BAB III BIOGRAFI R. Ng. YASADIPURA II DAN SERAT BRATASUNU
A. Riwayat Hidup dan Karya R. Ng. Yasadipura II Yasadipura II memiliki nama kecil Wasista yang lahir sekitar tahun 1687 AJ atau 1760 M.1 Yasadipura II merupakan salah seorang pujangga keraton Surakarta Hadiningrat pada masa pemerintahan Pakubuwana IV, V, VI dan VII. Yasadipura merupakan anak dari kyai Yasadipura I, keduanya merupakan pujangga keraton Surakarta yang sangat terkenal. Silsilah Yasadipura II menunjukkan bahwa beliau adalah keturunan Sultan Adiwijaya (Jaka Tingkir). Itulah sebabnya Yasadipura II juga sering disebut dengan nama Pajang Wasista. Mengenai silsilah keturunan tersebut, dapat dilihat dalam bagan berikut;2 Sultan Adiwijaya (Jaka Tingkir) Pangeran Adipati Bawana Pangeran Emas (Adipati di Pajang) Pangeran Arya Prabuwijaya (Panembahan Raden) Pangeran Arya Wiramenggala (Kajoran) Pangeran Adipati Wiramenggala Pangeran Arya Padmanegara (Pekalongan) Kiai Yasadipura I (Tus Pajang) Kiai Yasadipura II (Tus Pajang) Raden Pajangswara (Ranggawarsita II) Raden Pajanganom (Raden Ngabehi Ranggawarsita)
1 Sri Suhandjati Sukri, Ijtihad Progresif Yasadipura II dalam Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. 1 2 Ibid, hlm. 2
39
40
Karier Yasadipura II dimulai dengan mengabdi sebagai seorang priyayi kecil sampai berpangkat panewu dengan nama Kyai Ranggawarsita I, kemudian beliau diangkat menjadi Kliwon (bupati anom) dan bernama R. Ng. Yasadipura II. Beliau merupakan seorang abdi yang sangat taat dan patuh pada perintah atasannya. Karier Yasadipura II terus meningkat hingga diangkat menjadi Bupati (bupati sepuh) dan beliau mendalami ilmu kasepuhan. Kemudian pada masa pemerintahan Pakubuana IV, Yasadipura II diangkat menjadi Bupati Carik menggantikan ayahnya yang telah meninggal dunia dan diberi nama Raden Tumenggung (RT) Sastranegara. Masa pemerintahan Pakubuwana IV terjadi perang Dipanegara. Secara diam-diam Pakubuwana IV membantu Pangeran Dipanegara dan semua suratsurat yang dikirim Pakubuwana IV kepada Pangeran Dipanegara disusun dan ditulis oleh R. Ng. Yasadipura II. Ketika Pangeran Dipanegara kalah dan ditangkap Belanda jelas Pakubuana IV tersangkut dengan hal tersebut, demikian juga dengan R. Ng. Yasadipura II sebenarnya juga akan ditangkap Belanda. Hal tersebut diurungkan karena yang mengakui telah membuat suratsurat untuk Pangeran Dipanegara adalah putra sulung R. Ng. Yasadipura II, yaitu M. Ng. Ranggawarsita II, sehingga putra beliaulah yang ditangkap Belanda dan diasingkan ke Jakarta.3 R. Ng. Yasadipura II wafat pada tahun 1844, pada saat itu keraton Surakarta Hadiningrat sedang dipimpin oleh Pakubuana VII.4 Adapun karya R. Ng. Yasadipura II selain Serat Bratasunu adalah;5 1. Serat Sanasunu yang berisi tentang etika masyarakat secara umum 2. Serat Panitisastra Jawa, yang berisi berbagai macam petunjuk yang bermanfaat bagi orang hidup 3. Serat Darma Sunya jarwa, berisi kefilsafatan yang sukar untuk diartikan 4. Serat Arjuna Sastra atau Lokapola
3
R. Ng. Yasadipura II, Serat Sana Sunu, alih bahasa: Jumaeri Siti Rumijah, (Yogyakarta: Kepel Press, 2001), hlm. xiv 4 Suparyadi, Kyai Priyayi di Masa Transisi, (Surakarta: Pustaka Cakra, 2001), hlm. 127 5 R. Ng. Yasadipura II, Op. Cit., hlm. xix
41
5. Serat Wicara Keras, berisi tentang rasa tidak puas pengarang terhadap keadaan zaman itu 6. Serat Kawidasanama Jarwa, sebuah karya sastra yang menerangkan tentang beda arti kata yang pada dasarnya mempunyai kesamaan makna. Selain mengarang karya-karya tersebut di atas, R. Ng. Yasadipura II juga menjadi salah seorang penyusun Serat Centhini bersama Rangga Sutrasna dan R. Ng. Sastradipura atau Haji Ahmad Ilhar yang merupakan tugas dari Pakubuwana V.6
B. Pokok Pemikiran R. Ng. Yasadipura II Tradisi sastra klasik yang berkembang di Indonesia, karya-karya yang ada mengarah pada sastra didaktis, sastra yang berpretensi pada masalah pengemban misi pendidikan, tuntunan dan ajaran. Kenyataan itu bisa ditemui dalam tradisi Jawa Klasik. Hal itu bisa dimaklumi, karena dalam tradisi sastra klasik, sastra memang sebagai alat. Bahkan ada yang lebih ektrem, dengan acuan yang terpenting adalah tujuan (ghayah) dari pada jalan atau alat (washilah). Konsepsi antara tujuan (ghayah) dan alat (washilah) itu menjadi tidak sehat dan mengganggu, ketika di antara keduanya ada yang mendapatkan posisi istimewa. Perlu ditegaskan, ketika kondisi realitas sudah hiperrealitas, maka pembongkaran pada dikotomi itu sebuah keharusan. Dengan mengandaikan dalam ghayah terdapat inti dari washilah dan sebaliknya. Sebab hasil akhir itu sangat dipengatuhi proses ‘menjadi’, bahkan ‘proses’ itu menjadi penentu. C. Isi Serat Bratasunu Kedatangan Islam sebagai suatu sistem nilai, jelaslah hal yang baru ketika itu. Sebelum itu, masyarakat Jawa (Nusantara) menganut agama Hindu 6
Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996), cet. 2, hlm. 151
42
dan Buddha, di samping nilai-nilai budaya asli. Sesuai dengan kondisi lingkungan dan struktur sosialnya, ajaran Islam itu lebih cepat tumbuh dan terintegrasi di masyarakat pesisiran. Kerajaan Majapahit ketika runtuh, berdiri Kerajaan Demak, maka pertumbuhan Islam semakin terasa hegemonik. Hal ini, selain faktor historis karena adanya peran para wali penganjur Islam, karena posisi Demak memang terletak di kawasan pesisiran. Hegemoni Demak disaat mulai surut dan pusat kekuasaan mulai bergeser ke selatan, maka mau tidak mau Islam harus berbagi kembali dengan nilai-nilai lama (Hindu, Buddha dan nilai-nilai lokal lainnya) yang masih dianut oleh masyarakat daratan (pedalaman) di Jawa. Salah satu hasil proses Islamisasi di Jawa yang cukup penting adalah lahirnya unsur tradisi keagamaan Santri dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Jawa. Tradisi keagamaan Santri ini bersama dengan unsur Pesantren dan Kyai telah menjadi inti terbentuknya Tradisi Besar (Great Tradition) Islam di Jawa, yang pada hakekatnya merupakan hasil akulturasi antara Islam dan tradisi pra-Islam di Jawa. Selain itu, Islamisasi di Jawa juga telah melahirkan sebuah tradisi besar Kraton Islam-Jawa, yang menjadikan keduanya, yaitu tradisi Santri dan tradisi Kraton, sebagai bagian (subkultur) yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Jawa. Kedatangan Islam ke Indonesia, khususnya ke Jawa telah membawa perubahan yang besar dalam pandangan manusia terhadap hidup dan dunianya. Bahkan Islam telah mengenalkan dasar-dasar pemikiran modern, seperti konsep waktu yang bersifat linier (hari ini, kemarin, dan esok) suatu progresi yang bergerak ke depan dan juga memperkenalkan Mekkah sebagai pusat ruang yang mendorong berkembangnya kebudayaan pesisiran dan membudayakan peta geografis.7 Karakteristik kebudayaan Jawa pada zaman Islam, baik zaman Demak, Pajang, maupun Mataram, masih tetap mempertahankan tradisi Hindu-Budha dan Animisme-dinamisme, tetapi telah diperkaya dan dimasukkan unsur-unsur Islam. Kepercayaan akan suratan nasib atau kodrat alam (takdir Tuhan) dan
43
ramalan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Jawa masa itu. Ini terkait dengan falsafah mistik yang mempercayai adanya orang-orang pilihan (Para Wali Allah) yang mampu menyingkap rahasia alam gaib dan mengetahu sesuatu yang akan terjadi, yang dalam bahasa jawa disebut waskitha.8 Zaman Islam, yakni sesudah zaman kerajaan Mataram, muncul bentu otonomi manusia yang dipengaruhi oleh ajaran tasawuf, yakni ajaran tentang insan kamil (manusia yang sempurna) yang dalam konteks mistik kejawen diungkapkan melalui konsep manunggaling kawula-gusti (union-mistik), yakni kebebasan manusia yang mutlak seperti kemutlakan tuhan. Tetapi otonomi manusia di sini tidak berkaitan dengan orientasi pemikiran ilmiah dan kemampuan manusia untuk menguasai alam serta membebaskan diri dari segala bentuk ikatan. Clifford Geertz, mengemukakan ajaran mistik di Jawa merupakan metafisika terapan, yang berisi serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin yang didasarkan pada analisa intelektual dan pengalaman empiris.9 Pengalaman spiritual adalah pengalaman yang sangat unik dan sangat individual sifatnya, sehingga kaidah-kaidah yang paling dogmatispun tak akan mampu memberikan hasil yang sama bagi individu yang berbeda. Perjalanan spiritual adalah proses panjang sebagi upaya manusia untuk pencapaian tataran-kahanan (strata, maqom) pembebasan, yaitu kemerdekaan untuk menjadi merdeka (freedom to be free) dari segala bentuk keterikatan dan kemelekatan serta kepemilikan yang membelenggu, baik yang bersifat jasmani maupun rohani, seperti dijalani oleh para penuntun spiritual dimasa lampau. Tujuan pencarian mistik dan sekaligus tujuan keagamaan orang jawa adalah pengetahuan tentang rasa tertinggi. Seseorng harus ngesti untuk mencapai keadaan mistik. Ngesti berarti menyatakan semua kekuatan individu dan mengarahkannya langsung kepada suatu tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya ke arah satu tujuan yang khusus. Hal ini 7
Simuh, Mistik Islam Kejawen R. Ng. Ranggawarsita, Jakarta: UI Press, 1998, hlm. 126 Ibid, hlm. 134 9 Purwadi, Sosiologi Mistik Ranggawarsita: Membaca Sasmita Jaman Edan, Persada, Yogyakarta, 2003, hlm. 239 8
44
meupakan penggalian mental secara terus menerus dalam pencarian pengertian yang didukung oleh kehendak yang tak tertahankan dan suatu penggabungan ke dalam satu keseluruhan sederhana dariberbagai kekuatan dalam individu. Semua indera, emosi bahkan seluruh proses fisik tubuh, semuanya dibawa ke dalam satu kesatuan dan dipusatkan kepada tujuan tunggal.10 Berkaitan dengan pengalaman mistik, Niels Mulder mengatakan bahwa jika manusia tunduk kepada Tuhan dan setia mempraktekkan mistik dengan kepercayaan yang penuh, harmoni dan menyatu dengan tujuan kosmos, akan menimbulkan kondisi-kondisi moral dan material bermanfaat di dunia ini. Masyarakat menjadi teratur, adil dan makmur serta menunjukkan hubungan yang harmonis dengan alam adikodrati (Niels Mulder, 1984: 15). Besarnya pengaruh tradisi Islam dalam budaya Jawa sebagaimana tersebut diatas, maka tidak mengherankan banyak karya-karya sastra Jawa yang memiliki warna Islam, salah satunya adalah Serat Batasunu karya R. Ng. Yasadipura II. Serat Bratasunu sebagai salah satu karya sastra yang bersifat piwulang, berisi pemikiran etika yang menjelaskan kehidupan manusia, baik manusia sebagai individu maupun manusia sebagai makhluk sosial. Secara garis besarnya, etika yang ditawarkan oleh Yasadiupura II melalui Serat Bratasunu adalah etika anak terhadap orang tua dan rakyat terhadap pemimpinnya. Melalui karyanya ini, Yasadipura II menegaskan bahwa ketaatan seseorang terhadap orang yang lebih tua merupakan sebuah konsekuensi logis dari penciptaan. Hal ini ditegaskan dalam pupuh 1: 2; “Paningulun, amilire sira sagung, kawulaning Allah, padha bektiya si reki, kang duweni parentah marang ing sira”. (Sebagai makhluk Allah, berbaktilah kalian semua kepada memerintah terhadap kamu).
10
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Terj. Aswab Mahasin, Pustaka Jaya, Jakarta, 1981, hlm. 430
45
Perpijak pada paradigma tersebut, Yasadipura II memberikan beberapa persoalan yang perlu diperhatikan oleh anak ataupun para bawahan. Persoalan tersebut adalah taat kepada orang tua. Dalam pandangan Yasadipura II, orang tua dapat dikatakan sebagai ratu atau raja yang tidak memiliki Negara sebagaimana terlihat dalam pupuh 1: 8; “Sebab iku, iya ratu jenengipun, minongko panutan, Bapa Biyung Kaki Nini, iya Ratu dudu kang duwe Negara”. (Sebab itu juga Ratu namanya. Sebagai panutan, bapak, ibu, kakek, nenek adalah ratu yang tidak memiliki negara) Sebagai seorang raja yang menjadi panutan, oleh karenanya orang tua harus mengajari persoalan kebaikan untuk menuju pada kehidupan yang baik. Anjuran ini dapat dilihat dalam pupuh 1: 9; “Tegesipun, marmane ingaran Ratu, pan Ratu winenang, lire wenang mala gitik, wenang muruk panggawe mulya lan harja”. (Maksudnya, yang namanya ratu memiliki wewenang yaitu wewenang untuk mengusir kejelekan, wewenang mengajari perbuatan mulya dan raharja) Melaksanakan segala perintah orang tua, anak harus melakukannya dengan segala keikhlasan karena dalam setiap perintah orang tua tidak ada kejelekannya. Walaupun perintah tersebut jelek, kalau dilakukan secara benar akan berbuah kebaikan. Pendapat ini tertuang dalam pupuh 1: 13; “Durung surup, kasusu atine lengus, nadyan muruk ala, yen temen siro lakoni, nora mengeng ala dadi becik uga”. (Belum senja, terburu-buru hatinya menjadi panas. Meski mengajari yang buruk, kalau benar-benar kamu lakukan tidak melarang kejelekan akan menjadi baik juga) Yasadipura II melalui Serat Bratasunu melihat bahwa segala perintah orang tua adalah demi kebaikan. Namun demikian, bukan berarti Yasadipura II tidak menganjurkan kepatuhan yang membabi buta. Melalui karyanya ini,
46
Yasadipura II diantaranya mengatakan bahwa kepatuhan terhadap orang tua harus dilakukan tanpa perasaan bimbang (pupuh1: 12), tidak terburu-buru (pupuh 1: 13). Sedangkan mengenai kepatuhan anak terhadap orang tua ini dapat dimanifestasikan dalam bentuk Larangan untuk membantah (1: bait 18). Mentaati segala perintah orang tua maka diharapkan akan muncul keberuntungan (1: bait 20), mudah dalam berfikir dan terkabul segala yang diinginkannya (1: bait 21). Pada dasarnya, yang menjadi landasan utama Yasadipura II mengenai etika anak terhadap orang tua adalah ketaatan yang akan menuntun kepada kebahagiaan. Hal ini ditegaskan dalam pupuh pertama bait 22 yang menyatakan bahwa; “Sebab mau, bangunturute kang nuntun, teka lan rekasa, sawab nampang gumalinding, saya wuwuh-wuwuh malah tumpa-tumpa”. (Ketaatan yang menuntun, sampai pada tujuan tanpa megalami kesusahan, kesialan hanya menggelinding, semakin taat justru semakin tambah) Pupuh kedua bait 1 Yasadipura II menegaskan bahwa dengan mentaati orang tua, maka manusia akan mendapatkan kebahagiaan, banyak rizki karena adanya do’a dari orang tua. Do’a orang tua muncul dari kelapangan hati dan kesucian hati sehingga dari sini do’a tersebut pada akhirnya juga akan menjadi tuntunan yang baik. Semua itu merupakan bukti kemurahan Allah, sebagaimana tertuang dalam pupuh kedua bait 4; “Beja dahulat kang rawuh, wuwuh-wuwuh saben ari, rinaket ing kanugrahan, dumalundung gelis dadi, kadadeyan ing lam donya, kamurahaning hyang widhi”. (Untung dahulat yang datang, tiap hari melekat dalam anugerah, menggelinding segera jadi, kejadian di alam dunia, kemurahan Hyang Widhi) Lebih lanjut Yasadipura II memberikan sedikit rincian mengenai perilaku yang harus dilakukan anak terhadap orang tua, yaitu berkata baik dan menurut. Ketaatan anak (bawahan) kepada orang tua (atasan) dalam pandangan Yasadipura seperti benda yang mengapung di atas air, mengikuti kemana arus tersebut mengalir tanpa mengeluh. Sedangkan yang dimaksud
47
dengan berbakti oleh Yasadipura II dalam Serat Bratasunu adalah merendahkan diri secara lahir maupun batin.