BAB II BIOGRAFI SITOR SITUMORANG
2.1
Masa Kecil di Sumatra (1924 - 1941) Sitor Situmorang lahir di Harianboho, 2 Oktober 1924. Harianboho yang
terletak di antara Pegunungan Bukit Barisan ini adalah kota kecamatan Harian, terletak di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.1 Desa yang luasnya sekitar 15 km2 tersebut berada di kaki Gunung Pusuk Buhit, 2 sebelah Barat dari Danau Toba dan menghadap ke Pulau Samosir.3 Menurut mitologi Batak, tanah kediaman leluhur Batak pertama berada di kaki Pusuk Buhit (berarti puncak bukit).4 Inilah yang menyebabkan Harianboho menjadi tempat yang istimewa bagi orang Batak, walau secara geografis sebenarnya letaknya di pedalaman dan terisolir. 5 Ibu Sitor berasal dari marga Simbolon, ia merupakan istri kedua dari ayah Sitor. Sang ayah bernama Ompu Babiat, generasi ke-17 dari marga Situmorang yang memiliki ikatan kuat dengan dinasti Si Singamangaraja. 6 Dalam tradisi Batak yang patriarkal, posisi laki-laki sangat penting karena menentukan silsilah
1
Ramses Simbolon, “Harianboho,” harianboho.wordpress.com/about/ diakses pada 2 Mei 2015 pukul 14.13 Wita. 2
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi Pendek 1924-2014 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2014), p. 1. 3
Sitor Situmorang, Sitor Situmorang: Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), p. 18. 4
M. Hutauruk, Sejarah Ringkas Tapanuli: Suku Batak (Jakarta : Erlangga, 1987), p. 5. 5
J.J. Rizal, loc.cit.
6
Sitor Situmorang, op.cit., p. 2.
48
keluarga. 7 Oleh karena itu pula, penjelasan tentang latar belakang ayah Sitor lebih mudah ditemukan daripada tentang ibunya. Ompu Babiat lahir tahun 1860, merupakan anak Lontung.8 Ia adalah pemimpin adat setempat yang disegani. Hubungan antara keluarga Sitor dan trah Si Singamangaraja dijelaskan secara padat oleh J.J. Rizal. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keluarga Sitor merupakan tempat marhula-hula atau pengambilan istri dari dinasti Si Singamangaraja. Tradisi ini terbentuk atas dasar kepercayaan mistik dan pertimbangan politik. Hubungan ini yang kemudian membuat keluarga Sitor juga ikut berperang melawan tentara kolonial Belanda bersama Si Singamangaraja XII dari 1878 sampai 1907 dan menjadikan Lintong, tanah marga nenek moyang Situmorang selama tujuh generasi, sebagai markas perang gerilya pada tahun 1883-1907.9
7
Masyarakat Batak menganut sistem patrilineal yakni keturunan yang ditentukan oleh garis bapak, setiap keturunan memakai marga ayahnya. S.P. Napitupulu, (et al.), Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Sumatera Utara (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1991), p. 7. 8
Dalam kepercayaan Batak, diyakini ada dua manusia pertama yang menjadi leluhur orang Batak, sumber dari seluruh marga yang ada, yakni Sumba dan Lontung. Lontung atau Si Raja Lontung lahir dari perkawinan sedarah (incest) antara Sariburaja dan Borupareme. Borupareme yang tengah mengandung Lontung dibuang ke hutan dekat Danau Toba. Lontung lahir di sana dan mengawini ibunya sendiri. Keturunan Lontung ada tujuh laki-laki yang membawa nama marganya, keturunan pertama adalah Situmorang. Lihat, Jacob Cornelis Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Yogyakarta: LKiS, 2004), pp. 9-10. Sementara Si Singamangaraja sendiri berasal dari keturunan Somba. Hal ini yang kemudian, dalam bahasa Sitor, menjadi alasan mistik dan politik dari hubungan kekerabatan dan perkawinan orang-orang dari marga Si Singamangaraja (Sumba) dengan keluarga Situmorang (Lontung). Lihat: Sitor Situmorang, op. cit., p. 22. 9
Ibid.
49
Oleh karena meninggalnya ibu Si Singamangaraja XII dan ibu Ompu Raja Doli—yang juga nenek Sitor—di kamp tahanan setelah kalah berperang dengan Belanda, Ompu Babiat yang telah bergerilya selama lebih dari 30 tahun akhirnya terpaksa menyetujui upacara perdamaian dengan Belanda (margondang) pada 1908 dan harus meninggalkan Lintong, mengungsi ke Harianboho.10 Sejak saat itu, Ayah Sitor hidup sebagai pemangku adat sekaligus pegawai administrasi pemerintahan Hindia Belanda bergelar Jaihutan.11 Penaklukan Belanda terhadap daerah-daerah di Nusantara sekitar tahun 1908 juga terjadi di Pulau Bali melalui sejumlah perang Puputan. 12 Sementara itu, pada tahun yang sama, para pemuda Jawa justru baru saja membentuk perkumpulan Budi Utomo yang berupaya menjalin hubungan dengan tradisi daerah di tengah modernisasi Barat, sebuah titik permulaan munculnya kesadaran berbangsa. 13 Keluarga Ompu Babiat beralih ke agama Kristen setelah zending memasuki Harianboho pada 1918.14 Kendati demikian, Ayah Sitor tetap menjadi
10
Ibid.
11
Jaihutan adalah pemimpin adat yang diangkat oleh pemerintah kolonial berdasarkan hundulan atau distrik dan menerima semacam gaji dari Belanda dengan jumlah yang tidak banyak. Lihat, Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra: Tapanuli 1915-1940 (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2001), p. 26. 12
Michel Picard, Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, terj. Jean Couteau dan Warih Wisatsana (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2006), pp. 24-25. 13
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 1: Batas-batas Pembaratan, terj. Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, Nini Hidayati Yusuf (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), p. 235. 14
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi, loc.cit. Kristenisasi di tanah Batak telah berlangsung sejak abad ke-19. Tokoh utama pekabaran injil di Sumatra Utara adalah Ludwig Ingwer Nommensen (1834-1918) yang memilih daerah Silindung menjadi pusat Pekabaran Injil. Nommensen dibantu oleh Raja Pontas
50
panutan masyarakatnya dalam menjalankan adat istiadat serta doa-doa yang ditujukan kepada Tuhan Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta) dan leluhur di Gunung Pusuk Buhit.15 Dari fakta ini dapat diperoleh gambaran bahwa Sitor lahir dalam lingkungan yang diwarnai dengan aneka perubahan: dari komunitas adat tradisional menjadi masyarakat yang mulai mengenal budaya kolonial Belanda dengan segala kemodernannya, sebuah perubahan politik, sosial, dan revolusi kebudayaan.
Lumbantobing, Baca : Thomas Van den End, Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas (Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2008), p. 268. Tahun 1864 Nommensen mendirikan gereja di Huta Dame, Tarutung. Tahun 1876 ia berangkat ke Toba ditemani Pendeta Johannsen dan sampai di Balige tetapi tidak sempat menyebarkan injil karena situasi perang antara Si Singamangaraja dan Kolonial Belanda. Tahun 1881, Pendeta Kessel dan Pendeta Pilgram menyebarkan injil di Laguboti dan Sigumpar di Toba. Tahun 1893 Pendeta J. Warneck tiba di Nainggolan, 1898 Pendeta Fiise di Palipi, 1911 Pendeta Letz di Pangururan dan 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita. Tahun 1903 sejumlah pendeta utusan RMG Barmen melakukan misi ke Tiga Langggiung, Purba, Sibuha-buhar, Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan, Deli Tua, Sibolangit dan Bukum. Kristenisasi ditandai pula dengan pendirian gereja, antara lain : sejak tahun 1861 telah berdiri gereja kecil di Sipirok dan Bunga Bondar, 1862 di Parau Sorat, Pangaloan dan Sigompulon, 1864 di Pearaja, 1867 di Pansur Napitu, 1870 di Sibolga, 1875 di Aek Pasir, 1881 di Balige, 1882 di Sipahutar, Lintong ni Huta, 1893 di Nainggolan, 1907 di Pematang Siantar, 1912 di Medan, dan sebagainya. Sumber : “Masuknya Agama Kristen ke Tanah Batak,” tangguraja.blogspot.com/diakses pada 11 Mei 2015 pukul 13.47 Wita. 15
Sitor Situmorang, op.cit., p. 21. Menurut C.H. Watson, pada awalnya orang Batak dari Danau Toba tidak mudah dipengaruhi oleh kegiatan misionaris sampai pertengahan abad ke-19. Para misionaris memang akhirnya berhasil menyebarkan Kristen di kalangan masyarakat Batak, namun yang susah adalah meyakinkan mereka bahwa kepercayaan Batak tradisional tidak sesuai dengan ajaran Kristen. Terbukti bahwa praktek-praktek tradisi lama masih kerap dilakukan bilamana terjadi sesuatu yang dipandang bencana atau pada hari-hari tertentu. Lihat C.H. Watson, ”Sitor Situmorang ‟Dunia Penuh Ambivalensi,” dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang Sitor Situmorang (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), p. 31.
51
Sitor lahir dengan nama Raja Usu yang juga merupakan nama leluhurnya.16 Nama Sitor sebenarnya berasal dari kata pitor, ledekan bagi Sitor saat ia kecil, yang berarti angin puting beliung, karena semasa kanak ia suka berlari-larian mengitari desa. 17 Julukan “Si Pitor” tersebut kemudian diubah menjadi Sitor oleh guru sekolah dasarnya dalam rapor pertamanya di kelas satu. 18 Sitor meninggalkan Harianboho saat bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Balige, daerah bagian Selatan Danau Toba pada tahun 1931, sampai kelas lima. 19 Sekolah tersebut berdiri pada tahun 1925, saat pemerintah kolonial mulai membuka jalan trans Sumatera-Medan-Padang yang juga melintasi ujung Selatan Danau Toba.20 Pemerintah kolonial Hindia Belanda lewat politik etisnya, telah membuka jalan, meningkatkan sarana transportasi dan mendirikan sekolah-sekolah di Nusantara. Pendidikan di sekolah lebih diperuntukkan bagi anak-anak pegawai negeri, orang berkedudukan tinggi atau memiliki banyak uang. Mata pelajaran yang diberikan bagi mereka meliputi membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi,
16
Marga Situmorang diambil dari leluhur 18 generasi sebelum Sitor. Sitor menulis silsilah tersebut dimulai dari “Lontung, beranak lelaki sulung Situmorang, Situmorang beranak Suhut ni Huta, beranak Panoparaja, beranak Parhujobung, beranak Datu Tanduk, beranak Tuan Sipallat, beranak Si Marsaitan, beranak Sondiraja, beranak Guru Sojuangaon, beranak Ompu Gumorok, beranak Somatangga, beranak Gulontam, beranak Biahat, beranak Tuan Singa, beranak Ompu Raja Doli, beranak Ompu Babiat, beranak Raja Usu (Sitor Situmorang).” Lihat, Sitor Situmorang, op.cit., p. 11. 17
Ibid., pp. 5-6.
18
“Sitor Situmorang: Biografi Singkat 1924-2014: Ungkap Sisi Lain Si Raja Usu,” m.detik.com/ diakses pada 11 Mei 2015 pukul 14.09 Wita. 19
Sitor Situmorang, op.cit., p.18.
20
Ibid., p.27
52
ilmu alam, sejarah dan menggambar. 21 Adapun kesadaran untuk menyekolahkan anak perempuan masih rendah pada masa itu. Saudara perempuan Sitor hanya disekolahkan di Harianboho selama tiga tahun Sekolah Dasar yang berbahasa daerah, bukan menggunakan Bahasa Belanda seperti sekolah Sitor dan enam saudara laki-laki lainnya. 22 Seperti halnya keluarga Sitor di Harianboho, masyarakat Balige di mana Sitor tinggal juga pendukung setia Si Singamangaraja yang oleh pemerintah kolonial, putra-putra dari kepala adatnya disekolahkan dengan pendidikan berbahasa Belanda dan dikristenkan.23 Balige saat itu telah menjadi pusat arus perubahan dan persinggungan budaya Batak dan modernisasi. Balige dikenal sebagai daerah poros perkembangan dunia Batak pra kolonial (lama) dan dinamika perubahan semasa kolonial (zaman baru).24 Selama lima tahun bersekolah di Balige, Sitor merasakan berbagai pengalaman baru dan bersentuhan dengan budaya modern, antara lain : mendengarkan siaran radio, melihat fotografer, membaca koran, menonton film, minum es dengan aneka warna sirop, melihat truk-truk dalam perjalanan dari dan ke negeri jauh, di sana pula ia pertama kali belajar bahasa Belanda dan menyaksikan berbagai orang dari negeri asing berseliweran di kota kecil itu.
25
Bagi Sitor, Balige menjadi pintu masuknya berkenalan dengan zaman baru, di
21
Marwati Djoened Poespoenegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), p. 43. 22
Sitor Situmorang, op.cit., p. 26.
23
Ibid., p. 27.
24
Ibid. Ibid., pp. 27-30.
25
53
samping mengenali lebih dekat berbagai upacara ritual, hal-hal gaib, dan aktivitas komunitas adat lama yang telah ada sejak era pra kolonial. 26 Pendidikan di Balige dilanjutkannya di HIS Sibolga 27 yang terletak di pantai Barat Sumatra pada tahun 1936. 28 Selama di Sibolga inilah Sitor mulai bersentuhan dengan masyarakat dan budaya Islam, di samping berkenalan dengan beragam suku,29 bahasa, dialek, dan suasana daerah pesisir yang berbeda dari kampung halamannya di lembah pegunungan Harianboho.30 Di sini, Sitor pertama kali mengetahui aktivitas pengajian dan sembahyang tarikat para sufi serta melihat masjid. 31 Suasana Sibolga menumbuhkan bibit kesadaran kosmopolitan serta perdagangan dan pergaulan internasional yang asing namun menggairahkan bagi Sitor sekaligus menimbulkan impiannya tentang negeri-negeri jauh. 32 Setelah tujuh tahun di HIS Balige dan Sibolga, Sitor melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebried Lager Onderwijs (MULO) yang setara Sekolah
26
Ibid., pp. 27-28 Sibolga dulunya adalah bandar kecil di Teluk Nauli dan terletak di Pulau Poncan Ketek. Pada masa kolonial Belanda, abad ke-19, didirikan bandar baru di Kota Sibolga karena bandar lama dipandang terlalu kecil. Sibolga berkembang menjadi kota pelabuhan dan perdagangan. “Sejarah Singkat Kota Sibolga,” sibolgakota.go.id/index.php/profil/sejarah-kota, diakses pada 13 Mei 2015 pukul 21.00. Sibolga baru di mana Sitor bersekolah terletak di pantai Barat Sumatera Utara, 344 km dari Kota Medan, berada di sisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap ke arah Samudra Hindia. Sibolga dulunya juga menjadi pusat keresidenan Tapanuli di masa kolonial. “Profil Kota Sibolga,” gmkisibolga.blogspot.com/ diakses pada 13 Mei 2015 pukul 21.20 Wita. 28 Sama dengan di atas. 29 Sebagai daerah pesisir, kota pelabuhan dan perdagangan, Sibolga didiami oleh berbagai etnis, seperti Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak Karo, Bugis, Aceh, Nias, Jawa, Melayu, Minang, Tionghoa, dll. Sumber : “Profil Kota Sibolga,” sama dengan di depan. 30 Sitor Situmorang, op.cit., p. 32. 27
31
Ibid., pp. 35-36.
32
Ibid., p. 33.
54
Menengah Pertama di Tarutung,33 ibukota kabupaten Tanah Batak, di Lembah Silindung (1938-1941).34 Pada masa-masa sekolah (baik selama di Balige, Sibolga dan Tarutung) inilah Sitor sering melihat rapat-rapat besar yang dipimpin oleh seseorang yang dijuluki “Soekarno Batak” yakni Mangihut Hazekiel Manulang 35 yang mengobarkan semangat melawan kolonialisme. 36 Pidato-pidato Manulang, yang orangtuanya juga turut berperang dengan pemerintah kolonial Belanda bersama Si Singamangaraja dulu, menumbuhkan gelora perlawanan kepada kolonialisme dalam diri Sitor.37 Manulang adalah inspirator Sitor dalam menghidupkan sejarah dan mitos Si Singamangaraja tidak sebatas dalam konteks perjuangan suku bangsa Batak, melainkan lebih dari itu yakni menjadi mitos nasionalisme. 38 Tokoh inspirator lainnya bagi Sitor adalah Mohamad Saleh Umar atau Surapati yang dikenal sebagai nasionalis radikal dari partai nasional Gerindo
33
Tarutung sejak lama dikenal sebagai daerah perdagangan hingga meletusnya Perang Padri (1816-1833) yang menghancurkan kehidupan masyarakat. Perdagangan dimulai lagi pada masa kolonial di mana Belanda menanam sebuah pohon durian sebagai penanda kawasan berdagang. Sejak saat itu tempat ini dikenal dengan nama Tarutung yang dalam Bahasa Batak berarti durian. Sumber: ”Ini Dia Kisah Kota Tarutung si Kota Durian,” gobatak.com/¸diakses pada 14 Mei 2015 pukul 08.00 Wita. 34
Sitor Situmorang, op.cit., p. 35.
35
Manulang adalah kader Insulinde di Jakarta yang mendirikan Hatopan Kristen Batak dengan maksud mendorong kemajuan melalui pendidikan dan ekonomi serta menentang pemberian tanah rakyat kepada pihak kolonial. Selengkapnya lihat M. Hutauruk, op.cit., p. 36. 36
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi…., op.cit., p. 7.
37
J.J. Rizal, “Catatan Editor,” dalam J.J. Rizal (ed.), Ibu Pergi Ke Surga: Kumpulan Lengkap Cerpen Sitor Situmorang (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), p. xi. 38
Ibid., pp. x-xi.
55
(Gerakan Rakyat Indonesia) yang meramu aktivitas politik, sastra dan jurnalistik sebagai model perjuangan.39 Tokoh-tokoh inspirator inilah yang menguatkan cita-cita Sitor untuk kelak terjun ke dalam pusaran kehidupan politik, antusias pada dinamika negara-bangsa Indonesia yang tengah bertumbuh, menjadi sastrawan dan intelektual di kemudian hari. Oleh karenanya, Sitor memilih jalur yang berbeda dari kakak-kakak lakilakinya yang menjadi pegawai di kantor-kantor pemerintahan Belanda. Sitor bertekad untuk kelak bersekolah di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia.
2.2
Sitor
dalam
Persimpangan
Zaman:
Menguatnya
Kesadaran
Kebangsaan dan Anti Kolonial (1941-1945) Sitor berlayar ke Batavia, merintis jalan menuju pendidikan tinggi yang diidamkannya dengan mendaftar di Christelijke Hollandsch Inlandsche School, sejenis Algemene Middlebare School (AMS) atau Sekolah Menengah Atas, di Salemba, Batavia40 pada Desember 1941. 41 Sekitar tahun itu, ketika Sitor tengah menempuh masa studi awal di sekolah milik Gereja Greformeer tersebut, sedang terjadi rangkaian peristiwa besar di dunia internasional, yang tak pelak juga berpengaruh bagi Hindia Belanda. Perang Dunia II sedang berkecamuk. Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler menyerbu sejumlah negara untuk memperluas kekuasaannya, sementara Jepang terus berusaha menguasai Cina. Jerman telah
39
Ibid., p. xi.
40
A. Teeuw, “Sitor Situmorang : Pengarang dan Manusia,” dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang…., op.cit., p. 257. 41
Sitor Situmorang, op.cit., p. 32.
56
menyerang dan menduduki Belanda hingga pemerintah dan Ratu Belanda diungsikan ke London.42 Sekolah-sekolah di Hindia Belanda, tak terkecuali sekolah Sitor, menggalakkan aksi simpati dan solidaritas kepada situasi di negeri Belanda. Di lain pihak, pada saat yang sama, rasa kebangsaan dan perjuangan anti kolonial justru menguat di hati para remaja. Sitor misalnya justru semakin aktif mengikuti berita seputar tokoh-tokoh nasionalis lain seperti Dr. Cipto Mangunkusumo, Mohamad Hatta, Sutan Syahrir, Sukarno, dan sebagainya. 43 Setelah jam pulang sekolah, Sitor biasa singgah di depan kantor surat kabar Bintang Timur yang berhaluan nasionalis untuk dapat membaca koran secara gratis sebelum kembali ke tempat tinggalnya di daerah Bungur yang berbatasan dengan Kemayoran. Saat-saat itu dimanfaatkannya pula untuk secara khusus belajar bahasa Indonesia. 44 Sitor senang bersepeda di Jakarta, berkeluyuran untuk menyusun peta geografi yang menggambarkan pusat-pusat pergerakan kebangsaan.45 Ia pun kemudian mengetahui bahwa dekat tempat tinggalnya berdiri gedung pertemuan Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi mahasiswa yang dianggap nasionalis; di daerah itu pula ada rumah kepala surat kabar Bintang
42
Wildan Sena Utama, “Teropong Ong wildansena.wordpress.com/ diakses pada 8 Mei 2015, pukul 23.30
tentang”,
43
Saat itu, tuduhan-tuduhan Belanda kepada sejumlah tokoh yang dipandang pro Jepang mulai terjadi. Parada Harahap dan tokoh nasionalis seperti Mohamad Husni Thamrin dicurigai bersimpati kepada bangsa Nippon. Sekitar era tersebut, Dr. Cipto Mangunkusumo, Mohamad Hatta, Syahrir dipindahkan dari pembuangannya di Banda ke Sukabumi. Sitor Situmorang, op.cit., p. 55. 44
Pelajar bahasa Indonesia tidak diajarkan di sekolah-sekolah Belanda. Para siswa hanya belajar bahasa Melayu (mata pelajarannya bernama Maleise Handels-Correspondentie) dalam waktu yang terbatas setahun. Ibid., pp. 51-52. 45
Ibid.
57
Timur yakni Parada Harahap yang rumahnya sering dikunjungi Sitor dengan alasan bertandang mengunjungi keponakannya yang juga teman sekelas Sitor dan tinggal di sana.
46
Sitor membuat pembedaan antara istilah “Batavia” dan
“Jakarta” yang baginya memberikan kesan yang tidak sama: yang satu adalah sebutan dari ibukota kolonial Hindia-Belanda, satu lagi merupakan tempat munculnya ide-ide dan gerakan perjuangan kemerdekaan. Baginya, BataviaJakarta adalah pusat gerakan politik bagi kaum nasionalis. 47 Benih-benih perlawanan dalam diri Sitor tercermin pula manakala ia, selama di sekolah, tidak antusias menekuni pelajaran yang berorientasi pada Eropa atau Belanda, semangatnya justru muncul manakala mempelajari ilmu sejarah, sosial, serta geografi seputar Indonesia.48 Ia pun tetap memegang teguh mimpinya melanjutkan studi ke Sekolah Tinggi Hukum sampai akhirnya mimpi itu kandas setelah kedatangan tentara Jepang yang memukul mundur kekuasaan kolonial Belanda, termasuk menutup sekolah-sekolah Belanda di Jakarta. Setelah pengeboman Pearl Harbour pada 7 Desember 1941, Jepang dengan tentaranya yang militan semakin memperluas ekspansinya hingga ke Hindia Belanda.49 Sitor menjadi saksi langsung peperangan dan pengeboman Jepang di
46
Ibid., pp. 54-55.
47
Ibid., p. 52.
48
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 9.
49
Sejak 1937, Perang Pasifik telah berlangsung, ditandai dengan agresi Jepang ke Cina yang direspon oleh serangan Amerika dan berujung pada serbuan balik Jepang ke pangkalan militer negara adidaya itu. Keberhasilan Jepang menghancurkan armada perang Amerika dilanjutkan dengan agresi ke pangkalan udara Amerika di Filipina, serangan ke tanah jajahan Inggris di Hongkong, Malaya, Singapura, sampai ke Nusantara. Serangan-serangan Jepang tersebut memunculkan kelompok negara-negara yang melawan tentara Nippon, antara lain Cina, Amerika Serikat, Inggris, Filipina, Australia, Belanda dan Selandia Baru. Sementara Jepang sendiri dibantu oleh Thailand dan rakyat Hindia Belanda yang tengah dijajahnya. Selengkapnya perihal runtutan Perang Pasifik. Lihat, Astri
58
Jakarta pada Januari 1942. Ia melihat pesawat tempur terbang dan baku tembak di langit, jatuhnya pesawat Belanda jenis spitfire, dan jatuhnya bom-bom Jepang. 50 Sitor terpaksa berhenti sekolah saat itu, ia pun tak lagi mendapatkan kiriman uang dari Sumatra, hal serupa terjadi pada pelajar-pelajar lainnya yang berasal dari luar Jawa.51 Jakarta secara resmi diduduki Jepang setelah Jenderal Spoor didampingi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Starkenborgh menandatangani dokumen pernyataan kalah kepada Jenderal Jepang Nakamura pada Maret 1942 di lapangan terbang militer Kalijati, Subang. 52 Suatu kali Sitor dan seorang teman sekelasnya berkeliling di sekitar Senen tak sengaja berjumpa seorang serdadu Jepang yang menghampiri mereka dengan sepeda kecil. Serdadu itu merebut sepeda teman Sitor di lapangan Waterloo dan pergi mengayuhnya begitu saja. Itu adalah pertama kalinya Sitor melihat tentara Nippon di Jakarta.53 Sebagian masyarakat Indonesia menaruh harap akan kedatangan Jepang yang dipandang akan membawa Indonesia ke arah kemerdekaan. Panitia-panitia penyambutan dibentuk di sejumlah daerah untuk merayakan kemenangan
D.H. dan Faisal A. Nadif, Sejarah Perang-Perang Besar di Dunia (Yogyakarta: Familia, 2011), pp. 117-118. 50 51
Sitor Situmorang, op.cit., p. 63. Ibid., p. 71.
52
Kolonel Sus M. Akbar Linggaprana, “Serangan Kilat Jepang Menggulung Belanda di Kalijati,” angkasa.co.id, diakses pada 8 Mei 2015 pukul 23.50 Wita. 53
Sitor Situmorang, op.cit., pp. 67-69.
59
Jepang.54 Kegembiraan itu tidak berlangsung lama, Jepang mengeluarkan larangan pengibaran Bendera Merah Putih dan pengumandangan lagu Indonesia Raya, rakyat akhirnya menyadari bahwa Jepang memiliki misi imperialisme tersendiri. Setelah Jepang menutup sekolah-sekolah Belanda, Sitor dan siswasiswa lainnya terpaksa bersekolah di Sekolah Menengah Tinggi (SMT) yang dibentuk oleh Jepang dengan menggabungkan sekolah-sekolah menengah atas di Jakarta.55 Sitor belajar di sana sampai akhirnya ia bersama pelajar-pelajar dari luar Jawa lainnya dipulangkan ke kampung halaman. 56 Tahun 1943, Sitor yang sudah kembali ke Sumatra terpilih untuk melanjutkan studi ke Tokyo, Jepang, sebagai perwakilan Tapanuli Utara, antara lain karena memiliki dasar pendidikan yang cukup serta latar belakang keluarga yang ningrat.57 Sitor pun berangkat dengan singgah sejenak di Singapura yang kemudian menjadi beberapa minggu lantaran terserang disentri. Kapal pun meninggalkan Sitor yang saat itu tengah dirawat di rumah sakit setempat. Ia batal bersekolah ke Tokyo. Setelah sehat, Sitor kembali ke Sumatra. 58 Pengalamannya yang singkat di Singapura ternyata membawanya pada perenungan tentang Nusantara. Dalam perjalanan pulangnya, melewati Riau dan Bukittinggi, Sitor menyadari betapa luasnya tanah air dan betapa besar bangsa yang mendiaminya. 59
54
Moela Marboen dan R.Z. Leirissa, Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara, (Jakarta: Forum Komunikasi EX SUB Teritorium VII Komando Sumatera, 1979), p. 54. 55
Sitor Situmorang, op.cit., pp. 71-72.
56
Ibid., p. 74.
57
Ibid.
58
Ibid., pp. 81-82.
59
Ibid., pp. 82-83 .
60
Sitor tidak lagi merasa sebagai orang Batak yang mengagumi negeri jauh atau orang gunung terpesona pada lalu lintas kota, melainkan sebagai bagian dari bangsa besar bernama Indonesia dengan segala keragamannya. Sesampainya Sitor di Sumatera, ia menetap di Sibolga yang kala itu masih menjadi Ibukota Keresidenan Tapanuli. Ia sering membaca buku di perpustakaan milik kakak laki-lakinya dan menemukan buku Max Havelaar karya Multatuli, ia terkesan dengan kisah Saijah-Adinda dan terdorong menerjemahkan sajaknya ke bahasa Batak: sebuah usaha sastra pertama yang dilakukan Sitor.60 Sitor juga mulai membaca sastra yang dimuat di majalah Pujangga Baru. Selain bertemu dengan kesusastraan, kehidupan Sitor selama di Sibolga mulai dijalani dengan diskusi-diskusi bersama aktivis gerakan kebangsaan, jurnalis, dan teman-teman bekas pelajar di Jawa, yang keseluruhannya membulatkan impian Sitor untuk menjadi wartawan dan sastrawan. 61 Ketika ibukota keresidenan kemudian dipindahkan dari Sibolga ke Tarutung, Sitor ikut pindah dan bertugas membantu seorang Jepang yang lama tinggal di Tanah Batak bernama Kakitani untuk mengurus perpustakaan besar berisi arsip-arsip Belanda, ia bekerja untuk Tyokan atau gubernur.62 Sementara itu, orang-orang Indonesia mulai dididik menjadi tentara-tentara yang dapat membantu Jepang melawan gempuran musuh-musuhnya. Tahun 1943 dibentuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Jawa dan tentara Gyugun di Sumatra
60
Ibid., p. 85.
61
Ibid., p. 83.
62
Ibid., p. 92.
61
dengan tempat latihan salah satunya di daerah Sumatra Utara.63 Bagi rakyat Indonesia, pelatihan ini merupakan kesempatan untuk belajar teknik perang demi perjuangan kemerdekaan kelak. Ketika kekuasaan tentara Jepang semakin melemah di Indonesia, ditandai dengan kedatangan tentara Sekutu yang berniat mengambil kembali tanah jajahannya, Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Maret 1945 atas komando Saiko Syikikan Kumakici Harada. 64 Pada masa-masa genting ini, sekitar Maret 1945, Sitor menikah dengan seorang perempuan bernama Tio Minar Gultom, berpendidikan guru di sekolah Belanda, putri mantan demang dari Samosir, Mangaraja Frederick Gultom, yang berpaham modern. 65 Menurut J.J. Rizal, Sitor memandang pernikahannya sebagai simbol “zaman baru” terhadap adat lama karena Tio bukanlah calon istri yang dipilih dengan mengikuti adat-tradisi perjodohan keluarga, sebagaimana yang mendasari pernikahan semua saudarasaudaranya, melainkan pilihan Sitor sendiri yang berhasil terwujud setelah berulang kali bolak-balik meyakinkan ayahnya. 66 Setelah berbulan madu di Harianboho, sekitar Juni-Juli 1945, Sitor kembali ke Tarutung, bekerja di perpustakaan dengan Kakitani. 67 Kala itu, isu-isu bahwa Jepang sedang terpuruk sudah berhembus. Dalam posisi yang makin
63
Moela Marboen dan R.Z. Leirissa, op.cit., p. 57.
64
Ibid., p. 62.
65
J.J. Rizal, Sitor Situmorang : Biografi..., op.cit., p. 11.
66
Ibid.
67
Sitor Situmorang, op.cit., p. 99.
62
terdesak oleh serangan Sekutu, Jepang semakin mendengungkan janji-janji kemerdekaan Indonesia. Pada 7 Agustus 1945 dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI)
yang
dipimpin
Soekarno-Hatta.68
Sitor
mengetahui Jepang telah kalah perang pertama kali dari pembicaraan rahasianya dengan Kakitani. 69 Sementara Jepang pada waktu itu masih menutupi kekalahannya, kendati sebenarnya Hiroshima telah dijatuhi bom atom “Little Boy” oleh Amerika pada 6 Agustus 1945 dan bom atom kedua yang dijuluki “Fat Man” sudah menghancurkan Nagasaki. 70 Jepang pun menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945. Peristiwa ini diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dua hari setelahnya. Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia baru sampai di Tarutung pada September 1945 lewat wakil Sumatera di PPKI, yakni Mr. Teuku Mohammad Hassan, Dr. Amir, dan Mr. Abbas. 71 Berita lainnya, Soekarno dan Mohamad Hatta menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia, sementara Mr. Teuku Mohamad Hassan sebagai Gubernur Sumatra.72 Sitor pun segera terjun dalam pembentukan Komite Nasional daerah Tapanuli di mana ia kemudian ditempatkan di bagian penerangan. Selama tiga kali dalam seminggu, Sitor bertanggungjawab sebagai redaktur, menerbitkan koran Suara Nasional : ini adalah pengalaman pertamanya
68
Moela Marboen dan R.Z. Leirissa, op.cit., p. 62.
69
Sitor Situmorang, op.cit., p. 106.
70
St. Sularto dan Dorothea Rini, Konflik di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2010), p. 48. 71
Moela Marboen dan R.Z. Leirissa, op.cit., p. 63.
72
Sitor Situmorang, op.cit., p. 109.
63
di dunia jurnalistik.73 Sitor kemudian merambah jenjang karir wartawan yang lebih serius dengan melamar pekerjaan di harian Waspada di kota Medan. Medan adalah salah satu pusat terpenting perkembangan pers nasional kala itu, di luar Jakarta.74
2.3
Terlibat dalam Revolusi: Pergulatan Bangsa dan Diri (1945-1949) Menjadi wartawan di Suara Nasional kemudian Waspada adalah salah
satu keterlibatan Sitor di masa awal revolusi. Aktivitas sebagai jurnalis menuntut keluasan wawasan. Sitor pun semakin banyak membaca dan akhirnya mengagumi tulisan-tulisan Sutan Syahrir, pikiran-pikiran Soedjatmoko dan Rosihan Anwar yang kerap dimuat dalam majalah Siasat.75 Hal ini giliran berikutnya tidak hanya membantu karir jurnalis Sitor, melainkan juga menambah tabungan bagi perkembangan intelektualnya. Pengalaman ini memperkuat kesadaran dan keyakinan politik Sitor di usianya yang baru menginjak 23 tahun. 76 Belum lama bekerja di Waspada, Sitor harus kembali berhadapan dengan situasi perang. Belanda melancarkan serangan-serangan di daerah Sumatra. 4 Januari 1947, kampung-kampung dan kota di sekitar Medan telah dibom oleh Angkatan Udara Belanda hingga menewaskan 52 orang. 77 Teluk Sibolga juga
73
Ibid., p. 111.
74
Ibid., p. 120.
75
Ibid., p. 121.
76
Ibid.
77
Pramoedya Ananta Toer, (et al.), Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947) (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2001), p. 6.
64
digempur Belanda pada 5 Januari 1947, namun berhasil digagalkan oleh. 78 Akibat dari serangan-serangan ini, ibukota provinsi dipindahkan ke Pematangsiantar. Medan telah diduduki Belanda, Sitor pun ikut pindah ke ibukota provinsi yang baru. Selain revolusi fisik, Indonesia juga mengalami revolusi sosial yang menggerakkan kaum petani dan rakyat kecil untuk menangkap dan bahkan membunuh para raja dan sultan, termasuk Ompu Babiat, ayah Sitor, juga hampir menjadi korban.79 Revolusi sosial tersebut meletus pada 3 Maret 1946, orangorang yang terkait dengan swapraja ditangkap oleh Volksfront. Pada 6 Maret 1946, upaya perundingan dilakukan antara pihak Volksfront, pemerintah Sumatra Timur dan pihak Tentara Republik Indonesia (TRI) dengan hasil M.J. Nasution bersama Mr. Luat Siregar akan berkeliling Sumatra untuk menyuarakan perdamaian. 80 Melihat itu semua, Sitor sampai pada pertanyaan “Apakah revolusi bicara harus selalu dengan darah?” 81Pertanyaan tersebut menunjukan keterlibatan Sitor secara emosional terhadap pergolakan zaman yang terjadi. Dalam usia sedini itu, permasalahan bangsa telah menjadi bahan pemikirannya yang kemudian turut mendasari pilihan-pilihan dalam hidupnya. Selain dua media massa yang telah disebutkan sebelumnya, Sitor juga sempat bekerja di kantor berita Antara di Pematangsiantar, tempat berbagai berita penting dari Pulau Jawa dan luar negeri dapat diakses melalui radio. Sitor
78
Ibid., p. 7.
79
Sitor Situmorang, op.cit., p. 122-125.
80
Moela Marboen dan R.Z. Leirissa, op.cit., p. 145.
81
Sitor Situmorang, op.cit., p. 127.
65
mendapat gambaran yang lebih terang tentang situasi yang terjadi di pusat pemerintahan yakni di Jawa yang pada 1947 masih terfokus pada pro dan kontra hasil-hasil Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani pada 25 Maret 1947 oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir dari pihak Indonesia. Hasil perundingan yang mempersempit wilayah teritorial Indonesia serta kesepakatan pembentukan Negara Indonesia Serikat dan Uni Indonesia-Belanda di bawah Ratu Belanda ini ditolak di Aceh dengan tokoh-tokoh seperti Mr. S.M. Amin, Sutikno Padmosumarto dan Amelz dari anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Aceh. 82 Belanda memperkeruh situasi dengan melanggar Perjanjian Linggarjati melalui serangan militer terhadap Indonesia pada 21 Juli 1947. Menghadapi serangan tersebut, Republik Indonesia mengadukan Belanda ke PBB yang menimbulkan reaksi keras dari dunia internasional yang berujung kepada gencatan senjata oleh tentara Belanda pada 25 Agustus 1947.83 Berita seputar gencatan senjata ini memantapkan tekad dan keberanian Sitor untuk kembali ke Medan dan kembali bekerja di Waspada. 84 Perpindahannya ini didasari atas keinginan untuk melakukan sesuatu yang membantu perbaikan keadaan, hal yang tidak bisa ia kerjakan di Tarutung.85 Sitor ingin berkontribusi melalui kerja jurnalistiknya. Selama bekerja di Medan, ia tak terlepas dari teror-teror yang dilakukan Belanda kala itu. Sitor menyaksikan secara langsung beberapa polisi rahasia Belanda,
82
Pramoedya Ananta Toer, (et al.), op.cit., p. 111.
83
J.B. Soedarmanta, Politik Bermartabat: Biografi I.J. Kasimo (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2011), p. 134. 84
Sitor Situmorang, op.cit., p. 135.
85
Ibid.
66
yakni Netherland Forces Intelligence Service (Nefis), menggeledah kantor Waspada. 86 Kejadian ini menjadi pengalaman konfrontasi pertama Sitor dengan Belanda. Masa-masa revolusi di Sumatra yang dialami Sitor sebagai seorang saksi, pengamat, dan pelaku sejarah menjadi bagian penting dalam hidupnya. J.J. Rizal menyatakan
bahwa
pengalaman
Sitor
mengikuti revolusi
tidak
hanya
dipandangnya sebagai pengalaman bersejarah yang kelak tercermin dalam karyanya, tetapi juga menjadi kerangka dasar pemikiran dan pilihan warna ideologi politiknya sebagai seorang nasionalis. 87 Selain revolusi di Sumatra, perlu dicermati pula perjalanan Sitor selama era revolusi yang terjadi di Yogyakarta. Sejak lama Sitor berkeinginan untuk datang dan bergumul dalam dinamika pergerakan di daerah yang sejak 1946 sempat menjadi Ibukota Republik Indonesia tersebut. Niat tersebut terwujud ketika Pemimpin Redaksi Waspada, Mohamad Said, mengutus Sitor ke Pulau Jawa, untuk menghadiri Federale Conferentie di Bandung yang digelar oleh Dinas Penerangan Belanda sebagai perwakilan dari Waspada.88 Setelah melewati penyeberangan antarpulau, Sitor tiba terlebih dahulu di Jakarta dan berkeinginan besar bertemu Chairil Anwar yang sajak-sajaknya sempat ia baca dalam majalah Siasat ketika di Pematangsiantar, ia juga berhasrat menjumpai sastrawan Asrul Sani dan Rivai Apin namun pertemuan itu tak
86
Ibid., p. 137.
87
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., pp. 12-13.
88
Sitor Situmorang, op.cit., pp. 137-138.
67
kunjung terjadi. 89 Sitor melanjutkan perjalanan ke Bandung. Di sana Sitor dengan jeli mewawancarai Perdana Menteri Negara Pasundan di tengah pesta dansa, menanyakan pendapatnya tentang kedudukan Republik Indonesia yang telah terbentuk dan maksud dari Konferensi Federal.90 Hasil wawancara tersebut, setelah dikirim via kawat ke Waspada Medan, dikutip sebagai headline oleh semua koran termasuk pers asing dan menambah rasa percaya diri serta wibawa Sitor sebagai jurnalis. 91 Setelah Konferensi Federal itu berakhir, Sitor memanfaatkan kesempatan untuk melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta untuk merasakan secara langsung degup jantung revolusi. 92 Sitor tinggal di Yogyakarta dengan bantuan dari Kementerian (Departemen) Penerangan di Yogyakarta dan tinggal di Hotel Merdeka yang menjadi tempat berkumpulnya tokoh-tokoh politik dan perjuangan terutama dari daerah yang sudah diduduki Belanda. 93 Sitor pernah seatap dengan Menteri Penerangan, Mohamad Natsir, sekamar dengan staf Dr. Ratu Langie. 94 Sitor mengikuti berbagai kejadian penting yang ada di Yogyakarta dan berusaha menuliskannya untuk dikirim ke Waspada. Salah satu peristiwa yang
89
Ibid., p. 146.
90
Ibid., pp. 147-148.
91
Ibid., pp. 149-150.
92
Setelah Jakarta diserang selama beberapa bulan berturut-turut, sedari Oktober sampai Desember 1945 oleh Tentara NICA, jatuhnya korban mencapai lebih dari 8.000 orang, dan ancaman terhadap Soekarno dan Hatta, dilakukan sidang kabinet pada 3 Januari 1946 yang menghasilkan keputusan mengalihkan ibukota Republik ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Selengkapnya lihat, Atmakusumah (ed.), Takhta untuk Rakyat, Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), pp. 65-66. 93
Sitor Situmorang, loc.cit.
94
Ibid., p. 162.
68
diikuti Sitor yakni perundingan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang pada 13 Januari 1949. 95 Perundingan ini menjadi kelanjutan dari tuntutan gencatan senjata Belanda sebelumnya. Dewan Keamanan PBB membentuk Committee of Good Offices for Indonesia atau lebih dikenal dengan KTN,terdiri dari negara Australia, Belgia dan Amerika Serikat.96 Hasil perundingan ini adalah “Notulensi Kaliurang” yang menegaskan kekuasaan Indonesia atas daerah-daerah yang dimilikinya. 97 Sitor ditugaskan meliput jalannya perundingan tersebut. Di sela-sela pekerjaannya itu, Sitor menulis sajak berjudul “Kaliurang” yang terinspirasi dari anak angkat Haji Agus Salim bernama Lisa Lotte Ehing, gadis cantik keturunan Belanda-Austria yang menjadi staf di Kantor Delegasi Republik yang merangkap sebagai juru bahasa. 98 “Kaliurang” adalah salah satu sajak yang mengawali karir kepenyairan Sitor Situmorang. Selama ini publik, bahkan juga sejarah kesusastraan Indonesia, menganggap bahwa “Kaliurang” adalah sajak pertama Sitor, hal mana membuat sejumlah kalangan memandang Sitor sebagai penyair yang sejak mula karya-karyanya kebanyakan tidak terkait dengan situasi lingkungan dan jiwa zaman, pujangga yang lebih cenderung mengekplorasi emosi dan pergulatan batin diri sendiri seakan tidak terlibat dengan
95
Pramoedya Ananta Toer, (et al.), Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV (1948) (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), p. 2. 96
Indonesia memilih Australia sebagai wakilnya adalah Richard C. Kirby, sementara Belanda memilih Belgia sebagai wakilnya adalah Paul van Zeeland, Amerika Serikat yang berperan sebagai penengah diwakili oleh Dr. Frank Graham. Lihat, Batara R. Hutagalung, “Rawagede,” kukb.nl/ diakses 14 Mei 2015 pukul 09.23 Wita. 97
Pramoedya Ananta Toer, (et al.), Revolusi Indonesia Jilid IV (1948), loc.
98
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., pp. 16-17.
cit.
69
kehidupan. Akan tetapi anggapan itu dipatahkan oleh temuan J.J. Rizal, yang mendapati bukti bahwa sajak pertama Sitor berjudul “Pasar Senen” dan “[Terdengar]” yang dipublikasikan sebelum “Kaliurang” justru sangat terkait dengan lingkungan sosial, mencerminkan sebentuk kepedulian dan menunjukkan bahwa Sitor tidak mengalienasi diri dari lingkungan sosial, yang karenanya meruntuhkan anggapan umum tersebut di atas. 99 Pergulatan diri dan pergumulan dengan zaman adalah sebagian dari karakter sastrawan Angkatan 45 100. Oleh H.B. Jassin, Angkatan 45 dirumuskan sebagai angkatan yang memiliki gaya ekspresi yang khas, memperjuangkan nilainilai universil-nasionalis, mempunyai sikap hidup dan visi yang revolusioner. 101 Kebanyakan seniman Angkatan 45 ikut serta dalam pergerakan entah menjadi pejuang, wartawan, penerjemah, seniman propagandis, dan sebagainya. 102 Demikian halnya Sitor yang sewaktu di Yogyakarta menjalankan perannya sebagai jurnalis dan sastrawan sekaligus. Profesi ini dijalani Sitor kendati ia tahu tak ada jaminan finansial yang bagus dengan pilihan tersebut. Akan tetapi, menurut H.B. Jassin, orang-orang seperti Sitor termasuk “republikein in hart en
99
J.J. Rizal (ed.), Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948-1979, op.cit.,
p. xxviii. 100
Menurut Martina Heinschke, “Angkatan 45 telah menjadi sebutan standar bagi para pengarang yang mulai aktif dalam masa pendudukan Jepang (1942-1945) dan Revolusi Nasional (1945-1949). Asosiasi yang terkandung dalam istilah ini, di antaranya semangat dan perjuangan kelahiran Republik Indonesia, bisa dikatakan tepat. Lihat Martina Heinschke, “Menentukan Sikap: Penyair Modern Mencari Persaudaraan Baru,” dalam Rizal (ed.), Menimbang Sitor Situmorang (Jakarta : Komunitas Bambu, 2009), p. 67. 101
H.B. Jassin, “Angkatan 45,”dalam E. Ulrich Kratz (ed.), Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Kepustakaan Populer Gramedia, 2001), p. 241. 102
Ibid.
70
nieren” atau para republikan sejati: para elite intelektual urban yang berpendidikan Belanda yang memberi sentuhan kosmopolitan dalam semangat keindonesiaan sekaligus secara lugas menyatakan keberpihakan pada gerakan antikolonial. 103 Sebagai seniman dan intelektual, Sitor haus akan pergaulan kreatif. Selama di Yogyakarta, ia pun berkenalan dan bergaul dengan para seniman mumpuni seperti Affandi, Sudjojono, Hendra Gunawan, Basuki Resobowo, Zaini, yang telah mendirikan perkumpulan Seniman Indonesia Muda (SIM) yang sebagian di antaranya membentuk kelompok Pelukis Rakyat pada 1947.104 Dalam pergaulan kesenian itu pula Sitor melihat aktivitas para seniman ulung yang melanjutkan perkembangan seni rupa modern sebagai ungkapan budaya baru Indonesia. Ia pun menonton berbagai pertunjukan sandiwara yang digelar oleh seniman lokal yang memberi keyakinan padanya bahwa rakyat sebenarnya tidak perlu tergantung pada impor film-film asing untuk memperoleh hiburan. 105 Kesadaran ini menjadi awal dari rumusan politik kebudayaan yang dicetuskan Sitor bertahun-tahun kemudian. Menurut J.J. Rizal, pada masa pengembaraannya di Yogyakarta, Sitor tak hanya meresapi sendi-sendi revolusi fisik yang terjadi, melainkan juga mengalami revolusi seorang diri. Sitor meresapi alam dan kebudayaan masa lalu Jawa melalui candi-candi berikut mitos yang melingkupinya, seni keraton dan seni rakyat yang
103
Pendapat H.B. Jassin ini dikutip dalam Els Bogaerts, “Whither Indonesian Culture? : Rethinking „culture‟ in Indonesia in a Time of Decolonization,” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (eds.), Heirs to World Culture: Being Indonesian 1950-1965 (Leiden: KITLV Press, 2012), p. 229. 104
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 16.
105
Sitor Situmorang, op.cit., p. 160.
71
bersisian dengan kesenian modern yang diusung oleh para seniman. Sitor mempertanyakan peranan seni dan estetika sebagai citra hidup berbudaya. Sitor mengaku bahwa semangat ini dapat ditemui pula dalam diri anggota-anggota Seniman Indonesia Muda kala itu, nama-nama yang telah disebutkan di atas, seperti Affandi, Sudjojono, Zaini, Hendra Gunawan, Basuki Resobowo, dan lainlain. 106 Demikianlah Sitor di Yogyakarta, ia tak hanya meresapi dinamika revolusi fisik yang memberikan pemahaman perihal sejarah dan politik, melainkan juga memperkaya pengalaman batinnya.
Dalam sejumlah kesempatan, Sitor
mengunjungi situs-situs budaya lama yakni dengan ziarah ke candi Prambanan dan Borobudur, menikmati pesona alam di Yogyakarta dan sekitar Jawa Tengah.107 Borobudur memberi kesan tersendiri buat Sitor. Ia merasakan adanya ikatan emosional dengan candi tersebut, yang mengingatkannya pada kebudayaan Batak dari zaman pra-Hindu, dunia ayah dan ibunya di Harianboho.108 Kesan mendalam tersebut melahirkan sajak-sajak tentang Borobudur yang muncul sejak masa awal kepenyairan Sitor sampai periode terakhirnya. Bahkan kelak, ketika Sitor merintis pendirian Lembaga Kebudayaan Nasional milik Partai Nasional Indonesia, stupa Borobudur dipilih sebagai logo LKN, perlambang kebudayaan yang tinggi milik bangsa Indonesia. Setelah cukup lama hidup di Yogyakarta, Sitor berkeinginan kembali ke Medan, namun niat tersebut tidak pernah terwujud karena sulitnya menembus
106
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., loc.cit.
107
Sitor Situmorang, op.cit., p. 179.
108
Ibid., pp. 179-180.
72
garis demarkasi Belanda, sampai akhirnya ia ditawan oleh polisi intel Belanda, Nefis, yang menembus Yogyakarta dan mengobrak-abrik kamarnya di Hotel Merdeka. Sitor ditangkap dan masuk ke penjara Wirogunan bersama seniman Basuki Resobowo dan Zaini, Suryadarma dari Angkatan Udara, Gubernur Nusa Tenggara yakni Ketut Puja, Gubernur Republik untuk Jawa Barat yaitu Sewaka, BM. Diah, dan tokoh lainnya. 109 Kehidupan di penjara dilaluinya sampai ia dibebaskan pada akhir 1948 dan awal 1949 ia pulang ke Medan dengan bantuan dari seorang kenalan yang juga orang Batak.110
2.4
Sitor di Lapangan Budaya dan Politik (1949-1967) Tak lama setelah Sitor sampai di Medan dan menemui keluarganya, ia
berniat untuk kembali ke Jakarta. Ia mengumpulkan uang dengan menulis di surat kabar setempat. Setelah mendapat ongkos yang cukup untuk ke Jakarta, ia menyeberang ke Pulau Jawa, meninggalkan keluarganya untuk sementara.111 Sitor yang telah menguatkan niat menjadi sastrawan dan menceburkan diri dalam pergaulan intelektual di Jakarta, bertemu dengan sejumlah tokoh seperti Chairil Anwar, Rosihan Anwar yang kala itu menjadi Pimpinan Redaksi Harian Pedoman, ia kembali berjumpa Affandi yang sudah pindah ke Jakarta dari Yogyakarta, Usmar Ismail seorang tokoh teater dan sutradara film terkemuka
109
Ibid., pp. 182-184.
110
Ibid., pp. 186-187, 197.
111
Ibid., pp. 198-199.
73
yang memberi Sitor pekerjaan menerjemahkan dan mengadaptasi naskah teater asing.112 Dahaga intelektualnya yang begitu besar menjadikan Sitor berusaha berhubungan dengan Lingkaran Gelanggang, suatu kelompok diskusi kebudayaan yang diprakarsai oleh intelektual seperti Soedjatmoko, Amir Pasaribu, Basuki Resobowo, Asrul Sani, Rivai Apin. 113 Tahun 1946, didirikan Gelanggang Seniman Merdeka (GSM) dengan tokoh-tokoh seperti Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, Mochtar Apin, Baharudin dan Henk Ngantung ini memegang prinsip bahwa “perjuangan Indonesia seharusnya tidak saja di dalam lapangan politik, ketentaraan, ekonomi, tetapi juga di dalam perjuangan kebudayaan.”114 Pada 22 Oktober 1950, GSM mengeluarkan Surat Kepertjajaan Gelanggang sebagai pernyataan sikap para anggotanya yang memihak pada humanisme universal. Menurut Maman S. Mahayana, diumumkannya surat tersebut merupakan respon dari publikasi Mukadimah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI), yang menyatakan aliran realisme sosialis yang bersumber pada ajaran komunisme.115
112
Ibid., p. 199-204.
113
Ibid.
114
Pendirian GSM pada mulanya hanya dimaksudkan sebagai tempat berkumpulnya para seniman untuk saling bertukar pkiran dan bekerja, namun giliran berikutnya, seiring bertambah banyaknya anggota GSM dan semakin tajamnya pertukaran pemikiran yang terjadi, maka bersemilah cita-cita untuk membangun suatu masyarakat kebudayaan, pergaulan hidup kebudayaan (culturele samenleving). Perihal sejarah GSM dapat dilihat pada tulisan “Sedjarah Singkat” dalam E. Ulrich Kratz (ed.), op.cit., pp. 184-186. 115
Yudiono K.S., Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), p.121.
74
Sitor sendiri sempat mengikuti perdebatan-perdebatan perihal ini termasuk membela Angkatan 45 yang dianggap telah mati. 116 Lewat perdebatan yang sengit itu, nama Sitor semakin dikenal. Ia pun mendapatkan undangan Stichting Culturale Samenwerking (Sticusa), Yayasan Belanda yang menawarkan pertukaran intelektual dan kesenian antara Belanda dan Indonesia. Tahun 1950, Sitor bersama Ramadhan KH, Rivai Apin, Toto Sudarto Bachtiar, dan Sutan Takdir Alisjahbana berangkat ke Belanda. 117 Setelah beberapa bulan Sitor berada di negeri Belanda, istri dan anak-anaknya menyusul ke sana. Sitor dan keluarganya tinggal di dua kota yakni Amsterdam dan Apeldoorn.118 Dua tahun kemudian, Sitor melanjutkan perjalanan ke Paris dan di sana ia semakin dalam menyelami kebudayaan Eropa modern. Sitor menyerap filsafat eksistensialisme Perancis 119 yang kemudian memberi pengaruh besar bagi sajak-sajaknya kemudian.120
116
Baca Sitor Situmorang, “Angkatan 45,” dalam E. Ulrich Kratz, op.cit., pp. 147-152 dan Sitor Situmorang, “Konsepsi Seni Angkatan 45,” dalam E. Ulrich Kratz, op.cit., pp. 139-142. 117 118
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., pp. 27-28. Ibid., p. 28.
119
Eksistensialisme Perancis yang memengaruhi Sitor adalah eksistensialisme menurut Jean Paul Sartre dan Albert Camus. Dalam karya-karya Sitor dapat ditemui ide-ide perihal kebebasan manusia dalam menentukan nasibnya sendiri dengan pilihan-pilihan sadar (Sartre) dan tentang semangat hidup manusia dalam menghadapi absurditas hidupnya, gagasan bunuh diri dengan kesadaran sebagai suatu sikap menolak takdir (Albert Camus). Baca : Subagio Sastrowardoyo, “Manusia Terasing di balik Simbolisme Sitor Situmorang,” dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., pp. 190-191. 120
Kurnia. J.R., Inspirasi? Nonsens!: Novel-novel Iwan Simatupang (Magelang: Indonesiatera, 1999), p. 32.
75
Wawasan filsafat yang diperoleh Sitor selama menjelajahi Eropa, khususnya Perancis, dibawanya pulang ke tanah air pada 1953.
121
Masa-masa
kepulangannya ke Indonesia tersebut dibanjiri dengan ide-ide untuk karya kreatifnya. J.J. Rizal menyebutkan bahwa masa itu adalah periode penciptaan yang paling subur, karya-karya Sitor mengalir deras serupa tanggul jebol. 122 Sitor hadir sebagai penulis esai yang tajam, kritikus sastra, drama, film, teater, seni rupa, musik yang dipercaya kredibilitasnya. 123 Sitor melahirkan sejumlah kumpulan sajak seperti Surat Kertas Hidjau (1954), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1956). Subagio Sastrowardoyo menyatakan bahwa dalam sajaksajaknya itu Sitor mampu memadukan secara matang unsur pemikiran filsafat eksistensialisme Perancis dengan gaya simbolisme Perancis dalam sajaksajaknya.124 Selain sajak, Sitor juga secara khusus menulis esai-esai tentang eksistensialisme seperti Pertemuan di Garis Iseng (1953) dan Manusia Iseng (1953). Kepulangannya dari tanah Eropa memang menjadikan posisi Sitor semakin istimewa di kancah seni tanah air. Sitor aktif mempublikasikan karyakaryanya di berbagai media seperti majalah Zenith, Siasat, Indonesia, Konfrontasi, Mimbar Indonesia.125 Salah satu sajak Sitor pada masa ini, yakni “Cathedrale de Chartres,” yang oleh A. Teeuw dipandang sebagai “manifestasi 121
J.J. Rizal (ed.), Sitor Situmorang : Kumpulan Sajak 1980-2005, op.cit.,
122
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 30
123
Ibid., pp. 31-32.
124
Subagio Sastrowardoyo dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., p.
125
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p.32.
p. 470.
201.
76
puisi gnerasi baru yang terpenting sejak Chairil Anwar”. 126 Pencapaian Sitor lainnya adalah Hadiah Sastra Nasional 1955 atas buku kumpulan cerpennya Pertempuran dan Salju di Paris.127 Sitor, kendatipun baru saja kembali dari luar negeri, tidak melakukan hal seperti itu. Sitor mampu mengolah kebudayaan dunia yang didapatkannya langsung dari pusat kebudayaan Eropa dengan tradisi yang ada di Indonesia. Ia juga sanggup meramu unsur-unsur tradisional dan modern sehingga menjadi karya yang padu. Sitor menulis sajak modern namun menggunakan bentuk puisi Melayu tradisional.128 Misalnya saja, pengungkapan gagasan eksistensialisme Perancis melalui pantun lama, syair, dongeng rakyat. 129 Dengan demikian, Sitor tidak termasuk bagian dari pernyataan Ajip Rosidi bahwa pada tahun 1950-an terdapat banyak sastrawan Angkatan 45 yang larut dalam kebudayaan internasional namun mengabaikan akar budaya dari tanah sendiri. 130 Sementara itu, pada akhir tahun 1953, dalam esai-esai Sitor, pembicaraan seputar eksistensialisme dan tulisan-tulisan bernada bantahan yang menyerang berbagai pihak, yang oleh Martina Heinschke dipandang merupakan bentuk keterasingan Sitor sepulang dari Eropa, mulai berkurang. 131 Sitor kemudian menerima kenyataan akan situasi masyarakat dan budaya Indonesia secara lebih
126
A. Teeuw dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., p. 263.
127
Erwan Hermawan, “Penyair Sitor Situmorang Wafat di Belanda,” m.tempo.co/ diakses pada 18 Mei 2015 pukul 14.20 Wita. 128
A.H. Jons, “Penyair di Antara Dua Dunia : Karya Sitor Situmorang,” dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., p. 128. 129
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., pp. 41-42.
130
Ibid., pp. 43-44.
131
Martina Heinschke dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., p. 89.
77
terbuka dan merumuskan kembali gagasan kesenian berdasarkan pemahamannya akan kompleksitas kondisi tanah air saat itu. Sitor melihat adanya perubahan sosial dan kultural yang disebabkan oleh kolonialisme, usaha-usaha integrasi nasional, adanya ketimpangan antara masyarakat kota dan desa dan pengaruh asing yang masih tak tertolak dengan segala modernitas dan budaya pop yang dibawa: seluruhnya terjadi secara serentak di republik yang baru berdiri. 132 Sitor kemudian menyadari bahwa seniman dan intelektual seyogyanya merenungi kondisi tersebut di atas sehingga tercapai suatu rumusan tentang tugas serta sikap seniman dan seni modern dalam menghadapi realita masyarakatnya. Kesadaran akan kerumitan kondisi sosiokultural Indonesia tersebut mendorong Sitor untuk terjun ke gelanggang politik. Ia mendaftarkan diri kembali sebagai anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1954. 133 Pilihan ke partai nasionalis dilatari oleh situasi pada waktu itu yang memperlihatkan simbol-simbol nasionalisme semakin marak digunakan di berbagai kesempatan, baik dalam perpolitikan luar negeri maupun di dalam negeri.134 Sitor menyadari bahwa partisipasinya dalam partai politik berarti meralat pandangannya terdahulu, yakni bahwa kaum politisi pernah dianggapnya tidak revolusioner, bersikap borjuis, tidak peka pada perubahan yang dibutuhkan. 135 Seiring dengan bergabungnya Sitor di PNI, Sitor menaruh perhatian pada seni yang sanggup menghadirkan ciri khas dan jiwa zaman Indonesia dan relevan
132
Ibid.
133
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., pp. 47-49.
134
Ibid., p. 49.
135
Martina Heinschke dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., loc.cit.
78
bagi masyarakat136. Sitor juga sering mengungkapkan perihal pentingnya keselarasan antara individualisme (pengakuan terhadap hak dan peran individu yang bebas) dan cita-cita kolektif (seperti terwujudnya kesejahteraan dan kemajuan masyarakat) agar terjadi apa yang disebutnya “pelepasan kebebasankebebasan „lama‟ untuk tumbuhnya kebebasan-kebebasan baru.”137 Dalam hal ini, Heinschke melihat Sitor membayangkan sebuah cita-cita sosialisme yang menjunjung tinggi kebebasan, sebuah angan-angan yang mirip dengan utopia di negara-negara pasca kolonial. 138 Gagasan sosialisme tersebut menurut Sitor bukan merupakan antitesis atas kolonialisme, tetapi merupakan jawaban atas ketegangan yang ditimbulkan oleh modernitas, demikian pula cita-cita kolektif yang dimaksud Sitor bukanlah ditujukan sebagai negasi dari individualisme melainkan dilatari kesadaran bahwa individu manusia Indonesia berakar dari budaya komunal dan memiliki tanggungjawab sosial di samping hak-hak individual yang hakiki. 139 Wacana ini secara khusus ditulis Sitor dalam Marhaenisme dan Kebudayan Indonesia (1956). Marhaenisme adalah ideologi khas Indonesia yang menjembatani gagasan tradisional dan modern serta menjawab tantangan perihal keselarasan antara individualisme dan cita-cita kolektif tadi. Ia menguatkan pernyataan Soekarno bahwa ideologi marhaenisme adalah jalan tengah kompromi antara kaum nasionalis, marxis, dan golongan agama.140 Sitor mendukung
136
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 53.
137
Martina Heinschke dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., p. 92.
138
Ibid.
139
Ibid., p. 93.
140
Soekarno menyatakan bahwa sosialisme Indonesia mengambil persamaan politik dalam Declaration of Independence dari Amerika, persamaan
79
marhaenisme sebagai “platform baru bagi pemikiran politik, ekonomi, dan kebudayaan.” Sitor menganggap Marhaenisme sebagai filsafat pragmatis yang dapat dijadikan pedoman berbuat di kehidupan nyata untuk kepentingan masyarakat. Ia cenderung tidak membahas marhaenisme dalam konteks perkembangan dunia pemikiran dengan berbagai tuntutan filosofis. Hal tersebut dilatari oleh kondisi negara yang pasca pemilu 1955 belum mampu menciptakan stabilitas ekonomi, politik, maupun meningkatkan kesejahteraan masyarakat.141 Sitor dengan serius mempelajari pemikiran-pemikiran Soekarno dan bahkan mampu mengelaborasinya. J.J. Rizal mengintisarikan pendapat banyak pihak yang menyatakan bahwa konsepsi Sitor mengenai politik kebudayaan Indonesia adalah terjemahan paling dekat dengan pemikiran Soekarno utamanya Marhaenisme. Dalam rangkuman tersebut disebutkan bahwa Sitor mampu membahasakan ajaran fundamental Soekarno ke dalam tradisi filsafat kebudayaan, ia mewacanakan ide-ide besar kebudayaan yang tidak disuguhkan secara lengkap dalam pidato Soekarno, Sitor pun dianggap mampu mengatasi keresahan Soekarno atas PNI.142 Melalui tulisan Marhaenisme dan Kebudayaan Indonesia, Sitor merangkul PNI dan gagasan Soekarno perihal gotong-royong, semangat kekeluargaan, demokrasi terpimpin sebagai pilihan yang sesuai untuk Indonesia
ilmiah dari Marx, persamaan spiritual dari Islam dan Kristen, dan kepribadian nasional dengan semangat gotongroyongnya. Baca : Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Edisi Revisi (Yogyakarta: Yayasan Bung Karno dan PT Media Pressindo, 2011), p. 90. 141 142
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 56.
PNI dalam perkembangannya dipandang telah jauh bergeser dari garis pemikiran dan perjuangan Sukarno sebagai perintis awal. PNI dianggap mengutamakan kepentingan pengusaha tinimbang kaum Marhaen. Lihat: Ibid., pp. 57-58.
80
kala itu.143 Oleh karena usaha-usahanya ini, pengarang besar Indonesia yang menjadi satu-satunya kandidat pemenang Nobel Sastra, Pramoedya Ananta Toer, menyebutnya “Mas Sitor Situmorang Panglima Kebudayaan Marhaen.”144 Dukungan Sitor terbukti tidak sebatas menyelamatkan PNI yang dipandang semakin melenceng dari pemikiran awal founding fathers-nya, melainkan juga bentuk kepeduliannya terhadap bangsa Indonesia. Hal itu tercermin dari hasil pemikirannya ketika aktif sebagai wakil golongan seniman dalam Dewan Nasional yang bertugas merumuskan Kepribadian Indonesia dan Kebudayaan Nasional. Ia mengungkapkan bahwa “pembangunan, cara penilaian dan pengembangan kebudayaan bertolak pada situasi masyarakat”.145 Adapun upaya perumusan kepribadian dan kebudayaan nasional tersebut juga dilatari oleh situasi internasional di mana tengah terjadi Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang saling berebut pengaruh terhadap negara-negara lain. Menyikapi kondisi ini dan menyadari perlunya sikap dalam menyongsong masa depan Indonesia sebagai negara-bangsa yang meneguhkan eksistensinya, maka apa yang dikerjakan Sitor di Dewan Nasional dipandang perlu. Bagi Sitor masyarakat Indonesia yang ideal kala itu adalah masyarakat modern, yang di satu sisi mampu menerima, memanfaatkan dan mencipta kemajuan (teknologi), namun di lain pihak tetap mempertahankan ciri dari
143
Ibid., p. 57.
144
Julukan ini ditulis Pramoedya di media Republik pada 15 Juli 1959. Data diperoleh dari: Muhammad Adi Nugroho, “Sejarah Lembaga Kebudayaan Nasional dalam Kesusastraan Indonesia,” (Skripsi S-1 Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012), p. 36. 145
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 60.
81
masyarakat Indonesia pra kolonial demi mencapai kehidupan sosial kultural yang harmoni. 146 Salah satu contoh kebijakan yang dianjurkan Sitor misalnya saja perluasan sensor film, pengurangan impor film dan mempermarak produksi film dalam negeri yang berhaluan budaya. 147 Hal ini bertujuan untuk membendung budaya pop asing dan agar hiburan-hiburan tradisional rakyat tetap mendapat tempat. Gagasan-gagasan kebudayaan tersebut semakin mendapat penyalurannya manakala Sitor ikut duduk dalam Dewan Perancang Nasional (Depernas) sebagai wakil golongan seniman yang bertugas mengurai persoalan kebudayaan di Indonesia sebagai bahan perumusan rencana pembangunan jangka panjang bernama Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun, yang diniatkan untuk mendukung terbentuknya Sosialisme Indonesia di bawah Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno. 148 Sitor juga aktif sebagai wakil golongan seniman di Madjelis Pendidikan Nasional, Madjelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).149 Kiprah Sitor dalam politik kebudayaan nasional semakin melebar ketika ia turut dalam pembentukan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) melalui Kongres Lembaga Kebudayaan Nasional Seluruh Indonesia yang pertama pada 20-22 Mei 1959 di Solo dan ditunjuk sebagai ketua umum pertama LKN. 150 Sitor
146
Ibid., p. 51.
147
Ibid., pp. 55-56.
148
Ibid., p. 60.
149
J.J. Rizal (ed.), Sitor Situmorang : Kumpulan sajak 1980-2005, op.cit.,
150
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 61.
p. 471.
82
terpilih secara aklamasi karena pemahaman dan pengalamannya di kancah kebudayaan serta politik.151 Kongres ini melahirkan sejumlah ketetapan-ketetapan, antara lain bahwa LKN berpedoman “Kesenian adalah Rakyat” dan “Seni untuk Rakyat;”
152
definisi baru kebudayaan nasional sebagai puncak dari kebudayaan
daerah yang menjadi inspirasi untuk terus mencipta serta tak menutup diri pada kebudayaan asing yang dipandang konstruktif. 153 LKN tak jarang disamakan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lekra adalah underbow Partai Komunis Indonesia yang didirikan pada 17 Agustus 1950 oleh D.N. Aidir, M.S. Ahar, A.S. Dharta, dan Nyoto. 154 Baik PNI dan Lekra sama-sama menyusung ideologi kiri dan perjuangan rakyat. Sitor menyambut keberpihakan para seniman dan intelektual Lekra terhadap rakyat, kaum buruh dan petani, kendati ia tidak sependapat dengan ideologi dan gagasan seninya. 155 Lekra mengusung gagasan seni realisme sosialis yang terinspirasi dan berhaluan komunis-marxisme. 156
151
Muhammad Adi Nugroho, op.cit., p. 11.
152
LKN memandang bahwa seni yang sejati dapat membuktikan fungsi sosialnya di masyarakat. Rakyat adalah inti dari gerakan kebudayaan, asal ilham dari penciptaan seniman. Lihat: Ibid., p. 12. 153
Kebudayaan asing yang dapar dirangkul seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, s ementara yang sebaliknya adalah paham-paham fasisme, individualisme, liberalisme, dan sebagainya. Ibid., pp. 12-13. 154
Frans M. Parera, “Visi dan Misi Seniman Indonesia Pascarevolusi,” dalam Oyon Sofyan dan Frans M. Parera (eds.), Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air : Esai-esai Iwan Simatupang (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), pp. xl-xli. 155 156
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 52.
Budi Susanto, Politik dan Postkolonialitas di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2003), p. 352.
83
Politik kebudayaan LKN bertaut dengan semangat Gerakan Asia-Afrika, yakni adanya solidaritas untuk memerangi imperialisme atau anti kolonialisme, serta usaha memunculkan kepribadian nasional yang mencerminkan sikap Non Blok (tidak condong ke Barat atau melulu ke Timur). Sitor sebagai Ketua LKN aktif menyuarakan perihal konsep berkepribadian dalam kebudayaan sebagai landasan Marhaenisme di dunia internasional khususnya negara-negara Non Blok, Amerika Latin dan Eropa Timur.157 Demi mencapai tujuan itu Sitor aktif dalam Konferensi Wartawan Asia-Afrika (KWAA), menjadi Ketua Eksekutif dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika III di Bali (8-11 Agustus 1963), Ketua Komite Nasional dan Ketua Dewan Juri Festival Film Asia-Afrika di Tasjkent (1958), Kairo (1960) dan Jakarta (1964).158 Aktifnya Indonesia dalam ajang berskala internasional juga adalah usaha penguatan citra bangsa di mata dunia internasional yang secara langsung maupun tidak langsung juga menguatkan kecintaan Sitor dan delegasi Indonesia lainnya terhadap bangsanya sendiri: sebuah peneguhan identitas kebudayaan dari bangsa yang baru berdiri. Dari pertemuan lintas bangsa dan budaya itu, niscaya muncul inspirasi-inspirasi bagi pembangunan bangsa Indonesia di kemudian hari. Perjalanan diplomasi budaya Sitor berlanjut hingga ke negeri Tiongkok. Ia diundang dalam kegiatan Himpunan Pengarang Tiongkok pada April 1961 bersama tokoh penting Lekra seperti Joebar Ajoeb, Rivai Apin, Dodong
157 158
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 67. Ibid.
84
Djiwapradja, Utuy Tatang Sontani. 159 Perjalanan tersebut ditulisnya menjadi sajak-sajak yang terhimpun dalam antologi Zaman Baru (1962). Antologi puisi tersebut di atas oleh banyak pihak dipandang memiliki mutu sastra yang jauh di bawah karya-karya Sitor sebelumnya.160 Pandangan Sitor terhadap sastra memang tengah mengalami pergeseran, dari sastrawan yang kerap menyuarakan kegelisahan eksistensialis dalam gaya simbolisme Perancis menjadi sastrawan yang bertendensi membawa perubahan melalui karya-karyanya yang kian bernada realisme sosialis. 161 Pergeseran ini turut dipengaruhi oleh aktivitas politiknya, di samping tentunya merupakan pilihan sadar yang ditentukan melalui pergulatan pemikiran dan perluasan kepeduliannya terhadap bangsa dan negara Indonesia serta gagasan Soekarno yang didukungnya. Perjuangan lewat politik dan seni-budaya itu dilakoni Sitor selama bertahun-tahun sampai akhirnya Orde Lama tumbang, reformasi besar-besaran dilakukan oleh rezim Orde Baru yang menyingkirkan bukan hanya Soekarno tetapi seluruh perangkat politik, gagasan, orang-orang Orde Lama, pendukung Soekarno, termasuk mereka yang dipandang berhaluan kiri. 162 Peristiwa 1965 dan kejatuhan Soekarno menandai berakhirnya karier politik Sitor Situmorang. Ia diburu dan ditangkap tentara ketika tengah mengetik analisanya tentang peristiwa 159
Ibid., p. 69.
160
Ibid., pp. 70-71.
161
Subagio Sastrowardoyo dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., p.
165. 162
Tragedi 1965 dilatari krisis ekonomi, sosial, dan politik yang parah di Indonesia serta dipengaruhi pula oleh Perang Dingin di mana Amerika Serikat berkepentingan untuk mencegah semakin luasnya pengaruh komunisme di Indonesia. Lihat, Asvi Warman Adam, Membongkar Manipulasi Sejarah : Kontroversi Pelaku dan Peristiwa (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), p.149.
85
1965 pada permulaan tahun 1967.163 Seperti kebanyakan tahanan politik era Orde Baru, Sitor pun dijebloskan tanpa melalui proses pengadilan, di penjara Salemba, Jakarta.164
2.5
Era Pasca Penjara (1975 - 1998) Setelah delapan tahun di dalam tahanan, Sitor akhirnya dibebaskan. Ia
kembali ke keluarganya dan tinggal di daerah Karet, Jakarta Pusat.165 Sementara istrinya tengah bekerja di Surabaya, Sitor sulit untuk beraktivitas karena masih diawasi intel dan menjadi tahanan kota.166 25 Mei 1977, dua tahun setelah lepas dari penjara, Sitor membaca sajak di rumah seorang Belanda di Jakarta. Di sana ia berkenalan dengan seorang gadis Eropa bernama Barbara L. Brouwer yang dikirim dari negeri Belanda untuk membantu pengembangan kerajinan di Indonesia. 167 Sitor dan Barbara yang berusia 20 tahun lebih muda dari sang penyair kemudian bertemu lagi di Belanda pada Juni 1977. 168 Mereka kembali ke Indonesia dan menikah secara adat.169
163
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 77.
164
J.J. Rizal (ed.), op.cit., p. 471. 165 166
Sitor Situmorang : Kumpulan Sajak 1980-2005,
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., loc.cit. Ibid., p. 78.
167
V.S. Naipul, “Sitor : Merekonstruksi Masa Lalu,” dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., pp. 12-13. 168 169
Ibid., p. 13.
Foto dokumentasi Sitor Situmorang dan Barbara L. Brouwer saat masa awal pernikahan dapat dilihat pada foto 3 di halaman lampiran.
86
Setelah keluar dari penjara, tempat dia disekap dan tidak diiizinkan menulis, Sitor memanfaatkan waktunya untuk terus mencipta karya.170 Bagi Sitor, pengalaman di tahanan tersebut menjadi pengalaman eksistensi yang khusus, yang memperdalam makna kebebasan baginya. Setelah ”bertapa” di dalam penjara, ia seakan “lahir kembali” sebagai seorang mistikus.171 Lepas dari sel gelap itu, terutama sejak ia bebas dari sebagai tahanan kota pada 1976, Sitor melakukan perjalanan batin, ziarah ke “tanah suci,” bukan ke kampung halaman di tanah Batak tempat minatnya menelusuri mistisisme bermula, melainkan ke Jogjakarta dan Bali. 172 Yogyakarta dan Bali menjadi tempat istimewa yang dipilih Sitor untuk berziarah. Sitor menulis berbagai sajak di Yogyakarta, tak terkecuali tentang Borobudur. Ia melahirkan satu kumpulan sajak yang ditulis langsung dalam bahasa Inggris bertajuk The Rites of Bali Aga (1978) setelah kedatangannya ke Bali pada Oktober hingga November 1976. 173 Sitor menyebut kedatangannya ke Bali sebagai perjalanan spritual sebagai perwujudan dari ketertarikannya akan mistisisme yang meningkat setelah lama dipenjara.174 The Rites of Bali Aga dimuat di majalah Indonesia. J.J. Rizal menyatakan bahwa Indonesia adalah majalah ilmiah tersohor yang sangat berpengaruh dalam kajian sejarah-budaya Indonesia. Majalah yang melahirkan studi-studi klasik tentang Nusantara ini 170
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 78.
171
Ibid., p. 79.
172
Ibid., pp. 79-80.
173
The Rites of Bali Aga dipublikasikan pertama kali di Majalah Indonesia dan dicetak ulang pada 2001 oleh penerbit Metafor. 174
Harry Aveling, “Introduction,” dalam Sitor Situmorang, The Rites of Bali Aga (Jakarta : Metafor Publishing, 2001), p. xiii.
87
tentunya mempertimbangkan bahwa pemuatan sajak-sajak Sitor di sebuah majalah ilmiah bukan sebatas pengakuan atas kreasi sastra Sitor, melainkan juga karena adanya kandungan pemikiran di dalamnya, yang kiranya dapat menjadi sumbangan ilmiah dalam studi-studi perihal Bali. 175 Selain The Rites of Bali Aga¸Sitor juga menghasilkan beberapa kumpulan sajak seperti Peta Perjalanan (1977) yang meraih Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976-1977, Angin Danau (1982) yang berisi sajak-sajak bernapas mistik, selain antologi Dinding Waktu (1976) yang merupakan rangkuman sajak-sajak yang ditulisnya pada 1960-an. Sajak-sajak Sitor yang ditulis pada masa ini dipandang kental dengan nada eksistensialis dan metafisik. Menurut sastrawan Linus Suryadi, seperti yang ditulisnya dalam Kompas tahun 1977, sajak-sajak dalam Dinding Waktu memuat pemikiran-pemikiran yang mencerminkan luasnya horison pengalaman dan intelektual Sitor yang memperkaya batin pembaca. 176 Sajak-sajak dalam Angin Danau, oleh Muhammad Haji Saleh, dipandang bukan lagi sebuah eksperimen, melainkan sudah masuk kepada tahap pengisian dan penghalusan bentuk. Haji Saleh melihat Sitor menghadirkan pengalaman rohaniah dan renungan penyair yang sangat peka pada perasaan dan peristiwa. 177 Pengalaman hidup Sitor, baik yang sifatnya fisik maupun batiniah, dihadirkan pula kepada pembaca melalui otobiografinya Sitor Situmorang : Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba yang ditulis pada usianya yang ke-55
175 176 177
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 81. Data ini diperoleh dari Ibid., pp. 81-82.
Muhammad Haji Saleh, “Perjalanan Mencari Makna Diri dan Negara: Puisi Sitor Melalui Waktu,” dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., p. 226.
88
hingga diterbitkan pada tahun 1981.178 Ia mulai menulisnya ketika tahun-tahun awal keluar dari penjara. Dorongan menulis otobiografi ini berawal dari kepergian Sitor ke tanah Batak di Harianboho pada 1979 untuk menjalani peruwatan secara adat setelah lepas dari tahanan Salemba. 179 V.S. Naipul, Peraih Nobel Sastra tahun 2001, dalam tulisannya yang setelah diterjemahkan berjudul “Sitor: Merekonstruksi Masa Lalu,” menyatakan bahwa Sitor yang tengah menyusun otobiografi mengalami kesulitan saat tengah menuturkan perihal asal-usul kebatakannya. 180 Hal ini pula kiranya yang mendorong Sitor untuk melakukan penelitian panjang dan penulisan sebuah buku bertajuk Toba Na Sae : Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX (1993) dan Guru, Samalaing dan Modigliani “Utusan Raja Rom” (1993) yang tidak hanya berisi silsilah dan asal muasal keluarga Sitor tetapi juga sejarah kebudayaan etnis Batak Toba.181 Tahun 1982 Sitor mulai menetap di Belanda bersama Barbara. Sitor menjadi pengajar Bahasa Indonesia di Universitas Leiden. Secara informal, Sitor juga membantu dan membimbing sejumlah peneliti orientalis yang kemudian menjadi cendekiawan dengan kredibilitas internasional yang mengkaji dunia Batak. Beberapa dari orang yang pernah dibimbingnya adalah (i) Rainer Carle dari Jerman yang menerbitkan kajiannya dengan judul Opera Batak; (ii) Niessen dari Kanada dengan penelitiannya di seputar ulos Batak; (iii) Lance Castles dari
178
C.W. Watson dalam Ibid., p. 22.
179
Ibid., p. 25.
180
V.S. Naipul dalam Ibid., pp. 14-15.
181
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 84.
89
Australia yang menyelidiki sejarah Batak; (iv) Masashi Hirosue dari Jepang yang menganalisis Gerakan Ratu Adil dalam masyarakat Batak pada masa kolonial; (v) Sita van Bemelen asal Belanda yang mengulas tentang perempuan Batak; dan (vi) Helmut Lukas dari Austria dengan kajiannya seputar sistem kekerabatan Batak Toba.182 Menurut Johan Angerler, Sitor membuat dirinya terkenal di kalangan internasional khususnya peneliti Batak dan mahasiswa PhD lewat proses dan hasil penelitian panjangnya perihal sejarah dan budaya Batak Toba. 183 Selain itu, nama Sitor di ranah internasional (pasca masa penjara) juga dikenal karena karya-karya sajaknya yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa antara lain : Bahasa Belanda yaitu Bloem op een rots (1990), Oude Tijger (1990), Wander (1996), dan Euwige Valley (2004) ; bahasa Perancis yakni Paris La Nuit (2001); serta berbagai bahasa lainnya seperti Italia, Cina, Jerman, Jepang dan Rusia. 184
2.6
Sitor di Awal Reformasi hingga Akhir Hayat (1998 - 2014) Setelah tinggal di Belanda, Sitor ikut istrinya yang menjadi diplomat
pindah ke Islamabad, Pakistan. Sitor kemudian meninggalkan Asia dan kembali ke Eropa tepatnya Paris.185 Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari surat elektronik dengan Barbara L. Brouwer, diketahui bahwa Sitor Situmorang tinggal
182
Johann Angerler, “Sitor dan Kajian Batak,” dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., p. 50. 183
Ibid., p. 56.
184
J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., pp. xiii-xiv.
185
J.J. Rizal (ed.), Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948-1979, op.cit.,
p. xxxvii.
90
di Perancis sejak tahun 1996 sampai 2000. 186 Sitor melewati jatuhnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 di Perancis. Selama tinggal di Paris, Sitor banyak bergaul dengan mahasiswa Perancis dan Indonesia serta dikunjungi oleh sejumlah tokoh seperti W.S. Rendra, 187 Radhar Panca Dahana, Pramoedya Ananta Toer, dan Yusuf Ishak. Menurut Barbara, hubungan Kedutaan Besar Indonesia di Perancis dengan Sitor juga semakin membaik. 188 Tahun 2000 sampai 2001, Sitor tinggal di Belanda. Tahun 2001 hingga 2005, Sitor dan Barbara tinggal di Jakarta. Sitor pernah berpidato di Gedung Juang 45, Menteng, Jakarta Pusat, yang salah satu isinya menuntut agar Soeharto diseret ke pengadilan karena telah memenjara Soekarno. 189 Sitor sempat bertemu sejumlah tokoh seperti Presiden K.H. Abdurahman Wahid, W.S. Rendra, Pramoedya Ananta Toer,190 Ajip Rosidi, Onghokham, Fuad Hasan, Teguh Ostenrijk, Srihadi Sudarsono, dan lain-lain. 191 Sitor tampil di berbagai seminar yang diadakan oleh Tempo, Dewan Kesenian Jakarta, Institut Kesenian Jakarta, Yayasan Bung Karno dan terlibat dalam Gerakan Miskin Kota.
186
Lihat lampiran IX yang memuat surat menyurat dengan Barbara L.
Brouwer. 187
Foto dokumentasi pertemuan Sitor dan W.S. Rendra dapat dilihat pada foto 4 di halaman lampiran. 188
Sama dengan di depan.
189
Afrizal Malna, “Sitor Situmorang, Ilmu Alam di Bawah Kata,” indoprogress.com/ diakses pada 20 Mei 2015 pukul 05.00 Wita. 190 191
J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., pp. 85-87.
“‟Kepala Suku‟ Sastrawan ‟45,” tokohindonesia.com, diakses pada 21 Mei 2015 pukul 13.50 Wita.
91
Tahun 2003, saat Perayaan Hari Masyarakat Penutur Bahasa Perancis Sedunia, Sitor dianugerahi hadiah Franchoponie karena dipandang sebagai penyair yang memiliki peran penting dalam mengembangkan prinsip-prinsip Franchoponie yakni penghormatan dan pengembangan keanekaragaman budaya, perdamaian, demokrasi dan hak asasi manusia. 192 Tahun 2006, Sitor meraih South East Asian Write Award atau Penghargaan Penulis Asia Tenggara.193 Kendati telah berusia lebih dari setengah abad, Sitor tetap menulis. Pada tahun 2001 ketika umurnya telah mencapai 77, terbit antologi cerpennya yang bertajuk Kisah Surat dari Legian. Tahun 2004 sebuah antologi sajak Sitor berjudul Biksu Tak Berjubah diumumkan ke publik. Sampai sekarang belum diketahui sajak-sajak Sitor setelah tahun 2005. Namun di usia tuanya penyakit alzheimer akhirnya mengurangi produktivitasnya.194 Sitor Situmorang menutup usia di Apeldoorn, Belanda pada 20 Desember 2014.195 Jenazahnya diantar dari negeri Kincir Angin untuk disemayamkan di tanah kelahirannya di tepi danau Toba, Harianboho, pada 1 Januari 2014.196 Sebagai sosok intelektual dan seniman, Sitor dengan usianya yang panjang, hidup melewati perubahan zaman demi zaman dengan berbagai peristiwa
192
J.J. Rizal (ed.), Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948-1979, op.cit.,
193
“Past Awardees,” seawrite.com, diakses pada 21 Mei 2015 pukul 13.48
194
Afrizal Malna, loc.cit.
p. xiv. Wita. 195
Prins David Saut, “Sastrawan ‟45 „Terakhir‟ Tutup Usia Negeri Kincir,” m.detik.com/diakses pada 21 Mei 2015 pukul 14.00 Wita. 196
Surya Dharma, “Sastrawan Sitor Situmorang akan Dimakamkan di Tapanuli Utara,” m.metrotvnews.com/ diakses pada 21 Mei 2015 pukul 12.00 Wita.
92
dan dinamika kebudayaan yang menyertainya. Ia tumbuh di era kolonial ketika kebudayaan Barat bersisian sekaligus bersitegang dengan kebudayaan Batak lama yang tradisional, merasakan degup perjuangan kemerdekaan dan terlibat dalam proses “menjadi Indonesia” baik lewat jalur politik maupun sebagai seniman mumpuni dengan karya yang diakui. Sitor juga menempa diri dalam pergaulan lintas bangsa dan budaya, bersentuhan dengan tokoh-tokoh penting, tidak saja di tanah Indonesia tetapi juga langsung ke negeri-negeri pusat perkembangan pemikiran seperti Perancis, pusat pergerakan ideologi kiri di Tiongkok, dan berbagai nama negara yang dapat disimak dalam sajak-sajaknya. Perjalanan hidup Sitor diwarnai dan memberi warna terhadap sejarah lokal, nasional, dan internasional. Hal tersebut dapat disimak pula pada sajak-sajak mutakhirnya, yakni tahun 1998-2005 yang akan dibahas pada bab-bab berikutnya.