SERAT DEWA RUCI (Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SKRIPSI
Oleh : EDWIN K44O6019
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
commit to user
SERAT DEWA RUCI (Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Oleh :
EDWIN K 4406019
SKRIPSI Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAK
Edwin. SERAT DEWA RUCI (Studi Pemikiran Tasawauf Yasadipura I). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Biografi Yasadipura I, (2) perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Serat Dewa Ruci dalam konteks religi masyarakat Jawa, (3) Pemikiran tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci. Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yang digunakan adalah sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder berupa buku-buku, jurnal, surat kabar. dan internet. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan studi pustaka. Tehnik analisis data dengan menggunakan analis historis dan kritik sastra. Prosedur penelitian dengan melalui empat tahap kegiatan yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari raja Pajang Hadi Wijaya. Ia adalah anak Tumenggung Padmanagara, seorang bupati/jaksa Pengging pada masa Paku Buwana II. Suasana kehidupan istana dan pesantren terlihat berpengaruh pada sosok kepribadian dan alam pikiran Yasadipura I. Semasa hidupnya mengabdi pada 3 raja (Paku Buwana II s/d Paku Buwana IV). Banyak karya sastra yang telah dihasilkan baik yang berupa gubahan, terjemahan, maupun karangannya sendiri. (2) Dalam konteks religi masyarakat Jawa, Serat Dewa Ruci merupakan representasi terbaik dari wacana mistisisme Jawa. Di dalamnya filsafat hidup Jawa yang didasarkan pada bentukbentuk spiritualitas atau mistisisme yang sinkretik tergambar dengan jelas. Bagi masyarakat Jawa, khususnya kalangan kesepuhan menganganggap isi Serat Dewa Ruci cukup berbobot untuk digunakan sebagai bahan renungan perihal hakikat kehidupan, yaitu kawruh sangkan paraning dumadi atau dari mana dan kemana tujuan hidup manusia itu.(3) Pemikiran Yasadipura I tidak terlepas dari pengaruh tradisi kejawen dan pesantren. Pemikiran sinkretik Yasadipura I salah satunya tercermin di dalam Serat Dewa Ruci. Sufisme yang dirumuskan Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci terbagi dalam empat tingkatan yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.
commit to user
ABSTRACT
Edwin. Serat Dewa Ruci (A Study Tasawuf Thought of Yasadipura I). Thesis. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education, Sebelas Maret University, Surakarta, Januari 2011. The purpose of this research are to described: 1) Thedigilib.uns.ac.id biography of perpustakaan.uns.ac.id Yasadipura I, 2) Relation of Serat Dewa Ruci and Javanesse religion, 3) Tasawuf thought of Yasadipura I in the Serat Dewa Ruci. This research uses historical method. Source data uses primary written text source and secondary written text source such as journal, newspaper, and internet. Data collecting uses document study and book study. Data analysis technique uses historical analysis and literature criticism. Research procedure divided into 4 ways: heuristics, critics, interpretations, and historiography. Based on the result of research, it can be concluded: 1) Yasadipura I is the 8th descendent from king of Pajang Hadi wijaya. He is a son of Tumenggung Padmanegara who is a mayor/district attorney under Paku Buwana II conqueror. Situation internal lives in the castle and Islamic boarders is affecting Yasadipura I personality and philosophy. He worked under 3 kings in his life (Paku Buwana II – Paku Buwana IV). He made a lot of works such as oeuvres, translations, or his own literature works. 2) In the context of Javanese religion, book of Serat Dewa Ruci is the best representation for Javanese mystical idea. It contained the philosophy of Javanese lives based on the form of spiritual or mystical well synchronized. For Javanese, especially for internal lives in the castle consider contains of Serat Dewa Ruci can be considered as the material for reflecting about nature of life, that is kawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen (the mysticism associated with the Javanese view of the world) and Islamic boarders scope. One of the Yasadipura I synch philosophy can be found in the Serat Dewa Ruci. Sufism maintained by Yasadipura I in Serat Dewa Ruci divided into 4 stage, that is: syariat ,tarekat, hakikat, and makrifat.
commit to user
MOTTO
Ngelmu iku kelakone kanthi laku (Serat Wedhatama Pupuh Pocung bait I) Man’arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu Barang siapa mengenal dirinya maka dia telah mengenal Tuhannya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (Ihya Ulumuddin-Al Ghazali)
commit to user
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk orang-orang yang sangat berarti dan memberi arti dalam kehidupan penulis. perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tanpa mengurangi rasa syukur kepada Allah SWT karya sederhana ini kupersembahkan untuk: 1. Bapak dan Ibu tercinta, 2. Mas Yohannes 3. Almamaterku
commit to user
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan serta dorongan dari berbagai pihak. Atas jasa yang telah diberikan maka perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui permohonan skripsi ini. 3. Ketua Program pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini. 4. Dr. Hermanu Joebagio, M. Pd, selaku Pembimbing I yang telah mengukir landasan pemikiran penulis serta tak henti-hentinya memberi dukungan, doa, bimbingan dan sumbangan pemikiran sehingga tergugah untuk segera menyelesaikan studi ini. 5. Drs. Tri Yunianto, M. Hum. selaku Pembimbing II sekaligus yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. 6. Drs. Herimanto M. Pd, M. Si, selaku Pembimbing Akademik, yang telah banyak memberi bimbingan dan pengarahan selama penulis menuntut studi di Program Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. 7. Bapak-Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. 8. Drs. Supardjo, M. Hum, selaku Kepala Yayasan Sastra yang telah memberikan izin penelitian di Yayasan Sastra, sehingga skripsi ini terselesaikan.
commit to user
9. Bapak dan Ibu yang tak pernah sepi dan berhenti dalam doa. 10. Saint of My Life, yang selalu menuntunku disaat ku tak tau arah, yang memberi semangat dan motivasi disetiap inci langkahku, yang selalu memberi inspirasi disaat pemikiranku kering. 11. Mas Yohannes (Mahasiswa Pendidikan Sejarah Angkatan 2002) terima kasih atas perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id wacana, diskusi, serta rangsangan berpikirnya selama proses penulisan skripsi ini. 12. Captain Jack, Seruan pesan yang termuat dalam lagu “PAHLAWAN” menyadarkanku bahwa dalam hidup “Tak ada penolong, Tak ada penyelamat, Kita adalah Pahlawan bagi diri kita”. 13. “Deary Depresiku” dan “Tembok Ratapanku”, yang sekian lama menjadi media keluh kesahku saat aku menemukan monolog yang tak terjawab dalam proses penulisan skripsi ini. 14. Bala Kurawa Pendidikan Sejarah Angkatan 2006, letupan semangat kalian adalah limpahan energi positif yang merangsang dan menggugahku untuk segera menyelesaikan studi ini. 15. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebut satu persatu. Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis dengan segala kerendahan hati , mengharapkan sumbang saran dan kritik untuk kesempurnaan skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Surakarta, Januari 2011
Penulis
commit to user
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .......................................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN ............................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iv ABSTRAK .......................................................................................................
v
HALAMAN MOTTO .....................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN .....................................................................
viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................
ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xiii
BAB I
BAB II.
BAB III.
PENDAHULUAN ....................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................
1
B. Perumusan Masalah ............................................................
8
C. Tujuan Penelitian ................................................................
9
D. Manfaat Penelitian ..............................................................
9
LANDASAN TEORI ................................................................
7
A. Kajian Teori ........................................................................
10
1. Akulturasi Islam-Jawa ...................................................
10
2. Tasawuf ..........................................................................
16
3. Manunggaling Kawula Gusti ........................................
24
B. Kerangka Berpikir ...............................................................
29
METODOLOGI PENELITIAN ................................................
31
A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................
31
B. Metode Penelitian ...............................................................
32
C. Sumber Data ........................................................................
34
D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................
37
E. Teknik Analisis Data ...........................................................
38
F. Prosedur Peneliitian ............................................................
41
commit to user
BAB IV.
HASIL PENELITIAN ...............................................................
46
A. Riwayat Hidup dan Karya R.Ng. Yasadipura I...................
46
1. ................................................................................. Riwayat Hidup Yasadipura I ........................................................
46
2. ................................................................................. Karya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Yasadipura I ................................................................... 52 B. Serat Dewa Ruci dalam konteks Religi Masyarakat Jawa ..
54
1. Esensei Serat Dewa Ruci .................................................
54
2. Konversi Serat Dewa Ruci ...............................................
56
3. Historitas dan Latar Belakang Terciptanya Serat Dewa Ruci...............................................................
63
4. Perbandingan Kitab Nawaruci dengan Serat Dewa Ruci
68
5. Serat Dewa Ruci dalam Konteks Penghayatan Keagamaan Masyarakat Jawa .........................................
71
C. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I ........................................
77
1. ................................................................................. OrangOrang yang berpengaruh dalam pemikiran Yasadipura I ..................................................
77
2. ................................................................................. Pengaru h Tasawuf Islam dan Tradisi Kejawen ...........................
80
3. ................................................................................. Sufisme Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci ............................
82
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ...........................
113
A. Kesimpulan ..........................................................................
113
B. Implikasi...............................................................................
115
C. Saran ....................................................................................
115
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
117
LAMPIRAN ....................................................................................................
121
BAB V.
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN Halaman LAMPIRAN 1
Naskah Serat Dewa Ruci karya Yasadipura I ....................
121
LAMPIRAN 3
Silsilah Yasadipura I ..........................................................
164
LAMPIRAN 4 Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ......................... 165 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id LAMPIRAN 5 Surat Permohonan Ijin Research/ Try Out ......................... 166 LAMPIRAN 6 LAMPIRAN 7
Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Tentang Ijin Menyusun Skripsi ......................
167
Surat Keterangan Pengumpulan Data ................................
168
commit to user
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Proses masuknya Islam merupakan suatu proses yang sangat penting di dalam perpustakaan.uns.ac.id sejarah bangsa Indonesia. Khususnya dalam proses Islamisasi di Pulaudigilib.uns.ac.id Jawa memiliki sejarah yang cukup lama. Mengenai kapan, mengapa, dan bagaimana Islam masuk ke Jawa belum dapat diketahui secara pasti. Minimnya peninggalan tertulis dan sumber yang tidak informatiflah yang menyebababkan timbulnya perbedaan pendapat di kalangan pakar (sejarawan). Menurut B.J.O Schrieke, proses Islamisasi di Pulau Jawa diperkirakan mulai pada tahun 1416 M. Pendapatnya ini didasarkan pada berita MaHuan (seorang muslim Cina) yang ditulis dalam buku berjudul Ying-yai Sheng-Lan (peninjauan tentang pantai-pantai Samudra) ditulis pada tahun 1451M. Dalam laporannya disebutkan tentang orang-orang Islam dari Barat (Arab, Persia, Gujarat) atau Cina (sudah memeluk Islam). Hal ini dibuktikan dengan adanya daerah-daerah pesisir, terutama di dekat pelabuhan, telah terjadi Islamisasi dan terbentuknya masyatarakat muslim dari berbagai ras. Sedangkan menurut J.P.Moquette, kedatangan Islam di Jawa lebih awal, ini dibuktikan dengan penemuan prasasti batu nisan seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun di Leran Gresik, yang berangka tahun 475 H, atau 1082 M. Dari keterangan itu diindikasikan bahwa proses Islamisasi telah meluas di daerah Jawa Timur pada khususnya dan Pulau Jawa pada umumnya. Pendapat J.P. Moquette didasarkan atas peninggalan paling kuno sejarah yang menyebutkan telah ada bukti (orang) Islam di Jawa. Demikian pula sejak akhir abad ke 11 hingga abad ke 13 banyak sekali dijumpai peninggalan kepurbakalaan yang berbau Islam, disini dibuktikan dengan penemuan makam di Troloyo, Trowulan, dan Gresik (Dhanu Priyo Prabowo, 2003: 10-11). Menurut Ricklefs (1995 : 3) ada dua proses kemungkinan Islam masuk ke Jawa. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab, India, Cina) yang telah memeluk agama Islam secara tetap di suatu wilayah Indonesia, kawin dengan
commit to user
penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi orang Jawa. Koentjaraningrat (1983:48) lebih condong pada pendapat atau kemungkinan yang ke dua bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui kerajaan yang baru muncul di pantai barat jazirah Melayu yaitu kerajaan Malaka. Dalam abad ke-14, ketika perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kekuasaan Majapahit menurun, maka rute perdagangan yang melalui kepulauan Nusantara dikuasai Malaka. Pelabuhannya sering dikunjungi oleh pedagangpedagang dari Gujarat serta dari Persia. Sambil berdagang, para pedagang ini memasukkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat. Ada juga hipotesa lain yang tentang masuknya Islam ke Jawa. Menurut A.H. John, dikatakan bahwa Islam masuk ke Jawa berkat usaha agen-agen sufi yang datang ke Indonesia. Mereka adalah adalah para wali yang terhimpun dalam satu lembaga dakwah yang terkenal dengan Wali Sanga. Mereka bukan saja pembuka babak baru Islam di Jawa, tetapi mereka juga menguasai zaman berikutnya yang kemudian dikenal dengan zaman kewalen (zaman wali). (Abdurahman Mas’ud (2004 : 48). Berbeda dengan penyebaran Islam di luar Jawa yang relatif cepat, di Jawa Islam menghadapi suasana kompleks dan halus yang dipertahankan oleh para penguasa/raja. Oleh karena itu perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan kebudayaan. Pertama, budaya petani lapisan bawah yang merupakan bagian terbesar yang masih dipengaruhi oleh animisme –dinamisme. Kedua, tradisi Istana yang merupakan tradisi agung yang merupakan unsur filsafat Hindhu-Budha yang diperhalus budaya lapisan atas (Zaini Muchtarom, 1997 : 20-21). Pada tahap awal kedatangan Islam di Jawa, penyebaran Islam tidak mampu menembus benteng kerajaan Hindhu yang kejawen. Penyebaran Islam harus merangkak dari kalangan bawah, yaitu daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisir yang ada pada akhirnya melahirkan komunitas baru yang berpusat di pesantren. Watak penetrasi dakwah Islam yang damai dan. mengajarkan nilai persamaan (equality) menjadi pemicu Islam mudah diterima oleh masyarakat kecil, dengan jalan tersebut Islam mulai perlahan-lahan merembes wilayah-wilayah pesisir lainnya dan pedalaman. Pada tahap ini para wali memegang peranan penting di dalam penyebarannya tersebut.
commit to user
Peran Wali Sanga semakin terlihat dominan sekali dalam proses pembentukan negara Islam pasca Majapahit. Dengan bedirinya Kerajaan Demak para wali mencoba membentuk struktur kekuasaan kerajaan agar lebih kuat dengan jalan membangun sebuah masjid Agung. Dan tahap selanjutnya para wali membangun Masjid Agung Demak, oleh para wali peran masjid disini sebagai pusat kekuasaan bagi Negara baru perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (Demak) dan dalam proses Islamisasi dapat digunakan sebagai sosialisasi media dakwah. Media dakwah Wali Sanga pada waktu itu sangat intens dengan menggunakan ajaran tasawuf. Hal ini dikarenakan mengingat latar belakang sosiologis masyarakat Jawa yang masih lengket dengan agama dan kepercayaan sebelumnya. Lebih lanjut lagi sikap toleran tanpa mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, menunjukkan pendekatan yang dilakukan oleh Wali Sanga tergolong brilian. Oleh sebab itu ajaran Islam masuk ke Jawa mudah diterima karena pendekatan-pedekatan yang dilakukan Wali Sanga tidak njlimet dan menyatu dalam kehidupan masyarakat. Upaya Islamisasi yang ditempuh oleh Wali Sanga sesungguhnya merupakan ekpresi Islam kultural yang merupakan proses yang tak berujung yang membutuhkan waktu yang demikian panjang, proses gradual, dan berhasil dalam wujud satu tatanan kehidupan masyarakat yang saling damai berdampingan atau peaceful coexisten. Istilah terakhir ini merupakan ciri utama dalam filsafat Jawa yang menekakan kesatuan, stabilitas, keamanan, dan harmoni (Abdurrahman Mas’ud, 2004: 58). Itu terlihat dalam model dakwahnya, pengislaman itu terjadi secara damai karena metode yang digunakan oleh para Wali dalam berdakwah sangat akomodatif dan lentur, yakni menggunakan unsur-unsur budaya lama, tapi secara langsung memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam unsur-unsur lama.. Berkembangnya ajaran tasawuf di Jawa secara intens dimungkinkan karena ajaran-ajaran tasawuf memiliki kesamaan dengan konsep mistik di kalangan masyarakat Jawa sendiri yang berupaya mempertahankan kepercayaan Raja Titising Dewa yang serba magis dan sarat dengan mistik. Mistik bagi kalangan masyarakat Jawa merupakan inti terdalam yang menjiwai dan mewarnai seluruh apek kehidupan kebudayaan Jawa sehingga dalam pandangan dunia Jawa budaya lahir dan batin mendapat posisi yang strategis, terutama berkaitan dengan penghayatan dalam bentuk
commit to user
pengalahan unsur-unsur lahir untuk dapat memurnikan aspek batiniah dan bersatu kembali pada tingkat yang tertinggi. Untuk mencapai hakikat itu berarti mengusahakan keteraturan jagad gedhe (makrokosmos) dengan jagad cilik (mikrokosmos), dalam arti yang lebih mendalam kesatuan antara manusia dengan Tuhan (manunggaling kawula gusti) perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Perkembangan Islam di Jawa dalam proses seiring diikuti mengalirnya kesusastraan Islam dari Aceh terutama pada abad 16 dan 17. Adanya hubungan yang sangat signifikan, Islamisasi pada saat itu mendorong berkembangannya sastra Islam Melayu. Sastra Melayu Islam yang berkembang merupakan mercusuar pemikiran intelektual. Proses Islamisasi Jawa sendiri semakin intens ketika mendapat pengaruh sastra Melayu Islam, dan kemudian melahirkan kepustakaan Islam Jawa. Mengalirnya kepustakaan Islam, ternyata dengan cepat mempengaruhi perkembangan tradisi dan kepustakaan Jawa. Kepustakaan Islam Jawa ini berkembang dengan pesat ketika runtuhnya kerajaan Majapahit atau munculnya kerajaan Islam Demak yang pada waktu itu dari pihak Wali Sanga dengan basis pesantrennya. Pengaruh kepustakaan Islam menimbulkan jenis kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa dengan hal-hal keislaman. Jenis kepustakaan yang isinya mempertemukan ajaran Islam dengan tradisi Jawa misalnya: serat, suluk dan wirid. Kepustakaan Jawa yang memuat ajaran-ajaran Islam, Simuh namakan Kepustakaan Islam Kejawen (Simuh, 1988:9) Dalam sastra Islam Kejawen, unsur-unsur Islam terutama kearifan sufistik (tasawuf), ajaran budi luhurnya diambil oleh para sasrawan Jawa, untuk mengembangkan, memperkaya, dan mengislamkan warisan sastra Jawa zaman Hindhu. Sebaliknya dalam sastra Jawa pesantren, bahasa dan sastra dijadikan wadah atau sarana untuk memperkenalkan ajaran Islam, unsur agama dan syariat menjadi inti ajaran yang sangat dihargai (Simuh, 2004 : 37). Dalam perkembangannya sastra Jawa pesantren tidak sesubur pertumbuhan sastra Islam Kejawen. Hal ini dikarenakan yang berkembang di Jawa adalah paham sufisme Al-Ghazali yang ortodoks, sehingga pengkajiannya hanya sebatas pada
commit to user
penerus ilmu-ilmu yang telah ada. Sastra Jawa Islam yamg tertua yaitu buku Bonang, yang didalamnya unsur gaya pesantren sangat kental sekali. Kepustakaan Islam Kejawen berkembang cukup intens ketika pusat-pusat pemerintahan berpindah ke daerah pedalaman. Berdirinya kerajaan Mataram Islam ternyata lebih menyuburkan perkembangan kepustakaann Islam Kejawen. Kalangan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id istana sendiri berkepentingan mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam. Kepentingan itu adalah untuk mengesahkan (legitimasi) kekuasaan raja. Terutama dalam bidang sastra yang bukan semata-mata sebagai penghibur, melainkan menunjukan kebesaran para raja. Sultan Agung merupakan pelopor kebangkitan sastra Islam Kejawen. Menurut Ricklefs (1998 : 470), Sultan Agung adalah penguasa muslim yang saleh. Pada masanya kraton ditempatkan menjadi leading agents of Islamisation, sekaligus menjadikan Islam sebagai wadah rekonsiliasi budaya Jawa. Ini berarti Istana dijadikan pusat studi Islam dan Islam sebagai alat legitimasi politik. Sebagai seorang raja besar, Sultan Agung ternyata mempunyai wawasan luas terhadap perkembangan budaya, sehingga bisa merangkum berbagai kearifan yang ada. Beliau benar-benar bertindak sebagai narendra binanthara, mbau dhendha nyakrawati, ambeg adil paramarta, memayu hayuning bawana. Dalam rangka membangun koalisi permanen, dengan arif bijaksana Sultan Agung memperpadukan tradisi Pesantren dengan Tradisi Kejawen dalam hal penghitungan tahun. Yakni dengan mengubah perhitungan tahun Jawa disesuaikan dengan kalender Hijriah sebagai pengganti tahun Saka atau yang lebih dikenal dengan nama Anno Javanico. Adanya unsur perpaduan tersebut dengan sendirinya makin menyuburkan kepustakaan mistik Islam Kejawen. Selain itu, merupakan dorongan langsung dalam rangka Islamisasi kebudayaan dan kepustakaan Jawa. Sultan Agung kecuali sebagai raja, juga mendapatkan julukan sebagai pujangga besar. Karya-karya Sultan Agung misalnya Sastra Gendhing, Kitab Nitipraja, dan Serat Pangracutan. Pada zaman Karatasura (1680-1744) bermunculan pertumbuhan Islam Kejawen, yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur agama Islam. Dari Hikayat Amir Hamzah yang terdapat dalam kepustakaan Melayu digubah menjadi Serat Menak, dalam bahasa Jawa bersekar macapat. Selain itu juga ada penulisan
commit to user
Serat Kandha yang isinya mempertemukan mitologi dari dewa-dewa Hindhu dengan riwayat nabi-nabi Islam (Simuh, 1998 : 24). Sejak beralihnya keraton Kartasura ke Surakarta, pertumbuhan kepustakaan Islam Kejawen mengalami keemasan. Hal itu tak terlepas dari krisis multi dimensi yang terjadi pada masa Mataram yang menyebabkan kerajaan ini terpecah menjadi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id empat, yaitu: Kraton Surakarta, Kraton Yogyakarta, Pura Mangkunagaran, dan Pura Pakualam. Para raja Jawa dan elite pribumi sudah tidak mempunyai kekuatan yang berarti, kedudukan raja hanya sebagai simbol belaka, tanpa adanya kekuasaan politik dan hal ini mereka atasi dengan mengalihkan perhatian politik ke arah sastra, seni, budaya yang bermutan etika dan mistisme (Purwadi, 2002 : 159). Perkembangan dalam lapangan kesusaatraan pada zaman Surakarta yang sedemikian indah, menurut G.W.J. Drewes menilai sebagai masa renaissance of modern javanase letters, yaitu masa kebangkitan kepustakaan Jawa baru) (Simuh, 1998 : 25). Perkembangan ini didapat dengan jalan menggubah kitab-kitab Jawa Kuno ke dalam bahasa Jawa Baru. Kemudian diikuti dengan penyusunan karya-karya baru, memanfaatkan perbendaharaan yang terdapat dalam kepustakaan Islam, mengolah unsur-unsur ajaran Islam yang terdapat dalam kepustakaan Melayu, atau mengambil dari kepustakaan pesisir, di mana bahasa daerah tersebut masih kasar dan kemudian diperhalus dalam gubahan pujangga-pujangga istana. Kepustakaan pesisir yang timbul di sekitar daerah pesantren, dengan demikian ikut terpengaruh oleh unsurunsur ke-Islaman. Suatu hal yang amat menarik ialah, pihak istana mempunyai perhatian yang besar terhadap perkembangan bahasa, kesusastraan dan berbagai cabang kesenian. Disini peran priyayi di kraton yang memilki wawasan yang sangat luas, terbuka, dinamis dan cepat menerima dan mengolah unsur-unsur budaya dari manapun datangnya, peran ini semakin nyata dalam birokrasi kraton terdapat pujangga yang sangat intens memajukan kebudayaan Jawa. Dalam dunia kepujanggaan Surakarta, tidak lepas dari jasa tiga orang pujangga besar, yang ketiganya berasal dari satu keluarga yaitu: Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita. Keberadaan Yasadipura I memberikan kesan tersendiri bagi perkembangan sastra Jawa. Dalam kapasitasnya sebagai seorang
commit to user
pujangga istana, Yasadipura I adalah founding father (pioner) munculnya kesusastraan Jawa baru, sehingga Yasadipura I menjadi tokoh fenomenal dalam dunia kepujanggaan Surakarta (Dhanu Priyo Prabowo, 2003:24). Menurut
Arief Furchan dan Agus Maimun (2005: 12), seseorang bisa
dianggap tokoh, paling tidak mempunyai empat indikator, yaitu berhasil dalam perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id bidangnya, mempunyai karya-karya monumental, mempunyai pengaruh dalam masyarakat, dan ketokohannya diakui secara mutawatir. Dalam posisi ini Yasadipura I sudah memiliki keempat aspek tersebut. Yasadipura I berhasil dalam bidang kebudayaan Jawa. Beliau berhasil mengembangkan kebudayaan Jawa melalui wahyu kepujanggannya, mengenai karya monumentalnya disini banyak diwariskan kepada generasi penerus selanjutnya berupa karya tulisnya. Ketokohan Yasadipura I juga mempunyai pegaruh yang dominan terutama bagi masyarakat Jawa, segala pemikirannya maupun aktifitasnya dijadikan rujukan dan panutan dalam masyarakat sesuai dengan bidannya. Selain itu ketokohannya diakui secara mutawatir, artinya dengan adanya kekurangan dan kelebihannya, sebagian masyarakat memberi apresiasi yang positif terutama hasil karyanya. Yasadipura tidak saja sosok yang punya ide-ide yang cerdas tetapi pemikirannya atau gagasannya telah menjadi rujukan banyak orang. Dalam pola pemikirannya, Yasadipura I tidak lepas dari budaya Jawa dan unsur Islam (pesantren). Seperti halnya pujangga kraton Surakarta lainnya yang umumnya berlatar belakang santri, Yasadipura I biasanya memasukkan kesusastraan suluk dari pesantren yang kemudian dipadukan dengan unsur Javanisme yang berbau mistis, dan hal itu terlihat dari berbagai hasil karyanya. Salah satu karya monumentalnya yang bernafaskan
ajaran tasawuf yang mempertemukan tradisi Jawa- Hindhu dengan
unsur Islam yaitu Serat Dewa Ruci. Serat Dewa Ruci yang digubah Yasadipura I pada masa awal kraton Surakarta, secara historis berkaitan dengan kitab Nawaruci karya Empu Siwamurti pada jaman akhir kerajaan Majapahit. Kitab Nawaruci merupakan karya sastra mistik Jawa yang terpengaruh ajaran agama Hindhu, kemudian oleh Yasadipura I digubah sedemikian rupa dengan memasukkan unsur-unsur Islam didalamnya (Purwadi, 2002: 160).
commit to user
Sampai sekarang Serat Dewa Ruci masih sangat populer di kalangan masyarakat Jawa. Popularitas Serat Dewa Ruci dalam masyarakat Jawa dapat diketahui melalui variasi naskah tertulis yang banyak disalin. Banyaknya variasi naskah tersebut menunjukkan bahwa masyarakat cukup responsif dan apresiatif. Kecuali dalam bentuk naskah, lakon Dewa Ruci merupakan lakon favorit. Lakon perpustakaan.uns.ac.id Dewa Ruci termasuk lakon utama yang terlintas dalam pikiran, digilib.uns.ac.id ketika masalah kebatinan dalam wayang disebut. Selain itu keistimewaan Serat Dewa Ruci terletak pada ajarannya. Dalam Serat Dewa Ruci tersebut terdapat ajaran tertinggi dalam hidup yaitu manunggaling kawula gusti yang merupakan konsepsi hubungan tertinggi manusia dengan Tuhan yang menjadi pijakan menuju insan kamil (manusia sempurna). Sufisme yang dirumuskasn Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci memperlihatkan intregitas ajaran syariat, hakikat, tarekat, dan makrifat. Berdasar latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti secara mendalam tentang masalah tersebut dalam penulisan skripsi dengan judul “Serat Dewa Ruci ( Studi pemikiran Tasawuf Yasadipura I)”.
B. Rumusan Masalah Kupasan atau analisis tuntas terhadap suatu objek, diperlukan rumusan permasalahan yang akan dibahas, agar pendekatan beserta pembahasannya lebih fokus dan jelas arah pembicaraannya. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam ini skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana biografi R.Ng Yasadipura I? 2. Bagaimana isi Serat Dewa Ruci dalam konteks religi masyarakat Jawa? 3. Bagaimana pemikiran tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini, adalah untuk menjawab rumusan masalah di atas: 1. Mendiskripsikan biografi R.Ng Yasadipura I. 2. Mengetahui isi Serat Dewa Ruci dalam konteks kehidupan religi masyarakat Jawa. 3. Mengetahui pemikiran tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci
commit to user
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: a. Menambah khasanah pengetahuan ilmiah yakni memberikan sumbangan tentang pengaruh Serat Dewa Ruci (Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis khusunya dan pembaca umumnya tentang sufisme.
2. Manfaat Praktis Secara praktis atau aplikasi, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Pendidikan Program Sejarah Fakultas Keguruan dan Pendidikan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. b. Dengan penelitian ini diharapkan, memberi isyarat persuasif kepada pembaca agar selalu eling waspada dan bersahaja, mengendalikan diri mengurangi kenikmatan badaniah duniawi, bersedia Lara Lapa Tapa Brata dan bersyukur meskipun berkesempitan untuk mencapai tujuan kehidupan yang Khusnul Khatimah .
commit to user
BAB II LANDASAN TEORI B. Kajian Teori 1. Akulturasi Islam-Jawa perpustakaan.uns.ac.id
a. Akulturasi
digilib.uns.ac.id
Kebudayaan akan mengalami suatu perubahan. Perubahan kebudayaan tersebut merupakan gerak dari manusia yang hidup dalam masyarakat, sebagai wadah kebudayaan yang bersangkutan. Gerak manusia terjadi oleh adanya hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat. Gerak dan perubahan berasal dari pengalaman baru, pengetahuan baru, tehnologi baru dan akibatnya dalam penyesuaian cara hidup dan kebiasaan dari situasi baru. Sikap mental dari nilai budaya turut dikembangkan guna keseimbangan dan integrasi baru. “Perubahan kebudayaan yang intensif terjadi karena akulturasi dan asimilasi’’ (Sidi Gazalba, 1969: 321). Menurut Soerjono Soekanto (1982: 186) akulturasi merupakan proses dimana suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu, dihadapkan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan dihilangkannya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Menurut Sidi Gazalba (1969) akulturasi adalah proses yang terjadi manakala sekelompok manusia pendukung kebudayaan, kontak dengan unsurunsur kebudayaan asing, kemudian dalam waktu lama diadaptasi oleh sekelompok itu ke dalam kebudayaan”. Dengan demikian dalam akulturasi itu terdapat unsur pemberi dan penerima. Menurut Koentjaraningrat (1996: 155) akulturasi adalah perpaduan kebudayaan yang terjadi apabila suatu kelompok manusia dengan satu kebudayaan tertentu dihadapkan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan sendiri. Sedangkan menurut Sachari akulturasi budaya pada dasarnya merupakan pertemuan wahana atau area dua kebudayaan, dan masing-masing menerima nilai-nilai bawaanya. Didalam akulturasi selalu terjadi penggabungan (fusi budaya) yang memunculkan kebudayaan baru tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya lama atau
commit to user
budaya asalnya. Akulturasi adalah proses jalan tengah antara konfrontasi dan fusi, isolasi dan aborsi masa lampau dan masa depan. Ada empat syarat yang harus dipenuhi supaya proses akulturasi dapat berjalan baik: 1. Penerimaan kebudayaan tanpa rasa terkejut (syarat penyewaan/ affinity) 2. Adanya nilai baru yang tecera akibat keserupaan tingkat dan corak buayanya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (syarat keseragaman/ homogenity) 3. Adanya nilai baru yang diserap hanya sebagai kegunaan yang tidak penting atau hanya tampilan (syarat fungsi). 4. Adanya pertimbangan yang matang dalam memilih kebuayaan asing yang datang (syarat seleksi) (Sachari: 86-87). Dalam proses akulturasi pada umumnya kebudayaan yang lebih tinggi tingkatannya akan memimpin kebudayaan yang lebih rendah. Apabila proses tersebut berjalan dengan baik akan menghasilkan integrasi dari unsur-unsur kebudayaan sendiri dari masyarakat penerima. Unsur-unsur kebudayaan yang diterima terlebih dahulu mengalami proses pengolahan sehingga bentuknya tidak asli lagi seperti semula. Unsur-unsur kebudayaan asing yang diterimakan, pengambilannya secara adopsi dan adaptasi (Sidi Gazalba, 1969: 330). Adopsi yaitu pengambilan mentahmentah tanpa diubah, seperti adanya keadaan yang memberi. Hal ini merupakan akulturasi yang tidak berhasil. Sedangkan adaptasi merupakan penyesuaian unsur asing ke dalam jiwa atau kebudayaan penerima. Pengambilan secara adaptasi merupakan proses akulturasi yang berjalan baik, di mana masyarakat penerima aktif dalam proses itu. Unsur-unsur asing itu diintegrasikannya dalam kebudayaannya sendiri, sehingga kepribadiannya tetap bertambah. Adaptasi ini akan memperkaya kebudayaan penerima. Dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akulturasi sama dengan kontak budaya yaitu bertemunya dua kebudayaan yang berbeda melebur menjadi satu menghasilkan kebudayaan baru tetapi tidak menghilangkan kepribadian/sifat kebudayaan aslinya. b. Akulturasi Sastra Islam dan Sastra Jawa Keragaman budaya menjadi salah satu ciri utama yang dimiliki masyarakat Indonesia. Dari zaman ketika kerajaan-kerajaan masih hadir menghidupi ruang
commit to user
sejarah negeri ini hingga era modern seperti kini, keragaman itu tetap ada, bahkan nampak semakin bertambah. Di setiap penjuru nusantara ini, telah diisi dengan berbagai rupa-rupa yang berbeda. Perjalanan panjang sebagai sebuah bangsa yang majemuk, membekaskan sebuah citraan pada diri tubuh multikultur ini. Indonesia merupakan salah satu tempat bersinggungan berbagai macam budaya dan agama. perpustakaan.uns.ac.id Proses asimilasi atau akulturasi sering nampak dalam gerak-gerikdigilib.uns.ac.id praktis nuansa kehidupan yang ada di dalam masyarakat Jawa. Menurut Frans Magnis Suseno (1983: 1), kebudayaan Jawa memiliki ciri khas tersendiri. Ciri khas tersebut terletak dalam kemampuannya untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Sifat khas seperti ini memungkinkan unsur-unsur luar (agama dan kebudayaan) tidak begitu kesulitan untuk masuk kedalamnya melalui sikretisme atau akulturasi. Awal tarikh masehi tradisi Jawa mulai mengadakan asimilasi dan akulturasi dengan kebudayaan Hindhu-Budha, demikian juga pada saat Islam masuk ke Jawa juga terjadi interaksi dengan budaya Jawa. Dalam hal ini ada dua corak yang tampak dipermukaan, yakni Islam mempengaruhi nilai-nilai budaya Jawa dan Islam dipengaruhi oleh budaya Jawa. Dengan demikian, perpaduan antara keduanya menampakkan atau melahirkan ciri yang khas sebagai budaya yang sinkkretik, yakni Islam Kejawen (agama Islam yang bercorak Jawa) . Kedatangan Islam memberi warna tersendiri bagi masyarakat Jawa. Islam dihadirkan dengan wajah yang sinkretik, bersikap toleran, kompromis (akomodatif) tehadap budaya lokal, dalam artian Islam tidak mengeliminasi semua bentuk budaya lama, budaya lama tetap dijaga dan dipelihara (keeping) tetapi hanya dibingkai dengan nilai-nilai Islam. Dengan pola perkembangan seperti itu, menjadikan Islam di Jawa memiliki ciri yang sangat khas. Dengan cara ini Islam merupakan wadah rekonsiliasi budaya Jawa, sehingga Islam memiliki bentuk dan menjadi agama mayoritas orang Jawa (Ricklefs, 1998 : 470). Perkembangan Islam di Jawa dalam prosesnya diikuti mengalirnya kesusastraan Islam baik yang tersurat dalam huruf dan bahasa Arab, ataupun yang telah digubah ke dalam bahasa Melayu. Mengalirnya kepustakaan Islam dengan cepat mempengaruhi perkembangan kepustakaan Jawa, lebih-lebih sesudah berdirinya
commit to user
kerajaan Demak yang pada abad ke-16 M mendapatkan support (dukungan) dari guru-guru pesanten
yang terkenal dengan
Wali Sanga. Keaadaan demikian
menjadikan Demak sebagai tempat pertemuan para cendikiawan Jawa dan para guru pesantren dan lama-kelamaan menjadi pusat kekuasaan dan akhirnya menjadi pusat kebudayaan Jawa Islam. Dari pertemuan tersebut maka muncullah kitab-kitab bahasa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Jawa yang berisi hal-hal keislaman (Simuh, 1988: 22). Pengaruh kepustakaan Islam menimbulkan jenis kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa dengan hal-hal keislaman. Jenis kepustakaan yang isinya mempertemukan ajaran Islam dengan tradisi Jawa misalnya: serat suluk dan wirid. Menurut Simuh, kepustakaan Jawa yang memuat ajaran-ajaran Islam namakan Kepustakaan Islam Kejawen (Simuh, 1988: 3). Dalam sastra Islam Kejawen, unsur-unsur Islam terutama kearifan sufistik (tasawuf), ajaran budi luhurnya diambil oleh para sasrawan Jawa, untuk mengembangkan, memperkaya, dan mengislamkan warisan sastra Jawa zaman Hindhu. Sebaliknya dalam sastra Jawa pesantren, bahasa dan sastra dijadikan wadah atau sarana untuk memperkenalkan ajaran Islam, unsur agama dan syariat menjadi inti ajaran yang sangat dihargai. (Simuh, 2004 : 37). Berdirinya kerajaan Mataram Islam lebih menyuburkan perkembangan kepustakaann
Islam
Kejawen.
Kalangan
istana
sendiri
berkepentingan
mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam. Kepentingan itu adalah untuk mengesahkan (legitimasi) kekuasaan raja. Terutama dalam bidang sastra yang bukan semata-mata sebagai penghibur, melainkan menunjukan kebesaran para raja (Simuh, 1988: 23). Sultan Agung merupakan pelopor kebangkitan sastra Islam Kejawen. Menurut Ricklefs (1998 : 470), Sultan Agung adalah penguasa muslim yang saleh. Pada masanya kraton ditempatkan menjadi leading agents of Islamisation (agen utama Islamisasi) sekaligus menjadikan Islam sebagai wadah rekonsiliasi budaya Jawa. Ini berarti istana dijadikan pusat studi Islam dan Islam sebagai alat legitimasi politik. Sultan Agung ternyata mempunyai wawasan luas terhadap perkembangan budaya, sehingga bisa merangkum berbagai kearifan yang ada. Dalam rangka menciptakan stabilitas politik dan mengurangi ketegangan antara budaya Pesantren dan Kejawen,
commit to user
dengan arif bijaksana Sultan Agung memperpadukan tradisi Pesantren dengan tradisi Kejawen dalam hal penghitungan tahun. Yakni dengan mengubah perhitungan tahun Jawa disesuaikan dengan kalender Hijriah sebagai pengganti tahun Saka , atau yang lebih dikenal dengan nama Anno Javanico. Adanya unsur perpaduan tersebut dengan sendirinya makin menyuburkan kepustakaan Islam Kejawen Selain itu, merupakan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dorongan langsung dalam rangka Islamisasi kebudayaan dan kepustakaan Jawa.. Pada zaman Karatasura (1680-1744) bermunculan pertumbuhan Islam Kejawen, yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur agama Islam . Dari Hikayat Amir Hamzah yang terdapat dalam kepustakaan Melayu digubah menjadi Serat Menak, dalam bahasa Jawa bersekar macapat. Selain itu juga ada penulisan Serat Kandha yang isinya mempertemukan mitologi dari dewa-dewa Hindhu dengan riwayat nabi-nabi Islam (Simuh, 1998 : 24). Sejak beralihnya keraton Kartasura ke Surakarta, pertumbuhan kepustakaan Islam Kejawen mengalami keemasan. Hal itu tak terlepas dari krisis multi dimensi yang terjadi pada masa Mataram yang menyebabkan kerajaan ini terpecah menjadi empat, yaitu: Kraton Surakarta, Kraton Yogyakarta, Pura Mangkunagaran, dan Pura Pakualam. Para raja Jawa dan elite pribumi sudah tidak mempunyai kekuatan yang berarti, kedudukan raja hanya sebagai simbol belaka, tanpa adanya kekuasaan politik dan hal ini mereka atasi dengan mengalihkan perhatian politik ke arah sastra , seni, budaya yang bermutan etika dan mistisme. (Purwadi, 2002 : 159). Perkembangan dalam lapangan kesusaatraan pada zaman Surakarta yang sedemikian indah, menurut G.W.J. Drewes menilai sebagai masa renaissance of modern javanase letters, yaitu masa kebangkitan kepustakaan Jawa baru (Simuh, 1998 : 25). Perkembangan ini didapat dengan jalan menggubah kitab-kitab Jawa Kuno yang berbentuk kakawin ke dalam
bahasa Jawa krama
dengan menggunakan
metrum macapat (tembang macapat). Kemudian diikuti dengan penyusunan karya sastra dalam bentuk serat, wirid, dan suluk yang bernuansa mistik-moralitas dengan memanfaatkan perbendaharaan yang terdapat dalam kepustakaan Islam, mengolah unsur-unsur ajaran Islam yang terdapat dalam kepustakaan Melayu, atau mengambil dari kepustakaan pesisir, di mana bahasa daerah tersebut masih kasar dan kemudian diperhalus dalam gubahan pujangga-pujangga istana. Kepustakaan pesisir yang
commit to user
timbul di sekitar daerah pesantren, dengan demikian ikut terpengaruh oleh unsurunsur ke-Islaman. Suatu hal yang amat menarik ialah, pihak istana Surakarta pada tahun 17571873 mempunyai perhatian yang besar terhadap perkembangan bahasa, kesusastraan dan berbagai cabang kesenian. Di sini peran priyayi kraton (pujangga) yang memilki perpustakaan.uns.ac.id wawasan yang sangat luas, terbuka, dinamis dan cepat menerimadigilib.uns.ac.id dan mengolah unsur-unsur budaya dari manapun datangnya, peran ini semakin nyata dalam birokrasi kraton terdapat pujangga yang sangat intens memajukan kebudayaan Jawa. Para pujangga kraton Mataram biasanya memasukkan kesusastraan suluk dari pesantren yang isinya bercorak tasawuf , kemudian di padukan dengan unsur Jawa yang berbau mistik, sehingga menghasilkan berbagai jenis karya sastra (Ridin Sofwan, 2004: 50). Itu didasari bahwa kebanyakan para pujangga kraton Surakarta kebanyakan berlatar belakang santri, yang menuntut pendidikan jalur pesantren. Para pujangga kraton antara lain Yasadipura yang belajar di Pondok Pesantren Bagelan Kedu, serta Ranggawarsita yang belajar di Pondok Pesantren Gebang Tinatar Ponorogo di bawah asuhan Kyai Iman Besari (Ridin Sofwan 2004: 122). Bertolak dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam Kepustakaan Islam Kejawen , terasa sangat menonjol pengaruh ajaran tasawuf dan tututan budi luhurnya. Demikian pula istilah-istilah Arab yang berkaitan dengan agama Islam dan ajaran-ajaran tasawuf, merupakan bagian dari kepustakaan Jawa. Dalam masa kebangkitan kepustakaan Jawa pada zaman Surakarta, kitab-kitab lama mengalami penggubahan kembali. Bentuk baru dari hasil penggubahan ini, sudah dimasukkan istilah dan kata-kata Arab, karena bahasa Arab tidak bisa dipisahkan dari penyebaran agama Islam. Islam telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa. Oleh karena kepustakaan Jawa baru, hasil karya-karya masa Kartasura dan Surakarta tidak dapat dipahami secara baik, tanpa pengenalan terhadap ajaran Islam dan pengetahuan bahasa Arab.
2. Tasawuf Proses perkembangan awal Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ajaran tasawuf. Tasawuf boleh dikatakan memegang peranan penting bagi
commit to user
perkembangan Islam di Indonesia, terutama di Jawa. Dalam perkembangannya ajaran tasawuf berkembang secara intens dan bahkan beraktualisasi dengan kebudayaan lokal. Istilah tasawuf berasal dari kata sufi. Istilah tersebut tentu sangat dikenal di kalangan intelektual muslim, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id selalu identik dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas orang awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah keyakinan orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allah ta’ala. Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata tasawuf. Mengenai asal-usul kata tasawuf, masih terjadi perdebatan para ahli. Terlepas dari perbedaan pendapat para ahli mengenai asal-usul kata tasawuf, menurut Barmawi Umari (1987: 130), tidak ada yang pantas dipertentangkan mengenai konotasinya yang tepat. Adapun asal-usul kata tasawuf menurut pendapat para ahli antara lain sebagai berikut: 1.
Tasawuf berasal dari kata saff yang artinya barisan dalam salat berjamaah. Alasannya, seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih dan selalu memilih saf yang terdepan dalam salat berjamaah. Di samping alasan itu mereka juga memandang bahwa seorang sufi akan berada di baris pertama di depan Allah SWT.
2. Tasawuf berasal dari kata saufanah yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini karena melihat orang-orang sufi memakai pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan fisik, tapi subur batinnya. 3. Tasawuf berasal dari kata suffah yang artinya pelana yang dipergunakan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku batu di samping masjid Nabawi di Madinah. Versi lain dikatakan bahwa suffah artinya suatu kamar di samping Masjid Nabawi yang disediakan untuk para
commit to user
sahabat Nabi Muhammad SAW dari golongan Muhajirin yang miskin. Penghuni suffah ini disebut ahlus suffah, mereka mempunyai sifat-sifat teguh dalam pendirian, takwa, warak (taat kepada Allah SWT), zuhud, dan tekun beribadah. Adapun pegambilan kata suffah karena kemiripan tabiat para sufi dengan sifatsifat ahlus suffah. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4. Tasawuf (sufi) merujuk pada kata safwah yang berarti sesuatu yang terpilih atau terbaik. Dikatakan demikian karena seorang sufi biasa memandang diri mereka sebagai orang pilihan atau orang terbaik. 5. Tasawuf merujuk pada kata safa atau safw yang artinya bersih atau suci. Maksudnya kehidupan seorang sufi lebih banyak diarahkan pada penyucian batin untuk mendekatkan diri pada Allah SWT Tuhan Yang Maha Suci sebab Tuhan tidak bisa didekati kecuali oleh orang yang suci. 6. Tasawuf berasal dari bahasa Yunani yaitu theosophi (Theo-Tuhan, SophosHikmat) yang berarti hikmat Ketuhanan. Mereka merujuk pada bahasa Yunani karena ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah Ketuhanan. 7. Tasawuf berasal dari kata suf yang artinya wol atau kain bulu kasar. Disebut demikian karena orang-orang sufi banyak yang suka memakai pakaian dari bulu binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan pakaian sutra yang biasa dipakai oleh orang-orang kaya. Abu Nasr As Sarraj At Tusi, tokoh fundamentalis tasawuf, mengatakan bahwa kebiasaan memakai kain wol kasar adalah kebiasaan para nabi dan orang-orang saleh, sekaligus sebagai lambang kesederhanaan dan kemiskinan. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia: “Tasawuf adalah aspek esoteris atau kedalaman ajaran keagamaan. Tasawuf disebut juga sufism atau mistik Islam (Islamic Mysticism). Secara garis besar lingkup tasawuf mencakup usaha manusia utuk membersihkan diri dari perilaku atau akhlak tercela (takhalli) dan menghiasi diri dengan perilaku terpuji (tahalli) agar tersingkap tirai yang menghalagi hubungan manusia dengan Tuhan (tajalli). Jadi laku tasawuf merupakan proses keberagamaan seseorang.” Tasawuf dalam bahasa Inggris disebut Islamic mysticism (mistik yang tumbuh dalam Islam). Adapun tujuan utama dari seseorang yang mengamalkan ajaran tasawuf menurut Abdul Hakim Hasan dalam bukunya Al Tashawuf Fi-al Syi’ri al Arabi
commit to user
bahwa: “Sasaran atau tujuan tasawuf ialah sampai kepada Dzat Al Haqq atau Mutlak (Tuhan) dan bersatu dengan Dia”. Dari konsep di atas jelas bahwa tujuan utama dari tasawuf adalah untuk sampai kepada Allah, agar dapat makrifat secara langsung kepada Dzat Allah atau bahkan ada yang ingin bersatu dengan Tuhan. Makrifat di sini bukan melulu hanya perpustakaan.uns.ac.id pengetahuan semata, namun berupa pengalaman (experience), yaknidigilib.uns.ac.id ingin bertemu langsung dengan Tuhan melalui tanggapan kejiwaannya bukan melalui panca indra serta akal. Tanggapan kejiwaan ini dapat dianalogikan seperti halnya mimpi atau mabuk (ecstasy) jiwanya sampai ke alam lain. Sebagai jalan untuk sampai kepada Allah disebut tarekat (Thariqah). Menurut Hamka (2000: 169) tasawuf adalah kehendak memperbaiki budi dan men-“shifa”-kan (membersihkan) batin. Hamka juga memperjelas rumusan tersebut dengan meminjam kata Al-Junaid, seorang sufi besar abad ke-3: “tasawuf adalah kelur dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.” Menurut Mulkhan (2000 : 10) tasawuf adalah sistem berpikir dari ajaran yang mengajarkan dan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai tujuan akhir dengan mengembangkan kehalusan rasa dan hati dalam suatu lingkup tindak baik. Menurut Zakaria Al-Ansary (1976: 48), tasawuf adalah ilmu yang menerangkan halhal tentang cara membersihkan jiwa, tentang cara memperbaiki akhlak dan tentang cara pembinaan kesejahteraan lahir batin untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi . Junaidi dalam Hamka (1990: 3), berpendapat bahwa tasawuf itu keluar dari budi yang tercela dan masuk dalam budi yang terpuji. Ibnu Khaldun dalam Hamka (1990: 2) mengatakan bahwa tasawuf adalah semacam ilmu syariat yang timbul kemudian di dalam agama Islam. Kaum sufi pada mulanya bertekun ibadah dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadapkan diri kepada Allah semata. Selanjutnya mereka menolak hiasan-hiasan dunia serta membenci perkara-perkara yang selalu memeperdayakan manusia, kenikmatan harta, benda dan kemegahan dan menyendiri menuju Tuhan dalam khalwat dan ibadah. Mengenai dasar-dasar tasawuf sudah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini dapat diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, itu terlihat ketika beliau berkhalwat di Gua Hira’ untuk menjauhkan diri dari kebahagiaan duniawi (uzlah)
commit to user
dan ingin menyucikan hati dari perbuatan dosa serta ingin dekat dengan Tuhannya, cara kehidupan beliau kemudian diteladani dan diteruskan oleh para sahabat. Abu Su’ud (2003: 183) mendefinisikan ajaran tasawuf memiliki ciri umum, yaitu moral, pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak, pengetahuan, timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia dari Allah, dan penggunaan simbol-simbol perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pengungkapan yang mengandung pengertian harfiah dan tersirat Selanjutnya menurut Barmawi Umari (1993: 28-29), ada cara-cara seorang sufi untuk memasuki lapangan tasawuf yaitu: 1) Tajarud, adalah melepaskan diri dari godaan dan ikatan dunia yang fana. 2) Uzlah, yaitu menyisihkan diri dari pergaulan masyarakat ramai, menjauhkan diri simpang siur pergaulan. 3) Faqr, artinya tidak mempunyai apa-apa dalam kategori hitungan dunia. 4) Dawaamus-sukuut secara negatif dan Dawaamudz secara positif, yaitu senantiasa diam atau tidak berkata-kata yang tidak bermanfaat, yang tidak mempunyai hasil, apalagi kata-kata yang merugikan, baik bagi diri sendiri ataupun orang lain. 5) Qillatul-akli secara negative dan Dawaamush–shaum , maksudnya sedikit makan inklusif minum, sebab banyak makan menyebabkan penidur dan pemalas sehingga menghabiskan waktu, secara positifnya senantiasa berpuasa. 6) Dawaamus-sahr secara positif. Qiyaamul-laili secara positif, maksudnya senantiasa berjaga-jaga diwaktu malam dengan mengisi dengan do’a dan sembayang di waktu malam. Adapunt tujuan tasawuf menurut kaum sufi, agar manusia berada dekat dengan Allah. Menurut Rivai Siregar (1999 : 57) ajaran tasawuf mempunyai beberapa tujuan: 1) Tasawuf membina aspek moral, aspek disini mewujudkan kestabilan jiwa yang berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu. 2) Tasawuf bertujuan untuk mencapai ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode al-kasyf al-hijab. 3) Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis dan pengkajian garis
commit to user
hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan. Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya perpustakaan.uns.ac.id sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itudigilib.uns.ac.id disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke maqam berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur. Buku-buku tasawuf tidak memberikan angka yang sama tentang maqam tersebut, pembagian dan susunan maqam-maqam menurut Abu Nasr Al-Sarraj al-Tusi dalam bukunya kitab al- luma ki’t tasawuf, terdapat tujuh maqam secara urut. Ketujuh maqam itu ialah: 1. Maqam taubat Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, maqam pertama dalam tasawuf adalah taubat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosadosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke maqam kedua, yaitu zuhud. 2. Maqam Zuhud Di maqam ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-
commit to user
Qur'an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir.Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'.
3. Maqam wara’ Di maqam ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat, yaitu menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas halal dan haramnya Menurut
Ibrahim
dalam
Simuh
(1996:55-56)
mengatakan
wara’
adalah
“meninggalkan setiap yang berbau syubhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan’’. Jadi laku wara’ para sufi telah mulai menghindari berbagai kenikmatan yang halal yang menurut pertimbangan mereka tidak amat penting. 4. Maqam faqr Di maqam ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajibankewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan. Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke maqam sabar. 5. Maqam sabar Di dalam maqam sabar ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintahperintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.
commit to user
6. Maqam tawakkal. Di dalam maqam ini ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok, baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati. 7. Maqam ridla. Dari maqam ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan. (Barmawi Umari, 1987: 91-98). Karena maqam-maqam tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke maqam berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf. Di atas maqam taubat, wara’, zuhud, fakr, sabar, tawakal dan ridha terdapat stasiun/maqam: cinta, ma’rifat, fana, dan baqa’ persatuan (ijtihad). Persatuan dapat mengambil bentuk hulul atau wahadatul wujud (Amin Syukur, 1999: 49). Dalam maqam ridha , rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hati. Maka seseorang yang telah mencapai maqam ridha meningkat ke maqam mahabbah (cinta ilahi). Dalam maqam cinta yang terasa hanya cinta kepada Tuhan, dan cinta yang mendalam kepada Tuhan mampu memalingkan seseorang yang telah mencapai maqam mahabbah dari segala sesuatu selain Tuhan. Maqam ma’rifat seseorang yang telah sampai ke maqam ma’rifat telah dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Menurut Dzunnun Al-Mishri dalam Amin Syukur (1999 :55). Ma’rifat adalah anugrah Allah kepada kepada sufi yang telah ikhlas dan bersungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta yang ikhlas dan suci, akhirnya Tuhan menyikapkan tabir dari pandangan sufi. Dengan terbukanya tabir dari
commit to user
pandangan sufi, akhirnya seorang sufi dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan, sehingga dapat melihat keindahan abadi. Seorang sufi dapat menagkap cahaya ma’rifat dengan mata hatinya, maka khabulnya akan dipenuhi rasa cinta yang mendalam kepada Allah. Seorang sufi tidak akan puas hanya sampai kepada maqam ma’rifat. Seorang sufi ingin berada lebih perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dekat lagi kepada Tuhan. Ingin mengadakan persatuan dengan Tuhan, dalam istilah sufi dikenal dengan sebutan ittihad (Amin Syukur : 1999: 55). Itiihad dapat mengambil bentuk al–hulul atau kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan yang dalam terminologi tasawuf disebut al-wahdatul wujud. Adalah sebuah paham yang menekankan bahwa tidak ada wujud sejati, kecuali hanya Allah yang maha mutlak. Kemutlakan wujud Allah akan menenggelamkan seluruh wujud selain diri-Nya. (Amin Syukur, 1999: 58). Maqam taubat, maqam wara’, maqam zuhud, makam fakir, makam sabar, maqam tawakkal, maqam ridho, maqam cinta, maqam ma’rifat, maqam fana’ dan baqa’ , maqam persatuan (ittihad). Merupakan tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai melalui ittihad serta hulul yang mengandung arti pengalaman adanya persatuan roh manusia dengan ruh Tuhan dan akhirnya sampai mengalami wahdatul wujud, yang mengandung arti penampakan diri (tajalli) Tuhan yang sempurna dalam insan kamil (manusia sempurna). Dari beberapa pengertian tentang tasawuf maka dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti terpuji, mencapai pengontrolan atas dirinya sendiri, kesetiaan realisasi dan kehadiran Tuhan yang tetap di dalam semua perbuatan-perbuatan dan pikiran-pikiran seseorang dan mencari kecintaan Tuhan serta berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai tujuan akhir dan mengembangkan kehalusan rasa, hati dalam suatu lingkup tindak yang baik. 3. Manunggaling Kawula Gusti Istilah manunggaling kawula gusti berasal dari bahasa Arab yaitu wihdatul wujud yang berarti baginya yang ada hanya satu, sedangkan dalam konteks budaya Jawa paham wihdatul wujud lebih dikenal dengan manunggaling kawula gusti. Dalam
commit to user
khasanah Islam maupun tradisi lokal sejak zaman dahulu kala selalu rnenimbulkan kontroversi, konsep manunggaling kawula gusti merupakan konsep yang amat rumit dan sulit untuk dipahami, khusunya bagi kaum awam. Padahal konsep ini sangat penting untuk bisa dipahami oleh siapapun, khususnya mereka yang ingin lebih mendekatkan diri dan berserah diri kepada Allah. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Menurut Dhanu Priyo Prabowo (2003: 109) wihdatul wujud adalah upaya manusia untuk dekat bahkan menyatu dengan Tuhan. Menurut Purwadi (2004: 9) wihdatul wujud adalah penyatuan wujud tunggal tiada terpisah abdi dalem dengan pencipta. Wihdatul wujud merupakan suatu keadaan di mana seseorang merasa bersatu dengan Tuhan bagaikan bertindak, merasa, berpikir seperti apa yang dikehendaki Allah ( Mulkhan, 2000: 27). Wihdatul wujud adalah kepercayaan bahwa seluruh yang maujud atau ada itu pada prinsipnya hanyalah satu dalam segala arti yang tidak dapat diduakan. Hal ini satu maujud itulah Tuhan dimana segala bentuk keragaman yang tampak dan kasat mata dianggap tidak ada. Mereka percaya bahwa seluruh hal lain di dunia tida ada kecuali gambaran atau bayangan dari Yang Satu yaitu Tuhan itu sendiri (Mulkhan, 2000 : 34). Menurut Simuh (2004: 47) konsep manunggaling kawula gusti diterangkan: “ Mingggah pamoring kawula lan Gusti iku, kaya dene paesan karo sing ngilo. Wayangan kang ana sajroning pangilon, iya iku jenengekawula”. Yang berarti: kesatuan manusia dengan Tuhan, ibarat cermin dengan orang bercermin. Bayangbayang yang bercermin itulah manusia. Oleh karena itu, uraian dalam kepustakaan Islam Kejawen, yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, umumnya mengandung rumusan yang saling tumpang tindih. Tuhan dilukiskan memiliki sifatsifat yang sama dengan manusia dan manusia digambarkan sama dengan Tuhan. Paham semacam ini dalam falsafat dinamakan amtropamorfisme. Manunggal dalam bahasa Jawa berasal dari kata tunggal, satu. Manungggal berarti menyatu. Jadi manunggaling kawula gusti berarti manunggal atau menyatunya seorang hamba dengan Penciptanya, dalam arti menyatunya kehendak dari seorang hamba dengan kehendak Penciptanya.
commit to user
Manunggaling kawula gusti berarti suasana batin seorang hamba yang merasa sangat cinta dan dekat dengan Tuhan sehingga dia merasa lebur dan menyatu dengan Tuhan. Ibarat leburnya gula dan air, menyatunya api dan besi, yang diantara keduanya bisa dibedakan, tetapi tidak bisa lagi dipisahkan. Ketika besi telah menjadi merah karena dibakar api, besi dan api telah menyatu. Siapa menyentuh api, akan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id terkena besi dan siapa yang memegang besi akan tersentuh api (Komaruddin Hidayat, 2010: 1,7) Menurut
Hadiwijono
dalam
Dhanu
Priyo
Prabowo
(2003:
131).
Manunggaling Kawula Gusti adalah keadaan yang tidak ada lagi perbedaan antara yang menyembah dan yang di sembah. Menurut Jaladudin Rumi dalam Sri Muryanto (2004 : 36), Manunggaling Kawula Gusti adalah lenyapnya kedirian, karena adanya kesatuan (manunggal yang sempurna dengan sang kekasih, Tuhan adalah tumpuan dan harapan hidup, tiada yang lainnya. Pada saat tercapainya puncak kemabukan cinta, maka akan terjadi perkawinan jiwa antara sang Khaliq dengan makhluknya, dimana terjadi sintesa antara pecinta dan yang dicinta yang terwujud dalam kondisi bersatu atau fana’ (lebur dalam diri Tuhan), menurut Rumi antara manusia dan Tuhan tidak terpisahkan lagi, karena sudah manunggal, tapi tidak berarti manusia telah menjadi atau sama dengan Tuhan, karena Tuhan adalah sang pencipta (Sri Muryanto, 2004 : 36-37). Manunggaling Kawula Gusti dalam kalangan sufi
disebut hulul menurut
pendapat Abu Bakar Al-Thusi dalam Sri Muryanto (2004 : 48) ialah paham dimana Tuhan memiliki tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Dhanu Priyo Prabowo (2003:136): “Semua ungkapan kemanunggalan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengajarkan bahwa di dalam pertemuan manusia dengan Tuhan tersebut manusia menjadi Tuhan. Berbagai istilah itu harus dipandang sebagai pengungkapan pengalaman mistis, karena manusia diserbu oleh keagungan dan keindahan Tuhan serta sedemikian dalam kesatuan, seolah-olah hapuslah dirinya (fana)” Pengertian dan konsep manunggaling kawula gusti dapat dengan mudah dipahami dan sekaligus sukar dimengerti. Karena manusia dikatakan Tuhan tetapi bukan Tuhan, dikatakan bukan Tuhan tetapi kelihatnnya sama dengan Tuhan.
commit to user
Ungkapan manunggaling kawula gusti, tidaklah dimaksudkan sebagai hamba sama dengan Tuhan (Dhanu Priyo prabowo, 2003 : 137). Kesatuan manusia dengan Tuhan dalam konsep manunggaling kawula gusti sulit dirumuskan dengan kata-kata yang tepat, yang memiliki pengertian tunggal dan jelas. perpustakaan.uns.ac.id Konsep manunggaling kawula gusti hanya dapat diterangkan dengandigilib.uns.ac.id rumusan katakata yang tegas mengarah kesuatu pengertian. Dari beberapa pengertian tentang konsep wihdatul wujud dapat disimpulkan bahwa wihdatul wujud adalah suatu keadaan di mana seseorang merasa bersatu dengan Tuhan. Dalam pertemuan manusia dengan Tuhan dalam konsep manunggaling kawula gusti tidak dimaksudkan hamba sama dengan Tuhan. Berbagai istilah itu harus dipandang sebagai pengungkapan mistik, karena manusia terlena oleh keagungan dan kebesaran Tuhan sehingga dilarutkan dalam kesatuan, seolah-olah hapuslah dirinya (fana). Menurut Simuh (1988 : 362), ada beberapa istilah yang menunjukkan kesaman dengan ajaran di atas antara lain: ilmu ma’rifat, ilmu kasampurnaan, ilmu kasunyatan, ilmu sangkan paraning dumadi. Di dalam ilmu ma’rifat terdapat pengetahuan yaitu ilmu mengetahui seyakin-yakinnya, disini diartikan mengenala kepada Allah baik sifat-Nya, dan asma-Nya pula. Dikenal pula ilmu kasempurnaan, di dalam ilmu ini membuat manusia menjadi lebih sempurna, ini terpengaruh oleh paham tasawuf bahwa penghayatan ma’rifat kepada Tuhan disebut insan kamil, selanjutnya ilmu sangkan paran, yaitu apabila mengenal Tuhan maka mengenal asal kejadian manusia yang merupakan tempat kembalinya dikemudian hari. Dengan kata lain manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali juga kepada-Nya. Dengan ini Tuhan merupakan sangkan paran dumadi atau asal dan tempat kembali semua kejadian Ajaran manunggaling kawula gusti berkembang pesat di pulau Jawa yang pertama kali mengajarkan ini ialah Syekh Siti Jenar. Beliau adalah salah satu anggota Wali Sanga. Beliau memperoleh ilmu manunggaling kawula gusti dari wejangan ma’rifat dari Sunan Bonang. Dalam perkembangannya ajaran manunggaling kawula gusti mendapat tentangan dari pihak Wali Sanga. Ini tidak terlepas dari konstalasi
commit to user
politik pasca rutuhnya kerajaan Majapahit, serta munculnya kerajaan baru Islam Demak Bintoro, pada waktu itu kedudukan Wali Sanga sangat dominan dalam struktur pemerintahan kerajaan Demak yaitu sebagai penasehat raja. Dengan suburnya ajaran manunggaling kawula gusti ternyata menimbulkan stabilitas keamanan kerajan menjadi goyah, ini disebabkan banyak pengikut atau murid Syekh perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Siti Jenar melakukan kekacauan. Atas dasar ini maka Wali Sanga mengadakan musyawarah di Mesjid Agung Demak, untuk membahas ajaran Syekh Siti Jenar yang terbukkti sangat menyimpang dari syariat agama, terutama yang paling utama shalat. Oleh karena itu pihak Wali Sanga atas perintah Raja Demak Raden Patah, akhirnya menghukum mati Syekh Siti Jenar pada dasarnya untuk menentang kekuasaan formal kerajaan Demak, sehingga mengakibatkan pihak kerajaan mencap Syekh Siti Jenar sebagai pemberontak. Gerakan Syekh Siti Jenar polanya mengembangkan geraka mistis kultural untuk mengimbangi hegemoni atau dominasi struktural kerajaan Demak yang didukung oleh majelis ulama Wali Sanga. Pada waktu itu konflik yang berkembang menjurus ke arah konflik politik (intrik sosial-spiritual) dan pertentangan kelas antara abangan dan santri. Karena dianggap membahayakan stabilitas dan keamanan kerajaan, maka atas persetujuan Wali Sanga ajaran dari Syeh Siti Jenar dianggap sesat (Purwadi, 2004 : 95). Gerakan Syekh Siti Jenar dengan sosiol-spiritual kemudian dilanjutkan ketika Sunan Panggung, Ki Bebeluk, dan Syekh Amonggrogo juga dihukum mati karena juga mengajarkan ajaran manunggaling kawula gusti. Pola gerakan hampir sama yaitu sebagai pihak oposisi untuk mengimbangi pemerintahan kekusaan kerajaan yang berkuasa pada waktu itu. Adanya pertentangan, dengan mengatasnamakan budaya tandingan terhadap hegemoni kekuasaan formal yamg mengusung isu manunggaling kawula gusti, kebanyakan dilukiskan dengan bentuk karya sastra yang indah. Kebanyakan ajaran manunggaling kawula gusti merupakan inti dalam karya sastra Islam Kejawen yang ada waktu itu sangat berkembang pesat di kerajaan Mataram Surakarta. Karya sastra biasanya ditulis dengan bahasa yang indah. Paham manunggaling kawula gusti juga digunakan legitimasi oleh raja yang memerintah, dengan simbol raja titising dewa dan agama ageming aji. Dari kata-kata ini dapat disimpulkan bahwa raja sebagai pemimpin kerajaan dan pemimpin tertinggi agama,
commit to user
yang saat ini berbeda dalam konstalasi politik kerajaan sebelumnya (Demak dan Pajang), yang dalam struktur kekuasasannya para Wali Sanga dan ulama mendominasi setiap kebijaksanaan kerajaan. Ajaran manungaling kawula gusti juga diadopsi oleh para pujangga istana, yang kebanyakan dijadikan inti karya sastranya yang dijiwai dengan ajaran manunggaling kawula gusti. Disini Serat Dewa Ruci perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sebagai salah satu karya kepustakaan Islam Kejawen, ajaran manungaling kawula gusti dijadikan inti ma’rifat dari ajaran delapan awali tanah Jawa.
B. Kerangka berpikir
Islamisasi Jawa
Wali songo
Tradisi Jawa
Tasawuf
Yasadipura I
Agama Islam
Budaya Jawa Unsur Islam (pesantren)
Serat Dewa Ruci
Ajaran serat yang Ajaran serat yang Ajaran serat yang Ajaran serat yang berhubungan dengan berhubungan dengan berhubungan dengan berhubungan dengan syariat tarikat hakikat makrifat
Keterangan: Sebelum agama Islam masuk ke Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki agama, yaitu : agama Jawa, agama Hindhu dan Budha. Ketiganya mengajarkan kehidupan rohani yang berbau mistik. Pengaruh tersebut telah berlaku berabad-abad
commit to user
lamanya dan sulit lepas dari kehidupan masyarakat Jawa. Selanjutnya masuk agama Islam ke tanah Jawa. Dengan melalui berbagai cara, agama ini merambah kehidupan masyarakat (Islamisasi). Salah satunya cara itu adalah dengan menyebarkan ajaran tasawuf. Ajaran ini sengaja diperkenalkan kepada masyarakat Jawa oleh para wali karena dianggap dapat mengimbangi praktek kehidupan mistis sebelumnya. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dalam perkembangannya ajaran tasawuf berkembang secara intens dan bahkan mampu beralkuturasi dengan kebudayaan lokal di Jawa, hal ini dimungkinkan karena ajaran-ajaran tasawuf memiliki kesamaan dengan konsep mistisme di kalangan masyarakat Jawa.. Menurut masyarakat Jawa bila kedua konsep dipadukan akan memberi kekuatan tersendiri dan memperkaya kehidupan rohani mereka. Salah satu penganut ajaran tasawuf ialah Yasadipura I. Dalam pola pikirnya tidak lepas dari budaya Jawa dan usur Islam (pesantren). Pemikiran dan gagasannya terlihat dari hasil karya sastaranya. Salah satu karyanya yang bernafaskan tasawuf adalah Serat Dewa Ruci, dalam serat tersebut terlihat sekali perpaduan budaya Jawa , Hindu dan Islam. Sufisme yang dirumuskan Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci memperlihatkan intregitas ajaran syariat, hakikat, tarekat, dan makrifat .
commit to user
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dalam penelitian yang berjudul “Serat Dewa Ruci (Studi Pemiran Tasawuf Yasadipura I)”, mengambil permasalahan tentang sufisme dalam Serat Dewa Ruci. Sesuai dengan tehnik pengumpulan data yaitu studi pustaka, maka lokasi penelitian di perpustakaan-perpustakaan, khususnya yang berada di wilayah Surakata. Adapun perpustakaan-perpustakaan yang digunakan atau dimanfaatkan dalam penelitian, adalah : a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. e. Perpustakaan Kodya Surakarta f. Perpustakaan Reksa Pustaka di Pura Mangkunegaran g. Perpustakaan Islam Katapuran Surakarta h. Yayasan Sastra i. Perpustakaan Pribadi
2. Waktu Penelitian Rencana waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak mulai disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Desember 2010. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam jangka waktu tersebut diantaranya adalah mengumpulkan sumber, melakukan kritik untuk menyelidiki keabsahan sumber, menetapkan makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan terakhir menyusun laporan hasil penelitian.
commit to user
Tabel: Jadwal kegiatan penelitian tentang “Serat Dewa Ruci (Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I)”. No Kegiatan
Bulan 2009-2010 Okt
Des Jan
Feb Mar Apr Me Juni Juli Ag Sep Okt
perpustakaan.uns.ac.id 1 Pengajuan Judul 2
digilib.uns.ac.id
V
Penyusunan Proposal
3
Nop Des
V
Perizinan V
4
Analisis data
5
V
Penyusunan Laporan
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
B. Metode penelitian Menurut Koentjaraningrat (1977 : 16), kata metode berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti jalan atau cara. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah-masalah kerja untuk memahami obyek yang menjadi sarana ilmu yang bersangkutan. Sedangkan menurut Helius Syamsudin (1996 : 2), metode ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam penelitian suatu ilmu tertentu untuk mendapatkan suatu bahan yang diteliti. Sementara itu Husnaini Usman (1996 : 42) menyebutkan bahwa metode adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkahlangkah sistematis. Dalam suatu penelitian ilmiah, metode memegang peranan yang sangat penting terhadap penelitian yang dilakukan. Penggunaan metode penelitian menyangkut masalah kerja untuk memahami obyek menjadi sasaran ilmiah yang bersangkutan, dengan demikian metode merupakan cara kerja yang utama untuk
commit to user
V
mencapai tujuan dengan menggunakan teknik dan alat bantu tertentu. Penggunaan metode yang tepat sesuai dengan tujuan dan sifat penelitian sangat penting karena keberhasilan dari tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang tepat, sehingga metode harus disesuaikan dengan obyek yang diteliti. Berdasarkan permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini, yaitu “Serat Dewa Ruci (Studi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pemikiran Tasawuf Yasadipura I)”, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis atau metode sejarah. Hal ini didasarkan pada tema atau obyek yang dikaji yaitu peristiwa sejarah yang tujuannya merekonstruksi peristiwa masa lalu. Menurut Louis Gotschalk (1985 : 32), metode historis adalah suatu cara yang meliputi kegiatan untuk mengumpulkan, menguji serta menganalisa data yang diperoleh dari peninggalan masa lalu untuk menemukan generalisasi yang berguna dalam usaha untuk memahami kenyataan-kenyataan sejarah serta untuk memahami situasi sekarang dan meramalkan masa yang akan datang. Sartono Kartodirjo (1993: 4) menjelaskan metode historis adalah proses pengkajian yang berhubungan dengan hubungan sebab-akibat, kondisi lingkungan, konteks sosio-kausal, kondisional, kontekstual, serta unsur-unsur yang menempatkan komponen dari sejarah yang dikaji. Metode penelitian historis mempunyai beberapa langkah, seperti yang dikemukakan oleh Louis Gottschalk (1986: 18), bahwa metode sejarah mempunyai lima langkah, yaitu: a. Mengumpulkan obyek yang berasal dari suatu zaman dan pengumpulan bahanbahan tertulis dan lisan yang relevan. b. Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak otentik. c. Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya berdasarkan bahan-bahan otentik. d. Menyusun kesaksian yang dapat dipercaya berdasar bahan-bahan otentik. Langkah-langkah dalam penelitian sejarah tersebut secara berurutan biasa disebut heuristik, kritik, interprestasi, dan historiografi (Dudung Abdurahman 1999: 44). Metode historis digunakan berdasarkan data masa lampau yang merupakan hasil karya sastrawan. Berdasarkan data temuan data direkontruksikan peristiwa-
commit to user
peristiwa masa lampau, keadaan sosial budaya dan juga biografi Yasadipura I yang melatarbelakangi pemikirannya. Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode penelitian sejarah dalam penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data sesuai dengan kajian yang dibahas yakni “Serat Dewa Ruci (Studi Pemikiran Tasawuf perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Yasadipura I)’’, kemudian proses selanjutnya menguji dan menganalisis secara kritis mengenai data-data rekaman dan peninggalan masa lampau serta melakukan sintesa ke dalam bentuk historiografi. C. Sumber Sejarah Sumber sejarah adalah segala sesuatu yang digunakan sebagai bahan penulisan. Sumber data yang digunakan ialah data sejarah. Data sejarah adalah segala sesuatu yang langsung menceritakan pada kita tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (Helius Sjamsudin, 1996 : 73). Menurut Kartini Kartono (1976 : 225) data historis atau data sejarah adalah bahan keterangan mengenai proses perkembangan historis dari fenomena gejala sosial dalam perurutan temporal (mengandung dimensi waktu) yang memberikan stempel pembentuk, hingga terwujud keadaan sekarang. Jadi sumber data sejarah merupakan bahan mentah (raw materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi atau bukti yang telah ditingglkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktifitasnya pada masa lalu. Dudung Abdurahman (1999 : 30-31) menjelaskan bahwa, data sejarah itu sendiri berarti bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkatagorian. Sejumlah sumber yang tersedia pada dasarnya adalah data verbal. Adapun klasifikasi sumber sejarah itu dapat dibedakan menurut bahannya, asal-usul, dan tujuan sumber itu dibuat. Sumber menurut bahannya dapat dibagi menjadi sumber tertulis dan tidak tertulis, menurut penyampaiannya dapat dibagi sumber primer dan sekunder. Menurut tujuannya dapat dibedakan menjadi sumber informal dan formal. Sumber data menurut Sidi Gazalba (1966 : 88) dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu: 1. Sumber tertulis yang mempunyai fungsi mutlak dalam penelitian
commit to user
2. Sumber lisan yaitu sumber tradisional sejarah dalam rangka pengertian luas. 3. Sumber visual atau benda, yakni semua warisan masa lalu yang berbentuk dan berupa atau berwujud. Hadari Nawawi (1995 : 79) menyebutkan sumber data dalam penelitian historis dapat dikelompokkan sebagai berikut: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id a. Peninggalan materials, antara lain berupa candi, piramid, fosil, monumenmonumen, senjata, perhiasan, bangunan tempat tinggal, peralatan, atau perlengkapan kehidupan, benda-benda budaya, tempat-tempat keramat, dan lainlain. b. Peninggalan tertulis, antara lain berupa prasasti, relief, kitab, naskah-naskah, perjanjian atau arsip negara. c. Peninggalan tak tertulis atau budaya antara lain cerita rakyat, atau dongeng, bahasa adat atau hukum kepercayaan, dan lain-lain. Nugroho Notosusanto (1978: 36) sumber tertulis dibagi menjadi sumber tertulis primer yaitu sumber yang autentik atau sumber yang ditulis dari tangan pertama tentang permasalahan yang diungkap, dan sumber tertulis sekunder yaitu sumber yang ditulis oleh orang yang tidak terlibat secara langsung dalam peristiwa yang dikisahkan. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian historis menggunakan sumber-sumber tertulis dalam menghimpun dan mengolah data, sehingga penelitian historis sangat tergantung pada data-data tersebut, dan data tersebut dapat dibedakan menjadi sumber data primer dan sumber sekunder. Diantara kedua sumber tersebut, sumber primer memiliki otoritas bukti pertama dan diberi prioritas dalam pengumpulan data. Dalam penelitian ini, penulis pada prinsipnya menggunakan sumber tertulis yaitu sumber primer dan sekunder. 1. Sumber Primer Sumber primer adalah kesaksian diri seseorang saksi dengan mata kepala sendiri atau dengan panca indra yang lain, atau dengan alat mekanis. Sumber primer merupakan sumber yang memberikan dari tangan pertama. Menurut Hadarii Nawawi (1999 : 80), sumber primer yakni data authentik atau data langsung dari tangan tentang masalah yang diungkapkan, secara sederhana data ini juga disebut data asli.
commit to user
Sumber primer dalam penelitian ini diambil dari transkip asli Serat Dewa Ruci yang masih bertuliskan akasara Jawa karangan Yasadipura I tahun 1794 yang telah ditulis ulang oleh Ng. Hawikrama tahun 1870 dan dilengkapi terjemahan bahasa Jawa oleh Sana Pustaka Surakarta. Naskah asli Serat Dewa Ruci ini dilihat dari fisiknya sangat tua, dan ada beberapa bagian yang telah robek, namun robekan ini tetap perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id tersimpan, dengan jumlah halaman 44. Sumber ini lebih kuat keberadaanya, karena transkip aslinya masih ditulis dengan aksara Jawa dan tersimpan di Sana Pustaka yang notabene merupakan perpustakaan Kasunanan Surakarta yang menyimpan naskah-naskah kuno. 2. Sumber Sekunder Sumber sekunder adalah merupakan kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi pandangan pertama (sumber primer). Hadari Nawawi (1991 : 80) mengemukakan sumber sekunder adalah sumber yang mengutip dari sumber yang lain sehingga tidak bersifat authentik karena sudah diperoleh dari tangan kedua, ketiga, dan selanjutnya atau data tersebut tidak asli. Sumber data sekunder dalam penelitian ini berupa buku literatur-literatur, jurnal, majalah, dan lain sebagainya terutama yang ada relevansinya dengan permasalahan. Sumber data sekunder yang berupa buku literatur , jurnal, dan majalah antara lain: a. Kitab Dewa Rutji oleh Prawira Atmadja (1960) b. Tjeritera Dewa Rutji (dengan arti filsafatnya) oleh Seno Sastroamidjojo (1962) c. Tafsir kitab Dewa Rutji oleh Siswoharsojo (1966) d. “Dewa Ruci” Apresiasi pada Kesenian Wayang oleh Suwaji Bastomi (1992) e. Ilmu kesempurnaan mengkaji Serat Dewa Ruci oleh Purwadi (2007) f. Serat Dewa Ruci (misteri Air Kehidupan) oleh Imam Musbikin (2010)
D. Teknik Pengumpulan Data
commit to user
Pengumpulan data merupakan hal penting dalam penelitian. Pemilihan tehnik pengumpulan data yang tepat sangat membantu keberhasilan dalam penelitian. Adapun pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara: 1.Studi Dokumen Dengan adanya studi dokumen ini akan diperoleh sumber dokumen tertulis perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sejarah. Menurut Sartono Kartodirjo dalam Dudung Abdurrahman (1999 : 32) bahan dokumen dapat dibagi menjadi lima yaitu: otobiografi, surat-surat pribadi (catatan atau buku harian memories) surat kabar, dokumen-dokumen pemerintah, dan roman serta cerita rakyat. Dalam penelitian ini diusahakan mencari dokumen yang sesuai dengan permasalahan. Transip atau naskah Serat Dewa Ruci versi Tan Khoen Swie dibutuhkan karena di dalamnya terdapat fakta-fakta sejarah serta memuat bahanbahan yang akan ditulis. Dengan studi dokumen akan diperoleh nilai authentik dan keakuratan dalam memperoleh bahan dalam penelitian. 2.Studi Pustaka Studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data tertulis dengan membaca literatur, majalah, surat kabar, dan bahan lainnya. Studi Pustaka ditempuh dengan cara membaca dan menguji sumber-sumber yang terkumpul sehingga data sejarah yang diperlukan untuk menyusun cerita sejarah (Koentjaraningrat,1986 : 64). Fungsi studi pustaka disini untuk mempertajam analisa dan kritik terhadap data primer, selain
itu studi pustaka adalah sebagai pengumpulan data utama, karena untuk
membuktikan hipotesa, dan pembuktian itu dilakukan secara logis dan rasional, melaui pendapat, teori-teori atau hukum yang diterima kebenarannya, baik yang menolak maupun yang mendukung hipotesa tersebut. Menurut Koentjaraningrat (1986 : 19) keuntungan menggunakan studi pustaka yaitu memperdalam pengetahuan akan masalah yang diteliti, mempertajam konsep yang akan digunakan sehingga mempermudah dalam perumusan dan menghindari terjadinya pengulangan penelitian. Cara melakukan studi pustaka melalui tiga tahap, yaitu mengetahui jenis pustaka, mengkaji dan mengumpulkan bahan pustaka serta menyajikan studi kepustakaan. Data yang diperoleh perlu dianalisa, diuji, dan ditafsirkan sehingga ini mempunyai makna dan diperoleh suatu cerita sejarah. Dalam studi pustaka ini nanti akan diperoleh teori serta konsep dari obyek yang akan diteliti.
commit to user
Dalam penelitian ini, tehnik pengumpulan data melalui studi pustaka dilakukan dengan menggunakan alat bantu yang disebut kartu bibliogarafi atau kartu kutipan. Dalam sistem kartu dilakukan dengan cara mencatat beberapa uraian penting mengenai masalah yang berkaitan dengan tema penulisan, yaitu Serat Dewa Ruci (Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I), dengan mencantumkan pengarang, judul perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id buku, subyek yang dicatat, dan halaman buku. Oleh karena itu perlu diingat kata kunci yang terdapat dalam subyek yang dibahas, dengan demikian mempermudah dalam pencarian buku atau artikel dalam katalog yang telah dikelompokkan berdasarkan kata kunci (Louis Gottschalk, 1986 : 47). Dalam usaha mengumpulkan data penelitian atau penulisan tehnik studi pustaka, dilakukan pencatatan dari buku, majalah, serat, ataupun babad yang terkait dengan tema penulisan, sehingga data yang dibutuhkan terkumpul. Data-data tersebut diperoleh di perpustakaan. Untuk mempermudah dan mencari data, digunakan media katalog yang ada. Katalog dalam perpustakaan biasanya mengandung keterangan mengenai subyek, judul buku, dan nama pengarang. Penulis dalam hal ini mengingat kata kunci tersebut dapat ditemukan literatur buku-buku, majalah, serat, jurnal dan surat kabar yang kemudian dijadikan sumber data. Dalam penelitian ini, data-data yang penulis perlukan dalam penulisan karya ilmiah adalah data-data pribadi Yasadipura I, yaitu sejarah kehidupan Yasadipura I dan mengenai pemikiran tasawuf dalam karya-karya Yasadipura I , terutama yang berkaitan dengan penelitian yaitu Serat Dewa Ruci.
E. Teknik Analisis Data Tehnik analisis data dalam penelitian ini menggunakan tehnik analisis historis dan hermeneutika sastra. Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sisitematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti dan menyajikan sebagai temuan bagi orang lain (Noeng Muhadjir, 1996: 104 Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman, (1999 : 64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut dengan juga analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis
commit to user
yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Nugroho Notosusanto (1978 : 38) teknik analisis data historis adalah analisis data sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah. Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999 : 64), perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Analisis data dilakukan setelah pengumpulan data yang kemudian dilanjutkan dengan proses perbandingan antara data yang satu dengan yang lain. Langkah ini dilakukan secara berulang-ulang hingga didapatkan fakta sejarah yang akurat. Fakta-fakta tersebut kemudian diseleksi, diklasifikasikan, ditafsirkan dan dijadikan bahan dalam penulisan penelitian. Fakta merupakan bahan yang dijadikan sejarawan sebagai bahan untuk menyusun historiografi. Pengkajian fakta-fakta sejarah oleh sejarawan tidak terlepas dari unsur subyektifitas. Suatu kenyataan bahwa sangat sulit menemukan fakta yang benar-benar mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Setiap fakta yang terkonstruksi oleh sejarawan akan mengandung unsur-unsur subyektif dari penyusunnya (Sartono Kartodirjo, 1993: 88), sehingga diperlukan konsep-konsep dan teori-teori sebagai kriteria penyeleksi dengan pengklasifikasian. Dalam penelitian ini kegiatan yang dilakukan peneliti dalam menganalisa data sejarah sebagai berikut: 1. Mengadakan kritik sumber, baik kritik ekstren maupun intern. Kritik ekstren yaitu memberikan penilaian terhadap keaslian atau otensitas sumber dengan melihat sisi luarnya, seperti: kertas yang dipakai, tinta yang digunakan, gaya tulisannya, bahasanya, kalimatnya, ungkapannya, kata-katanya, dan lain-lain. Sedangkan kritik intern yaitu memberikan penilaian terhadap isi sumber apakah sumber tersebut dapat dipercaya atau tidak, seperti: identifikasi penulis sumber, cara berfikir penulis apakah mengarah pada perhatian hanya satu jurusan tertentu atau lebih luas dari itu, latar belakang dokumen tersebut dibuat (verifikasi pernyataan pembuat karangan), dan unsur subyektifitas pengarang. 2.
Menginterprestasikan
data
yang
telah
terkumpul
dengan
cara
membandingkan, mengkaitkan, atau menghubungkan antara data yang satu dengan
commit to user
data yang lain sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang menjadi obyek penelitian. Dengan ketajaman interprestasi diharapkan, fakta-fakta yang telah ditemukan benar-benar mencerminkan keadaan yang sebenarnya, jauh dari subyektifitas. Hermeneutika sastra adalah sistem penafsiran (system of interpretation) perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id terhadap suatu teks untuk memahami makna ataupun simbol-simbol yang terkandung didalamnya. Dalam hermeneutika sastra, karya sastra dipandang sebagai wacana simbolik karena unsuk fiksionaritas dan perumpamaan (metaphor) yang ada di dalamnya sangat menonjol. Dalam hermeneutika teks
dikaji sebagai bentuk
perlambang atau sesuatu yang lain (Corbin, 1981: 13-19). Sesuatu yang lain itu memiliki ”cakarawala” yang luas dibandingkan dengan cakrawala harfiah teks. Menurut Gadamer ada empat cakrawala tersembunyi dalam suatu teks filsafat atau sastra. Empat cakrawala itu ialah (1) Bildung atau pandangan kerohanian yang membentuk jalan pikiran seseorang, termasuk di dalamnya pandangan hidup (way of life), sistem nilai Weltanschauung (2) Sensus communis, yaitu pertimbangan praktis, yang dalam sastra bisa terwujud dalam pemilihan tema atau permasalahan denga mempertimbangka perasaan komunitas di mana pengarang hidup (3) Judgment atau pertimbangan, berhubungan dengan apa yang harus disampaikan dan diajarkan kepada masyarakat dengan mempertimabangkan baik buruknya (4) taste atau selera, cara-cara menyajikn sesuatu yang sesuai dengan selera masyarakat sezaman (Saleh Yapar 2002: 70-80: Sumaryono, 1993: 78-79). Untuk menemukan makna obyektif yang terkandung di dalam teks, ada 4 langkah yang dilakukan: 1) Penafsir melakukan investigasi fenomena linguistik teks. 2) Penafsir harus mengosongkan dirinya dari segala bentuk kepentingan . 3) Penafsir harus menempatkan dirinya dalam posisi seorang pengarang melalui kerja imajinasi dan wawasan. 4) Penafsir melakukan rekontruksi untuk memasukkan situasi dan kondisi untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai dari ungkapan teks (Josef Bleicher, 2003:32)
F. Prosedur Penelitian
commit to user
Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian dari awal yaitu persiapan membuat proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Karena penelitian ini menggunakan metode historis, maka ada empat tahap yang harus dipenuhi. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Heuristik
Kritik
Jejak / Peristiwa Sejarah
Interpretasi
Historiografi
Fakta Sejarah
Keterangan : 1. Heuristik Heuristik berasal dari kata Yunani heurishein yang artinya memperoleh. Dalam pengertian yang lain, heuristik adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau dengan cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak dan sumber lain yang relevan dengan penelitian. Pada tahap ini diusahakan mencari dan menemukan sumber-sumber tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan penelitian. Dalam penelitian ini digunakan sumber data tertulis, baik primer maupun sekunder. Pada tahap ini, penulis berusaha mengumpulkan data yang dapat dibagi menjadi: a. Sumber Primer Sumber primer dalam penelitian ini diambil dari transkip asli Serat Dewa Ruci yang masih bertuliskan akasara Jawa karangan Yasadipura I tahun 1794 yang telah ditulis ulang oleh Ng. Hawikrama tahun 1870 dan dilengkapi terjemahan bahasa Jawa oleh Sana Pustaka Surakarta. Naskah asli Serat Dewa Ruci ini dilihat dari fisiknya sangat tua, dan ada beberapa bagian yang telah robek, namun robekan ini tetap tersimpan, dengan jumlah halaman 44. Sumber ini lebih kuat
commit to user
keberadaanya, karena transkip aslinya masih ditulis dengan aksara Jawa dan tersimpan di Sana Pustaka yang notabene merupakan perpustakaan Kasunanan Surakarta yang menyimpan naskah-naskah kuno. b.
Sumber Sekunder
Sumber sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari buku, perpustakaan.uns.ac.id jurnal, dan sumber-sumber lain lain yang ada hubungannya dengandigilib.uns.ac.id permasalahan. Sumber data sekunder yang berupa buku literatur, jurnal, dan majalah antara lain: 1) Kitab Dewa Rutji oleh Prawira Atmadja (1960) 2) Tjeritera Dewa Rutji (dengan arti filsafatnya) oleh Seno Sastroamidjojo (1962) 3) Tafsir kitab Dewa Rutji oleh Siswoharsojo (1966) 4) ”Dewa Ruci” Apresiasi pada Kesenian Wayang oleh Suwaji Bastomi (1992) 5) Ilmu kesempurnaan mengkaji Serat Dewa Ruci oleh Purwadi (2007) 6) Serat Dewa Ruci (misteri Air Kehidupan) oleh Imam Musbikin (2010) Sumber-sumber tersebut diatas diperoleh dari beberapa perpustakaan di antaranya: Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Jurusan FKIP, Perpustakaan Program Studi Sejarah FKIP UNS, dan Perpustakaan Kodya Surakarta, Pepustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran, Perpustakaan Islam Kartapuran, Perpustakaan Kasunanann dan Perpustakaan pribadi (koleksi pribadi).
2. Kritik Kritik adalah kegiatan untuk menyelidiki apakah data yang diperoleh autentik dan dapat dipercaya atau tidak. Setelah data yang terkumpul, diklasifikasikan data yang tidak autentik dan tidak mendukung penelitian dengan data yang autentik serta mendukung penelitian. Kritik dapat dilakukan dengan dua cara, yakni kritik ekstern dan kritik intern. a. Kritik ekstern Kritik ekstern adalah kritik yang meliputi apakah data itu otentik, yaitu kenyataan identitasnya, bukan tiruan, palsu, kesemuanya dilakukan dengan meneliti bahan yang dipakai, ejaan, tahun terbit, jabatan penulis. Dalam penelitian ini langah pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan kritik ekstern yaitu peneliti melakukan penyelidikan pada bentuk sumber, yaitu dilakukan dengan melihat
commit to user
tanggal, bulan dan tahun sumber. Adapun sumber yang didapatkan sebagai sumber penulisan berupa buku-buku literatur yang relevan dengan tema penelitian. Sumber tersebut kebetulan diterbitkan tahun 1929 oleh penerbit Tan Khoen Swie dan dilengkapi terjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh Yayasan Sastra Surakarta, sehingga mempermudah untuk memahami isinya. Naskah asli Serat Dewa Ruci ini perpustakaan.uns.ac.id dilihat dari fisiknya sangat tua, dan ada beberapa bagian yang telahdigilib.uns.ac.id robek, namun robekan ini tetap tersimpan, dengan jumlah halaman 56. Sumber ini lebih kuat keberadaanya, karena transkip aslinya masih ditulis dengan huruf Jawa dan diterbitkan oleh Tan Khoen Swie yang notabene menerbitkan kitab-kitab sastra yang berhuruf Jawa.. b. Kritik intern Krtitik intern adalah kritik yang berkaitan dengan isi pernyataan yang disampaikan oleh sejarawan atau praktisi atau peneliti lain. Kritik intern juga menyangkut apakah sumber tersebut dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Setelah sumber dinilai keasliannya diakukuan kritik intern untuk dapat memastikan kebenaran isi sumber yang dapat ditempuh dengan cara membandingakan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah yang lain. Kebenaran isi dari sumber tersebut dapat dilihat dari isi pernyataan dan berita yang ditulis dari sumber yang satu dengan sumber yang lain. Adapun kritik intern dari penulisan ini adalah melihat tulisan yang dibuat oleh pengarang yang satu dengan pengarang yang lain, serta melihat artikel-artikel majalah yang relevan dengan tema penelitian, sehingga objektivitas dari isi pernyataan tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Hasil dari kritik sumber ialah fakta yang merupakan unsur-unsur bagi penyusunan atau rekontruksi sejarah. Setelah dilakukan kritik maka data sejarah tersebut adalah fakta, maka langkah selanjutnya adalah melakukan interprestasi
3. Interpretasi Menurut Nugroho Notosusanto (1978 : 40), interpretasi adalah suatu usaha menafsirkan dan menetapkan makna serta hubungan dari fakta-fakta yang ada, kemudian dilakukan perbandingan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain,
commit to user
sehingga terbentuk rangkaian yang selaras dan logis. Sedangkan interpretasi atau analisis historis menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999 : 64) bertujuan untuk melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh, sehingga dapat dikatakan sebagai suatu perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id bentuk analisa. Interprestasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah membaca buku-buku dan majalah yang sesuai dengan tema penelitian, membandingkan dengan sumber yang lain sehingga penulis dapat memilih fakta-fakta yang relevan dan menyingkirkan fakta-fakta yang tidak relevan. Kemudian penulis menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain, sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat antara peristiwa yang satu dengan yang lain. Dan yang terakhir penulis melakukan penafsiran semua hasil data yang telah dibuat untuk dihubungkan antara data yang satu dengan data yang lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh kemudian menjadi suatu fakta sejarah. Untuk merekontruksi peristiwa sejarah berdasar hasil interprestasi dari data-data sejarah yang ada, juga diperlukan ekplanasi. Eksplanasi dalam sejarah adalah menjelaskan atau menerangkan data-data sejarah yang ada sehingga didapat hubungan antara data yang satu dengan data yang lain.
4. Historiografi Langkah terakhir dalam metode sejarah yaitu historiografi. Historiografi yaitu merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan (Dudung Abdurrahman, 1999 : 67). Dalam hal ini imajinasi sangat diperlukan umtuk dari hasil penelitian, dipaparkan dengan bahasa ilmiah dengan seni yang khas menjelaskan apa yang ditemukan, beserta argumentasinya secara sistematis. Dalam proses historiografi ini diperlukan imajinasi dari penulis agar fakta-fakta yang diperoleh dapat dirangkai menjadi sebuah kisah yang menarik untuk dibahas. Dalam penelitian yang berjudul “Serat Dewa Ruci (Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I)” ini, penulis berusaha menggunakan bahasa yang baik
commit to user
didalam memaparkan hasil penelitian, diperkuat dengan bukti-bukti akurat yang diperoleh dari sumber primer maupun sekunder. Agar diperoleh sebuah kisah yang menarik maka penulis menggunakan imajinasi penulis dalam merangkai fakta-fakta yang diperoleh. perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV HASIL PENELITIAN
A.Riwayat Hidup dan Karya Raden Ngabehi Yasadipura I perpustakaan.uns.ac.id
1. Riwayat Hidup Yasadipura I
digilib.uns.ac.id
Sumber-sumber sejaman yang memberikan informasi tentang riwayat hidup Raden Ngabehi Yasadipura I tidak banyak. Beberapa karyanya Babad Giyanti, Babad Prayut dan Babad Pakepung yang menceritakan tentang kejadian-kejadian terjadi di Surakarta pada masa hidupnya tidak terlalu banyak membantu mengungkap jati dirinya secara jelas. Di dalamnya hanya disebutkan keterlibatan Yasadipura I dalam beberapa peristiwa politik yang terjadi di Surakarta seperti pendirian kraton baru Surakarta, pengepungan istana Surakarta oleh Belanda. Sumber lain yang menceritakan kehidupan Yasadipura I baru dituliskan lebih dari seabad sesudah meninggalnya pujangga itu, yaitu sebuah buku yang diterbitkan percetakan Budi Utama, Surakarta pada tahun 1939. Buku yang diberi judul Tus Pajang (artinya darah atau keturunan Pajang) itu ditulis tiga orang, yaitu R. Sasrasumarta, R. Sastra Waluya dan R.Ng.Yasapuraya yang ketiganya adalah keturunan Yasadipura I (Ricklefs,1997: 273-283). Menurut Tus Pajang, Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari raja Pajang Hadi Wijaya. Ia adalah anak
Tumenggung Padmanagara, seorang
bupati/jaksa Pengging pada masa Paku Buwana II. Ia lahir di desa Pengging pada hari Jum’at Pahing wulan Sapar, (bulan ke dua dari kalender Islam) Tahun Jimakir (siklus delapan tahunan dalam kalender Jawa yang disebut Windu) 1654 (1729 Masehi) (Sasrasumarta, 1986: 133-134). Diceritakan dalam Tus Pajang, pada saat ia masih dalam kandungan terjadi kejadian aneh. Penduduk desa Pengging berdatangan ke rumah Tumenggung Padmanagara. Tumeggung Padmanagara yang keheranan kedatangan mereka lalu menanyakan kepada penduduk itu mengapa mereka berdatangan ke rumahnya. “Tetesing punika sami matur, menawi sami manoni wonte daru cumlorot, warnanipun ijem sulak petak, agengipun watawis sacengkir.
commit to user
Pernahipun dhumawah ing dalemipun Raden Tumenggung Padmanagara” (Sasrasumarta, 1986: 130-131). Artinya: Orang-orang Jawa itu, menjawab, bahwa mereka melihat “daru” jatuh warnanya hijau keputih-putihan, besarnya sebesar buah kelapa muda. Jatuhnya persis di rumah perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Raden Padmanagara. Dari kejadian itu, menurut kepercayaan orang Jawa bahwa kelak bayi yang masih di kandungan Raden Ayu Padmanagara (istri Tumenggung Padmanagara) akan menjadi orang yang “linuwih” dan terkenal. Kepercayaan itu dalam Tus Pajang diwakili oleh sosok Kyai Hanggamaya, seorang ulama dari Kedu yang kelak menjadi gurunya, yang menyatakan bahwa anak Padmanagara kelak akan menjadi anak lakilaki yang sangat pintar dan sakti. Yasadipura I lahir pada pukul 5.30 pagi waktu subuh, oleh karena itu ia dipanggil dengan nama Jaka Subuh, tetapi nama kecil yang diberikan ayahnya adalah Bagus Banjar. Pada masa kecilnya, pendidikan yang diterima Bagus Banjar adalah pendidikan yang bersifat tradisional dengan pusatnya di lingkungan keluarga. Sejak kanak-kanak sudah mendapatkan pelajaran mengenai adat dan tata krama dari orang tuanya. Misalnya, cara makan, cara bergaul dengan keluarga, tetangga, orang lain, dan sebagainya. Selain itu, Bagus Banjar sejak berusia lima tahun sudah menerima pelajaran dari orang tuanya dengan menghafalkan surat-surat pendek Al-Qur’an dan menginjak usia 7-8 tahun mulai diberikan pelajaran membaca dan menulis huruf Arab dan baru kemudian membaca Al-Qur’an. Untuk memperdalam ilmu agama maka pada usia 8 tahun, dia dikirim ke pondok pesantren Bagelan Kedu di bawah asuhan Kyai Hanggamaya yang dulu meramalkan kelahiran dan nasibnya kelak. Oleh Kyai Hanggamaya diberi pelajaran membaca dan menulis huruf Jawa dan Arab, pelajaran agam Islam, paramasastra dan kesusastraan Jawa, kesusilaan, ilmu pengetahuan, kesaktian (ilmu kedotan), tata cara menyembah Allah, tata cara bersemedi serta ajaran kepribadian (Marwoto, 1985:6). Pendidikan semacam itu diterima sepenuhnya oleh Bagus Banjar. Oleh karena itu Bagus Bajar menguasai berbagai macam ilmu, terutama ilmu tentang agama dan sastra. Dibanding santri-santri yang lain, dalam hal kepandaian Bagus Banjar paling
commit to user
menonojol. Bagus Banjar dengan cepat dan mudah menyerap semua ilmu yang diberikan gurunya, sehingga Bagus Banjar selama berada di pondok menjadi anak emas Kyai Hanggamaya. Bagus Banjar diasuh oleh Kyai Hanggamaya sampai umur 14 tahun, jadi kurang lebih 6 tahun. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pendidikan Bagus Banjar semasa kecilnya berada ditangan Kyai Hanggamaya. Bagi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Bagus Banjar, Kyai Hanggamaya adalah seorang guru sejati, layaklah dia menjadi panutan, sedangakan bagi Kyai Hanggamaya, Bagus Banjar sendiri sudah dianggap sebagai anak sendiri. Dalam uraian di atas diterangkan bahwa semenjak usia lima tahun hingga empat belas tahun, Yasadipura I sudah dididik dalam suasana agama dan kebatinan. Pada waktu itu pendidikan di pesantren pada umumnya memberikan pelajaran agama dan juga mengamalkan pokok-pokok ajaran tasawuf (Simuh,1988: 37). Semasa hidupnya Yasadipura I (1729-1802) mengabdi pada 3 raja, mulai dari Paku Buwana II yang masih bertahta di Kartasura sampai Paku Buwana IV di kraton Surakarta. Seiring dengan pergantian raja, dengan sendirinya Yasadipura I mengalami berbagai berbagai macam pergulatan dan perubahan suasana-suasana politik antara lain perpindahan kraton, paliyan nagari, dan peristiwa Pakepung. Pada usia empat belas tahun ia menyelesaikan belajarnya di pesantren Kedu, dan kemudian nyuwita (mengabdi) di Kraton Kartasura pada masa Pakubuwana II. Karena kecerdasan dan pengetahuannya yang luas di bidang agama dan sastra, Bagus Banjar disayangi oleh raja. Ketika pemberontakan Cina meletus pada tahun 1740, dan kraton Kartasura diduduki oleh Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), Bagus Banjar ikut mengungsi ke Ponorogo bersama sang raja. Tampat ini sejak lama merupakan pusat pendidikan Islam di Jawa Timur, dan selama di pengasingan itu Bagus Banjar memanfaatkan
waktunya
untuk
memperdalam
agama
(http://ahmadsamantho.wordpress.com/dewaruci-jasadipura-i-alegori-sufi
Islam tentang
pencarian-diri, diunduh pada tanggal 1 November 2010). Kedekatan Bagus Banjar dengan raja semakin terjalin selama di pengasingan. Inilah yang memberinya peluang untuk memainkan peranan penting kelak dalam berbagai kegiatan kebudayaan. Selain itu dia mempunyai pengetahuan yang luas dan
commit to user
bakatnya sebagai pengarang sukar ditandingi oleh penuli sezamannya. (Soebardi 1975: 18 ; Ricklefs,1993: 225 ) Karena prestasinya yang baik dalam mengabdi di kerajaan ia kemudian dipromosikan menjadi prajurit kraton dengan sebutan “Prajurit Nameng Jaya” yang diberi tugas khusus membawa senjata kraton yang diberi nama Kyai Cakra. Setelah perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menjadi prajurit namanya kemudian diganti menjadi Kudapangawe. Selama menjadi prajurit ia tinggal di rumah Tumeggung Sindusena (Sasrasumarta,1986: 135-136). Ketika pemberontakan bisa dipadamkan atas bantuan dari Kompeni, Pakubuwana II kembali ke Kartasura. Hubungan Bagus Banjar semakin erat. Pakubuwana II menaruh harapan agar kelak ia dapat menjadi pujangga kerajan. Oleh karena itu Pakubuwahna II menitipkan Kudapangawe kepada Pangeran Wijil, seorang pujangga yang bekerja di kadipaten. Setelah mendapat bimbingan Pangeran Wijil, bakatnya di bidang sastra semakin menonjol Dia dilantik untuk menjadi sekertaris istana dalam usia 20 tahun. Bakatnya sebagai pengarang semakin bersinar-sinar selama memegang jabatan itu. Karena pengetahuan agama dan sastra sangat luas dan sukar disamai pengarang sezamannya, maka dia pun diangkat sebagai Pujangga Muda istana
(http://ahmadsamantho.wordpress.com/
dewaruci-jasadipura-i-alegori-sufi
tentang-pencarian-diri, diunduh pada tanggal 1 November 2010). Pada tahun 1744 pusat pemerintahan dipindahkan ke Surakarta. Adapun yang menentukan letak istana baru itu ialah Yasadipura I. Karena jasanya itu kemudian pangkatnya dinaikkan menjadi Pujangga Istana. Yasadipura I ikut boyongan dan bertempat tinggal di kawasan Kedhung Kol, yang terletak di distrik Pasar Kliwon (sebelah timur benteng istana Surakarta). Daerah ini nantinya terkenal dengan sebutan kampung Yasadipuran. Di sini Yasadipura I bermukin beserta istri, anak dan cucunya (Soebardi, 1975: 18-20). Lima tahun setelah berdirinya kraton, pada hari minggu tanggal 12 Sura Alip 1675, Paku Buwana II meninggal dan dimakamkan di Laweyan. Dicertakan dalam Tus Pajang ketika hendak dikuburkan di ternyata peti jenazah tidak bisa masuk liang lahat meskipun telah diperluas berkali-kali. Setelah didoakan oleh Yasadipura I dan dijanjikan bahwa peguburannya di Laweyan hanya sementara dan kelak akan
commit to user
dipindahkan maka peti jenazah bisa masuk liang lahat. Oleh karena itu Paku Buwana II juga dikenal ”Sinuhun Kombul’’ (Sasrasumarta,1986: 41). Pada
masa pemerintahan Paku Buwana III (1749-1788) masih mewarisi
konflik intern yang terjadi antara keluarga istana. Bahkan, pada masa pemerintahan Paku Buwana III ini perpecahan ini memuncak, sehingga terjadi Palihan Nagari perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pembagian kerajaan menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta pada tahun 1755. Babad Giyanti secara cermat melukiskan peristiwa historis itu (Ricklefs, 1995:84). Dalam Babad Giyanti Yasadipura I menggambarkan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said sebagai figur pahlawan. Sedangkan Paku Buwana II dan Paku Buwana III digambarkan secara kurang simpatik. Pada perjanjian Giyanti tersebut, Yasadipura I mempunyai peran yang besar dalam upaya perdamaian Sunan Paku Buwana III, Sultan Hamengku Buwana I, dan pihak Belanda (Didiek Teha, 1989: 11). Pada tahun 1788, Paku Buwana III diganti oleh Paku Buwana IV.
Saat
memegang kendali pemerintahan usia Paku Buwana IV masih relatif sangat muda yaitu 19 tahun. Karena usia Paku Buwana IV masih sangat muda, maka rentan sekali menerima pengaruh dari pihak luar. Diceritakan dalam Babad Pakepung, Paku Buwana IV berhasil dihasut oleh Panengah, Wiradigda, Brahman dan Nursaleh untuk melepaskan diri dari kekuasaan Belanda. Dalam Babad Pakepung keempat orang tadi disebut Yasadipura I sebagai setan. Sedangkan dalam Serat Wicara Keras pupuh IV dan VII yang ditulis oleh Yasadipura II menggambarkan salah satu dari keempat orang tadi yaitu Wiradigda sebagai orang bodoh dan congkak dan yang diincarnya hanya uang melulu, dan jika berdagang selalu berbuat curang, mengijak-injak norma sosial Jawa yang luhur. Karena sangat percaya kepada mereka, sehingga para penasehat-penasehat seperti Yasadipura I dan Pangeran Purbaya dan pejabat-pejabat lainya mulai kehilangan pengaruhnya. Hal ini menjadikan Paku Buwana IV lupa terhadap pengasuhnya sejak kecil, yaitu Yasadipura I. Semua saran darinya tidak lagi diterima, sehingga membuat hubungan antara keduanya agak kurang harmonis. Dalam masa Pakepung, Belanda menuntut supaya keempat orang yang mendalangi Sunan diserahkan sebagai tawanan. Apabila tidak penuhi, Surakarta akan diserbu tentara gabungan yang terdiri atas tentara Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Kompeni. Ancaman tersebut membuwat posisi Paku Buwana IV semakin terdesak.
commit to user
Atas nasehat dari Yasadipura I, Paku Buwana IV dengan berat hati menyerahkan semua tawanan yang diminta pihak Belanda dan berjanji untuk tetap menjaga keamanan di Surakarta. Nasehat yang diberikan Yasadipura I kepada Paku Buwana IV bukan tanpa alasan, Yasadipura I menyadari betul resiko yang diambil apabila melawan pasukan gabungan (Mangkunegaran, Yogyakarta, dan Kompeni). Di sisi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id lain keadaan kraton sendiri sebenarnya lemah, sejak kehilangan daerah pesisir pulau Jawa pada masa pemerintahan Paku Buwana II. Di situ terlihat betapa diploamtisnya sang pujangga. Memang terlihat tidak nasionalis, tetapi semua itu demi keselamatan kraton yang sejatinya lemah (Didiek Teha, 1989:11). Karena besar pengabdiannya kepada negara, maka Paku Buwana IV mempromosikan Yasadipura I menjadi patih dalem. Namun ketika itu, usia Yasadipura I sudah tua, sehingga tidak bisa hadir dalam prosesi pengangkatannya sebagai patih dalem. Untuk menghormati jasa-jasa Yasadipura I maka jabatan pujagga diwariskan kepada putranya, Yasadipura II Jasa Yasadipura I yang sangat mengagumkan adalah kemampuan menggubah kitab-kitab berbahasa Jawa kuna ke dalam bahasa Jawa baru, sehingga mempermudah generasi kemudian untuk memberikan apresiasi. Selain menggubah, Yaadipura I juga menerjemahkan karya sastra asing, di samping karya sastra karanggannya sendiri (Purwadi, 2007: 66). Sebagai pengarang agung dan luhur budinya, Yasadipura I tidak melupakan kaderisasi. Putranya yaitu: Yasadipura II juga termasuk dalam deretan pujangga yang tersohor. Bahkan cicitnya, Ranggawarsita, mendapat tempat yang sangat istimewa dalam kancah kesusasraan Jawa. Bahkan masyarakat umum mengakui bahwa Ranggawarsita adalah pujangga paling terkemuka pada abad- 19 (Purwadi, 2007: 84). Yasadipura I tutup usia pada umur 74 tahun. Meninggal pada hari senin Kliwon, 24 Dulkangidah, Wawu 1728 atau 26 April 1801 dan dimakamkan di Pengging, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Mengenai riwayat kehidupan Yasadipura I yang diceritakan dalam Tus Pajang ini Ricklefs mencatat adanya dua kesalahan yang menyangkut tahun kelahiran dan kematian Yasadipura I. Seperti ditulis dalam Tus Pajang bahwa Yasadipura I lahir pad hari jum’at Pahing, Bulan Sapar, Tahun Jimakir tahun Jawa 1654 (1729 Masehi). Menurut Ricklefs, Jumat
commit to user
Pahing pada bulan Sapar tahun Jawa 1654 hanya jatuh pada tanggal 14 Sapar, atau 9 September 1729, dan tahun Jawa 1654 bukan tahun Jimakir tetapi tahun Je. Demikian pula dengan tanggal kematiannya terjadi kesalahan. Tahun Jawa 1728 adalah tahun Be dan pada tahun itu tanggal 20 Dulkangidah jatuh pada hari Kamis Legi bukan Senin Kliwon. Tanggal yang benar seharusnya Senin Kliwon, 20 Dulkangidah, Wawu perpustakaan.uns.ac.id 1729, atau sama dengan 145 Maret 1803 (Ricklefs, 1997: 274-275). digilib.uns.ac.id
2. Karya-Karya Yasadipura I Dalam dunia kepujanggaan Surakarta, tidak lepas dari jasa tiga orang pujangga besar, yang ketiganya berasal dari satu kelurga, yaitu Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita. Dari deretan Pujangga Jawa tersebut, Yasadipura I memberikan kesan tersendiri bagi perkembangan sastra Jawa. Dalam kapasitasnya sebagai pujangga, nama Yasadipura I cukup harum, mendapat tempat terhormat dan istimewa dalam sejarah intelektual kesusastraan dan kefilsafatan Jawa pada era awal kraton Surakarta. Yasadipura I sangat produktif dalam berolah sastra dan telah menerbitkan bermacam-macam buah pena dengan gaya bahasa yang bermutu dan mengagumkan. Bila dilihat dari kreatifitas, produktifitas, kuantitas dan kualitas karya-karyanya, Yasadipura I dapat disebut pujangga terbesar pada abad ke-18 (Purwadi,2007: 6). Jasa yang sangat mengagumkan adalah kemampuannya menggubah kitabkitab berbahasa Jawa Kuno ke dalam bahasa Jawa baru, sehingga mempermudah generasi kemudian untuk memberikan apresiasi. Selain menggubah, Yasadipura I juga menerjemahkan karya sastra asing, di samping karya sastra aslinya sendiri (Suryohudyodo,1980 : 563). Ada tiga sumber utama yang dapat memberikan informasi penting tentang karya-karya Yasadipura I, yaitu Zamenpraken karya C.F. Winter, Kapustakan Djawi karya Poerbatjaraka dan Tus Pajang karya R.Sasrasumarta. Dari ketiga sumber tersebut itu terdapat 17 naskah yang dianggap sebagai karya Yasadipura I, yaitu: Tajusalatin (terjemahkan Taj al-Salatin karangan Bukhari al-Jauhari), Iskandar, Panji Anggreni, Babad Giyanti (Babad Paliyan Nagari), Sewaka, Anbiya (saduran dari surat Anbiya’ Melayu), Menak (saduran dari hikayat Amir Hamzah), Baratayuda
commit to user
(jarwa), Babad Prayut, Cebolek, Pasindhen Badhaya, Arjunawiwaha (jarwa), Arjunasasrabahu (jarwa), Rama (jarwa), Panitisastra (Kawi Miring), Dewa Ruci (jarwa), dan Babad Pakepung (Sasrasumarta,1986: 191: Ricklefs,1997: 276). Berbeda dengan Hamzah Fansuri, yang karya-karyanya ditulis ketika fase integratif kebudayaan Melayu dengan Islam mencapai puncaknya, Yasadipura I perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menulis karyanya ketika di pulau Jawa sedang terjadi ketegangan yang berlarut-larut antara ulama ortodoks dan kaum heterodoks. Berbagai ketegangan politik yang terjadi di Jawa saat itu banyak terjadi disebabkan pembangkangan yang dilakukan kaum heterodoks. Pergolakan politik semakin panas ketiga pecah tiga pembrontakan besar, yaitu Perang Trunojoyo pada akhir abad ke-17 M, Pembrontakan Untung Surapati pada awal abad ke-18 M, dan pemberontakan Cina tidak lama kemudian. Kerajaan Mataram pecah belah akibat pemberontakan itu, apalagi dengan campur tangan VOC, yang menyebabkan Mataram bertekuk lutut di bawah kekuasaan kolonial. Untuk memulihkan stabilitas, rekonsiliasi kedua golongan
ortodoks dan
heterodoks sangat diperlukan. Kisah Dewa Ruci adalah simbol dari rekonsilisasi itu, sehingga sebagai sastra sufi ia memiliki peran yang unik dan juga corak yang unik yang tidak ditemui dalam karya sejenis dalam kesusastraan Melayu dan Nusantara yang lain Ricklefs yang memberikan kritik terhadap kesalahan-kesalahan yang ditemukan dalam Tus Pajang, juga meragukan enam naskah sebagai karangan Yasadipura I, yakni Tajusalatin, Menak, Iskandar, Sewaka, Arjunawiwaha Jarwa, dan Cebolek. Dari keseluruhan kritiknya, Ricklefs menyimpulkan bahwa keenam naskah yang oleh beberapa sumber dianggap sebagai karya Yasadipura I itu adalah naskah dari masa Karatasura. Oleh karena itu ia menduga bahwa kemungkian besar naskah itu telah ditulis atau sebagian disalin seseorang pujangga masa Kartasura, yaitu Carik Braja atau yang kemudian mejadi Tumenggung Tirtawiraguna (Ricklefs,1997: 278-279). Menurut Poerbatjaraka, kritik Ricklefs tidak seluruhnya menggoyakan pernyataan sebelumnya karena seperti halnya Tajusalatin, sebenarnya Serat Menak juga tidak disebut secara ekplisit dalam Tus Pajang, tetapi hanya disebut oleh Poerbatjaraka dalam Kepustakaan Djawi dan Winter dalam Zamenspraken. Naskah
commit to user
ini juga pernah dibicarakan oleh Poerbatjaraka dalam salah satu studi lainnya (Kemugkinan pernyataan Poerbatjaraka didasarkan pada keterangan Winter ini). Dalam Tus Pajang hanya disebutkan
“bok menawi taksih kathah malih
panunggalipun serat damelanipun Yasadipura, Namung dumugu sapriki, taksih kasilep dereng konangan ing akathah” (mungkin masih banyak lainya yang juga perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id karangan Yasadipura, tetapi masih tersembunyi dan belum diketahui umum) (Sasrasumarta,1986: 192). Bagaimanapun juga harus dicatat bahwa dugaan-dugaan di atas harus diterima secara ’’sementara’’, karena bukti otentik yang mendukungya belum ditemukan, tetapi jika dugaan di atas benar, maka reputasi dalam menyalin naskah-naskah Jawa Kuna kembali diragukan .
B. Serat Dewa Ruci Dalam Konteks Religi Masyarakat Jawa. 1. Esensi Serat Dewa Ruci Serat Dewa Ruci adalah salah suluk yang populer di Jawa dan sering dipergelarkan sebagai lakon wayang kulit. Keragaman versinya menunjukkan luasnya penyebaran kisah ini, begitu pula dengan banyaknya naskah yang memuat teks kisah ini di berbagai museum dalam dan luar negeri (Pigeaud 1967:83-7; Behrend 1990:499-544). Sejak lama cukup banyak sarjana sastra Jawa telah menelitinya, berdasar pertimbangan bahwa suluk ini merupakan representasi terbaik dari wacana mistisisme Jawa. Di dalamnya filsafat hidup Jawa yang didasarkan pada bentuk-bentuk spiritualitas atau mistisisme yang sinkretik tergambar dengan jelasnya. Serat Dewa Ruci merupakan karya Yasadipura I yang mengandung unsur etik dan mistik. Ramuan antara unsur Hindu, Jawa dan Islam yang penuh dengan makna simbolik membuatnya menjadi bahan kontemplasi bagi kalangan kebatinan dan kasepuhan yang berlaku relatif lestari. Bentuk penulisan Serat Dewa Ruci sesuai dengan tradisi pada masa itu adalah dalam bentuk tembang macapat. Sebelumnya sastra Jawa ditulis dengan mengikuti metrum kakawin dan kidung. Konvensi metrum macapat di dalam termasuk Guru Wilangan, Guru lagu, Guru Gatra. Masing-masing unsur itu mengandung makna simbolik.
commit to user
Dalam Serat Dewa Ruci versi Yasadipura I ini, isinya menceritakan tekad perjalanan Bima dalam mencari tirta prawita yang diperintahkan gurunya, Begawan Durna. Secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi “asal dan tujuan hidup manusia” atau manunggaling perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kawula Gusti. Peursen (1976:68) menamakan proses ini sebagai “identifikasi diri”, sedangkan Frans Dahler dan Julius Chandra menyebutnya dengan proses “individuasi” (1984:128). Proses pencarian untuk menemukan identitas diri ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi: Man ‘arafa nafsahu faqad rabbahu. Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia akan mengenal Tuhannya. Hal ini dalam cerita Dewaruci terdapat pada Pupuh V Dhandhanggula di-bait ke-49 yang berbunyi Telas wulangnya Sang Dewaruci, Wrekudara ing tyas datan kewran, wus wruh mring gamane dhewe, … dan Habis wejangan dari Sang Dewaruci. Maka Wrekudara dalam hatinya tidak ragu dan sudah tahu terhadap jalan dirinya (Marsono, 1976:107). Pembinaan pribadi manusia paripurna seperti apa yang dialami Bima dalam Serat Dewa Ruci disebutkan melalui 4 melalui empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Dalam bahasa Jawa disebut: laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa (Mangoewidjaja, 1928:44; Ciptoprawiro, 1986:71). Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama (1979:19-23), empat tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa Jika dibandingkan dengan konsep ajaran tasawuf Mangkunegara IV seperti yang
disebutkan
dalam
Serat
Wedhatama,
konsep
pemikiran
tasawuf
Yassadipura dalam Serat Dewa Ruci akan kelihatan persamaannya, karena ajaran tasawuf yang diajarkan keduanya merupakan satu paket perjalanan hidup utuh. Keempatnya merupakan mata rantai yang sambung menyambung, saling berkait satu dengan yang lain dan perlu dilakukan setahap demi setahap. 2. Konversi Serat Dewa Ruci a. Bentuk Penulisan
commit to user
Serat Dewa Ruci merupakan karya sastra yang mengandung nilai etis dan estetis yang tinggi. Serat dewa Ruci ditulis dalam bentuk metrum seni tembang macapat yang mempunyai konvensi khusus. 1. Guru gatra: jumlah larik setiap tembang 2. Guru wilangan : jumlah suku kata setiap larik perpustakaan.uns.ac.id 3. Guru lagu: suara suku kata akhir setiap larik (Haryana, 1984: 19). digilib.uns.ac.id Cara pembacaannya juga tidak sekedar dibaca, tetapi dengan dilagukan atau ditembangkan. Pembacaan tembang macapat harus memperhatikan melodi atau pedhotan. Pedhotan adalah perhentian suara, jeda dalam
larik- larik tembang
macapat. Timbul aturan pedhotan ini dengan tujuan agar dalam melagukan tembang macapat dapat lancar. Jika terdapat penggalan kata, maka pedotan kenceng atau keras. Jika pemenggalannya diantara dua kata, maka disebut pedhotan kendho atau longgar (Padmosukotjo, 1958:25-26). Achmadi (1998: 132-203) mengupas simbol yang terdapat dalam tembang macapat. Masing-masing tembang mempunyai sifat dan kegunaan sendiri-sendiri yaitu:
1) Mijil Mijil berarti keluar atau lahir, bayi yan baru lahir dari gua garba, rahim ibu. Juga berarti lahirnya gagasan, panemu atau uneg-uneg. Bayi yang baru saja mbabar lahir itu keadaannya masih suci, tanpa dosa ibarat kertas masih putih bersih, hitam putihnya tergantung pada penulisnya. Sifat: gandrung-gandrung, prihatin, dan serius Gunanya: mengungkapakan rasa prihatin, mengemukakan petuah yang cukup berbobot nilainya. 2) Sinom Sinom berarti muda, suatu masa untuk meniti cita-cita. Selagi masih muda, ilmu pengetahuan harus dicari sebagai persiapan masa dewasa nanti. Sifatnya: sederhana, susah, dan gigih. Gunanya: untuk nasehat, mengungkapakan rasa susah, namun tetap optimis terhadap masa depan. 3) Maskumambang
commit to user
Pemuda yang penuh perjuangan sehingga tampak tampan seperti mas mengapung. Masa muda merupakan jembatan emas asal dimanfaatkan sebaik-baiknya. Pemuda yang rajin dan pandai akan menyenangkan orang tua, guru, dan masyarakat. Sifatnya: susah, merana, dan nelangsa. perpustakaan.uns.ac.id Gunanya: mengungkapakan rasa susah karena baru kena musibah.digilib.uns.ac.id 4) Asmaradana Cinta yang disalurkan sesuai dengan moral agama dan sosial itu problem solving, bahkan mewangi ke kanan ke kiri bagi lingkungannya. Asmara yang diatur dengan baik akan membuahkan keselamatan, kehormatan, kemuliaan, dan kebahagiaan. Sifatnya: sengsem, susah, prihatin, cengeng. Gunanya: mengungkapakan rasa susah karena cinta.
5) Dhandanggula Rasa optimis terhadap masa depan yang lebih manis, cerah, dan gemilang, karena agenda hidup yang jelas dan tertata rapi, lumampah anut wirama, berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Sifatnya: luwes, manis, serba cocok untuk suasana apa saja. Gunanya: untuk nasehat, mengungkapkan rasa sedih, buat permulaan gendhing. 6) Durma Hidup harus begini menghadapi tantangan yang datangnya silih berganti. Hambatan, gangguan, dan cobaan hidup adalah suatu yang biasa dalam perjuanagan, sehingga tidak diperkenankan putus asa. Sifatnya: tegang, marah, dan dendam. Gunanya: untuk peringatan, peperangan, menantang 7) Pangkur
commit to user
Kemewahan dunia fana yang penuh jebakan ini hendaknya dihindari, sehingga mampu hidup sakmadya. Gaya hidup yang bermewah-mewahan akan membuwat hati kurang peka dan cepat lupa diri. Sifatnya: tegang dan serius. Gunanya: untuk memberi peringatan agar tidak melupakan masa lalu. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8) Gambuh Ilmu sangkan paraning dumadi harus diketahi. Sebagai orang yang beriman harus mempelajari pengetahuan dan meyakini adanya kehidupan di alam akhir. Disini peranan ilmu agama sangat penting. Sifatnya: menerangkan, menjelaskan. Gunanya: untuk mengajar dengan keterangan yang mudah 9) Pocung Ilmu harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga membuahkan kesejahteraan bagi diri sendiri dan lingkungannya. Sifat: mempunyai makna seenaknya, bersenda gurau. Gunanya: untuk berkelakar, teka-teki lucu, petuah agar senantiasa selalu ingat hari akhir. 10) Megatruh Tingkatan makrifat yang sudah ikhlas lahir batin, mati sajroning ngaurip, mencapai akir hidup yang khusnul khotimah atau emate pati patitis. Sifatnya: susah, menyesal sekali. Gunanya: untuk mengungkapkan rasa susah karena jiwa dan raga akan berpisah. 11) Kinanthi Diakhirat iman, ilmu, amal itulah bekalnya, sehingga seseorang akan memperoleh pahala di akhirat kelak yang berupa surga. Sifatnya: mengandung makna pengharapan gandrung. Gunanya: Mengungkapkan rasa susah dan menuntun ke arah kebaikan.
b. Makna Nama Bima Makna Bima mengacu pada salah satu tokoh Pandawa yaitu Puntadewa, Bima Arjuna, Nakula dan Sadewa. Bima mempunyai banyak nama antara lain:
commit to user
(1) Bima Maknanya sangat setia pada budi satu luhur. Kalau sudah menjadi tekadnya, siapa saja akan sulit mempengaruhinya, bahkan untuk mencapai cita-cita itu, meskipun sampai mati akan ditempuh juga. Orang jawa mengibaratkan Bima kalau sedang kaku bisa untuk teken atau tongkat, kalau sedang kendur bisa untung dhadung perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id atau tali. (2) Raden Arya Sena Maknanya ketika lahir masih berwujud bungkus, dan dipecahkan oleh Gajah Sena di hutan Minangsraya. (3) Bratasena Maknanya pamungkas laku. Dia sering membereskan berbagai masalah, rawerawe rantas malang-malag putung, dengan tetap berlandaskan kebenaran dan keadilan.
(4) Bimasena Maknaya panglima yang memimpin perang, jenderal atau senapati yang menjadi andalan Pandawa ketika sedang bertemu dengan musuh-musuhnya. (5) Jodipati Maknanya raja prajurit yang bisa dihandalakan karena kesaktiannya dalam menguasai ilmu perang. Bima tidak mau menaklukkan musuh dengan tipu muslihat. (6) Jayalaga Maknanya unggul dalam setiap peperangan, kalau sudah berperang dia malu dikalahkan, hanya saja kemenangan tidak semata-mata untuk kenikmatan sendiri. (7) Kusumayuda Makananya menjadi bunga, bintang, pemenang dalam setiap peperangan. Bima berperang dengan segenap kelincahan dan keanggunannya. (8) Kusumadilaga
commit to user
Maknanya dia selalu menjadi bintang dan kembang dalam gelap apa saja, termasuk pertempuran dan persidangan. Pendapat-pendapat yang dikemukakan Bima selalu mendasar dan argumentatif. (9) Wayuninda Maknanya suka angin. Bima sedang mengeluarkan tenaga selalu disertai angin perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id topan merupakan salah satu senjata bawaan Bima. (10) Bayuputra Karena Bima juga menjadi salah satu murid dan putra Bathara Bayu. Saudara seperguruan lain yang juga terkenal adalah Anoman yang menjadi panglima perang Prabu Rama. (11) Gandawastratmaja Karena dia pernah diangkat menjadi putra Prabu Gandawastra yang paling terkasih. (12) Pandhusiwi Karena putra Prabu Pandhu Dewanata raja di Astina.
(13) Kunthisunu Karena putra Dewi Kunthi Talibrata, seorang ibu yang berhasil mendidik anakanaknya, tanpa kasih pilih kasih anatara anak kandung dengan anak tiri (Sumasaputra, 1953: 119). Kehebatan tokoh Bima sudah terlihat istimewa sejak dia dilahirkan. Pada mulanya Bima lahir dari gua garba ibunya, Dewi Kunthi Talibrata, dalam keadaan terbungkus. Setelah ditunggu dalam waktu yang relatif lama ternyata bungkus itu tetap. Prabu Pandhu Dewanata melihat nasib anaknya demikian merasa bahwa dirinya sedang mendapat cobaan dari Dewata Agung. Pada suatu ketika Prabu Pandhu mendapat ilham bahwa nantinya anak itu akan menjadi satria gagah perkasa dan berbudi luhur asal diasingkan dahulu di tengah hutan Minangsraya. Bungkus bayi itu akhirnya diletakkan di hutan dengan dikawal oleh Harya Suman dan para Korawa. Harya Suman dan para Kurawa tidak suka melihat perkembangan bungkus yang dari hari ke hari semakin subur wujudnya. Mereka merasa kepentingannya untuk menguasai negeri Astina akan terganggu kalau bungkus itu berubah wujud
commit to user
menjadi manusia sempurna. Oleh karena itu Harya Suman membuwat siasat licik. Para korawa dihasut agar menghancurkan bungkus tersebut. Anehnya segala senjata yang digunakan untuk membinasakan bungkus itu tidak mempan. Bahkan bungkus itu mengamuk sehingga membikin para Korawa kalang kabut. Duryudana, Dursasana, Durmagati, Citraksa, Citraksi dan lainnya terpaksa mendapat malu yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sangat besar (kewirangan). Jadi meskipun belum sempurna wujudnya, Bima sudah mampu menunjukkan kehebatannya yang luar biasa. Masa pembuangan di hutan Minangsraya yang dilukiskan sebagai wana gung liwang-liwung, jalma mara jalama mati (hutan lebat yang sunyi senyap, manusia yang datang pasti akan mati) merupakan masa laku brata dan prihatin yang hebat. Bima ditempa ibarat kerasnya baja. Kesengsaraan Bima dalam bungkus itu pada akhirnya membuahkan hasil. Batara Bayu kemudian memberi anugerah dengan bermacam-macam kawruh (pengetahuan) dan busana yang penuh dengan makna simbolis.
c. Makna Busana Bima Siswoharsojo (1953: 34-40) menguraikan makna simbolis busana adiluhung Bima itu sebagai berikut: 1) Gelung Minangkara Cinandhi Rengga Endhek Ngarep Dhuwur Buri. Maknanya Bima senantiasa waspada terhadap dirinya sebagai hamba yang harus pasrah dan berbakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2) Pupuk Mas Rineka Jarot Asem. Maknana Bima mempunyai watak dan budi pekerti luhur dengan selalu mengasah kebenaran dan pengetahuannya, karena sudah diambil putra Sang Hyang Bayu. 3) Sumping Kastuba Jati Maknanya Bima selalu menguasai ilmu kesempurnaan hidup, syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat, tetapi tidak pernah menyombongkan diri. Dia sering pura-pura bodoh 4) Anting-anting Panunggal Sotya Manik Banyu. Maknanya Bima sudah waskhita ngerti sakdurung winarah (bijaksana tahu sebelum diajari) serta tidak pernah khawatir terhadap segala apa yang akan terjadi.
commit to user
5) Kalung Nagabanda. Maknanya Bima adalah satria gagah perkasa dan parajurit sejati, lebih baik mati dari pada berkhianat 6) Kelat Bahu Blebar Manggis kang Binelah Sakendhangane. Bima berhati emas dan suci lahir batinnya. Dia tidak mau berjanji kalau tidak ada buktinya. 7) Gelang candra kirana. Maknanya Bima selalu mengarahkan agar ilmu perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pegetahuannya terang benderang seperti bulan purnama bercahaya, purnama sumorot. 8) Kampuh Pancawara Poleng Bang Bintulu Abang Ireng Kuning Putih Miwah Wilis. Maknanya Bima dalam hidupnya mampu mengendalikan panca indranya terhadap godaan nafsu, sehingga dia bisa ikut serta dalam memayu hayuning bawana, menjaga keharmonisan alam. 9) Sabuk Cindhe Wilis Kembar Beranipun kang Bimelah Numpang Wentis Kanan Kering Bima bisa berkosentrasi dalam bermeditasi (khusu’) sehingga hati dan pikirannya menyatu. 10) Porong Nagaraja Mungwing Dhengkul. Maknanya Bima memegang serta kebenaran
dan
memantapkan
ilmu
pengetahuan
serta
kebenaran
dan
memantapakan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki dengan selalu membuka diri terhadap kritik dan pendapat orang lain. Bima duduk bersimpuh dan berbahasa Jawa krama inggil di hadapan Dewaruci, sebagai lambang tata krama. Bima disebut Bratasena dengan mengubah rambut ngore menjadi Gelung Minangkara. Dia mempunyai senjata kuku pancanaka dan gada Lukitsari yang melambangkan urat syaraf. Menurut Supadjar (1993: 47) ceritera Bima Suci menjadi kebanggaan para kasepuhan masyarakat Jawa, karena Bima telah mencapai tingkatan sarira sajati, sari rasa jati, yang sudah manunggal lahir batinnya. Bima mempunyai Wungkal Bener, yang mengandung makna hidup itu merupakan batu pengasah kebenaran.
3. Historitas dan Latar Belakang Terciptanya Serat Dewa Ruci a. Historitas Serat Dewa Ruci Masyarakat Jawa, terutama bagi kalangan kasepuhan sangat menggemari cerita Dewa Ruci. Pagelaran wayang kulit purwa kerap menampilkan lakon Dewa
commit to user
Ruci, karena isinya cukup berbobot untuk digunakan sebagai bahan renungan perihal hakikat kehidupan, yaitu kawruh sangkan paraning dumadi atau dari mana dan kemana tujuan hidup manusia itu. Para pujangga pun memberi apresiasi yang tinggi terhadap keberadaan Serat Dewa Ruci. Penyalinan Serat Dewa Ruci dilakukan secara berulang-ulang. Tiap-tiap perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pujangga dan penyalin mempunyai taste (selera) yang berbeda dalam menuangkan buah pikirannya. Suatu kewajaran kalau terjadi penyimpangan baik yang bersifat penambahan dan pengurangan terhadap naskah pertama Serat Dewa Ruci. Banyaknya variasi naskah yang diteliti secara khusus oleh bidang kajian filologi. Suatu cabang ilmu yang berusaha mempelajari seluk berluk kitab-kitab kuno. Perpustakaan yang memuat koleksi naskah Serat Dewa Ruci jumlahnya cukup banyak, diantaraanya: Perupustakaan Radya Pustaka, Sana Budaya Yogyakarta, Perpustakaan Nasional Jakarta. Variasi naskah yang memuat cerita Dewaruci atau Bima suci terdapat kurang lebih 29 naskah (Poerbatjaraka, 1940:4-5). Menurut Purwadi Serat Dewa Ruci yang diciptakan Yasadipura I pada masa awal kraton Surakarta. Secara historitas Serat Dewa Ruci berkaitan dengan kitab Nawaruci karya Empu Siwamurti pada zaman kerajaan Majapahit yang ditulis antara tahun 1500-1619 M. Dengan demikian Nawaruci adalah Sang Hyang Tattwajnana yang dapat diterjemahkan sebagai kitab tentang hakikat hidup. Kitab Nawaruci ini merupakan karya sastra religius yang terpengaruh mistik Hindhu. Lahirnya kitab Nawaruci itu bersamaan dengan masa penyebaran dan perkembangan agama Islam di kalangan masyarakat Jawa. Mistik Islam yang dikenal oleh masyarakat Jawa pada waktu telah memberikan inspirasi untuk digarap menjadi lakon wayang. Memang dalam Mahabarata cerita Dewa Ruci tidak pernah dijumpai, namun ada cerita dari India yang mirip dengan Dewa Ruci yaitu kisah Markandeya yang mengarungi samudera dan menemukan cabangnya yang rindang dan dalam seorang anak kecil dan meminta agar Markandeya masuk ke dalam tubuhnya untuk melihat seluruh isi alam semesta. Dalam cerita Markandeya itu disebutkan bahwa anak kecil itu adalah Narayana sebagai penjelmaan dewa Wisnu. Dalam cerita Markandeya
itu
nama
Bima
sama
sekali
commit to user
tidak
disebutkan
(Singgih
Wibisono1996:33). Namun demikian kerangka plot ceritanya termasuk sumber inspirasi bagi kreatifitas sastrawan lain Kitab Nawaruci ini sudah dibahas dalam bentuk disertasi oleh Prijohoetomo pada tahun 1934. Dalam disertasi itu dikemukakan perbandingan antara kitab Nawaruci dengan kitab Dewaruci. Kesimpulannya adalah bahwa kitab Nawaruci perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id itulah yang menjadi sumber dari lakon Dewaruci yang semakin populer dalam dunia pewayangan (Wibisono,1996:33). Serat Nawaruci banyak mengandung unsur Hindhu sedangkan Serat Dewaruci mulai ditambahkan dengan unsur Islam. Menurut Donald (1983:26) cerita Dewa Ruci yang paling tua ditulis pada abad ke-15. Cerita Dewa Ruci itu berbentuk tembang gedhe dengan bahasa Jawa Tengahan sebagaimana telah diteliti oleh Poerbatjaraka. Isi cerita Dewaruci yang tertua ini tidak begitu panjang. Cerita ini diawali dengan kepergian Bima ke samudra kemudian bertemu dengan Dewaruci. Akhir cerita yaitu Bima mendapat wejangan dari Dewa Ruci (Marsono, 1996:26). Wejangannya berupa usaha untuk mencapai kesempurnaan hidup Serat Dewa Ruci tembang gedhe yang berbahasa Jawa Tengahan ini belum diketahui penciptanya serta belum jelas kapan dikarang. Gaya bahasanya masih menggunakan cara kuno menggunakan sekar ageng tanpa guru lagu (Poerbatjaraka 1957: 70-76). Pada abad ke 18 yaitu sekitar tahun 1796, pujangga kraton Surakarta Yasadipura I menggubah teks Dewaruci tembang gedhe yang bercorak HindhuBudha ke dalam serat Dewa Ruci macapat dengan berbahasa jawa baru dan mengandung nafas Islam (Haqq, 1959:38-39). Marsono (1996: 15) menyatakan bahwa teks Serat Dewaruci macapat karya Yasadipura I itu diterbitkan oleh Mas Ngabehi Kramaprawira dengan percetakan Van Drop di Semarang pada tahun 1870,1873, dan 1880 dengan huruf Jawa. Teks Dewaruci macapat karya Yasadipura I yang ditulis pada tahun 1796, yang bertemakan mistis itu ditranformasikan menjadi suluk Lokajaya, Seh Malaya, atau Sunan Kalijaga. Sedang tokoh Pendeta Drona ditranformasikan menjadi Sunan Bonang. Dewaruci ditranformaskan menjadi Nabi Khidir. Konsepsi Tuhan yang direalisasikan dengan nama Allah, dan dimosaik dengan pahan tasawuf. Tranformasi
commit to user
ini disesuaiakan dengan tradisi zaman yang sudah Islam tranformasi ini dikerjakan pada abad ke-19, bersamaan dengan kebangkitan sastra Jawa klasik di Surakarta (Marsono, 1996: 16). Pada abad ke-19 sastra Jawa tumbuh dengan subur seperti cendawan di musim hujan, sebagaimana yang telah dipelopori oleh Pujangga Ranggawarsita dan Mangkunegara IV. perpustakaan.uns.ac.id Isi teks Dewa Ruci macapat dan Dewa Ruci tembang gedhedigilib.uns.ac.id pada dasarnya sama, yaitu mengisahkan perjalanan tekad perjalanan Bima dalam mencari tirta prawita (air suci) yang diperintahkan gurunya, Begawan Durna. Cerita ini menggambarkan lika-liku perjuangan manusia dalam menuju kesempurnaan hidup untuk menemukan identitasnya dirinya. Jati diri manusia diperoleh melalui rintangan yang cukup berat. Serat Dewa Ruci melambangkan empat perjalanan manusia yaitu: lampahing raga atau laku badan, lampahing budi, atau laku akal, lampahing manah atau laku hati, dan lampahing rasa atau laku rasa. Keempat laku itu sesuai dengan isi teks Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV yang mengutarakan empat sembah yaitu: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa. Dalam tadisi tasawuf Islam dikenal dengan adanya tahap yaitu: syariat, tarikat, hakikat , dan makrifat. b. Latar Belakang Terciptnya Serat Dewa Ruci Tidak ada seorang pujangga yang menulis atau menciptakan di ruang hampa, lepas dari budaya lingkungan dan jiwa jaman (Mulyoto, 1991). Di dalam menjawab masalah kemasyarakatan yang dihadapinya, seorang pujangga selain menciptakan karya sastra piwulang, juga mengaktualkan sastra piwulang yang telah mentradisi dan tersebar di masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, maka perlu kiranya memahami budaya lingkungan dan jiwa jaman, serta
masalah kemasyarakatan yang
melatarbelakanginya. Pada masa awal pertumbuhan Kraton Surakarta Hadiningrat yang patut dicermati adalah fase pergolakan politik yang terjadi. Sebelumnya telah diawali perpindahan ibukota Mataram dari Kota Gede ke Plered, kemudian ke Kartasura, dan pindah ke Surakarta. Perebutan kekuasaan antara pangeran, konflik antar bangsawan, silang sengketa antara umara dan ulama, dan intervensi VOC pada keluarga kraton Mataram telah menjerumuskan pada krisis politik, budaya, dan ekonomi yang cukup
commit to user
menyedihkan. Para raja, bangsawan, dan elit pribumi lainnya seolah-olah sudah kehilangan kewibawaan. Kerajaan Mataram yang besar dan pada akhirnya pecah berkeping-keping menjadi empat bagian yaitu: Kraton Surakarta, Kraton Yogyakarta, Pura Mangkunegaran, dan Pura Paku Alaman. Keempatnya secara politik telah lemah, dan sangat tergantung pada kebijakan VOC. Suksesi kepemimpinan kraton perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id tidak dapat mandiri dan independen lagi. Penderitaan politik dan ekonomi pada masa ini ternyata memberi hikmah dan berkah pada bidang lain, terutama bidang kebudayaan, kesenian, kesusastraan. Hasil karya sastra lama yang besar dan monumental seperti Kakawin Ramayana, Mahabarata, dan Arjunawiwaha digali, diteliti, disadur dan diterjemahkan. Karyakarya asing, terutama karya pujangga Islam Mesir, Timur Tengah, Gujarat dan Aceh digarap, disebarkan dan dikembangkan dalam wajah baru yang disesuaikan dengan alam
kejawen.
Para
pujangga
masa
itu
benar-benar
bersemangat
dalam
mengekspresikan bakatnya. Produksi estetika kesusastraan yang bersifat orisinal berkembang pesat laksana jamur di musim penghujan. Kegairahan bidang budaya, seni dan sastra yang bersifat etis religius seakan-akan mengobati luka istana akibat krisisi politik. Masyarakat yang sudah lelah dan jenuh menyaksikan pertikain tersihir dan terhibur oleh keanggunan dan keagungan sastra estetis. Kekacauan kekuasaan kerajaan digelar oleh kualitas kebudayaan, kesenian dan kesusastraan. Para raja, permaisuri, pangeran, bangsawan dan kerabat istana berlombalomba terlibat secara aktif dan profesional dalam dunia karang mengarang. Aktifitas ini ternyata membawa keunggulan tersediri. Kehidupan sastra budaya bersifat sufistik religius itu membuahkan kewibawaan dan kepercayaan di mata rakyat. Radikalitas dan anarki ditanah Jawa akibat krisis politik dan ekonomi dapat dicegah oleh spiritualisme seni, yang cenderung pada alam pikiran asketis. Sufisme pelan-pelan merambah dan merembes pada pola kebudayaan Jawa meluas dan mengakar. Dari deretan pujangga Jawa dari abad ke abad, Yasadipura I mendapat tempat yang terhormat dan istimewa dalam sejarah intelektual kesusastraan, dan kefilsafatan Jawa. Yasadipura I sangat produktif dalam berolah sastra dan telah menerbitkan bermacam-macam buah pena dengan gaya bahasa yang bermutu dan mengagumkan. Sebagai keturunan bangsawan dan pujangga istana sekaligus, Yasadipura I mewarisi
commit to user
bakatnya luar biasa. Masyarakat Jawa berhutang budi padanya, karena Yasadipura I pula yang membedah kitab-kitab kuno, sehingga dapat dinikmati oleh generasi sesudahnya. Pandangan, pengetahuan dan keilmuwan Yasadipura I sungguh sangat luas, meliputi soal-soal ketuhanan, kemasyarakatan, kemanusiaan, dan keadilan. Pengaruh Hindhu, Islam dan Jawa diolah menjadi suatu karya yang harmonis. Sintesa perpustakaan.uns.ac.id kebudayaan, Hindhu , Jawa dan Islam, yang diwakili tasawufdigilib.uns.ac.id atau sufisme, mendapatkan bentuknya yang definitif. Sintesa itu tercermin sepenuhnya dalam Serat Dewa Ruci. Mengenai motif penulisan Serat Dewa Ruci yang dijadikan sentral pemahasan, Simuh (1988:33) mengatakan bahwa perkembangan sastra Jawa sejak lama didukung terutama golongan istana. Mereka mengganggap politik mempunyai nilai yang lebih tinggi dari agama. Karena itu semua kegiatan sastra dan keagamaan selalu diarahkan untuk mendukung kepentingan politik penguasa. Penerapan masalah agama diselaraskan dengan kepentingan agama. Tasawuf diutamakan karena lebih mudah dicerna dan disesuaikan dengan tradisi mistik Jawa. Sedangkan penyelerasan antara tasawuf dan mistisme Jawa dilakukan untuk meredakan dan mendamaikan konflik antara pendukung syariah dan pemuka ajaran heterodoks, karena sumbersumber pembangkangan dan krisis politik di Jawa tidak jarang bersumber dari dua kelompok ini.
4. Perbandingan Nawaruci dan Serat Dewa Ruci Serat Dewa Ruci adalah sebuah alegori sufi Jawa yang begitu populer dalam lingkungan kebudayaan Jawa. Kisah mistikal yang hadir dalam banyak versi dalam kepustakaan Jawa ini juga sering diangkat jadi lakon pewayangan. Serat Dewa Ruci dalam kesusastraan Jawa ditulis dalam beberapa sumber pustaka seperti "Nawaruci", "Dewa Ruci" dan "Bimo Suci". Menurut Seno Sastroamidjojo (1967) babon cerita Dewa Ruci itu berbahasa Jawa kuno atau Kawi, tertulis pada rontal. Tan Khoen Swie (1923) menyebutan bahwa cerita Dewaruci yang asli itu digubah dalam bahasa Kawi oleh Mpu Wijayaka di Mamenang, Kediri atau lebih terkenal dengan Ajisaka yang pada waktu kecilnya bernama Jayasengkala, salah seorang putra Mpu Anggojali. Sementara itu dalam disertasinya, Priyohutomo menyebutkan bahwa Serat Dewaruci
commit to user
ini merupakan pengembangan dari Nawaruci yang ditulis oleh Mpu Siwamurti, salah seorang pujangga pada masa Majapahit. Kemudian banyak gubahan baru diturunkan dari aslinya. Turunan itu kemudian diturunkan pula. Pada umumnya dengan tambahan atau pengurangan berdasarkan kehendak atau perasaan pribadi sang penggubah. perpustakaan.uns.ac.id Menurut Poerbatjaraka,
berdasarkan
sifat
bahasanya digilib.uns.ac.id (bahasa kawi)
kemungkinan bahwa lahirnya kitab Nawaruci itu bersamaan dengan masa penyebaran dan perkembangan agama Islam di kalangan masyarakat Jawa. Mistik Islam yang dikenal oleh masyarakat Jawa pada waktu itu telah memberi inspirasi untuk digarap menjadi lakon wayang. Hal senada juga dikemukakan oleh Stutterheim. Pendapat Stutterheim tersebut didasarkan pada hasil penyelidikannya di candi Penaggungan. Menurut Stutterheim kitab Nawaruci diciptakan pada abad ke XV (sekitar tahun 1450 M) (Seno Sastroamidjojo, 1962: 3). Dalam epos Mahabarata cerita Dewa Ruci tidak pernah dijumpai, namun ada cerita dari India yang mirip dengan Dewa Ruci yaitu kisah Markandeya yang mengarungi samudera dan menemukan cabangnya yang rindang dan dalam seorang anak kecil dan meminta agar Markandeya masuk ke dalam tubuhnya untuk melihat seluruh isi alam semesta. Dalam cerita Markandeya itu disebutkan bahwa anak kecil itu adalah Narayana sebagai penjelmaan dewa Wisnu. Dalam cerita Markandeya itu nama Bima sama sekali tidak disebutkan (Singgih Wibisono,1996:33). Namun demikian kerangka plot ceritanya termasuk sumber inspirasi bagi kreatifitas sastrawan lain. Dalam teks Nawaruci dan Dewa Ruci menjadi
Bima adalah
sosok sentral yang
obyek pembahasan. Kendati tokoh Bima sebenarnya tokoh dari epos
Mahabharata yang masih menganut Hindhuistik, namun oleh para pujangga dan para wali dijadikan pemeran utama dalam hal mencari kesempurnaan hidup ala sufisme. Pemilihan tokoh Bima dan Dewa Ruci sebagai pelaku utama memperlihatkan sensibilitas pengarang dalam membuat pertimbangan praktis, yaitu dengan bertolak dari alasan-alasan kultural. Meskipun agama Islam diterima oleh orang Jawa, namun pada saat yang sama pengarang mengingatkan agar jati diri dan budaya Jawa lama jangan dibuang. Caranya dengan menghidupkannya seraya memberikan wadah
commit to user
terhadap ajaran agama yang baru dipeluk. Kecuali itu pengarang juga mengenal dengan baik kegemaran orang Jawa pada lakon wayang, sebagai pembentuk ketidaksadaran dan kesadaran kolektif mereka. Pertimbangan praktis lain ialah penyampaian kisah Dewa Ruci dalam bingkai cerita sejarah, sedangkan kisah inti tentang perjalanan Bima diambil dari wiracarita atau cerita kepahlawanan (epos). perpustakaan.uns.ac.id Orang Jawa menyukai peristiwa-peristiwa sejarah yang terkait digilib.uns.ac.id dengan timbul tenggelamnya kerajaan-kerajaan feodal mereka, konflik-konflik internal yang terjadi. Di samping itu mereka menyukai mistik, dan cerita kepahlawanan. Kitab Nawaruci maupun Serat Dewa Ruci jika dilihat dari segi arah dan tujuannya pada dasarnya sama, yaitu mengisahkan perjuangan tokoh Bima yang harus mengahadapi siksaan fisik dan psikis untuk memperoleh 'sesuatu' yang sangat berarti bagi kehidupan duniawiahnya. Ketabahan, ketulusan dan keuletannya akhirnya memang mampu mengantar Bima untuk memiliki sesuatu yang dimaksud kendati dalam dimensi yang lebih luhur. Keduanya melambangkan hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan yang begitu erat atau bahkan sampai kepada kesatuan wujud (wihdatul wujud), sebagai manunggaling kawula Gusti. Manusia yang telah sampai tingkatan manunggaling kawula Gusti di dunia akan menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti), ia sebagai khalifatullah fi al-ardi. Ia menyinari bumi, menjaga keselamatan dunia (memayu hayuning bawana), memberikan kedamaian, dan membuat dunia menjadi indah. Manusia semacam ini bersedia dan mampu melawan segala godaan alam lahir. Ia tak tergoda oleh kehidupan dunia yang tidak baik dan tidak tergoda oleh godaan setan. Ia di dunia telah mati bagi segala godaan alam lahir dan mencapai hidup yang benar, yaitu mati sajroning ngaurip mati dalam hidup serta urip sajroning mati hidup dalam kematian. Kitab Nawaruci ini sudah dibahas dalam bentuk disertasi oleh Prijohoetomo pada tahun 1934. Dalam disertasinya itu dikemukakan perbandingan antara kitab Nawaruci dengan kitab Dewaruci. Kesimpulannya adalah bahwa kitab Nawaruci itulah yang menjadi sumber dari lakon Dewaruci yang semakin populer dalam dunia pewayangan (Wibisono,1996:33). Serat Nawaruci banyak mengandung unsur Hindhu sedangkan Serat Dewa Ruci mulai ditambahkan dengan unsur Islam. Tuhan yang politeis sebagaimana dalam Hindhu diganti dengan Tuhan yang monoteis
commit to user
sebagaimana yang diajarkan dalam Islam dan disitulah nilai keislaman tercermin, yakni dalam isi ajarannya (Musbikin, 2010:50). Selain itu dalam gubahan Serat Dewa Ruci karya Tan Koen Swie berbentuk sekar macapat misalnya, unsur-unsur Islam terlihat, dengan ditambahkannya beberapa istilah Arab seperti : wujud, dzat, sifat, ma’krifat , nikmat, dan manfaat (Simuh, 1988:31). Sedang nilai kejawen yang masuk perpustakaan.uns.ac.id dalam Serat Dewa Ruci tampaknya hanya berada pada metode (cara digilib.uns.ac.id pemaparan). Ini terlihat pada penggunaan bahasa Jawa sebagai alat penyampain ajarannya. Ciri tersebut sebagaimana dikatakan oleh Simuh merupakan salah satu corak karya sastra suluk yang masuk pada kelompok kepustakaan Islam Kejawen. Yakni menggunakan bahasa Jawa dan sangat sedikit mengungkapakan aspek syariat (aturan-aturan lahir daripada agama Islam). Walaupun Serat Dewa Ruci tersebut mengambil konteks Hinduistik. Hal tersebut tidak lagi begitu penting. Sebab semuanya hanya dilihat sebagai “baju” atau “wadah” yang tidak bertentangan dengan isi, yaitu Islam sendiri. Wujud luar boleh saja Hinduistis, tetapi roh-nya tetap Islam. Terlepas dari perbedaan dan persamaan teks Dewa Ruci dan Nawaruci itu yang terpenting ialah inti sari cerita keduanya dapat menggambarkan perkembangan cara berpikir bangsa Indonesia umumnya, Jawa khususnya, terutama mengenai pandangan hidupnya. Baik dalam Nawaruci maupun Dewa Ruci filsafat hidup Jawa yang didasarkan pada bentuk-bentuk spiritual atau mistisme yang sinkretik tergambar jelas didalamnya.
5. Serat Dewa Ruci dalam Konteks Penghayatan Keagamaan Masyarakat Jawa Masyarakat Jawa merupakan sebuah specifiq community telah berabad-abad membentuk dan membangun suatu peradaban yang khas unik (Muklis 2006: 21). Dalam konteks budaya, masyarakat Jawa memiliki ciri khas tersendiri. Kekhasan tersebut terletak dalam kemampuannya untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Dalam konteks keagamaan, masyarakat Jawa bersifat terbuka untuk menerima agama apapun agama dengan pemahaman semua agama itu baik, maka sangatlah wajar bila masyarakat Jawa bersifat sinkretik (bersifat momot atau serba memuat).
commit to user
Penghayatan keagamaan orang Jawa dalam konteks sosio historis tercermin dalam ungkapan agama, ageman aji, bahawa agama itu merupakan busana keprabon yang sungguh berharga. Agama secara Jarwa dhasok, a = tidak, gama = rusak, sehingga keberadaan agama selalu menuntut manusia agar memperoleh kebahagiaan dan ketentaraman lahir batin. Istilah Jawa kang kajawi, menandakan dalam perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id masyarakat Jawa aspek spirituallah yang dikedepankan (Purwadi, 2002: V) Pada kebudayaan Jawa, sistem keagamaan sejak dahulu mempunyai variasi kultural. Menurut Mulder, sejak dulu mereka dibagi menjadi dua mereka yang sholat yaitu, orang yang melakukannya disebut putihan dan mereka yang tidak sholat mereka disebut abangan atau rakyat kebanyakan yang tidak religius atau mereka yang tidak melaksanakan peradaban Islam (Mulder, 2003:1). Geertz telah melakukan pengamatan di Mojokuto. Geertz membagi masyarakat Jawa menjadi tiga varian yaitu abangan, santri dan priyayi. Abangan mewakili sikap memiliki segi-segi sinkretisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani. Santri mewakili sikap menitikberatkan pada segi-segi Islam, pada umumnya berhubungan dengan unsur pedagang (maupun juga petani) dan priyayi yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindhu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi (Geertz, 1989: X). Dari pembagian di atas maka kita dapat melihat bahwa di Jawa terdapat kelompok-kelompok religius yang berbeda. Kelompok santri atau putihan menjalankan doktrin agama Islam, dan kelompok abangan bergelut pada kepercayaan ajaran kejawen. Perbedaan-perbedaan dalam menilai praktik agama itu sudah menjadi bagian kehidupan di Jawa sejak munculnya Islam. Pada awalnya masyarakat Jawa kehidupan beragama terimbas oleh pemikiran animistis, dimana pemikiran ini telah ada sebelum praktik Hindhu-Budha masuk di Indonesia yaitu diawali pada masa prasejarah. Setelah pemikiran animistis tersebut, doktrin Hindhu-Budha masuk ke Indonesia, gabungan keduanya membentuk mistisisme, pengagungan jiwa-jiwa sakti. Pemujaan arwah dan penyembahan tempat-tempat keramat walaupun demikian semua itu tidak bertentangan secara mencolok dengan watak mistis dan corak berpadu
dan
membentuk
peradapan
baru
(Mulder, 2003: 2).
commit to user
yang
disebut
kejawen
Bentuk agama Islam orang Jawa disebut Kejawen atau Agama Jawi yaitu suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik,
yang
tercampur
menjadi
satu
dan
diakui
sebagai
agama
Islam
(Koentjaraningrat, 1984: 312). Dengan kata lain, Islam Abangan atau Agami Jawi lebih bersifat sinkretis karena menyatukan unsur-unsur pra-Hindhu, Hindhu-Budha perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dan Islam (heterodoks). Walaupun demikian, hal itu tidak berarti mereka hampir tidak beragama atau sangat sedikit memikirkan agama, atau menjalankan kehidupan tanpa kegiatan agama. Waktu-waktu mereka justru banyak tersita oleh aktivitas agama. Mereka juga percaya adanya Allah, percaya kenabian Muhammad, percaya dengan kebenaran kitab Al-Qur’an dan percaya bahwa orang baik akan masuk surga. Tetapi di samping itu mereka juga meyakini konsep dan pandangan keagamaan tertentu, percaya akan makhluk gaib dan kekuatan sakti, dan melakukan ritus-ritus dan upacara keagamaan yang sangat sedikit sangkut-pautnya dengan doktrin-doktrin Islam resmi (Koentjaraningrat,1984: 311). Kemunculan Agama Jawi bukan proses yang berlangsung dalam ruang yang kosong. Tetapi proses ini terjadi di dalam sebuah logika dialektika budaya ketika satu prinsip bertemu dengan prinsip yang lain dalam dimensi sejarah. Proses dialektika akan selalu menghasilkan sintesis-sintesis baru yang kadang tak terduga atau tidak direncanakan sebelumnya. Faktor yang paling menonjol dalam proses sinkretis antara Islam dan tradisi Jawa sehingga menghasilkan agama Jawi dengan sendirinya juga datang dari kedua belah pihak. Bentuk Islam mistis yang berkembang di Indonesia adalah faktor paling nyata sehingga memungkinkan proses tersebut. Sementara dari budaya Jawa, tradisi kepercayaan ruh dan benda-benda gaib yaitu animisme dan dinamisme pada rakyat kebanyakan, dan tradisi Hindu-Budha pada kaum aristokrat kerajaan menjadi faktor kedua, yang seolah bertemu dalam satu titik kompromi paling landai ketika bertemu dengan Islam mitis. Islam mistis atau Islam tasawuf bisa didefinisikan sebagai Islam yang lebih menekankan pada pemikiran dan praktik pencarian hubungan manusia dan Tuhan dengan cara-cara berpaling pada hal-hal duniawi dan lebih mengutamakan penghayatan dan kepasrahan pada Tuhan semata. Jalan untuk menuju pada sebuah
commit to user
kesempurnaan hubungan antara manusia dan Tuhan, dalam Islam mitis, didapatkan dengan melalui beberapa tingkat yaitu: syariat, tarikat, hakikat dan ma’rifat. Syariat adalah hidup yang sesuai dengan hukum Allah. Tarikat adalah bentuk kepasrahan pada Tuhan secara sepenuhnya. Hakikat adalah tingkat di mana manusia hanya memperhatikan Allah semata-mata dan ma’rifat adalah tahap terakhir yaitu tahap perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kesempurnaaan (Edi Sedyawati, 1993: 54). Secara historis, Islam yang mula-mula berkembang di Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya adalah Islam yang dibawa oleh orang-orang Persia dan India melalui jalur perdagangan yang sangat kental dengan tradisi mistik (Zaini Muchtarom, 1988: 18). Menurut Koentjaraningrat (1984:53), gagasan-gagasan mistik tersebut mendapat sambutan baik dari masyarakat Jawa, karena sejak zaman sebelum masuknya Islam, kepercayaan tradisional (animisme dan dinamisme) serta tradisi kebudayaan Hindhu-Budha yang ada terlebih dahulu di Jawa telah didominasi oleh unsur-unsur mistik. Bentuk Islam mitis lebih menampakkan wajah yang relatif ramah atau lunak ketika bertemu dengan agama lokal, yaitu tradisi agama asli (animisme dan dinamisme)
dan
Hindhu-Budha.
Dengan
kata
lain
Islam
mistis
mampu
mengakomodir pandangaan dan sistem ritual di luar Islam baku, sehingga terjalinlah sebuah anyaman berupa akulturasi antara ajaran Islam dengan paham-paham sebelumnya. Sifat supel dan suka berasimilasi dengan aneka warna tradisi setempat inilah yang menjadi kunci sukses penyebaran Islam di Jawa. Dalam bentuk tasawuf itulah, agama Islam disesuaikan dengan struktur sosial dan filosofis masyarakat setempat sehingga Islam mudah diterima tanpa gesekan dan pertentangan (peaceful coexisten). Istilah terakhir ini merupakan ciri utama dalam filsafat Jawa yang menekankan kesatuan, stabilitas, keamanan, dan harmoni (Abdurrahman Mas’ud, 2004: 58). Berkembangnya Islam mistis (tasawuf) di Jawa secara intens dimungkinkan karena ajaran-ajaran tasawuf memiliki kesamaan dengan konsep mistik di kalangan masyarakat Jawa sendiri yang berupaya mempertahankan kepercayaan Raja Titising Dewa yang serba magis dan sarat dengan mistik. Mistik bagi kalangan masyarakat Jawa merupakan inti terdalam yang menjiwai dan mewarnai seluruh apek kehidupan
commit to user
kebudayaan Jawa sehingga dalam pandangan dunia Jawa budaya lahir dan batin mendapat posisi yang strategis, terutama berkaitan dengan penghayatan dalam bentuk pengalahan unsur-unsur lahir untuk dapat memurnikan aspek batiniah dan bersatu kembali pada tingkat yang tertinggi. Untuk mencapai hakikat itu berarti mengusahakan keteraturan jagad gedhe (makrokosmos) dengan jagad cilik perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (mikrokosmos), dalam arti yang lebih mendalam kesatuan antara manusia dengan Tuhan (manunggaling kawula gusti). Oleh karena kesamaan dalam hal inilah, maka Islam dapat diterima dan diintegritaskan dalam pola sosial, budaya dan religi masyarakat Jawa Perkembangan Islam tasawuf diikuti mengalirnya kepustakaan Islam, baik yang tersurat dalam bahasa dan huruf Arab atau yang telah digubah dalam bahasa Melayu.
Mengalirnya
kepustakaan
Islam,
dengan
sendirinya
menjadikan
perbendaharaan kesusastraan Jawa bertambah dinamis. Gaya sastra yang kebanyakan dari jazirah Arab maupun dari Gujarat ini berasimilasi dengan sastra lokal yang berkembang
sehingga
menimbulkan
jenis
kepustakaan
Jawa
yang
isinya
mempertemukan tradisi Jawa dengan hal-hal keislaman (Simuh,1988: 9). Dalam konteks sastra, pertemuan antara Islam mistik dan kepercayaan mistik pada rakyat kebanyakan menghasilkan kitab-kitab suluk dan primbon. Kitab suluk adalah suatu himpunan syair-syair mistik yang ditulis dalam bentuk macapat gaya mataram (Koentjaraningrat, 1984: 316). Kitab suluk adalah kitab yang di dalamnya banyak mengandung ajaran tasawuf. Kitab suluk menunjukkan usaha pengarangnya untuk menyatukan secara sinkretis ajaran-ajaran Islam, hukum Islam, dan tradisi kesusasteraan Islam dengan konsep-konsep teologi Hindu-Budha mengenai penciptaan alam, kematian, dan kehidupan setelah kematian, serta hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan Primbon adalah kitab yang bercorak kegaiban dan berisi ramalan-ramalan. Sementara itu pertemuan Islam mitis dengan tradisi Hindhu-Budha kerajaan Mataram menghasilkan serat. Serat adalah kitab yang berisi ajaran tasawuf yang dipadukan dengan mistik kejawen. Serat-serat biasanya berisi ajaran mistikmoral. Diantara serat yang terkenal adalah serat Wirid Hidayat Jati, serat Centhini, dan serat Dewa Ruci.
commit to user
Serat Dewa Ruci merupakan sumber representatif mengenai konsep Tuhan dalam Agama Jawi. Dalam kitab ini konsep dan pandangan Agama Jawi tentang Tuhan lebih bercorak panteistis dibanding monoteis. Tak dipungkiri konsep Tuhan panteistik ini lebih dekat dengan konsep-konsep dalam pemikiran Islam mistis dan Hindhu-Budha dibanding dengan Islam formal. Dalam Serat Dewa Ruci, Tuhan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dilambangkan sebagai makhluk yang sangat kecil sekaligus sangat besar. Karena Ia kecil maka Ia dapat melihat seluruh semesta dengan terang benderang dalam warnawarninya. Karena Ia besar, maka Ia adalah muara dari segala sesuatu, seperti samudra yang menjadi muara dari segala aliran sungai, seperti angkasa tempat bertabur segala planet dan bintang (Koentjaraningrat, 1984: 324). Dalam pandangan ini Tuhan dianggap sebagai yang terbesar, tak terbatas, dan sebagai seluruh alam semesta, dan sekaligus kecil sehingga dapat dimiliki oleh seseorang. Tuhan mitis dalam Agama Jawi memang lebih kental nuansanya dibanding dengan Tuhan syariat yang banyak menyebut Tuhan dengan sifat-sifat maha Kuasa, maha Perkasa, atau maha Tinggi. Tuhan mitis ini bisa dijumpai dalam Cerita Dewa Ruci karangan Yasadipura I yang bercerita tentang perjalan Bima Sena mencari air sejati kehidupan. Dalam salah satu bait dipaparkan: “Tanpa diketahui dari mana datangnya, Bima sekonyong-konyong berhadapan dengan seorang Dewa katik, Dewa Ruci namanya. Tampak hanya sebagai anak kecil berjalan-jalan dan bermain-main di atas permukaan air” (Adhikara, 1984: 16). Walaupun kecil, Dewaruci sekaligus yang maha Besar. Dewaruci adalah sosok yang menampung segala isi alam semesta. Dewaruci bertanya pada Bima Sena: “Mana yang lebih besar, kamu atau dunia seluruhnya dengan semua isinya termasuk gunung, samudera, dan hutan sekalipun. Dunia seisinya ini tidak akan sesak, apabila masuk dalam gua-garbaku” (Adhikara, 1984: 18). Pandangan panteistis ini tentu berseberangan dengan konsep Tuhan dalam Islam baku yang monoteistis. Dalam pandangan monoteistis, Tuhan adalah maha besar dan maha kuasa, manusia hanyalah makhluk yang tidak berarti dihadapan kekuasaan Tuhan. Serat Dewaruci di mata orang Jawa yang beragama Islam merupakan sebuah kisah yang menjadi landasan yang kokoh untuk memandang dan menafsirkan
commit to user
berbagai ajaran dan filsafat yang terkandung di dalam pewayangan sebagai ajaran yang Islami. Walaupun cerita tersebut mengambil konteks Hinduistis-Budhistis, hal tersebut tidak lagi begitu penting. Sebab semuanya hanya dilihat sebagai “baju” atau “wadah” yang tidak bertentangan dengan isi, yaitu Islam sendiri. Wujud luar boleh saja Hinduistis, tetapi roh-nya tetap Islam (Heddy Shri Ahimsa Putra, 1995: 13-14) perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id C. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci 1. Orang-orang yang berpengaruh dalam pemikiran Yasadipura I Yasadipura I tumbuh dalam suasana masyarakat yang sedang giat mengembangkan dunia sastra. Apalagi dia berada di sekitar para tokoh yang menjadi tulang punggung tradisi yang sedang berjalan. Dapat dipastikan bahwa Yasadipura I sudah diperkenalkan dengan dunia sastra semenjak usia dini. Oleh ayahnya saat berusia lima tahun, Yasadipura I sudah diberikan pelajaran dengan menghafalkan surat-surat pendek Al-Qur’an dan menginjak usia 7-8 tahun mulai diberikan pelajaran membaca dan menulis huruf Arab dan baru kemudian membaca Al-Qur’an. Untuk memperdalam ilmu agamanya, ia dikirim ke sebuah pesantren di Bagelan, Kedu asuhan Kyai Hanggamaya. Bakat dalam dunia sastra semakin terasah saat Yasadipura I berada dalam lingkungan pesantren. Setelah menamatkan pendidikan di pesantren Kedu, ia mengabdi di kraton Kartasura. Melihat potensi Yasadipura I dalam bidang sastra sangat besar, Paku Buwana II menaruh harapan besar kepadanya untuk kelak menjadi Pujangga istana. Oleh karena itu, Paku Buwana II menitipkan Yasadipura I kepada Pangeran Wijil seorang pujangga istana yang bekerja di Kadipaten. Setelah mendapat bimbingan Pangeran Wijil, bakatnya di bidang sastra semakin menonjol. Pangeran Wijil terus menggembleng dan mendorong Yasadipura I untuk terus belajar dan berkarya hingga setelah periode Surakarta, pada masa Pakubuwana III (17491788) ia telah resmi dingkat mejadi pujangga istana dan telah disebut dengan Raden Ngabehi Yasadipura I. Dari uraian singkat di atas dapat ditatarik kesimpulan bahwa orang-orang yang mempengaruhi pola pemikiran Yasadipura I antara lain: a.Raden Tumenggung Padmanagara
commit to user
Salah satu tokoh yang amat penting dalam mempengaruhi pemikiran Yasadipura I adalah Raden Tumenggung Padmanagara. Beliau adalah ayah dari Yasadipura I sendiri yang pada waktu itu berkedudukan sebagai bupati atau jaksa pada masa Mataram Kartasura (Pakubuwana II). Sejak kanak-kanak sampai dengan umur 8 tahun Yasadipura kecil berada di perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id bawah asuhan Raden Padmanagara. Sebagai anak seorang bupati Pengging, Yasadipura I didik sebagai anak kaum priyayi yang pada umumnya dekat dengan paham kejawen. Sejak kanak-kanak sudah mendapatkan pelajaran mengenai adat dan tata krama dari orang tuanya. Misalnya, cara makan, cara bergaul dengan keluarga, tetangga, orang lain, dan sebagainya. Selain itu, Bagus Banjar sejak berusia lima tahun sudah menerima pelajaran dari orang tuanya dengan menghafalkan surat-surat pendek Al-Qur’an dan menginjak usia 7-8 tahun mulai diberikan pelajaran membaca dan menulis huruf Arab dan baru kemudian membaca Al-Qur’an. Suasana kehudipan istana yang syarat nuansa kejawen inilah nampak besar
berpengaruh bagi
kepribadian dan alam pemikiran dari Yasadipura I sebagai seorang pujangga. b.Pangeran Wijil Pangeran Wijil adalah seorang pujangga istana yang bekerja di Kadipaten. Oleh Pangeran Wijil, Yasadipura I mulai diperkenalkan pada lingkungan baru, yaitu kehidupan istana. dan mendapat warisan berbagai ilmu terutama dalam bidang kesusastraan dan spirituaitas yang kala itu menjadi salah satu ukuran kehormatan dan kedudukan seseorang. Pangeran Wijil selain berkedudukan sebagai pujangga istana yang bekerja di Kadipaten, juga termasuk orang yang mempunyai wawasan spiritual dan keilmuwan tinggi, sehingga mampu menangkap potensi dan bakat dari Yasadipura I. Maka sangat wajar jika Pangeran Wijil sangat sayang kepada Yasadipura I. Ia menyakini dan juga dibenarkan oleh beberapa orang termasuk Pakubuwana II bahwa kelak akan menjadi orang linuwih (orang yang memiliki kelebihan). Setelah mendapat bimbingan Pangeran Wijil, bakatnya di bidang sastra semakin menonjol. Semua tulisannya mulai mendapatkan perhatian dari para abdi dalem yang lain. Tak mengherankan jika kemudian Pakubuwana II mengangkatnya menjadi Pujangga Taruna (pujangga muda). Dengan segala kemampuan, Pangeran
commit to user
Wijil terus menggembleng dan mendorong Yasadipura I untuk terus belajar dan berkarya hingga setelah periode Surakarta, pada masa Pakubuwana III (1749-1788) ia telah resmi dingkat mejadi pujangga istana dan telah disebut dengan Raden Ngabehi Yasadipura I. c.Kyai Hanggamaya perpustakaan.uns.ac.id Kyai Hanggamaya adalah salah satu tokoh
yang
digilib.uns.ac.id berperan membentuk
kepribadian serta mempengaruhi pola pemikiran Yasadipura I. Beliau adalah seorang guru besar pesantren di daerah Bagelan, Kedu. Kyai Hanggamaya dimata masyarakat Kedu, disamping dikenal sebagai ulama, beliau juga diyakini sebagai seorang Waliyullah yang memiliki kemampuan linuwih baik dalam bidang spirituil (keilmuan tentang Islam) maupun supranatural (karomah). . Sesuai tradisi yang ada di lingkungan kraton, setelah berusia 7-8 tahun anak dikirim kepondok-pondok pesantren. Sistem pendidikan itu hanya diperoleh putaputri raja atau kawula dalem yang mampu, para keluarga sentana dalem dan abdi dalem. Pondok-pondok pesantren yang terkenal pada waktu itu antara lain, Pondok Tegalsari Ponorogo, Pondok Banjarsari Madiun, dan Pondok Pesantren Bagelan , Kedu (Mulyanto, dkk 1990). Yasadipura
I
merupakan
alumnus
pondok
pesantren
asuhan
Kyai
Hanggamaya dimana pada usia 8 tahun Yasadipura I menjadi murid di pondok tersebut. Selama mengeyam pendidikan di Pesantren Kedu, banyak transfer ilmu yang ia peroleh dari Kyai Hanggamaya. Oleh Kyai Hanggamaya diberi pelajaran membaca dan menulis huruf Jawa dan Arab, pelajaran agam Islam, paramasastra dan kesusastraan Jawa, kesusilaan, ilmu pengetahuan, kesaktian (ilmu kedotan), tata cara menyembah Allah, tata cara bersemedi serta ajaran kepribadian. Suasana kehidupan dalam pesantren Kedu yang syarat nilai-nilai luhur agama Islam nampak berpengaruh besar bagi kepribadian dan alam pikiran Yasadipura I. Karya-karya Yasadipura I seperti Serat Ambiya, Serat Menak, dan Serat Dewa Ruci di sana dijumpai istilah-istilah dan ajaran-ajaran yang berasal dari konsep tasawuf Islam.
commit to user
2. Pengaruh Tasawuf Islam dan Tradisi Kejawen Ajaran Islam menyentuh aneka macam atau semua aspek kehidupan manusia, maka perwujudan sistem Islam itu juga mempunyai beberapa aspek atau dapat dikelompokkan kedalam beberapa aspek. Dapat disebutkan bahwa diantara perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id perwujudan agama itu adalah kepercayaan, ritus, aatau upacara, mitos dan simbol. Santri yang belajar Islam sejak kecil merasakan ada yang namanya, Fiqih, Akhlak dan Tarikh. Itu semua adalah perwujudan apa yang dinamakan Islam. Diantara aspek Islam itu atau diantara perwujudan Islam yang sekiranya dekat dengan aliran kebatiinan adalah tasawuf (Romdon, 1993: 182-183). Ada banyak defiisi tentang tasawuf, yang jelas istilah ini adalah istilah baru dalam Islam, artinya tidak ada dalam Al-Qur’an atau Hadist. Tasawuf menunjukkan keragaman keagamaan seseorang muslim, baik yang lahiriah maupun batiniah, artinya yang berkaitan dengan keimanan atau perasaan yang berdasar pengalaman keagamnaannya. Keadaan kegaamaanya dinamakan tasawuf dan orangnya dinamakan sufi atau Mutashawuf. Ada yang menamankan tasawuf sebagai kebatinan Islam, barang kali karena diantara sifat tasawuf adalah menekankan soal kebatinan (Romdon, 1993: 7). Orang-orang yang menganut ajaran tasawuf di Indonesia khususnya di Jawa, biasanya menjadi anggota gerakan-gerakan mistik yang disebut tarekat, dibawah pimpinan seorang guru (mursyid) yang disegani. Yang oleh penduduk sekitarnya disebut Kyai. Tarekat merupakan gerakan-gerakan yang berorientasi kerohanian, yang beranggotakan orang-orang santri. Gerakan-gerakan seperti itu biasanya berpusat pada suatu pesantren tertentu, dan hampir serupa dengan gerakan-gerakan kerohanian kejawen (Koentjaraningrat, 1984: 407). Semenjak Islam masuk dan menjadi bagian kehidupan di Jawa, muncul perbedaan-perbedaan praktek agama. Pada masa itu kehidupan agama terimbas oleh pemikir animistis dari apa yang dinamakan doktrin dan praktek Hindhu-Budha yang bergabung menjadi satu yang menawarkan lahan subur magis, mistisme, pengagungan jiwa-jiwa sakti, pemujaan arwah, dan penyembahan tempat-tempat keramat. Semua itu bertentangan secara mencolok dengan watak mistik dan corak
commit to user
peribadatan Islam yang merambah pulau itu. Hasilnya berupa egalitarisme Islam. Bahwa agama nabi mampu mengokohkan diri dengan pesat di kawasan pantai Puau Jawa. Bergerak lebih jauh kepedalaman bentuk masyarakat yang lebih lama ada. Aritokratis dan hierakis mampu mempertahankan diri dan pada saat yang sama menerima unsur-unsur Islam. Seiring perjalanan waktu, perpaduan ini melahirkan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id peradaban Jawa Tengah, yang berpusat di istana raja-raja Surakarta dan Yogyakarta. Peradaban inilah yang secara umum memperoleh sebutan Kejawen (Niels Mulder, 2001: 2). Jawanisasi atau kejawen, bukanlah suatu kategori religius. Namun ia lebih menunjuk kepada etika dan sebuah gaya hidup yang dilihami oleh pemkiran Jawa. Sehingga, ketika sebagian orang mengungkap kejawen mereka dalam prakek beragama, misalnya seperti dalam mistisme, maka pada hakekatnya hal itu adalah karakteristik yang secara kultural coondong pada kehidupan yang mengatasi keaneragaman religius (Niels Mulder, 2001: 4). Sebagian dari sistem budaya agama, kejawen merupakan suatu tradisi yang diturunkan secara lisan, tetapi ada sebagan penting yang juga terdapat dalam kesusastraan yang dianggap sangat keramat dan bersifat moralis. Orang Jawa kejawen juga menganggap Al-Qur’an sebagai sumber utama dan segala pengetahuan yang ada. Namun seperti halnya semua penganut agama di seluruh dunia, orang awam beragama Agama Jawi (agama orang Jawa) dalam melakukan berbagai aktifias keagamaan sehari-hari, rata-rata dipengaruhi keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai budaya dan norma yang kebanyakan berada di dalam alam pikirannya (Koentjaraningrat, 1984: 319). Akar tradisi Islam Kejawen ini sudah dapat ditemukan sejak zaman kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu kerajaan Demak. Sebagaiamana telah banyak diketahui bahwa salah satu eksponen penting bagi kemunculan dan perkembangan Kerajaan Demak adalah para tokoh yang dikenal dengan para wali. Mereka adalah para penyebar Agama Islam, yang beberapa orang diantaraanya berasal dari Timur Tengah. Dalam menyiarkan agama, para wali melakukan pendekatan struktural dan kultural. Secara struktural mereka melakukan peng- Islaman terhadap raja dan bangsawan istana, karena rakyat akan cenderung mengikuti agama raja yang
commit to user
berkuasa. Sedangkan secara kultural, mereka berdakwah dengan menggunakan instrumet-instrumen kebudayaan Jawa Sejak awal kehidupannya, Yasadipura I telah memilik sikap spiritual tersendiri, Yasadipura I adalah seorang muslim, alumni Pondok Pesantren. Ia membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan membawa angin perubahan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id keyakianan dari Hindhu-Budha ke Islam. Anggapan bahwa raja adalah imam dan agama ageing ajilah yang turut menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja, di samping peran aktif para pujangga masa itu. Para penyebar Islam-para wali, guru-guru tarekat memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan hidup Yasadipura I sebelumnya yang bersifat mistik dapat sejalan,untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinannya. Spiritual Yasadipura I dengan warna tasawuf, berkembang juga karena, Yasadipura I sendiri beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf menekankan pada latihan spiritual, seperti zikir dan puasa. Dalam masyarakat yang semangat religius kuat inilah Yasadipura I dibesarkan. Sejak kecil, ia sudah diberi pelajaran agama Islam, dan sesudah dewasa ia dikirim ke pondok Pesanten Kedu untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam kepada Kyai Hanggamaya. Sejak kecil dia lebih mengutamakan tarikat agama Islam daripada syariatnya. Hal ini diperjelas karena Yasadipuara I masih gemar bertapa, bersemedi, berpuasa, seperti yang masih sering dilakukan oleh penganut agama Hindhu. Dari uraian di atas, sosok kepribadian Yasadipura I tidak bisa dilepaskan tradisi Hindhu-Jawa (Kejawen) dan budaya pesantren (Islam). Hal ini tercermin dalam karya-karya sastranya yang bernuansa Islam-Jawa, sehingga sinkretisme kedua budaya itu menjadi harmoni yang menyatu dalam pemikirannya.
3. Sufisme Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci a. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I yang berhubungan dengan Syariat Syariat dalam bahasa Jawa disebut sarengat atau laku raga, sembah raga merupakan pijakan awal bagi seseorang untuk mempuh laku perjalanan menuju manusia sempurna, yaitu dengan mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segala hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia
commit to user
dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia, orang yang menjalani syariat, di antaranya kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya dilaksanakaannya. Dalam pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasihperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id mengasihi, dan beramal saleh. Adapun pemikiran tasawuf Yasadipura I yang berkaitan dengan syariat sebagai berikut: Ibarat menuju puncak gunung, perjalanan panjang seorang sufi menuju tingkat makrifat harus melewati tangga demi tangga. Menurut Yasadipura I jalan menuju Tuhan dalam Serat Dewa Ruci ada empat anak tangga (syariat, tarekat, hakikat, makrifat) yang harus dilewati untuk sampai pada puncak pendakian. Bagi Yasadipura I empat anak tangga itu merupakan mata rantai yang sambung menyambung, saling terkait satu dengan yang lain dan perlu dilakukan setahap demi setahap. Dari keempat anak tangga tersebut syariat adalah pos pertama tempat dimulaninya pendakian. Dalam menyelami laku syariat, hampir dalam tradisi sufi para penempuh jalan ruhani harus dibimbing oleh seorang guru spiritual yang akan membawa pada puncak hakikat. Dalam Serat Dewa Ruci hal itu juga nampak pada usaha Bima untuk berguru pada Resi Druna. Dalam epos (cerita kepahlawanan) Mahabarata, Bima adalah salah seorang dari lima satria Pandawa. Pada ceritera wayang purwa, para satria pandawa digambarkan sebagai satria yang berbudi luhur cinta kebenaran dan setia pada keutamaan. Di lingkungan keluarga dan negerinya, Bima merupakan merupakan benteng pertahanan dan kesejahteraan negeri dan rakyatnya. Oleh karenanya disamping kekuatan tenaga dan kecerdasan berpikir sang Senapun bermodal bermacam ilmu kesaktian, yang semuanya cukuplah untuk membentengi keselamatan hidupnya di dunia fana dengan tentram sejahtera (Siswoharsojo, 1966: 5). Dengan tugas dan modal sedemikian, betapakah suka duka yang dimiliki oleh Bima setiap saat sepanjang masa, hanya pribadi Bima yang menikmatinya. Namun demikian, karena perkembangan budaya yang timbul karena kedewasaan jiwa, pada suatu
ketika
datanglah
rasa
kecewa
yang
mengganggu
Bima.
Pangkal
kekecewaannya, ialah karena ia belum memiliki Tirta Prawita (air suci) yang
commit to user
dianggap sebagai sarana kesucian diri atau ilmu kesempurnaan hidupnya. Karena dorongan cita-citanya, maka ia berusahalah mencari guru yang dapat memberi petunjuk (wejangan) dimana letak Tirta Prawita. Tindakan Bima ini melambangkan para umat yang ingin melanjutkan ibadatnya ketingkat tarekat, disamping memenuhi ibadah syariat, tindakan pertama harus mendapat petunjuk (wejangan) dari Guru perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tarekat. Istilah Guru Tarekat lazim pula disebut Guru Wasilah atau Guru Wasita (Siswoharsojo, 1966: 7). Walaupun sang guru ini kadang-kadang ada juga yang menyesatkan, tetapi
Bima menganggap
bahwa guru ini jujur, maka sangat
dipatuhinya sebab ia memegang kata ulama yang berbunyi: "Tangan (kekuasaan) Allah itu mengendalikan mulut cendekiawan, tiadalah ia mengucap, kecuali kebenaran dari Allah" (Al-Ghazali, 1982: 32). Menurut Serat Wulangreh, keberadaan guru
yang benar-benar arif dan
berpengalaman di dalam menempuh perjalanan kehidupan kerohanian sangatlah penting. “Nanging ta sabarang kaya, kang kinira dadi becik, pantes den telatenana/ lawas-lawas pinanggih, lan mantep jroning ati, ngimanken tudhuhing guru, aja uga bosenan, kalamun arsa utama, mapan ana dalile, kang wus kalakyan.” (Pupuh Dhandanggula, pada 16) Mematuhi perintah guru tidak boleh bosan. Amalan selalu dilaksanakan atas perintah guru. Oleh sebab itu, keberadaan guru sangat penting. Masyrakat Jawa memberi tempat yang terhormat kepada guru. Zaman dahulu guru disebut juga pendeta, brahmana, ajar, resi, wiku dwija, begawan, dan Dhang Hyang. Guru dianggap pemimpin informal yang mempunyai pengaruh besar (Karkono, 1998:20). Menurut Yasadipura I seorang guru yang baik diamanatkan dalam Serat Dewa Ruci dengan kriteria seorang pertapa yang berilmu sebagaimana kutipan berikut: “Tepanira kongsi raga runting, wus mangkana dennya mrih kamuksan, datanpa tutur sirnane, kamatengen tanpa wus de pratikel ingkang lestari tapa iku minangka reragi pan amung, ilmu kang minangka ulam, tapa tanpa ilmu nora dadi, yen ilmu tanpa tapa” (Pupuh Dhandanggula V, pada 66).
Artinya:
commit to user
Tapanya sampai kurus kering, sudah demikian olehnya dapat kamuksan, tak tanpa tutur sirnanya, terlalu matang tanpa henti, oleh ajaran yang lestari, tapa itu sebagai, bumbu yang hanya, ilmu yang sebagai ulam, tapa tanpa ilmu tidak jadi, jika ilmu tanpa tapa. Kutipan di atas menunjukkan bahwa guru wajib dihormati, disembah karena perpustakaan.uns.ac.id gurulah yang menunujukkan hidup sempurna hingga akhir hayat, digilib.uns.ac.id yang memberi petunjuk tentang kebaikan dan dialah yang dapat memberi nasehat sewaktu orang bersusah hati. Orang durhaka kepada guru adalah dosa yang besar. Oleh karena itu seseorang harus berbuat baik, mau mohon cinta kasih siang malam kepada guru (Karkono, 1998:20). Segmen pertama dalam Serat Dewa Ruci menggambarkan perjalanan Bima untuk memasuki dunia akademi dalam satu “Universitas” yang Guru besarnya adalah Hyang Resi Drona. Kuliah yang diberikan mengarah kepada pencapaian hidup. Sang Bima Sena diwajibkan mencari tirta prarwita. Usaha Bima berguru kepada Druna tersurat dalam Serat Dewa Ruci pupuh Dhandhanggula I, pada2: “Duk Werkudara pruruhita ring, Dhang Hyang Druna kinen angupaya , toya ingkang nucukake ,maring sariranipun, Werkudara manthuk wewarti, marang nagri Ngamarta, panggih kadang sepuh, Sira Prabu Yudhistira, kang para ri sadaya samya marengi, munggwing ngarsaning raka” Artinya: Ketika berguru pada, Dhang Hyang Druna disuruh mencari, air yang mensucikan, pada badannya, Werkudara pulang berkabar, kepada negeri Ngamarta, bertemu saudara tua, dialah Prabu Yudhistira, bersama para dinda sama mengiringi, dihadapan kakanda. Dalam Serat Dewa Ruci Tirta Prawita berarti tan kena pejah (tidak dapat mati) atau gesang langgeng (hidup abadi). Sementara oarang berpendapat bahwa tirta pawirta bermakana air untuk mensucikan badan dan sukmanya. Baru setelah jiwa dan raganya bersih atau suci orang dapat menyadari sejatining urip (hakekat hidup sebenarnya) atau sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup). Dibayangkan oleh
Begawan Druna, bahwa barang siapa memilili tirta
prawita itu akan mencapai tingkat hidup yang serba sempurna, hidup yang suci.
commit to user
Karenanya ilmu kebebasan jiwa akan jadi miliknya. Dalam hubungan ini dimaknakan sebagai lambang angan-angan atau budi yang menguasai perasaan AKU, yang dilambangkan dengan tokoh Bima (Seno Sastroamidjojo, 1962:8- 9). Resi Drona memberi petunjuk, bahwa letak Tirta Prawita berada di Gunung Reksamuka. Menurut Resi Drona, jika Bima benar-benar ingin mensucikan hidupnya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dengan Tirta Prawita, seyogyanya membongkar Gunung Reksamuka. Reksa berarti memelihara atau mengurusi. muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi (perjuangan batin). Hal ini melambangkan: 1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dari segala tujuan pribadi (ngicali relenging manah), mengeyahkan rasa keinginan akan segala sesuatu, yang sama artinya dengan sepi ing pamrih . 2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi. Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang ingin mendalami ilmu tarekat harus melakuan hal-hal yang berat, seberta membongkar sebuah gunung. Tokoh Bima dalam Serat Dewa Ruci diamanatkan bahwa sebagai murid ia demikian taat. Tanpa menghiraukan nasehat saudara-saudara, hanya teringat kepada janji dan kesanggupan kepada gurunya (kode ksatriannya) untuk mendaptkan Tirta Prawita, Bima segera pergi meninggalkan saudara-saudaranya. “Saestu sumerep purwa wekasing jagad royo (sungguh akan mengetahui mengetahui awal akhirnya alam semesta seisinya, yaitu apa yang dinamakan Sangkan Paraning Dumadi).Yen rering rangu bade mboten sumerep sarto dumugi telengingkawruh kasunyatan” (apabiala bersikap ragu-ragu dan gundah, maka orang pasti tiidak akan dapat mengetahui dan sampai pada inti ilmu kesempurnaan hidup). Demikian kata yang Bima ketika minta diri dari keluarga Pendawa di Ngamarta. Kutipan di atas
commit to user
mengisyaratkan bahwa dalam mendalami ilmu agama, seseorang harus berbaik sangka (khusnudz dzan), tidak boleh ada ragu-ragu, tidak takut terhadap kesulitan serta mempunyai tekad yang bulat seperti apa yang dicontohkan Bima. Selain taat Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Amanat tentang ajaran untuk hormat kepada guru secara tersurat dan tersirat dalam Serat Dewa Ruci terdapat dalam setiap perpustakaan.uns.ac.id ucapan Bima kepada Dewa Ruci yang selalu mengiyakan segala digilib.uns.ac.id perintah, tanpa pernah menolak atau membantahnya. Sebagai wujud rasa hormatnya kepada gurunya, Bima selalu bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua gurunya, Pendeta Durna dan Dewaruci, Bima selalu menggunakan ragam krama. Padahal sebelumnya Bima tidak pernah menggunakan ragam krama dalam berkomunikasi kepada siapapun, termasuk ibunya sendiri (Dewi Kuntitalibrata). Diantara ucapan-ucapan Bima kepada Resi Drona yang menunjukkan penghormatan dan ketaatannya adalah: “Arya Sena matur nembah inggih pundhi prenahe kang tirta pawira“ (Bima menanyakan kepada Druna dimanakah letak Tirta Prawita) Dalam ceritra Mahabarata, Adipati Karna juga mempunyai sifat dengan Bima, keduanya sama-sama kurang ajar pada orang yang lebih tua. Bima tidak mau berbahasa halus (krama) bahkan kepada ibunya sendiri (ceritra Dewa Ruci tidak termasuk). Sedangakan Adipati Karna tidak mau tunduk pada para tetua Hastina bahkan sering kali bersikap kasar pada mertuanya sendiri. Kedua sama-sama punya alasan sendiri dan menyangkut prinsip mereka. Orang-orang Jawa punya istilah “benar tapi tidak benar”, tetapi kedua tokoh tersebut tidak memperdulikan kritikakrtikan seperti itu (http://csu02.net/arsip/?p=2290, diunduh pada tanggal, 1 November 2010). Dalam Islam, bahwa ajaran untuk saling menghormati kepada sesama manusia dan terlebih kepada orang yang lebih tua, ataupun juga kepada guru, telah diajarkan oleh Nabi dengan sabdanya: “laisa minna man lam yuwaqqir kabiirana wa lam yarkam shaghirana” (bukanlah termasuk golonganku orang yang tidak menghormati kepada yang lebih tua dan tidak mau menyayangi kepada yang lebih muda). Dalam surat al-Hujarat ayat 12 Allah berfirman: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari
commit to user
padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah selalu membuat perhitungan atas tiap-tiap sesuatu”. Laku Bima dalam tahap syariat tersebut adalah gambaran bagi manusia agar mempunyai rasa bakti, patuh dan setia kepada semua guru. Seorang siswa yang tidak berbakti, patuh dan setia kepada guru tidak akan bersinar di masyarakat. Gambaran perpustakaan.uns.ac.id tentang bakti kepada guru tersebut juga disuratkan dalam Bhagawad digilib.uns.ac.id Gita IV.33 : tat widdhi pranipatena pariprasnena sewaya,upadeksyanti te jnanam jnaninas tattwa darsinah (Belajarlah, bahwa dengan sujud bersembah, dengan bertanya dan dengan pelayanan orang bijak yang telah melihat kebenaran mengajarimu dalam ilmu pengetahuan). Namun ada juga yang menyebutkan bahwa ini merupakan peringatan bahwa dalam berbakti janganlah “membabi buta”. Siswa harus bisa berbakti secara cerdas dengan kemauan yang keras namun tetap didasari oleh hati yang ikhlas. Lebih-lebih dalam jaman seperti ini, banyak guru yang hanya mengaku-ngaku. Hal inilah yang kemudian menjadikan sebuah plesetan untuk guru, yaitu "guru, yen digugu ngajak turu” (guru kalau dituruti mengajak tidur).
b. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I yang berkaitan dengan Tarekat Tarekat dalam bahasa Jawa laku budi, sembah cipta adalah tahap perjalanan menuju manusia sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini kesadaran hakikat tingkah laku dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan (Mulder, 1983: 24). Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada tingkatan ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan menyesali terhadap segala dosa yang dilakukan, melepaskan segala pekerjaan yang maksiat, dan bertobat. Kepada gurunya ia berserah diri sebagai mayat dan menyimpan ajarannya terhadap orang lain. Dalam melakukan shalat, tidak hanya salat wajib saja yang dilakukan. Ia menambah lebih banyak shalat sunat, lebih banyak berdoa, berdzikir, dan menetapkan ingatannya hanya kepada Tuhan. Dalam menjalankan puasa, tidak hanya puasa wajib yang dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi makan, lebih banyak berjaga malam,
commit to user
lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam persepian, dan melakukan khalwat. Ia berpakaian sederhana dan hidup mengembara sebagai fakir. Adapun ajaran Serat Dewa Ruci yang berkaitan dengan Tarekat sebagai berikut: Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci digambarkan sebagai murid ia demikian taat. Kepercayaannya dan keyakinannya pada sang guru sedemikian kuatnya. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Sehingga apa yang diperintahkan oleh sang guru itu yang akan dilakukan oleh Bima, hal ini adalah mutlak bagi seorang murid untuk dapat meningkatkan evolusi batinya Sebagai wujud ketaatan seorang murid kepada gurunya, Bima segera bergegas menuju gunung Reksamuka untuk mencari Tirta Prawita seperti yang diamanatkan Resi Drona. Perjalanan Bima menuju gunung Reksamuka tersurat dalam Serat Dewa Ruci Pupuh Dhandanggula I, pada, 6-7: “Tan winarna kang kari prihatin, kawuwusa lampihira Sena, tanpa wadya among dhewe, mung braja, sindhung lesus, ambeber murang ing mardi, prahara munggwing ngarsa, gora reh gumuruh, kagyat miris padedesan, ingkang kambah, kaparanggul ndodok ajrih, andhepes nembah-nembah”. “Kathah sesegah datan tinolih langkung prapteng adreng prapten Kurusetra, margi geng kambah lampahe, glising lampahireku, gapura geng munggul kaeksi, pucak mutyara muncar, saking doh ngenguwuh, lir gumebyaring baskara, kuneng wau kang maksih wonten ing margi, wuwusen ing Ngastina”. Artinya: Tak diceritakan yang tinggal sedih, dikatakan perjalanan Sena, tanpa kawan hanya sendirian, hanya angin lesus besar, mencegah kelancaran di jalan, prahara di depan, seru gemuruh, kaget cemas gemetaran, yang dilalui lewat duduk takut, merunduk (Pupuh Dhandanggula I, pada, 6). Banyak kalangan tak dipandang, lebih semangat ke Kurusetra, jalan besar terlampaui, cepat perjalananya, gapura agung sudah tampak puncak mutiara memancar, dari jauh berkilauan, ibarat sinar matahari, demikian yang ada di jalan, diceritakan di Ngastina (Pupuh Dhandanggula I, pada, 7). Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Bima. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Bima, tetap
commit to user
saja mengamuk. Terjadi perkelahian, namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Raksasa itu sebenarnya sebuah kiasan simbolik. Rukmuka menggambarkan bentuk nafsu pancaindera yang cenderung membawa kesesatan manusia, sedangkan Rukmakala melambangkan alam pikirana manusia yang sering lepas kendali (out of perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id control) sampai membahayakan dirinya atau orang lain. Inilah gambaran pembelajaran bahwa manusia untuk mencapai totalitasnya selalu menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan, dengan berbagi dimensinya. Sebagai lambang seseorang yang sedang melakukan samadi Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih. Terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut. Hal tersebut tersurat dalam Surat Az-Zumar ayat 61: “Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa berduka cita”. Sesudah dibunuh oleh Bima, kedua raksasa itu menjelma sebagai Batara Indra dan Batara Bayu. Karena keduanya telah ditolong dapat kembali berwujud Dewa. Bima diberi anugrah Sabuk Cindhe Wilis dengan bara kembar dan dapat dipakai dipaha kanan dan kiri. Artinya sudah menjadi kebiasaan bila seorang yang hendak mensucikan diri itu harus mau menutup mata dan telinga terhadap ejekan orang lain. Lama-kelamaan ejekan yang menjadi beban itu akan lenyap juga. Mereka yang mengejek akhirnya mengakui kebenarannya. Sedang hadiah (sabuk bara dengan cindhe kembar) melukiskan orang yang berpetualang mencari ilmu dengan tekad kuat laksana ikat pinggang (cindhe). Bara di kanan menunjukkan perilaku yang harus melepaskan diri dari sifat keduniaan. Bara di kiri melambangkan sikap yang memegang teguh ajaran guru. Demikian pula gambaran kepribadian sang Bima, bertekad bulat, berdisiplin tanpa ragu-ragu, tidak kenal menyerah dengan jujur menuju langsung ke arah kebenaran, berdasarkan tugas dan kewajibannya dan tanggung jawabnya yang timbul atas keyakinan (Pupuh Pangkur, pada, 21). Supaya cita-cita Bima tercapai, dua dewa menyuruh Bima kembali kepada Resi Drona untuk menanyakan tempat sesungguhnya Tirta Prawrta, sebab di gunung
commit to user
Reksamuka tidak diketemukan. Bila menaati perintah guru, si murid akan semakin banyak pengalaman yang sebelumnya tidak pernah diketahuinya. Benar atau tidak, perintah guru kalau dilaksanakan akan tetap bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Diamanatkan dalam teks Serat Dewa Ruci pada pupuh II Pangkur bait 29-30, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Bima kepada gurunya berserah diri sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali kepada Pendeta Durna dan air suci tidak didapat. Bima tidak komplen kepada sang guru, ia meyakini sang guru memiliki maksud lain yang belum dapat dimengerti olehnya. Bima tidak membiarkan kekecewaan membelenggu dirinya, dia meyakini ada maksud tersembunyi dibalik perintah-perintah sang guru. Bima menceritakan apa yang terjadi di gunung Reksamuka. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Sejatine tirta pawirta iku sari sarining banyu, ananrtani kahananing urip kabeh. Enggone hing telenging samudro, mrentandani banyune mowo alun). Artinya: Sebenarnya tirta pawirta inti sari (essence) dari pada air yang memungkinkan adanyadi dunia ini. Letaknya di dalam samudra yang sangat mengelombang itu. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”. Uraian di atas mengandung pengertian bahwa seseorang yang menjalani laku tarekat, akan semakin kuat keimananya, semakin besar pula godanya. Adapun tempat tirta prawita di dasar laut memberi makna bahwa untuk sampai pada tingkat makrifatullah memang sukar, jauh dan dalam . Ini berarti dia harus terjun dan menyelam dalam lautan. Ini berarti bahwa orang itu harus menyucikan sifat-sifat Allah sebagaimana tersurat dalam Asmaul Husna atau nama-nama yang mulia disisi Tuhan. Mendengar niat Bima pergi ke lautan, ibunya dan para Pandawa menangis dan berusaha mencegahnya, yang dijelaskan dalam Serat Dewa Ruci Pupuh Pangkur pada 34: “Matur ing raka Ngamarta, kuneng Wrekudara lamapahire, wau ta ingkang winuwus, nagri Ngamarta, duk angkate Werkudara kasahipun, dene tan kena
commit to user
ingampah, kalakung samya prihatin” (Berkata pada kakanda Ngamarta, demikian perjalanan Werkudara, begitulah diceritakan, di negeri Ngastina, saat Werkudhara berangkat pergi, tak dapat ditahan, sama sangat prihatin). Bagi seseorang yang sudah gandrung untuk ma'rifatullah dia sudah dapat melepaskan dirinya dari hal yang paling dicintainya sekalipun (misal keluarganya). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Sebab hal itu juga merupakan godaan yang berwujud manusia disamping godaan yang berwujud benda. Hal tersebut juga tersurat dalam Al-Qur’an yaitu Allah berfirman: : “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi” (QS Al Munafiquun 9). Bagi orang yang rindu pada ma'rifatullah walaupun sudah mejauhkan diri dari gebyarnya duniawi namun masih ada godaan yaitu dari nafsunya sendiri. Malah kadang-kadang nafsu ini tetap terus menggodanya ketika berkhalwat. Nafsu-nafsu itu ialah: Lauwamah, Sufiah, Amarah dan Mutmainah. Walaupun pada dasarnya nafsu itu sendiri bukanlah sesuatu yang jelek yang harus diberantas, namun manusia harus selalu berusaha mengendalikan nafsu-nafsu itu agar tidak membawa kepada kesengsaraan. Jadi yang penting adalah kebiasaan. Bandingkan dengan Imam Al Ghazali ada yang berbunyi: "Maka apabila nafsu itu biasanya merasa enak dan cenderung pada kebatilan dan kejahatan, mengapakah ia tidak merasa enak apabila pada suatu ketika ia kembalikan pada perbuatan yang benar dan tetap tinggal kepada kebenaran tersebut. Bahkan cenderung kepada perkara yang keji yang keluar dari tabiat yang aslinya "Yang demikian itu adalah serupa dengan kecenderungan bagi sebagian orang. Adapun kecenderungan orang pada hikmah kebijaksanaan dan cinta kepada Allah. Mengetahui dan beribadat kepadaNya itu adalah kecenderungan orang untuk makan-minum.Karena hal itu cocok dengan tabiat hati. Maka sesungguhnya yang demikian itu sifat rabbaniyah (Ketuhanan). Sedang kecenderungan kepada halhal yang bersifat kesenangan (syahwat) itu adalah asing bagi dzat kejiwaan dan bertentangan dengan tabiatnya. Adapun santapan jiwa (qalbu) adalah sifat kebijaksanaan Allah YME tetapi hal demikian itu dapat berpaling dan terlepas dari tabiat aslinya yang telah sesuai, disebabkan oleh sakit.
commit to user
Menurut Ki Darmonosunarso, peristiwa nyebur ing telenging samudro itu dimaknakan sebagai suatu perbuatan atau lambang perjuangan manusia melepaskan diri dari cengkraman hawa nafsu atau sifat angkara murka, baik yang berbentuk amarah maupun yang diliputi nafsu birahi. Kesemuanya itu pada dasarnya timbul melalui mata dan telinga. Dalam hubungan ini kedua raksasa Rukmaka dan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Rukmakala tersebut melambangkan mata dan telinga. Setelah lepas dari cengkraman tersebut dapatlah kiranya orang memawas diri pribadi atau dapat ngelem purbaning Hyang Widhi (insyaf akan diri pribadinya). Dengan jalan demikian ia dapat melepaskan, mengingkari (nyirep) hawa nafsu yang bersifat angkara murka. Dalam artian dapat mengendalikan, menahan meluapnya panggoda (rintangan) yang melalui panca indera kita. Dengan terkendalinya hawa nafsu birahinya yang berlebihan (godaan seksual) khusunyaa hawa nafsu lainnya yang melalui panca indera kita umumnya dengan jalan bersemadi, maka orang yang bersangkutan dapat mencapai suatu tingkatan kehidupan luhur menuju kearah kesempurnaan (jumbuhing kawula gusti). Dalam ajaran Islam peristiwa menceburkan diri dalam samudra diibaratkan dengan mengambil air wudhu sebelum sembayang (manembah marang Tuhan). Jika sudah sampai taraf ini yang penting bukanlah tekad lagi, sebab hal itu sudah lewat, tetapi harus ingat terhadap cita-cita semula. Walaupun pada taraf ini tak ada godaan lagi, namun apabila ingatannya tidak teguh tidak akan berhasil dan segala-galanya dicurahkan untuk ibadat dan pasrah kepada Allah maka Allah sendiri yang akan menentukannya. Jika sudah sampai taraf ini maka orang itu sudah sampai pada tauhid yang sebenarnya. Dengan kata lain : Ngelem ing samodra urip" atau "Mati dalam Hidup" atau"Antal maotuu qoblal maotu". Walaupun demikian oleh karena sifat kekuatan manusia tidak sama, maka bagi mereka yang pengabdiannya sederhana dalam arti bahwa masih juga mementingkan keduaniaan di samping ibadatnya, maka apabila ibadat itu dengan sungguh-sungguh akhirnya akan sampai juga tauhid. Hanya dengan jalan demikian ia akhirnya dapat menyingkap selubung hidup yang penuh rahasia (mijak warono), yaitu mencapai kesadaran, keinsafan yang sejati (jumbuhing kawula- gusti).
commit to user
Pentingnya ibadat ini disebut dalam Al- Qur'an QS : Al Ahzab : 35 “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta'atannya, laki-lakidan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” . Dalam Pupuh Durma IV, pada 2-3, diceritakan ketika Bima hanyut dalam telenging samudra, bukannya tirta pawirta yang dijumpai, melainkan seekor ular besar yang bernama Nemburnawa. Ular tesebut langsung menyerang sosok kecil dihadapannya dan menggigit betis adik Yudhistira itu. Belum cukup dengan itu, diraihnya badan Werkudara untuk dibelit dengan maksud menghancurkan raga manusia yang menjadi mangsanya. Namun badan Werkudara tidak ikut hancur karena tekadnya tidak lantas luntur. Semangatnya untuk mengabdi kepada guru begitu kuat mengalahkan rasa sakit serta rasa lelah yang sangat. Dikerahkan segala upaya, dikumpulkan seluruh tenaga untuk melepas himpitan naga. Kemudian Bima melesat menuju leher sang naga untuk ditikam dengan kuku Pancanaka. Naga secara hakikat menggambarkan utusan Tuhan berwujud Malaikat yang akan menolong orang tersebut walaupun karena tidak tahunya dianggap sesuatu yang akan merugikan. Akan menolong artinya agar supaya nasib kesengsaraannya itu tidak terlalu lama. Bima membunuh ular menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat sifat sebagai berikut: 1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain. 2. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar. 3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar. 4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.
commit to user
5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran. 6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatann jahat. perpustakaan.uns.ac.id 7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan digilib.uns.ac.id kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahankesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu. 8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak. 9. Wilujengan: menjaga kesehatan, kalau sakit diobati. 10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar. 11. Samadi. 12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah. Menurut Franz Magnis Suseno (1996) menjelaskan bahwa Bima dalam hal ini telah melepaskan segala-galanya untuk memperoleh air hidup. Begitu bersatu terhadap sehingga dia berani mati. Dalam hal ini Bima adalah lambang manusia yang bertapa dan bersamadi untuk mengalahkan nafsu-nafsu rendah dan memurnikan tekad batinnya. Ikut matinya Bima bersama Nemburnawa ini menandakan bahwa Bima mengalami mati sajroning ngaurip demi harapan urip sajroning mati. Dalam hal ini, yang mengalami kematian hanyalah raga. Sedang jiwa atau sukma yang menghidupi raga, selama hayat dikandung badan tidak mengalami kematian, tetapi kembali kepada asal, yaitu Yang Maha Pencipta semesta alam, Sang Akartaning Bawana. Perjalanan ruh Bima inilah yang mensiratkan pembelajaran hidup. Menurut Purwadi, perjalanan ini mirip dengan proses terjadinya Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW (Purwadi, 2002: 71). Hanya bedanya oleh karena beliau Rasul, maka ketika akan ma'rifatullah tanpa lebih dahulu banyak riyadhoh, menjalankan adab dan laku
commit to user
khusus agar tercapai tujuannya seperti yang dilakukan oleh Arya Sena sebagai orang biasa.Usai terjadi pertarungan antara Bima dan Nemburnawa. Werkudara begitu lelah. Sudah hilang kesadarannya. Serasa jiwa melayang, tidak ingat apakah masih hidup atau sudah tiada. Dalam hal ini Bima berpasrah diri akan mati dan hidupnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dari uraian dia atas diatas menjelaskan bahwa sikap sabar dan berpasrah diri secara total merupakan ajaran penting yang harus dijalankan oleh seseorang yang ingin mendapatkan sesuatu yang diharapkan. Dalam Islam, berlaku sabar merupakan prasasat bagi seseorang untuk memperoleh kebahagiaan, kesenangan serta keberuntungan. Sabar dalam wujudnya menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya,dan juga sabar dalam menerima cobaan yang ditimpakan oleh-Nya serta sabar dalam menunggu pertolongan diri-Nya. Perintah untuk bersabar ini disebutkan dalam Al-Qur’an surat al-Ashr ayat 1-3 dia atas. Pada ayat yang lain Allah berfirman :“Hai orang-orang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. Sedangkan dasar-dasar berpasrah diri secara total dalam Islam , dapat diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, itu terlihat ketika beliau berkhalwat di Gua Hira’ untuk menjauhkan diri dari kehidupan duniawi (uzlah) dan ingin menyucikan hati dari perbuatan dosa serta ingin dekat Tuhannya. Dalam Islam printah untuk berpasrah diri secara total, beribadat serta menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa tersurat terdapat dalam firman Allah yang berbunyi : “Sesungguhnya sembayangku, ibadatku hidupku dan mati ku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam Tidak sekutu baginya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah yang pertama-tama menyerahkan diri” (kepada Allah) (Q.S al-An’am ayat 162-163). Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, perjalanan yang ditempuh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah sugguh sangat panjang dan sulit dilalui. Namun bila dilakukan dengan tabah, tekun, sabar serta tawakal, maka perjalanan itu akan sampai pada tujuan bahkan akan sampai pada ”pamongnya”. Yang pada ujung perjalanannya nanti seorang sufi akan dapat bertemu dengan yang ”merawat dirinya” . c. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I yang berkaitan dengan Hakikat.
commit to user
Hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa) adalah tahap perjalanan yang sempurna (puputing laku). Berbeda dengan dua tahap sebelumnya, dalam hal bersuci tidak seperti pada tahap syariat yakni dengan wudhu atau mandi, tidak juga seperti pada tahap tarekat yang caranya dengan menundukkan hawa nafsu. Dalam Tahap hakikat, cara bersucinya dengan awas emut (selalu waspada dan dengan shalat, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id berdoa, berdikir, atau menyebut nama Tuhan secara terus-menerus (Zahri, 1984:88). Ditinjau dari segi perjalanan suluk, hakikat ini merupakan tingkat akhir perjalanan. Pada tahap ini amalan yang dilakukan pada tahap ini semata-mata menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Hidupnya yang lahir ditinggalkan dan melaksanakan hidupnya yang batin (Mulder, 1983:24). Dengan cara demikian maka tirai yang merintangi hamba dengan Tuhan akan tersingkap. Tirai yang memisahkan hamba dengan Tuhan adalah hawa nafsu kebendaan. Setelah tirai tersingkap, hamba akan merasakan bahwa diri hamba dan alam itu tidak ada, yang ada hanyalah “Yang Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan dan Yang Akhir tidak berkesudahan. Dalam keadaan demikian, hamba menjadi betul-betul dekat dengan Tuhan. Hamba dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya. Rohani mencapai kesempurnaan. Jasmani takluk kepada rohani. Karena jasmani takluk kepada rohani maka tidak ada rasa sakit, tidak ada susah, tidak ada miskin, dan juga maut tidak ada. Nyaman sakit, senang susah, kaya miskin, semua ini merupakan wujud ciptaan Tuhan yang berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mendaku saja. Maut merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil kepada kebebasan yang luas, mencari Tuhan, kekasihnya. Mati atau maut adalah alamat cinta yang sejati (Aceh, 1987:67). Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup dan hidup dalam kematian. Saat tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam suasana yang terang benderng gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti ini muncul Nyala Sejati atau Nur Ilahi (Mulyono, 1978:126). Adapun bagian Serat Dewa Ruci yang berkaitan dengan tahap hakikat sebagai berikut: Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat dirinya. Penglihatan
commit to user
atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama ini ke dalam Dewa Ruci. Menurut Frans Magnis Suseno bahwa puncak kisah Dewa Ruci ialah ketika Bima bertemu dengan wujudnya sendiri, penjelmaan yang Maha Kuasa. Bima menemukan apa yang di carinya sebagai air hidup, sangkan paran, asal usul dirinya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dijelaskannya suatu pengertian dari dunia wayang itu untuk memahami serbagai realitas usaha, manusia dalam mencapai persekutuan dengan Yang Ilahi, sampai pada masalah kekuasaan (Haryanto, 1992: 124). Hal ini sebagaimana digambarkan dalam sebuah tembang Maskumambang sebagai berikut : “Dewa bajang peparap sang dewa Ruci, Sang Sena angus..wa, Pawongan sakawit swawu, Sang Hyang Ruci….i..Baskara”. Dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima (miniatur Bima) waktu muda itu adalah Dewaruci, penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri (Magnis-Suseno, 1984:115). Bima tidak menyadari bahwa dirinya sudah berbentuk sukma. Bima duduk bersimpuh ketika berhadapan dengan Dewa Ruci. Bima mengatakan bahwa dirinya hendak mencari tirta prawirta sari. Kemudian Bima disuruh masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Semula Bima menganggap remeh Dewa Ruci, karena Dewa Ruci kecil tubuhnya. Bima bingung untuk masuk. Lalu di beri petunjuk utuk masuk lewat telinga kiri. Dalam Serat Dewa Ruci, Tuhan dilambangkan sebagai makhluk yang sangat kecil sekaligus sangat besar. Karena Ia kecil maka Ia dapat melihat seluruh semesta dengan terang benderang dalam warna-warninya. Karena Ia besar, maka Ia adalah muara dari segala sesuatu, seperti samudra yang menjadi muara dari segala aliran sungai,
seperti
angkasa
tempat
bertabur
segala
planet
dan
bintang
(Koentjaraningrat,1984: 324). Dalam pandangan ini Tuhan dianggap sebagai yang terbesar, tak terbatas, dan sebagai seluruh alam semesta, dan sekaligus kecil sehingga dapat dimiliki oleh seseorang. Menurut Ysadipura I, walaupun kecil, Dewaruci sekaligus yang maha Besar. Dewaruci adalah sosok yang menampung segala isi alam semesta. Dewaruci bertanya pada Bima Sena: “gedhe endi sira lawan jagad kabeh iki saisine kalawan gunungipun
commit to user
samodrane alase sami
tan
sesak
lumebua
guwa
garbaningsun”(Pupuh
Dhandanggula pada 2). Artinya: Mana yang lebih besar, kamu atau dunia seluruhnya dengan semua isinya termasuk gunung, samudera, dan hutan sekalipun. Dunia seisinya ini tidak akan sesak, apabila perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id masuk dalam gua garbaku” (Adhikara, 1984: 18). Bima masuk dalam badan Dewa Ruci melalu telinga kiri. Menurut hadist, diantaranya Al-Buchari, telinga mengandung unsur Ketuhanan. Bisikan ilahi, wahyu, dan ilham pada umumnya diterima melalui telinga kanan. Dari telinga ini terus ke hati sanubari. Secara filosofis dalam masyarakat Jawa “kiri” berarti buruk, jelek, jahat, tidak jujur dan “kanan” berarti baik (dalam arti luas). Masuk melalui telinga kiri berarti bahwa sebelum mencapai kesempurnaan Bima hatinya belum bersih (Sastroamidjojo, 1967:45-46). Peristiwa masuknya Bima ke dalam badan Dewa Ruci melambangkan bahwa Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya sendiri. Dengan memandang Tuhannya di dalam kehidupan kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan. Pencitraan
Dewa Ruci sebagai kembaran Bima memperlihatkan
bahwa dalam
psikologi sufi dan mistik Jawa dikenal dua jenis diri (self) yaitu diri jasmani, yang direpresentasikan oleh Bima dan diri ruhani (higher self) yang direpresentasikan oleh Dewa Ruci (Happold, 1981: 58-610). Menurut Puersen (1976 : 68) , proses perjalanan batin untuk menemukan identitas dirinya menamakan proses ini sebagai identifikasi diri, sedangakan menurut Frans Dahler dan Julius Chandra menyebutnya dengan proses individuasi. Proses pencarian jati diri ini sesuai dengan hadist nabi: man arafa qalbahu faqad, arafa nafsahu, wa man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu (barang siapa mengenal dirinya, dan barang siap telah mengenal dirinya sungguh ia telah mengenal Tuhannya. Menurut Yasadipura I sebagaimana tersurat dalam Serat Dewa Ruci bahwa Tuhan dapat dikenali melalui jati diri, hati atau aspek batiniah (weruh sangkan paraning dumadi). Dengan kata lain bahwa kesempuranaan hidup dapat ditemukan pada diri sendiri setelah mampu mengalahkan hawa nafsu dengan prihatin, mengekang diri, pengenalan diri, keuletan dan keteguhan hati serta disiplin yang kuat.
commit to user
(Haryanto, 1992: 126-127). Pengenalan diri lewat simbol yang demikian secara filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat. Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa dirinya tidak melihat apa-apa. Pada tahap ini Bima seolah-olah berada di alam baru, bingung ibarat bayi yang baru lahir. Yang ia lihat hanyalah alam suwong perpustakaan.uns.ac.id (kekosongan pandangan) yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia digilib.uns.ac.id berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang awang uwung (tidak bertepi). Hal ini memperlambangkan hilangnya suatu keadaan yang dalam ajaran Islam dinamakan makrifating makrifat. Didalam filsafat kejawen hening, hening hawas dan heling ataupun secara singkat neng, ning, nong. Istilah awang uwung dalam Serat Dewa Ruci adalah suatu tingkat dimana perjalanan sukma menyaksikan (awang) kekosongan yang tak terbatas dan berarah sebelum menyaksikan urutan cahaya dan akhirnya mencapai hadirat Tuhan. Kata kekosongan secara khusus mengacu pada suatu tempat dalam tahapan penghayatan batin untuk mencapai kesempurnaan manusia. Dalam tradisi tasawuf mengenal keharusan untuk mengosongkan diri dari berbagai keinginan duniawi (nafsu amarah) yang memungkinkan laku perjalanan ruhani terhambat Kekosongan pada saatnya akan penuh cahaya ilahi (nafsu mutmainah) Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Allah semata. Segalanya telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak. Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan (Simuh, 1983:312). Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah terhimpun menjadi satu, manunggal (Daudy, 1983:188). Zat Tuhan telah berada pada diri hambabnya (Simuh, 1983:311), Bima telah sampai pada tataran hakikat. Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia sangat bingung, tiba-tiba ia melihat dengan jelas. Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari. Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar
commit to user
karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima secara filosofis telah sampai pada tataran hakikat. Bima setelah mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia melihat berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah: pancamaya, sinar perpustakaan.uns.ac.id tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda bagaikandigilib.uns.ac.id boneka gading yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya seperti itu secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah sampai pada tataran hakikat. Serat Dewa Ruci dalam pupuh Dhandhanggula V, padha 1-8 menyebutkan Bima melihat pancamaya. Pancamaya dalam serat Dewa Ruci disebutkan diinterprestasikan
sebagai bayangan yang diperoleh lantaran panca indera dan
disimpan dalam ketidaksadaran hati. Pada saat panca indera menanggapi segala sesutu dari alam sekelilingnya , ia didorong oleh nafsu. Makrokosmos adalah alam semesta seisinya yang dapat ditanggapi oleh panca indera manusia, kemudian disimpan dalam ketidaksadaran sebagai pancamaya. Dengan demikian isi alam semesta terdapt pada diri manusia, sekalipun hanya sebagai bayangan maya (Haryanto, 19992: 169). Oleh Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan merenungkan cahaya itu dalam hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya. Hal-hal yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu: merah, hitam, dan kuning. Dalam Serat Dewa Ruci pupuh dhandangula V, pada 10-13, diceritakan Bima melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Menurut Serat Dewa Ruci, isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama. Ketiga warna yang pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa menuju keselamatan, musuhnya dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan selamat, bisa manunggal, akan bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu, perangai terhadap masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui. Keempat warna tersebut digambarkan dalam Serat Dewa Ruci: “Sing ireng luwih prakoso, pagaweane kasrengen sabarang runtik anandadra ngambara ambra, kang abang iku iya tuduh nepsu tan becik sakehing peperingan metu saking iku, dene
commit to user
sing arupa kuning pagaweanr nanggulang sabarang cipta kang becik dadine panggawe amrih tulus . Artinya: Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, yang merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini, yang kuning perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pekerjaanya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan. Empat nafsu yang disebutkan di atas adalah nafsu yang berasal dari mata, hidung, telinga dan mulut. Nafsu lawwamah timbul dari mulut atau lidah, nafsu ammarah timbul dari telinga, nafsu sufiah timbul dari mata, dan nafsu mutmainnah timbul timbul dari hidung. Tiga hal yang harus dikendalikan adalah nafsu sufiah, amarah, lawwamah. Nafsu mutmainah tempatnya di hati, oleh sebab itu manusia apabila hatinya telah tergoyahkan, maka tidak biasa mengelak, pasti mendapat celaka. Segala yang berangkat dari nafsu akan menghasilkan sesuatu yang dapat mencelakakan dirinya, tetapi apabila berangkat dari hati nurani maka akan terbimbinglah hidupnya. Seluruh uraian yang terkandung dii dalanya pada hakikatnya menunjukkan
cara
menuju
kemanunggalan
diri
sendiri
dengan
Tuhan
(http://www.jawapalace.org/residriya.htm, diunduh pada tanggal: 1 November 2010). Keempat warna hitam, merah, kuning, atau hijau, dan putih itu diperlambangkan dalam gambaran kain kampuh banbintulu yang dipakai oleh Bima, warna kain kampuh banbintulu itu ialah lambang berkumpulnya sederek gangsal manunggil baju, tegasnya lima orang saudara sekekuatan yaitu bernilai sama akan kepribadiannya, kekuatannya, dan sebagainya. Lima saudara itu melambangkan watak tiap orang masing-masing. Empat diantaranya melambangkan bagian watak yang terkenal sebagai: a. Lauwamah (sifat angkara murka) b. Amarah (brangasan, lekas naik darah, lekas marah, dan sebagainya) c. Supiyah (baik hati, baik budi) d. Mutmainah (murni, jujur) e. Mojang, yang memberi petunjuk kearah tujuan yang baik.
commit to user
Melihat uraian diatas , bisa disimpulkan bahwa anasir dalam diri manusia ibarat 3 lawan 1 (tiga anasir kejahatan vs satu anasir kebaikan), hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Hanya orang-orang pilihan saja yang bisa memenangkan pertarungan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dahsyat itu (Wawan Susetya, 2007:10). Menurut Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci pupuh Dandhanggula VIII: 8, jika bisa mengatasi yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya tak perlu lagi pembimbing dan sempurna hidupnya. Dengan kata lain apabila seseorang sanggung melepaskan diri dari ikatan hawa nafsu dan kebendaan hijab atau dinding pemisah antara manusia dan Tuhan mulai tersingkap (Dhanu Priyo Prabowo, 2003: 129). Al-Qur’an juga merumuskan sifat-sifat buruk manusia dan mengingatkan agar menghindari sifat-sifat tersebut, untuk menjadi manusia kamil yang memiliki keseimbangan. Diantara sifat-sifat tersebut adalah: lemah dalam surat an- Nisa: 28, berkeluh kesah dalam surat al-Ma’arij: 19, ingkar dan dhalim dalam surat Ibrahim: 18-19, khianat, bakhil, pemarah menguncilkan diri dari pergaulan, dengki, cinta pada dunia secara berlebihan, dusta, sombong, meremehkan, orang laian, takabur, penakut dan ingkar (Purwadi, 2002: 148). Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya melihat urub siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Cahaya tunggal yang berwarna delapan itu ialah lambang kesatuan yang wajar (essence of unity) Atas pertanyaan sang Bima, diterangkan oleh Sang Dewa Ruci bahwa nyala tunggal itu berati jiwa yang hidup atau menyala-nyala. Cahaya yang mengandung delapan warna cahaya
itu
menggambarkan menyalanya darah yang diproyeksikan keluar (terlihat oleh orang lain) sekilas dengan hubungan antara bunga dan baunya. Rupa itu bernilai nyala . Nyala ialah mempunya nilai sama dengan hidup. Selanjutnya warna berarti air. Jika dibalikkan, maka teranglah , bahwa air dalam hubungan ini berarti air hidup yang dicari Bima itu. Sena: “Ingkang kadya peputran gadhing cahya mancur kumilat tumeja ngengguwung punapa inggih punika warnaning dzat kang silih dipun ulati kang sayektiing rupa” (Pupuh Dhandanggula, pada18).
commit to user
Artinya: Apa nama cahaya delapan warni ini, merupakan hakekat sejati ,tampak seolah permata gemerlap, kadang seperti bayangan, mempesona, kadang pancaran sinarnya bagaikan zamrud. perpustakaan.uns.ac.id Dewa Ruci: “Dhudu iki kang siro sedia, kang mumpuni siro jagad digilib.uns.ac.id kabeh tan keno siro dhulu. tanpa rupa tanpa warni. ta gatra tan satmoto. dhumunung aneng kang awas. mung sasmito kang angebaki jagad. dhinumuk dhatan keno”. Artinya: itulah bukan tujuanmu, tak boleh dijadikan tujuanmu, yang menguasai semesta alam tak mungkin kamu lihat dengan mata kepala kamu sendiri. tanpa rupa tanpa warna, tak berbentuk atau terlihat, berada pada barang siapa yang awas dan waspada (telah insyaf). Alam semesta hanya dengan tanda-tanda atau lambangnya saja yang tak dapat tersentuh. Menurut Yasadipura I berkaitan dengan ungkapan tan keno kinoyo ngopo dalam hal ini, wujud Tuhan tidak dapat digambarkan seperti apapun juga, hal ini disebabkan oleh manusia terikat oleh badan jasmaninya sehingga manusia hanya dapat mengerti Tuhan dalam simbol (Driyarkara, 1980:40). Oleh karena itu konsepsi tentang Tuhan dituangkan dalam bentuk simbol yang khas. Dalam serat Dewa Ruci tercermin konsep kesatuan wujud (Soebardi, 1975). Kata wujud biasa diterjemahkan kedalam bahas inggris being atau existence (Waston, 1997:67). Istilah wujud memujukkan realitas yang merupakan puncak dari semua yang ada (Supadjar, 1990). Wujud atau yang ada adalah suatu badan rohani yang dihidupkan oleh kehidupan Illahi. Wujud dalam Serat Dewa Ruci adalah syuhud atau menyaksikan. Wujud dan syuhud keduanya adalah tajjali, penampakan diri Tuhan (Waston, 1997: 67). Hakikat Tuhan dalam Serat Dewa Ruci disebut Hyang Suksma atau jiwa semesta yang bersifat spiritual. Menurut Yasadipura I Hyang Suksma adalah wujud ketuhanan yang tidak berbentuk, tak nampak, dan hanya ditemukan oleh orang yang berhati suci dan waspada (Waston, 1997: 73). Hyang Suksma adalah wujud tertinggi dari segala yang ada.
commit to user
Bima dalam badan Dewaruci di samping melihat pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, ia melihat benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Adapun boneka gading itu melambangkan Pramana yang disebutkan dalam Serat Dewa Ruci disebutkan dalam pupuh Dhandanggula V, pada 20 : “Dene iku kang sira tingali, kang asawang peputran matyarai ingkang kumilat cahyane perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id angkara murub pan Pramana arane nenggih (sedang yang kamu lihat, yang memandang anakan mutiara, yang berkilat cahaya, angkara murka menyala, sungguh pramana itu namanya). Pramana sebagai penampakan dari Hyang Suksma bertempat tinggal dalamt tubuh manusia (Soebardi: 1975). Pramana dalam kenyataannya adalah pernyataan diri dari hakikat Tuhan (Zoetmulder, 1985: 210). Pramana adalah manifestasi dari Hyang Suksma yang ada karena Dzat sendiri dalam etentitas Wujudnya mustahil dari tiada. Hyang Suksma mewujudkan segala sesuatu. Dia adalah wujud absolut atau al wujud atau yang tertinggi (Waston, 1997: 75). Konsep pramana dalam Serat Dewa Ruci, tidak tidur, tidak makan dan tidak merasakan segala macam rasa. Kalau badan sakit, pramana tidak merasakan sakit, tidak merasakan suka dan duka. Apabila badan berpisah dari pramana, akan menjadi lesu tidak berdaya pengaruh sedih dan gembira. Soejonorejo menjelaskan konsep pramana dalam Serat Jatimurti sebagai berikut: “Ana dene ayang-ayangan mau katon ana ing sifat kang langgeng kang luwih dening bening lan trawaca, kang kena kanggep pangiloning kajaten, yaiku asale sakahe rasa anyar utawa wiwitan cipta lan rasa. Pangilon kajaten mau karan pramana. Dadi pramana iku angilon sejati, kang kanggo nonton ayangayange rasa jati. Pramono kanggo ing kahanan jati gunane nyataake rasa samining makhluk (maya) utawa rasa anyar kang molah-malih. Kahanan jati iku Dzat kang asipat pramana mau” Artinya: Ada satu bayangan yang sifatnya abadi, yang lebih daripada bening dan terang, yang dapat disebut cermin “kejaten” yaitu berasal dari berbagai unsure rasa atau cabang cipta rasa. Cermin kejaten itu bernama pramana. Jadi pramana merupakan cermin sejati yang dipakai untuk melihat bayangan rasa jati. Pramana dipahami dalam kenyataan sejati untuk membuktikan perasaan makhluk atau perasaan yang tidak menentu. Kenyataan sejati tersebut yang bersifat Pramana (Budi Yuwono, 1993:53-54).
commit to user
Dalam falsafah India, kata-kata pramana digunakan secara intensif oleh para filosof Nyaya dan Vaiseshika dan lazim diartikan sebagai metode, kaedah, pedoman atau cara-cara mencapai ilmu pengetahuan, bukan seseorang atau sesuatu yang memiliki metode atau ilmu. Istilah Sanskrit lain yang mirip dengan kata-kata pramana, ialah prana, yang lazim digunakan oleh para filosof Yoga seperti Patanjali perpustakaan.uns.ac.id untuk menyebut energi atau daya hidup dalam tubuh manusia yangdigilib.uns.ac.id memiliki sifat ilahiyah. Sangat mungkin istilah pramana yang digunakan filosof Nyaya dan Vaishesika berubah arti di tangan para mistikus Jawa, atau sangat mungkin pula bahwa kata-kata itu memiliki kaitan dengan istilah prana. Atau mungkin pula para pengarang Jawa termasuk Yasadipura I sengaja menggabungkan pengertian dari dua istilah ini dalam upayanya menarjemahkan gagasan Imam al-Ghazali tentang kalbu sebagai substansi halus dalam tubuh yang bersifat ilahiyah dan memancarkan sinar gemerlapan. Simbol pramana juga dapat dikaitkan dengan konsep Nur Muhammad dalam tasawuf, yang digambarkan sebagai cahaya berkilauan. Dalam Dewa Ruci substansi halus ini juga dilukiskan sebagai cahaya gemerlapan. Yasadipura I kemudian menghubungkan pula simbol cahaya ini dengan konsep mukasyifat, yaitu sang pemberi kehidupan. Arti mukasyifat ialah dia yang memberikan kasyf (penglihatan batin yang terang, illuminasi) yang tidak lain adalah Tuhan. Wakilnya dalam tubuh manusia ialah pramana, yang juga diartikan sebagai substansi yang memberi kehidupan pada tubuh. Dewa Ruci adalah hakikat pribadi seseorang yang mampu menyatu dengan iradat Tuhan. Kesatuan Bima dengan Dewa Ruci dapat diartikan sebagai dzat manusia dengan iradat-Nya, setelah manusia mampu mengalahka nafsu-nafsunya (Yuwono, 1993: 63). Pramana menunjukkan pengertian akan denyut jantung. Jadi selama denyut jantung masih berdenyut, selam itu raga manusia masih hidup. Sedang yang menghidup pramana adalah suksma sejati yang dapat merasakan adanya sifatsifat Ketuhanan Yang Maha Esa pada raga dan jiwa manusia. Bilamana raga manusia mati, pramana pun ikut mati. Akan tetapi, suksma sejati hidup terus dalam alam yang tidak terbatas waktunya (Haryono, 1990: 369). Martabat kelima termasuk alam
commit to user
uluhiah atau keilahian yang ada tawon guwana atau lebah yang sedang menggema, yang berda dalam mega fana. Dalam Dewa Ruci tawon gumana disebut golek gading sebagai perwujudan pramana (Simuh, 1988: 369).
d. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I yang berkaitan dengan Makrifat perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Makrifat dalam bahasa Jawa laku rasa, sembah rasa adalah perjalanan menuju manusia sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya (Aceh, 1987:67). Dalam teminologi tasawuf, makrifat berarti mengenal langsung atau mengetahui langsung tentang Tuhan dengan sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-Nya (Nicholson, 1975:71), yang meliputi zat dan sifatnya. Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran tarekat, yaitu ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang merintangi manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia akan merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang Ada. Dalam hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang Ilahi. Keadaan ini tidak dapat diterangkan (Nicholson, 1975:148) (Jawa tan kena kinaya ngapa) (Mulyono, 1982:47), yang dirasakan hanyalah indah (Zahri, 1984:89). Dan disinilah pada masyarakat Jawa hal ini disebut dengan istilah manunggaling kawula Gusti, pamoring kawula Gusti, jumbuhing kawula Gusti, warangka manjing curiga curiga manjing warangka. Pada titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah. Di dunia ia menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti), menjalankan kewajibankewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia yang lain (de Jong, 1976:69; Mulder, 1983:25). Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih diselubingi oleh kebendaan, syahwat, dan segala kesibukan dunia yang fana ini (Aceh, 1987:70). Tindakan diri manusia semata-mata menjadi laku karena Tuhan (Subagya, 1976:85). Keadaan yang dialami oleh Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah mencapai tahap makrifat, di antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan
commit to user
Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi. Sebagai puncak dari pengalaman mistik yang diharapakan oleh para sufi adalah dapat langsung berhubungan atau mengadakan persatuan dengan Tuhan (wihdatul perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id wujud), yang dalam istilah Kejawen disebut manunggaling kawula-Gusti. Yasadipura I pun, menurut Kamadjaja (1963:124-125) berpaham demikian. Dan hampir semua karya Yasadipura I yang bercorak mistik selalu menyatakan hal itu, seperti tampak pada Serat Dewa Ruci. Konsep manunggaling kawula Gusti dalam Serat Dewa Ruci disebutkan dalam pupuh Dhandanggula , pada 36-37: “Yen weruh pamoring Kawula Gusti, sarta Suksma kang sinendyan ana, de warna neng sira ngnggone, lir wayang sarireku, saking dhalang solahing ringgil, mangka panggung kang jagad, lire badan iku, asolah lamun pinolah, sasolahe kumendhep myarsa ninggali, tumindak lan pangucap”. “Kawisesa amisesa sami, datan antar pamoring karsa, jer tanpa rupa rupane, wus aneng ing sireku, umpamame paesan jati, ingkang ngilo Hyang Suksma, wayangan puniku, kang ana sajroning kaca, iya sira jenenging manusa iki, rupa sajroning kaca”. Artinya: Kalau tahu pamoring kawula Gusti serta Suksma yang dituju ada, oleh warna pada kamu tempatnya seperti wayang pada kamu itu dari dalang gerak wayang, padahal panggung itu jagat, seperti badan itu bergerak jika digerakka pergerakannya tertatap mendengar melihat, bertindak dan berkata. Sama menguasai dikuasai tak antara pamoring karsa memang tanpa rupa sudah ada pada dirimu umpama paesan jati, yang berkaca Hyang Suksma, wayangan adalah yang ada dalam kaca, yaitu kamu nama manusia, rupa dan kaca. Uraian
diatas
menerangkan
bahwa
kehidupan
manusia
merupakan
pencerminan Tuhan, karena sangat dekatnya hubungan manusia dengan tuhan (jating rasa) penglihatan dan pendengaran manusia menjadi penglihatan dan pendengaranNya (Nicholson, 1975:100-101). Kedektan itu juga menggambarkan
badan lahir
dan badan batin, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu.
commit to user
Karena dekatnya Tuhan, seolah-olah Tuhan berada di dalam manusia, bukan di luar manusia. Dalam Al-Qur’an
ajaran tentang imanensi atau kedekatan Tuhan
dengan manusia sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah: ... “Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan” (Al-Hadid, ayat 4). Pengertian serupa juga terdapat dalam surat Qaff ayat 16: “Dan perpustakaan.uns.ac.id sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui digilib.uns.ac.id apa yang telah dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. Dengan pengertian ini sebenarnya konsep manunggaling kawula Gusti dalam Serat Dewa Ruci tetap menganggap bahwa zat Tuhan tetap dipahami sebagai zat yang transenden, yaitu zat Tuhan adalah hakiki dan manusia hanya bersifat pantulan atau nisbi saja. Dengan kata lain Dalam Serat Dewa Ruci,
tetap berpandangan
hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda (Nicholson, 1975:158-159). Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal manusia memiliki sifat-sifat Ilahi (Hadiwijono, 1983:94). Sebagaimana teori cermin bahawa sesuatu yang memantul atau yang memberi bayangan adalah sesuatu yang hakiki dan pantulan atau bayangan sesuatu yang hakiki tersebut hanya bersifat nisbi saja. Sesuatu yang nisbi tidaklah sama kualitinya dengan sesuatu yang hakiki. Sebagaimana juga dikatakan oleh salah seorang penganut paham manunggaling kawula Gusti, Ki Amongraga yang menyadari bahawa dia hanya hasil ciptaan dan antara kawula dan Gusti ada perbedaan, seperti antara debu (di tanah) dan awan, atau seperti antara bumi dan ruang angkasa. Walaupun demikian memang sangat susah untuk mendefinisikan konsep manunggaling kawula Gusti secara tepat. Oleh itulah Simuh mengatakan bahawa memahami konsep manunggaling kawula Gusti memang dikatakan mudah tetapi susah dan dikatakan susah tetapi mudah. Dalam Kepustakaan Islam Kejawen, hubungan manusia dengan Tuhan, umumnya mengandung rumusan yang saling tumpang tindhih. Tuhan dilukiskan memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia dan manusia diganbarkan sama dengan Tuhan. Paham semacam ini dalam falsafah dinamkan antropomoirfisme (Simuh, 1998:229). Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya, bagaikan air dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan dewa
commit to user
Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa (Hadiwijono, 1983:45). Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Oleh kaum filsafat, itulah yang disebut surga (Hamka, 1984:139). Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat. Segala yang menjadi niat hatinya terkabul, apa yang dimaksud tercapai, dan apa yang dicipta akan datang, jika hamba telah bisa manunggal dengan Tuhannya. Segala yang dimaksud oleh Bima telah tercapai. Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tataran makrifat.Segala yang diniatkan oleh hamba yang tercapai ini kadang-kadang bertentangan dengan hukum alam sehingga menjadi suatu keajaiban. Keajaiban itu dapat terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi (Nicholson, 1975:132). Ada dua macam keajaiban, yang pertama yang dilakukan oleh para wali disebut keramat dan yang kedua keajaiban yang dilakukan oleh para nabi disebut mukjizat (Nicholson, 1975:129). Dalam Serat Dewa Ruci pupuh Dhandhangguala V, pada 32-33 disebutkan bahwa bagi Bima hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia hendaklah manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam dalam kematian manusia akan kembnali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak sempurna dan yang menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia kemudian bebas merdeka sesuai kehendaknya kembali manunggal kepada Yang Kekal (Marsono, 1997:799). Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya secara filosofis melambangkan bahwa tokoh Bima telah mencapai tahap makrifat.
commit to user
Bima setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna dengan Tuhannya karena mendapatkan wejangan dari Dewaruci, ia hatinya terang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar. Bima kembali kepada alam dunia semula. Keselarasan sosial dalam serat dewa ruci tampak pada personifikasi tokoh Sena yang mau kembali ke tempat asalnya, setelah dia mengalami ekstase perpustakaan.uns.ac.id kenikmatan spiritual. Tokoh Bima tidak hanya mementingkan olah digilib.uns.ac.id kebatinan saja, namun juga masih peduli dengan soal-soal lahiriah duniawi berupa problem sosial dan kenegaraan yang perlu diselesaikan berhubung posisi dirinya sebagai prajurit,abdi negara, dan satria agung. Keadaan hati yang terang benderang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.
commit to user
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan
Berpijak dari uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat di perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Biografi
Yasadipura dapat ditelusuri dari silsilahnya. Menurut Tus Pajang,
Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari raja Pajang itu. Ia adalah anak Tumenggung Padmanagara, seorang Bupati/Jaksa pada masa Mataram Kartasura. Sebagai seorang anak bupati, Yasadipura I mendapatkan pendidikan selayaknya kaum priyayi yang sangat kental dengan aroma kejawen. Untuk memperdalam ilmunya maka pada usia delapan tahun, dia dikirim sebuah Pondok Pesantren di Bagelan Kedu di bawah asuhan Kyai Hanggamaya untuk mendapatkan pendidikan formal Islam. Pada usia empat belas tahun ia menyelesaikan belajarnya di pesantren Kedu, dan kemudian mengabdi di kraton Kartasura pada masa Pakubuwana II (1726-1743). Karena prestasinya yang baik dalam mengabdi di kerajaan ia kemudia dipromosikan menjadi prajurit Nameng Jaya. Karena bakatnya dalam bidang sastra diketahui Paku Buwana II, oleh karena itu Pakubuwahna II menitipkan Kudapangawe kepada Pangeran Wijil, seorang pujangga yang bekerja di kadipaten. Setelah mendapat bimbingan Pangeran Wijil, bakatnya di bidang sastra semakin menonjol sehingga ia disebut sebagai pujangga taruna (Pujangga Muda). Setelah periode Surakarta, pada masa Pakubuwana II (1749-1788), ia telah disebut dengan Raden Ngabehi Yasadipura I dan meningal hari senin Kliwon, 20 Dulkangidah, Wawu 1728. 2. Serat Dewa Ruci digubah Yasadipura I pada masa awal kraton Surakarta. Secara historis berkaitan dengan kitab Nawaruci, karya Empu Siwamurti pada zaman akhir kerajaan Majapahit. Kitab Nawaruci merupakan karya mistik Jawa yang terpengaruh ajaran agama Hindhu. Serat Dewa Ruci merupakan perpaduan antara sastra mistik yang mengandung paham asli Jawa-Hindhu, dan Islam. Dalam lingkungan kebudayaan Jawa, Serat Dewa Ruci merupakan alegori mistik Jawa yang begitu popular. Dalam konteks religi masyarakat Jawa Serat Dewa
commit to user
Ruci merupakan representasi terbaik dari wacana mistisisme Jawa. Di dalamnya filsafat hidup Jawa yang didasarkan pada bentuk-bentuk spiritualitas atau mistisisme yang sinkretik tergambar dengan jelasnya. Bagi masyarakat Jawa, khususnya kalangan kesepuhan
menganganggap isi Serat Dewa Ruci cukup
berbobot untuk digunakan sebagai bahan renungan perihal hakikat kehidupan, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id yaitu kawruh sangkan paraning dumadi atau dari mana dan kemana tujuan hidup manusia itu. 3. Pemikiran Yasadipura I tidak terlepas
dari pengaruh tradisi kejawen dan
pesantren (Islam). Di satu sisi Yasadipura I sebagai anak seorang bupati di Pengging, dididik sebagai anak kaum priyayi yang pada umumnya dekat paham kejawen. Pada sisi lain, oleh keluarganya dia dikirim ke sebuah pesantren di Kedu, untuk mendapatkan pendidikan formal agama Islam. Mengalami dua lingkungan pendidikan ini membuat Yasadipura I fasih berbicara tentang bagaimana pandangan Jawa lama seperti yang terekam dalam karya-karya sastra Jawa kuno. Kapasitas intelektual yang ia miliki ini diekspresikan dalam bentuk penggubahan ulang karya-karya sastra Jawa kuno dan karya-karya sastra MelayuIslam ke dalam karya sastra baru, dengan bahasa Jawa baru. Pemikiran sinkretik Yasadipura I salah satunya tercermin di dalam Serat Dewa Ruci. Secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi “asal dan tujuan hidup manusia“ atau manunggaling kawula Gusti. Sufisme yang dirumuskasn Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci memperlihatkan intregitas ajaran syariat, hakikat, tarekat, dan makrifat. Keempatnya merupakan mata rantai yang sambung menyambung, saling berkait satu dengan yang lain dan perlu dilakukan setahap demi setahap.
B. Implikasi 1. Implikasi Teoritis
commit to user
Pemikiran yang dikembangkan oleh Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci ini tidak lepas dari unsur pesantren (Islam) dengan budaya Jawa (kejawen). Budaya sinkretis dalam serat tersebut mempengaruhi isi Serat Dewa Ruci, yang sisinya merupakan perpaduan antara unsur Islam dengan unsur Jawa. Pola pikir dalam serat ini mengetengahkan ajaran tasawuf yang cukup supel. Isinya berkaitan dengan paham perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id atau budaya sinkretis. Pemikiran yang dikembangkan dalam serat ini, adalah ajaran tasawuf yang berhubungan dengan konsep etika manusia dengan manusia) dan manusia dengan Tuhan, sehingga tercipta ajaran manunggaling kawula gusti. Ajaran manunggaling kawula gusti yang terdapat dalam serat Dewa Ruci menunjukkan kearah paham Union Mistik yang mempertemukan antara Tuhan dengan manusia. Paham Union Mistik inilah yang merupakan ciri khas kepustakaan Islam Kejawen 2. Implikasi Praktis Dengan memahami skripsi mengenai Serat Dewa Ruci, akan dapat diketahui pola pikir Yasadipura I. Penelitian ini memunculkan suatu pengertian ajaran tasawuf dalam serat tersebut menjadikan pedoman bagi orang Jawa dalam mengembangkan pola kehidupan sehari-hari terutama soal penghayatan keagamaan, yang di dalam ajaran tersebut sarat akan mistik. Oleh karena itu implikasi praktis dari penelitian ini adalah bahwa untuk mengenal Tuhan seperti yang tertuang dalam ajaran tasawuf diperlukan ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya, yang berwujud keimanan dalam menjalankan perintah maupun menjauhi laranagn-Nya.
C. Saran Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka dapat diajukan saran sebagai berikut: 1. Bagi Pengelola Kementrian Pendidikan Nasional dan Pemerintahan Kota Surakarta mengingat kandungan isi Serat Dewa Ruci sangat bermanfaat bagi perkembangan kebudayaan dan pengetahuan, maka hendaknya dapat lebih memberikan perhatian pada sumber-sumber sejarah terutama sumber berupa naskah-naskah kuno yang tersimpan di perpustakaan kraton Surakarta dan museum. Perhatian ini terutama dalam hal keamanan, perawatan dan penerjemahan. Pihak terkait (Keraton, Museum, dan Depdiknas) dapat
commit to user
bekerjasama dengan para ahli penerjemah bahasa Jawa maupun Belanda untuk menerjemahkan naskah kuno tersebut ke dalam bahasa Indonesia agar lebih menarik perhatian dan mudah dipahami isinya oleh khayalak umum. 2. Bagi Tim Kurikulum Program Pendidikan Sejarah, mengingat betapa pentingnya kegunaan bahasa sumber, terutama bahasa Jawa, maka mata kuliah Bahasa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Sumber hendaknya dijadikan sebagai salah satu mata kuliah yang mendapatkan perhatian lebih. Mata kuliah Bahasa Sumber ini dapat digunakan sebagai bekal bagi mahasiswa Program Studi Sejarah dalam penelitian yang berhubungan dengan naskah-naskah kuno tersebut belum diteliti. Diharapkan dari penelitian ini akan semakin menambah kecintaan masyarakat terhadap hasil karya sastra anak bangsa terutama naskah-nakah kuno yang berbahasa Jawa. 3. Bagi masyarakat umum,
mengingat Serat Dewa Ruci merupakan karya
widyatama atau etis filosofis yang mengandung wulangan, wejangan , dan wedharan, maka hendaknya Serat Dewa Ruci bisa dijadikan sebagai salah satu sumber referensi bagi masyarakat untuk memahami hakikat kehidupan Dengan memahami isi dari Serat Dewa Ruci diharapkan, memberi isyarat persuasif kepada masyarakat agar selalu eling waspada dan bersahaja, mengendalikan diri mengurangi kenikmatan badaniah duniawi, bersedia Lara Lapa Tapa Brata dan bersyukur meskipun berkesempitan untuk mencapai tujuan kehidupan yang Khusnul Khatimah
commit to user