perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN SEMIOTIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER SERAT DEWA RUCI
TESIS
Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa Jawa
Oleh: Mahatma Zat Akhdiyat S441302009
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PEMBIMBING
KAJIAN SEMIOTIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER SERAT DEWA RUCI
TESIS Oleh: Mahatma Zat Akhdiyat S441302009
Komisi Pembimbing pembimbing I
Nama
Tanda Tangan
Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd
.……………..
................…… NIP. 196204071987031003 Pembimbing II
Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum
………………
......…………. NIP. 197602062002121004 Telah dinyatakan memenuhi syarat Pada Tanggal………………………….2015 Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa & Sastra Jawa FKIP UNS
Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP. 196204071987031003
commit to user
ii
Tanggal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN SEMIOTIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER SERAT DEWA RUCI TESIS
Oleh: Mahatma Zat Akhdiyat S441302009 Tim Penguji Jabatan Tanggal
Nama
Tanda Tangan
Ketua
Prof. Dr. Andayani, M.Pd
....................
...........
2015 NIP 196010301986012001 Sekretaris Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd ………2015 NIP 195601211982032003 Anggota Penguji Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. 2015 NIP 196204071987031003 Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum
.....................
......................
………
.......................
…..…..
2015 NIP 197602062002121004 Telah dipertahankan di depan penguji Dinyatakan telah memenuhi syarat Pada tanggal.....................2015 Mengetahui Dekan FKIP UNS Indonesia
Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. NIP 196007271987021001
Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP 196204071987031003
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa: 1. Tesis yang berjudul “Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan Karakter Serat Dewa Ruci” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan (Permendiknas No 17 Tahun 2010). 2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi teks Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seizin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurangkurangnya dalam satu semester (enam bulan sejak pengesahan tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan tesis ini, maka Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa PPs UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa PPs UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.
Surakarta,
Februari
2015 Mahasiswa
Mahatma Zat Akhdiyat S441302009
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
-
Alon-alon wewaton kelakon.
-
Kerja utama dari pendidikan adalah penciptaan habitat belajar yang sehat.
-
Kebenaran bukan lagi hujan dari langit tapi biji yang tumbuh dari pemahaman terhadap kenyataan.
-
Ibadah bukanlah pengorbanan tapi kerja yang didasari kesadaran pada rumusan-rumusan hidup dengan tujuan penciptaannya.
-
Jika hidupmu berlapang dada maka jalan hidupmu akan dilapangkan.
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Teriring doa dan puji syukur Alhamdulillahirabbil alamin penulis persembahkan karya ini kepada: 1. Kedua orang tua yang aku hormati dan banggakan: Ibu Waginah (alm) dan Bapak Sudadyo yang mula-mula mengajari kebaikan dan kebenaran. 2. Istriku terkasih Dhevilia Ardhiana dan anakku Mahestu Julang Redhung pemantik nyala semangat dalam perjalanan waktu. 3. Para pemuja keberagaman dalam Keesaan.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillahirabbil alamin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha pemberi rahmat dan hidayah sehingga tesis yang berjudul “Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan Karakter Serat Dewa Ruci”, dapat disusun dengan baik dan lancar. Penyusunan tesis ini adalah salah satu prasyarat untuk mencapai derajat magister pendidikan di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian tesis ini. 1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pascasarjana di Universitas Sebelas Maret Surakarta; 2. Prof. Dr. Ahmad Yunus, M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin penyusunan tesis;
3. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan persetujuan dan pengesahan tesis ini; commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana UNS dan pembimbing tesis yang telah memberikan persetujuan pengesahan serta memberikan bimbingan sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan lancar; 5. Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum, selaku pembimbing tesis yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat terselesaikan tepat waktu; 6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Jawa Minat Utama Pendidikan Bahasa Jawa yang dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmunya kepada penulis sehingga dapat menjadi bekal untuk penyusunan tesis; 7. Supardjo, M.Hum dan rekan-rekan dari Yayasan Sastra Lestari Surakarta atas bantuannya menyediakan bahan penelitian; 8. Bapak Aris Supriyadi, M.Pd., Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Toroh tempat penulis mengabdikan diri, yang telah memberi ijin dan dukungan sepenuhnya dalam pengambilan pendidikan pasca sarjana yang penulis tempuh; 9. Teman-teman guru di SMA Negeri 1 Toroh yang dengan tulus mendorong dan mendukung dalam proses pendidikan yang ditempuh maupun penulisan tesis;
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10. Teman-teman seperjuangan di jurusan PBJ Program Pascasarjana UNS angkatan tahun 2013 yang telah banyak membantu dan memberikan semangat dalam belajar; 11. Keluarga besar penulis yang senantiasa memberikan semangat dalam menyelesaikan tesis; 12. Seluruh staf administrasi pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan fasilitas untuk kelancaran studi penulis; Akhirnya, penulis berdoa semoga Allah SWT melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada kita sekalian, dan mudah-mudahan tesis ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi yang berarti dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan bahasa dan budaya Jawa. Amin.
Surakarta, Februari 2015 Penulis
Mahatma Zat Akhdiyat
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Mahatma Zat Akhdiyat. S441302009. 2015. “Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan Karakter Serat Dewa Ruci‟‟ TESIS. Pembimbing I: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Pembimbing II: Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Cerita wayang dan serat tradisional Jawa mengandung rekaman nilai budaya yang patut digali lebih dalam dan dihubungkan dengan pendidikan namun sayangnya jarang dilakukan. Kajian semiotik dan nilai pendidikan ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan dan menjelaskan arti dan sistem tanda pada tataran heuristik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci, (2) Mendeskripsikan dan menjelaskan makna secara hermeneutik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci, (3) Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam serat Dewa Ruci, (4) Mendeskripsikan dan menjelaskan relevansi serat Dewa Ruci dengan pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Jawa di sekolah. Penelitian dilakukan dari awal bulan Maret 2014 hingga Februari 2015. Pendekatan penelitian ini adalah semiotik khususnya semiotik Riffaterre. Objek penelitian adalah serat Dewa Ruci karya Yasadipura I terbitan Tan Kun Swi Kediri. Data berupa tanda dan sistem tanda, kandungan makna dalam serat, kandungan nilai pendidikan karakter. Uji validitas menggunakan triangulasi data. Teknik analisis data dengan teknik interactive model analisys. Hasil penelitian menunjukkan penerapan kajian semiotik terhadap serat Dewa Ruci mampu memunculkan kandungan sistem tanda dan makna ditandai dengan didapatnya sistem tanda yang ditemukan dan kandungan makna yang dalam serta nilai pendidikan karakter yang ada. Penelitian ini juga menunjukkan adanya metode belajar laku yang dikandung budaya Jawa yang bisa dikenalkan kepada masyarakat ilmiah sebagai metode khas Jawa. Selain itu juga terdapat pembongkaran nilai hierarkis yang dikandung objek penelitian terhadap sistem religi dimana setiap insan bisa berhubungan dengan Tuhannya tanpa perantara. Proses belajar yang paling mula menurut hasil dan pembahasan penelitian menunjukkan bahwa mengenal diri sendiri adalah salah satu bagian penting dari proses belajar.
Kata kunci: Serat Dewa Ruci, pendidikan karakter, semiotik.
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Mahatma Zat Akhdiyat. S441302009. 2015. “A Study on Semiotics and Character Education Value in Serat Dewa Ruci” Thesis. First Counselor: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Second Counselor: Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum. Javanese Language and Letters Education Main Concentration of Indonesian Language Education Study Program, Postgraduate Program, Surakarta Sebelas Maret University. Puppet story and Javanese traditional letter (serat) contains cultural value records worthy of deeper exploration and related to education; but unfortunately it has been conducted rarely. This semiotic and education value study aimed (1) to describe and to explain the meaning and system of sign in heuristic level existing in Serat Dewa Ruci, (2) to describe and to explain the hermeneutic meaning existing in Serat Dewa Ruci, (3) to describe and to explain the character education value existing in Serat Dewa Ruci, (4) to describe and to explain the relevance of Serat Dewa Ruci to character education in Javanese language learning at school. This study was conducted from early March 2014 to February 2015. The approach used in this research was semiotic one, particularly Rifatterre‟s semiotic approach. The object of research was serat Dewa Ruci by Yasadipura I published by Tan Kun Swi, Kediri. The data constituted sign and sign system, content of meaning in the serat, and content of character education value. The data validation was conducted using data triangulation. Technique of analyzing data used was an interactive model of analysis. The result of research showed that the application of semiotic study to Serat Dewa Ruci could generate the content of sign system and meaning characterized by the sign system found and the content of meaning and the character education value existing. This study also showed the laku (in demand) learning method contained in Javanese culture that could be introduced to the scientific community as typical Javanese model. In addition, there was a deconstruction of hierarchical value contained in the research object on the religious system in which everyone could connect to his God without intermediary. The initial learning process, according to the result and discussion of research, showed that self-identification was an important part of learning process. Keywords: Serat Dewa Ruci, character education, semiotic.
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SARIPATHI Mahatma Zat Akhdiyat. S441302009. 2015. “Panaliten Semiotik lan Sari Pendidikan Watak Serat Dewa Ruci‟‟ TESIS. Pangesuh I: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Pangesuh II: Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Carios wayang ugi serat tradisional Jawi ngandut pepenget sari budaya ingkang pantes dipunudi langkung lebet ugi kajumbuhaken kaliyan piwulang namung emanipun awis-awis dipunlampahi. Panaliten semiotik ugi sarining piwulang menika ancasipun: (1) Anggambaraken ugi jlentrehaken teges ugi sistem tanda ing tataran heuristik ingkang wonten ing salebetipun serat Dewa Ruci, (2) Anggambaraken ugi njlentrehaken makna hermeneutik ingkang wonten ing salebetipun serat Dewa Ruci, (3) Anggambaraken ugi njlentrehaken sarining piwulang watak ingkang wonten salebetipun serat Dewa Ruci, (4) Anggambaraken ugi anjlentrehaken gayutipun serat Dewa Ruci kaliyan piwulang watak wonten ing pasinaon basa Jawi wonten ing sekolah. Panaliten kalaksanan saking wiwitan wulan Maret tahun 2014 dugi Februari tahun 2015. Panaliten angginakaken teori semiotik khususipun semiotik Riffaterre. Objek panaliten inggih menika serat Dewa Ruci anggitanipun Yasadipura I wedalan Tan Kun Swi Kediri. Data arupi tanda ugi sistem tanda, teges ingkang kamomot salebitipun serat, sarining piwulang watak. Validitas data angginakaken triangulasi data. Teknik analisis data angginakaken teknik interactive model analisys. Kasilipun panaliten kanthi ngetrapaken semiotik tumrapipun serat Dewa Ruci nedahaken kandutan sistem tanda ugi makna katitik saking kapranggulinipun sistem tanda ugi kandutan makna ingkang wigati ugi sarining piwulang watak ingkang wonten. Panaliten menika ugi manggihi wontenipun metode pasinaon laku ingkang dipunkandhut budaya Jawi ingkang saget dipuntepangaken wonten ing pasrawungan ilmiah minangka metode khas Jawi. Sasanesipun menika ugi kaprangguli ewah-ewahan bab tata hierarkis iangkang kakandhut objek panaliten tumrapipun sistem religi inggih menika saben insan saged nyenyuwun kiyambak dumatheng Gusti Allah. Piwulang ingkang wiwitan miturut asilipun panaliten ugi pangrembak panaliten nedahaken bilih manggihi diri pribadi menika salahsatunggalipun bab ingkang wigatos saking lampah piwulang.
Kata kunci: Serat Dewa Ruci, pendidikan karakter, semiotik.
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Hal JUDUL .............................................................................................................
i
PERSETUJUAN ..............................................................................................
ii
PENGESAHAN .................................................................................................
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS ................
iv
MOTTO ...........................................................................................................
v
PERSEMBAHAN ............................................................................................
vi
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vii
ABSTRAK ......................................................................................................
x
ABSTACT ......................................................................................................
xi
SARIPATHI ....................................................................................................
xii
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................
1
B. Rumusan Masalah ...............................................................................
11
C. Tujuan Penelitian ................................................................................
11
D. Manfaat Penelitian ...............................................................................
12
1. Manfaat Teoretis ..........................................................................
12
2. Manfaat Praktis ............................................................................
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA ............................................................................................
13
A. Tinjauan Pustaka ................................................................................
13
B. Landasan Teori ....................................................................................
20
1. Kajian Puisi ......................................................................................
20
2. Kajian Puisi Tradisional Tembang Macapat ................................... commit to user 3. Pendekatan Semiotik .......................................................................
26
xiii
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Tataran Heuristik .........................................................................
36
b. Tataran Hermeneutik ...................................................................
38
4. Hakikat Pembelajaran Bahasa Jawa ................................................
40
5. Hakikat Pendidikan Karakter ..........................................................
45
a. Pendidikan ...................................................................................
45
b. Pendidikan Karakter ....................................................................
48
c. Pendidikan Karakter dalam Budaya Jawa ...................................
51
C. Kerangka Berpikir .................................................................................
55
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.........................................................
57
A. Tempat dan Waktu Penelitian ...............................................................
57
B. Bentuk dan Jenis Penelitian ...................................................................
58
9C. Data dan Sumber Data .........................................................................
59
D. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................
60
E. Validasi Data ........................................................................................
60
F. Teknik Analisis Data..............................................................................
62
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................
65
A. Hasil Penelitian ...................................................................................
65
1. Sistem Tanda dalam Serat Dewa Ruci ..............................................
65
a. Sistem Penamaan Tokoh ...............................................................
66
1) Arya Sena .................................................................................
67
2) Drona .......................................................................................
70
3) Kresna.......................................................................................
73
4) Dewa Ruci atau Anak Bajang ..................................................
75
5) Duryudana ................................................................................
77
6) Raksasa Rukmuka dan Rukmakala ..........................................
79
7) Bathara Bayu dan Bathara Surya .............................................
81
8) Naga .........................................................................................
83
b. Latar Tempat Sebagai Latar Masalah ...........................................
85
1) Hutan Tibraksara ......................................................................
85
2) Gunung Candramuka................................................................ commit to user 3) Samodra ....................................................................................
86
xiv
89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Sistem Tanda Penunjuk Kualitas ...................................................
90
1) Pancanaka .................................................................................
90
2) Toya Suci .................................................................................
92
d. Metafor Terhadap Kelemahan Manusia .......................................
96
1) Gua ...........................................................................................
96
2) Masuk Telinga ..........................................................................
97
e. Sistem Tanda Penunjuk Proses .....................................................
101
1) “Ing nguni-uni durung ana kang wruh goning toyadi ..............
101
2) Metafora Perjalanan Lurus .......................................................
103
3) Pancamaya dan Empat Warna ..................................................
108
f. Penciptaan Arti Melalui Susunan Pupuh Sebagai Susunan Alur ...
110
1) Pupuh Dandhanggula Berisi 16 bait .........................................
111
2) Pupuh Pangkur berisi 44 bait....................................................
112
3) Pupuh Sinom berisi 18 bait .....................................................
113
4) Pupuh Durma berisi 32 bait .....................................................
113
5) Pupuh dandhanggula berisi 55 bait .........................................
114
2. Makna Secara Hermeneutik...............................................................
117
a. Tema dalam Serat Dewa Ruci .......................................................
117
b. Hipogram .....................................................................................
120
c. Matriks .........................................................................................
129
3. Nilai Pendidikan dalam Serat Dewa Ruci .........................................
137
a. Karakter Religius ..........................................................................
137
b. Karakter Jujur dan Tulus ...............................................................
141
c. Konsep Diri yang Kuat .................................................................
142
d. Teliti dan Sabar .............................................................................
146
e. Kemampuan Bersikap ...................................................................
147
f. Tepa Sarira / Empati ......................................................................
148
g. Tenang ...........................................................................................
149
h. Mau Berkorban..............................................................................
150
i. Sikap Berbakti ................................................................................ commit to user 4. Relevansi Serat Dewa Ruci dengan Pelajaran Bahasa Jawa .............
151
xv
152
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Pembahasan ..........................................................................................
154
1. Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu ..................
154
2. Kelemahan Serat Dewa Ruci .............................................................
158
3. Pendekatan Semiotik terhadap Serat Dewa Ruci ..............................
159
4. Serat DewaRuci Sebagai Peningkat Karakter Siswa .........................
159
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN .........................................
162
A. Simpulan...............................................................................................
162
B. Implikasi ...............................................................................................
163
C. Saran .....................................................................................................
168
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
170
LAMPIRAN ....................................................................................................
176
commit to user
xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Daftar Lampiran Hal 1. Transliterasi serat Dewa Ruci terbitan Tan Kun Swi
173
2. Serat Dewa Ruci terbitan Tan Kun Swi Kediri
187
3. Indeks
commit to user
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah tulisan atau karangan yang unsur estetikanya dominan, yang dinyatakan dengan kata-kata: hasil dari bahasa yang indah. Karya sastra yang bermutu ialah karya sastra yang banyak menunjukkan adanya penciptaanpenciptaan baru (kreativitas) dan keaslian cipta di samping itu yang bersifat seni (Pradopo, 1997: 36). Karya sastra berisi pengalaman-pengalaman subjektif penciptanya, pengalaman subjektif seseorang (fakta individual atau libidinal), dan pengalaman sekelompok masyarakat (fakta sosial) (Sangidu, 2004: 41). Sebagai karya seni, karya sastra bukanlah suatu artefak (benda mati) yang statis yang terus-menerus berlangsung dalam ruang dan waktu tanpa perubahan, melainkan merupakan suatu sistem konvensi yang penuh dinamika (Abdullah dalam Sangidu, 2004: 42). Karya sastra selalu berada dalam tegangan antara konvensi dan kreasi. Salah satu bentuk karya sastra dan karya seni yang paling kuno adalah puisi. Tidak hanya bisa digunakan sebagai sarana mengekspresikan namun puisi juga bisa digunakan sebagai sarana terapi. Seorang
dokter Romawi Soranus
membuat resep untuk pasien depresi yang disebut terapis puisi. Di samping itu, Dr. Benjamin Rush yang disebut “Bapak Psikiatri Amerika” menggunakan musik dan sastra sebagai pengobatan komplementer kemudian pasiennya menerbitkan tulisannya di koran (Blank, 2010: 1). Orkestrasi atau musikalitas menjadi hal yang commit to user penting dalam menciptakan lingkungan yang nyaman dan menyenangkan.
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
Howard (1997: 81) melakukan penelitian memeriksa efek dari terapi dan puisi pada perempuan dan remaja yang hasil penelitiannya menunjukkan efektivitas pengaruh baik seni ekspresif terhadap perilaku remaja. Puisi seperti karya sastra lainnya dapat juga membangun sebuah ruang moral dan etika dalam diri masyarakat. Khasanah budaya Jawa juga mengenal berbagai jenis puisi, lama atau terikat maupun puisi baru atau bebas. Puisi lama antara lain sanepan, wangsalan, dan macapat yang banyak termuat dalam naskah Jawa tradisional beraksara Jawa. Berdasar katalog yang disusun Florida (1996) naskah Jawa bisa dipilah menjadi beberapa jenis ditinjau dari isinya, yaitu: sejarah, adat istiadat, arsitektur, hukum, roman sejarah, ramalan, kesusastraan, piwulang, wayang, cerita wayang, dongeng, puisi, roman Islam, ajaran Islam, sejarah Islam, mistik dan tari, linguistik, mistik kejawen, dan obat-obatan. Serat-serat Jawa umumnya ditulis dalam tembang macapat yang termasuk ke dalam genre puisi terikat karena setiap nama tembang macapat mempunyai aturan-aturan tertentu. Aturan bunyi vokal pada tiap akhir baris yang disebut “dhong-dhing” atau guru lagu. Aturan jumlah baris tiap bait yang disebut guru gatra. Aturan jumlah suku kata tiap baris disebut guru wilangan. setiap genre tembang macapat juga memiliki watak yang berbeda. Karya sastra Jawa mengandung berbagai bentuk ajaran, petunjuk, dan pendidikan adiluhung yang banyak terdapat dalam kebudayaan Jawa (Endraswara, 2006: 6). Menarik perhatian, kenyataan bahwa sebagai rekaman kekayaan localwisdom, cerita wayang telah menjadi sarana pendidikan pada masa lampau. Di masa sarana komunikasi masih sangat sederhana, cerita wayang disajikan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
dalam pertunjukan di pusat pemerintahan maupun di pelosok-pelosok desa. Cerita wayang pada masa Walisanga juga menjadi sarana pendidikan dan penyebaran nilai-nilai agama Islam. Sejarah yang panjang tersebut dan keberhasilan cerita wayang beserta pertunjukannya mempengaruhi dan menyehatkan jiwa manusia Jawa, dan berhasil menjadi sebuah budaya populer pada jamannya menjadi sumber referensi nilai bagi hidup sehari-hari, patut untuk diapresiasi. Filsafat Jawa telah diejawantahkan di dalam bentuk wayang, pertunjukan dan sastra wayang. Walaupun isi sastra wayang
berasal
dari
India
namun
terdapat
perbedaan
hakiki
dalam
perwujudannya. Di India isi cerita dianggap benar-benar terjadi dalam mitos, legenda dan sejarah, sedangkan di Indonesia cerita-cerita itu mengiaskan perilaku watak manusia dalam mencapai tujuan hidup, baik lahir maupun batin. Pemahaman kias ini tidak semata-mata dilakukan dengan akal-pikiran, melainkan dengan seluruh cipta-rasa-karsa tergantung kepada kedewasaan orang masingmasing (Ciptoprawiro, 1986: 31). Seni pertunjukan wayang dan cerita wayang telah tumbuh dan berkembang berdampingan lebih dari sepuluh abad lamanya. Wibisono menyebut cerita wayang purwa yang ada dalam karya sastra sebagai sastra wayang. Istilah sastra wayang yang digunakan tidak terlepas dari kaitan yang erat antara kedua jenis seni itu (Wibisono, 2001: 330). Istilah sastra wayang dan cerita wayang dengan demikian mengacu kepada konsep yang sama yang dalam penelitian ini sangat mungkin saling bertukar penggunaannya, tergantung dari konteks. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
Kisah Dewa Ruci adalah salah satu sastra wayang yang populer di lingkungan pendukung budaya Jawa. Bahkan dalam khasanah sastra Indonesia terlahir beberapa puisi yang terinspirasi dari cerita Dewa Ruci misalnya: Bima karya Subagio Sastrowardoyo, Saudara Kembar karya Subagio Sastrowardoyo, Telinga karya Sapardi Djoko Damono, dan Dewa Ruci karya Saini K.M. Selain dikenal dengan judul Dewa Ruci kisah yang sama kadang juga dikenal dengan judul Bima Sonya, atau Bima Suci. Tokoh Bima sering muncul dalam khasanah budaya Jawa, misalnya kisah Bhimaswarga, Bima Bungkus. Ketiganya muncul dalam teks sastra maupun dalam pertunjukan. Ruci berarti ringas atau gampang bernafsu (Widada, 2001: 677). Kisah Dewa Ruci umumnya dikenal memiliki tema tentang pengendalian nafsu yang juga sering muncul dalam teks sastra wayang lainnya maupun dalam ajaran-ajaran Jawa. Selain kisah Dewa Ruci misalnya, di candi Sukuh terdapat ukiran kisah Nawaruci atau Sembilan Nafsu (Munandar, 2004:54). Bertemunya simbol antara Bima dan Nafsu dalam kisah Dewa Ruci menjadi hal yang penting untuk dianalisa dan dipahami maknanya. Kisah Dewa Ruci merupakan “lakon pamijen” karena tokoh Dewa Ruci hanya muncul dalam cerita ini. Pigeaud berpandangan bahwa kisah Dewa Ruci dipandang sebagai karya yang penting dalam kehidupan rohani, etika, yang di dalamnya mengandung ajaran keselarasan hubungan antara Tuhan, manusia dan alam (Wiryamartana, 1990: 2). Lakon Dewa Ruci memberikan tuntunan kepada manusia mengenai kewajiban manusia kepada Tuhan, hubungan antar sesama manusia dengan misteri hidup yang paling rahasia (Sastroamidjojo, 1967:102). Menurut Susetya cerita Dewa Ruci merupakan cerita perihal pencarian jati diri commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
yang mengandung pelajaran sebagai berikut: 1). Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti, artinya bahwa sifat pengasih mengalahkan semua bentuk kejahatan atau musuh yang terdapat di dalam dirinya, 2). Sapa temen bakal tinemu, artinya bahwa segala sesuatu akan berhasil jika dilakukan dengan sungguh-sungguh. Di samping itu, lakon Dewa Ruci merupakan lakon atau cerita yang banyak berbicara mengenai masalah kebatinan dalam pewayangan (Susetya, 2007: 200). Pemahaman terhadap isi sastra wayang bergantung dari keluasan pandang masing-masing orang karena semua karya sastra utamanya sastra wayang selalu dikemas dengan metafora atau perlambang yang ditampilkan lewat tokoh dan permasalahannya. Tokoh utama dalam cerita Dewa Ruci adalah Sena atau Bima karena ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 1995: 177). Tokoh Dewa Ruci yang namanya digunakan sebagai judul kitab justru hanya dihadirkan oleh pengarang di bagian akhir dari keseluruhan cerita. Altenbernd dan Lewis menyatakan bahwa tokoh yang dikagumi, dalam hal ini adalah tokoh Sena, merupakan tokoh dengan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita (Nurgiyantoro, 1995: 178). Kisah Dewa Ruci salah satunya termuat dalam Serat Dewa Ruci terbitan Tan Gun Swi Kediri. Isi dari cerita Dewa Ruci ialah tentang ajaran tokoh Dewa Ruci kepada Arya Wrekudara/ Arya Sena/ Bima ketika masuk ke dasar samudera guna memenuhi tugas gurunya mencari air penghidupan (Tirtamerta). Kebanyakan kisah Dewa Ruci dan variannya hampir sama dengan menggunakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
unsur dasar yang sama. Satunya-satunya cerita yang berbeda adalah pada Cerita Dewa Ruci yang ditulis pada abad ke-15. Cerita Dewa Ruci itu berbentuk tembang gedhe dengan bahasa Jawa Tengahan. Isi cerita Dewa Ruci yang tertua ini tidak begitu panjang, diawali dengan kepergian Bima ke samudra kemudian bertemu dengan Dewa Ruci. Akhir cerita yaitu Bima mendapat wejangan dari Dewa ruci tentang usaha untuk mencapai kesempurnaan hidup (Purwadi, 2002: 15), tanpa menghadirkan tokoh Drona. Poerbatjaraka menyatakan Serat Dewa Ruci tembang Gedhe yang berbahasa Jawa Tengahan ini belum diketahui penciptanya serta belum jelas keterangan waktu dikarang (1952: 69). Penelitian ini menggunakan serat Dewa Ruci Kidung yang disadur dari bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta/Solo, Yosodipuro terbitan Tan Gun Swi Kediri, yang telah ditranskripsikan ke dalam aksara latin oleh Yayasan Sastra Lestari di Surakarta. Serat Dewa Ruci Kidung yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sansekerta dan Jawa Kuna. Menengok lagi khasanah budaya yang dimiliki merupakan hal yang harus dilakukan, seperti diungkapkan oleh Dewantara dengan nada menyesal (dalam Dewantara, 1977: 51): “Kita telah kehilangan dunia kita, tetapi masuklah dunia lain. siapakah yang salah? Jawab kita ialah: kita sendiri. Kita harus memilih dan kita telah memilih. Pilihan atas jalan orientasi pendidikan itu salah, sebab dalam kita memperoleh yang baru itu kita senantiasa melepaskan sesuatu dari persediaan kebudayaan kita, yang bagi hidup kita sering mempunyai nilai tinggi yang hakiki. Kita tadinya memang tidak tahu dan baru sekaranglah kita tahu, setelah kita dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
usaha kita yang sadar untuk pembangunan kembali senantiasa mengetahui dengan sedih, bahwa banyak hal-hal yang baik dan indah sudah hilang, justru hal-hal yang perlu untuk kelarasan dalam daripada gedong kita, atau setidak-tidaknya mempunyai nilai tinggi sekali. Materiil yang baru yang masuk sering lebih sesuai sebagai “rias” saja daripada bahan bangunan”. Menengok dan memunculkan kasanah budaya kita sendiri juga selaras dengan orientasi pendidikan pemerintah saat ini. Pemerintah menetapkan Kebijakan
Nasional
Pembangunan
Karakter
Bangsa
tahun
2010-2025.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menyusun Desain Induk Pendidikan Karakter di tahun 2010. Isu dan wacana pendidikan karakter terus bergulir sebagai suatu kepentingan yang mendesak dan strategis bagi kelangsungan masa depan bangsa hingga kemudian lahirlah kurikulum 2013 yang dirancang dengan empat kompetensi lulusan. Kl-1: Menerima, menghargai, dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya, Kl-2: Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, percaya diri, dan cinta tanah air dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, tetangga, dan guru. Kl-3: Memahami pengetahuan faktual dan konseptual dengan cara mengamati dan mencoba (mendengar, melihat, membaca) serta menanya berdasarkan rasa ingin tahu secara kritis tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, sekolah, dan tempat bermain. Kl-4: Menyajikan pengetahuan faktual dan konseptual dalam bahasa yang jelas, logis, dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia. Pada pembacaan awal Serat Dewa Ruci dengan tokoh utama Sena, bisa dikatakan bahwa Serat Dewa Ruci di dalamnya mengandung model pendidikan seperti yang digambarkan dalam kurikulum 2013. Perjalanan yang dilalui oleh Sena, atau yang disebut sebagai laku, menunjukkan kualitas kompetensi dari empat kompetensi lulusan dalam kurikulum 2013. Hal ini tentu menarik karena ternyata apa yang dirumuskan saat ini, jauh sebelumnya telah dirumuskan oleh para pendahulu kita, meskipun tidak dalam rumusan teori yang rumit, namun merupakan praksis pendidikan yang pada dasarnya disemangati oleh kesadaran yang sama, ialah pentingnya pendidikan karakter. Laku yang konsepnya dekat dengan kata „mengalami‟ dalam bahasa Indonesia, merupakan konsep yang umum dikenal dalam masyarakat Jawa sebagai metode utama mendapatkan kawruh „pengetahuan‟. Menurut Dewantara (1977: 28), laku (zelfbeheresching, zelfdiscipline) merupakan salah satu metode mendidik selain memberi contoh, pembiasaan, pengajaran, perintah, paksaan dan hukuman, pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving). Laku merupakan jalan kesadaran yang pertama-tama adalah untuk mengenali diri sendiri melalui pengalaman-pengalaman pribadi, baik dengan bimbingan guru atau tidak. Dengan demikian laku sesuai dengan pendapat Lickona bahwa sebuah program refleksi moral yang serius hendaknya dapat pula mendorong suatu pemahaman moral yang merupakan bagian paling sulit untuk dicapai, tetapi sangat penting dalam pengembangan karakter, yakni memahami diri sendiri commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
(Lickona, 2013: 338).
Data dan pengetahuan berkenaan dengan laku akan
menjadi salah satu perhatian dalam penelitian ini karena sifatnya yang khas Jawa sekaligus karena merupakan inti pendidikan karakter yang terkandung dalam serat Dewa Ruci sebagai objek penelitian. Meskipun demikian nilai-nilai karakter yang lain juga akan mendapat perhatian. Latar belakang yang dipaparkan di atas menjadi dasar penelitian ini untuk mengambil judul: Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan Karakter Serat Dewa Ruci. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotik sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda, sesuai dengan objek penelitian berupa puisi yang banyak menampilkan tanda dan sistem tanda. Teori dasar yang digunakan adalah teori semiotik dari Riffaterre. Maka sesuai teori dari Riffaterre pendekatan semiotik yang digunakan dalam penelitian ini pada tahap pertama ialah tahap penelitian heuristik, berfungsi sebagai alat memahami arti dari serat Dewa Ruci. Pada tahap ini kebenaran yang menjadi basisnya adalah teori kebenaran logis atau teori koherensi, kesatuan (coherence theory of truth). Arti dari bagian-bagian di dalam serat dihubungkan dalam kesatuan yang saling menerangkan dan tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Pada tahap kedua pendekatan semiotik ialah tahap penelitian hermeneutik digunakan sebagai alat untuk memahami makna dari cerita yang ada, dan menghubungkannya dengan bingkai besar kebudayaan Jawa. Kebenaran empiris dengan teori korespondensi (correspondence theory of truth) menjadi basis paradigmanya. Kriteria kebenaran yang digunakan menilai sebuah pernyataan adalah kesesuaian pernyataan ilmiah dengan kenyataan empiris yang ada dalam kebudayaan Jawa maupun dalam bidang ilmu yang lain yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
memungkinkan sebagai pendukung kebenaran-kebenaran yang dinyatakan (Rohman, 2013: 19). Pemanfaatan paradigma penelitian semiotik diharapkan penelitian dapat leluasa bergerak dan berpindah dari tataran arti dan makna. Bergerak dari koherensi arti teks dan merelasikannya dengan kebenaran-kebenaran dalam kenyataan kebudayaan Jawa. Kepaduan arti pada tataran heuristik terhadap serat Dewa Ruci tanpa meninggalkan konteks kebenaran di mana serat itu hidup dilakukan dengan tahapan penelitian hermeneutik, untuk selanjutnya diungkapkan nilai pendidikan karakter yang ada di dalam teks serat Dewa Ruci. Untuk menjadikan penelitian dapat diterapkan maka juga dilakukan pengungkapan relevansi Serat Dewa Ruci dengan pembelajaran bahasa dan sastra Jawa di sekolah. Penelitian ini penting untuk dilakukan mengingat serat tradisional Jawa umumnya dan cerita wayang khususnya mengandung rekaman nilai budaya yang patut digali lebih dalam dan dihubungkan dengan pendidikan. Penelitian ini menjadi semakin penting untuk dilakukan karena penelitian sejenis jarang dilakukan. Dikenal dan dipahaminya kembali cerita wayang yang dimunculkan arti dan maknanya menggunakan kajian semiotik akan menjadi sumbangsih bagi dunia pendidikan utamanya bagi pendidikan karakter.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka perumusan masalah dalam penelitian serat Dewa Ruci adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah arti dan sistem tanda secara heuristik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci? 2. Bagaimanakah makna hermeneutik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci? 3. Bagaimanakah nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam serat Dewa Ruci? 4. Bagaimanakah relevansi Serat Dewa Ruci dengan pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Jawa di sekolah? C. Tujuan Penelitian Empat tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian tentang serat Dewa Ruci ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan dan menjelaskan arti dan sistem tanda pada tataran heuristik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci. 2. Mendeskripsikan dan menjelaskan makna secara hermeneutik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci. 3. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam serat Dewa Ruci. 4. Mendeskripsikan dan menjelaskan relevansi serat Dewa Ruci dengan pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Jawa di sekolah? D. Manfaat Penelitian commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini terbagi menjadi manfaat praktis dan teoretis, sebagai berikut: 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoretis bagi perkembangan khasanah ilmu pengetahuan dan pengajaran, khususnya ilmu pengetahuan dan teori pengajaran dalam bahasa Jawa serta dapat menggali nilai-nilai edukatif tentang pendidikan karakter dari budaya tradisional yang diimplementasikan dalam pembelajaran peserta didik sesuai dengan kebutuhan jaman. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktis, antara lain seperti berikut. a. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan siswa memahami sastra wayang dan kualitas karakternya serta dapat menumbuhkan kecintaan kepada budayanya sendiri. b. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat memberikan acuan pembelajaran sastra wayang sehingga mampu mendorong guru untuk menggali makna sastra wayang yang kaya akan nilai-nilai pendidikan karakter. c. Bagi pengambil kebijakan, hasil penelitian ini dapat menjadi pendorong untuk memberikan perhatian lebih kepada pembelajaran sastra wayang dalam rangka pendidikan karakter sekaligus pengembangan budaya nasional. d. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dan membantu untuk mengkaji lebih lanjut mengenai sastra wayang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Tinjauan Pustaka
Serat Dewa Ruci yang mengisahkan Bima berguru kepada Drona untuk menguasai ngelmu kasampurnan merupakan kisah yang menarik dan unik. Dikatakan menarik karena relevansinya dengan kehidupan masyarakat Jawa masih dijumpai sampai sekarang, serta berbagai tanggapan terhadapnya baik dari lingkungan dalang, peneliti, maupun di lingkungan orang Jawa pada umumnya. Tanggapan
atas
kisah
Dewa Ruci di lingkungan sastra Jawa cukup banyak sehingga dijumpai beberapa naskah Dewa Ruci. Penelitian tentang Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan Karakter Serat Dewa Ruci belum pernah dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: Terdapat beberapa penelitian kaitannya dengan sastra terutama puisi misalnya dalam penelitian berjudul Making Mockery: The Peotics of Ancient Satire (Littlewood, 2008: 33-36). Pada penelitian Littlewood mengkaji tentang puisi satire kaitannya dengan budaya klasik dan masyarakat. Hal yang menunjang atau sesuai dengan penelitian tentang serat Dewa Ruci yaitu penciptaan puisi yang disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan masyarakat, sedangkan perbedaan keduanya adalah dalam jurnal Littlewood objek yang dikaji adalah puisi satire sedangkan penelitian yang dilakukan terhadap serat Dewa Ruci objek yang dikaji adalah puisi terikat jenis tembang macapat. commit to user 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
Penelitian oleh Zanker (2000: 81-89) yang berjudul “Aristotle‟s and the Painters” yang difokuskan pada puisi Aristoteles dan lukisan, ditulis menggunakan contoh lukisan sebagai analogi untuk menggambarkan fakta-fakta tertentu tentang puisi, secara khusus epik, tragedi dan komedi. Kesamaan dengan penelitian penulis adalah adanya pembacaan makna puisi secara visual sedangkan perbedaannya terletak pada objeknya. Penelitian oleh Simuh (1988) yang berjudul “Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita; Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati”, membahas tentang mistik kejawen yang dihubungkan dengan serat Dewa Ruci. Setelah uraiannya mengenai konsep monisme, penyatuan manusia dengan Tuhan, Simuh mengambil contoh serat Dewa Ruci, yaitu masuknya Bima ke tubuh Dewa Ruci melalui telinga kiri. Kesamaan penelitian yang dilakukan adalah pada objek penelitian yaitu cerita Dewa Ruci, perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan Simuh menekankan pada nilai-nilai sufisme yang terkandung dalam serat Dewa Ruci sedangkan penelitian yang dilakukan terhadap tanda dan nilai pendidikan karakter. “Serat Bimasuci dengan berbagai aspeknya” oleh Soetarno (2004) meneliti serat Bimasuci karya Yasadipura I yang ditulis kembali oleh Raden Tanaya dengan huruf latin terbitan Balai Pustaka (1979) yang menyimpulkan Serat Bimasuci memiliki beberapa aspek yaitu tentang sangkan paraning dumadi, pencapaian kesempurnaan, pencapaian pengetahuan tentang cipta-rasa-karsa, aspek lahir dan batin manusia. Kesemua aspek dipandang sebagai mistisisme Jawa dalam rangka manunggaling Kawula-Gusti. Persamaan penelitian pada objeknya yaitu cerita Dewa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
Ruci sedangkan perbedaannya, Soetarno lebih menekankan pemaknaannya kepada relasi makna antara Dewa Ruci dengan Bima sedangkan penelitian yang dilakukan secara semiotik dilakukan secara keseluruhan. “Lakon Dewa Ruci cara menjadi Jawa; Sebuah analisis Strukturalisme LeviStrauss dalam Kajian Wayang oleh Wahyudi (2012), menjadikan pola hubungan Bima-Drona sebagai dasar pemaknaan, dimana disimpulkannya bahwa relasi oposisi berpasangan Bima-Drona merupakan transformasi relasi oposisi berpasangan Vayuvata dalam kapasitasnya sebagai relasi nafas halus-nafas kasar yang menghasilkan inti nafas atau prana. Kesamaannya adalah objek penelitian yang sama yaitu serat Dewa Ruci, perbedaannya adalah pada kajian yang digunakan yaitu antara strukturalisme Levy-Strauss yang hanya memaknai berdasar kebenaran kohesif dengan semiotik Riffaterre yang selain berdasar kepada kebenaran kohesif juga berdasar kebenaran koherensif. “Tinjauan Struktur dan Makna Cerita Bima Bungkus karya Can Cu An” oleh Hidayat (1990) menunjukkan bahwa tokoh Bima dalam serat Bimapaksa selalu berorientasi kepada kebahagiaan (eudaenomisme) dan berdasarkan nilai-nilai religius. “Cerita Sena Sinaraya dalam pendekatan Struktur dan Makna” oleh Purwadi (1995) menjelaskan konsep moral yang berkaitan dengan sikap gagah berani, rela berkorban, dan kebersamaan dalam memperjuangkan cita-cita hidup. Disebutkan juga bahwa Bima senantiasa mengusahakan tindakan moral yang tujuannya meraih kebahagiaan bersama yang sangat dianjurkan oleh nilai-nilai keagamaan. “Cerita Begawan Senaroda karya R.M. Suwandi dalam Pendekatan Struktur dan Makna” penelitian commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
Sasmito (1992) Bima tampil sebagai Begawan Senaroda yang membeberkan ilmu kesempurnaan hidup, ilmu sejati, kawruh begja, dan sangkan paraning dumadi. Dari objek penelitian yang berisi penjelasan konsep moral yang berkaitan dengan budi pekerti, mistik, dan soal kebatinan, peneliti menyimpulkan bahwa Bima selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan supaya dapat mencapai kebahagiaan sejati dan memperhatikan moralitas keagamaan. Yousof (2010) dalam penelitiannya berjudul Islamic Elements In Traditional Indonesian And Malay Theatre menyimpulkan bahwa cerita Ramayana dan Mahabharata banyak yang ditafsirkan kembali untuk memberi ruang bagi masuknya ide-ide Islam dan Sufi. Ada beberapa wahyu cerita dalam reportoar dramatis wayang Jawa Klasik. Sejauh yang dianggap paling dikenal dan paling penting adalah Dewa Ruci, juga dikenal sebagai Bhima Suci. Woodward (1989: 193) menyatakan bahwa nampaknya serat Dewa Ruci telah mulai ditulis selama periode transisi dari Hindu ke Islam, dengan menggunakan mitologi Hindu-Jawa untuk menyajikan teori sufi dari jalan mistis. Kesimpulan yang menyatakan bahwa cerita Dewa Ruci terasuki nilainilai Islam juga ditemui dalam beberapa penelitian yang lain, sayangnya kesimpulan tersebut hanya berdasarkan perbandingan antara cerita Dewa Ruci dengan ide-ide Islam dan Sufi, tidak membandingkan dengan ide-ide sebelum Islam itu datang misalnya dengan ide Hindu. Berbeda dengan rancangan penelitian yang akan dilakukan. Kajian Yousof didasarkan kesimpulan ahli lain, tidak berasal dari analisa teks yang dilakukannya sendiri, atau data primernya bukanlah teks itu sendiri namun konstruksi dari hasil kesimpulan ahli lain. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
Penelitian yang dilakukan oleh Dill dari University of Vvirginia, USA, di dalam jurnal penelitiannya yang berjudul “Durkheim and Dewey and the Challenge of Contemporary Moral Education” (2007: 221-237), memaparkan adanya tantangan dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan moral. Didasarkan pada Durkheim dan Dewey dikemukakan bagaimana intelektual atau kepandaian saja tidak cukup untuk dimiliki seorang siswa, akan tetapi lebih dari itu yaitu pembentukan akhlak atau moral sebagai pengontrol sikap dan sifat seorang siswa sehingga selain cerdas berpikir juga cerdas dalam berperilaku ataupun bersikap dalam kehidupan sehari-hari. Kesimpulannya sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dilakukan dimana pendidikan karakter sangat penting, sedangkan perbedaannya adalah objek penelitiannya antara proses pembelajaran dengan karya sastra. Munir and Aftab (2012:2) dalam penelitian berjudul “Contribution of Value Education towards Human Development in India: Theoretical Concepts”, menyatakan sekolah yang memberikan pendidikan sama pentingnya juga harus memberikan nilai-nilai (value), etika dan pengembangan kepribadian sebagai sarana melestarikan standar pendidikan. Nilai membantu kita tidak hanya dalam evaluasi diri tetapi juga dalam mengendalikan diri. Pendidikan nilai sangat penting dalam membantu masing-masing dari guru langsung menemukan nilai-nilai yang menjadi pegangan, memahami siswa sepenuhnya, sehingga dapat menyarankan hubungan manusia dengan lingkungan yang terletak di luarnya. Makalah Munir dan Aftab menekankan bahwa pendidikan nilai dalam konteks modern dianggap lebih luas, melampaui batas-batas agama dan mencakup nilai-nilai etika, sosial, estetika, budaya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
dan spiritual. Orientasi nilai pendidikan harus realistis, dapat dicapai dalam harmoni dengan kerangka akademik sekolah. Para penulis menganjurkan bahwa kombinasi bijaksana akademisi, budaya dan pendidikan nilai akan menjadi pendekatan yang ideal untuk pendidikan dan nilai pendidikan perlu diintegrasikan dalam kurikulum sekolah. Hasil penelitian ini menekankan pentingnya pendidikan karakter. Handaric (2013) dalam jurnal internasional berjudul “Religious Tradition and Human Behaviour” menjelaskan perlunya mempelajari hubungan erat antara tradisi agama dan komunitas agama yang melakukannya. Dimulai dengan definisi tradisi Handaric berniat untuk menunjukkan bahwa hubungan antara nilai religius tradisional dengan daya tahan komunitas yang mengamalkannya amat dekat. Hubungan keduanya bersifat positif. serat Dewa Ruci sebagai sebuah karya sastra bisa menjadi bahan pembelajaran nilai yang mengandung nilai-nilai atau ide agama namun secara formal tidak terikat pada salah satu agama tertentu juga berhubungan dengan daya tahan komunitas masyarakat Jawa sebagai pemiliknya. Widiyono (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Kajian Tema. Nilai Estetika, dan Pendidikan dalam Serat Wulangreh karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV”, yang dalam salah satu kesimpulannya menunjukkan tema: ajaran untuk memilih guru, kebijaksanaan dan bergaul, kepribadian, tema atau tatakrama, ajaran berbakti kepada orang lain, tema ketuhanan, berbakti kepada pemerintah, pengendalian diri, tema kekeluargaan, tema keselamatan, keikhlasan dan kesabaran, beribadah dengan baik, ajaran tentang keluhuran. Kesamaan penelitian yang dilakukan adalah objek commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
penelitian yang sama-sama berupa serat Jawa, dan isinya serat yang sama-sama kental berisi tentang pendidikan. Sulaksono dalam penelitiannya berjudul“ Struktur dan Nilai Pendidikan Cerita Mintaraga Gancaran Karya Prijohoetomo (2012).” Diperoleh kesimpulan bahwa cerita Mintaraga bertema Pengendalian Diri dan kandungan amanat yaitu siapa Bersungguh-sungguh dalam berdoa dan berusaha pasti akan berhasil. Hal ini merupakan tema pendidikan yang umum dalam cerita tradisional Jawa, dan memiliki kemiripan dengan isi dari Serat Dewa Ruci. Penelitian yang dilakukan oleh Halsey (2008) yang berjudul “The Poetry Foundation Commissioned in the National Opinion Research Center (NORC) at the University of Chicago”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembaca/penikmat puisi cenderung hidup aktif bergaul dan memimpin dalam komunitasnya. Mereka mendengarkan musik, membaca berbagai genre seni, menggunakan internet, menghadiri acara budaya, menjadi relawan, memiliki banyak jaringan dan bersosialisasi dengan teman dan keluarga pada tingkat yang signifikan lebih tinggi daripada non pembaca puisi. Sejalan dengan hal itu penelitian yang dilakukan oleh Howard (1997) yang berjudul “The Effects of Music and Poetry Theraphy on the Treatment of Women and Adolescent with Chemical Addictions” melakukan penelitian memeriksa efek dari terapi dan puisi pada perempuan dan remaja. Hasil penelitian menunjukkan efektivitas seni ekspresif terhadap perilaku remaja yang menunjukkan perkembangan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
membaik. Hal ini menguatkan kesimpulan akan pentingnya penelitian terhadap puisi termasuk jenis tembang macapat dan mengenali keluasan fungsinya yang bukan hanya sebagai sarana ekspresi dan kemungkinan memanfaatkannya sebagai sarana terapi/ pengobatan. B. Landasan Teori 1. Kajian Puisi Serat Dewa Ruci disampaikan menggunakan tembang macapat yang secara teori termasuk dalam genre puisi Jawa tradisional. Untuk memahami lebih tepat diperlukan pengkajian nilai-nilai puitis di dalamnya. Berdasarkan aktifitas kejiwaannya puisi merupakan ekspresi kreatif yang di dalamnya terkandung aktifitas jiwa yang menangkap kesan-kesan lalu dipadatkan dan dipusatkan (kondensasi). Kata-kata tidaklah keluar dari simpanan ingatan, kata-kata dalam puisi itu lahir dan dilahirkan kembali (dibentuk) pada waktu pengucapannya sendiri (Pradopo, 1987: 12). Ekspresi puitik membutuhkan adanya proses konsentrasi dan intensifikasi (Sayuti, 2002: 72). Dikarenakan pemadatan itulah maka pengarang dalam proses penciptaan karya puisi sangat menimbang pemakaian unsur-unsur penyusunnya yang berbahan dasar utama dari bahasa. Puisi merupakan bentuk kesusastraan yang menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya (Mulyana dalam Waluya, 1995: 23). Pengulangan kata menghasilkan rima, ritma, dan musikalitas. Bahasa puisi adalah bahasa pilihan, yakni bahasa yang benar-benar diseleksi penentuannya secara ketat oleh penyair (Coleridge commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
dalam Waluya, 1995: 23). Nilai kepuitisan sebuah karya dapat tercapai dengan menggunakan bentuk visual: tipografi, susunan bait, dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi: dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Untuk mengetahui kepuitisan puisi, terlebih dahulu harus mengetahui unsur-unsur pembentuk puisi (Pradopo, 2007: 13). Semi membagi bentuk puisi menjadi dua yaitu bentuk fisik dan bentuk mental. Bentuk fisik puisi mencakup bentuk nada dan larik yang di dalamnya terdapat irama, sajak, intonasi, pengulangan, dan perangkat kebahasaan lainnya,sedangkan bentuk mental terdiri dari tema, urutan logis, pola asosiasi, satuan arti yang dilambangkan, dan pola-pola citra dan emosi. Kedua bentuk tersebut terjalin terkombinasi secara utuh yang membentuk dan memungkinkan sebuah puisi tersebut memantulkan makna, keindahan, dan imajinasi bagi pembacanya ( 1993: 107). Pemanfaatan bahasa dalam puisi memang berbeda dengan pemakaian bahasa pada umumnya, kata-kata maupun strukturnya. Bahasa puisi seolah-olah memiliki tatabahasa khusus yang kadang-kadang tampak sangat menyimpang. Akan tetapi penyimpangan tersebut dilakukan demi pencapaian tujuan estetis, walaupun demikian sebagai sarana membangun komunikasi, fungsi yang bersifat emotif, referensial, puitik, dan konatif tetap inheren (Sayuti, 2002: 24).
Secara khusus puisi memiliki
beberapa konvensi. Culler menyatakan ada tiga konvensi dasar: (a) jarak dan deiksis, (b) keseluruhan yang organik, dan (c) tema dan perwujudan (Teeuw. 1984: 4). Menurut Riffaterre puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung yaitu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
menyatakan hal dan berarti yang lain. ketaklangsungan ucapan ini disebabkan oleh tiga hal: displacing (penggantian arti), distorsing (penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti). Penggantian arti terjadi pada pembandingan (metafora-simile), penggantian (metonimi-sinekdoki), dan pemanusiaan (personifikasi). Metafora dan simile merupakan bentuk perbandingan antara dua hal atau wujud yang hakikatnya berlainan. Simile bentuk perbandingannya bersifat eksplisit ditandai oleh unsur konstruksional semacam kata seperti, sebagai, serupa, bagai, dsb. Sebaliknya dalam metafora
perbandingannya
bersifat
implisit,
tersembunyi
dibalik
ungkapan
harfiahnya. Metonimi yakni pemanfaatan ciri atau sifat suatu hal yang erat hubungannya dengan hal tersebut. Sebaliknya ungkapan bahasa itu disebut sinekdoki jika penggunaan bagian-bagian dari suatu hal dimaksudkan untuk mewakili keseluruhan hal itu. Jika metafora-simile merupakan bentuk perbandingan tidak dengan manusia, personifikasi merupakan pemberian sifat-sifat manusia pada suatu hal(Sayuti, 2002: 195-229). Penyimpangan arti terjadi pada ambiguitas, kontradiksi dan nonsense. Ambiguitas merupakan kata-kata, frase atau kalimat dalam puisi yang sering kali mempunyai arti ganda sehingga menimbulkan banyak tafsir atau ambigu (Pradopo, 1993: 215). Kontradiksi mengandung arti pertentangan yang disebabkan oleh paradoks dan/ atau ironi. Terdapat ironi dalam puisi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud dengan secara berlawanan atau berbalikan. Ironi biasanya digunakan untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan (Pradopo, 1993: 215). Paradoks commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
merupakan pernyataan yang tampaknya berlawanan dalam dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, jika dilihat lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran (Sudjiman, 1990 : 59). Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata. Nonsense dapat menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, suasana aneh, suasana gaib, atau suasana lucu (Pradopo, 1993: 219). Penciptaan
arti
terjadi
bila
ruang
teks
berlaku
sebagai
prinsip
pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang secara linguistik tidak ada artinya. Hal ini diantaranya yaitu rima (persamaan bunyi akhir), enjambemen (pemutusan kata/frasa di ujung baris dan meletakkan sambungannya pada baris berikutnya), tipografi (penyusunan baris dan bait sajak), atau ekuivalensi makna di antara persamaan posisi dalam bait (homologues) (Pradopo, 1993:220). Satuan arti yang menentukan struktur formal linguistik karya sastra adalah kata (Pradopo, 1987:48). Kata-kata yang telah dipergunakan oleh penyair oleh Mulyana disebut kata berjiwa dan pengetahuan tentangnya disebut stilistika. Tiap kata itu bisa menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. Lotman melihat teks puitik sebagai sistem dengan stratifikasi di mana makna hanya ada secara kontekstual, diatur oleh perangkat kemiripan dan oposisi. Perbedaan dan paralelisme dalam teks sendirinya bersifat relatif, dan hanya bisa dirasakan dalam hubungannya satu sama lain ( Eagleton, 2010: 146). Di dalam puisi istilah arti dibedakan dengan makna. Istilah arti digunakan untuk menunjuk informasi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
yang dibawa oleh puisi pada tataran mimetik, sedangkan dari sudut makna sebuah puisi adalah sebuah unit semantis. Dengan demikian bahasa ekspresi puisi selalu berkenaan dengan perubahan dari arti menjadi makna (Sayuti, 2002: 76). Menyinggung soal makna sajak, Riffaterre berpendapat, untuk bisa memberi makna sajak pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Sobur, 2013: 93). Penyimpangan dari aturan tata bahasa tidak terjadi secara acak, tetapi berdasarkan pola yang sebenarnya utuh, yang pemahamannya harus dihubungkan dengan sistem bahasa, kode-kode, konteks yang ada dalam wacana yang melingkupi penyimpangan itu ( Widdowson dalam Winarni, 2013: 8). Pada kenyataannya sebuah puisi hanya dapat dibaca ulang, bukan hanya dibaca, karena beberapa strukturnya hanya dapat dirasakan secara kilas balik. Puisi mengaktifkan penanda secara penuh memacu kata bekerja sekeras mungkin di bawah tekanan yang berat dari kata-kata di sekitarnya, dan dengan demikian melepaskan potensinya yang paling kaya (Eagleton, 2010: 148). Melalui
konsep
superreader
Riffaterre meletakkan tugas menemukan dan menafsirkan respon yang terkandung dalam puisi kepada pembaca, dan untuk mendapatkan makna secara lengkap dan tuntas maka harus diketahui aspek kesejarahan puisi tersebut. Riffaterre terkenal dengan pengibaratan puisinya sebagai sebuah donat. Menurutnya signifikansi terbentuk seperti kue donat (Riffaterre, 1978: 13). Adapun kue yang tampak merupakan teks yang terbaca, sedangkan bagian tengah yang kosong atau berlubang merupakan matriks dan hipogram. Bagian kosong di tengahtengah daging kue inilah pusat makna, inti puisi dan justru jadi tumpuan seluruh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
produksi tanda dan teks puisi. Matriks tidak hadir secara langsung dalam puisi, namun aktualisasinya berupa kata atau kalimat yang menjadi model dan kemudian mengalami perluasan menjadi teks (Ridha, 2010: 174). Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian ini ditentukan oleh model. “Puisi hasil transformasi matriks” (Riffaterre, 1978: 19), melalui ekspansi dan konvensi tekstual yang memanfaatkan rangkaian tanda-tanda representasional. Sedangkan dengan matriks sendiri hanya mungkin dikenali dari hipogram (perkiraan, sistem deskriptif dan kompleks tematik) sebagai kebiasaan yang muncul dari ekspresi-ekspresi penundaan. Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan oleh Indrastuti (2007: 4) konsep ini dapat diterangkan dalam satu kata atau frase. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model. Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental. Implikasi dari cara pembacaan ini adalah untuk menemukan pernyataan tunggal yang ditransformasi pada sebuah teks puisi (Ridha, 2010: 174). Menentukan matriks atas pembacaan tembang macapat tidak lepas dari kode dan tanda. Karena itu teori pembacaan semiotik terhadap puisi yang diajukan Riffaterre ibarat mengungkapkan teka-teki (puzzle) teks puisi. Teka-teki commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
makna tanda, teka-teki bagian yang kosong dari donat karena menurut Riffaterre, “puisi menyatakan satu hal dan berarti yang lainnya”. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian terhadap serat Dewa Ruci yang termasuk genre puisi akan dilakukan dengan mengingat kepadatan simbolnya yang diartikan berdasar bagian-bagiannya yang saling menerangkan dan dihubungkan dengan konteksnya sehingga didapatkan maknanya yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bagian-bagian puisi yang dimaksud adalah ketaklangsungan ucapan yang disebabkan oleh
tiga hal:
displacing
(penggantian
arti),
distorsing
(penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti) pada bunyi, irama, satuan arti berupa kata, dan sistem hubungan yang melingkupinya. Pembacaan secara retroaktif dilakukan dalam rangka memahami bagian-bagian dalam keseluruhan, diusahakan pemaknaan yang seutuh dan sebulat mungkin. Hubungan puisi dengan konteks didasarkan kepada berbagai latar, termasuk latar budaya, latar sosial, latar kesejarahan dan nilai-nilai pendidikan karakter yang harus diketahui dan dipahami dalam melakukan penelitian. Hal ini paling tepat didekati dengan pendekatan semiotik Riffaterre. 2. Kajian Puisi Tradisional Tembang Macapat a). Pengertian Tembang Dalam khasanah sastra Jawa salah satu jenis karya sastra yang bersifat puitik adalah tembang. menurut Padmosoekotjo (dalam Prawiradisastra, 1991: 64) tembang yaitu gubahan bahasa atau karya sastra dengan peraturan tertentu membacanya harus commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
dilagukan dengan seni suara. Tembang dalam bahasa Jawa adalah sekar yaitu karangan yang terikat oleh aturan guru gatra, guru wilangan, guru lagu beserta lagulagunya. Tembang sebagai bagian dari hasil kesenian Jawa merupakan unsur seni budaya atau unsur kesenian yang perlu dilestarikan pembinaan dan pengembangannya. b). Jenis Tembang Dilihat secara tradisional jenis tembang dibedakan menjadi tembang Gedhe/ Sekar Ageng, 2) tembang Tengahan / Sekar Tengahan, dan 3) tembang Macapat / sekar alit (Karsono H. Saputra, 2001: 103). Selanjutnya menurut Tedjohadisumarto (dalam Prawiradisastra, 1991: 64) menyatakan: “ Sekar Jawi menika wonten tigang warni inggih punika Sekar Macapat, Sekar Tengahan, lan Sekar Ageng, kejawi punika wonten malih lagu Dolanan Lare lan Sekar Gendhing”. Hubungan antara tembang / sekar dengan bahasa dan sastra Jawa menurut Padmosoekotjo (1990: 25) adalah “Kang diarani tembang iku reriptan utawa dhapukaning basa mawa paugeran tartamtu (gumathok) kang pamacane kudu dilagokake nganggo kagunan swara.” Seni suara dapat dibedakan menjadi tiga seni, yaitu 1) seni tembang atau vocal art, yang diwujudkan oleh suara manusia, 2) seni gendhing atau instrumental art, yaitu tembang yang dibangun dari sisi laras gamelan atau musik atau karawitan, dan 3) perpaduan seni sekar dengan seni gendhing atau seni sekar gendhing.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
c) Konvensi tembang Tembang macapat yang memiliki aturan terikat dalam pembuatannya adalah salah satu bentuk puisi Jawa tradisional. Tembang macapat telah ada sejak jaman Demak. Puisi tersebut ditembangkan atau dinyanyikan sesuai dengan lagu-lagu tertentu dengan aturan yang terikat yang biasa disebut metrum, berupa aturan: a) banyaknya gatra/ guru gatra yaitu banyaknya baris dalam tiap bait tembang. b) terikat oleh guru wilangan yaitu banyaknya suku kata dalam baris tembang. c) terikat oleh guru lagu atau jatuhnya suara akhir pada tiap gatra atau baris tembang, yang dalam istilah lain jatuhnya dhong-dhing atau jatuhnya suara (a-i-u-e-o). Salah satu keunikan macapat adalah selain memiliki aturan struktur fisik seperti tersebut di atas juga memiliki aturan struktur batin. Aturan batin berupa perasaan apa yang diungkapkan, nada tembang itu bagaimana, tema dan amanat apakah yang tepat diungkapkan melalui jenis matra tembang tersebut (Waluya, 1995:13). Masing-masing matra memiliki watak-watak yang disesuaikan dengan isi puisi tersebut. Dengan demikian matra dalam macapat adalah bentuk puisi yang memiliki spesifikasi kuantitas suku kata dalam tiap baris dan bunyi akhir vokal tiaptiap baris, dimana isi puisi tersebut juga ikut mengakomodasi nama jenis matra, misalnya asmaradana mempunyai watak atau struktur batin mengungkapkan duka asmara. Sekar Macapat menurut Adi (1991 : 89) ada 11 jenis yang kesemuanya terikat dengan guru gatra, guru wilangan dan guru lagu atau dhong-dhing. Berikut disajikan tabel nama dan tembang macapat beserta aturan-aturannya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
Cacahe gatra, cacahe wanda, lan dhong-dhing
No Jenenge Tembang 1
2
3
4
5 6 7 8
9 10
1 Maskumambang 12i 6a 8i 8a 2 3
Mijil
4 Kinanthi 5
Ngeres, nelangsa
10i 6o 10e 10i 6i 6u
Sinom
Asmarandana
Watake Tembang
8a
8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12a
8u
8i 8a 8i 8a 8i
8i
8a 8e 8a 7a 8u 8a
Gambuh
Prihatin, cocog karo crita sedhih utawa asmara Trengginas,cocog kanggo ngandharake piwulang Seneng, asih Sedhih
utawa
sajroning asmara Sumanak,
6
7u 10u 12i 8u 8o
prihatin
cocog
sumadulur,
kanggo
menehi
pituduh Dhandhanggula 7
Ngresepake,
luwes
10i 10a 8e 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a kanggo nggambarake apa wae
8 Durma 9
Pangkur
1 Megatruh 0
12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i 8a 11i 8u 7a
12 u
8a 8i
12u 8i 8u 8i 8o
1 Pucung 1
Galak, nesu Sereng, nesu Nglangut, crita memelas Greget
12u 6a 8i 12a
rada
kendho,
cocog kanggo crita kang laras Tabel. 1
Tembang Macapat beserta konvensinya (Adi, 1991: 89)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
Serat Dewa Ruci hanya mengandung empat metrum dan terbagi dalam lima pupuh. Pupuh pertama menggunakan metrum dhandanggula, pupuh kedua menggunakan metrum Pangkur, pupuh ketiga menggunakan metrum sinom, pupuh keempat menggunakan metrum durma, pupuh kelima kembali menggunakan metrum dhandanggula. Bunyi dalam bahasa Jawa mengandung beberapa gejala yang patut dibahas. Peristiwa perubahan bunyi di dalamnya terdapat perubahan yang dimanfaatkan, dieksploitasi untuk menyatakan kekayaan batin atau isi jiwa pemakainya yang belum mendapat wadah pernyataannya, dan terdapat pula perubahan bunyi yang tidak dimanfaatkan. Artinya terdapat perbedaan-perbedaan bunyi tanpa menghasilkan makna. Bunyi-bunyi bahasa yang kebetulan sedang berperanan mengubah atau menambah nilai-nilai suatu bentuk lingual disebut fonestem, sedangkan gejalanya disebut fonestemik. Misalnya bunyi [i] dalam cilik „kecil sekali‟ merupakan fonestem karena menunjukkan kesangatan dari cilek „kecil‟. Gejala yang lain ialah keikonikan yang berkata dasar ikon, digunakan untuk menyebut tanda yang bentuk fisiknya memiliki kaitan erat dengan sifat khas dari apa yang diacunya. Misalnya konsonan [g] pada kata gunung „gunung‟ menjadi ciri keikonikan kebesaran karena besarnya tenaga dan beratnya pembentukan suara dari bunyi itu. Keikonikan bisa bersifat lingual (berdasar pembentukan ikon oleh alat artikulasi dan artikulator) tetapi juga bisa bersifat kial, ialah bentuk-bentuk mulut yang mempunyai makna sesuai leksikalnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
Pengkajian bahasa demi penjelasan terhadap hubungan antara bentuk dan fungsi atau antara kode dengan amanat dalam bahasa manusia yang ternyata dari berbagai pembuktian memiliki sifat nonarbitrer yang cukup menonjol sangatlah perlu. Pemahaman terhadap berbagai gejala dalam bahasa Jawa akan membantu dalam usaha memahami bentuk-bentuk pemanfaatannya termasuk dalam puisi macapat. Puisi macapat juga mengenal adanya persajakan atau rima, yakni pengulangan bunyi berselang, baik dalam satu larik sajak maupun larik sajak yang berdekatan. Rima atau purwakanthi berfungsi memudahkan penghafalan sajak dan ikut membina terbentuknya satuan sajak. Terdapat tiga macam purwakanthi, yakni purwakanthi guru sastra „aliterasi‟, purwakanthi guru swara „asonansi‟ dan purwakanthi lumaksita „pengulangan satu suku kata‟. Untuk menarik perhatian pembaca dan menambah estetika dalam karya yang dibuat, seorang pengarang seringkali menggunakan gaya bahasa. Para pengarang sastra Jawa tradisional juga telah mengenal gaya bahasa antara lain: tembung entar „bahasa kiasan‟, pepindhan „simile‟, metafora, dan personifikasi. Uraian di atas menyatakan bahwa puisi tradisional macapat selain memiliki aturan struktur fisik juga memiliki aturan struktur batin. Aturan struktur fisik meliputi guru gatra, guru wilangan dan guru lagu. Aturan bunyi yang terkandung di dalam struktur puisi macapat dalam bahasa Jawa mengandung gejala fonestemik, ikonik dan kial. Struktur batin di dalam puisi tradisional macapat berupa watak atau karakter yang terkandung di dalam setiap metrum tembang macapat. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
3. Pendekatan Semiotik Disiplin ilmu analisis terhadap sistem tanda dikenal dengan semiotik atau semiologi. Secara etimologis istilah semiotik berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti “tanda”. Tanda sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (dalam Sobur, 2001: 95). Eco mengatakan bahwa semiotik adalah sebuah penilaian yang memprediksi suatu isi, dengan marka-marka semantis yang telah diatributkan kepadanya oleh kode yang ada (Eco, 2009: 238). Secara terminologis semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwaperistiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Sobur, 2001: 95). Semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi (Teeuw, 1982: 18). Kajian terhadap cara tanda-tanda beroperasi dalam sebuah budaya, semiotik memulai dari suatu premis bahwa semua aspek dalam budaya dapat dianggap sebagai sistem tanda, baik bahasa verbal, bahasa visual, gerakan, postur dan gestur (gerak/isyarat), bangunan dan perabotan, pakaian, aksesoris, menu makanan, dan arsitektur. Bisa dikatakan memahami budaya sesungguhnya adalah menemukan dan menafsirkan sistem tanda budaya tersebut (Cavallaro, 2004: 29). Tanda memang tidak mengandung makna namun dari tanda-tanda yang ditemukan akan menjadi petunjuk makna yang terkandung melalui proses interpretasi atau penafsiran. Sistem tanda di dalam semiotik biasa disebut juga sistem kode, yang arti dan maknanya hanya bisa dijelaskan jika juga dipahami konvensi yang melingkupi tanda-tanda yang digunakan baik disadari oleh pemakainya atau tidak. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
Buku-buku semiotik yang ada umumnya menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de De Saussure (1857 1913). Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916). Bagi Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas. Saussure memberikan contoh kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya „pohon‟. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/ disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda ( signifiant) dan petanda (signifie). Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubungan itu adalah kesepakatan berupa konvensi dari pendukung suatu bahasa. Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemufakatan (konvensi) di atas dasar yang tak beralasan atau sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata /kutu/ yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang /kutu/ dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan adanya batas-batas yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi /kutu/ itu tidak berarti apa-apa. Perbedaan bunyi pada kata “kutu” dan bunyi kata “kupu” adalah sesuatu yang memungkinkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
kita memberi tiap-tiap kata suatu makna yang berbeda pula. Tanda hanya bermakna berkaitan dengan bahasa-bahasa lain dalam sebuah bahasa, seperti halnya sebuah anak catur di atas papan catur hanya bermakna dalam kaitannya dengan semua anak catur lain dan gerak-gerakannya. Seleksi dan kombinasi merupakan dua sumbu bahasa. Seleksi dihubungkan dengan sumbu paradigmatik (merujuk pada seleksi kata) sedangkan kombinasi dihubungkan dengan sumbu sintagmatik (mengacu kepada kombinasi kata). Semiotik adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan sehari -hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture, dan objects. Saussure merombak kajian bahasa yang sebelumnya dipelajari secara diakronis, menjadi sinkronis dengan mengenalkan konsep langue dan parole. Langue lebih menekankan kepada sistem tanda yang dikembangkan kemudian oleh Levy Strauss menjadi kajian Strukturalis. Parole lebih menekankan kepada analisis penggunaan bahasa dalam kehidupan yang menjadi biji awal lahirnya semiotik model Roland Barthes. Khusus dalam kajian susastra Teeuw menyatakan, “Semiotik adalah model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat manapun juga” (1982: 6). Menurut Jakobson sebuah garis pembeda antara prosa dan puisi, prosa mensubordinasikan penanda demi kepentingan petanda, sehingga prosa lebih menaruh perhatian terhadap isi sebuah ungkapan dan pesan yang disampaikan daripada terhadap bentuk ungkapan dan bagaimana suatu pesan disampaikan. Puisi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
sebaliknya lebih mengedepankan penanda. Puisi memberi penekanan besar pada bentuk-bentuk dan bunyi-bunyi kata sebagai cara untuk membangkitkan makna (Cavallaro, 2004: 38). Menurut Winarni kajian puisi memerlukan metode semiotik dengan tahapan sebagai berikut: 1) Sajak dianalisis ke dalam unsur-unsurnya dengan memperhatikan saling hubungan antar unsur-unsur dengan keseluruhannya. 2) Tiap unsur sajak dan keseluruhannya diberi makna sesuai dengan konvensi puisi. 3) Setelah dianalisis ke dalam unsur-unsurnya dilakukan pemaknaan kembali, dikembalikan kepada makna totalitasnya (Winarni, 2013:145). Urut-urutan pembacaan secara struktural atau heuristik dapat dimulai dari mana saja sesuai dengan keperluan. Sajak tidak dapat dipahami dengan baik bila tidak dilihat secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsurnya yang koheren, diperlukan pembacaan retroaktif (Winarni, 2013: 146). Nazarova (1993: 3) menyampaikan bahwa dalam penelitian semiotik bisa dimulai dari tingkat diakritik bahasa. Unit-unit utama dari tingkat diakritik adalah fonem yang terdiri dari dua atau lebih suara dan perbedaannya tidak dilihat dari posisinya saja. Terlepas dari masing-masing tanda sinyal tertentu berupa fonetik artikulatoris. Kerja semiotik harus berhati-hati terhadap pikiran mainstream. Berhatihati terhadap tafsir umum perlu dilakukan, sehingga selalu ada pintu masuk untuk sang lain. Pernyataan Nazarova mengandung peringatan dibutuhkannya kehati-hatian dalam proses pengartian dan pemaknaan sehingga peneliti tidak terikat hanya kepada subyektifitasnya namun selalu terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan yang memperdalam pengartian dan pemaknaan dari puisi yang diteliti. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
a. Tataran Heuristik Sastra sebagai alat komunikasi kaya akan konvensi. Konvensi dalam karya sastra biasa dibagi dalam dua tingkat. Konvensi tingkat pertama menyaran pada sistem (tataran) arti kebahasaan (first order semiotic system), sistem primer atau kandungan denotasi. Hal ini dikarenakan karya sastra menggunakan bahasa sebagai bahan komunikasinya. Tidak seperti warna pada seni lukis, atau kayu pada seni pahat, bahasa dalam seni sastra tidak bersifat netral sejak sebelum menjadi wujud seni. Bahasa telah mengandung arti sebelum dibentuk oleh sastrawan (Pradopo, 1987: 121). Pembacaan pada sistem semiotik tingkat pertama dalam kajian ini dilakukan dengan kerja heuristik. Heuristik berupa pemahaman makna sebagaimana dikonvensikan oleh bahasa yang bersangkutan. Jadi bekal yang dibutuhkan adalah pengetahuan sistem bahasa itu dan kompetensi kesastraan. Kerja heuristik menghasilkan pemahaman makna tersurat, actualmeaning. Kerja secara heuristik tersebut akan menghasilkan pengetahuan tentang sistem tanda yang ada dalam serat Dewa Ruci, termasuk secara paradigmatik dan sintagmatik. Setiap teks sastra terdiri dari sejumlah sistem, dan memperoleh efek melalui benturan dan tegangan yang konstan antara sistem-sistem ini. Dengan begini setiap sistem dalam
teks
melakukan
defamiliarisasi
terhadap
sistem
lain,
memecahkan
keteraturannya dan membuatnya jadi tampak lebih jelas (Warton, 2010: 146-147). Heuristik selalu mungkin tidak mencapai hasil yang diinginkan, tetapi bisa teramat berharga sampai proses memecahkan masalah. Pada analisa karya sastra heuristik dilakukan pemahaman teks pada tataran mimetik. Proses dekoding pada tahap ini commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
dengan kompetensi kebahasaan dan kesastraan, pembaca dapat mengenali adanya “keanehan-keanehan” dalam sebuah karya sastra, baik dalam hal kebahasaan maupun dalam hal-hal yang berkaitan dengan struktur karya sastra secara keseluruhan. Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari sistem kode pada karya sastra dengan melakukan kategorisasi. Kategorisasi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan: Pembagian pupuh, penokohan, peristiwa, setting tempat, dst. Selanjutnya dianalisis relasi antar bagian dalam setiap sistem kode yang ditemukan, bisa berupa sistem oposisi, komposisi, paradigmatik, maupun sistem sintakmatik, tergantung dari data dan relasi antar data yang terbaca. Hasil dari pembacaan heuristik adalah arti. Arti adalah semua informasi dalam tataran mimetik yang disajikan teks kepada pembaca. Secara sederhana, dapat dinyatakan bahwa arti sepenuhnya bersifat referensial sesuai dengan bahasa dan bersifat tekstual dalam hal ini digunakan referensi kamus bahasa Jawa Kawi dan Sansekerta sebagai bahasa pengantar di dalam serat yang diteliti. Pembacaan semiotik pada penelitian ini dimulai dengan pembacaan heuristik yang artinya pembacaan berdasarkan kode bahasanya. Pembacaan heuristik dalam penelitian ini utamanya digunakan untuk menemukan sistem tanda melalui perbandingan unsur-unsur yang dianggap penting keberadaannya dalam mendukung arti dari karya sastra yang diteliti. Hasil pembacaan heuristik bisa berupa arti dari bunyi, kata, frasa, maupun kalimat atau hanya salah satu darinya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
b Tataran Hermeneutik Kekhasan karya sastra sebagai alat komunikasi ditentukan oleh adanya konvensi tingkat kedua (second order semiotic system), sistem sekunder, atau kandungan makna konotasi. Karya sastra terdiri dari berjenis-jenis sastra (genre) dan ragam yang tiap jenis dan ragam itu merupakan sistem yang mempunyai konvensikonvensi sendiri. Peneliti dalam menganalisis karya sastra harus menganalisis sistem tanda itu dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan tanda-tanda atau struktur tanda-tanda dalam ragam sastra itu mempunyai makna (Pradopo, 1987: 122). Pembacaan pada sistem semiotik tingkat kedua dilakukan dengan kerja hermeneutik atau retroaktif atau dibaca ulang yang menghasilkan pemahaman makna secara tersirat, dan inilah yang disebut makna intensional, intensional meaning (Nurgiyantoro, 1995: 33). Sastra adalah seni bahasa, maka secara umum konvensi kedua tersebut mengandung konvensi estetis/ keindahan. Syarat-syarat keindahan itu ialah: keutuhan (unity), keselarasan (harmony), keseimbangan (balance), dan fokus atau pusat penekanan sesuatu unsur (Sumardjo & Saini, 1986: 4). Melihat karya sastra tidak hanya memiliki sistem sendiri, semiotik tidak terbatas pada sosok karya tersebut tetapi juga menghubungkannya dengan sistem yang berada di luarnya. Sistem yang berada di luar karya sastra adalah semua dimensi, data, fenomena yang mereaksi bagi kelahiran karya sastra tersebut (Pradopo, 1987: 122). Berarti semiotik tidak melihat karya sastra hanya sebagai objek materi seni, struktur yang terpisah dari realitas tetapi juga melihatnya dalam perspektif yang lebih luas, yaitu kehidupan manusia, tata nilai, lembaga kemasyarakatan, dan adatcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
istiadat. Di pihak lain tanda-tanda atau kode-kode sekecil apapun yang terdapat dalam karya sastra penting diperhatikan karena ikut membentuk sistem dan keseluruhan karya tersebut sehingga mampu mengatasi kemacetan komunikasi dalam proses pembacaan karya sastra yang diakibatkan oleh kompleks sistem tanda/ kode yang diciptakan pengarang. Perkembangan-perkembangan dalam teori membaca menunjukkan bagaimana makna sebuah teks tergantung pada kerangka acuan (frame of reference) dimana pembaca membidikkan pada teks tersebut. Barthes dalam Cavallaro berpendapat bahwa makna sebuah teks merupakan pengaruh interpretasi pembacanya daripada sebuah produk dari tujuan-tujuan pengarangnya (Cavallaro, 2004:92). Terserah kepada pembaca untuk mengisi atau mewujudkan pesan-pesan dimana teks itu sendiri hanya berisikan keadaan sebenarnya atau keadaan potensial. Pada saat yang sama interpretasi pembaca tergantung pada konteks historis dan kultural pembaca. Diingatkan oleh Kumral (2013:1) yang menyatakan bahwa pembaca tidak hanya mengembangkan keterampilan interpretatif menggunakan analisis semiotik, tetapi
juga
harus
meningkatkan
kesadaran
hidup.
Studi
sastra
terbantu
mengembangkan persepsi menyeluruh hidup dengan masuk melalui pengalaman psikologis pribadi protagonis. Pembaca diharapkan untuk menghargai dan memperoleh semacam kebijaksanaan terhampar di balik pelajaran moral dari cerita untuk memahami kehidupan yang lebih baik. Pembacaan hermeneutik, pembacaan berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan heuristik yang telah dilakukan memungkinkan ditemukannya pijakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
makna dari pola-pola yang terbaca secara hermeneutik berdasarkan konvensi sastra yang ada dalam budaya Jawa. Bersepakat dengan pernyataan Necat Kumral, penelitian menggunakan pendekatan semiotik, selain dituntut adanya kepaduan arti dari tafsir terhadap teks juga dituntut adanya pemahaman terhadap relasi teks dengan latar budaya, kepekaan pada peristiwa kehidupan. Kajian yang demikian akan membumikan teks, salah satunya hubungan serat Dewa Ruci dengan nilai pendidikan karakter. 4. Hakikat Pembelajaran Bahasa Jawa Istilah pembelajaran seperti diungkapkan oleh Hansen (2000: 23) ialah learning is equated in behavior, yang artinya bahwa pembelajaran memililiki kesamaan arti dengan adanya perubahan tingkah laku. Pembelajaran menurut Handani (2011: 71) diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan guru sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik. Klein (1996: 2) mengemukakan pendapat, pembelajaran didefinisikan sebagai proses pengalaman yang menghasilkan perubahan tingkah laku yang relatif tetap yang tidak dapat dijelaskan oleh keadaan sementara, kedewasaan, atau kecenderungan respon yang mendalam. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut pembelajaran dapat diartikan sebagai upaya mengubah tingkah laku siswa. Berdasar surat keputusan gubernur Jawa Tengah yang termuat dalam kurikulum, mata pelajaran Bahasa Jawa disebutkan bahwa perlunya upaya penanaman nilai-nilai budi pekerti dan penguasaan Bahasa Jawa bagi siswa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
Berdasarkan pertimbangan ini maka mulai tahun ajaran 2005 / 2006 mata pelajaran Bahasa Jawa ditetapkan sebagai mata pelajaran yang wajib diajarkan oleh semua jenjang sekolah di provinsi Jawa Tengah, baik sekolah negeri maupun sekolah swasta. Mengacu pada kurikulum Muatan Lokal Bahasa Jawa untuk jenjang pendidikan SMA tahun 2013, disebutkan bahwa standar kompetensi yang harus dicapai oleh siswa berdasar kepada kompetensi sikap religius, sikap sosial, ketrampilan dan pengetahuan yang kemudian dijabarkan menjadi empat Kompetensi Inti ialah 1. Menghayati dan mengamalkan ajaran
agama yang dianutnya, 2.
Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan
diri
sebagai
cerminan
bangsa
dalam
pergaulan
dunia,
3.
Memahami,menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, pro-sedural berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah 4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
Kurikulum 2013 pembelajaran berbasis teks dengaran maupun teks tulis, seperti misalnya teks percakapan sehari-hari, di kantor, di pasar, di dalam media cetak, audio, maupun video, dongeng, legenda, serat piwulang, babad, cerita wayang, geguritan, cerkak, anekdot, pengalaman pribadi, dialog, berita, kawruh (Nugroho, 2014: 3). Cerita wayang tercantum sebagai materi pokok pada silabus mata pelajaran Bahasa Jawa kelas X semester genap, Kompetensi Dasar kedua. 1.2 Menerima, mensyukuri, menghayati, dan mengamalkan anugerah Tuhan berupa bahasa Jawa dalam bentuk petikan teks crita wayang. 2.2 Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif, dan proaktif dalam menggunakan bahasa Jawa melalui petikan teks crita wayang. 3.2 Memahami isi teks crita Mahabharata (Bima Bungkus). 4.2 Menulis sinopsis teks cerita teks Mahabharata (Bima Bungkus) dan menyajikannya. Materi pokok terdiri dari: Petikan Crita wayang, dengan uraian 1) unsur pembangun, 2) nilai yang terkandung, 3) relevansi pitutur luhur, 4) cara menginterpretasi isi, 5) teknik menceritakan kembali, dan 6) cara menanggapi. Secara ideal, pembelajaran bahasa Jawa seharusnya meliputi aspek budaya, bahasa dan sastra secara memadai. Aspek budaya antara lain meliputi pengenalan jenis kesenian, permainan tradisional, model rumah, pakaian adat, dan upacaraupacara tradisi. Materi kebahasaan di antaranya mencakup ragam basa ngoko dan basa krama yang masing-masing memiliki varian secara spesifik. Materi kebahasaan diajarkan sebagai dasar sistem kemunikasi masyarakat Jawa. Pemahaman sistem commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
pemakaian masing-masing ragam bahasa Jawa menggambarkan nilai kejiwaan pemakainya (Basir 2010: 6). Podhoretz menyatakan bahwa karya sastra di dalam pendidikan bisa berperan mengembangkan aspek kepribadian dan pribadi sosial, kehalusan adab dan budi. Bahkan menurut Aristoteles, sastra bisa menjadi media katarsis atau pembersih jiwa tidak saja bagi penulis tetapi juga pembaca maupun penikmatnya. Tidak bisa diragukan lagi fungsi sastra dalam memberi pengaruh cara berfikir setiap orang mengenai hidup dan kehidupan, baik dan buruk, benar dan salah, dan cara hidup baik diri sendiri maupun bangsanya (dalam Wibowo, 2013: 127). Dengan kesusastraan seseorang diasah kreativitas, perasaan, kepekaan, dan sensitivitas kemanusiaannya. Sastra juga memiliki cakupan yang lebih luas daripada filsafat lantaran jejaring sastra yang bertalian dengan berbagai cabang ilmu kemanusiaan seperti sains, psikologi, biologi, sejarah, sosial politik (Wibowo, 2013:166). Pendidikan sebagai usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa anak agar dalam kodrat pribadinya serta pengaruh lingkungannya mereka memperoleh kemajuan lahir dan batin menuju ke arah adab kemanusiaan (Suratman, 1987: 12). Dengan demikian sebaiknya pengajaran sastra diarahkan untuk merangsang terjadinya olah hati, olah rasa, olah olah pikir dan olah raga. Pembelajaran sastra juga diarahkan untuk menumbuhkan sikap apresiatif terhadap karya sastra yaitu sikap menghargai, menilai dan mengkritik, dengan penyampaian pengetahuan, ditumbuhkan kecintaan, dan dilatih ketrampilan untuk menghasilkan karya sastra. Peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa tidak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
hanya didasarkan pada nilai yang terkandung didalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter. Kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton karya sastra pada hakikatnya bisa menanamkan karakter tekun, berpikir kritis dan berwawasan luas. Pada saat yang sama dikembangkan kepekaan perasaan sehingga pembaca cenderung cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran (Wibowo, 2013: 167). Y.B Mangunwijaya dalam bukunya Religositas Sastra banyak memaparkan contoh-contoh karya sastra yang mengandung nilai-nilai pendidikan utamanya religiusitas. Beliau juga mengatakan bahwa religiositas tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak) tetapi dalam pengalaman, penghayatan (totalitas diri) yang mendahului analisis atau konseptualisasi (Mangunwijaya, 1988: 17). Begitu bernilainya karya sastra sebagai bahan pendidikan nilai dan mengalami / nglakoni sebagai metode yang paling tepat untuk memperolehnya. Bagi masyarakat Jawa, yang disebut sastra merupakan sebuah karya yang tertata apik dalam bahasa yang indah (basa rinengga). Sastra Jawa klasik tak hanya mengutamakan isi tetapi juga keindahan bahasa. Karya sastra Jawa seperti pada umumnya karya budaya klasik terlahir dari olah rasa dan laku oleh pujangganya dalam kesempurnaan cipta dan karsa. Wajar jika karya klasik Jawa tidak pernah lapuk dimakan zaman dan disematkan padanya predikat karya adiluhung. Sastra adiluhung dianggap mampu menghaluskan rohaniah, mempertajam visi, misi dan ruang imajinasi,
membuat
manusia
santun
jiwanya,
bertambah
pengetahuannya,
berkepribadian mulia, dan luas jiwanya. Hal ini bisa dipahami berdasar isi dan sistem commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
penulisan karya sastra Jawa klasik, yang merekam nilai masyarakat dan kebudayaan secara detail dan simbolis. Menelusuri karya sastra Jawa klasik layaknya memasuki lautan makna. Pembaca dituntut tidak gegabah menangkap apa yang nampak, tetapi harus mau menggali di balik sebuah tanda atau simbol (Wibowo, 2013: 107). Bertolak dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa karya satra Jawa memiliki kekayaan nilai yang potensial menjadi bahan pembelajaran. Pembelajaran karya sastra selain melatih daya apreisasi juga bisa menjadi sarana mengolah rasa, pikir, dan jiwa. Pembelajaran Bahasa Jawa umumnya dan khususnya pembelajaran sastra Jawa di SMA pada hakikatnya merupakan upaya mengubah perilaku siswa melalui kegiatan belajar Bahasa Jawa dan sastra Jawa yang sarat akan nilai-nilai budi pekerti luhur dan beragam kompetensi Bahasa Jawa, salah satunya melalui pembelajaran materi cerita wayang. 4. Hakikat Pendidikan Karakter a. Pendidikan Pendidikan
merupakan
proses
untuk
membantu
manusia
dalam
mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi dalam kehidupan sesuai dengan minat mereka masing-masing begitulah hakekat pendidikan menurut John Dewey (A‟la, 2012:10). Dewey adalah salah satu pendidik paling berpengaruh pada awal abad kedua puluh. Dewey juga meyakini bahwa pendidikan memiliki tanggungjawab untuk meningkatkan minat siswa, memperluas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
dan mengembangkan horizon keilmuan mereka, dan membantu mereka agar mampu menjawab tantangan dan gagasan baru di masa mendatang (Huda, 2013: 3). Sejalan dengan pendapat John Dewey, banyak ahli dari berbagai bidang berpendapat bahwa sebenarnya pendidikan merupakan pintu menuju ke arah kemajuan. Pendidikan bukan hanya dilaksanakan dalam lingkungan formal atau sekolah, namun pendidikan juga terjadi di ruang non-formal yaitu keluarga dan lingkungan masyarakat. Dewantara berpendapat bahwa pendidikan ialah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak agar dalam kodrat pribadinya serta pengaruh lingkungannya mereka memperoleh kemajuan lahir dan batin menuju ke arah adab kemanusiaan (Suratman, 1987: 12). Berkembangnya kekuatan nafsu dan datangnya kelemahan budi dikuasai oleh nafsu-birahi sangat mengkhawatirkan bagi dunia pendidikan saat ini. Jika anak-anak sama lupa dan yang mendidik tidak awas disitulah bahaya datang. Maka dari itu dalam waktu birahi haruslah si pendidik memegang teguh segala peraturan mengenai perhubungan anak-anak laki-laki dan perempuan (Dewantara, 1977: 17). Bahaya yang telah ditengarai oleh Bapak Pendidikan kita di awal Bangsa Indonesia membangun fondasi pendidikan, terbukti benar dan semakin menjadi. Bukan hanya di kalangan pelajar kekuatan nafsu yang disebutkan juga telah menjadi kekuatan merusak dalam masyarakat umum. Sangat disayangkan,, sejalan dengan era modernisme, pendidikan di Indonesia justru lebih menekankan kepada peningkatan ketrampilan dan kognitif, utamanya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47
berhubungan dengan peluang untuk mendapat pekerjaan formal. Seakan mengabaikan peringatan Ki Hajar Dewantara. Tentu saja hal ini adalah sebuah bumerang bagi pendidikan di Indonesia, karena ketrampilan dan kecerdasan memiliki nilai netral dan yang menjadikannya baik atau buruk adalah nilai-nilai yang menjadi ruhnya. Jika kecerdasan dirasuki nilai kerakusan maka amat mungkin akan menghasilkan anak didik yang pandai korupsi. Seorang yang memiliki ketrampilan namun tanpa rasa tanggung jawab maka amat mungkin menghasilkan karya tanpa perduli akibat karyanya bagi orang lain, sebagai misal anak-anak kreatif yang mengotak-atik motor balap lalu menggunakannya di jalan raya (A‟la, 2012: 13). Pendidikan utamanya adalah cara suatu komunitas untuk menanamkan nilainilai, berbeda dengan tujuan dari pembelajaran. Mendidik adalah upaya membangun software, dan penekanannya tidak pada hardware. Sekolah yang dalam bahasa Yunani skhole, scolae atau scola berarti waktu luang, saat ini justru menjadi waktu yang menyita banyak hal dari siswa.Waktu bermain, berinteraksi, menyendiri sudah semakin sedikit demi meningkatkan kepandaian ilmu. Padahal setiap orang tumbuh dalam fase- fase yang membutuhkan situasi dan suasana yang sesuai. Wajar jika seseorang yang di masa kecilnya tidak punya „waktu bermain‟ sampai usia dewasa ia masih bermain-main, wajar jika banyak kita temui orang-orang yang gagal dalam bersikap karena tidak pernah punya waktu dan ketrampilan untuk merenung dan mengambil jarak. Akibatnya sangat mudah ia terombang-ambing dan terbujuk rayuan bahkan hanya oleh iklan misalnya, seseorang menjadi berubah sikap dan pilihan
(A‟la, 2012: 11). Pendidikan umumnya berarti daya-upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48
dan tubuh anak. Sedangkan pendidikan budi pekerti harus mempergunakan syaratsyarat yang selaras dengan jiwa kebangsaan menuju kepada kesucian, ketertiban dan kedamaian lahir batin (Dewantara, 1977: 16). Pendidikan yang dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan nasional, hal ini bisa diartikan bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa harus didasari jiwa merdeka dan jiwa nasional dari bangsa itu. Hanya orang-orang yang berjiwa merdeka saja yang sanggup berjuang menuntut dan selanjutnya mempertahankan kemerdekaan. Syaratnya ialah pendidikan Nasional dan pendidikan merdeka pada anak-anak yang akan dapat memberi bekal kuat untuk membangun karakter bangsa. b. Pendidikan Karakter Watak atau karakter itulah paduan daripada segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain. Dalam bahasa Yunani character itu asalnya dari perkataan charassein – mengukir corak yang tetap dan tidak terhapuskan (Dewantara, 1977: 407). Lickona dianggap sebagai pendukung pendidikan karakter . Karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way”. Menurut Lickona pendidikan karakter mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan ( knowing the Good), mencintai kebaikan (desiring the Good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, 2013: 51). Dewantara (2011:25), memandang karakter sebagai watak atau budi pekerti. Menurut Ki Hadjar Dewantara, budi pekerti adalah bersatunya antara gerak fikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan, yang kemudian menimbulkan tenaga. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
Karakter merupakan sifatnya jiwa manusia, mulai dari angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dengan adanya budi pekerti manusia akan menjadi pribadi yang merdeka sekaligus berkepribadian dan dapat mengendalikan diri sendiri. Berdasarkan pengujian dan observasi yang dilakukan terdapat perbedaan signifikan terhadap siswa-siswa di sekolah program pendidikan nilai dibandingkan sekolah yang tidak menerapkan pendidikan nilai terhadap perilaku di kelas, perilaku di halaman bermain, ketrampilan penyelesaian persoalan sosial, dan komitmen kepada nilai-nilai demokrasi (Lickona, 2013: 41). Salah satu aspek penting proses pendidikan memang adalah membangun karakter siswa. Karakter merupakan standar atau norma dan sistem nilai yang terimplementasi dalam berbagai bentuk kualitas diri. Karakter diri dilandasi nilai-nilai luhur yang pada akhirnya terwujud di dalam perilaku. Oleh karena itu pendidikan yang mengembangkan karakter adalah bentuk pendidikan yang bisa membantu mengembangkan sikap etika, moral dan tanggung-jawab”. Secara sederhana dapatlah diuraikan bahwa sikap adalah cara seseorang melihat sesuatu secara mental (dari dalam diri) yang mengarah pada perilaku yang ditujukan pada orang lain, ide, objek maupun kelompok tertentu. Sikap juga tercermin dari cara seseorang mengkomunikasikan perasaannya kepada orang lain, termasuk juga melalui perilaku (Hutagalung, 2007: 51). Jika perasaan seseorang terhadap sesuatu adalah positif maka akan terpancar pula perilaku positif dari individu bersangkutan. Jika perasaan sedang tidak nyaman (negatif) maka yang nampak adalah wajah yang keruh, semangat kerja menurun, hari-hari terasa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
membosankan. Sikap adalah sesuatu bisa dipelajari bukan bawaan, lebih bisa dibentuk, dikembangkan, dipengaruhi dan diubah. Sikap mengandung tiga bagian yaitu kognitif (keyakinan, kesadaran), afektif (perasaan), konatif (perilaku) dengan uraian sebagai berikut: Komponen kognitif adalah komponen yang berisikan apa yang diyakini dan apa yang dipikirkan seseorang mengenai objek sikap tertentu – fakta, pengetahuan dan keyakinan tentang objek. Misalnya, sikap mahasiswa terhadap impor beras, komponen kognitif dapat meliputi beberapa informasi, adanya mafia importir beras, kemampuan bangsa sendiri memproduksi beras. Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap objek, terutama penilaian. Tumbuhnya rasa senang atau tidak ditentukan oleh keyakinan seseorang terhadap objek sikap. Semakin dalam komponen keyakinan positif maka akan semakin senang orang terhadap objek sikap. Misalnya kekhawatiran atau ketakutan akan terjadinya pelemahan kemampuan bangsa oleh kekuatan asing. Keyakinan negatif ini akan menghasilkan penilaian negatif pula terhadap impor. Komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi atau kecenderungan untuk bertindak terhadap objek. Bila seseorang menyenangi suatu objek, maka ada kecenderungan individu tersebut akan mendekati objek dan sebaliknya. Misalnya kecenderungan mahasiswa untuk bertindak terhadap impor beras dengan menandatangani petisi dan mengadakan demonstrasi untuk menentang impor beras, menentang orang yang mendukung impor beras. Dengan mengetahui kognisi dan perasaan seseorang terhadap suatu objek sikap tertentu maka akan dapat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
diketahui pula kecenderungan perilakunya, namun dalam kenyataannya tidak selalu suatu sikap tertentu berakhir dengan perilaku yang sesuai. Artinya terjadi proses pengaruh mempengaruhi dari komponen kognitif, afektif dan perilaku (Hutagalung, 2007:53). “Character educators can recognize religion‟s contribution to our culture while honoring the first amendment. Schools can help students understand religion‟s role in our nation‟s beginnings, major social-reform movements, and individuals‟ motivation; construct special curricula; and encourage students to tap inner resources to address social issues and ultimate questions ” (Lickona, 1999: 26). Pendidikan karakter adalah sesuatu yang harus dan wajib. Setiap orang bisa menjadi canggih tapi tanpa karakter dan nilai baik dalam dirinya maka ia akan menjadi seperti mesin. Baik atau buruknya tidak tergantung oleh dirinya tapi oleh orang lain yang mengoperasikannya. Dia bukan lagi pribadi yang merdeka namun sepenuhnya terjajah. Dengan demikian hakikat pendidikan berbeda dengan pembelajaran, adalah pendidikan karakter, watak dan nilai dimana suatu kompetensi, ketrampilan, kecerdasan bisa diarahkan supaya bernilai positif.
c. Pendidikan Karakter dalam Budaya Jawa Dalam proses pembelajaran berdasarkan UU Nomer 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan Nasional disebutkan salah satu sumber pembentukan karakter adalah dengan bersumber kepada kebudayaan. Setiap kebudayaan terdapat model dari karakter yang baik. Pendidikan karakter berbasis kebudayaan dapat menjadi pembendung arus modernisasi dan globalisasi yang tidak sejalan dengan kebudayaan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
Indonesia. Sekaligus bisa memberikan tawaran nilai-nilai alternatif. “Pendidikan karakter dalam konteks membangun karakter bangsa memiliki pertautan erat dengan basis kebudayaan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berkepribadian luhur. Di konteks kebudayaan yang lebih luas, pendidikan karakter tentu merupakan pranata penting dan strategis untuk membangun kebudayaan dan peradaban bangsa. Joesoef nmengatakan bahwa Dewantara mengadopsi sistem pendidikannya ke tanah air dengan konsepnya education part of culture, jadi yang diajarkan adalah culture atau kebudayaan. Tentu kebudayaan bukan dalam arti seni pertunjukan. Sistem pendidikan Indonesia yang ideal adalah yang menghamba pada pertumbuhan dan perkembangan anak didik sebagai warga negara Indonesia, oleh karena itu pendidikan tidak dapat dilepaskan dengan pemikiran mendalam soal kebudayaan bangsanya (2007:6). Pendidikan budaya dan bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis produktif dan kreatif (Kemendiknas Balitbang, 2010: 4). Anak yang sejak kecil selalu dibiasakan pada bahasa asing dan dijauhkan dari bahasanya sendiri, ia akan kehilangan perhubungan batin dengan orang-orang tuanya sendiri, dan kelak dikemudian hari ia juga akan terasing perasaannya terhadap bangsanya sendiri (Dewantara, 1977: 11). Anak tersebut cenderung akan tercerabut dari latar budayanya. Teristimewa haruslah kita memperhatikan pangkal kehidupan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53
kita yang terus dalam kesenian, peradaban, syarat-syarat agama atau terdapat dalam kitab-kitab cerita. Semua itu adalah arsip nasional dalam mana tersimpan beberapa kekayaan batin dari bangsa kita (Dewantara, 1977: 16). Pendidikan memiliki metode, alat-alat yang pokok, cara-cara mendidik. Caracara itu amat banyaknya, akan tetapi dalam pokoknya semua cara itu bisa dibagi seperti berikut: a. memberi contoh, b. pembiasaan, c. pengajaran, d. perintah, paksaan dan hukuman, e. laku (zelfbeheresching, zelfdiscipline), f. pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving) (Dewantara, 1977: 28). Khusus tentang cara mendidik dengan laku akan menjadi perhatian dalam penelitian ini. Laku merupakan salah satu metode kuno bagi manusia Jawa untuk memperoleh kawicaksanan dan kasampurnan. Sehubungan dengan konsep laku, Ki Hajar Dewantara membagi tingkatan psikologis manusia yang sekaligus menjadi dasar metode pengajaran dengan memperbandingan dengan tradisi pendidikan Islam. Tingkatan pertama adalah pengajaran syariat diartikan sebagai pembiasaan bertingkah laku serta berbuat menurut peraturan atau kebiasaan yang umum. Tingkatan kedua adalah hakikat yang berarti kenyataan atau kebenaran dan yang mengandung maksud memberi pengertian kepada anak-anak agar mereka menjadi insyaf serta sadar tentang segala kebaikan dan kebalikan-kebalikannya. Tingkatan ketiga ialah tarikat yang lebih terkenal dengan sebutan tirakat. Tarikat berarti laku, yakni perbuatan yang dengan sengaja kita lakukan dengan maksud supaya kita melatih diri untuk melaksanakan berbagai kebaikan, bagaimanapun sukarnya atau beratnya. Metode keempat ialah makrifat berarti faham benar-benar. Siswa harus commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54
sudah mengerti akan adanya hubungan antara tata tertib lahir dan kedamaian batin, sudah cukup berlatih dan biasa berlatih dan biasa menguasai dirinya sendiri serta menempatkannya di dalam garis-garis syariat dan makrifat (Dewantara, 1977: 485487). Laku dengan demikian oleh Ki hajar Dewantara dianggap memiliki konsep yang sama dengan tingkatan tarikat dalam agama Islam. Pada umumnya segala laku yang disengaja yang memerlukan kekuatan kehendak dan kegiatan tenaga yang istimewa bisa dianggap sebagai bentuk pengajaran budipekerti. Pokok isinya pengajaran budi pekerti yaitu segala apa yang mengandung maksud memelihara keinsyafan dan kesadaran dalam hal hidup tertibdamai, bagi diri dan masyarakat, anak-anak. Selain bahan-bahan pengajaran budi pekerti yang secara spontan dan occasional, hendaknyalah diinsyafi bahwa segala ceritera yang dikenal sebagai dongeng-dongeng atau mythen dan legenden, ataupun lakon-lakon dalam pertunjukan-pertunjukan wayang dan sandiwara, akhirnya segala babad dan sejarah, baik yang mengenai hidup kebangsaan sendiri maupun kebangsaan-kebangsaan lain sedunia, dapat dimasukkan dalam reportoire pendidikan Nasional (Dewantara, 1977: 489-490). Karya sastra Jawa banyak mengandung ajaran tentang laku, yang bisa menjadi tauladan bagi peserta didik dalam usaha mengenal lingkungan utamanya mengenal dirinya sendiri. Melalui sastra Jawa dan cerita wayang masyarakat Jawa melakukan pendidikan. Melalui pengajaran yang efektif dan sungguh-sungguh karya sastra Jawa klasik akan mampu menjadi bagian dari usaha pemerintah dan sekolah untuk mengembangkan pendidikan karakter bagi siswa-siswi yang saat ini teramat kering commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55
dari acuan nilai-nilai keindahan, kehalusan, kerendahatian, kedewasaan, kepedulian, kelapangan dada, keteguhan niat. Metode pendidikan Jawa laku sejajar artinya dengan pendekatan saintifik yang ada dalam kurikulum 2013. Kebudayaan Jawa yang memiliki kandungan nilai-nilai kehidupan memiliki potensi sebagai jalan alternatif dari pendidikan Indonesia yang selama ini kering dari nilai-nilai karakter. C. Kerangka Berpikir Pelestarian warisan budaya bangsa bukan sekedar keinginan untuk mempertahankan masa lalu, sebab kebenaran selalu berkembang. Warisan budaya bangsa merupakan rahim yang telah membentuk dan melahirkan jatidiri bangsa saat kini. Melupakan jatidiri sama artinya melupakan keberadaannya yang tidak mungkin lepas dari sebuah sistem budaya. Sayangnya pendidikan di Indonesia terlalu berkiblat kepada pendidikan barat dan kurang mengolah bahan dari akar budaya bangsa sendiri. Pendidikan merupakan pintu ke arah kemajuan yang tidak dapat dicapai hanya dengan pencanggihan kognitif dan ketrampilan namun juga harus disertai dengan kuatnya nilai-nilai karakter, utamanya mengembangkan jiwa merdeka dan pengenalan diri. Kenyataannya dalam dunia pendidikan formal tempat transformasi budaya berlangsung lebih dikuasai ilmu pengetahuan dan kebutuhan teknik. Pendidikan yang demikian menghasilkan orang-orang yang cerdik-pandai yang mempunyai pikiran yang sehat, akan tetapi di dalam paradigma berfikirnya mempunyai azas-azas yang salah, yang disadari atau tidak justru mengandung sifat merusak. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56
Budaya Jawa dibanding kebudayaan Barat memang memiliki sistem yang berbeda. Cerita-cerita dari Barat belum tentu tepat digunakan
untuk melakukan
pendidikan karakter bagi anak didik berlatar kebudayaan Jawa. Salah satu karya sastra Jawa yang menonjol adalah serat Dewa Ruci yang berisi perjalanan mencari kesucian. Bagi beberapa orang cerita wayang itu sendiri adalah nilai-nilai yang terlalu muluk-muluk dalam jaman serba praktis saat ini, apalagi jika dibawa kepada anak didik di sekolah. Namun sebenarnya tidak ada nilai pendidikan yang terlalu tinggi sepanjang dilakukan secara benar dan tepat. Sebagai gambaran dalam penelitian ini dibuat kerangka berpikir sebagai berikut: Serat Dewa Ruci
Analisis sistem tanda secara heuristik
Analisis simbol secara hermeneutik
Nilai-nilai pendidikan karakter
Relevansi dengan pendidikan karakter dalam pelajaran Bahasa Jawa
Gambar 1. Kerangka Berpikir commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian pustaka sehingga bisa dilakukan di perpustakaan dalam forum diskusi maupun dalam proses wawancara dengan narasumber. Periode waktu kegiatan penelitian berlangsung selama empat bulan dimulai pada bulan Februari 2014 dan berakhir pada Mei 2014. Secara terperinci jadwal kegiatan penelitian dapat dilihat pada tabel berikut.
No 1
2
3
4
Bulan Februari Maret April Mei 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Kegiatan
Persiapan Penelitian a.Konsultasi Judul x x b.Penyusunan Proposal x x c.Seminar Proposal x Pengumpulan data a. Pemeriksaan, pembahasan data x x x x x x x x x x b. Pemilahan, pemilihan dan pengorganisasian data x x x x x x x x x x Analisis Data a. Pengembangan sajian dengan analisis lanjut b. Simpulan akhir
data
x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x
Penyusunan laporan penelitian, meliputi: a. Penyusunan revisi laporan awal b. Penyusunan laporan akhir c. Sidang tesis dan revisi akhir commit to user
x x x x x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58
B. Bentuk dan Jenis Penelitian Penelitian ini berbentuk kualitatif deskriptif. Hal yang perlu ditekankan dalam penelitian kualitatif adalah mencerminkan perspektif fenomenologis. Artinya model penelitian semacam ini berusaha untuk memahami makna dari peristiwa-peristiwa dan interaksi-interaksi manusia dalam situasi-situasi tertentu (Sutopo, 2002:33). Metode kualitatif yang diterapkan dalam penelitian ini dinilai sesuai dengan teori yang diterapkan yakni semiotik sastra. Makna karya sastra sebagai tanda adalah makna semiotiknya, yaitu makna yang bertautan dengan dunia nyata. Penelitian dekriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejal menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan (Arikunto, 2010:234). Pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif ini berpandangan bahwa semua hal yang berupa sistem tanda tidak ada yang patut diremehkan, semuanya penting dan semuanya mempunyai pengaruh dan berkaitan dengan yang lain. Mendiskripsikan segala sistem tanda (semiotik) mungkin akan membentuk dan memberikan suatu pemahaman yang lebih komprehensif mengenai apa yang dikaji. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian perpustakaan atau library research yaitu penelitian yang dilakukan di kamar kerja peneliti atau di ruang perpustakaan, dimana peneliti memperoleh data dan informasi tentang objek telitiannya lewat buku-buku atau alatalat audiovisual lainnya (Semi, 1990:8).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59
C. Data dan Sumber Data Teori adalah seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis dan berfungsi sebagai wahana untuk memprediksi atau menerangkan suatu bangunan fenomena. Tetapi teori juga tidak dapat dilepaskan oleh data penelitian.Oleh karena itu data harus jelas dan aktual (Widati, 1996: 34). Sehubungan dengan hal tersebut digunakan sumber data dan data sbb: 1. Data Data terbagi dalam dua ialah data primer dan data sekunder. Dikarenakan sumber data pada penelitian ini terdiri dari Serat Dewa Ruci dan tafsiran oleh Mas Ngabei Mangunwijaya maka data primer penelitian ini adalah struktur karya sastra Serat Dewa Ruci yaitu unsur-unsur yang mempunyai peran dan fungsi dalam totalitas teks serat Dewa Ruci terbitan Tan Gun Swi yang berupa gejala-gejala, kode dan sistem tanda serta aspek-aspek nilai pendidikan karakter. Pemaknaan oleh Mas Ngabèi Mangunwijaya dari Wanagiri yang disertakan dalam terbitan serat Dewa Ruci oleh penerbit Tan Gun Swi menjadi data sekunder dalam penelitian. Data skunder penelitian selain itu juga buku-buku, artikel dan referensi lain yang dapat mendukung analisis termasuk penelitian yang telah ada tentang Serat Dewa Ruci. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Serat Dewa Ruci Mawi Wredi, yang terdiri dari Serat Dewa Ruci dan pemaknaan oleh Mas Ngabei commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60
Mangunwijaya. Serat Dewa Ruci Mawi Wredi yang dijadikan sumber data merupakan hasil transkripsi/alih aksara oleh Yayasan Sastra Lestari Surakarta ke dalam aksara Latin dari terbitan Tan Gun Swi Kediri tahun 1928 yang menggunakan aksara Jawa. D. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini diterapkan penelitian pustaka (library research), yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan buku-buku dan majalah, naskah-naskah, cetakan dan dokumen yang terdapat di ruang perpustakaan (Kartono, 1976: 44). Untuk memanfaatkan dokumen yang padat biasanya digunakan teknik tertentu dan yang paling umum digunakan yaitu content analysis atau yang dinamakan kajian isi. Holsti menyatakan bahwa kajian isi adalah teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan dan dilakukan secara objektif dan sistematis (dalam Moleong, 2010 : 220). Teknik tersebut digunakan mendukung proses interpretasi dari setiap objek yang diteliti. E. Validasi Data Triangulasi adalah penggunaan berbagai metode dan sumber daya dalam pengumpulan data untuk menganalisis suatu fenomena yang saling berkaitan dari perspektif yang berbeda. Asumsinya adalah fenomena yang diteliti dapat dipelajari dan dipahami dengan baik, sehingga diperoleh kebenaran tingkat tinggi jika didekati dari berbagai sudut pandang. Dengan kata lain, triangulasi merupakan upaya mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61
pandang yang berbeda dengan cara mengurangi sebanyak mungkin bias yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data. Menurut Denkin triangulasi meliputi empat hal, yaitu: a) triangulasi metode, b) triangulasi antar peneliti jika penelitian dilakukan dengan kelompok, c) triangulasi sumber data, dan d) triangulasi teori (Arifin, 2013: 164). Penelitian terhadap teks atau naskah / transkrip film, novel dan sejenisnya triangulasi metode tidak diperlukan dan hanya dilakukan triangulasi sumber data dan triangulasi teori. Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informasi tertentu melalui berbagai metode dan sumber perolehan data, misalnya selain melalui dokumen tertulis peneliti bisa menggunakan arsip, dokumen sejarah, catatan resmi dan gambar. Tentu masing-masing cara itu akan menghasilkan bukti atau data yang berbeda, yang selanjutnya akan memberikan perulangan yang berbeda pula mengenai fenomena yang diteliti. Berbagai pandangan itu akan melahirkan keluasan pengetahuan untuk memperoleh kebenaran andal ( Sugiyono. 2013: 332). Triangulasi teori adalah hasil akhir penelitian kualitatif berupa sebuah rumusan informasi atau thesis statement. Informasi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan perspektif teori yang relevan untuk menghindari bias dan subjektifitas peneliti atas temuan yang dihasilkan. Selain itu triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman asalkan peneliti mampu menggali pengetahuan teoritik secara mendalam atas hasil analisis data yang telah diperoleh. Diakui tahap ini paling sulit sebab peneliti dituntut memiliki expert jugdement ketika membandingkan temuannya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62
dengan perspektif tertentu, lebih-lebih jika perbandingannya menunjukkan hasil yang berbeda (Arifin. 2013: 165). Triangulasi dapat meningkatkan kedalaman pemahaman peneliti, baik mengenai fenomena yang diteliti maupun konteks dimana fenomena itu muncul. Pemahaman yang mendalam (deep understanding) terhadap fenomena yang diteliti merupakan nilai yang harus diperjuangkan oleh setiap peneliti kualitatif. Penelitian kualitatif lahir untuk menangkap arti (meaning) atau memahami gejala, peristiwa, fakta, kejadian realitas atau masalah tertentu mengenai peristiwa sosial dan kemanusiaan dengan kompleksitasnya secara mendalam dan bukan untuk menjelaskan (to explain) hubungan antarvariabel atau membuktikan hubungan sebabakibat atau korelasi dari suatu masalah tertentu. F. Teknik Analisis Data Teknik analisis data diarahkan untuk menjawab rumusan masalah yang telah dirumuskan dalam proposal. Menurut Susan Stainback analisa digunakan untuk memahami hubungan dan konsep dalam data sehingga hipotesis dapat dikembangkan dan dievaluasi (Sugiyono, 2013:335). Menurut Bogdan analisa data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan (Sugiyono, 2013: 334). Penelitian ini menggunakan teknik analisis data interactive model analisys ialah analisis data dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh. Berdasarkan teori dari Miles dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63
Hubermen teknik analisis data dilakukan dengan runtutan sebagai berikut: Setelah data collection dilakukan terhadap
serat Dewa Ruci aktifitas berikutnya dalam
analisis data yaitu: Data reduction, data display, dan conclusion drawing / verification (Arifin, 2011:172). Reduksi data adalah proses merampingkan data dengan memilih data yang dipandang penting, menyerdehanakan dan mengabstraksikannya. Dalam reduksi data seorang peneliti haruslah mampu untuk memilah-milah data untuk nantinya data itu akan dipakai jika dianggap penting ataukah dibuang jika dianggap tidak dibutuhkan dalam penelitian tersebut. Proses reduksi data merupakan suatu proses yang dilakukan dengan secara berkala atau dimulai sedikit demi sedikit sejak awal dilakukannya penelitian. Sajian data adalah proses menyajikan data secara analitis dan sintetis dalam bentuk uraian dari data-data yang terangkat disertai dengan bukti-bukti tekstual yang ada. Analisis artinya menguraikan satu per satu unsur-unsur yang lainnya sehingga dapat dibuat kesimpulan (Moleong, 2010: 103). Tahapan ini dimulai dari membaca dan mengelompokkan data berdasarkan deskripsi data, kemudian disajikan dalam analisis terhadap sistem tanda secara heuristik serta mengungkapkan makna hermeneutik Serat Dewa Ruci. Tahap ini semua data yang terkumpul dideskripsi, diidentifikasi dan diklasifikasi. Verifikasi dan kesimpulan dilakukan setelah pengumpulan data selesai, peneliti mula mengecek kembali (diverifikasi) pada catatan yang telah dibuat oleh peneliti dan selanjutnya membuat kesimpulan sementara (Sangidu, 2004: 178). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64
Pemeriksaan kembali merupakan hal yang penting agar meminimalisirkan kesalahankesalahan yang mungkin terjadi. Penarikan kesimpulan merumuskan apa yang sudah didapatkan dari reduksi data ataupun pengumpulan data. Data Collection
Data Display
Data Reduction
Conclusions: Drawing/ verifying
Gambar 2. interactive model analisys (Miles dan Huberman dalam Sutopo, 2002: 56) Bila pola-pola yang ditemukan telah didukung oleh data selama penelitian maka pola tersebut sudah menjadi pola yang baku yang tidak lagi berubah. Pola tersebut selanjutnya ditampilkan pada laporan akhir penelitian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bab IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Mengikuti pendapat Riffaterre bahwa untuk bisa memberi makna sajak pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik kemudian dilanjutkan dengan pembacaan hermeneutik atau retroaktif. Pembacaan secara heuristik sesuai pendapat Riffaterre adalah proses pengartian ketaklangsungan ucapan puisi yang terdiri dari displacing (penggantian arti), distorsing (penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti). Satuan arti yang menentukan struktur formal linguistik karya sastra adalah kata, maka secara umum unsur terkecil yang akan dibahas adalah kata, sedangkan bunyi hanya dibahas secara kasuistik yang berhubungan dengan kata ataupun konvensi guru lagu pada tembang macapat. Berdasarkan hasil penelitian terhadap unsur heuristik akan ditemukan sistem tanda yang ada dalam Serat Dewa Ruci yang kemudian dibaca secara hermeneutik. Dengan demikian pembacaan secara hermeneutik akan menyesuaikan dengan penemuan sistem tanda yang ada pada Serat Dewa Ruci. 1. Sistem Tanda dalam Serat Dewa Ruci Serat Dewa Ruci menyajikan hamparan tanda-tanda dan sistem tanda yang saling bertumpang tindih. Pemilahan dan pengelompokan tanda diperlukan agar setiap tanda dan sistem tanda yang ada semakin bisa diperdalam arti kehadirannya dalam keseluruhan serat Dewa Ruci. Hal ini dilakukan dengan mendasarkan kepada teori puisi dan teori semiotik Riffaterre sehingga pada tataran heuristik sistem tanda dalam Serat Dewa Ruci dikelompokkan berdasarkan kepada: 1. Sistem penamaan tokoh, 2. Latar Tempat Sebagai Latar Masalah, 3. Sistem Tanda dan Citraan. commit sesuai to userteori Riffaterre tentang puisi yaitu: 1. Di dalam setiap data yang dibahas juga dipahami 65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
Penggantian Arti (Metafora, personifikasi, sinekdoke), 2. Penyimpangan arti (paradoks, ambigu, kontradiksi, nonsense), 3. Penciptaan Arti (rima, enjabemen, tipografi, ekuivalensi). a. Sistem Penamaan Tokoh Salah satu sifat khas sistem tanda dalam sastra wayang terdapat dalam nama yang memiliki arti tertentu seperti tercermin dalam ungkapan Jawa asma kinarya japa. Orang Jawa menjadikan nama sebagai salah satu cara mengekspresikan diri, menyatakan diri
maupun
mengenali, baik itu di dalam kehidupan nyata maupun dalam sebuah karya fiksi termasuk dalam sastra wayang. Nama juga dipakai untuk menyampaikan ide, gagasan, maupun makna. Dengan pemahaman terhadap nama dari setiap tokoh yang memiliki peran dalam cerita sistem penamaan juga akan bisa dimunculkan. Secara paradigmatik terdapat banyak tokoh dalam cerita wayang namun pencipta cerita memilih tokoh-tokoh tertentu dengan peran yang tertentu pula dalam karya sastra yang dibuatnya. Tokoh dalam sastra wayang biasanya sudah dikenal secara akrab oleh pendengar atau pembacanya. Tiap-tiap tokoh wayang yang tampil dalam karya sastra wayang sudah dipahami karakteristiknya sehingga tinggal mengikuti jalan ceritanya melalui sistem tanda dan bangunan ceritanya. Apabila dikelompokkan berdasarkan kategori penokohan, sebagaimana yang dikemukakan dalam teori sastra yang dilihat dari keterkaitannya dengan keseluruhan atau sebagian dari struktur cerita, teks Serat Dewa Ruci ini memiliki tiga kategori. Pertama, tokoh sentral protagonis yang meliputi: Arya Sena, Drona, Dewa Ruci. Kedua, tokoh sentral-antagonis yang meliputi: Duryudana. Ketiga, tokoh tambahan yang meliputi : Rukmuka dan Rukmakala, Naga. Berikut ini analisis ketiga jenis tokoh tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
i. Arya Sena Arya Sena adalah tokoh protagonis dalam cerita wayang, yang juga dikenal dengan nama: Werkodara, Arya Sena, Bhimasena dan Bharatasena. Di dalam naskah Dewa Ruci yang menjadi objek penelitian nama Sena atau Arya Sena muncul pada: pupuh pertama Dandhanggula bait 2, bait 15, pupuh 1, pupuh 29 , pupuh 33 , sinom 9, sinom 16, dandhanggula 9. Juga muncul dengan nama lain Wrekodara pada pupuh dhandanggula bait 2, pelog bait 13, pelog bait 14, pelog bait 19, pelog bait 26, pupuh kelima dhandanggula bait 5. Dengan nama Raden Wrekudara pada pupuh pelog bait 15, arya bima pada pupuh dandhanggula bait 14, Gondanarpatmaja pada pupuh pelog bait 5, Wong Agung Jodhipati pada pupuh pelog bait 42, Bayuputra pada pupuh sinom bait 3, Sang Pancaretna pada pupuh dandhanggula bait 50. Bima dalam bahasa Sansekerta berarti „mengerikan‟, Werkodara berarti perut Srigala merujuk kepada kegemarannya makan, sedangkan Sena sebenarnya adalah nama dari seekor gajah yang membantu kelahiran Bima sehingga nama gajah tersebut sering disematkan juga kepada Bima. Bhimasena berarti panglima perang sedangkan Bharatasena bisa diartikan sebagai panglima dari wangsa Bharata. Menurut cerita Mahabharata, akibat kutukan dari seorang resi, Pandu tidak dapat menurunkan anak. Kunti istri Pandu berseru kepada Bayu dewa angin. Dari hubungan Kunti dengan Bayu lahirlah Bima. Bayu juga merupakan ayah dari Hanoman, tokoh kera dalam epos Ramayana yang menjadi tulang punggung kemenangan Rama atas Rahwana. Bima anak kedua dari Dewi Kunti setelah Yudhistira. Keluarga Pandawa dalam masyarakat Jawa dipahami sebagai keluarga yang berbudi luhur putra para Dewa. Disebutkan dalam Adiparwa bahwa ketika dewa Indra hendak menitis ke dunia Ia menemui Dewa Wisnu untuk diajak menyertainya menitis ke dunia, adapun pancandriya-nya akan menjelma kepada lima Pandawa. Bisa diartikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
bahwa Pandawa merupakan inkarnasi dari lima unsur Indra atau sering diungkapkan dengan bahasa lain panca indera. Mitologi Jawa menceritakan bahwa kelima Pandawa sesungguhnya adalah keturunan dari para dewa, yang menitis melalui pemujaan yang dilakukan oleh Dewi Kunthi dan Dewi Madrim dengan menggunakan ajian Konta Druwasa atau Konta Herdaya. Maka tidaklah mengherankan nama-nama tokoh, senjata, ilmu yang mereka miliki mengacu kepada nama-nama para Dewa tersebut. Yudhistira bergelar Darmaputra atau putra Bathara Darma. Bima bergelar Bayuputra yang artinya Putra Bathara Bayu. Arjuna bergelar Indratanaya, tanaya berarti juga anak maka indratanaya berarti anak Bathara Indra. Nakula dan Sadewa adalah putra Bathara Aswan dan Aswin. Dengan demikian kelima Pandawa dalam sastra wayang sering menjadi simbol kebaikan dan nilai-nilai keutamaan. Bertindak sebagai hulubalang atau penasihat atau kusir sekaligus pengayom Pandawa adalah Prabu Kresna yang merupakan penjelmaan Bathara Wisnu, sang Dewa Kebahagiaan. Pada usia remaja Bima dan saudara-saudaranya dididik dan dilatih dalam bidang militer oleh Drona. Dalam mempelajari senjata Bima lebih senang menggunakan gada, maka ia belajar kepada Baladewa saudara Kresna yang mahir menggunakan gada. Dianggap sebagai tokoh yang heroik dan dikenal sebagai tokoh Pandawa yang kuat bersifat selalu kasar dan menakutkan bagi musuh. Ia setia pada satu sikap yaitu tidak suka berbasa-basi dan tak pernah bersikap mendua serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri. Bima tokoh yang gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga ia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus ataupun duduk di depan lawan bicaranya, kecuali saat Bima bertemu dengan Dewa Ruci dan menjadi resi dalam lakon Bima Suci. Bisa dikatakan bahwa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
diantara tokoh protagonis yang ada di pihak Pandawa hanya Bima yang memiliki nafsu sangat besar baik amarah maupun aluwamah. Selain bersenjatakan gada Rujakpala, Bima juga memiliki senjata Kuku Pancanaka, Alugara, Bargawa dan Bargawasta. Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran yaitu: Gelung Pudaksategal, Pupuk jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, Ikat pinggang Nagabanda dan celana Cinde Udagara. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh atau kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, dan Sumping Surengpati. Bima digambarkan sebagai sosok yang tegas dan lugas kadang terkesan kasar. Ia seringkali menjadi pahlawan bagi keluarga dan saudara-saudaranya para Pandawa. Dalam peristiwa di Wanamarta atau biasa disebut Bale Sigala-Gala, Bima menyelamatkan Ibu dan saudara-saudaranya yang sangat mengantuk dan lelah sekaligus dibawanya melarikan diri lewat terowongan dari bale yang sedang terbakar. Di Hidimbawana Bima berhasil membunuh raksasa bernama Hidimba yang hendak menjadikan Ia dan keluarganya sebagai santapan. Saat Pandawa di kota Ekacakra Bima menghadapi raksasa Bakasura yang hendak menjadikan anggota keluarga seorang Brahmana yang telah berjasa kepada Pandawa sebagai santapan. Dalam perang Baharatayudha Bima berperan sebagai komandan tentara Pandawa. Ia berperang menggunakan gadanya. Pada hari yang terakhir dari perang Bharatayudha Bima berkelahi melawan Duryodana dengan adu senjata gada. Pertarungan berlangsung sengit dan lama sampai akhirnya Kresna mengingatkan Bima bahwa ia telah bersumpah akan mematahkan paha Duryodana. Seketika Bima mengayunkan gadanya ke arah paha Duryodana maka matilah Duryodana jiwa tamak dari Kurawa. Bima memakai kain motif poleng sama seperti yang dipakai para ponakawan. Sebagai ksatria hal ini memang tidak lazim sama tidak lazimnya dengan tatakrama Bima yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
digambarkan tidak mau berbahasa krama kepada siapa saja, kecuali untuk cerita tertentu, juga tidak duduk di depan siapa saja. Bima juga beristri seorang raksasa ialah Arimbi. Karakter Bima berkesesuaian dengan karakter individu yang dibutuhkan untuk mencapai pengalaman kesempurnaan berdasar karakter hubungan interpersonalnya yang istimewa dalam membela keluarganya. Bima tidak tergantung pada orang lain, bebas dari norma-norma budaya atau harapannya sehingga digambarkan dalam pewayangan Bima tidak bisa memakai bahasa krama. Karakter emosi Bima yang bebas dari rasa takut, melampaui ego pribadi sesuai dengan karakter yang ngudi kasampurnan. Bima atau Sena adalah metafor dari nilai-nilai ideal yang sebaiknya dimiliki oleh pencari kesempurnaan. ii. Drona Tokoh yang menjadi perantara Bima mencapai jalan kesempurnaan adalah Drona, maka perannya dalam serat ini dianggap penting, selain hubungannya dengan alur cerita juga dengan fungsi metaforis yang diperankannya. Di dalam Serat Dewa Ruci nama Dhang Yang Druna muncul pada pupuh dandhanggula bait 4, sinom bait 1, sinom bait 11, dandhanggula bait 26. Selain itu juga muncul dengan nama Resi Druna pada pupuh dandhanggula bait 8,bait 13. Di cerita wayang Jawa tokoh Drona sering berganti nama menjadi Durna, sedangkan Dur berarti buruk. Namun dalam kitab Mahabharata India tidak demikian adanya. Drona tidak berkonotasi buruk bahkan ia adalah pelindung dan petunjuk bagi Arjuna, murid yang paling dikasihinya. Drona dilahirkan dalam keluarga Brahmana (kaum pendeta Hindu). Ia merupakan putra dari pendeta Bharadwaja, lahir di kota yang sekarang disebut Dehradun (modifikasi dari kata dehradron, guci tanah liat). Kisah kelahiran Drona diceritakan sangat dramatis dalam Mahabharata. Pendeta Bharadwaja atau dalam versi Jawa Baratmadya pergi bersama rombongannya menuju sungai Gangga untuk melakukan penyucian diri. Di sana ia melihat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
bidadari yang sangat cantik datang untuk mandi. Sang pendeta dikuasai nafsu, menyebabkan keluarnya air mani yang sangat banyak. Ia menampung air mani tersebut ke dalam pot yang disebut drona, dan dari cairan tersebut jadilah Drona. Dalam versi Jawa Drona adalah putra dari pendeta Baratmadya dengan Dewi Kumbini. Ia mempunyai saudara seayah seibu bernama Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Nama lain dari Drona adalah: Dronacharya, Resi Drona, Begawan Drona, Durna. Di masa mudanya bernama Bambang Kumbayana. Drona menghabiskan masa mudanya dalam kemiskinan namun belajar agama dan militer bersma-sama dengan pangeran dari kerjaan Panchala bernama Sucitra yang akan berjuluk Drupada. Di masa kecilnya Drupada pernah berjanji akan memberikan setengah kerajaannya kepada Drona jika Drupada diangkat menjadi raja Panchala. Setelah dewasa teringat pada janji Panchala yang telah diangkat sebagai raja, Drona datang menghadap untuk meminta bantuan. Raja Drupada menolak untuk mengakui Drona sebagai temannya dan menghinanya dengan mengatakan bahwa ia adalah manusia rendah. Drupada berkata, “Persahabatan hanyalah mungkin jika terjadi antara dua orang dengan taraf hidup yang sama”. Ia akan memuaskan hati Drona apabila Drona mau meminta sedekah selayaknya para Brahmana daripada mengaku sebagai seorang teman. Kumbayana marah merasa dihina kemudian balas menghina Raja Drupada. Mahapatih Gandamana yang dulunya adalah patih di Hastinapura saat pemerintahan Pandu, menjadi murka dan menghajar Kumbayana dengan Aji Bandung Bondowoso (ajian yang diturunkan kepada murid tercintanya, Raden Bratasena atau Bima) sampai wajah Kumbayana menjadi rusak. Drona mendapat ilmu perang dari Parasurama saat Drona mendengar bahwa Parasurama mau memberikan pengetahuan yang dimilikinya kepada Brahmana, Ia mendatanginya. Sayangnya pada saat Drona datang Parasurama telah memberikan segala miliknya kepada commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
brahmana yang lain. karena tersentuh oleh kesanggupan hati Drona, Parasurama memutuskan untuk memberikan pengetahuannya tentang ilmu peperangan kepada Drona. Dalam wiracarita Mahabharata, Drona adalah guru para Korawa dan Pandawa. Saat mereka menyelesaikan pendidikannya Drona menyuruh mereka agar menangkap Raja Drupada yang memerintah kerajaan Pancala. Arjuna berhasil menangkap Drupada dan membawanya ke hadapan Drona. Drona mengambil separuh kekuasaan Drupada, dan mengembalikan separuhnya lagi. Dendam membara berganti menyala di dada Drupada, dengan sebuah upacara Ia memohon anugerah seorang putra yang akan membunuh Drona dan seorang putri yang akan menikahi Arjuna, lahirlah Drestyadumna yang membunuh Drona dalam Bharatayudha. Dalam salah satu kisah yang sangat populer di India maupun di pewayangan Jawa yaitu kisah Ekalaya, Drona menampakkan sifatnya yang diskriminatif. Ekalaya adalah seorang pangeran muda dari suku Nisadha yang datang kepada Drona untuk diajari ilmu memanah. Drona tidak mau mengajari karena sudah memiliki janji hanya akan mengajar keluarga Pandawa dan Kurawa dan juga karena Ekalaya tidak berasal dari kasta ksatria. Selain Ekalaya yang ditolak karena tidak berasal dari kasta ksatria Karna juga pernah ditolak oleh Drona saat ingin belajar kepadanya dengan alasan yang sama. Karena merasa terhina Karna belajar kepada Parasurama dengan menyamar sebagai Brahmana. Karna menjelma menjadi ksatria yang memiliki kemampuan memanah luar biasa hebat. Drona di dalam cerita wayang termasuk di dalam Serat Dewa Ruci seakan-akan sebagai karakter yang kontradiktif, antara mitra ataukah musuh Sena, sebagai Guru yang mengarahkan Sena ataukah Berkomplot dengan Kurawa? Di dalam teks pupuh pertama padha 14 tertulis: 14. dhungkarana ingkang wukir-wukir |jroning guwa jro panggonanira | tuhu hèr ning pawitrane | ing nguni-uni durung | ana kang wruh goning toyadi | trustha Sang Wrêkodhara | pamit awotsantun | mring Durna mring Suyudana | angandika sira Prabu Kurupati | yayi mas dèn prayitna ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
14. Carilah di gunung-gunung, di dalam gua-gua di situlah letaknya, air suci yang sesungguhnya, di masa lalu belum, ada yang tahu tempatnya, Arya Bima gembira hatinya, ia pun mohon diri sambil meyembah, kepada Druna dan Suyudana, Prabu di Ngastina suyudana berkata pelan, berhati-hatilah adikku Di masa lalu tidak ada yang tahu tentang letak air yang dicari Sena, lalu darimana Drona tahu letak air itu? Apakah Karena Drona telah mengalami sebelumnya? Terlepas dari peran dan perilaku yang digambarkan dalam beberapa cerita wayang yang telah diuraikan di atas, di dalam Serat Dewa Ruci peran Drona nampak sebagai tokoh protagonis. Drona menyampaikan kepada Bima tentang letak air suci itu dan ternyata benar-benar ada yang kemudian berhasil ditemukan oleh Bima. Berdasarkan data pada padha 14 di atas Drona mengetahui letak air suci tersebut bukan dari orang lain kecuali dari kesadarannya sendiri, dengan demikian pengetahuannya tersebut adalah hasil dari pemahaman atau pengalamannya sendiri, hasil pertemuan dengan Dewa Rucinya sendiri, yang artinya Drona telah memiliki kualitas sempurna yang tidak mungkin membela Kurawa. Bisa disimpulkan Drona adalah sosok yang telah mampu mengendalikan egonya untuk tidak berpihak kepada Pandawa secara langsung, ia berada di pihak Kurawa namun demi mendukung kemenangan Pandawa, pihak yang telah menemukan jatidirinya, pihak dimana murid-murid yang selalu dikasihinya berada. Drona dengan demikian adalah metafor dari kelapangan dada paripurna.
iii. Kresna Kresna adalah kusir atau sais kereta perang Harjuna, satria penengah Pandawa. Ia merupakan pengarah bagi Harjuna kemana arah langkah dan petunjuk keputusan bagi Harjuna di saat mengalami kebimbangan. Di dalam Serat Dewa Ruci disebutkan di pupuh pangkur padha 39-40: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
39. ngandika Narendra Krêsna | yayi prabu aywa sungkawèng galih | polahe arinirèku | Ki Arya Wrêkodhara | nadyan silih sêpuh yêktining pangapus | ing tingkah Kurawa cidra | dèn pasrah ing batharadi || 39. Kemudian Narendra Kresna berkata, Dinda Prabu janganlah bersedih hati, tingkah adik kita, Ki Arya Wrekudara, walaupun sebenarnya tipuan, oleh para Kurawa yang curang, serahkanlah saja kepada Dewata Yang Agung. 40. wong anêdya puruhita | ujar bêcik upama dèn alani | santosa ing bathara gung | ingkang nêdya bancana | môngsa wurung nêmu wêwalês ing pungkur | punagi ing aturira | marang Prabu Harimurti || 40. Orang yang ingin mengabdi, kata-kata yang baik misalkan dengan tujuan buruk (tetap dijalankan), yakin kepada Dewata Yang Agung, yang akan menjatuhkan bencana, kelak tentu akan mendapatkan balasan, lalu berkata prabu Yudhistira, kepada Prabu Harimurti.
Di saat Pandawa mengalami kebingungan mensikapi kenekatan Bima dan kecurigaan terhadap niat tulus guru Drona beserta Kurawa, Pandawa mengirimkan utusan kepada Sri Harimurti atau Kresna untuk meminta pendapatnya. Kresna menjadi tempat bertanya bagi para Pandawa dimana pendapatnya dianggap sebagai sumber kebenaran dan sumber pertimbangan. Kresna dalam cerita ini ditempatkan sebagai nilai kebenaran, khususnya nilai kebenaran Jawa. Di dalam peristiwa usaha Kurawa menjerumuskan Bima kepada kematian Kresna menuturkan agar berserah kepada Dewata Yang Agung dengan percaya adanya kuasa Dewata Yang Agung terhadap akibat dari perbuatan. Para Pandawa yang terdiri dari para satria sakti dan berilmu tinggi, termasuk Yudhistira yang adalah saudara tertua memiliki ilmu yang tinggi sehingga digambarkan sebagai putra Dewa Surya, ternyata masih “membutuhkan” Kresna untuk memahami situasi Bima. Kresna nampak sebagai sumber kebenaran, acuan nilai-nilai yang harus diikuti. Dipaparkan di Pupuh Durma padha 14-16: 14. samya gubêl nênuwun kang pangandika | Sang Prabu Harimurti | samya tinangisan | sira Narendra Krêsna | wus aywana kang prihatin | pan kadangira | nora tumêkèng pati || 14. Semua memohon dengan penuh iba, kepada Prabu Harimurti, dan semua menangis, berkatalah Sang Kresna, sudah jangan bersedih, bahwa adinda tidak sampai meninggal dunia. 15. malah antuk kanugrahaning jawata | besuk praptane suci | iya pan sinihan | de Sang Suksma Kawêkas | winênang aliru dhiri |commit raga bathara | putus ing tingal êning || to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
15. Bahkan sena akan mendapat pahala dari Dewata, nanti dia akan datang dengan kesucian, ia akan mendapatkan cinta kemuliaan, dari Hyang Suksma Kawekas, diizinkan berganti diri, menjadi Batara yang berhasil menatap dengan hening. 16. uwis padha maria aja sungkawa | enggar tyasira sami | sirna susahira | dene wau miyarsa | pangandika kang sayêkti | saking kang raka | nata ing Dwarawati || 16. Maka janganlah bersedih hati, gembirakanlah hati kalian, hilanglah rasa cemas mereka, setelah mendengar, penjelasan yang sebenarnya, dari kakanda Sang Prabu Kresna, Raja di Dwarawati.
Sekali lagi Kresna menjadi penolong bagi kebimbangan dan kesedihan Pandawa dalam menghadapi peristiwa kepergian Bima mencari Banyu suci . Nilai tentang sebab akibat atau sapa nandur bakal ngunduh, kesetimpalan antara usaha beserta rintangannya dengan hasil yang didapatkan, disampaikan oleh Kresna. Berdasarkan dua data dari teks Dewa Ruci nampak bahwa Kresna merupakan personifikasi dari nilai-nilai ideal Jawa, khususnya nilai spiritual.
iv. Dewa Ruci atau Anak Bajang Tokoh Dewa Ruci hanya muncul dalam satu kisah pewayangan saja ialah dalam Serat Dewa Ruci ini. Tokoh Dewa Ruci muncul dalam pupuh 5 dhandanggula pada 20, pupuh 5 dhandanggula pada 32, dan disebutkan juga dengan nama lain yaitu sang Wiku pada pupuh 5 dhandanggula pada 29. Penjelasan tentang Dewa Ruci terdapat pada pupuh 5 pada 20. Dewa dalam agama Hindu adalah pemilik kekuasaan atas satu anasir atau penguasa kekuatan tertentu yang melebihi manusia. Ruci berarti ringas atau gampang bernafsu. Masyarakat Jawa membagi alam semesta menjadi tiga tataran yaitu alam bawah (fana), alam tengah (antara), dan alam atas (abadi). Dewa tinggal di alam atas, ia bersifat abadi, atau selalu ada melekat dalam manusia. Digambarkan dalam serat Dewa Ruci pupuh Durma bait 17: 17. ya ta malih wuwusên Sang Wrêkodhara | nèng têlênging jaladri | sampun pinanggihan | awarni dewa bajang | pêparabe Dewaruci | lir lare dolan | ngandika têtanyaris ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
17. Kembali dikisahkan Sang Wrekudara, yang masih di tengah samudera, sudah bertemu, dengan Dewa berambut panjang, bernama Dewa Ruci, seperti anak kecil bermain-main, bicaranya jarang. Penggambaran Dewa sebagai anak kecil tidak pernah ada di dalam cerita wayang kecuali penggambaran terhadap Dewa Ruci, maka hal ini tentu perlu untuk menjadi perhatian. Orang dewasa tumbuh melekat pada perannya yang terspesialisasi dan pada akhirnya salah memahami identitas jatidirinya sendiri. Sosok palsu yang tidak utuh mengambil alih sehingga menjadi hanya tampang luar saja, sementara jiwa yang misterius dan kreatif yang dulunya dimiliki saat masih anak-anak menghilang. Tampang luar itu harus diretakkan dan melalui retakan itu orang dewasa akan dapat mengintip sebuah dunia yang lebih kaya dan lebih vital, disitulah anak-anak berada. Anak-anak menyingkapkan kepada kita identitas-identitas palsu kepada diri sendiri dan betapa bahagia bisa kembali berjumpa dengan diri kita sendiri itu. Perilaku yang kita munculkan dalam kejadian-kejadian bisa jadi adalah sifat-sifat kekanakan yang tak pernah terkonfrontasi dan yang sudah mencengkeram hidup kita tanpa pernah sepenuhnya kita sadari. Kita tumbuh ditulari oleh orangtua maupun para pendahulu, ditulari takut laba-laba, tabu seksual, perilaku terhadap makanan, properti, uang, ketakutan-ketakutan karena trauma orang tua kita,
kebiasaan-
kebiasaan. Seberapa besar individualitas kita yang sungguh-sungguh terselamatkan? Kita sering gagal tumbuh dan individualitas kita tenggelam dalam kepribadian yang bukan milik kita, sehingga kita hanya mengulang kebiasaan-kebiasaan yang ditularkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menjadi anak-anak adalah menjadi hadir dalam kekinian dan dalam kehadiran pada keadaan itu menjadi awal kesadaran. Mengada berarti secara aktif hadir pada saat sekarang dan bersentuhan secara utuh dengan apa yang ada di sini, saat ini. Kalau kita mengamati dengan sungguh-sungguh secara mendalam daun mangga yang sedang melambai-lambai ditiup angin maka kita menemukan kehadiran matahari dan bintang-bintang, karena tanpa kehadiran sinar dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
kehangatannya maka daun mangga tidak akan pernah ada. Kita menyadari bahwa kehadiran semua fenomena hanya mungkin karena adanya fenomena yang lain. Satu yang mengandung semua, dan semua terkandung di dalam yang satu. Pemilahan identitas manusia berdasar identitas profesi, disiplin ilmu, tingkat pendidikan, identitas jenis kelamin merangsang tumbuhnya reductive knowledge yang bekerja seperti orang buta memegang gajah: yang kebetulan memegang ekornya, berpendapat bahwa gajah adalah seperti tali, yang memegang kakinya berpendapat seperti tiang listrik, yang memegang belalainya menganggap gajah seperti selang besar. Demikianlah realitas dalam dunia manusia dewasa. Dewa Ruci adalah personifikasi dari nilai ketulusan dalam menjalani hidup sehingga dapat menemukan daya hidup (ringas), tanpa terjebak oleh identitas-identitas spasial, peranperan yang terspesialisasi. Totalitas kehadiran kepada kehidupan sehingga melahirkan kesadaran akan keluasan dunia dan hubungan-hubungannya. v. Duryudana Nama lain dari Duryudana adalah Suyodhana, Suyudana, Kurupati, Duryodana, Kurupati, gandarisuta, Drestaputra. Namanya muncul dalam teks Dewa Ruci pada pupuh 1 pada 8, pada 10, pada 11 dan pada 14. Juga pada pupuh 2 pada 25 dan pada 26. Pada pupuh 2 pada 32 namanya disebut oleh Bima dengan sebutan Kurupati. Dalam bahasa Sansekerta Duryodana berarti sulit ditaklukkan atau dapat pula berarti tidak terkalahkan. Saat Gandari hamil dalam jangka panjang yang tidak wajar, ia memukul-mukul kandungannya dalam keadaaan frustasi dan cemburu terhadap Kunti, yang telah memberikan Pandu tiga orang putra. Atas tindakannya Gandari melahirkan gumpalan daging berwarna keabuabuan. Kemudian Gandari memuja Byasa, seorang pertapa sakti, yang kemudian memberi berkah seratus orang anak kepada Gandari, dengan cara memotong daging tersebut menjadi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
seratus bagian dan memasukkannya ke dalam vat atau pot. Pot-pot tersebut ditanam selama setahun, yang setelahnya digali kembali. Dikeluarkanlah yang pertama Duryodana disusul adikadiknya yang lain. Ketika Duryudana dilahirkan dalam Adiparwa diceritakan disertai peristiwa alam yang menakutkan dan suara yang menyeramkan. Hal demikian dalam tradisi wayang dipahami sebagai pertanda bahwa orang tersebut kelak akan membawa kerusakan. Disebutkan juga bahwa dari keseratus Korawa, yang sembilan puluh sembilan merupakan titisan raksasa sedangkan Duryudana adalah inkarnasi Bathara Kali, dewa perusak. Tubuh Duryodana digambarkan terbuat dari petir, dan ia sangat kuat. Ia dihormati oleh adik-adiknya. Kepada Krepa, Drona, Baladewa ia berguru, ia menjadi sangat kuat dengan senjata gada seperti halnya Bima dipihak Pandawa. Duryudana adalah tokoh antagonis yang utama dalam wiracarita Mahabharata, musuh utama para Pandawa dan merupakan saudara tertua dari Korawa. Korawa merupakan titisan dari sembilan puluh sembilan raksasa putra Bathara Pulastya atau Pulasya. Raksasa sering juga disebut Gandarwa dalam bahasa Jawa, yang diasosiasikan berwujud menyeramkan dan memiliki perangai buruk. Duryudana karenanya memiliki identifikasi yang buruk dan didudukkan sebagai tokoh yang jahat, sombong dan serakah. Duryudana menikah dengan putri prabu Salya dan mempunyai putra bernama Laksmana. Duryudana di dalam semua cerita wayang baik India maupun di Jawa digambarkan sangat licik dan kejam, ia mudah terpengaruh hasutan karena tidak berfikir panjang dan terbiasa dimanja oleh kedua orangtuanya. Duryudana dekat dengan Sangkuni yaitu pamannya yang licik dan berlidah tajam, yang sekaligus merupakan penasehatnya. Drona dan saudara-saudaranya senang memulai pertengkaran dengan pihak Pandawa. Dalam perang Bharatayudha bendera keagungannya bergambar ular kobra. Di pupuh Dandhanggula pada 10 diceritakan: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
10. golong mangkono turira sami | Radèn Sudarma Surônggakara | anut rêmpêg samya ture | sira ta Sang Aprabu | Suyudana mênggahing galih | datan pati ngarsakna | ing cidranirèku | ragi kagagasing kadang | lagya eca gunêm Warkudara prapti | dumrojog manjing pura ||
10. Mereka (Kurawa) begitu sepakat, Raden Sumarma Suranggakara, menyetujui semua pembicaraan, demikianlah sifat Sang Prabu, Suyudana dalam hatinya, tidak begitu mempedulikan, tentang kecurangannya, bahkan terhadap saudara dekat sekalipun (Pandawa), ketika sedang asyiknya mereka bercakapcakap Wrekudara datang, terburu-buru masuk ke dalam istana. Dikatakan bahwa Kurawa menghalalkan cara-cara curang yang berarti mengingkari identitas mereka sebagai satria. Berdasarkan uraian di atas Duryudana dalam serat Dewa Ruci bisa dipastikan merupakan karakter antagonis atau buruk. Semua perbuatan, perkataan yang dilakukan oleh Duryudana dengan demikian bisa diartikan sebagai perbuatan dan perkataan yang berkonotasi negatif, yang biasa melekat pada tokoh antagonis. Duryudana khususnya dan Kurawa secara umum adalah personifikasi dari nafsu angkara murka dan kehendak untuk kuasa yang tidak pada tempatnya. Dengan demikian Duryudana dan Kurawa adalah antitesis dari Bima dan Pandawa. vi. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala Hampir dalam semua sastra wayang Jawa tokoh raksasa pasti muncul. Kebanyakan raksasa digambarkan sebagai sosok yang kejam, brangasan, namun sebenarnya ada juga tokoh raksasa yang memiliki sifat baik misalnya kumbakarna sebagai raksasa ksatria utama bahkan dalam Tripama karya Mangkunegara IV, disebutkan Kumbakarna menjadi tokoh yang patut ditiru, seorang nasionalis sejati. Prabu Sumali kakek dari Kumbakarna adalah raja Alengka, berwujud raksasa namun berwatak brahmana. Arimbi, istri Bima sendiri adalah raksasa yang telah berubah wujud yang cantik dan memiliki watak utama. Perbedaan antara para raksasa yang berwatak baik dengan para raksasa yang umumnya digambarkan berwatak buruk adalah tempat tinggal dan garis keturunannya. Raksasa berwatak buruk umumnya tinggal di hutan belantara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
dan tidak jelas asal keturunannya sedangkan raksasa berwatak baik digambarkan tinggal di istana dan memiliki darah keturunan dari tokoh yang juga punya sifat baik. Di dalam tulisan ini yang dimaksud raksasa adalah sosok yang berwatak buruk tersebut. Di dalam struktur wayang terkadang secara paradigmatik peran raksasa digantikan dengan satu jenis hewan salah satunya terdapat dalam cerita Ekalaya, atau bidadari yang cantik salah satunya dihadirkan saat Arjuna bertapa dalam serat Arjunawiwaha. Bima bertemu dengan Rukmuka dan Rukmakala, merupakan pertemuan ksatria dengan raksasa. Raksasa selalu digambarkan sebagai sosok yang tinggi besar serba kasar, sedangkan ksatria digambarkan sebagai sosok yang guwaya teja dan berbudi halus. Apabila dikategorisasikan pada tataran makhluk dalam pandangan budaya Jawa, raksasa dianggap memiliki tingkatan yang lebih rendah dibandingkan manusia atau ksatria. Dalam wujudnya raksasa terkadang mendekati wujud hewan buas dengan taring, mata menyeramkan, rambut tak tertata. Sering menjadi identifikasi peradaban rendah. Kata Bhuta berasal dari bahasa Jawa Kuna yang diadopsi dari bahasa sanskrit „bhuta‟ yang sering diasosiasikan sebagai kegelapan, rakus, tamak, jahat. Ditya berasal dari kata aditya yang artinya matahari (Mardiwarsito, 1990: 7-8). Kata „kala‟, selain diartikan raksasa, jahat, atau buruk juga diartikan waktu atau saat (Mardiwarsito, 1990: 260). Pertentangan antara ksatria dengan raksasa hanya bisa diatasi dengan adu tanding. Raksasa dalam cerita ini merupakan halangan yang harus dilewati oleh Bima dan bukan diposisikan sebagai musuh utama. Dalam cerita Dewa Ruci, kedua raksasa tidak dapat mati dengan cara seperti manusia mati. Keduanya hanya bisa mati ketika dibenturkan kepala keduanya sehingga mati bersamasama. Raksasa dalam cerita wayang seringkali digambarkan dengan cara yang sama yaitu kemampuannya untuk hidup kembali setelah mati. Hal ini bisa diartikan bahwa raksasa dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
cerita wayang bukanlah simbol dari peradaban manusia yang lebih rendah, atau rakyat biasa yang berbeda dengan ksatria. Raksasa digambarkan sebagai makhluk gaib yang immateriil. Bima dalam mengalahkan kedua raksasa dengan melakukan semedi, mengheningkan cipta, memohon petunjuk dari Kang Murbeng Jagad. Artinya dengan mengingat kepada kuasa Tuhan akan diberi kekuatan mengalahkan dua raksasa tersebut. Bila dilihat dari penggambaran fisik raksasa yang bertaring dan tingkah laku keberingasannya bisa disimpulkan bahwa raksasa paling mungkin adalah personifikasi dari nafsu hewaniah. Keharusan Bima mengalahkan kedua raksasa adalah syarat pertama untuk menemukan „banyu suci‟ yaitu mengalahkan nafsu hewaniah di dalam dirinya sendiri. Dua raksasa adalah gambaran dua lubang nafas, atau dua lubang hidung dimana dalam banyak kebudayaan dunia pengendalian nafas seringkali menjadi cara yang paling mula dari pengendalian nafsu. Di dalam bahasa Arab nafs (diri) berakar kata sama dengan nafsun (nafsu) dan nafas (nafas) vii. Bathara Bayu dan Bathara Surya Tokoh ini muncul dalam data pada pupuh pangkur pada ke-19. Keduanya muncul dalam cerita setelah dua raksasa, Rukmuka dan Rukmakala berhasil dikalahkan oleh Bima. Di dalam cerita wayang keduanya dikutuk oleh Bathara Guru karena tidak dapat mengendalikan nafsu atas kemolekan dan keseksian Dewi Wilutama. Bathara Indra dan Bathara Bayu harus menjalani tapa untuk menebus kesalahannya. Hidup mengembara di hutan Tikbrasara di lereng gunung Candramuka. 21. duk sira matèni ditya | iya ingsun karo jawata sami | kêna ing papa cintrèku | kang nampurnakkên sira | Endra Bayu araningsun kang satuhu | duk ditya Si Rukmakala | lawan Rukmuka ran mami ||
21. Kau ketika membunuh kedua raksasa itu, ya kami inilah dua raksasa itu, sebenarnya kami adalah dua dewa yang terkena marah Hyang Guru, akhirnya kau commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
yang melepaskan kesusahan kami, dengan cara membunuh kami, kau telah melepaskan kutukan itu dari kami, kami Sang Hyang Endra dan Bathara Bayu, sang Rukmakala dan Rukmuka nama kami. Bima telah melepaskan kutukan yang menimpa kedua Dewa. Bathara Bayu adalah penguasa angin atau udara. Menjadi simbol dari pengetahuan dihubungkan dengan bahwa udara ada dimana saja dalam kehidupan di jagad raya ini, yang artinya dia selalu ada bersama segala sesuatu yang ada. Bathara Indra adalah penguasa bumi. Menjadi simbol bagi kebenaran dihubungkan dengan kemampuannya memberi cahaya dan simbol sumber tenaga. Bima merupakan putra Bathara Bayu, ditunjukkan dengan penyebutan Bayutanaya (anak Bayu) dalam cerita wayang. Sekaligus Bima merupakan inkarnasi Indra, sebagai salah satu dari lima unsur Indra, sama seperti halnya Anoman. Bathara Indra dan Bathara Bayu dalam wujud raksasa berhasil dikalahkan oleh Bima karena Bima telah menguasai pemahaman tentang Bayu dan Indra, sebagai simbol pengetahuan utuh dan pemberi hidup. Menguasai kualitas Bathara Indra dan Bathara Bayu merupakan tahapan yang harus dilewati oleh seorang yang hendak menuju kesempurnaan, maka dengan mengalahkan Rukmuka dan Rukmakala hadirlah Bathara Indra dan Bathara Bayu kepada Bima sehingga didapatkanlah kepastian mengenai kebenaran tujuannya menuntut ngelmu kasampurnan sejati. Dikatakan oleh Bathara Indra dan Bathara Bayu pada pupuh Pangkur pada 22: 22. sira angulati toya | pituduhe Dhanyang Durna ing nguni | nyata na banyurip iku | tuture Rêsi Durna | nanging nora ing kene panggonanipun | sira balia atasnaatanya. | ênggone ingkang sayêkti ||
22. Kau mencari air (suci) melalui petunjuk Druna kepadamu, air itu nyata memang benar-benar ada, itulah sang air penghidupan, tetapi bukan disini tempatnya, kau kembalilah ke Astina, yang merupakan tempatnya yang nyata, Di Nagara Ngastina. Bisa disimpulkan bahwa Bathara Bayu dan Bathara Indra yang bertutur kepada Sena adalah metafor dari kesadaran dari Bima yang muncul setelah berhasil mengalahkan kedua raksasa yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
adalah nafsu angkara dalam diri Bima sendiri. Hanya dengan melampaui tahapan ini maka Bima memenuhi syarat untuk memasuki tahapan berikutnya dalam usahanya mencapai kesempurnaan. viii. Naga Tokoh Naga muncul dalam pupuh 5 pada 4, 5, 6 , 7, 8, 9, 10, dan pada 11. Tokoh Naga dalam sastra wayang terdapat beberapa misalnya Nagagini, penguasa di dasar Bumi, Nagasasra. Masyarakat Jawa membagi alam semesta menjadi tiga tataran yaitu alam bawah (fana), alam tengah (antara), dan alam atas (abadi). Naga biasa digambarkan hidup di alam bawah, di dasar bumi atau di dasar samudra, artinya Naga adalah makhluk fana. Pupuh Durma pada 7 menceritakan: 7. nêngah apan kasangsang kapulêt naga | angrês Sang Bayusiwi | wisane sang naga | tumampêk mukanira | kewran ing tyas nyipta mati | saya pinolah | ing naga mobat-mabit ||
7. Sesudah badannya dililit oleh tubuh ular naga itu, Sena merasa kecut hatinya, bisa sang naga, tersembur ke muka semua, kebingungan ia mengira akan cepat mati, semakin meronta sang naga semakin kuat lilitannya. Nampaknya Naga dalam Serat Dewa Ruci adalah tokoh yang menjadi penghalang yang harus dilewati bagi pencapaian tujuan Sena menemukan toya suci. Di dalam sastra wayang naga digolongkan sebagai makhluk bawah yang bertugas menjaga Bumi. Sebagai makhluk bawah naga sering kali dioposisikan dengan garuda sebagai makhluk atas. Naga seringkali digunakan sebagai identifikasi pujangga, sebagai sosok yang menguasai kebijaksanaan dan pengetahuan. Naga sering juga disebut dengan nama bhujangga yang artinya berbadan lengan. Bujangga dalam bahasa Jawa sering dilafalkan dengan pujangga. Naga dalam tradisi Mahabharata sering diasosiasikan dengan Varuna, dewa laut. Bima atau Sena, tokoh utama dalam cerita Dewa Ruci, memiliki anak bernama Antasena, perkawinannya dengan Dewi Urang Ayu yang adalah putra Sang Hyang Baruna atau Anantanaga atau Sang Hyang Basuki (Dewa berwujud naga). Basuki dalam bahasa Jawa berarti keselamatan. Sang Hyang Basuki dapat diasosiasikan dengan ilmu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
pengetahuan dan keselamatan. Jika demikian kenapa tokoh Naga justru hendak membunuh Sena? Di dalam cerita wayang pembunuhan bukanlah berarti adalah permusuhan, sama seperti halnya saat Sena membunuh raksasa namun justru dengan jalan tersebut Sena menemukan kesadaran. Pola yang sama nampaknya juga digunakan dalam peristiwa perlawanan dengan tokoh Naga. Pada pupuh Sinom pada 7 digambarkan jalannya Sena nampak seperti Naga. 7. sahira saking jro kutha | nulya sru manjing wanadri | tan kèsthi durgamèng ngawan | tan ana baya kaèksi | sagung wong têpiswiring | gawok ing pandulunipun | lampahe Arya Sena | lir naga krura ngajrihi | anrang baya amrih tuhuning ngagêsang ||
7. Semakin jauh dari dalam kota, sudah masuk kedalam hutan, tak terpikir olehnya, segala bahaya menghampiri, orang-orang yang ditinggal di perbatasan, semua heran mendengarnya, perjalanan Arya Sena, bagaikan naga yang sangat menakutkan, menantang bahaya agar tercapai tujuan hidupnya. Penggambaran ini menunjukkan bahwa di dalam diri Sena terdapat „naga‟. Kemenangan Sena atas naga dengan menggunakan kuku pancanaka (pupuh Pangkur pada 10) yang merupakan metafor dari kemampuan Sena dalam mengendalikan panca inderanya (tentang pancanaka akan diterangkan di bagian lain). 10. pôncanaka manjing awaking [a...][...waking] sang naga | tatas pating saluwir |rah mijil lir udan | abang toyèng samodra | sapandêlêng kanan kering | toya dadya rah | naga gêng wus ngêmasi ||
10. Kuku Pancanaka menancap di badan naga, langsung naga itu mati, darah keluar dengan deras, air laut memerah, tampak sepintas di kanan kiri, air bercampur darah, naga besar sudah mati. Naga di dalam diri Sena adalah egonya sendiri yang melilit seluruh dirinya dan harus dilepaskan dengan penguasaan panca indranya (pancanaka). Setelah mampu mengalahkan nafsu angkara di dalam diri Sena harus mampu melepaskan diri dari ego pribadi, yaitu kemampuan melepaskan diri dari ikatan-ikatan tradisional, melepaskan diri dari ke-aku-annya sehingga di dalam dirinya akan terisi kesadaran tentang Sang Hyang Tunggal. Tiada lagi sanak keluarga tiada lagi keinginan hidup kecuali dalam rangka menjalani identitas tunggal yang paling azali ialah sebagai makhluk ciptaan Sang Hyang Tunggal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
b. Latar Tempat Sebagai Latar Masalah Latar atau setting dalam sastra wayang meliputi aspek ruang, waktu, dan suasana terjadinya peristiwa. Latar dalam aspek ruang pada seni pedalangan sering ditampilkan dengan istilah jejer atau adegan. Dengan demikian kita mengenal jejer kerajaan, adegan paseban luar, adegan di pertapaan, di tengah hutan, di padepokan, di tengah samodra, di kahyangan, dan sebagainya. Aspek waktu dalam seni pedhalangan juga tercermin dari pembagian pathet yang menjadi dasar pembentukan alur lakon. Sedangkan dalam karya sastra wayang penampilan latar hanya dapat mengandalkan kepada kemahiran pengarang semata-mata karena tidak ada dukungan sarana lain lagi yang dapat diamati oleh pembaca selain tulisan yang dibacanya. Sengaja tidak kami bahas setting suasana yang terjadi maupun setting waktu secara khusus. Keduanya hanya akan dibahas bersamaan dengan tanda-tanda yang lain karena sifatnya yang hanya mendukung arti dari suatu tanda. Berbeda dengan setting tempat karena dalam wayang nama suatu tempat selalu memiliki arti dan biasa digunakan sebagai simbol, seperti dalam ungkapan asma kinarya japa. i. Hutan Tikbrasara Penyebutan hutan tidak banyak dilakukan oleh pencipta cerita Dewa Ruci. Kata Tikbrasara muncul dalam pupuh kesatu pada ke-13: 13. prênahipun kang hèr adi êning | Rêsi Durna mojar marang Sena | adhuh sutaningsun anggèr | ênggoning kang toya nung | pan ing wana Tikbrasarèki | turutên tuduh ingwang | sangêt pari kudu | nucèkakên badanira | ulatana soring Gôndamadanèki | ing wukir Côndramuka ||
13. Tempatnya air suci jernih, Resi Druna lirih kata-katanya kepada Sena, aduh anakku tercinta, air suci itu letaknya, berada di hutan Tikbrasarareki, ikutilah petunjukku, harus diperhatikan, air itu akan menyucikan dirimu, carilah itu di bawah Gandamadaneki, di gunung Candramuka.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 86
Tikbra secara denotatif berarti susah, prihatin, atau nesu banget „marah sekali‟. Sara dalam bahasa Jawa Kawi berarti jemparing, lalandhep, dadamel, lungid, pamales, putus. Namun sara dalam bahasa Jawa diartikan juga sangsara. Sangsara sendiri berarti siksa, papa, cilaka, kapambengan, sakit, eca (Winters, 1987:239). Kedua kata tersebut digabungkan menjadi satu kata yang dalam sistem bahasa Jawa disebut dengan kretabasa, ialah penggabungan dua kata atau lebih menjadi satu kata baru biasanya dengan menghilangkan sebagian kata. Kata tikbra dan sara keduanya memiliki arti yang sama ialah susah, prihatin, papa, sakit. Kata bentukan Tikbrasara dengan demikian merupakan penyangatan dari keprihatinan. Hal ini gayut dengan konsep laku dalam budaya Jawa yang selalu menghubungkannya dengan keprihatinan. Kata laku dan prihatin sering disandingkan sebagai pasangan yang tidak terpisah dalam frase: laku prihatin. Hutan Tikbrasara merupakan latar tempat dimana tokoh utama Bima harus menjalani laku prihatin. Di dalam hutan itu tinggal berbagai macam hewan dan berbagai jenis bunga, yang umumnya digunakan sebagai metafor dari nafsu (hewaniah) dan keindahan alam karunia Sang Pencipta. Hutan sendiri dalam cerita wayang merupakan salah satu tempat nenepi atau menjalani laku, tempat dimana manusia harus meninggalkan identitas-identitas politik dan sosialnya, hanya membawa dirinya sendiri. Dalam kebudayaan India raja-raja setelah menunjuk penggantinya akan memasuki hutan belantara untuk menjalani laku tapa madeg pandhita. Bisa disimpulkan hutan Tikbrasara merupakan metafor dari laku prihatin, nenepi yang harus dimasuki oleh seorang pencari kedamaian dan kesempurnaan. ii. Gunung Candramuka Simbol gunung muncul di pupuh kesatu pada ke-16. Tradisi Jawa mengenal gunung sebagai simbol tempat tinggi dimana Dewa-Dewa bersemayam. Gunung juga biasa menjadi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 87
tempat nenepi ialah mencari atau mencapai keheningan, konsentrasi, mengheningkan cipta dalam rangka mencari petunjuk Tuhan. Dalam proses nenepi atau nyepi pada dasarnya adalah proses pengambilan jarak dari kehidupan manusia dan juga dari identitas diri yang tidak substansi, termasuk peran sosial dan politik hanya dengan berbekal diri sendiri. Di gunung tinggallah dua raksasa yang kemudian berubah menjadi Bathara. Diterangkan: ngambah wukir sêngkan-sêngkan | anut bambing kapering lêmah miring | gêgêr mênggêr agra gugur | jurang rèjèng kaparang | angraganjang kèh ri sarywa lata lumung | myang enggar katiban warsa | sela ngapit marga supit || Artinya: memasuki gunung menanjak ,menjalani tanah miring, tanah membusung jadi runtuh, jurang curam terpotong, semua menjadi rata saja, dengan bahagia kedatangan hujan, sela batu menjadi jalan sempit.
Konsep gunung dalam teks dilengkapi dengan predikat tanah miring dan tanah membusung yang kemudian jadi rata diterjang. Gunung sebagai tempat tinggi dalam mencapainya penuh rintangan namun semua harus dihadapi dan Bima berhasil melampauinya. Unsur-unsur dalam teks yang memiliki ekuivalensi paling dekat dengan gunung adalah pencapaian Bima dalam usaha mendapatkan kasampurnan. Simbol jurang yang menjadi lawan kata dari tanah membusung/gunung juga muncul pada pupuh Pangkur pada 7 dan 8 dimana digambarkan „kidang‟ kidang, „andaka‟ kerbau dan „bujongga‟ ular besar terterjang jatuh ke dalam jurang. 7. gègèr saisining wana | de kang pôncawora prahara tarik | sato kabarasat mawur | gumyur sumyur wurahan | saking gênging ampuhan sato kabêntus | kidang-kidang matyèng jurang | tibèng parang angêmasi ||
7. Ramai seisi hutan, dimana sang Poncawara (Pandawa) membuat cepat jadi prahara, hewan terterjang bubar, hancur lebur jadinya, karena besarnya prahara hewan terbentur, kijang-kijang mati di jurang, jatuh hancur jadinya. 8. andaka kèh tibèng jurang | bujôngga gêng amrih mulêt ing uwit | rungkading wrêksa karangkut | lumajêng maring jurang | wau ingkang tapa-tapa anèng gunung | ajar-ajar kapêlajar | prabawa prahara gumrit ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
8. Kerbau banyak yang jatuh ke jurang, ular besar hanya menggeliat di pohon, kendurnya keinginan menjadi terjatuh, langsung masuk jurang, yang bertapa di gunung, para siswa terpelajar, terpengaruh keributan yang terjadi. Bahkan para ajar „siswa‟ terpengaruh oleh apa yang sedang dilakukan Bima. Bisa ditarik kesimpulan jurang merupakan simbol nilai-nilai rendah dimana hewan yang dekat maknanya dengan nafsu, misalnya dalam ungkapan nafsu hewaniah, terlempar ke dalamnya. Sehubungan dengan nama gunung Candramuka, Candra dalam bahasa kawi bersinonim dengan kata rembulan, marna, ngrupa, rengga, ngrumpaka, nganggit, warni „rembulan, mewajah, menata, menyusun, warna (Winters, 1987: 28 dan 137). Candra juga berarti crita kaananing maujud sarana pepindhan „cerita keadaan berwujud dengan sarana perumpamaan (Widada, 2001: 92). Muka berarti wajah, depan, pemimpin (Winters, 1987:158). Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan makna Candramuka hubungannya dengan serat dan makna Serat Dewa Ruci maka perlu dilakukan analisis secara sintagmatik, dicari hubungan yang memberi makna terhadap Candramuka dalam Serat Dewa Ruci. Berdasar pemaknaan yang telah dilakukan sebelumnya, Serat Dewa Ruci merupakan kisah laku prihatin Bima, maka candramuka berhubungan dengan hal tersebut memiliki makna menjaga wajah yang tertata bercahaya indah. Kebudayaan Jawa seperti halnya kebudayaan yang lain menjadikan air muka atau mimik wajah sebagai penggambaran keadaan rohani seseorang. Air muka yang tenang dan bercahaya menjadi tanda bahwa keadaan rohani seseorang juga tenang atau menep „mengendap‟ yang menandakan seseorang sudah mampu mengendalikan emosinya dari rasa takut, marah, congkak, maupun sedih. Seorang yang telah menguasai diri bisa dianggap sebagai orang yang telah dewasa. Selaras dengan arti gunung sebagai metafor dari peningkatan kualitas yang bisa dicapai, Candramuka menggambarkan hasil dari peningkatan kualitas tersebut ialah air muka yang tenang dan bercahaya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 89
iii. Samodra Tanda samodra muncul pada akhir pupuh keempat dan pada sebagian besar pupuh kelima, misalnya di pupuh empat pada 2: 2. ing samodra wiraganira lêgawa | banyu sumawut wêntis | mêlêg angganira | alun pan sumamburat | sumêmbur muka nampêktinampêki. | migêging ôngga | wakêt jôngga kang warih ||
2. Dalam samudera kegembiraannya tampak, air membasahi kaki, menyentuh tubuhnya, ombak menggelombang menampar wajahnya, dan bergerak-gerak menerpa badan, menyentuh lehernya. Kebudayaan Jawa melihat Samodra sebagai indentifikasi kemahaluasan, ketakterbatasan. Termasuk di dalamnya mitos tentang Nyi Roro Kidul di Laut Selatan sebagai „istri‟ dari raja Jawa di masa Mataram Baru merupakan simbol dari kemahaluasan yang harus dimiliki oleh seorang Raja Jawa. Kualitas Jiwa seorang raja harus mampu menerima segala bentuk dan keadaaan, momot saliring kahanan „memuat segala keadaan‟ seperti halnya samodra. Seorang yang bijak harus legawa atau berlapang dada, seluas samodra. Personifikasi kelapangan dada selalu menggunakan samodra dan tidak pernah memakai personifikasi daratan. Telenging samodra sejajar dengan istilah galih kangkung. Seorang raja harus bisa menggalih artinya berpikir sampai intinya yang immateriil seperti halnya batang tanaman kangkung yang bagian tengahnya kosong. Telenging samodra dengan demikian pada tataran spiritual juga bisa diartikan dengan cara yang sama yaitu inti dari segala keluasan. Di dalam keluasan samudra terdapat intinya ialah toya suci. Selain gunung samodra juga merupakan tempat nenepi, tempat menjauh dari kehidupan sosial beserta berbagai identitas yang menyertainya. Bisa dikatakan masuk ke samodra merupakan perulangan laku yang dilakukan oleh Bima sewaktu naik gunung Candramuka. Bedanya jika yang dihadapi di gunung adalah hewan-hewan dan raksasa yang merupakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 90
metafor dari nafsu hewaniah, sedangkan di samudra yang dihadapi adalah ular naga yang merupakan metafor dari ego yang tinggal di dalam diri. Tataran laku antara saat Bima menuju ke gunung Candramuka dengan menuju ke samodra bisa disimpulkan berbeda. Jika saat di gunung Candramuka Bima bertemu Bathara Indra dan Bayu masih dalam keadaan sadar, dan memperoleh kesadaran sedangkan di samodra saat bertemu dengan Dewa Ruci, Bima dalam keadaan pingsan „tak sadar diri‟ yang dalam budaya Jawa dianggap sebagai keadaan yang dialami seseorang dalam laku, dimana seseorang memasuki alam halus, seseorang akan kehilangan kesadaran kepada identitas pribadinya, dan yang ada hanyalah kekosongan. Dengan demikian samodra dalam serat Dewa Ruci bisa diartikan sebagai metafor dari keluasan pengetahuan yang di dalamnya terdapat ego, keinginan untuk mengaku, menguasai karena menganggap bahwa keluasan yang diarungi sebagai milik pribadi namun sesungguhnya tidak. Pengetahuan dan keluasan samodra adalah anugrah yang tidak boleh dianggap sebagai hak milik. c. Sistem Tanda Penunjuk Kualitas i. Pancanaka Di dalam serat Dewa Ruci pupuh Pangkur pada 10 digambarkan Bima berhasil mengalahkan Naga menggunakan kuku Pancanaka. 10. pôncanaka manjing awaking [a...][...waking] sang naga | tatas pating saluwir |rah mijil lir udan | abang toyèng samodra | sapandêlêng kanan kering | toya dadya rah | naga gêng wus ngêmasi ||
10. Kuku Pancanaka menancap di badan naga, langsung naga itu mati, darah keluar dengan deras, air laut memerah, tampak sepintas di kanan kiri, air bercampur darah, naga besar sudah mati. Sebagai tanda pancanaka tidak hanya hadir dalam cerita Dewa Ruci saja, namun muncul hampir di setiap kisah Bima. Bisa diartikan bahwa Bima selalu disertai oleh senjata berupa kuku pancanaka, karena Bima digambarkan sebagai tokoh yang selalu mampu mengendalikan panca commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 91
inderanya. Dalam proses laku pengendalian panca indera harus dilakukan. Setelah mengendalikan nafsu hanya dengan pengendalian panca indera maka manusia bisa mencapai tingkatan berikutnya dari proses nenepi yaitu mencapai pencerahan secara utuh. Bukan hanya terbebas dari keduniawian dengan terbebas dari nafsu namun juga mampu menggenggam pengetahuan dan kebijaksanaan. Bima dalam peristiwa ini dapat diasosiasikan sebagai tarak brata yaitu melalui pengendalaian panca indera dalam rangka memasuki dunia spiritual untuk mencapai kesempurnaan sejati. Bisa disimpulkan Pancanaka berarti kemampuan Bima mengelola panca inderanya sehingga tidak mengganggu tujuannya namun justru membantunya untuk membunuh naga. Keberhasilan Bima membunuh Naga diikuti dengan keadaan tidak sadar. Diistilahkan dalam kebudayaan Jawa dengan istilah layap-liyeping aluyup. Dengan mengorbankan naga dalam luasnya lautan pengetahuan setelahnya maka Bima berhasil menemui Dewa Ruci. Pengetahuan tersebut tentu hadir setelah disadari oleh Bima, sebagai pribadi, atau bisa dikatakan bahwa pengetahuan tinggal dalam diri Bima sendiri begitu juga Naga yang tinggal dalam luasnya pengetahuan tersebut tinggal dalam diri Bima juga. Dengan menguasai panca indera sepenuhnya maka akan terbunuh naga dalam diri. Apakah naga dalam diri tersebut? Pengetahuan dan kebijaksanaan yang dikuasai harus ditanggalkan sehingga ego terbunuh. Bisa diartikan naga adalah ego dalam diri yang hidup dalam alam sadar kita, yang hilang saat kita menyadari bahwa dalam keluasan yang kita ketahui, diri menjadi lebur. Hilanglah identitas manusia pada tataran titah hingga tinggal identitas terinti manusia yang abadi, identitas Ilahiah pada diri manusia. Laku mencari ngelmu kasampurnan dalam kebudayaan Jawa manusia harus mlaku dari alam materiil dengan mengendalikan diri (pancanaka) dan tidak tergantung padanya menuju alam halus, alam rohaniah. Dewa ruci merupakan aspek halus, identitas terkecil dari Bima itu sendiri commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 92
melihat dari kemiripan antara keduanya. Di dalam pagelaran wayang bentuk antara Bima dan Dewa Ruci juga mirip, yang membedakan hanya ukurannya. Dewa ruci sangat kecil sedangkan Bima tinggi besar. Jadi pancanaka adalah „kesaktian‟ yang dimiliki seseorang yang berhasil mengendalikan pancaindranya yang bisa digunakan untuk membunuh keakuan diri sehingga manusia lebur dan bisa memasuki alam halus, yang artinya juga mengenali hakikat diri. Pembunuhan keakuan merupakan syarat utama dari pencapaian tahap kasampurnan, dan justru keakuan yang melilit diri itu hanya akan membatasi dari keluasan yang ada. ii. Toya Suci Toya suci yang dicari Sena dalam serat Dewa Ruci disebutkan dengan berbagai nama yang berbeda-beda meskipun merujuk kepada konsep yang sama. Di pupuh dhandanggula padha 1: toya ingkang nucekake; padha 3: toya, padha 11: toya wening, padha 12: tirta pawitra sucining urip, padha 13: nirmala panggih wisesèng urip, padha 14: hèr adi êning, padha 15: banyu wening tirtamarta. Pupuh pangkur padha 1 tirta êning pamungkas, padha 5: toya ning; padha 11: toya, padha 17: toya, padha 18: banyu pawitra, padha 22:toya , padha 31: tirta êning, padha terakhir pupuh pangkur yaitu padha 44: sinoming warih. Pupuh sinom padha 1: toya urip, pupuh Durma padha 1: toya rèh tirtamarta, padha 12: tirta kang wruh ing tirta , dan padha 26: banyurip tirta êning. Meskipun terdapat variasi penyebutan di dalam teks namun semuanya mengacu kepada hal yang sama. Di setiap pada di awal pupuh terdapat penyebutan toya suci ini. Di dandhanggula pada 2: 2. Wrêkodhara duk puruhita mring | Dhanyang Durna kinèn ngupayaa | toya ingkang nucèkake | marang sariranipun | Wrêkodhara mantuk wêwarti | maring nagri Ngamarta | pamit kadang sêpuh | sira Prabu Yudhisthira | kang para ri sadaya nuju marêngi | anèng ngarsaning raka ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 93
2. Arya Sena ketika berguru kepada, Dhang Hyang Druna ia disuruh mencari, air yang mensucikan kepada badannya, Arya Sena alias Wrekudara pun pulang memberi kabar, ke negara Amarta, mohon pamit kepada saudara tua, beliau Prabu Yudhistira, Pupuh Pangkur padha 1: 1. lampahe Sang Wrêkodhara | lajêng ngambah praptanirèng wanadri | ririh ing rèh gandrung-gandrung | sukanirèng wardaya | tirta êning pamungkas wêkasing guru | tan nyipta bayaning marga | kacaryan kang dèn ulati || 1. Jalannya Arya Sena, lalu sampai di hutan gunung, hatinya sangat gembira, senang usahanya, akan menemukan air jernih yang dicari dari petunjuk gurunya, tak mengira bahaya yang ditempuhnya,tertarik pada yang dilihatnya.dan adik-adiknya semua, ketika kebetulan (mereka) di hadapan kakaknya. Pupuh Sinom padha 1: 1. ing tuduhe Dhanyang Durna | angulati toya urip | gone têlênging samodra | iku arsa sun lakoni | atur kang para ari | adhuh kangmas sampun-sampun | punika dede lamba | tan pantês dipun lampahi | duk miyarsa jêtung Prabu Yudhisthira || 1. Sesuai Petunjuk Dhang Hyang Druna, mencari air penghidupan, yang tempatnya di pusat samudera, itulah yang akan kucari, lalu berkatalah adik-adik Sena, duh kakanda jangan lakukan itu, itu bukanlah tugas, hal itu tidak patut dilaksanakan, mendengar itu diamlah Prabu Yudhistira. Pupuh Durma padha 1: 1. musthi ing tyasira Arya Wrêkodhara | ing baya tan kaèksi | yèn tan amanggiha | toya rèh tirtamarta | tan wrin palastra ing tasik | mangsah bêk pêjah | cancut gumrêgut manjing || 1 Maka sang Arya Wrekudara lalu memusatkan perhatiannya, tidak lagi memikirkan marabahaya, jika tidak menemukan, si air maya jernih tirtamarta, lebih baik mati di laut, menghampiri pastinya kematian, segera bersikap diri.
semua penyebutan atau nama tersebut bisa disimpulkan sebagai variasi karena di setiap konteks kalimatnya sama-sama sebagai benda yang dicari ialah air jernih pensuci diri. Variasi tersebut juga bisa dikatakan sebagai variasi penyebutan dari predikat benda yang dicari, berdasarkan sifatnya, atau berdasarkan manfaatnya, atau berdasarkan luasnya manfaat bagi seluruh kehidupan. Tentu saja tidak semua kata „banyu‟ sama dengan „banyu‟ yang dicari, sebagai misal air laut di pupuh Durma pada 10, bukanlah air yang dicari namun air sebagai latar kejadian. 10. pôncanaka manjing awaking [a...][...waking] sang naga | tatas pating saluwir |rah mijil lir udan | abang toyèng samodra | sapandêlêng kanan kering | toya dadya rah | naga gêng wus ngêmasi ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 94
10. Kuku Pancanaka menancap di badan naga, langsung naga itu mati, darah keluar dengan deras, air laut memerah, tampak sepintas di kanan kiri, air bercampur darah, naga besar sudah mati.
Pupuh kelima tembang dandhanggula yang merupakan pupuh terakhir Serat Dewa Ruci justru sama sekali tidak menyebutkan tentang air yang dicari, yang menjadi sebab perjalanan Bima atau menjadi sebab terjadinya peristiwa di dalam Serat Dewa Ruci. Di dalam pupuh kelima ini diuraikan oleh Dewa Ruci tentang hakikat dunia yang sebenarnya ada dalam diri Bima. 2. angandika malih Dewaruci | gêdhe êndi sira lawan jagad | kabèh iki saisine | kalawan gunungipun | samodrane alase sami | tan sêsak lumêbua | guwagarbaningsun | Wrêkodhara duk miyarsa | èsmu ajrih kumêl sandika turnèki | mènglèng Sang Rucidewa || 2. Dewa Ruci berkata lirih, besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera beserta semua isinya, tak sarat masuk, ke dalam tubuhku, Wrekudara setelah mendengar, agak takut menyatakan mau, berpalinglah Sang Dewa Ruci. 3. iki dalan talingan ngong kering | Wrêkodhara manjing sigra-sigra | wusa prapta ing jro garbane |Lebih satu suku kata: wus prapta ing jro garbane. andulu samodragung | tanpa têpi nglangut lumaris | lêyêp adoh katingal | Dewaruci nguwuh | hèh apa katon ing sira | dyan sumaur Sang Sena inggih atêbih | tan wontên katingalan || 3. Di dalam telingaku yang kiri, Wrekudara segera masuk telinga, sudah sampai di dalam tubuhnya, ia melihat laut luas, tanpa tepi jauh sekali ia berjalan, tampak jauh terlihat, Dewa Ruci berteriak, hai apa yang kau lihat, Arya Sena berkata bahwa tambah jauh, tak ada yang tampak. 7. Dewasuksmaruci ngandikaris | ingkang dhingin sira anon cahya | gumawang tan wruh arane | pôncamaya puniku | sajatine ing tyas sayêkti | pangarêping sarira | têgêse tyas iku | ingaranan muka sipat | kang anuntun marang sipat kang linuwih | kang sajatining sipat || 7. Sang Dewa Ruci berkata lagi, yang pertama kau lihat cahaya, menyala itu, bernama pancamaya sesungguhnya itu ada di dalam hatimu, itu yang memimpin dirimu, maksudnya hati itu, yang disebut mukasifat, yang menuntun kepada sifat, lebih merupakan sifat itu sendiri. 9. pan isining jagad amêpêktiamêpêki. | iya ati kang têlung prakara | pamurunge laku dene | kang bisa pisah iku | mêsthi bisa amor ing gaib | iku mungsuhe tapa | ati kang têtêlu | abang irêng kuning samya | ingkang nyêgah cipta karya kang lêstari | pamoring sukma mulya || 9. Isi dunia ini sudah lengkap, yaitu tiga hal hati, merupakan pendorong segala langkah, bila dapat memisahkan, tentu dapat menyatu dengan gaib, itu adalah musuh pendeta, hati yang tiga (curang), berwarna hitam merah kuning semua, menghalangi pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan sukma mulia. 16. marbudyèng rat Dewaruci angling | iya iku sajatining tunggal | saliring warna têgêse | iya ana sirèku | kabèh iki isining bumi | ginambar angganira | lawan jagad agung | jagad cilik nora beda | purwa ana lor kidul kulon puniki | wetan luhur myang ngandhap ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 95
16. Marbudyengrat berkata sang Dewa Ruci, itulah sesungguhnya yang disebut tunggal, semua warna itu artinya, sudah ada padamu, semua itu ialah isi dunia ini, digambarkan atas dirimu, dan dunia yang agung, jagad kecil tak berbeda, awal ada utara, selatan, barat, timur luhur di bawah.
Serat Dewa Ruci sebagai puisi meskipun bersifat konotatif namun tetap merupakan sebuah wacana sehingga tentu seharusnya bersifat koherensif. Artinya bagian akhir tentulah berhubungan dengan inti dari pencarian Sena terhadap toya suci yang selalu disebut di awal hampir setiap pupuh. Jawaban dari ditemukannya „toya‟ yang dicari, yang menjadi tujuan dari tokoh Bima. Bisa disimpulkan bahwa „toya‟ yang dicari adalah uraian pada pupuh terakhir tersebut. Dengan kata lain „toya‟ adalah metafora dari: kasampurnan yang bisa dicari dan pada akhirnya bisa dicapai oleh Bima, sehingga Bima tidak perlu lagi cemas menghadapi seluruh perjalanan hidupnya. Kesimpulan ini dikuatkan oleh awal cerita dimana Bima menyatakan akan mencari kesempurnaan, menyatu dengan Hyang Maha Suci di pupuh pertama padha 5: 5. Wrêkodhara miyarsa nauri | ingsun môngsa [mông...][...sa] kênaa dèn ampah | mati ya ngumurku dhewe | wong nêdya mrih pinutus | panunggale Hyang Maha Suci | Arya Sena saksana | kalepat sumêmprung | Sri Narendra Yudhisthira | miwah ari katiga ngungun tan sipi | lir tinêbak mong tuna || 5. Arya Sena mendengar itu lalu menjawab,aku tak mungkin dapat ditipu, matipun sudah jatahku, karena ingin mencari kesempurnaan, menyatu dengan Hyang Maha Suci, setelah berkata begitu, (Sena) lalu segera pergi, Sang Prabu Darmaputra, dan ketiga adiknya sangat heran (melihat sikap Sena) mereka merasa bagaikan akan kehilangan sesuatu.
Keterangan lebih jelas tentang air suci didapatkan dalam teks Dewa Ruci yaitu pada pupuh Durma bait 12. 12. dinuta tan uninga jatining lampah | tirtamarta mahêning | mapan tanpa ngarah | tirta kang wruh ing tirta | suksma-sinuksma mawingit | tangèh manggiha| yèn tan nugraha yêkti||
Artinya: Yang di utus tidak mengetahui hakekat tugasnya, Air Penghidupan Jernih, yang letaknya tanpa arah, air yang ada dalam air, suksma berjiwa penuh rahasia, tak mungkin ditemukan, bila tidak mendapat anugerah yang sebenarnya. Semacam ungkapan menggalih yang berarti berfikir sampai intinya, merujuk kepada galih pada kayu pohon, maka air yang ada dalam air, suksma berjiwa penuh rahasia mengacu kepada nilai esensial dari apa yang dicari oleh Bima. Sesuatu menjadi inti dari kejernihan. Di dalam commit yang to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 96
kebanyakan kebudayaan air seringkali menjadi simbol dari kesucian, kecerdasan atau kedewasaan termasuk di dalam budaya Jawa. Di dekat Trowulan, dari abad ke-15, ditemukan pahatan menampilkan cerita pembendungan laut susu. Di candi sukuh di lereng gunung Lawu diketahui adanya jaringan saluran air lengkap dengan pipa-pipa batu yang dahulu mestinya dipakai untuk “pembaptisan” jemaah. Di Bali para pedanda dewasa ini masih juga memakai air penyuci, dan Ch. Hooykaas memakai istilah agama air untuk agama Bali, tidak demikian halnya di Jawa. Meskipun mulai tidak menjadikan sebagai simbol khusus, dalam Islam Jawa tema air penyubur tidak lenyap begitu saja, beberapa masjid menjadikan air penyubur ciri arsitektur yang berdiri di tengah-tengah kolam. Tirta kang wruh ing tirta „air yang ada di dalam air‟ dipadankan dengan frase suksmasinuksma mawingit „suksma berjiwa penuh rahasia‟. Artinya toya yang dicari bukan sungguhsungguh berarti air secara materiil tapi air dalam arti lain yang bersifat immateriil. Tirta pawitra sari bisa disimpulkan sebagai metafor dari ajaran batin atau suksma yang paling rahasia, sehingga juga merupakan ajaran batin yang paling suci, yang dengannya manusia bisa melihat kehidupan ini secara jelas dan terang tanpa rasa takut dan was-was seperti digambarkan pada tokoh Bima yang sampai tak hendak kembali dan tetap ingin tinggal di telinga Dewa Ruci. d. Metafor terhadap Kelemahan Manusia i. Gua Simbol gua terdapat pada pupuh pertama pada ke-14. Meskipun gua bisa dikatakan sebagai tempat yang berpotensi menjadi setting tempat namun kedudukannya dalam serat Dewa Ruci lebih tepat didudukkan sebagai metafor karena gua dalam serat tidak menjadi salah satu tempat terjadinya peristiwa. Digambarkan dalam pupuh pangkur pada 10-11 bahwa kedua commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 97
raksasa Rukmuka dan Rukmakala tinggal dalam gua yang kemudian keluar karena mulut gua dibongkar oleh Bima. 10. munya gênthane kang muja | gugup dènnya nawurkên wangi-wangi | sari sugônda sumawur | wau ta lampahira | praptèng wukir Côndramuka guwanipun | binubak wukir dhinukir | sela siningsal atêbih ||
10. Berbunyi gentanya untuk memuja, gugup sambil menebarkan wewangian, bau harum tersebar, lihatlah langkahnya, sampai gua di gunung Condramuka, dibuka gunung dikeduk, batu dilempar menjauh. 11. wrêksa gêng-agêng kagêman | kaidêran balasah bosah-basih | prênahing toya rinuruh | dangu datan kapanggya | kawuwusa ditya kang wontên ing ngriku | Sang Rukmuka Rukmakala | kagyat dènira miyarsi ||
11. Keinginan besar ingin dicapai, sekitarnya porak-poranda, mencari tempatnya Air, lama tidak ditemukan, keluarlah raksasa yang tinggal di tempat itu, ialah sang Rukmuka dan Rukmakala, terkejut keduanya melihat keadaan. Goa sering menjadi simbol dari kegelapan dan berkonotasi negatif. Seseorang yang masih dalam kebodohan digambarkan sebagai orang yang tinggal di dalam goa. Bisa disimpulkan goa di sini merupakan metafor dari keadaan gelap, bodoh, dosa, dikutuk, tersembunyi. Artinya Raksasa Rukmuka dan Rukmakala adalah sosok penghuni di dalam kegelapan yang kemudian dibebaskan dari kegelapan itu oleh Bima. Rukmuka dan Rukmakala adalah nafsu yang bisa dikalahkan oleh Bima sendiri sehingga ia bisa ngluari „membebaskan‟ dari nafsu ragawi. Di tempat tinggi (gunung) yang umumnya berarti sebagai kesucian atau ketinggian nilai dan berkonotasi positif terdapat goa sebagai tanda yang berkonotasi negatif. Pola ini hampir sama dengan pola Durna di dalam Kurawa dan Naga di dalam samudra. Hal ini akan dibahas pada bagian tersendiri. ii. Masuk Telinga Bima tidak mengetahui apa sesungguhnya yang dia cari, sehingga tidak mengenali sosok yang ditemuinya di tengah laut, yang sesungguhnya adalah Dewa Ruci. Bima dengan duduk bersila meminta kasih, mohon diyakinkan tentang siapa sesungguhnya sosok yang ditemuinya itu. Bima merasa pengabdian diri kepada sang guru,tosama commit userseperti hewan hutan, yang tidak cukup
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 98
waspada kepada badan yang suci di hadapannya. Merasa lebih bodoh tolol dan penuh kelemahan di dunia, bagaikan tubuh keris yang tanpa kerangka. Pada pupuh keempat bait 32 dengan manis Sang Dewa Ruci menghibur Bima. Disambung perintah Dewa Ruci supaya Bima masuk tubuhnya melalui telinga pada pupuh kelima bait satu. Di balik tubuh mungil Dewa Ruci ditemuinya tempat tanpa batas, sunyi senyap. Di dalamnya Bima kehilangan arah. Situasi ini kerap kali menjadi gambaran dijalaninya suatu perjalanan batin oleh seseorang. Perjalanan batin itu biasa juga disebut sebagai jagad walikan. Kalimat masuklah ke dalam tubuhku, merupakan metafor dari jagad batin atau jagad walikan. 1. Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku, terkejut mendengar kata-katanya, Wrekudara tertawa, dengan terbahak-bahak, (katanya) tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, iya badan segunung, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin dapat masuk. 2. angandika malih Dewaruci | gêdhe êndi sira lawan jagad | kabèh iki saisine | kalawan gunungipun | samodrane alase sami | tan sêsak lumêbua | guwagarbaningsun | Wrêkodhara duk miyarsa | èsmu ajrih kumêl sandika turnèki | mènglèng Sang Rucidewa ||
2. Dewa Ruci berkata lirih, besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera beserta semua isinya ,tak sarat masuk, ke dalam tubuhku, Wrekudara setelah mendengar, agak takut menyatakan mau, berpalinglah Sang Dewa Ruci. 3. iki dalan talingan ngong kering | Wrêkodhara manjing sigra-sigra | wusa prapta ing jro garbane |Lebih satu suku kata: wus prapta ing jro garbane. andulu samodragung | tanpa têpi nglangut lumaris | lêyêp adoh katingal | Dewaruci nguwuh | hèh apa katon ing sira | dyan sumaur Sang Sena inggih atêbih | tan wontên katingalan ||
3. Di dalam telingaku yang kiri, Wrekudara segera masuk telinga, sudah sampai di dalam tubuhnya, ia melihat laut luas, tanpa tepi jauh sekali ia berjalan, tampak jauh terlihat, Dewa Ruci berteriak, hai apa yang kau lihat, Arya Sena berkata bahwa tambah jauh, tak ada yang tampak. Kebudayaan Jawa mengenal istilah jagad walikan artinya sesuatu dibalik dunia. Konsep ini sama dengan konsep nomena dibalik fenomena dalam filsafat phenomenologi, dalang dibalik kelir, makrokosmos dalam mikrokosmos. Bima memasuki jagad walikan ini melalui cara yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 99
irasional, dimana Bima harus memasuki tubuh Dewa Ruci melalui lubang telinga. Jagad walikan bukanlah jagad materiil yang harus dipahami dengan logika namun jagad walikan adalah jagad batin ada hanya dengan disadari, yang ada di dalam diri Bima sendiri atau dikenal juga dengan istilah mikrokosmos sementara dunia materiil disebut juga dengan dunia makrokosmos, yang keduanya adalah sama. Di dalam mikrokosmos tercermin yang makrokosmos melalui proses kesadaran, seperti diterangkan oleh serat Dewa Ruci di pupuh terakhir pada 2 s.d 4: 2. angandika malih Dewaruci | gêdhe êndi sira lawan jagad | kabèh iki saisine | kalawan gunungipun | samodrane alase sami | tan sêsak lumêbua | guwagarbaningsun | Wrêkodhara duk miyarsa | èsmu ajrih kumêl sandika turnèki | mènglèng Sang Rucidewa || 2. Dewa Ruci berkata lirih, besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera beserta semua isinya, tak sarat masuk, ke dalam tubuhku, Wrekudara setelah mendengar, agak takut menyatakan mau, berpalinglah Sang Dewa Ruci. 3. iki dalan talingan ngong kering | Wrêkodhara manjing sigra-sigra | wusa prapta ing jro garbane |Lebih satu suku kata: wus prapta ing jro garbane. andulu samodragung | tanpa têpi nglangut lumaris | lêyêp adoh katingal | Dewaruci nguwuh | hèh apa katon ing sira | dyan sumaur Sang Sena inggih atêbih | tan wontên katingalan || 3. Di dalam telingaku yang kiri, Wrekudara segera masuk telinga, sudah sampai di dalam tubuhnya, ia melihat laut luas, tanpa tepi jauh sekali ia berjalan, tampak jauh terlihat, Dewa Ruci berteriak, hai apa yang kau lihat, Arya Sena berkata bahwa tambah jauh, tak ada yang tampak. 4. awang-awang kang kula lampahi | uwung-uwung têbih tan kantênan |ulun saparanparane | tan mulat ing lor kidul | wetan kilèn datan udani | ing ngandhap nginggil ngarsa | kalawan ing pungkur | kawula botên uninga | langkung bingung ngandika Sang Dewaruci | aywa maras tyasira || 4. Langit luas yang kutempuh, langit yang sangat luas tanpa batas, aku pergi ke manamana, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah atas dan depan, serta di belakang, aku tidak tahu, bingung sekali sang Dewa Ruci berkata pelan, jangan takut tenangkan dirimu.
Dunia batin tiada mengenal arah dan tanpa mengenal batas, hal ini bisa dimengerti karena dunia batin tidak di dalam ruang dan waktu sehingga abadi selamanya, tidak mengenal mati (pupuh lima bait 35). Jagad di dalam tubuh Dewa Ruci sebagai gambaran dunia batin Bima sendiri dikuatkan dengan penjelasan pada bagian naskah berikutnya yang memilah antara badan luar sebagai wujud manusia sedangkan jiwa diumpamakan commit to userberada di dalam kaca tetapi bukanlah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 100
cermin itu sendiri. Raga yang terkendali akan mampu menyatu dengan batin sehingga manusia yang bisa melakukannya sudah seperti Bathara. 33. badan jaba wujud kita iki | badan jêro munggwing jroning kaca | ananging dudu pangilon | pangilon jroning kalbu | yèku wujud kita pribadi | cumithak jron panyipta | ngêrêmkên pandulu | luwih gêdhe barkahira | lamun janma wis gambuh lan badan batin | sasat srira bathara || 33. Badan luar wujud kita ini, jiwa berada di dalam kaca rupanya, tetapi bukan cermin, cermin di dalam kalbu, itulah wujud kita pribadi, tercetak dalam cipta, memejamkan mata, lebih besar berkahmu, jika manusia telah menyatu dengan badan dan jiwa, ia sudah seperti Bathara. 34. awit dening lamun anujoni | sapatêmon ing sacipta kita | janji samurwate bae | badan jêro puniku | yêkti bisa aminangkani | badan kadim punika | iya uga wujud | jroning manik ananira | dene rahsa uga kaperang dadya tri | kang dhingin rahsa jaba || 34.Oleh karena tanpa tujuan, ditemukan dalam pikiran kita, jika secukupnya saja, badan dalam ini, pasti bisa memenuhi, badan yang batin ini, juga bisa dipahami wujudnya, di dalam otak adanya, sedangkan rasa juga terbagi menjadi tiga, yang mula rasa luar. 35. rahsa jêro nulya rahsa kadim | rahsa jaba iya rahsa badan |dene rahsa jêro rêke | yèku rahsaning tutuk | rahsa kadim rahsaning ngimpi | nging kabèh iku samya | kawêngku Hyang Agung | têgêse kang langgêng gêsang | kang angajak turu mêlèk mênêng mosik | lan nindakna ambêkan || 35. Rasa dalam ialah rasa batin, rasa jaba ialah rasa badan, sedangkan rasa dalam jelasnya, yaitu rasa yang sampai, rsanya batin seperti mimpi, tetapi semua itu, dalam kuasa hyang Agung, artinya yang tidak mengenal mati, yang mengajak tidur jaga diam bergerak, dan bernafas.
Rasa terpilah menjadi tiga jenis ialah rasa dari luar, rasa hati dan rasa batin. Rasa luar adalah rasa yang ditangkap oleh pancaindra, berupa sakit di kulit atau geli, wangi yang terhirup oleh hidung, indahnya alam yang dilihat oleh mata, rasa pahit yang dicecap oleh lidah, terasa keras atau lirih, rasa hati berhubungan dengan perasaan, rasa sedih, gembira, marah, senang, merasa ingin. Rasa yang terakhir adalah rasa batin yang hanya terasa dalam pencerahan dari Hyang Agung. Jadi masuk telinga adalah sarana memasuki dunia batin, ngluari „membebaskan‟ dari kelemahan batin yang sering tidak awas „waspada‟ dengan cara mendengarkan hidupnya sendiri, memahami dan memaknai hidup, maka masuk telinga adalah sebuah sinekdoke, dimana telinga untuk menyebut keharusan berkhidmat terhadap hidup secara keseluruhan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 101
e. Sistem Tanda Penunjuk Proses i. “ing nguni-uni durung ana kang wruh goning toyadi” 14. dhungkarana ingkang wukir-wukir |jroning guwa jro panggonanira | tuhu hèr ning pawitrane | ing nguni-uni durung | ana kang wruh goning toyadi | trustha Sang Wrêkodhara | pamit awotsantun | mring Durna mring Suyudana | angandika sira Prabu Kurupati | yayi mas dèn prayitna ||
14. Carilah di gunung-gunung, di dalam gua-gua di situlah letaknya, air suci yang sesungguhnya, di masa lalu belum, ada yang tahu tempatnya, Arya Bima gembira hatinya, ia pun mohon diri sambil menyembah, kepada Druna dan Suyudana, Prabu di Ngastina suyudana berkata pelan, berhati-hatilah adikku Sebuah karya sastra menjadi lazim jika di dalamnya dituntut adanya kebaruan dibandingkan dengan karya sastra yang sebelumnya pernah ada. Kebaruan tersebut bisa berupa kesadaran baru ataupun kreasi baru dalam hal cara penyampaian sebuah nilai. Pengarang Serat Dewa Ruci nampaknya ingin menegaskan bahwa toyadi yang dicari oleh Sena, yang berarti juga toyadi yang akan didapatkan pemahamannya oleh pembaca dari serat tersebut adalah sesuatu yang baru yang „sebelumnya belum pernah ada yang mengetahuinya‟ dengan pernyataan Guru Drona: “ing nguni-uni durung ana kang wruh goning toyadi”. 8. andaka kèh tibèng jurang | bujôngga gêng amrih mulêt ing uwit | rungkading wrêksa karangkut | lumajêng maring jurang | wau ingkang tapa-tapa anèng gunung | ajar-ajar kapêlajar | prabawa prahara gumrit ||
8. Kerbau banyak yang jatuh ke jurang, ular besar hanya menggeliat di pohon, kendurnya keinginan menjadi terjatuh, langsung masuk jurang, yang bertapa di gunung, para siswa terpelajar, terpengaruh keributan yang terjadi. Hewan-hewan berkaki empat, bubar dan bahkan menjadi hancur lebur, terlempar ke jurang yang dalam, terterjang jalannya Sena yang mencari toya wening. Tidak hanya itu, para ajar, murid yang sedang bertapa mereka terpengaruh oeh keributan yang ada. Para ajar merujuk kepada murid pendeta dari ajaran sebelumnya, nampaknya merupakan metafor dari nilai-nilai masa lalu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 102
yang bahkan nasibnya hampir sama dengan para hewan, harus ikut disingkirkan. Kesimpulan ini dikuatkan lagi dengan tembang pangkur pada 9-10 yang isinya: 9. kêthu kathok kapalêsat | kuthetheran pathake pothar-pathir | rêrangkangan kèh mrêkungkung | sangêt katisên samya | tutup tangan cantrik manguyu kêplayu | dalancang mangsi kasingsal | ngungsi padesan gumriwis ||
9. Kethu celana terlempar, menggigil ketakutan berantakan, merangkak banyak yang bersembunyi, badannya menjadi dingin, menutup wajah dengan tangan para cantrik berlari, kethu sampai tertinggal, mengungsi ke desa sekitar. 10. munya gênthane kang muja | gugup dènnya nawurkên wangi-wangi | sari sugônda sumawur | wau ta lampahira | praptèng wukir Côndramuka guwanipun | binubak wukir dhinukir | sela siningsal atêbih ||
10. Berbunyi gentanya untuk memuja, gugup sambil menebarkan wewangian, bau harum tersebar, lihatlah langkahnya, sampai gua di gunung Condramuka, dibuka gunung dikeduk, batu dilempar menjauh. Pakaian yang dalam nilai Jawa dianggap sebagai harganing raga gumantung saka busana „nilai raga tergantung dari tata busana yang digunakan‟. Namun dalam pada ini digambarkan para ajar penutup kepala dan celananya terlempar, artinya sudah tidak memiliki nilai lagi. Para ajar adalah sebutan murid dari para pendeta yang ada sebelumnya, yang secara kesejarahan merupakan nilainilai Jawa di masa sebelum masuknya Islam. Dari hal ini bisa disimpulkan bahwa nilai-nilai masa lalu bermaksud ditinggalkan karena telah ada nilai baru dalam religiusitas, dan nilai baru ini sebagai pijakan proses perjalanan Bima untuk menempuh nilai-nilai baru. Dari pernyataan Drona “ing nguni-uni durung ana kang wruh goning toyadi” selain bisa diartikan sebagai sebuah metafor juga merupakan sebuah ambigu karena jika sebelumnya belum pernah ada yang mengetahuinya lalu darimana Drona bisa memberi petunjuk kepada Sena tentang adanya toyadi tersebut. Ambiguitas tersebut bisa terjawab dengan memposisikan Drona sebagai wakil dari pengarang, yang berdasarkan pengetahuannya telah mendahului kesadaran umum tentang adanya toyadi tersebut. Disini Drona mewakili peran pengarang yang serba tahu, yang berusaha menyampaikan kesadarannya tersebut melalui Serat Dewa Ruci yang disusunnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 103
ii. Metafora Perjalanan Lurus Bait enam pupuh pertama menyatakan bahwa dalam usaha Sena mencari toya wening, ia harus menempuh perjalanan. 6. tan winarna kang kari prihatin | kawuwusa lampahira Sena | tanpa wadya amung dhewe | mung bajra sindhung riwut | ambêbênêr murang ing margi | prahara munggèng ngarsa | gora rèh gumuruh | kagyat miris wong padesan | kang kaambah kang kapranggul dhodhok ajrih | andhêpès nêmbah-nêmbah || 6. Tak terkisahkan keadaan yang ditinggalkan dalam kesedihan,diceritakanlah perjalanan Sena, tanpa kawan hanya sendirian, hanyalah sang petir yang mengikutinya dari belakang, ia berjalan lurus menentang jalannya, angin topan yang menghadang di depan, terdengar gemuruh riuh, orang-orang desa bingung, yang bertemu di tengah jalan gemetar katakutan, menepi (sambil) menyembah.
Perjalanan yang harus ditempuh oleh Sena berdasarkan tempat tujuannya bisa dipilahkan menjadi dua yaitu hutan Tikbrasarareki dan pusat samudra. Perjalanan Sena dilakukan sendirian tanpa teman dengan lurus, menentang halangan alamiah berupa petir dan angin topan maupun nilai-nilai umumnya yang digambarkan dengan kebingungan orarng-orang desa juga sanak saudara yang melarangnya. Perjalanan Sena adalah perjalanan yang tidak perduli kepada nilainilai baku yang ada, ialah nilai keduniawian. Berupa keindahan duniawi yang dimetaforkan dengan gambaran bunga-bunga yang indah namun diabaikan saja oleh Sena, maupun nafsu duniawi yang dimetaforkan dengan terlemparnya hewan-hewan ke jurang karena perjalanan Sena. Juga nilai-nilai lama yang dimetaforkan dengan para terpelajar dan cantrik yang berlarian menghindari perjalanan Sena. Hal ini tercantum pada pupuh Pangkur bait 1 sampai dengan pada 10. 2. Pangkur. 1. lampahe Sang Wrêkodhara | lajêng ngambah praptanirèng wanadri | ririh ing rèh gandrung-gandrung | sukanirèng wardaya | tirta êning pamungkas wêkasing guru | tan nyipta bayaning marga | kacaryan kang dèn ulati ||
2. Pangkur. 1. Jalannya Arya Sena, lalu sampai di hutan gunung, hatinya sangat gembira, senang usahanya, akan menemukan air jernih yang dicari dari petunjuk gurunya, tak mengira bahaya yang ditempuhnya,tertarik pada yang dilihatnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 104
2. ngambah wukir sêngkan-sêngkan | anut bambing kapering lêmah miring | gêgêr mênggêr agra gugur | jurang rèjèng kaparang | angraganjang kèh ri sarywa lata lumung | myang enggar katiban warsa | sela ngapit [ngapi...][...t] marga supit ||
2. memasuki gunung menanjak , menjalani tanah miring, tanah membusung jadi runtuh, jurang curam terpotong, semua menjadi rata saja, dengan bahagia kedatangan hujan, sela batu menjadi jalan sempit. Sena digambarkan menghadapi tantangan dalam perjalanannya, gunung yang menanjak, juga tanah yang tidak rata namun tantangan itu tidak dikeluhkan dan Sena tetap meneruskan perjalanannya, seakan kedatangan hujan yang menyegarkan perjalanannya. Hal ini menunjukkan betapa besar tekad Sena. 3. kèksi kang pala kasimpar | pan kawarsan ing môngsa catur asri | panjrah pamêwah rum-arum | abra kang patra wijah | ambalasah bogêm banas capaka nul | angsana myang kanigara | wilaja lan gôndasuli ||
3. Tersingkir buah terhampar, dalam tahun di musim keempat yang asri, tersebar indah, indah seperti cahaya minyak, terhampar seperti untuk hidangan setan, angsana juga kanigara, tumbuhan wilaja dan tumbuhan gondasuli. 4. angglar ingkang anggrèk wulan | jônggawure araras wora-wari | argula mêkar lan mênur | anjrah gambir gambira | nagapuspa angsoka malathi tanjung | prabusètmata sridênta | lawan kananga kumuning ||
4. Terhampar anggrek bulan, jonggaruwe menyatu dengan tumbuhan wora-wari, tumbuhan argula sedang mekar dan menur, tersebar merah cerah , berbunga angsoka melati dan bunga tanjung, Prabusetmata Sridenta, dengan kenanga juga kemuning. 5. tumiling ili nut awan | kadya manambrama ingkang lumaris | bramara rèh nguswa lumung | anglir karunanira | ing kaswasih sangsaya margèng malat kung | Risang Gôndanarpatmaja | lênglêng ngulati toya ning ||
5. Nampak berjajar seperti awan, seperti menyambut yang sedang berjalan, kumbang beberapa menikmati musim semi, bagaikan sedang menangisimu, dalam welas asih semakin besar semakin bersungguh, sang Gondanarpatmaja, tetap hanya mencari toya ning. Tekad yang besar disambut alam raya dengan keindahan, berbagai jenis bunga dengan berbagai bentuk dan warna menemani perjalanan Sena. Menguarkan aroma yang menyegarkan dan menentramkan. Semuanya berjajar-jajar seperti awan menyambut Sena yang sedang dalam perjalanan mencari toya ning. Perjalanan Sena dalam penggambaran ini nampak seperti sebuah perjalanan suci, seperti halnya perjalanan para pertapa yang biasanya disekitarnya bertabur commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 105
berbagai bunga sebagai pemberi aroma. Perjalanan menuju kedamaian dan bukan perjalanan menuju peperangan. 6. surya mangrangsang lampahnya | kumyus ingkang riwe saengga warih | gumrêgut sangsaya sêngkut | enggaring kabaskaran | nêrang nunjang kasandhung sukuning gunung | wrêksa rug rêbah balasah | sora dhèdhèt erawati ||
6. sang surya merangsang jalannya, berlelehan keringatnya seperti air, ingin sesegera mungkin, mumpung diterangi matahari, menerjang menendhang kaki gunung, kayu tertabrak rebah roboh, keras suara langit campur angin. 7. gègèr saisining wana | de kang pôncawora prahara tarik | sato kabarasat mawur | gumyur sumyur wurahan | saking gênging ampuhan sato kabêntus | kidang-kidang matyèng jurang | tibèng parang angêmasi ||
7. Ramai seisi hutan, dimana sang Poncawara (Pandawa) membuat cepat jadi prahara, hewan terterjang bubar, hancur lebur jadinya, karena besarnya prahara hewan terbentur, kijang-kijang mati di jurang, jatuh hancur jadinya. 8. andaka kèh tibèng jurang | bujôngga gêng amrih mulêt ing uwit | rungkading wrêksa karangkut | lumajêng maring jurang | wau ingkang tapa-tapa anèng gunung | ajar-ajar kapêlajar | prabawa prahara gumrit ||
8. Kerbau banyak yang jatuh ke jurang, ular besar hanya menggeliat di pohon, kendurnya keinginan menjadi terjatuh, langsung masuk jurang, yang bertapa di gunung, para siswa terpelajar, terpengaruh keributan yang terjadi. Hewan-hewan berkaki empat, bubar dan bahkan menjadi hancur lebur, terlempar ke jurang yang dalam, terterjang jalannya Sena yang mencari toya wening. Tidak hanya itu, para ajar, murid yang sedang bertapa mereka terpengaruh oeh keributan yang ada. Metafor alam muncul pada pupuh pangkur bait 2 dan 3, dimana digambarkan bahwa dalam usaha sungguh-sungguh Sena menuju hutan Tikbrasara maka suasana semua nampak mudah dan alam nampak indah. Pada perjalanan Bima menuju samodra digambarkan juga perjalanan Bima disambut bunga-bunga yang bermekaran (pupuh sinom bait 8). 8. kayon katubing maruta | sumuking swaraniratri | kadya ngatag sêkar mêkar | samirana mawor riris | panjrahning sarwa sari | karirisan marbuk arum | jôngga kumuning sumyar | angsana pudhak kasilir | tinon kadya kang wêntis kesisan sinjang || 8. Pepohonan terhanyut oleh angin, cabang patah oleh angin yang bertiup, bagaikan memaksa bunga-bunga untuk mekar, angin bertiup, tersebar bunga serba indah, gerimis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 106
dengan semerbak harum, tampak kuning dengan leher yang bersinar, bunga pudak bergoyang-goyang, tampak bagaikan betis tertiup kain kebaya.
Saat Sena bersungguh-sungguh dan tiada ragu lagi dalam menempuh perjalanan alam raya akan menyambutnya dengan keindahan, namun harus juga ditinggalkan oeh Sena. Hewan muncul dalam pupuh pangkur bait 7 dan 8 dimana Sena sedang menuju ke hutan Tikbrasara. Digambarkan bahwa Bima dalam perjalanan banyak hewan yang mati dan bubar dari barisannya. Sedangkan pada pupuh Sinom bait 9 sampai bait 13 dimana digambarkan hewan-hewan berusaha mencegah atau mengganggu Sena menuju samodra. 9. sore subrataning driya | sahira saking nagari | canggèrètnong mawurahan | kadya nyapa ring sang brangti | mrak munya anèng wuri | barungan kang pêksi cucur | lir akèn awangsula | kidang wangsul saking ngarsi | kadya napu sruning sangsayèng wardaya || 9. Lain dari kesedihan yang dirasakan saudara-saudaranya, sejak kepergian dari negerinya, babi hutan gelisah, bagaikan menyapa kepada Arya Sena, merak bersuara dibelakangnya,bersahutan dengan burung cucur, seolah-olah menyuruh pulang, kijang pulang dari hadapannya,bagaikan memendam kesedihan yang mendalam. 10. rêsrês munya asauran | sayah kadya mituturi | bêbêluk darès lan wugan | anambêrnambêr wiyati | anglir ngalangi margi | wangsula [wang...][...sula] sang amalatkung | kongkang nèng rong lir rêntang | mawarah upaya sandi | endrasila tan wuk ing kartisampeka || 10. Capung bersuara bersahut-sahutan, seolah-olah seperti menjawab, burung hantu dan burung dares bersuara, menyambar-nyambar di udara, bagaikan mengahalangi jalan, kembalilah Sang Malat Kung, kodok di dalam liangnya, mengatakan bahwa itu hanya kecurangan, merupakan ulah orang-orang yang berbuat jahat. 11. diwasaning diwangkara | titi sonya têngah wêngi | kêdhasih munya timbangan | musthikèng ganeya muni | mangun onêng salwir ning | kadya mawarah mrih lampus | upaya Dhanyang Durna | tan tuhu amrih basuki | mawa komandaka durgamaning awan || 11. Pada waktu itu sang matahari tidak muncul, karena tengah malam, burung kedasih bersuara bersahutan, mustika ganeya pun bernyanyi, menciptakan dengung di sekitarnya, seolah-olah mengabarkan kematian, bahwa perintah Dhang Hyang Druna, tidak menuju keselamatan, dipenuhi dengan kata-kata yang penuh bahaya dalam perjalanan. 12. numinda sikarèng asta | ri ana sang hyang bayèki | anut ujunging aldaka | dènira lumaris aris | purwa ngimantarèki | sirat-sirat wus kadulu | wismane Hyang Baruna | panitihing jalanidhi | kèksi praba sang maharsi dipaningrat || 12. Kuku hiasan jari-jarinya, yang diperoleh dari Hyang Bayu,menuruni ujung gunung, dengan langkahnya pelan-pelan, dikawal awan putih, dari jauh kelihatan, tempat tinggal sang Dewa Haruna (Dewa Matahari), berjalan di atas air laut, tampak sorot Sang Maharesi Dipaningrat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 107
13. ana rikang paksi mijah | panyêngak cangak munyasri | sasmita kèn awangsula | risang kasangsarèng ragi | sata wana munyanjrit | wêwarah risang monêng kung | mangambah wana pringga | kongas têpining udadi | alun anrês gumulung anêmpuh parang || 13. Ada seekor burung yang tampak, bersuara keras dan bernyanyi-nyanyi, seolah memberi isyarat supaya lekas kembali, kepada yang menderita dalam perjalanan, hewanhewan hutan menjerit-jerit, memberi isyarat kepada yang sedang berduka, melewati hutan lebat berbahaya, tampak lah tepi laut, dan ombak bergulung-gulung menerpa karang.
Hewan dan alam nampaknya memiliki kesejajaran arti. Semua hewan terbunuh atau dikorbankan oleh Sena dalam perjalanannya kecuali seekor burung yang dalam cerita juga memberi peringatan agar Bima kembali saja, mengurungkan niatnya. Hewan berkaki empat dekat artinya dengan nafsu dan keburukan yang perlu dikekang atau disingkirkan. Burung, atau hewan berkaki dua justru sering menjadi penanda kabar-kabar baik atau buruk, sebagai penyampai pesan dari Sang Takdir. Burung Garuda misalnya menjadi simbol alam dewata. Sesungguhnya secara paradigmatik terdapat beberapa nama bagi Bima namun teks secara setia menggunakan nama Sena yang selain merupakan nama lain dari Wrekodara juga adalah nama hewan gajah. Hewan secara simbolis berarti nafsu, misalnya dalam ungkapan nafsu hewaniah. Artinya pada perjalanan awal Bima menuju gunung Candramuka
Bima masih
membawa identitas hewaniahnya. Perjalanan Bima menuju puncak gunung digambarkan hewanhewan terlempar dan berjatuhan ke jurang. Maka bisa diartikan bahwa perjalanan Bima ke puncak gunung adalah perjalanan untuk menanggalkan sifat-sifat hewaniahnya. Pada perjalanan Bima selanjutnya Bima lebih sering disebut dengan nama Wrekodara. Berdasarkan data-data yang ditemukan dan ditafsirkan, bisa disimpulkan bahwa perjalanan lurus Sena merupakan metafora dari proses menuju kebaikan meninggalkan keduniawian, baik itu yang berupa keindahan maupun nafsu hewaniah dan nilai-nilai lama.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 108
iii. Pancamaya dan Empat Warna Pada pupuh lima bait lima Wrekodara berada dalam keadaan tanpa arah yang kemudian ada sinar memancar sehingga ia tahu arah dan dilihatnya matahari sehingga merasa nyaman hatinya. 5. byar katingal ngadhêp Dewaruci | Wrêkodhara sang wiku kawangwang | umancur katon cahyane | nulya wruh ing lor kidul | wetan kilèn sampun kaèksi | nginggil miwah ing ngandhap | pan sampun kadulu | apan andulu baskara | eca tyase miwah sang wiku kakèksi. | anèng jagad walikan || 5. Tiba-tiba terang tampaklah Dewa Ruci, Wrekudara Sang Wiku, terlihat memancarkan sinar, kemudian ia tahu utara selatan, timur barat sudah tahu,di atas dan dibawah, juga sudah diketahui, kemudian terlihat matahari, nyaman rasa hati melihat, Sang Wiku di balik dunia ini.
Bait tujuh menerangkan bahwa sinar itu adalah pancamaya yang sesungguhnya itu ada di dalam hati Wrekodara sendiri yang harusnya memimpinnya. Maksud hati itu, yang disebut mukasifat yang menuntun kepada sifat manusia, dan bisa dikatakan merupakan sifat itu sendiri. Diperintahkan oleh Dewa Ruci agar Wrekodara memantapkan hati karena mata hati itulah yang sesungguhnya merupakan hakikat manusia. Mendengar penuturan demikian semakin nyaman Sang Sena, hatinya merasa tenang dan terang. Sena yang tengah berada di dalam jagad batin melihat aneka wujud cahaya yang jumlahnya dan empat warna, yang oleh Dewa Ruci dikatakan sebagai penghalang hati. 6. Dewaruci suksma angling malih | payo lumaku andêdulua | apa katon ing dhèwèke | Wrêkodhara umatur | wontên warni kawan prakawis | katingal ing kawula | sadaya kang wau | sampun datan katingalan | amung kawan prakawis ingkang kaèksi | irêng bang kuning pêthak || 6. Dewa Ruci berkata lirih, sambil berjalan lihat-lihatlah, apa yang tampak olehmu, Wrekudara menjawab, ada empat macam benda, yang tampak olehku, semua itu, sudah tampak, hanya empat warna yang dapat kulihat, hitam merah kuning dan putih.
Keempatnya merupakan gambaran empat tingkatan jiwa atau yang dinilai dari kemampuannya menguasai empat jenis nafsu. Digambarkan dengan empat warna: hitam, merah, kuning, dan putih sebagai simbol keadaan jiwa manusia itu sendiri. Pada dasarnya nafsu tidak bernilai negatif commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 109
kecuali jika tidak dikendalikan. Nafsu merupakan perangkat hidup manusia namun harus diletakkan pada tempatnya. Hal ini merupakan perulangan atau penerang dari peristiwa Sena sendiri saat menempuh perjalanan ke hutan Tikbrasara dimana Sena harus mampu mengendalikan nafsunya sendiri. Tingkatan pertama adalah cahaya hitam dalam ilmu sufisme merupakan perwujudan simbol dari nafsu amarah. Nafsu amarah jika tidak dikendalikan maka akalnya akan tertutup sehingga tidak dapat berfikir sehat. Pengendalian nafsu amarah harus dilakukan, yang di dalam teks pengendalian atasnya digambarkan harus dilakukan dengan laku, seperti Dewa Ruci yang hanya makan jika ada daun kering masuk ke mulutnya jika tidak maka harus berpuasa. Penggambaran tersebut sesuai dengan filosofi orang Jawa yang hidupnya hanya mengalir saja, mengikuti pergerakan kehidupan, tiada banyak rencana dan tiada banyak keinginan, hanya berpasrah diri kepada Tuhan Agung. Cahaya Merah adalah perwujudan dari nafsu Lawwamah yang menggambarkan keinginan memiliki untuk diri, atau hasrat berlebihan. Keinginan tersebut jika diumbar maka akan menimbulkan kerusakan. Segala sesuatu ingin dikuasai dan dimiliki, bahkan hal-hal yang tidak menjadi kebutuhannya. Nafsu lawwamah yang tidak terkendali bukan hanya merugikan orang lain namun juga diri sendiri. Setiap hal yang diletakkan tidak pada tempatnya akan berakibat buruk, termasuk menjadikan kita tidak waspada karena kesadarannya tertutupi. Nafsu luwwamah yang sesungguhnya adalah dorongan untuk memenuhi kebutuhan dan bukan memenuhi keinginan yang pasti tiada akan ada puasnya. Cahaya kuning menjadi simbol dari nafsu Sawwalah, yang menjadikan manusia melihat hal yang buruk sebagai hal yang baik karena dibutakan oleh kepentingan pribadi. Merupakan simbol dari ego manusia. Warna kuning bersifat ingin mengungguli yang lain, dengan tipu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 110
muslihat bahkan demi tercapainya ego pribadi, yang pada prakteknya bisa berupa nafsu seksual, nafsu kekuasaan, nafsu kenikmatan, ego sosial, keinginan dipuji dan dijadikan tuan bagi orang lain. Cahaya putih merupakan perwujudan dari nafsu muthmainah atau diri yang tenang. Putih berarti nyata, itulah hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu perwira dalam kedamaian. Hanya warna putih itu yang dapat menerima, akan firasat hakikat warna, merupakan tempat menerima anugrahnya, yang dapat melaksanakan, mengabdikan persatuan keinginan hati. Jika yang tiga lainnya merupakan musuh bagi diri, dan juga sangat banyak kawannya sedangkan yang berwarna putih hanya sendirian tanpa kawan, maka ia sering kalah. Jika dapat mengalahkan tiga hal yang merusak, maka akan terjadi persatuan makhluk dan pencipta (Dewa Ruci pupuh 5 bait 12-14). Pancamaya merupakan pengungkapan tentang nafsu manusia yang dimetaforkan dengan berbagai jenis cahaya. Nafsu manusia menurut pancamaya terdiri dari nafsu angkara murka berwarna hitam, hasrat berlebihan berwarna merah, ego yang digambarkan dengan warna kuning, dan nafsu muthmainah dimana manusia telah mencapai ketenangan diri. Jika bisa mengalahkan tiga nafsu yang pertama maka akan bertemu dengan Dewa Rucinya. Pancamaya merupakan hasil proses yang dialami oleh Bima f. Penciptaan Arti Melalui Susunan Pupuh Sebagai Susunan Alur Alur dalam sastra wayang merupakan jalinan peristiwa untuk mencapai efek tertentu. Alur dalam lakon wayang adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama melalui sanggit-sanggit yang mengarah pada klimaks dan penyelesaian cerita. Di dalam sastra wayang alur tersusun menurut pola dan kaidah yang berlaku, sedangkan dalam Serat Dewa Ruci pola atau kaidah tersebut tertuang dalam penggunaan pupuh. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 111
Tembang Macapat memiliki konvensi bentuk tertentu dan lagu tertentu yang biasa disebut: guru gatra, guru wilangan dan guru lagu. Guru gatra ialah jumlah baris dalam setiap pada yang tertentu jumlahnya, guru wilangan ialah jumlah suku kata tertentu setiap gatra, dan setiap gatra diakhiri dengan huruf hidup tertentu pula yang biasa disebut guru lagu. Setiap metrum ditempeli karakter atau sifat tertentu. Kumpulaning tembang sawarna disebut pupuh (Widada, 2001:643), kumpulan tembang satu metrum yang jumlahnya bisa beberapa pada „bait‟. Jenis pupuh dengan demikian juga sama dengan jenis metrum tembang ialah sebelas: Pupuh Maskumambang, pupuh Mijil, pupuh Sinom, pupuh Kinanthi, pupuh Pangkur, pupuh Asmaradana, pupuh Durma, pupuh Dhandanggula, pupuh Gambuh, pupuh Megatruh, dan pupuh Pocung. Pupuh dengan kandungan karakter yang khas sekaligus juga merupakan pembagian tahapan cerita yang dimaksudkan oleh pengarang. SDR menghadirkan lima pupuh dengan pupuh pertama dan terakhir menggunakan metrum yang sama sehingga terdiri dari empat jenis metrum. i). Pupuh Dandhanggula Berisi 16 Bait Pupuh pertama berupa tembang dandhanggula yang menurut konvensi sifat metrum dandhanggula luwes, manis, serba cocok untuk suasana apa saja. Biasa digunakan untuk memberi nasehat, mengungkapkan rasa sedih di permulaan gendhing maupun di akhir gending sebgai penutup, dengan sasmita sarkara, hartati, dhandang, dhandanggula, madu, sari, manis, bremana, guladrawa, gagak, kaga, tresna. Mengandung rasa optimis terhadap kehidupan, tidak berburuk sangka terhadapnya karena hidup adalah rangkaian sebab akibat yang sudah tertata rapi, dan manusia yang baik harus bisa berjalan menurut aturan-aturan, hukum-hukum yang ada dan menjalani kesemestian. Pada pupuh Dhandanggula SDR ini berisi pengenalan masalah dimulai dari peristiwa di kerajaan Astina, Bima bertemu Drona diberi perintah untuk mencari air suci yang bisa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 112
menyucikan tubuh atau nafsu. Adegan berikutnya Bima meminta ijin kepada keluarganya di Amarta, walaupun dilarang namun Bima tetap menjalankan niatnya. Kembali menghadap Drona bima diberitahu tempat dari air suci ialah di hutan Tikbraskara. Berangkatlah Bima diiringi tawa yang disembunyikan dari para Kurawa karena sebenarnya mencari air suci adalah cara mereka mencelakai Bima. ii). Pupuh Pangkur berisi 44 bait Pupuh kedua berupa tembang pangkur yang menurut konvensi sifatnya tegang, mantap atau serius dan biasa digunakan untuk memberi peringatan agar tidak lupa diri. Menggunakan sasmita: pangkur, wuntat, pungkur, yudakenaka, ungkur, wuri, kur. Mengandung ajaran nilai kehidupan yang penuh kefanaan yang hendaknya manusia tidak terikat kepadanya sehingga manusia bisa berwatak samadya, „secukupnya, jujur kepada keadaan‟. Keterikatan kepada dunia akan membuat hati kurang peka dan dapat lupa diri. Pada pupuh pangkur SDR berisi rintangan pertama yang harus dihadapi tokoh utama. Diawali cerita tentang Bima sampai ke gunung hutan Tibraksara. Bima mengagumi keindahan alam hutan tikbraskara namun karena ingin segera menemukan air suci dengan tergesa bima membongkar hutan yang dikaguminya. Dari dalam gua muncullah dua raksasa: Rukmuka dan Rukmakala. Setelah peperangan kedua raksasa mati dan musnah, yang ternyata mereka berubah menjadi Bathara Indra dan Bathara Bayu, yang kemudian memberikan pencerahan bahwa air suci yang dicari tidak ada di tempat itu. Bima kembali ke astina dan bertemu dengan Drona. Dia menanyakan dimana sebenarnya air suci, dan dijawab bahwa air suci sebenarnya tidak ada di hutan Tikbraskara, perintah itu hanyalah ujian seberapa Bima taat kepada gurunya. ditunjukkanlah bahwa air suci itu adanya di telenging samudra „pusat samudra‟. Bima mohon commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 113
pamit kepada gurunya dan kemudian menuju Amerta. Untuk kedua kalinya Bima bertemu keluarganya untuk mohon pamit. iii). Pupuh Sinom berisi 18 bait Pupuh ketiga berupa tembang sinom yang menurut konvensi memiliki watak sabar, sederhana, sabar, ramah dan gigih, digunakan untuk memberi nasehat, mengungkapkan rasa susah, namun tetap meneruskan usaha. Sasmita yang digunakan kata: sinom, taruna, anom, weni, sri, nata, pamse, logondrang, rema, pangrawit, mudha, nom, ron kamal, weni, anjani putra. Mengandung arti muda, suatu masa penuh semangat, perjuangan, mengejar cita-cita dan ilmu untuk bekal menghadapi tanggungjawab yang lebih besar di usia dewasa. Pupuh ini berisi rasa senang keluarga pandawa, Bima berpamitan kepada Keluarganya, adegan usaha menghalang-halangi terjadi lagi, namun kali ini ada Kresna yang menenangkan Pandawa bahwa kepergian Bima tidak akan membuatnya celaka justru akan membuatnya lebih kuat dari sebelumnya. Perjalanan Bima menuju samodra diiringi kesedihan alam dan hewan yang dilewatinya. Pupuh ini selain menyampaikan perjuangan Bima menghadapi masalah pertama juga berisi pengenalan masalah kedua ialah perjalanan tengah malam yang harus ditempuh Bima menuju samudera disambut suara ombak bagaikan suara peperangan, sampailah Bima di tepi samodra. Awalnya ia merasa ragu-ragu namun lama-kelamaan kesedihan hatinya terkikis, dan meneguhkan niat, masuklah ia ke dalam samudra. iv). Pupuh Durma berisi 32 bait Pupuh keempat berupa tembang Durma yang menurut konvensi memiliki watak galak, marah, biasa digunakan untuk menyampaikan kisah peperangan, atau orang yang sedang marah dan menantang. Menggunakan sasmita kata: dur, durma. Mengandung arti hidup harus mau commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 114
menghadapi masalah yang silih berganti, hambatan, gangguan, dan cobaan adalah suatu yang harus dialami sehingga tidak benar jika manusia berputus asa. Pupuh keempat berisi Bima memasuki samudra dengan segala mara bahayanya yang sudah dilupakannya. Ia memakai ilmu jalasengara untuk menyibak air samudra. Datanglah naga besar melilit dan menyemburkan bisa. Dalam kelelahan Bima menusukkan kuku Pancanaka ke tubuh naga, matilah ia sang Naga. Diselingi kisah kesedihan keluarga Pandawa karena khawatir akan keselamatan Bima, mereka dihibur oleh Kresna bahwa Bima tidak akan apa dan justru akan menjadi Bathara jika berhasil melewati perjalanan mencari air suci. Hadirlah kepada Bima sosok kecil, yang seperti bermain-main di tengah samodra, tanpa makanan tanpa pakaian. dewa ruci memaparkan hakikat berguru sehingga tahulah bima bahwa sosok kecil di tengah samodra ini bukanlah sosok sembarangan, ternyata ialah sang amarbudyengrat, Dewa Ruci. v). Pupuh dandhanggula berisi 55 bait Pupuh kelima berupa tembang dandhanggula sama seperti pupuh pertama. Tembang dandhanggula memang biasa digunakan sebagai pembuka dan penutup rangkaian pupuh dalam serat Jawa, hal ini sesuai dengan watak tembang dandhanggula yang netral. Nampaknya pupuh kelima Dhandhanggula yang berupa penjabaran dari Dewa Ruci kepada Sena sesungguhnya hanyalah penjelasan dari perjalanan Sena sendiri yang dikisahkan dari pupuh satu sampai empat. Isi dari pupuh yang kelima ini menceritakan saat Bima memasuki telinga Dewa Ruci, sehingga mengalami pengalaman tanpa arah, tanpa batas. Muncullah dewa ruci yang menjadikan Bima memancarkan sinar menerangi sekitar sehingga semua nampak dan arah menjadi jelas. Sinar merupakan simbol hadirnya kesadaran. Bima menyadari ada sang Wiku dibalik segala fenomena ini. Selanjutnya berisi hakikat diri, hakikat jagad raya, hambatan penyatuan Khalik commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 115
dan makhluk, rasa, nafas, keberanian untuk mati. Kemudian Bima pulang ke Amerta, kembali bertemu dengan saudara-saudara, disambut pestan karena Wrekodara pulang dengan selamat. Pertunjukan wayang yang satu dengan yang lainnya secara umum terdiri dari struktur dasar yang sama. Adegan pertama disebut jejer, biasa berlangsung di keraton raja pihak kanan (baik), disusul kemudian menteri atau salah seorang utusan menyampaikan berita buruk. Adegan berikutnya perang ampyak, prajurit yang berangkat melewati hutan rimba untuk menghadapi musuh. Adegan jejer sabrangan menggambarkan pihak kiri di paseban mempersiapkan militernya. Terjadilah gara-gara dimana keseimbangan kosmos terganggu dan bencana besar menimpa, sehingga seorang tokoh kanan memutuskan menyepi diikuti hamba dan punokawan masuk hutan. Jauh di dalam hutan rombongan kecil berjumpa dengan seorang pertapa (resi) disebut adegan jejer pandhita. Tokoh pahlawan lalu pulang dan di perjalanan menghadapi raksasa-raksasa yang mencoba menghalangi perjalanannya, disebut adegan wana.
Perang
kembang terjadi setelah tokoh pahlawan kembali kepihak kanan dan menghadapi musuh. Perang ageng menjadi tanda keberhasilan pihak kanan menghadapi masalah yang ada. Karya sastra wayang purwa ataupun dalam praktik pakeliran, alur lakon biasanya tidak seketat pakem di atas. Ada beberapa adegan yang tidak ditampilkan berdasarkan pertimbangan tertentu, antara lain karena terbatasnya waktu, sedangkan lakonnya cukup panjang baik dalam pagelaran wayang maupun dalam sastra wayang. Pakem wayang hanyalah sebagai pedoman saja dan jarang dipenuhi secara lengkap. Struktur alur dalam lakon paling tidak terdiri dari tiga komponen yaitu introduksi, situasi, dan resolusi. Melalui introduksi cerita pembaca diharapkan mendapat gambaran selintas tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Situasi mengungkapkan tahap-tahap peristiwa dengan berbagai konflik sampai mencapai klimaksnya. Dalam situasi sudah dapat dilihat tokoh-tokoh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 116
mana yang tergolong protagonis dan mana yang antagonis. Resolusi memaparkan tegangan yang mulai mengendor setelah melalui berbagai konflik dan menuju penyelesaian. Setiap pupuh dalam Cerita Wayang Dewa Ruci mempunyai fungsi khusus atau sifat khusus jika dilihat dari adanya sub-tema yang berbeda di setiap pupuh dan perubahan peristiwa juga setting tempat pada setiap pergantian pupuh. Dengan demikian runtutan cerita Bima mencari Banyu Pawitrasari berdasar pembagian pupuh bisa dipilah menjadi: Pupuh 1) Pengenalan masalah ialah keinginan Bima mendapat ilmu kasampurnan sekaligus upaya Kurawa mencelakai Bima, pupuh 2) Bima menghadapi rintangan pertama ialah raksasa Rukmuka dan Rukmakala, pupuh 3) Bima selamat dan menghadap kembali kepada Drona sehingga membuat para Kurawa terkejut, pupuh 4) Bima menghadapi rintangan kedua ialah Naga di tengah samudera, pupuh 5) Bima bertemu Dewa Ruci dan mendapat wejangan tentang ilmu kasampurnan. Rangkaian pupuh dalam SDR mewakili tahapan-tahapan peristiwa dengan suasana atau watak yang tiap tahapannya berbeda sesuai dengan watak dari setiap metrum tembang yang digunakan. Berdasarkan teori di atas dan mengingat pembagian cerita Dewa Ruci berdasarkan pembedaan pupuh, ternyata ditemui adanya pola yang sama antara metrum tembang dengan isi tembang. Pertama berupa pengenalan setting masalah berupa datangnya ancaman atau ingin dicapainya suatu tujuan. Bagian kedua rintangan yang harus dihadapi, bisa berupa harus menghadapi raksasa, bidadari, atau hewan sebagai simbol nafsu. Bagian ketiga mendapatkan pusaka, pengetahuan atau pencerahan. Bagian keempat menghadapi musuh di medan perang atau naga di samodra. Kelima tokoh utama protagonis mendapatkan kemenangan. Rangkaian peristiwa dari pupuh satu sampai pupuh kelima tersebut menampakkan bahwa serat Dewa Ruci memaparkan rangkaian laku yang dialami oleh Sena dengan berbagai hambatan dan rintangan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 117 2. Makna Secara Hermeneutik
Riffaterre mengemukakan teorinya tentang puisi yang digambarkannya seperti donat. Lubang di tengah donat adalah inti dari puisi yang berupa Matriks, hipogram, yang tak nampak. Secara semiotik lubang di tengah itu bisa didekati secara hermeneutik. Sebagaimana dikemukakan dalam bab terdahulu, bahwa pada sistem semiotik tingkat dua, objek (concept) pada sistem tingkat pertama diambil sebagai signifier (penanda) yang memiliki makna (signified; petanda). Dengan demikian daerah jelajah penelitian tidak dapat dibatasi pada kemungkinan tersedianya data sinkronik saja tetapi juga dimensi diakronik sebagai lapisan-lapisan waktu yang menunjuk kepada perspektif kesejarahan. Jika penampang sinkronik dan dimensi kesejarahan diberlakukan dalam penelitian tidak lain dan tidak bukan tujuannya hanyalah mendudukkan SDR sesuai dengan pandangan penelitian ini dengan tujuan mendapatkan kesatuan makna logik. Berdasarkan tinjauan semacam ini setiap adegan dapat didudukkan sebagai unsur atau anasir yang membentuk kesatuan makna logik, yang hubungan antar unsurnya bukan hubungan kausal atau sebab-akibat misalnya tentang alur. Sebabnya adalah seluruh jagad SDR bukanlah merupakan satu jaringan kausal karena SDR memang bukan sistem organisme dalam satu masyarakat yang hidup tetapi sistem nilai estetik yang hubungan antar unsurnya relatif; keterkaitan antarunsur itu sangat tergantung pada konsistensi pandangan metodologik.
a. Tema dalam Serat Dewa Ruci Tema dalam struktur cerita wayang merupakan ide sentral yang akan dijabarkan di dalam cerita. Tema pada lakon-lakon wayang dapat dibedakan sebagai berikut: Tema dalam Serat Dewa Ruci berdasarkan urutan peristiwa yang tergambar dari urutan pupuh adalah tema laku atau perjalanan dan rintangan yang harus dihadapi untuk mencapai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 118
tujuan. Dilihat dari konstruksi yang dibangun menunjukkan bahwa setiap bagian dari serat mendukung tema perjalanan Bima.
Tema yang telah dibuktikan kemudian akan menjadi
panduan dalam melakukan pengartian dengan menghubungkan dengan tanda-tanda lainnya yang terdapat dalam karya sastra. Pupuh 1 menunjukkan pengenalan awal tentang keinginan Bima untuk mendapatkan kasampurnan. Di sisi lain Kurawa memiliki tujuan mencelakai Bima agar bisa melemahkan kekuatan Pandawa. Di sini hanya Bima yang melakukan perjalanan untuk mencapai usahanya. Disusul kemudian pupuh 2 Bima menghadapi rintangan pertama ialah raksasa Rukmuka dan Rukmakala, yang secara paradigmatik sering berganti dengan bidadari penggoda atau hewan yang menggonggong. Pupuh 3) Bima selamat dan membawa petunjuk dari Bathara Indra – Bathara Bayu setelah Sena berhasil mengalahkan kedua raksasa kemudian menghadap kembali kepada Drona sehingga membuat para Kurawa terkejut, pupuh 4) Bima menghadapi rintangan kedua ialah Naga di tengah samudera, yang membelit seluruh tubuhnya yang berhasil dikalahkan dengan kuku Pancanaka. pupuh 5) Bima bertemu Dewa Ruci dan mendapat wejangan tentang ilmu kasampurnan yang sesungguhnya menerangkan perjalanan Sena sendiri yang dikisahkan pada pupuh-pupuh sebelumnya. Mangkunegara IV dalam kitab Wulangreh menyampaikan bahwa: ngelmu iku kalakone kanthi laku: pangekesing dur angkara “pencerahan itu tercapainya dengan laku, penghilang perbuatan buruk dan merusak. Laku merupakan istilah yang dikenal umum oleh masyarakat Jawa sebagai kesemestian dalam hidup. Laku yang konsepnya dekat dengan kata „mengalami‟ dalam bahasa Indonesia, merupakan konsep yang umum dikenal dalam masyarakat Jawa sebagai metode utama mendapatkan kawruh „pengetahuan‟. Menurut Ki Hajar Dewantara (1977: 28), laku commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 119
(zelfbeheresching, zelfdiscipline) merupakan salah satu metode mendidik. Laku merupakan jalan kesadaran yang pertama-tama adalah untuk mengenali diri sendiri melalui pengalamanpengalaman pribadi, baik dengan bimbingan guru atau tidak. Apa yang dilakukan Sena dalam cerita dewa Ruci nampaknya lebih dekat kepada cara laku yang digambarkan oleh Mangkunegara IV dimana tahapan laku adalah dari sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa kemudian sembah rasa. Hal ini bisa dilihat dimana pada awal pupuh sesungguhnya secara paradigmatik terdapat beberapa nama namun teks secara setia menggunakan nama Sena yang selain merupakan nama lain dari Wrekodara juga adalah nama hewan gajah. Hewan secara simbolis berarti nafsu, misalnya dalam ungkapan nafsu hewaniah. Artinya pada perjalanan awal Bima menuju gunung Candramuka, Bima masih membawa identitas hewaniahnya. Perjalanan Bima menuju puncak gunung digambarkan hewan-hewan terlempar dan berjatuhan ke jurang. Maka bisa diartikan bahwa perjalanan Bima ke puncak gunung adalah perjalanan untuk menanggalkan sifat-sifat hewaniahnya. Pada perjalanan Bima selanjutnya Bima lebih sering disebut dengan nama Wrekodara. Seperti telah diketahui terdapat terutama perbedaan besar antara sebagian filsafat Barat dan Timur, di mana para ahli filsafat Timur bukan menciptakan filsafat sendiri. Pengetahuan senantiasa hanya merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan. Filsafat Jawa sebagai sarana ngudi kasampurnan telah mengarungi lautan luas pengaruh-pengaruh budaya Nusantara, budaya Hindu-Budha, budaya Islam dan budaya Barat modern. Karena pengalaman dan penghayatan manusia tidak semuanya dapat diuraikan dengan kata-kata maka sejak dahulu kala telah dipergunakan bahasa kias berupa simbol atau perumpamaan. Filsafat Jawa telah diejawantahkan di dalam bentuk wayang. Walaupun isi cerita wayang berasal dari India namun terdapat perbedaan hakiki dalam perwujudannya. Di India isi cerita dianggap benar-benar terjadi dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 120
mitos, legenda dan sejarah, sedangkan di Indonesia cerita-cerita itu mengiaskan perilaku watak manusia dalam mencapai tujuan hidup, baik lahir maupun batin. Pemahaman kias ini tidak semata-mata dilakukan dengan akal-pikiran, melainkan dengan seluruh cipta-rasa-karsa tergantung kepada kedewasaan orang masing-masing. Kias dalam wayang ditemukan antara lain: a. Tingkat kedewasaan manusia yang berturut-turut berada dalam tahap Karma, Darma, Bakti, dan Moksa. b. Watak manusia yang berperan mewujudkan peri kelakuannya dalam lakon, seperti watak ksatria, raksasa (diyu), dur hangkara. c. Penggambaran watak dalam tiap peraga wayang, antara lain dalam bentuk dan warna. d. Penyusunan struktur pergelaran wayang semalam suntuk dalam adegan tertentu. e. Iringan karawitan dengan pathet dan gendhing-gendhing yang berisikan kias. Kesatuan makna dari SDR didasarkan kepada kenyataannya sebagai filsafat Jawa: Laku, yang mengandung arti perjalanan atau jarak. Dengan demikian sistem relasi oposisi, jarak makna dari dua atau lebih tanda akan menjadi sangat dominan dalam proses pemaknaan yang dilakukan. Laku sendiri bisa diartikan perjalanan fisik, maupun spiritual. Melihat tanda-tanda yang terhampar SDR merupakan pemaparan tentang perjalanan spiritual. b. Hipogram Sebuah karya sastra tidak pernah lahir dari ruang hampa dan memiliki latar penciptaan dari karya sastra (teks) sebelumnya. Riffaterre menyatakan bahwa puisi (teks) yang menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra (teks) yang lain disebut hipogram (1978:23). Hubungan intertekstual atau hipogramatik seringkali bukan merupakan sebuah proses kesadaran atau kesengajaan dari seorang sastrawan, meskipun sering juga berasal dari proses yang disengaja. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 121
Untuk memberi makna sebuah karya sastra prinsip intertekstualitas perlu diterapkan yaitu dengan membandingkan antara suatu karya sastra dan hipogramnya. Karya sastra yang menjadi hipogram diserap dan ditransformasikan ke dalam teks sastra sesudahnya yang menunjukkan adanya kesamaan. Dengan menyejajarkan sebuah teks dengan teks lain yang menjadi hipogramnya maka teks tersebut menjadi jelas, baik teks tersebut mengikuti atau menentang hipogramnya. Hipogram ada dua macam, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial itu tidak tereksplisitkan dalam teks, tetapi harus diabstraksikan darri teks. Hipogram potensial adalah matriks yang merupakan inti teks atau kata kunci yang dapat berupa satu kata, frase atau kalimat sederhana. Transformasi pertama matriks atau hipogram potensial adalah model, kemudian ditransformasikan menjadi varian-varian. Hipogram yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah hipogram aktual. Adapun hipogram aktual berupa teks nyata, dapat berupa kata, kalimat, peribahasa atau seluruh teks. Hipograrm aktual menjadi latar penciptaan teks baru atau ditransformasikan menjadi teks baru. Hipograrm aktual dapat dilihat pada teks yang sudah ada sebelumnya, baik berupa mitos maupun karya sastra. Hikmah yang bisa ditangkap dari kehadiran tokoh Bima di atas adalah bahwa kesulitan yang menimpa seseorang dan disusul dengan kesulitan berikutnya, maka pada diri orang itu akan timbul kekebalan. Ketahanan seseorang karena sudah terbiasa mendapat cobaan demi cobaan. Kisah kehidupan yang berakhir dengan kegembiraan / happy end. Keinginan dan harapan tokoh Bima untuk mendapatkan makna kehidupan dengan perjuangan dan pengorbanan yang sangat besar, mempunyai kesamaan arti dengan ungkapan dalam budaya Jawa: Jer basuki mawa bea, „setiap kesejahteraan yang diinginkan tentu harus mengeluarkan biaya. Biaya yang dimaksud di sini dapat berupa uang, tenaga, pengorbanan perasaan dan waktu. Usaha tokoh Bima dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 122
hubungannya dengan usaha untuk mencari ilmu dan melaksanakan proses mendapatkannya seperti yang terkandung dalam serat Wedhatama karya Mangkunegara IV pupuh Pocung: Ngelmu iku kalakone kanthi laku, Lekase lawan kas, Tegese kas nyantosani, Setya Budya pangekese dur angkara Terjemahan: Ilmu itu terlaksananya dengan dijalankan, majunya dengan niat, artinya niat mensentosakan, setia pada budi untuk memberantas hati jahat. Ilmu itu tercapai karena ada usaha, artinya ilmu itu harus dikerjakan dan diamalkan. Sesulitsulitnya tindakan mencari lebih sulit untuk mengamalkan. Ilmu jika tidak diamalkan tidak ada gunanya, bahkan ilmu kadang-kadang bisa menyusahkan. Pencipta Serat Dewa Ruci yaitu Yasadipuran I adalah sastrawan yang hidup di saat Renaisans Jawa dimana naskah-naskah lama dari masa Mataram Kuno, Singosari, Majapahit, digubah ulang disesuaikan dengan konteks jamannya. Yasadipura I juga adalah seorang muslim dan hidup di saat mulai surutnya pengaruh agama Hindu Budha dalam lingkungan Keraton Jawa digantikan dengan agama Islam, sehingga ajaran-ajaran Islam sangat mungkin mempengaruhi karya-karya yang beliau ciptakan. Proses pengenalan diri dalam upaya mengenal Tuhan merupakan salah satu ajaran dalam agama Islam sebagaimana terdapat kata mutiara dalam komunitas Islam “man arafa nafsahu faqad „arafa rabbahu” yang artinya barang siapa mengenal dirinya maka mengenal Tuhannya. Kata mutiara tersebut memiliki pemikiran yang sama dengan ajaran yang terkandung di dalam Serat Dewa Ruci. Nilai-nilai ajaran yang dikandung Serat Dewa Ruci memiliki banyak kesejajaran pengertian dengan nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalam kitab Suci agama Islam yaitu Al Quran. Serat Dewa Ruci sangat mungkin ditransformasikan dari ayat-ayat suci Al Quran. Dengan demikian hipogram aktual yang berasal dari Al Quran adalah sebagai berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 123
i) Keutamaan zikir atau mengingat Allah SWT. Surat Al Baqarah ayat 152. Yang artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”. Surat Al Hasyr ayat 19. Yang artinya: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” Surat Ar Ra‟d ayat 28. Yang artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allahlah hati menjadi tenteram.” Surat Al Khafi ayat 2. Yang artinya: “kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah” dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini”. Ayat-ayat dalam surat-surat Al Quran seperti disebutkan di atas dicontohkan oleh pengarang melalui sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh Bima. Di dalam perjalanannya mencari toya pawitrasari Bima ingin menyatu dengan Tuhannya. Ia menempuh perjalanan berbahaya, dinyatakan dalam teks Dewa Ruci, bukan karena ingin mendapatkan pusaka atau kesaktian demi memenangkan perang atau mendapat kekayaan. Bima menempuh perjalanan dan menghadapi berbagai bahaya hanya karena ingin mendapatkan kedamaian dengan cara menyatu kepada Tuhannya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 124
ii) Menahan Hawa Nafsu Surat Al Ahzab ayat 35. Yang artinya: “sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, lakilaki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuaan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” Surat Al Baqarah ayat 183 Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Salah satu hadits qudsi menyebutkan: Seluruh ibadah kata Allah adalah untuk manusia tetapi puasa adalah untuk-Ku. Dua ayat dan sebuah hadits qudsi di atas menunjukkan betapa pentingnya puasa menyingkirkan hawa nafsu untuk meningkatkan kualitas diri setiap manusia. Nilai tersebut juga merupakan nilai yang dikandung di dalam Serat Dewa Ruci utamanya di pupuh pertama dan kedua ketika Bima menuju dan berada di hutan Tibraksara. Di dalam perjalanannya Bima menyingkirkan hewan-hewan yang secara metafor berarti menyingkirkan hawa nafsu sehingga ia mampu mengalahkan dua raksasa, Rukmuka dan Rukmakala untuk kemudian mencapai pencerahan. Bima bertemu dengan dua Bathara “hasil” mengalahkan nafsunya, yang kemudian meyakinkan kebenaran Bima akan tujuan perjalanannya serta menunjukkan tempat sebenarnya toya pawitrasari yang dicari. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 125
iii) Perintah Sabar Surat Al Baqarah ayat 153 Yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. Surat Ali Imaran ayat 120 Yang artinya: “ Jika kamu memperolah kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya, jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” Dua ayat di atas selaras dengan peristiwa yang terjadi terhadap tokoh Bima, dimana di awal cerita ditunjukkan bahwa perjalanan yang diperintahkan guru Drona sebenarnya diniatkan untuk mencelakakan Bima. Ternyata rencana jahat tersebut tidak mampu membuat Bima celaka namun justru sebaliknya Bima bisa benar-benar bertemu dengan Dewa Ruci yang memaparkan kepadanya tentang toya pawitrasari. Bima dilindungi dalam perjalannya dan justru akhirnya memiliki kualitas sepadan dengan Bathara karena kesabaran dan ketakwaannya. iv) Nilai Baru dan Kabar Gembira Surat Yaa Siin ayat 6 Yang artinya: “Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan karena itu mereka lalai”. Surat Yaa Siin ayat 11 Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada commit to userTuhan Yang Maha Pemurah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 126
walaupun dia tidak melihatnya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia. Tokoh Drona menjadi sarana pengarang untuk menyampaikan nilai yang sama dengan apa yang diungkapkan dalam dua ayat di atas. “Ing nguni-uni durung ana kang wruh goning toyadi” memiliki kesejajaran arti dengan kalimat: “Belum pernah diberi peringatan..” di surat Yaa siin ayat 6, yang keduanya menunjukkan adanya nilai-nilai baru yang disampaikan. Di dalam Al Quran, penyampainya adalah Nabi Muhammad sedangkan di dalam Serat Dewa Ruci adalah pengarang melalui tokoh guru Drona. Ayat sebelas surah Yaa Siin menunjukkan bahwa Muhammad hanya diutus mengingatkan umat yang mau mengikuti saja, sama seperti halnya peran Drona dalam Serat Dewa Ruci yang hanya menunjukkan toya pawitrasari kepada Bima dan tidak kepada para Korawa. Maka Bimalah yang mendapatkan kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia sehingga tiada takutlah lagi Bima menjalani hidupnya karena semua sudah ada hukumnya dimana perbuatan baik akan berbuah kebaikan juga dan dimana kekalahan dan kemenangan sesungguhnya hanya tergantung dari usaha diri sendiri. v) Metafor jalan dan jalan yang lurus Surat bani Israil ayat 72 Artinya: “dan barangsiapa buta (di dunia) ini akan buta (pula) di akhirat dan lebih tersesat (lagi) dari jalan (yang benar).” Yaa Siin ayat 61 Yang artinya: “dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus”. Metafor jalan seringkali dipakai untuk menggambarkan proses seseorang mencapai peningkatan kualitas. Demikian pula di dalam Al Quran, metafor jalan seringkali digunakan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 127
Yasadhipura I memanfaatkan juga metafor jalan dan jalan lurus ini di dalam gubahannya untuk menyampaikan nilai-nilai yang diyakininya sebagai kebaikan. Sebelum lahirnya serat Dewa Ruci oleh Yasadipura 1 pada sekitar tahun 1796 telah lahir beberapa naskah yang hampir sama. Hipogram aktual yang secara jelas dikandung dalam Serat Dewa Ruci adalah: i. Dewa Ruci Tembang Gedhe Cerita Dewa Ruci yang paling tua ditulis pada abad ke-15. Cerita Dewa Ruci itu berbentuk tembang gedhe dengan bahasa Jawa Tengahan. Isi cerita Dewa Ruci yang tertua ini tidak begitu panjang, diawali dengan kepergian Bima ke samudra kemudian bertemu dengan Dewa Ruci. Akhir cerita yaitu Bima mendapat wejangan dari Dewa ruci tentang usaha untuk mencapai kesempurnaan hidup (Purwadi, 2002: 15). Poerbatjaraka menyatakan Serat Dewa Ruci tembang Gedhe yang berbahasa Jawa Tengahan ini belum diketahui penciptanya serta belum jelas keterangan waktu dikarang. Gaya bahasanya masih menggunakan cara kuno, menggunakan sekar ageng tanpa guru lagu (Purwadi, 2002: 15). ii. Nawa Ruci Kitab Nawa Ruci berbahasa Jawa Tengahan, yaitu bahasa yang timbul pada zaman kejayaan Majapahit. Kitab Nawa Ruci ditulis antara tahun 1500-1619 M oleh Empu Siwa Murti, dengan perkiraan dibuat di lingkungan luar keraton. Nama lain dari kitab Nawa Ruci adalah Sang Hyang Tattwajnana yang dapat diterjemahkan sebagai kitab tentang hakikat hidup. Kitab Nawa Ruci ini merupakan karya sastra religius yang terpengaruh mistik Hindu. Lahirnya kitab Nawa Ruci bersamaan dengan masa penyebaran dan perkembangan agama Islam di kalangan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 128
masyarakat Jawa. Mistik Islam yang dikenal masyarakat Jawa pada waktu itu telah memberikan inspirasi untuk digarap menjadi lakon wayang. Kitab Nawa Ruci ini sudah dibahas dalam bentuk disertasi oleh Prijohoetomo pada tahun 1934 yang membandingkan antara kitab Nawa Ruci dengan kitab Dewa Ruci. Simpulannya bahwa kitab Nawa Ruci itulah yang menjadi sumber dari lakon Dewa Ruci yang semakin poluler dalam dunia pewayangan. Serat Nawa Ruci banyak mengandung unsur Hindu sedangkan Serat Dewa Ruci mulai ditambah dengan unsur Islam. Secara historis Serat Dewa Ruci berkaitan dengan naskah Nawa Ruci yang ditulis pada zaman Majapahit. Yasadipura memberi judul Kitabnya: Bima Suci, namun setelah Yasadipura wafat, serat Bima Suci kemudian disalin oleh beberapa orang sehingga keberadaannya menjadi banyak variasi. Seperti halnya terjadi terhadap serat-serat tradisional, penyalinan Kitab Bima Suci dengan ditulis tangan umumnya mengalami perubahan, pengurangan maupun penambahan dibandingkan dengan naskah aslinya, baik karena kesalahan tulis maupun adanya selera, nilai, pemikiran yang berbeda yang dengan sengaja dituangkan oleh para penyalin. Perpustakaan yang memuat koleksi naskah Serat Bimasuci di antaranya Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta, Sana Budaya Yogyakarta, Perpustakaan Nasional Jakarta, dan Perpustakaan Universitas Leiden. Variasi naskah yang memuat cerita Dewa Ruci atau Bima Suci terdapat kurang lebih 29 naskah. iii. Dewa Ruci Jarwa Abad ke-18 yaitu sekitar tahun 1796 pujangga Yasadipura I menggubah teks Dewa Ruci tembang gedhe yang bercorak Hindu-Budha ke dalam Serat Dewa Ruci macapat dengan berbahasa Jawa Baru mengandung nafas Islam. Teks Serat Dewa Ruci macapat karya Yasadipura tersebut kemudian diterbitkan oleh Mas Ngabehi Kramadiprawira dengan pencetakan Van Dorp di Semarang pada tahun 1870, 1873, 1880 dengan huruf Jawa. Isi teks commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 129
Dewa Ruci macapat dengan Dewa Ruci tembang gedhe pada dasarnya sama yaitu mengisahkan perjalanan Bima dalam mencari air yang bisa membersihkan dirinya atas perintah guru Drona. Berdasar angka tahunnya varian yang berupa cetakan ini diterbitkan sebelum penerbitan Serat Dewa Ruci terbitan Tan Gun Swi Kediri yang menjadi objek dalam penelitian ini. c. Matriks i. Pertentangan Antara „Kesucian‟ dengan „Keduniawian‟ Sebagai Kodrat Negara Astina yang menjadi awal munculnya konflik dalam Mahabharata dalam pedalangan biasa dikenal dengan empat nama: ngastina, gajahoya, Limanbenawi, dan Kurujanggala. Nama Ngastina merujuk kepada nama Prabu Hastin pendiri kerajaan. Nama gajahoya karena dialah yang membangun istana kerajaan. Kurujanggala karena yang berkuasa adalah keturunan bangsa Kuru. Liman benawi dimaksudkan kerajaan yang menghadap samodra. Konflik yang menjadi pusat kisahan Mahabharata dimulai dari ketika Wiyasa turun tahta secara aturan umumnya yang seharusnya menjadi pengganti adalah Destarasta karena dia sebagai putra sulung. Namun karena Destarasta buta maka tahta dialihkan kepada adiknya ialah Pandu yang kemudian meninggal di saat anak-anaknya masih terlalu kecil. Karenanya tahta dititipkan kepada Destarasta sampai putra Pandu yaitu Pandawa cukup dewasa. Sengkuni yang adalah adik ipar dari Destarasta memiliki keinginan lain, ia menghendaki keponakannyalah yang berkuasa di Astina. Anak-anak Destarasta dididik dalam kebencian kepada Pandawa. Kurawa berhasil membawa Duryudana naik tahta, sedangkan Pandawa sudah memiliki negara sendiri. Prabu Duryudana selalu khawatir bahwa sewaktu-waktu Pandawa akan merebut kembali Astinapura, karenanya ia selalu ingin melenyapkan Pandawa. Hal ini menunjukkan kesadarannya sebagai pihak yang tidak berhak atas tahta Ngastina. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 130
Pertentangan korawa dengan Pandawa diasosiasikan sebagai pertentangan raksasa dengan Dewa, yang dalam mitologi Wayang dianggap sebagai kodrating jagad „takdir Hidup‟. Keduanya merupakan simbol nilai utopis antara kebaikan dan keburukan yang harus berhadapan dan bergesekan karena keduanya tidak mungkin mengada bersama tanpa ada pertentangan. Dalam beberapa cerita wayang, Bima Bungkus, Lakon Bale Sigala-Gala, diceritakan usaha Korawa membunuh Pandawa. Perang Bharatayuda tidak terhindarkan dan dalam cerita wayang dianggap sebagai kodrat yang harus dijalani. Artinya pertentangan antara nafsu dan laku merupakan kodrat yang tak terhindarkan lagi. ii. Mulai Dikenalnya Konsep „Diri‟ Bersamaan dengan masuknya agama Islam, dalam bahasa Melayu yang dipakai pada jaman itu mulai terdapat dua kata yang menyatakan arti konsep “individu” atau pribadi ialah kata nafs yang diambil dari bahasa Arab yang berarti „roh orang per orang (dalam bahasa Indonesia dikenal bentuk turunannya: nafas dan nafsu). Istilah-istilah itu sudah tampil pada karangan Hamzah Pansuri yang dikenal pada akhir abad ke-16. Perkembangan itu merupakan suatu revolusi berpikir, dimana diri itu dikeluarkan dari konteks tempat diri itu telah dicabut dari kungkungan jaringan sosial untuk ditampilkan sebagai kesatuan yang otonom. Kenali dirimu itulah yang berkali-kali diulangi oleh Hamzah (Loombard, 2008: 180). Konsep diri Hamzah Pansuri sama sekali tidak menuju ke suatu penonjolan kepribadian bahkan sebaliknya ingin mengutamakan keutuhan dasar manusia. Dalam Asrar ul-Arifin
„rahasia orang-orang arif‟
Hamzah menulis: Ambillah contoh tanah liat yang sama, dapat dijadikan apa saja: piring atau panci; akan tetapi semua benda itu pada dasarnya dibuat dari tanah liat yang sama. Sama halnya dengan dunia; bentuk-bentuknya tak terbilang banyaknya, namun tercetaknya dari cahaya yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 131
sama. Tema itu terdapat juga di kalangan tasawuf Jawa dan mengilhami sejumlah suluknya, yang disebut oleh Romo Zetmulder sebagai panteisme. Pada masa abad 16 akhir sejumlah teks mengangkat tema tentang diri yang menyatu ke dalam Alam Semesta. Perlu dicatat bahwa tema itu ditentang keras dan penganutnya tidak lebih dari satu minoritas kecil. Misalnya dalam kisah Syekh Siti Jenar, salah satu wali yang konon dihukum mati oleh rekan-rekannya melihat ide yang menyimpang dari garis ortodoksi. Jadi sekalipun konsep diri yang tidak langgeng yang hanya berupa pantulan sesaat telah memperoleh sukses di lingkungan-lingkungan tertentu yang sedikit banyak diperkaya dengan filsafat India, perenungan-perenungan itu bersifat marjinal. J.P Zoetmulder telah memberi bayangan tertentu dari syair-syair tasawuf dalam disertasinya yang menarik mengenai “Panteisme dan Monisme dalam Kesusastraan Suluk-Suluk Jawa”. Konsep demikian sama seperti apa yang diungkapkan Sokrates tentang “penyadaran” tentang apakah keadaan kita di dunia ini: kita harus menyadari bahwa dunia ini bersifat sementara dan bahwa kehidupan kita tidak seberapa dibandingkan dengan keabadian. Menurut “Tulisan Tentang Moral” yang disunting G.W.J. Drewes, orang harus mengontrol baik selera makannya, maupun lirikan matanya dan nada ujarnya (arep amamesa ing weteng, ing pandeleng, ing pangucap), karena jika orang menyadari sifat buruk dorongan nafsunya (alane ing nafsune iku), orang itu tidak mungkin lagi mengumbar nafsu birahi dan keinginannya (tan den itung tresnane lan karepe). iii. Ngudi Kasampurnan Godaan hasrat manusia sebenarnya bisa bermacam-macam. Selain godaan feminitas bidadari, animalitas berupa ketakutan, bisa juga berupa harta benda atau godaan terhadap commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 132
makanan namun ini jarang ada dalam cerita wayang. Usaha ngudi kasampurnan dilakukan dengan mengalahkan godaan. Godaan selalu berupaya mengubah dan membinasakan kekuatan. Konsep manusia yang berfungsi dalam level yang berbeda, level yang lebih tinggi daripada orang biasa, adalah teori usang karena sudah banyak penulis dari latar belakang lain yang berbeda dengan psikologi membicarakan topik ini. Ide ini dapat ditemui dalam Budhisme, Hinduisme, Yudaisme, Kristiani, dan Islam. Tokoh-tokoh kontemporer lain yang dihubungkan dengan psikolog juga telah mulai mendiskripsikan visi mereka tentang orang yang paling sehat, manusia yang paling tinggi tingkat perkembangannya. Teori Maslow tidak komplit dan tidak benar, meskipun sangat menarik. Dia tidak pernah sepenuhnya mempersepsikan pusat esensial dalam alam spiritual. Dia mendasarkan teorinya pada dasar fisik, bukan metafisik. Terapis-terapis sekarang mendekatkan diri pada kebenaran dengan menggunakan analogi satu siung bawang yang memiliki jiwa atau Tuhan pada pusatnya. Hazrat Pir mengajarkan bahwa tiap orang memiliki potensi kesempurnaan dalam dirinya. Dia menyatakan: “kamu sempurna, yang harus kamu lakukan adalah menemukannya”. Maka mereka yang benar-benar ingin mendapatkan kedamaian, menemukan kebenaran, mengetahui Tuhan, akan dapat melakukannya sesuai keinginan Tuhan. Ketika seorang salik mempelajari dan bertambah maju, dia secara bertahap mendapatkan nilai dan aspek yang tergambar pada orangorang yang telah menjadi self-actualizer. Dia juga akan mengembangkan aspek tambahan lain dalam alam dirinya, karakteristik yang lebih maju. Pada tiap tahapnya, sufisme memberikan keuntungan, bahkan dalam segala aspek kehidupan sehari-hari. Seorang yang super-sehat dalam jargon psikologi memiliki karakter fisik: tidak mempunyai tingkah laku ketergantungan, kondisi sempurna, lentur dan fleksibel, kontrol fisik luar biasa, butuh sedikit waktu tidur, butuh sedikit makanan, proses penyembuhan yang cepat jika sakit, sangat santai, memiliki rasa humor, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 133
dermawan. Karakter sosial: hubungan interpersonal istimewa, asertif tidak tergantung pada orang lain, bebas dari norma-norma budaya atau harapannya, culture free, pengalaman kesatuan dengan kemanusiaan. Karakter emosi: bebas dari rasa takut, tenang dan tenteram menikmati hidup, ketenangan dalam diri, melampaui ego pribadi, seimbang dan stabil, tidak egois, penyatuan dengan Tuhan. Karakter spiritual: Baik hati,penuh cinta, sangat rendah hati, hangat, menyerahkan diri pada kekuatan yang lebih besar selaras dengan pengalaman ekstase. Karakter mental: sangat kreatif, persepsi realitas yang efisien, sangat produktif, spontan, aktif, hidup, terlibat, banyak akal, penuh penghargaan, seperti anak kecil yang lugu, intelegensi di atas ratarata. Agar seorang dapat meraih kesempurnaan harus mengetahui tujuh cahaya yang bersembunyi di angkasa hati yang dengan inspirasi Ilahi dan serapan pesona kasih, hati akan diterangi dan terbebas dalam penerbangannya menuju asalnya. Tujuh cahaya hati termanifestasikan secara tertutup dan memiliki kebenaran yang merupakan hasil dari tindakan murni. Cahaya hati yang pertama sebagai bulan yang bersinar, cahaya pembimbing dari cahaya kehidupan. Cahaya hati yang kedua adalah umah kunyit pada matahari. Cahaya hati yang ketiga adalah pohon inai mukjijat cinta. Cahaya hati yang keempat adalah mekarnya warna kuning. Cahaya hati yang kelima adalah zamrudnya hijau meninggalkan dunia untuk penyatuan dengan Tuhannya. Cahaya hati yang keenam emasnya kesempurnaan sang Salik. Cahaya hati yang ketujuh cahaya rumah Tuhan melampaui cahaya yang tidak dapat berkelana. Ketika seorang manusia berhasil mengatasi kecepatan cahaya, dia akan diberitahu tentang manifestasi kehidupan masa lalu dan masa depan. Menemukan kejadian-kejadian masa depan dan masa lalu dalam penglihatan sangat bergantung pada aktifitas mengamati masa kini. Dengan hilangnya ikatan-ikatan waktu dan tempat, semua kapasitas yang disebut paranormal pun commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 134
menjadi ada. Komunikasi dengan kepribadian spiritual orang lain juga dimungkinkan. Komunikasi inilah yang memungkinkan orang yang tingkat spiritualnya lebih tinggi bisa segera mngenali yang lain. Ini hanya bisa terjadi pada orang-orang yang menginginkan pengetahuan tanpa hasrat apapun, apalagi demi keuntungan personal. Orang harus merasa tidak berdaya terlebih dulu sebelum menyadari kekuatan alam raya yang dahsyat: api, banjir, gempa bumi, matahari dan bulan, lautan dan langit, malam dan siang, guntur dan kilat, bahkan perilaku orang lain. Tujuan sufisme adalah pengetahuan diri, dan melalui pengetahuan diri akan dicapai pengetahuan tentang Sang Pencipta. Inti dari studi sufisme adalah bukan melalui kata maupun pikiran yang menutupi kebenaran. Dalam perjalanan menuju Cahaya, “kata-kata kebenaran, hati yang murni niat yang tulus, penghidupan yang jujur keteguhan dalam melangkah, dan kesetiaan sejati adalah penting. Kisah Dewa Ruci berdasar uraian di atas jadi terasa perlu dan penting untuk dikenalkan kembali kepada masyarakat dan siswa siswi khususnya karena kandungan-kandungan nilainya. Pengenalan cerita Dewa Ruci diharapkan akan mengembalikan pengetahuan dan kawruh Jawa sebagai sebuah jalan hidup yang benar, yang tidak memisahkan akal dari batin dan rasa sehingga tercapailah manusia insan kamil seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional. iv. Di dalam Keburukan Ada Kebaikan Kedudukan Drona dalam cerita wayang pada umumnya maupun dalam cerita wayang Dewa Ruci diperdebatkan karena keambiguitasannya, maka seringkali nama Drona di cerita wayang sering diubah menjadi Durna yang arti dur adalah buruk. Drona menjadi guru Pandawa dan Kurawa dari masa kecil mereka, sangat menyayangi Arjuna dibanding para Kurawa muncul pada cerita pendadaran Siswa Sokalima, Drona memuji Arjuna dan membanggakannya, begitu juga dalam kisah Palgunadi. Kisah Durna Rangsang menunjukkan betapa Drona sangat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 135
membanggakan dan mencintai Pandawa, namun justru dalam perang Bharatayuda berdiri di pihak para Kurawa. Di sepanjang cerita Ramayana dan Mahabharata hanya ada dua tokoh unik yang berlatar belakang Brahmin namun menguasai perang yang jauh melampaui ksatria manapun, ialah Parasurama dan Drona. Keunggulan Drona yang sedemikian sesuai untuk menduduki posisi guru Bima yang memahami ilmu Kesempurnaan. Meskipun Bima bukan murid terbaik Drona namun Bima memiliki karakter yang sesuai dengan sifat murid yang baik ialah berbakti dan mengikuti petunjuk gurunya tanpa curiga dan ragu. Dalam cerita wayang Dewa Ruci, Bima bertemu dengan Bathara Indra dan Bathara Bayu yang kemudian “memberinya” kesadaran bahwa petunjuk gurunya adalah benar namun tempatnya tidak di gunung Candramuka. Bathara yang dalam kisah pewayangan merupakan tokoh utusan sang Murbeng Jagad merupakan sumber kebenaran yang bisa dipercaya. Pernyataan Bathara Indra dan Bathara Bayu bahwa Drona memberi petunjuk yang benar, bisa diartikan bahwa Drona bukanlah tokoh antagonis. Apabila dicermati sangat mungkin Drona berpihak kepada Bima bukan berpihak kepada Duryudana. Drona adalah guru Pandawa dan Kurawa, tentulah sangat mengenal para muridnya termasuk Bima. Ketika Bima selamat dari mara bahaya di hutan Tibraskara secara interteks sangat mungkin hal ini sudah diperkiarakan oleh Drona karena Bima pernah menaklukkan alas Mertani dalam lakon Babat Alas Wisamarta. Fenomena yang ditemukan pada dua data tersebut di atas memberi implikasi simbolik yang cukup mendasar terhadap kedudukan Drona dalam cerita Dewa Ruci khususnya dan cerita wayang pada umumnya. Drona adalah tokoh luar biasa dengan nilai-nilai baik dan kemampuan berperang namun berada di pihak Kurawa, pihak yang secara simbolik dianggap antagonis. Pola commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 136
ini sejajar dengan nilai ajaran Islam bahwa dalam kesulitan terdapat kemudahan, di balik masalah terdapat hikmah. Sesuai juga dengan pola penokohan dalam cerita wayang ialah pola malihan dari Raksasa Rukmuka Rukmakala menjadi Bathara Indra dan Bathara Bayu. Raksasa merupakan karakter antagonis sedangkan Bathara adalah karakter protagonis. Bisa diartikan bahwa tokoh Drona dalam cerita wayang Dewa Ruci adalah simbol dari nilai bahwa dalam keburukan (Kurawa) terdapat tujuan-tujuan baik yang diwakili oleh tokoh Drona. Pola malihan demikian tidak didapatkan dalam kisah agama Islam misalnya malihan dari setan menjadi malaikat. Ini menunjukkan juga bahwa pola cerita wayang Dewa Ruci bercampur antara tradisi cerita Islam dengan cerita wayang Hindu dimana Drona memiliki posisi sebagai tokoh protagonis, juga pastinya adanya ide asli Jawa karena cerita Dewa Ruci tidak pernah ada dalam cerita asli Mahabharata. v. Negasi sistem kekuasaan Hierarkis Keselamatan itu terdiri atas sempurnanya perkembangan daya-daya batin manusia. Oleh karenanya dikenal sistem hidup yang harus diikuti oleh manusia yang berupa agama, norma, maupun nilai-nilai bersama, sebagai jalan untuk mengembangkannya. Keselamatan tidak memerlukan uang tebusan, perantara atau penebus dosa. Keselamatan terjadi hanya dengan mewujudkan daya-daya batin manusia yang terpendam berupa potensi. Salah satu inti ajaran agama Islam adalah tidak adanya sistem kekuasaan dalam religiusitas. Jika di agama tradisional dan dalam budaya tradisional berdoa harus lewat seorang perantara, baik pendeta maupun dukun. Sedangkan kabar gembira dalam agama Islam adalah bahwa setiap kebaikan akan berbuah kebaikan selain itu manusia bisa langsung berhubungan dengan Tuhan tanpa perantara. Keuntungan dan kerugian adalah akibat langsung dari perbuatan. setiap orang adalah pencipta dari kesenangan dan kesusahannya sendiri. Kebangkitan dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 137
keruntuhannya, kehormatan, kenistaan, kesengsaraan, kemuliaan adalah buah perbuatan manusia itu sendiri, seperti tercermin dari surat Al Baqarah 2:286: “Baginya adalah ganjaran dari kebaikan yang ia kerjakan, dan untuknya adalah hukuman dari kejahatan yang ia lakukan”. Bima tidak berguru menemui resi namun mencari toya pawitra Sari. Hatinya bersih dari ketakutan, dan memiliki kepercayaan diri karena rasa kepasrahan. Setiap manusia dikarunia daya kemampuan Ilahi dan tak sepatutnya menyerahkan tali kendali atas dirinya kepada orang lain. “Apakah orang yang berjalan dengan muka tersungkur itu lebih mendapat petunjuk, ataukah orang yang berjalan tegak di atas jalan yang lurus?” 3. Nilai Pendidikan dalam Serat Dewa Ruci a. Karakter Religius Kandungan Serat Dewa Ruci sangat kental dengan nilai-nilai religius yang didapatkan dengan laku, bukan hanya dengan ritual formal. Hal ini sangat berbeda artinya karena pada kenyataannya seluruh agama memiliki ajaran puasa dengan waktu dan jumlah hari serta proses yang berbeda. Hampir semua ajaran puasa memiliki titik tolak sama yaitu untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta melalui proses menahan diri dari makan dan minum serta aktifitas tertentu. Dalam mendekati Sang Pencipta ini selalu pula ada proses merasakan penderitaan orang-orang yang papa. Merasakan penderitaan orang lain dan memberikan perhatian serta menolongnya menjadi ajaran inti seluruh agama sebagai jembatan menuju kedekatan kepada Tuhan seperti apa yang disampaikan di dalam Al Quran: “Engkau tidak akan sampai pada pengabdian sempurna sebelum memberikan apa yang engkau cintai.” (Al-Imran:92). Juga di dalam surat lain dalam Al Quran: “Jika engkau ingin mendekati Tuhanmu, lakukanlah dengan amal saleh,” (Al Kahfi:110). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 138
Di dalam agama Islam misalnya setiap tahun diselenggarakan puasa ramadhan yang sesungguhnya merupakan sarana pembinaan manusia untuk memasuki tahapan lebih baik. Puasa Ramadhan diharapkan dapat meningkatkan kualitas moral, mental, pemikiran serta sikap manusia.dengan demikian umat Islam yang melaksanakan kegiatan ibadah puasa seharusnya mengalamai peningkatan kualitas kemanusiaan. Sangat banyak ayat Al Quran dan hadist yang menjelaskan tentang ibadah dan manfaat puasa, baik bagi mental maupun tubuh manusia yang menjalankannya. Kegairahan spiritual demikian dikobarkan oleh Sang Nabi pada saat memasuki bulan Ramadhan, menunjukkan betapa pentingnya puasa bagi umat Islam. Salah satu hadits qudsi menyebutkan: Seluruh ibadah kata Allah adalah untuk manusia tetapi puasa adalah untukKu. Ibadah apapun selain puasa selalu terkait langsung dengan manusia; tetapi puasa langsung berhubungan dengan Allah SWT. Sayangnya moment puasa yang ada dalam setiap agama utamanya dalam agama Islam menjadi sia-sia karena terjebak menjadi formalitas dan rutinitas saja yang mengakibatkan kemandegan spiritual. Ketika Ramadhan datang suasana berubah. Umat Islam berombongan menuju masjid dan langgar terdekat untuk melakukan sholat tarawih. Pasar juga mengalami perubahan, tingkat belanja ibu-ibu rumah tangga meningkat, untuk bahan-bahan melengkapi acara buka puasa dan sahur dinihari. Media massa menyajikan tayangan berbau agama. Para artis yang biasa memakai pakaian seksi tiba-tiba berpakaian tertutup. Kesemarakan ibadah seringkali hanya hidup dalam tataran artifisial, yang lebih mengemukakan rutinitas ibadah, aspek simbol dan aksesoris, namun substansi puasa itu sendiri justru tidak mengemuka. Substansi puasa yang harusnya mengendalikan hawa nafsu namun di bulan ramadhan justru terkesan menjadi moment berfoya-foya, dari menu makanan berlebih sampai menyalakan petasan setiap malam.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 139
Kebudayaan Jawa mengenal istilah „laku‟ sebagai konsep yang hampir sama dengan konsep puasa pada agama, dengan perbedaan „laku‟ tidak mengenal aturan baku atau aturannya cenderung longgar, misalnya dalam nasihat laku cegah dahar lawan guling „mengurangi makan dan tidur‟, batasannya tidak jelas harus seberapa mengurangi makan dan tidur. Pokok dari laku dalam konsep kebudayaan Jawa adalah sikap prihatin yang batasannya bisa ditentukan sendiri oleh niat pelaku. Laku bisa dikatakan sebagai strategi kebudayaan Jawa menghindari jebakan formalitas agama dan keyakinan. Setiap nilai dan tindakan yang dibakukan pada akhirnya memang seringkali akan menjadi sekedar formalitas atau terasing dari substansi asalnya. Konsep laku Jawa tercermin juga dalam istilah „tapa ngrame‟ bertapa di dalam kehidupan nyata, bukan bertapa dengan menjauhi kehidupan itu sendiri. Tapa ngrame tidak memiliki panduan tertentu namun hanya menekankan pada sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan kebenaran dan kebaikan, „bener tur pener‟ dalam kehidupan sehari-hari. Manjing ajur ajer „masuk mencair‟ menyatukan diri dengan lingkungan. Sepi ing pamrih rame ing gawe „Jauh dari pamrih keduniawian bersungguh-sungguh dalam bekerja‟. Drona dalam cerita Dewa Ruci bukanlah pemberi ilmu kasampurnan namun hanya sebagai pemberi petunjuk, sedangkan ilmu itu sendiri dicapai dengan proses perjalanan yang dialami langsung oleh Bima, atau dalam budaya Jawa disebut dengan istilah laku. Metode atau jalan menuju tujuan dalam filsafat Barat dilakukan dengan logika formal dan penyusunan data secara sistematis, yang kini lazim disebut metode ilmiah, sedangkan dalam filsafat Jawa dengan laku. Laku dalam serat Wirid Hidayat Jati disebut sebagai: a. bekaning ngaurip lan tapaning ngaurip: halangan dan penyucian hidup. b. Keempat tingkatan menuju manunggal sebagai penghayatan manusia sempurna: syariat, tariqat, haqiqat dan makrifat disebut sebagai laku dari badan, hati, jiwa dan rasa yang di dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 140
serat Wedhatama dinyatakan sebagai sembah raga, cipta, jiwa dan rasa. Laku disamakan juga dengan istilah manekung atau semedi. Laku dalam masyarakat Jawa dilakukan dalam beberapa bentuk, yang dapat digolongkan ke dalam dua golongan yaitu: tata laku susila dan tata laku batin. 1. Tata laku Susila Tata laku susila ini umum dikenal juga dengan istilah „tapa ngrame‟ dilukiskan baik sekali dalam “Bekaning Ngaurip Lan Tapaning Ngaurip”. Mula-mula sebagai persiapan di dalam melangkah dalam perjalanan kasampurnan dan seterusnya dipelihara sampai tercapai tujuan. Karena laku ini tidak lepas dari panembah kita kepada Tuhan, maka rumusan catur sembah Mangkunegoro IV adalah tepat sekali untuk kita ingat: a. Sembah raga: sucine sarana saking warih b. sembah cipta: sucine sarana nyenyuda hardaning kalbu c. sembah jiwa: laku batin, sucine lan awas lan emut, ngukut, ngiket ngruket Triloga. Kakukut jagad ageng lan jagad alit ginulung. d. Sembah rasa: dadine wus tanpa tuduh, mung kalawan khasing batos. 2. Laku Samadi atau Manekung Bilamana tatalaku susila itu mula-mula masih kelihatan sebagai tindakan lahir, maka samadi (semedi), yang di dalam Wirid Hidayat Jati disebut „manekung‟, kemudian mengungkapkan tindakan batin semata. Samadi kini banyak dipergunakan istilah meditasi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Samadi dalam Tradisi Jawa menerapkan samadi menuju keheningan dengan cara duduk dengan kaki disatukan dan tangan bersilangan, menutup sembilan lobang pintu masuk ke dalam badan, kedua mata tenang memandang puncak commithidung, to user mengendalikan kelima panca indera
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 141
sampai suwung, mengatasi gelora keempat saudara, mengarah kepada Yang Esa, seirama dengan masuk keluar nafas. Runtutan peristiwa dalam serat Dewa Ruci sejajar dengan pola ritual samadi atau manekung Jawa. Diawali dengan keheningan cipta, menutup lobang sembilan yang sebagai bentuk lain dari mengendalikan nafsu, sehingga tercapai pengendalian terhadap panca indera. Tahap berikutnya keadaan suwung sama seperti yang dialami Sena saat masuk ke dalam samodra dan membunuh naga. Kemudian bertemulah Sena dengan Dewa Ruci, ialah dirinya sendiri yang esensial. b. Karakter Jujur dan Tulus Hukum karma sangat diyakini oleh masyarakat Jawa, dan hal ini berguna mendukung tegaknya kehidupan bermasyarakat, relasi dengan alam, relasi dengan Kekuatan Ilahi yang serasi dan selaras, misalnya sapa nandur bakal ngundhuh „ siapa menanam pasti akan menuai hasilnya‟.
Hal ini bisa dilihat dari akibat perbuatan Bima dan Duryudana. Bima berhasil
menjaga relasinya yang baik dengan alam (alas Tibraksara) , manusia (Drona, Keluarga, dirinya sendiri), Illahi (bathara Bayu dan Indra), sehingga Bima terhindar dari upaya pembunuhan, mendapatkan pencerahan setelah bertemu Bathara, untuk kemudian bertemu dengan Dewa Ruci. Bima tidak pernah bermaksud memusuhi Duryudana, dengan ketulusannya menjalani perintah guru Drona tanpa curiga, yang sebenarnya diniatkan oleh Duryudana sebagai jebakan untuk mencelakakan Bima. Duryudana dengan niat jahatnya tidak mampu menjaga relasi dengan diri sendiri, ketika harus bersikap tidak jujur di hadapan Bima, maupun dengan kekuatan Ilahi, ketika mengingkari hak Pandawa atas kerajaan Astina, akibatnya segala upaya yang dilakukannya gagal, bahkan musuhnya mencapai titik pencapaian ilmu kasampurnan. Duryudana mengalami ketakutan yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 142
berlebihan kehilangan tahta Astina padahal Pandawa sendiri tidak pernah bermaksud merebutnya. Duryudana gagal bersikap kepada Bima secara wajar sehingga justru mendatangkan kerugian pada dirinya sendiri. Diperteguh oleh Bathara Indra dan Bathara Bayu maka Bima semakin yakin bahwa perintah dari guru Drona benar adanya. Upaya Bima mencapai keinginannya yang didasari perasaan tulus dan niat yang kukuh mendapatkan restu dari kekuatan ilahiah berupa Bathara Indra dan Bayu sehingga tempat berbahaya di hutan Candramuka pun dilewati dengan selamat. c. Konsep Diri yang Kuat Gabungan karakteristik fisik seseorang (seperti mata, sosok tubuh, hidung) serta karakteristik mental (seperti ketekunan, toleransi, kebijaksanaan) merupakan kombinasi yang memunculkan kepribadian dari diri seseorang. Pengenalan pada diri sendiri adalah salah satu panduan individu untuk mengembangkan kepribadian. Di dalam bukunya yang terkenal Principles of Psichology, William James (1890) mengemukakan diri (self) adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan hanya tentang tubuh dan keadaan psikisnya sendiri, melainkan juga tentang anak, istri/suami, rumah, pekerjaan, nenek moyang, teman-teman, milik, uang dan lain-lain. kalau semuanya bagus ia merasa senang dan bangga, akan tetapi kalau ada yang kurang baik, rusak, hilang dan lain-lain ia akan merasa putus asa dan kecewa. Martin Heidegger mengungkapkan bahwa keberadaan manusia (dasein) terikat secara tidak terpisahkan dengan dunia (being-in-the-world) dan dengan keberadaan manusia-manusia lainnya. Manusia bukan semata-mata sebagai ada yang statis dan selalu sama, melainkan sebagai keberadaan yang secara berkesinambungan berubah dan berkembang. Dari segenap makhluk yang ada hanya manusia yang menyadari keberadaannya. Hanya dengan jalan menerima ketakterhindaran dari kematian dan ketiadaanlah manusia biasa menjadi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 143
sejati bagi dirinya sendiri, memiliki keberadaan yang otentik, dan menjadi sungguh-sungguh bebas. Manusia ditandai sebagai makhluk terbaik adalah kebebasan dan kesanggupannya untuk memilih. Individu yang memiliki konsep diri negatif cenderung tidak dapat mengarahkan kasih sayangnya kepada orang lain karena pada permukaannya mereka tampaknya banyak sekali mencurahkan waktunya untuk mencintai diri mereka sendiri, tetapi mereka sesungguhnya tidak menyenangi diri mereka dan memiliki sikap narsis dan egois sebagai kompensasi diri yang berlebihan. Sementara konsep diri yang positif cenderung menyenangi dan menghargai diri mereka sendiri, sebagaimana sikap mereka terhadap orang lain. penerimaan diri sebagai seseorang yang sama berharganya dengan orang lain. individu dengan konsep diri positif ini juga memiliki rasa aman dan percaya diri yang tinggi, memiliki keyakinan dan kepercayaan diri untuk menanggulangi masalah bahkan dihadapkan dengan kegagalan sekalipun sanggup dihadapi dengan jiwa besar. Mereka memiliki kemampuan untuk memodifikasi nilai dan prinsip yang sebelumnya dipegang teguh dengan pengalaman yang baru, tidak mempunyai kekhawatiran terhadap masalalu dan masa yang akan datang. Memahami konsep diri sangatlah penting karena dengan pemahaman konsep diri yang benar seseorang akan dapat lebih mengetahui dirinya sendiri dan belajar untuk lebih menerima dirinya. Hal ini juga akan membuat individu tidak akan mudah kehilangan arah perjalanan hidup, tidak mudah terpengaruh. Salah satu latihan individual yang dapat membantu seseorang lebih memahami kosep dirinya adalah dengan mengalami. Mengalami memudahkan individu untuk menyadari apa yang dirasakan oleh dirinya sendiri dengan semua keinginan pribadi. Memfokuskan seluruh perhatian pada pengalaman pribadi yang dialami, merasakan pengalaman sensasi dan emosi yang terjadi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 144
Sesuai dengan teori kepribadian yang dipaparkan di atas dalam kebudayaan Jawa terdapat ungkapan: Murid Gurune pribadi, guru muride pribadi yang berarti di dalam diri sendirilah sesungguhnya manusia bisa mendapatkan hikmah dan makna kehidupan dari laku yang dialami dalam kenyataan hidup itu sendiri. Gayut dengan ungkapan tersebut adalah satu ungkapan: Ngelmu Iku Kalakone Kanthi laku. Laku yang berarti kebijaksanaan hanya bisa didapatkan dengan perjalanan lahir-batin. Menurut pandangan Jawa ngelmu berbeda dengan ilmu. Ngelmu adalah ajaran batin untuk bekal hidup di dunia dan di akhirat. Ajaran tersebut akhirnya menjadi penuntun bagi seseorang dalam berperilaku. Untuk memperolehnya memerlukan kekuatan batin serta penghayatan pribadi, bukan dengan aktifitas logika saja. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang dikemas secara sistematis disusun berdasarkan metodologi tertentu yang berlandaskan nalar atau logika. Ngelmu termasuk ngelmu kasampurnan yang diusahakan Bima dalam cerita wayang Dewa Ruci, hanya bisa dikuasai setelah dilakoni. Ngelmu didahului dengan puasa atau tapabrata yang prinsipnya membersihkan jiwa raga dari nafsu duniawi. Dalam menjalani lelaku tersebut eneng (fisiknya terkelola), ening (batin-rasa-pikiran yang jernih), eling (sadar), dan awas (waspada). Untuk memperbaiki kesadaran tentang diri sebagai sebuah organisme diperlukan relaksasi. Untuk merespon pesan dari lingkungan secara sehat dibutuhkan tubuh yang relaks untuk menahan terbentuknya respon stres, terutama dalam sistem saraf dan hormon. Dengan menerapkan teknik ini seorang individu dapat terbantu untuk mencegah ataupun meminimalkan gejala fisik akibat stres yang timbul sebagai salah satu konsekuensi tubuh menerima pesan-pesan yang bersifat mengancam diri dalam upaya penyelesaian masalah kehidupan sehari-hari. Relaksasi dilakukan pada fisik dan mental.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 145
Relaksasi fisik dilakukan dengan pernafasan dan olahraga. Pernafasan sampai saat ini merupakan metode relaksasi yang termudah sekaligus juga utama, melihat adanya di berbagai bangsa dengan teknik pernafasan yang berbeda-beda. Dalam bentuk yang paling sederhana pernafasan dilakukan secara pelan, sadar dan dalam dengan melibatkan gerakan sadar abdomen bagian perut. Selain itu olahraga juga merupakan cara yang paling populer dan efektif dalam mengurangi stres. Alasan dasar mengapa olahraga berfungsi sebagai teknik relaksasi yang efektif adalah bahwa hormon stress yang dilepaskan untuk metabolisme dalam respons melawan atau menghindar dipakai tujuan metabolik. Olahraga membentuk suatu kekebalan terhadap stres yang akan memperkuat organ-organ vital tubuh, seperti jantung dan otot. Meditasi dideskripsikan sebagai suatu peningkatan konsentrasi dan kesadaran, suatu proses untuk menjernihkan pikiran dan hanyut dalam momen yang sedang berlangsung. Temuan riset menunjukkan bahwa mereka yang secara teratur melakukan meditasi memperlihatkan tanda-tanda kecemasan yang lebih sedikit, kepercayaan diri dan pengandalan diri pribadi yang baik, kemampuan untuk dapat tidur dengan lebih tenang dibandingkan mereka yang tidak melakukan meditasi. Meditasi bisa dilakukan secara eksklusif dan secara inklusif. Meditasi secara eksklusif yaitu suatu metode meditasi yang mengharuskan individu membatasi perhatian hanya pada satu pikiran, sehingga akan menjadi alat untuk mengusir semua pikiran lain dari benak pikiran. Kekuatan dari pikiran tunggal ada pada pengulangannya yang memecah perhatian secara terus-menerus, seperti layaknya ombak di laut sampai semua pikiran lain keluar. Proses meditasi terbatas mengharuskan individu menutup pikiran terhadap semua pikiran sensasi dan perhatian pada pikiran batin. Meditasi secara inklusif disebut sebagai meditasi batin atau meditasi akses, benak pikiran bebas menerima semua pikiran baik yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 146
disadari ataupun tidak. Semua pikiran yang masuk dipilih tanpa ada keterikatan emosional, sehingga seseorang akan membiarkan ego diri runtuh dalam pikiran meskipun untuk sementara. d. Teliti dan Sabar Bima diminta mencari air suci tanpa petunjuk yang jelas dari Drona, apa yang harus dilakukan maupun apa yang harus disiapkan. Hal ini lazim dalam sistem pewarisan pengetahuan tradisional masyarakat Jawa, dimana ilmu diwariskan secara sinandhi atau tersamar. Keberhasilan menerjemahkan sandhi yang disampaikan oleh guru menunjukkan si murid memang telah sanggup menerima ilmu yang diwariskan. Terkadang ilmu itu terdapat dalam sandhi yang disampaikan oleh sang guru. Murid harus mencerna dan bahkan kadang harus dengan mengikuti dan meniru sang guru, misalnya dalam cerita Ki Ageng Selo dengan Ki Jaka Tingkir. Murid harus menyadari bahwa sebuah pengetahuan tidak akan diajarkan secara langsung, melainkan melalui sanepan yang memerlukan perenungan lebih lanjut. Fenomena ini juga terdapat dalam cara orang Jawa mengajarkan atau menyampaikan pengetahuan lebih banyak melalui bentuk karya sastra, bukan melalui pemaparan langsung. Religiositas tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak) tetapi dalam pengalaman, penghayatan (totalitas diri) yang mendahului analisis atau konseptualisasi, sesuai dengan model Pendidikan Jawa tradisional yang menekankan pada pentingnya kepekaan rasa dan ketajaman analisa terhadap peristiwa yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam keterangan yang diperoleh dari orang tua ataupun guru. Wong Jawa nggone semu „Orang Jawa tempatnya simbol‟, ungkapan demikian sudah menjadi pengetahuan umum bagi orang Jawa. Dalam metode pembelajaran yang demikian maka seorang pembelajar dituntut untuk sabar mengolah sendiri pengetahuan-pengetahuan yang dialami sekaligus teliti terhadap peristiwa yang dialami sehingga tidak keliru dalam mengkonsep rumusan dari pengalaman belajarnya. Pengetahuan dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 147
demikian bukan sekedar sebuah rumusan instan namun juga mengandung penghayatan sehingga mendapat ilmu juga dibarengi dengan terbentuknya sikap. e. Kemampuan Bersikap Secara sederhana dapatlah diuraikan bahwa sikap adalah cara seseorang melihat sesuatu secara mental (dari dalam diri) yang mengarah pada perilaku yang ditujukan pada orang lain, ide, objek maupun kelompok tertentu. Sikap juga tercermin dari cara seseorang mengkomunikasikan perasaannya kepada orang lain, termasuk juga melalui perilaku. Jika perasaan seseorang terhadap sesuatu adalah positif maka akan terpancar pula perilaku positif dari individu bersangkutan. Jika perasaan sedang tidak nyaman (negatif) maka yang nampak adalah wajah yang keruh, semangat kerja menurun, hari-hari terasa membosankan. Sikap adalah sesuatu bisa dipelajari bukan bawaaan, lebih bisa dibentuk, dikembangkan, dipengaruhi dan diubah. Sikap mengandung tiga bagian yaitu kognitif (keyakinan, kesadaran), afektif (perasaan), konatif (perilaku) dengan uraian sebagai berikut: Komponen kognitif adalah komponen yang berisikan apa yang diyakini dan apa yang dipikirkan seseorang mengenai objek sikap tertentu – fakta, pengetahuan dan keyakinan tentang objek. Misalnya, sikap mahasiswa terhadap senjata nuklir, komponen kognitif dapat meliputi beberapa informasi, cara pelepasannya, daya hancurnya. Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap objek, terutama penilaian. Tumbuhnya rasa senang atau tidak ditentukan oleh keyakinan seseorang terhadap objek sikap. Semakin dalam komponen keyakinan positif maka akan semakin senang orang terhadap objek sikap. Misalnya kekhawatiran atau ketakutan akan terjadinya penghancuran oleh nuklir pada kehidupan manusia. Keyakinan negatif ini akan menghasilkan penilaian negatif pula terhadap nuklir. Komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi atau kecenderungan untuk bertindak terhadap objek. Bila commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 148
seseorang menyenangi suatu objek, maka ada kecenderungan individu tersebut akan mendekati objek dan sebaliknya. Misalnya kecenderungan mahasiswa untuk bertindak terhadap senjata nuklir dengan menandatangani petisi dan mengadakan demonstrasi untuk menentang penyebaran rudal berkepala nuklir, menentang orang yang mendukung penggunaan nuklir. Dengan mengetahui kognisi dan perasaan seseorang terhadap suatu objek sikap tertentu maka akan dapat diketahui pula kecenderungan perilakunya. Namun dalam kenyataannya tidak selalu suatu sikap tertentu berakhir dengan perilaku yang sesuai. Artinya terjadi proses pengaruh mempengaruhi dari komponen kognitif, afektif dan perilaku. Bima dalam Serat Dewa Ruci memiliki sikap yang idial. Secara Kognitif Bima berangkat mencari toya pawitra sari dengan keyakinan akan bisa menemukannya, dan membuka kewaspadaannya sehingga sampailah ia pada kesadaran akan yang dicarinya. Secara afektif perasaan tidak mudah terombang-ambing dan fokus hanya kepada tujuan perjalanannya, tidak terbujuk tangis kekhawatiran dari saudara-saudaranya. Secara konatif Bima berperilaku positif terhadap halangan yang dihadapinya, ia tidak mundur dari niatnya meskipun menghadapi halangan yang belum tentu bisa ia selesaikan. f. Tepa Sarira / Empati Fuad Hassan dalam disertasinya berjudul: Neurosis Sebagai Konflik Existensiil melihat bahwa gejala neurosis bukan sekedar radang pada neuron-neuron, gejalah patologis, melainkan awalnya adalah suatu sikap yang dipilih oleh individu sebagai jawaban terhadap kenyataan mengenai keberadaan dirinya terhadap dunia yang dengannya keberadaan diri itu berpadu, betapapun derajat kesadaran yang mendukung pilihan itu. Memang benar bahwasannya neurosis itu adalah suatu konflik tapi bukanlah suatu konflik patologis pada dasarnya melainkan suatu konflik eksistensial.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 149
Sesungguhnya semenjak abad ke-14 pujangga Mpu Tantular telah mengkonsepkan “Bhinneka Tunggal Ika”. Suku bangsa di Nusantara memiliki toleransi dan kebijaksanaan dalam perbedaan. Dalam bahasa Melayu yang kemudian menjadi Bahasa resmi Bangsa Indonesia terdapat kosakata “kita” yang tidak terdapat dalam bahasa dari Barat yang hanya mengenal kata I/we, you, he/she/they sebagai subjek. Kata „kita‟ adalah sebentuk konsep kebudayaan yang mewadahi antara yang memberi pesan dengan yang mendapat pesan dalam satu kesatuan subjek. Individu dan masyarakat sebagai satuan yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Ngilo githoke dhewe, tepa sarira, merupakan konsep yang mengandung kesadaran budaya bahwa dengan mengenali diri sendiri maka sesungguhnya kita akan mampu lebih memahami orang lain yang dengan demikian kita mampu memahami komunitas secara lebih luas. Mengenal diri seperti yang dicontohkan Bima yang bertemu dengan Dewa Ruci, diri yang esensi, adalah pintu kesadaran eksistensi atau keberadaan individu yang secara esensial tidak berbeda dengan keberadaan yang lain. Mengenal diri juga adalah cara terbaik untuk bisa mengenal orang lain sehingga lahirlah tepa sarira, empati, kepedulian kepada yang lain. g. Tenang Peristiwa yang terjadi dalam keseluruhan serat Dewa Ruci dibangun dengan dua persoalan yang datang dari Prabu Duryudana dan Bima dengan tujuan yang masing-masing berbeda. Prabu Duryudana yang ingin mempertahankan kedudukannya sebagai raja Astina dari Pandawa ia berusaha melemahkan Pandawa dengan cara membunuh Bima. Dirancanglah suatu cara mencelakakannya dengan meminjam kuasa Drona atas Bima. Sedangkan Bima sendiri seperti yang ia sampaikan kepada Drona, memiliki tujuan ingin mencapai kesempurnaan. Pada bait pertama digambarkan Drona meminta kepada Bima untuk mencari Banyu Pawitra Sari ke gunung Candramuka, dengan alasan yang disampaikan kepada Duryudana untuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 150
menjerumuskan Bima ke dalam celaka. Di gunung Candradimuka Bima mampu „mengalahkan‟ raksasa yang diharapkan oleh Duryudana benar-benar dapat membunuh Bima yang pulang tanpa hasil kecuali petunjuk dari Bathara yang ditemuinya bahwa Banyu Pawitra Sari tidak berada di gunung Candradimuka. Dapat dikatakan dalam peristiwa ini Kurawa atas nama Duryudana gagal dalam usaha pembunuhan, sapa salah seleh „siapa salah akan kalah‟. Kesadaran terhadap rumusan tersebut menjadikan Bima sosok yang tenang dalam menghadapi masalah. h. Mau Berkorban Menginginkan keselamatan dan kesejahteraan memerlukan pengorbanan, demikianlah yang dialami Bima. Kedatangan Bima ke Astina menemui Drona untuk mendapatkan ngelmu kasampurnan ternyata tidak bisa didapatkan dengan mudah. Keinginan Bima untuk mencapai kasampurnan dalam kebudayaan Jawa dianggap sebagai titik pencapaian tertinggi manusia. Bima harus mengalami marabahaya yang membuat saudara-saudaranya Pandawa khawatir akan keselamatannya. Dia harus menghadapi dua raksasa yang sangat ganas dan kemudian Bima juga harus berserah diri atas hidupnya dengan masuk ke samudra dan menghadapi naga besar yang erat membelitnya. Bima demi menuruti perintah sang guru Drona tidak takut sama sekali menghadapi rintangan seberapapun besarnya. Ia melawan dua raksasa yang dianggap sebagai penghalang dan terbukti berhasil membunuh Rukmuka dan Rukmakala. Kesungguhannya mendapat hasil. Bima bertemu dengan Bathara Indra dan Bathara Bayu yang kemudian “memberinya” kesadaran bahwa petunjuk gurunya adalah benar namun tempatnya tidak di gunung Candramuka. Oleh karena di gunung tersebut tidak terdapat Tirta Pawitra Sari Bima menghadap kembali kepada guru Drona. Peristiwa di Candramuka menunjukkan pentingnya kemampuan mengendalikan nafsu sehingga akan didapat kesadaran. Ketika Bima di tengah samudra dibelit naga besar yang seakan menyatu dengan dirinya ia menancapkan kuku commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 151
pancanaka sebagai jati dirinya sehingga musnahlah naga dan muncullah Dewa Ruci di depan Bima yang kehilangan kesadaran akan arah dan pijakan. Larangan dari saudara, istri maupun ibu diabaikannya demi mencapai tujuan utamanya. Dengan segala mara bahaya yang dihadapi Bima mendapatkan keinginannya mencapai kesempurnaan dengan bertemu Dewa Ruci yang memaparkan makna hidup, asal dan tujuan kehidupan. Ungkapan jer basuki mawa beya sama artinya dengan ungkapan ana barang ana rega „ada kualitas ada harga‟, Sapa Nandur Bakal Ngunduh „siapa menanam akan menuai‟. Hal ini menunjukkan betapa logika Jawa menekankan nilai pengorbanan sebelum mendapatkan hasilnya. Ketekunan dan kesungguhan Bima ternyata mampu menggagalkan segala upaya Duryudana untuk membunuhnya. Bima dalam mencapai cita-cita dilandasi kemantapan hati dengan semangat tinggi disertai kepasrahan kepada Tuhan sehingga berbagai rintangan berhasil dihadapi. i. Sikap Berbakti sistem pendidikan tradisional Jawa mengenal konsep hubungan murid dengan guru bukan hanya sebagai hubungan profesi namun lebih dari itu, hubungan murid dengan guru adalah hubungan personal. Di dalam konsep yang demikian muncul istilah bekti „berbakti‟ murid kepada guru. Bekti berarti kekosongan diri seorang murid seperti sebuah gelas yang tidak berisi curiga dan syak wasangka, hanya berisi kepercayaan dan kepasrahan, totalitas penyerahan. Mungkin hal ini nampak utopis dalam kehidupan modern saat ini, di mana terkesan seakan guru adalah segalanya. Namun jika kita mendengar istilah: kehendak rakyat kehendak Tuhan, sebenarnya mengandung utopia juga namun jarang dipertanyakan. Meskipun rakyat adalah kumpulan orang dari yang baik sampai yang jahat. Sejarah juga membuktikan bahwa kehendak rakyat tak selalu benar. Apakah dengan demikian kehendak Tuhan juga terkadang tidak benar? commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 152
Hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa dalam konsep „bekti‟ tersebut juga menuntut kualitas guru yang sangat tinggi. Dari istilah guru sendiri sebenarnya sudah mengandung tuntutan yang tinggi kepada setiap guru. Arti guru adalah orang yang telah melatih diri sendiri sampai ia tak punya lagi kepentingan pribadi, mengalahkan kecenderungan buruk tubuh dan jiwanya. Guru adalah orang selalu punya jawaban dari permasalahan atau memiliki problem solving berdasarkan problem-setting yang benar-benar dipahami dengan keluasan cakrawala pandang dan ketentraman hati. Kualitas setinggi itu ditunjukkan oleh Drona yang merupakan metafor dari kelapangan dada paripurna, yang rela hidup di dalam lingkungan Kurawa, demi memitigasi keburukankeburukan Duryudana dan saudara-saudaranya. Bukan hanya memahami peta permasalahan dan peta penyelesaian namun juga menjalani peran yang harus dimainkannya dengan tulus ikhlas meskipun hatinya selalu memuji Pandawa termasuk Bima di dalamnya. Maka „bekti‟ bukanlah kepasrahan buta tapi kepasrahan yang didasari kesadaran dan hubungan saling menghormati peran masing-masing, peran murid dan peran guru pada kualitas tertinggi. 4. Relevansi Serat Dewa Ruci dengan Pembelajaran Bahasa Jawa Pembelajaran bahasa dan sastra Jawa sebagaimana yang diatur di dalam PERDA No. dan PERDA No. 9 tahun 2012 bahwa bahasa Jawa wajib diajarkan pada sekolah formal, nonformal dan informal. Sekolah wajib mengembangkan, membina dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan bangsa Indonesia. Berdasarkan peraturan daerah di atas pemngembangan dan pembinaan bahasa dan sastra Jawa pada kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru tidak hanya berperan sebagai pendidik, namun juga berperan sebagai perencana pendidikan. Pada kurikulum KTSP bahasa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 153
Jawa SMA kelas XII semester 1 terdapat standar kompetensi dan kompetensi dasar yang berhubungan dengan cerita wayang. Cerita wayang merupakan media yang tepat untuk menyampaikan pesan-pesan positif secara halus, utuh, dan mendalam agar dapat diterima dengan baik oleh pembacanya. Di dalam konteks pembelajaran bahasa Jawa khususnya cerita wayang, guru dapat menggunakan materi cerita wayang utamanya dihubungkan dengan kandungan filosofi dan sikap hidup yang umumnya dikandung oleh sebuah cerita wayang bukan sebagai pengetahuan semata namun sebagai sebuah laku penghayatan di dalam hidup sehari-hari. Dihubungkan dengan kurikulum 2013 Salah satu Kompetensi Inti darinya adalah adanya kompetensi religius yang berdasarkan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa serat Dewa Ruci mengandung muatan nilai religius yang teramat kental. Di dalamnya juga terdapat metode menyuburkan kompetensi religius tersebut. Serat Dewa Ruci bisa menjadi referensi bagi pengembangan Kompetensi Inti pada kurikulum 2013, sekaligus juga bisa sebagai bahan pembelajaran tentang wayang sehingga nilai-nilai religiusitasnya bisa diserap oleh peserta didik. Metode yang tepat dalam pelaksanaan proses pembelajaran akan mempermudah penyampaian bahan ajar secara lebih lancar. Dihubungkan dengan metode pembelajaran yang merupakan bagian tak bisa dipisahkan dalam mendukung keberhasilan pembelajaran maupun pendidikan, serat Dewa Ruci memiliki salah satu metode khas Jawa yaitu laku. Metode laku dalam pendidikan Jawa sebenarnya tidak berbeda jauh dengan pendekatan saintifik di dalam kurikulum 2013, dimana titik beratnya adalah pada kesempatan siswa untuk mencari dan menemukan sendiri pengetahuan berdasar pengalamannya. Sedikit pembedanya adalah bahwa dalam metode laku manusia Jawa selain menjadikan dirinya sendiri sebagai subjek pembelajaran sekaligus sebagai objek pembelajaran. Mengenali diri sendiri sesuai hasil penelitian merupakan pintu awal bagi seorang pembelajar untuk memasuki dunia pengetahuan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 154 B. PEMBAHASAN
Berangkat dari hasil penelitian terhadap kajian semiotik Serat Dewa Ruci dan kajian nilai pendidikan karakter pada bagian sebelumnya, akan dibahas lebih lanjut melalui pembahasan yang dilakukan untuk mencerna masalah: Sistem tanda, makna hermeneutik, nilai pendidikan karakter, dan relevansi dengan pembelajaran. Langkah-langkah dalam bagian pembahasan ini adalah dengan menilai berkas hasil penelitian/temuan penelitian terhadap tanda dalam serat Dewa Ruci dengan menggunakan perspektif teori tertentu dan penelitian yang relevan. Digunakan artikel untuk menjustifikasikan temuan penelitian tanda dan atau mengungkapkan persamaan, perbedaan dengan penelitian terdahulu. 1. Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu Penelitian terhadap Serat Dewa Ruci yang dihubungkan dengan nilai pendidikan seperti yang dilakukan di dalam penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga metode pembelajaran laku sebagai salah satu metode pembelajaran dalam budaya tidak pernah diangkat dalam penelitian terhadap serat Dewa Ruci oleh penelitian yang dilakukan sebelumnya, sebagai contoh, Simuh (1988) setelah uraiannya mengenai konsep monisme, penyatuan manusia dengan Tuhan menyimpulkan serat Dewa Ruci melalui metafor masuknya Bima ke tubuh Dewa Ruci sebagai bagian ajaran mistik kejawen. Soetarno (2004:21) menyimpulkan bahwa Serat Bimasuci sebagai mistisisme Jawa dalam rangka manunggaling Kawula-Gusti. Wahyudi dalam desertasinya hanya melihat secara struktural relasi oposisi berpasangan Bima-Drona sebagai transformasi relasi oposisi berpasangan Vayu-vata dalam kapasitasnya sebagai relasi nafas halusnafas kasar yang menghasilkan inti nafas atau prana (2013: 605). Laku dalam pemahaman umum masyarakat Jawa dianggap sebagai cara atau metode untuk memperoleh kesaktian atau pusaka, commit atau dihubungkan sebagai perilaku mistis. Hal ini to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 155
menjadikan laku sebagai metode pembelajaran khas Jawa mengalami pembelokan atau setidaktidaknya pendangkalan arti. Berbeda dengan pemahaman umum, tahapan pembelajaran Jawa yang justru diawali dari laku untuk mengenali diri sendiri sesuai dengan ajaran agama dan bukan merupakan perilaku mistis. Seperti disampaikan dalam analisa data kata-kata mutiara dalam komunitas Islam “man arafa nafsahu faqad „arafa rabbahu” yang artinya barang siapa mengenal dirinya maka mengenal Tuhannya bisa menjadi pijakan nilai yang sama dengan apa yang menjadi inti ajaran dalam serat Dewa Ruci. Kebudayaan Jawa mengenal istilah „laku‟ sebagai konsep yang hampir sama dengan konsep puasa pada agama, dengan perbedaan „laku‟ tidak mengenal aturan baku atau aturannya cenderung longgar, misalnya dalam nasihat laku cegah dahar lawan guling „mengurangi makan dan tidur‟, batasannya tidak jelas harus seberapa mengurangi makan dan tidur. Pokok dari laku dalam konsep kebudayaan Jawa adalah sikap prihatin yang batasannya bisa ditentukan sendiri oleh niat pelaku. Laku bisa dikatakan sebagai strategi kebudayaan Jawa menghindari jebakan formalitas agama dan keyakinan. Setiap nilai dan tindakan yang dibakukan pada akhirnya memang seringkali akan menjadi sekedar formalitas atau terasing dari substansi asalnya. Kesimpulan ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Santosa bahwa konsep laku Jawa tercermin juga dalam istilah tapa ngrame „bertapa di dalam kehidupan nyata‟, bukan bertapa dengan menjauhi kehidupan itu sendiri. Tapa ngrame tidak memiliki panduan tertentu namun hanya menekankan pada sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan kebenaran dan kebaikan, bener tur pener dalam kehidupan sehari-hari. Manjing ajur ajer „masuk mencair‟ menyatukan diri dengan lingkungan (2012: 14). Sepi ing pamrih rame ing gawe „Jauh dari pamrih keduniawian bersungguh-sungguh dalam bekerja‟.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 156
Hasil penelitian ini merevisi kesimpulan Anderson yang mengatakan bahwa bagi orang Jawa kekuasaan bersifat adikodrati, berasal dari Tuhan sehingga barang siapa yang mendapatkan kekuasaan tersebut tak perlu dipertanyakan keabsahannya. Selanjutnya dijelaskan bahwa kekuasaan tersebut bersifat kongkrit karena kekuasaan tersebut ada dan berasal dari Tuhan dan bukan hasil teoritis. Karena bersifat adikodrati maka kekuasaan tidak memiliki implikasi moral (dalam Ansari, 2010: 48). Berdasar data dan analisis semiotik yang dilakukan kekuasaan dalam sistem nilai Jawa tidak hanya bersifat adikodrati namun berdasar sebuah proses. Bima untuk mencapai penguasaan kasampurnan melalui proses yang bertahap dan bukan sebagai given „pemberian‟. Jika yang dimaksud Anderson adalah kekuasaan politik maka di dalam serat Dewa Ruci, kekuasaan politik tidak sepenuhnya sebagai pemberian namun juga adalah akibat dari kualitas-kualitas yang dimiliki oleh sang penguasa, misalnya dicontohkan Pandawa yang mendapatkan keberuntungan karena perilaku yang memang benar dan baik sesuai nilai-nilai yang ada. Revisi ini meluruskan kenyataan bahwa masyarakat Jawa mendasarkan nilai-nilai hidupnya kepada sebuah hubungan yang logis dan bukan sebuah hubungan yang tak terjangkau akal atau irasional. Hasil penelitian ini menguatkan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Kesimpulan Yousof dalam artikel ilmiahnya (2010: 83) bahwa cerita Ramayana dan Mahabharata banyak yang ditafsirkan kembali untuk memberi ruang bagi masuknya ide-ide Islam dan Sufi, dikuatkan dengan hasil dari penelitian yang dilakukan dimana beberapa ide yang ada di dalam serat Dewa Ruci tidak hanya berkesesuaian dengan ide-ide Islam namun bahkan hanya ada di Islam dan Sufi, misalnya tidak adanya hierarki dalam sistem religi. Demikian pula pernyataan Woodward (1989: 193) bahwa serat Dewa Ruci telah mulai ditulis selama periode transisi dari Hindu ke Islam, dengan menggunakan mitologi Hindu-Jawa untuk menyajikan teori commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 157
sufi juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan karena ditemukan perpaduan nilai dan simbol dari kedua agama tersebut di dalam serat Dewa Ruci. Kolman, etc. dalam jurnalnya menyimpulkan bahwa pengalaman pribadi menentukan faktor-faktor motivasi individu. Hal ini sangat jelas, bahwa pada tingkat biologis proses motivasi harus sama di semua manusia. Namun, rangsangan atau kondisi di mana proses motivasi yang terjadi mungkin disebabkan oleh pribadi pengalaman individu yang bersangkutan (2012: 92). Penelitian tentang pengaruh motivasi terhadap perkembangan seseorang telah banyak dilakukan dan menyimpulkan bahwa motivasi berbanding lurus dengan capaian prestasinya. Hal ini sesuai dengan apa yang digambarkan di dalam serat Dewa Ruci dimana Bima didorong oleh kondisikondisi pribadi yang sebagai panengah Pandawa dan pelindung bagi saudara-saudaranya memiliki motivasi untuk mencapai kesempurnaan. Motivasi yang besar itu pulalah yang menjadi sumber tenaga bagi Bima dalam menembuh setiap tantangan. Utami dalam jurnal internasionalnya menyatakan bahwa sebuah tujuan pendidikan yang penting di sekolah menengah adalah untuk memberikan melek sastra yang cukup untuk memastikan bahwa siswa mampu memahami dan mencerminkan teks-teks sastra, seperti lirik, epos, atau drama (1999: 16). Hal ini menguatkan tujuan dari penelitian yang dilakukan dimana berdasar data dan analisa yang dilakukan pemahaman terhadap sastra adalah sesuatu yang diperlukan untuk menumbuhkan sisi humanisme dari siswa terutama dalam masyarakat modern saat ini dimana menurut Gibson tempat dan ruang kematian sangat dikelola dan diatur dalam masyarakat modern, bersikap seolah-olah kematian hampir tidak ada dan terlihat di sebagian besar lingkungan sehari-hari. Subjek modern dinampakkan makmur, aman, dan politik dimaknai secara geografik terlindung dari adegan kematian. Serangan di pusat perbelanjaan atau supermarket adalah gangguan dari tatanan sosial dan menjadi awal kesadaran akan kematian commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 158
dalam kehidupan sehari-hari (2011, 146). Pembongkaran dunia artifisial bisa dilakukan oleh sastra dengan menghadirkan kenyataan tentang kematian dalam pikiran manusia modern termasuk siswa, salah satunya melalui cerita Dewa Ruci dimana kematian tidak dihindari namun diakui kehadirannya dan dipahami sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan tanpa menempelkan konotasi negatif terhadapanya. Hal ini menjadikan manusia modern mengada dengan cara lebih sehat dan wajar. 2. Kelemahan Serat Dewa Ruci Sebagai bahan pembelajaran, serat Dewa Ruci memiliki kelemahan. seperti banyak terdapat dalam sastra tradisional, penggambaran dengan peperangan dan pembunuhan merupakan hal yang jamak. Hal inilah yang menjadikan pembacaan terhadap serat Dewa Ruci khususnya dan sastra tradisional umumnya selalu membutuhkan pembacaan ulang, yang tidak semua siswa mampu melakukannya. Menurut Baskarada dalam jurnal internasionalnya, data dan fakta, pengetahuan dan kebijaksanaan adalah hal yang masih belum dipahami benar oleh kebanyakan masyarakat umum (2013: 5) apalagi oleh siswa sekolah menengah. Pengenalan kepada sastra tradisional pada akhirnya juga menuntut peningkatan kemampuan siswa dalam melakukan pembacaan ulang atau tafsir. Dibutuhkan teknik khusus dimana siswa terlatih melakukan tafsir terhadap karya sastra tradisional. Serat Dewa Ruci bukan hanya mengandung nilai-nilai masyarakat Jawa namun juga mengandung sistem tanda yang sekaligus menggambarkan sistem nilai. Metafor yang dikandung patut dipahami secara komprehensif sehingga pola-pola tanda yang ada bisa menjadi acuan dalam pemaknaan cerita wayang maupun terhadap serat Jawa umumnya. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi salah tafsir terhadap budaya dan nilai-nilai masyarakat Jawa yang menjadikannya sebagai budaya yang seakan-akan tidak pantas dipelajari. Penelitian terhadap Dewa Ruci perlu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 159
dilakukan secara mendalam. Begitu pula penelitian terhadap serat Jawa umumnya tentulah juga membutuhkan penelitian mendalam karena kekayaan metafornya, sedangkan acuan untuk menafsirkannya masih kurang dibandingkan kajian terhadap karya sastra modern. 3. Pendekatan semiotik terhadap Serat Dewa Ruci Sepanjang penelitian yang dilakukan penggunaan pendekatan semiotik dirasa tepat dengan ditemukannya banyak metafor dan sistem tanda yang mengandung makna yang penting bagi pengembangan sastra utamanya sastra Jawa jenis wayang dan pendidikan karakter. Sesuai dengan pernyataan Semetsky bahwa struktur sebagai bagian dari sistem tanda menegaskan keutamaan hubungan antar elemen. Struktur adalah properti sistemik; elemen sistem dihasilkan dari hubungan yang menghubungkan satu elemen dengan yang lain (Semetsky, 2009: 191). Pendekatan semiotik dengan demikian menjadikan objek penelitian bisa dipahami dalam keutuhan sistem tanda tidak sebagai bagian-bagian yang saling terpisah, karena pemahaman yang parsial berpotensi mengalami pembelokan atau setidaknya pendangkalan arti yang tidak menguntungkan bagi perkembangan sastra pada umumnya dan sastra Jawa pada khususnya. 4. Serat Dewa Ruci sebagai Peningkat Karakter Siswa Nilai yang teramat penting yang menjadi pembeda ajaran Dewa Ruci yang merujuk kepada Al Quran namun dari penelitian terhadap SDR tidak pernah disadari adalah tidak adanya sistem kekuasaan dalam religiusitas. Jika di agama tradisional dan dalam budaya tradisional berdoa harus lewat seorang perantara, baik pendeta maupun dukun. Sedangkan kabar gembira dalam agama Islam adalah bahwa setiap manusia bisa langsung berhubungan dengan Tuhan tanpa perantara. Setiap manusia bisa memiliki hubungan yang intim dengan Tuhannya tanpa ada jarak lagi, yang lebih dekat dengan urat leher kita sendiri melalui doa maupun yang lain, dan diterima atau tidaknya bukanlah karena kedudukan seseorang dalam struktur agama namun commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 160
berdasar tingkat ketakwaannya. Nilai ini penting karena menjadikan insan merasa memiliki harkat dan martabat yang sama atau sejajar dengan orang lain tanpa merasa lebih rendah karena suatu kedudukan sosial maupun kekayaan. Hubungannya dengan pendidikan karakter, nilai dasar berupa kesetaraan adalah hal wajib untuk dihayati oleh setiap peserta didik, yang diimbangi dengan nilai tanggungjawab seperti halnya dicontohkan oleh tokoh Bima di dalam serat Dewa Ruci, sehingga ia memperoleh kesaktian yang melebihi manusia pada umumnya. Nilai lain yang dinyatakan serat Dewa Ruci bahwa keuntungan dan kerugian adalah akibat langsung dari perbuatan. setiap orang adalah pencipta dari kesenangan dan kesusahannya sendiri. Kebangkitan dan keruntuhannya, kehormatan, kenistaan, kesengsaraan, kemuliaan adalah buah perbuatan manusia itu sendiri, seperti tercermin dari surat Al Baqarah 2:286: “Baginya adalah ganjaran dari kebaikan yang ia kerjakan, dan untuknya adalah hukuman dari kejahatan yang ia lakukan”. Bima tidak saja berguru menemui resi namun menjalani laku mencari banyu pawitra Sari. Hatinya bersih dari ketakutan, dan memiliki kepercayaan diri karena rasa kepasrahan. Setiap manusia dikarunia daya kemampuan Ilahi dan tak sepatutunya menyerahkan tali kendali atas dirinya kepada orang lain. “Apakah orang yang berjalan dengan muka tersungkur itu lebih mendapat petunjuk, ataukah orang yang berjalan tegak di atas jalan yang lurus?” Keselamatan itu terdiri atas sempurnanya perkembangan daya-daya batin manusia. Oleh karenanya dikenal sistem hidup yang harus diikuti oleh manusia yang berupa agama, norma, maupun nilai-nilai bersama, sebagai jalan untuk mengembangkannya. Keselamatan tidak memerlukan uang tebusan, perantara atau penebus dosa. Keselamatan terjadi hanya dengan mewujudkan daya-daya batin manusia yang terpendam berupa potensi sehingga teraktualisasi dalam kehidupan sehari-hari menjadi laku yang dihayati, seperti halnya yang dilakukan oleh Bima dalam serat Dewa Ruci.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 161
Melalui proses laku Bima melakukan pengenalan diri sehingga menemukan inti dari identitasnya atau jati dirinya ialah sebagai makhluk Tuhan yang menjalani hidup dalam titah Tuhannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kajian semiotik dan nilai pendidikan karakter serat Dewa Ruci, setelah dilakukan kajian sistem tanda yang dilakukan dengan pembacaan ulang, kajian terhadap kandungan nilai pendidikan dan relevansinya dengan pembelajaran bahasa Jawa maka dihasilkan simpulan yang berkaitan dengan penelitian sebagai berikut. 1. Terdapat sistem tanda di dalam serat Dewa Ruci yang berupa: a. Sistem Penamaan Tokoh yang terdiri dari: 1) Arya Sena, 2) Drona, 3) Kresna, 4) Dewa Ruci atau Anak Bajang, 5) Duryudana, 6) Raksasa Rukmuka dan Rukmakala, 7) Bathara Bayu dan Bathara Surya, 8) Naga. b. Latar Tempat Sebagai Latar Masalah, yang terdiri dari:1) Hutan Tibraksara, 2) Gunung Candramuka, 3) Samodra. c. Sistem Tanda Penunjuk Kualitas: 1) Pancanaka, 2) Toya Suci. d.Metafor Terhadap Kelemahan Manusia: 1) Gua, 2) Masuk Telinga. e. SistemTanda Penunjuk Proses: 1) “Ing nguni-uni durung ana kang wruh goning toyadi, 2) Metafora Perjalanan Lurus, 3) Pancamaya dan Empat Warna. f. Penciptaan Arti Melalui Susunan Pupuh Sebagai Susunan Alur: 1) Pupuh Dandhanggula Berisi 16 bait, 2) Pupuh Pangkur berisi 44 bait, 3) Pupuh Sinom berisi 18 bait, 4) Pupuh Durma berisi 32 bait, 5) Pupuh dandhanggula berisi 55 bait. 2. Terdapat kandungan makna yang berupa: a. Tema dalam Serat Dewa Ruci, b. Hipogram: dari Al quran : Surat Al Baqarah ayat 152, Surat Al Hasyr ayat 19,
Surat Ar Ra‟d ayat 28. Surat
to user Al Khafi ayat 2. Surat Al Ahzab ayat 35.commit Surat Al Baqarah ayat 183, hadits qudsi, Surat Al 162
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 163
Baqarah ayat 153, Surat Al Imran ayat 120, Surat Yaa Siin ayat 6, Surat Yaa Siin ayat 11, Surat bani Israil ayat 72, Yaa Siin ayat 61. Dewa Ruci Tembang Gedhe, Nawa Ruci, Dewa Ruci Jarwa. c. Matriks: i. pertentangan antara „kesucian‟ dengan „keduniawian‟ sebagai kodrat, ii. mulai dikenalnya konsep „diri‟, iii. ngudi kasampurnan, iv. di dalam keburukan ada kebaikan, v. negasi sistem kekuasaan hierarkis. 3. Terdapat Kandungan Nilai Pendidikan karakter dalam Serat Dewa Ruci yang terdiri dari: a. karakter religius, b. karakter jujur dan tulus, c. konsep diri yang kuat , d. teliti dan sabar, e. kemampuan bersikap, f. tepa sarira/empati, g. tenang, h. mau berkorban, dan i. sikap berbakti. 4. Terdapat relevansi dengan pelajaran Bahasa Jawa, yaitu berelevansi dengan: a. kompetensi inti religiusitas dalam kurikulum 2013, dan b. metode laku sebagai bentuk lain dari metode saintifik pada kurikulum 2013. B. Implikasi Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan di depan, dapat ditarik beberapa implikasi yang berkaitan dengan penelitian ini. Implikasi-implikasi tersebut dapat dicermati dari uraian berikut ini. 1. Tujuan utama pembahasan serat Dewa Ruci adalah sebagai upaya untuk menjadikan kandungan puisi di dalamnya mampu dimunculkan dan dipahami oleh masyarakat pecinta sastra Jawa dan menjadikannya sebagai salah satu bahan pembelajaran bagi siswa. Teori puisi yang digunakan harus sesuai dengan karakter puisi Jawa macapat agar sistem puitis di dalamnya bisa dikenali dan dimunculkan karena adanya aturan-aturan khusus yang tidak dimiliki oleh puisi pada umumnya, seperti guru gatra, guru wilangan, guru lagu, makna batin tiap metrum. Sistem tanda merupakan sarana komunikasi yang tidak mungkin dilepaskan dari commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 164
puisi. Dengan semakin banyaknya kajian tentang sistem tanda dalam puisi macapat tentunya semakin memperkuat pandangan bahwa sistem tanda unsur yang paling penting dalam puisi tradisional. Hasil penelitian mendukung pendapat Liitlewood (2008: 33-36) yang menyatakan bahwa penciptaan puisi yang mengandung ajaran disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan masyarakat pendukungnya. Hasil penelitian juga mendukung pandapat Zanker (2000: 81-89) bahwa puisi mengandung penggambaran secara visual yang memiliki makna yang perlu dibaca arti dan maknanya. 2. Kajian Semiotik adalah sebagai upaya untuk memahami naskah Jawa secara sistematis dengan menggunakan kajian terhadap sistem tanda dan makna yang dikandung oleh Serat Dewa Ruci. Sistem tanda dalam sastra Jawa memang memiliki perbedaan dengan sistem tanda dalam karya sastra umumnya sehingga penggunaan semiotik bisa mengatasi kesalahan tafsir yang terkadang tidak menguntungkan terhadap perkembangan budaya Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serat Dewa Ruci tidak hanya menjabarkan ajaran monisme seperti yang disimpulkan oleh penelitian Simuh (1988) maupun ajaran mistisisme seperti kesimpulan Soetarno (2004) namun juga memiliki kandungan nilai-nilai pendidikan, termasuk hubungan antara murid dan guru. 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan pembahasan semiotik dengan konsekuensi menghubungkan makna serat Dewa Ruci dengan konteksnya melalui pembacaan hermeneutik menampakkan kandungan serat Dewa Ruci bukan sekedar sebagai hubungan nafas halus dan nafas kasar seperti menjadi kesimpulan dari penelitian Wahyudi (2012) namun lebih luas dari itu mengandung konsep dasar dari pendidikan Jawa ialah pendidikan sebagai proses pengenalan diri. Sistem tanda yang dihadirkan serat Dewa Ruci lebih tepat dibaca tidak secara hierarkis seperti pendekatan struktural namun lebih tepat jika commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 165
menggunakan kajian semiotik. Kualitas sistem tanda dalam puisi tradisional serat Dewa Ruci sangat baik. Hal ini akan berimplikasi pada pengkajian naskah Jawa khususnya tembang macapat sehingga kehidupan sastra Jawa juga berkembang semakin maju. 4. Penelitian ini juga berimplikasi pada dunia pendidikan, khususnya tentang pendidikan karakter. SDR memuat idealisasi nilai-nilai dasar pendidikan Jawa utamanya nilai religiusitas menggunakan tokoh pewayangan, Bima. Hasil penelitian mendukung kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Yousof (2010) dan Woodward (1989: 193) yang menyatakan bahwa beberapa mitologi Hidu-Jawa telah digunakan untuk menyajikan ide-ide Islam dan sufi. Serat Dewa Ruci diciptakan kurang lebih tahun 1789 dimana saat itu tanah Jawa dikuasai oleh dinasti Mataram Baru, namun sisa-sisa nilai lama masih cukup kuat. Terjadi peralihan pengaruh dalam kerajaan maupun masyarakat umum dari agama Hindu ke agama Islam, oleh karenanya serat Dewa Ruci sangat terpengaruh pada aspek-aspek kehidupan pada masa itu. Perpaduan tersebut bukan hanya pada tataran kulit namun juga terjadi pada tataran nilai, yang justru menjadikan kaya nilai budaya Jawa. Masyarakat Jawa yang bersikap adaptif terhadap berbagai nilai dan budaya yang masuk, tidak kehilangan jatidirinya namun justru semakin jernih endapan budayanya, menjadi lapisan-lapisan kesadaran baru yang dihayati bersama. Strategi kebudayaan demikian bisa menjadi contoh bagi generasi sekarang dalam mengembangkan kebudayaan tanpa harus berbenturan dengan kebudayaan lain. 5. Hasil penelitian menunjukkan kandungan nilai pendidikan karakter di dalam serat Dewa Ruci yang berarti juga telah disadari pentingnya pendidikan karakter oleh local genius Jawa. Hal ini sesuai dengan kesimpulan penelitian oleh Dill (2007: 221-237) yang menyatakan betapa pentingnya pendidikan moral sebagai pengontrol sikap dan sifat seorang siswa karena kepandaian saja tidak cukup untuk dimiliki seorang siswa. Hasil penelitian juga sesuai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 166
dengan kesimpulan dari penelitian Munir dan Aftab (2012) yang menyatakan pentingnya sekolah memberikan nilai-nilai (values), etika dan pengembangan kepribadian. 6. Hasil penelitian ini merevisi kesimpulan Anderson yang mengatakan bahwa bagi orang Jawa kekuasaan bersifat adikodrati, berasal dari Tuhan sehingga barang siapa yang mendapatkan kekuasaan tersebut tak perlu dipertanyakan keabsahannya. Selanjutnya dijelaskan bahwa kekuasaan tersebut bersifat kongkrit karena kekuasaan tersebut ada dan berasal dari Tuhan dan bukan hasil teoritis. Karena bersifat adikodrati maka kekuasaan tidak memiliki implikasi moral (dalam Ansari, 2010: 48). Kehidupan religi dalam sistem religi tradisional yang dikuasai oleh segelintir orang telah diperbaiki dengan sistem baru dimana tidak ada lagi hierarki. Setiap orang bisa menemui Tuhannya tanpa perantara dukun atau saman seperti dicontohkan Bima yang bertemu dengan Dewa Ruci tanpa perantara kecuali hanya dengan petunjuk dari guru Drona. Hal demikian sangat jarang ada dalam naskah-naskah tradisional Jawa, bahkan juga kebanyakan naskah tradisional nusantara dimana kehidupan religi dikuasai oleh seorang wali, kyai, dukun, atau saman, sedangkan kekuasaan politik dikuasai oleh seorang raja. Pendekatan terhadap serat Dewa Ruci yang umumnya dilihat sebagai karya mistik, ternyata dengan kajian semiotik Riffaterre, serat Dewa Ruci bisa dinampakkan sisi logisnya, dimana setiap metafor yang ditemukan merupakan sebuah sistem tanda yang seharusnya tidak dimaknai secara terpisah. Eksistensi manusia yang tergambar dalam serat Dewa Ruci menunjukkan bahwa pada dasarnya kehidupan manusia ditentukan oleh dirinya sendiri karena dunia ini berjalan berdasarkan hubungan sebab-akibat bukan berdasar kebetulan dan pemberian menjadikan nilai-nilai Jawa yang nampak dalam SDR sebagai nilai kehidupan yang lebih sehat daripada nilai yang selama ini ditempelkan kepada masyarakat Jawa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 167
7. Laku yang telah diakui oleh Ki Hajar Dewantara sebagai metode pembelajaran yang bisa dikatakan khas Jawa selama ini jarang atau bahkan tidak pernah dikenalkan dan digunakan dalam sistem pembelajaran, padahal berdasarkan hasil penelitian metode laku sangat tepat digunakan dalam rangka mengarahkan siswa untuk mampu mengenali dirinya sendiri dan mengenal diri sendiri adalah pintu awal utama mengenal pengetahuan. Laku juga bisa menjadi metode religi yang membebaskan dari formalitas yang seringkali justru mematikan penghayatan inti dari sebuah proses ritual, karena laku tidak memiliki patokan yang formal, dan ukuran keberhasilannya tergantung dari rasa kepuasan orang yang menjalaninya, tidak tergantung dari ukuran-ukuran yang baku. Dengan hasil kesimpulan yang menemukan beberapa hal yang patut ditindaklanjuti diharapkan gairah pengkajian karya sastra Jawa klasik akan meningkat dan dilakukan dengan lebih baik lagi. Dengan semakin banyaknya serat-serat Jawa diteliti sangat mungkin akan ditemukan pola-pola baru dari budaya Jawa yang selama ini masih terpendam secara keilmuan. Jika hal ini terjadi maka akan semakin banyak sumbangan masyarakat Jawa bagi perkembangan pendidikan dan peradaban global. 8. Pengenalan diri sebagai hasil dari pelaksanaan metode laku sebagai dasar pendidikan dalam masyarakat Jawa teramat jarang dilakukan dalam pelaksanaan proses pembelajaran modern saat ini yang berorientasi kepada ketrampilan menguasai teori, rumus, atau alat tertentu namun lupa kepada ketrampilan menguasai diri. Manusia pada dasarnya adalah unik dan harus dipahami oleh dirinya sendiri dengan cara yang unik juga, tanpa penggeneralisasian. Disinilah pentingnya metode laku sekaligus pengenalan diri sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 168 C. Saran
Berdasarkan simpulan dan implikasi di atas, maka saran yang diajukan adalah sebagai berikut: 1.
Saran kepada Siswa Naskah Jawa adalah naskah warisan leluhur yang mengandung kekayaan nilai hasil dari proses sejarah para pendahulu. Kekayaan nilai tersebut dapat menjadi bahan pembelajaran dalam rangka mengenal nilai-nilai warisan yang sebenarnya sama juga mengenal akar sejarahnya sendiri. Oleh karena itu, kepada para siswa marilah jadikan sastra wayang dan kualitas karakternya sebagai bahan pembelajaran dan cintailah budaya Jawa sebagai akar kebudayaan yang perlu dikenali.
2. Saran Kepada Guru Sastra wayang perlu dipelajari dan digali maknanya mengingat kekayaan nilai-nilai pendidikan karakter yang dikandungnya, serta harus dikenalkan, diajarkan, dipahamkan kepada peserta didik secara mendalam. Bukan hanya diajarkan ceritanya namun lebih penting dari itu juga disampaikan nilai-nilainya sesuai kandungan arti dan maknanya sehingga cerita wayang bisa menjadi salah satu bahan ajar yang tinggi manfaatnya bagi peningkatan karakter dari peserta didik. Berdasarkan hasil penelitian ini, sastra wayang juga bisa menjadi salah satu acuan guru dalam rangka mengenali tugas dan perannya yang lebih luas dan mendalam. 3.
Saran kepada Para Pemegang Kebijakan Pendidikan Sebagai sebuah bangsa, Indonesia memiliki kekhasan ilmu dan budaya yang sangat mungkin bisa menjadi sumbangan bagi perkembangan peradaban global. Cerita wayang dengan pendidikan budi pekerti yang dikandungnya, alangkah baiknya apabila diperkenalkan kepada anak didik sejak usia dini. Dengan demikian anak didik mengenal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 169
akar sejarah yang membentuknya dan merasa bangga karena menyadari leluhurnya memiliki karya yang bernilai tinggi, baik karya tangibel maupun intangibel, sekaligus sebagai sarana pengembangan budaya nasional. 4.
Saran kepada Peneliti Lain Penelitian merupakan modal awal pengembangan kebudayaan dan pengetahuan yang mana peran peneliti sangat dibutuhkan dalam rangka menentukan strategi kebudayaan nasional serta arah pendidikan nasional. Penelitian terhadap serat jawa tradisional umumnya dan cerita wayang pada khususnya akan menjadi pelengkap bagi penelitian yang selama ini telah dilakukan. Cerita wayang baik Dewa Ruci maupun cerita wayang yang lain perlu untuk terus dikaji dan dipahami maknanya sehingga akan menjadi warisan yang tidak sia-sia bagi generasi saat ini dan generasi mendatang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA A‟la, Miftahul. 2012. Quantum Teaching. Yogyakarta: Diva Press Adian, Donny Gahral. 2005. Percik Pemikiran Kontemporer . Yogyakarta: Jalasutra Aminuddin.1988. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Ansari, Isa. 2010. Kekuasaan Jawa dalam Struktur Kerajaan Islam dan Pewayangan: Sebuah Analisis Strukturalisme Levy Strauss, Asintya, Jurnal Penelitian Budaya vol. 2, no. 1 Juni Arifin, Zainal. 2011. Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosdakarya Arikunto, Prof. Dr. Suharsimi. 2010. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta Atmodjo, S. Prawiro. 1987. Bausastra Jawa. Surabaya: Yayasan Djojo Bojo Basir, M. Udjang Pairin, 2010. Pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah: Antara Idealisme dan Kenyataan. Surabaya: Kementrian Pendidikan Nasional Unesa Baskarada, Sasa and Koronios, Andy. (2013) Data, Information, Knowledge, Wisdom (DIKW): A Semiotic Theoretical and Empirical Exploration of the Hierarchy and its Quality Dimension.Australasian Journal of Information Systems. Vol. 18 No. 1, pp. 5-24 Blank, Barbara Trainin, 2010. Attention Warning for Colombian Social Workers / Attention Trabajadores Sociales en Colombia. The National Association for Poetry Therapy, inc. (http: //www.socialworker.com/home/feature_Articles/Professional_Development_%26_ Advancement/Poetry_therapy%3A_Using_Words_to_Heal/) Brooks, David. 2002. Bobos In Paradise. Penerjemah Asnawi. Yogyakarta: Ikon Tera Litera Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKIS Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis & Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara Ciptoprawiro, Abdullah. 1986. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka De Saussure, F. 1988. Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Dewantara, Ki Hajar. 1977. Pendidikan Dewantara. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa Dewanto, Nirwan. 1996. Senjakala Kebudayaan. Yogyakarta: Bentang Budaya Dojosantoso. 1986. Unsur Religius dalam Sastra Jawa. Semarang: Aneka Ilmu Eco, Umberto, 2009. Teori Semiotika. Bantul: Kreasi Wacana commit to user 170
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 171
Endraswara, Suwardi. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya __________________2006. Mistik Kejawen. Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta. Narasi Ferrucci, Piero. 2002. Apa yang Diajarkan Oleh Anak Kita. Jakarta: Gramedia Florida, Nancy K. 1996. Javanese Language Manuscripts of Surakarta Central Java a Preliminary Descriptive Catalogus Level I and II. Ithaca New York: South Easth Asia Program Cornell University Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Sebagai Proses. Diterjemahkan oleh Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Gibson, Margaret. 2011. Death and Grief in the Landscape Private Memorials in Public Space Cultural Studies Review vol. 17 no. 1 March, pp. 146–61 Hadiatmaja, H. Sarjana dan Kuswa Endah. 2009. Pranata Sosial dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: CV Grafika Indah Hamdani, 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia Hamzah B.Uno. 2007. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: PT. Bumi Aksara Handaric, Mihai.2013. Religious Tradition and Human Behaviour. Jurnal Theory, History And Literary Criticism, Vol. IV, no. 2 (8) Hansen, E. Ronald. 2000. The Role of Experience in Learning: Giving Menaing and Authenticicity to the Learning Process in Schools. Journal of Technology Education. Vol 11. (no. 2). P. 23-32 Herusatoto, Budiono. 2000. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Howard, Alisha A. 1997. “The Effects of Music and Poetry Theraphy on the Treatment of Women and Adolescent with Chemical Addictions” Journal of Poetry Therapy Vol. 11, no 2. Pp. 81-102. (abstr) Huda, Miftahul. 2013. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Husein,Miqdad, 2008. Tuhan Bagai Tertuduh. Jakarta: Gerbang Informasi Press Hutagalung, Inge. 2007. Pengembangan Kepribadian. Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah kementerian Pendidikan Nasional James,William. 1902. The varieties Of Religious Experience. Toronto: Macmilan Co. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 172
Jeffrey. S. Dill.2007. Durkheim an Dewei and Challenge of Contemporarry Moral Education. Journal of Moral Education Vol. 36, No. 2, June 2007, pp. 221-237. Jong, De. 1976. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta Kaelola, Akbar, 2010. Mengenal Tokoh wayang Mahabharata. Jakarta: BIP Kartono, Kartini. 1976. Pengantar Metodologi Research. Bandung: Alumni Keraf, Gorys. 2005. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: P.T. Gramedia Klein, Stephen B. 1996. Learning Principles and Applications. Amerika Serikat: McGraw-Hill Kolman, L., Chýlová, H., Selby, R. (2012) “An Attempt on New Systematization of work Motivation Theories”, Journal on Efficiency and Responsibility in Education and Science, Vol. 5, No. 2, pp. 92-98 Kumral, Necat. 2013. Semiotic analysis of textual communication in Snow by Julia Alvarez. Journal of Language and Linguistic Studies, Vol. 9 (2), pp. 31-44 Lestari, Endang Dwi. 2009. Kawruh Sapala Basa. Klaten: Intan Pariwara Lickona, Thomas. 2013. Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik. Bandung: Nusa Media ----------------------. 1999. Religion And Character Education. Jurnal phi delta Kappa, vol. 81 ni p21-24 26-27 September Littlewood, Cedric. 2008. Making Mockery: The Peotics of Ancient Satire. American Journal of Philology, vol. 129, No. 3 Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa Silang Budaya. Jakarta: Gramedia Lubis, Mawardi. 2008. Evaluasi Pendidikan Nilai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Luxemburg, Jan Van. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: P.T. Gramedia Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius Martin E. Marty and Jonathan Moore. 1998. Education, Religion, and the Common Good. Vol. IV, no.1 Mawardi, Bandung, 2010. Sastra Bergelimang Makna. Surakarta: jagad ABJAD Munandar, Agus Aris. 2004. Karya Sastra Jawa Kuno Yang Diabadikan Pada Relief CandiCandi Abad Ke-13—15 M. Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 8, No. 2, Agustus: 5460 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 173
Munir, Shagufta and Aftab, Mariya.2012. Contribution of Value Education towards Human Development in India: Theoretical Concepts. International Journal of Asian Social Science, Vol 2, Iss 12, Pp 2283-2290 Nashir, Haedar. 2013. Pendidikan Karakter berbasis Agama & Budaya. Yogyakarta: Multi Presindo Nazarova, Tamara. 1993. Linguistic and Literary Semiotics, Journal Moscow State University Vol. 1 (No 1) 1-27 Nugroho, Yusro Edy, S.S. 2014. Filosofi Pembelajaran Bahasa Jawa Kurikulum 2013. Semarang: Dinas Pendidikan Jawa Tengah Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Palmer, Richard E. 1983. Postmodern Hermeneutics and the Act of reading”. Notrre Dame English Journal Vol. 15, No. 3, Summer Poedjosudarmo, Soepomo, dkk. 1986. Ragam Panggung dalam Bahasa Jawa. Jakarta: PPPB Depdiknas Pradopo, Rachmad Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Purwadi, 1995, Cerita Sena Sinaraya dalam Pendekatan Struktur dan Makna. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM Qadri, Ridha Al. Sapardi dan Tanda: Telaah Semiotik atas Kumpulan Puisi Kolam “dalam Dari Zaman Citra ke Metafiksi (bunga rampai telaah sastra DKJ 2010). Jakarta: Gramedia Rohman, Saifur. 2013. Hermeneutik; Panduan ke Arah Desain Penelitian dan Analisis. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rosyidi, M. Ikhwan. 2010. Analisys Teks Sastra. Yogyakarta. Graha Ilmu Sangidu, 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat. Yogyakarta: Unit penerbitan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Santosa, Imam Budhi, 2012. Nasihat Hidup Orang Jawa. Jogjakarta: Diva Press Sartini, Ni Wayan. Tinjauan Teoritik tentang Semiotik. Journal Unair. http://epress.lib.uts.edu.au/ journals/index.php/csrj/index Sasmito, Endro. 1992. Cerita Begawan Senaroda karya R.M. Suwandi dalam Pendekatan Struktur dan Makna. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM Sastroamidjojo, Seno. 1964. Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit. Jakarta: Kinta Sayuti, Suminto A. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 174
Semetsky, Inna. 2009. Meaning and abduction as processstructure:a diagram of reasoning. Cosmos and History: The Journal of Natural and Social Philosophy, vol. 5, no. 2, 2009. Pp.191-209 Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita; suatu studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI Press ______ 1995. Sufisme Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : PT Grasindo Sobur, Alex. 2013. Semiotik Komunikasi. Bandung: P.T Remaja Rosdakarya Soetarno. 1989. Serat Bimasuci dengan Berbagai Aspeknya. (Laporan Penelitian. Surakarta: STSI Surakarta ________ 2011. Makna Pertunjukan Wayang dan Fungsinya dalam Masyarakat Pendukung Wayang. Jurnal Dewa Ruci, Volume 7. No 2. Pp. 300-332 Sudjiman, Panuti (ed.). 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI-Press Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta Sumardjo, Jakob & Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Supadjar, Damardjati. 1993. Nawang Sari. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru Susetya, Wawan. 2007. Baratayudha: Ajaran, Simbolisasi, Filosofi, dan Maknanya bagi Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: Kreasi Wacana Susilo, M. Joko. 2009. Pembodohan Siswa tersistematis. Yogyakarta: Pinus Sutanto, Jusuf. 2004. Kearifan Kuno di Zaman Modern. Hikmah. Jakarta Selatan Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press Utami, Sri Wiryanti Budi. 1999. The Constructivist Theory of Reality in Literary. Letters journals Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Kristen Petra Vol. 1, No. 1, December: pp. 16 - 22 Van Zoest, Aart. 1993. Semiotik: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung. Wahyudi, Aris. 2012. Lakon Dewa Ruci Cara Menjadi Jawa. Yogyakarta: Bagaskara Waluyo, Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga Warton, Thomas. 2010. Teori Sastra. Yogyakarta: Jalasutra commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 175
Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Widada, dkk. 2001. Kamus Basa Jawa. Yogyakarta: Kanisius Widayat, Afendy. 1990. Tinjauan Struktur dan Makna Cerita Bima Bungkus Karya Can Cu An. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM Wilcox, Lynn. 2013. Psikologi Kepribadian. Jogjakarta: IRCiSoD Winarni, Retno, 2013. Kajian Sastra. Magelang: Widya Sari Press Yousof, Ghulam-Sarwar.2010. Islamic Elements In Traditional Indonesian And Malay Theatre. Jurnal Kajian Malaysia, Vol. 28, No. 1 Zanker, Graham, 2000. Aristotle‟s and the Painters. American Journal of Philology. Vvolume 121. Number 2 Summer Zoetmulder. 1991. Manunggaling Kawula-Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, di-Indonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Kanisius
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 177
Dewaruci, Tan Gun Swi, 1928, #1212
Katalog:
Dewaruci, Tan Gun Swi, 1928, #1212
Sambung
:
-
Serie D. No. … DEWAROETJI Harga f 0.65
Serat Dewaruci
Ini Serat Dewaruci yang sudah dengan tafsir.
[Grafik]
CETAKAN YANG KE IV
Diterbitkan dan didistribusikan oleh: Tan Gun Swi Kedhiri 1928
--- [1] ---
Serat Dewaruci commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 178
Ini Serat Dewaruci yang sudah dengan tAfsir.
[Grafik]
CETAKAN YANG KE IV
Diterbitkan dan didistribusikan oleh: Tan Gun Swi Kedhiri 1928
--- [ 2] ---
Penerbit: TAN KHOEN SWIE – Kediri.
[Grafik]
Diperlindungi hak pengarang tersebut dalam Stb. 1912 No. 600. fatsal ll. Kitab ini Syah bila ada tanda tangannya si penerbit sebagi dibawah ini:
--- [3] ---
Pembukaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 179
Serat Dewaruci.
Serat Dewaruci ini didepan dengan tembang Kawi Sekar Ageng, karangan Empu Widayaka di negeri Mamenang ialah di Kadhiri
Empu Widayaka adalah Ajisaka, yang mudanya bernama Jaka Sangkala, anak dari AAEmpu Anggajali, ibunya putri di nagari Najran, tanah Arab.
Serta Ajisaka tadi muridnya Sang Maolana Usman Ngajid, raja pandita pemuka di negeri Bani Israil Arab. Sedangkan Ajisaka kemudian bersujud kepada para Dewa, tentang pengetahuan kamuksan, atau pengetahuan keunggulan kanuragan sesamanya. Sudah semua dikuasai Ajisaka. Para Dewa yang memiliki kelebihan sudah dimintai ajarannya. Seperti yang disebutkan dalam Serat Ajidarma, juga serat Ajinirmala.
Maka Ajisaka pengetahuannya lebih ungguh dibanding sesama empu. Dikatakan dalam serat Panitisastra bahwa ada empu yang bisa mengalahkan pandhita seratus banyaknya, yang sudah selesai dalam pengetahuan, itu barulah sama dengan Empu Widayaka.
Maka serat Dewaruci ini, sama-sama memngajarkan kamuksan jaman Dewa-Dewa agama Budha, disenangi oleh para wali karena isinya sesuai sekali dengan ajaran inti agama Islam (ilmu Marifat) pada dasarnya sesungguhnyua Empu Widayaka mengenai pengetahuan kesempurnaan, yang diikuti di dalam batinnya hanya ajaran Sang Maolana Ngusman Ngajid di Banisrail seperti disebutkan di atas (Islam) maka layak jika Serat Dewaruci dipelihara para wali.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 180
Sedangkan yang menafsirkan dengan tembang macapat Kangjeng Susuhunan Benang. Juga sudah tersebar di khalayak ramai, malah sudah pernah dicetak tetapi samapai sekarang belum dimaknai. Sekarang sudah berhasil dimaknai dengan lengkap. Berdasar dari serat warni-warni. Yang menafsirkan Mas Ngabei mangunwijaya di Wanagiri (Surakarta).
Tahun 1922 - 1852.
--- [5] ---
Sêrat: Dewaruci, dengan tafsir
1. Dhandanggula 1. Beginilah caraku berusaha memantaskan, terhadap kehalusan tembang dhandanggula, sarana hati yang susah, menghindari tumbuhnya kekecewaan, sarana mengetahui kebenaran sejati, sumbernya orang pintar, asal mula tumbuhnya, disusun dengan simbol, disampaikan oleh Dewa Ruci dalam bahasa Kawi, disertai dengan penjelasan. 2. Arya Sena ketika berguru kepada, Dhang Hyang Druna ia disuruh mencari, air yang mensucikan kepada badannya, Arya Sena alias Wrekudara pun pulang memberi kabar, ke commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 181
negara Amarta, mohon pamit kepada saudara tua, beliau Prabu Yudhistira, dan adikadiknya semua, ketika kebetulan (mereka) di hadapan kakaknya. 3. Arya Sena berkata kepada kakak tertua, bahwa ia akan pergi mencari air (suci), atas petunjuk dari gurunya, Sri Darmaputra heran, mendengar kata-kata adiknya, memikirkan marabahaya yg akan di hadapi, Sang Raja menjadi berduka, lalu Raden Satriya Dananjaya, berkata sambil meyembah kepada Kanda Raja, bahwa membiarkan arya sena pergi itu tidak baik. 4. Sudahlah jangan diizinkan, adinda (Wrekudara) itu pergi, rasanya itu tidak baik, Nakula dan Sadewa juga menyetujui (kata-kata Dananjaya), iya jangan diijinkan, sifat kakanda tuanku, Ngastina pukulun, hanya ingin menjerumuskan (kita) ke dalam kesengsaraan, tentu dhang hyang Druna dibujuk agar medustai,demi musnahnya Pandawa. 5. Arya Sena mendengar itu lalu menjawab,aku tak mungkin dapat ditipu, matipun sudah jatahku, karena ingin mencari kesempurnaan, menyatu dengan Hyang Maha Suci, setelah berkata begitu, (Sena) lalu segera pergi, Sang Prabu Darmaputra, dan ketiga adiknya sangat heran (melihat sikap bima) mereka merasa bagaikan akan kehilangan sesuatu. 6. Tak terkisahkan keadaan yang ditinggalkan dalam kesedihan,diceritakanlah perjalanan Sena, tanpa kawan hanya sendirian, hanyalah sang petir yang mengikutinya dari belakang, ia berjalan lurus menentang jalannya, angin topan yang menghadang di depan, terdengar gemuruh riuh, orang-orang desa bingung, yang bertemu di tengah jalan gemetar katakutan, menepi (sambil) menyembah. 7. banyak hidangan (mereka berikan) tak ditolehnya, lebih kuat tekadnya untuk menuju hutan Kurusetra, jalan besar yang dilaluinya sungguh cepat ia berjalan, pintu gerbang sudah tampak dari kejauhan, puncaknya seperti mutiara berbinar-binar, dari jauh seperti pelangi, bagaikan matahari kembar, sampai di sini dulu kisah ( Arya Sena Wrekudara) yang masih di jalan, (sekarang) dikisahkan keadaan di negeri Ngastina. 8. Prabu Suyudana memanggil, Resi Durna telah tiba di dalam istana, bersama Raja Mandaraka, Adipati Karna pun ikut, sentana/pembesar andalan menumpas bahaya, semua commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 182
dipanggil, masuk ke istana, Adipati dari Sindusena, Jayajatra dan Sang Patih Sangkuni, Bisma juga Dursasana. 9. Raden Suwirya Kurawa yang sakti,dan Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, tiba di hadapan Raja, yang disembah oleh prajurit kuat, mengalahkan dan menghilangkan para Pandawa, yang menjadi pembicaraan, juga jangan sampai terjadi perang Baratayuda, kalau bisa dengan cara ditipu secara halus, yaitu memusnahkan sang Pandawa. 10. Mereka begitu sepakat, Raden Sumarma Suranggakara, menyetujui semua pembicaraan, demikianlah sifat Sang Prabu, Suyudana dalam hatinya, tidak begitu mempedulikan, tentang kecurangannya, bahkan terhadap saudara dekat sekalipun (Pandawa), ketika sedang asyiknya mereka bercakap-cakap Wrekudara datang, terburuburu masuk ke dalam istana. 11. Terkejutlah semua yang hadir, lalu Prabu suyudana berkata, hai adikku marilah kesini, Raden Wrekudara langsung menghadap, (kepada) Dhang Hyang Druna segera meyembah, dirangkul dan dipeluknya leher wrekudara, dan berkata wahai anakku, kau jadi pergi mencari, air jernih untuk menyucikan diri, niscaya jika itu kau temukan. 12. Air suci penghidupan, sudah berarti kau mencapai kesempurnaan, menonjol di antara sesama makhluk, dilindungi ayah ibu, mulia darimu anakku, berada dalam triloka, adanya kekal, Arya Sena berkata sembah, ya dimanakah tempatnya sang air jernih itu, mohon aku ditunjukkan. 13. Tempatnya air suci jernih, Resi Druna lirih kata-katanya kepada Sena, aduh anakku tercinta, air suci itu letaknya, berada di hutan Tikbrasarareki, ikutilah petunjukku, harus diperhatikan, air itu akan menyucikan dirimu, carilah itu di bawah Gandamadaneki, di gunung Candramuka. 14. Carilah di gunung-gunung, di dalam gua-gua di situlah letaknya, air suci yang sesungguhnya, di masa lalu belum, ada yang tahu tempatnya, Arya Bima gembira hatinya, ia pun mohon diri sambil meyembah, kepada Druna dan Suyudana, Prabu di Ngastina suyudana berkata pelan, berhati-hatilah adikku commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 183
15. Jangan sampai engkau tersesat, tempatnya bahaya tak diragukan, Arya Sena menjawab pelan, aku tidak akan mengalami kesulitan, dalam menjalankan petunjuk sang guru, (Bima) keluar dari istana, segera mohon diri keluar, yang masih tinggal di dalam istana, semua terseyum Raja Mandaraka berkata lirih, bagaimana caranya ia memperoleh air itu. 16. Gunung Candramuka dan guanya, yang ditinggali dua raksasa yang sangat menakutkan, segunung anakan besarnya, tentu akan hancur lebur, dua raksasa yang sebesar gunung, tidak ada yang berani mendatangi, semua tertawa, merasa berhasil dengan tipu muslihatnya, Lalu mereka pun bersuka ria pesta makan-minum sepuas-puasnya, berganti yang dikisahkan. 2. Pangkur. 1. Jalannya Arya Sena, lalu sampai di hutan gunung, hatinya sangat gembira, senang usahanya, akan menemukan air jernih yang dicari dari petunjuk gurunya, tak mengira bahaya yang ditempuhnya,tertarik pada yang dilihatnya. 2. memasuki gunung menanjak ,menjalani tanah miring, tanah membusung jadi runtuh, jurang curam terpotong, semua menjadi rata saja, dengan bahagia kedatangan hujan, sela batu menjadi jalan sempit. 3. Tersingkir buah terhampar, dalam tahun di musim keempat yang asri, tersebar indah, indah seperti cahaya minyak, terhampar seperti untuk hidangan setan, angsana juga kanigara, tumbuhan wilaja dan tumbuhan gondasuli. 4. Terhampar anggrek bulan, jonggaruwe menyatu dengan tumbuhan wora-wari, tumbuhan argula sedang mekar dan menur, tersebar merah cerah , berbunga angsoka melati dan bunga tanjung, Prabusetmata Sridenta, dengan kenanga juga kemuning. 5. Nampak berjajar seperti awan, seperti menyambut yang sedang berjalan, kumbang beberapa menikmati musim semi, bagaikan sedang menangisimu, dalam welas asih semakin besar semakin bersungguh, sang Gondanarpatmaja, tetap hanya mencari toya ning.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 184
6. sang surya merangsang jalannya, berlelehan keringatnya seperti air, ingin sesegera mungkin, mumpung diterangi matahari, menerjang menendhang kaki gunung, kayu tertabrak rebah roboh, keras suara langit campur angin. 7. Ramai seisi hutan, dimana sang Poncawara (Pandawa) membuat cepat jadi prahara, hewan terterjang bubar, hancur lebur jadinya, karena besarnya prahara hewan terbentur, kijang-kijang mati di jurang, jatuh hancur jadinya. 8. Kerbau banyak yang jatuh ke jurang, ular besar hanya menggeliat di pohon, kendurnya keinginan menjadi terjatuh, langsung masuk jurang, yang bertapa di gunung, para siswa terpelajar, terpengaruh keributan yang terjadi. 9. Kethu celana terlempar, menggigil ketakutan berantakan, merangkak banyak yang bersembunyi, badannya menjadi dingin, menutup wajah dengan tangan para cantrik berlari, kethu sampai tertinggal, mengungsi ke desa sekitar. 10. Berbunyi gentanya untuk memuja, gugup sambil menebarkan wewangian, bau harum tersebar, lihatlah langkahnya, sampai gua di gunung Condramuka, dibuka gunung dikeduk, batu dilempar menjauh. 11. Keinginan besar ingin dicapai, sekitarnya porak-poranda, mencari tempatnya Air, lama tidak ditemukan, keluarlah raksasa yang tinggal di tempat itu, ialah sang Rukmuka dan Rukmakala, terkejut keduanya melihat keadaan. 12. Kegoncangan gunung porak poranda, dan prahara besar membuat takut, lalu hidungnya mencium bau, aroma manusia, sang buta Rukmakala juga keluar, gerak-geriknya menakutkan seperti bathara, bersiap menggempur bumi. 13. Omong besar seperti bisa menghancurkan, bumi seperti melebihi bathara kala, pegunungan bergoyang bergelegar, nampak sang Wrekodara, dilempar gunung berseru keras, heh kalian raksasa mencari bahaya, bertindak semau-mau mencari mati. 14. “Kedatanganmulah yg mengganggu kami, tak pelak tentu kau akan menerima tamparanku”, menyahut kedua raksasa itu, Rukmuka dan Rukmakala sambil menggeram mereka menerkam Wrekudara, mengigit leher samping, commit to user dikeroyok nya kanan kiri.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 185
15. Raden Wrekudara tetap tangguh, lehernya digigit tidak apa-apa, dikunyah tidak apaapa, digulat tidak mempan, Wrekudara tidak tahan memcium bau kedua raksasa yang anyir dan bacin, ia pun murka, dan dengan terampil bertempur. 16. Ditendangnya kedua raksasa itu lalu segera ditangkapnya dengan kedua tangan, dibantingnya ke atas batu dan meledak hancur menjadi bangkai kedua raksasa itu, raksasa Rukmuka dan Rukmakala telah tewas, 17. terlepaslah penderitaan keduanya, raksasa itu sebenarnya adalah dua dewa yang Terkena kutukan, Endra dan Bayu yang dimarahi Hyang Pramesthi, dikutuklah menjadi raksasa keduanya, lalu mereka tinggal di gua Candramuka, setelah kedua musuhnya sirna, Arya Sena segera melanjutkan pencariannya, gua itu dirusaknya, namun air yang dicari tidak juga ditemukan. 18. Selama mencari, dalam gua rusak berat diobrak-abrik, lelah pun datang menghampirinya menyambut malam, ia berdiri di bawah pohon beringin dengan bersedih hatinya, mencari sang air suci tak kunjung ditemui, tak berapa lama Arya Sena mendengar suara yang bergema. 19. Hyang Endra dan Hyang Bayu pun merasa kasihan, merekapun berkata, “Wahai cucuku yang sangat bersedih karena mencari tidak menjumpai, engkau tidak mendapat bimbingan yang nyata tentang tempat benda yang kaucari itu, sungguh menderita dirimu”, Wrekudara ketika mendengar suara lalu menjawab. 20. siapa yang bersuara itu karena tidak kelihatan olehku, apakah ingin membunuhku? mari kupersilahkan, lebih baik aku mati daripada pulang tidak mendapatkan air yang kucari, suara itu tertawa senang, apakah kau pura-pura tidak tahu kepadaku, ingatkah 21. Kau ketika membunuh kedua raksasa itu, ya kami inilah dua raksasa itu, sebenarnya kami adalah dua dewa yang terkena marah Hyang Guru, akhirnya kau yang melepaskan kesusahan kami, dengan cara membunuh kami, kau telah melepaskan kutukan itu dari kami, kami Sang Hyang Endra dan Bathara Bayu, sang Rukmakala dan Rukmuka nama kami. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 186
22. Kau mencari air suci melalui petunjuk Druna kepadamu, air itu nyata memang benarbenar ada, itulah sang air penghidupan, tetapi bukan disini tempatnya, kau kembalilah ke Astina, yang merupakan tempatnya yang nyata, Di Nagara Ngastina. 23. Wrekudra ketika mendengar kata-kata kedua dewa tersebut, berhentilah dia dari kebingungan hatinya, lalu tak lama ia pun segera pergi pulang ke negeri Ngastina, tak diceritakan keaadaannya dalam perjalanan, sesudahnya sampai di istana, pada waktu itu Sang Prabu Kurupati. 24. Lengkap duduk di serambi muka istana, Resi Druna, Bisma dan sang Raja, Raja Mandaraka Prabu Salya, Patih Arya Sangkuni, lengkap bala Kurawa menghadap di muka sang raja, Sindukala dan ayahanda, Suranggakala dan lainnya. 25. Kuwirya Rikadurjaya, dan Jayasusena duduk di depan, terkejut mereka melihat kedatangan Raden Wrekudara, lalu mereka mempersilakan orang yang baru datang itu, wahai adikku Sena, berhasilkah kau menunaikan tugasmu? 26. Adikku aku hanya ingin bertanya, kedatanganmu tentu membawa hasil, Resi Druna menyambung lirih, bagaimana hasilmu, Wrekudara menjawab bahwa tidak berhasil, di gunung Candramuka hanya dua raksasa yang ditemuinya. 27. Rukmuka dan Rukmakala, telah kubanting agar lekas berhenti menggangguku, di dalam gua semua kacau balau dan sudah kucari-cari tetap tidak kutemukan, paduka harus memberi petunjuk yang jelas sehingga tidak perlu mengulang seperti ini. 28. Dhang Hyang Druna segera memeluk, wahai kau yang sedang kuuji, sungguh kau mau mengikuti petunjuk gurumu, kini telah terbukti bahwa kau tidak menolak dalam melaksanakan perintahku, sekarang kau akan kuberi petunjuk tentang letak yang sebenarnya, 29. Yaitu di tengah samudera, jika sungguh kau akan berguru kepadaku, masuklah engkau ke dalam samudra luas itu, Arya sena menjawab, jangankan masuk ke dalam lautan, di puncak surga pun, atau di dasar bumi ketujuh pun. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 187
30. Tak mungkin aku takut mengorbankan diri, melaksanakan petunjuk paduka yang benar, (Druna berkata) ya anakku, jika itu kau temukan, orang tua dan kakekmu yang sudah mati, kelak hidupnya ada padamu, dan kau akan menonjol di dunia ini. 31. Tak akan ada senjata yang mampu melukai, semua lebur dan kalah olehmu, Prabu ngastina menyambung, wahai Sena adikku, bagaimana caramu menempuh perjalanan, karena perjalan itu lebih berbahaya, tentang letak air jernih itu. 32. Jadi janganlah kau seperti anak kecil, berhati-hatilah Wrekudara menjawab, hai Kurupati kakakku, serahkan kepada dewata, janganlah kau khawatirkan relakan daku, jangan sedih hatimu, karena tentu aku akan selamat sampai tujuan. 33. Ya adikku semoga berhasil, langkah-langkahmu dan mendapat restu dari dewa yang Agung, Arya Sena mohon diri, kepada Druna dan sang raja, di Ngastina sesudah itu ia segera pergi, keluar dari istana, untuk pulang terlebih dahulu. 34. lapor kepada Raja Ngamarta. Kesana tujuan Wrekodara, yang mana diceritakan, di negeri Ngamarta, sepeninggal Wrekudara, yang tidak dapat dicegah, sehingga menimbulkan kesedihan mendalam. 35. Prabu Darmaputra, dan Sang Dananjaya dengan adiknya berdua, beserta anak istrinya, prihatin hatinya, itulah yang menjadikan pembicaraan dan menyampaikan, kesedihan hatinya, kepada sang Prabu Dwarawati. 36. Maka Pergilah seorang utusan Ngamarta, membawa surat tanpa diceritakan perjalanannya, sudah sampai ke Dwarawati, surat itu pun disampaikan kepada sang raja, lalu dibukanya dan diresapkan ke dalam hati, sangat terkejut hati sang raja Prabu Harimurti. 37. Sangatlah tidak enak hatinya, ia pun segera memerintahkan untuk pergi ke Ngamarta beserta bala pasukan, pasukan itu berangkat dengan tergesa-gesa, di jalan tanpa diceritakan, lalu sampailah sang Raja di Ngamarta, sang raja Yudhistira pun lekas menyambut bersama adik-adiknya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 188
38. semua menghaturkan sembah, sesudahnya dipersilahkan masuk ke istana, lalu Prabu Darmaputra Yudhistira berkata, tentang Adik dari Dananjaya, dan tingkahnya sejak awal tengah dan akhir, semua disampaikan, kepada Sang Prabu Harimurti. 39. Kemudian Narendra Kresna berkata, Dinda Prabu janganlah bersedih hati, tingkah adik kita, Ki Arya Wrekudara, walaupun sebenarnya tipuan, oleh para Kurawa yang curang, serahkanlah saja kepada Dewata Yang Agung. 40. Orang yang ingin mengabdi, kata-kata yang baik itu harus dijalankan, dan yakin kepada Dewata Yang Agung, yang akan menjatuhkan bencana, kelak tentu akan mendapatkan balasan, lalu berkata prabu Yudhistira, kepada Prabu Harimurti. 41. kalau datang adikku, menghadap tanpa kurang suatu apa, kita akan pesta makan dan tari, disetujui sang Raja, lebih sempurna kalau Kakang Prabu mau datang, tentu senang hati, adinda ini semua. 42. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan wong Agung Jodhipati, bergemuruh semua mendekat, hati mereka sangat gembira, Dananjaya dan Nakula Sadewa, Raden Pancawala dan Sembadra, Retna Drupadi dengan Srikandi. 43. semua menghaturkan sembah (kepada sena), lalu berkata sang prabu Harimurti, mari dinda, kita lanjutkan dengan berpesta, namun segera Arya Wrekudara menjawab, tak usah berpesta pora, bukan itu yang kunantikan. 44. Kepada orang yang suka berpesta, kuberitahukan kedatanganku hanya ingin memberi kabar, bahwa aku sudah mohon diri kepada kalian, dan kepadamu Kresna, ijinkan aku memberi tahu, bahwa aku akan pergi ke tengah samudera, mencari air suci.
3. Sinom 1. Sesuai Petunjuk Dhang Hyang Druna, mencari air penghidupan, yang tempatnya di pusat samudera, itulah yang akan kucari, lalu berkatalah adik-adik Sena, duh kakanda jangan lakukan itu, itu bukanlah tugas, hal itu tidak patut dilaksanakan, mendengar itu diamlah Prabu Yudhistira. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 189
2. Kemudian katanya pelan, kepada kakanda Sri Harimurti, bagaimana kehendak paduka sekarang, paduka sudah mengetahui demikianlah kehendak Sena dan tidak dapat dihalanghalangi, Sri Kresna diam tak dapat berkata-kata, sangat heran dia, bingung dalam hatinya tak dapat menjawab, pertanyaan sang Yudhistira. 3. Segera Sang Prabu Yudhistira, menoleh kepada adinda, Arjuna Nakula dan Sadewa, menyembah dan mencium kaki (sena) sambil menangis, Raden Pancawala Drupadi, Sumbadra Srikandi ikut menangis pula, semua meminta dengan paksa, dan Prabu Harimurti, masih memberikan nasihat kepada Bayuputra. 4. semua menangis sesenggukan, tak goyah dikungkung oleh tangis, Dananjaya memegangi tangan, dua adik lain memegangi kedua kakinya, dan sambil menangis mengiba-iba, Sri Kresna yang selalu didepannya, Srikandi dan sumbadra, masih tetap menangis dan menghalang-halangi, dikibaskan (aryasena) semua nya terlempar. 5. Wrekudara memberontak, tak dapat dihalang-halangi, cepat langkahnya sudah jauh, bersedih bagaikan mati, semua yang ditinggal, akan menyusul mengikuti di belakangnya, mereka merasa takut menemui rintangan atas kakaknya, Beliau Sri Harimurti, menjadi terdiam dan semua kebingungan. 6. Di setiap tempat terdengar tangisan, semua sentana lelaki perempuan, satria menghadap di muka, Sang Prabu Harimurti, tak henti-hentinya menasihati, adik-adiknya semua terdiam dan khidmat, mendengarkan Kakanda, tinggal di dalam istana, dikisahkanlah yang sedang dalam perjalanan. 7. Semakin jauh dari dalam kota, sudah masuk kedalam hutan, tak terpikir olehnya, segala bahaya menghampiri, orang-orang yang ditinggal di perbatasan, semua heran mendengarnya, perjalanan Arya Sena, bagaikan naga yang sangat menakutkan, menantang bahaya agar tercapai tujuan hidupnya. 8. Pepohonan terhanyut oleh angin, cabang patah oleh angin yang bertiup, bagaikan memaksa bunga-bunga untuk mekar, angin bertiup, tersebar bunga serba indah, gerimis dengan semerbak harum, tampak kuning dengan leher yang bersinar, bunga pudak bergoyang-goyang, tampak bagaikan betiscommit tertiuptokain userkebaya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 190
9. Lain dari kesedihan yang dirasakan saudara-saudaranya, sejak kepergian dari negerinya, babi hutan gelisah, bagaikan menyapa kepada Arya Sena, merak bersuara dibelakangnya,bersahutan dengan burung cucur, seolah-olah menyuruh pulang, kijang pulang dari hadapannya,bagaikan memendam kesedihan yang mendalam. 10. Capung bersuara bersahut-sahutan, seolah-olah seperti menjawab, burung hantu dan burung dares bersuara, menyambar-nyambar di udara, bagaikan mengahalangi jalan, kembalilah Sang Malat Kung, kodok di dalam liangnya, mengatakan bahwa itu hanya kecurangan, merupakan ulah orang-orang yang berbuat jahat. 11. Pada waktu itu sang matahari tidak muncul, karena tengah malam, burung kedasih bersuara bersahutan, mustika ganeya pun bernyanyi, menciptakan dengung di sekitarnya, seolah-olah mengabarkan kematian, bahwa perintah Dhang Hyang Druna, tidak menuju keselamatan, dipenuhi dengan kata-kata yang penuh bahaya dalam perjalanan. 12. Kuku hiasan jari-jarinya, yang diperoleh dari Hyang Bayu,menuruni ujung gunung, dengan langkahnya pelan-pelan, dikawal awan putih, dari jauh kelihatan, tempat tinggal sang Dewa Haruna (Dewa Matahari), berjalan di atas air laut, tampak sorot Sang Maharesi Dipaningrat. 13. Ada seekor burung yang tampak, bersuara keras dan bernyanyi-nyanyi, seolah memberi isyarat supaya lekas kembali, kepada yang menderita dalam perjalanan, hewanhewan hutan menjerit-jerit, memberi isyarat kepada yang sedang berduka, melewati hutan lebat berbahaya, tampak lah tepi laut, dan ombak bergulung-gulung menerpa karang. 14. Riuh bagaikan sorak-sorai peperangan, semakin dekat semakin tampak, karang yang menyembul, dan ombak-ombak itu melindungi, ada yang bagaikan gajah, yang menoleh dan mendekam, Wrekudara sudah sampai, ia berdiri di tepi laut, ragu-ragu ia menatap tepi laut itu. 15. Sang ombak bagaikan bunga gelagah, menggempur batu karang, bagaikan menyambut yang baru datang, dan menyarankan untuk kembali saja, ombak besar datang juga, suaranya riuh menggelegar, ombak bergulung-gulung, tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia ditipu agar masuk ke dalam samudera. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 191
16. Jika sungguh jalan yang sesat, petunjuk dari Druna, kalaupun pulang sangatlah malu, Sena tidak ingin menentang sang Maharesi, lebih baik mati di tepi laut,kemudian ia melihat, berbagai bentuk perahu, berbondong-bondong di atas lautan, bercahaya seperti layar yang berkembang. 17. Dengan suka cita ia memandang laut, perlahan-lahan kesedihan hatinya sudah terkikis, ia menerawang tanpa batas, Sang Moneng bagaikan tugu batu, ombak besar menakutkan terus menerus bergulung-gulung, air mundur menghalangi, tampak tanah pantai menyembul, ketakutannya bagaikan gulungan bunga yang mekar. 18. Rambutnya mengombak-ombak, bagaikan rambut sambungan yang terlepas, ikatannya seperti kain terlepas, tak dapat dikatakan dalam tulisan, isinya laut, beberapa keindahan yang tampak, keindahan dalam air, sungguh sangat panjang bila diceritakan, Wrekudara tak pulang tapi tetap pada niatnya menceburkan diri ke samodra. 4. Durma. 1 Maka sang Arya Wrekudara lalu memusatkan perhatiannya, tidak lagi memikirkan marabahaya, jika tidak menemukan, si air maya jernih tirtamarta, lebih baik mati di laut, menghampiri pastinya kematian, segera bersikap diri. 2. Dalam samudera kegembiraannya tampak, air membasahi kaki, menyentuh tubuhnya, ombak menggelombang menampar wajahnya, dan bergerak-gerak menerpa badan,menyentuh lehernya. 3. Sena teringat ilmunya Jalasengara,agar air dapat menyibak, setelah ilmu itu diucapkan,dia Sang Wrekodara, terus berjalan ke tengah, tak memperhitungkan, bermacam bahaya dalam air. 4. Naga besar penguasa bumi menyemburkan bisa, berbisa sangat mematikan, bergerak mendekati apa yang dilihatnya, lalu segera mengambang di air, tubuhnya sebesar gunung anakan, wajahnya tampak liar dan ganas, mulutnya menganga menakutkan. 5. Bagaikan dipenuhi gempa air laut bergoyang-goyang, terkejut melihatnya, Arya Wrekodara, bahaya yang datang, berupa naga besar menakutkan, tidak lama kemudian, rajaraksasa mendatangi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 192
6. bagaikan guntur memenuhi samodra, wajahnya menakutkan, menganga bagaikan gua, taringnya tampak tajam bercahaya, menyemburkan bisa bagaikan hujan, lalu naga itu menerkam dengan segera, bergerak seperti membanting. 7. Sesudah badannya dililit oleh tubuh ular naga itu, Sena merasa kecut hatinya, bisa sang naga, tersembur ke muka semua, kebingungan ia mengira akan cepat mati, semakin meronta sang naga semakin kuat lilitannya. 8. Tubuh Sena dililit semua, hanya tinggal lehernya yg masih tampak, sang naga pun semakin ganas, mengencangkan lilitannya, ada kapal dagang yang lewat, mengira kedatangan cuaca tiba-tiba, musim yang salah, lalu lekas pergi menjauh menghindari. 9.Bagaikan disapu kapal, sedangkan Sena masih dililit naga, ia lelah tak kuasa meronta, kemudian ia teringat kuku pancanaka, segera saja ia menikamkan kukunya, tepat di tubuh naga itu, kemudian darah pun memancar. 10. Kuku Pancanaka menancap di badan naga, langsung naga itu mati, darah keluar dengan deras, air laut memerah, tampak sepintas di kanan kiri, air bercampur darah, naga besar sudah mati. 11. Naga Mati oleh Sena semua senang, seisi laut itu gembira, diceritakanlah, Ri Sang Paramengparasdya (dewaruci), melihat perjalanan sang Kaswasih(bima), Sang Amurwengrat (dewaruci), kedatangan Sang Amamrih (Bima). 12. Yang di utus tidak mengetahui hakekat tugasnya, Air Penghidupan Jernih, yang letaknya tanpa arah, air yang ada dalam air, suksma berjiwa penuh rahasia, tak mungkin ditemukan, bila tidak mendapat anugerah yang sebenarnya. 13. Syahdan diceritakan Pandawa, yang sungguh bersedih hatinya, semakin dipikirkan, perihal keadaan Saudaranya, semua ingin menyusul, jangan sampai menemui kesulitan, sampai menemui kematian. 14. Semua memohon dengan penuh iba, kepada Prabu Harimurti, dan semua menangis, berkatalah Sang Kresna, sudah jangan bersedih, bahwa adinda tidak sampai meninggal dunia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 193
15. Bahkan sena akan mendapat pahala dari Dewata, nanti dia akan datang dengan kesucian, ia akan mendapatkan cinta kemuliaan, dari Hyang Suksma Kawekas, diizinkan berganti diri, menjadi Batara yang berhasil menatap dengan hening. 16. Maka janganlah bersedih hati, gembirakanlah hati kalian, hilang lah rasa cemas mereka, setelah mendengar, penjelasan yang sebenarnya, dari kakanda Sang Prabu Kresna, Raja di Dwarawati. 17. Kembali dikisahkan Sang Wrekudara, yang masih di tengah samudera, sudah bertemu, dengan Dewa berambut panjang, bernama Dewa Ruci, seperti anak kecil bermain-main, bicaranya jarang. 18. Berkata Sena (kepada Dewa Ruci) apa kerjamu, datang ke tempat ini, apa tujuanmu, di laut ini sepi saja, semua serba tidak ada, tak ada yang dimakan, dan tidak ada pakaian. 19. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh di depanku, itu yang saya makan, jika tidak ada, tentu tidak makan, Sang Wrekudara, heran melihat dan mendengarnya. 20. Dewa berambut panjang di laut tanpa kawan, kecil sekali, siapakah dia, hanya sebesar jari kelingkingku, bicaranya keras tegas, sombong sekali, tanpa kawan hanya sendirian. 21. Lalu berkata lagi Wrekodara yang datang, di tempat ini, banyak rintangannya jika tidak mati-matian, tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, disini segalanya, serba sepi tidak terang. 22. Dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, di sini tidak mungkin ditemukan, Sena bingung hatinya, jawabnya, karena tidak tahu maksudnya. 23. Sehingga Wrekudara menjawab pelan, terserah kepada guru, Dewa Ruci berkata, kau pun juga, keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, asal muasal yang sebenarnya. 24. Dari Sang Hyang Brama asal para raja, ayahmu pun, keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, Ibumu Dewi Kunti, yang memiliki keturunan, yaitu Sang Hyang Wisnu Murti. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 194
25. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai panengah/ketiga adalah Dananjaya, yang dua anak dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu di sini pun. 26. Juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari, Air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu, yang memberi petunjuk kepadamu, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa, sulit menikmati hidupnya. 27. Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, dan jangan makan, bila belum tahu, rasa yang dimakan, janganlah berpakaian, bila belum tahu, nama pakaianmu. 28. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung, berniat akan membeli emas, oleh tukang emas diberi. 29. Kertas kuning dikira emas mulia, demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah, Wrekudara ketika mendengar itu, terduduk merendahkan diri, kepada Sang Wiku yang teliti. 30. dengan duduk bersila, Sang Wrekudara meminta kasih, mohon diyakinkan, siapakah tuanku sebenarnya, mengapa di sini sendirian, aku Sang Marbudyengrat, ialah Sang Dewa Ruci. 31. Sena berkata jika demikian, saya ingin meminta kasih, saya juga tidak tahu, pengabdian diri ini, sama seperti hewan hutan, tidak seberapa, waspada kepada badan yang suci. 32. Lebih bodoh tolol dan penuh kekurangan di dunia, ditertawakan di mana-mana, bagaikan tubuh keris, yang tanpa kerangka, perkataan tanpa batas, lalu berkatalah, dengan manis Sang Dewa Ruci.
5. Dhandanggula. 1. Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku, terkejut mendengar kata-katanya,Wrekudara tertawa, dengan terbahak-bahak,(katanya) tuan ini commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 195
bertubuh kecil, saya bertubuh besar, iya badan segunung, dari mana jalanku masuk,kelingking pun tidak mungkin dapat masuk. 2. Dewa Ruci berkata lirih, besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera beserta semua isinya ,tak sarat masuk, ke dalam tubuhku, Wrekudara setelah mendengar, agak takut menyatakan mau, berpalinglah Sang Dewa Ruci. 3. Di dalam telingaku yang kiri, Wrekudara segera masuk telinga, sudah sampai di dalam tubuhnya, ia melihat laut luas, tanpa tepi jauh sekali ia berjalan, tampak jauh terlihat, Dewa Ruci berteriak, hai apa yang kau lihat, Arya Sena berkata bahwa tambah jauh, tak ada yang tampak. 4. Langit luas yang kutempuh, langit yang sangat luas tanpa batas, aku pergi ke mana-mana, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah atas dan depan, serta di belakang, aku tidak tahu, bingung sekali sang Dewa Ruci berkata pelan, jangan takut tenangkan dirimu. 5. Tiba-tiba terang tampaklah Dewa Ruci, Wrekudara Sang Wiku, terlihat memancarkan sinar, kemudian ia tahu utara selatan, timur barat sudah tahu,di atas dan dibawah, juga sudah diketahui, kemudian terlihat matahari, nyaman rasa hati melihat, Sang Wiku di balik dunia ini, 6. Dewa Ruci berkata lirih, sambil berjalan lihat-lihatlah, apa yang tampak olehmu, Wrekudara menjawab, ada empat macam benda, yang tampak olehku, semua itu, sudah tampak, hanya empat warna yang dapat kulihat, hitam merah kuning dan putih. 7. Sang Dewa Ruci berkata lagi, yang pertama kau lihat cahaya, menyala itu, bernama pancamaya sesungguhnya itu ada di dalam hatimu, itu yang memimpin dirimu, maksudnya hati itu, yang disebut mukasifat, yang menuntun kepada sifat, lebih merupakan sifat itu sendiri. 8. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk menetapkan hati, mata hati itulah, yg menandai pada hakikatmu, nyaman Sang Sena, mendengarkan nasihat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 196
itu, segera hati merasa bahagia, sedang yang berwarna merah hitam kuning dan putih, itu adalah penghalang hati. 9. Isi dunia ini sudah lengkap, yaitu tiga hal hati, merupakan pendorong segala langkah, bila dapat memisahkan, tentu dapat menyatu dengan gaib, itu adalah musuh pendeta, hati yang tiga (curang), berwarna hitam merah kuning semua, menghalangi pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan sukma mulia. 10. Jika tidak tercampur oleh tiga hal itu, tentu akan terjadi persatuan kawula, abadi dalam persatuan, perhatikan dan ingatlah, penghalang yang berada dalam hati, pahami dan kuasailah, satu demi satu, yang hitam lebih perkasa, kerjanya marah terhadap segala hal, dan murka secara menjadi-jadi. 11. Itulah hati yang menghalangi, menutupi tindakan yang baik, yang hitam itulah kerjanya, sedangkan yang merah, menunjukkan nafsu yang tidak baik, segala keinginan, keluar dari situ, panas hati, yang menutupi kepada hati yang sadar, kepada kewaspadaan. 12. Sedangkan yang berwarna kuning, kerjanya menanggulangi segala hal, itulah pikiran yang baik jadinya, pekerjaan agar lestari, hati kuning yang menutupi, hanya suka merusak, kemudian yang berikutnya, putih berarti nyata, itulah hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. 13. Hanya itu yang dapat menerima, akan firasat hakikat warna, merupakan tempat menerima anugrahnya, yang dapat melaksanakan, mengabdikan persatuan keinginan, hati yang tiga itu musuh, dan juga sangat banyak, kawannya yang ketiga, yang berwarna putih hanya seorang diri tanpa kawan, maka ia sering kalah. 14. Memang bila dapat memenuhi, kepada tiga hal yang merusak, di situlah letak persatuannya, tanpa pedoman, tentang persatuan makhluk dan pencipta, Wrekudara mendengar, dengan giat ia berusaha, dengan penuh tekad, untuk mencapai pedoman hidup, demi kesempurnaan persatuan. 15. Setelah hilang empat hal itu ada lagi, nyala satu delapan warnanya, Wrekudara pelan bertanya, apakah namanya, nyala satu dengan delapan warna, mana yang nyata, mana yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 197
sesungguhnya, ada yang seperti permata bersinar, ada yang maya-maya bergerak cepat, ada manik-manik yang berkilat-kilat. 16. Marbudyengrat berkata sang Dewa Ruci, itulah sesungguhnya yang disebut tunggal, semua warna itu artinya, sudah ada padamu, semua itu ialah isi dunia ini, digambarkan atas dirimu, dan dunia yang agung, jagad kecil tak berbeda, awal ada utara, selatan, barat, timur luhur di bawah. 17. Dan hitam merah kuning putih, ialah kehidupan di dunia, alam kecil dan alam besar,memang sama isinya, pertimbangkanlah olehmu, bila hilang warnanya, maka semua alam akan sepi, semua usaha tidak akan ada, dikumpulkan atas satu rupa saja, tidak lelaki tidak perempuan. 18. Bagaikan lebah muda, yang tampak bagaikan putih gading, marilah tengok, Wrekudara melihat, sesuatu, yang bagaikan berputar putih gading, cahaya memencar berkilat, berpelangi melengkung, apakah gerangan, itu bentuk Dzat yang dicari, yang merupakan hakikat rupa. 19. Menjawab pelan Dewa Ruci, itu bukan yang kau cari, yang menguasai segala hal, tak boleh kau lihat, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berujud dan tidak tampak, ya tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini memenuhi, dipegang tidak dapat. 20. Sedang yang kau lihat itu, yang tampak seperti berputar mutiara, yang berkilat cahayanya, memancar menyala-nyala, itulah yang bernama sang Pramana, kehidupan tubuhnya, sang Pramana, menyatu dengan dirimu, tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuhmu. 21. Tidak makan dan minum, juga tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga tinggal tak berdaya, sungguh badan tanpa daya, itulah yang mampu, merasakan penderitaannya, dihidupi oleh sukma, ialah yang berhak menikmati hidup, dan mengakui rahasia Dzat. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 198
22. Juga dikenakan kepadamu, bagaikan bulu pada hewan, berada di raga, kehidupan Pramana, dihidupi oleh Sukma, yang menguasai segalanya, Pramana itu, bila mati ikut lesu, namun bila hilang kemudian, kehidupan Sukma ada. 23. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan sukma yang sesungguhnya, terlalu upamanya, bagaikan rasa kemumu (kepinding), Pramana anresandani, sebenarnya satu asal, dibuktikan hal itu, berkata sang Wrekudara, iya benar bagaimana warna yang sejati, Dewa Ruci berkata. 24. Hal itu tidak boleh kau ambil, dan keadaan semata-mata, mudah sulit sarananya, Wrekudara berkata, aku minta ajaran lagi, juga harus tahu, sama sekali, aku menyerahkan diri, meminta busana yang sebenarnya, tidak usah bersusah-susah. 25. Jika demikian saya tidak mau keluar, lebih baik tinggal di sini saja, tidak ada hambatannya, tidak akan makan dan tidur, tidak mengantuk juga tidak lapar, tidak mengalami kesulitan, tidak sakit-sakit ngilu, hanyalah enak dan manfaat, Dewa Ruci berkata itu tidak boleh, jika belum mengalami mati. 26. Semakin banyak ajaran Dewa Ruci, kepada Sang Kaswasih yang dimintanya, wahai itu perhatikanlah, hal yang menggagalkan laku, jangan punya kegemaran, bersungguhsungguh dan waspadalah, dalam segala tingkah laku, jika semua sudah kau dapatkan, jangan gaduh dalam berbicara, jadikan itu hal yang dirahasiakan. 27. Tidak boleh kau bicarakan kecuali secara sembunyi-sembunyi, dengan sesama manusia, bila tidak dengan anugrahnya, jika berselisih, membicarakan bahan pembicaraan ini, lekaslah kau mengalah saja, jangan sampai berlarut-larut, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan, tetapi kuasailah. 28. Tentang keinginan untuk mati, peganglah dalam pemusatan pikiran, rupa yang sebenarnya, disimpan oleh buana, rupa tak ada yang menghidupi, tidak seberapa waktu, memang keberadaannya sudah melekat pada diri, sungguh menyatu padu dengan dirimu, tidak dapat dipisahkan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 199
29. Tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, penglihatan dan pendengaran, juga sudah ada pada dirimu, pendengaran sukma sejati, Tanpa telinga dan mata, mengetahuinya, juga tanpa mendengar, penglihatan dan pendengaranmu yang ada, sudah ada dalam dirimu. Pembebasa 30. Lahirlah sukma pada dirimu, batinmu dalam sukma, begitulah kenyataannya, Itu bagaikan kayu dibakar, asapnya muncul dari api, asap beserta kayu itu, bagaikan air dan ombak lautan, bagaikan minyak dalam susu, tubuhmu bergerak leluasa, serta mendapatkan anugerah yang benar. 31. Jika penyatuan khalik dan makhluk,, sukma yang diharapkan ada, sedangkan bentuknya itu Sudah ada pada dirmu, dirimu bagaikan wayang, segala gerak-gerik dari sang dalang yg memainkan, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan, untuk memainkan wayang, segala perbuatan dan yang dilihat, terjadi karena dhalang. 32. Gerakan wayang-wayang dari ki dalang yang memainkan, tak ada jarak dalam perpaduan kehendak, karena hal itu tidak berbentuk, warna dan bentuk sudah ada padamu, seumpama hiasan yang sejati, tempat bercermin Hyang Sukma, bayangannya itulah yang ada dalam hiasan, ialah makhluk ini, nanti aku akan memberi keterangan lagi, begini gampangnya. 33. Badan luar wujud kita ini, jiwa berada di dalam kaca rupanya, tetapi bukan cermin, cermin di dalam kalbu, itulah wujud kita pribadi, tercetak dalam cipta, memejamkan mata, lebih besar berkahmu, jika manusia telah menyatu dengan badan dan jiwa, ia sudah seperti Bathara. 34.Oleh karena tanpa tujuan, ditemukan dalam pikiran kita, jika secukupnya saja, badan dalam ini, pasti bisa memenuhi, badan yang batin ini, juga bisa dipahami wujudnya, di dalam otak adanya, sedangkan rasa juga terbagi menjadi tiga, yang mula rasa luar. 35. Rasa dalam ialah rasa batin, rasa jaba ialah rasa badan, sedangkan rasa dalam jelasnya, yaitu rasa yang sampai, rsanya batin seperti mimpi, tetapi semua itu, dalam kuasa ahyang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 200
Agung, artinya yang tidak mengenal mati, yang mengajak tidur jaga diam bergerak, dan bernafas. 36 juga yang harus menerima, terhadap masuk keluarnya nafas, sehubungan juga, dengan masuk keluar, nafas kita ini, tidak dapat dikira, di badan itu, badan menjeput hidup, tumbuhnya bulu di kulit yang menghidupi, kulit yang dihidupi. 37. Oleh daging sedangkan daging oleh darah, hidupnya darah dari nafas, nafas dari hidupnya, sedangkan yang menjadi sumber, ubun-ubun juga mengalir, menerima bunga pisang, mengaliri semua, rata sekujur tubuh, ingatlah tanpa mengalirnya sumber dengan terpelihara, mengumpul tanda daya. 38. Tetapi ketahuilah olehmu, semua itu hanya sarana, tidak abadi selamanya, sebab hidup itu, dikuasai oleh yang menghidupi, yang menghidupi juga, masih dikuasai, oleh yang menciptakan kehidupan, yang menciptakan kehidupan tidak bisa terlihat, dengan mata di kepala. 39. Tetapi dengan penglihatan budi, hanya dengan itu bisa dilihat, dan dengan melihat hidup, yang sudah telanjang kosong, artinya sudah tanpa alat, jadi hanya dengan begitu, bisa tercapai hanya, sekali tetapi dengan, berani menyembah yang satu, maka ingatingatlah. 40. Kalau kejadiannya segala sesuatu, karena dari gerak keinginan/niat, yaitu juga mendapat, dari geraknya kodrat, ringkasnya manusia ini, harus berani mati, kalau takut mati, segala sesuatu tidak menghampiri, keinginanmu gagal tercapai tanpa terjadi, padahal tanpa terucap. 41. Lebih besar dari yang diceritakan ini, daripada besar jagad, keiklasan lebih halus, seumpama selembut tetes air, masih lebih halus keiklasan, lebih kecil keiklasan ini, seumpama sekecil kutu, lebih kecil keiklasan ini, maksudnya besar kecilnya itu dapat menjelma dalam kematian besar dan kecil pula. 42. Juga terhadap yang kasar dan kecil, segala sesuatu yang merangkak, yang merangkak di tanah, serta yang melata tak berbeda, semua memiliki kelebihan nyata, yang merasa lebih commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 201
banyak menerima, tidak boleh menyombongkan diri, terhadap ajaran dan nasehat, hayatilah dengan sungguh-sungguh, basuhlah dirimu sampai bersih, ketahuilah segala rahasia tingkah. 43. Nasehat merupakan benih, yang dinasihati misalnya tempat, yang diajarkan seumpama kacang kedelai, disebar di bebatuan, jika batu tanpa tanah, (tAnpa) kehujanan kepanasan, tentu tidak akan tumbuh, jika kau bijaksana, hilangkan adanya, agar menjadi jelas penglihatan sukma. 44. rupa dan suara juga, suara itu kembalikan kepada yang punya, kamu hanya mengaku memiliki saja, hanya dijadikan pengganti, tetapi janganlah kau punya, kegemaran dalam hatimu, selain kepada Hyang Luhur, menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, karena dua hal telah kau anggap sudah menjadi diri sendiri. 45. Sesungguhnya akan merasakan dua hal itu, jika masih ragu dalam hati, akan menjadi lekas marah, jika sudah menyatu, setiap gerak hati murni, yang diingikan terkabul, yang dipikirkan hadir, semua sudah ada padamu, semua jagad ini karena dirimu, supaya selalu mau ( tidak ingkar). 46. Jika sudah paham akan segala tanggungjawab, rahasiakan dan tutupilah maknanya, jangan pamerkan pakaianmu, tetapi dalam batinmu, Sebentar pun jangan sampai kau terlupa, dalam kenyataan tutupilah, akan empat macam hal, anggaplah semuanya, termasuk kelimanya ini Yang terbaik, untuk di sini dan di sana juga. 47. yaitu bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu nafsu, badan sekedar melaksanakan secara lahir, diterima badan ini, perpaduan sewujud tunggal, mengapa merasa mati, Wrekudara hatinya terangbenderang menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugrah wahyu sesungguhnya. 48. Bagaikan rembulan terhalang oleh hujan, memikirkan wahyu nugraha, menyingkir kotoran kemudian hilang, berkata lagi Dewa Ruci, lirih manis bicaranya, tidak ada aji paran, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian kepandaian sudah kau kuasai, keberanian dalam berperang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 202
49. Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara sudah tidak bingung lagi, semua sudah dipahami merasuk ke dalam diri, Sangat berlebihan suara membumbung, tanpa sayap dapat melanglang, segala penjuru jagad ini, sudah dikuasai juga, pantaslah susunan bahasanya bagaikan sekumtum bunga, Kuntumnya masih kuncup, sekarang mekar mengembang. 50. semakin indah dan berbau harum, sang Pancaretna sudah diperbolehkan keluar, keluar dari tubuh, sudah berganti alamnya, Kembali ke alam kemanusiaan, Sang Dewa Ruci sudah sirna, begitu diceritakan, hati Raden Wrekudara, berhasil mendapatkan baunya bunga kasturi yang mekar, hilanglah kekalutan hatinya. 51. Laksana selingkar dunia, kata dengan marabahayanya, hilanglah kesucian hati, bukankah hanya sekedar melaksanakan, seperti tubuh dengan busana sutra indah, sikapnya serba halus, diperhalus dengan emas, juga perhiasan manik-manik, Wrekudara tahu hikmah tingkah demikian. 52. serba halus dalam budinya, berwarna indah serba menawan, bernama kasturi sejati, pertanda tidak ada gunanya, (jika) pada pendahuluan yang menyatu dalam diri, menumbuhkan kebisaan, pengetahuan yang tak keliru, dan lagi di jagad, yang teramat indah dalam segala hal, celana dan kain dodotmu. 53. Padahal sudah diingatkan di masa lalu, tentang tiga macam waktu di gua garba, peringatan Dewa Ruci, nasihat tentang warna hitam kuning itu, merupakan penghalang tugas sejati, yang putih itu di tengah, jadi sumber keangkuhan, kelima yang digambarkan, sudah dibawa semuanya seketika tanpa terlupa, menuruti keangkuhanmu. 54. sebenarnya waktu kelahirannya dulu, Wrekodara lahir dari bungkus, sudah bercawat kain poleng, maksudnya Sang Hyang Guru, warna hitam dan putih, melengkapi yang empat tadi, poleng merah ceplok, itulah yang sebagai sebab, bebas lebur kecamuk keraguan, dijaga selamanya. 55. sudah begitu, Wrekodara pulang, cepat-cepat sudah sampai di Ngamerta, bertemu saudara-saudara, lebih senang hatinya, Darmaputra dan para adik, memenuhi niatnya, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 203
pesta makan dan menari, semakin menambah senangnya hati, dimana sang adik datangnya sejahtera, hilang kesedihannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 204
Dewaruci, Tan Gun Swi, 1928, #1212
Katalog :
Dewaruci, Tan Gun Swi, 1928, #1212
Sambung
:
-
Serie D. No. ... DEWAROETJI Harga f 0.65
Sêrat Dewaruci
Punika Sêrat Dewaruci ingkang sampun mawi wrêdi.
[Grafik]
CETAKAN YANG KA IV.
Kawêdalakên sarta kasade dening: Tan Gun Swi Kêdhiri 1928
--- [1] ---
Sêrat Dewaruci
Punika Sêrat Dewaruci ingkang sampun mawi wrêdi.
[Grafik]
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 205
CETAKAN YANG KA IV
Kawêdalakên sarta kasade dening: Tan Gun Swi Kêdhiri 1928
--- [2] ---
Penerbit: TAN KHOEN SWIE - Kediri.
[Grafik]
Diperlindungi hak pengarang tersebut dalam Stb. 1912 No. 600. fatsal ll. Kitab ini Syah bila ada tanda tangannya si penerbit sebagi dibawah ini:
--- [3] ---
Bêbuka.
Sêrat: Dewaruci.
Sêrat Dewaruci punika ing ngajêng mawi têmbang Kawi Sêkar Agêng, anggitanipun Êmpu Widayaka ing nagari Mamênang, inggih ing Kadhiri.
Êmpu Widayaka wau inggih Ajisaka, timuripun nama Jaka Sangkala, putranipun Êmpu Anggajali, ibunipun putri ing nagari Najran, tanah Ngarab.
Sarta Ajisaka wau siswanipun Sang Maolana Ngusman Ngajid, raja pandhita dibya ing nagari Banisrail Ngarab. Punapadene Ajisaka wau lajêng puruhita dhatêng para Jawata, bab kawruh kamuksan, utawi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 206
kawruh kadibyan kanuragan sasaminipun, sampun tumplak kacakup dening Ajisaka sadaya. Para dewa ingkang linangkung sampun dipun guroni sadaya. Kados ingkang kasêbut ing Sêrat Ajidarma, tuwin Sêrat Ajinirmala.
Mila Ajisaka punika kawruhipun langkung pinunjul sasamining êmpu. Mungêl ing Sêrat Panitisastra, manawi wontên [wontê...]
--- [4] ---
[...n] êmpu ingkang sagêd ngawonakên pandhita satus, ingkang putus ing kawruh, punika sawêg sami kaliyan kawruhipun Êmpu Widayaka.
Amila Sêrat Dewaruci punika, sami-sami wêwarah kamuksan jaman kadewatan, kabudan, dipun rêmêni piyambak dening para wali, awit suraosipun cundhuk sangêt kaliyan kawruh pathining agami Islam (Ngèlmi Makripat) dhasar sajatosipun, Êmpu Widayaka wau, mênggahing kawruh kasampurnan, ingkang dipun èsthi ing salêbêting batos amung wasitanipun Sang Maolana Ngusman Ngajid, ing Banisrail kasêbut ing nginggil (Islam) mila layak kemawon Sêrat Dewaruci wau, dipun lêluri dening para wali.
Dene ingkang jarwakakên mawi sinawung ing sêkar macapat, Kangjêng Susuhunan Benang. Sarta sampun sumêbar ing kathah, malah sampun nate dipun cithak, ananging dumugi samangke dèrèng dipun wardèni. Sapunika sampun kalampahan dipun wardèni kalayan jangkêp. Awêwaton saking sêrat warni-warni. Ingkang mardèni Mas Ngabèi Mangunwijaya ing Wanagiri (Surakarta).
Taun 1922 - 1852.
--- [5] ---
Sêrat: Dewaruci, Mawi Wrêdi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 207
1. Dhandhanggula 1. nihan doning ulun manulat sri | mring sarkara mamrih mamardawa | tyas wigêna panjutane | juwêt silarjèng tuwuh | wahananing kaanan jati | sujana paramarta | witaning tumuwuh | winangun ingkang sasmita | ginupita ing kawi rèh Bimasuci | winangun lawan jarwa ||
2. Wrêkodhara duk puruhita mring | Dhanyang Durna kinèn ngupayaa | toya ingkang nucèkake | marang sariranipun | Wrêkodhara mantuk wêwarti | maring nagri Ngamarta | pamit kadang sêpuh | sira Prabu Yudhisthira | kang para ri sadaya nuju marêngi | anèng ngarsaning raka ||
3. Arya Sena matur ing raka ji | lamun arsa kesah mamrih toya | dening guru pituduhe | Sri Darmaputra ngungun | amiyarsa aturing ari | cinipta praptèng baya | narendra mangun kung | dyan satriya Dananjaya | matur nêmbah ing raka sri narapati | punika tan sakeca ||
4. inggih sampun paduka lilani | rayi dalêm kesahe punika | botên sakeca raose | arya kalih wotsantun | inggih sampun tuwan lilani | watak raka paduka | Ngastina pukulun | karya mangendra sangsara | Rêsi Durna ginubêl murih ngapusi | sirnaning pra Pandhawa ||
5. Wrêkodhara miyarsa nauri | ingsun môngsa [mông...]
--- 6 ---
[...sa] kênaa dèn ampah | mati ya ngumurku dhewe | wong nêdya mrih pinutus | panunggale Hyang Maha Suci | Arya Sena saksana | kalepat sumêmprung | Sri Narendra Yudhisthira | miwah ari katiga ngungun tan sipi | lir tinêbak mong tuna ||
6. tan winarna kang kari prihatin | kawuwusa lampahira Sena | tanpa wadya amung dhewe | mung bajra sindhung riwut | ambêbênêr murang ing margi | prahara munggèng ngarsa | gora rèh gumuruh | kagyat miris wong padesan | kang kaambah kang kapranggul dhodhok ajrih | andhêpès nêmbahnêmbah ||
7. kathah pasêgah dhatan tinolih | langkung adrêng praptèng Kurusetra | marga gêng kambah lampahe | glising lampahira sru | gapura gêng munggul kaèksi | pucak mutyara muncar | sangking doh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 208
ngênguwung | lir kumêmbaring baskara | kunêng wau kang maksih wontên ing margi | wuwusên ing Ngastina ||
8. Prabu Suyudana animbali | Dhanyang Durna prapta ing jro pura | natèng Mandraka sarênge | Prabu Ngawôngga tumut | pra sêntana andêling wèsthi | prasami ingandikan | marang jro kadhatun | wong agung ing Sindusena | Jayajatra miwah Ki Arya Sangkuni | Bisma myang Drusasana ||
9. Radèn Kuwirya Kurawa sêkti | miwah Rahadèn Jayasusena | Radèn Rekadurjayane | praptèng
--- 7 ---
ngarsa sang prabu | kang ginusthi mrih jayèng jurit |
[Grafik]
Durna dan Wêrkudara.
sor sirnaning Pandhawa | ingkang dadya wuwus | aywa kongsi bratayuda | yèn [yè...]
--- 8 ---
[...n] kênaa ingapus sangkaning aris | sirnaning pra Pandhawa ||
10. golong mangkono turira sami | Radèn Sudarma Surônggakara | anut rêmpêg samya ture | sira ta Sang Aprabu | Suyudana mênggahing galih | datan pati ngarsakna | ing cidranirèku | ragi kagagasing kadang | lagya eca gunêm Warkudara prapti | dumrojog manjing pura ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 209
11. ebah kagyat kang samya alinggih | Sri Narendra Ngastina ngandika | yayi dèn kaparèng kene | Wrêkudhara anjujug | Dhanyang Durna sigra ngabêkti | rinangkul jangganira | babo sutèng ulun | sira sida ngulatana | ingkang tirta pawitra sucining urip | yèn iku kapanggiha ||
12. nirmala panggih wisesèng urip | wus kawêngku aji kang sampurna | pinunjul ing jagad kabèh | ngaubi bapa biyung | mulya sangking sira nak mami | linuwih ing triloka | langgêng ananipun | Arya Sena matur nêmbah | inggih pundi prênahe kang tirta suci | nuntên paduka têdah ||
13. prênahipun kang hèr adi êning | Rêsi Durna mojar marang Sena | adhuh sutaningsun anggèr | ênggoning kang toya nung | pan ing wana Tikbrasarèki | turutên tuduh ingwang | sangêt pari kudu | nucèkakên badanira | ulatana soring Gôndamadanèki | ing wukir Côndramuka ||
14. dhungkarana ingkang wukir-wukir |
--- 9 ---
jroning guwa jro panggonanira | tuhu hèr ning pawitrane | ing nguni-uni durung | ana kang wruh goning toyadi | trustha Sang Wrêkodhara | pamit awotsantun | mring Durna mring Suyudana | angandika sira Prabu Kurupati | yayi mas dèn prayitna ||
15. bok kasasar dènira ngulati | panggonane gawat tan têtela | Wrêkodhara lon ature | nora pêpeka ingsun | anglakoni tuduh sang yogi | amêsat saking pura | sigra rèh sumêngkut | kang maksih anèng jro pura | samya mèsêm natèng Mandraka lingnyaris | paran polahe ika ||
16. gunung Côndramuka guwanèki | dene kanggonan rêksasa krura | kagiri-giri gêdhene | sayêkti lêbur tumpur | ditya kalih pangawak wukir | tan ana wani ngambah | sadaya gumuyu | ngrasantuk upayanira | sukan-sukan boga drawina mênuhi | kunêng ingkang kawuntat ||
2. Pangkur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 210
1. lampahe Sang Wrêkodhara | lajêng ngambah praptanirèng wanadri | ririh ing rèh gandrung-gandrung | sukanirèng wardaya | tirta êning pamungkas wêkasing guru | tan nyipta bayaning marga | kacaryan kang dèn ulati ||
2. ngambah wukir sêngkan-sêngkan | anut bambing kapering lêmah miring | gêgêr mênggêr agra gugur | jurang rèjèng kaparang | angraganjang kèh ri sarywa lata lumung | myang enggar katiban warsa | sela ngapit [ngapi...]
--- 10 ---
[...t] marga supit ||
3. kèksi kang pala kasimpar | pan kawarsan ing môngsa catur asri | panjrah pamêwah rum-arum | abra kang patra wijah | ambalasah bogêm banas capaka nul | angsana myang kanigara | wilaja lan gôndasuli ||
4. angglar ingkang anggrèk wulan | jônggawure araras wora-wari | argula mêkar lan mênur | anjrah gambir gambira | nagapuspa angsoka malathi tanjung | prabusètmata sridênta | lawan kananga kumuning ||
5. tumiling ili nut awan | kadya manambrama ingkang lumaris | bramara rèh nguswa lumung | anglir karunanira | ing kaswasih sangsaya margèng malat kung | Risang Gôndanarpatmaja | lênglêng ngulati toya ning ||
6. surya mangrangsang lampahnya | kumyus ingkang riwe saengga warih | gumrêgut sangsaya sêngkut | enggaring kabaskaran | nêrang nunjang kasandhung sukuning gunung | wrêksa rug rêbah balasah | sora dhèdhèt erawati ||
7. gègèr saisining wana | de kang pôncawora prahara tarik | sato kabarasat mawur | gumyur sumyur wurahan | saking gênging ampuhan sato kabêntus | kidang-kidang matyèng jurang | tibèng parang angêmasi ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 211
8. andaka kèh tibèng jurang | bujôngga gêng amrih mulêt ing uwit | rungkading wrêksa karangkut | lumajêng maring jurang | wau ingkang tapa-tapa anèng
--- 11 ---
gunung | ajar-ajar kapêlajar | prabawa prahara gumrit ||
9. kêthu kathok kapalêsat | kuthetheran pathake pothar-pathir | rêrangkangan kèh mrêkungkung | sangêt katisên samya | tutup tangan cantrik manguyu kêplayu | dalancang mangsi kasingsal | ngungsi padesan gumriwis ||
10. munya gênthane kang muja | gugup dènnya nawurkên wangi-wangi | sari sugônda sumawur | wau ta lampahira | praptèng wukir Côndramuka guwanipun | binubak wukir dhinukir | sela siningsal atêbih ||
11. wrêksa gêng-agêng kagêman | kaidêran balasah bosah-basih | prênahing toya rinuruh | dangu datan kapanggya | kawuwusa ditya kang wontên ing ngriku | Sang Rukmuka Rukmakala | kagyat dènira miyarsi ||
12. gêbruging wukir kadhungkar | lan prahara gora rèh gêgirisi | lawan kongasira mambu | gandaning kang sujanma | katgada Sang Rukmakala arsa mêtu | ngêrik angrak lir bathara | berawa ing gêmpur bumi ||
13. gora sabda lir bubula | Maitala lir Kalalodra murti | girindra kontrak gumuntur | katon Sang Wrêkodhara | binandhêming ing wukir asru amuwus | hèh ko dhik ditya bêbaya | dursila krama mrih pati ||
14. Sang Rukmuka Rukmakala | asru muwus manungsa mêngko mati | dursila budimu muput | dhustha ngrusak gon ingwang |
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 212
--- 12 ---
sigra nêmpuh Sang Wrêkodhara tinubruk | tinêpak tan obah panggah |
[Grafik]
Rukmakala, Rukmuka, dan Wêrkudara.
sinêbrak-sêbrak tan mosik ||
15. sela tan tumamèng [tu...]
--- 13 ---
[...mamèng] angga | curna siyung punggêl ingukêl aglis | agya anaut sumêbut | ingabên lawan wrêksa | Sang Rukmuka angganira agalêpung | utêk wutah sumaburatsumamburat. | Rukmuka sampun ngêmasi ||
16. Rukmakala ngrik manrajang | wus cinandhak winayangkên binanting | ing sela ditya malêdug | sumyur rahnya sumêbar | sarêng pêjah Rukmuka Rukmakalèku | sirna bangkene tan ana | jêr samya jawata luwih ||
17. kêna ing papa cintraka | Endra Bayu dinukan Hyang Pramèsthi | dadya ditya kalihipun | nèng guwa Côndramuka | ya ta wau Sang Bayutanaya wuru | kabèh wukir binalengkrah | toya tan ana pinanggih ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 213
18. sadangunira ngupaya | gunung-gunung kawur dèn obrak-abrik | sayah kasaputing dalu | ngadêg soring mandera | giyuhing tyas dènira ngupaya banyu | pawitra dangu tan angsal | miyarsa swara dumêling ||
19. tan katon kang duwe swara | adhuh putuningsun liwat kaswasih | ngupaya nora kêpangguh | tan antuk tuduh nyata | ring prênahe kang sira upaya iku | sangsayèku polahira | Wrêkodhara duk miyarsi ||
20. nauri sintên kang swara | dene botên kaèksi dening kami | punapa yun ngambil tuwuh | kawula gih sumôngga | lêhêng pêjah ngulati datan kapangguh | kang swara gumuyu suka | yèn sira tambuh
--- 14 ---
ing mami ||
21. duk sira matèni ditya | iya ingsun karo jawata sami | kêna ing papa cintrèku | kang nampurnakkên sira | Endra Bayu araningsun kang satuhu | duk ditya Si Rukmakala | lawan Rukmuka ran mami ||
22. sira angulati toya | pituduhe Dhanyang Durna ing nguni | nyata na banyurip iku | tuture Rêsi Durna | nanging nora ing kene panggonanipun | sira balia atasnaatanya. | ênggone ingkang sayêkti ||
23. duk miyarsa Wrêkodhara | kèndêl sarwi wagugên tyasirèki | saksana wau sumêbrung | mantuk marang Ngastina | tan winarna ing marga Ngastina rawuh | pêndhaking dina samana | kang wontên ngarsa jro puri ||
24. kadya duk angkate Sena | Rêsi Durna Bisma miwah paraji | lan pra santana gung-agung | natèng Wôngga Mandraka | Sangkuni lan Sindurja samya nèng ngayun | Sudama Surônggakara | Kuwirya Kurawa sêkti ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 214
25. Rahadèn Rekadurjaya | Radèn Jayasusena munggèng ngarsi | kagyat wau praptanipun | Sang Arya Wrêkodhara | samya kagèt bagèkkên kabèh wong agung | babo ariningsun prapta | antuk karya sun watawis ||
26. yayi mas ngêmpèk kewala | praptanira sayêkti antuk kardi | Sang Rêsi Durna sumambung | paran mas lakunira | Wrêkodhara pukulun datan kapangguh | gène wukir Côndramuka |
--- 15 ---
mung ditya kalih kêpanggih ||
27. Rukmuka lan Rukmakala | sampun sirna kalih kawula banting | dene ditya amrih lampus | sikara ing kawula | wukir kabèh kabalengkrah tan katêmu | paduka tuduh kang nyata | sampun amindho gawèni ||
28. Sang Durna angrangkul sigra | babo-babo lagya ingsun ayoni | katêmênane ing guru | mêngko wus kalampahan | nora mèngèng ngantêpi tuduhing guru | iya mêngko sun wêwarah | ênggone ingkang sayêkti ||
29. iya têlênging samodra | yèn sirèstu guru pun bapa kaki | ngêsung têlêng samodra gung | Wrêkodhara turira | sampun mênggah têlênging samudra agung | wontêna nginggiling swarga | dhasaring kang sapta bumi ||
30. môngsa ajriha palastra | anglakoni tuduh Sang Mahayêkti | iya babo sutèng ulun | yèn iku pinanggiha | bapa kakinira kang wus padha lampus | besuk uripe nèng sira | lan sira punjuling bumi ||
31. tan ana aji tumama | sirna kasor kawêngku ing sirèki | Prabu Ngastina sumambung | dhuh-adhuh ariningwang | kayaparan pratikêlirèng dêlanggung | dene kaliwat agawat | prênahing kang tirta êning ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 215
32. aja sira kaya bocah | dèn prayitna Wrêkodhara nauri | hèh Kurupati kakangku | srahna marang jawata |
--- 16 ---
ayya mêlang tumolih lilakna aku | aja garantês ing manah | pirangbara yèn basuki ||
33. ya yayi muga antuka | lakunira pitulunging dewadi | pamit Arya Sena sampun | mring Durna mring sang nata | ing Ngastina sigra mêsat lampahipun | sangking pura pan wus mêdal | nêdya amantuk rumiyin ||
34. matur ing raka Ngamarta | kunêng Wrêkodhara lampahirèki | wau ta ingkang winuwus | ing nagari Ngamarta | saangkate Wrêkodhara kesahipun | dene tan kêna ingampah | kalangkung samya prihatin ||
35. Sang Aprabu Darmaputra | miwah Dananjaya lan ari kalih | saputra sagarwanipun | prihatin maras ing tyas | samya rêmbug utusan ngaturi wêruh | sangking sungkawa punika | marang Prabu Dwarawati ||
36. mêsat caraka Ngamarta | mawi surat ing marga tan winarni | ing Dwarawati wus rawuh | katur ring sri narendra | sêrat saking Ngamarta sinuksmèng kalbu | kagyat garjitèng wardaya | Sang Aprabu Harimurti ||
37. datan sakeca tyasira | angundhangi wadya budhal sang aji | sawadyakuswa kasusu | ing marga tan winarna | ing Ngamarta sang nata lampahnya rawuh | gègèr amêthuk busêkan | Yudhisthira lan para ri ||
38. samya ngabêkti sadaya | wusnya tata lênggah anèng jro puri | Prabu Darmaputra matur | myang Arya Dananjaya | saha waspa ing madya [ma...]
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 216
--- 17 ---
[...dya] wasananipun | katur ring raka sadaya | Risang Prabu Harimurti ||
39. ngandika Narendra Krêsna | yayi prabu aywa sungkawèng galih | polahe arinirèku | Ki Arya Wrêkodhara | nadyan silih sêpuh yêktining pangapus | ing tingkah Kurawa cidra | dèn pasrah ing batharadi ||
40. wong anêdya puruhita | ujar bêcik upama dèn alani | santosa ing bathara gung | ingkang nêdya bancana | môngsa wurung nêmu wêwalês ing pungkur | punagi ing aturira | marang Prabu Harimurti ||
41. yèn prapta ari paduka | mila munjuk datan sande ngulati | kawula bujana nayub | kaèstokna jêng nata | yèn sampuna kaka prabu nuntên rawuh | yêkti barubah kang manah | rayi dalêm sadayèki ||
42. lagyeca imbal wacana | praptanira wong agung Jodhipati | gumuruh samya angrubung | atur trusthaning driya | Dananjaya lawan Nangkula rinipun | myang Pôncawala Sumbadra | Drupadi miwah Srikandhi ||
43. sami rêrêp sungkawanya | angandika Sang Prabu Harimurti | mara payo yayi prabu | nutugna abujana | sigra Wrêkodhara sru pamuwusipun | aywa susah abujana | pan ingsun nora ngêntèni ||
44. marang pambujananira | karyaningsun mung arsa tur upêksi | pan iya nulia wangsul | miwah mring sira Krêsna | pan kaparêng ingsun iki awèh wêruh |
--- 18 ---
arsa mring têlêng samodra | ngupaya sinoming warih ||
3. Sinom
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 217
1. ing tuduhe Dhanyang Durna | angulati toya urip | gone têlênging samodra | iku arsa sun lakoni | atur kang para ari | adhuh kangmas sampun-sampun | punika dede lamba | tan pantês dipun lampahi | duk miyarsa jêtung Prabu Yudhisthira ||
2. umatur dhatêng kang raka | ing Narendra Harimurti | paran ing karsa paduka | rayi sampeyan puniki | tan kenging dèn palangi | Krêsna kèndêl tanpa muwus | langkung pangungunira | bingung tan nauri nênggih | ing ature Sang Sri Batanakawarsa ||
3. sigra Prabu Yudhisthira | amêngkul dhatêng kang rayi | Arjuna Nangkula Sadewa | ing suku samya nangisi | Pôncawala Drupadi | Sumbadra Srikandhi ngayun | gubêl samya karuna | miwah Nata Harimurti | andrês mili mituturi Bayuputra ||
4. samya nangis ngampah-ampah | tan keguh ginubêl tangis | Dananjaya nyêpêng asta | radèn kalih suku kalih | sarwi lara anangis | Krêsna munggwing ngarsanipun | Srikandhi lan Sumbadra | samya mangrubung nangisi | kinipatkên sadaya sami kaplêsat ||
5. ambêrot sang Wrêkodhara | tan kêna dèn gêgujêngi | nginthar lampahe wus têbah | kadya tinilar ngêmasi | sagunge ingkang kari | apan ta arsa sinusul |
--- 19 ---
ajrih pangampahira | sira Prabu Harimurti | dadya kèndêl sadaya wayang wuyungan ||
6. saênggon-ênggon karuna | sagung ingkang santanèstri | kakunge ngadhêp sadaya | ing Narendra Harimurti | tan pêgat mituturi | kang rayi samya andhêku | dadya wau kang raka | makuwon sajroning puri | kawuwusa wau kang adrêng ing lampah ||
7. sahira saking jro kutha | nulya sru manjing wanadri | tan kèsthi durgamèng ngawan | tan ana baya kaèksi | sagung wong têpiswiring | gawok ing pandulunipun | lampahe Arya Sena | lir naga krura commit to user ngajrihi | anrang baya amrih tuhuning ngagêsang ||
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 218
8. kayon katubing maruta | sumuking swaraniratri | kadya ngatag sêkar mêkar | samirana mawor riris | panjrahning sarwa sari | karirisan marbuk arum | jôngga kumuning sumyar | angsana pudhak kasilir | tinon kadya kang wêntis kesisan sinjang ||
9. sore subrataning driya | sahira saking nagari | canggèrètnong mawurahan | kadya nyapa ring sang brangti | mrak munya anèng wuri | barungan kang pêksi cucur | lir akèn awangsula | kidang wangsul saking ngarsi | kadya napu sruning sangsayèng wardaya ||
10. rêsrês munya asauran | sayah kadya mituturi | bêbêluk darès lan wugan | anambêr-nambêr wiyati | anglir ngalangi margi | wangsula [wang...]
--- 20 ---
[...sula] sang amalatkung | kongkang nèng rong lir rêntang | mawarah upaya sandi | endrasila tan wuk ing kartisampeka ||
11. diwasaning diwangkara | titi sonya têngah wêngi | kêdhasih munya timbangan | musthikèng ganeya muni | mangun onêng salwir ning | kadya mawarah mrih lampus | upaya Dhanyang Durna | tan tuhu amrih basuki | mawa komandaka durgamaning awan ||
12. numinda sikarèng asta | ri ana sang hyang bayèki | anut ujunging aldaka | dènira lumaris aris | purwa ngimantarèki | sirat-sirat wus kadulu | wismane Hyang Baruna | panitihing jalanidhi | kèksi praba sang maharsi dipaningrat ||
13. ana rikang paksi mijah | panyêngak cangak munyasri | sasmita kèn awangsula | risang kasangsarèng ragi | sata wana munyanjrit | wêwarah risang monêng kung | mangambah wana pringga | kongas têpining udadi | alun anrês gumulung anêmpuh parang ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 219
14. sumyak lir suraking aprang | marpêki saya kaèksi | karang mungkul kawistara | danuwun-nawun nawêngi | ana kang kadya èsthi | karang mengo liman anjrum | prapta Sang Wrêkodhara | umadêg têpining tasik | mangu mulat tuman trunaning udaya ||
15. ombak angêmbang gêlagah | panduking karang mangsulbi | kadya nambrama kang prapta | wangsula kang among raging | gora rèh anêkani | gora rug guntur-gumuntur | manulak [manu...]
--- 21 ---
[...lak] mawalikan | sang mong nêng munadikani | sangsayèng tyas emut warahing sang kaka ||
16. tuhu darma komandaka | tuduhira sang maharsi | yèn wangsula arda merang | kangên ujarirèng nguni | suka matiyèng tasik | mangkana wau kadulu | palwa awarna-warna | kumêrab ing jalanidhi | ting karêthap kadya wancak sumamburat ||
17. lênglêng mulat ing udaya | rancakaning tyas kalingling | anglangut tanpa watêsan | sang monêng lir tugu manik | alun gêng gêgilani | langgêng agolong gumulung | toya muncar analang | kikising gisik kaèksi | wêdhinya lir isining kang sêkar mêkar ||
18. sangsanging kang lembak-lembak | lir cêmara uwal saking | ukêling dyah sinjang lukar | tan wus ucapên ing gêndhing | isining kang jaladri | pira-pira langênipun | raras ruming jro toya | panjang winarna ing tulis | Wrêkodhara tan kondur eraming driya ||
4. Durma
1. musthi ing tyasira Arya Wrêkodhara | ing baya tan kaèksi | yèn tan amanggiha | toya rèh tirtamarta | tan wrin palastra ing tasik | mangsah bêk pêjah | cancut gumrêgut manjing ||
2. ing samodra wiraganira lêgawa | banyu sumawut wêntis | mêlêg angganira | alun pan sumamburat | sumêmbur muka nampêktinampêki. | migêgingcommit ôngga | to wakêt userjôngga kang warih ||
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 220
3. emut ing tyas ana aji jayasngara |
--- 22 ---
lun agêng anangkêbi | katgada manêngah | sira Sang Wrêkodhara | sayah gênjor ingkang wêntis | datan kaetang | kunêng wontên winarni ||
4. kang naga gêng kyating rat Anêmburnawa | wisanira duk prapti | krura makikikan | katon kambangkumambang | gêngnya saprabata siwi | galak kumêlap | sumêmbur angajrihi ||
5. lir kinêbur samodra molah prakêmpa | kagyat duk aningali | Arya Wrêkodhara | iki bêbaya prapta | eram umiyat gêngnèki | datan antara | kotbuta anêkani ||
6. kadya guntur kumêbur ingkang samodra | prabawanira atri | mangap kadya guwa | siyung mingis kumilat | sumawur wisa lir riris | manaut krura | mulêt kadya ambanting ||
7. nêngah apan kasangsang kapulêt naga | angrês Sang Bayusiwi | wisane sang naga | tumampêk mukanira | kewran ing tyas nyipta mati | saya pinolah | ing naga mobat-mabit ||
8. sariranya kêmput ginubêl sadaya | mung jôngga ingkang maksih | sangsaya manêngah | sagung kang palwa giwar | nyana pôncaruba prapti | prahara salah | gusis palwa wus têbih ||
9. lir sinapon palwa tan ana katingal | wau kang amrih jurit | sayah Arya Bima | emut sang amikara | cinublês kanaka aglis | kang munggwing angga | pasah rahnya drês mijil ||
10. pôncanaka manjing awaking [a...]
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 221
--- 23 ---
[...waking] sang naga | tatas pating saluwir |
[Grafik]
Wêrkudara prang lan naga.
rah mijil lir udan | abang toyèng samodra | sapandêlêng kanan kering | toya dadya
--- 24 ---
rah | naga gêng wus ngêmasi ||
11. sirna dening Sang Sena sadaya suka | saisining jaladri | wau kawuwusa | risang murwèng parasdya | wruh lakune kang kaswasih | sang amurwèng rat | praptane sang amamrih ||
12. dinuta tan uninga jatining lampah | tirtamarta mahêning | mapan tanpa ngarah | tirta kang wruh ing tirta | suksma-sinuksma mawingit | tangèh manggiha | yèn tan nugraha yêkti ||
13. kunêng sanalika wuwusên Pandhawa | dahat dènnya prihatin | sangsaya anggagas | marang ing kadangira | arsa nusula prasami | aja salaya | yèn nêmahana pati ||
14. samya gubêl nênuwun kang pangandika | Sang Prabu Harimurti | samya tinangisan | sira Narendra Krêsna | wus aywana kang prihatin | pan kadangira | nora tumêkèng pati ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 222
15. malah antuk kanugrahaning jawata | besuk praptane suci | iya pan sinihan | de Sang Suksma Kawêkas | winênang aliru dhiri | raga bathara | putus ing tingal êning ||
16. uwis padha maria aja sungkawa | enggar tyasira sami | sirna susahira | dene wau miyarsa | pangandika kang sayêkti | saking kang raka | nata ing Dwarawati ||
17. ya ta malih wuwusên Sang Wrêkodhara | nèng têlênging jaladri | sampun pinanggihan | awarni dewa bajang | pêparabe Dewaruci | lir lare dolan | ngandika têtanyaris ||
--- 25 ---
18. hèh ta Wrêkodhara apa karyanira | têka ing kene iki | apa sêdyanira | iya sêpi kewala | tan ana kang sarwa bukti | myang sarwa boga | miwah busana sêpi ||
19. amung godhong aking yèn ana kumleyang | tiba ing ngarsa mami | iku kang sun pangan | yèn ora nora nana | garjita tyasnya miyarsi | Sang Wrêkodhara | ngungun dènnya ningali ||
20. dene bajang nèng sagara tanpa rowang | cilik amênthik-mênthik | iki ta wong apa | gêdhe sajênthik ingwang | pangucape sru kumaki | ladak kumêthak | dene tapa pribadi ||
21. lan maninge Wrêkodhara ingkang prapta | iya ing kene iki | akèh pôncabaya | yèn ora êtoh pêjah | sayêkti tan prapta ugi | ing kene mapan | sakalir sarwa mamring ||
22. nora urup lan ciptamu paripaksa | nora angeman pati | sabda kaluhuran | kene môngsa anaa | kewran Sang Wrêkodharèki | sasaurira | dene tan wruh ing gati ||
23. dadya alon Wrêkodhara saurira | môngsa-borong sang yogi | sang wiku lingira | lah iya sira uga | bèbète Sang Hyang Pramèsthi | Hyang Girinata | turase pan sayêkti ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 223
24. sangking Brama uwite kang para nata | iya bapakirèki | turun saking Brama | mêncarkên para [pa...]
--- 26 ---
[...ra] raja | dene ibunira Kunthi | kang duwe têdhak | iya Sang Wisnumurti ||
25. mung patutan têtêlu lan bapakira | Yudhisthira pangarsi | panênggake sira | panêngah Dananjaya | kang loro patutan Madrim | jangkêp Pandhawa | praptane kene iki ||
26. iya Dhanyang Durna akon ngulatana | banyurip tirta êning | iku gurunira | pituduh marang sira | yèku kang sira lakoni | mulane iya | angèl pratingkah urip ||
27. aja lunga yèn tan wruh ingkang pinaran | lan aja mangan ugi | lamun tan wêruha | rasaning kang pinangan | aja nganggo-anggo ugi | yèn durung wruha | araning busanèki ||
28. wêruhe lan têtakon bisane iya | lawan têtiron nênggih | dadi lan tumandang | mêngkono ing agêsang | ana jugul saking wukir | arsa tuku mas | mring kêmasan dèn wèhi ||
29. dlancang kuning dèn anggêp kancana mulya | mêngkono ingabêkti | yèn durung waskitha | prênahe kang sinêmbah | Wrêkodhara duk miyarsi | dhêku noraga | dene sang wiku sidik ||
30. sarwi sila sandika andikanira | Sang Wrêkodhara mèt sih | anuwun jinatyan | sintên ta aran tuwan | dene nèng ngriki pribadi | sang marbudyèng rat | ya ingsun Dewaruci ||
31. matur alon pukulun yèn makatêna | pun patik anuwun sih | ulun inggih
--- 27 ---
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 224
datan | wruh puruhitèng badan | sasat sato wana inggih | tan môntra-môntra | waspadèng badan suci ||
32. langkung mudha punggung cinacad ing jagad | kèsi-èsi ing bumi | angganing curiga | ulun tanpa wêrôngka | wacana kang tanpa siring | ya ta ngandika | manis Sang Dewaruci ||
5. Dhandhanggula
1. lah ta mara Wrêkodhara aglis | lumêbua guwagarbaningwang | kagyat miyarsa wuwuse | Wrêkodhara gumuyu | sarwi guguk turira aris | dene paduka bajang | kawula gêng luhur | inggih pangawak prabata | sangking pundi marganing kawula manjing | jênthik môngsa sêdhênga ||
2. angandika malih Dewaruci | gêdhe êndi sira lawan jagad | kabèh iki saisine | kalawan gunungipun | samodrane alase sami | tan sêsak lumêbua | guwagarbaningsun | Wrêkodhara duk miyarsa | èsmu ajrih kumêl sandika turnèki | mènglèng Sang Rucidewa ||
3. iki dalan talingan ngong kering | Wrêkodhara manjing sigra-sigra | wusa prapta ing jro garbane |Lebih satu suku kata: wus prapta ing jro garbane. andulu samodragung | tanpa têpi nglangut lumaris | lêyêp adoh katingal | Dewaruci nguwuh | hèh apa katon ing sira | dyan sumaur Sang Sena inggih atêbih | tan wontên katingalan ||
4. awang-awang kang kula lampahi | uwung-uwung têbih tan kantênan |
--- 28 ---
ulun saparan-parane | tan mulat ing lor kidul | wetan kilèn datan udani | ing ngandhap nginggil ngarsa | kalawan ing pungkur | kawula botên uninga | langkung bingung ngandika Sang Dewaruci | aywa maras tyasira ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 225
5. byar katingal ngadhêp Dewaruci | Wrêkodhara sang wiku kawangwang | umancur katon cahyane | nulya wruh ing lor kidul | wetan kilèn sampun kaèksi | nginggil miwah ing ngandhap | pan sampun kadulu | apan andulu baskara | eca tyase miwah sang wiku kakèksi. | anèng jagad walikan ||
6. Dewaruci suksma angling malih | payo lumaku andêdulua | apa katon ing dhèwèke | Wrêkodhara umatur | wontên warni kawan prakawis | katingal ing kawula | sadaya kang wau | sampun datan katingalan | amung kawan prakawis ingkang kaèksi | irêng bang kuning pêthak ||
7. Dewasuksmaruci ngandikaris | ingkang dhingin sira anon cahya | gumawang tan wruh arane | pôncamaya puniku | sajatine ing tyas sayêkti | pangarêping sarira | têgêse tyas iku | ingaranan muka sipat | kang anuntun marang sipat kang linuwih | kang sajatining sipat ||
8. môngka tinulak aywa lumaris | awasêna rupa aja samar | kawasane tyas êmpane | wit tingal ing tyas iku |
--- 29 ---
anêngêri marang sajati | eca Sang Wrêkodhara | amiyarsa wuwus | lagya mèdêm tyas sumringah | dene ingkang abang irêng kuning putih | iku durgamaning tyas ||
9. pan isining jagad amêpêktiamêpêki. | iya ati kang têlung prakara | pamurunge laku dene | kang bisa pisah iku | mêsthi bisa amor ing gaib | iku mungsuhe tapa | ati kang têtêlu | abang irêng kuning samya | ingkang nyêgah cipta karya kang lêstari | pamoring sukma mulya ||
10. lamun nora kawilêting katri | yêkti sida pamoring kawula | lêstari ing panunggale | poma dèn awas emut | durgama kang munggwing ati |Kurang satu suku kata: durgama kang munggwing jro ati. pangwasane wêruha | siji-sijinipun | kang irêng luwih prakosa | panggawene asrêngên sabarang runtik | andadra ngômbra-ômbra ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 226
11. iya iku ati kang ngadhangi | ambuntoni marang kabêcikan | kang irêng iku gawene | dene kang abang iku | iya tuwuh napsu tan bêcik | sakèhing pêpenginan | mêtu sangking iku | panastèn panasbaranan | ambuntoni marang ati ingkang eling | marang ing kawaspadan ||
12. apadene kang arupa kuning | kawasane nanggulang sabarang | cipta kang bêcik dadine | panggawe amrih tulus | ati kuning ngandhêg-andhêgi | mung panggawe pangrusak | binanjur jinurung | mung kang putih iku [i...]
--- 30 ---
[...ku] nyata | ati antêng mung suci tan ika iki | prawira ing kaharjan ||
13. amung iku kang bisa nampani | ing sasmita sajatining rupa | nampani nugraha gone | ingkang bisa tumanduk | kalêstarèn pamoring gaib | iku mungsuhe tiga | tur samya gung-agung | balane ingkang têtiga | kang aputih tanpa rowang amung siji | marma anggung kasoran ||
14. lamun bisa iya nêmbadani | marang mungsuh kang têlung prakara | sida ing kono pamore | tanpa tuduhan iku | ing pamoring kawula Gusti | Wrêkodhara miyarsa | sêngkud pamrihipun | sangsaya birainira | saya marang kauwusaning aurip | sampurnaning panunggal ||
15. sirna patang prakara na malih | urub siji wêwohuwêwolu. warnanya | Sang Wrêkodhara ature | punapa waskanipunwastanipun. | urub siji wohuwolu. kang warni | pundi ingkang sanyata | rupa kang satuhu | wontên kadi rêtna muncar | wontên kadi maya-maya angebati | wontên abra markata ||
16. marbudyèng rat Dewaruci angling | iya iku sajatining tunggal | saliring warna têgêse | iya ana sirèku | kabèh iki isining bumi | ginambar angganira | lawan jagad agung | jagad cilik nora beda | purwa ana lor kidul kulon puniki | wetan luhur myang ngandhap ||
17. miwah abang irêng putih kuning | iya [i...]
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 227
--- 31 ---
[...ya] panguriping kang buwana | jagad cilik jagad gêdhe | tan beda isinipun | tinimbangkên ing sira iki | yèn ilang warna ingkang | jagad sadayèku | saliring reka tan ana | kinumpulkên ana rupa kang sajati | tan kakung tan wanodya ||
18. kadya tawon gumana puniki | kang asawang putra-putran dênta | lah payo dulunên kuwe | Wrêkodhara andulu | ingkang kadya pêputran gadhing | cahya mancur kumilat | tumeja ngênguwung | punapa inggih punika | warnaning dat kang silih dipun ulati | kang sayêktining rupa ||
19. anauri aris Dewaruci | iku dudu ingkang sira sêdya | kang mumpuni ambêk kabèh | tan kêna sira dulu | tanpa rupa datanpa warni | tan gatra tan satmata | iya tanpa dunung | mung dumunung mring kang awas | mung sasmita anèng jagad amêpêki | dinumuk datan kêna ||
20. dene iku kang sira tingali | kang asawang pêputran mutyara | ingkang kumilat cahyane | angkarakara murub | pan pramana arane nênggih | uripe kang sarira | pramana puniku | tunggal ana ing sarira | nanging datan milu sungkawa prihatin | ênggone anèng raga ||
21. datan mèlu mangan turu nênggih | iya datan milu lara-lapa | yèn iku pisah ênggone | raga kari ngalumpruk | yêkti lungkrah badan puniki | yaiku kang kuwasa | nandhang rahsanipun | inguripan dening Suksma | iya [i...]
--- 32 ---
[...ya] iku sinung sih sinandhang urip | ingakên rahsaning dat ||
[Grafik]
Wêrkudara dan Dewa Ruci.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 228
22. iku sinandhangkên ing sirèki | upama simbar anèng kêkaywan |
--- 33 ---
ana ing raga ênggone | uriping pramanèku | inguripan ing Suksma nênggih | misesa ing sarira | sang pramana iku | yèn mati mèumèlu. kalêsman | lamun ilang suksma ing sarira nuli | uriping suksma ana ||
23. sirna iku iya kang pinanggih | uriping suksma kang sanyata |Kurang satu suku kata: uriping suksma ingkang sanyata. kaliwatan upamane | lir rahsaning kêmumu | sang pramana amrasandhani | tuhu tunggal pinôngka | jinatyan puniku | umatur Sang Wrêkodhara | inggih pundi warnanipun kang sayêkti | Dewaruci ngandika ||
24. datan kêna iku yèn sira prih | lan kahanan kang samata-mata | gampang angèl pirantine | Wrêkodhara umatur | kula nuwun pamêjang malih | inggih kêdah uninga | babarpisanipun | pun patik ngaturkên pêjah | ambêncana anggèn-anggèn ingkang pêsthi | sampun tuwan kangelan ||
25. yèn makatên ulun botên mijil | sampun eca nèng ngriki kewala | datan wontên sangsayane | tan niyat mangan turu | botên arip botên angêlih | botên ngraos kangelan | botên ngêrês linu | amung nikmat lan mupangat | Dewaruci lingira iku tan kêni | yèn ora lan antaka ||
26. sangsaya sihira Dewaruci | marang kang kaswasih ing panêdha | lah iya dèn awas bae | mring pamurunging laku | aywa ana karêmirèki | dèn bênêr [bê...]
--- 34 ---
[...nêr] dèn waspada | panganggêpirèku | yèn wis kasikêp ing sira | aywa amung dèn nganggo parahwarah. yèn angling | iku rèh pêpingitan ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 229
27. nora kêna lamun dèn rasani | lan sasama-samaning manungsa | yên ora lan nugrahane | yèn ana nêdya padu | angrasani rêrasan iki | bêcik dèn kalahana | ywa kongsi kêbanjur | aywa ngadèkkên sarira | lan ywa krakêt marang wisayaning urip | balik sikêpên uga ||
28. kamisayan ingkang makripati | dèn kaasta pamanthênging cipta | rupa ingkang sabênêre | sinêngkêr bawanèku | urip datan ana nguripi | datan ana rumôngsa | ing kahananipun | uwis ana ing sarira | tuhu tunggal sasana lawan sirèki | tan kêna pinisaha ||
29. dipun wêruh sangkanira nguni | tunggal sawang kartining bawana | pandulu lan pamyarsane | wis ana ing sirèku | panduluning suksma sajati | pan datan mawa netra | pamiyarsanipun | iya datan lawan karna | netranira karnanira kang kinardi | iya wis anèng sira ||
30. lairing suksma anèng sirèki | batining suksma uga nèng sira | mangkene ing pralambange | kadi wrêksa tinunu | ananing kang kukusing agni | kukus kalawan wrêksa | lir toya lan alun | kadya menyak lawan puhan | raganira ing rèh obah lawan mosik |
--- 35 ---
yêkti lawan nugraha ||
31. yèn pamoring kawula lan Gusti | lawan suksma kang sinêdya ana | iya anèng sira gone | lir wayang sarirèku | saking dhalang polahing ringgit | minôngka panggung jagad | kêlir badanipun | amolah lamun pinolah | sapolahe kumêdhèp lawan ningali | tumindak saking dhalang ||
32. kang misesa amisesa sami | datan antara pamoring karsa | jêr tanpa rupa-rupane | wus ana ing sirèku | pamirsane rupa sajati | ingkang ngilo Hyang Suksma | wayangan puniku | iya sira ran kawula | mêngko-mêngko ngong asung katrangan malih | mangkene gampangira ||
33. badan jaba wujud kita iki | badan jêro munggwing jroning kaca | ananging dudu pangilon | pangilon jroning kalbu | yèku wujud kita pribadi | cumithak jron panyipta | ngêrêmkên pandulu | luwih gêdhe barkahira | lamun janma wis gambuh lan badan batin | sasat srira bathara ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 230
34. awit dening lamun anujoni | sapatêmon ing sacipta kita | janji samurwate bae | badan jêro puniku | yêkti bisa aminangkani | badan kadim punika | iya uga wujud | jroning manik ananira | dene rahsa uga kaperang dadya tri | kang dhingin rahsa jaba ||
35. rahsa jêro nulya rahsa kadim | rahsa jaba iya rahsa badan |
--- 36 ---
dene rahsa jêro rêke | yèku rahsaning tutuk | rahsa kadim rahsaning ngimpi | nging kabèh iku samya | kawêngku Hyang Agung | têgêse kang langgêng gêsang | kang angajak turu mêlèk mênêng mosik | lan nindakna ambêkan ||
36. uga ingkang wajib anampani | mring lêbu wêtuning kang ambêkan | gêgandhengan apadene | kalawan lêbu wêtu- | ning ambêkan kita puniki | de pasênêtanira | nèng badanirèku | badan winasesèng gêsang | thukuling wulu kulit ingkang nguripi | kulit pan inguripan ||
37. dening daging daging dening gêtih | uriping gêtih saking ambêkan | ambêkan saking uripe | dene ingkang dadya tuk | ngêmbunbunan nulya umili | katampèn kêmbang gêdhang | angilèni sagung | warata sakojur badan | marma lamun ilining tuk dèn pêpêti | ngalumpruk tanpa daya ||
38. ananging sumurupa sirèki | kabèh-kabèh iku mung bêkakas | ora langgêng salawase | awit urip puniku | kawêngku ring ingkang nguripi | ingkang nguripi uga | ya isih kawêngku | dening ingkang karya gêsang | kang karya gêsang tan kêna dèn tingali | lawan netra kêpala ||
39. atanapi paningaling budi | muhung kêna lamun tiningalan | lan paningaling uripe | kang wus lagnyana suwung | têgêse wis tanpa piranti | dadi lamun mangkana |
--- 37 ---
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 231
kêna linakon mung | sapisan nanging kalawan | awani anjumênêngakên sawiji | marma angelingana ||
40. manawa dumadining sakalir | kang awit saking obahing karsa | iya uga pakolèhe | saka obahing kayun | cêkake manungsa puniki | pathoke wani pêjah | lamun wêdi lampus | sabarang ora tumêka | sêdyanira luput ancase tan dadi | môngka lamun ingucap ||
41. luwih gêngnya kalêpasan iki | lawan jagad agêng kalêpasan | kamuksan luwih lêmbute | salêmbutaning banyu | isih lêmbut kamuksan iki | langkung alit kamuksan | saaliting têngu | pan isih ayitalit. kamuksan | liring luwih amisesa ing sakalir | liring lêmbut alitnya ||
42. bisa nuksma ing agal lan alit | kalimputan sagung kang rumangkang | gumrêmêt uga tan pae | kaluwihan satuhu | luwih dening ingkang nampani | tan kêna ngandêlêna | ing warah lan wuruk | dèn sangêt pangudinira | raganira wasuhên praptanya ngungkih | wruha rungsiting tingkah ||
43. wuruk iku kang minôngka wiji | kang winuruk upamane papan | anglir kacang lan kadhêle | sinêbar munggwing watu | yèn watune datanpa siti | kodanan kapanasan | yêkti nora thukul | lamun uwis wicaksana | tingalira sirnakna ananirèki |
--- 38 ---
dadi tingaling suksma ||
44. rupa lawan swaranira nuli | ulihêna mring kang duwe swara | jêr sira mung ngakên bae | sêsulih kang satuhu | nanging aywa darbe sirèki | pakarêman lyanira | saka ing Hyang Agung | dadi sarira Pangeran | obah mosikira wus dadi sawiji | ywa loro anggêpira ||
45. lamun dadi anggêpira pêsthi | yèn ngrasa loro isih was-uwas | kêna ing rêngu yêktine | yèn wus siji sawujud | sakarêntêg ing tyas sayêkti | apa sinêdya ana | kang cinipta rawuh | wis kawêngku anèng sira | ing sajagad jêr sira ingkang kinardi | gêgênti dèn asagah ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 232
46. yèn wus mudhêng pratingkah puniki | dèn awingit lawan dèn asasab | andhap-asor pênganggone | nanging ing batinipun | ing sakêdhap tan kêna lali | laire sasabana | kawruh patang dhapur | padha anggêpên sadaya | kalimane kang siji iku pêrmati | kanggo ing kene kana ||
47. lire mati sajroning ngaurip | iya urip sajroning palastra | nanging urip salawase | kang mati iku napsu | badan lair ingkang nglakoni | katampan ba nyata |Kurang satu suku kata: katampan badan nyata. pamore sawujud | pagene ngrasa matia | Wrêkodhara ing tyas padhang anampani | inggih ingkang nugraha ||
48. lir sasôngka katawêngan riris | praptaning wahyu ngima nirmala | sumilak [sumila...]
--- 39 ---
[...k] ilang rêgêde | Dewaruci amuwus | andikane manis aririh | tan ana aji paran | kabèh wis kawêngku | tan ana kang kaulapan | kaprawiran kadigdayan wis kawingking | sagung rèhing ayuda ||
49. têlas wulangnya Sang Dewaruci | Wrêkodhara ing tyas datan kewran | wus wruh mring gamane dhewe | ardaning swara muluk | tanpa êlar anjajah bangkit | sawêngkon jagad raya | sagung wus kawêngku | mati pamartining basa | saenggane sêkar maksih kudhup lami | mangkya sêkar ambabar ||
50. wimbuh warna lawan gandanèki | wus kêna kang pôncarêtna mêdal | saka ing guwagarbane | wus salin alamipun | angulihi alame lami | Dewaruci wus sirna | mangkana winuwus | tyasira Sang Wrêkodhara | lulus saking gandaning kasturi jati | panasing tyas wus sirna ||
51. wus lêksana salêkêring bumi | ujar bae wruh antakanira | nir ing wardaya nalane | mung panarima mungguh | kadyanggane ngangge sutradi | maya-maya kang srira | rèhnya sarwa alus | sinuksma mas ingêmasan | arja sotya-sinotya ing manik-manik | wruha paening tingkah ||
52. sarwa alus ing budinirèki | warnendah lir kintaka sumêkar | kasturi jati namane | pratôndha datan korup | ing kawikan ingkang alungit | ingungaban kabisan | kawruh tan kaliru |
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 233
--- 40 ---
lan malih ingkang buwana | pan winarna wiraga wilêt tulyasri | lancingan kampuhira ||
53. môngka pangemut-emuting nguni | warna tiga sajroning gwagarba | Dewaruci pêpèngête | kang irêng kuning iku | pamurunging laku kang yêkti | kang putih iku têngah | sidaning pangangkuh | kalimane kang ginambar | wus kaasta sanalika datan lali | mituhu anggêpira ||
54. sajatine duk laire nguni | Wrêkodhara saking bungkusira | wus acawêt sinjang polèng | karsane Sang Hyang Guru | warna irêng lan warna putih | jangkêpe catur mangkya | polèng bang bintulu | yèku kang minôngka sabab | pambengkasing sumêngah jubriya kibir | kèsthi sadangunira ||
55. wus mangkana Wrêkodhara mulih | enggale wus prapta ing Ngamarta | panggih lan kadang-kadange | langkung sukaning kalbu | Darmaputra lan para ari | ngluwari nadarira | abujana nayub | tambuh sukaning wardaya | dene ingkang rayi praptanya basuki | sirna prihatinira ||
Ing sisih punika citranipun swargi Mas Ngabèi Mangun Wijaya, ing Wanagiri (Surakarta), pangarang ingkang misuwur asmanipun. Panjênênganipun ingkang mrêdèni Sêrat Dewaruci punika.
--- 41 ---
[Grafik]
Ing ngandhap punika wardinipun Sêrat Dewaruci ingkang kasêbut ing nginggil.
Sêrat Dewaruci punika suluk ingkang sakalangkung prayogi, dene ingkang yasa Êmpu Widayaka, lajêng kajarwakakên dhatêng Kangjêng Sunan Benang, sarta sampun dipun mupakati dening para wali wolu. Inggih lêrês Sêrat Dewaruci punika ingkang kangge [kang...]
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 234
--- 42 ---
[...ge] jêjêr cariyos jaman purwa, kabudan, ananging isinipun (raosipun) punika sajatosipun pathining agami Islam sadaya. Mila ingkang sampun nangsuli pathining agami Islam, inggih punika ngèlmi kakekat makripat, sampun mêsthi lajêng rêmên sangêt dhatêng Sêrat Dewaruci wau, ananging manawi taksih santri sarengat kemawon, têmtu kipa-kipa, dupèh cariyosipun tiyang buda punika wau, botên sumêrêp bilih ingkang yasa para wali. Sampun têmtu sadaya wau mêndhêt saking dalil, kadis, ijêmak, kiyas, tuwin mêsthi botên pêcat saking purbaning anasir sajati, dat, sipat, asma, apêngal. Mila wêwarah tuwin pitêdahipun jangkêp sangêt. Liripun jangkêp: pitêdahipun sampun sinaroja, inggih punika rangkêp. Têgêsipun rangkêp: angsal lair batos, jawi lêbêt.
Dene katranganipun wardi tuwin dêdununganipun kados ing ngandhap punika.
Ingkang sapisan, mênggahing lair, asung pèngêt, ing ngagêsang kêdah marsudi ngèlmi kasampurnan, kêdah puruhita. Manawi sampun angsal guru ingkang sanyata, kêdah anggugu mituhu ing sapitêdahipun, sarta kêdah ngandêl ing salêbêting batos,
--- 43 ---
kêdah manut miturut ing pangrèhipun ingkang botên nalisir saking raos. Sanadyan kapurih andhungkar rêdi, ambêlês ing sagantên, inggih kêdah dipun lampahi, sampun ajrih, sampun was sumêlang, ingkang ngantos kados pratingkah tuwin tekadipun Wrêkodhara, duk puruhita dhatêng dhanyang Durna, kasêbut ing nginggil. Botên kandhêg pinênggak ing para kadang, botên keguh sagunging bêbaya, sanadyan dumugi ing pêjah, dipun lampahi, saking ngandêl kumandêl dhatêng wêlinging guru, sarta ngantêpi ing tekad utami. Gêgaranipun amung kumandêl sarta pasrah dhatêng ingkang Murwèng Gêsang. Tiyang sêdya ayu, kêdah manggih ingkang botên prayogi, inggih sampun bêgjanipun, manawi sampun atas saking ingkang Maha Kawasa, kawula môngsa sagêda ngingkêdi. Mila Radèn Wrêkodhara, karsanipun amung kêncêng kêngkêng, rosa santosa, sapitêdahing guru, amung dipun lampahi kanthi sêtya tuhuning manah. Makatên tekadipun tiyang puruhita ing kawruh kasidan.
Ingkang kaping kalih, wêwarah tumrap ing batos, inggih punika mulang pangolahing ngèlmi, kêdah tokid, têgêsipun kêdah santosa salêbêting sêmadi, wêwijanganipun kados ing ngandhap punika.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 235
--- 44 ---
Tiyang ingkang sampun nangsuli ngèlmi kasampurnan, sasampunipun angsal pitêdahing guru ingkang sajati, botên cêkap lajêng kèndêl kemawon, amargi guru wau muhung paring wiji, sagêdipun lêma angrêmbaka, ambabar sêkar arum salajêngipun sagêd awoh amirasa, punika kêdah dipun upakara piyambak. Utawi guru punika, upami tiyang angringgit, amung kados lare ingkang dipun purih mucuki nalika sontên kemawon, ingkang andumugèkakên ngantos byar enjing tancêb kayon ki dhalang piyambak. Inggih punika kêdah mawi lampah. Nanging kauningana, lampah punika wontên kawan prakawis: ingkang sapisan lampahing raga, ingkang kaping kalih lampahing budi, ingkang kaping tiga lampahing manah, ingkang kaping sêkawan lampahing rahsa.
Lampahing raga, kêdah rêsikan, kêdah marsudi ing kasarasaning badan, kêdah susila anor raga, ruruh jatmika, pasêmon sumèh mêrak-ati. Manawi agami Islam, inggih punika kêdah nglampahi sarengat. Ingkang kaping kalih, lampahing budi. Kêdah sabar, bèrbudi, lêgawa, paramarta, sarta kêdah rêmên mêmikir, nglalimbang awon saening lêlampahan, ingkang awon dipun singkiri, [singkir...]
--- 45 ---
[...i,] ingkang sae dipun ajêngi, dipun angge. Punapadene kêdah rêmên ngraos-ngraosakên kodrat, bedanipun kaliyan iradat. Pikantukipun badhe sumêrêp wêwatêsaning pangawasa tuwin kawaskithaning Gusti, kaliyan iradat kawicaksananing kawula, wêkasan lajêng sagêd rumôngsa, nalôngsa, sagêd ngakêni bilih têmên manawi wontên ingkang murba amisesa. Manawi agami Islam, inggih punika kêdah nglampahi tarekat.
Ingkang kaping tiga, lampahing manah. Kêdah têmên, mantêp, ngidhêp, madhêp dhatêng Pangeran Ingkang Maha Kawasa, tuwin ngandêl, winantu ajêk pangastutinipun, manawi agami Islam kêdah sumêrêp ing ngèlmi kakekat.
Ingkang kaping sakawan, lampahing rahsa. Kêdah nyumêrêpi patitising panêmbah, inggih punika sumêrêp dunungipun ing panêmbah, tuwin ingkang sinêmbah, dados sumêrêp pamoring kawula Gusti. Manawi agami Islam, inggih punika kêdah sumêrêp ing ngèlmi makripat. Dene lampah kawan prakawis wau sampun kacakup sadaya dening Radèn Wrêkodhara.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 236
Nanging amung kapêndhêt pathinipun kemawon, inggih punika hênêng, hêning, awas, eling, katindakakên ing salamining gêsang.
--- 46 ---
Dene satêmênipun Arya Wrêkodhara punika puruhita dhatêng dhanyang Durna, punika pralambang wujuding budi, utawi sêdya ingkang kanthi tekad santosa, lêlampahanipun kasêbut ing nginggil sadaya, pralambang mangsah samadi.
Gênahipun makatên:
Tiyang olah ngèlmi kasidan, kêdah karêm mangsah samadi, kaliyan santosaning sêdya.
Têgêsipun Pandhita Durna, inggih punika wujuding sêdya utawi budi. Arya Wrêkodhara, têgêsipun: tekad ingkang santosa (tokid). Dados tiyang sêdya samadi punika kêdah mawi tekad ingkang santosa. Awit sêdya punika inggih dados guruning karsa. Sanadyan wontên sêdyanipun, mênawi botên kanthi tekad santosa, sêdyanipun inggih botên dumugi. Sadaya tiyang samadi punika badhe nyumêrêpi kanyataaning gêsangipun, mênawi botên kaliyan santosaning tekad, sampun tamtu botên kadadosan saking gawatipun.
Radèn Wrêkodhara, anggènipun ngudi toya prawita suci, Pandhita Durna nêdahakên dumunungipun wontên ing wana Tikbrasara, kaprênah sangandhaping ardi Côndramuka, inggih ing Gôndamadana, [Gô...]
--- 47 ---
[...ndamadana,] kinèn andhungkari. Tikbra, têgêsipun: susah, utawi prihatos.
Wana, pêpêtênging manah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 237
Sara, landhêp.
Dene pikajêngipun makatên: Tiyang samadi punika, kêdah ngicalakên pêpêtênging manah inggih punika sakathahing rêncana supados kabirata sampun ngantos kacakrabawa.
Manawi sampun makatên lajêng kapurih andhungkar wukir Côndramuka, utawi Gôndamadana. Inggih punika wiwit matrapakên panêngku, kêdah wontên ing Côndramuka:
Côndra, têgêsipun wêwukiran.
Muka, rêrai.
Côndramuka, wêwukiraning rêrai, inggih wiwaraning pôncadriya, inggih punika: grana, karna, netra, lesan, dados pambukaning: napas, nupus, anpas, tanapas.
Gôndamadana têgêsipun: têlênging pangambu. Pikajêngipun: kawan prakawis wau: karucata saking sasananipun, lajêng kagolongna dados satunggal, gumulung dhatêng têlênging [têlêng...]
--- 48 ---
[...ing] gônda. Inggih punika bêbasanipun mandêng pucuking ardi Tursena. Inggih mêlêng lampahing napas, sinaring sampun wor suh.
Ing ngriku dhatênging rêncana, inggih cipta ingkang ngômbra-ômbra, wahananing hawa napsu, inggih punika Radèn Bratasena kinrubut ing ditya kalih, Rukmuka tuwin Rukmakala. Ananging Radèn Bratasena santosa botên keguh kinêrêg ing danawa, mila botên dangu ditya kalih sirna, lajêng jlêg rawuhipun Sang Hyang Endra Bayu, awêwarah Wrêkodhara kinèn wangsul takèn dhanyang Durna.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 238
Sang Hyang Endra, têgêsipun: rasa, inggih ratuning badan.
Sang Hyang Bayu, têgêsipun, napas, inggih têtangsuling gêsang. Pikajêngipun: Raosing manah sampun gumêlêng nunggil lampahing napas, têgêsipun: sawêg dumugi ênêng, lajêng luwar saking samadi. Dados dèrèng sagêd manggih toya prawita suci. Inggih punika dèrèng sagêd sapatêmon kaliyan ingkang damêl gêsang, (dèrèng suhul), mila kinèn wangsul malih. Pikajêngipun kinèn ngambali samadi malih, kaliyan tekad ingkang santosa yêktos. Mila Radèn Bratasena lajêng wangsul dhatêng nagari. Têgêsipun: luwar saking samadi, pitakèn [pitakè...]
--- 49 ---
[...n] dhatêng dhanyang Durna, katêdahakên têmênipun tirta sucining gêsang wontên têlênging jaladri. Têgêsipun Radèn Bratasena, sarêng luwar saking samadi, rumaos mênawi dèrèng dumugi. Awit sawêg dumugi ênêng punika wau, dèrèng rumaos suhul, (sapatêmon, nunggil).
Radèn Bratasena lajêng pamit dhatêng kadangipun sakawan, badhe anggêbyur ing sagantên, para kadang sami anggendholi botên suka. Têgêsipun Radèn Bratasena angambali samadi malih, badhe nekad pêjah salêbêting gêsang, angipatakên hawa napsu inggih punika nyirêp ubaling pôncadriya, aluamah, amarah, supiyah, mutmainah. Punika têgêsipun kadang sakawan. Radèn Wrêkodhara lajêng mangkat dipun iring ing bayubajra. Têgêsipun Radèn Wrêkodhara, lajêng mapan samadi malih. Angaringakên lampahing napas, inggih punika matitisakên daimipun, lampahing napas lajêng antêng gumêlêng pindha angin dumunung ing tulup, botên antawis dangu lajêng wiwit miyak warana, inggih punika Radèn Wrêkodhara dumugi têpining sagantên, sarta ningali wêwarnèn maneka warni, inggih punika sarining napsu kawan prakawis kasêbut ing nginggil, awujud cahya môncawarna. Radèn Wrêkodhara lajêng anggêbyur ing sagantên, [saga...]
--- 50 ---
[...ntên,] têgêsipun lampahing napas saya kêncêng, sampun anglangkungi warana, ing ngriku dhatênging rancana ingkang sakalangkung agêng, mênawi botên santosa tekading sêdya, amêsthi badhar malih botên sagêd suhul. Inggih punika dhatênging naga agêng krura manaut lajêng anggubêt sariranipun Radèn Wrêkodhara, kêmput wiwit suku dumugi ing jôngga, lajêng dipun tuwêg ing pôncanaka, sang naga kaprawasa kuwônda ajur dados sarahing samodra. Inggih punika kêncênging napas wau kawawa angukut saliring rahsa, amahanani raosing sariracommit sakojurto kraos usermarinding gumriming pating grêmêt
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 239
kumlênyêr, kumêjot, tarkadhang sirah kraos anjêbobog, talingan mirêng swara gumrêbêg, dhag-dhug paningal pêtêng sumrêpêt, kados badhe sumaput, amahanani raos giris-miris, ajrih mênawi kalajêng pêjah. Mila mênawi sêdyanipun botên santosa, tekadipun botên katokidakên, sampun mêsthi sabarcabar. samadinipun, dados garegah wungu kaliyan ngungun pungun-pungun, sarira gumêtêr, manah dhêg-dhêgan. Ananging mênawi salêbêtipun makatên wau katekadakên sayêktos, kalajêng pêjah inggih purun, raos sadaya wau botên dangu sirna, inggih punika têgêsipun naga kaprawasa ing pôncanaka, inggih [ing...]
--- 51 ---
[...gih] sirnaning raos sadaya wau. Sasirnane nagaraja, Wrêkodhara dumugi têlênging samodra, kapanggih Sang Dewaruci, lajêng malêbêt ing guwa-garbanipun, ing ngriku Radèn Wrêkodhara lajêng aningali alam suwung awang-uwung, angalangut tanpa têpi, inggih punika sirnaning raos, amung kantun rumaos, nanging sampun botên ngraos gadhah raga, kantun gêsanging pangraos, lajêng rumaos aningali cahya warni-warni, ingkang sakalangkung anêngsêmakên, awujud urub wolung warni, utawi sanèssanèsipun, sadaya wau sami dados rêncananing paningal, awit cahya sadaya wau inggih kakekating hawa napsu, manawi korup wontên ing ngriku saèstu dhumawah ing swarga panasaran.
Sasirnaning para cahya wau, Wrêkodhara lajêng ngadhêp Dewaruci malih, lajêng dipun wêjang patitising sangkan-paran.
Têgêsipun Arya Sêna malêbêt ing guwa-garbanipun Sang Dewaruci, inggih punika: salêbêting samadi, rasa pangrasa sampun sagêd manuksa ing atma jati, warôngka manjing curiga, raosipun amung nikmat lan mufangat, inggih punika luyuting samadi, têmbungipun Ngarab suhul, têgêsipun sapatêmon, utawi awor. Mila Sang Wrêkodhara sampun [sampu...]
--- 52 ---
[...n] botên karsa wangsul dhatêng marcapada. Ananging Dewaruci botên marêngakên, menawi botên lawan antaka. Wrêkodhara lajêng byar aningali jagad gumêlar, sampun wontên têpining samodra, lajêng kondur dhatêng Ngamarta panggih kadang sakawan, sadaya sami suka-rêna. Têgêsipun sang samadi sampun luwar saking luyut, lajêng pulih angrasuk napsu sakawan, aluamah, amarah, supiyah, mutmainah. Ananging sang samadi sampun sênêng manahipun, dening sampun botên kasamaran dhatêng sangkan paraning dumados. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 240
Candranipun Arya Bratasena, dalah wardining busananipun, kados ing ngandhap punika.
1. Bratasena. Têgêsipun brata, lampah. Sena, putus. Dados Radèn Bratasena punika kenging dipun wardèni satriya putus ing lampah. Dene lampahipun: wiwit lair wontên salêbêting bêbungkus, luwarluwar sarêng sampun diwasa.
2. Wrêkodhara. Têgêsipun wrêko, sagawon [saga...]
--- 53 ---
[...won] ajak. Dhara, wêtêng. Wrêdinipun, padharanipun Arya Wrêkodhara ambangkèk kados wêtênging sagawon ajag.
3. Bima. Têgêsipun: agêng berawa, ngajrihi.
Wêwukiranipun Arya Bratasena. Pasariran agêng inggil, sambada sarwa santosa. Kêkulitanipun jêne ngujwala, balengah-balengah. Netranipun ambêlalak, bêning sumorot, andik, nanging rêspati. Imbanipun agêng, cêmêng, ngêngrêng, nanging botên anjênggurêng. Godhèg gumbala, uwok simbar jaja, kados dipun tata, mila botên anggêgilani, malah mêrak-ati. Wiraganipun anggêgêm asta. Jêjêmpolanipun mawi kanaka panjang, lungit, dipun wastani pôncanaka, dados pamonahing satru sakti.
Polatanipun Arya Bratasena: tajêm. Botên sumèh botên rêgu.
Arya Bratasena ngagêm gêlung mangkara, sinapit urang, andhap ngajêng inggil wingking. Têgêsipun mangkara, urang, murub. Mila winastan gêlung sinapit urang, wujudipun ambalêngkuk pindha [pi...]
--- 54 ---
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 241
[...ndha] sapiting urang, namung kaot ingangingkang. sisih agêng, ingkang sasisih alit, ingkang alit wontên ngajêng, ingkang agêng wontên wingking. Punika dados prasêmon pambakanipunpambêkanipun. Arya Wrêkodhara, utawi ambêking satriya, lair batos kêdah makatên. Dene ingkang tumrap ing lair = sarengat, ambêking satriya punika kêdah andhap-asor, anor raga, nanging ing batos luhur, botên karsa dipun camah, dipun rèmèhakên. Mênawi dipun idak andêngangah,andêngangak. ingkang ngidak dipun lawan kalihan santosa, mêdal ing margi lêrês, dumugi pêjah dipun têmah. Makatên pikajêngipun gêlung sinapit urang.
Dene pradikanipun ing kabatosan = kakekatipun.
Gêlung sinapit urang punika pralambang wujuding kawula Gusti, sami rupa warnanipun, rupa, urip, warna, warana. Ingkang agêng minôngka wujuding Gusti. Ingkang alit minongka kawula, saplak botên siwah sarambut: sarta sami tumungkulipun. Pikajêngipun, mênawi kawula punika tansah tumungkul ing Gusti, sumujud, ngadhêp, mantêp, ngidhêp (manêmbah) Gusti inggih tumungkul, pikajêngipun angudanèni, anêksèni, anambadani, sarta anikêli. Mila agêng alit.
--- 55 ---
Bêbasanipun: manawi kawula punika majêngipun ing Gusti: satindak, Gusti amêthukakên majêng kalih tindak. Mila ingkang sumungkêm ing Gusti: sampun uwas sumêlang. Gusti botên kasamaran saobahosiking kawula.
Arya Bratasena ngagêm sêsumping rineka jaroting asêm. Jarot, têgêsipun: otot, utawi lajêr, asêm, rasa. Pikajêngipun: Arya Bratasena sampun uninga utawi mundhi lajêring: rasa. Uwiting rasa inggih punika: dat wajibu wujud.
Arya Bratasena ngagêm cundhuk kancana mulya, rineka sêkaring pudhak, winastan pupuk mangkarawistha. Têgêsipun mangkara, urang, murub. Wistha, rêngla, wukir. Pikajênganipun rineka urub = cahya. Wrêdinipun: Radèn Bratasena, galihipun sampun padhang narawang, dening sampun botên kasamaran pamoring kawula Gusti.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 242
Arya Bratasena ngagêm gêlang côndrakirana. Côndra, têgêsipun: rêmbulan, kirana, sôrôting rêmbulan. Gêlang, têgêsipun: têpang. Wrêdinipun: rêmbulan punika dat, sorot punika sipat, inggih punika Radèn Bratasena, sampun sagêd nêpangakên sipat akalihan [aka...]
--- 56 ---
[...lihan] dat. Dunungipun Arya Wrêkodhara, sampun uninga pamoring kawula Gusti.
Arya Bratasena ngagêm nyamping polèng bang bintulu, polèng cêmêng, abrit, jêne, pêthak, lajêng kaplintir kacawêtakên. Wrêdinipun: Arya Bratasena, sampun sagêd ngukut napsu sakawan prakawis: nêpsu aluamah, amarah, supiyah, mutmainah.
Arya Bratasena anggêgêm pôncanaka, wrêdinipun: Arya Sena sampun sagêd ngracut ubaling pôncadriya.
Têlas samantên kemawon, kados sampun cêkap wrêdinipun Sêrat Dewaruci. Menawi badhe nguningani moncèripun amirsanana Sêrat Walisana. Ananging mênawi dèrèng jêmbar kawruhipun, dèrèng sagêd tampi, saking rungsitipun.
Amila mênggahing ngèlmi kasidan, mênawi tansah kagêlar, kababar, saèstu ngèbêki jagad, badhe tanpa wêkas, aluwung tumuntên kagulung, kadadosakên samarica, lajêng kabubut, supadôs tanpa tilas, punika utami. Wêkasan layu kayapu. Tapaking kontul ngalayang.
Tamat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 243
Serie D. No. ... DEWAROETJI Harga f 0.65 Sêrat Dewaruci Punika Sêrat Dewaruci ingkang sampun mawi wrêdi. [Grafik] CETAKAN YANG KA IV. Kawêdalakên sarta kasade dening: Tan Gun Swi Kêdhiri 1928 --- [1] --Sêrat Dewaruci Punika Sêrat Dewaruci ingkang sampun mawi wrêdi. [Grafik] CETAKAN YANG KA IV Kawêdalakên sarta kasade dening: Tan Gun Swi Kêdhiri 1928 --- [2] --Penerbit: TAN KHOEN SWIE - Kediri. [Grafik] Diperlindungi hak pengarang tersebut dalam Stb. 1912 No. 600. fatsal ll. Kitab ini Syah bila ada tanda tangannya si penerbit sebagi dibawah ini: --- [3] --Bêbuka. Sêrat: Dewaruci. Sêrat Dewaruci punika ing ngajêng mawi têmbang Kawi Sêkar Agêng, anggitanipun Êmpu Widayaka ing nagari Mamênang, inggih ing Kadhiri. Êmpu Widayaka wau inggih Ajisaka, timuripun nama Jaka Sangkala, putranipun Êmpu Anggajali, ibunipun putri ing nagari Najran, tanah Ngarab. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 244
Sarta Ajisaka wau siswanipun Sang Maolana Ngusman Ngajid, raja pandhita dibya ing nagari Banisrail Ngarab. Punapadene Ajisaka wau lajêng puruhita dhatêng para Jawata, bab kawruh kamuksan, utawi kawruh kadibyan kanuragan sasaminipun, sampun tumplak kacakup dening Ajisaka sadaya. Para dewa ingkang linangkung sampun dipun guroni sadaya. Kados ingkang kasêbut ing Sêrat Ajidarma, tuwin Sêrat Ajinirmala. Mila Ajisaka punika kawruhipun langkung pinunjul sasamining êmpu. Mungêl ing Sêrat Panitisastra, manawi wontên [wontê...] --- [4] --[...n] êmpu ingkang sagêd ngawonakên pandhita satus, ingkang putus ing kawruh, punika sawêg sami kaliyan kawruhipun Êmpu Widayaka. Amila Sêrat Dewaruci punika, sami-sami wêwarah kamuksan jaman kadewatan, kabudan, dipun rêmêni piyambak dening para wali, awit suraosipun cundhuk sangêt kaliyan kawruh pathining agami Islam (Ngèlmi Makripat) dhasar sajatosipun, Êmpu Widayaka wau, mênggahing kawruh kasampurnan, ingkang dipun èsthi ing salêbêting batos amung wasitanipun Sang Maolana Ngusman Ngajid, ing Banisrail kasêbut ing nginggil (Islam) mila layak kemawon Sêrat Dewaruci wau, dipun lêluri dening para wali. Dene ingkang jarwakakên mawi sinawung ing sêkar macapat, Kangjêng Susuhunan Benang. Sarta sampun sumêbar ing kathah, malah sampun nate dipun cithak, ananging dumugi samangke dèrèng dipun wardèni. Sapunika sampun kalampahan dipun wardèni kalayan jangkêp. Awêwaton saking sêrat warni-warni. Ingkang mardèni Mas Ngabèi Mangunwijaya ing Wanagiri (Surakarta). Taun 1922 - 1852. --- [5] --Sêrat: Dewaruci, Mawi Wrêdi 1. Dhandhanggula 1. nihan doning ulun manulat sri | mring sarkara mamrih mamardawa | tyas wigêna panjutane | juwêt silarjèng tuwuh | wahananing kaanan jati | sujana paramarta | witaning tumuwuh | winangun ingkang sasmita | ginupita ing kawi rèh Bimasuci | winangun lawan jarwa || 2. Wrêkodhara duk puruhita mring | Dhanyang Durna kinèn ngupayaa | toya ingkang nucèkake | marang sariranipun | Wrêkodhara mantuk wêwarti | maring nagri Ngamarta | pamit kadang sêpuh | sira Prabu Yudhisthira | kang para ri sadaya nuju marêngi | anèng ngarsaning raka || 3. Arya Sena matur ing raka ji | lamun arsa kesah mamrih toya | dening guru pituduhe | Sri Darmaputra ngungun | amiyarsa aturing ari | cinipta praptèng baya | narendra mangun kung | dyan satriya Dananjaya | matur nêmbah ing raka sri narapati | punika tan sakeca || commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 245
4. inggih sampun paduka lilani | rayi dalêm kesahe punika | botên sakeca raose | arya kalih wotsantun | inggih sampun tuwan lilani | watak raka paduka | Ngastina pukulun | karya mangendra sangsara | Rêsi Durna ginubêl murih ngapusi | sirnaning pra Pandhawa || 5. Wrêkodhara miyarsa nauri | ingsun môngsa [mông...] --- 6 --[...sa] kênaa dèn ampah | mati ya ngumurku dhewe | wong nêdya mrih pinutus | panunggale Hyang Maha Suci | Arya Sena saksana | kalepat sumêmprung | Sri Narendra Yudhisthira | miwah ari katiga ngungun tan sipi | lir tinêbak mong tuna || 6. tan winarna kang kari prihatin | kawuwusa lampahira Sena | tanpa wadya amung dhewe | mung bajra sindhung riwut | ambêbênêr murang ing margi | prahara munggèng ngarsa | gora rèh gumuruh | kagyat miris wong padesan | kang kaambah kang kapranggul dhodhok ajrih | andhêpès nêmbah-nêmbah || 7. kathah pasêgah dhatan tinolih | langkung adrêng praptèng Kurusetra | marga gêng kambah lampahe | glising lampahira sru | gapura gêng munggul kaèksi | pucak mutyara muncar | sangking doh ngênguwung | lir kumêmbaring baskara | kunêng wau kang maksih wontên ing margi | wuwusên ing Ngastina || 8. Prabu Suyudana animbali | Dhanyang Durna prapta ing jro pura | natèng Mandraka sarênge | Prabu Ngawôngga tumut | pra sêntana andêling wèsthi | prasami ingandikan | marang jro kadhatun | wong agung ing Sindusena | Jayajatra miwah Ki Arya Sangkuni | Bisma myang Drusasana || 9. Radèn Kuwirya Kurawa sêkti | miwah Rahadèn Jayasusena | Radèn Rekadurjayane | praptèng --- 7 --ngarsa sang prabu | kang ginusthi mrih jayèng jurit | [Grafik] Durna dan Wêrkudara. sor sirnaning Pandhawa | ingkang dadya wuwus | aywa kongsi bratayuda | yèn [yè...] --- 8 --[...n] kênaa ingapus sangkaning aris | sirnaning pra Pandhawa || 10. golong mangkono turira sami | Radèn Sudarma Surônggakara | anut rêmpêg samya ture | sira ta Sang Aprabu | Suyudana mênggahing galih | datan pati ngarsakna | ing cidranirèku | ragi kagagasing kadang | lagya eca gunêm Warkudara prapti | dumrojog manjing pura || commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 246
11. ebah kagyat kang samya alinggih | Sri Narendra Ngastina ngandika | yayi dèn kaparèng kene | Wrêkudhara anjujug | Dhanyang Durna sigra ngabêkti | rinangkul jangganira | babo sutèng ulun | sira sida ngulatana | ingkang tirta pawitra sucining urip | yèn iku kapanggiha || 12. nirmala panggih wisesèng urip | wus kawêngku aji kang sampurna | pinunjul ing jagad kabèh | ngaubi bapa biyung | mulya sangking sira nak mami | linuwih ing triloka | langgêng ananipun | Arya Sena matur nêmbah | inggih pundi prênahe kang tirta suci | nuntên paduka têdah || 13. prênahipun kang hèr adi êning | Rêsi Durna mojar marang Sena | adhuh sutaningsun anggèr | ênggoning kang toya nung | pan ing wana Tikbrasarèki | turutên tuduh ingwang | sangêt pari kudu | nucèkakên badanira | ulatana soring Gôndamadanèki | ing wukir Côndramuka || 14. dhungkarana ingkang wukir-wukir | --- 9 --jroning guwa jro panggonanira | tuhu hèr ning pawitrane | ing nguni-uni durung | ana kang wruh goning toyadi | trustha Sang Wrêkodhara | pamit awotsantun | mring Durna mring Suyudana | angandika sira Prabu Kurupati | yayi mas dèn prayitna || 15. bok kasasar dènira ngulati | panggonane gawat tan têtela | Wrêkodhara lon ature | nora pêpeka ingsun | anglakoni tuduh sang yogi | amêsat saking pura | sigra rèh sumêngkut | kang maksih anèng jro pura | samya mèsêm natèng Mandraka lingnyaris | paran polahe ika || 16. gunung Côndramuka guwanèki | dene kanggonan rêksasa krura | kagiri-giri gêdhene | sayêkti lêbur tumpur | ditya kalih pangawak wukir | tan ana wani ngambah | sadaya gumuyu | ngrasantuk upayanira | sukan-sukan boga drawina mênuhi | kunêng ingkang kawuntat || 2. Pangkur 1. lampahe Sang Wrêkodhara | lajêng ngambah praptanirèng wanadri | ririh ing rèh gandrunggandrung | sukanirèng wardaya | tirta êning pamungkas wêkasing guru | tan nyipta bayaning marga | kacaryan kang dèn ulati || 2. ngambah wukir sêngkan-sêngkan | anut bambing kapering lêmah miring | gêgêr mênggêr agra gugur | jurang rèjèng kaparang | angraganjang kèh ri sarywa lata lumung | myang enggar katiban warsa | sela ngapit [ngapi...] --- 10 --[...t] marga supit || 3. kèksi kang pala kasimpar | pan kawarsan ing môngsa catur asri | panjrah pamêwah rum-arum | abra kang patra wijah | ambalasah bogêm banas capaka nul | angsana myang kanigara | wilaja lan gôndasuli || commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 247
4. angglar ingkang anggrèk wulan | jônggawure araras wora-wari | argula mêkar lan mênur | anjrah gambir gambira | nagapuspa angsoka malathi tanjung | prabusètmata sridênta | lawan kananga kumuning || 5. tumiling ili nut awan | kadya manambrama ingkang lumaris | bramara rèh nguswa lumung | anglir karunanira | ing kaswasih sangsaya margèng malat kung | Risang Gôndanarpatmaja | lênglêng ngulati toya ning || 6. surya mangrangsang lampahnya | kumyus ingkang riwe saengga warih | gumrêgut sangsaya sêngkut | enggaring kabaskaran | nêrang nunjang kasandhung sukuning gunung | wrêksa rug rêbah balasah | sora dhèdhèt erawati || 7. gègèr saisining wana | de kang pôncawora prahara tarik | sato kabarasat mawur | gumyur sumyur wurahan | saking gênging ampuhan sato kabêntus | kidang-kidang matyèng jurang | tibèng parang angêmasi || 8. andaka kèh tibèng jurang | bujôngga gêng amrih mulêt ing uwit | rungkading wrêksa karangkut | lumajêng maring jurang | wau ingkang tapa-tapa anèng --- 11 --gunung | ajar-ajar kapêlajar | prabawa prahara gumrit || 9. kêthu kathok kapalêsat | kuthetheran pathake pothar-pathir | rêrangkangan kèh mrêkungkung | sangêt katisên samya | tutup tangan cantrik manguyu kêplayu | dalancang mangsi kasingsal | ngungsi padesan gumriwis || 10. munya gênthane kang muja | gugup dènnya nawurkên wangi-wangi | sari sugônda sumawur | wau ta lampahira | praptèng wukir Côndramuka guwanipun | binubak wukir dhinukir | sela siningsal atêbih || 11. wrêksa gêng-agêng kagêman | kaidêran balasah bosah-basih | prênahing toya rinuruh | dangu datan kapanggya | kawuwusa ditya kang wontên ing ngriku | Sang Rukmuka Rukmakala | kagyat dènira miyarsi || 12. gêbruging wukir kadhungkar | lan prahara gora rèh gêgirisi | lawan kongasira mambu | gandaning kang sujanma | katgada Sang Rukmakala arsa mêtu | ngêrik angrak lir bathara | berawa ing gêmpur bumi || 13. gora sabda lir bubula | Maitala lir Kalalodra murti | girindra kontrak gumuntur | katon Sang Wrêkodhara | binandhêming ing wukir asru amuwus | hèh ko dhik ditya bêbaya | dursila krama mrih pati || 14. Sang Rukmuka Rukmakala | asru muwus manungsa mêngko mati | dursila budimu muput | dhustha ngrusak gon ingwang | commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 248
--- 12 --sigra nêmpuh Sang Wrêkodhara tinubruk | tinêpak tan obah panggah | [Grafik] Rukmakala, Rukmuka, dan Wêrkudara. sinêbrak-sêbrak tan mosik || 15. sela tan tumamèng [tu...] --- 13 --[...mamèng] angga | curna siyung punggêl ingukêl aglis | agya anaut sumêbut | ingabên lawan wrêksa | Sang Rukmuka angganira agalêpung | utêk wutah sumaburat[1] | Rukmuka sampun ngêmasi || 16. Rukmakala ngrik manrajang | wus cinandhak winayangkên binanting | ing sela ditya malêdug | sumyur rahnya sumêbar | sarêng pêjah Rukmuka Rukmakalèku | sirna bangkene tan ana | jêr samya jawata luwih || 17. kêna ing papa cintraka | Endra Bayu dinukan Hyang Pramèsthi | dadya ditya kalihipun | nèng guwa Côndramuka | ya ta wau Sang Bayutanaya wuru | kabèh wukir binalengkrah | toya tan ana pinanggih || 18. sadangunira ngupaya | gunung-gunung kawur dèn obrak-abrik | sayah kasaputing dalu | ngadêg soring mandera | giyuhing tyas dènira ngupaya banyu | pawitra dangu tan angsal | miyarsa swara dumêling || 19. tan katon kang duwe swara | adhuh putuningsun liwat kaswasih | ngupaya nora kêpangguh | tan antuk tuduh nyata | ring prênahe kang sira upaya iku | sangsayèku polahira | Wrêkodhara duk miyarsi || 20. nauri sintên kang swara | dene botên kaèksi dening kami | punapa yun ngambil tuwuh | kawula gih sumôngga | lêhêng pêjah ngulati datan kapangguh | kang swara gumuyu suka | yèn sira tambuh --- 14 --ing mami || 21. duk sira matèni ditya | iya ingsun karo jawata sami | kêna ing papa cintrèku | kang nampurnakkên sira | Endra Bayu araningsun kang satuhu | duk ditya Si Rukmakala | lawan Rukmuka ran mami || commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 249
22. sira angulati toya | pituduhe Dhanyang Durna ing nguni | nyata na banyurip iku | tuture Rêsi Durna | nanging nora ing kene panggonanipun | sira balia atasna[2] | ênggone ingkang sayêkti || 23. duk miyarsa Wrêkodhara | kèndêl sarwi wagugên tyasirèki | saksana wau sumêbrung | mantuk marang Ngastina | tan winarna ing marga Ngastina rawuh | pêndhaking dina samana | kang wontên ngarsa jro puri || 24. kadya duk angkate Sena | Rêsi Durna Bisma miwah paraji | lan pra santana gung-agung | natèng Wôngga Mandraka | Sangkuni lan Sindurja samya nèng ngayun | Sudama Surônggakara | Kuwirya Kurawa sêkti || 25. Rahadèn Rekadurjaya | Radèn Jayasusena munggèng ngarsi | kagyat wau praptanipun | Sang Arya Wrêkodhara | samya kagèt bagèkkên kabèh wong agung | babo ariningsun prapta | antuk karya sun watawis || 26. yayi mas ngêmpèk kewala | praptanira sayêkti antuk kardi | Sang Rêsi Durna sumambung | paran mas lakunira | Wrêkodhara pukulun datan kapangguh | gène wukir Côndramuka | --- 15 --mung ditya kalih kêpanggih || 27. Rukmuka lan Rukmakala | sampun sirna kalih kawula banting | dene ditya amrih lampus | sikara ing kawula | wukir kabèh kabalengkrah tan katêmu | paduka tuduh kang nyata | sampun amindho gawèni || 28. Sang Durna angrangkul sigra | babo-babo lagya ingsun ayoni | katêmênane ing guru | mêngko wus kalampahan | nora mèngèng ngantêpi tuduhing guru | iya mêngko sun wêwarah | ênggone ingkang sayêkti || 29. iya têlênging samodra | yèn sirèstu guru pun bapa kaki | ngêsung têlêng samodra gung | Wrêkodhara turira | sampun mênggah têlênging samudra agung | wontêna nginggiling swarga | dhasaring kang sapta bumi || 30. môngsa ajriha palastra | anglakoni tuduh Sang Mahayêkti | iya babo sutèng ulun | yèn iku pinanggiha | bapa kakinira kang wus padha lampus | besuk uripe nèng sira | lan sira punjuling bumi || 31. tan ana aji tumama | sirna kasor kawêngku ing sirèki | Prabu Ngastina sumambung | dhuhadhuh ariningwang | kayaparan pratikêlirèng dêlanggung | dene kaliwat agawat | prênahing kang tirta êning || 32. aja sira kaya bocah | dèn prayitna Wrêkodhara nauri | hèh Kurupati kakangku | srahna marang jawata | --- 16 ---
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 250
ayya mêlang tumolih lilakna aku | aja garantês ing manah | pirangbara yèn basuki || 33. ya yayi muga antuka | lakunira pitulunging dewadi | pamit Arya Sena sampun | mring Durna mring sang nata | ing Ngastina sigra mêsat lampahipun | sangking pura pan wus mêdal | nêdya amantuk rumiyin || 34. matur ing raka Ngamarta | kunêng Wrêkodhara lampahirèki | wau ta ingkang winuwus | ing nagari Ngamarta | saangkate Wrêkodhara kesahipun | dene tan kêna ingampah | kalangkung samya prihatin || 35. Sang Aprabu Darmaputra | miwah Dananjaya lan ari kalih | saputra sagarwanipun | prihatin maras ing tyas | samya rêmbug utusan ngaturi wêruh | sangking sungkawa punika | marang Prabu Dwarawati || 36. mêsat caraka Ngamarta | mawi surat ing marga tan winarni | ing Dwarawati wus rawuh | katur ring sri narendra | sêrat saking Ngamarta sinuksmèng kalbu | kagyat garjitèng wardaya | Sang Aprabu Harimurti || 37. datan sakeca tyasira | angundhangi wadya budhal sang aji | sawadyakuswa kasusu | ing marga tan winarna | ing Ngamarta sang nata lampahnya rawuh | gègèr amêthuk busêkan | Yudhisthira lan para ri || 38. samya ngabêkti sadaya | wusnya tata lênggah anèng jro puri | Prabu Darmaputra matur | myang Arya Dananjaya | saha waspa ing madya [ma...] --- 17 --[...dya] wasananipun | katur ring raka sadaya | Risang Prabu Harimurti || 39. ngandika Narendra Krêsna | yayi prabu aywa sungkawèng galih | polahe arinirèku | Ki Arya Wrêkodhara | nadyan silih sêpuh yêktining pangapus | ing tingkah Kurawa cidra | dèn pasrah ing batharadi || 40. wong anêdya puruhita | ujar bêcik upama dèn alani | santosa ing bathara gung | ingkang nêdya bancana | môngsa wurung nêmu wêwalês ing pungkur | punagi ing aturira | marang Prabu Harimurti || 41. yèn prapta ari paduka | mila munjuk datan sande ngulati | kawula bujana nayub | kaèstokna jêng nata | yèn sampuna kaka prabu nuntên rawuh | yêkti barubah kang manah | rayi dalêm sadayèki || 42. lagyeca imbal wacana | praptanira wong agung Jodhipati | gumuruh samya angrubung | atur trusthaning driya | Dananjaya lawan Nangkula rinipun | myang Pôncawala Sumbadra | Drupadi miwah Srikandhi || commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 251
43. sami rêrêp sungkawanya | angandika Sang Prabu Harimurti | mara payo yayi prabu | nutugna abujana | sigra Wrêkodhara sru pamuwusipun | aywa susah abujana | pan ingsun nora ngêntèni || 44. marang pambujananira | karyaningsun mung arsa tur upêksi | pan iya nulia wangsul | miwah mring sira Krêsna | pan kaparêng ingsun iki awèh wêruh | --- 18 --arsa mring têlêng samodra | ngupaya sinoming warih || 3. Sinom 1. ing tuduhe Dhanyang Durna | angulati toya urip | gone têlênging samodra | iku arsa sun lakoni | atur kang para ari | adhuh kangmas sampun-sampun | punika dede lamba | tan pantês dipun lampahi | duk miyarsa jêtung Prabu Yudhisthira || 2. umatur dhatêng kang raka | ing Narendra Harimurti | paran ing karsa paduka | rayi sampeyan puniki | tan kenging dèn palangi | Krêsna kèndêl tanpa muwus | langkung pangungunira | bingung tan nauri nênggih | ing ature Sang Sri Batanakawarsa || 3. sigra Prabu Yudhisthira | amêngkul dhatêng kang rayi | Arjuna Nangkula Sdewa | ing suku samya nangisi | Pôncawala Drupadi | Sumbadra Srikandhi ngayun | gubêl samya karuna | miwah Nata Harimurti | andrês mili mituturi Bayuputra || 4. samya nangis ngampah-ampah | tan keguh ginubêl tangis | Dananjaya nyêpêng asta | radèn kalih suku kalih | sarwi lara anangis | Krêsna munggwing ngarsanipun | Srikandhi lan Sumbadra | samya mangrubung nangisi | kinipatkên sadaya sami kaplêsat || 5. ambêrot sang Wrêkodhara | tan kêna dèn gêgujêngi | nginthar lampahe wus têbah | kadya tinilar ngêmasi | sagunge ingkang kari | apan ta arsa sinusul | --- 19 --ajrih pangampahira | sira Prabu Harimurti | dadya kèndêl sadaya wayang wuyungan || 6. saênggon-ênggon karuna | sagung ingkang santanèstri | kakunge ngadhêp sadaya | ing Narendra Harimurti | tan pêgat mituturi | kang rayi samya andhêku | dadya wau kang raka | makuwon sajroning puri | kawuwusa wau kang adrêng ing lampah || 7. sahira saking jro kutha | nulya sru manjing wanadri | tan kèsthi durgamèng ngawan | tan ana baya kaèksi | sagung wong têpiswiring | gawok ing pandulunipun | lampahe Arya Sena | lir naga krura ngajrihi | anrang baya amrih tuhuning ngagêsang || 8. kayon katubing maruta | sumuking swaraniratri | kadya ngatag sêkar mêkar | samirana mawor riris | panjrahning sarwa sari | karirisan marbuk arum | jôngga kumuning sumyar | angsana pudhak kasilir | tinon kadya kang wêntis kesisan sinjang || commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 252
9. sore subrataning driya | sahira saking nagari | canggèrètnong mawurahan | kadya nyapa ring sang brangti | mrak munya anèng wuri | barungan kang pêksi cucur | lir akèn awangsula | kidang wangsul saking ngarsi | kadya napu sruning sangsayèng wardaya || 10. rêsrês munya asauran | sayah kadya mituturi | bêbêluk darès lan wugan | anambêr-nambêr wiyati | anglir ngalangi margi | wangsula [wang...] --- 20 --[...sula] sang amalatkung | kongkang nèng rong lir rêntang | mawarah upaya sandi | endrasila tan wuk ing kartisampeka || 11. diwasaning diwangkara | titi sonya têngah wêngi | kêdhasih munya timbangan | musthikèng ganeya muni | mangun onêng salwir ning | kadya mawarah mrih lampus | upaya Dhanyang Durna | tan tuhu amrih basuki | mawa komandaka durgamaning awan || 12. numinda sikarèng asta | ri ana sang hyang bayèki | anut ujunging aldaka | dènira lumaris aris | purwa ngimantarèki | sirat-sirat wus kadulu | wismane Hyang Baruna | panitihing jalanidhi | kèksi praba sang maharsi dipaningrat || 13. ana rikang paksi mijah | panyêngak cangak munyasri | sasmita kèn awangsula | risang kasangsarèng ragi | sata wana munyanjrit | wêwarah risang monêng kung | mangambah wana pringga | kongas têpining udadi | alun anrês gumulung anêmpuh parang || 14. sumyak lir suraking aprang | marpêki saya kaèksi | karang mungkul kawistara | danuwunnawun nawêngi | ana kang kadya èsthi | karang mengo liman anjrum | prapta Sang Wrêkodhara | umadêg têpining tasik | mangu mulat tuman trunaning udaya || 15. ombak angêmbang gêlagah | panduking karang mangsulbi | kadya nambrama kang prapta | wangsula kang among raging | gora rèh anêkani | gora rug guntur-gumuntur | manulak [manu...] --- 21 --[...lak] mawalikan | sang mong nêng munadikani | sangsayèng tyas emut warahing sang kaka || 16. tuhu darma komandaka | tuduhira sang maharsi | yèn wangsula arda merang | kangên ujarirèng nguni | suka matiyèng tasik | mangkana wau kadulu | palwa awarna-warna | kumêrab ing jalanidhi | ting karêthap kadya wancak sumamburat || 17. lênglêng mulat ing udaya | rancakaning tyas kalingling | anglangut tanpa watêsan | sang monêng lir tugu manik | alun gêng gêgilani | langgêng agolong gumulung | toya muncar analang | kikising gisik kaèksi | wêdhinya lir isining kang sêkar mêkar || 18. sangsanging kang lembak-lembak | lir cêmara uwal saking | ukêling dyah sinjang lukar | tan wus ucapên ing gêndhing | isining kang jaladri | pira-pira langênipun | raras ruming jro toya | panjang winarna ing tulis | Wrêkodhara tan kondur eraming driya || commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 253
4. Durma 1. musthi ing tyasira Arya Wrêkodhara | ing baya tan kaèksi | yèn tan amanggiha | toya rèh tirtamarta | tan wrin palastra ing tasik | mangsah bêk pêjah | cancut gumrêgut manjing || 2. ing samodra wiraganira lêgawa | banyu sumawut wêntis | mêlêg angganira | alun pan sumamburat | sumêmbur muka nampêkti[3] | migêging ôngga | wakêt jôngga kang warih || 3. emut ing tyas ana aji jayasngara | --- 22 --lun agêng anangkêbi | katgada manêngah | sira Sang Wrêkodhara | sayah gênjor ingkang wêntis | datan kaetang | kunêng wontên winarni || 4. kang naga gêng kyating rat Anêmburnawa | wisanira duk prapti | krura makikikan | katon kambang-kumambang | gêngnya saprabata siwi | galak kumêlap | sumêmbur angajrihi || 5. lir kinêbur samodra molah prakêmpa | kagyat duk aningali | Arya Wrêkodhara | iki bêbaya prapta | eram umiyat gêngnèki | datan antara | kotbuta anêkani || 6. kadya guntur kumêbur ingkang samodra | prabawanira atri | mangap kadya guwa | siyung mingis kumilat | sumawur wisa lir riris | manaut krura | mulêt kadya ambanting || 7. nêngah apan kasangsang kapulêt naga | angrês Sang Bayusiwi | wisane sang naga | tumampêk mukanira | kewran ing tyas nyipta mati | saya pinolah | ing naga mobat-mabit || 8. sariranya kêmput ginubêl sadaya | mung jôngga ingkang maksih | sangsaya manêngah | sagung kang palwa giwar | nyana pôncaruba prapti | prahara salah | gusis palwa wus têbih || 9. lir sinapon palwa tan ana katingal | wau kang amrih jurit | sayah Arya Bima | emut sang amikara | cinublês kanaka aglis | kang munggwing angga | pasah rahnya drês mijil || 10. pôncanaka manjing awaking [a...] --- 23 --[...waking] sang naga | tatas pating saluwir | [Grafik] Wêrkudara prang lan naga. rah mijil lir udan | abang toyèng samodra | sapandêlêng kanan kering | toya dadya --- 24 ---
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 254
rah | naga gêng wus ngêmasi || 11. sirna dening Sang Sena sadaya suka | saisining jaladri | wau kawuwusa | risang murwèng parasdya | wruh lakune kang kaswasih | sang amurwèng rat | praptane sang amamrih || 12. dinuta tan uninga jatining lampah | tirtamarta mahêning | mapan tanpa ngarah | tirta kang wruh ing tirta | suksma-sinuksma mawingit | tangèh manggiha | yèn tan nugraha yêkti || 13. kunêng sanalika wuwusên Pandhawa | dahat dènnya prihatin | sangsaya anggagas | marang ing kadangira | arsa nusula prasami | aja salaya | yèn nêmahana pati || 14. samya gubêl nênuwun kang pangandika | Sang Prabu Harimurti | samya tinangisan | sira Narendra Krêsna | wus aywana kang prihatin | pan kadangira | nora tumêkèng pati || 15. malah antuk kanugrahaning jawata | besuk praptane suci | iya pan sinihan | de Sang Suksma Kawêkas | winênang aliru dhiri | raga bathara | putus ing tingal êning || 16. uwis padha maria aja sungkawa | enggar tyasira sami | sirna susahira | dene wau miyarsa | pangandika kang sayêkti | saking kang raka | nata ing Dwarawati || 17. ya ta malih wuwusên Sang Wrêkodhara | nèng têlênging jaladri | sampun pinanggihan | awarni dewa bajang | pêparabe Dewaruci | lir lare dolan | ngandika têtanyaris || --- 25 --18. hèh ta Wrêkodhara apa karyanira | têka ing kene iki | apa sêdyanira | iya sêpi kewala | tan ana kang sarwa bukti | myang sarwa boga | miwah busana sêpi || 19. amung godhong aking yèn ana kumleyang | tiba ing ngarsa mami | iku kang sun pangan | yèn ora nora nana | garjita tyasnya miyarsi | Sang Wrêkodhara | ngungun dènnya ningali || 20. dene bajang nèng sagara tanpa rowang | cilik amênthik-mênthik | iki ta wong apa | gêdhe sajênthik ingwang | pangucape sru kumaki | ladak kumêthak | dene tapa pribadi || 21. lan maninge Wrêkodhara ingkang prapta | iya ing kene iki | akèh pôncabaya | yèn ora êtoh pêjah | sayêkti tan prapta ugi | ing kene mapan | sakalir sarwa mamring || 22. nora urup lan ciptamu paripaksa | nora angeman pati | sabda kaluhuran | kene môngsa anaa | kewran Sang Wrêkodharèki | sasaurira | dene tan wruh ing gati || 23. dadya alon Wrêkodhara saurira | môngsa-borong sang yogi | sang wiku lingira | lah iya sira uga | bèbète Sang Hyang Pramèsthi | Hyang Girinata | turase pan sayêkti || 24. sangking Brama uwite kang para nata | iya bapakirèki | turun saking Brama | mêncarkên para [pa...] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 255
--- 26 --[...ra] raja | dene ibunira Kunthi | kang duwe têdhak | iya Sang Wisnumurti || 25. mung patutan têtêlu lan bapakira | Yudhisthira pangarsi | panênggake sira | panêngah Dananjaya | kang loro patutan Madrim | jangkêp Pandhawa | praptane kene iki || 26. iya Dhanyang Durna akon ngulatana | banyurip tirta êning | iku gurunira | pituduh marang sira | yèku kang sira lakoni | mulane iya | angèl pratingkah urip || 27. aja lunga yèn tan wruh ingkang pinaran | lan aja mangan ugi | lamun tan wêruha | rasaning kang pinangan | aja nganggo-anggo ugi | yèn durung wruha | araning busanèki || 28. wêruhe lan têtakon bisane iya | lawan têtiron nênggih | dadi lan tumandang | mêngkono ing agêsang | ana jugul saking wukir | arsa tuku mas | mring kêmasan dèn wèhi || 29. dlancang kuning dèn anggêp kancana mulya | mêngkono ingabêkti | yèn durung waskitha | prênahe kang sinêmbah | Wrêkodhara duk miyarsi | dhêku noraga | dene sang wiku sidik || 30. sarwi sila sandika andikanira | Sang Wrêkodhara mèt sih | anuwun jinatyan | sintên ta aran tuwan | dene nèng ngriki pribadi | sang marbudyèng rat | ya ingsun Dewaruci || 31. matur alon pukulun yèn makatêna | pun patik anuwun sih | ulun inggih --- 27 --datan | wruh puruhitèng badan | sasat sato wana inggih | tan môntra-môntra | waspadèng badan suci || 32. langkung mudha punggung cinacad ing jagad | kèsi-èsi ing bumi | angganing curiga | ulun tanpa wêrôngka | wacana kang tanpa siring | ya ta ngandika | manis Sang Dewaruci || 5. Dhandhanggula 1. lah ta mara Wrêkodhara aglis | lumêbua guwagarbaningwang | kagyat miyarsa wuwuse | Wrêkodhara gumuyu | sarwi guguk turira aris | dene paduka bajang | kawula gêng luhur | inggih pangawak prabata | sangking pundi marganing kawula manjing | jênthik môngsa sêdhênga || 2. angandika malih Dewaruci | gêdhe êndi sira lawan jagad | kabèh iki saisine | kalawan gunungipun | samodrane alase sami | tan sêsak lumêbua | guwagarbaningsun | Wrêkodhara duk miyarsa | èsmu ajrih kumêl sandika turnèki | mènglèng Sang Rucidewa || 3. iki dalan talingan ngong kering | Wrêkodhara manjing sigra-sigra | wusa prapta ing jro garbane |[4] andulu samodragung | tanpa têpi nglangut lumaris | lêyêp adoh katingal | Dewaruci nguwuh | hèh apa katon ing sira | dyan sumaur Sang Sena inggih atêbih | tan wontên katingalan || commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 256
4. awang-awang kang kula lampahi | uwung-uwung têbih tan kantênan | --- 28 --ulun saparan-parane | tan mulat ing lor kidul | wetan kilèn datan udani | ing ngandhap nginggil ngarsa | kalawan ing pungkur | kawula botên uninga | langkung bingung ngandika Sang Dewaruci | aywa maras tyasira || 5. byar katingal ngadhêp Dewaruci | Wrêkodhara sang wiku kawangwang | umancur katon cahyane | nulya wruh ing lor kidul | wetan kilèn sampun kaèksi | nginggil miwah ing ngandhap | pan sampun kadulu | apan andulu baskara | eca tyase miwah sang wiku kakèksi[5] | anèng jagad walikan || 6. Dewaruci suksma angling malih | payo lumaku andêdulua | apa katon ing dhèwèke | Wrêkodhara umatur | wontên warni kawan prakawis | katingal ing kawula | sadaya kang wau | sampun datan katingalan | amung kawan prakawis ingkang kaèksi | irêng bang kuning pêthak || 7. Dewasuksmaruci ngandikaris | ingkang dhingin sira anon cahya | gumawang tan wruh arane | pôncamaya puniku | sajatine ing tyas sayêkti | pangarêping sarira | têgêse tyas iku | ingaranan muka sipat | kang anuntun marang sipat kang linuwih | kang sajatining sipat || 8. môngka tinulak aywa lumaris | awasêna rupa aja samar | kawasane tyas êmpane | wit tingal ing tyas iku | --- 29 --anêngêri marang sajati | eca Sang Wrêkodhara | amiyarsa wuwus | lagya mèdêm tyas sumringah | dene ingkang abang irêng kuning putih | iku durgamaning tyas || 9. pan isining jagad amêpêkti[6] | iya ati kang têlung prakara | pamurunge laku dene | kang bisa pisah iku | mêsthi bisa amor ing gaib | iku mungsuhe tapa | ati kang têtêlu | abang irêng kuning samya | ingkang nyêgah cipta karya kang lêstari | pamoring sukma mulya || 10. lamun nora kawilêting katri | yêkti sida pamoring kawula | lêstari ing panunggale | poma dèn awas emut | durgama kang munggwing ati |[7] pangwasane wêruha | siji-sijinipun | kang irêng luwih prakosa | panggawene asrêngên sabarang runtik | andadra ngômbra-ômbra || 11. iya iku ati kang ngadhangi | ambuntoni marang kabêcikan | kang irêng iku gawene | dene kang abang iku | iya tuwuh napsu tan bêcik | sakèhing pêpenginan | mêtu sangking iku | panastèn panasbaranan | ambuntoni marang ati ingkang eling | marang ing kawaspadan || 12. apadene kang arupa kuning | kawasane nanggulang sabarang | cipta kang bêcik dadine | panggawe amrih tulus | ati kuning ngandhêg-andhêgi | mung panggawe pangrusak | binanjur jinurung | mung kang putih iku [i...] --- 30 ---
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 257
[...ku] nyata | ati antêng mung suci tan ika iki | prawira ing kaharjan || 13. amung iku kang bisa nampani | ing sasmita sajatining rupa | nampani nugraha gone | ingkang bisa tumanduk | kalêstarèn pamoring gaib | iku mungsuhe tiga | tur samya gung-agung | balane ingkang têtiga | kang aputih tanpa rowang amung siji | marma anggung kasoran || 14. lamun bisa iya nêmbadani | marang mungsuh kang têlung prakara | sida ing kono pamore | tanpa tuduhan iku | ing pamoring kawula Gusti | Wrêkodhara miyarsa | sêngkud pamrihipun | sangsaya birainira | saya marang kauwusaning aurip | sampurnaning panunggal || 15. sirna patang prakara na malih | urub siji wêwohu[8] warnanya | Sang Wrêkodhara ature | punapa waskanipun[9] | urub siji wohu[10] kang warni | pundi ingkang sanyata | rupa kang satuhu | wontên kadi rêtna muncar | wontên kadi maya-maya angebati | wontên abra markata || 16. marbudyèng rat Dewaruci angling | iya iku sajatining tunggal | saliring warna têgêse | iya ana sirèku | kabèh iki isining bumi | ginambar angganira | lawan jagad agung | jagad cilik nora beda | purwa ana lor kidul kulon puniki | wetan luhur myang ngandhap || 17. miwah abang irêng putih kuning | iya [i...] --- 31 --[...ya] panguriping kang buwana | jagad cilik jagad gêdhe | tan beda isinipun | tinimbangkên ing sira iki | yèn ilang warna ingkang | jagad sadayèku | saliring reka tan ana | kinumpulkên ana rupa kang sajati | tan kakung tan wanodya || 18. kadya tawon gumana puniki | kang asawang putra-putran dênta | lah payo dulunên kuwe | Wrêkodhara andulu | ingkang kadya pêputran gadhing | cahya mancur kumilat | tumeja ngênguwung | punapa inggih punika | warnaning dat kang silih dipun ulati | kang sayêktining rupa || 19. anauri aris Dewaruci | iku dudu ingkang sira sêdya | kang mumpuni ambêk kabèh | tan kêna sira dulu | tanpa rupa datanpa warni | tan gatra tan satmata | iya tanpa dunung | mung dumunung mring kang awas | mung sasmita anèng jagad amêpêki | dinumuk datan kêna || 20. dene iku kang sira tingali | kang asawang pêputran mutyara | ingkang kumilat cahyane | angkara-kara murub | pan pramana arane nênggih | uripe kang sarira | pramana puniku | tunggal ana ing sarira | nanging datan milu sungkawa prihatin | ênggone anèng raga || 21. datan mèlu mangan turu nênggih | iya datan milu lara-lapa | yèn iku pisah ênggone | raga kari ngalumpruk | yêkti lungkrah badan puniki | yaiku kang kuwasa | nandhang rahsanipun | inguripan dening Suksma | iya [i...] --- 32 --[...ya] iku sinung sih sinandhang urip | ingakên rahsaning dat || commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 258
[Grafik] Wêrkudara dan Dewa Ruci. 22. iku sinandhangkên ing sirèki | upama simbar anèng kêkaywan | --- 33 --ana ing raga ênggone | uriping pramanèku | inguripan ing Suksma nênggih | misesa ing sarira | sang pramana iku | yèn mati mèu[11] kalêsman | lamun ilang suksma ing sarira nuli | uriping suksma ana || 23. sirna iku iya kang pinanggih | uriping suksma kang sanyata |[12] kaliwatan upamane | lir rahsaning kêmumu | sang pramana amrasandhani | tuhu tunggal pinôngka | jinatyan puniku | umatur Sang Wrêkodhara | inggih pundi warnanipun kang sayêkti | Dewaruci ngandika || 24. datan kêna iku yèn sira prih | lan kahanan kang samata-mata | gampang angèl pirantine | Wrêkodhara umatur | kula nuwun pamêjang malih | inggih kêdah uninga | babarpisanipun | pun patik ngaturkên pêjah | ambêncana anggèn-anggèn ingkang pêsthi | sampun tuwan kangelan || 25. yèn makatên ulun botên mijil | sampun eca nèng ngriki kewala | datan wontên sangsayane | tan niyat mangan turu | botên arip botên angêlih | botên ngraos kangelan | botên ngêrês linu | amung nikmat lan mupangat | Dewaruci lingira iku tan kêni | yèn ora lan antaka || 26. sangsaya sihira Dewaruci | marang kang kaswasih ing panêdha | lah iya dèn awas bae | mring pamurunging laku | aywa ana karêmirèki | dèn bênêr [bê...] --- 34 --[...nêr] dèn waspada | panganggêpirèku | yèn wis kasikêp ing sira | aywa amung dèn nganggo parah[13] yèn angling | iku rèh pêpingitan || 27. nora kêna lamun dèn rasani | lan sasama-samaning manungsa | yên ora lan nugrahane | yèn ana nêdya padu | angrasani rêrasan iki | bêcik dèn kalahana | ywa kongsi kêbanjur | aywa ngadèkkên sarira | lan ywa krakêt marang wisayaning urip | balik sikêpên uga || 28. kamisayan ingkang makripati | dèn kaasta pamanthênging cipta | rupa ingkang sabênêre | sinêngkêr bawanèku | urip datan ana nguripi | datan ana rumôngsa | ing kahananipun | uwis ana ing sarira | tuhu tunggal sasana lawan sirèki | tan kêna pinisaha || 29. dipun wêruh sangkanira nguni | tunggal sawang kartining bawana | pandulu lan pamyarsane | wis ana ing sirèku | panduluning suksma sajati | pan datan mawa netra | pamiyarsanipun | iya datan lawan karna | netranira karnanira kang kinardi | iya wis anèng sira ||
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 259
30. lairing suksma anèng sirèki | batining suksma uga nèng sira | mangkene ing pralambange | kadi wrêksa tinunu | ananing kang kukusing agni | kukus kalawan wrêksa | lir toya lan alun | kadya menyak lawan puhan | raganira ing rèh obah lawan mosik | --- 35 --yêkti lawan nugraha || 31. yèn pamoring kawula lan Gusti | lawan suksma kang sinêdya ana | iya anèng sira gone | lir wayang sarirèku | saking dhalang polahing ringgit | minôngka panggung jagad | kêlir badanipun | amolah lamun pinolah | sapolahe kumêdhèp lawan ningali | tumindak saking dhalang || 32. kang misesa amisesa sami | datan antara pamoring karsa | jêr tanpa rupa-rupane | wus ana ing sirèku | pamirsane rupa sajati | ingkang ngilo Hyang Suksma | wayangan puniku | iya sira ran kawula | mêngko-mêngko ngong asung katrangan malih | mangkene gampangira || 33. badan jaba wujud kita iki | badan jêro munggwing jroning kaca | ananging dudu pangilon | pangilon jroning kalbu | yèku wujud kita pribadi | cumithak jron panyipta | ngêrêmkên pandulu | luwih gêdhe barkahira | lamun janma wis gambuh lan badan batin | sasat srira bathara || 34. awit dening lamun anujoni | sapatêmon ing sacipta kita | janji samurwate bae | badan jêro puniku | yêkti bisa aminangkani | badan kadim punika | iya uga wujud | jroning manik ananira | dene rahsa uga kaperang dadya tri | kang dhingin rahsa jaba || 35. rahsa jêro nulya rahsa kadim | rahsa jaba iya rahsa badan | --- 36 --dene rahsa jêro rêke | yèku rahsaning tutuk | rahsa kadim rahsaning ngimpi | nging kabèh iku samya | kawêngku Hyang Agung | têgêse kang langgêng gêsang | kang angajak turu mêlèk mênêng mosik | lan nindakna ambêkan || 36. uga ingkang wajib anampani | mring lêbu wêtuning kang ambêkan | gêgandhengan apadene | kalawan lêbu wêtu- | ning ambêkan kita puniki | de pasênêtanira | nèng badanirèku | badan winasesèng gêsang | thukuling wulu kulit ingkang nguripi | kulit pan inguripan || 37. dening daging daging dening gêtih | uriping gêtih saking ambêkan | ambêkan saking uripe | dene ingkang dadya tuk | ngêmbunbunan nulya umili | katampèn kêmbang gêdhang | angilèni sagung | warata sakojur badan | marma lamun ilining tuk dèn pêpêti | ngalumpruk tanpa daya || 38. ananging sumurupa sirèki | kabèh-kabèh iku mung bêkakas | ora langgêng salawase | awit urip puniku | kawêngku ring ingkang nguripi | ingkang nguripi uga | ya isih kawêngku | dening ingkang karya gêsang | kang karya gêsang tan kêna dèn tingali | lawan netra kêpala || 39. atanapi paningaling budi | muhung kêna lamun tiningalan | lan paningaling uripe | kang wus lagnyana suwung | têgêse wis tanpa piranti | dadi lamun mangkana | commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 260
--- 37 --kêna linakon mung | sapisan nanging kalawan | awani anjumênêngakên sawiji | marma angelingana || 40. manawa dumadining sakalir | kang awit saking obahing karsa | iya uga pakolèhe | saka obahing kayun | cêkake manungsa puniki | pathoke wani pêjah | lamun wêdi lampus | sabarang ora tumêka | sêdyanira luput ancase tan dadi | môngka lamun ingucap || 41. luwih gêngnya kalêpasan iki | lawan jagad agêng kalêpasan | kamuksan luwih lêmbute | salêmbutaning banyu | isih lêmbut kamuksan iki | langkung alit kamuksan | saaliting têngu | pan isih ayit[14] kamuksan | liring luwih amisesa ing sakalir | liring lêmbut alitnya || 42. bisa nuksma ing agal lan alit | kalimputan sagung kang rumangkang | gumrêmêt uga tan pae | kaluwihan satuhu | luwih dening ingkang nampani | tan kêna ngandêlêna | ing warah lan wuruk | dèn sangêt pangudinira | raganira wasuhên praptanya ngungkih | wruha rungsiting tingkah || 43. wuruk iku kang minôngka wiji | kang winuruk upamane papan | anglir kacang lan kadhêle | sinêbar munggwing watu | yèn watune datanpa siti | kodanan kapanasan | yêkti nora thukul | lamun uwis wicaksana | tingalira sirnakna ananirèki | --- 38 --dadi tingaling suksma || 44. rupa lawan swaranira nuli | ulihêna mring kang duwe swara | jêr sira mung ngakên bae | sêsulih kang satuhu | nanging aywa darbe sirèki | pakarêman lyanira | saka ing Hyang Agung | dadi sarira Pangeran | obah mosikira wus dadi sawiji | ywa loro anggêpira || 45. lamun dadi anggêpira pêsthi | yèn ngrasa loro isih was-uwas | kêna ing rêngu yêktine | yèn wus siji sawujud | sakarêntêg ing tyas sayêkti | apa sinêdya ana | kang cinipta rawuh | wis kawêngku anèng sira | ing sajagad jêr sira ingkang kinardi | gêgênti dèn asagah || 46. yèn wus mudhêng pratingkah puniki | dèn awingit lawan dèn asasab | andhap-asor pênganggone | nanging ing batinipun | ing sakêdhap tan kêna lali | laire sasabana | kawruh patang dhapur | padha anggêpên sadaya | kalimane kang siji iku pêrmati | kanggo ing kene kana || 47. lire mati sajroning ngaurip | iya urip sajroning palastra | nanging urip salawase | kang mati iku napsu | badan lair ingkang nglakoni | katampan ba nyata |[15] pamore sawujud | pagene ngrasa matia | Wrêkodhara ing tyas padhang anampani | inggih ingkang nugraha || 48. lir sasôngka katawêngan riris | praptaning wahyu ngima nirmala | sumilak [sumila...] --- 39 --commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 261
[...k] ilang rêgêde | Dewaruci amuwus | andikane manis aririh | tan ana aji paran | kabèh wis kawêngku | tan ana kang kaulapan | kaprawiran kadigdayan wis kawingking | sagung rèhing ayuda || 49. têlas wulangnya Sang Dewaruci | Wrêkodhara ing tyas datan kewran | wus wruh mring gamane dhewe | ardaning swara muluk | tanpa êlar anjajah bangkit | sawêngkon jagad raya | sagung wus kawêngku | mati pamartining basa | saenggane sêkar maksih kudhup lami | mangkya sêkar ambabar || 50. wimbuh warna lawan gandanèki | wus kêna kang pôncarêtna mêdal | saka ing guwagarbane | wus salin alamipun | angulihi alame lami | Dewaruci wus sirna | mangkana winuwus | tyasira Sang Wrêkodhara | lulus saking gandaning kasturi jati | panasing tyas wus sirna || 51. wus lêksana salêkêring bumi | ujar bae wruh antakanira | nir ing wardaya nalane | mung panarima mungguh | kadyanggane ngangge sutradi | maya-maya kang srira | rèhnya sarwa alus | sinuksma mas ingêmasan | arja sotya-sinotya ing manik-manik | wruha paening tingkah || 52. sarwa alus ing budinirèki | warnendah lir kintaka sumêkar | kasturi jati namane | pratôndha datan korup | ing kawikan ingkang alungit | ingungaban kabisan | kawruh tan kaliru | --- 40 --lan malih ingkang buwana | pan winarna wiraga wilêt tulyasri | lancingan kampuhira || 53. môngka pangemut-emuting nguni | warna tiga sajroning gwagarba | Dewaruci pêpèngête | kang irêng kuning iku | pamurunging laku kang yêkti | kang putih iku têngah | sidaning pangangkuh | kalimane kang ginambar | wus kaasta sanalika datan lali | mituhu anggêpira || 54. sajatine duk laire nguni | Wrêkodhara saking bungkusira | wus acawêt sinjang polèng | karsane Sang Hyang Guru | warna irêng lan warna putih | jangkêpe catur mangkya | polèng bang bintulu | yèku kang minôngka sabab | pambengkasing sumêngah jubriya kibir | kèsthi sadangunira || 55. wus mangkana Wrêkodhara mulih | enggale wus prapta ing Ngamarta | panggih lan kadangkadange | langkung sukaning kalbu | Darmaputra lan para ari | ngluwari nadarira | abujana nayub | tambuh sukaning wardaya | dene ingkang rayi praptanya basuki | sirna prihatinira || Ing sisih punika citranipun swargi Mas Ngabèi Mangun Wijaya, ing Wanagiri (Surakarta), pangarang ingkang misuwur asmanipun. Panjênênganipun ingkang mrêdèni Sêrat Dewaruci punika. --- 41 --[Grafik] Ing ngandhap punika wardinipun Sêrat Dewaruci ingkang kasêbut ing nginggil. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 262
Sêrat Dewaruci punika suluk ingkang sakalangkung prayogi, dene ingkang yasa Êmpu Widayaka, lajêng kajarwakakên dhatêng Kangjêng Sunan Benang, sarta sampun dipun mupakati dening para wali wolu. Inggih lêrês Sêrat Dewaruci punika ingkang kangge [kang...] --- 42 --[...ge] jêjêr cariyos jaman purwa, kabudan, ananging isinipun (raosipun) punika sajatosipun pathining agami Islam sadaya. Mila ingkang sampun nangsuli pathining agami Islam, inggih punika ngèlmi kakekat makripat, sampun mêsthi lajêng rêmên sangêt dhatêng Sêrat Dewaruci wau, ananging manawi taksih santri sarengat kemawon, têmtu kipa-kipa, dupèh cariyosipun tiyang buda punika wau, botên sumêrêp bilih ingkang yasa para wali. Sampun têmtu sadaya wau mêndhêt saking dalil, kadis, ijêmak, kiyas, tuwin mêsthi botên pêcat saking purbaning anasir sajati, dat, sipat, asma, apêngal. Mila wêwarah tuwin pitêdahipun jangkêp sangêt. Liripun jangkêp: pitêdahipun sampun sinaroja, inggih punika rangkêp. Têgêsipun rangkêp: angsal lair batos, jawi lêbêt. Dene katranganipun wardi tuwin dêdununganipun kados ing ngandhap punika. Ingkang sapisan, mênggahing lair, asung pèngêt, ing ngagêsang kêdah marsudi ngèlmi kasampurnan, kêdah puruhita. Manawi sampun angsal guru ingkang sanyata, kêdah anggugu mituhu ing sapitêdahipun, sarta kêdah ngandêl ing salêbêting batos, --- 43 --kêdah manut miturut ing pangrèhipun ingkang botên nalisir saking raos. Sanadyan kapurih andhungkar rêdi, ambêlês ing sagantên, inggih kêdah dipun lampahi, sampun ajrih, sampun was sumêlang, ingkang ngantos kados pratingkah tuwin tekadipun Wrêkodhara, duk puruhita dhatêng dhanyang Durna, kasêbut ing nginggil. Botên kandhêg pinênggak ing para kadang, botên keguh sagunging bêbaya, sanadyan dumugi ing pêjah, dipun lampahi, saking ngandêl kumandêl dhatêng wêlinging guru, sarta ngantêpi ing tekad utami. Gêgaranipun amung kumandêl sarta pasrah dhatêng ingkang Murwèng Gêsang. Tiyang sêdya ayu, kêdah manggih ingkang botên prayogi, inggih sampun bêgjanipun, manawi sampun atas saking ingkang Maha Kawasa, kawula môngsa sagêda ngingkêdi. Mila Radèn Wrêkodhara, karsanipun amung kêncêng kêngkêng, rosa santosa, sapitêdahing guru, amung dipun lampahi kanthi sêtya tuhuning manah. Makatên tekadipun tiyang puruhita ing kawruh kasidan. Ingkang kaping kalih, wêwarah tumrap ing batos, inggih punika mulang pangolahing ngèlmi, kêdah tokid, têgêsipun kêdah santosa salêbêting sêmadi, wêwijanganipun kados ing ngandhap punika. --- 44 --Tiyang ingkang sampun nangsuli ngèlmi kasampurnan, sasampunipun angsal pitêdahing guru ingkang sajati, botên cêkap lajêng kèndêl kemawon, amargi guru wau muhung paring wiji, sagêdipun lêma angrêmbaka, ambabar sêkar arum salajêngipun sagêd awoh amirasa, punika kêdah dipun upakara piyambak. Utawi guru punika, upami tiyang angringgit, amung kados lare commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 263
ingkang dipun purih mucuki nalika sontên kemawon, ingkang andumugèkakên ngantos byar enjing tancêb kayon ki dhalang piyambak. Inggih punika kêdah mawi lampah. Nanging kauningana, lampah punika wontên kawan prakawis: ingkang sapisan lampahing raga, ingkang kaping kalih lampahing budi, ingkang kaping tiga lampahing manah, ingkang kaping sêkawan lampahing rahsa. Lampahing raga, kêdah rêsikan, kêdah marsudi ing kasarasaning badan, kêdah susila anor raga, ruruh jatmika, pasêmon sumèh mêrak-ati. Manawi agami Islam, inggih punika kêdah nglampahi sarengat. Ingkang kaping kalih, lampahing budi. Kêdah sabar, bèrbudi, lêgawa, paramarta, sarta kêdah rêmên mêmikir, nglalimbang awon saening lêlampahan, ingkang awon dipun singkiri, [singkir...] --- 45 --[...i,] ingkang sae dipun ajêngi, dipun angge. Punapadene kêdah rêmên ngraos-ngraosakên kodrat, bedanipun kaliyan iradat. Pikantukipun badhe sumêrêp wêwatêsaning pangawasa tuwin kawaskithaning Gusti, kaliyan iradat kawicaksananing kawula, wêkasan lajêng sagêd rumôngsa, nalôngsa, sagêd ngakêni bilih têmên manawi wontên ingkang murba amisesa. Manawi agami Islam, inggih punika kêdah nglampahi tarekat. Ingkang kaping tiga, lampahing manah. Kêdah têmên, mantêp, ngidhêp, madhêp dhatêng Pangeran Ingkang Maha Kawasa, tuwin ngandêl, winantu ajêk pangastutinipun, manawi agami Islam kêdah sumêrêp ing ngèlmi kakekat. Ingkang kaping sakawan, lampahing rahsa. Kêdah nyumêrêpi patitising panêmbah, inggih punika sumêrêp dunungipun ing panêmbah, tuwin ingkang sinêmbah, dados sumêrêp pamoring kawula Gusti. Manawi agami Islam, inggih punika kêdah sumêrêp ing ngèlmi makripat. Dene lampah kawan prakawis wau sampun kacakup sadaya dening Radèn Wrêkodhara. Nanging amung kapêndhêt pathinipun kemawon, inggih punika hênêng, hêning, awas, eling, katindakakên ing salamining gêsang. --- 46 --Dene satêmênipun Arya Wrêkodhara punika puruhita dhatêng dhanyang Durna, punika pralambang wujuding budi, utawi sêdya ingkang kanthi tekad santosa, lêlampahanipun kasêbut ing nginggil sadaya, pralambang mangsah samadi. Gênahipun makatên: Tiyang olah ngèlmi kasidan, kêdah karêm mangsah samadi, kaliyan santosaning sêdya. Têgêsipun Pandhita Durna, inggih punika wujuding sêdya utawi budi. Arya Wrêkodhara, têgêsipun: tekad ingkang santosa (tokid). Dados tiyang sêdya samadi punika kêdah mawi tekad ingkang santosa. Awit sêdya punika inggih dados guruning karsa. Sanadyan wontên sêdyanipun, mênawi botên kanthi tekad santosa, sêdyanipun inggih botên dumugi. Sadaya tiyang samadi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 264
punika badhe nyumêrêpi kanyataaning gêsangipun, mênawi botên kaliyan santosaning tekad, sampun tamtu botên kadadosan saking gawatipun. Radèn Wrêkodhara, anggènipun ngudi toya prawita suci, Pandhita Durna nêdahakên dumunungipun wontên ing wana Tikbrasara, kaprênah sangandhaping ardi Côndramuka, inggih ing Gôndamadana, [Gô...] --- 47 --[...ndamadana,] kinèn andhungkari. Tikbra, têgêsipun: susah, utawi prihatos. Wana, pêpêtênging manah. Sara, landhêp. Dene pikajêngipun makatên: Tiyang samadi punika, kêdah ngicalakên pêpêtênging manah inggih punika sakathahing rêncana supados kabirata sampun ngantos kacakrabawa. Manawi sampun makatên lajêng kapurih andhungkar wukir Côndramuka, utawi Gôndamadana. Inggih punika wiwit matrapakên panêngku, kêdah wontên ing Côndramuka: Côndra, têgêsipun wêwukiran. Muka, rêrai. Côndramuka, wêwukiraning rêrai, inggih wiwaraning pôncadriya, inggih punika: grana, karna, netra, lesan, dados pambukaning: napas, nupus, anpas, tanapas. Gôndamadana têgêsipun: têlênging pangambu. Pikajêngipun: kawan prakawis wau: karucata saking sasananipun, lajêng kagolongna dados satunggal, gumulung dhatêng têlênging [têlêng...] --- 48 --[...ing] gônda. Inggih punika bêbasanipun mandêng pucuking ardi Tursena. Inggih mêlêng lampahing napas, sinaring sampun wor suh. Ing ngriku dhatênging rêncana, inggih cipta ingkang ngômbra-ômbra, wahananing hawa napsu, inggih punika Radèn Bratasena kinrubut ing ditya kalih, Rukmuka tuwin Rukmakala. Ananging Radèn Bratasena santosa botên keguh kinêrêg ing danawa, mila botên dangu ditya kalih sirna, lajêng jlêg rawuhipun Sang Hyang Endra Bayu, awêwarah Wrêkodhara kinèn wangsul takèn dhanyang Durna. Sang Hyang Endra, têgêsipun: rasa, inggih ratuning badan. Sang Hyang Bayu, têgêsipun, napas, inggih têtangsuling gêsang. Pikajêngipun: Raosing manah sampun gumêlêng nunggil lampahing napas, têgêsipun: sawêg dumugi ênêng, lajêng luwar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 265
saking samadi. Dados dèrèng sagêd manggih toya prawita suci. Inggih punika dèrèng sagêd sapatêmon kaliyan ingkang damêl gêsang, (dèrèng suhul), mila kinèn wangsul malih. Pikajêngipun kinèn ngambali samadi malih, kaliyan tekad ingkang santosa yêktos. Mila Radèn Bratasena lajêng wangsul dhatêng nagari. Têgêsipun: luwar saking samadi, pitakèn [pitakè...] --- 49 --[...n] dhatêng dhanyang Durna, katêdahakên têmênipun tirta sucining gêsang wontên têlênging jaladri. Têgêsipun Radèn Bratasena, sarêng luwar saking samadi, rumaos mênawi dèrèng dumugi. Awit sawêg dumugi ênêng punika wau, dèrèng rumaos suhul, (sapatêmon, nunggil). Radèn Bratasena lajêng pamit dhatêng kadangipun sakawan, badhe anggêbyur ing sagantên, para kadang sami anggendholi botên suka. Têgêsipun Radèn Bratasena angambali samadi malih, badhe nekad pêjah salêbêting gêsang, angipatakên hawa napsu inggih punika nyirêp ubaling pôncadriya, aluamah, amarah, supiyah, mutmainah. Punika têgêsipun kadang sakawan. Radèn Wrêkodhara lajêng mangkat dipun iring ing bayubajra. Têgêsipun Radèn Wrêkodhara, lajêng mapan samadi malih. Angaringakên lampahing napas, inggih punika matitisakên daimipun, lampahing napas lajêng antêng gumêlêng pindha angin dumunung ing tulup, botên antawis dangu lajêng wiwit miyak warana, inggih punika Radèn Wrêkodhara dumugi têpining sagantên, sarta ningali wêwarnèn maneka warni, inggih punika sarining napsu kawan prakawis kasêbut ing nginggil, awujud cahya môncawarna. Radèn Wrêkodhara lajêng anggêbyur ing sagantên, [saga...] --- 50 --[...ntên,] têgêsipun lampahing napas saya kêncêng, sampun anglangkungi warana, ing ngriku dhatênging rancana ingkang sakalangkung agêng, mênawi botên santosa tekading sêdya, amêsthi badhar malih botên sagêd suhul. Inggih punika dhatênging naga agêng krura manaut lajêng anggubêt sariranipun Radèn Wrêkodhara, kêmput wiwit suku dumugi ing jôngga, lajêng dipun tuwêg ing pôncanaka, sang naga kaprawasa kuwônda ajur dados sarahing samodra. Inggih punika kêncênging napas wau kawawa angukut saliring rahsa, amahanani raosing sarira sakojur kraos marinding gumriming pating grêmêt kumlênyêr, kumêjot, tarkadhang sirah kraos anjêbobog, talingan mirêng swara gumrêbêg, dhag-dhug paningal pêtêng sumrêpêt, kados badhe sumaput, amahanani raos giris-miris, ajrih mênawi kalajêng pêjah. Mila mênawi sêdyanipun botên santosa, tekadipun botên katokidakên, sampun mêsthi sabar[16] samadinipun, dados garegah wungu kaliyan ngungun pungun-pungun, sarira gumêtêr, manah dhêg-dhêgan. Ananging mênawi salêbêtipun makatên wau katekadakên sayêktos, kalajêng pêjah inggih purun, raos sadaya wau botên dangu sirna, inggih punika têgêsipun naga kaprawasa ing pôncanaka, inggih [ing...] --- 51 --[...gih] sirnaning raos sadaya wau. Sasirnane nagaraja, Wrêkodhara dumugi têlênging samodra, kapanggih Sang Dewaruci, lajêng malêbêt ing guwa-garbanipun, ing ngriku Radèn Wrêkodhara lajêng aningali alam suwung awang-uwung, angalangut tanpa têpi, inggih punika sirnaning raos, amung kantun rumaos, nanging sampun botên ngraos gadhah raga, kantun gêsanging pangraos, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 266
lajêng rumaos aningali cahya warni-warni, ingkang sakalangkung anêngsêmakên, awujud urub wolung warni, utawi sanès-sanèsipun, sadaya wau sami dados rêncananing paningal, awit cahya sadaya wau inggih kakekating hawa napsu, manawi korup wontên ing ngriku saèstu dhumawah ing swarga panasaran. Sasirnaning para cahya wau, Wrêkodhara lajêng ngadhêp Dewaruci malih, lajêng dipun wêjang patitising sangkan-paran. Têgêsipun Arya Sêna malêbêt ing guwa-garbanipun Sang Dewaruci, inggih punika: salêbêting samadi, rasa pangrasa sampun sagêd manuksa ing atma jati, warôngka manjing curiga, raosipun amung nikmat lan mufangat, inggih punika luyuting samadi, têmbungipun Ngarab suhul, têgêsipun sapatêmon, utawi awor. Mila Sang Wrêkodhara sampun [sampu...] --- 52 --[...n] botên karsa wangsul dhatêng marcapada. Ananging Dewaruci botên marêngakên, menawi botên lawan antaka. Wrêkodhara lajêng byar aningali jagad gumêlar, sampun wontên têpining samodra, lajêng kondur dhatêng Ngamarta panggih kadang sakawan, sadaya sami suka-rêna. Têgêsipun sang samadi sampun luwar saking luyut, lajêng pulih angrasuk napsu sakawan, aluamah, amarah, supiyah, mutmainah. Ananging sang samadi sampun sênêng manahipun, dening sampun botên kasamaran dhatêng sangkan paraning dumados. Candranipun Arya Bratasena, dalah wardining busananipun, kados ing ngandhap punika. 1. Bratasena. Têgêsipun brata, lampah. Sena, putus. Dados Radèn Bratasena punika kenging dipun wardèni satriya putus ing lampah. Dene lampahipun: wiwit lair wontên salêbêting bêbungkus, luwar-luwar sarêng sampun diwasa. 2. Wrêkodhara. Têgêsipun wrêko, sagawon [saga...] --- 53 --[...won] ajak. Dhara, wêtêng. Wrêdinipun, padharanipun Arya Wrêkodhara ambangkèk kados wêtênging sagawon ajag. 3. Bima. Têgêsipun: agêng berawa, ngajrihi. Wêwukiranipun Arya Bratasena. Pasariran agêng inggil, sambada sarwa santosa. Kêkulitanipun jêne ngujwala, balengah-balengah. Netranipun ambêlalak, bêning sumorot, andik, nanging rêspati. Imbanipun agêng, cêmêng, ngêngrêng, nanging botên anjênggurêng. Godhèg gumbala, uwok simbar jaja, kados dipun tata, mila botên anggêgilani, malah mêrak-ati. Wiraganipun anggêgêm asta. Jêjêmpolanipun mawi kanaka panjang, lungit, dipun wastani pôncanaka, dados pamonahing satru sakti. Polatanipun Arya Bratasena: tajêm. Botên sumèh botên rêgu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 267
Arya Bratasena ngagêm gêlung mangkara, sinapit urang, andhap ngajêng inggil wingking. Têgêsipun mangkara, urang, murub. Mila winastan gêlung sinapit urang, wujudipun ambalêngkuk pindha [pi...] --- 54 --[...ndha] sapiting urang, namung kaot ingang[17] sisih agêng, ingkang sasisih alit, ingkang alit wontên ngajêng, ingkang agêng wontên wingking. Punika dados prasêmon pambakanipun[18] Arya Wrêkodhara, utawi ambêking satriya, lair batos kêdah makatên. Dene ingkang tumrap ing lair = sarengat, ambêking satriya punika kêdah andhap-asor, anor raga, nanging ing batos luhur, botên karsa dipun camah, dipun rèmèhakên. Mênawi dipun idak andêngangah,[19] ingkang ngidak dipun lawan kalihan santosa, mêdal ing margi lêrês, dumugi pêjah dipun têmah. Makatên pikajêngipun gêlung sinapit urang. Dene pradikanipun ing kabatosan = kakekatipun. Gêlung sinapit urang punika pralambang wujuding kawula Gusti, sami rupa warnanipun, rupa, urip, warna, warana. Ingkang agêng minôngka wujuding Gusti. Ingkang alit minongka kawula, saplak botên siwah sarambut: sarta sami tumungkulipun. Pikajêngipun, mênawi kawula punika tansah tumungkul ing Gusti, sumujud, ngadhêp, mantêp, ngidhêp (manêmbah) Gusti inggih tumungkul, pikajêngipun angudanèni, anêksèni, anambadani, sarta anikêli. Mila agêng alit. --- 55 --Bêbasanipun: manawi kawula punika majêngipun ing Gusti: satindak, Gusti amêthukakên majêng kalih tindak. Mila ingkang sumungkêm ing Gusti: sampun uwas sumêlang. Gusti botên kasamaran saobah-osiking kawula. Arya Bratasena ngagêm sêsumping rineka jaroting asêm. Jarot, têgêsipun: otot, utawi lajêr, asêm, rasa. Pikajêngipun: Arya Bratasena sampun uninga utawi mundhi lajêring: rasa. Uwiting rasa inggih punika: dat wajibu wujud. Arya Bratasena ngagêm cundhuk kancana mulya, rineka sêkaring pudhak, winastan pupuk mangkarawistha. Têgêsipun mangkara, urang, murub. Wistha, rêngla, wukir. Pikajênganipun rineka urub = cahya. Wrêdinipun: Radèn Bratasena, galihipun sampun padhang narawang, dening sampun botên kasamaran pamoring kawula Gusti. Arya Bratasena ngagêm gêlang côndrakirana. Côndra, têgêsipun: rêmbulan, kirana, sôrôting rêmbulan. Gêlang, têgêsipun: têpang. Wrêdinipun: rêmbulan punika dat, sorot punika sipat, inggih punika Radèn Bratasena, sampun sagêd nêpangakên sipat akalihan [aka...] --- 56 --[...lihan] dat. Dunungipun Arya Wrêkodhara, sampun uninga pamoring kawula Gusti. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 268
Arya Bratasena ngagêm nyamping polèng bang bintulu, polèng cêmêng, abrit, jêne, pêthak, lajêng kaplintir kacawêtakên. Wrêdinipun: Arya Bratasena, sampun sagêd ngukut napsu sakawan prakawis: nêpsu aluamah, amarah, supiyah, mutmainah. Arya Bratasena anggêgêm pôncanaka, wrêdinipun: Arya Sena sampun sagêd ngracut ubaling pôncadriya. Têlas samantên kemawon, kados sampun cêkap wrêdinipun Sêrat Dewaruci. Menawi badhe nguningani moncèripun amirsanana Sêrat Walisana. Ananging mênawi dèrèng jêmbar kawruhipun, dèrèng sagêd tampi, saking rungsitipun. Amila mênggahing ngèlmi kasidan, mênawi tansah kagêlar, kababar, saèstu ngèbêki jagad, badhe tanpa wêkas, aluwung tumuntên kagulung, kadadosakên samarica, lajêng kabubut, supadôs tanpa tilas, punika utami. Wêkasan layu kayapu. Tapaking kontul ngalayang. Tamat. 1. sumamburat. (kembali) 2. atanya. (kembali) 3. nampêki. (kembali) 4. Lebih satu suku kata: wus prapta ing jro garbane. (kembali) 5. kaèksi. (kembali) 6. amêpêki. (kembali) 7. Kurang satu suku kata: durgama kang munggwing jro ati. (kembali) 8. wêwolu. (kembali) 9. wastanipun. (kembali) 10. wolu. (kembali) 11. mèlu. (kembali) 12. Kurang satu suku kata: uriping suksma ingkang sanyata. (kembali) 13. warah. (kembali) 14. alit. (kembali) 15. Kurang satu suku kata: katampan badan nyata. (kembali) 16. cabar. (kembali) 17. ingkang. (kembali) 18. pambêkanipun. (kembali) 19. andêngangak. (kembali)
Kategori
Agama dan Kepercayaan Arsip dan Sejarah Bahasa dan Budaya Kisah, Cerita dan Kronikal Koran, Majalah dan Jurnal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 269
Referensi
Huruf Jawa Lambang Fonetis Penanggalan Jawa Singkatan dan Akronim
Copyright © 2011-13 Yayasan Sastra Lestari. All Rights Reserved.
commit to user