NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA WAYANG KULIT LAKON DEWA RUCI
SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh IMAM SETIAWAN NIM 111 11 098
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016
i
ii
iii
iv
v
MOTTO
“Barang siapa sudah mengenal dirinya maka ia sudah mengenal Tuhannya, dan barang siapa sudah mengenal Tuhannya maka ia sudah mengenal rahasia dirinya” (Hadits Qudsi)
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi Ini Penulis Persembahkan Untuk: Kedua orangtua penulis, Ayahanda Saprowi dan Ibunda Nuryati yang telah memberikan kasih sayang dan selalu mendo’akan dalam menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini dengan baik dan lancar. Mbah Kakung dan Mbah Putri, beserta adik tercinta Ananda Ana Wulan Juliyanti yang selalu mendo’akan dan memberikan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini. Semoga Allah swt selalu dan akan selalu melimpahkan rahmat, dan inayah-Nya, dan kucuran karunia kesehatan bagi keluarga penulis.
vii
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikumWr. Wb Puja dan puji marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang maha Esa sebagai ungkapan rasa syukur kepadaNya yang telah dan senantiasa melimpahkan hidayah dan inayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu persyaratan wajib untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Srata Satu Pendidikan Islam (S.Pd.I) Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Solawat serta salam marilah kita sanjungkan kepangkuan Baginda Rosulullah Muhammad SAW
yang mana beliau lah yang merupakan insan
pilihan Allah. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Olehkarenaitu, penulis ingin menyampaikan banyak terimakasih atas segala nasehat, bimbingan, dukungan, dan bantuannya kepada: 1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Bapak Suwardi, M. Pd selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga. 3. Ibu Siti Rukhayati, M. Ag selaku Kajur PAI IAIN Salatiga. 4. Bapak Drs. Juz’an, M. Hum selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan
bimbingan,
pengarahan,
dan
sumbangan
pemikiran
terbaiknya dalam masa bimbingan hingga selesainya penulisan skripsi ini.
viii
ix
ABSTRAK SETIAWAN, IMAM. 2016. 11111098. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Cerita Wayang Kulit Lakon Dewa Ruci. Pembimbing: Drs. Juz’an, M. Hum.
Kata Kunci: Nilai Pendidikan, Wayang Kulit, Lakon Dewa Ruci. Latar belakang penelitian ini melihat pendidikan yang terjadi di era globalisasi yang membawa arus modernisasi dalam perubahan dan kemajuan bangsa Indonesia. Sebagaimana dapat dilihat dari tingkah laku peserta didik yang meremehkan guru dalam proses pembelajaran. Guru menjadi panutan bagi peserta didik selama proses belajar mengajar. Menanggapi hal tersebut, kiranya perlu rumusan nilai-nilai pendidikan yang sesuai dengan konteks nilai pendidikan moral dan nilai pendidikan budi pekerti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kisah wayang kulit lakon Dewa Ruci, nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dan implementasinya dalam berbagai aspek pendidikan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian pustaka (Library Research), yang mencari dari sumber bacaan dan pustaka. Objek material dalam penelitian ini adalah nilai-nilai pendidikan moralitas dan budi pekerti dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci. Metode dalam penelitian ini menggunakan analisis konteks, yaitu membahas sekaligus sebagai kerangka berfikir untuk mengumpulkan data dan menyusun data yang telah terkumpul. Peneliti juga menggunakan metode deskriptif dan induktif, metode deskriptif yaitu peneliti menguraikan secara teratur konsepsi buku, sedangkan metode induktif yaitu menganalisa buku yang kemudian mengambil kesimpulan. Hasil dalam penelitian ini meliputi pengertian lakon Dewa Ruci, pertunjukan lakon Dewa Ruci, makna ajaran Dewa Ruci, serta nilai-nilai pendidikan moral dan nilai pendidikan budi pekerti, yaitu lebih giat menuntut ilmu dan bekerja keras, hidup rukun, jujur, ikhlas, taat kepada guru, teguh dalam pendirian, dan mempunyai sikap hormat, dan kesabaran. Harapan itu dapat terjadi apabila dalam proses pendidikan didasari dengan nilai-nilai pendidikan yang benar dan mulia. Salah satu alternatifnya ialah merujuk pada nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci.
x
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR BERLOGO ..................................................................................... i HALAMAN JUDUL........................................................................................ ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iii PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN........................................................ v MOTTO............................................................................................................ vi PERSEMBAHAN ............................................................................................ vii KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii ABSTRAK ....................................................................................................... x DAFTAR ISI .................................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Fokus Penelitian ................................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 5 D. Kegunaan Penelitian............................................................................. 6 E. Penegasan Istilah .................................................................................. 6 F. Kajian Pustaka ...................................................................................... 8 G. Metode Penelitian................................................................................. 10 H. Sistematika Penulisan........................................................................... 13
xi
BAB II LANDASAN TEORI A. Wayang Kulit 1. Pertunjukan Wayang Kulit ............................................................. 15 2. Lakon Wayang Kulit Purwa ........................................................... 20 3. Unsur-unsur Wayang Kulit Purwa ................................................. 22 4. Gendhing (suluk) dalam Wayang Kulit ......................................... 26 5. Pagelaran Wayang Kulit Purwa ..................................................... 29 B. Pendidikan 1. Pengertian Pendidikan .................................................................... 32 2. Unsur-unsur Pendidikan ................................................................. 33 3. Tujuan Pendidikan.......................................................................... 35 4. Macam-macam Nilai Pendidikan ................................................... 37 5. Wayang dengan Pendidikan ........................................................... 41 BAB III HASIL PENELITIAN A. Pengertian Lakon Dewa Ruci............................................................... 47 B. Pertunjukan Lakon Dewa Ruci ............................................................ 48 C. Makna Ajaran Dewa Ruci .................................................................... 61 BAB IV PEMBAHASAN A. Kisah Wayang Kulit Lakon Dewa Ruci ............................................... 68 B. Nilai-nilai Pendidikan Cerita Wayang Kulit Lakon Dewa Ruci .......... 69 C. Implementasi Nilai-nilai Cerita Wayang Kulit Lakon Dewa Ruci dalam Pendidikan ............................................................................................ 76
xii
BAB V PENUTUTP A. Kesimpulan .......................................................................................... 82 B. Saran..................................................................................................... 83 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi ini, arus modernisasi membawa perubahan dan kemajuan yang berarti bagi bangsa Indonesia. Arus modernisasi dapat memberikan kemudahan dalam kehidupan bangsa Indonesia dalam satu sisi. Pada sisi lainnya arus modernisasi dapat mengubah jati diri bangsa Indonesia jika salah menyikapinya. Indonesia yang kaya akan keragaman budaya dapat dijadikan sebagai alat untuk menegaskan kepribadian bangsa Indonesia. Salah satu unsur yang dapat menjadi identitas jati dan diri kebudayaan bangsa Indonesia adalah kesenian, terutama kesenian wayang kulit yang menjadi kesenian asli bangsa Indonesia itu sendiri dan menjadi salah satu kebanggan bagi bangsa Indonesia hingga ke Mancanegara. Budaya wayang merupakan salah satu kesenian tradisional Nusantara yang sampai sekarang masih menghirup hembuskan nafas kehidupannya, terutama di wilayah Jawa, Bali, dan Sunda. budaya asli bangsa Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Di Jawa, seni wayang memiliki berbagai genre, antara lain wayang golek, wayang beber, wayang wong, wayang klitik, dan wayang kulit. Berdasarkan ceritanya, wayang kulit masih dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain wayang kancil, wayang wahyu, dan wayang purwa (Achmad S.W, 2014:12).
1
Wayang adalah salah satu seni budaya bangsa asli Indonesia yang menonjol di antara berbagai karya budaya lainnya. Wayang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali. Selain di Pulau Jawa dan Bali, seni pertunjukan wayang juga populer di berbagai daerah seperti Sunda, Sumatera, dan Semenanjung Malaya. Budaya wayang meliputi berbagai seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan lain-lain. Wayang juga merupakan salah satu bentuk seni budaya klasik tradisional yang telah berkembang selama berabad-abad. Budaya wayang yang terus berkembang dari zaman ke zaman juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Dalam perkembangannya wayang kulit lebih populer, karena wayang kulit mengandung banyak ajaran mulia, kesenian pertunjukan wayang kulit masih dipertahankan dan dilestarikan dalam masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa masih membutuhkan pesan-pesan atau nilai-nilai moral dalam cerita wayang kulit. Wayang merupakan tontonan sekaligus tuntunan. Tontonan, mengarahkan pada fungsi paedagogis (pendidikan), sedangkan tuntunan merujuk pada arah sebagai sosok karya seni yang mengandung nilai estetis (keindahan). Wayang diturunkan oleh para leluhur secara turun temurun kepada anak cucu mereka secara tradisional, wayang merupakan gambaran kehidupan manusia di dunia yang mengandung dua sifat yaitu, ada sifat baik dan sifat buruk. Sebagai contoh, wayang yang memiliki sifat baik adalah Kesatria Pandawa (dalam cerita Mahabarata).
2
Oleh karena itu, wayang oleh para leluhur Jawa diharapkan tidak saja menjadi tontonan, tetapi juga bias menjadi tuntunan manusia dalam berperilaku (Rahardjo, 2010:113). Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia. Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) dalam pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benarbenar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan. Pada umumnya, masyarakat Jawa menggambarkan Punakawan sebagai “orang kecil” (kelas bawah), sedangkan yang menjadi majikannya adalah seorang bangsawan atau priayi (Rahardjo, 2010:114). Dalam setiap pagelaran kesenian wayang kulit, cerita wayang selalu berusaha memberikan jawaban mendasar atas berbagai problematika yang terjadi pada kehidupan pribadi maupun umum. Dalam kehidupan pribadi, cerita
3
wayang kulit memberikan jawaban berupa budi pekerti yang tidak hanya bersifat normatif, melainkan aplikatif karena disampaikan dengan contohcontoh dalam pagelaran kesenian wayang, bukan indoktrinatif (gagasan) melainkan edukatif (mendidik) (Solichin, 2011:12). Pagelaran wayang selalu senantiasa mengandung berbagai nilai kehidupan luhur yang dalam setiap cerita lakonnya selalu memenangkan kebaikan dan mengalahkan keburukan. Hal itu menunjukkan bahwa dalam kehidupan suatu perbuatan baik yang akan menang dan perbuatan buruk akan selalu kalah. Begitu besarnya peran pagelaran wayang dalam kehidupan umat manusia, itu menunjukkan bahwa wayang kulit tidak hanya menjadi media, tetapi wayang kulit merupakan salah satu identitas jati diri manusia dalam melakukan perbuatan sehari-hari dalam kehidupan. Berangkat dari beberapa pandangan diatas, penulis hendak meneliti tentang nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci. Sesungguhnya bagaimana kisah wayang kulit lakon Dewa ruci, apa saja nilainilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci, serta apa implementasi dari nilai-nilai tersebut dalam pendidikan. Berbagai nilai yang terdapat dalam cerita wayang kulit dengan lakon Dewa Ruci akan memberikan sumbangan dalam proses pendidikan. Cerita wayang kulit yang telah menunjukkan eksistensinya dalam menghadapi berbagai keadaan zaman, memberikan sumbangan dalam keberhasilan penyiaran agama, sehingga berbagai aspek yang terdapat dalam cerita wayang kulit dapat dikaitkan dengan proses pendidikan.
4
Dalam cerita lakon Dewa Ruci terdapat berbagai aspek pendidikan, karena dalam cerita lakon Dewa Ruci terdapat wejangan yang dapat mengobarkan jiwa untuk menuntut ilmu, berbuat sesuai dengan nilai atau norma yang berlaku, dan menjadi cerita yang memuat ajaran moralitas dan budi pekerti yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada, serta memberikan kontribusi yang bermanfaat dalam pendidikan, sehingga menarik untuk dikaji nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci. Berdasarkan persoalan tersebut maka penulis tergerak untuk mengajukan penelitian berjudul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA WAYANG KULIT LAKON DEWA RUCI”. B. Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti mendapatkan beberapa fokus masalah, diantaranya sebagai berikut: 1.
Bagaimana kisah wayang kulit lakon Dewa Ruci ?
2.
Apa nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci ?
3.
Bagaimana implementasi nilai-nilai cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dalam pendidikan ?
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan fokus penelitian di atas, adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui kisah wayang kulit lakon Dewa Ruci.
2.
Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci.
5
3.
Untuk mengetahui dan memahami penerapan dari nilai-nilai cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dalam pendidikan.
D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memiliki kegunaan baik untuk peneliti sendiri maupun untuk masyarakat Jawa khususnya. Secara lebih rinci kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Kegunaan Teoritis Secara teoritis keilmuan, hasil dari penilitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi dan pengetahuan melalui seni budaya wayang kulit, utamanya adalah membentuk jati diri manusia yang baik melalui nilai-nilai pendidikan. 2.
Kegunaan Praktis Secara Praktis keilmuan, penelitian ini diharapakan dapat menjadi acuan
pada proses pembelajaran dan dapat memberi wawasan bagi masyarakat mengenai seni budaya wayang kulit. E. Penegasan Istilah 1.
Nilai Nilai juga diartikan kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat
disukai, diinginkan, berguna, dihargai dan dapat menjadi objek kepentingan (Sjarkawi, 2009:29). Nilai merupakan sifat atau hal-hal yang penting bagi kemanusiaan.
6
2.
Pendidikan Pendidikan menurut Hamalik (2003:79), didefinisikan sebagai proses
pengubahan tingkah laku seseorang melalui serangkaian proses. Secara umum pendidikan adalah usaha untuk membantu seseorang yang belum dewasa mencapai kedewasaan melalui serangkaian proses. 3.
Cerita Cerita adalah serangkaian peristiwa yang disampaikan, baik berasal dari
kejadian nyata (non fiksi) ataupun tidak nyata (fiksi). Pengertian cerita dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2007:210), a) tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal atau peristiwa; b) karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, atau penderitaan orang (baik sungguh-sungguh terjadi maupun rekaan belaka); c) lakon yang diwujudkan atau di pertunjukkan di gambar hidup (sandiwara, wayang, dan sebagainya); d) omong kosong; dongengan (yang tidak benar). 4.
Wayang Kulit Kata “wayang” berasal dari bahasa Jawa, yaitu “wewayang”, yang artinya
bayangan atau bayang-bayang (Poerwadarminta, 1976:745). Wayang Kulit biasanya disebut Wayang Purwa adalah gambar atau tiruan orang dan sebagainya untuk pertunjukan suatu lakon. 5.
Dewa Ruci Dewa Ruci adalah nama seorang Dewa Kerdil (mini) yang dijumpai oleh
Bima atau Werkudara dalam sebuah perjalanan mencari air kehidupan (Yudhi, 2012:71). Nama Dewa Ruci kemudian diadobsi diangkat menjadi lakon atau
7
judul pertunjukan wayang, yang berisi ajaran atau falsafah hidup moral orang Jawa. F. Kajian Pustaka Wayang merupakan salah satu kesenian tradisi dari bangsa Indonesia yang sampai sekarang masih ada dan dilestarikan. Dalam setiap pementasan wayang, seorang dalang pasti menyelipkan pesan-pesan moral atau pendidikan kepada penonton yang terwujud dalam setiap alur ceritanya. Salah satu cerita pewayangan yang cukup terkenal dan memiliki pesan moral adalah cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci. Menurut Pujo Prayitno (1962) dalam terjemahan bebas serat Dewa Ruci Kidung Macapat yang bersumber dari Serat Dewa Ruci Kidung gubahan Pujangga Surakarta. Beberapa waktu kemudian-pada pergantian abad ke-1819-di lingkungan Keraton Surakarta, tampil pujangga Raden Ngabehi Yosodipuro I (1792-1803). Banyak karya sastra disebut-sebut sebagai gubahan atau tulisan Yosodipuro I. Serat Dewa Ruci memuat kisah Bima yang atas perintah Durna mencari air suci (tirta pawitra sari) dan akhirnya berjumpa dengan Dewaruci. Dalam wejangan Dewaruci kepada Bima termuat ajaran tentang hakikat diri manusia. Lakon Dewaruci menampilkan pencarian manusia sampai menemukan dirinya yang sejati. Penemuan diri yang sejati ini merupakan modal untuk melaksanakan tugas di tengah masyarakat. Yudhi AW dalam bukunya Serat Dewa Ruci Pokok Ajaran Tasawuf Jawa (2012), membahas naskah Dewa Ruci antara pengarang, naskah, hipogram, dan naskah transformasi. Dalam analisinya dijelaskan Serat Dewa Ruci Tulisan
8
Yasadipura I dan naskah-naskah transformasinya. Buku ini memperkaya penelitian ini terutama dalam analisis mengenai kandungan isi dalam pertunjukan wayang. Iman Budhi Santosa dalam bukunya yang berjudul Saripati Ajaran Hidup Dahsyat
dari
Jagad
Wayang
(2011),
wayang kulit
dipakai
untuk
memperagakan lakon-lakon yang bersumber dari epos Mahabarata dan Ramayana, oleh karena itu disebut juga Wayang Purwa. Sampai sekarang pertunjukan wayang kulit disamping merupakan sarana hiburan juga merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara
adat. Narasinya
menggunakan bahasa lokal. Dalam buku ensiklopedia karakter tokoh-tokoh wayang, menyingkap nilainilai adiluhung dibalik karakter wayang karya Sri Wintala Achmad (2014) menjelaskan, Bima merupakan tokoh protagonis dalam pewayangan cerita lakon Dewa Ruci yang memiliki ciri fisik tinggi, besar, dan kokoh. Bima tidak dapat menyembah dan menggunakan bahasa yang halus kepada seorang yang pantas dihormati, namun ia memiliki sifat-sifat positif yang melekat di dalam dirinya. Buku lain yang menunjang adalah tulisan Bambang Murtiyoso (2004) tentang Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Buku ini merupakan buku penunjang tulisan Soetarno dan Nayawirangka karena dalam buku ini dipaparkan unsur-unsur garap pakeliran secara lengkap sesuai perkembangan saat ini. Tulisan ini berguna untuk menganalisis jenis dan fungsi
9
janturan, pocapan, ginem, dhodhogan-keprakan, sulukan, dan gending iringan yang telah mengalami perkembangan dari buku Nayawirangka. G. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian memerlukan pendekatan yang tepat untuk memperoleh data yang akurat. Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), langkah awal dalam penelitian ini adalah dimulai dengan studi pustaka mengenai lakon Dewa Ruci. Penulis secara khusus mencari referensi yang bersinggungan dengan lakon Dewa Ruci, struktur lakon, jalinan unsur-unsur pakeliran, estetika pedalangan, pesan-pesan dalam pakeliran baik yang sudah diterbitkan maupun yang belum diterbitkan. Sumber-sumber pustaka sebagai data tertulis ini berupa buku-buku, laporan penelitian, dan naskah. Mengenai dilakukannya studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh keabsahan bagi suatu penelitian. 2. Sumber Data Sumber Data yang dipakai dalam penelitian ini ada dua, yaitu: a) Sumber Data Primer Sumber data yang dibuat oleh individu untuk mengungkapkan karya penelitiannya secara otentik dan orisinil, bersumber dari terjemahan bebas serat Dewa Ruci kidung macapat karya Pujo Prayitno (1962) yang menjelaskan tentang cerita lakon Dewa Ruci.
10
b) Sumber Data Sekunder Sumber data dari pengumpulan informasi atau data yang diperoleh dari buku-buku dan tulisan dari displin ilmu yang berkaitan, yaitu buku tentang wayang kulit, filsafat, dan kebudayaan Jawa dalam upaya membangun keselarasan dan website tentang nilai-nilai pendidikan dalam wayang kulit. 3. Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah peneliti melakukan pengamatan secara langsung dengan membaca dan menelaah dari beberapa referensi buku dan sumber pustaka tentang seni kebudayaan wayang, serta mencari data yang sesuai dengan hal-hal atau variabel dengan keterangan yang jelas dan memadai dengan isi buku. 4. Analisis Data Berdasarkan hasil pengumpulan data, selanjutnya peneliti akan melakukan analisa dan pembahasan secara deskriptif tentang nilai yang terkandung dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci. Dengan demikian, data yang diperoleh disusun sedemikian rupa sehingga dikupas secara runtut. Dalam hal ini, penelitian mempelajari suatu masalah yang ingin diteliti secara mendasar dan mendalam. Metode yang digunakan untuk membahas dan sekaligus sebagai kerangka berfikir pada penelitian ini adalah analisis konteks, yaitu suatu usaha untuk mengumpulkan data dan menyusun data yang telah terkumpul, digunakan metode:
11
a) Metode deskriptif, yaitu peneliti menguraikan secara teratur konsepsi buku. b) Metode induktif, yaitu dengan analisa isi buku, maka penulis mengambil kesimpulan atau generalisai dengan metode induksi. 5. Tahap-tahap Penelitian Tahap-tahap penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut: a. Tahap pra lapangan 1) Mengajukan judul penelitian 2) Menyusun proposal penelitian 3) Konsultasi penelitian kepada pembimbing b. Tahap analisis data, meliputi kegiatan: 1) Penemuan hal-hal yang penting dari data penelitian c. Tahap penulisan laporan penelitian: 1) Penulisan hasil penelitian 2) Konsultasi hasil penelitian kepada pembimbing 3) Perbaikan hasil konsultasi 4) Pengurusan kelengkapan persyaratan ujian 5) Ujian munaqosah skripsi
12
H. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan dalam penyusunan skripsi ini dipakai sebagai aturan yang saling terkait dan saling melengkapi. Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut: 1. Bagian Awal Berisi mengenai halaman judul, halaman persetujuan pembimbing, halaman pengesahan kelulusan, halaman pernyataan keaslian tulisan, halaman motto dan persembahan, kata pengantar, abstrak dan daftar isi. 2. Bagian Isi Bagian ini terdiri dari beberapa bab, antara lain sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II: LANDASAN TEORI Bab II merupakan landasan teori dari penelitian. Pada bagian ini dikemukakan teori-teori yang telah diuji kebenarannya yang berkaitan dengan obyek formal penelitian, seperti wayang kulit purwa, meliputi tinjauan tentang pertunjukan wayang kulit purwa, lakon wayang kulit purwa, kelengkapan wayang kulit purwa, pagelaran wayang kulit purwa, dan tinjauan hubungan wayang dengan pendidikan.
13
BAB III: HASIL PENELITIAN Bab III merupakan hasil penelitian, dalam bab ini diuraikan tentang pengertian lakon Dewa Ruci dan cerita lakon Dewa Ruci, pertunjukan lakon Dewa Ruci, serta makna ajaran Dewa Ruci. BAB IV: PEMBAHASAN Bab IV merupakan pembahasan yang meliputi kisah wayang kulit lakon Dewa Ruci, nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci, dan implementasi nilai-nilai cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dalam pendidikan. BAB V: PENUTUP Bab V merupakan kajian akhir dari skripsi atau penutup yang meliputi kesimpulan dan saran. 3. Bagian Akhir Pada bagian akhir memuat:daftar pustaka, lampiran-lampiran, serta daftar riwayat hidup yang dapat mendukung laporan penelitian ini.
14
BAB II LANDASAN TEORI A. Wayang Kulit 1. Pertunjukan Wayang Kulit Wayang kulit adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang sangat populer dan disenangi oleh berbagai kalangan atau lapisan masyarakat di Jawa khususnya. Sesuai dengan namanya, wayang kulit terbuat dari kulit binatang (kerbau, lembu, atau kambing), kemudian diwarnai. Wayang kulit merupakan seni tradisional yang berkembang di Indonesia terutama di pulau Jawa. Warisan kebudayaan wayang merupakan warisan yang adi luhung (berharga), edi peni (baik), dan penuh makna bagi kehidupan yang diajarkan pada setiap pertunjukannya. Menurut
Santosa
(2011:12-13),
wayang
kulit
dipakai
untuk
memperagakan lakon-lakon yang bersumber dari epos Mahabarata dan Ramayana, oleh karena itu disebut juga Wayang Purwa. Sampai sekarang pertunjukan wayang kulit disamping merupakan sarana hiburan juga merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara adat. Narasinya menggunakan bahasa lokal: Jawa, Bali, Banyumasan, Madura, atau Betawi, sesuai lokasi pagelaran. Setiap pertunjukkan wayang diiringi oleh gamelan dan tembang. Di Jawa, penabuh gamelan disebut wiyaga atau pengrawit. Jumlah mereka biasanya sekitar 18 orang, pelantun tembangnya terdiri dari beberapa perempuan (waranggana) dan beberapa lelaki yang disebut pradangga (wiraswara). Pagelaran wayang kulit atau wayang purwa di
15
Jawa biasanya dimulai pada pukul 21.00 hingga pukul 04.00 dini hari (menjelang subuh). Waktu pementasan tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu, phatet nem, phatet sanga, phatet manyura. Makna pembagian waktu tersebut menggambarkan kelahiran, pertumbuhan, dan kematian. Semua itu merupakan lambang perputaran hidup manusia dalam pandangan mistik di Jawa. Sisi menarik dari pertunjukkan wayang purwa adalah pesan moral, etika, dan sikap hidup (budi pekerti) yang terdapat dalam setiap lakon yang digelar. Selain itu, aspek kemampuan dalang serta adegan goro-goro yang menampilkan humor punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) juga merupakan salah satu kekuatan wayang purwa, untuk meraih simpati masyarakat yang terus berubah dari zaman ke zaman. Awal mula bentuk wayang kulit purwa pertama kali adalah pada masa Raja Jayabaya di Kerajaan Kediri tahun 1135 Masehi. Saat itu, Raja Jayabaya ingin menggambarkan bentuk para leluhurnya dengan lukisan di daun lontar. Menurut Hazeu, cerita wayang sudah ada sejak zaman Raja Airlangga di Kerajaan Kahuripan di permulaan abad ke-11 Masehi. Pada saat itu, Raja Airlangga memiliki seorang raja kesusasteraan hebat, yaitu Empu Kanwa. Galigi merupakan salah satu tokoh dalam pewayangan, ia biasanya membawakan sebuah cerita tentang Bima, seorang Ksatria dari kisah Mahabharata. Penampilan yang dibawakan oleh Galigi tercatat dalam kakawin Arjunawiwaha yang dibuat oleh Empu Kanwa pada tahun 1135 yang mendiskripsikannya sebagai seorang yang cepat, dan hanya berjarak satu wayang dari Jagatkarana. Kata jagatkarana merupakan sebuah
16
ungkapan
untuk
membandingkan
kehidupan
nyata
dengan
dunia
perwayangan, dimana Jagatkarana yang berarti penggerak dunia atau dalang terbesar hanyalah berjarak satu layar dari kita (Kresna, 2012:31). Menurut buku-buku Jawa seperti Serat Centhini dan Sastramiruda, dijelaskan bahwa wayang purwa sudah ada sejak zaman Prabu Jayabaya yang memerintah Kerajaan Mamenang tahun 989 Masehi, di mana wayang telah digambarkan diatas daun lontar. Wayang pada masa itu masih erat sekali kaitannya dengan fungsi religius, yaitu untuk menyembah atau memperingati para leluhur dan raja-raja yang telah meninggal dunia. Selanjutnya, pada zaman Prabu Suryahamiluhur yang memerintah Kerjaan Jenggala tahun 1244 Masehi, wayang purwa sudah dibuat di atas kertas Jawa (kulit kayu) dimana sisinya dijepit dengan kayu agar dapat tergulung rapi. Perkembangan selanjutnya pada zaman
Raja Brawijaya yang
memerintah Kerajaan Majapahit tahun 1379 Masehi, di mana wayang purwa telah dilukis berbagai warna dengan lebih rapi, lengkap, dengan pakaian yang kemudian disebut sebagai wayang sunggingan. Berlanjut ketika Raden Patah di Demak tahun 1515 Masehi, wayang purwa disempurnakan lebih baik lagi agar tidak bertentangan dengan agama (Soetarno, 2007:9). Dari beberapa penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa asal kelahiran wayang kulit purwa itu berada di Jawa. Wayang dari zaman ke zaman selalu mengalami perkembangan dan perubahan baik yang berupa bentuk, teknik permainanya, rincian, maupun jenisnya. Walaupun
17
mengalami perkembangan dan perubahan akan tetapi wayang kulit tetap eksis dalam setiap pertunjukannya. Wayang kulit digunakan dalam pementasan untuk memperagakan lakon-lakon yang bersumber dari epos Mahabarata dan Ramayana. Wayang kulit purwa menceritakan lakonlakon yang dimainkan oleh pedalang. Wayang kulit mempunyai berbagai unsur yang dapat mendukung setiap pagelaran wayang kulit, anatara lain dalang, wiyaga, gamelan, dan unsur-unsur lain. Dalam cerita tersebut terdapat ajaran-ajaran mulia seperti pesan moral, etika, dan sikap hidup (budi pekerti) yang dapat dijadikan gambaran hidup manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Wayang kulit juga bisa dijadikan acuan dalam proses pendidikan, karena nilai-nilai yang terkandung didalamnya mengandung berbagai ajaran yang mulia. Sumber lain menjelaskan, dalam pertunjukan wayang kulit purwa jumlah adegan dalam satu lakon tidak dapat ditentukan. Jumlah adegan ini akan berbeda-beda berdasarkan lakon yang dipertunjukkan atau tergantung dalangnya. Sebagai pra-tontonan adalah tetabuhan yang tidak ada hubungannya dengan cerita pokok, jadi hanya bersifat sebagai penghangat suasana saja atau pengantar untuk masuk ke pertunjukan yang sebenarnya. Sebagai pedoman dalam menyajikan pertunjukan wayang kulit biasanya seorang dalang akan menggunakan pakem pedalangan berupa buku pedalangan. Namun ada juga dalang yang menggunakan catatan dari dalang-dalang tua yang pengetahuannya diperoleh lewat keturunan. Meskipun demikian, seorang dalang diberi kesempatan pula untuk
18
berimprovisasi, karena pakem pedalangan tersebut sebenarnya hanya berisi inti cerita pokok saja. Untuk lebih menghidupkan suasana dan membuat pertunjukan menjadi lebih menarik, improvisasi serta kreativitas dalang ini memegang peranan yang amat penting. Warna rias wajah pada wayang kulit mempunyai arti simbolis, akan tetapi tidak ada ketentuan umum di sini. Warna rias merah untuk wajah misalnya, sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tokoh Setyaki yang memiliki warna rias muka merah bukanlah tokoh angkara murka. Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan oleh warna rias muka saja, tetapi juga ditentukan oleh unsur lain, seperti misalnya bentuk (patron) wayang itu sendiri. Perbedaan warna muka wayang ini tidak akan diketahui oleh penonton yang melihat pertunjukan dari belakang layar. Alat penerangan yang dipakai dalam pertunjukan wayang kulit dari dahulu sampai sekarang telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan teknologi. Dalam bentuk aslinya alat penerangan yang dipakai pada pertunjukan wayang kulit adalah blencong, kemudian berkembang menjadi lampu minyak tanah (keceran),
sekarang
banyak
yang
menggunakan
lampu
listrik
(https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_Purwa.html, diakses tanggal 12 Oktober 2015). Dari pemahaman tersebut dapat ditegaskan bahwa, wayang kulit purwa setiap tokoh yang dimainkan memiliki karakter yang berbeda-beda. Pertunjukan wayang kulit purwa memiliki tujuan tidak hanya sebagai tontonan (hiburan), namun wayang kulit purwa juga sebagai tuntutan
19
(pembelajaran) bagi
setiap penonton. Dengan demikian, sesudah
menyaksikan pertunjukan wayang kulit purwa seorang penonton yang arif akan meneladani tingkah laku atau karakter dari setiap tokoh wayang yang dimainkan dengan karakter yang baik. Akhir-akhir ini para pedalang memberikan perubahan pada bentuk wayang dengan bentuk yang berbagai macam untuk menambah meriahnya pertunjukkan wayang, ada yang membuat wayang dengan tokoh pahlawan, tokoh-tokoh nasional, dan kartun anak-anak. Akan tetapi, semua itu tidak mengurangi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang mengandung banyak ajaran mulia yang dapat dijadikan pedoman bagi kehidupan manusia. Dengan demikian, pertunjukan wayang kulit dapat dijadikan pedoman hidup bagi manusia dan menjadi sarana untuk memberikan nilai-nilai pendidikan moral dan etika (budi pekerti) yang menyenangkan, karena suasananya menghibur penonton. Selain memperoleh hiburan dengan seni yang dimainkan oleh dalang dengan wayang kulit serta lagu-lagu iringan oleh para sinden atau penyanyi lagu-lagu yang mengiringi kisah cerita dalam pertunjukan wayang, penonton juga mendapatkan pendidikan moral dan budi pekerti. 2. Lakon Wayang Kulit Purwa Pertunjukan wayang kulit purwa lazim disebut pakeliran adalah salah satu cabang seni pertunjukkan tradisional bermedium ganda yang perwujudannya merupakan jalinan berbagai unsur, salah satunya adalah
20
lakon. Jika orang melihat sebuah pertunjukkan wayang, sebenarnya yang dilihat adalah pertunjukkan lakon. Dengan demikian kedudukan lakon didalam pakeliran sangat vital sifatnya. Melalui garapan lakon akan terungkap nilai-nilai kemanusiaan yang dapat memperkaya pengalaman kejiwaan. Istilah lakon ternyata mengandung cakupan pengertian yang cukup luas. Dikalangan pedalangan pengertian lakon sangat melekat dari konteks pembicaraanya. Lakon dapat diartikan alur cerita, hal ini tampak pada ungkapan bahasa Jawa yang berbunyi “lakone kepriye, lakone opo, lan lakone sopo?”. Dari ungkapan pertama menunjukkan bahwa lakon diartikan sebagai jalan cerita, kemudian dari ungkapan kedua berarti judul cerita, sedangkan ungkapan terakhir diartikan sebagai tokoh utama dalam cerita (Kuwato, 1990:6). Menurut Soetarno (1995:31-37), lakon wayang menurut jenisnya dapat dibagi menjadi beberapa golongan, antara lain: a. Lakon Tragedi Lakon tragedi adalah jenis lakon yang menceritakan perang besar antara kedua tokoh sehingga dalam peristiwa itu timbul banyak korban. Contoh: Perang Bharatyudha yaitu perang antara pandawa dan kurawa. b. Lakon Raben atau Alap-alapan Lakon raben adalah lakon yang menceritakan perkawinan antara seorang putri raja dengan pangeran atau kesatria. Lakon perkawinan ini biasanya diawali dengan percintaan calon mempelai wanita mengenai suatu yang disebut bebama atau permintaan. Contoh: Parta karma,
21
Alap-alap Rukmini. c. Lakon Lahiran (kelahiran) Lakon jenis ini adalah menceritakan kelahiran tokoh wayang tertentu yang mempunyai karakter baik atau tokoh yang baik. Contoh: Kelahiran Gatutkaca. d. Lakon Kraman Lakon kraman adalah lakon yang menceritakan ketidakpuasan tokoh tertentu terhadap raja yang sedang berkuasa dengan kata lain pemberontakan untuk menjatuhkan penguasa. Contoh: Kangsa adu jago. e. Lakon Wahyu Lakon wahyu adalah lakon yang menceritakan tokoh-tokoh tertentu yang mendapat anugerah berupa wahyu dari dewa atas jasa-jasanya. Contoh: Wahyu Cakraningrat. f.
Lakon Lebet atau Kasepuhan (mistik) Lakon ini berisi mengenai ajaran atau falsafah hidup atau ilmu kesempurnan hidup. Contoh: Dewa Ruci atau Bima Suci. Jadi, penulis menyimpulkan bahwa lakon wayang kulit purwa adalah perjalanan cerita wayang atau rentetan peristiwa wayang. Perjalanan cerita wayang ini berhubungan erat dengan tokoh-tokoh yang ditampilkan sebagai pelaku dalam pertunjukkan sebuah lakon. Unit adegan yang satu dengan lainnya saling terkait baik langsung maupun tidak langsung membentuk satu sistem yang disebut lakon. Setiap pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda. Ragam
22
lakon terbagi menjadi beberapa bagian yang masing-masing mempunyai alur cerita sendiri. 3. Unsur-Unsur dalam Wayang Kulit Purwa Dalam pertunjukan seni wayang kulit purwa, dari setiap unsur pertunjukan wayang kulit purwa memiliki makna simbolik. Berikut ini adalah makna simbolik dari setiap unsur dalam pertunjukan wayang: a. Dalang yaitu orang yang memainkan wayang. Dalang bertugas sebagai pemimpin pertunjukan. Dalang adalah orang yang hanya sekedar menjalankan cerita-cerita (lakon) wayang yang telah ada sebelumnya. Meskipun demikian, dalang harus memahami betul pakem gamelan, karakter
wayang,
cengkok
tembang,
pribadi
masing-masing
waranggana dan wiyaga. Dalang menjadi pembawa cerita, sekaligus pemimpin atau komando bagi seluruh tim yang bersama-sama menjalankan pementasan “sandiwara kehidupan” wayang. Kekompakan terjadi bilamana para waranggana, wiyaga, dan asisten dalang memahami secara persis bagaimana jalan cerita lakon, menghayatinya serta bagaimana keinginan-keinginan Ki Dalang selama melakonkan wayang. Dalang ibarat pemuka agama, tokoh masyarakat, koordinator paguyuban dan perkumpulan, sesepuh desa, pemuka adat, pemimpin spiritual, yang hanya sekedar menjalankan hukum kodrat Tuhan, hukum alam, nilai-nilai tradisi dan budaya yang telah ada sebelumnya untuk mendasari lakon kehidupan di mercapada, sejak bumi ini ada. Siapapun
23
boleh dan bisa menjadi dalang, tidak pandang derajat, pangkat, maupun golongan. Maknanya, setiap orang boleh dan bisa menjadi ahli spiritual, pemuka adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dst. Setiap manusia berhak menjadi khalifah di mercapada. Tak perlu menunggu disuruhsuruh Tuhan. Syaratnya hanyalah memahami akan nilai kesejatian kebenaran, memiliki banyak ilmu pengetahuannya, serta mampu mengendalikan diri agar menjadi manusia yang arif, berwibawa, bijaksana, adil dan paling penting adalah bersedia berbuat kebaikan pada sesama tanpa pandang apa sukunya, apa agamanya, apa budayanya, dari mana asalnya, siapa namanya, apa jabatannya. Dalang menjadi jalma manungsa kang hambeg utama, sadrema netepi titahing Gusti. Umpama manusia-manusia suci penegak keadilan dan kebenaran di muka bumi, yang hanya menetapkan segala tindakannya sesuai lakon dalam kodrat Hyang Widhi. b. Nayaga atau pengrawit merupakan istilah dalam pewayangan, yaitu sekelompok orang yang memiliki keahlian khusus menabuh gamelan. c. Sinden/ Swarawati yaitu orang yang bertugas seperti penyanyi. Di era modern ini sinden mendapatkan tempat atau posisi yang hamper sama dengan penyanyi campursari, bahkan sinden juga harus menjaga penampilan dengan berpakaian rapid an menarik. d. Pelawak yaitu orang yang melucu dalam pertunjukan wayang, pelawak juga termasuk tambahan dalam pertunjukan wayang. Sekarang dalam setiap pertunjukan wayang pelawak rata-rata ditampilkan, karena
24
pelawak memiliki fungsi yaitu menghibur para penonton. e. Wayang yaitu boneka tiruan orang yang terbuat dari kulit binatang yang dimainkan oleh seorang dalang. Melalui seorang dalang, wayangwayang tersebut dimainkan dengan latar belakang kelir di panggung kehidupan. Wayang dimaknai sebagai bayangan yang ditangkap oleh penonton dari belakang kelir. Namun dalam perkembangannya, pertunjukan wayang ketika dimainkan kini disaksikan oleh penonton dari depan kelir. f.
Kotak yaitu tempat menaruh wayang yang berbentuk kotak dan terbuat dari kayu, juga digunakan oleh dalang untuk dodogan yang berfungsi memberi aba-aba pada pengiring dan menggambarkan suasana adegan. Wayang yang berada dalam kotak tersusun rapi dna keluar apabila akan dipentaskan, seorang dalang harus mengetahui wayang apa saja yang akan dimainkan dalam lakon yang akan dipentaskan.
g. Keprak yaitu lempengan besi atau perunggu yang diletakan di kotak wayang dan dibunyikan oleh dalang, berfungsi sebagai pengisi suasana dan pemberi aba-aba. h. Cempala yaitu alat untuk membunyikan keprak. Untuk cempala yang dijepit dengan jempol kaki berbahan besi, sedang yang dipegang tangan berbahan kayu. Cempala yang dipegang tangan kiri dalang mempunyai fungsi yang sentral karena setiap sesi menggunakan pukulan cempala. i.
Kelir yaitu kain putih dengan lis warna hitam atau merah yang dibentang, berfungsi untuk tempat memainkan wayang. Kelir juga
25
merupakan sebuah layar berwarna putih berbentuk empat persegi panjang dengan panjang 2 hingga 12 meter dan lebar 1,5 hingga 2,5 meter. Namun pada perkembanganya ada yang membuat kelir dengan bentuk setengah lingkaran. j.
Debog yaitu batang pisang yang ditata dibagian gawang kelir berfungsi untuk menancapkan wayang.
k. Blencong yaitu lampu untuk menerangi gawang kelir. Dahulu lampu terbuat dari tembaga berbahan bakar sumbu dan minyak kelapa. Dalam pengertian Jawa blencong yang bersinar menandakan tentang adanya sinar kehidupan yang terus menyertai kehidupan manusia. l.
Simpingan yaitu wayang-wayang yang ditata rapi dikanan kiri gawang kelir.
m. Gamelan yaitu alat musik jawa yang berlaras pelog dan slendro berfungsi untuk mengiringi pertunjukan wayang. n. Panggung yaitu tempat yang agak tinggi terbuat dari papan untuk menaruh peralatan wayang dan gamelan. Panggung bukan kebutuhan yang pokok karena pada hakekatnya pertunjukan bisa dilakukan dimana saja
asalkan
tempatnya
cukup
dan
nyaman
(https://puthutnugroho.wordpress.com/2014/08/26/unsur-unsur-dalampertunjukan-wayang-kulit-purwa/.html, diakses tanggal 10 Oktober 2015). 4. Gendhing (Suluk) dalam Wayang Kulit Dalam sebuah pertunjukkan wayang kulit terdapat komponen yang
26
sangat penting dan tidak bisa dihilangkan yakni lagu atau biasa disebut dengan istilah gendhing. Dalam syair sebuah gendhing terdapat pesan moral yang berupa ajakan kebaikan. Gendhing sebagai lagu pada kebudayaan jawa sangat diperlukan, karena tanpa adanya iringan suara gendhing pertunjukan yang sedang berlangsung menjadi kurang meriah. Gending dan tembang dalam musik pakeliran menggunakan iringan gamelan. Musik gamelan yang digunakan berbeda dengan musik untuk tarian dan lagu Jawa. Gendhing atau lagu yang digunakan dalam pewayangan disebut gendhing wayang. Gending ini memang digarap secara khusus untuk keperluan pewayangan demi membangun suasana yang ada dalam adegan-adegan pewayangan (Murtiyoso, 2007:60). Menurut Murtiyoso (2007:60-61), ada 4 macam gendhing dalam wayang, yaitu: a. Gendhing patalon merupakan istilah untuk musik yang mengiringi pengantar
awal
pertunjukan
wayang.
Patalon berasal
dari
kata talu (Jawa) yang artinya adalah memukul. Musik ini menjadi tanda dimulainya sebuah pertunjukan wayang. Contoh: Cucur Bawuk dan Pareanom. b. Gendhing jejer merupakan musik yang mengiringi adegan-adegan atau latar tertentu dalam pentas wayang. Jejer merupakan bahasa Jawa untuk adegan. Setiap adegan memiliki iringan yang khas. Misalnya untuk adegan Kahyangan Suralaya digunakan Remeng, untuk adegan Astina dipakai gendhing Kawit.
27
c. Gendhing playon adalah musik yang digunakan untuk mengiringi seorang tokoh yang sedang berada dalam perjalanan. Playon dari kata mlayu yang
artinya
berlari.
Misalnya
untuk
perjalanan Gathotkaca digunakan Palaran Gathotkaca. d. Gendhing perang adalah istilah untuk musik yang mengiringi adegan perang. Jenis musik ini mengiringi dua macam adegan perang, yaitu perang sederhana dan perang tanding atau besar. Misalnya untuk perang biasa digunakan iringan dengan gending Srepek Lasem, sementara untuk perang tanding antara ksatria dengan ksatria digunakan Ganjur. Perang antara binatang/raksasa dengan binatang digunakan Gangsaran. Dalam gendhing (suluk) pertunjukan wayang kulit ada juga cakepan. Cakepan adalah syair yang digunakan dalam suluk pada pertunjukan Wayang Kulit Purwa, atau syair yang digunakan dalam tembang iringan karawitan pakeliran,
atau
tembang
macapat,
tembang
tengahan, dan tembang gedhe. Contoh cakepan sulukan Pathet Nem Ageng yang digunakan dalam adegan jejer pertama, yang mengambil dari tembang Gedhe Sardula Wirkidita sebagai berikut: “Leng-leng ramya nikang cacangka kumenyar mangrengga rum ning puri, mangkin tan pasiring halep ikang umah mas lwir murub ring langit, tekwan sarwwa manik tanwingya sinawung saksat sekar ning suji,
unggwan
Bhanuwati
janamrem
alanggo
mwang
natha
Duryyodhana”. Cakepan sulukan Pathet Nem Ageng di atas diambil dari Serat
28
Baratayuda karya
Empu
Sedah
dan
Panuluh.
Sedangkan sulukan yang cakepannya mengambil dari tembang macapat Durma contohnya Ada-ada Ma-taramansebagai berikut: “Rindu mawur mangawur-awur wurahan, tengaraning angajurit, gong maguru gansa, teteg kadya butula, wor panjriting turanggaesti, rekatak ingkang, dwaja lelayu sebit”. Cakepan
Ada-ada
Arjunasasrabahu, karya
Mataram di Sindusastra,
atas
diambil pujangga
dari Serat Keraton
Surakarta. Cakepan sulukan yang digunakan pada pertunjukan Wayang Kulit Purwa, terutama di Surakarta, ada beberapa bentuk yakni, cakepan sulukan yang menggukan bahasa Kawi dan bahasa Jawa Baru (http://wayangindonesia.web.id/cakepan.wayang.html, diakses tanggal 20 Oktober 2015). Dari pemahaman tersebut dapat disimpulkan bahwa, dalam pewayangan ada yang namanya gendhing (suluk), yaitu tembang atau lagu dalam pewayangan, dan dalam gendhing tersebut ada cakepan, yaitu syair yang digunakan dalam gendhing (suluk) pada pertunjukan wayang kulit purwa atau syair yang digunakan dalam tembang karawitan pakeliran (macapat). 5. Pagelaran Wayang Kulit Purwa Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dari dialog-dialog tokoh wayang yang dimainkan. Pagelaran wayang kulit diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan oleh nayaga, dan tembang
29
atau nyanyian dilagukan oleh para pesinden. Pagelaran wayang kulit dimulai ketika sang dalang telah mengeluarkan gunungan, sebuah pagelaran semalam suntuk. Menurut Mulyono (1989:111-113), pagelaran wayang kulit mempunyai periode yang dapat dibagi berdasarkan waktunya, yaitu: a. Babak pertama, disebut pathet lasem (phatet nem) memiliki 3 jejeran dan 2 adegan perang yang diiringi gending-gending pathet lasem. Pada pathet lasem atau pathet nem memiliki ajaran yang bersumber dari lingkungan hidup lahir dan sebagian dari lingkungan hidup batin. Gambaran alam benda dan alam biologis terdapat dalam pathet ini dan pencarian jati diri sudah dimulai, maka penanaman nilai-nilai kehidupan tidak akan terlupakan pada periode ini. b. Pathet Sanga yang menjadi babak kedua memiliki 2 jejeran dan 2 adegan perang. Periode ini dinamakan periode wejangan spiritual , periode ini berlangsung pada pukul 24.00-03.00, dengan ditandai gunungan yang berdiri tegak ditengah-tengah kelir seperti pada waktu mulai pagelaran. Wejangan pada pathet sanga ini disampaikan kepada seorang satria oleh para Dewa, wejangan berisikan kesadaran ngudi kesempurnaan, untuk mendapatkannya seorang satria harus mampu mengolah batin dan mengetahui ajaran agama. Dari lingkungan hidup, batin meningkat kemampuan rasa kesusilaan sampai kemampuan rasa jati diri. Perjalanan mencapai kesempurnaan melalui kewajiban dengan memperoleh kesaktian, wejangan tentang manunggal, kasampurnaan.
30
c. Pathet Manyura yang menjadi babak ketiga mempunyai 2 jejeran dan 3 adegan perang. Salah satu bagian yang paling dinanti banyak orang pada setiap pagelaran wayang adalah gara-gara yang menyajikan guyonanguyonan khas Jawa. Dari pathet manyura ini penulis mengambil kesimpulan bahwa, siklus hidup manusia berasal dari yang tidak ada menjadi ada dan kembali tidak ada, inilah yang mendasari adanya kehidupan setelah mati. Siklus hidup manusia di dunia awal mulanya tidak ada, dan setelah itu terciptalah siklus hidup yang menjadikan manusia menjadi salah satu makhluk di dunia. Siklus itu akan kembali lagi dan hal ini menjadi bukti bahwa adanya kehidupan setelah manusia mati. Dalam pola intuisi akan memperlihatkan suatu proses evolusi kesadaran akal-budi yang lahiriah, menuju kesadaran yang tertinggi (higher counsciousness). Proyeksi nampak pada struktur aransemen yang diwakili dengan rangkaian gamelan pada slendro pathet 6, pathet 9, dan pathet manyura memberikan gambaran adanya proses ini. Pathet 6 seyogyanya menceritakan tentang persoalan-persoalan yang timbul akibat keinginan, baik yang bersifat kebendaan ataupun spiritual, dalam tataran dimensi ketiga. Pathet 9, menceritakan tentang proses seorang tokoh atau ksatria untuk mendapatkan kebenaran higher reality yang akan menjadi dasar atas tindakannya dalam menyelesaikan persoalan. Pathet Manyuro, atas kedewasaan jiwa yang didapatkan berkat adanya pencerahan moral (dalam pathet 9) maka seorang ksatria atau tokoh
31
tersebut melakukan tindakan atas dasar tersebut dengan cara pandang dan pengetahuan yang baru. Sikap ini dibedakan dengan sikap dan cara pandang lama yang masih dalam tataran dimensi ke III dalam pathet 6 (Dr. A Ciptoprawiro, dan dalam Kitab pakem Pewayangan, pustaka kraton Yogya) (https://www.yogyes.com/id/wayang-kulit-show/.html, diakses tanggal 12 Oktober 2015). Dapat dipahami pagelaran wayang kulit yang dilakukan semalam suntuk mempunyai beberapa periode atau waktu yang dilakukan oleh seorang dalang. Periode atau waktu ini merupakan alur cerita yang dibawakan oleh seorang dalang. Kebanyakan dari penonton hanya melihat pertunjukan wayang yang sudah tersusun rapi, tetapi tidak mengetahui makna yang terkandung dalam setiap lakon yang dimainkan oleh dalang. B. Pendidikan 1. Pengertian Pendidikan Pendidikan menurut Hamalik (2003:79), didefinisikan sebagai proses pengubahan tingkah laku seseorang melalui serangkaian proses. Secara umum pendidikan adalah usaha untuk membantu seseorang yang belum dewasa mencapai kedewasaan melalui serangkaian proses. Pendidikan
dapat
diartikan
sebagai
pembelajaran
pengetahuan,
keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan , dan penelitian. Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
32
kehidupan manusia (Jalaluddin, 2001:65). Dari beberapa pendapat tentang pengertian pendidikan tersebut dapat dipahami bahwa, setiap manusia atau orang pasti mengalami dan melakukan yang namanya pendidikan. Pendidikan diperoleh seseorang dari lahir (buaian) sampai ke liang lahat (kematian). Pendidikan dapat diperoleh dengan cara pendidikan formal dan pendidikan informal. Pendidikan formal yaitu pendidikan yang berada dilingkungan sekolah atau lembaga pendidikan yang terkait, sedangkan pendidikan informal yaitu pendidikan di luar lingkungan sekolah atau lembaga pendidikan seperti keluarga, sekolah alam, lingkungan sekitar, dan lain-lain. 2. Unsur-Unsur Pendidikan Pendidikan menurut Suwarno (2006:33-46) memiliki lima unsur (komponen), yaitu sebagai berikut: a. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh kegiatan pendidikan. Menurut jenisnya, tujuan pendidikan terbagi dalam beberapa jenis sebagai berikut: 1) Tujuan nasional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu bangsa. 2) Tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai suatu lembaga pendidikan. 3) Tujuan kurikuler yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu mata pelajaran tertentu.
33
4) Tujuan instruksional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu pokok atau sub pokok bahasan tertentu. b. Peserta didik Peserta
didik
adalah
anggota
masyarakat
yang
berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. c. Pendidik Pendidik adalah orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. Secara akademis, pendidik adalah tenaga kependidikan, yakni anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Pendidik berkualifikasi sebagai pendidik, dosen, konselor, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai
dengan
kekhususannya,
serta
berpartisipasi
dalam
menyelenggarakan pendidikan. d. Alat Pendidikan Alat pendidikan adalah hal yang tidak saja membuat kondisi-kondisi yang memungkinkan terlaksananya pekerjaan mendidik, tetapi juga mewujudkan diri sebagai perbuatan atau situasi yang membantu pencapaian tujuan pendidikan. e. Lingkungan Pendidikan Lingkungan
pendidikan
adalah
lingkungan
yang melingkupi
terjadinya proses pendidikan. Lingkungan pendidikan meliputi:
34
1) Lingkungan Keluarga Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap prkembangan kepribadian anak, karena sebagian besar kehidupan anak berada di tengah-tengah keluarganya. 2) Lingkungan Sekolah Sekolah
adalah
menyelenggarakan
lembaga kegiatan
pendidikan pembelajaran
yang
secara
secara
resmi
sistematis,
berencana, sengaja, dan terarah yang dilakukan oleh pendidik yang profesional, dengan program yang dituangkan ke dalam kurikulum tertentu dan diikuti oleh peserta didik pada setiap jenjang tertentu, mulai dari Tingkat Kanak-Kanak (TK) sampai Pendidikan Tinggi (PT). 3) Lingkungan Masyarakat Secara umum masyarakat adalah sekumpulan manusia yang bertempat tinggal dalam suatu kawasan dan saling berinteraksi dengan sesama untuk mencapai tujuan. 3. Tujuan Pendidikan Secara garis besar tujuan dari pendidikan adalah memuat gambarangambaran tentang nilai- nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah. Hal itu bertujuan untuk kehidupan manusia, serta dalam upaya meningkatkan jati diri manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan, manusia selalu senantiasa mengupayakan pendidikan
35
sebagai dasar untuk mencapai cita-citanya. Sedangkan, menurut Kemdiknas (Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003) tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan memiliki dua fungsi, yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan. Dengan demikian pendidikan memiliki tujuan, yaitu: a. Pendidikan sebagai transformasi budaya. Pendidikan sebagai transformasi budaya diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi itu ke generasi muda. b. Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi. Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistematik yang terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan itu melalui dua sasaran, yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan pembentukan pribadi bagi mereka yang sudah dewasa oleh usaha sendiri.
36
c. Pendidikan sebagai proses penyiapan warga Negara. Pendidikan sebagai
proses penyiapan warga
Negara, diartikan
sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga Negara yang baik dan bertingkah laku baik, serta membentuk pribadi bangsa yang luhur dan patuh kepada aturan Negara. d. Pendidikan sebagai penyiapan generasi baru untuk menjalani tugas dan peranannya. Pendidikan sebagai penyiapan generasi baru untuk menjalani tugas dan peranannya, diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal untuk menjalankan tugas dan peranannya dalam kehidupan bermasyarakat dan memiliki jiwa sosialitas yang tinggi dalam kehidupan sehari-hari. 4. Macam-Macam Nilai Pendidikan Menurut Wardhani (2011) dalam pendidikan terdapat macam-macam nilai, diantaranya yaitu: a. Nilai Pendidikan Religius Religi merupakan suatu kesadaran yang menggejala secara mendalam dalam lubuk hati manusia sebagai human nature. Religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara lahiriah, melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total dalam integrasinya hubungan ke dalam ke-Esaan Tuhan. Nilai-nilai religius bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. Nilai-nilai religius yang terkandung dalam karya
37
seni dimaksudkan agar penikmat karya tersebut mendapatkan renunganrenungan batin dalam kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai religius dalam seni bersifat individual dan personal. Jadi, dapat disimpulkan nilai religius adalah nilai kerohanian tertinggi dan mutlak yang bersumber dari kepercayaan atau keyakinan dalam diri manusia. Kepercayaan atau keyakinan memiliki nilai yang tinggi dalam menjalani kehidupan. Nilai tersebut mendidik manusia untuk selalu ingat kepada Tuhan, dan nilai tersebut bersifat individual atau kepercayaan dalam diri manusia masing-masing. b. Nilai Pendidikan Moral Moral merupakan makna yang terkandung dalam karya seni, yang disaratkan lewat cerita. Moral dapat dipandang sebagai tema dalam bentuk yang sederhana, tetapi tidak semua tema merupakan moral, moral merupakan kemampuan seseorang membedakan antara yang baik dan yang buruk. Nilai moral yang terkandung dalam karya seni bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan bermanfaat bagi orang itu, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar. Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan manusia sehari-hari.
38
Dapat dipahami, nilai pendidikan moral mempunyai arti kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan buruk. Moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat. Tingkah laku tersebut berasal dari seorang individu dari suatu kelompok yang meliputi perilaku atau tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku atau tindakan manusia menunjukkan suatu perbuatan yang mencerminkan moralitas dalam diri setiap individu. c. Nilai Pendidikan Sosial Kata “sosial” berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat/ kepentingan umum. Nilai pendidikan sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu. Nilai pendidikan sosial yang ada dalam karya seni dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan. Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara satu individu dengan individu lainnya. Nilai pendidikan sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana
cara
mereka menyelesaikan masalah, dan
menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial.
39
Jadi, nilai pendidikan sosial dapat disimpulkan sebagai kumpulan sikap
dan
perasaan
yang
diwujudkan
melalui
perilaku
yang
mempengaruhi perilaku seseorang yang memiliki nilai tersebut. Nilai pendidikan sosial juga merupakan sikap-sikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat. Nilai pendidikan sosial juga merupakan dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting. d. Nilai Pendidikan Budaya Nilai-nilai budaya menurut merupakan sesuatu yang dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa lain sebab nilai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada suatu masyarakat dan kebudayaannya. Nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, hidup, dan berakar dalam alam pikiran masyarakat, dan sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sisitem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Dari pegertian di atas dapat disimpulkan bahwa, sistem nilai pendidikan budaya merupakan nilai yang menempati posisi sentral dan penting dalam kerangka suatu kebudayaan yang sifatnya abstrak dan
40
hanya dapat diungkapkan atau dinyatakan melalui pengamatan pada gejala-gejala yang lebih nyata seperti tingkah laku dan benda-benda material sebagai hasil dari penuangan konsep-konsep nilai melalui tindakan berpola (https://griyawardani.wordpress.com/2011/05/19/nilainilai-pendidikan/, diakses tanggal 26 Oktober 2015). Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa macam-macam nilai pendidikan ada 4, yaitu nilai pendidikan religius, nilai pendidikan moral, nilai pendidikan sosial, dan nilai pendidikan budaya. Masing-masing nilai tersebut mempunyai tujuan bagi kehidupan manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai tersebut juga menjadi posisi yang sentral dalam kehidupan dan sebagai landasan dalam melakukan tindakan atau bertingkah laku. 5. Wayang dengan Pendidikan a. Hubungan Wayang dengan Pendidikan Hubungan langsung atau tidak langsung antara karya sastra sebagai sistem simbol dan sistem sosial dalam arti ketergantungan dan tidak ketergantungannya menentukan apa yang dalam uraian ini disebut sebagai arah. Sastra dapat merupakan konfirmasi terhadap kenyataankenyataan sosial, apabila ia semata-mata melukiskan tanpa menyatakan sikap pada sistem sosial. Sastra yang demikian dapat disebut sebagai sastra simtomatik, karena sekedar menyajikan gejala-gejala sosial. Sastra yang menganalisa masyarakatnya dan menyatakan pendapatnya secara sadar dapat disebut sastra diagnostik, karena ia mencoba merekayasa
41
masyarakatnya. Selanjutnya sastra juga dapat menjadi kritik sosial, sebagaimana ilmu-ilmu sosial yang mencoba melakukan analisa dengan penuh perlawanan terhadap masyarakatnya. Inilah yang disebut sastra dialetik, karena sistem simbol dan sitem sosial dipertengahkan. Sastra perlawanan ini dilanjutkan dengan sastra sebagai alternatif, yang mencoba untuk membebaskan sastra sebagai sistem simbol dari masyarakatnya, sastra yang mencari otonomi penuh dan berdiri sendiri sebagai sistem tandingan (Kuntowijoyo, 2006:196). Dapat penulis pahami bahwa wayang merupakan salah satu karya sastra sebagai sistem sosial, karena wayang dapat menjadi arah atau pedoman bagi kehidupan manusia. Wayang dapat dikategorikan sebagai salah satu sastra diagnostik yang menganalisa dan mengajak atau merekayasa masyarakatnya untuk berbuat dan bertingkah laku sesuai dengan aturan yang berlaku dalam kehidupan (beragama). Pendidikan adalah bagian dari sistem pengetahuan yang merupakan bagian dari kebudayaan manusia. Kebudayaan merupakan sistem dalam kehidupan manusia yang mencakup sistem religi, sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem bercocok tanam, dan sistem kesenian. Pendidikan mengarahkan manusia kepada cara berpikir cerdas dan rasional. Seperti tercantum di dalam pembukaan UUD 45, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia
42
berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sebagai suatu bangsa harus memiliki kecerdasan dalam berpikir, mampu memelihara perdamaian dalam kehidupan bersama di muka bumi, dan mampu menegakkan kebenaran dengan seadil-adilnya, serta mampu melaksanakan ketertiban dunia yang didasari dengan perdamaian abadi. Semua itu sudah menjadi tugas dan kewajiban bagi suatu bangsa, bangsa yang mau belajar dalam pendidikan pasti akan memiliki cara berpikir yang cerdas. Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang menjadi sarana ekspresi manusia untuk mengungkapkan gagasan tentang keindahan. Kesenian adalah produk budaya manusia yang mampu memberikan kepuasan dan kebahagiaan kepada manusia sebagai pemiliknya. Oleh karena itu semua bangsa tentu mempunyai semboyan bahwa kesenian perlu dilestarikan. Semboyan ini bukan semata-mata konservasi dari wujud fisiknya, melainkan kandungan nilai-nilai yang mampu memberikan kontribusi kepada pertumbuhan dan perkembangan jiwa generasi penerusnya. Melalui seni, manusia dapat mengambil pelajaran hidup, karena seni pada hakikatnya adalah cerminan pendidikan yang dibutuhkan oleh kehidupan manusia. Akan tetapi, dalam memberikan pendidikan anak yang berwawasan seni dan lingkungan tidak berarti memaksakan anak didik untuk memahami suatu bentuk seni ataupun aliran seni, hal yang lebih signifikan adalah bahwa nilai seni itu
43
mampu menginspirasi anak didik untuk menggerakkan daya rasional maupun daya emosionalnya sehingga anak memiliki kualitas kecerdasan yang tinggi. Seni bukanlah teori yang harus menjadi dasar pemikiran untuk pengembangan ilmu, tetapi seni merupakan media ungkap untuk mengekspresikan
suatu
gagasan
(http://suyanto.dosen.isi-
ska.ac.id/category/karya-ilmiah/html, diakses tanggal 20 Oktober 2015). Dapat dipahami, bahwa seni merupakan simbol yang mengandung nilai-nilai pendidikan. Dalam memahami dan mengupas makna dari simbol-simbol yang diungkapkan melalui seni itu, kita dapat memandang dari berbagai aspek disiplin sesuai dengan kebutuhan pengetahuan. Dalam proses pendidikan seni merupakan salah satu cara mengenalkan peserta didik dengan kebudayaan. Salah satu bentuk kesenian yang mengandung nilai-nilai pendidikan adalah “wayang kulit”. Kesenian ini selalu hidup dan mampu bertahan dari jaman ke jaman berikutnya, karena mampu beradaptasi dengan budaya jamannya. Oleh karena itu pandangan akan nilai dalam wayang itupun juga bergerak sesuai dengan karakter dan kepentingan jamannya. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditegaskan bahwa, dalam pertunjukan wayang kulit yang disajikan secara serentak dan bersama dalam satu kesatuan sistem jalinan yang harmonis, tertib dan teratur, sehingga menghasilkan kesan estetik yang sungguh menakjubkan. Cerita pewayangan memuat nilai-nilai pendidikan. Karena itu, dapat digunakan sebagai salah satu media pendidikan dalam upaya untuk mengubah
44
tingkah laku atau sikap seseorang (peserta didik) dalam rangka mendewasakan peserta didik. Cerita wayang bukan saja merupakan salah satu sumber pencarian nilai-nilai bagi kelangsungan hidup masyarakat, namun juga sebagai wahana atau alat pendidikan. Terserah penikmat menafsirkan, menilai, dan memilih nilai-nilai itu. b. Peranan Wayang dalam Pendidikan Wayang kulit mempunyai banyak berbagai peranan atau manfaat penting dalam kehidupan, terutama dalam proses pendidikan atau pembelajaran. Secara umum peranan atau manfaat wayang kulit antara lain: 1) Wayang merupakan media pendidikan, karena ditinjau dari segi isinya banyak memberikan ajaran-ajaran mulia kepada manusia pada umumnya, terutama pendidikan moral dan budi pekerti. Baik manusia sebagai individu atau manusia sebagai anggota masyarakat. Manusia sebagai individu harus mencerminkan wayang yang mempunyai karakter kehalusan budi pekerti dan selalu rendah hati dalam berbagai hal. Manusia sebagai anggota masyarakat harus bisa mencerminkan saling menghormati dan memiliki etika dan estetika yang baik. 2) Wayang menjadi media informasi, karena dari segi penampilannya, sangat efektif komunikatif di dalam masyarakat. Dapat dipakai untuk memahami sesuatu tradisi, memberikan informasi mengenai masalahmasalah kehidupan dan segala seluk-beluknya. Selain itu, wayang
45
juga bermanfaat untuk menyampaikan pesan nilai-nilai serta filosofis hidup bagi masyarakat. 3) Wayang sebagai media hiburan, karena wayang dipakai sebagai pertunjukan di dalam berbagai macam keperluan sebagai hiburan. Selain dihibur, para penonton atau peminat wayang dibudayakan dan diperkaya secara spiritual keagamaan. Wayang juga memiliki banyak manfaat lain, yaitu sebagai tontonan, tuntutan, serta tatanan hidup manusia dalam menjalani kehidupannya. Jadi, wayang dalam media pendidikan, informasi, dan hiburan menjadi penting terutama pedidikan
moral
dan
pendidikan
budi
pekerti
(http://taufiknova.blogspot.com/2010/03/peranan-wayang-sebagaimedia.html, diakses tanggal 10 Oktober 2015). Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa cerita dalam pertunjukan wayang kulit sejatinya menampilkan nilai pendidikan moral (ajaran moral) yang merekayasa atau mengajak masyarakatnya. Pesan nilai-nilai etika dalam wayang biasanya disampaikan secara tegas. Wayang merupakan salah satu seni pertunjukan yang mengandung nilai-nilai dan pesan-pesan pendidikan. Nilai-nilai tersebut
dapat
dilihat
dari
wujud
karakter
tokoh-tokohnya,
pertunjukannya, maupun lakon-lakon yang disajikan. Dalam cerita wayang terdapat berbagai macam ajaran atau nilai-nilai yang dapat dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan dalam proses pendidikan di masa sekarang.
46
BAB III HASIL PENELITIAN A. Pengertian Lakon Dewa Ruci Menurut Prof. Dr R. M. Ng. Poerbatjaraka (1952:73), Serat Dewa-Rutji ingkang samangke pinanggih sepuh piyambak, punika naming ngemot: Sang Bima mangkat dating saganten; rerengganing samudra (sadjak seselan enggal); sang raden anggebjur saganten, wedaling naga nama sang Nabat-mawa, ladjeng prang kaliyan sang Bima, naga pedjah. Rerengganing pulo dunungipun sang Dewa-Rutji (sadjak seselan enggal), sang Bima dumugi ing ngriku pinanggih sang Dewa-Rutji; bantah sawatawis, raden Wrekudara ladjeng kadawuhan lumebet ing guwa-garbanipun sang Dewa-Rutji, uninga warni-warni ladjeng dipun-wedjang. Dumugi samanten seratipun pogog. Serat Dewa-Rutji punika ngangge basa Djawi tengahan, nanging dapukanipun taksih nglesantunaken tjara kina, ngangge sekar ageng ingkang sampun nilar guru lagu. Menurut Yudhi AW (2012:16) cerita lakon Dewa Ruci macapat karya Yasadipura I yang ditulis pada tahun 1796, yang bertemakan mistis itu ditranformasikan menjadi Serat Dewa Ruci cetakan pertama yang diterbitkan oleh Mas Ngabehi Kramapawira tahun 1870, Serat Dewa Ruci berbahasa Jawa dan juga berhuruf Jawa tulisan Mas Ngabehi Mangunwijaya, Cerita Dewa Roetji yang dimuat dalam majalah Belanda Djawa pada tahun 1940, Serat Dewa Ruci Jarwa Sekar Macapat Gubahanipun R. Ng. Yasadipura I, dan Serat Dewa Ruci Kidung dari bentuk kakawin. Dewa Ruci berbentuk kecil yang
47
kemudian dikenal dengan Dewa Kerdil (mini). Besar Dewa Ruci tidak lebih besar dibanding telapak tangan Bima. Dewa Ruci merupakan perwujudan dari pribadi seorang Werkudara, Bima atau Arya Sena. Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula (manusia) dan Gusti (Tuhan), yang diperagakan oleh Bima atau Arya Sena dan Dewa Ruci. Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta, Yasadipura berjudul "Serat Dewaruci Kidung" yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna. Dewa ruci adalah seorang dewa yang bertubuh kecil, tapi mempunyai suara besar. Ia sering disebut dengan nama Marbuyengrat atau Dewa Bajang. Kerajaannya berada ditengah Samudra. Hanya kepada Dewa inilah Wrekudara bisa bertatakrama dengan baik. Lalu Werkudara bertemu dengan Dewa ini saat mencari Tirta Parwitra Sari (Faisal, 2014:90). Sedangkan, menurut Kresna (2012:73) lakon Dewa Ruci adalah sebuah cerita yang melambangkan suatu perbuatan mistik dari Bima atau lambang dari manusia yang rindu mencari jati dirinya yang sehati, atau ilmu tentang sangkan parining dumadi. B. Pertunjukan Lakon Dewa Ruci Menurut Pujo Prayitno (1962) dalam Terjemahan Bebas Serat Dewa Ruci Kidung Macapat yang bersumber dari Serat Dewa Ruci Kidung gubahan Pujangga Surakarta. Cerita tentang AJARAN DEWA RUCI KEPADA ARYA WREKUDARA/ARYA SENA/BIMA ketika masuk ke dasar samudera guna
48
memenuhi tugas gurunya mencari air penghidupan (Tirtamerta), yang disadur dari bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta/Solo, Yosodipuro berjudul: "SERAT DEWARUCI KIDUNG" yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna. Serat Dewa Ruci Kidung ini digubah dengan dihias Puisi atau Tembang Macapat (Nyanyian lagu Macapat), serta menggunakan Bahasa Mardawa, artinya bahasa yang indah untuk syair lagu, adalah juga percampuran dari Bahasa Kawi; bahasa Jawa halus dan bahasa jawa biasa, namun walaupun menggunakan Bahasa Mardawa, akan tetapi banyak menggunakan Bahasa Jawa yang mudah dipahami, sehingga tidak sulit untuk dipahami isinya, kecuali makna tersirat yang memang tidak mudah untuk dipahami. Berikut ini adalah kisah atau cerita Dewa Ruci yang digubah dengan dihiasi puisi atau tembang macapat : 1. Kidung Dandhanggula Ketika Arya Sena berguru kepada Dhang Hyang Druna, dia disuruh mencari Air Suci untuk menyucikan jiwa raganya, kemudian Wrekudara pulang untuk memberi kabar ke negeri Ngamarta untuk mohon ijin kepada kakaknya yang bernama Prabu Yudistira dan juga kepada adik-adiknya semua yang kebetulan saat itu sedang berada di hadapan kakaknya. Arya Sena berkata kepada Kakanda yang seorang Raja, bahwa ia akan pergi mencari air suci atas petunjuk gurunya. Kakaknya yang bernama Sri Darmaputra heran mendengar kata adiknya karena menurut pemikirannya penuh mara bahaya. Sang Raja menjadi
49
berduka adiknya yang bernama Raden Satriya Dananjaya berkata sambil meyembah kepada Kanda Raja bahwa hal itu tidak baik. Sebaiknya jangan diizinkan atas kepergian adik sang Raja perasaanku mengatakan tidak baik, Nakula dan Sadewa sangat setuju dengan kata-kata Dananjaya. Sifat dari kakanda tuanku yang tinggal di kerajaan Ngastina hanyalah ingin menjerumuskan ke dalam kesengsaraan saja, tentu Druna suruh agar medustai Arya Sena dengan tujuan demi musnahnya Pandawa. Tidak diceritakan keadaan yang ditinggalkan dalam kesedihan, diceritakanlah perjalanan Sena tanpa kawan hanya sendirian, hanyalah bayangannya sendiri yang mengikutinya dari belakang, berjalan lurus menentang jalan. Bagaikan angin topan yang menghadang di depan terdengar gemuruh riuh itulah dia jika tergesa-gesa berjalan, orang-orang desa kebingungan yang bertemu di tengah jalan gemetar katakutan duduk tanpa nyali sambil menyembah. a. Di Negeri Ngastina Prabu Suyudana/raja Mandaraka/Prabu Salya sedang membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya. Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu, maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol di
50
antara sesama makhluk, dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka, akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, di bawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya, untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya. b. Di Gunung Candramuka Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian, namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah, dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut karena kelelahan, kemudian ia berdiri di bawah pohon beringin. c. Hyang Endra dan Hyang Bayu Tak lama kemudian, Sena mendengar suara tak berwujud : "Wahai cucuku yang sedang bersedih,enkau mencari tidak menjumpai, engkau
51
tidak mendapat bimbingan yang nyata, tentang tempat benda yang kau cari itu, sungguh menderita dirimu". Diceritakan saat Sena sudah pasrah, suara itu yang ternyata adalah dua dewa, Sang Hyang Endra dan Batara Bayu, yang memberitahu bahwa dua raksasa yang dibunuh Sena ternyata memang sedang dihukum Hyang Guru. Lalu dikatakan juga agar untuk mencari air kehidupan, Sena di perintahkan agar kembali ke Astina. Perintah inipun dituruti lagi. d. Di Negara Ngastina Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya terkejut atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna: bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena. Karena tekad yang kuat maka Senapun lalu ia pergi lagi, yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta (tempat para kerabatnya berada). 2. Kidung Sinom Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta. Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan
52
dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur. Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar. Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. 3. Kidung Durma Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera. Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut,
53
tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya Ilmu Jalasengara, agar air menyibak. Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira. a. Di Negara Ngamarta Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas. b. Sang Wrekudara Berjumpa dengan Sang Marbudyengrat Dewa Ruci Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermainmain di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :"Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada
54
yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan". Dikatakan pula :"Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan". "Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya", lanjut Dewa Ruci. Kemudian dikatakan :"Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas
55
diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah". 4. Kidung Dandhanggula c. Wrekudara Masuk Tubuh Dewa Ruci menerima Ajaran Tentang Kenyataan "Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku", kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :"Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk".Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:"besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku". Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati. Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci:"Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang
56
berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati. Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi
dan
menutupi
tindakan
yang baik.
Yang
merah
menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia. Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal,
badan
tanpa
daya.
Itulah
yang
mampu
merasakan
penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat. Kehidupan Pramana di hidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila
57
hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani. 5. Kidung Kinanthi Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah. Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan
dunia,
mendapat
anugerah
yang
benar,
persatuan
manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya. Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika
58
manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar. Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu. Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :"Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan. a. Wrekudara Sudah Jernih Pikirannya Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata. Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang
59
tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus. b. Tujuan Mati yang Salah Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan,
melalui
kepertapaannya,
mengira
dapat
mencapai
kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu. c. Pralambang Ilmu Sejati Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya. Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang.
60
d. Kembali ke Negeri Ngamarta Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba di negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya. Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata:"Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini" (http://www.karatonsurakarta.com/dewaruci.html, diakses tanggal 01 desember 2015). C. Makna Ajaran Dewa Ruci Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya. Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Arya Werkudara dan Dewa Ruci. Makna ajaran dari Dewa Ruci antara lain ialah :
61
1. Pencarian air suci Prawitasari Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci. 2. Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi. a. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air. b. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi. Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.
62
3. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil. Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten). Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalah bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan). Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut. 4. Samudra dan Ular Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
63
Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: a. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain. b. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar. c. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar. d. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar. e. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran. f. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat. g. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu. h. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak. i. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
64
j. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar. k. Samadi. l. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enakenak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah. 5. Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut. Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening. Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti. Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang
65
suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain. 6. Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunyian-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal. a. Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya. b. Tusuk konde besar dari kayu asem. Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekayaan duniawi. c. Tanda emas diantara mata. Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap. d. Kuku Pancanaka. Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya. Melambangkan :
66
1) Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati. 2) Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak. Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.
(http://www.karatonsurakarta.com/dewaruci.html,
tanggal 01 desember 2015).
67
diakses
BAB IV PEMBAHASAN Berdasarkan dari penelitian pustaka (library research) yang mencari dari sumber pustaka, buku-buku, dan tulisan-tulisan dari disiplin ilmu yang berkaitan seperti buku tentang wayang kulit, filsafat, dan kebudayaan Jawa, serta dari internet (website) tentang wayang kulit. Maka penulis akan menganalisa dan menyajikannya secara sistematis tentang kisah wayang kulit lakon Dewa Ruci, nilai-nilai pendidikan cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dan implementasi nilai-nilai cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dalam pendidikan, dengan hasil sebagai berikut: A. Kisah Wayang Kulit Lakon Dewa Ruci Cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci merupakan cerita tentang kehidupan manusia yang disimbolkan dengan beberapa kejadian. Secara garis besar inti cerita dari kisah wayang kulit lakon Dewa Ruci adalah proses bagaimana seorang dari Pandhawa, yaitu Bima atau Arya Sena (Wrekudara) berusaha mencari dan mencapai kesempurnaan hidup yang hakiki. Pencarian kesempurnaan hidup tersebut dilandasi oleh sebuah perintah yang datang dari guru Bima (Wrekudara), yaitu Resi Dorna. Perintah dari Resi Dorna berisi tentang pencarian air kehidupan (tirta parwitra). Dari perintah itu terbentuklah sebuah perjalanan hidup seorang Bima yang pada akhirnya bertemu dengan Dewa Ruci yang memberi wejangan tentang air suci (tirta parwitra). Lakon ini menjadi berat, karena cerita di dalamnya mengandung jalan kontemplasi (renungan) tentang asal
68
dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi), menyingkap kerinduan akan Tuhan dan perjalanan rohani untuk mencapai-Nya (manunggaling kawula lan Gusti), serta dapat mengendalikan hawa nafsu dalam batas maksimum. B. Nilai-Nilai Pendidikan Cerita Wayang Kulit Lakon Dewa Ruci Dewa Ruci merupakan salah satu cerita wayang kulit purwa yang isinya dapat dijadikan sebagai bekal kehidupan. Cerita lakon Dewa Ruci banyak mengajarkan nilai-nilai hidup, dan yang paling penting dari cerita tersebut adalah kegigihan seorang murid dalam berprinsip untuk terus menuntut ilmu sampai berhasil. Sifat idealisme itulah yang membuat cerita Dewa Ruci lebih menarik untuk dikaji. Cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci menceritakan kepatuhan seorang murid kepada guru, yaitu antara Sang Bima dengan gurunya yang bernama Resi Dorna. Walaupun niat Resi Dorna tidak baik yaitu ingin melenyapkan Bima, tetapi Sang Bima tetap menjalankan apa yang diperintahkan oleh gurunya. Karena Sang Bima sangat menghormati dan mematuhi semua yang diperintahkan oleh gurunya, guru sejatinya yang menuntun kehidupan Bima pada jalan keutamaan. Bima berguru kepada Resi Dorna tentang ilmu kemanusian dan belajar tentang kesempurnaan hidup sejati ketika bertemu dengan Dewa Ruci. Pada akhirnya, Sang Bima bisa menemukan jati dirinya dengan usaha dan ketabahan dari dalam hatinnya yang begitu kuat. Kepatuhan seorang murid kepada guru, kemandirian bertindak, dan perjuangan keras menemukan jati diri. Pengenalan jati diri akan membawa
69
seseorang mengenal asal-usul diri sebagai ciptaan dari Tuhan. Pengenalan akan Tuhan itu menimbulkan hasrat untuk bertindak selaras dengan kehendak Tuhan, bahkan menyatu dengan Tuhan atau sering disebut sebagai Manunggaling Kawula lan Gusti (bersatunya hamba dan Tuhan). Dalam pendidikan sekarang, hal itu bisa dijadikan acuan bagi setiap orang dalam menjalankan kehidupan di dunia, tidak hanya seorang murid kepada guru saja, tetapi sifat-sifat mulia Sang Bima dapat dijadikan landasan bagi semua orang dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Signifikansi dari nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci bagi pendidikan Islam dapat dilihat dari kematangan spiritual dengan puncak pengaturan hawa nafsu yang diterima Bima dari gurunya. Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an pada surat yusuf ayat 53, yaitu :
Artinya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang”. Dari ayat tersebut dapat kita pahami bahwa hawa nafsu apabila kita menurutinya maka akan membawa kepada keburukan, keburukan itu akan menghancurkan kehidupan manusia dan membawa manusia kepada kemurkaan. Kemurkaan yang terjadi akan membawa dampak negatif bagi
70
berlangsungya kehidupan manusia. Sebagai invidu yang mempunyai dasar agama, maka hawa nafsu harus bias diatur dan dikendalikan dengan mental dan moral yang kuat. Etika guru dengan murid juga harus tetap terjalin dan terjaga dengan baik, sehingga apa yang diajarkan oleh guru dapat diterima muridnya dengan baik pula. Begitu sebaliknya, etika seorang murid kepada guru juga harus terjalin dengan baik dan seorang murid harus mempunyai nilai moralitas dan budi pekerti yang tinggi agar apa yang menjadi cita-citanya dapat terwujud. Metode berceramah menjadi salah satu cara yang efektif dalam proses pendidikan. Dalam hal pendidikan, metode berceramah menjadikan peserta didik akan lebih dekat dan cepat dalam menangkap mata pelajaran atau materi yang disampaikan oleh guru. Hal ini sesuai dengan cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci yang mengajarkan berbagai macam aspek kehidupan dan pendidikan dari hal jasmani dan rohani. Orang melihat wayang bukan semata-mata melihat lakon-lakonnya sebagai hiburan, tetapi ada kenikmatan estetika, etik, yang dapat diserap dari cerita tersebut. Melihat wayang sama dengan melihat dirinya di dalam cermin, yang dilihat adalah wajah sebagai diri pribadi, bukan kacanya. Wayang laksana sumber air yang jika ditimba tidak akan menjadi habis. Umur manusia terlalu pendek untuk bisa mempelajari dan mendalami makna filsafat secara keseluruhan (Kresna, 2012:43-44).
71
Jadi, dapat dipahami wayang merupakan perwujudan dari diri manusia sendiri dan wayang memiliki kenikmatan estetika dan etik yang dapat diserap dari setiap alur ceritanya. Sehingga pertunjukan wayang kulit di daerah jawa dapat menjadi sarana hiburan sekaligus sebagai sarana pendidikan yang dapat memperbaiki moralitas penduduk jawa dan bangsa Indonesia secara umum. Perbaikan moral merupakan faktor yang sangat penting untuk mengentaskan bangsa Indonesia dari krisis multidimensi yang berkepanjangan. Sehingga pertunjukan wayang kulit dapat menjadi solusi untuk memperbaiki kondisi bangsa Indonesia. Dalam cerita wayang kulit lakon Dewa ruci, Bima atau Arya Sena yang di didik oleh seorang guru memiliki ajaran yaitu mempercayai adanya Tuhan dan memiliki sifat-sifat terpuji. Sedangkan, dalam pendidikan seorang guru mengajarkan dan mendidik untuk mempercayai adanya Tuhan yang telah menciptakan dunia beserta isinya. Adapun nilai-nilai pendidikan dari cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci adalah: 1. Nilai Pendidikan Moral Nilai moral dalam cerita lakon Dewa Ruci merupakan nilai yang menjadi landasan yang dipakai panduan, tatanan, dan tingkah laku yang berlaku sesuai dengan aturan. Dalam cerita ini nilai pendidikan moral begitu penting, karena moralitas merupakan landasan untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan adegan yang dilakukan sang Bima yang menjalankan apa yang diperintah oleh gurunya, walaupun
72
Bima harus berjuang mati-matian demi mendapatkan apa yang diperintah gurunya, sedangkan apa yang diperintahkan oleh gurunya adalah sesat. Nilai moralitas dalam cerita ini berguna bagi Bima khususnya, dan manusia lain pada umumnya. Jadi, dalam proses pembelajaran nilai moralitas sangat ditekankan kepada setiap peserta didik, dengan cara menghormati, mematuhi, dan setia kepada guru asal itu baik dan bermanfaat. 2. Nilai Pendidikan Budi Pekerti Dalam kebudayaan Jawa wayang kulit memiliki peranan yang sentral dalam melakukan perubahan pembenahan etika (budi pekerti). Nilai budi pekerti merupakan dasar dari setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia. Budi pekerti yang baik akan memberikan dampak yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Cerita yang dibawakan dalam pementasan wayang kulit mengandung banyak ajaran mulia terutama dalam pendidikan budi pekerti. Wayang kulit banyak bercerita tentang kehidupan sosial masyarakat antara hal kebaikan dan hal keburukan. Nilai-nilai pendidikan budi pekerti dalam cerita lakon Dewa Ruci tidak lepas dari kehidupan sehari-hari, yaitu ajaran menghormati guru, ajaran taat dan patuh terhadap guru, ajaran berlaku sopan dan santun terhadap guru, kesungguhan menuntut ilmu dari guru, dan sikap rendah hati terhadap ilmu dan guru. Dalam pertunjukkan wayang kulit sosok tokoh atau lakon yang menjadi teladan adalah yang memiliki kematangan spiritual dan memiliki
73
budi pekerti yang baik. Lakon Dewa Ruci merupakan sosok yang memiliki kematangan spiritual dan memiliki budi pekerti yang baik, dengan tokoh utama Bima yang selalu sabar dan tabah dalam menghadapi berbagai ujian hidup. Selain itu, Bima juga memiliki budi pekerti yang baik (terpuji) terhadap guru dan lingkungannya. Nilai pendidikan budi pekerti dalam proses pembelajaran menjadi suatu hal yang efektif bagi peserta didik, yaitu dengan penanaman budi pekerti yang baik dari guru dengan mengajarkan tingkah laku yang sopan, berbicara dengan santun, dan bertata krama. Setiap agama menekankan berbagai nilai pendidikan dalam kehidupan, tetapi yang menjadi nilai utama adalah nilai pendidikan budi pekerti (pembenahan akhlak). Kehidupan peserta didik maupun setiap orang pada umumnya yang kurang mempunyai budi pekerti yang baik akan memicu terjadinya konflik yang kurang baik, baik dari segi kehidupan maupun dalam proses pembelajaran. Dalam budaya jawa khususnya kebudayaan wayang kulit yang telah berlangsung berabad-abad, wayang kulit memiliki berbagai peranan yang sentral dalam melakukan perubahan dalam pembenahan moralitas dan budi pekerti. Dalam wayang kulit banyak mengandung cerita tentang kehidupan sosial bermasyarakat yang berlawanan antara kebaikan dan keburukan. Dalam pertunjukan wayang kulit sosok tokoh yang menjadi teladan ialah tokoh yang mempunyai moral dan budi pekerti yang baik,
74
dan dalam pertunjukkan wayang kulit bahwa kebaikan akan selalu mengalahkan keburukan. Banyak nilai yang dapat diambil dari cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci, tetapi yang menjadi dasar ialah nilai pendidikan moral dan nilai pendidikan budi pekerti. Pendidikan sebagai perubahan dalam segi keagamaan dan kehidupan bermasyarakat berhubungan dengan akhlak (budi pekerti) dan moralitas. Penjabaran nilai-nilai pendidikan yang ada dalam pertunjukkan wayang kulit lakon Dewa Ruci sangat erat hubungannya dengan moralitas dan budi pekerti, ada berbagai contoh yang dapat diambil dan diteladani maupun dijauhi dalam setiap pertunjukan wayang. Pendidikan yang berdasarkan perbaikan mental diharapkan mampu menjaga kehidupan yang lebih baik, sehingga berbagai nilai yang mendasari perubahan tersebut harus dilestarikan. Dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci terdapat wejangan yang mengharuskan Bima untuk selalu berlaku baik, dan selalau menjauhi apa yang dilarang oleh Sang Pencipta. Hal itu bertujuan untuk mejadikan manusia yang sempurna dengan memiliki sifat mulia dan menemukan jati dirinya. Pesan-pesan moral yang disampaikan bentuknya tersurat maupun tersirat, sebab wayang pada hakikatnya adalah karya sastra budaya yang bersifat simbolik. Ajaran moralitas dan budi pekerti dalam cerita wayang lakon Dewa Ruci ini mengandung amanat nilai-nilai universal. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pembahasan ini bertujuan untuk mencintai
75
kembali kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Indonesia memiliki banyak kebudayaan yang asli dari nenek moyang bangsa Indonesia. Kebudayaan itu salah satunya ialah wayang kulit yang menjadi salah satu kebudayaan yang sudah dikenal dimata dunia. Kesenian wayang kulit masih dapat bertahan sampai sekarang, tetapi tidak banyak dari generasi muda yang paham tentang wayang kulit. Karena, pada saat yang bersamaan generasi muda yang hidup di Indonesia (khusunya Jawa) ini kebanyakan tidak berminat lagi terhadap seni kebudayaan wayang. Minat mereka lebih mengarah kepada tekhnologi modern sekarang ini, hal itu mengarah kepada moralitas yang rendah yang pada akhirnya menyeret mereka kepada kehidupan bebas. C. Implementasi Nilai-Nilai Cerita Wayang Kulit Lakon Dewa Ruci dalam Pendidikan Cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dapat diterapkan dan dijalankan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam proses pendidikan. Dalam proses pendidikan memerlukan sebuah media pendidikan, salah satu media pendidikan yang ada ialah wayang kulit. Wayang kulit lakon Dewa Ruci banyak memberikan ajaran-ajaran mulia kepada manusia pada umumnya. Baik manusia sebagai manusia individu atau manusia sebagai anggota masyarakat. Selain itu, wayang kulit lakon Dewa Ruci juga memberikan hiburan dan tontonan yang menarik, serta sebagai tuntutan dan tatanan kehidupan manusia di dunia dalam menjalankan kehidupanyya sehari-hari. Nilai yang terkandung dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci
76
merupakan penjabaran dari nilai-nilai yang ada dan memberikan masukan dalam kemajuan pemahaman dalam proses pendidikan. Impelementasi dari nilai-nilai cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dalam pendidikan, adalah: 1. Suka Menuntut Ilmu dan Bekerja Keras Prinsip dasar kehidupan manusia dibumi salah satunya ialah menuntut ilmu sampai berhasil. Bima suka menuntut ilmu, meskipun selalu mendapatkan rintangan dan godaan. Bima selalu mencarinya sampai berhasil apabila Bima benar-benar ingin mencari ilmu kesempurnaan hidup. Bagi peserta didik menuntut ilmu dan bekerja keras menjadi hal yang mutlak, karena kewajiban peserta didik ialah menuntut ilmu walaupun ada halangan atau rintangan. Apabila semua itu dijalani dengan sungguh-sungguh atau bekerja keras maka akan tercapai hasilnya. 2. Hidup Rukun Prinsip hidup rukun dapat terlihat dalam keluarga Pandawa, antara Bima dan anggota keluarga yang lain saling menyayangi dalam ikatan keluarga yang kuat. Seperti Dewi kunti yang sangat menyayangi anakanaknya, salah satunya adalah Bima atau Arya Sena. Hidup rukun harus diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, tertutama dalam sebuah keluarga. Keluarga merupakan sebuah ikatan yang kuat yang didalamnya terdapat berbagai macam aspek. Dalam keluarga hidup rukun harus terjaga yaitu dengan saling menyayangi dan saling mengerti satu sama lain.
77
Dalam aspek pendidikan, hidup rukun juga diterapkan yaitu dalam sebuah kelas antara guru dengan perserta didik dan peserta didik dengan peserta didik yang lain, apabila dalam sebuah kelas hidup rukun tidak ada maka kelas itu akan tidak kondusif. Jadi, hidup rukun harus ditegakkan oleh seorang guru didalam kelas yang diajarnya, agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lancar. 3. Jujur Sikap jujur pada dasarnya sangat diperlukan dalam berkomunikasi. Dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci, bahwa Resi Dorna tidak jujur terhadap Bima. Resi Dorna menyuruh Bima untuk mencari air suci (tirta perwita) yang sebenarnya tidak ada, sedangkan Resi Dorna sendiri juga tidak mengetahui maknanya. Dalam pendidikan sikap jujur harus ditekankan oleh seorang guru kepada semua peserta didik agar dalam berkomunikasi dapat berjalan dengan lancar dan tidak ada sikap saling curiga antara satu sama lain. 4. Ikhlas Sikap ikhlas dimiliki oleh Bima atau Arya Sena dalam mencari tirta pawitra (air kehidupan) sampai ia berhasil menemukannya. Hal itu dilakukan karena kebersihan hati Bima dari hal-hal yang tidak ikhlas. Sikap ikhlas merupakan melakukan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan, dalam proses pendidikan sikap ikhlas menjadi salah satu sikap yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam setiap pembelajaran, seorang guru tidak mengharap imbalan dari peserta didiknya. Selain itu,
78
peserta didik juga harus bisa ikhlas dengan apa yang diajarkan oleh gurunya agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar. 5. Taat kepada Guru Dalam cerita lakon Dewa ruci sang Bima menaati segala yang diperintahkan Resi Dorna walaupun itu menyesatkan, akan tetapi Resi Dorna telah mengajarkan motivasi mandiri kepada Bima dalam menuntut ilmu. Dalam proses pembelajaran seorang murid harus taat kepada guru, hal itu dapat dilakukan oleh peserta didik dengan memuliakan guru, memperhatikan guru yang sedang menjelaskan pelajaran, berpakaian rapi, dan berbicara dengan sopan santun. 6. Teguh dalam Pendirian Orang yang teguh dalam pendirian tidak akan mudah terombangambing oleh keadaan. Keteguhan hati Bima bisa dilihat dari cara berjalannya yang selalu lurus dan tidak pernah berbelok. Maka dengan keteguhan pendiriannya Bima menemukan jati dirinya dan lebih percaya diri karena telah mengetahui hakikat hidup serta semakin mantap pendiriannya. Teguh dalam pendirian atau istiqomah dapat dilakukan oleh semua orang, tetapi dalam proses pendidikan teguh dalam pendirian harus dilaksanakan peserta didik agar apa yang dicita-citakan dapat terwujud dengan hasil yang memuaskan, serta dapat membantu dalam mendapatkan sesuatu yang sempurna.
79
7. Sikap Hormat Bima selalu bersikap hormat kepada Resi Dorna, Dewa Ruci, Dewi Kunti, dan saudara-saudaranya. Sikap hormat dapat diwujudkan dalam penggunaan bahasa yang menggunakan bahasa krama dan hal tersebut dilakukan bima terhadap Dewa Ruci. Sikap hormat sangat diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam berinteraksi, karena manusia merupakan makhluk social. Implikasi sikap hormat akan terkait dengan budi pekerti yang menyangkut unggah-ungguh dan tata karma terutama dalam budaya Jawa. Hubungan antara anak dengan orang tua, murid dengan guru, dan sesama saudara secara tidak langsung akan mencerminkan aplikasi sikap hormat. 8. Kesabaran Sabar merupakan salah satu sikap terpuji dan sabar perlu diberikan kepada peserta didik karena dengan kesabaran hal yang besar dapat terwujud. Dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci sang Bima yang melakukan perintah dari gurunya Resi Dorna dengan kesabaran dalam menghadapi berbagai rintangan yang pada akhirnya sang Bima menemukan hasil dari kesabarannya. Begitu pula peserta didik yang menggunakan kesabaran maka akan dengan mudah mengahadapi berbagai rintangan yang ada dalam pembelajaran. Watak sabar merupakan salah satu ciri orang yang beperilaku terpuji dan memiliki budi pekerti, karena sikap sabar memiliki berbagai
macam
penjabaran
80
dalam
aspek
kehidupan.
Dalam
bermasyarakat watak sabar akan dapat mendorong manusia untuk berfikir jernih dengan mengedepankan nilai-nilai moral dan budi pekerti. Berbagai intisari yang terdapat dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci memberikan berbagai macam tugas dan fungsi diciptakannya manusia di bumi, sehingga segala macam perbuatan maupun tingkah laku manusia yang dilakukan akan dipertanggung jawabkan dihadapan Tuhan. Perbuatan atau tingkah laku baik kepada Tuhan atau sesama manusia akan tetap mendapatkan hasilnya. Dalam perjalanan Bima yang mewujudkan untuk menjadi manusia seutuhnya terdapat pelajaran yang berharga, yaitu tentang sikap manusia mana yang harus ditinggalkan, dan mana yang harus dilakukan agar menjadi manusia seutuhnya dan mendapatkan jati dirinya. Pendidikan yang mendasarkan tentang pemberian contoh akan lebih menarik untuk diikuti dan dikaji, karena perjalanan yang bermakna memberikan jalan untuk dapat ditiru seperti perjalanan yang telah mencapai kesuksesan
81
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kisah wayang kulit lakon Dewa ruci digambarkan oleh Bima atau Arya Sena yang mempunyai semangat untuk menuntut ilmu dan mencari jati dirinya. Dalam cerita ini juga terdapat intisari sang Bima bertemu dengan guru sejati yaitu Resi Druna yang mengajarkan tentang manusia seutuhnya, sehingga pelajaran yang berharga didapatkan setelah perjalanan yang sangat panjang dan mendapat berbagai rintangan demi mematuhi perintah dari gurunya. Dalam perjalanannya Bima bertemu dengan raksasa Rukmuka dan Rukmakala di gunung Candramuka dan Naga besar di tengah laut. Pada akhirnya sang Bima bertemu dengan Dewa Ruci di tengah samudera yang berwujud anak kecil yang bermain di atas air laut. Bima masuk ke dalam tubuh sang Dewa Ruci melalui telinga kiri yang kemudian menerima ajaran tentang kenyataan. 2. Cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci mengandung nilai-nilai pendidikan yang penting bagi proses pembelajaran dalam berbagai aspek kehidupan, diantaranya adalah nilai pendidikan moral dan nilai pendidikan budi pekerti. Nilai-nilai yang dapat diterapkan dan diajarkan dalam pendidikan pada umumnya memiliki dasar yaitu moral dan budi pekerti, yang meliputi ajaran bagi peserta didik memuliakan dan menghormati guru,
82
sikap rendah hati terhadap ilmu guru, dan memiliki kesungguhan hati dalam menuntut ilmu dari guru. Dengan demikian, maka tingkah laku peserta didik akan bercirikan kemuliaan. 3. Implementasi atau penerapan dari nilai-nilai cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dapat terlaksana apabila peserta didik dapat meniru dan menerapkan sifat-sifat bijak atau mulia sang Bima dengan cara mematuhi guru, menjalankan apa yang diperintah guru, sopan santun dan bertingkah laku yang baik kepada guru. Nilai-nilai cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dalam pendidikan didasari dengan nilai pendidikan moral dan budi pekerti. Peserta didik dibekali dengan ajaran-ajaran mulia dari cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci yang menjadikan peserta didik pada umumya lebih giat untuk menuntut ilmu dan bekerja keras, hidup rukun, jujur, ikhlas, taat kepada guru, teguh dalam pendirian, mempunyai sikap hormat, dan kesabaran. B. Saran Sesuai dengan tujuan penelitian skripsi ini, penulis menaruh harapan besar pada semua pihak agar dapat mengambil manfaat atau hikmah dari pikiranpikiran yang tertuang dalam skripsi ini. Penelitian ini secara tidak langsung menjerumus kepada perilaku peserta didik terhadap guru yang masih jarang dilakukan. Jadi, saran dari penulis skripsi adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini terkait dengan perilaku peserta didik dalam proses pembelajaran dan berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan yang
83
meliputi pendidikan moral dan budi pekerti, yang diharapkan dapat menjadi dasar bagi berlangsungnya proses pendidikan menjadi lebih baik. Melalui nilai-nilai pendidikan yang ada dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci, khususnya pendidikan moral dan budi pekerti penulis berupaya membuktikan cara agar perilaku peserta didik lebih baik lagi kepada guru sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada dalam cerita tersebut, terutama dalam nilai pendidikan moral dan budi pekerti. Semoga penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk peneliti berikutnya terkait perkembangan tekhnologi dalam arus modernisasi ini. 2. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik maupun saran yang membangun dari para pembaca. Sehingga, bagi peneliti berikutnya agar dapat mengembangkan lebih baik lagi guna menggali dan mengkaji nilai-nilai pendidikan yang ada dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci. Penelitian tentang nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci masih banyak yang belum dikaji, untuk itu penelitian tentang jati diri manusia harus dikaji lebih lanjut.
84
DAFTAR PUSTAKA Achmad, Sri Wintala. 2004. Ensiklopedia Karakter Tokoh-Tokoh Wayang Menyingkap Nilai-Nilai Adiluhung Dibalik Karakter Wayang. Yogyakarta: Araska. Depdiknas. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hamalik, Oemar. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Jalaluddin. 2001. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Kemdiknas. UU No. 20 tahun 2003 Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Kuwato. 1990. Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Citra Etnika. Kresna, Ardian. 2012. Mengenal Wayang. Jogjakarta: Laksana. Mulyono, Sri. 1989. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: Haji Masagung. Murtiyoso, Bambang. 2004. Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Citra Etnika. Poerbatjaraka. 1952. Kapustakaan Djawi. Djakarta: Djambatan. Poerwadarminta, W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Edisi ke-3 cet. Ke-3. Jakarta: Balai Pustaka. Prayitno, Pujo. 1962. Terjemahan Bebas Serat Dewa Rucu Kidung Macapat. Surakarta: TB. Pelajar. Rahardjo, Handri. 2010. Jurus Sakti Berdongeng dengan Feni Shui. Yogyakarta: Citra Media.
85
Santosa, Imam budhi. 2011. Saripati Ajaran Hidup Dahsyat dari Jagad Wayang. Yogyakarta: FlashBooks. Sjarkawi. 2009. Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Bumi Aksara. Soetarno. 1995. Wayang Kulit Jawa. Sukoharjo: CV Cendrawasih. Solichin. 2011. Falsafah Wayang, Intangible Heritage of Humanity. Jakarta: Sena Wangi. Yudhi, A. W. 2012. Serat Dewa Ruci Pokok Ajaran Tasawuf Jawa. Jakarta: PT Buku Seru. Website: https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_Purwa.html, diakses tanggal 12 Oktober 2015.
https://www.yogyes.com/id/wayang-kulit-show.html, diakses tanggal 12 Oktober 2015. https://puthutnugroho.wordpress.com/2014/08/26/unsur-unsur-dalampertunjukan-wayang-kulit-purwa/.html, diakses tanggal 10 Oktober 2015. http://taufiknova.blogspot.com/2010/03/peranan-wayang-sebagai-media.html, diakses tanggal 10 Oktober 2015.
http://suyanto.dosen.isi-ska.ac.id/category/karya-ilmiah/html, diakses tanggal 20 Oktober 2015.
http://wayangindonesia.web.id/cakepan.wayang.html, diakses tanggal 20 Oktober 2015.
86
https://griyawardani.wordpress.com/2011/05/19/nilai-nilai-pendidikan/,
diakses
tanggal 26 Oktober 2015.
(http://www.karatonsurakarta.com/dewaruci.html, diakses tanggal 01 desember 2015).
87
88
89
DAFTAR NILAI SKK
Nama
: Imam Setiawan
NIM
: 111-11-098
Dosen P.A.
: Dra. Lilik Sriyanti, M. Si.
Fakultas
: Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK)
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam (PAI)
No Nama Kegiatan 1. OPAK STAIN Salatiga 2011 2. Achievement Motivation Training (AMT) 3. Orientasi Dasar Keislaman (ODK) 4. Seminar Entrepreneurship dan Koperasi 5. USER EDUCATION Perpustakaan STAIN Salatiga 6. Public Hearing dengan tema “Meningkatkan kepekaan dan transparansi kinerja lembaga menuju kampus yang amanah” 7. Seminar NASIONAL pendidikan dengan tema “Pendidikan Multikultural Sebagai Pilar Karakter Bangsa” 8. Seminar NASIONAL dengan tema “Mewaspadai Gerakan Islam Garis Keras di Perguruan Tinggi” 9. Piagam penghargaan dalam acara Grand Lounching dan Diskusi
Pelaksanaan 20-22 Agustus 2011
Keterangan Peserta
Nilai 3
23 Agustus 2011
Peserta
2
24 Agustus 2011
Peserta
2
25 Agustus 2011
Peserta
2
19 September 2011
Peserta
2
27 Maret 2012
Peserta
2
29 Mei 2012
peserta
8
23 Juni 2012
Peserta
8
12 juli 2012
Peserta
2
90
10.
11.
12. 13. 14.
15. 16.
17.
18.
19.
Publik dengan tema”Peran Generasi Muda Terhadap Fenomena HIV/AIDS di kota Salatiga” Public Hearing I dengan tema “Optimalisasi Kinerja Lembaga Melalui Kritik dan Saran Mahasiswa” Seminar NASIONAL dengan tema “Ahlussunah Waljamaah dalam Perspektif Islam Indonesia” Sertifikat Tahtimul Qur’an Sertifikat Pelatihan Strategi Sukses Kuliyah Piagam Penghargaan dalam acara buka bersama dengan anak yatim di gedung NU kota Salatiga Sertifikat Training Pembuatan makalah Public Hearing III dengan tema “Optimalisasi Kinerja Lembaga untuk Mewujudkan Kampus yang Amanah” Seminar REGIONAL dengan tema “Selamatkan Temanggung dari Lingkaran HIV/AIDS” Sertifikat Workshop Entrepreneurship dengan tema :Menanamkan nilai-nilai jiwa kewirausahaan mahasiswa yang kreatif dan inovatif” Seminar Motivasi Belajar
25 Maret 2013
Peserta
2
26 Maret 2013
Peserta
8
05 April 2013
Peserta
2
08 Juni 2013
Peserta
2
21 Juli 1013
Panitia
3
18 September 2013
Peserta
2
23 Oktober 2013
Peserta
2
2013
Peserta
4
22 Agustus 2014
Panitia
3
05 September 2014
Panitia
3
91
20. Talk Show dengan tema “Ciptakan Karakter Mahasiswa Religius dan Berakhlaq Mulia” 21. Seminar NASIONAL dengan tema “Peran Mahasiswa dalam mengawal Masa Depan Indonesia Pasca Pilpres 2014” 22. Seminar NASIONAL berkontribusi untuk Negeri Melalui Telivisi/TV 23. Sertifikat PERBASIS (Perbandingan Bahasa Arab Bahasa Inggris)/ CEA (Comparison English Arabic) 24. Seminar Kewirausahaan dengan tema “Meraih Kesuskesan dengan Berwirausaha” 25. Seminar NASIONAL Perlindungan Hukum Terhadap Usaha Mikro Menghadapi Pasar Bebas Asean” 26. Talk Show “How to be a Successfull Creative Preneur to Face ASEAN Economic Community 2015” 27. Seminar NASIONAL Mencegah Generasi Pemuda Islam dari Pengaruh Radikalisme ISIS” 28. Sertifikat Ngabuburit dan Dialog Lintas Agama Salatiga Bhineka Tunggal Ika 29. Seminar NASIONAL Pemuda, Peradaban Islam, dan Kemandirian
19 September 2014
Peserta
2
25 September 2014
Peserta
8
05 November 2014
Panitia
8
27 November 2014
Panitia
3
21 Desember 2014
Peserta
2
2014
Peserta
8
7 April 2014
Peserta
2
06 Mei 2015
PANITIA
8
30 Juni 2015
PEMATERI
4
2 September 2015
Peserta
8
92
93