METODE PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DAN INDONESIA Oleh: Marhamah Saleh1
Abstract Islamic law, both in theory and practice, accommodate three methods of dispute resolution, namely al-Sulhu (peace), al-t hk m (arbitration), and the wilāyāt alā ' (judicial power). Throughout the Islamic history wilāyāt alā ' was represented by four models of law enforcement agency: The power of alā , al-hisbah, al-m ālim, and al-mahkamah al-'askariyyah. In the context of Indonesia, Islamic economic disputes can be exercised with two models, namely the litigation and non-litigation approaches. Settlement of litigation is an area of competence of religious courts. For the choice of dispute resolution in non-litigation can be divided into two, namely arbitration and alternative dispute resolution. An important finding of this paper is that, it found many similarities in the dispute resolution of financial services between Islamic law and Indonesian law. In addition, religious courts (PA) is an appropriate forum for managing dispute resolution of Islamic economics through litigation. This is because the PA has the authority to control the substantive law or material law to be enforced based on the principles of sharia law. Keywords: Dispute, Islamic economics, arbitration, religious courts, Alternative Dispute Resolution (ADR), al-qadha '.
I.
Pendahuluan Seiring dengan banyaknya bermunculan lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan syariah di tanah air dewasa ini, maka sengketa di bidang ekonomi syariah diprediksi bakal ramai di kemudian hari. Ekonomi syariah memang berbeda dengan ekonomi konvensional, namun keduanya memiliki titik singgung yang berkaitan dengan kontrak (perjanjian). Para pihak yang terlibat berkemungkinan mencederai apa yang sudah mereka sepakati. Secara garis besar, sengketa ekonomi syariah dapat diklasifikasikan menjadi 3, yakni: 1) Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya; 1
Kandidat Doktor di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Konsentrasi Syari‟ah. Dosen pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
31
2) Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah; 3) Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Pada dasarnya, setiap konflik dapat diselesaikan oleh para pihak sendiri, namun kadang-kadang dalam praktiknya terdapat banyak faktor yang menjadikan konflik sulit diselesaikan, khususnya mengenai permasalahan hukum ekonomi syariah.2 Dalam menyikapi sengketa yang terjadi di perbankan syariah misalnya, berdasarkan pasal 1244, 1245 dan 1246 KUH Perdata, apabila salah satu pihak melakukan ingkar janji (wanprestasi) atau perbuatan melawan hukum, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi yang berupa pemulihan prestasi, ganti rugi, biaya dan bunga. Ketentuan ini tentu saja tidak bisa diterapkan seluruhnya dalam hukum keperdataan Islam, karena dalam aqad perjanjian Islam tidak dikenal adanya bunga yang menjadi bagian dari tuntutan ganti rugi. Oleh karena itu, ketentuan ganti rugi harus sesuai dengan prinsip Syari‟at Islam. Jika salah satu pihak tidak melakukan prestasi, dan itu dilakukan bukan karena terpaksa (overmach), maka ia dipandang ingkar janji (wanprestasi) yang dapat merugikan pihak lain. Penetapan wanprestasi ini bisa berbentuk putusan hakim atau atas dasar kesepakatan bersama atau berdasarkan ketentuan aturan hukum Islam yang berlaku. Sehubungan dengan hal di atas, bagi pihak yang wanprestasi dapat dikenakan ganti rugi atau denda dalam ukuran yang wajar dan seimbang dengan kerugian yang ditimbulkannya serta tidak mengandung unsur ribawi. Jika debitur yang wanprestasi karena pertama: ketidakmampuan yang bersifat relatif, maka kreditur harus memberikan alternatif berupa perpanjangan waktu pembayaran (rescheduling), memberi pengurangan (discount) keuntungan, diberikan kemudahan berupa reconditioning kontrak atau dilakukan likuidasi (penjualan barang-barang jaminan). Jika debitur masih juga tidak mampu membayar prestasinya, maka kreditur (Bank) dapat memberikan kebijakan hapus buku (write off). Kedua: jika ketidakmampuannya bersifat mutlak, kreditur (Bank) harus membebaskan debitur dari kewajiban membayar prestasi atau memberikan kebijakan hapus tagih (hair cut). Ketiga: jika debitur wanprestasinya karena itikad tidak baik, maka dapat diumumkan kepada
2
Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hlm. 53.
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
32
masyarakat luas sebagai debitur nakal dan dikenakan sanksi paksa badan atau hukuman lainnya.3 Dalam konteks hukum di Indonesia, penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat dilakukan melalui dua model, yaitu penyelesaian secara litigasi dan non litigasi. Penyelesaian secara litigasi merupakan wilayah kompetensi pengadilan agama. Untuk pilihan penyelesaian sengketa secara non-litigasi dapat dibagi dua, yaitu melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa melaui jalur non litigasi di atur dalam satu pasal, yakni Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menjelaskan tentang mekanisme penyelesaian sengketa. Dalam perspektif Islam, arbitrase dapat disepadankan dengan istilah tahkim yang secara etimologis berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Lembaga ini telah dikenal sejak lama, meskipun dulu belum terdapat sistem peradilan yang terorganisir. Setiap ada perselisihan mengenai hak milik, waris dan hak-hak lainnya seringkali diselesaikan melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang berselisih. Sedangkan alternatif penyelesaian sengketa dalam terminologi Islam dikenal dengan al-șulhu, yang berarti memutus pertengkaran atau perselisihan. Dalam pengertian syariat, al-șulhu adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara 2 (dua) orang yang bersengketa. 4 Sengketa atau beda pendapat dalam bidang perdata Islam dapat diselesaikan oleh para pihak melaui Alternatif Penyelesaian Sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi. Segenap manusia secara asasi menginginkan nyaman, dan tenteram dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian institusi perdamaian adalah bagian dari kehidupan manusia. Peradilan bukanlah satu-satunya lembaga yang diharapkan bisa menyelesaikan persengketaan. Pemikiran kebutuhan akan lembaga sulh (perdamaian) pada zaman modern ini tentunya bukanlah suatu wacana dan cita-cita yang masih utopis, melainkan sudah masuk ke wilayah praktis. Hal ini dapat dilihat dengan marak dan populernya Alternative Dispute Resolution (ADR). Secara garis besar, penyelesaian sengketa ekonomi syariah dalam perspektif hukum Islam dan hukum di Indonesia dapat terlihat jelas dalam skema berikut:
3
Abdul Manan, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah ; Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama, makalah disampaikan pada acara Diskusi Panel Dalam Rangka Dies Natalis Universitas YARSI ke 40 pada Rabu, 7 Februari 2007 di Kampus YARSI Jakarta, hlm. 38-39. 4 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Cairo: Al-Fathu li al-I‟lam al-„Araby, t.t., jilid III, hlm. 305.
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
33
BANI Arbitrase BASYARNAS
Konsultasi
Luar Pengadilan (Non-Litigasi) Hukum Indonesia
Penyelesaian Sengketa
Dalam Pengadilan (Litigasi) Sulh (Ishlah)
Hukum Islam
Negosiasi Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR)
Tahkim (Arbitrase) Wilayat alQadha' (Pengadilan)
Mediasi
Konsiliasi
Pendapat (Penilaian Ahli)
Gambar 1: Skema Penyelesaian Sengketa II. Pembahasan A. Penyelesaian Sengketa: Perspektif Hukum Islam 1. Metode al-șulhu (perdamaian) Penyelesaian sengketa melalui jalan musyawarah dalam terminologi hukum Islam dikenal dengan istilah al-șulhu (perdamaian). Secara harfiah, alșulhu mengandung pengertian memutus pertengkaran/perselisihan. Dalam pengertian syari‟at dirumuskan, “suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan/perselisihan antara dua orang yang berlawanan.” Dalam perdamaian terdapat dua pihak, yang sebelumnya terjadi persengketaan. Kemudian para pihak sepakat untuk saling melepaskan sebagian dari tuntutannya. Hal itu dimaksudkan agar persengketaan diantara mereka dapat berakhir. Masing-masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syari‟at Islam diistilahkan mușālih, sedangkan persoalan yang diperselisihkan disebut mushālih „anhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain untuk mengakhiri pertikaian/pertengkaran dinamakan dengan mușālih „alaihi atau disebut juga badal al-șulh. Adapun dasar hukum anjuran diadakannya perdamaian dapat dilihat dalam ketentuan Al-Quran, Sunnah dan ijma‟. Al-Quran menegaskan, “Jika dua golongan orang beriman bertengkar, damaikanlah mereka. Tapi jika salah satu dari kedua golongan berlaku aniaya terhadap yang lain, maka perangilah
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
34
orang yang aniaya sampai kembali kepada perintah Allah. Tapi jika ia telah kembali damaikanlah keduanya dengan adil, dan bertindaklah benar. Sungguh Allah cinta akan orang yang berlaku adil.” QS. Al-Hujurat: 9). Begitu pula surat al- Nisa‟ ayat 126 yang artinya “Perdamaian itu adalah perbuatan yang baik”. Dalam Sunnah, anjuran perdamaian dapat ditemukan dalam hadis yang juga telah menjadi suatu kaidah fiqh: الصلح جائز بين المسلمين إال صلحا حرّم حالالً أو أح ّل حراما “Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”. Perdamaian diantara penggugat dan tergugat adalah baik dan dibolehkan, kecuali perdamaian yang bertujuan menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Kaidah inilah yang perlu dilakukan terlebih dulu oleh hakim, yaitu mendamaikan antara pihak yang bersengketa. Imam al-Tirmizi dalam hal ini menambahkan, “(Muamalah) orangorang muslim itu berdasarkan syarat-syarat mereka”. Sedangkan Umar r.a. di dalam suatu peristiwa pernah mengungkapkan, “Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian di antara mereka (pihak yang bersengketa).” Ungkapan Umar itu tentunya dapat diterima, sebab penyelesaian perkara melalui pengadilan pada hakikatnya hanyalah penyelesaian yang bersifat formalitas belaka. Pihak-pihak yang bersengketa dipaksakan untuk menerima putusan tersebut walaupun terkadang putusan badan peradilan itu tidak memenuhi rasa keadilan. Konsekuensinya, terkadang masih ada lagi lanjutan persengketaan itu di luar sidang. Bahkan, sering salah satu pihak bertindak main hakim sendiri untuk memenuhi rasa keadilannya. Dasar hukum yang lain yang mengemukakan anjuran diadakannya perdamaian diantara para pihak yang bersengketa didasarkan pada ijma‟. Para ahli hukum telah sepakat (ijma‟) bahwa penyelesaian pertikaian di antara para pihak yang bersengketa adalah disyari‟atkan dalam ajaran Islam.5 2. Metode al-T hk m (Arbitrase) Arbitrase adalah pemutusan suatu persengketaan oleh seseorang atau beberapa orang yang ditunjuk oleh pihak-pihak yang bersengketa di luar hakim atau pengadilan.6 Dalam prakteknya disebut juga dengan perwasitan. Dasar hukum t hkim terdapat dalam QS. Al-Nisa‟: 35. “Jika kamu khawatir ada persengketaan di antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam 5
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm.
6
Soebekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1984, hlm. 181.
178-179.
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
35
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Walaupun yang dimaksud hakam dalam ayat ini adalah juru damai diantara suami isteri yang bersengketa, namun tentunya dapat dikembangkan atau diperluas ke dalam persengketaan bidang-bidang lain, seperti bidang ekonomi. Hal itu dapat dilakukan dengan cara menggunakan penafsiran analogi atau qiyas.7 3. Metode Kekuasaan Kehakiman (Wilāyāt al Qa hā‟) Dalam sistem kekuasaan kehakiman pada sebuah pemerintahan sepanjang dijumpai dalam sejarah Islam ditemukan empat model kekuasaan penegak hukum (lembaga penegak hukum), yaitu kekuasaan al- a lā‟ (lembaga penegak hukum), kekuasaan al-hisbah, kekuasaan al-m ālim, dan al-Mahkamah al-„Asykariyyah. Pada masa Dinasti Umayah menyebutnya dengan n ām alāi sedangkan Dinasti Abbasiyah menyebut lembaga ini dengan al- n ām al-m ālim yakni lembaga yang bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum, menegakkan ketertiban hukum, baik di lingkungan pemerintahan maupun di lingkungan masyarakat, dan memutuskan perkara. Baik al- n ām alāi maupun al- n ām al-m ālim, sama-sama memiliki tiga badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tersebut, yakni; ā‟ his ah, dan m ālim. Bahkan pada masa Dinasti Mamluk, terdapat satu pelaksana kekuasaan kehakiman lagi, yakni alm hkam h al-„asykariyyah (mahkamah militer). 8 Masing-masing lembaga memiliki kewenangan tersendiri. a. Kekuasaan al-Q ā‟ Q ā‟ adalah lembaga yang bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan, dan masalah wakaf. Secara spesifik, Salam Madkur memberi pengertian; lembaga yang bertugas memutuskan sengketa antara dua pihak yang bertikai dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. dengan benar dan adil tanpa memihak kepada salah satunya, menempatkan mereka sama di hadapan hukum Allah Swt. 9 Lembaga ini, dirintis sudah sejak masa Rasulullah Saw. dan disempurnakan pada masa-masa sesudahnya, terutama Dinasti Umayyah dan
7
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 184-
186. 8
Muna „Abd al-Gani Hasan, Al-Qadhâ fî al-Hayah as-Siyâsiyyah wa al-Ijtimâ ‟iyyah fi Misr fî al-„Asr al-Mamlûkî, Cairo: Universitas Al-Azhar, 1415 H/1994 M, hlm. 56-68. 9 Muhammad Salam Madzkur, Al-Qadhâ fi al-Islâm, terj. Imron AM, Peradilan dalam Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993, hlm. 65.
36
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
Abbasiyah. Pada masa kedua Dinasti tersebut, setiap perkara diselesaikan menurut madzhab yang dianut oleh masyarakat. Pelaksana tertinggi kekuasaan q ā disebut Qā al- āh (Hakim Agung), bahkan ia orang pertama yang membai‟at sultan setelah terpilih, barulah kemudian diikuti oleh para amir dan selanjutnya oleh rakyat banyak. Meskipun secara politis diangkat dan kedudukannya berada di bawah sultan, akan tetapi sebenarnya ia adalah penyeimbang kekuasaan eksekutif dan pelaksana kekuasaan yudikatif. Lembaga peradilan itu menyelesaikan masalah-masalah tertentu yang mencakup perkara-perkara madaniyat dan al-ahwāl al-syakhșiyah (masalah keperdataan termasuk masalah hukum keluarga), masalah jināyāt (pidana), dan tugas tambahan lainnya. b. Kekuasaan Al-Hisbah Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman. Al-Mawardi mendefinisikan al-hisbah dengan; al-amru bi al-ma‟rûf i ā hahara tarkuhu wa al-nahyu „an al-munkar i ā a hhara fi‟luh (menegakkan kebajikan jika terlihat diabaikan, dan mencegah kebatilan yang terbukti dilakukan).10 Menurut al-Mawardi, kewenangan lembaga al-Hisbah ini tertuju kepada tiga hal yakni pertama: dakwaan yang terkait dengan kecurangan dan pengurangan takaran atau timbangan, kedua: dakwaan yang terkait dengan penipuan dalam komoditi dan harga seperti pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual bahan makanan yang sudah kadaluarsa dan ketiga: dakwaan yang terkait dengan penundaan pembayaran hutang padahal pihak yang berhutang mampu membayarnya. Pejabat badan hisbah disebut al-Muhtasib, tugasnya menangani kriminal yang perlu penyelesaian segera, mengawasi hukum, mengatur ketertiban umum, menyelesaikan masalah-masalah kriminal, mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak tetangga, serta menghukum orang yang mempermainkan hukum syariat. 11 Lembaga itu merupakan lembaga resmi negara yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan. Misalnya, mengenai pengurangan takaran/timbangan di pasar, menjual makanan yang sudah kadaluwarsa, kenderaan yang melebihi kapasitas angkut.
10
Abu al-Hasan „Ali ibn Muhammad ibn Habib Al-Mawardi, Al-Ahkam asSulthaniyyah, Cairo: Maktabah al-Anjlu al-Misriyyah, 1992, hlm. 240. 11 Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abd al-Mu‟thi Muhammad, Fikr al-Siyâsî fi alIslâm, Iskandariyah: Dâr al-Jâmi‟at al-Mishriyat, 1978, hlm. 187.
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
37
c. Kekuasaan al-Ma ālim Al-Ma ālim adalah salah satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan untuk mengurusi penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dan negara. Selain itu, ia juga menangani kasuskasus penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat tinggi, bangsawan, hartawan, atau keluarga sultan terhadap rakyat biasa. 12 Secara operasional, ā hi ma ālim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh a hā dan muhtasib, meninjau kembali putusan yang dibuat oleh dua hakim tersebut, atau menyelesaian perkara banding.13 Badan itu dibentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang yang teraniaya akibat sikap semena-mena penguasa negara (yang lazimnya sulit diselesaikan oleh lembaga peradilan/al- a hā dan kekuasaan al-hisbah). Lembaga itu juga berwenang untuk menyelesaikan persoalan sogok-menyogok dan korupsi.14 d. Al-Mahkamah al-„Askariyyah Selain tiga bidang yaitu hisbah, al- a hā dan al-ma ālim pada masa pemerintahan Bani Abbas juga dibentuk mahkamah/peradilan militer (alMahkamah al-„Askariyyah) dengan hakimnya adalah qâdhi al-asykar atau ā hi al-jund. Posisi ini sudah ada sejak Sultan Salâhuddîn Yûsuf ibn Ayyûb. Tugasnya adalah menghadiri sidang-sidang di Dār al-„A l, terutama ketika persidangan tersebut menyangkut tentang anggota militer/tentara.15 2. Penyelesaian Sengketa: Perspektif Hukum Indonesia Dalam konteks hukum Indonesia, penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat dilakukan di luar pengadilan (non-litigasi) atau di dalam pengadilan (litigasi). Untuk pilihan di luar lembaga peradilan ada dua opsi: Melalui arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa (ADR). a. Arbitrase Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum
12
Muna „Abd al-Gani Hasan, Al-Qadhâ fî al-Hayah as-Siyâsiyyah, hlm. 99. Muhammad Jalal Syaraf, Fikr al-Siyâsî fi al-Islâm, hlm. 188. 14 Satria Effendi M.Zein, Arbitrase dalam Islam dalam Mimbar Hukum No. 16 Tahun V, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah-Ditbinbapera, 1994, hlm. 51-52. 15 Muna „Abd al-Gani Hasan, Al-Qadhâ fî al-Hayah as-Siyâsiyyah, hlm. 77. 13
38
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum atau setelah timbul sengeketa. Keputusan badan perwasitan (arbitrase) oleh undang-undang dipandang sebagai putusan badan peradilan tingkat terakhir, dan sekaligus dapat dimintakan eksekusi, yaitu melalui ketua pengadilan negeri setempat. Di Indonesia terdapat beberapa lembaga arbitrase untuk menyelesaikan berbagai sengketa bisnis yang terjadi dalam lalu lintas perdagangan, antara lain BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang khusus menangani masalah persengketaan dalam bisnis Islam, sekarang berubah menjadi BASYARNAS (Ba an Ar itrase Syari‟ah Nasional) yang menangani masalah-masalah yang terjadi dalam pelaksanaan Bank Syari‟ah. Ada juga BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang khusus menyelesaikan sengketa bisnis non Islam, dan BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia). Kekuatan penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah: 1) Cepat dan hemat biaya. Proses beracara di Pengadilan umumnya terlalu memakan waktu, karena litigasi yang berjalan secara normal saja bisa membutuhkan waktu antara 6 bulan hingga setahun untuk mencapai putusan pengadilan. Belum lagi jika diajukan banding terhadap putusan tersebut, keseluruhan prosesnya dari tingkat pertama sampai Mahkamah Agung bisa mencapai tahunan sebelum putusannya final and binding. Sedangkan jangka waktu arbitrase telah ditentukan terlebih dahulu, juga lebih murah daripada litigasi, sebab tidak ada peluang kasasi terhadap putusan arbitrase. 2) Kebebasan memilih arbiter, sehingga lebih menjamin bahwa keputusan akan diambil secara komprehensif dan kompromistis yang memuaskan kedua belah pihak. 3) Kerahasiaan, dalam arbitrase proses acaranya dilakukan secara tertutup, tidak terbuka untuk umum seperti di pengadilan, sehingga para pihak merasa aman bahwa penyelesaian sengketa mereka tidak diketahui oleh publik. 4) Bersifat non-preseden, keputusan arbitrase umumnya tidak memiliki nilai atau sifat preseden, sehingga untuk perkara serupa mungkin saja dihasilkan keputusan arbitrase yang berbeda. 5) Kepekaan atau kearifan dari arbiter terhadap perangkat aturan yang akan diterapkan oleh arbiter pada perkara-perkara yang ditanganinya. 6) Kepercayaan dan keamanan, arbitrase memberikan kebebasan dan otonomi sangat luas, juga secara relatif memberikan rasa aman terhadap keadaan
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
39
tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda.16 Adapun kelemahan dari arbitrase: a. Pada praktiknya, putusan arbitrase tidak dapat langsung dieksekusi, tapi harus meminta eksekusi dari pengadilan. b. Pengadilan seringkali memeriksa ulang kasus yang ditangani oleh arbiter, sehingga terjadi dua kali proses pemeriksaan sengketa, padahal hal tersebut tidak boleh dilakukan karena putusan yang dikeluarkan oleh arbiter bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para pihak.17 Bagaimanapun, penyelesaian masalah melalui Badan Arbritase Syariah Nasional (Basyarnas) perlu dimaksimalkan. Badan itu bisa menjadi alternatif untuk menghindari persengketaan melalui musyawarah untuk mufakat. Namun, jika masalah itu memasuki wilayah persengketaan maka Pengadilan Agama yang berhak menanganinya sesuai dengan UU tentang Peradilan Agama No. 50/2009 yang menyempurnakan UU No. 3/2006. b. Alternatif Penyelesaian Sengketa Selain arbitrase, metode yang tak kalah populer dan paling banyak diminati masyarakat kecil dan menengah dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah adalah Alternative Dispute Resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa. Metode ini mengarah kepada pencapaian sasaran perdamaian. Pada dasarnya perjanjian perdamaian tidak dapat dibatalkan secara sepihak, dan ia telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keputusan pengadilan tingkat terakhir. Dengan perkataan lain, tidak dapat lagi diajukan gugatan terhadap perkara/persoalan yang sama dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Namun demikian, perjanjian perdamaian tersebut masih mungkin untuk dibatalkan, yaitu apabila: a. Telah terjadi suatu kekhilafan mengenai subjeknya (orangnya); b. Telah terjadi kekhilafan terhadap pokok perselisihan.18 Ada beberapa bentuk dan cara alternatif penyelesaian sengketa:
16
Mariam Darus Badrulzaman, “Peranan BMUI dalam Pembangunan Hukum Nasional” dalam buku Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia bekerja sama dengan Bank Muamalat, 1994, hlm. 59. 17 Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 18 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 180-182.
40
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
1. Konsultasi. Aktivitas konsultasi dilakukan sebagai pertimbangan orangorang (pihak) terhadap suatu masalah, seperti halnya klien dengan penasihat hukumnya. Dalam praktiknya dapat berbentuk menyewa konsultan untuk dimintai pendapatnya dalam upaya penyelesaian suatu masalah. Dalam hal ini konsultan tidak dominan, melainkan hanya memberikan pendapat hukum yang nantinya dapat dijadikan rujukan para pihak untuk menyelesaikan sengketa. 2. Negosiasi. Merupakan proses tawar-menawar dengan berunding secara damai untuk mencapai kesepakatan antar pihak yang berperkara. Dalam negosiasi dilakukan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki kepentingan yang sama maupun berbeda, tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah, baik pihak ketiga yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediator) atau pihak ketiga yang berwenang mengambil keputusan (ajudikator). 19 3. Mediasi. Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimana suatu pihak luar, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak yang besengketa, membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan.20 Terminologi mediasi lainnya adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang disengketakan. 21 Dalam kegiatan mediasi, mediator bertugas sebagai fasilitator sehingga terjadi pertukaran informasi, serta menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi antar pihak, menyesuaikan persepsi, dan berusaha mengurangi perbedaan sehingga menghasilkan satu keputusan bersama. Mediasi dapat diaplikasikan sebagai cara penyelesaian sengketa diluar jalur pengadilan (out-of court settlement) untuk sengketa perdata yang timbul diantara para pihak, bukan perkara pidana. Dalam sengketa perdata di perbankan misalnya, sesuai dengan PBI No.8/5/PBI/2006 dapat diajukan untuk diselesaikan melalui Lembaga Mediasi Perbankan. 4. Konsiliasi. Konsiliasi adalah penciptaan penyesuaian pendapat dan penyelesaian suatu sengketa dengan suasana persahabatan dan tanpa ada rasa permusuhan yang dilakukan di pengadilan sebelum dimulainya
19
Wirdyaningsih, Bank Dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm.
278-279. 20
Garry Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, ELIPS, 1999, hlm. 241. 21 Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/5/PBI/2006, angka 5.
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
41
persidangan dengan maksud untuk menghindari proses litigasi. 22 Konsiliasi merupakan usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai suatu penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga (konsiliator). Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator berhak menyampaikan pendapat secara terbuka tanpa memihak siapapun. Konsiliator tidak berhak membuat keputusan akhir dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak karena hal tersebut diambil sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 5. Pendapat atau Penilaian Ahli. Dalam Pasal 52 UU No. 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Dengan demikian, Lembaga Arbitrase juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. c. Lembaga Peradilan Istilah peradilan berasal dari kata bahasa Arab a hā‟. Salam Madkur memberi tiga arti untuk kata a hā‟, yaitu; (1) al-Farāgh berarti putus atau selesai; (2) al-A ā‟ berarti menunaikan atau membayarkan dan (3) al-Bukmu artinya mencegah atau menghalang-halangi. 23 Makna yang terangkum dalam kata a hā‟ tersebut bisa dipahami sebagai fungsi dan peran dari lembaga peradilan itu sendiri. Negara berhak memberikan perlindungan dan penyelesaian sengketa kepada masyarakat pencari keadilan bila terjadi suatu pelanggaran hukum. Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 2004, penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan lembaga peradilan yang berbeda di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK).
22
Lihat Black‟s Law Dictionary sebagaimana dikutip dalam Wirdyaningsih, Bank Dan Asuransi Islam di Indonesia, hlm. 280. 23 Muhammad Salam Madzkur, Al-Qadhâ fî al-Islâm, Cairo: Dâr an-Nadhah alArabiyyah, T.th., hlm. 11.
42
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
MAHKAMAH AGUNG
MAHKAMAH KONSTITUSI
Pengadilan Tinggi Agama
Mahkamah Syar'iyah Provinsi
PT
PTTUN
Pengadilan Agama
Mahkamah Syar'iyah
PN
PTUN
Dilmiltama
Dilmil
Dilmiliti
Gambar 2: Skema one roof system kekuasaan kehakiman di Indonesia
Dari skema tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa penyelenggara atau pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia saat ini terdiri dari: 1. Mahkamah Agung, berikut keempat lingkungan peradilan yang berada di bawahnya, yaitu: a. Lingkungan peradilan agama, yang terdiri dari Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA). b. Lingkungan peradilan umum, yang terdiri dari Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT). c. Lingkungan peradilan tata usaha negara, yang terdiri dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). d. Lingkungan peradilan militer, yang terdiri dari dari Pengadilan Militer (Dilmil), Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti) dan Pengadilan Militer Utama (Dilmiltama). 2. Mahkamah Konstitusi, merupakan lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman (yudicial power) yang berdiri sejajar dengan Mahkamah Agung, tidak ada pengadilan di atas maupun di bawahnya karena Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama sekaligus tingkat terakhir, dan putusannya bersifat final. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mempunyai kedudukan dan kewenangan tersendiri, dimana secara institusional sama sekali tidak terkait dengan Mahkamah Agung. Demikian juga halnya
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
43
dengan pengelolaan organisasi, administrasi serta finansialnya, sepenuhnya berada di bawah kekuasaan lembaga itu sendiri.24 Dewasa ini, dengan kemudahan perangkat teknologi, setiap perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama (PA) umumnya dapat dipantau secara terus-menerus melalui website resmi Pengadilan Agama. Bahkan berbagai informasi, tatacara, panduan mengajukan gugatan, contoh format pengajuan perkara dan berbagai ”berkas elektronik” lainnya dapat di-download secara cuma-cuma dalam waktu yang singkat. Perkembangan proses perkara juga dapat dipantau melalui situs web PA, hingga mencapai putusan. Kemudahan semacam ini umum ditemui pada banyak wilayah Pengadilan Agama. Walau demikian mudahnya, tugas Pengadilan Agama bukan sekedar memutus perkara, melainkan menyelesaikan sengketa sehingga terwujud pulihnya kedamaian antara pihak-pihak yang bersengketa, tercipta adanya rasa keadilan pada masing-masing pihak yang berperkara dan terwujud pula tegaknya hukum pada perkara yang diperiksa dan diputus tersebut. Berdasarkan hasil penelusuran terhadap proses persidangan di Pengadilan Agama, ada beberapa tahapan yang perlu dilalui oleh masyarakat pencari keadilan. 1. Setelah perkara didaftarkan, Pemohon atau Penggugat dan pihak Termohon atau Tergugat serta Turut Termohon atau Turut Tergugat menunggu Surat Panggilan untuk menghadiri persidangan; 2. Tahapan Persidangan: meliputi Upaya Damai, Pembacaan Gugatan/Permohonan, Jawaban Tergugat/Termohon, Replik, Duplik, Pembuktian, Kesimpulan, Musyawarah Majelis dan Pembacaan Putusan.25 3. Setelah perkara diputus, pihak yang tidak puas atas putusan tersebut dapat mengajukan upaya hukum (verset, banding, dan peninjauan kembali) selambat-lambatnya 14 hari sejak perkara diputus atau diberitahukan. Dalam Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 terdapat 3 (tiga) tambahan kewenangan baru bagi Pengadilan Agama, yaitu: Zakat, infaq dan ekonomi syari‟ah. Penjelasan huruf (i) pasal ini mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi syari‟ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari‟ah, antara lain meliputi: bank 24
Cik Hasan Basri, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Pengadilan Agama & Mahkamah Syar‟iyah Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, hlm. 86-88. 25 http://www.pajakartapusat.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=52& Itemid=64 yang diakses pada 17 Oktober 2011.
44
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
syari‟ah; lembaga keuangan mikro syari‟ah; asuransi syari‟ah; reasuransi syari‟ah; reksa dana syari‟ah; obligasi syari‟ah dan surat berharga berjangka menengah syari‟ah; sekuritas syari‟ah; pembiayaan syari‟ah; pegadaian syari‟ah; dana pensiun lembaga keuangan syari‟ah; dan bisnis syari‟ah. Namun seiring perluasan kompetensi pengadilan agama tersebut ternyata tidak berbanding lurus dengan jumlah kasus yang diajukan. Sebagai indikator, hasil kajian dari publikasi putusan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat menunjukkan bahwa dari 448 putusan yang dipublikasi, terhitung sejak tanggal putus 6 Maret 2008 hingga 21 April 2011 hanya ada dua perkara ekonomi syariah, dengan dominasi perkara cerai talak dan cerai gugat. Di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, untuk perkara ekonomi syari‟ah dalam rentang tersebut hanya ada dua kasus, yaitu: 1.
No. Perkara: 0792/Pdt.G/2009/PA, Jenis Perkara Syariah, Tanggal Putus 10 November 2009, Keterangan: pembatalan Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).
2.
No. Perkara: 0891/Pdt.G/2009/PA. Jenis Perkara Syariah, Tanggal Putus 02 September 2010, Keterangan: Perlawanan Atas Eksekusi Hak Tanggungan.
Pengadilan Tinggi Agama (PTA) DKI Jakarta dalam rentang tahun 2009 -2011 hanya menerima limpahan kasus banding ekonomi syariah dari Pengadilan Agama sebanyak 2 kasus 26 . Diantara kasus sengketa ekonomi syariah yang telah menghasilkan putusan dari Pengadilan Tinggi Agama (PTA) DKI Jakarta adalah: Putusan No. 143/Pdt.G/2010/PTA JK putusan dalam perkara yang diajukan oleh PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) Jakarta (Pembanding), melawan PT Asuransi Takaful Umum Jakarta (Terbanding). Ada beberapa kemungkinan yang bisa diajukan sebagai sebab dari minimnya perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama. 1. Minimnya kasus-kasus ekonomi syariah yang muncul ke permukaan. 2. Kompetensi absolut PA sebagai tempat penyelesaian sengketa ekonomi syariah belum tersosialisasi dengan baik di kalangan masyarakat. 3. Adanya kecenderungan sebagian masyarakat yang tidak ingin perkaranya diketahui khalayak, dengan memilih alternatif penyelesaian sengketa sebagai tempat untuk mengkompromikan perkaranya, dibandingkan mengajukan perkara sengketa ke PA yang bisa saja diketahui publik. 4. Kemampuan para hakim di PA secara umum masih diragukan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, mengingat kewenangan 26
Berdasarkan penelitian penulis pada bulan September 2011 dan wawancara dengan Bapak Fahuddin,. Panitera Muda Hukum di Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta.
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
5.
6.
45
menangani perkara tersebut masih tergolong baru dengan yurisprudensi yang masih terbatas, sehingga membutuhkan pengalaman yang lebih banyak dalam menangani perkara-perkara ekonomi syariah. Bahkan dalam kasus yang sangat spesifik, PA terpaksa harus melibatkan hakim adhoc dari peradilan umum untuk membantu mengadili perkara ekonomi syariah. Dalam perkara ekonomi syariah, pihak yang dianggap kalah bisa saja melakukan banding bahkan kasasi, bisa juga mereka menyelesaikannya di Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri, karena undangundang masih membuka peluang seperti itu. Adanya dualisme kewenangan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, antara Peradilan Agama sebagaimana ditentukan oleh UU No. 3 Tahun 2006 khususnya Pasal 49 huruf i, bahkan juga menjadi kewenangan Peradilan Umum seperti yang diatur dalam penjelasan Pasal 55 Ayat (2) UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bila itu menyangkut sengketa terkait dengan bank syariah, demikian juga dengan Fatwa MUI yang menyatakan diselesaikan ke Basyarnas. Sehingga ke-tiga UU tersebut yang mengatur kewenangan penyelesaian sengketa, tidak sinkron, untuk itu harmonisasi perlu segera dilakukan agar tidak terjadi dualisme kewenangan. Pada prinsipnya penyelesaian sengketa melalui Basyarnas, harus didahului adanya suatu perjanjian terlebih dahulu yang disebut dengan ”klausul arbitrase”.
Dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, PA merupakan pilihan forum yang tepat untuk mengadili sengketa berdasarkan perjanjian dengan lembaga ekonomi syariah yang memberlakukan asas dan kaidah hukum syariah, karena PA memiliki wewenang yang berkaitan dengan hukum substantif atau hukum materiil yang akan ditegakkan berdasarkan asas dan hukum syariah. Meskipun ada dualisme kewenangan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, antara Peradilan Agama sebagaimana ditentukan oleh UU No. 3 Tahun 2006 khususnya Pasal 49 huruf i, bahkan juga menjadi kewenangan Peradilan Umum seperti yang diatur dalam penjelasan Pasal 55 Ayat (2) UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bila itu menyangkut sengketa terkait dengan bank syariah, demikian juga dengan Fatwa MUI yang menyatakan pencantuman klausul penyelesaian perkara dilakukan oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), tidak semestinya ada forum yang berbeda yang bebas dipilih (choice of forum) oleh yang mengajukan sengketa. Sekali akad di awal dibuat secara sah, maka menjadi undang-undang bagi para pihak. Agar tidak menimbulkan sengketa antar kekuasaan peradilan (dispute authority), ada prinsip: “jika suatu urusan (perkara) telah diselesaikan oleh salah satu pemegang kompetensi, maka
46
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
pemegang kompetensi yang lain tidak lagi berwenang mengurus atau menyelesaikan sengketa yang sama”.27 III.
Kesimpulan Metode penyelesaian sengketa ekonomi syariah dalam perspektif hukum Islam dan hukum di Indonesia memiliki kemiripan, baik dari segi teori maupun praktis. Dalam konsep hukum Islam, perkara-perkara yang disengketakan dapat diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya al-shulhu (perdamaian), al-tahk m (arbitrase) dan terakhir ditempuh melalui wilāyāt ala hā‟ (kekuasaan kehakiman). Sedangkan proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Indonesia dapat ditempuh melalui cara litigasi dan nonlitigasi. Penyelesaian secara litigasi merupakan kewenangan Pengadilan Agama sesuai dengan UU No. 50/2009 tentang Peradilan Agama yang menyempurnakan UU No. 3/2006. Pengadilan Agama merupakan pilihan forum yang tepat untuk mengadili sengketa berdasarkan perjanjian dengan lembaga ekonomi syariah yang memberlakukan asas dan kaidah hukum syariah, karena PA memiliki wewenang yang berkaitan dengan hukum substantif atau hukum materiil yang akan ditegakkan berdasarkan asas dan hukum syariah. Adapun penyelesaian sengketa secara non-litigasi dalam konteks hukum Indonesia dapat ditempuh melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dengan mencantumkan klausul arbitrase dalam akad, atau melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa meliputi metode: Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Pendapat atau Penilaian Ahli.
27
Pernyataan ini dimuat dalam Kata Pengantar Bagir Manan, dalam buku Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, Jakarta: Gramata Publishing, 2010, hlm. x.
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
47
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawardi, Abu al-Hasan „Ali ibn Muhammad ibn Habib, Al-Ahkam asSulthaniyyah, Cairo: Maktabah al-Anjlu al-Misriyyah, 1992. Al-Suyuti, Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman, Al-Asy âh wa n âir, Beirut : Dâr al-Kutûb al-„Ilmiyyah, 1983. Badrulzaman, Mariam Darus. “Peranan BAMUI dalam Pembangunan Hukum Nasional” dalam buku Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia bekerja sama dengan Bank Muamalat, 1994. Basir, Cik, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Pengadilan Agama & Mahkamah Syar‟iyah Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Dirjen PKAAI,2000. Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, ELIPS, 1999. Hasan, Hasbi, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, Jakarta: Gramata Publishing, 2010. Hasan, Muna „Abd al-Gani. Al-Qadhâ fî al-Hayah as-Siyâsiyyah wa alIjtimâ ‟iyyah fi Misr fî al-„Asr al-Mamlûkî, Cairo: Universitas AlAzhar, 1415 H/1994 M. Lubis, Suhrawardi K. Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000. Madzkur, Muhammad Salam. Al-Qadhâ fi al-Islâm, terj. Imron AM, Peradilan dalam Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993. Mujahidin, Ahmad. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. M.Zein, Satria Effendi. Arbitrase dalam Islam dalam Mimbar Hukum No. 16 Tahun V, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah-Ditbinbapera, 1994. Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), 1994. Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta : Kencana, 2009. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Cairo: Al-Fathu li al-I‟lam al-„Araby, t.t., jilid III. Soebekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1984. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Beserta Penjelasannya. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7
48
Marhamah Saleh Metode Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Hukum Islam Dan Indonesia
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wirdyaningsih. Bank Dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005. Internet Website: http://www.pajakartapusat.go.id/index.php?option=com_content&view=article &id=52&Itemid=64 yang diakses pada 17 Oktober 2011. http://www.pa-jakartapusat.go.id yang diakses pada 17 Oktober 2011. http://meirianie.wordpress.com/2011/05/17/bab-12-penyelesaian-sengketa/ yang diakses pada 5 Januari 2012. http://hukumonline.com/berita/baca/lt4b8bc050105d5/dualismepenyelesaian-sengketa-perbankan-syariah-dibawa-ke-mk yang diakses pada 5 Desember 2011.