BAB II URUSAN PERTANAHAN MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA DAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH
A. Hukum Tanah Nasional Indonesia Hukum tanah di Indonesia pada jaman penjajahan bersifat dualisme, yakni di satu sisi diatur dengan produk hukum kolonial, sedang di sisi lain diatur dengan hukum adat, yakni untuk tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat dan orang-orang Indonesia asli (pribumi). Dualisme pengaturan hukum tanah tersebut menimbulkan berbagai permasalahan, karena terhadap satu kesatuan tanah di wilayah Indonesia berlaku hukum yang berbeda. Dualisme tersebut sesuai dengan politik “devide et impera” yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial yang dengan sengaja memecah belah bangsa Indonesia beserta seluruh asset bangsa, termasuk hak-hak atas tanah yang dipunyai oleh bangsa Indonesia. Sudah barang tentu dualisme pengaturan hukum tanah tersebut menimbulkan adanya ketidakpastian dalam hukum tanah nasional, sehingga memicu terjadinya konflik antar golongan penduduk di Indonesia. Dualisme tersebut kemudian diakhiri dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Hukum Agraria atau disebut juga dengan Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA). UUPA merupakan salah satu produk hukum nasional sebagai sarana unifikasi pengaturan hukum tanah di Indonesia. Sumber utama hukum tanah nasional dalam UUPA adalah
Universitas Sumatera Utara
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia, serta dengan peraturan-peraturan yang tercermin dalamUndang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960
(selanjutnya disebut UUPA) dan peraturan perundang-undangan
lainnya, dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang bersifat tunggal yang tersusun dalam suatu sistem berdasarkan alam pemikiran hukum adat mengenai hubungan hukum antara masyarakat hukum tertentu dengan tanah ulayatnya. Menurut C Van Vollenhoven di Indonesia terdapat 19 lingkaran hukum adat (rechtskring) di mana pada masing-masing masyarakat hukum adat tersebut telah mempunyai hubungan yang baik antara anggota masyarakat dengan tanah. Masyarakat hukum adat tersebut merupakan satu kesatuan yang mempunyai alat-alat kelengkapan untuk sanggup hidup dan berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. 58 Dalam perspektif hukum adat, maka antara kelompok masyarakat hukum adat mempunyai hubungan yang erat dengan tanah. Tanah-tanah tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi generasi saat itu, tetapi juga diperuntukkan bagi generasi berikutnya dari kelompok masyarakat hukum adat tersebut. Konsep seperti itu
58
Van Vollenhoven, 1925, Het Adatrecht van Nederlandsch Indie, Jilid I Bagian Pertama. Lihat juga Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hal. 16. Lihat juga Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Tinta Mas, 1973), hal. 44.
Universitas Sumatera Utara
menurut Budi Harsono disebut sebagai konsep komunalistik religius, sehingga memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa oleh para warga Negara secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsure kebersamaan. 59 Dibanding dengan konsep hukum tanah barat atau feodal maka hukum tanah nasional yang didasarkan pada hukum adat adalah sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia. Hukum tanah Barat (Eropa) yang didasarkan pada semangat individualisme dan liberalisme jelas tidak sesuai dengan way of life bangsa Indonesia yang bersifat komunal dan religius. Konsep individualisme dan liberalisme tersebut tidak membawa kemakmuran bagi rakyat, karena kemakmuran hanya dimiliki oleh segelintir orang atau kelompok yang memiliki tanah dan alat-alat produksi. Dalam konsep hukum tanah Barat yang dapat dilihat dalam Burgerlijk Wetboek (BW) hak perseorangan, termasuk hak atas tanah, disebut sebagai hak eigendom yang merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Sebagai hak yang paling sempurna maka pemegang hak eigendom dapat berbuat apa saja terhadap tanah-tanah yang dimiliki, termasuk menjual, menggadaikan, menghibahkan, bahkan merusaknya sekalipun asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain. 60 Sedang konsep hukum tanah feodal tidak sesuai dengan hukum tanah nasional, karena menurut konsep feodal hak penguasaan tanah yang tertinggi adalah 59
Budi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dalam Hubungannya Dengan TAP MPR RI No. IX/MPR/2001, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2002), hal. 49. 60 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), hal. 69.
Universitas Sumatera Utara
hak milik raja. Semua tanah yang ada di seluruh wilayah kerajaan adalah milik sepenuhnya dari raja yang bersangkutan. Di negara-negara yang tidak menganut sistem kerajaan, kemudian dilakukan analog bahwa tanah-tanah adalah milik negara, sehingga penguasaan tertinggi atas tanah ada pada negara sebagai pengganti kedudukan raja. Dalam hukum tanah barat yang pernah berlaku di Indonesia ada konsep Domein Verklaring berdasarkan Agrarishce Wet 1848 yang didasarkan pada keputusan (Besluit) Raja Belanda bahwa terhadap tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh rakyat Indonesia, maka menjadi hak (domein) negara. Berdasarkan ketentuan tersebut maka terhadap hak-hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat Indonesia yang tidak ada bukti kepemilikannya menurut hukum tanah Barat berdasarkan prinsip Domein Verklaring, maka tanahtanah tersebut adalah menjadi milik negara. Ketentuan dalam Agrarische Wet dan hukum tanah peninggalan Pemerintah Penjajah Belanda kemudian dicabut dengan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960
(selanjutnya disebut UUPA) yang tidak membedakan hak-hak
kepemilikan atas tanah baik yang dikuasai dengan hukum Barat maupun hukum adat. Melalui pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) ini maka hak-hak atas tanah yang sebelumnya dibagi berdasarkan hak atas tanah menurut hukum Barat dan hak atas tanah menurut hukum tanah nasional. Terhadap tanah-tanah yang sampai berlakunya UUPA masih menggunakan nama hak atas tanah yang lama maka kemudian dilakukan konversi menjadi hak-hak atas tanah nasional menurut UUPA sebagaimana yang diatur dalam
Universitas Sumatera Utara
Pasal 16, yaitu terdiri atas hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa dan hak-hak lainnya. Kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) dinilai sebagai suatu keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia dalam melepaskan diri dari belenggu hukum kolonial yang pada dua dekade pasca kemerdekaan Indonesia Tahun 1945 masih menguasai hukum di Indonesia. Melalui UUPA maka bangsa Indonesia berarti telah melepaskan diri dari keterikatan terhadap peraturan hukum tanah yang bersendikan pemerintah jajahan yang amat bertentangan dengan kepentingan dan jiwa bangsa Indonesia, sehingga kontraproduktif dengan kepentingan dan tujuan pembangunan nasional. Kelahiran UUPA sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai negara agraris dan negara kepulauan di mana keberadaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sesuai cita-cita bangsa Indonesia. Oleh karena itu hukum tanah nasional yang berlaku harus memberikan kemungkinan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sesuai dengan cita-cita dan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Hukum tanah nasional harus merupakan penjelmaan dari asas dan cita-cita hukum (recht idée) Bangsa Indonesia sesuai nilai-nilai Pancasila, yakni bersendikan pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta harus merupakan implementasi dari ketentuan nasional tentang bumi, air dan ruang angkasa sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam Penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960
Universitas Sumatera Utara
(selanjutnya disebut UUPA) selain untuk mengakhiri dualisme pengaturan hukum tanah, ada beberapa tujuan lain, yaitu : 1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka menuju masyarakat adil dan makmur. 2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. 3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Untuk mencapai tujuan pertama, maka prinsip-prinsip utama yang perlu dipertegas dalam usaha meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum tanah nasional sebagai alat untuk membawa kemakmuran rakyat Indonesia, khususnya rakyat tani guna menuju masyarakat adil dan makmur adalah : 1.
Dasar kenasionalan sebagaimana diletakkan dalam Pasal 1 ayat 1 UndangUndang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) yang meyatakan bahwa : “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia”. Demikian pula dalam Pasal 1 ayat 2 UUPA yang menyebutkan bahwa : “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai karunia
Universitas Sumatera Utara
Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional”. Hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa merupakan sejenis hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkat yang paling atas, yaitu mengenai seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air, serta ruang angkasa Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat abadi. Adanya hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa tersebut tidak berarti bahwa hak milik perseorangan atas sebagian dari bumi tidak dimungkinkan lagi. Hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh seseorang. Selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, terdapat juga hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa dan hakhak lainnya. 2.
Negara tidak bertindak sebagai pemilik tanah, melainkan bertindak selaku badan penguasa. Dari kata “dikuasai” oleh Negara bukan berarti “dimiliki” namun merupakan pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia pada tingkatan tertinggi untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian dari bumi (yaitu tanah), air dan ruang angkasa itu, menentukan dan mengatur hubungan-hubangan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Semuanya itu
Universitas Sumatera Utara
dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam rangka menuju masyarakat adil dan makmur. 3.
Pengakuan adanya hak ulayat sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Kepentingan suatu masyarakat hukum adat harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas, dan terkait dengan pelaksanaan hak ulayat harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas tersebut.
4.
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini bermakna bahwa penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan tanah bersangkutan serta sifat haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi pihak yang mempunyainya, serta bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, sehingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok, yakni kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat secara keseluruhan.
5.
Sesuai dengan asas kebangsaan maka hanya warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing adalah dilarang. Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik atas ranah, namun mengingat akan keperluan masyarakat yang sangat erat
hubungannya
dengan
paham
keagamaan,
sosial
dan
hubungan
perekonomian, maka diadakanlah suatu “escape clause” yang memungkinkan
Universitas Sumatera Utara
badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik. Badan-badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan ditunjuk oleh Pasal 49 UndangUndang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) sebagai badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi sepanjang tanahnya diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial keagamaan tersebut. 6.
Tiap-tiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Untuk itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan warga Negara yang lemah terhadap sesama warga Negara yang kuat kedudukan ekonominya. Berkaitan dengan hal tersebut maka terdapat ketentuan-ketentuan yang bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha pertanahan yang bertentangan dengan asas keadilan sosial yang berperikemanusiaan. Segala usaha bersama dalam lapangan pertanahan harus didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional.
7.
Tanah-tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri. Agar semboyan ini dapat diwujudkan, maka perlu diadakan ketentuan-ketentuan lain yang mengatur, misalnya batas minimum luas tanah pertanian yang dapat dimiliki oleh petani. Ketentuan ini dibuat agar para petani mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup yang layak bagi diri sendiri dan
Universitas Sumatera Utara
keluarganya. Di samping itu perlu diatur pula tentang batas maksimum luas tanah yang dapat dimiliki dengan hak milik, agar dapat dicegah terjadinya akumulasi atau penumpukan tanah pada satu tangan atau keluarga atau golongan tertentu saja. Dalam hubungan ini maka Pasal 7 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) memuat suatu asas yang penting, yaitu bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan atau dilarang karena dapat merugikan kepentingan umum. 8.
Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara Indonesia di bidang pertanahan, maka perlu adanya suatu rencana mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara. Rencana umum (general plan) tersbut meliputiseluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencanarencana khusus dari tiap-tiap daerah di seluruh Indonesia. Dengan adanya perencanaan tersebut, maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terencana, terpimpin dan teratur sehingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya untuk mencapai tujuan kedua dari diterbitkannya Undang-
Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA), yakni meletakkan dasar-dasar untuk melakukan unifikasi dan kesederhanaan hukum tanah nasional, maka ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan, yaitu: 1. UUPA bermaksud menghilangkan dualisme peraturan dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan atau unifikasi hukum sesuai dengan keinginan rakyat
Universitas Sumatera Utara
sebagai bangsa yang bersatu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian nasional. Hal ini penting mengingat tanah merupakan salah satu asset atau modal bangsa dan sebagai salah satu sarana untuk menunjang kegiatan di bidang ekonomi. 2. Upaya menyelenggarakan unifikasi hukum melalui Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960
(selanjutnya disebut UUPA) tidak tertutup
kemungkinan masih adanya perbedaan di dalam masyarakat dan keperluan hukum yang ada dalam golongan-golongan masyarakat tersebut. Perbedaan yang didasarkan atas perbedaan golongan rakyat tersebut misalnya perbedaan dalam keperluan atau kebutuhan hukum dari golongan rakyat yang berada di kota dan pedesaan, serta keperluan dan kepentingan bagi rakyat yang secara ekonomis kuat dengan rakyat yang secara ekonomis berada dalam kategori lemah. Oleh karena itu perlu dijamin adanya perlindungan terhadap kepentingan bagi golongan ekonomi lemah. 3. Melalui prinsip unifikasi hak-hak atas tanah yakni dihapusnya hak-hak atas tanah menurut hukum Barat dan hukum adat, maka berarti maksud untuk mencapai kesederhanaan dan kesatuan dalam pengaturan hukum tanah nasional, dengan sendirinya akan tercapai. Berikutnya untuk mencapai tujuan ketiga, yakni untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat secara keseluruhan, hal itu sudah tercantum dalam pasal-pasal mengenai pendaftaran tanah. Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA yang berkaitan dengan pendaftaran tanah ditujukan kepada
Universitas Sumatera Utara
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya. Di samping itu dalam Pasal 19 UndangUndang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) yang mengatur mengenai pendaftaran tanah juga ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi untuk menjalankan pendaftaran tanah agar di seluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat “rechts kadaster” yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi hak-hak atas tanah di seluruh wilayah Indonesia. Kendati hukum tanah nasional telah diunifikasi melalui Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA), namun beberapa ketentuan baru sesuai perkembangan masyarakat belum terakomodasi dalam UUPA. Menurut Maria S.W Soemardjono, UUPA masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah. Di samping itu, masalah pertanahan yang dihadapi tidak semakin berkurang, namun justru malah bertambah dalam kompleksitasnya. Oleh karena itu di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana UUPA ataupun peraturan-peraturan lain yang relevan, pada umumnya tidak dilengkapi dengan pemikiran yang tuntas terhadap peraturan pelaksananya. Kesenjangan ini jika dibiarkan terlalu lama sudah barang tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum. 61 Guna mengantisipasi perkembangan di bidang hukum tanah, maka harus senantiasa dilakukan modernisasi terhadap ketentuan dalam UUPA
61
Maria S.W Soemardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
melalui interpretasi dan analogi. Tidak kalah pentingnya adalah dilakukan pembaharuan dengan mengubah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) yang sudah berusia hampir setengah abad ini dengan undang-undang baru yang disesuaikan dengan perkembangan terkini di bidang hukum tanah nasional.
B. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada masa Orde Baru diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih banyak menitikberatkan pada penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik ketimbang desentralisasi atau otonomi daerah. Sistem pemerintahan yang sentralistik tersebut terselubung melalui pelaksanaan
dekonsentrasi,
karena
sesungguhnya
dekonsentrasi
merupakan
penghalusan dari sentralistik. Dekonsentrasi juga merupakan sarana ampuh bagi seperangkat birokrasi Pemerintah Pusat untuk menjalankan praktik sentralisasi, sehingga mengakibatkan daerah selalu tergantung kepada Pemerintah Pusat yang pada akhirnya berakibat mengurangi kemandirian daerah dan menjadi penghambat bagi proses pembangunan dan pengembangan Daerah. Seiring dengan bergulirnya era reformasi maka kemudian dilakukan perombakan secara radikal terhadap sistem pemerintahan daerah melalui UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini mengubah hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah dari yang bersifat
Universitas Sumatera Utara
sentralistik menjadi desentralisasi. Esensi dari desentralisasi adalah pelaksanaan otonomi daerah secara luas. Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunanai, yaitu autos yang artinya sendiri dan nomos yang artinya peraturan. Secara harafiah otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang kemudian berkembang pengertiannya menjadi menjalankan pemerintahan sendiri. 62 Otonomi daerah adalah penyerahan sebagian urusan rumah tangga dari pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah di bawahnya dan sebaliknya pemerintah di bawah yang menerima penyerahan atau pelimpahan tersebut mampu melaksanakannya. Ada pula yang memaknai otonomi daerah sebagai pemberian hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah yang memungkinkan daerah tersebut untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri guna meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Selama ini ada yang menyamakan pengertian otonomi daerah dan desentralisasi, walaupun sebenarnya pengertian otonomi daerah dan desentralisasi tidaklah sama. Secara singkat istilah desentralisasi mengandung pengertian adanya pembentukan daerah otonom atau penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat. Sedang istilah otonomi daerah mengandung arti pemerintahan yang dijalankan oleh, dari dan untuk rakyat di bagian
62
Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan Nilai dan Sumber Daya Alam, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 81.
Universitas Sumatera Utara
wilayah nasional suatu Negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal berada di luar Pemerintah Pusat. 63 Dalam otonomi daerah terdapat dua komponen utama, yaitu Pertama, komponen wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai komponen yang mengacu pada konsep “pemerintahan” yang terdapat di dalam pengertian otonomi. Kedua, komponen kemandirian sebagai komponen yang mengacu pada kata-kata “oleh, dari dan untuk rakyat”. Kemandirian tersebut diterjemahkan oleh Mohammad Hatta sebagai upaya untuk mendorong tumbuhnya prakarsa dan aktivitas sendiri. 64 Dari komponen kedua tersebut terlihat bahwa otonomi
daerah
adalah
penyelenggaraan
pemerintahan
oleh
daerah
yang
diselenggarakan secara demokratis dengan melibatkan rakyat secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan yang merupakan komponen pertama otonomi daerah diperoleh dari Pemerintah Pusat melalui desentralisasi wewenang, dan wewenang tersebut merupakan kekuasaan formal (formal power) dalam bidang-bidang kehidupan yang terliput di dalam wewenang yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sebagai wujud dari penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka daerah yang memiliki otonomi (Daerah Otonom) harus memiliki sumber keuangan yang dikelola secara terpisah dari keuangan Pemerintah Pusat
63
Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II : Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi, Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 17. 64 Ibid., hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
untuk mendukung dan melaksanakan kebijakan di daerahnya terutama untuk tugastugas rutin dan tugas pembangunan demi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian maka wewenang yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dapat diperbesar atau diperkecil atau juga dapat ditarik/dicabut kembali secara keseluruhan. Penambahan bobot atau besaran wewenang oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah tidak akan mengakibatkan munculnya staat atau negara dalam negara di negara bersangkutan. Pelimpahan wewenang tersebut tidak meliputi kewenangan untuk menetapkan produk legislatif yang disebut secara formal dalam undang-undang, dan kewenangan mengadili atau yudikatif (rechtspraak) seperti yang dimiliki oleh suatu negara bagian dalam sistem federal. Komponen kedua yaitu kemandirian dalam otonomi daerah dapat dilihat dari adanya kemandirian Pemerintah Daerah untuk menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD), di samping bantuan dari Pemerintah Pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Apabila suatu daerah memiliki PAD lebih besar dari DAU dan DAK yang diperoleh dari Pusat, berarti Daerah yang bersangkutan mempunyai kemandirian yang lebih besar, dibanding daerah yang PAD-nya kecil. Apabila PAD suatu daearah kecil, maka daerah tersebut ketergantungannya kepada Pemerintah Pusat sangat besar karena dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan masih ditopang oleh Pemerintah Pusat. Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, dikatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan
Universitas Sumatera Utara
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedang pengertian desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 7). Daerah otonom sebagai penerima penyerahan wewenang dari Pemerintah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 6). Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia merupakan amanat UUD 1945 yang intinya menyatakan bahwa Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Melalui otonomi luas maka daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia diterapkan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti kepada daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan yang diterapkan berdasarkan undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
Daerah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan daerah guna member pelayanan, peninhkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Di samping itu juga diterapkan prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab, yakni bahwa dalam menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yaitu untuk memberdayakan daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Oleh karena itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Otonomi daearah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lain, yaitu mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Di samping itu juga harus dijamin keserasian hubungan antara Daerah dengan Pusat, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan Negara. Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak Tahun 1903 dengan keluarnya Decentralisatie Wet. Pada tahun 1903 Pemerintah
Universitas Sumatera Utara
Belanda menetapkan Wet Houdende Descentralisatie van het Bestuur in Nederlandsh Indie (Stb. 1903 No. 219 dan Stb. 1903 No. 329). Kelahiran Undang-Undang Desentralisasi tersebut disebabkan oleh adanya dorongan dari berbagai pihak tentang perlunya diberikan kemandirian kepada bangsa Indonesia untuk mengatur pemerintahan sendiri. Untuk melaksanakannya maka kemudian oleh Pemerintah Kolonial dibentuk daerah otonom di wilayah gewest sedang bagian gewest yang bercorak perkotaan disebut gemeente. Pembentukan daerah otonom dan pelaksanaan pemerintahannya pada jaman colonial tersebut merupakan titik awal dari adanya hubungan antara pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. 65 Tuntutan adanya perubahan sistem pemerintahan di Hindia Belanda tersebut didasarkan pada politik etis (etische politiek) yang dipelopori oleh Van Deventer. Berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi 1903 tersebut maka Pemerintah Hindia Belanda dimungkinkan membentuk daerah otonom beriktu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah otonom tersebut, yaitu di luar dari otonomi yang sudah ada sebelumnya yaitu Swapraja dan Desa yang berdasarkan hukum adat. 66 Kendati dimungkinkan dibentuk daerah otonom berdasarkan Decentralisatie Wet 1903, namun penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan prinsip otonomi pada waktu itu tidaklah sama dengan desentralisasi yang dijalankan pada masa setelah kemerdekaan, karena sudah menjadi ciri khas dari setiap pemerintah kolonial yang lebih
65
Safri Nugraha, dkk, Hukum Administrasi Negara, (Depok-Jakarta: CLGS-FHUI, 2007), hal. 20. Soetandyo Wignyosoebroto, Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, (Malang: Bayumedia, 2004), hal. 24. 66
Universitas Sumatera Utara
mengutamakan pengerukan dan pengurasan kekayaan alam serta penguasaan sumber daya manusia atas negara jajahannya. 67 Otonomi daerah di Indonesia kemudian berkembang pesat seiring tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998. Seperti kita ketahui pada era Orde Baru sistem pemerintahan diselenggarakan secara sentralistis, yakni semuanya dikendalikan oleh Pemerintah Pusat. Kemudian ketika rezim Orde Reformasi berkuasa maka dilakukan perubahan yang sangat radikal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yakni dari sentralisasi ke desentralisasi. Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dilakukan perimbakan pengaturan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai prinsip keadilan dan kesetaraan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang juga mengatur pelimpahan urusan atau kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah
Daerah.
Namun
tidak
semua
urusan
pemerintahan
diserahkan/dilimpahkan kepada Daerah. Terdapat sebelas urusan pemerintahan yang sebelumnya dipegang penuh oleh Pemerintah Pusat kemudian diserahkan kepada Pemerintah Daerah untuk diurusi sendiri, salah satunya adalah urusan pemerintahan di bidang pertanahan.
67
Lihat Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sejak Jaman Penjajah sampai Era Reformasi, (Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008), hal. 22.
Universitas Sumatera Utara
C. Kewenangan Pemerintah Dalam Urusan Pertanahan Menurut Peraturan Perundang-undangan 1. Kewenangan Pertanahan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria Perbuatan hukum oleh pemerintah dapat berupa pengaturan atau mengatur, yaitu suatu perbuatan hukum publik pemerintah yang bersegi satu atau sepihak (eenzijdige publiekrechtelijke handeling) yang mengikat atau berlaku secara umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengaturannya. Wewenang mengatur atau pengaturan berkaitan dengan kekuasaan atau otoritas yang harus ditaati oleh pihak yang diatur. Pengaturan ini berbeda dengan pembuatan undang-undang atau legislasi, yaitu pembuatan peraturan perundang-undangan untuk mengatur kelakuan sosial yang dilakukan secara spesifik oleh suatu badan representative atau perwakilan. Hak untuk mengatur dari negara atau pemerintah disebut sebagai wewenang atau kewenangan atau bevoegdheid. Wewenang tersebut haruslah sah atau rechtmatig yang memiliki tiga fungsi, yaitu : 1. Bagi aparat pemerintahan, asas keabsahan berfungsi sebagai norma pemerintahan (bestuurnormen); 2. Bagi masyarakat, asas keabsahan berfungsi sebagai alas an mengajukan gugatan terhadap tindak pemerintahan (beroepsgronden); 3. Bagi hakim, asas keabsahan berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindak pemerintahan (toetsingsgronden).
Universitas Sumatera Utara
Jadi, persoalan kewenangan tidak terlepas kaitannya dengan Hukum Tata Negara atau Hukum Administratif Negara (Hukum Tata Pemerintahan), karena kedua bidang hukum tersebut mengatur tentang kewenangan. Hukum administratif berisi norma hukum pemerintahan yang menjadi parameter terhadap penggunaan kewenangan oleh badan-badan pemerintah. Parameter yang dipakai dalam penggunaan kewenangan tersebut adalah kepatuhan hukum atau ketidakpatuhan hukum (improper legal or improper illegal). Apabila terjadi penggunaan kewenangan secara
improper
illegal
maka
badan
pemerintah
yang
berwenang
harus
mempertanggungjawabka secara hukum. 68 Suatu kewenangan harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku sehingga bersifat sah. Perihal kewenangan dapat dilihat pada konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada badan publik dan lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya. Suatu kewenangan dapat diperoleh dari tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi dan mandate. Kewenangan atribusi lazim digariskan melalui pembagian kekuasaan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, sedang delegasi dan mandat merupakan suatu kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Perbedaan antara kewenangan berdasatkan delegasi dan mandate menurut Philipus M Hadjon adalah terletak pada prosedur pelimpahannya, tanggung jawab dan tanggung gugatnya serta kemungkinan dipergunakannya kembali kewenangan tersebut. 69
68
Tatik Sri Djatmiati, Prinsip-prinsip Ijin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana UNAIR, Surabaya, 2002, hal. 61. 69 Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintah yang Bersih, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNAIR, Surabaya, 10 Oktober 1994, hal.8.
Universitas Sumatera Utara
Dilihat dari prosedur pelimpahannya pada delegasi, pelimpahan wewenang terjadi dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedang pada mandat pelimpahan wewenang umumnya terjadi dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali yang secara tegas dilarang. Ditinjau dari segi tanggung jawab dan tanggung gugatnya, pada delegasi, tanggung jawab dan tanggung gugatnya beralih kepada delegataris, sedang pada mandat tetap berada pada pemberi mandat (mandans). Ditinjau dari segi kemungkinan pemberi wewenang berkehendak menggunakan kembali wewenang tersebut, pada delegasi pemberi wewenang (delegans) tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang teguh pada asas contrarius actus, sedang pada pemberi mandate wewenang mandate (mandans) setiap saat dapat menggunakan sendiri wewenang dilimpahkan. Pengaturan kewenangan pemerintahan di bidang pertanahan juga diatur dalam undang-undang dasar dan undang-undang. Dalam Pasal 33 (3) UUD 1945 disebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dari kata “dikuasai oleh negara” terlihat bahwa kewenangan di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Berdasarkan kewenangan yang bersumber pada konstitusi tersebut maka kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang mengatur masalah keagrariaan atau pertanahan sebagai bagian dari bumi.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) disebutkan bahwa Negara sebagai personifikasi dari seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu membuat peraturan, menyelenggarakan dalam arti melaksanakan (execution), menggunakan (use), menyediakan (reservation) dan memelihara (maintenance) atas bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan hak menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut, maka kewenangan penguasaan dan pengurusan bidang pertanahan ada pada Negara, di mana di bidang eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh Presiden (pemerintahan) atau didelegasikan kepada menteri. 70 Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960
(selanjutnya disebut UUPA) disebutkan bahwa pelaksanaan hak
menguasai Negara dapat dilimpahkan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat. Dengan demikian maka wewenang pemerintahan di bidang pertanahan dapat dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah. Kedudukan Pemerintah Daerah tersebut bertindak sebagai pelaksana kekuasaan Negara yang tidak bersifat asli karena diberikan (dilimpahi) wewenang untuk itu oleh Pemerintah Pusat. Oleh karena itu Pemerintah Daerah harus bertindak atas dasar taat asas terhadap ketentuan normatif ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia. Pelimpahan wewenang di bidang pertanahan menurut Pasal 2 ayat (4) UUPA tersebut
70
Edy Ruchiyat, Politik PertanahanNasional Sampai Orde Reformasi, Edisi Kedua, (Bandung: Alumni, 1999), hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
sepenuhnya terserah kepada Pemerintah Pusat yang berwenang menentukan seberapa besar kewenangan di bidang pertanahan tersebut diserahkan kepada daerah atau masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 14 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) terdapat ketentuan yang berisi wewenang Pemerintah untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaanm persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Pemerintah wajib membuat rencana umum nasional (national planning) di bidang pertanahan. Berdasarkan rencana umum nasional tersebut Pemerintah Daerah membuat regional planning secara rinci dan dilaksanakan sesuai wewenang yang diberikan oleh Pemerintah. Menurut Budi Harsono 71 kewenangan Negara berdasarkan Pasal 2 UUPA meliputi bidang legislatif yang berarti mengatur, bidang eksekutif dalam arti menyelenggarakan dan menentukan, serta bidang yudikatif dalam arti menyelesaikan sengketa tanah baik antar rakyat maupun antara rakyat dengan Pemerintah. Senada dengan Budi Harsono, seorang pakar hukum agrarian yang lain, Imam Sutiknjo mengatakan bahwa wewenang yang diperoleh dari hak menguasasi Negara di tingkat pusat ada di tangan Pemerintah. Wewenang tersebut sebagian dapat dilimpahkan kepada pejabat daerah sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerahnya masing-masing guna membantu kelancaran pembangunan daerah. Dalam praktiknya
71
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 239.
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan tugas dan wewenang di bidang keagrariaan dilakukan oleh instansi agraria di masing-masing daerah atas nama kepala daerah. 72 Jadi, pengaturan masalah pertanahan dan agrarian telah mempunyai landasan konstitusional yang merupakan arah dan kebijakan bagi pengelolaan tanah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 33 (3) UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA). Berdasarkan kewenangan yang bersumber dari UUD 1945 dan UUPA tersebut maka Pemerintah membuat suatu kebijakan pertanahan nasional (national land policy) yang menjadi dasar dalam pengurusan bidang pertanahan di Indonesia. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) memberikan peluang kepada Pemerintah untuk melimpahkan sebagian kewenangannya di bidang pertanahan kepada Pemerintah Daerah. Dengan demikian maka perubahan penyelenggaraan atau pengurusan bidang pertanahan harus didasarkan pada undang-undang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kewenangan di bidang pertanahan adalah kewenangan Pemerintah Pusat, meskipun ada sebagian kewenangan yang didelegasikan kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pelimpahan wewenang Pemerintah di bidang pertanahan kepada pejabat daerah yang menjadi wakil Pemerintah sebenarnya hanya diberikan kepada Gubernur selaku Kepala Daerah Propinsi. Sedang Bupati dan Walikota selaku Kepala
72
Imam Sutiknjo, Politik Agraria Nasional, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994), hal. 56-57.
Universitas Sumatera Utara
Daerah Kabupaten dan Kota (menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah) tidak termasuk sebagai wakil Pemerintah di daerah. Dengan demikian maka kewenangan Bupati/Walikota di bidang pertanahan sejatinya bersumber dari pelimpahan wewenang yang diberikan oleh Gubernur selaku wakil Pemerintah di daerah yang mendapat wewenang dari Pemerintah Pusat. Pengurusan bidang pertanahan yang oleh Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) sepenuhnya menjadi otoritas Pemerintah Pusat didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut 73: 1. Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). Ketentuan ini merupakan dasar kenasionalan dalam pengelolaan urusan pertanahan. Sebagaimana telah disebutkan dalam Penjelasan Umum angka II UUPA, bahwa konsep kenasionalan menghendaki bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh seluruh bahngsa Indonesia selayaknya menjadi hak dar bangsa Indonesia pula. Demikian pula tanah di daerah-daerah dan pulaupulau, tidak semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja, melainkan di sana juga meletakkan hak Bangsa Indonesia secara keseluruhan. 2. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional (Pasal 1 ayat (2) UUPA). Ketentuan tersebut mengandung makna bahwa sumber daya agrarian atau pertanahan merupakan kekayaan nasional, yang pengelolaannya harus memperhatikan kepentingan Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa perbedaan kekayaan sumber daya alam dari daerah-daerah tidak boleh menimbulkan kesenjangan dalam pembangunan maupun dalam perlakuan terhadap warga Negara Indonesia. Sumber daya alam harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 3. Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3) UUPA). Dari ketentuan tersebut dapat 73
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah……., Op.Cit.,
hal. 60-61.
Universitas Sumatera Utara
dibaca bahwa yang terkandung di dalamnya merupakan dasar dalam rangka pembinaan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Disadari bahwa Bangsa Indonesia mempunyai ikatan yang sangat erat dengan tanahnya. Hal ini disebabkan oleh karena tanah merupakan komponen yang sangat penting bagi penyelenggaraan hidup dan kehidupannya. Dalam konsep ini tanah dalam arti kewilayahan diletakkan sebagai dan merupakan salah satu unsure pembentuk Negara. Oleh karena itu hubungan Bangsa Indonesia dengan tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia tidak boleh putus atau diputuskan. Dengan demikian, maka selama Bangsa Indonesia secara keseluruhan masih ada, maka selama itu pula eksistensi NKRI akan tetap berdiri dengan kokoh. Dalam praktik selama ini di lapangan pelimpahan wewenang di bidang pertanahan sebenarnya tidak dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah, tetapi hanya didekonsentrasikan kepada instansi pusat yang ada di daerah, yaitu kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Provinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota yang kesemuanya merupakan instansi vertikal. Dengan demikian maka berdasatkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) tidak ada urusan pertanahan yang diotonomikan atau didesentralisasikan kepada daerah. Hal ini salah satunya terlihat dari Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Keputusan pemberian Hak Atas Tanah Negara yang mengatur pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah Negara. Menurut Peraturan tersebut kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi adalah memberi keputusan mengenai 74:
74
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.
Universitas Sumatera Utara
1. Pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha. 2. Pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 5.000 M2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. 3. Pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 Ha. 4. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 150.000 M2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/kota. 5. Pemberian Hak Pakai atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha. 6. Pemberian Hak Pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 150.000 M2, kecuali kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. 7. Pemberian hak atas tanah yang sudah dilimpahkan kewenangan pemberiannya kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota apabila atas laporan yang diperlukan berdasarkan keadaan di lapangan. 8. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya. 9. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang kewenangan pemberiannya dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap Sedang kewenangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota adalah member keputusan mengenai 75: 1. Pemberian Hak Milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha. 2. Pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 M2, kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha. 3. Pemberian Hak Milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program transmigrasi, redistribusi tanah, konsolidasi tanah, pendaftaran tanah secara massal baik dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadik. 4. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000 M2, kecuali yang mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha. 5. Semua pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan. 6. Pemberian Hak Pakai atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha.
75
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
7. Pemberian Hak Pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 M2 kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha. 8. Semua pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan. 9. Memberi keputusan mengenai semua perubahan hak atas tanah kecuali perubahan Hak Guna Usaha menjadi hak lain. Jadi, kendati Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) dianggap sebagai induk (payung undang-undang atau Umbrella Act) bagi pengaturan soal pertanahan namun ternyata masih dirasakan belum lengkap. Hal ini didasarkan pada ketidakmampuan UUPA dalam menangani berbagai konflik di bidang pertanahan. Terdapat beberapa kelemahan dalam UUPA, yaitu, pertama, sistem kepemilikan tanah beraneka ragam bagi perseorangan, sehingga secara birokratis amat mahal dan tidak menguntungkan bagi masyarakat. Kedua, sistem kepemilikan tanah bagi perusahaan dan kelompok masih timpang. Ketiga, fungsi ruang dan pemanfaatan yang terkait dengan pemilikan tanah yang kurang mendukung mekanisme pasar yang mampu mengatur alokasinya secara adil dan transparan. 76 Reformasi di bidang pertanahan perlu memperhatikan hak-hak rakyat atas tanah, fungsi sosial hak atas tanah, batas maksimum pemilikan tanah pertanian dan perkotaan, serta pencegahan tindakan penelantaran tanah, termasuk berbagai upaya untuk mencegah pemusatan penguasaan tanah di satu tangan yang merugikan kepentingan rakyat. Kelembagaan pertanahan perlu disempurnakan agar dapat terwujud sistem pengelolaan pertanahan yang terpadu, serasi, efektif dan efisien, yang 76
Herman Haeruman, Suatu Pemikiran dalam Reformasi Sistem Agraria, Membentuk Sistem Pertanahan Positif Yang Lebih Efektif Untuk Kesejahteraan Masyarakat, Opening Remarks International Conference on Land Policy Reform, Bappenas RI, Jakarta, 26 Juli 2000, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
meliputi tertib administrasi, tertib hukum, tertib penggunaan, serta tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. 77 Pembaharuan kebijakan di bidang pertanahan harus memperhatikan, pertama, penyebaran penguasaan tanah secara adil bagi rakyat sesuai kebutuhan dan kemampuannya. Untuk itu perlu penataan kembali sistem penguasaan tanah, baik menyangkut pembaharuan hak atas tanah maupun sistem tata guna tanah. Kedua, tanah merupakan komponen kegiatan ekonomi rakyat, sehingga tanah harus produktif. Mengingat suasana agraris dan sistem penguasaan tanah yang berlaku saat ini masih kurang adil bagi petani, maka tidak ada jaminan tanah akan selalu produktif. Ketiga, dihilangkan dualism sistem pertanahan yang tidak adil dan merugikan rakyat. Sistem baru di bidang pertanahan harus mencakup sistem penguasaan tanah, sistem administrasi pertanahan dan kepastian hukum, baik dalam proses maupun dalam berbagai hak penguasaan atas tanah. 78
2. Kewenangan Pertanahan Menurut TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Era reformasi memicu munculnya berbagai kebijakan untuk merombak sendisendi kehidupan dan penyelenggaraan pemerintahan Negara di Indonesia. Di bidang pertanahan dilakukan reformasi pengaturan maupun kebijakan pemerintah. Salah satu produk hukum terkait dengan reformasi bidang pertanahan adalah TAP MPR Nomor
77
Soegiarto, Permasalahan Pertanahan Nasional, (Jakarta: BPN Pusat, 2000), hal. 2. Bagir Manan, 2003, Politik Keagrariaan atau Politik Pertanahan, Makalah Seminar Nasional dalam rangka Kongres IX IPPAT, Jakarta, 23 September 2003, hal. 7. 78
Universitas Sumatera Utara
IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal 9 November 2001. Perlunya dilakukan reformasi di bidang pertanahan melalui TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam didasarkan pada pertimbangan 79: a. Sumber daya agraria atau sumber daya alam meliputi bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional yang wajib disyukuri. Kekayaan nasional tersebut harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. b. MPR mempunyai tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan dasar bagi pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial ekonomi rakyat, serta kerusakan sumber daya alam. c. Pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. d. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria/SDA saling tumpang tindih. 79
TAP MPR Nomor IX Tahun 2001.
Universitas Sumatera Utara
e. Untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, diperlukan komitmen politik yang sungguhsungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agrarian dan pengelolaan SDA yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan. TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam tersebut merupakan pedoman atau tuntutan dalam melakukan pembaharuan hukum pertanahan di Indonesia. Kendati bukan merupakan sumber hukum formil, namun ketentuan dalam TAP MPR tersebut dapat dijadikan sebagai arahan dan landasan bagi peraturan perundang-undangan mengenai perombakan hukum pertanahan di Indonesia sesuai tuntutan era reformasi. Dalam Pasal 2 TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam disebutkan bahwa pembaruan di bidang pertanahan mencakup proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, yang dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya, dalam Pasal 4 TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam disebutkan bahwa pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip 80:
80
Pasal 4, TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Universitas Sumatera Utara
1. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; 3. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum; 4. mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia; 5. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi masyarakat; 6. mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya agraria/SDA; 7. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan; 8. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat; 9. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pemba- haruan dan pengelolaan sumber daya agraria; 10. mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/SDA; 11. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, provinsi dan kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu; 12. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/SDA. Dalam TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam juga disinggung mengenai arah kebijakan dalam perombakan atau pembaharuan di bidang agraria/SDA, antara lain meliputi 81: a. melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan bidang pertanahan dalam rangka kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 TAP MPR tersebut; 81
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
b. melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat; c. menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform, d. menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 TAP MPR ini; e. memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi; f. mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaharuan agraria dan penyelesaian konflikkonflik sumber daya agraria yang terjadi. TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara tegas menugaskan kepada DPR dan Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undangundang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan ketetapan tersebut. Dari TAP MPR tersebut dapat diketahui bahwa persoalan reformasi pertanahan merupakan suatu kebutuhan mutlak. Terkait dengan upaya mengkaji ulang terhadap peraturan yang menyangkut bidang pertanahan, maka perlu dilaknkan pelurusan terhadap undang-undang yang tidak bersesuaian dengan UUPA sebagai payung undang-undang (umbrella act) bagi pengaturan hukum tanah di Indonesia. Ketentuan mengenai desentralisasi atau pelimpahan wewenang di bidang pertanahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diganti dengan dalam Undang-Undang
Universitas Sumatera Utara
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa yang dilimpahkan kepada Daerah bukanlah urusan di bidang pertanahan, tetapi hanya terkait dengan pelayanan pertanahan. Itu artinya pemegang kebijakan dan pembuat regulasi di bidang pertanahan tetap dijalankan oleh Pemerintah Pusat, sementara Pemerintah Daerah hanya sebatas menjalankan kebijakan dan melaksanakan produk hukum di bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
3. Kewenangan Pemerintah Menurut Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan Penerbitan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan dilakukan untuk mewujudkan konsepsi, kebijakan dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu. Keputusan Presiden tersebut menentukan bahwa penyerahan sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, hanya meliputi sembilan jenis kewenangan, yaitu: (1) pemberian ijin lokasi; (2) penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; (3) penyelesaian sengketa tanah garapan; (4) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; (5) penetapan subyek dan obyek redistribusi -tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, (6) penetapan dan penyelesaian masalah tanah hak ulayat; (7) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; (8) pemberian ijin membuka tanah; dan (9) perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan tersebut diterbitkan sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 32
Universitas Sumatera Utara
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga dapat ditafsirkan bahwa Keputusan Presiden tersebut dimaksudkan sebagai peraturan pelaksana UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juga mengatur mengenai otonomi daerah di bidang pertanahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Wewenang Antara Pusat dan Provinsi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Substansi Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan memuat pelaksanaan sebagian wewenang Pemerintah yang meliputi 9 jenis kewenangan di bidang pertanahan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Apabila dikaitkan dengan wewenang penuh Pemerintah Daerah di bidang pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka penerbitan Keputusan Presiden tersebut merupakan kebijakan yang bersifat “setengah hati" atau “tidak ikhlas" dari Pemerintah dalam melimpahkan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah. 82 Melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan, Pemerintah hanya memberikan kewenangan bidang pertanahan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota yang meliputi sembilan kewenangan tersebut di atas. Padahal perintah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bahwa penyerahan urusan pertanahan kepada Pemerintah
82
Sarjita, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Tugujogja Pustaka, 2005), hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
Kabupaten/ Kota tidak dilakukan pembatasan dan pelaksanaannya cukup dilakukan melalui pengakuan oleh Pemerintah. Jadi sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka kewenangan pemerintah di bidang pertanahan dengan sendirinya sudah berada dan beralih menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal itu menjunjukkan bahwa Pemerintah Pusat tidak tulus dan tidak rela dalam menerapkan desentralisasi di bidang pertanahan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut Sarjita, Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan secara hierarkis jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga seharusnya tidak dapat diberlakukan. Suatu undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi tidak dapat dianulir oleh Keputusan Presiden yang kedudukannya lebih rendah. Apabila Pemerintah menghendaki pembatasan jenis kewenangan di bidang pertanahan yang akan dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka seharusnya dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan bukan dilakukan dengan hanya menerbitkan Keputusan Presiden yang kedudukannya lebih rendah dari undang-undang. Penerbitan Keputusan Presiden yang menimbulkan permasalahan krusial dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan, secara tidak langsung merupakan
Universitas Sumatera Utara
pengabaian terhadap ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. 83 Apabila ditinjau dari asas lex superiori derogate legi inferiori, jika peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih rendah, maka yang berlaku adalah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 84 Asas tersebut, menurut Lili Rasjidi digunakan sebagai etika pengawasan terhadap proses pembentukan peraturan perundang-undangan dalam pembangunan hukum di Indonesia. 85 Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka secara otomatis ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Hal tersebut didasarkan pada alasan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota hanyalah urusan di bidang pelayanan pertanahan bukan bidang pertanahan secara menyeluruh dan mandiri seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, maka pembuatan kebijakan nasional di bidang pertanahan dan hukum tanah tetap menjadi kewenangan Pemerintah, sedang pelaksanaan dan 83
Ibid. Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: IND-HILL CO, 1992), hal. 22. 85 Lili Rasjidi dan I.B. Waysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 136. 84
Universitas Sumatera Utara
pelayanan yang terkait dengan bidang pertanahan dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah. Dengan demikian maka Pemerintah dapat berbagi dengan Pemerintah Daerah dalam memberikan pelayanan di bidang pertanahan, sedang yang menerbitkan kebijakan dan hukum tanah secara nasional adalah tetap Pemerintah Pusat. Menurut Pasal 10 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa dalam rangka menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan wajib pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (3) maka pemerintah dapat, yaitu (1) menjalankan sendiri sebagai urusan pemerintahan; (2) melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau (3) menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Dengan demikian maka penyerahan urusan pertanahan yang oleh UUPA merupakan wewenang Pemerintah Pusat, oleh Pemerintah dapat diserahkan sebagian kepada Pemerintah Daerah tetapi hanya sebatas pada pemberian wewenang pelayanan pertanahan.
4. Kewenangan Pemerintah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Untuk menjabarkan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan
Universitas Sumatera Utara
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota disebutkan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas
urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, dan urusan pemerinahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, hukum, moneter, dan fiskal nasional, serta agama. Sedang urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan adalah semua urusan pemerintahan di luar enam urusan tersebut. Dalam Pasal 2 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota disebutkan bahwa urusan pemerintahan yang
dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan (provinsi dan kabupaten/kota) terdiri atas 31 bidang urusan pemerintahan yang meliputi 86: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 86
pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum; perumahan; penataan ruang; perencanaan pembangunan; perhubungan; lingkungan hidup; pertanahan; Pasal 2 ayat (4), Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.
Universitas Sumatera Utara
10. kependudukan dan catatan sipil; 11. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; 12. keluarga berencana dan keluarga sejahtera; 13. sosial; 14. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian; 15. koperasi dan usaha kecil dan menengah; 16. penanaman modal; 17. kebudayaan dan pariwisata; 18. kepemudaan dan olah raga; 19. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; 20. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; 21. pemberdayaan masyarakat dan desa; 22. statistik; 23. kearsipan; 24. perpustakaan; 25. komunikasi dan informatika; 26. pertanian dan ketahanan pangan; 27. kehutanan; 28. energi dan sumber daya mineral; 29. kelautan dan perikanan; 30. perdagangan; 31. perindustrian. Dari urusan-urusan pemerintahan yang oleh Pemerintah dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tersebut termasuk
di dalamnya adalah urusan di bidang “pertanahan” bukan “pelayanan pertanahan” sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mestinya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota disebutkan sebagai urusan di bidang
“pelayanan pertanahan” bukan “pertanahan”. Urusan bidang pertanahan hanya menjadi
Universitas Sumatera Utara
kewenangan Pemerintah Pusat, sedang yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah adalah “Pelayanan Pertanahan”. Hal ini berarti terjadi kontradiksi antara ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Dengan mengacu pada terori hirarkhi hukum dan asas lex superiori derogate legi inferiori, maka ketentuan yang seharusnya diberlakukan adalah sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah , khususnya Pasal 13 dan 14. Adapun perincian kewenangan di bidang pertanahan yang masih diurusi oleh Pemerintah Pusat termuat dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota lampiran I, yaitu sebagai berikut 87:
a. Sub Bidang: Ijin Lokasi, kewenangan Pemerintah meliputi: 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria ijin lokasi. 2. Pemberian ijin lokasi lintas provinsi. 3. Pembatalan ijin lokasi atas usulan Pemerintah Provinsi dengan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi. 4. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan ijin lokasi. b. Sub Bidang: Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, meliputi: 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas provinsi. 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 87
Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Huruf I
Universitas Sumatera Utara
c. Sub Bidang: Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan, meliputi: 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria penyelesaian sengketa tanah garapan. 2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penanganan sengketa tanah garapan. d. Sub Bidang: Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah untuk Pembangunan, yang meliputi: 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. 2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. e. Sub Bidang: Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah, serta Ganti Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee, yang meliputi: 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. 2. Pembentukan Panitia Pertimbangan landreform nasional. 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. f. Sub Bidang: Penetapan Tanah Ulayat, yang meliputi: 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat. 2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat. g. Sub Bidang: Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong, yang meliputi : 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong. 2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong. h. Sub Bidang: Ijin Membuka Tanah, yang mehputi: 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemberian ijin membuka tanah. 2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan ijin membuka tanah. i. Sub Bidang: Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota, kewenangan Pemerintah meliputi:
Universitas Sumatera Utara
1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota. 2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota. Dari perincian kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat di bidang pertanahan sebagaimana tersebut di atas terlihat bahwa isi kewenangan Pemerintah Pusat adalah pada tataran pembuatan kebijakan dan pengaturan/regulasi yang meliputi sembilan sub bidang. Kewenangan Pemerintah Pusat adalah penetapan kebijakan dan pembuatan produk hukum tanah serta melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan yang telah diterbitkan. Jadi, Pemerintah bertindak selaku pengambil keputusan dan pembuat kebijakan di bidang pertanahan, sedang pada tataran pelaksanaanya dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah (Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota). Dengan demikian kendali pengambil kebijakan di bidang pertanahan secara nasional tetap berada di tangan Pemerintah Pusat, sementara Pemerintah Daerah hanya melaksanakan saja semua kebijakan yang telah diambil oleh Pemerintah Pusat di bidang pertanahan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa otonomi daerah di bidang pertanahan tidak sepenuhnya diserahkan kepada Daerah, dalam arti Pemerintah Daerah menerbitkan aturan, tetapi hanya pada tahap pelaksanaan saja, atau lebih pada tataran teknis administrasi di lapangan.
Universitas Sumatera Utara
D. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Urusan Pertanahan Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah 1. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menganut prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom dalam kerangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan atau perangkat Pusat di daerah. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta Sumber Daya Manusia dengan kewajiban melepaskan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Penyelenggaraan
desentralisasi
secara
utuh
dilaksanakan
di
daerah
Kabupaten/Kota, sedang tugas pembantuan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Desa. Asas dekonsentrasi hanya dilaksanakan di Propinsi. Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi maka kemudian dibentuk dan disusun daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonom yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Menurut Pasal 11 UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah urusan pemerintahan
Universitas Sumatera Utara
yang wajib dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota, yaitu meliputi pekerjaan umum, kesehatan, industri dan perdagangan, pertanahan, penanaman modal, lingkungan hidup, peternakan, koperasi dan tenaga kerja. Sedang wewenang Propinsi ditentukan secara umum, yaitu urusan (bidang) pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, urusan (bidang) pemerintahan tertentu, serta urusan pemerintahan yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten dan kota. Wewenang Pemerintah Kabupaten dan Kota berkaitan dengan desentralisasi (otonomi) tersebut terlihat sangat luas, bahkan ada yang berdimensi internasional seperti urusan perhubungan, penanaman modal, keimigrasian, bea cukai dan lingkungan hidup. Sementara kewenangan Pemerintah Propinsi hanya mengurusi bidang tertentu yang tidak dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota atau urusan yang bersifat lintas kabupaten/kota. Luasnya urusan yang diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten.Kota mengakibatkan terjadi euphoria dan kekagetan daerah sehingga semua bidang diurusi meski daerah tersebut sebenarnya tidak mampu dan belum siap untuk mengurusi sendiri. Apabila ditilik Pasal 11 (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka urusan di bidang pertanahan menjadi kewenangan Daerah Otonom, artinya undang-undang melimpahkan kewenangan di bidang pertanahan kepada Pemerintah Daerah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Wewenang Antara Pusat dan Provinsi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah dijelaskan bahwa yang dimaksud kewenangan pemerintah adalah hak dan kekuasaan Pemerintah untuk menentukan atau mengambil kebijakan dalam
Universitas Sumatera Utara
rangka penyelenggaraan pemerintahan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Wewenang Antara Pusat dan Provinsi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah disebutkan kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan adalah meliputi 88: 1. 2. 3. 4. 5.
Penetapan persyaratan pemberian hak atas tanah. Penetapan persyaratan landreform. Penetapan standar administrasi pertanahan. Penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan. Penetapan kerangka Kadastral Nasional Orde I dan Orde II.
Sedang kewenangan Pemerintah Propinsi di bidang pertanahan tidak ada karena Propinsi merupakan wilayah administrasi (wakil Pemerintah Pusat di daerah), sehingga tidak diberikan kewenangan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, termasuk di bidang pertanahan. Sedang Pemerintah Kabupaten dan Kota karena merupakan daerah otonom yang menjadi sasaran pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah sehingga kepadanya diberikan kewenangan yang penuh (luas) dalam urusan pemerintahan, termasuk di bidang pertanahan. Menurut Pasal 4 ayat (3) Lampiran VII.17. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun 2000 tentang Pedoman Susunan Organisasi Perangkat Daerah, kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di bidang pertanahan adalah 89: 1. 2. 3. 4.
Penyelenggaraan tata guna tanah dan tata ruang. Penyelenggaraan pengaturan penguasaan tanah/landreform. Penyelenggaraan dan pengurusan hak-hak atas tanah. Penyelenggaraan pengukuran pendaftaran tanah.
88
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Wewenang Antara Pusat dan Provinsi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah 89 Pasal 4 ayat (3) Lampiran VII.17, Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun 2000 tentang Pedoman Susunan Organisasi Perangkat Daerah
Universitas Sumatera Utara
5. Penyelenggaraan administrasi pertanahan. 6. Penetapan kerangka dasar kadastral daerah dan pelaksanaan pengukuran kerangka dasar kadastral daerah. 7. Penanganan penyelesaian masalah dan sengketa pertanahan serta peningkatan partisipasi masyarakat. 8. Penetapan kebijakan untuk mendukung pembangunan bidang pertanahan. 9. Penyelenggaraan dan pengawasan standar pelayanan minimal di bidang pertanahan yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. 10. Penyusunan tata guna tanah Kabupaten/Kota. 11. Penyelenggaraan sistem informasi pertanahan. Kewenangan di bidang pertanahan tersebut di atas sangatlah besar sehingga untuk mengurusinya dibentuk suatu Dinas Daerah. Pembentukan lembaga (Dinas) baru tersebut dapat dilakukan dengan mengubah status dari perangkat (instansi) Pusat (Kantor Departemen
Kabupaten/Kota) menjadi Dinas Daerah sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 129 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Beberapa instansi Pusat berhasil dilebur menjadi Dinas Daerah, namun untuk bidang pertanahan instansi pusat di daerah, yakni Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tidak dapat dilebur menjadi Dinas Pertanahan. Padahal, di beberapa daerah Kabupaten/Kota telah diterbitkan Peraturan Daerah tentang pembentukan dinas-dinas Daerah, salah satunya adalah Dinas Pertanahan. Dalam Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 2000 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN) dinyatakan bahwa kantor BPN Kabupaten/Kota tetap merupakan instansi vertical yang secara teknis administrasi berada di bawah pembinaan BPN Pusat dan tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sampai ada ketentuan lebih lanjut (Pasal 32 ayat 2). Selanjutnya dalam Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang Pertanahan, tanggal 17 Januari
Universitas Sumatera Utara
2001, dikatakan sebelum ditetapkan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Wewenang Antara Pusat dan Provinsi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, maka pelaksanaan otonomi di bidang pertanahan berlaku peraturan, keputusan, instruksi dan surat edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN yang telah ada. Kedua ketentuan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Surat Edaran Kepala BPN No. 110-201-BPN, tanggal 23 Januari 2001 yang menyatakan bahwa Kantor BPN Kabupaten/Kota tetap merupakan instansi vertikal di daerah. Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan bahwa meski kewenangan di bidang pertanahan berdasarkan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan bidang yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, namun merupakan kewenangan bidang hukum yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga kewenangan di bidang pertanahan khususnya yang berkaitan dengan aspek hukum pertanahan bagi terwujudnya unifikasi hukum pertanahan dan kepastian hukum tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat untuk diurusi. Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 2000 jo Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 dan Surat Edaran Kepala BPN No. 110-201-BPN ditentang oleh banyak Pemerintah Daerah di Indonesia karena dianggap melanggar ketentuan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Beberapa Kepala Daerah di Indonesia tidak mematuhi ketiga ketentuan tersebut dan mereka tetap
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan otonomi di bidang pertanahan dengan membentuk Dinas Pertanahan untuk
“melikuidasi”
merupakan
instansi
Kantor
Pertanahan
Pemerintah
Pusat
Kabupaten/Kota (vertikal)
di
yang
daerah.
sebelumnya Menghadapi
“pembangkangan” beberapa Kepala Daerah tersebut kemudian diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Wewenang di Bidang Pertanahan dan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 593.08/381/UNPEM, tanggal 30 Juli 2001 yang menyatakan bahwa sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasiona di daerah tetap dilaksanakan oleh Pemerintah sampai dengan ditetapkannya seluruh peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan selambat-lambatnya 2 tahun. Kemudian Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan yang intinya menangguhkan pelaksanaan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di bidang pertanahan. Dalam Pasal 3 ayat 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan disebutkan bahwa penyusunan norma-norma dan atau standardisasi mekanisme ketatalaksanaan, kualitas produk dan kualifikasi sumber daya manusia diselesaikan selambat-lambatnya 3 bulan setelah ditetapkan Keputusan Presiden tersebut. Sedang penerbitan ketentuan mengenai regulasi di bidang pertanahan bagi daerah dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional paling lambat tanggal 1 Agustus 2004. Hanya saja sampai terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah , belum ditemukan satupun
Universitas Sumatera Utara
peraturan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional mengenai penyerahan wewenang pengurusan pertanahan kepada Daerah.
2. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah Dalam perjalanannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dirasakan sudah tidak memadai dengan perkembangan pemerintahan di Indonesia, khususnya dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah sesuai amanat UUD 1945. Salah satunya adalah mengenai pelaksanaan otonomi daerah yang diarahkan untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu maka kemudian dilakukan penggantian atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004. Pembaharuan Undang-Undang Pemerintahan Daearah ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai pemberian hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Penrbitan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah didasari pada peristiwa ketatanegaraan dan kehidupan politik di Indonesia yang tidak mengarah pada perbaikan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun
Universitas Sumatera Utara
1999 tentang Pemerintahan Daerah diberi kekuasaan sangat besar ternyata menyalahgunakan kekuasaan baik dalam pengelolaan keuangan yang menjadi tugas DPRD maupun dalam membuat Peraturan Daerah, dan dalam menjalin hubungan kelembagaan dengan Kepala Daerah. DPRD bertindak overacting ketika berhadapan dengan Kepala Daerah terutama menyangkut laporan pertanggungjawaban setiap akhir tahun dan laporan pertanggungjawaban masa akhir jabatan kepala daerah. 90 Di sisi lain maraknya tindak penyelewengan dan korupsi oleh DPRD sering mewarnai panggung penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu adalah tepat sekali dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang isinya mereduksi kewenangan DPRD dengan tujuan untuk menciptakan harmoni hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. 91 Penggantian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga terjadi karena adanya perubahan UUD 1945 yang telah mengalami amandemen sebanyak empat kali. Di samping itu juga dengan memperhatikan Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah mengenai rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka prinsip otonomi daerah dilaksanakan seluas-luasnya dengan memberikan kewenangan 90
B.N Marbun, Otonomi Daerah 1945-2005 Proses dan Realita, Perkembangan Otonomi Daerah Sejak Zaman Kolonial Sampai Saat Ini, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 108. 91 Sudono Syueb, 2008, Op.Cit, hal. 86.
Universitas Sumatera Utara
kepada daerah otonom untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar bidang yang menjadi urusan Pemerintah. Daerah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan guna member pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan prinsip otonomi luas tersebut maka kemudian dilaksanakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, yaitu suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai potensi dankekhasan daerah. Dengan demikian maka isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Sedang otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang penyelenggaraannya sejalan dengan maksud pemberi otonomi, yaitu untuk memberdayakan daerah termasuk untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan
bagian
utama
dari
tujuan
nasional.
Dengan
demikian
maka
penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh di masyarakat. Selanjutnya, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah, artinya mampu membangun kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, yakni tetap memelihara dan menjaga keutuhan wilayah
Universitas Sumatera Utara
Negara di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah wajib melakukan pembinaan dengan memberikan pedoman, arahan, bimbingan, pelatihan serta evaluasi. Dan yang terpenting adalah Pemerintah Pusat wajib memberikan fasilitas berupa peluang kemudahan, bantuan dan dorongan kepada Pemerintah Daerah agar dalam melaksanakan otonomi daerah dapat berjalan secara efektif dan efisien sesuai peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan otonomi daerah mensyaratkan adanya pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah Otonom, yang didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan pemerintahan yang tetap menjadi kewenangan Pemerintah meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter, hukum dan agama. Di samping itu ada urusan pemerintahan yang dijalankan secara concurrent, yakni penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dilaksanakan secara bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dengan demikian maka terhadap urusan yang bersifat concurrent tersebut terdapat pembagian, yakni ada bagian yang ditangani Pemerintah, dan ada bagian yang ditangani oleh Pemerintah Propinsi serta bagian yang ditangani oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Pembagian urusan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota disusun berdasarkan beberapa kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Urusan yang menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan yang bersifat wajib berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar. Sedang urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan yang dimiliki oleh daerah dan senyatanya ada di daerah yang bersangkutan. Pembagian urusan pemerintahan dilaksanakan melalui mekanisme penyerahan dan atau pengakuan atas usul daerah terhadap bagian urusan-urusan pemerintahan yang akan diatur dan diurusnya. Berdasarkan usulan tersebut Pemerintah melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum memberikan pengaturan atau bagian urusan-urusan yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Terhadap bagian urusan yang saat ini masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sesuai dengan kriteria tersebut akan diserahkan kepada daerah. Sedang tugas pembantuan atau medebewind atau dekonsentrasi pada dasarnya merupakan keikutsertaan Pemerintah Daerah atau Desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah di atasnya untuk melaksanakan urusan pemerintahan bidang tertentu. Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah akan terlaksana secara optimal apabila diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada Pemerintah Daerah dengan mengacu kepada Undang-Undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Besarnya pembagian keuangan tersebut disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah menjadi
Universitas Sumatera Utara
sumber keuangan daerah. Daerah diberi hak untuk mendapatkan sumber keuangan berupa kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah Pusat sesuai urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Urusan di bidang pertanahan merupakan salah satu urusan yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, baik Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai skala masing-masing daerah. Hal ini berbeda dengan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang hanya memberikan pelimpahan urusan di bidang pertanahan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota selaku daerah otonom, sedang Pemerintah Propinsi tidak diberi pelimpahan wewenang untuk mengurusi bidang pertanahan. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan mengurus bidang pertanahan diberikan secara lebih luas kepada Pemerintah Propinsi, yakni termasuk mengurus bidang pelayanan pertanahan lintas kabupaten/kota. Dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi merupakan urusan dalam skala propinsi yang meliputi 92: a. b. c. d. e. f. g. h.
92
Perencanaan dan pengendalian pembangunan; Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; Penyediaan sarana dan prasarana umum; Penanganan bidang kesehatan; Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
Pasal 13 ayat (1), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Universitas Sumatera Utara
i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j. Pengendalian lingkungan hidup; k. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. Pelayanan administrasi penanaman modal, termasuk lintas kabupaten/kota; o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Dari ketentuan dalam Pasal 13 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terlihat bahwa urusan pelayanan pertanahan menjadi salah satu urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Propinsi. Selanjutnya mengenai urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang meliputi 16 urusan pemerintahan wajib, yaitu 93: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. 93
Perencanaan dan pengendalian pembangunan, Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, Penyediaan sarana dan prasarana umum, Penanganan bidang kesehatan; Penyelenggaraan pendidikan, Penanggulangan masalah sosial, Pelayanan bidang ketenagakerjaan, Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah, Pengendalian lingkungan hidup; Pelayanan pertanahan, Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
Pasal 14 ayat (1), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Universitas Sumatera Utara
n. Pelayanan administrasi penanaman modal, o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya, dan p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 13 ayat (1) huruf k dan Pasal 14 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka urusan pelayanan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk diselenggarakan dalam kaitannya dengan otonomi daerah. Atau dengan perkataan lain “pelayanan pertanahan” menjadi urusan pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Semestinya Pemerintah Pusat terutama instansi yang mengurusi pertanahan secara bertahap menyerahkan urusan pelayanan bidang pertanahan kepada Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota). Perbedaan pengaturan antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berkaitan dengan pengurusan bidang pertanahan adalah bahwa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara tegas disebut urusan/bidang pertanahan, sedang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hanya disebut dengan “pelayanan pertanahan”. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa penyerahan urusan pemerintahan di bidang pertanahan kepada pemerintah daerah hanya pada aspek pelayanannya saja, bukan pada aspek pembuatan kebijakan atau regulasi bidang pertanahan yang masih
Universitas Sumatera Utara
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Sedang menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah urusan di bidang pertanahan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sangat luas, termasuk segala urusan yang berkaitan dengan pertanahan yang selama ini ditangani oleh Pemerintah Pusat. Jadi tidak hanya pada pelayanan dan pelaksanaan tetapi meliputi juga pada pembuatan kebijakan di bidang pertanahan.
Universitas Sumatera Utara