59
BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN TASAWUF MENURUT AMIN SYUKUR
A. BIOGRAFI, AKTIVITAS INTELEKTUAL SOSIAL DAN KARYA AMIN SYUKUR 1. Biografi Amin Syukur Tidak banyak guru besar di bidang tasawuf, diantara pemikir yang memiliki perhatian besar terhadap masalah-masalah tasawuf adalah Amin Syukur1. Pria kelahiran Gresik 17 Juni 1952 lahir dari pasangan orang tua H. Abd. Syukur, (alm) dan Hj. Umi Khalsum di desa Kali Rejo dukuh Gresik dan dibesarkan dalam lingkungan Nahdatul Ulama (NU) yang ketat dalam urusan agama. Sekarang beliau bertempat tinggal di BPI Blok S.18 Ngaliyan Semarang, sehari-harinya sejak tahun 1980 beraktivitas sebagai tenaga pengajar di fakultas Ushuluddin IAIN Walisingo Semarang. Pria yang pernah menduduki jabatan sebagai pembantu Rektor III (1993-1997) dan menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin ini telah mempersunting wanita dari Kediri Fatimah Utsman dan dikaruniai dua orang putri, Ratih Rizqi Nirwana (telah menikah) dan Nugraheni Itsnal Muna yang sekarang menjadi mahasiswi Fakultas Kedokteran Umum UNDIP Semarang. Amin Syukur menjalani pendidikan dari pondok al-Karimi Tebunyung, Gresik hingga masuk Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Ponpes Ihya’ul Ulum Gresik, dan kemudian melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) AIN Ponpes Darul ‘Ulum Jombang. Amin Syukur di Darul ‘Ulum menjalani tiga pola pendidikan sekaligus, yakni pendidikan pesantren, pendidikan madrasah dan sekaligus pendidikan umum kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi dan berhasil
1
Data biografi ini sebagian besar berasal dari wawancara penulis dengan Amin Syukur, di kediamannya Perumahan BPI Blok S No.18 Ngaliyan Semarang pada tanggal 20 Juni 2006 dan dari buku-buku karya beliau melipti: Insan Kamil, Paket Pelatihan Seni Menata Hati (SMH) LEMBKOTA, Tasawuf Sosia, Zuhud di Abad Modern, Intektualisme Tasawuf.
60
meraih gelar sarjana muda dari fakultas Ushuluddin (FU) UNDAR (Darul ‘Ulum) Jombang pada tahun 1976. Selanjutnya Amin Syukur melanjutkan program Strata Satu (S1) di Fakultas
Ushuluddin
IAIN
Walisongo
Semarang
dan
berhasil
mendapatkan gelar sarjana pada tahun 1979, kecintaannya terhadap ilmu mendorongnya untuk melanjutkan lagi di program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta. Ditengah-tengah kesibukannya menjadi dosen, beliau juga pernah menjabat sebagai Pembantu Rektor III di IAIN Wali Songo Semarang pada tahun 1993 hingga 1997. Sedangkan dalam Pasca Sarjananya beliau mengambil dibidang Tasawuf, dan program S2 diselesaikan pada tahun 1990 dengan Tesis “Sumbangan al-Hallaj Terhadap Perkembangan Pemikiran Tasawuf” dan selesai S3 pada tempat yang sama pada tahun 1996 dengan Disertasinya “Zuhud Dalam Sorotan al-Qur’an dan Aplikasinya di Masa Kini”. Penguasaannya terhadap berbagai literasi dan pemikiran Tasawuf, terutama literatur yang paling berkesan baginya adalah buku Madkhal Ilal Tasawuf al-Islami karangan Abu al-Wa’fa al-Ghanimi al-Taftazani dan tulisan Ibrahim Basyuni yang berjudul Nazi al-Tasawuf al-Islami, semakin membuat Amin Syukur lebih banyak mengkaji masalah-masalah Tasawuf, meskipun tidak menutup diri terhadap berbagai persoalan yang lain. Itu sebabnya Amin Syukur mengelola penulisan tasawufnya untuk dapat diaktualisasikan
ke
dalam
kebudayaan
modern
dengan
segala
perkembangan sosio-kultural masyarakat. Berbagai penelitian seminar dan diskusi sebagian besar digunakan untuk mengkaji berbagai persoalan tasawuf dan perkembangan masyarakat. Disertasinya dan sebuah penelitian tentang “Tasawuf dan Tanggung Jawab Sosial Pada Abad XX” membuktikan kevalidan dan kemampuannya mengolaborasi sejarah dan pemikiran klasik para Sufi menjadi relevan dengan kehidupan sekarang ini. Atas perhatian dan kemampuannya dalam bidang tasawuf inilah IAIN Walisongo Semarang pada tanggal 19 Agustus 1997, mengukuhkan beliau sebagai guru besar IAIN Walisongo Semarang dengan konsentrasi bidang
61
tasawuf. Dan setelah selesai menjalankan tugasnya menjabat sebagai Dekan fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Pada tahun 1997 beliau termasuk perintis program Pasca sarjana IAIN Walisongo Semarang dan dosen pengajar IAIN Walisongo. Selain mengajar di fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, beliau juga mengajar dibeberapa perguruan tinggi yang lain, diantaranya: STIKUBANK, STIBA, STIE BPD Fakultas Ekonomi dan Hukum, UNTAG. Bahkan Ia juga menjadi guru besar di STAIN Kudus, STAIN Pekalongan dan STAIN Solo. Di Universitas Darul ‘Ulum Jombang sebagai penasihat akademik pada program Magister Agama Islam. Amin Syukur juga pernah melakukan keluar negeri yakni dalam rangka menunaikan ibadah haji tahun 1997, pada tahun 1994 sampai 1995 kursus masalah administrasi Universitas di Sidney Australia. Jabatan yang pernah dipegangnya antara lain: penasihat pada Yayasan NASIMA Semarang, Pembina Lembaga Studi Agama dan Pembangunan (LSAP) Semarang, dan Sekretaris Walisongo Press DPD I Majelis Dakwah Islam (MDI). Ia pernah menjabat sebagai biro penerangan di media massa, di ICMI Orwil Jateng. Beliau pun pernah menjabat sebagai ketua Devisi Pengembangan Umat dan sekarang menjadi direktur Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf (LEMBKOTA) serta masih banyak jabatan lain yang pernah ditekuninya. Selepas dari jabatan Dekan Fakultas Ushuluddin tahun 2001 beliau aktif di LEMBKOTA, Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf yang dirintisnya bersama beberapa kawan di IAIN Walisongo pada bulan Juli tahun 2000. Menurut Amin Syukur, lembaga tersebut dibentuk berawal dari kepedulian terhadap kondisi bangsa Indonesia yang tidak karuan, porak-poranda dan penuh permainan dan elit politik, sehingga tidak mengherankan jika kegiatan LEMBKOTA yang sering dilakukan selama ini lebih banyak diikuti kalangan elit masyarakat. Ketertarikan Amin Syukur untuk menggeluti dunia tasawuf berawal dari kecintaannya terhadap “Thariqat” yang cenderung menganut
62
ajaran yang aneh. Karena beliau berfikir bahwa Thariqat sama dengan tasawuf. Sebuah pengalaman pribadi yang kemudian menjadi motivasi utama dalam keseriusannya menggeluti dunia tasawuf adalah atas operasi otak dan kanker, sakit yang diderita sekaligus pengalaman yang berharga dalam hidupnya. Karena sebuah mukjizat Allah, penyakit itu telah sembuh. Selain itu keinginan untuk mencari hidup lebih bermakna dari sekedar makan dan mensyukuri nikmat Allah yang telah diterimanya telah membuat beliau semakin eksis dan produktif menekuni dunia tasawuf modern ini.
2. Aktivitas Sosial, dan Intelektual Amin Syukur a. Aktivitas Sosial Banyak kegiatan bersifat sosial maupun intelektual yang telah dilakukan oleh Amin Syukur, sementara
itu berbagai artikel juga
dimuat di berbagai media massa seperti Harian Suara.Merdeka dan jurnal-jurnal ilmiah di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Sejak bulan Desember 2000 sampai sekarang (2006) secara rutin mengisi rubrik dialog “Tasawuf Interaktif” yang dimuat pada harian Suara Merdeka. Pada tanggal 11 Oktober 2001 beliau mendirikan LEMBKOTA (Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf) Semarang, juga merupakan salah satu devisi yang melaksanakan aktivitas Yayasan al-Muhsinun dalam mencapai visi dan misinya. Sampai sekarang lembaga tersebut juga dikembangkan sebagai kursus tasawuf Seni Menata Hati di kediaman beliau perumahan Bakti Persada Indah Blok S nomor 18 Ngaliyan maupun di Lembagalembaga yang telah diajak bekerja sama. Diantara kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam Paket Kursus Seni Menata Hati bersifat sosial adalah:
63
1) Paket Seni Menata Hati (SMH) Membangun remaja kreatif dan prestatif, ditujukan untuk remaja dan dilaksanakan sebagai liburan sekolah. 2) Paket Seni Menata Hati (SMH) membentuk keluarga yang sakinah. 3) Klinik Konsultasi Rohaniah yang dilaksanakan di kediamannya. 4) Pengajian Tasawuf Rutin yang bersifat umum di Masjid al-Ikhlas BPI Ngaliyan. 5) Paket Wisata Rohani, silaturahmi ke pondok pesantren dan tokoh Ulama’ yang dapat memberikan tambahan spiritual. 6) Seminar dan Diskusi yang bersifat rutin, dan lain-lain.
b. Aktivitas Intelektual Dalam lingkungan IAIN Walisongo Semarang, Amin Syukur termasuk intelektual yang produktif dalam pemikirannya2. Sampai saat ini sudah beberapa buku telah diterbitkan maupun dalam bentuk makalah yang telah ditulis dan disampaikan dalam forum diskusi ilmiah yang diselanggarakan tidak hanya dilakukan di lingkungan IAIN Walisongo saja, tetapi juga di perguruan tinggi yang lain. 1) Buku-buku yang telah diterbitkan adalah: •
Pengantar Ilmu Tauhid diterbitkan oleh Bangun Desa Tahun 1987.
•
Pengantar Ilmu Akhlak diterbitkan oleh Duta Grafika tahun 1988.
•
Pengantar Studi Islam
diterbitkan oleh Pustaka Pelajar
Yogyakarta tahun 1996. •
Zuhud di Abad Modern di terbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta tahun 1997.
2
Data ini sebagian besar berasal didapatkan dari wawancara penulis dengan Amin Syukur, di kediamannya Perumahan BPI Blok S No.18 Ngaliyan Semarang pada tanggal 20 Juni 2006 dan dari buku-buku karya beliau melipti: Insan Kamil Paket Pelatihan Seni Menata Hati(SMH) LEMBKOTA, Tasawuf Sosia, Zuhud di Abad Modern, Intektualisme Tasawuf.
64
•
Menggugat
Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial
Abad 21 diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta tahun 1999. •
Masa Depan Tasawuf dalam Tasawuf dan Krisis diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2001.
•
Intelektualisme Tasawuf Studi Intelektualisme Tasawuf alGhozali, ditulis bersama Masyharuddin, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2001.
•
Tasawuf Sosial, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
•
Islam dan Transformasi Etik.
•
Pengaruh dalam Bunga Rampai.
•
Epistemologi Syara’.
2) Penelitian yang pernah dilakukan diantaranya adalah: •
Pemikiran dan Penguasaan Tanah, penelitian individual 1998.
•
Sumbangan al-Hallaj terhadap Perkembangan Pemikiran Tasawuf, tesis, 1990.
•
Corak Pemikiran Tafsir al-Qur’an pada Abad XX, Suatu Kajian Metodologis, penelitian kolektif 1993.
•
Pemikiran Ulama’ Sufi Abad XX tentang Zuhud, penelitian kolektif 1993.
•
Rasionalisme dalam Tasawuf, penelitian individual 1996.
•
Tanggung Jawab Sosial Tasawuf Abad XX, penelitian individual 1996.
•
Aplikasi Zuhud dalam Sorotan al-Qur’an, Desertasi Individual 1996.
3) Buku-buku yang dipersiapkan adalah: •
Tasawuf Bagi Orang Awam.
•
Pengaruh Tasawuf pada Pengembangan NU
•
Dimensi Etika Teoritik dan Praktis.
65
•
Pesantren dan Tasawuf.
•
Tasawuf dan Ekonomi.
•
Pesantren dan Teoritis.
4) Selain buku-buku, banyak makalah-makalah yang diseminarkan diantaranya adalah: •
Menggugat Tasawuf.
•
Tasawuf dan Rekontruksi Ajaran Menuju Abad 21.
•
Tasawuf Sosial.
•
Masa depan Tasawuf.
•
Zdikir Diabad Modern.
•
Tasawuf, wacana, spiritual pada era globalisasi.
•
NU kedepan.
•
Konsep Islam Dalam Mencegah Pornografi.
•
Al-Qur’an dan Pluralisme Agama.
•
Fundamentalisme Dalam Islam dan lain-lain.
5) Organisasi •
Dewan Pertimbangan DPD I Tarbiyah Islamiyah Jawa Tengah (1995-2000).
•
Pemimpin Redaksi Jurnal Theologia Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang (1990-…).
•
Sekretaris Walisongo Press (1993).
•
Wakil Ketua DPD I MDI Jawa Tengah (1994).
•
Wakil Ketua ICMI Orwil Jawa Tengah (1995).
•
Ketua Komisi Pendidikan MUI Jawa Tengah (1995).
B. PEMIKIRAN TASAWUF AMIN SYUKUR 1. Dasar Pemikiran Amin Syukur Dari berbagai buku yang beliau tulis maka dapat diambil pemahaman bahwa Amin Syukur adalah seorang pembaharu, disamping mendasarkan pemikiran dan pendiriannya kepada dalil-dalil naqli (nash
66
agama) yakni al-Qur’an dan al-Hadist. Akan tetapi beliau juga memakai dan meyakini penuh kedaulatan akal dalam banyak segi, khususnya yang berkaitan dengan permasalahan keduniawian.3 Al-Qur’an sendiri memuat berbagai firman yang merujuk pada pengalaman spiritual nabi, misalnya nabi bertemu dan berhadapan dengan malaikat Jibril serta Allah. Yakni pengalaman beliau ketika menerima wahyu di Gua Hira’. Dan pengalaman beliau ketika melakukan perjalanan Isra’ dan Mi’raj. Sebenarnya sejak zaman Rosulullah sudah terdapat kelompok sahabat nabi yang lebih tertarik kepada hal-hal yang bersifat lebih batiniyyah, disebut-sebut misalnya ahli al-Shuffah, yaitu sejumlah sahabat yang lebih memilih hidup fakir, dan sangat setia kepada masjid sehingga kemudian kelompok ini sering diacu sebagai teladan kehidupan shaleh dikalangan para sahabat. Selanjutnya pandangan Amin Syukur terhadap akal adalah sebagai sarana memperoleh pengetahuan. Akal memperoleh pengetahuan yang dicirikan oleh kesadaran akan sebab dan musabab (akibat) suatu keputusan yang tidak terbatas pada kepekaan indra tertentu dan tidak hanya tertuju pada obyek tertentu pula4. Sebagaimana al-Ghozali mengatakan bahwa secara epistimologi ada dua instrumen yang bertalian erat dengan pengetahuan sufistik, yaitu akal dan intuisi. Akal berdasar prinsip filosofis al-Ghozali adalah “fitrah instinktif” dan cahaya yang orisinal yang menjadi sarana manusia dalam memahami realitas.5 Maka dari itu tentang akal dan tasawuf, al-Ghozali mengatakan paling tidak ada dua fungsi akal yang dibutuhkan bagi jalan tasawuf. Pertama, akal sebagai prasarana bagi jalan tasawuf yang berfungsi: 1. Untuk memperoleh pengetahuan yang benar dan dibutuhkan bagi jalan tasawuf. 3
Hasil wawancara pada tanggal 20 Juni 2006 Hasil wawancara pada tanggal 20 Juni 2006 5 Amin Syukur dan Masyaruddin, Intelektualisme Tasawuf, Study Intelektualisme Tasawuf al-Ghozali, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002), Hlm.82. 4
67
2. Untuk mengarahkan latihan-latihan (riyadhah) yang benar bagi jalan tasawuf. 3. Untuk berfikir benar dan lurus dalam mempersiapkan diri dalam memperoleh pengalaman dan pengetahuan sufistik. Kedua, akal sebagai sarana dan alat evaluasi yang berfungsi untuk melakukan pengujian dan penilaian kritis terhadap pengalaman dan pengetahuan sufistik yang diperoleh serta pelurusannya. Sebab dalam kondisi ekstase (fana’) yang dialami para sufi dapat membawa mereka pada ucapan-ucapan subyektif, karena ucapan mereka dalam kondisi fana’ selamanya terbatas dan subyektif. Bahkan menjadi kebiasaan di kalangan para sufi ketika berada dalam kondisi fana’ mereka hanya mengemukakan (perasaan) yang dialami dirinya sendiri.6 Sebetulnya tidak ada atau setidaknya kecil sekali hubungan antara tasawuf dengan intelektualisme, karena keduanya berada di wilayah yang berbeda. Yang pertama berada pada dan berhubungan dengan afeksi, yakni pada fakultas hati (al-qolb dan sejenisnya) dan yang kedua berada dan berhubungan dengan wilayah kognisi, yakni fakultas rasio (al-‘aql). Namun demikian keduanya sering dianggap memliki hubungan kausal. Anggapan ini kemudian memunculkan pandangan yang berbeda.7 Secara metodologis, epistimologis tasawuf berbeda dengan epistimologi filsafat ilmu (barat). Yang kedua ini menggunakan rasio dan empiri, maka yang pertama memakai intuisi atau dzauq atau wujdan, yaitu ilmu yang diperoleh langsung dan berkaitan dengan persepsi batin (alqolb) setelah melalui proses tertentu, yakni penyucian al-qolb tersebut
6
Ibid, Hlm. 102. Pertama pandangan yang menyatakan bahwa tasawuf penghambat intelektualitas, bahwa tasawuf mengalihkan alam pikiran umat Islam. Kedua, reaksi terhadap pandangan pertama, tasawuf bukan hanya tidak menghambat, tetapi justru meningkatkan intelektualitas. Secara hipotetis, pandangan ini kurang bisa dirumuskan: semakin seorang menyelami kehidupan tasawuf, maka semakin tinggi pula etos intelektualnya. Atau seperti dirumuskan oleh Jalaludin Rahat, meski tampak terbalik, bahwa semakin tenggelam dalam pekerjaan intelektual, seorang akan semakin rindu kehangatan spiritualisme. Lebih jelas lihat, Ahmad Musyafiq, Reformasi Tasawuf Al-Syafii, (Jakarta: Atmaja, 2003), Hlm. 160-163. 7
68
sehingga menjadi bersih dan jernih, sehingga mampu menangkap fenomena yang ada.8 Lebih lanjut Bergson berpendapat, seperti yang dikutip R. Paryana Suryadipura bahwa pada diri manusia terdapat intuisi yang bersifat intra intelektual dan supra intelektual. Yang pertama adalah intuisi yang menyertai pikiran dan masuk pikiran manusia melalui indra. Yang kedua adalah intuisi yang tumbuh pada diri manusia tanpa didahului keterangan logis dan tidak tergantung pada pengamatan.9 Di era sekarang ini menjadi perlu dipertimbangkan atas bukti kebenaran yang dapat diterima sehubungan dengan pengetahuan intuitif. David Truebood menjelaskan, paling tidak ada tiga hal yang harus dipenuhi agar kebenaran pengetahuan intuitif ini dapat diterima,10 karena kebenaran intuitif mempunyai karakter yang berbeda dengan pengetahuan rasional yang dapat diukur kebenarannya dengan kualifikasi logis dan rasional, ataupun pengetahuan empirik (indrawi) yang dapat diukur dengan kualifikasi eksak atau kuantitatif. Melalui tasawuf seseorang disadarkan bahwa sumber segala yang ada adalah Tuhan, sehingga ia mampu mengarahkan ilmu dan teknologi yang dimiliki berwawasan moral atau diarahkan oleh nilai-nilai dari Tuhan, sehingga tidak terjadi dengan apa yang diistilahkan oleh Zakia Daradjat, yaitu “pengetahuan tanpa agama membahayakan”.11 Amin Syukur juga sependapat bahwa melalui tasawuf segala sesuatu hanyalah
8
Amin Syukur dan Masyaruddin, Intelektualisme Tasawuf,Op Cit, Hlm. 105. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Hlm. 123, Cet 2. 10 Pertama, Moralitas Subyek, maksudnya pengetahuan intuitif dapat dikategorikan pada pengetahuan tingkat ilmiah yang lebih tinggi, maka sandaran yang lebih kuat adalah moralitas penerima pengetahuan itu, sebab setiap orang tidak dapat mengikuti penyelidikannya secara kritis. Kedua, akal sehat, artinya untuk menilai kevalidan pengetahuan intuitif maka ditinjau dari penalaran akal sehat, sebab pada akhirnya kembali pada akal, dan akal merupakan hakim terakhir. Ketiga, keahlian sebyek secara tepat, karena pengetahuan intuitif bukan pengetahuan pada umumnya, maka harus melihat pada subyek penerimanya, adakah ia memiliki keahlian dan berkompeten pada disiplin pengetahuan itu atau tidak. Ibid, Hlm. 124. 11 Zakia Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1993), hlm. 65. 9
69
tertuju pada Tuhan termasuk nyawa maupun kematian akan dirinya. Segala sesuatu akan ada pada cerminan Tuhan.12 Bagi seorang akademisi perlu menempatkan tasawuf pada porsi dan
proporsinya
yang
tepat.
Ia
bukan
tempat
pelarian
dari
ketidakberdayaan seseorang untuk berfikir rasional, lari dari kenyataan dan mengadakan kontempelasi untuk mencari kebenaran. Kerja intuisi merupakan peningkatan berfikir rasional, sehingga bertambah tinggi kemampuan intelektual seseorang, akan bertambah besar kemungkinannya memperoleh ilmu intuitif ini. Dengan demikian, ilmu ini tidak bisa ditangkap oleh sembarang orang.
2. Pemikiran Amin Syukur tentang Tasawuf Islam adalah agama pertengahan (wasath), bila dibanding dengan kedua agama samawi pendahulunya. Agama Yahudi, misalnya, lebih menekankan pada aspek legalistik yang berorientasi pada kemasyarakatan. Sementara agama Kristen lebih menekankan pada aspek spiritualistik seperti pengalaman rohani sehingga membuat agama itu terkesan lembut (kasih).13 Maka sebagai bentuk pertengahan (wasath) dari kedua agama pendahulunya itu, Islam mengandung ajaran-ajaran hukum dengan orientasi kepada masalah-masalah tingkah laku secara lahiriyah seperti agama Yahudi, tapi juga mengandung ajaran-ajaran ketuhanan yang mendalam seperti pada agama Kristen. Tasawuf sebagai salah satu khazanah Islam, lahir sebagai produk sejarah Islam, setelah mengalami proses dan pasang surut sejarahnya telah mengkristal menjadi sebuah disiplin ilmu keislaman yang berdiri sendiri, baik dalam aspek materi maupun metodologinya. Amin Syukur memaknai bahwa penyebab munculnya dan berkembangnya tasawuf dan spiritnya adalah persoalan sosio-kultur yang 12
Hasil wawancara pada tanggal 20 Juni 2006. Amin Syukur, Masa Depan Tasawuf dalam Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Hlm. 34. 13
70
terjadi pada masyarakat, dimana tasawuf hadir menjadi solusi persoalanpersoalan tersebut. Bahkan sebagai kekuatan ajaran yang utuh antara iman dan ihsan. Pada nabi Muhammad SAW telah menjelaskan dirinya sebagai pembawa penceramah terhadap masyarakat yang tengah mengalami masa kegelapan. Demikian pula pada masa sahabat, spirit tasawuf dalam bentuk zuhud juga ditunjukkan oleh Abu Dzar, maupun Hasan al-Bisri untuk menanggapi kondisi sosial politik yang mulai mengurang dari semangat Islam, yakni semangat bentuk mewujudkan kehormatan bagi lingkungan masyarakatnya dan alam semesta ini. Sebagaimana al-Ghozali selama sepuluh tahun bukannya lari dari dunia, akan tetapi beliau sedang aktif menulis karya ilmiahnya sehingga lahirnya Ihya’ al Ulumuddin dan karya lainnya.14 Dalam perkembangan tasawuf kemudian melakukan formulasi ajaran menjadi gerakan spiritual, termasuk didalamnya membentuk ordoordo sufi atau tarekat ajaran-ajaran tasawuf yang berintikan ihsan, sikap sebagai upaya untuk mendapatkan hubungan langsung dengan Tuhan, setidaknya ada dua hal yang menyebabkan munculnya penafsiran yang keliru tentang pandangan terhadap dunia. Pertama, pengaruh pahampaham yang didasarkan pada pandangan pesimistis terhadap dunia. Kedua, disebabkan oleh latar belakang sejarah yang tidak menggembirakan dan faktor-faktor lainnya yang menimpa umat Islam selama lebih dari empat abad ini15. Sikap menarik diri dan apatis terhadap dunia, di sisi yang lain ternyata menyebabkan kemunduran bagi perkembangan peradaban umat Islam, meskipun kemunduran umat Islam sendiri tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja. Menurut Amin Syukur, tuduhan tersebut benar, jika fenomena sejarah yang terjadi didalam dunia tasawuf hanya dilihat begitu saja tanpa memberi makna terhadapnya sama sekali. Oleh karena itu upaya menarik diri dari dunia ini terdorong oleh kondisi yang ada. 14 15
Hasil wawancara pada tanggal 20 Juni 2006. Amin Syukur, Zuhud Diabad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) hlm. x.
71
Perilaku ekonomi dan politik dari orang kaya dan penguasa di masa itu, sehingga dapat diketahui bahwa sikap sufi tersebut dengan ajaran tasawufnya yang menunjukkan dua hal, pertama adalah sikap tersebut sebagai bentuk dari ajaran tasawuf dan kedua adalah sikap itu mencerminkan tanggung jawab sosial dan protes sosial sebagai respon terhadap kondisi yang ada.16 Amin Syukur menambahi yang pada umumnya, sikap lari pada dunia dan bentuk atas kezuhudan mereka yang terjadi mulai pada abad ketiga.17 Budi Munawar dan Rachman juga mengatakan bahwa tasawuf juga mendorong keberagamaan inklusif “Karena tasawuf berurusan dengan soal-soal kerohanian, maka agama di sini harus dilihat dalam arti spiritual dan arti spiritnya. Manusia sebenarnya punya satu ikatan primordial dengan Tuhan. Maka kata dien dalam al-Qur'an menjadi menarik, karena mempunyai arti ikatan antara manusia dengan Tuhan. Justru pada segi ini tasawuf memberikan perhatian yang sedalam-dalamnya, bukan dalam arti lahiriyah, seperti syari'ah sudah memikirkan fiqih”.18 Pemaknaan seperti ini oleh Amin Syukur dianggap penting untuk melakukan, mengingat persoalan sosio-kultur masyarakat senantiasa berkembang sehingga tasawuf dituntut mampu menjadi solusi bagi persoalan-persoalan masyarakat yang muncul dewasa ini, terutama pada abad sekarang ini, dimana eranya adalah era modernisasi,19 sehingga dalam Tasawuf Sosial bagian keempat Amin Syukur mengatakan posisi Islam ditengah-tengah deraan lajunya kemajuan sains dan teknologi. Dalam menghadapi masyarakat modern yang menempatkan pertimbangan 16
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Op Cit, hlm. 110. Hasil wawancara pada tanggal 20 Juni 2006. 18 http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=198. 19 Yang menurut Atho’ Mudzar ditandai lima ciri pokok; Pertama, berkembangnya mass culture karena pengaruh mass media sehingga budaya tidak lagi bersifat lokal melainkan nasional bukan global. Kedua, tumbuhnya sikap-sikap yang lebih mengakui kebebasan bertindak, manusia bergerak menuju perubahan-perubahan masa depan, bahkan dapat ditaklukannya alam, membuat manusia lebih leluasa kalau bukan merasa berkuasa. Ketiga, tumbuhnya kecenderungan berfikir rasional, meskipun pemikir irasional tidak bisa dihilangkan sama sekali dari kehidupan manusia, tetapi sebagai kehidupan manusia diatur oleh aturan rasional. Keempat, tumbuhnya hidup yang materialistik, artinya semua hal diukur oleh nilai kebendaan dan ekonomi. Kelima, meningkatnya laju urbanisasi. Lebih jelas lihat Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Op Cit, hlm. 111. 17
72
akal atau rasio sebagai kekuatan utama, Islam haruslah ditawarkan secara utuh dan fungsional. Disinilah, doktrin Islam akan teruji keuniversalan dan keorisinalitasnya.20 Pemaknaan baru tentang tasawuf inilah yang diperlukan sebagai upaya revivalisasi nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, mengingat masyarakat modern dengan segala cirinya ternyata menimbulkan problem baru bagi manusia dan masyarakatnya, berupa gejala yang oleh Dadang Hawari disebut adzab sengsara akibat modernisasi, gejala yang dapat dilihat adalah meningkatnya angka kriminalitas, tindakan kekerasan, kenakalan remaja, menyalahgunakan obat narkotika dan psikotropika, bunuh diri, gangguan jiwa dan sebagainya. Gejala psikososial masyarakat modern tersebut menurut Dadang Hawari disebabkan oleh kurang terjadinya disorganisasi dan disintegrasi sosial dalam masyarakat.21 Pada pola hidup demikian melahirkan manusia yang pincang, hanya berorientasi pada masalah kekinian dan segala perubahan yang dilakukan tanpa dilandasi pegangan hidup serta tujuan hidup yang kuat justru melahirkan krisis.22 Sehingga wajar jika pada akhirnya manusia modern dilanda krisis spiritual yang melahirkan gangguan psikologis, seperti merasa tidak aman dan terancam oleh kemajuan yang dicapai. Oleh karena itu sikap seorang sufi terhadap masa kekinian harus dapat menerima, menyaring dan memilah-milah terhadap kemajuan untuk dijadikan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan.23 Kemajuan ilmu dan teknologi sebagi tulang punggung modernisasi ternyata tanpa sadar mengakibatkan dampak negatif dengan terjadinya kerusakan-kerusakan lingkungan, baik lingkungan teknologi informal
20
Amin Syukur, Tasawuf Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Hlm. xi. Dadang Hawari, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1997), hlm.3. 22 Abdul Muhaya, Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual dalam Tasawuf dan Krisis, Amin Syukur dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Hlm. 22. 23 Hasil wawancara pada tanggal 20 Juni 2006. 21
73
maupun lingkungan sosial-kultur serta penyakit hati yang telah merata dalam masyarakat. Oleh karena itu Amin Syukur melihat bahwa ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang dikembangkan dalam tasawuf memiliki relevansi dengan pembangunan masyarakat. Tasawuf pada intinya adalah akhlak, sedangkan akhlak harusnya mengenai segala aspek kehidupan, tidak hanya pada ritual ibadah.
3. Karakteristik Tasawuf Akhlaki menurut Amin Syukur Ajaran-ajaran tasawuf bertugas membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyu’ tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha, tawakal dan seluruh sifat yang terpuji yang berjalan dengan hati. Jadi sasaran tasawuf ialah akhlak dan budi pekerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada Allah. Oleh karena itu, maka ajaran tasawuf sangat mengutamakan adab dan nilai, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun manusia dengan manusia.24 Guna mencapai tingkatan dalam tasawuf, maka seorang sufi hendaknya melakukan latihan mental (riyadlah), yang digabungkan dengan bentuk pengaturan mental yang benar dan disiplin tingkah laku yang ketat. Selain itu seorang sufi harus melakukan pendalaman terhadap pengalaman batin dengan tidak mengabaikan aspek lahiriyah dan dimotivasikan untuk membersihkan hati dengan cara mujahadah sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dengan cara mengontrol diri, setia dan merasa ada dihadapan Allah. Secara umum tasawuf dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan 24
143.
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1976), hlm.
74
tingkah laku yang ketat. Tasawuf amali yaitu tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini tasawuf amali sering dikonotasikan dengan thariqat. Sedangkan tasawuf falsafi yaitu tasawuf yang ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya.25 Dari cara memperoleh ilmu menggunakan rasa, sedang menguraikannya menggunakan rasio, ia tidak bisa dikatakan tasawuf secara total dan tidak bisa pula disebut filsafat, tetapi perpaduan antara keduanya yang selanjutnya disebut tasawuf falsafi. Ketiga model tasawuf tersebut hanya sebatas dalam sistematika keilmuan, bukan dalam tataran praktis. Ketiganya menyatu pada pribadi yang satu dan utuh.26 Dari ketiga kategori tersebut, fokus kajian Amin Syukur adalah tasawuf akhlaki. Menurutnya tasawuf akhlaki merupakan ajaran mengenai moral atau akhlak yang hendaknya diterapkan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan yang optimal.27 Tasawuf akhlaki juga merupakan ajaran etika yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat membentuk manusia berperilaku baik terhadap diri sendiri, Tuhan, sesama dan alam28 bisa dijadikan alternatif bagi kerusakan moral yang melanda dunia modern sekarang. Dengan tiga ajaran tasawuf yakni menghilangkan sifat-sifat buruk (takhalli) yang dilakukan dengan penghayatan, keimanan dan ibadah, latihan sungguh-sungguh terhadap nafs dan muhasabah. Tahap selanjutnya membawa manusia untuk menghiasi diri dengan sifat-sifat yang baik (tahalli) dan akhirnya mampu mencapai tingkat tajalli, terbukanya hijab serta mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sebagaimana menjelaskan 25
judul
skripsi
pembahasannya
pada
ini,
maka
karakteristik
penulis
bermaksud
tasawuf
akhlaki.
Amin Syukur, Mengenal Tasawuf Akhlaki, Kumpulan Makalah Pelatihan Seni Menata Hati Menuju Insan Kamil LEMBKOTA, Semarang, 2003, hlm.3. 26 Amin Syukur dan Fatimah Usman, Insan Kamil,Op Cit, hlm. 5. 27 Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, (Semarang: Bima Sejati, 2003), hlm.154. 28 Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, Solusi Problem Manusia Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 1.
75
Sebelumya sudah dijelaskan bahwa tasawuf akhlaki menekankan agar manusia mampu mengendalikan hawa nafsu yang menghalangi manusia dari kebaikan, sehingga tasawuf ini meneliti dimensi psikomoral, berupa pengetahuan tentang psikologis manusia yang diarahkan untuk mencapai moralitas yang tinggi sesuai dengan tuntunan Tuhan, dan untuk mengendalikan serta mengarahkan hawa nafsu tersebut, maka dibutuhkan tahapan-tahapan berupa takhalli, tahalli dan tajalli. a) Takhalli Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran dan penyakit hati yang merusak. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah megetahui dan menyadari betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotoran-kotoran hati tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya.29 Takhalli adalah menghilangkan titik-titik noda dan senantiasa menjaga kebersihannya dalam rangka memperoleh kebahagiaan sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam surat AsySyams ayat 9-10:
{10-9:ﺎ }ﺍﻟﺸﻤﺲﺎﻫﺩﺳ ﻦ ﻣ ﺏ ﺎﺪ ﺧ ﻭﹶﻗ . ﺎﺯﻛﱠﺎﻫ ﻦ ﻣ ﺢ ﺪ ﹶﺃ ﹾﻓﹶﻠ ﹶﻗ Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya” (QS. AsySyams: 9-10). 30 Ayat ini dijelaskan dalam tafsir Mustafa al-Maraghi bahwa orang yang beruntung adalah yang mau mensucikan jiwa dan meningkatkannya menuju kesempurnaan akal dan perbuatan sehingga menghasilkan yang baik bagi dirinya dan orang lain disekililingnya. Begitu juga sebaliknya, ia akan menjadi orang yang merugi.31
29
Amin Syukur dan Masyaruddin, Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme Tasawuf al-Ghozali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 45. 30 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op cit, hlm. 1064. 31 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, (Tafsir al-Maraghi), trj, Bahrun Abu Bakar, (Semarang: Toha Putra: 1993), cet. II, Hlm. 298.
76
Adapun sifat-sifat tercela yang harus dihilangkan ialah antara lain al-syirik (penyekutuan Tuhan), al-hasad (keinginan yang berlebihlebihan), al-ghadab (marah), al-riya’ dan al-sum’ah (pamer), al-‘ujub (bangga diri), al-takabur (sombong), ghibah (mengumpat atau menggunjing), namimah (mengadu domba), khiyanat (ingkar janji) dan sebagainya.32 Takhalli sebagai langkah awal menuju manusia yang berkepribadian utuh itu dilengkapi dengan sikap terbuka. Artinya orang yang bersangkutan menyadari bahwa betapa buruknya sifat-sifat yang ada pada dirinya, kemudian timbul kesadaran untuk memberantas dan menghilangkan. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses, maka akan tampil pribadi yang bersih dari sifat madzmumah.33 b) Tahalli Maksudnya adalah menghiasi dan membiasakan diri dengan sifat dan sikap perbuatan yang baik, berusaha agar dalam setiap gerak dan perilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama.34 Adapun hal yang perlu dilakukan dalam melakukan tahalli adalah membina pribadi, agar memiliki akhlak al-karimah. Dengan melakukan
latihan-latihan
yang
sungguh-sungguh
maka
akan
menghasilkan suatu kepribadian yang baik dan terwujud manusia yang berakhlakul karimah (insan kamil) terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi diera sekarang ini. Adapun latihan-latihannya seperti: taubat, zuhud, wara’, faqr, sabar, syukur, ridha, tawakkal, muraqqabah dan muhasabah. Dalam tahap pengisian ini tidak berarti jiwa harus dikosongkan lebih dulu dan diisi, akan tetapi harus secara bersamaan, ketika menghilangkan kebiasaan yang buruk, jiwa diisi dengan kebiasaan yang baik. Amin Syukur juga menambahkan bahwa tahap yang dilakukan oleh seorang sufi yakni takhalli dan tahalli ini tidak 32
Hasil wawancara pada tanggal 20 Juni 2006. Amin Syukur, Menggugat …… Loc Cit, Hlm. 115. 34 Ibid, hlm. 162. 33
77
mungkin dapat dipisahkan, karena secara otomatis setelah dia menghilangkan sifat-sifat yang buruk atas dirinya pada saat itu pulalah seorang sufi mengganti dengan sifat yang baik.35 Hal ini seperti mengobati suatu penyakit, hilangnya suatu penyakit pada seseorang karena adanya obat yang dimasukkan ke dalam tubuhnya.36 Dengan demikian tahap tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan tadi. Apabila suatu kebiasaan telah dilepaskan, tetapi tidak segera ada penggantinya, maka kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Oleh karena itu kalau kebiasaan lama ditinggalkan harus diisi dengan kebiasaan baru yang baik. c) Tajalli Untuk pemantapan dan pengalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak disempurnakan pada fase tajalli. Tajalli berarti menampakkan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla yang artinya menyatakan diri. Dengan kata lain, ketika seorang sufi sudah melewati kedua tahapan terebut maka langkah yang ketiga adalah tajalli yang berarti lenyap atau hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan (basyariyyah) atau terangnya nur yang selama itu tersembunyi atau fana’. Segala sesuatu selain Allah ketika nampak wajah Allah.37 Pencapaian tajalli melalui pendekatan rasa (dzauq) dengan alat ghaib (hati nurani). Qolb menurut sufi mempunyai kemampuan lebih bila dibandingkan dengan kemampuan akal. Akal tidak bisa mengetahui pengetahuan yang sebenarnya tentang Allah, sedangkan qolb bisa mengetahuinya. Apabila Allah tidak memberi dan menembus qolb dengan nur-Nya, maka terlimpahlah karunia-Nya. Ketika itu cahaya hati nurani bercahaya terang benderang, teranglah tabir rahasia 35 36
Hasil wawancara pada tanggal 20 Juni 2006. Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm.
70. 37
Amin Syukur, loc cit, hlm 164.
78
dengan karunia rahmat itu, sehingga jelaslah segala hakikat ketuhanan yang selama itu tertutup dan terahasiakan. Istilah lain dari tajalli adalah ma’rifat, yaitu mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan dan peraturan-peraturannya tentang segala yang ada atau bisa diartikan lenyaplah segala sesuatu dengan (ketika) menyaksikan Tuhan YME.38 Ma’rifat merupakan pemberian Allah, bukan usaha manusia. Ia merupakan maqom tertinggi yang datangnya sesuai atau sejalan dengan ketekunan, kerajinan, kepatuhan dan ketaatan seseorang. Dengan kata lain, ma’rifat merupakan pencapaian tertinggi dan sebagai hasil akhir dari segala pemberian setelah melakukan mujahadah dan riyadhah dan ia dapat tercapai ketika terpenuhinya qolb (hati nurani) dengan cahaya Allah. Namun perlu diketahui bahwa pengetahuan tentang tasawuf diperoleh bukan dengan pemahaman kognitif, bukan dengan pengalaman fisik, melainkan melalui pemahaman bathin yang panjang. Dengan mambaca atau belajar dari ceramah saja dipastikan seseorang tidak
akan
paham
tentang
konsep-konsep
tasawuf,
dengan
mengamalkan ajaran tasawuf secara intensif atau hanya sebentar saja juga dirasakan dapat memahami konsep-konsepnya saja. Seseorang haruslah mengamalkan secara intensif dalam jangka panjang, lalu berdoa agar diberi pemahaman tentang tasawuf. Demikianlah gambaran tasawuf secara umum dan khususnya tentang nilai-nilai karakteristik tasawuf akhlaki. Dari uraian diatas penulis dapat menggaris bawahi bahwa karakteristik dari tasawuf adalah moral education, yakni berusaha untuk meningkatkan kualitas moral seseorang untuk mendapatkan cahaya Ilahi, dengan begitu tasawuf mampu membangkitkan semangat setiap muslim untuk menjadi makhluk yang bermoral mengikuti jejak nabi Muhammad sebagai suri tauladan terbaik umat Islam, sekaligus sebagai sufi terbesar sepanjang masa. 38
Amin Syukur, Intelektualisme Tasawuf, op cit, Hlm. 175.
79
DAFTAR PUSTAKA Amin Syukur dan Masyaruddin, Intelektualisme Tasawuf, Study Intelektualisme Tasawuf al-ghozali, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002. Amin Syukur dan Fatimah Usman, Insan Kamil, Paket Pelatihan Seni Menata Hati (SMH) LEMBKOTA, Semarang: CV. Bima Sejati, 2006, cet.2. , Menggugat Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. , Masa Depan Tasawuf dalam Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. , Zuhud Diabad Modrn, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. , Tasawuf Sosial, Yogyakarta: Puistaka Pelajar, 2004. , Mengenal Tasawuf Akhlaki, Kumpulan Makalah Pelatihan Seni Menata Hati Menuju Insan Kamil LEMBKOTA, Semarang, 2003. , Pengantar Studi Islam, Semarang: Bima Sejati, 2003. , Tasawuf Kontekstual, Solusi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Problem
Manusia
Modern,
Ahmad Musyafiq, Reformasi Tasawuf Al-Syafii, Jakarta: Atmaja, 2003. Ahmad Mustafa Al-Maraghi, (Tafsir al-Maraghi), trj, Bahrun Abu Bakar, Semarang: Toha Putra: 1993, cet. II. Abdul Muhaya, Peranan Tasawuf dalam Menaggulangi Krisis Spiritual dalam Tasawuf dan Krisis, Amin Syukur dkk, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. Dadang Hawari, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1997. http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=198 Zaklia Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Haji Mas Agung, 1993.