35
BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI HARB
A. Biografi Dan Karya Ali Harb Ali Harb, penulis, pemikir dan filosof kelahiran Lebanon 1941, menyelesaikan pendidikan akademisnya di Universitas Lebanon dan meraih gelar Master dalam bidang filsafat pada tahun 1978.1 Sejak tahun 1976 hingga 1993, dia mengajar filsafat Arab dan Yunani pada tahun akademis 1995-1996, dia mendapatkan kesempatan menempuh gelar Agreation dari Universitas Paris, Prancis.2 Sejak tahun 1979, dia telah aktif menulis artikel dan diterbitkan dalam berbagai surat kabar Lebanon serta jurnal-jurnal kebudayaan Arab. Dia juga aktif menyampaikan kuliah dalam berbagai simposium dan seminar. Tentang budaya dan pemikiran di negara-negara Arab di luar Lebanon, seperti Tunisia, Maghribi, Bahrain, Suriah, Arab Saudi, Mesir, dan Kuwait. Kini dia mengajar di Universitas Beirut Lebanon. Pemikiran
Ali
Harb
ini
sesungguhnya
mempersoalkan
kecenderungan di kalangan para pemikir dan intelektual Arab dalam menyikapi problematika “pembaharuan” (at-tajdîd). Isu-isu pembaharuan pemikiran Islam di Arab, terutama paska kekalahan politik atas Israel pada juli1967, diliputi persoalan at tajdîd wa at-turâts. Persoalan ini tak pelak menyiratkan upaya pencarian jati diri bangsa Arab paska kekalahan politik tersebut. Di satu sisi, mereka diterpa persoalan untuk membenahi diri demi tuntunan modernitas diperbagai bidang; politik, ekonomi, sosial, dan budaya, disisi lain, mereka mempertanyakan tradisi (turâts) yang selama ini menjadi identitasnya sebagai bangsa Arab. Maka mencuat persoalan apakah tradisi mereka masih cocok dengan moderntas dan pembaharuan
1
Ali Harb, Hermenutika Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema Yogyakarta, LKiS, 2003,
2
Ali Harb, Kritik Nalar Al-Qur'an, terj. M. Faisol Fatawi, LKiS, Yogyakarta, 2003, hlm.
hlm. I 456
36
ataukah tidak, antara orisinilitas dan pembaharuan, dan seterusnya.3 Dalam konteks demikian, Ali Harb melihat bahwa para pemikir Arab kontemporer memiliki kecenderuangan berpikir didalam kerangka ciri khas kultural, nasional atau pun keagamaan. Hal demikian jelas tercermin dari tema yang mereka sodorkan, seperti Tajdîd Al-Fikr Al-‘Arabî (pembaharuan pemikiran Arab), Naqd Al-Fikr Al-‘Arabî (Kritik Nalar Arab), Naqd al-Fikr al-Islâmî (kritik nalar Islam), dan tema-tema yang menyemangatkan atribut-atribut identitasnya. Baginya, hal ini menunjukan bahwa pemikir Arab kontemporer senantiasa berpikir dalam tekanan kesadaran identitas kolektifnya. Dalam pengamatanya, ini jelas berbeda dengan yang terjadi pada masa lalu Arab atau pemikiran Barat modern. Di era klasik, karya-karya pemikiran justru tidak menunjukan identitas rasial, keagamaan, atau geografis. Misalnya saja al-Farabi dengan al-madînah al fâdilah-nya, Ibnu Khaldun dengan konsep ’Ilm al-‘Umrân-nya. Di Barat modern, misalnya Kant dengan Kritik Nalar Murni-nya, Martin Heidegger dengan Being and Time-nya, dan sebagainya. Tema-tema semacam ini, jelas tidak berada dalam kerangka ciri-ciri khas nasional atau pun kultural tertentu. Sebaliknya, semua ini menunjukan pada keterlibatan seorang pemikir dalam problematika pemikiran secara umum, baik berkaitan dengan nalar, makna pengetahuan wujud, kekuasan, maupun pemikiran itu sendiri memang tidak serta merta identitas menghambat suatu pemikiran, akan tetapi yang dipersoalkannya kemudian adalah bagaimana seorang pemikir itu sendiri dalam berinteraksi dengan identitas dan juga pemikirannya sendiri. Pendirian Ali Harb berujung pada persoalan ketertutupan dan keterbukaan pemikiran dan juga nalar. Baginya, 3 Menurut analisis Hasan Hanafi, sikap pada tradisi dalam kaitanya dengan pembaharuan atau modernts ini terbagi dalam tiga sikap. Sikap pertama adalah al-iktifâ adz-dzâtî li at-turâts (mencakup pada tradisi). Sikap ini memandang keharusan pembahuran Islam bertumpu sepenuhnya pada turâts. Dalam konsepsi ini, pembahruan berarti pembahruan kembali pada sumber asal itu sendiri, yakni Al-Quran dan sunah Nabi. Sikap kedua adalah al-kifâ adz-dzâtî li aljadid (mencukupkan diri dengan yang baru) sikap ini menentang sama sekali tradisi yang dipandang sudah tidak relevan. Sedangkan sikap terakhir at-taufiq bain at-turâts wa al-jadid sikap yang mengkompromikan keduanya. Bagi sikap ini, tradisi tidak harus dicampakan dan dibuang, tetapi dikaji secara kritis sehingga dapat ditemukan unsur-unsur yang relevan dengan pembahruan.
37
pemikiran yang tertutup adalah pemikiran yang memandang pemikiran lain melalui identitas kultural, rasial, bahasa, madzhab, dan agamanya. Jika sesuai maka dia akan menerimanya, dan begitu sebaliknya, jika tidak sesuai atau tidak identik denganya maka ditolak. Sedangkan pemikiran terbuka adalah pemikiran yang tidak mempersoalkan identitas-identitas tersebut untuk diterimanya. Keterbukannya inilah yang dicoba dilakukan Ali Harb melalui kritik teksnya. Satu teks memiliki berbagai tradisi, beragam aspek, aneka pertentangan, kekaburan, celah dan lubang bahkan juga memiliki realitas maya dan ruang kosong.4 Karenanya, sebuah teks dibaca dengan linguistik atau membaca kemungkinan-kemungkinan semantisnya, atau mengungkap struktur
maknanya
atau
ekspansi
bidang
garapannya.
Berdasarkan
pertimbangan di atas sebuah teks mungkin untuk diteliti dan dibaca atau dianggap sebagai wacana yang bergerak tanpa titik akhir atau paparan yang tidak untuk dihentikan, pembacaan sebagai bentuk perlakuan terhadap teks dapat dianggap sebagai ruang yang terbuka, dimana di dalamnya dapat diselidiki
kemungkinan-kemungkinan
rasionalnya
atau
kekayaan
strukturalnya, sehingga penelitian terhadap kekuatan interpretasinya sebagai kekuatan yang mencerahkan menjadi keniscayaan.5 Karya-karya dan tulisannya banyak mengungkapkan persoalan dan metodologi.6 Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin ini dihasilkan melalui kritik teks dan analisis wacana. Metodologi kritisnya memiliki keistimewaan berupa kemampuan potensi pemikir yang dapat melampaui batas wacana hingga ke wilayah yang sangat luas dan tertutup, termasuk mengalihkan perhatian dari eksistensi pemikiran menuju metode pemerlakuan, pengelolaan, penggunaan serta aplikasinya. Dalam tulisan ini, mengemukakan analisa kritisnya tentang bagaimana berhubungan dengan pemikiran di tengah Ali Harb, Relativitas Kebenaran Agama, Krtik dan Dialog, terj. Umar Bukhory, Yogyakarta, 20001, hlm. 16 5 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualis Al-Qur'an terj. Khoirun Nahdliyyin, Yogyakarta, LKiS, 2003, hlm. 12 6 Ali Harb, relavitas kebenaran, Op.cit,. hlm. 363 4
37
38
usaha-usaha kritis untuk memecah beragam problem, persoalan dan pemahaman, seperti teks, hakikat kebenaran, ideologi, esensi, kesatuan dialog, demokratisasi, liberalisme, dan tema-tema lain yang berputar di sekitar wacana dan hasil karyanya. Ali Harb selama ini lebih dikenal melalui kritik teks-nya. Karyanya secara khusus mengenai kritiknya ini adalah serial bertajuk An-Nashsh wa AlHaqîqah (teks dan kebenaran), yang terdiri dari Naqd An-Nashsh (1993), Naqd Al-Haqîqah (1993), dan Al-Mamnûi wa al Mumtani’ Naqd adz-Dzât alMufakkirah (1996). Selain karya buku ini, karya-karya Ali Harb lainnya, diantaranya adalah : A-ta’wĭl al-Haqîqah (1985), Al-Hubb wa al fanâ’ (1990), lu’bah al-ma’nâ (1991), as’ilah al haqiqah qa rihânât al-fikr (1994), AlMâhiyah wa al-‘Ilâqah (1998), Al-Akhtâm al-Ushûliyyah wa asy-sya’a’ir atTaqaddumiyyah (2001), Ashnâm an-Nazhariyyah Wa Athyât al-Hurriyah (2001), dan masih banyak lagi buku dan artikel yang telah ditelitinya. Sedangkan karya terjemahannya diantaranya adalah Ashl al-‘anf wa adDaulah (1985) karya Marcel Gauehet dan Pierre Clastres dan manthiq al‘Âlam al-Hayy (1989) karya Fran Cois Jakob, secara umum karya-karya Ali Harb berasal dari kumpulan makalah yang telah diterbitkan dalam beberapa jurnal Arab dan juga hasil wawancara dan simposium-simposium serta diskusi-diskusi yang diikutinya. B. Memahami Bahasa Agama Dalam kaitannya dengan pembacaan hermeneutis, bahasa berada pada inti proses pengetahuan, karena bahasa itulah yang pada akhirnya merupakan salah satu bentuk wujud. Setiap pengetahuan tentang wujud ini mengantarkan pada pemahaman tentang bahasa itu sendiri, begitu pula sesuatu bukan objek instant. Kebenaran tidaklah diberikan terlebih dahulu karena nalar memahami sesuatu melalui sejarah dan tradisinya. Pada akhirnya sejarah tiada lain adalah sejarah hubungan dengan sesuatu dan terjadi melalui bahasa, karena itu
39
penelitian dan perenungan tentang sesuatu pada akhirnya sebenarnya adalah bentuk dialog manusia dengan dirinya melalui kata-kata.7 Manusia sebagai “hewan yang berpikir” (hayawanun nâthiq) berarti manusia adalah wujud bahasawi (kainûnah lughawiyah) “bahasa menjadi tempat tinggal wujud” (maskan al-wujûd / the house of being), begitu kata Heidegger, bahasa tempat untuk menerangkan dan menjelaskan berbagai sisi wujud dan tempat yang menjadi landasan pemikiran. Bahasa sebagai tempat tinggal wujud semestinya, tidak dipahami semata-mata sebagai gambaran realitas atau wahana untuk mendapatkan makna atau sekedar nama-nama untuk menyebut tanda-tanda yang diberi nama (musamma ayât). Tidak diragukan bahwa nalar bahasa gramatika maupun retorika, selalu tunduk pada aturan bahasa dan konteksnya. Nalar model ini memandang bahasa sebagai struktur atau sistem atau sebagai konvensikonvensi atau penyimbolan-penyimbolan, yakni sebagai tanda-tanda yang menunjukan pada sesuatu. Hanya saja, situasi bahasa dan pembentukannya memunculkan fenomena yang terakait dengan wujud. Oleh sebab itu, bahasa kehilangan kemampuannya untuk mencipta dan berkreasi, dan kata-kata tercerabut kemampuannya untuk melakukan generalisasi dan pelampauan. Bahasa sebagai ekspresi wujud, merupakan keterbukaan terhadap “yang ada” dan kemungkinan bagi wujud, yaitu kemungkinan membangun kebenaran sekaligus menyingkapnya dan menciptakan manusia sekaligus menuturkannya, bahasa kreatif dan inovatif adalah majâs (metafora), yang berarti melewati, melampaui, pindah dan beralih, sedangkan “wujud” merupakan keanehan atau kelainan atau kontradiksi atau reposisi.8 Karena jelas pada esensinya wujud adalah penggambaran bahasawi. Dengan bahasa manusia senantiasa beralih dari tidak fasih menjadi fasih, dari yang biasa menjadi estetik, dari celotehan menjadi kreasi, atau pendeknya dari alam menjadi budaya. Manusia adalah majas, yakni majas dari realitas menjadi
7 8
Ali Harb, Hermeneutik kebenaran , Op.cit,. hlm. 20 ibid, hlm. 24
40
simbol dari yang tampak menjadi yang tidak tampak, dan dari tanda (dalil) menjadi petanda (madlûl). Bahasa adalah perpindahan diantara makna-makna, yaitu perpindahan yang didorong oleh sensitivitas wujud terhadap kekurangan dan kehilangan, dan sumber pangkalnya adalah ketidakmampuan kata-kata untuk mengatakan tanda-tanda dan subjek-subjek. Meskipun menunjukan keterasingan wujud, kemetaforan teks berupaya mengembalikan identitas yang hilang itu.9 Ada dua pendekatan yang menonjol dalam memahami ungkapanungkapan keagamaan, yaitu theo–oriented dan anthropo–oriented. Mengenai yang pertama apa yang disebut bahasa adalah kalam ilahi yang kemudian terabadikan kedalam kitab suci. Di sini Tuhan dan kalam-Nya lebih ditekankan, sehingga pengertian bahasa agama yang paling mendasar adalah bahasa kitab suci. Yang kedua, bahasa agama adalah ungkapan serta perilaku keagamaan dari seseorang atau sebuah kelompok sosial. Bahasa agama dalam pengertian kedua ini adalah wacana keagamaan yang dilakukan oleh umat beragama maupun sarjana ahli agama, meskipun tidak selalu menunjuk serta menggunakan
ungkapan-ungkapan
kitab
suci,
hal
ini
seperti
yang
diungkapkan oleh Hick, menurutnya bahwa bahasa agama sebenarnya mengacu pada suatu realitas transenden telah mencirikan sebagai realis ketimbang non realis.10 Pendekatan pertama dan kedua saling berkaitan karena semua kitab suci pada gilirannya akan melahirkan penafsiran baik dalam bentuk lisan maupun tulisan yang dilakukan oleh manusia. Dari sinilah kemudian bahasa agama menurut Ali Harb adalah sebuah tawaran tentang metode takwil atau yang sering dikenal dengan Hermeneutik. Dan melalui takwil inilah Ali Harb menawarkan bagaimana cara membaca teks dan turats. Menurut Ali Harb pembacaan hermeneutik (al. Nasher Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Penakwilan Atas Diskuursus Keagamaan, terj. M. Mansur, Yogyakrta, LKiS, 2004, hlm. VIII 10 Seyyed Hossein Nasr dan Jhon Hick, Menyinkap Kebenaran Pluralisme Agama Dalam Filsafat Islam dan Kristen, terj. Munir, Bandung, Alifya, 2004, hlm. III 9
41
qirâ’ah al-ta’wĭliyyah) menghindari kategorisasi-kategorisasi yang umumnya berlaku terhadap pemikiran dan teks, ulama dan para pengarang (authors / mu’allifin) rasional dan tradisional, idealisme dan matrealisme, subjektifisme dengan objektifisme, ilmiah dan non ilmiah, orisinil dan palsu, relatif dan progresif. Bukan karena dikotomi-dikotomi ini tidak memiliki kebenaran dan tidak mengungkapkan realitas pemikiran sama sekali sebaliknya karena pembacaan dikotomis ini melampaui kategorisasi tersebut, dan karena ia memahami bahkan menaklukannya, dengan begitu ia mendefinisi ulang terminologi-terminologi dan konsepsi-konsepsinya.11 Memahami dikotomi nalar dan tradisi (al-‘aql wa an-naql) justru semakin memperlihatkan rasonalitas tradisi dan irasionalitas nalar, sebab tidak ada nalar murni bahkan rasionalitas memiliki tipe-tipe yang berbeda, tipe-tipe merepresentasikan salah satu metode nalar dan salah satu tujuan pemikiran. Jika pemikiran Arab-Islam bertolak dari “prinsip kenabian” (ash nabawi), maka prinsip ini memiliki rasionalitasnya yang khas. Itulah yang selayaknya diteliti dan dieksplorasi. Begitu pula prinsip rasional mengandung padanannya yaitu irasionalitas (al-lâma’quliyyah) dengan bukti bahwa pemikiran filosofis tidak pernah berhenti untuk meneliti prasangka-prasangka (prejudices) dan takhayul (superstitions)nya semenejak plato. Begitulah, pemikiran Arab mengkaji dirinya melalui wahyu dan hal di balik atsar dan berita, lalu berkelana ke dalam teks untuk meneliti, menggali dan mengungkap, kemudian merasionalkan hal yang tak terasionalkan dan kembali mendefiniskan hal yang tak terdefiniskan, terlebih jika kata tersebut berupa ayat-ayat eksploratif (âyât bayyinât). Kalau bayân adalah kalimat yang mengandung berbagai tafsiran dan penakwilan, maka ayat itu adalah tandatanda yang berlimpah ruah; isyarat simbol-simbol dan tanda-tanda makna yang luas. Dari sini, penulis berpendapat bahwa nalar rasional empiris (burhâni) “menemukan kembali dirinya” (isti’âdanafsahu) melalui metode tafsir dan metode takwil, dan tampak dalam upaya menyusun bayan dan Ali Harb, At-Ta’wîliyyah Fiats-Tsaqâfah Al ‘Arabiyyah, Beirut, Al-Markaz AtsTsaqafi Al-‘Arabi,1985, hlm. 18 11
42
pengetahuan. Tentangnya bayân, sebagai perluasan makna dan kekayaan signifikansi dalam kaitannya dengan pemikiran membentuk, wilayah yang subur dan cakrawala yang luas bagi perenungan. Bagi nalar bayân memberikan peluang untuk menerapkan permainan dan pendeduksian dan materi pembuktian bagi berbagai persoalan. Jika tanda adalah makna yang tetap dan signifikan yang lazim maka tidak ada tanda atau pun bukti (burhân) tanpa signifikansi. Sedangkan “tanda” (dalīl) adalah cara untuk menetapkan signifikansi sedang signifikansi adalah titik tolak tanda. Dengan kata lain, penalaran deduktif (istidlâl) pasti melibatkan takwil, dan khususnya dalam bidang pembacaan dan analisis-analisis teks. Karena setiap penalaran berlandaskan pada pemahaman tertentu pada kata-kata istilah. Setiap pembuktian (burhân) sesungguhnya adalah pelacakan suatu makna diantara sekian makna dan sekian dalil; penyimpulan (pemungutan) salah satu signifikansi takwil tidak lebih dari itu. Dengan demikian takwil menghubungkan antara bayân dengan burhâni. Wacana-wacana tidak melebur pada konsep-konsepsi (tashawwurât) atau gagasan-gagasan murni atau konsep-konsep yang kaku dan tidak tereduksi pada bukti-bukti atau pun analogi-analogi ilmiah.12 Sebaliknya, wacana tersebut adalah tanda-tanda dan isyarat-isyarat tanda selamanya berada diantara gagasan dan imajinasi, atau antara nalar dan ilusi, atau antara yang tampak dan yang gaib. Karenanya, wacana tersebut mengandung ambiguitas
kemudian
mengisyaratkan
pada
kehadiran
(al-ĥudhûr)
sebagaimana pula menjadi “ketiadaan” (ghiyâb) dan menjelaskan tentang hal yang eksis sebagaimana pula menyimbolkan apa yang memperkuat wujud dan kekurangan. Di sini wacana tersebut selamanya menempati celah dalam inti signifikansi, sehingga konsep-konsep tidak sepadan dengan realitas dan katakata tidak mengatakan tentang sesuatu. Buktinya bahwa pembicaraan
12
Ali Harb, hermeneutik kebenaan ,Op. cit,. hlm. 20
43
selamanya mengungkapkan celah dan ruang yang mengizinkan untuk memperbaharui perkataan dan mengatakan kembali sesuatu itu sendiri. Dengan demikian sudah menjadi watak “tanda” bahwa ia sulit dibatasi dan
dikekang
sehingga
cenderung
dari
satu
signifikansi
(dalâlah)
kesignifikansi (dalâlah) lainnya, sehingga pertanda (madlûl) itu sendiri senantiasa berubah menjadi tanda (dalil). Dengan demikian sesuatu menjadi simbol dan terwujud menjadi dalam semantik yang luas.13 Bagi seseorang yang tertarik dengan semiotik, maka tugas utamanya adalah mengamati (observasi) terhadap fenomena-fenomena di sekelilingnya melalui berbagai “tanda” yang dilihatnya. Tanda sebenarnya representasi dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria seperti nama (sebutan), peran, fungsi, tujuan, keinginan. Tanda tersebut berada pada kehidupan manusia dan menjadi sistem tanda yang digunakanya menjadi pengatur kehidupannya. Oleh karenanya tanda-tanda itu (yang berada pada sistem tanda) sangatlah akrab dan melekat pada kehidupan manusia yang penuh makna (meaningful action) seperti teraktualisasi pada bahasa, religi, seni sejarah, ilmu pengetahuan. Tidak ada pembicaraan benar dan salah dalam konsep hubungan antara teks dan kebenaran. Pembenaran dan penyalahan dibenarkan jika manusia bergumul bersama teks yang mencerminkan atau sesuai dengan kebenaran pikiran dan hal-hal yang berdiri di luarnya, sebagaimana kritik klasik yang menggunakan konsep kontradiksi atau kerancuan. Jika sebuah teks menciptakan kebenaran dan memiliki kerealisannya maka manusia harus memberlakukan sebuah teks tersebut sebagaimana memberlakukan sebuah peristiwa, artinya manusia harus berusaha membuka dimensi atau membangun kemungkinan-kemungkinan, membebaskan belenggu, atau memikirkan fungsi dan manfaatnya. Dalam pengertian seperti ini, teks menjadi kuat dan urgen (significant). Ia melepaskan kerancuanya dan melahirkan beberapa interaksi atau bahkan ia bebas dari pengaruh apa pun. Di sisi pembacanya, ada juga
13
Ali Harb, relavitas kebenaran, Op. cit., hlm. 2
44
perbedaan antara pendapat Hegel yang selalu melahirkan beragam interpretasi, dan ungkapan Hegel sendiri yang hanya sekedar penjelasan kelompoknya. Pemahaman demikian, secara khusus berlaku di dalam bidang sejarah pemikiran, yaitu dalam bidang perenungan dan penaklukan teks-teks, karena pemikiran merupakan pengkajian tentang sejarah kata-kata, dan manusia adalah wujud “bahasawi”. Jika Descartes mengajarkan wujud dan pemikiran, maka wujud pada saat dan tahap yang sama mengikuti bahasa; manusia itu ada berarti ia berpikir dan berbicara, menunjuk dan menyimbolkan,14 sebagaimana berpikir dan merenung, mengungkap dan membuktikan. Ini berarti manusia tidak dapat berpikir dan merenung kecuali melalui bahasa, karena takwil adalah berpikir dengan bahasa, dalam bahasa dan untuk bahasa, maka setiap pikiran memandang watak hermeneutis. Jadi, selama manusia bernama manusia berarti dia menakwil wujudnya sesuai dengan kadar kemampuannya, karena dengan takwil ia mengkaji makna dan dengannya dia mengeluarkan signifikansi agar hasrat dan keinginanya masuk dalam jasadnya. Manusia hidup dan berhasrat tetapi dia menyimbolkan dan menandakan hidup dengan simbol, dalam simbol dan untuk simbol. Di dalam simbol terdapat motivasi takwil, dimana takwil merupakan kajian yang tak selamanya berhenti pada makna yang hilang dan upaya yang tidak putus-putusnya untuk menjembatani antara keinginan dan tanda. Dengan demikian, takwil menutupi celah yang menganga yang direpresentikan oleh eksistensi manusia antara sisi lahir dan sisi batin, “yang awal” dan “yang akhir”, “yang nampak” dan “yang tak tampak”, dan antara “kebenaran” dan “yang benar”. Demikianlah
takwil
merupakan
dialog
tentang
inti
wujud,
perbincangan yang tidak memberikan ruang untuk memisahkan antara subjek dan objek, sebab penakwil sesungguhnya mengatakan hasratnya dan mengabdikan hasratnya itu, berpikir tentang sejarahnya, menanyakan sumbersumbernya, menalar yang tak ternalar, memecahkan simbolnya, membaca tanda-tandanya,
dan
memahami
isyaratnya.
Penakwil
memahami
T. Z Lavine, Masa Transisi Historis Menuju Dunia Modern, terj. Andi Iswanto, Yogyakarta, 2003, hlm. 56-57 14
45
pemahamannya dan mengatakan eksistensinya. Jadi, tidak ada gunanya berbicara tentang metode subjektif ataupun objektif dalam memahami tradisi. Objektivitas dalam tradisi kadang-kadang mendorong untuk menjadikan pemikiran sebagai objek murni bagi teks dan pada saat itu perbincangan berubah menjadi pengulang-ulangan. Begitu pula subjektivitas kadang mendorong menjadikan pemikiran sebagai subjek murni dan jika demikian, pembicaraan berubah menjadi wacana yang hanya memproduksi premispremisnya. Dalam kedua hal tersebut tampak ketidakmampuan untuk melahirkan makna dan memperbaharui signfikansi.15 Inilah hal yang dicoba untuk dijauhi oleh metode hermeneutik (metode takwil). Takwil tidak berarti adanya subjek yang berupaya untuk menyamai objeknya tetapi untuk mempertanyakan sesuatu tentang signifikansi melalui bahasa karena pembicaraan mengandung celah yang menjadikan sulit untuk dilewatkan. Selalu ada tempat untuk memulai dengan cara baru yaitu untuk memulai pembicaraan, untuk menakwilkan ulang, dengan kata lain takwil bukanlah untuk mewujudkan makna bagi sesuatu yang tidak memliki makna dan bukan pula memasang signifikansi objek yang menyangkut signifikansinya. Sebaliknya, takwil adalah transformasi dari suatu signifikansi ke signifikansi lainnya dan menakwilkan kembali makna lainnya dan menakwilkan kembali makna lama. Penakwilan makna baru tidak berarti pembaruan pemahaman itu sendiri, karena takwil bukan sekedar untuk penelitian atau alat pengetahuan atau jalan menuju kebenaran melainkan takwil adalah bidang pemahaman yang memungkinkan untuk mengkaji wujud secara baru dan memungkinkan untuk mendefiniskan kembali tentang sesuatu. Metode bukanlah jalan menuju kebenaran saja, melainkan jalan untuk memperbarui pemahaman manusia terhadap kebenaran itu sendiri. Dengan begitu, signifikan wujud menjadi berlipat-lipat dan makna dari “yang benar” (haq) menjadi luas.
15
Ali Harb, Hermenutik kebenaran, Op. cit., hlm. 56-57
46
C. Hakikat Teks Berubahnya teks dari wilayah pengetahuan tertentu dan menjadi garapan pemikiran, memiliki arti bahwa ia mempunyai gagasan (rancangan) dan dunianya sendiri.16 Dunia teks membutuhkan perhatian, dengan tanpa mentransformasikan kepada pengarangnya dan dunia luar. Dalam logika kritik, teks terlepas dari pengarangnya dan dunia luar. Dalam logika krtik, teks terlepas dari pengarangnya sebagaimana ia terlepas dari acuanya, agar dapat menyuguhkan dunia wacana yang memiliki kebenaran dan keadilan dari semua yang ada. Tentu tidak semua wacana mewarnai (membetuk) sebuah teks. Teks adalah wacana yang sempurna setelah diakui dan diresmikan. Ia adalah
pembicaraan
yang
menetapkan
kemampuanya,
mendapatakan
ketunggalnnya, dan menjadi pengaruh yang dikembalikan pada dirinya. Jadi, teks bukan realitas (al-wâqi), itulah yang menjadi acuan. Yakni bahwa dirinya memaksa dan mendorong pembaca untuk membacanya secara terus-menerus. Pembaca tidak membaca teks lantaran ia merefleksikan atau mengubahnya menjadi realitas. Maka, teks yang merefleksikan realitas tidak lagi memiliki signifikansi karena ia berhenti seiring dengan berhentinya realitas yang terjadi. Misalnya membaca kembali Muqaddimah-Nya Ibnu Khaldun, bukanlah untuk mengetahui realitas yang ada pada masa Ibnu Khaldun, melainkan agar pembaca dapat mengerti realitas saat ini atau menyambut (realitas) masa depan yang akan datang. Teks bukanlah cermin dari realitas, melainkan ia berkutat diantara apa yang sedang terjadi dan yang mungkin harus terjadi. Sampai disini, maka keterkaitan teks dengan realitas merupakan peniadaan realitas itu sendiri. Ia adalah penghalang yang bertumpuk-tumpuk; mengabaikan kebenaran teks dari satu sisi, dan melepaskan realitas pada sisi yang lain. Demikian itu karena teks bukan realitas yang ditemukan dalam arah dan tempatnya, melainkan di sana terdapat kejadian dan peristiwa yang tidak bisa dipisahkan dari penafsiran-penafsiran atau pembacaan yang ditundukan. Artinya, pada akhirnya teks hanya berupa riwayat-riwayat dan wacana-
16
Ali Harb Nalar Kritik Al-Quran, Op. cit., hlm. 9
47
wacana. Jika wacana dengan tabiatnya menghalangi realitas maka usaha untuk mentransformasikan atau mengaitkannya dengan realitas tertentu hanya sekedar penafsiran sebuah teks dengan teks lainnya, menutupi penghalang (hijbu li al-hijbi). Hal itu tidak berarti bahwa teks hanya menciptakan realitas. Tetapi
teks
kerealitasnya.
menciptakan Ia
membuat
realitas
sekaligus
kemungkinan
bagi
memiliki
(menguasai)
pemikiran,
penegah
pemahaman, atau penerima relitas. Kritik teks membuka sebuah kritik terhadap kebenaran dan temuantemuan dunia.17 Ia membuka hubungan baru dengan kebenaran yang seharusnya mengubah pemahaman dan cara bergaul dengannya. Dalam pandangan kritik, kebenaran bukanlah esensi yang melampaui kondisinya, atau ditemukan terpisah dari wacananya melainkan ia diciptakan oleh teks itu sendiri. Dengan kata lain, bahwa teks, dari aspek ini, tidak mengkaji kebenaran tetapi ia menentukan kebenaran sendiri. Misalnya saja, apa yang dikaji Immanuel Kant bukanlah yang dimaksudkan untuk mencapai kebenaran transendental yang mendahului pengalaman, tetapi itulah teks yang ditinggalkan olehnya untuk manusia, yang memiliki kekuatan untuk melawan, disamping melampaui upaya-upaya perubahan dan penghimpunan, dan tidak bisa kembali kepadanya. Contoh lain adalah kebenaran yang ada dalam kitab al-Asfâr al- Âqliyyah al-Arba’ah karya Sadruddin as-Sairazi, bukanlah apa yang coba dikaji dan dicapai oleh sang pengarang melalui perjalanan intelektualnya, tetapi kebenaran itu sendiri adalah kebenaran teks yang mendorong pembaca untuk membaca dan menulisnya, yakni kemungkinan yang dikandung oleh teks atau temuan-temuan pada saat pembaca melakukan pembacaan dan pembongkaran terhadapnya. Jadi teks bukan yang berkata tentang kebenaran yang terdapat dalam teks, melainkan ia adalah wacana yang menetapkan kemampuan dan menciptakan kebenaran sendiri, kritik adalah
15. ibid, hlm. 10
48
perpindahan dari teks kebenaran (Nashsh al-Haqîqah) menuju kebenaran teks (Haqîqah an-Nashs).18 Tidak ada pembicaraan benar dan salah dalam konsep hubungan antara teks dan kebenararn. Pembenaran dan penyalahan dibenarakn jika pembaca bergumul bersama teks yang mencerminkan atau sesuai dengan kebenaran pikiran dan hal-hal yang berdiri di luarnya, sebagaimana kritik klasik yang menggunakan konsep kontradiksi atau kerancuan. Jika sebuah teks menciptakan kebenaran dan memiliki keralitasannya maka pembaca harus memberlakukan teks tersebut sebagaimana memberlakukan sebuah peristiwa, artinya pembaca harus berusaha membuka dimensi atau membuka kemungkinan-kemungkinan, membebaskan belenggu, atau memikirkan fungsi dan manfaatnya. Dalam pengertian seperti ini, teks menjadi kuat dan urgen (signifikan). Ia melepaskan kerancuanya dan melahirkan beberapa interaksi, atau bahkan ia bebas dari pengaruh apa pun. Ada perbedaan antara ungkapan yang kuat/kokoh, sepeti puisi al-Mutanabbi yang selalu mengajak kepada pembaca untuk merujuknya dan ungkapan penyair sendiri yang tidak meninggalkan pengaruh apa pun di sisi pembacanya. Ada juga perbedaan antara pendapat Hegel yang selalu melahirkan beragam interpretasi, dan ungkapan Hegel sendiri yang hanya sekedar penjelasan kelompoknya. Kritik bukan berarti melawan berbagai usaha dan teks, sebagaimana yang ditempuh oleh al-Ghazali. Menurut Ibnu Sina dan al- Farabi, hal-hal kontradiktif yang dibangun al-Ghazali lebih kuat dibanding dengan apa yang harus dimusnahkan. Dalam arti bahwa teks senantiasa memaksa dan mendorong pembaca untuk membaca dan memikirkanya. Krtik bukan berarti pengelabuhan wacana-wacana, sebagaimana menurut Abi al- Ala al-Ma'ari dalam komentarnya terhadap Maqậlật ar-Rusul dan shadiq Jalal al-Azham dalam konsepnya tentang dogma dan kebenaran tunggal. Teks nabawî misalnya, ia tidak menyimpan sesuatu yang signifikan dalam memaparkan kebenaran atau apa yang sesuai denganya. Tetapi pada tingkat pertama, ia 18
ibid , hlm. 11
49
menyembunyikan kebenaranya dalam melihat segala yang ada (maujûd), mekanisme pemproduksi makna bagaimana berinteraksi dengan kebenaran, dan juga cara mengungkapkan sesuatu. Bergumul dengan teks tidak memiliki arti apa-apa jika dilihat dari kacamata dialektika. Teks yang kuat dan signifikan tidak akan rapuh, tetapi mungkin malah memberikan peluang pada pembaca untuk memperbincangkan kekontradiksian dan keragamanya. Lebih tepatnya teks-teks mengajak kepada pembaca untuk mengkritisi dan mendekonstruksi. Contoh konkretnya adalah pembacaan Michel Faucoult terhadap teks Plato, terutama dalam hal cinta. Setelah melakukan beberapa interpretasi metafisis-dalam waktu yang cukup panjang-terhadap Plato, Michel Foucault tampil dengan interpretasi yang berbeda. Menurutnya cinta dalam pengertian plato bukanlah sesuatu yang menjahui jasad dikarenakan adanya persoalan lain, yaitu tentang kebenaran cinta sebagai hubungan dengan kebenaran yang mengubah dari kerinduan yang hakiki
menjadi rindu terhadap kebenaran. Pembacaan Foucault itu
mengisyaratkan bahwa: pertama, teks yang kuat akan lebih kuat dari pada usaha pengarangnya. Dalam arti bahwa ia sulit ditahan atau malah berubah menjadi
madzhab,
dogma,
sekte,
atau
ideologi,
kedua
teks
tidak
membuthuhkan seorang pen-syarah dan pengkaji, sebagaimana segala sesuatu membutuhkan pada pembacaan secara aktif-produktif dengan membaca segala yang tidak terbaca sebelumnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa teks mempunyai kebenaranya sendiri. Artinya teks tidak memuat kebenaran karena wacana yang hanya berupa teks kebenaran akan berakhir seiring dengan berakhirnya realitas yang menjadi keberlangsungan kebenaran. Adapun teks yang mengharuskan dirinya sendiri merupakan teks yang senantiasa mendorong membaca untuk merujuknya dalam memahami realitas dan kebenaran. Teks tidak membicarakan kebenaran, tetapi membuka hubungan denganya.19
19
. ibid, hlm. 12
50
D. Cara Membaca Teks ke Konteks Suatu pembacaan tidaklah lepas sdari penyerupaan (tasybih), baik komentar, tafsir maupun takwil, semuanya berkaitan dengan pembacaan terhadap alam atau pun terhadap teks; pembacaan atas pembacaan.20 Hal ini karena ketika seseorang membaca makna benda-benda atau membaca apa yang ada di dalamnya, ia senantiasa meminjam nama-namanya, dan menyematkan sifat-sifat padanya. Melalui pembacaan terhadap benda, ia membaca tubuhnya; lalu menjuluki hasrat-hasratnya, mengabarkan tingkah lakunya, menyimbolkan perkembangan-perkembangannya, menalar dirinya dan memperlihatkan kekuatanya. Demikian pembacaan tidak lepas dari penyerupaan. Penyerupaan merupakan salah satu dari subjek, ia merupakan pembacaan atas apakah sesungguhnya manusia, dan terhadap bentuk-bentuk yang tampak darinya. Seperti pembaca buku alam, orang juga membaca macam-macam makna dan bentuknya. Begitu pula seorang yang membaca suatu teks, ia membaca
macam-macam
makna
dan
bentuknya.
Dia
kemudian
mengujicobakan bahasa di dalamnya, menggunakan imajinasinya, dan memahami pemahamannya.21 Setiap pembaca menampakkan dirinya, dan berbicara tentang makna, gambar, dan bentuk yang tampak darinya, yakni ketika dia menguraikan teks dengan komentar dan tafsir, atau dengan kritikan takwil. Oleh karena itu seorang pembaca ketika membaca sesungguhnya ia memproduksi bacaannya dengan satu atau lain makna dan diatas satu bentuk atau lainnya. Pembacaan harfiyah adalah pembacaan para tekstualis ahl azh-zhzhir, yaitu orang-orang yang berpegang teguh pada tekstualitas teks, menjauhi tafsir dan takwil. Para tektualis berpendapat bahwa di dalam teks hanya ada sisi lahir, dan bahwa lafazh hanya mengandung satu makna. Maka menurut pendapat ini tampak dengan sendirinya menjelaskan dengan ungkapan yang
20 21
Ali Harb, Naqd Al-Haqîqah, Beirut, Al- Markaz Ats- Tsaqafi Al-‘Arabi, 1995, hlm. 5 Ali Harb, Kritik Kebenaran, Op. cit., hlm. 2
51
dibaca atau ditulisnya sendiri, dan tidak membutuhkan komentar atau pun penjelasan. Pendek kata, menurut pandangan ini teks menjelaskan kehendak, maknanya jelas ucapannya pasti, dan maksudnya terang.22 Akan tetapi, pembacaan tekstual menimbulkan problem, yakni bahwa para tekstualis mengemukakan pendapat mereka dan berijtihad menyelidiki makna secara mendalam dimana mereka menganggap bahwa maknanya telah dijelaskan (manshûsh ‘alaih) dan tidak perlu deduksi atau proses pemahaman. Para tekstualis enggan untuk mengungkapkan makna yang dikehendaki, yakni makna yang telah jelas, dengan ungkapan-ungkapan sendiri mereka mengklaim bahwa makna tidak memerlukan formulasi (bentuk) selain yang mengungkapkannya. Mengungkapkan makna yang dikehendaki (al-ma’nâ al murâd) dengan suatu ungkapan, selain ungkapan pertamanya, sesungguhnya melampaui
kedudukan
kata-kata,
dan
mengubah
perkataan
dari
kedudukannya, apa pun kedekatan kedua ungkapan tersebut dan apa pun sasaran dan tujuan, karena kata-kata seperti yang telah ditetapkan para tekstualis sendiri, sesungguhnya disusun dan diurutkan seperti makna-makna khusus tanpa lainnya. Jika kata-kata tersebut telah berganti atau berubah susunannya, maka hal itu tentu mengakibatkan perubahan dalam makna. Yang pokok (ashl) di dalam bahasa adalah tidak adanya kesamaan, (sinonim, attarâdut). Setiap sinonim yaitu penempatan suatu kata atau ungkapan pada tempat yang lain, sesungguhnya merupakan penggunaan kalimat yang bukan semestinya pada pokoknya. Itulah majaz (metafora alegori). Ia adalah mengeluarkan signifikansi dan mengubah kalimat pada makna yang dikandungnya. Jadi ia adalah perubahan signifikansi pada perbedaan makna. Dengan
demikian
ketika
para
tekstualis
sengaja
bahkan
memaksa
menformulasikan ulang makna yang dikehendaki, maka mereka mengeluarkan aspek lahir dari teks untuk kemudian menakwilkan makna tersebut sekaligus menafikanya. Inilah kebuntuan pembacaan tekstual. Ia kadang menyusun
22
. Ibid, hlm. 8
52
ulang kata-kata dan memproduksi makna, dan kadang berujung pada diam, atau cukup dengan mendengarkan teks dan memperhatikan bacaannya.23 Teks hendaknya menjadi wilayah pemikiran atau kajian. Ini berarti bahwa teks membutuhkan sebuah pembacaan yang mengubah dirinya dari sekedar kemungkinan menjadi proses pengetahuan yang produktif. Oleh karena itu, syarat pembacaan dan alasan keberadaannya semestinya berbeda dengan teks yang dibaca, dan hendaknya pembacaan itu menyingkap apa yang tidak ada atau belum ditemukan sebelumnya. Adapun model pembacaan yang menyoal apa yang diucapkan seorang pengarang maka pada dasarnya ia tidak menjustifikasi asal (as-ashl). Karena asal adalah lebih utama dibanding dengan pembacaan. Tetapi jika pembacaan itu, secara mendasar mengakui bahwa dirinya membicarakan apa yang tidak diungkapkan oleh seorang pengarang, maka dalam hal ini, pembacaan tidak membutuhkan teks dan bahkan ia menjadi lebih utama dibanding teks.24 Demikian model pembacaan yang menyia-nyiakan teks dan yang berlawanan dengan model pembacaan yang menyia-nyiakan dirinya sendiri. Model pembacaan seperti itu sama saja dengan tidak membaca (al-lâqirâ’ah) atau pembacaan yang mati dan tergolong sia-sia. Adapun pembacaan yang hidup adalah usaha pembacaan terhadap esensi teks yang berbeda sebagaimana pada saat yang sama teks tersebut berbeda dengan dirinya sendiri. Ia adalah pembacaan yang aktif – poduktif terhadap berbagai teks. Perbedaan bukan berarti aib atau perlawanan, sebaliknya ia merupakan kemungkinan dan kekuatan, karena itu tidak setiap wacana memberikan kemungkinan dan kekuatan. Teks yang jelas (an-nashsh al muhkam) memiliki satu dimensi, yaitu ketunggalan makna imperialisme konsep. Ia merupakan usaha yang tidak menuntut sebuah pembacaan, tetapi membutuhkan seorang pembaca yang aktif, yang diajari, dan diberi penjelasan oleh otoritas teks dan kekosongannya. Namun ia sendiri merupakan wacana yang berbeda dan tidak 23
Nasher Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan;Wacana Majas Dalam Al-Quran menurut Mutazilah, terj. Abdurahman Kasdi, Bandung, Mizan, 2003, hlm 206-208 24 Ali Harb, Herneneutik kebenaran, Op. cit., hlm. 9
53
jelas (rancu), yakni wacana yang memiliki persamaan bukti, jaringan makna dan bertingkat. Teks seperti itu memberikan kemungkinan pembacaan yang hidup. Teks yang memberikan peluang banyak model-model pembacaan juga menuntut pada berbagai model pembacaan karena pembacaan bervariasi sesuai dengan ragam tingkatan dan perbedaan pembacanya. Menurut Nur Kholik Ridwan, di dalam membaca teks, ada sisi narasi “tak terbaca” yang itu sebenarnya adalah metafora, sebab yang disebut “tak terbaca”pun akhirnya juga bisa dibaca. Hanya saja, sebagai metafora “tak terbaca” dipakai untuk membongkar atau belum banyak dipikirkan untuk dibaca. Yang dibaca dalam “narasi tak terbaca” adalah melacak kepentingan dari sebuah gagasan. Dengan kata lain, membaca apa yang “tak tampak dipermukaan” dari gagasan. Apa yang tak tampak di permukaan dipandang sebagai hasil dari kepentingan yang memunculkan gagasan, individu atau sebuah komunitas, yang “tak tampak dipermukaan” ini justru dipandang sebagai fakta yang menghasilkan gagasan atau yang menentukan gagasan. Sebab justru disitulah yang memerankan dan menentukan makna kunci dari gagasan karena ia adalah kepentingan yang memproduksi gagasan.25 Beragam pembacaan tersebut diperbolehkan bagi setiap ragam jenis teks. Pembacaan yang baik bukan berarti pembacaan yang memperbincangkan apa yang dibahas oleh teks. Melainkan membuka segala yang tidak disentuh dan yang dilupakan oleh teks. Yakni pembacaan itu tidak menafsirkan maksud yang diinginkan, tetapi membuka sesuatu yang dihalangi dalam ucapan oleh karena itu, pembacaan seperti ini tidak memberlakukan teks sebagai wacana yang jelas dan sejenis, tetapi sebagai sebuah kerancuan, yaitu teks yang beragam dan semu, yang berbeda dengan dirinya sendiri sebagaimana perbedaan pembacaan terhadap teks, semisal pembacaan Ibnu Arabi terhadap teks nabawî, dan pengumpulannya dengan teks tersebut. Setiap pernyataan mengklaim bahwa dirinya menceritakan segala yang terkandung dalam teks, .Nur Khalik Ridwan, Agama Borjuis, Kritik atas Nalar Islam Murni, Yogyakarta, Ar Ruzz, 2004, hlm. 36 25
54
dan bukan menceritakan yang lain, atau bahwa ia adalah pernyataan yang menipu, yang membicarakan teks dengan penuturan yang berbeda, kemudian mengaku bahwa dirinya sesuai dengan teks, seperti wacana teologi yang memberlakukan perbedaanya dengan asal, tetapi tetap menggunakan nama asal dan juga tetap dalam satu bendera. Ini adalah persoalan teks yang urgen dan atsar yang agung. Semua menuntut pada pembacaan produktif yang melampaui segala apa yang tertulis dalam teks. Ini pernah dilakukaan oleh Michel Foucault ketika melihat bentuk lain dari nalar Descartes, dengan berpijak pada bagaimana wacana nalar (rasio) menyembunyikan hubungaan antara rasionalitas (al-‘aql) dan irasionalitas (al-lâ’aql) yaitu menyembunyikan kerasionalitasanya. Begitu juga Althuser yang membaca teks “kapitalisme”. Ia berusaha melepaskan diri dari ideologi Mark dengan melakukan penafsiran dan pembaacaan baru. Oleh karena itu, ia kemudian menyuguhkan teks baru yang berbeda dengan Marxisme. Pembacaan itu memberikaan keurgensan dan kebenaranya, yaitu keberadaan pembacaan itu sendiri telah mewujudkan teks yang berbeda dengan Marx dan juga model pembacaan lain yang tunduk pada teks tersebut. Demikian pula pembacaan J. Lacoun terhadap Freud, ia sukses membuka pemikiran Freud dengan metode yang baru
yaitu, menghubugkan antara
ketidaksadaran (al-lâwa’yu) dan bahasa (al-lughah) artinya, J. Lacoun menelusuri akal bawah sadar (al-aql al- bâthin) dengan pembacaan yang diciptakanya, seolah-olah seperti pembicaraan, wacana, atau teks yang memiliki struktur gramatika dan eksistensi simbolik. Dalam model pembacaan seperti ini, apa yang ditampilkan kritik teks adalah seperti data pengetahuan yang menyuguhkan berbagai instrumen dari dalam mengeksplorasi dan meneliti.26 Akhirnya, Jacques Derida yang melakukan hal yang sama. Ia memberlakukan teks dengan membaca dan mendekonstruksinya, ia tidak mementingkan pernyataan yang ditulis dan diucapkan, seperti pandanganya
26
Ali Harb, Op. cit., hlm. 22-23.
55
teerhadap
catatan
pinggir,
tetapi
ia
memperhatikan
penipuan
dan
pengelabuhan suatu peryataan. Suatu teks memiliki berbagai gradasi, beragam aspek aneka pertentangan, kekaburan, celah dan lubang, bahkan juga memiliki realitas maya dan ruang kosong.27 Karenanya sebuah teks di baca dengan membahasnya menurut perbedaan aspek-aspek linguistik, atau membuka kemungkinan-kemunkinan
semantisnya,
atau
menggunkap
struktur
maknanya, atau ekspansi bidang garapanya. Berdasarkaan pertimbangan di atas, sebuah teks mungkin untuk di teliti dan dibaca, atau dianggap sebagai wacana yang bergerak tanpa titik akhir, atau paparan yang tidak mungkin untuk dihentikan. Pembacaan sebagai bentuk perlakuan terhadap teks dapat dianggap sebagai ruang yang terbuka, dimana didalamnya dapat diselidiki kemungkinaan-kemungkinan
rasionalnya,
sehingga
penelitian
terhadap
kekuatan intepretasinya sebagai kekuatan yang mencerahkan menjadi keniscayaan.28 Pembacaan teks dengan modal ini tersusun berdasarkan dua hal, yaitu pertama, menghindaari aktivitas analisis-analisis yang merupakan kerja pemikiran. Aktivitas analisis-analisis tersebut menyangkut beberapa madzhab, sistem dan orientasi, baik bersifat ideologis, saintifik atau metodologis. Pengaruh pemikiran itu lebih luas dan lebih kaya dari pembatasnya dengan orientasi yang pasti, jelas dan tetap, atau menentukannya dengan sistematika, yang kaku, atau memasukan bentuk-bentuknya. Untuk itu tujuan rekonstruksi teks berarti mereduksinya, bahkan pada setiap rekonstruksi akhir itu identik dengan karakter normatif–dogmatis atau rasional. Kedua setiap pembacaan yang efektif tidak mungkin akan menghasilkan, sesuatu, kecuali jika teks yang akan dibaca itu berbeda, itu berarti bahwa sebuah pembacaan tidak akan membuang prinsip dasar yang dimaksud oleh si penulis teks, akan tetapi merupakan pembicaraan teks yang memungkinkan hadirnya kemungkinan makna lain yang sama sekali berbeda. Sebuah pembacaan mendasarkan diri 27 28
Ali Harb, Relavitas Kebenaran Agama, Op.cit., hlm. 16 Ibid., hlm.17
56
pada sumber teks, menganalisisnya dan menggungkapkanya dengan tujuan untuk menafsirkanya dan merekonstruksi bangunan teorinya atau malah memetakannya. Hal itu dapat diwujudkan dengan pemikiran yang berdasarkan teks tersebut, serta dengan metode yang sama sekali lain dengan metode yang dipergunakan penulisnya. Sebuah teks–berdasarkan teori ini memiliki sifat plural, serta mengandung banyak perbedaan sekaligus kemiripan dan keserupaan. Sebuah pembacaan yang baik bukanlah yang sesuai dengan teks, melainkan berbeda dengannya, karena itu,
sebuah teks yang terbuka
mendorong kemampuan berpikir karena, ia tidak memungkinkan untuk dibaca dan tafsirkan. Ia hanyalah sebuah teks yang dibaca dan didegarkan serta tidak bermakna apa-apa.29 Cara pemerlakuan teks seperti ini menyebabkan kedudukan madzhab dan metodologi yang dijelaskan oleh penulis teks menjadi tidak
banyak
berguna termasuk pada saat penulis bercerita tentang dirinya sendiri seperti, apakah dirinya seorang rasionalis atau tidak, materialis dan idealis, marxis atau liberalis, fundamentalis atau bukan fundamentalis. Yang paling penting adalah aspek yang berbeda dibalik wacana dan tidak dinyatakan yang mencakup sesuatu yang dijalani dan ditutup-tutupi, atau sesuatu yang tidak terucap atau bahkan dilarang untuk diucapkan. Secara global, sebuah teks berdasarkan apa yang di lihat dan di baca – yang menolak pembatasan dan penelitian secara menghindari penyempitan dan reduksi setiap dibaca, senantiasa memancing timbulnya pernyataan dan perdebatan serta melahirkan kandungan makna yang kaya akan kemungkinan-kemungkinan untuk ditawarkan, atau makna tersembunyi yang hampir menghilang dan dilupakan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebuah teks dianggap terbuka sesuai dengan perbedaan dan keberagaman pembacanya.
29
Ibid., hlm. 18