilio PE (Ed), Trans-Cultural Mediation in the Asia Pacific. Manila: AsiaPacific Organization for Mediation (APOM), 1988. Imam Taqiy al-Din Abu Bakr ibn Muhammad, Kifayat al-Akhyar. Al-Ma’arif Bandung, t.t. Investment Climate Advisory Services of the World Bank Group, Alternative Dispute Resolution Guidelines. Washington: The World Bank Group, 2011. Irianto, Sulistyowati. “Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi”, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta, (Ed.), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. Jakarta: Obor, 2010. ______________. Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Al-Isnawi, Jamaluddin ‘Abd al-Raḥῑm .Al-Tamḥῑd fῑ Takhrῑj al-Furū’ ‘alā alUṣūl, Taḥqῑq Hasan Hitu, cet. ke II. Beirut: Dār al Fikr, 1980. Ito, Takeshi “The World of the Adat Aceh: A Historical Study of the Sultanate of Aceh,” disertasi Ph.D., Australian National University, 1984. Johns, Anthony H. “Sufism in Southeast Asia: Reflections and Recon siderations,” Journal Southeast Asian Studies (JSEAS) 26, I (1995). Juned, T.M. “Membedah Adat dan Hukum Masyarakat Aceh”, dalam Lukman Munir, (Ed.), Bunga Rampai Menuju Revitalisasi Hukum dan Adat Aceh. Banda Aceh: Yayasan Rumpun Bambu dan CSSP Jakarta, 2003. Al-Jurjānī, ‘Alī Ibn Muḥammad al-Sayyid. Kitāb al-Ta‘rīfāt. Kairo: Dār alRashād, 1978.
160
Ka’bah, Rifyal. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Universitas Yarsi, 1999. Kamaruddin, dkk., “Model Penyelesaian Konflik di Lembaga Adat,” dalam Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, volume 21, Nomor 1, Mei 2013, h. 39-70 Kartasapoetra, Rien G. Pengantar Ilmu Hukum Lengkap. Jakarta: Bina Aksara, 1998. Kartodirjo, Sartono. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. t.t.p.: 1982. Kawashima,Takeyoshi. “Penyelesaian Pertikaian di Jepang Komtemporer”, Dalam AAG Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum Buku II. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1988. Kerr , Malcolm. H., Islamic Reform, The Political and Legal Theories of Muhammad ‘Abduh and Rashīd Rīḍā. California: University of California Press, 1966. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2000. Koesno, Mohammad. Tiga Model Pendekatan Studi Hukum Adat, Ed. Herman Slaats dan A.A Trouwbost. Banda Aceh, Syiah Kuala University Press dan Pusat Studi Hukum Adat dan Islam Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Darusslam, 1993. ______________. Catatan-catatan terhadap Hukum Adat Dewasa Ini. Surabaya: Airlangga University Press, 1979. Kuntowijoyo, Budaya & Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Kurdi, Muliadi, Aceh Dimata Sejarawan, Rekonstruksi Sejarah Sosial Budaya, Cet. 1, LKAS Banda Aceh, 2009. ___________. Falsafah Peusjuek Masyarakat Aceh. Banda Aceh: LKAS: Insitute for Religious and Social Studies, 2012. Kusano,Yoshiro. WAKAI: Terobosan Baru Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2008. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar Umat Beragama, Jilid I, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf AlQur’an, 2008.
161
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali. Peradilan Desa Alternatif Penyelesaian Sengketa. Denpasar: Yayasan Kemala, 2005. Lindsey, Timothy “Introduction: An Overview of Indonesian Law”, dalam Timothy Lindesy (ed.). Indonesia Law and Society. NSW: Federation Press, 1998. Law Reform Commisson (LRC), Consultation Paper: Alternative Dispute Resolution, LRC CP 50, 2008. Lubis, Nur Ahmad Fadhil. A History of Islamic Law in Indonesia, Medan: IAIN Press Medan, 2000. Lubis, Mulya. “The Rechtstaat and Human Rights”, dalam Timothy Lindsey (ed.) Indonesia Law and Society, NSW: Federation Press, 1998. Ma’luf, Louis. al-Munjid fῑ al-Lughah wa al-A’lam. Beirut: Dar al-Masyriq, Cet. XXVIII, 1986. Madkur, Muhammad Salam. al-Qadla fī al-Islam. Kairo: Dar an-Nadha alArabiyah, tt. _______________________. al-Fiqh al-Islāmī. Kairo: Maktabah Abd alWahhab, 1955. Mahkamah Agung RI. Mediasi dan Perdamaian. Jakarta: MA-RI, 2004. Majelis Adat Aceh (MAA) dan UNDP (United Nations Development Program), “Monograp Pedoman Peradilan Adat di Aceh: Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel”. Banda Aceh: UNDP (United Nations Development Program), 2008. Majid, Abdul. Syari’at Islam dalam Realitas Sosial. Banda Aceh: Yayasan PeNA & Ar-Raniry Press, 2007. Manan, Abdul. Hukum Ekonomi Syari’ah dalam persfektif Kewenangan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2012. Manan, Bagir. “Mediasi Sebagai Alternatif menyelesaiakan Sengketa”, dalam Varia Peradilan, No. 248 Juli 2006. Margono, Suyud. ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Bogor Selatan: Ghasila Indonesia, 2004,cet. II. Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. Bandung: Refika Aditama, 2009. Marsden, Williem Sejarah Sumatra , (terj.), Tim Komunitas Bambu. Depok: Komunitas Bambu, 2008. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.
162
Mas’adi, Ghufran A. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Masud, Muhammad Khalid. Shātibī’s Philosophy of Islamic Law. New Delhi: Adam Publishers & Distributors, 2006 Maxwell, Joseph A. Qualitative Research Design: An Interactive Approach. California: SAGE Publications, Inc., 1996. Moore, Sally F. Law as Process, an Anthropological Approach. London: Routledge &Kegan Paul Ltd., 1978. Mudzakkir, “Alternative Dispute Resolution (ADR): Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, makalah workshop, Jakarta, 18 Januari 2007. Muhammad, Abu al-Anain Fatah. al-Qadha wa al-Itsbat fi al-Fiqh al-Islam. Kairo: Dar al-Fikr, 1976. Muhammad, Majd ad-Din bin Ya’qub al-Fairuza’abadi as-Syirazi. al-Qamus al-Muhit, Juz III, Beirut: Dar al-Fikr, 1983. Munir, Lukman (ed). Menuju Revitalisasi Hukom dan Adat Aceh. Banda Aceh: Yayasan Rumpun Bambu, 2003. Muslim, Al-Imam Abῑ al-Husaini ibn al-Hujjaj al-Qusyairy an-Naisabury. Shaḫῑh Muslim, Juz 3 (Arabiyah: Dᾱr al-Kutubi as-Sunnah, t.t. An-Nabrawi, Khadijah. Mausu’ah Ushul Fikr as-Siyāsiyyi, wal Itima’iyyi wal Iqtiṣādiyyi, Jilid I, Kairo: Dārus Salām, 1414/2004. Nader, Laura and Harry F. Todd Jr., The Disputing Process Law in Ten Societies. New York: Columbia University Press, 1978. Notopuro, Hardjito. “Tentang Hukum Adat Pengertian dan Pembatasan dalam Hukum Nasional” Majalah Hukum Nasional, Nomor 4 Tahun 1969. Nurjaya, I Nyoman. “Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum,” Makalah dipresentasikan dalam Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, Hotel Santika, Jakarta: 11-13 Oktober, 2007. Pospisil, L. Antrhopology of Law, a Comparative Theory. London: Harper & Row Publisher, 1971. Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004. Rahardjo, Sartjipto. Hukum dan Perubahan Sosial, cet. III. Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
163
_____________. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa, 1980. Rahim, Abdul. The Principles Muhammadan Jurisprudence. London: Luzac & Co, 1991. Rahmadi, Takdir. Mediasi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2010. Raiffa, Howard. The Art and Science of Negotiation. Cambridge: Harvard University Press, 1982. Rajagukguk, Erman. Penyelesaian Sengketa Alternatif. Jakarta: FH UI. Al-Ramahi, Aseel. “Sulh: A Crucial Part of Islamic Arbitration”, LSE Law, Society and Economy Working Papers 12/2008, h. 1-25. Al-Rānīrī, Nūr al-Dīn. Bustān as-Salatin, Bab 2, Pasal 13, ed. T. Iskandar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1966. Al-Razi, Muhammad bin Abi Bakr bin ‘Abd al-Qadir. Mukhtar as-Sihhah. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.. Riḍa, Rasyid. Tafsīr al-Manar. Mesir: Maṭba’ah al-Sa’diyah, tt.. Ritonga, A. Rahman “SALĀM” dalam Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, Jilid 3, Jakarta: Lentera Hati, 2007. Robert, Simon A. & Michael Palmer. Dispute Processes: ADR and the Primary From of Decision Making. USA: Cambridge University, 2005. Rohayana, Ade Dedi. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah: Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008. Runtung. “Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif: Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Brastagi”, Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002. Sabiq, Sayyid. Fiqh as Sunnah, Juz II & III. Beirut: Dar al Fikr, 1977. As-Sȃis, Muḫammad ‘Alȋ. Tafsȋr Ayȃt al-Aḫkȃm. Beirut: Dār al-Qāhirah, t.t., Juz 2. Saleh, K.Wantjik. Hukum Acara Perdata RVG/HIR. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 1981. Salmi, Ralph H. et al. Islam and Conflict Resolution: Theories and Practices. Lanham, Md: University Press of America, 1998. Sanderson, Stephen K. Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, Terjemahan Farid Wajidi dan S. Menno, edisi ke-2. Jakarta: Rajawali Grafindo, 2000
164
Santoso, Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda. Jakarta: Gema Insani Press, 2003. Saptomo, Ade. Hukum dan Kearifan Lokal: Revitalisasi Hukum Adat Nusantara. Jakarta: Grasindo, 2009. Schacht, J. Introduction to Islamic Law. New York: Oxford, 1962. Seegel, James T. The Rupe Of God. Berkeley and Los Angeles: California University Press, 1969. Setiadi, Wicipto. “Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR),” dalam http://rizalunpad.wordpress.com/2011 /11/25/penyelesaian-sengketa-melalui-alternative-disputeresolution-adr-oleh-dr-wicipto-setiadi-s-h-ma/ diakses tanggal 18 Januari 2014. Shabana, Ayman. Custom in Islamic Law and Legal Theory: The Development of the Concepts of ‘Urf and ‘Ȃdah in the Islamic Legal Tradition. New York: Palgrave Macmillan, 2010. Ash-Shȃbȗnȋ, Muḫammad ‘Alȋ Rawȃ’iu al-Bayȃn Tafsȋr Ayȃt al-Aḫkȃm min alQur’ȃn, Juz I, Cet. I. Jakarta: Dȃr al-Kutub al-Islȃmiyyah, 2001. Slaats, Herman & Karen Portier. Traditional Decision-Making and Law: Institutions and Process in an Indonesian Context. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat. Bandung: Alumni, 1978. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. Ke-31. Jakarta: Raja Grafindo Persada 2001. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, cet. IV. Jakarta: Rajawali Press, 1995. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1977. Soeyatno. “Sejarah Sosial Masyarakat Pedesaan Sibreh, Aceh Besar”, dalam Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh: Hasil-hasil Penelitian dengan Metode ‘Grounded Research. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1977. 53. Sternlight, Jean R. “Is Alternative Dispute Resolution Consistent With The Rule of Law? Lesson From Abroad”, De Paul Law Review, Vol. 56:569, 2007, h.569-592. Stipanowich, Thomas J. “Arbitration: The “New Litigation”,” University of Illinois Law Review, No. 1, 2010, h.1-59.
165
___________, “ADR and the “Vanishing Trial”: The Growth and Impact of Alternative Dispute Resolution, Journal of Empirical Legal Studies, Volume I, Issue 3, November 2004, h. 843-912. Sulaiman, M. Isa. “Tinjauan Historis Peradilan Adat di Aceh”, dalam M. Isa Sulaiman dan H.T. Syamsuddin, (ed.), Pedoman Umum Adat Aceh: Peradilan dan Hukum Adat. Banda Aceh: MAA Provinsi NAD, 2008. Sulaiman, Nasruddin et.al. Aceh: Manusia, Masyarakat, Adat dan Budaya. Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi, 1992. Sutantio, Retnowulan. Mediasi Dan Dading, dalam Proceedings Rangkaian Lokakarya Terbatas Hukum Kepailitan Dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya. Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian Hukum bekerja sama dengan Pusdiklat Mahkamah Agung RI dan Konsultan Hukum Ey Rum & Rekan, 2003. Sutiyoso, Bambang. Penyelesaian Sengketa Bisnis, Solusi dan Antisipasi Peminat Bisnis dalam Menghadapi Sengketa Kini dan Mendatang. Yogyakarta: Citra Media, 2006. Suud bin Saad Ali Duraib, at-Tanzim al-Qaḍai fi Mamlakab al-‘Arabiyah. Riyadh: Universitas Ibnu Saud, 1983. Al-Suyūṭī, Jalaluddin ‘Abd al-Raḥman ibn Abū Bakar Muḥammad. al-Asybāh wa al-Naẓāir. Semarang: Mathba’ah Toha Putra, t.t. Syarif, Sanusi M. Gampong dan Mukim di Aceh: Menuju Rekonstrusi Pasca Tsunami. Bogor: Pustaka Latin, 2005. Syukur, Fatahillah A. “Community Mediation Training in Bali and Papua: Access to Justice in Indonesia.” Paper presented in 1st Asian Mediation Association Conference (Singapore, 2009). _____________. Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) Teori dan Praktek di Pengadilan Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 2011. Sztompka, Pỉȍtr. Sosiologi Perubahan Sosial, Terjemah. Alimundan. Jakarta: Prenada, 2011. Aṭ-Ṭabarī, Jāmi’u al-Bayān. Kairo: Dar al-Maṭba’ah, 1328 H. Tarigan, Azhari Akmal. “Pelaksanaan Hukum Waris Pada Masyarakat Karo Muslim di Kabupaten Karo,” Disertasi Program Hukum Islam Pasca Sarjana IAIN Sumatera Utara, Medan, 2010. Thalib, Sajuti. Receptie A Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam. Jakarta: Bina Aksara, 1985. Tim Peneliti IAIN ar-Raniry dan biro Keistimewaan Aceh Provinsi NAD, Kelembagaan Adat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Yogyakarta: AK Group, 2006.
166
Tim Peneliti Puslit IAIN Ar-Raniry, Peran Lembaga Adat dalam Mendukung Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh. Banda Aceh: Puslit IAIN ArRsaniry, 2009. Al-Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa Ibn Saurah. Sūnan al-Tirmidzi. Beirut: Dār al-Ma’rifah, 2002. Urger, Roberto M. Teori Hukum Kritis, Terj. Dariyatno dan Derta Sri Widowalie, cet. II. Bandung: Nusa Media, 2008. Utsman, Sabian. Restorative Justice: Hukum Masyarakat Nelayan Saka dalam Sistem Huum Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. Vago, Steven. Law and Society. USA: Pearson Prentice Hall, 2009. Vergouwen, J.C. The Social Organisation and Customary Law of the TobaBatak of Northern Sumatra. KTLV Translation Series, The Hague, Martinus, 1964. Walgrave, Lode. Repositioning Restorative Justice. UK: Willan Publishing, First Editions, 2003. Weeks, Richard V. Muslim Peoples: A World Ethnographic Survey, Vol. 1. Westport, Connecti-cut: Greenwood Press, 1984. White, Nicola, et. all, Consultation Paper: Alternative Dispute Resolution. Dublin 4: Law Reform Commission, 2008 Widnyana, I Made. Atlernatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Jakarta: PT. Fikahati Aneska Bekerja sama dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia, 2009. Williams, David C. Naturalistic Inquiry Materials. Bandung: FPS IKIP, 1988. Wirdyaningsih, dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2005. Yazid, T.M.Luthfi “Penyelesaian Sengketa Melalui ADR”, Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun III No.1/1996. Al-Zarqa, Musthafa Ahmad. al-Madkhal ila al-Fiqh al-‘Am al-Islâm fî Tsaubih al-Jadîd. Beirut: Dar al-Fikr, 1965. Al-Zubaydī, Muḥammad Murtaḍā al-Ḥusaynī. Tāj al-‘Arūs min Jawāhir alQāmūs, ed. Muṣtafā Ḥijāzi. Kuwait: Wizarat al-I‘lām, 1987. Az-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, Juz IV & V . Beirut: Dar al-Fikr, 2003.
167
B. Sumber Bahan Hukum Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altertatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
168
BIODATA PENULIS
Dr. Chuzaimah Batubara, MA adalah putri dari Almarhum Abdul Chalik Batubara dan Farida Nasution, Amd yang dilahirkan di Medan pada 6 Juli 1970. Setelah menamatkan pendidikan SD (1983), SMP Negeri XIV Medan (1986), MAS Alwashliyah Jl. Ismailiyah Medan (1989), ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara sekarang menjadi UIN Sumatera Utara, lulus tahun 1994, kemudian menyelesaikan program Magister ke luar negeri, tepatnya di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal Canada tamat tahun 1999 dan program doktor atau S-3 Hukum Islam di Program Pasca Sarjana UIN Sumatera Utara lulus pada tahun 2015.Sekarang ini tercatat sebagai dosen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sumatera Utara. Beberapa karya yang telah dihasilkan adalah Perempuan Muslim dan Dinamika Hukum Keluarga, Medan: La Tansa Press, 2011; Khazanah Klasik Sumatera Utara: Menguak Terjemah Fath al-Mubin Fi Syarh al-Arba’in, Bandung: Cita Pustaka, 2008; beberapa artikel yang telah diterbitkan di antaranya: Review Disertasi: Islamic Law and Social Change: A Comparative Study of The Institutionalization and Codification of Islamic Family Law in the Nation-State Egypt and Indonesia (1950-1995), Al-Muqāranah: Jurnal Perbandingan Hukum dan Mazhab, Volume: I No. 1 Januari-Juni 2013; Tengku Jafizham: Ahli Hukum yang Tegas dan Kreatif, Kumpulan Laporan Penelitian Seri 3 Tahun 2013: Tiga Ulama Pemikir dan Penggerak Umat Islam di Sumatera Utara, IAIN PRESS, MEDAN; “Konsep Maslahah: Analisis Teoritis dan Praktis,” dalam Islam Mazhab Swalayan (Ed.) Dr. Muhammad Iqbal, Bandung: Cita Pustaka, 2010; Qishash Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur’an, Sosio-Religia: Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial, vol. 9, Edisi Khusus (Yogyakarta), 2010; Penyerapan Nilai-nilai Budaya Lokal dalam Kehidupan Beragama di Medan (Studi tentang Budaya Lokal di Medan, dalam Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, vol. 2, ed.
169
Afif dan Saiful Bahri, 2009; Politik Hukum Islam Masa Reformasi: Upaya Positivisasi Hukum Pidana Islam, Mimbar Hukum dan Peradilan, No. 68, 2009; “Metodologi Studi Islam: Upaya Mengedepankan Sinergis Tekstual Kontekstual Dalam Studi Hukum Islam,” dalam Metodologi Studi Islam, Ed. Azhari Akmal Tarigan, 2008. Saat ini, beliau diberikan amanah oleh Rektor UIN Sumatera Utara untuk menempati Rumah Dinas di Komplek Perumahan UIN Sumatera Utara Jl. Adinegoro Medan bersama suami tercinta Dr. H. Saidurrahman, M.Ag dan ketiga buah cinta mereka: Aufa Awalia Said, Zidan Abdullah Said dan Arsyad Baihaqi Said.
170
LAMPIRAN-LAMPIRAN