BAB III BIOGRAFI KANJENG SUSUHUNAN PAKUBUANA IV DAN SERAT WULANGREH A. Biografi Kanjeng Sesuhunan Pakubuana IV Sunan Pakubuana IV adalah Narendra Pinandhita lahir di Surakarta pada tanggal 2 September 1768 dan wafat 2 Oktober 1820. Dia dijuluki sebagai Sunan Bagus karena naik tahta dalam usia muda dan berwajah tampan. Naik tahta di tanggal 29 September 1788, dalam usia 19 tahun.1 Nama aslinya Raden Mas Subadya, putra Pakubuana III. Pakubuana IV adalah raja Surakarta yang penuh cita-cita dan keberanian, berbeda dengan ayahnya yang terkenal lemah dan kurang cakap. Adapun silsilah Sunan Pakubuana IV sebagai berikut. Sultan Demak I Syah Alam Akbar Pangeran Pamekas Sumare Ing Gugur Panembahan Tejo Wular Ing Jogoroyo Ki Ageng Ampun, Pangeran Tejo Kusumo Ki Ageng Karang Lo Ki Ageng Cucuk Telon Ki Ageng Royas Ki Ageng Cucuk Singawangsa Demang Bauwaseso Ing Bero 1
Andi Harsono, Tafsir Ajaran Serat Wulangreh. (Yogyakarta: Pura Pustaka, 2005), hlm.
1
42
43
Ki Ageng Sutajaya Manjut Ki Sutajaya Ki Jagaswara Ratu Kencana, Prameswari Sinuwun Paku Buana III Sinuwun Pakubuana IV, B.R.M. Subadya.2 Pakubuana IV memiliki tradisi yang berbeda denagan Sunan-sunan sebelumnya. Perubahan itu diadakan dalam rangka menjawakan kehidupan masyarakat, antara lain, sebagai berikut; pakaian prajurit yang sebelumnya seperti pakaian prajurit dari Belanda diganti dengan pakaian prajurit Jawa. Setiap hari Jum`at Sunan bersembahyang di Masjid Agung. Setiap hari Sabtu diadakan latihan Warangan. Setiap abdi dalem yang menghadap Narendra diwajibkan memakai pakain santri. Mereka yang tidak patuh di pecat.3 Di samping gemar akan kesusastraan Jawa, beliau juga sangat meminati kesenian lainya. Beliau pernah menciptakan seperangkat wayang purwa berdasarkan buatan Kartasura, yang diberi nama Kiyai Pramukarya. Wayang itu dikerjakan oleh Gondrotuno dan Cermopangrawit. Kemudian beliaupun memerintahkan membuat wayang lainya yang disebut Kiyai Mergu dan Kiyai Kanjut.4 Hasil karya Susuhunan Pakubuana IV dalam bidang kesusastraan diantaranya: Serat Wulangreh, Serat Wulang Sunu, Serat Wulang Puteri, 2
Ibid, hlm. 2 Ibid, hlm. 8. 4 Pakubuana IV, Serat Wulangreh, (Semarang: Dahara Prize, 1994), hlm. 4 3
44
Serat Wulang Tata Krama, Donya Kabula Mataram, Cipta Waskitha, Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadap, Serat Sasana Prabu, Serat Polah Muna Muni.Pakubuana IV dalam pandangan masyarakat Jawa namanya harum sekali.5 Warisan yang dibangun oleh pakubuana IV di antaranya Masjid Agung, Gerbang Gri Manganti, Dalem Ageng Prabasuyasa, Bangsal Witana Sitihinggil Kidul, Pendapa Agung Sasana Sewaka, Bangsal Ageng Marcakundha, dan Kori Kamandhungan.6 Susuhunan Pakubuana IV meninggal dunia pada tanggal 1 Oktober1820. Dimakamkan di Imogiri,mangkat pada usia ke 52 tahun. Setelah memegang tampuk pemerintahan selama 33 tahun.7 Kesusastraan Jawa pada masa beliau masih hidup mengalami masa kejayaan. pujangga yang sangat terkenal pada masa itu adalah Yasadipura I, yang kemudian diteruskan oleh Yasadipura II. Konon pujangga Ranggawarsita pernah berguru kepadanya. B. Keadaan Sosial dan Politik Kasunanan Surakarta Hadiningratadalah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Perjanjian antara VOC dengan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III danPangeran Mangkubumi. Mereka menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam
dua
wilayah
kekuasaan
yaitu
Surakarta
dan
Yogyakarta.
Kasunanan Surakarta umumnya tak dianggap sebagai pengganti Kesultanan 5
Andi Harsono, Op. Cit., hlm. 13 Ibid, hlm. 9. 7 Pakubuana IV, Op. Cit., hlm. 4. 6
45
Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram.Setiap raja Kasunanan Surakarta yang bergelar Sunan (demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan) selalu menandatangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.8 Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara VOC, pihak Mataram (diwakili
oleh Sunan
Pakubuwana
III), dan kelompok Pangeran
Mangkubumi. Kelompok Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini. Pangeran Mangkubumi demi keuntungan pribadi memutar haluan menyeberang dari kelompok pemberontak bergabung dengan kelompok pemegang legitimasi kekuasaan memerangi pemberontak yaitu Pangeran Sambernyawa. Perjanjian yang ditandatangani pada bulan 13 Februari 1755 ini secara de facto dan de jure menandai berakhirnya Kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen. Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo), di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah. Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah disebelah barat (daerah 8
Sejarah Nusantara, Sejarah Surakarta 1745-1945 dalam: http://www.sejarahnusantara.com/daerah-istimewa/sejarah-kasunanan-surakarta-tahun1745%E2%80%931945-pembentukan-daerah-istimewa-surakarta-tanggal-1-september-1945-danberakirnya-dis-akibat-gerakan-anti-monarki-oleh-tan-malaka-oktober-1945-10042.htm. diakses pada 16 Agustus 2015.
46
Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.9 Adapun isi dari perjanjian giyanti sebagai berikut:
Pasal 1 Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah di atas separo dari Kerajaan Mataram, yang diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro. Pasal 2 Akan senantiasa diusahakan adanya kerjasama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan Kompeni dengan rakyat Kasultanan. Pasal 3 Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada Kompeni di tangan Gubernur. Intinya seorang patih dari dua kerajaan harus dikonsultasikan dengan Belanda sebelum kemudian Belanda menyetujuinya. Pasal 4 Sri Sultan tak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapatkan persetujuan dari Kompeni. Pokok-pokok pemikirannya itu Sultan tak memiliki kuasa penuh terhadap berhenti atau berlanjutnya seorang patih karena segala keputusan ada di tangan Dewan Hindia Belanda.
9
Fandi Firmansyah, PerjanjianGiyanti, dalam : http://fandifirmansyah.blogspot.com/2013/05/perjanjian-giyanti.html di akses pada 16 Agustus 2015.
47
Pasal 5 Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang selama dalam peperangan memihak Kompeni. Pasal 6 Sri Sultan tak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran, yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Paku Buwono II kepada Kompeni dalam Contract-nya pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya Kompeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10. 000 real tiap tahunnya. Pasal 7 Sri Sultan akan memberi bantuan pada Sri Sunan Paku Buwono III sewaktu-waktu diperlukan. Pasal 8 Sri Sultan berjanji akan menjual kepada Kompeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu. Pasal 9 Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu dengan Kompeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749.10
Setelah diadakanya perjanjian Giyanti kerusuhan-kerusuhan di lingkungan
intern
kerajaan
belum
juga
selesai,
masih
banyak
pemberontakan lain yang bebas. Mas Said (Pangeran Samber nyawa) pangeran terpenting dan pasukanya masih kuat, meski pembelotan makin meningkat. Pada Oktober 1755 dia berhasil mengalahkan satu pasukan VOC, pada Februari 1756, dia hampir berhasil membakar istana baru di 10
Sejarah Nusantara, Perjanjian Giyanti, http://www.sejarahnusantara.com/kesultananmataram/perjanjian-giyanti-antara-voc-dan-mataram-tanggal-23-september-1754-10045.htm. diakses pada 16 Agustus 2015.
48
Yogyakarta. Pasukan-pasukan dari Surakarta, Yogyakarta, dan VOC tidak sanggup melawan Mas Said. Tetapi jelas pula bahwa dia tidak mampu menaklukan Jawa karena menghadapi lawan gabungan semacam itu. Maka dia mulai mengadakan perundingan-perundingan pada tahun 1756. Bulan Februari 1757 dia menyerah pada Pakubuana III dan bulan Maret di Salatiga dia resmi mengucapkan sumpah setia pada Surakarta, Yogyakarta dan VOC imbalanya dia mendapatkan tanah berikut 4.000 cacah dari Pakubuana III, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari Hamengkubuana I. Mas Said sekarang menjadi Pangeran Adipati Mangkunegara I.11 Setelah peperangan tidak lagi menjadi satu-satunya cara untuk mepersatukan kembali kerajaan, maka Sultan Hamengkubuana I, Pangeran Mangkunegara I, dan Susuhunan Pakubuana III kini lebih banyak terlibat dalam permainan diplomasi perkawinan yang rumit. Hadiah yang di carinya adalah suksesi di Surakarta. Soalnya Pakubuana III tidak mempunyai anak laki-laki. Karena itu, perkawinan dengan salah seorang putrinya akan dapat melegitimasi
suksesi
di
Surakarta,
baik
oleh
garis
keturunan
Hamengkubuana I maupun Mangkunegara I.12 Segala permainan diplomasi perkawinan ini hancur berantakan pada akhir Agustus 1768, ketika Pakubuana III akhirnya mempunyai seorang putra yang kelak akan memerintah sebagai Pakubuana IV.Sekarang kerena
11
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen, (Jakarta: Srambi Ilmu Semesta: 2005), hlm.222-223. 12 Ibid, hlm. 224.
49
kedua istana sudah ada ahli warisnya, kerajaan selangkah lebih dekat dengan pembagian kerajaan yang permanen.13 Pada awal tahun 1770-an, pemisahan Jawa telah mencapai tingkat yang lebih mantap dan kebutuhan terhadap hadirnya VOC sebagai penengah diantara kedua istana menurun lagi. Berbagai masalah perbatasan yang muncul akibat pemisahan pada tahun 1755 menyebabkan banyak pertentangan dan tindak kekerasan. Pada tahun 1773 sensus baru dan kesepakatan pembagian wilayah antara Surakarta dan Yogyakarta dicapai, dan tata cara penyelesaian sengketa selanjutnya ditetapkan.14 Seiring berlalunya waktu, generasi tua yang telah merancang pembagian kerajaan yang permanen itu mulai ditantang oleh generasi muda yang baru muncul. Di Yogyakarta, putra mahkota memperoleh kekuasaan yang lebih besar, yang kadang-kadang menimbulkan perasaan tidak senang pada diri ayahnya.15 Hamengkubuana I sendiri juga semakin memperhatikan pemeliharaan hubungan yang bersahabat dengan orang-orang belanda. Tujuan utamanya aliansi dengan VOC, yaitu menghancurkan Mangkunegara I tidak pernah tercapai.16 Di Surakarta masalah-masalah intern terus berkembang ketidak cakapan Pakubuana III pada umumnya, persekongkolam-persekongkolan
13
Ibid, hlm. 225 . Ibid, hlm. 227. 15 Ibid, hlm. 159. 16 Ibid, hlm. 158. 14
50
istana dan perilaku personel-personel VOC yang tidak baik mulai mengancam keamanan dan stabilitas di sana.17 Kedaulatan Sunan di Surakarta sejak tahun 1749 boleh dikatakan sudah hilang. Pengaruh sistem administrasi Kolonial Belanda semakin menguasai kehidupan politik Kesunanan Surakarta. Semua kegiatan Sunan harus mendapatkan persetujuan Kompeni, baik melalui gubernur maupun residen. Kawula dalem Kasunanan Surakarta mempunyai dua majikan, yakni Belanda dan Sunan sendiri. Sistem kontrak perjanjain yang diawali oleh raja sebelumnya makin dimantapkan. Sistem ini bukan merupakan simbiosis mutualisme, melainkan simbiosis parasitisme. Setiap kali diadakan perjanjian terjadilah pengurangan kekuasaan dipihak Sunan.18 Ujian pertama terhadap ketahanan pembagian kerajaan terjadi ketika Pakubuana III wafat pada tahun 1788 dan kedudukanya sebagai Susuhunan Surakarta digantikan oleh putranya yang berumur sembilan belas tahun (Pakubuana IV).19 Berbeda dengan Pakubuwono III yang agak patuh kepada VOC, penerus tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwono IV (1788-1820) adalah sosok raja yang penuh citacita dan keberanian. Sunan sendiri sangat membenci VOCterutama atas sikap residen Surakarta bernama W.A. Palm yang korup.20 Pada awal tahun 1789 Pakubuana IV mulai mengangkat suatu kelompok baru yang disenanginya pada jabatan-jabatan yang tinggi. Orang 17
Ibid, hlm. 158. Andi Harsono, Op. Cit., hlm. 22. 19 M.C. Ricklefs, Op. Cit., hlm. 159. 20 Wikipedia, Pakubuana IV, https://id.wikipedia.org/wiki/Pakubuwana_IV diakses 14 Agustus 2015. 18
51
tersebut diilhami ide-ide religius kejawen,21 mereka itusetidak tidaknya ditentang oleh hierarki religius yang sudah mapan di Surakarta. Mereka mendesak raja baru tersebut agar beranggapan bahwa Surakarta dapat menjadi kerajaan Jawa yang lebih senior, dengan demikian meniadakan asas persamaan yang mendasari pembagian yang permanen antara Surakarta dan Yogyakarta.22 Kelompok-kelompok baru yang berpaham kejawen tersebut adalah Bahman, Wiradigda, Panengah, Nursaleh, Raden Santri, Kandhuruwan.23 Kelompok-kelompok tersebut dijadikan sebagai penasehat kerajaan oleh Sunan pada masa pemerintahanya. Desas desus mengenai peniadaan persamaan mulai tersebar. Mangkunegara I merasa cemas akan masa depanya sendiri dan keturunanya, Yogyakarta merasa khawatir akan stabilitas pembagian kerajaan, tokoh tokoh terkemuka Surakarta yang tersisih merasa cemas akan nasib mereka dan kerajaan.24 Istana
Yogyakarta
bahkan
menyebar
rumor
yang
lebih
menggemparkan kepada VOC, dan akhirnya berhasil menyakinkan orang-
21
Kejawen memberikan suatu alam pemikiran atau pandangan hidup secara umum sebagai suatu badan pengetahuan yang menyeluruh, yang dipergunakan untuk menafsirkan kehidupan sebagaimana adanya dan rupanya. Kejawen sebenarnya bukanlah suatu kategori keagamaan, tetapi menunjukan kepada suatu etika dan gaya hidup yang diilhami oleh cara berpikir orang Jawa itu sendiri. Lihat Yana MH, falsafah dan pandangan hidup orang Jawa (Yogyakarta: Absolute, 2010), hlm. 19. 22 M.C. Ricklefs, Op. Cit., hlm. 232 23 Adi Harsono, Op. Cit., hlm. 8. 24 M. C. Ricklefs, Op. Cit., hlm. 233
52
orang
Belanda
bahwa
diperlukan
langkah-langkah
militer
untuk
menghentikan rencana-rencana Pakubuana IV.25 Pada bulan November 1790 musuh-musuh Pakubuana IV mulai mengepung istana. Beberapa ribu prajurit dari Yogyakarta dan daerah Mangkunegara I mengambil posisi di sekitar Surakarta. VOC mengirim beberapa seratus serdadu Madura, Bugis, Melayu, dan Eropa ke bentengnya yang berada didalam benteng kota.26 Peristiwa di atas dalam sejarah Jawa disebut sebagai peristiwa pakepung, yakni insiden pengepungan istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat
oleh
persekutuan
VOC,
Hamengkubuwono
I,
dan
Mangkunegara I. Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwono IV yang berpaham kejawen menyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang disingkirkan kemudian meminta VOC untuk menghadapi Pakubuwono IV. VOC yang memang khawatir atas aktivitas
kejawen
Pakubuwono
IV
akhirnya
bersekutu
dengan
Hamengkubuwono I dan Mangkunegara I untuk mengepung istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Di dalam istana, para pejabat yang sebenarnya tidak sependapat dengan Pakubuwono IV juga ikut menekan dengan tujuan agar para penasehat rohani kerajaan yang beraliran kejawen bisa disingkirkan. Pada 26 November 1790, Pakubuwono IV akhirnya takluk dan menyerahkan para penasehatnya untuk diasingkan oleh VOC.27
25
Ibid, hlm. 233. Ibid, hlm. 234. 27 Wiki Aswaja NU, Kasunanan Surakarta, diakses pada 16 Agustus 2015 26
53
Sesudah kerajaan Mataram dibagi menjadi tiga negar, Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegra, semua kekuasaan dirampas oleh Belanda. Oleh karena ituseluruh perhatian dan kegiatan istana diarahkan untuk perkembangan
kebudayaan
rohani.
Kegiatan
ini
menghasilkan
perkembangan dalam bidang kesusastraan dan berbagai cabang kesenian. Perkembangan dalam lapangan kesusastraan ini sedemikian indahnya, sehingga para peninjau barat seperti G.W.J. Drewes menilai sebagai masa renaissence of modern Javanese letter. Yaitu masa kebangkitan kepustakaan Jawa baru. Kebangkitan kepustakaan Jawa berlangsung selama 125 tahun, dari tahun 1757 sampai tahun 1881 (dengan wafatnya pujangga besar Raden Ngabehi Ranggawarsita dan raja Mangkunegara IV).28
C. Sejarah Kemunculan Serat Wulangreh dan Ajaranya Dari latar belakang konflik politik di atas Serat Wulangreh ditulis oleh Pakubuana IV untuk mengatasi krisis moral para bangsawan di lingkungan kerajaan. Kata Wulangreh berasal dari dua suku kata yaitu wulang yang artinya ajaran atau pitutur, sedangkan reh artinya perintah. Dalam konteks tersebut berarti kerajaan atau kekeratonan. Serat Wulangreh ini ditulis agar para bangsawan kembali ke ajaran kraton yang ditetapkan oleh Narendra. Wulangreh pada mulanya merupakan serat wewaler (pedoman atau penuntun) bagi para pangeran dalam bentuk sekar Macapat atau nyanyian yang dimasukan dalam rumpun Macapat.29 Pakubuana IV meras bahwa 28
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Jakarta: UI Press, 1988), hlm. 25. 29 Andi Harsono, Op. Cit., hlm. 17.
54
dirinya sudah tua, ibarat matahari sudah di ufuk Barat, Pakubuana IV merasa bahwa dirinya sudah mendekati ajalnya, merasa bahwa umur manusia itu tidak panjang. Maka dituliskanlah nasihat dalam bentuk tembang agar anak turunya menyukainya. Hal tersebut dijelaskan dalam pupuh girisa bait 21 sampai 22. Wekasingsun umpama surya, lingsir kulon wayahira, pedhak mring surupe uga, atebih marang imbulnya, pira lawase neng dunya, ing kauripaning jalma, masa nganti satus warsa, iya umuring manusa.(bait 21) Mulaningsun muruk marang, ing kabeh atmajaningwang, sun tulis ngong wehi tembang, darapon padha rahaba, nggonira padha amaca sastra ngrasakna carita, aja bosen den apalna, ing rina wengi elinga. (bait 22) Artinya: Diriku ibarat surya, yang telah condong ke barat wajahnya, dekat kepada terbenam juga, jauh dari terbitnya, berapa lama di dunia, dalam kehidupan manusia, mungkinkah sampai seratus tahun, dalam usia manusia. (bait 21) Maka akau menasihati, kepada semua anakku, tuliskanlah dalam tembang, agar semua menyukai, untuk membacanya, serta merasakan cerita,
55
jangan bosan hapalkanlah, ingatlah siang dan malam. (bait 22)30 Pada saat penulisan Wulangreh Pakubuana IV tidak mejelaskan kapan awal penulisan serat ini. Namun dapat diperkirakan bahwa penulisan Wulangreh dilakukan setelah terjadinya peristiwa pakepung yaitu sekitar tahun 1791 ke atas. Sedangkan akhir penulisan Wulangreh, Pakubuana IV menyebutkan pada pupuh Girisa bait 24 dan 25. Yaitu pada tanggal 19 Besar, hari Ahad Kliwon tahun Dal, 1735, mangsa kedelapan, Windu Sancaya, Wuku Sungsang. Kuranglebih 12 tahun sebelum beliau meninggal dunia. Berikut ini adalah bunyi pupuh Girisa bait 24 dan 25 : Titi tamat kang carita, serat wewaler mareng putra, kang yasa serat punika, nenggih Kangjeng Susuhunan, Pakubuwana kaping pat, ing galih panedyan ira, kang amaca kang miyarsa, yen lali muga elinga. Telasing panuratira, sasi besar ping sangalas, Akad kliwon taun Dal, tata guna swareng nata, mangsastha Windu Sancaya, wuku sung sang kang atampa, ya Allah kang luwih wikan, obah osiking kawula. Artinya : Tamatlah cerita ini, buku nasihat untuk anak, yang mencipta buku ini, 30
Pakubuana IV, Op. Cit., hlm. 182-183
56
yaitu Kanjeng Susuhunan Pakubuwana keempat, dalam hati yang ingin membaca dan mendengarkannya, bila lupa segera ingat. Selesai ditulis, Bulan Besar tanggal sembilan belas, Ahad Kliwon tahun Dal, Tata guna swareng nata, mangsa kedelapan Windu Sancaya, wuku sungsang. Ya Tuahn yang maha tahu segala ulah makhluknya.31 Dalam percikan isinya Wulangreh menerangkan bahwa kekuasaan seorang raja bersumber dari wahyu, maka raja dipandang sebagai wakil, dia mempunyai kekuasaan yang melipiuti seluruh aspek kehidupan mulai dari masalah perekonomian, jaminan keamana, hukum. Oleh karena itu raja dianggap sebagai Gusti32 yang harus disembah. Ciri khas dari pandangan hidup orang Jawa adalah realitas yang mengarah kepada pembentukan kesatuan antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrat yang dianggap keramat. Dasar kepercayaan orang Jawa adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini pada hakikatnya adalah satu atau kesatuan hidup. Orang Jawa memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian maka kehidupan manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang religius.33
31
Ibid., hlm. 184-185 Masyarakat tradisional Jawa juga sering menyebut istilah Gusti dengan istilah Pangeran. Jika diartikan dengan “kirata basa” kata Pangeran berasal dari kata Pangengeran yang artinya tempat bernaung atau tempat berlindung. Yana MH., Op. Cit, hlm. 21. 33 Ibid., hlm 17. 32
57
Alam pemikiran orang Jawa kehidupan mannusia berada dalam dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup tentang alam semesta yang mengandung kekuatan supranatural dan penuh dengan sikap misterius.34 Sedangkan mikrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap dunia nyata. Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos.35 Dalam pengertian simbolis, kesatuan atau koordinasi ini dipahami sebagai hubungan harmonis antara jagad gedhe (tata kosmos) dan jagad cilik (manusia) kesatuan keduanya ini merupakan tujuan akhir perjalanan manusia dalam kehidupan manusia.36 Dalam makrokosmos pusat dari alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta terdiri dari empat arah utama ditambah satu pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan. Sedangkan sikap dan pandangan terhadap dunia nyata (mikrokosmos) dapat tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungan, susunan masyarakat dan segala sesuatu yang dapat terlihat oleh mata. 37 Bagi orang Jawa pusat di dunia ada pada raja dan kraton. Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja adalah perwujudan Tuhan di
34
Ibid, hlm. 17 Ibid, hlm. 17 36 Andi Harsono, Op. Cit., hlm. 9 37 Yana MH, Op. Cit.,17-18. 35
58
dunia, sehingga dalam dirinya terdapat keseimbangan berbagai kekuatan alam. Jadi raja merupakan pusat komunitas di dunia seperti halnya raja menjadi mikrokosmos dari Tuhan dengan kraton sebagai kediaman raja. Pandangan orang Jawa tentang hal tersebut biasa disebut dengan Kawula lan Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan diri sebagai Kawula terhadap Gustinya.38 Dalam konsep kesatuan dan keteraturan ini tidaklah dihayati sebagai kejadian yang berdiri sendiri, oleh sebab itu setiap masing-masing merupakan bagian dan totalitas yang dikoordinasikan oleh kekuatan supranatural. Memahami kenyataan yang semacam inilah yang disebut kesunyatan. Suatu kenyataan yang lahir oleh sebab akibat yang pada akhirnya berhubungan dengan penyebab tunggal. Raja dan kraton merupakan pusat atau interaksi kekuasaan dalam pandangan orang Jawa dalam abad-abad lampau. Narendra atau ratu dalam hal ini dilihat sebagai personifikasi Tuhan. Sementara kraton dianggap sebagai wadah yang menampung semua kekuatan supranatural. Dengan demikian, kombinasi antara Narendra dan kraton merupakan pusat dari pusatnya kekuasaan. Dan memang sesungguhnya Narendra dan kraton tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lain.
38
Ibid, hlm. 16.
59
Masyarakat Jawa percaya kekuasaan para pemimpin dinasti Jawa merupakan anugrah dari Tuhan. Raja dianggap sebagai pemimpin spiritual, politik dan sosial di kalangan masyarakat Jawa, sedangkan kraton sebagai pusat simbolik dan fisik alam semesta.39 Dari pemahaman di atas kraton dibangun sebagai tata kosmos. Dengan demikian posisi Narendra dan kraton menjadi sangat penting, Narendar yang duduk di puncak hirarki sebagai pusat penampung segalasesuatu. Sedangkan kraton adalah institusi pendamping dalam proses pemusatan tata kosmos itu.40 Sebab bagi rakyat Jawa kraton tidak dihayati sebagai pusat politik dan budaya saja, melainkan juga sebagai pusat keramat kerajaan. Dengan latar belakang pemahaman inilah Serat Wulangreh yang di tulis Pakubuana IV harus kita hayati dan pahami secara seksama. Wulangreh merupakan salah satu percikan semangat kraton dan gambaran
pemikiran
Narendra
tentang
masalah-masalah
politik
pemerintahan serta kekuasaan yang tidak lepas dari pandangan umat seperti di atas. Tujuan dari serat ini adalah sebagai penuntun, maka sesungguhnya serat ini dapat dipahami sebagai „ideology kraton‟ yang lahir dari pengalaman-pengalaman pemikran dan pemahaman Jawa. Kebutuhan untuk mempertahankan ideologi tersebut nampaknya sangat jelas terkait dengan situasi kekuasaan waktu itu. Pada masa Wulangreh ditulis kesatuan dan keutuhan kekuasaan Jawa sudah hampir berahir. Kolonial Belanda secara 39 40
Ibid., hlm. 44 Andi Harsono, Op. Cit., hlm. 10-11
60
berlahan-lahan telah mendesak posisi kekuasaan raja-raja Jawa ke suatu sudut yang sudah tak berarti lagi. Jadi serat Wulangreh harus dipahami dari dua konteks yaitu paham tradisional Jawa secara umum dan kondisi kerajaan pada waktu itu yang tengah mengalami krisis kekuasaan.41 Kitab menghayati
Wulangreh dan
ini
mengikuti
berbicara etika-etika
tentang keraton
keharusan-keharusan sebagaimana
telah
terlembagakan. Dalam kitab ini diwejangankan tentang etika kepada guru, etika pergaulan, kewaspadaan (keprayitan), kebaktian hubungan-hubungan keluarga, tentang mengenal diri dan ambeg kautamaan (Budi Baik).42 Pakubuana IV memberi ajaran tata laku susila sehingga akhirnya manusia dapat menemukan rasa jati yang ada dalam al-Qur‟an, tata laku susila ini menjadi landasan untuk memimpin negara dengan benar dan adil.43 Semula Wulangreh hanya diperuntukan bagi keluarga
keraton
semata, namun kemudian sampai juga pada kepada rakyat di luar kraton melalui abdi dalem yang tinggal di luar istana.44 Pertama-tama Pakubuana IV memberi nasehat agar manusia hidup di dunia ini harus menuntut ilmu supaya jelas arah hidupnya, tidak kebingungan dan bermanfaat bagi orang lain. Seperti yang terdapat dalam pupuh Dandanggulabait 2 di bawah ini; Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora weruha, tan jemuneng ing uripe, 41
Ibid, hlm. 17. Ibid, hlm. 18 43 Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 43 44 Andi harsono, Op. Cit., hlm. 11 42
61
akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung weruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen drapon sampurna ugi ing kauripan ira. Artinya: Gejala hidup ini akan bingung bila tidak tahu, tidak diterapkan dalam hidupnya, banyak yang mengaku-aku, rasanya dia telah paham, dan lagi tak perasaan, rasa yang sebenarnya rasanya rasa itu, upayalah sampai pada kesempurnaan dirimu dalam kehidupanmu. Serat Wulangreh juga mengajarkan etika mencari ilmu dengan cara orang yang mengajarkan ilmu hendaknya berlandaskan dalil, hadits, ijma’ dan qiyas. Hal ini sesuai dengan tradisi yang diajarkan oleh pendidikan agama. Kalau tidak ada kaitanya dengan keempat landasan tersebut, maka pengetahuan yang diajarkan itu bisa terjerumus kejurang kesesatan.45 Dalam Wulangreh juga disampaikan agar seseorang mencari guru yang mempunyai kejelasan asal-usul, baik martabatnya, tahu hukum, beribadah, bersahaja, petapa, ikhlas, dan tanpa pamrih terhadap pemberian orang lain.46 Setelah seseorang tahu akan makna hidupnya, Pakubuana IV memberi nasehat untuk melatih ketajaman mata batin dengan cara melakukan latihan fisik dan mental spiritual, seperti mengurang makan dan tidur, meningkat menjadi berpuasa, belajar prihatin dalam bersuka ria, bersuka dalam
45
Ibid, hlm 21. Ibid, hlm. 15
46
62
prihatin, bersakit dalam sehat, bersehat dalam sakit, sampai pada matiraga, mati dalam hidup, hidup dalam mati.47 Dalam menempuh budi luhur Pakubuana IV juga memberi nasehat agar seseorang membunuh nepsudengan cara mengurang makan dan tidur, laku seperti ini digunakan supaya perbuatanya menjadi baik. Seperti dalam pupuh Kinanthi bait 1 dan pupuh Durma bait 1 di bawah ini; Padha gulangen ing kalbu Ing sasmita amrih lantip Aja pijer mangan nendra Ing kaprawiran den kesthi Pasunen sarira nira Cegahen dahar lan guling (kinanthi 1) Artinya: Biasakan dalam hatimu Dalam gelagat agar cerdik Jangan sering makan dan tidur Dalam keperwiraan pikirkanlah Rajinkanlah dirimu Kurangilah makan dan tidur Dipun sami ambanting sariranira, cegah dahar lan guling, drapun suda nepsu kang ngambra-ambra rerema ing tiyase reki dadi sabarang karsanira lestari. (durma 1) Artiny: Bantinglah tubuhmu kurangilah makan dan tidur, agar berkurang marah yang meluap-luap rendahlah dalam hatimu itu, segala sesuatu kehendak menjadi lestari. Pakubuana IV juga memberi nasehat bahwa dalam menjalankan hidup, pertama seseorang tidak boleh mengandalkan diri sebagai 47
Andi Harsono, Op. Cit., hlm. 18.
63
bangsawan, dan keturunan raja, serta mengandalkan kemampuan pribadi dengan meningalkkan sikap adigang, adigung, adiguna.48 Kedua manusia harus
memperhatikan
kebutuhan
jasmaninya
yaitu
menghindari
memanjakan badan jasmaninya, mengendalikan hawa nafsu dan keinginankeinginan yang selalu bergelora di dalam hatinya. Kedua mengendalikan mulut, artinya mengawasi ucapan-ucapan yang dapat menyakiti hati orang lain seperti menghina, memfitnah.49Seperti dijelaskan dalam pupuh Gambuh bait 2 di bawah ini: Aja nganti kebanjur Sabarang polah kang nora jujur Jen kabanjur sayekti kojur tan becik Becik ngupaya iku Pitutur ingkang sayektos Artinya: Jangan sampai terlanjur Segala ulah yang tidak jujur Bila terlanjur sungguh rugi tidak baik Lebih baik carilah itu Nasihat yang benar Ketiga seseorang harus memupuk budi luhur dengan mengembangkan sikap kesatria seperti, anteng jatmika ing budi, ruruhsarta, wasis samubarangipun, prawira ing batin. Seperti dijelaskan dalam pupuh Mijil bait 1 di bawah ini; Poma kaki padha dipun eling ing pitutur ingong, sira uga satriya arane, kudu anteng jatmika ing budi, 48
Adigang: mengandalkan kepintaran seperti seekor rusa mengandalkan larinya Adigung: mengandalkan kekuatan jasmaninya seperti gajah mengandalkan tubuh besar Adiguna: mengandalkan kekuatan rohaninya seperti ular mengandalkan bisanya. 49 Abdullah Ciptoprawiro,Op. Cit., hlm. 44.
64
ruruh sarta wasis samubarangipun. Artinya: Wahai anakku ingat-ingatlah pada nasihatku, kau juga dapat dikatakan satriya, harus tenang dan baik budi, sabar dan pandai dalam segalanya. Wulangreh juga mengajarkan bagaimana caranya memilih teman, dengan cara memilih teman yang baik dan menjauhi teman yang jahat yang nantinya menulari. Seperti dalam pupuh Kinanthi bait 3. Aja leket lan wong ala Kang ala lakune reki Nora wurung ajak-ajak Satemah anunulari. Artinya: Jauhilah orang jahat Yang jelek tingkah lakunya Tak ayal akan mengajak-ajak Akhirnya menulari. Kemudian seseorang agar memperhatikan yang baik dan yang buruk dengan
memiliki
mempertimbangkan
sifat
deduga
sebelum
yaitu
bertindak,
sifat
memperhatikan
kedua
prayoga
dan yaitu
mempertimbangkan hal-hal baik sebelum mengerjakan sesuatu (ada manfaat atau tidak), ketiga watara yaitu mengira-ngira atau memikirkan sesuatau secara mendalam, keempat riringa artinya hati-hati atau waspada terhadap sesuatu yang belum ada kepastian.50 Wulangreh juga mengajarkan agar
50
Thomas Wiyasa Brata Wijaya,Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa, (Jakarta Pradnya Pramita, 1997), hlm. 9
65
seseorang berpegang teguh pada syariat dan selalu mencontoh perilaku orang terdahulu. Wulangreh ini banyak mengetengahkan ajaran budi luhur yang bersumber dari ajaran tasawuf. Ajran-ajaran ini diungkapkan dalam sekar macapat yang indah, sehingga sangat digemari masyarakat Jawa.51 Ajaran nilai-nilai luhur yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang ideal yang dianggap sebagai pegangan hidup yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat Jawa pada waktu itu, khususnya di lingkungan kraton Surakarta. Banyak ajaran yang dapat diambil dari serat Wulangreh seperti ilmu pengetahuan, agama, maupun moral atau budi pekerti. Ajaran budi pekerti ini merupakan warisan leluhur yang berbentuk sistem-sitem ajaran. Banyaklah jasa dari Sri Sesuhunan Pakubuana IV yang diwariskan pada keluarga kraton khususnya dan kepada rakyat biasa umumnya. Mereka memperoleh keuntungan ganda sambil gembira berdendang, mereka dapat meresapi dan mempelajari pesan makna yang terpendam dalam rangkain kata-kata Kawi dan Jawa yang indah yang diajarkan beliau.52
51 52
Simuh, Op. Cit., hlm. 30. Andi harsono, Op. Cit., hlm. 12.