BAB II URAIAN TEORITIS
2.1. Teori (Konsep) 2.1.1. Komunikasi dan Komunikasi Massa Istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin yaitu communication, yang bersumber dari kata communis yang artinya “sama” dan communico, communication, atau communicare yang berarti “membuat sama”. Istilah yang paling sering disebut sebagai asal-usul kata komunikasi yang merupakan akar dari kata Latin adalah Communis. Komunikasi merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia
dalam
kaitannya
dengan
hubungan
antarindividu.
Komunikasi
merupakan sarana vital untuk mengerti diri sendiri, orang lain, dan memahami apa yang dibutuhkan orang lain serta untuk mencapai pemahaman tentang dirinya dan sesama. Komunikasi Massa dapat diartikan sebagai proses komunikasi yang berlangsung dimana pesan dikirim dari sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya misal melalui alat-alat yang bersifat mekanis seperti radio, televisi, dan film (Cangara, 2006:36). Pengertian Saverin dan Tankard menyatakan bahwa komunikasi massa adalah sebagian keterampilan (skill), sebagian seni (art), dan sebagian ilmu (science). Maksudnya, tanpa adanya dimensi menata pesan tidak mungkin media massa memikat khalayak yang pada akhirnya pesan tersebut dapat mengubah sikap, pandangan, dan perilaku komunikan (Effendi, 2005:210) 2.1.1.1. Ciri-ciri Komunikasi Massa
27
Para ahli komunikasi berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi melalui media massa, jelasnya merupakan singkatan dari komunikasi media massa (mass media communication). Hal ini berbeda dengan dengan pendapat para ahli psikologi sosial yang menyatakan bahwa komunikasi massa tidak selalu dengan menggunakan media massa. Menurut mereka pidato di sejumlah orang banyak di sebuah lapangan, misalnya, asal menunjukkan perilaku massa (mass behaviour), itu dapat dikatakan komunikasi massa. Semula mereka yang berkumpul di lapangan itu adalah kerumunan biasa (crowd) yang satu sama lain tidak mengenal. Tetapi kemudian karena sama-sama terikat oleh pidato seorang orator, mereka sama-sama terikat oleh perhatian yang sama, kemudian menjadi massa. Oleh sebab itu, komunikasi yang dilakukan oleh si orator secara tatap muka seperti itu adalah juga komunikasi massa. Demikian pendapat para ahli psikologi sosial. Seperti dikemukakan di atas, para ahli komunikasi membatasi pengertian komunikasi massa pada komunikasi dengan menggunakan media massa, misalnya surat kabar, majalah, radio, televisi atau film. Karena yang dibahas disini adalah komunikasi, bukan psikologi sosial atau sosiologi, maka yang diartikan komunikasi sosial disini adalah menurut para ahli komunikasi itu. Sehubungan dengan itu, dalam berbagai literatur sering dijumpai istilah mass communications (pakai s) sama dengan mass media atau dalam bahasa Indonesia media massa. Sedangkan yang dimaksud dengan mass comunication (tanpa s) adalah prosesnya, yakni proses komunikasi melalui media massa. Seperti ditegaskan di atas, media massa dalam cakupan pengertian komunikasi massa itu adalah surat kabar, majalah, radio, televisi atau film. Jadi,
28
media massa modern merupakan produk teknologi modern yang selalu berkembang menuju kesempurnaan. Hal tersebut perlu dijelaskan sebab di antara para cendekiawan – antara lain Everett M. Rogers – ada yang mengatakan bahwa selain media massa modern terdapat media massa tradisional, di antaranya teater rakyat, juru dongeng keliling, dan juru pantun. Bila Rogers menyatakan bahwa teater rakyat adalah media massa tradisional, barangkali masih dapat diterima. Akan tetapi jika ia mengatakan bahwa juru dongeng keliling dan juru pantun juga media massa tradisional, sungguh membingungkan. Bagi para ahli komunikasi umumnya, juru dongeng dan juru pantun adalah jelas komunikator, dan medianya – dalam hal ini media primer – adalah bahasa. Bagaimana peliknya komunikasi massa, Werner I. Severin dan James W. Tankard, Jr dalam bukunya, Communication Theories, Origins, Methods, Uses, menyatakan sebagai berikut: “Mass communication is part skill, part art, and part science. It is a skill in the sense that it involves certain fundamental learnable techniques such as focusing a television camera, operating a tape recorder or taking notes during an interview. It is art in the sense that it involves creative challenges such as writing a script for television program, developing an aesthetic layout for a magazine and or coming up with catchy lead for a news story. It is a science in the sense that there are certain principles involved in how communication works that can be verivied and used to make thimgs work better.” (Komunikasi massa adalah sebagian keterampilan, sebagian seni, dan sebagian ilmu. Ia adalah keterampilan dalam pengertian bahwa ia meliputi teknik-
29
teknik fundamental tertentu yang dapat dipelajari seperti memfokuskan kamera televise, mengoperasikan tape recorder, atau mencatat ketika berwawancara. Ia adalah seni dalam pengertian bahwa ia meliputi tantangan-tantangan kreatif seperti menulis skrip untuk program televise, mengembangkan tata letak yang estetis untuk iklan majalah, atau menampilkan teras berita yang memikat bagi sebuah kisah berita. Ia adalah ilmu dalam pengertian bahwa ia meliputi prinsipprinsip tertentu tentang bagaimana berlangsungnya komunikasi yang dapat dikukuhkan dan dipergunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik). Dalam pada itu Joseph A. Devito dalam bukunya, Communicology : An Introduction To The Study of
Communication, yang juga namanya telah
disinggung di muka, menampilkan defenisinya mengenai komunikasi massa dengan lebih tegas, yakni sebagai berikut : “First, mass communication is communication addressed to the masses, to an extremely large audience. This does not mean that the audience includes all people or everyone who reads or everyone who watches television; rather it means an audience that is large and generally rather poorly defined. Second, mass communication is communication mediated by audio and/or visual transmitters. Mass communication is perhaps most easily and most logically defined by its forms: television, radio, newspaper, magazines, films, books, and tapes.” Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang membaca atau semua
30
orang yang menonton televise, agaknya ini berarti bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefenisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila didefenisikan menurut bentuknya: televise, radio, surat kabar, majalah, film, buku dan pita). Seperti dikatakan oleh Severin dan Tankard, Jr., komunikasi massa itu adalah keterampilan, seni dan ilmu, dikaitkan dengan pendapat Devito bahwa komunikasi massa itu ditujukan kepada massa dengan melalui media massa dibandingkan dengan jenis-jenis komunikasi lainnya, maka komunikasi massa mempunyai ciri-ciri khusus yang disebabkan oleh sifat-sifat komponennya. Ciricirinya adalah sebagai berikut : 1. Komunikasi massa berlangsung satu arah Berbeda dengan komunikasi antarpersona (interpersonal communication) yang berlangsung dua arah (two-way traffic communication), komunikasi massa berlangsung satu arah (one-way communication). Ini berarti bahwa tidak terdapat arus balik dari komunikan kepada komunikator. Dengan lain perkataan, wartawan sebagai komunikator tidak mengetahui tanggapan para pembacanya terhadap pesan atau berita yang disiarkannya itu. Demikian pula penyiar radio, penyiar televisi atau sutradara film tidak mengetahui tanggapan khalayak yang dijadikan sasarannya. Yang dimaksudkan dengan “tidak mengetahui“ dalam keterangan diatas adalah tidak mengetahui pada waktu proses komunikasi itu berlangsung. Mungkin saja komunikator mengetahuinya juga, misalnya melalui rubrik “Surat Pembaca“ atau “Surat Pendengar“ yang biasa terdapat dalam media surat kabar,
31
majalah dan radio atau dengan jalan menelepon. Akan tetapi, itu semua terjadi setelah komunikasi dilancarkan oleh komunikator sehingga komunikator tidak dapat memperbaiki gaya komunikasi seperti yang biasa terjadi pada komunikasi tatap muka. Oleh karena itu, seperti telah disinggung di muka, arus balik seperti itu dinamakan arus balik tertunda (delayed communication). Dan kalaupun terjadi arus balik seperti itu, maka terjadinya jarang sekali. Sebagai konsekuensi dari situasi komunikasi seperti itu, komunikator pada komunikasi massa harus melakukan perencanaan dan persiapan sedemikian rupa sehingga pesan yang disampaikannya kepada komunikan harus komunikatif dalam arti kata dapat diterima secara inderawi (received) dan secara rohani (accepted) pada satu kali penyiaran. Dengan demikian pesan komunikasi selain harus jelas dapat dibaca – kalau salurannya media cetak – dan jelas dapat didengar – bila salurannya media elektronik – juga dapat dipahami maknanya seraya tidak bertentangan dengan kebudayaan komunikan yang menjadi sasaran komunikasi. Mungkin saja sebagai hasil teknologi mutakhir, misalnya, sebuah berita surat kabar dapat dibaca dengan jelas atau berita radio dapat diingat dengan terang. Akan tetapi, bukan tidak mungkin apa yang dibaca dan didengar itu tidak dimengerti atau menimbulkan interpretasi yang berlainan atau bertentangan dengan agama, adat kebiasaan dan sebagainya. 2. Komunikator pada komunikasi massa melembaga Media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi. Oleh karena itu komunikatornya melembaga atau dalam bahasa asing sering disebut institutionalized communicator atau organized communicator. Hal ini berbeda dengan komunikator lainnya, misalnya
32
kiai atau dalang yang munculnya dalam suatu forum bertindak secara individual, atas nama dirinya sendiri, sehingga ia mempunyai lebih banyak kebebasan. Komunikator pada komunikasi massa, misalnya wartawan surat kabar atau penyiar televisi – karena media yang dipergunakannya adalah suatu lembaga dalam menyebarluaskan pesan komunikasinya bertindak atas nama lembaga, sejalan dengan kebijaksanaan (policy), surat kabar dan stasiun televisi yang diwakilinya. Ia tidak mempunyai kebebasan individual. Ungkapan seperti kebebasan mengungkapkan pendapat (freedom of expression atau freedom of opinion) merupakan kebebasan terbatasi (restricted freedom). Sebagai konsekuensi dari sifat komunikator yang melembaga itu, peranannya dalam proses komunikasi ditunjang oleh orang-orang lain. Kemunculannya dalam media komunikasi tidak sendirian, tetapi bersama orang lain. Tulisan seorang wartawan surat kabar misalnya, tidak mungkin dapat dibaca khalayak apabila tidak didukung oleh pekerjaan redaktur pelaksana (managing editor), jurutata letak (layout man), korektor, dan lain-lain. Wajah dan suara penyiar televise tak mungkin dapat dilihat dan didengar jika tidak ditunjang oleh pekerjaan pengarah acara, jurukamera, jurusuara, dan sebagainya. Berdasarkan kenyataan tersebut diatas, komunikator pada komunikasi massa dinamakan juga komunikator kolektif (collective communication) karena tersebarnya pesan komunikasi massa merupakan hasil kerja sama sejumlah kerabat kerja. Karena sifatnya kolektif, maka komunikator yang terdiri atas sejumlah kerabat kerja itu mutlak harus mempunyai keterampilan yang tinggi dalam bidangnya masing-masing. Dengan demikian, komunikasi sekunder sebagai kelanjutan dari komunikasi primer itu akan berjalan sempurna.
33
3. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum Pesan yang disebarkan melalui media massa bersifat umum (public) karena ditujukan kepada umum dan mengenai kepentingan umum. Jadi tidak ditujukan kepada perseorangan atau kepada sekelompok orang tertentu. Hal itulah yang antara lain membedakan media massa dengan media nirmassa. Surat, telepon, telegram, dan teleks misalnya, adalah media nirmassa, bukan media massa, karena ditujukan kepada orang tertentu. Demikian pula majalah organisasi, surat kabar kampus, radio telegrafi atau radio citizen band, film dokumenter dan siaran televisi sekitar (closed circuit television) bukanlah media massa, melainkan media nirmassa karena ditujukan kepada sekelompok orang tertentu. Dari keterangan diatas jelas bahwa surat kabar seperti Kompas, majalah seperti Tempo, radio seperti RRI, film yang diputar di gedung bioskop dan televisi seperti TVRI adalah media massa yang ditujukan kepada masyarakat umum, dan pesan-pesan yang disebarkannya mengenai kepentingan umum. Media massa tidak akan menyebarkan suatu pesan yang tidak menyangkut kepentingan umum. Media massa akan menyebarkan berita mengenai seorang menteri yang meresmikan sebuah proyek pembangunan, tetapi tidak akan menyiarkan berita seorang menteri yang menyelenggarakan khitanan putranya. Media massa tidak akan memberitakan seorang gubernur yang pergi ke Tanah Suci. Andaikata memberitakannya juga, maka yang disiarkan bukan menunaikan ibadah hajinya, melainkan ketiadaannya di tempat sehingga merupakan informasi bagi masyarakat yang akan menghadap atau berhubungan dengan gubernur tersebut. Kekecualian adalah bagi seorang kepala negara. Media massa juga
34
kadang-kadang memberitakan juga perihal presiden ketika merayakan ulang tahunnya, menikahkan putrinya, hobinya berburu atau memancing, dan lain-lain yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kepentingan umum. Pemberitaan seperti itu di dalam dunia jurnalistik termasuk human interest yang oleh media massa dianggap menarik untuk diketahui rakyat mengenai kehidupan orang berkedudukan paling tinggi itu. 4. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan Cirri lain dari media massa adalah kemampuannya untuk menimbulkan keserempakan (simultaneity) pada pihak khalayak dalam menerima pesan-pesan yang disebarkan. Hal inilah yang merupakan ciri paling hakiki dibandingkan dengan media komunikasi lainnya. Bandingkan misalnya poster atau papan pengumuman dengan radio siaran yang sama-sama merupakan media komunikasi. Poster dan papan pengumuman adalah media komunikasi, tetapi bukan media komunikasi massa sebab tidak mengandung ciri keserempakan; sedangkan radio siaran adalah media komunikasi massa disebabkan oleh ciri keserempakan yang dikandungnya. Pesan yang disampaikan melalui poster atau papan pengumuman kepada khalayak tidak diterima oleh mereka dengan melihat poster atau papan pengumuman itu secara serempak bersama-sama, tetapi secara bergantian. Lain dengan pesan yang disampaikan melalui radio siaran. Pesan yang disebarkan dalam bentuk pidato, misalnya pidato presiden, akan diterima oleh khalayak dalam jumlah jutaan – bahkan puluhan juta atau ratusan juta – serempak bersamasama pada saat presiden berbicara. Oleh karena itulah, pada umumnya yang termasuk ke dalam media massa adalah surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film yang mengandung ciri keserempakan tersebut.
35
Radio dan televisi, karena merupakan media massa elektronik, tidak diragukan lagi keserempakannya ketika khalayak mendengarkan acara radio atau menonton acara televisi. Bagaimana dengan khalayak pembaca surat kabar atau majalah dan penonton film? Apakah terjadi keserempakan? Mengenai hal ini kita jangan melihat situasi komunikasi massa di negara yang belum maju atau yang sedang berkembang, antara lain di Indonesia. Pada saat ini oplah suratkabar Ibu Kota yang jangkauannya nasional masih dalam hitungan ratusan ribu eksemplar, belum jutaan; kebanyakan masih dalam jumlah puluhan ribu, bahkan ada yang beroplah 15.000 eksemplar. Memang sukar diasumsikan adanya keserempakan khalayak ketika membaca surat kabar. Akan tetapi, apabila kita menengok ke negara-negara maju, misalnya Amerika Serikat di mana antara lain New York Times dan Washington Post beroplah 20.000.000 eksemplar, maka dapat diasumsikan bahwa paling sedikit 1.000.000 orang secara serempak bersamasama membaca surat kabar harian tersebut. Demikian pula majalah di negara-negara maju dianggap media massa karena cirri keserempakan tersebut, misalnya di Amerika Serikat juga yang mempunyai Times dan Reader’s Digest yang beroplah jutaan eksemplar. Bahkan di negara Uncle Sam itu buku dianggap media massa karena tidak sedikit yang sekali terbit berjumlah 20.000.000 sampai 30.000.000 buah. Bahwa film mengandung cirri keserempakan jelas tampak ketika ia yang dibuat dalam ratusan kopi diputar di gedung-gedung bioskop dimana secara serempak ditonton oleh ribuan pengunjung. 5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen
36
Komunikasi atau khalayak yang merupakan kumpulan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran yang dituju komunikator bersifat heterogen. Dalam keberadaannya secara terpencar-pencar, dimana satu sama lainnya tidak saling mengenal dan tidak memiliki kontak pribadi, masing-masing berbeda dalam berbagai hal: jenis kelamin, usia, agama, ideology, pekerjaan, pendidikan, pengalaman, kebudayaan, pandangan hidup, keinginan, cita-cita, dan sebagainya. heterogenitas khalayak seperti itulah yang menjadi kesulitan seorang komunikator dalam menyebarkan pesannya melalui media massa karena setiap individu dari khalayak itu menghendaki agar keinginannya dipenuhi. Bagi para pengelola media massa adalah suatu hal yang tidak mungkin untuk memenuhinya. Satu-satunya cara untuk dapat mendekati keinginan seluruh khalayak sepenuhnya ialah dengan mengelompokkan mereka menurut jenis kelamin, usia, agama, pekerjaan, pendidikan, kebudayaan, kesenangan
(hobby),
dan
lain-lain
berdasarkan
perbedaan
sebagaimana
dikemukakan diatas. Pengelompokan tersebut telah dilaksanakan oleh berbagai media massa dengan mengadakan rubric atau acara tertentu untuk kelompok pembacapendengar-penonton tertentu. Hampir semua surat kabar, radio dan televisi menyajikan rubric atau acara yang secara khusus diperuntukkan bagi anak-anak, remaja dan dewasa; wanita dewasa dan remaja putri; pedagang, petani, ABRI, dan lain-lain; pemeluk agama Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan kepercayaan lainnya; murid-murid taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama, sekolah lanjutan tingkat atas, dan mahasiswa-mahasiswa perguruan
37
tinggi; para penggemar sastra, teater, musik, film, dan teknologi; dan kelompokkelompok lainnya. Berdasarkan kelmpok tersebut di atas maka sejumlah rubric atau acara diperuntukkan bagi kelompok tertentu sebagai sasarannya, atau dapat disingkat kelompok sasaran (target group), disamping khalayak keseluruhan sebagai sasarannya atau yang disebut khalayak sasaran (target audience). Contoh rubric untuk khalayak sasaran pada surat kabar adalah berita, tajuk rencana, pojok, artikel, cerita bersambung, dan lain-lain, sedangkan untuk kelompok sasaran adalah ruangan wanita, halaman untuk anak-anak, kolom untuk mahasiswa, ruangan bagi penggemar film, dan sebagainya. Contoh acara untuk khalayak sasaran pada radio dan televise siaran adalah warta berita, sandiwara, film seri, musik nasional (keroncong, dangdut, popular, dan lain-lain), olah raga dan sebagainya. sedangkan untuk kelompok sasaran adalah acara untuk anak-anak, remaja, mahasiswa, petani, ABRI, pemeluk agama Islam dan agama-agama lainnya, serta banyak yang diperuntukkan bagi kelompok tertentu. Berdasarkan cirri heterogenitas komunikan sebagaimana dikemukakan diatas dan dikaitkan dengan cirri yang disebut pertama, yakni bahwa komunikasi massa berlangsung satu arah, maka komunikator yang menangani atau yang menggunakan media massa harus melakukan perencanaan yang matang sehingga pesan yang disebarkannya benar-benar komunikatif, yakni received dan accepted dalam satu kali penyiaran, sebagaimana dipaparkan di muka. Demikian cirri-ciri komunikasi dengan menggunakan media massa untuk membandingkan dengan komunikasi yang memakai media nirmassa. Pada akhirnya
penggunaan
media
massa
38
dan
nirmassa
itu
saling
mengisi
pengoperasiannya, baik secara nasional maupun secara internasional. Hal ini erat sekali kaitannya dengan model komunikasi multitahap (multistep flow communication) yang telah disinggung di muka. Dalam hubungan inilah pula pentingnya strategi komunikasi. 2.1.1.2.
Fungsi Komunikasi Massa Di muka telah ditegaskan bahwa komunikasi massa di sini diartikan
komunikasi massa modern dengan media massa sebagai salurannya. Mengenai jenisnya atau bentuknya di antara para pakar komunikasi tidak ada kesepakatan; ada yang menyebutnya secara luas, misalnya surat kabar, majalah, radio, televisi, film, buku, rekaman video, rekaman audio, poster, surat langsung, dan banyak lagi; ada yang membatasi hanya pada surat kabar, majalah, televisi, radio, dan film. Dalam buku ini yang diartikan media massa ialah media yang mampu menimbulkan keserempakan di antara khalayak yang sedang memperhatikan pesan yang disampaikan oleh media tersebut. Yang jelas memenuhi kriteria ini adalah radio, televisi, dan film. Sedangkan surat kabar dan majalah bergantung pada oplahnya. Jika oplahnya minimal 750.000 eksemplar, barangkali dapat dikatakan media massa, dengan asumsi bahwa di antara 750.000 orang pelanggan atau pembeli koran atau majalah itu paling sedikit 150.000 orang serempak bersama-sama sedang membacanya. Perkembangan masyarakat yang dipacu oleh kemajuan teknologi komunikasi yang semakin canggih menunjukkan pengaruh yang kuat terhadap kemekaran media massa, tetapi di lain pihak secara timbal-balik ini menimbulkan dampak yang teramat kuat pula terhadap masyarakat. Para pakar komunikasi
39
mengkhawatirkan pengaruh media massa ini bukannya menimbulkan dampak yang positif konstruktif, melainkan yang negatif destruktif. Lalu pakar komunikasi mempertanyakan fungsi yang sebenarnya dari komunikasi massa atau media massa itu. Sebelum kita membicarakan fungsi komunikasi massa, ada baiknya jika kita membahas dahulu fungsi komunikasi itu sendiri, dan dari situ kita bisa menyimak fungsi komunikasi massa sebab komunikasi lebih luas daripada komunikasi massa. Harold D. Lasswell, pakar komunikasi terkenal yang namanya pernah disebut di muka, juga telah menampilkan pendapatnya mengenai fungsi komunikasi massa itu. Dikatakannya bahwa proses komunikasi di masyarakat menunjukkan tiga fungsi : a)
Pengamatan terhadap lingkungan (the surveillance of the environment), penyingkapan ancaman dan kesempatan yang mempengaruhi nilai masyarakat dan bagian-bagian unsur di dalamnya.
b)
Korelasi
unsur-unsur
masyarakat
ketika
menanggapi
lingkungan
(correlation of the components of society in making a response to the environment). c)
Penyebaran warisan social (transmission of the social inheritance). Disini berperan para pendidik, baik dalam kehidupan rumah tangganya maupun di sekolah, yang meneruskan warisan social kepada keturunan berikutnya. Selanjutnya, Laswell menyatakan bahwa di dalam masyarakat, proses
komunikasi mengungkapkan cirri-ciri khusus ketika unsur-unsur yang berkuasa merasa takut pada lingkungan, baik lingkungan internal maupun lingkungan
40
eksternal. Oleh karena itu, dalam menilai efisiensi pada suatu ketika, kita perlu memperhitungkan pertaruhan nilai-nilai dan identitas kelompok yang posisinya sedang dikaji. Mengenai fungsi komunikasi itu, dalam buku Aneka Suara, Satu Dunia (Many Voices One World) dengan MacBride sebagai editornya, diterangkan dengan cukup gamblang yang patut disimak oleh para mahasiswa dan peminat komunikasi. Diuraikan disitu bahwa apabila komunikasi dipandang dari arti yang lebih luas, tidak hanya diartikan sebagai pertukaran berita dan pesan, tetapi sebagai kegiatan individu dan kelompok mengenai tukar-menukar data, fakta dan ide, maka fungsinya dalam tiap system social adalah sebagai berikut: -
Informasi : Pengunpulan, penyimpanan, pemrosesan, penyebaran berita, data, gambar, fakta dan pesan, opini dan komentar yang dibutuhkan agar orang dapat mengerti dan bereaksi secara jelas terhadap kondisi internasional, lingkungan dan orang lain, dan agar dapat mengambil keputusan yang tepat.
-
Sosialisasi ( Pemasyarakatan) : Penyediaan sumber ilmu pengetahuan yang memungkinkan orang bersikap dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang efektif yang menyebabkan ia sadar akan fungsi sosialnya sehingga ia dapat aktif di dalam masyarakat.
-
Motivasi : Menjelaskan tujuan setiap masyarakat jangka pendek maupun jangka
panjang,
mendorong
orang
menentukan
pilihannya
dan
keinginannya, mendorong keinginan individu dan kelompok berdasarkan tujuan bersama yang akan dikejar.
41
-
Perdebatan dan diskusi : Menyediakan dan saling menukar fakta yang diperlukan
untuk
memungkinkan
persetujuan
atau
menyelesaikan
perbedaan pendapat mengenai masalah public, menyediakan bukti-bukti yang relevan yang diperlukan untuk kepentingan umum dan agar masyarakat lebih melibatkan diri dalam masalah yang menyangkut kegiatan bersama di tingkat internasional, nasional, dan local. -
Pendidikan : Pengalihan ilmu pengetahuan sehingga mendorong perkembangan
intelektual,
pembentukan
watak,
dan
pendidikan
keterampilan serta kemahiran yang diperlukan pada semua bidang kehidupan. -
Memajukan kebudayaan : Penyebarluasan hasil kebudayaan dan seni dengan
maksud
melestarikan
warisan
masa
lalu,
perkembangan
kebudayaan dengan memperluas horizon seseorang, membangunkan imajinasi dan mendorong kreativitas serta kebutuhan estetikanya. -
Hiburan : Penyebarluasan symbol, sinyal, suara, dan citra (image) dari drama, tari, kesusasteraan, musik, komedi, olahraga, permainan, dan sebagainya untuk rekreasi, dan kesenangan kelompok dan individu.
-
Integrasi : Menyediakan bagi bangsa, kelompok, dan individu kesempatan memperoleh berbagai pesan yang diperlukan mereka agar mereka dapat saling kenal dan mengerti dan menghargai kondisi, pandangan, dan keinginan orang lain. Itulah fungsi komunikasi menurut Sean MacBride dan kawan-kawan.
Karena komunikasi massa merupakan bagian atau bentuk dari komunikasi yang begitu luas itu, maka uraian di atas juga menjadi fungsi komunikasi massa dengan
42
media massanya yang dapat menjangkau khalayak yang amat luas, baik lokal, nasional maupun internasional. Untuk memperoleh kejelasan dan ketegasan mengenai fungsi komunikasi massa, kita dapat menyimak pendapat Yoseph R. Dominick, mahaguru dari Universitas Georgia, Athens, Amerika Serikat, dalam bukunya, The Dynamic of Mass Communication. Dia berpendapat bahwa untuk menganalisis hal itu perlu paling tidak dengan dua tahap yang berbeda. Pertama, kita dapat menggunakan perspektif seseorang sosiolog dan meneropongnya melalui lensa lebar seraya mempertimbangkan fungsi-fungsi yang ditunjukkan oleh media massa bagi keseluruhan
masyarakat
(pendekatan
seperti
ini
kadang-kadang
disebut
makroanalisis). Titik pandang ini terfokus kepada tujuan yang jelas dari komunikator dan menekankan tujuan yang tampak itu melekat pada isi media. Kedua, atau sebaliknya kita dapat melihatnya melalui lensa close-up kepada khalayak secara perseorangan, dan meminta kepadanya agar memberikan laporan mengenai bagaimana mereka menggunakan media massa (pendekatan ini dinamakan mikroanalisis). Kadang-kadang hasilnya menunjukkan hal yang sama dalam arti bahwa khalayak menunjukkan hal yang sama dalam arti bahwa khalayak menggunakan isi media massa yang sejalan dengan yang dituju oleh komunikator. Adakalanya tidak sama, khalayak menggunakan media dengan cara yang tidak diduga oleh komunikator. Mengenai analisis dengan lensa lebar tadi dapat dijelaskan sebagai berikut: Apabila pada mulanya manusia berkomunikasi satu sama lain secara antar persona langsung tatap muka, maka dari hari ke hari, tahun ke tahun, dekade ke dekade,
43
dan abad ke abad, terjadi perubahan-perubahan sedemikian hebatnya sehingga dewasa ini manusia di benua yang satu mampu berkomunikasi dengan manusia di benua lain. Ini terjadi berkat media massa; pada mulanya media cetak, kemudian media elektronik melalui satelit komunikasi. Pengawasan (surveillance) Fungsi pertama komunikasi massa menurut Joseph R. Dominick ternyata sama dengan fungsi pertama juga berdasarkan pendapat Harold Laswell. Akan tetapi, Dominick memberikan penjelasan yang agak luas. Dikatakannya bahwa surveillance mengacu kepada yang kita kenal sebagai peranan berita dan informasi dari media massa. Media mengambil tempat para pengawal yang pekerjaannya mengadakan pengawasan. Orang-orang media itu yakni para wartawan surat kabar dan majalah, reporter radio dan televisi, koresponden kantor berita, dan lain-lain berada di mana-mana di seluruh dunia, mengumpulkan informasi buat kita yang tidak bisa kita peroleh. Informasi itu disampaikan kepada organisasi-organisasi media massa yang dengan jaringan luas dan alat-alat yang canggih disebarkannya ke seluruh Jagat. Fungsi pengawasan dapat dibagi menjadi dua jenis: -
Pengawasan peringatan (warning or beware surveillance) Pengawasan jenin ini terjadi jika media menyampaikan informasi kepada kita mengenai ancaman taufan, letusan gunung api, kondisi ekonomi yang mengalami depresi,
meningkatnya inflasi,
atau serangan militer.
Peringatan ini dapat diinformasikan segera dan serentak (programa televise diinterupsi untuk memberitakan peringatan bahaya tornado), dapat pula diinformasikan ancaman dalam jangka waktu lama atau ancaman
44
kronis (berita surat kabar atau majalah secara bersambung mengenai polusi udara atau pengangguran). Akan tetapi, memang banyak informasi yang tidak merupakan ancaman yang perlu diketahui oleh rakyat. -
Pengawasan instrumental (instrumental surveillance) Jenis kedua ini berkaitan dengan penyebaran informasi yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Berita tentang film yang dipertunjukkan di bioskop setempat, harga barang kebutuhan di pasar, produk-produk baru, dan lainlain adalah contoh-contoh pengawasan instrumental. Yang juga perlu dicatat ialah bahwa tidak semua contoh pengawasan instrumental seperti disebutkan diatas terjadi yang kemudian dijadikan berita.
Publikasi-
publikasi skala kecil dan yang lebih spesifik seperti majalah-majalah atau jurnal-jurnal pengetahuan atau keterampilan juga melakukan tugas pengawasan. Bahkan fungsi pengawasan dapat dijumpai pula pada isi media yang dimaksudkan untuk menghibur. Interpretasi (interpretation) Yang erat sekali kaitannya dengan fungsi pengawasan adalah fungsi interpretasi. Media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga informasi beserta interpretasi mengenai suatu peristiwa tertentu. Contoh yang paling nyata dari fungsi ini adalah tajuk rencana surat kabar dan komentar radio atau televisi siaran. Tajuk rencana dan komentar merupakan pemikiran para redaktur media tersebut mengenai topik berita yang paling penting pada hari tajuk rencana dan komentar itu disiarkan. Fungsi interpretasi ini acap kali mendapat perhatian utama para pejabat pemerintah, tokoh politik dan pemuka masyarakat karena sering berupa kritik terhadap kebijaksanaan pemerintah.
45
Karena itu pula di negara-negara Barat yang liberal, pers sebagai salah satu media massa dengan keampuhannya dalam melaksanakan fungsi interpretasi dijuluki watchdog atau anjing penjaga yang “menggonggong“ apabila pemerintah ingkar dari kewajibannya mengurus rakyat. Pada kenyataannya fungsi interpretasi ini tidak selalu berbentuk tulisan, adakalanya juga berbentuk kartun atau gambar lucu yang bersifat sindiran. Betapa tidak lucu jika wajah seorang presiden dari suatu negara dilukis sedemikian rupa sehingga serba dilebih-lebihkan, umpamanya hidungnya dibuat panjang, bibirnya dibuat tebal, kepalanya dibentuk penjol, lebih dari kenyataannya. Dalam dunia jurnalistik, cara-cara menyindir seperti itu sudah lazim sehingga yang bersangkutan tidak pernah marah, apalagi memprotes. Hubungan (linkage) Media massa mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung oleh saluran perseorangan. Banyak contoh mengenai hal ini, misalnya kegiatan periklanan yang menghubungkan kebutuhan dengan produk-produk penjual. Contoh lainnya adalah hubungan para pemuka partai politik dengan pengikut-pengikutnya ketika membaca surat kabar mengenai partainya yang dikagumi oleh para pengikutnya itu. Fungsi hubungan yang dimiliki media itu sedemikian berpengaruhnya kepada masyarakat sehingga dijuluki “public making“ ability of the mass media atau kemampuan membuat sesuatu menjadi umum dari media massa. Hal ini erat kaitannya dengan perilaku seseorang, baik yang positif konstruktif maupun yang
46
negatif destruktif, yang apabila diberitakan oleh media massa, maka segera seluruh masyarakat mengetahuinya. Sosialisasi Seperti halnya dengan MacBride, Joseph R. Dominic juga menganggap sosialisasi sebagai fungsi komunikasi massa. Bagi Dominic, sosialisasi merupakan transmisi nilai-nilai (transmission of values) yang mengacu pada cara-cara dimana seseorang mengadopsi perilaku dan nillai-nilai dari suatu kelompok. Media massa menyajikan penggambaran masyarakat, dan dengan membaca, mendengarkan dan menonton maka seseorang mempelajari bagaimana khalayak berperilaku dan nilai-nilai apa yang penting. Di antara jenis-jenis media massa, televisi termasuk media yang daya persuasinya paling kuat, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Hal ini wajar karena insan-insan yang belum berusia dewasa ini belu mempunyai daya kritik sehingga ada kecenderungan mereka meniru perilaku orang-orang yang dilihat mereka pada layar televisi tanpa menyadari nilai-nilai yang terkandung. Hiburan (entertainment) Seperti hal nya dengan MacBride pula, bagi Dominic pun hiburan merupakan fungsi media massa. Mengenai hal ini memang jelas tampak pada televisi, film, dan rekaman suara. Media massa lainnya, seperti surat kabar dan majalah, meskipun fungsi utamanya adalah informasi dalam bentuk pemberitaan, rubrik-rubrik hiburan selalu ada, apakah itu cerita pendek, cerita panjang atau cerita bergambar.
47
Bagi pembaca, rubrik-rubrik hiburan itu memang penting untuk melepaskan saraf-saraf setelah berjam-jam membaca berita-berita berat, yang terjadi baik di dalam negeri maupun di dalam negeri. Demikianlah fungsi-fungsi komunikasi massa menurut beberapa pakar kenamaan. Jelas kiranya bahwa pernyataan mengenai fungsi komunikasi massa di masyarakat akan sejajar dengan pernyataan mengenai bagaimana fungsi media pada taraf individual. Apabila analisis kita alihkan dari analisis makro ke analisis mikro, maka pada taraf individual, pendekatan fungsional diberi nama umum uses-and gratifications model atau “model penggunaan dan pemuasan“. Secara sederhana model ini menyatakan bahwa khalayak memiliki dorongan dan kebutuhan yang dipuaskan dengan menggunakan media. Dewasa ini, kebanyakan media massa melancarkan kegiatannya dengan model tersebut sebagai pendekatan fungsional. Dari paparan diatas, fungsi-fungsi komunikasi dan komunikasi massa yang begitu banyak itu dapat disederhanakan menjadi empat fungsi saja, yakni : -
Menyampaikan informasi (to inform)
-
Mendidik (to educate)
-
Menghibur (to entertain)
-
Mempengaruhi (to influence)
(Effendy 2003:20)
2.1.2. Film Sebagai Media Massa Film adalah fenomena sosial, psikologi, dan estetika yang kompleks. Film adalah dokumen yang terdiri dari cerita dan gambar yang diiringi kata-kata dan
48
musik, jadi film adalah produksi yang bersifat mulitidimensional dan sangat kompleks. Melalui perkembangannya, film telah memainkan banyak peran dengan memberikan informasi, drama, music, dan lain-lain, dikombinasikan atau bukan. Sebggai media komunikasi massa, film dapat digunakan dengan berbagai funsi seperti hiburan, penerangan, pendidikan, untuk mempengaruhi dan ajang sosialisasi. Film merupakan salah satu bagian dari media massa yang merupakan media elektronik dan merupakan alat penyampai berbagai jenis pesan dalam peradaban modern. “Film merupakan medium komunikasi massa yang ampuh sekali, bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan serta pendidikan” (Effendy, 2000: 209). “Dengan kata lain, film merupakan media komunikasi massa yang mampu menimbulkan dampak pada masyarakat, karena film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya” (Sobur, 2004: 127). Film sebagai penemuan teknologi baru yang mulai berkembang pada akhir abad 19, yang disampaikan melalui media massa audio visual yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan media komunikasi massa lainnya. Ini disebabkan karena dalam film penyampaian pesannya melalui perantara gambar-gambar yang berwarna, gambar yang bergerak, adanya music yang menyertai film, penonton dapat mendengar langsung suara para pelaku dan melihat langsung para pelaku yang terdapat dalam film tersebut. “Pada mulanya film hanyalah berupa gambar bergerak berwarna hitam putih dan tidak disertai dengan adanya suara yang disebut film bisu. Pada akhir
49
tahun 1920-an mulai dikenal adanya film bersuara, dan pada tahun 1930-an mulai menyusul film berwarna” (Sumarno,1996:9). Dalam hal ini film sebagai bentuk media massa memilki ide dasar mengenai tujuan media dalam masyarakat (McQuail, 1987: 13) 1. Informasi a. Menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi dalam masyarakat dan dunia b. Menunjukkan hubungan kekuasaan. c. Memudahkan inovasi, adaptasi dan kemajuan. 2. Korelasi a. Menjelaskan, menafsirkan, mengomentari makna peristiwa dan informasi. b. Menunjang otoritas dan norma-norma yang mapan. c. Melakukan sosialisasi. d. Mengkoordinasi beberapa kegiatan. e. Membentuk kesepakatan. f. Menentukan urutan prioritas dan memberikan status relatif. 3. Kesinambungan a. Mengekspresikan
budaya
dominan
dan
mengakui
keberadaan
kebudayaan khusus (subcultural) serta perkembangan budaya baru. b. Meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai. 4. Hiburan a. Menyediakan hiburan, pengalihan perhatian dan sarana relaksasi. b. Meredakan ketegangan sosial.
50
5. Mobilisasi a. Mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam bidang politik, perang, pembangunan ekonomi, pekerjaan dan kadang kala dalam bidang agama, seni dan budaya. Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, music, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Kehadiran film sebagian merupakan respons tehdapa penemuan waktu luang diluar jam kerja dan Jawaban terhadap kebutuhan menikmati waktu senggang secara hemat dan sehat bagi seluruh anggota keluarga. 2.1.2.1. Jenis-jenis Film Menurut Himawan Pratista dalam bukunya yang berjudul “Memahami Film”, secara umum jenis film terbagi menjadi tiga jenis (Pratista, 2008): 1. Film Dokumenter Kunci utama dari film dokumenter adalah penyajian fakta. Film jenis ini berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata. Struktur bertutur film documenter umumnya sederhana dengan tujuan agar memudhkan penonton untuk memahami dan mempercayai fakta-fakta yang disajikan. Untuk penyajiannya, film documenter dapat menggunakan beberapa metode antara lain merekam langsung pada saat peristiwa benar-benar terjadi atau sedang berlangsung, merekonstruksi ulang sebuah peristiwa yang terjadi, dan lain sebagainya. 2. Film Fiksi
51
Film jenis ini adalah film yang paling banyak diangkat dari karya-karya para sineas. Berbeda dengan film documenter, cerita dalam film fiksi merupakan rekaan di luar kejadian nyata. Untuk struktur ceritanya, film fiksi erat hubungannya dengan hukum kausalitas atau sebab-akibat. Ceritanya juga memilki karakter protagonis dan antagonis, masalah dan konflik, penutupan, serta pola pengembangan cerita yang jelas. Untuk proses produksinya, film fiksi cenderung memakan lebih banyak tenaga, waktu pembuatan yang lebih lama, serta jumlah peralatan produksi yang lebih banyak dan bervariasi serta mahal. 3. Film Eksperimental Film eksperimental adalah jenis film yang sangat berbeda dengan dua jenis film sebelumnya. Film eksperimental tidak memilki plot tetapi tetap memiliki struktur. Strukturnya sangat dipengaruhi olehinsting subyektif sineas seperti gagasan, ide, emosi, serta pengalaman-pengalaman batin mereka. Cirri dari film eksperimental yang paling terlihat adalah ideology sineasnya yang sangat menonjol yang bisa dikatakan out of the box atau di luar aturan. Film “Sex And The City 2” yang diproduksi tahun 2010 merupakan film yang masuk dalam kategori fiksi. Cerita ini diangkat berdasarkan kehidupan masyarakat perkotaan karya Michael Patrick King. 2.1.2.2. Genre Film Selain jenisnya, film juga dapat dikelompokkan berdasarkan klasifikasi film. Klasifikasi film ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, misalnya berdasarkan proses produksinya, yakni film hitam-putih dan film berwarna, film
52
animasi, film bisu dan lain sebagainya. Klasifikasi yang paling banyak dikenal orang adalah klasifikasi berdasarkan genre film (Pratista, 2008). Istilah genre berasal dari bahasa Prancis yang bermakna “bentuk” atau “tipe”. Di dalam film, genre diartikan sebagai jenis atau klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola yang sama (khas) seperti setting, isi, dan subyek cerita, tema, struktur cerita, aksi atau peristiwa, periode, gaya, situasi, ikon, mood, serta karakter. Sedangkan fungsi utama dari genre adalah membantu kita memilah-milah atau mengklasifikan film-film yang ada sehingga lebih mudah untuk mengenalinya (Pratista, 2008). Genre pun dibagi menjadi dua bagian yaitu induk primer dan genre induk sekunder. Genre induk primer sebagai genre-genre pokok, antara lain: 1. Aksi 2. Drama 3. Epik Sejarah 4. Fantasi 5. Fiksi Ilmiah 6. Horor 7. Komedi 8. Kriminal dan Gangster 9. Musikal 10. Petualangan 11. Perang 12. Western
53
Film “Sex And The City 2” yang berkisah tentang kehidupan Carrie Bradshaw (Sarah Jessica Parker) dan Big (Chris Noth), dan semua semua pemeran dalam film ini termasuk ke dalam genre drama komedi.
2.1.3. Representasi Ada beberapa definisi representasi, yaitu defenisi representasi berdasarkan Nuraini Juliastuti, John Fiske, dan Stuart Hall. 1. Menurut Nuraini Juliastuti (2002). Representasi adalah konsep yang mempunyai beberapa pengertian. Ia adalah “representing”.
Ia juga
produk
dari
proses
sosial
“representing”.
Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep ideology yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang kongkret. 2. Menurut John Fiske (2004) Representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra, atau kombinasi. 3. Menurut Stuart Hall (1997) Menurut Stuart Hall, representasi mempunyai dua pengertian, yaitu: a. Representasi mental yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini berbentuk sesuatu yang abstrak. b. Representasi bahasa. Representasi bahasa ini yang berperan penting dalam konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus
54
diterjemahkan
dalam
bahasa
yang
lazim,
supaya
kita
dapat
menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu. Dalam hal ini, proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkostruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan system peta konseptual kita. Dalam proses kedua, kita mengkostruksi seperangkat korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi mempresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara ‘sesuatu’, ‘peta konseptual’, dan ‘bahasa atau simbol’ adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses ini yang terjadi secara bersama-sama itulah yang kita sebut representasi. Hall mengatakan bahwa ada tiga teori yang menjelaskan bagaimana produksi makna hingga penggunaan konstruksi sosial (Hall, 1997): 1. Pendekatan Reflektif: bahasa berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Dalam pendekatan reflektif, sebuah makna bergantung pada sebuah objek, orang, ide, atau peristiwa di dalam dunia nyata. Bahasa pun berfungsi seperti cermin yaitu untuk memantulkan arti sebenarnya seperti yang telah ada di dunia. Misalnya, bunga mawar adalah bunga mawar. Namun, tanda visual membawa sebuah hubungan kepada bentuk dan tekstur dari objek yang dipresentasikan. Tetapi, gambar visual dua dimensi dari bunga adalah tanda tidak semestinya dibingungkan dengan tanaman yang sebenarnya dengan duri dan bunga-bunga yang bertumbuh di taman. Harus diingat bahwa ada begitu banyak kata-kata, suara, dan gambar yang mana kita mengerti dengan jelas tetapi fiksi atau
55
fantasi dan menunjuk keapda dunia yang diimajinasikan. Tentu saja, kita dapat menggunakan kata ‘bunga mawar’ dalam arti sebenarnya, tanaman nyata yang tumbuh di taman. Tetapi ini karena kita mengetahui kode yang terhubung dengan konsep khusus dari sebuah kata atau gambar. Tetapi kita tidak bisa memikirkan atau mengucapkan atau menggambar dengan bunga mawar sesungguhnya. 2. Pendekatan Intensional: kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Pendekatan makna yang kedua dalam representasi mendebat kasus sebaliknya. Pendekatan ini mengatakan bahwa sang pembicara, penulis, siapapun yang mengungkapkan pengertiannya yang unik ke dalam dunia melalui bahasa. Sekali lagi, ada beberapa poin untuk argumentasi ini semenjak kita semua, sebagai individu, juga menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan hal-hal yang special atau unik bagi kita dengan cara pandang kita terhadap dunia. Bagaimanapun juga, sebagai teori umum dari representasi melalui bahasa, pendekatan intensional cukup rapuh. Kita tidak bisa menjadi satu-satunya sumber makna dalam bahasa, sejak kita itu dapat diartikan bahwa kita dapat mengekspresikan diri dalam seluruh bahasa privat. Namun, esensi dari bahasa adalah komunikasi, yang mana tergantungkepada pembagian kode-kode linguistik. Makna pribadi kita, sebagaimana pun pribadinya bagi kita, harus masuk ke dalam aturan-aturan, kode-kode, dan adat bahasa untuk dibagikan dan dimengerti. Ini artinya bahasa pribadi kita harus berkompromi dengan semua makna lain yang telah terkandung dalam bahasa dimana penggunaan sistem bahasa kita tidak dapat dielakkan lagi akan berubah menjadi sebuah aksi.
56
3. Pendekatan Konstruktivis: kita percaya bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai. Ini adalah pendekatan ketiga untuk mengenali publik, karakter sosial dari bahasa. Hal ini membenarkan bahwa tidak ada sesuatu yang di dalam diri mereka sendiri termasuk pengguna bahasa secara individu dapat memastikan makna dalam bahasa. Sesuatu ini tidak berarti: kita mengkonstruksi makna, menggunakan system representasional – konsep dan tanda. Bertolak dari pendekatan ini, kita tidak perlu bingung dengan dunia secara materi, dimana benda-benda dan orang-orang ada, dan simbol praktis dan proses yang melalui representasi, makna dan bahas dioperasikan. Konstruktivis tidak menolak keberadaan materi dunia. Namun bagaimanapun juga, bukan materi dunia yang memberi makna tetapi system bahasa atau system apapun yang kita gunakan untuk mempresentasikan konsep kita. Tentu saja, tanda mungkin dimensi material. System representasional terdiri dari suara nyata yang kita buat dengan nada vocal kita, gambar yang kita buat pada kertas peka cahaya kamera foto, coretan-coretan yang kita buatn pada kanvas, dorongan digital yang ditransmisikan secara elektronik. Representasi adalah praktek, sebuah jenis “kerja” yang menggunakan objek material dan efek. Tetapi makna tidak hanya tergantung pada kualitas material tanda, tetapi kepada
fungsi simbolik. Hal ini dikarenakan suara-suara atau kata-kata
khusus mewakili atau menyimbolkan atau merepresentasikan konsep yang dapat berfungsi, sebagai tanda dan member makna. Maksud dari ketiga pendekatan tersebut apakah bahasa secara sederhana merefleksikan makna yang telah ada di luar sana di dunia objek? (reflektif). Kemudian apakah bahasa mengekspresikan hanya apa yang ingin dikatakan oleh
57
pembicara atau penulis, dan dengan sengaja memasukkan kepribadian kita dalam sebuah makna? (intensional). Dan apakah makna terkonstruksi di dalam dan melalui bahasa? (konstruktivis).
2.1.4. Semiotika “Semiotika adalah studi mengenai pertandaan dan makna dari system tanda; ilmu tentang tanda, bagaimana makna dibangun dalam “teks” media; atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkonsumsi makna” (Fiske, 2004: 282). Dalam teori semiotika, pokok studinya adalah tanda atau bagaiman cara tanda-tanda itu bekerja juga dapat disebut semiologi. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti pada dirinya sendiri, dengan kata lain jika diterapkan jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, dan kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitan dengan pembacanya, pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sebagai konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Segala sesuatu yang memiliki sistem tanda, dapat dianggap teks, contohnya di dalam film, majalah, televisi, klan, koran, brosur, novel, bahkan di surat cinta sekalipun. Tiga bidang studi utama dalam semiotika adalah (Fiske, 2004: 60): 4. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara-cara tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara-cara tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda
58
adalah kontruksi manusia dan hanya bias dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. 5. Sistem atau kode yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode yang dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentrasmisikannya. 6. Kebudayaan dan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Dalam semiotika, untuk memahami tanda dan makna dalam suatu teks terdapat dua pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan semiotika struktural. Dalam pendekatan ini dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sandes Pierce (1839-1914). Pendekatan ini mengandalkan kepada keabadian, kestabilan, dan kemantapan tanda, kode dan makna-makna, serta lebih menekankan pada proses signification, yaitu mengfungsikan tanda sebagai refleksi dari kode-kode sosial yang telah mapan (Sobur, 2004). 2. Pendekatan Semiotika Post Struktural Dalam pendekatan ini dikembangkan oleh Jaques Derrida (1967). Pendekatan post struktural ini dapat mengakomodasikan dinamika, ketidakpastian, gejolak,
dan
kegelisahan-kegelisahan
yang
mencirikan
budaya
ketidakberaturan serta lebih ditekankan pada proses penciptaan kreatif tanda dank ode-kode yang tanpa batas (Sobur, 2004). Dengan begitu semiotika post struktural lebih mengarah kepada penciptaan suatu rantai pertandaaan yang
59
baru dengan menanggalkan makna-makna konvensional dan kemudian secara bebas mencari makna-makna baru. Dalam pendekatan semiotika struktural terdapat dua model makna yang sangat berpenagruh. Dua model makna tersebut dikembangkan oleh Charles Sandes Pierce dan Ferdinand de Saussure, kedua model yang dikembangkan oleh mereka berpengaruh terhadap model-model berikutnya. Model makna dari Pierce yang melihat tanda, acuannya, dan penggunaannya sebagai sebuah titik dalam segitiga, serta masing-masing dari setiap elemen saling terkait satu sama lain, dan dapat dipahami hanya dalam artian pihak lain (Fiske, 2004). Pierce menjelaskan modelnya secara berikut:
Tanda
Interpretan
Objek
Gambar 2.1. Unsur Makna Pierce
Maksud dari makna dalam gambar 2.1. adalah panah dari dua arah menekankan bahwa masing-masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan unsure yang lain. Namun ketika ketiga elemen tersebut berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Maka muncul sebuah tanda, ketika digunakan pada saat berkomunikasi.
60
Berbeda dengan Pierce, Saussure mengungkapkan bahwa tanda terdiri atas bentuk fisik plus konsep mental terkait, dan konsep ini merupakan pemahaman atas realitas, hanya melalui konsep orang yang menggunakannya. Saussure juga lebih memperhatikan cara tanda-tanda terkait dengan objeknya Pierce, sehingga model dasar dari Saussure berbeda penekanannya dengan Pierce, dan baginya, tanda adalah sebuah objek fisik dengan makna dan sebuah tanda akan memiliki makna ketika terkait dengan tanda-tanda lainnya. Saussure juga mengatakan bahwa tanda terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified), hubungan antara penanda dan petanda ini yang disebut pertandaan (signification). Dalam kategori tanda, Saussure hanya menaruh perhatian pada simbol, karena simbol merupakan kata-kata (Fiske, 2004). Saussure menjelaskan maknanya sebagai berikut:
Tanda Pertandaan Tersusun atas
Penanda Plus (eksistensi Fisik Dari tanda)
Realitas eksternal atau makna
Petanda (konsep mental)
Gambar 2.2. Unsur Makna Saussure
2.1.5.
Television Codes Television Codes adalah teori yang dikemukakan oleh John Fiske atau
yang biasa disebut kode-kode yang digunakan dalam dunia pertelevisian. Menurut
61
Fiske, kode-kode yang muncul atau yang digunakan dalam acara televisi tersebut saling berhubungan sehingga terbentuk sebuah makna. Menurut teori ini pula, sebuah realitas tidak muncul begitu saja melalui kode-kode yang timbul, namun juga diolah melalui penginderaan serat referensi yang telah dimiliki oleh pemirsa televisi, sehingga sebuah kode akan dipersepsi secara berbeda oleh orang yang berbeda juga. Dalam kode-kode televisi yang diungkapkan dalam teori John Fiske, bahwa peristiwa yang ditayangkan dalam dunia televisi telah dienkode oleh kode-kode sosial yang terbagi dalam tiga level sebagai berikut: 4. Level pertama adalah realitas (Reality) Kode sosial yang termasuk di dalamnya adalah appearance (penampilan), dress (kostum), make-up (riasan), environment (lingkungan), behavior (kelakuan), speech (dialog), gesture (gerakan), expression (ekspresi), sound (suara). 5. Level kedua adalah Representasi (Representation). Kode sosial yang termasuk di dalamnya adalah camera (kamera), lighting (pencahayaan), editing (perevisian), music (musik), dan sound (suara). 6. Level ketiga adalah Ideologi (Ideology) Kode sosial yang termasuk di dalamnya adalah individualisme (individualism),
patriarki
(patriarchy),
ras
(race),
kelas
(class),
materialisme (materialism), kapitalisme (capitalism). Dalam analisi ini sesuai dengan teori yang digunakan oleh John Fiske, peneliti hanya akan menggunakan kode-kode sosial seperti dress, setting, behavior, music, class, speech, character, make-up, environment, dialogue.
62
2.1.5.1. Kode-kode Sosial dalam Film “Sex And The City 2” Unit analisis yang digunakan oleh peneliti meliputi level realitas, level representasi, dan level ideology. Kode-kode tersebut adalah: 1. Level realitas dengan kode: a. Kostum (Dress) Setiap bentuk dan jenis pakaian apapun yang dikenakan oleh seseorang akan menyampaikan penanda sosial (social sign) tentang si pemakai. Pakaian merupakan ‘bahasa diam’ (silent language) yang berkomunikasi melalui pemaikaian simbol-simbol verbal. Pakaian merupakan indicator yang teapt dalam menyatakan kepribadian dan gaya hidup seseorang yang mengenakan pakaian tertentu (Sobur, 2006). “Dalam hal lainnya, pakaian adalah cara yang digunakan individu untuk membedakan dirinya sendiri sebagai individu dan menyatakan beberapa bentuk keunikan” (Bernard, 2006:85). Setiap orang, memiliki selera dan maksud tertentu ketika ia memilih suatu pakaian tertentu untuk digunakan. Pakaian yang kita kenakan juga dapat menjelaskan banyak hal. Misalnya, ketika seorang wanita berpakaian gaun panjang berwarna hitam, tentu dia akan mengahadiri suatu pesta, tidak mungkin dia ingin berbelanja sayur di pasar. Setiap fase dalam kehidupan kita kita pun ditandai dengan busana tertentu. Misalkan, seragam putih merah adalah seragam sekolah tingkat dasar, toga dikenakan oleh para sarjana ketika wisuda, dan lain sebagainya. Bahkan, pilihan seseorang atas pakaian yang ia kenakan mencerminkan
kepribadiannya.
Pakaian
juga
digunakan
memproyeksikan citra tertentu yang diinginkan pemaikainya.
63
untuk
Faktor-faktor yang mampu mempengaruhi cara kita berdandan antara lain, nilai-nilai agama, kebiasaan, tuntutan lingkungan (tertulis atau tidak), nilai kenyamanan, dan tujuan pencitraan. b. Penampilan (appearance) Tidak dapat kita pungkiri, bahwa pertama kali menilai atau melihat seseorang adalah melalui penampilan fisiknya. Setiap orang punya persepsi mengenai penampilan fisik. Seringkali orang memberi makna tertentu pada karakteristik fisik orang yang bersangkutan, seperti bentuk tubuh, warna kulit, model rambut, dan sebagainya (Mulyana, 2007). “Begitu pentingnya sebuah penampilan, maka ada yang mengatakan bahwa peanmpilan adalah segalanya” (Chaney, 2003:15). Beberapa kelompok masyarakat beranggapan bahwa penampilan bagi dirinya merupakan suatu yang mutlak. Bahwa sebagian orang berpendapat bahwa penampilan merupakan kebutuhan yang mutlak untuk dipenuhi. Ketika melihat penampilan seseorang, maka kita akan mempersepsi kehidupan orang tersebut. Misalnya, seorang laki-laki berpenampilan kumuh. Baju yang ia kenakan tampak kotor, tubuhnya kurus dan bongkok, rambutnya tumbbuh tak beraturan, mukanya dipenuhi dengan kumis dan jenggot panjang berwarna putih. Maka kita akan mempersepsi bahwa laki-laki tua itu adalah seorang pemulung atau orang jalanan. Maka dari itu, penampilan menjadi kode sosial yang peneliti pilih untuk menggali makna pesan yang ingin disampaikan dari representasi feminisme perempuan dalam film “Sex And The City 2”.
64
c. Perilaku (behavior) Perilaku atau behavior merupakan sebuah tindakan seseorang. Dalam kode sosial ini, peneliti ingin melihat perilaku dalam kehidupan feminisme yang terdapat dalam film ini.
d. Ekspresi (expression) Banyak orang beranggapan bahwa perilaku nonverbal yang paling banyak “berbicara” adalah ekspresi wajah, khusunya pandangan mata, meskipun mulut tidak berbicara (Mulyana, 2007: 372). Menurut Albert Mehrabian dan Mulyana berpendapat andil wajah bagi pengaruh pesan adalah 55% sementara vocal 30%, dan verbal hanya 7%. Kontak mata yang merupakan bagian terbesar dari ekspresi memiliki dua fungsi, fungsi pengatur yaitu untuk memberi tahu orang lain apakah kita akan melakukan hubungan dengan orang itu atau menghindarinya. Fungsi yang kedua adalah fungsi ekspresif, yaitu member tahu orang lain bagaiman perasaan kita terhadapnya (Mulyana, 2007: 373). Ekspresi wajah merupakan perilaku nonverbal utama yang mengekspresikan keadaan emosional seseorang. Sebagian pakar mengakui terdapat beberapa keadaan emosional yang dikomunikasikan oleh ekspresi wajah
yang tampaknya
dipahami secara universal: kebahagiaan,
kesedihan, ketakutan, kemarahan, kejijikan, dan minat. 2. Level Representasi dengan kode: a. Musik (music)
65
Menurut Muir Mathieson, penulis buku The Technique of Film Music dalam Sumarno, musik bukan hanya bagian kecil dari seluruh film, tetapi musik memiliki peranan yang besar sama seperti arsitek untuk sebuah rumah. Musik punya efek yang luar biasa, sangat memperkaya dan memperbesar reaksi keseluruhan kita terhadap hampir ke setiap film. Menurut Marselli Sumarno, dalam bukunya yang berjudul Dasardasar Apresiasi Film, ada 8 fungsi musik, yaitu: •
Membantu merangkaikan adegan sehingga menimbulkan kesan adanya kesatuan.
•
Menutupi kelemahan atau kecacatan sebuah film. Kelemahan tersebut biasanya terdapat pada acting yang lemah atau dialog yang dangkal sehingga dapat diubah lebih dramatik jika diiringi musik yang tepat.
•
Menunjukkan suasana batin tokoh-tokoh utama film.
•
Menunjukkan suasana waktu dan tempat. Misalnya, penggunaan gitar akustik, gamelan Jawa, gitar Hawaii dan lain sebagainya akan dengan mudah membuat penonton mempersepsi lokasi tertentu.
•
Mengiringi kemunculan susunan kerabat kerja (credit title).
•
Mengiringi adegan dengan ritme cepat. Misalnya adegan kejar-kejaran antara penjahat dengan polisi. Ketika ditambah dengan ritme musik cepat, maka adegan akan tampak lebih seru.
•
Mengantisipasi adegan mendatang dan membentuk ketegangan dramatik.
•
Menegaskan karakter lewat musik. Misalnya tokoh utama wanita diberi iringan musik yang lembut.
66
b. Kerja Kamera (camera movement) Film memiliki dua elemen, yaitu audio dan visual. Sehingga tidak dapat dipungkiri jika kamera sebagai alat untuk menyajikan elemen visual kepada penonton memiliki peranan yang penting dalam penyampaian pesan. Teknik pengambilan gambar memiliki tujuan serta mengandung makna pesan yang ingin disampaikan. Komposisi gambar yang baik akan mampu membuat gambar menyampaikan pesan dengan sendirinya. Komposisi itu antara lain framing (pembingkaian gambar), Illusion of Depth (kedalaman dalam dimensi gambar), subject or object (subjek atau objek gambar), dan colour (warna). Sementara itu, ada beberapa teknik pengambilan gambar berdasarkan besar-kecil subyek, antara lain: •
Extreme Long Shot (ELS) Shot ini diambil apabila ingin mengambil gambar yang sangat jauh, panjang, luas dan berdimensi lebar. ELS biasanya digunakan untuk opening scene untuk membawa penonton mengenal lokasi cerita.
•
Very Long Shot (VLS) VLS merupakan tata bahasa gambar yang panjang, jauh dan luas tetapi lebih kecil daripada ELS. Teknik ini digunakan biasanya untuk pengambilan gambar adegan kolosal atau banyak objek misalnya adegan perang di pegunungan, adegan kota metropolitan, dan lain sebagainya.
•
Long Shot (LS)
67
Ukuran shot ini adalah dari ujung kepala hingga ujung kaki Long shot juga bisa disebut dengan landscape format yang mengantarkan mata penonton kepada keluasan suatu suasana dan objek. •
Medium Long Shot (MLS) Ukuran untuk shot ini adalah dari ujung kepada hingga setengah kaki. Tujuan shot ini adalah untuk memperkaya keindahan gambar yang disajikan ke mata penonton. Angle ini dapat dibuat sekreatif mungkin untuk menghasilkan tampilan yang atraktif.
•
Medium Shot (MS) Ukuran dari shot ini adalah dari tangan hingga ke atas kepala. Tujuan dari shot ini adalah agar penonton dapat melihat dengan jelas ekspresi dan emosi dari pemain.
•
Middle Close Up (MCU) Sedangkan untuk shot ini ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan MCU yaitu dari ujung kepala hingga perut. Dengan angle ini penonton masih tetap dapat melihat latar-belakang yang ada. Tetapi melalui shot ini, penonton diajak untuk mengenal lebih dalam profil, bahasa tubuh, dan emosi pemeran tokoh tertentu.
•
Close Up (CU) Komposisi gambar ini adalah komposisi yang paling popular dan memiliki banyak fungsi. Close Up merekam gambar penuh dari leher hingga ujung kepala. Melalui angle ini, sebuah gambar dapat
68
berbicara dengan sendiri kepada penonton. Emosi dan juga reaksi dari mimik wajah tergambar jelas. •
Big Close Up (BCU) Komposisi gambar ini lebih dalam dibandingkan CU. Kedalaman pandangan mata, kebencian raut wajah, kehinaan emosi hingga keharuan yang tiada bertepi adalah ungkapan-ungkapan yang terwujud dari komposisi ini. Komposisi ini memang sulit untuk menghasilkan gambar yang fokus, tetapi disitulah nilai artistik dari komposisi gambar Big Close Up.
•
Extreme Close Up (ECU) Komposisi ini berfokus kepada satu objek saja. Misalnya hidung, mata, atau alis saja. Komposisi ini jarang digunakan untuk penyutradaraan drama.
c. Selanjutnya ada tiga prinsip gerak kamera, yaitu (Sumarno, 1996: 57): •
Gerak kamera pada porosnya, baik berupa gerakan horisontal maupun vertikal tanpa memaju-mundurkan atau menaik-turunkan kamera. Gerakan ini disebut panoramic shot atau umumnya pan shot. Gerakan kamera pada porosnya ini memberikan deskriptif obyketif, yaitu menunjukkan ruang dalam sebuah adegan baru. Atau memberikan deskriptif subyektif, yaitu berupa apa yang dilihat tokoh cerita film.
•
Gerak kamera yang disebabkan kamera itu secara fisik dipindahkan posisinya, yang disebut tracking shot. Gerakan track in (mendekat pada subyek) berguna untuk menampakkan kesan introduksi, menggambarkan suatu ruang dramatik, dan menggambarkan keadaan jiwa tokoh cerita. Sedangkan gerakan track out (menjauh dari subyek)
69
berguna untuk memunculkan kesan konklusi, meninggalkan ruang, dan menciptakan kesan kesendirian. •
Gerak kamera karena perubahan panjang titik api (focal light). Panjang titik api merupakan suatu ukuran (biasanya dalam milimeter jarak dari pusat permukaan lensa sampai ke bidang datar. Panjang pendek titik api menentukan jenis lensa.
3. Level ideologi dengan kode: a. Konflik (conflict) “Konflik adalah suatu proses alamiah yang melekat pada sifat semua hubungan yang penting dan dapat diatasi dengan pengelolaan konstruktif lewat komunikasi” (Tubbs dan Moss, 2000: 221). “Konflik didefinisikan
juga
sebagai
suatu
perjuangan
ternyatakan
antara
sekurangkurangnya dua pihak yang saling bergantung yang mempersepsi tujuantujuan yang tidak selaras, ganjaran yang langka, dan gangguan dari pihak lain dalam mencapai tujuan-tujuan mereka” (Tubbs dan Moss, 2000: 221). Dalam sebuah film cerita, konflik menjadi bumbu dalam keseluruhan jalan cerita. Konflik yang masuk akan tentu akan menarik minat penonton untuk terus menyaksikan cerita hingga akhir. Sebaliknya, konflik atau permasalahan yang terlalu dibuat-buat dan berlebihan, akan membuat penonton jenuh dan akhirnya punya penilaian yang tidak bagus pada keseluruhan film. Melalui konflik, film berusaha untuk menyampaikan suatu pesan kepada penontonnya. Konflik yang diangkat pun sesuai dengan realita yang ada dalam masyarakat.
70
Tubbs dan Moss juga mengangkat beberapa prinsip pemecahan konflik yang dikemukakan oleh Hocker dan Wilmot, antara lain: perundingan atau negosiasi berdasarkan prinsip. Setiap orang punya prinsip, pendapat serta keinginan masing-masing. Hal inilah yang sering kali menjadi pemicu terjadinya konflik dalam masyarakat. ”Pemecahan konflik dengan negosiasi mengutamakan kepentingan bersama dan mengesampingkan pendapat dan juga prinsip masing-masing” (Tubbs danMoss, 2000). Konflik kedua yang sering kali kita temui adalah konflik keluarga. Konflik ini terjadi dalam anggota-anggota suatu keluarga tertentu, yaitu keluarga inti, maupun keluarga besar. Beberapa prinsip pemecahan konflik keluarga yang dikemukakan oleh Perason dalam buku yang ditulis oleh Tubbs dan Moss antara lain, (1) setiap anggota keluarga punya hak yang sama dalam mengutarakan pendapat, perasaan, sikap dan tujuannya secara terbuka,
(2)
anggota-anggota
keluarga
harus
merespon
denganmendengarkan secara aktif, (3) setiap anggota keluarga harus diberi kesempatan untuk menyatakan pikirannya dan wajib mendasarinya dengan kejujuran, (4) sifat konflik jangan diperluas, anggota keluarga harus focus pada
permasalahan
dan
jalan
keluar,
(5)
pengurangan
adanya
tindakantindakan tekanan, (6) melihat persamaan-persamaan yang ada, bukan pada perbedaan-perbedaan, dan (7) melihat pemecahan konflik yang terjadi di masa lalu. Tetapi, pada dasarnya tidak ada prinsip penyelesaian konflik yang bersifat universal. Hal ini dikarenakan setiap keluarga memiliki caranya masing-masing untuk menyelesaikan konflik. Inilah
71
yang diciptakan oleh sebuah film dalam memberikan pengetahuanpengetahuan baru kepada penonton pada penyelesaian suatu konflik tertentu. b. Karakter (character) Setiap manusia memiliki karakter yang terbentuk berdasarkan proses-proses pertumbuhannya. Ada 4 karakter utama, yaitu Sanguin (ekstrovert/terbuka, membicara, optimis), Koleris (ekstrovert, pelaku, optimis), Plekmatis (introvert, pengamat, pesimis) dan Melankolis (introvert, pemikir, pesimis) ( Littauer, 1996). c. Latar (setting) ”Dalam sebuah film, latar atau setting merupakan tempat dan waktu berlangsungnya cerita” (Sumarno, 1996: 66). Orang yang bertanggung-jawab terhadap setting atau latar disebut penata artistik. Seting harus memberi informasi lengkap tentang peristiwa-peristiwa yang sedang
disaksikan
penonton.
Peneliti
melihat
seting
mampu
menunjukkanrepresentasi kehidupan para feminisme dalam film ”Sex And The City 2”.
d. Dialog (dialogue) Merupakan percakapan-percakapan antar pemeran dalam sebuah film. Dalam dialog peneliti dapat melihat makna yang ingin disampaikan film ”Sex And The City 2”. Dalam hal ini peniliti memilih kode-kode diatas, karena terkait dengan permasalahan dan ruang lingkupnya, dan didasarkan kepada desain penelitian kualitatif yang fleksibel dan
72
sementara, karena terus menerus disesuaikan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Hal ini untuk mengetahui representasi feminisme dalam film “Sex And The City 2”.
2.1.6. Feminisme dan Film Menulis pada akhir 1980-an, Christine Gledhill mencatat adanya pembaharuan
muthakir
minat
feminis
dalam
budaya
pop
mainstream.
Sebagaimana juga ditunjukkannya, pembaharuan itu adalah pembaharuan yang sebagian besar terjadi sebagai antitesis terhadap analisis ideologis akhir 1970-an dan awal 1980-an, yang dipengaruhi oleh postrukturalisme dan sinepsikoanalisis, yang menolak sinema mainstream karena produksinya terhadap kepenontonan yang patriarkal/ borjuis serta represi simultan terhadap feminitas. Berdasarkan Stancey, bahwa identifikasi sering kali merupakan istilah kunci dalam klaimklaim tentang kepenontonan perempuan yang dibuat berdasarkan kolusi dan keterlibatan. Dalam analisis tersebut, identifikasi diteorikan sebagai penempatan penonton yang sukses (sebagai pasif ataupun masokistis) dalam kepentingan patriarki. Kendati demikian, pergeseran fokus dari teks film menuju penonton sesungguhnya dalam khalayak, ia menemukan bahwa konsep identifikasi mengalami semacam perubahan yang tak terduga. Istilah feminisme berasal dari kata Latin femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan (Sumiarni, 2004). Tidak seperti pandangan atau pemahaman lainnya, feminisme tidak berasal dari sebuah teori atau konsep yang didasarkan atas formula teori tunggal. Maka dari itu, tidak ada, definisi secara spesifik atas pengaplikasian feminisme yang disepakati kalangan pemikir pada umumnya dan
73
kaum feminis pada khususnya. Hingga saat ini, istilah feminisme telah menimbulkan beragam interpretasi antara lain sebagai sebuah ideologi, gerakan dapat juga sebuah aliran pemikiran (filsafat), atau bahkan teori pembagian kelas dalam masyarakat. Namun berdasarkan latar belakang kemunculannya, feminisme lebih umum diartikan sebagai sebuah gerakan sosial (Nugroho, 2004). Feminisme berawal dari sebuah persepsi mengenai ketimpangan posisi perempuan dibandingkan dengan laki-laki di masyarakat. Akhirnya menimbulkan berbagai upaya mencari penyebab dari ketimpangan tersebut dan menemukan suatu solusi dari kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang, sebagai manusia yang sederajat. Mencari solusi ini yang disebut dengan gerakan feminisme. Pada hakekatnya, tujuan feminisme adalah transformasi sosial untuk menciptakan suatu keadaan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Feminisme sebagai suatu gerakan memiliki dimensi sejarah yang panjang, dimulai pada abad ke-14. Secara garis besar, perkembangan gerakan feminisme dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu feminisme gelombang pertama (first wafe feminism), gelombang kedua (second wafe feminism), dan gelombang ketiga (third wafe feminism). Feminisme gelombang pertama mengangkat isu-isu prinsip persamaan hak bagi perempuan. Titik tolak perjuangannya adalah dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya bidang pendidikan, politik,
ekonomi.
Feminisme
gelombang
pertama
ini
dimulai
dengan
pergerakanpergerakan feminisme yang berkaitan dengan terjadinya Revolusi Perancis, yakni suatu periode dalam sejarah dimana terdapat pemikir-pemikir
74
seperti Mary Wollstonecraft, Sejourner Truth, dan Elizabeth Cady Stanton. Mereka semua ini bisa dibilang ada di balik lahirnya Deklarasi Konvensi Hak-hak Perempuan di Senca Falls. Namun sebetulnya, sebagaimana juga tercatat dalam sejarah pergerakan-pergerakan yang lebih terdahulu, tersebut nama suster Juana Ines, seorang penyair dan pendidik yang lahir pada tahun 1651. Ia merupakan perempuan pada jamannya yang sadar memilih untuk tidak menikah dan memiliki anak agar dapat mengorbankan seluruh hidupnya untuk belajar dan menulis puisi. Puisi-puisinya yang lahir pada abad ke-17 ini telah menggambarkan ketidakadilan yang dialami perempuan atas nama cinta. “Melalui puisi-puisinya ia mengkritik secra tajam masyarakatnya yang tidak memberikan hak pendidikan yang sama untuk perempuan” (Arivia, 2003: 85). Pergerakan perempuan pada tahun 1960-an dengan cepat menjadi suatu kekuatan politik yang menyebar di Eropa dan Amerika. “Landasan-landasan teoritis yang dipakai dalam gelombang feminisme ini adalah feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme Marxis atau Sosialis” (Arivia, 2003: 85). Seiring dengan perkembangan zaman, kurang lebih seratus tahun sejak kelahirannya, feminisme memasuki gelombang kedua. Gerakan ini ditandai dengan lahirnya sebuah pemahaman bahwa perempuan memang berbeda dengan laki-laki, tetapi yang menjadi penyebab perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan adalah konstruksi sosial yang dibentuk oleh masyarakat patriakal. Maka dari itu, isu utama yang diusung feminisme gelombang kedua adalah perlawanan terhadap legalitas budaya patriarki (Nugroho, 2004). Gelombang kedua pemikiran feminisme sangat signifikan pada pengorganisasian sejarah feminisme. Awal dari pemunculan gelombang kedua feminisme berhubungan
75
dengan upaya mereka untuk beranjak dari aktivitas sifat yang praktis menuju kearah kegiatan yang sifatnya lebih teoritis. Pada awal kelihatannya tugas feminisme gelombang kedua adalah untuk menjelaskan persoalan fundamental penindasan terhadap perempuan dan sekaligus untuk menjawab tantangan teori Marxisme. ”Namun pada tahun 1970-an, feminisme gelombang kedua mulai memfokuskan diri kepada pemikiran bahwa perempuan memiliki kemampuan yang sama seperti laki-laki. Singkatnya, “perempuan dan laki-laki adalah sama” ”(Arivia, 2003: 120). Pada tahap gelombang ketiga, muncul perubahan yang signifikasi dalam pemikiran feminisme, yakni peralihan dari teori dominasi kepada teori ”deferensi”dan keberagaman. tujuan dalam gelombang ini bukan lagi menggugat sistem patriarki, hadir sebagai sosok perempuan yang tangguh, berani, dan penuh percaya diri, dengan titik tolak perjuangan dekonstruksi budaya perempuan dan penanaman perempuan baru kedalam kesadaran politik.Wacana gelombang ketiga feminisme sangat dipengaruhi oleh pemikiran postmodernisme. Dalam film “Sex And The City 2”, feminisme lebih kearah kepada gelombang ketiga, dimana feminisme yang terjadi dalam cerita tersebut adalah perempuan yang tangguh, memperjuangkan harga diri, percaya diri .Selain itu dalam film ini, akan menjabarkan mengenai feminisme yang di fokuskan kepada ketiga gelombang feminisme beberapa aliran dari feminisme , yaitu feminisme liberal, feminisme postmodern, dan feminisme radikal, feminisme multikultural, feminisme global, ekofeminisme. 2.1.6.1. Feminisme Liberal
76
Prihatin dengan kondisi hak perempuan yang dianggap timpang, feminis liberal muncul sebagai kritik terhadap paham liberal yang umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan kebebasan individual namun pada saat yang sama masih mendiskriminasi kaum perempuan. Asumsi dasarnya adalah bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan dan kapasitas rasio. Feminisme liberal menghendaki reformasi sistem dan budaya masyarakat yang diskriminatif serta integrasi perempuan dalam berbagai peran di bidang ekonomi, politik, sosial dan pendidikan bersama-sama dengan kaum laki-laki. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin dominan yang melakukan opresi terhadap yang lain sehingga tercipta kesetaraan gender (Tong, 1998). Feminisme liberal sendiri berkembang pada abad ke 18 di dunia barat, sejalan dengan semakin berkembangnya pemikiran zaman yang semakin baru yang ditandai dengan penekanan pada rasionalitas serta pemikiran yang absolute dan monolitik. Pada masa ini, kebebasan berpikir memperoleh ruang untuk berkembang semaksimal mungkin. Setiap individu harus memiliki kemampuan rasionalitas yang memadai untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga Negara (Nugroho, 2004). Feminisme liberal menghendaki reformasi sistem dan budaya masyarakat yang diskriminatif serta integrasi perempuan dalam berbagai peran di bidang ekonomi, politik, sosial dan pendidikan bersama-sama dengan kaum lakilaki. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin dominan yang melakukan opresi terhadap yang lain sehingga tercipta kesetaraan gender (Tong, 1998). Pendekatan yang dilakukan juga sangat reformis, jauh dari
77
radikalisme, karena feminis liberal tidak menghendaki perubahan secara menyeluruh. (Sumiarni, 2004).
2.1.6.2. Feminisme Radikal Feminisme radikal mengklaim, sistem patriarkal sebagai sumber opresi, ditandai oleh kuasa, dominasi, hirarki dan kompetisi. Maka dan itu, system patriarkal tidak dapat dibentuk ulang, melainkan harus dicabut dan akar hingga cabang-cabangnya untuk memberikan jalan bagi pembebasan kaum perempuan. Feminisme ini muncul pada abad 19, dengan mengangkat isu utama perlawanan terhadap legalitas budaya patriarki, untuk mengkritisi gerakan feminisme liberal yang dianggap tidak cukup drastis dan dramatis. Sebagai fokus bagi perkembangan pemikirannya, aliran feminisme radikal berfokus pada seks, gender dan reproduksi sebagai penyebab fundamental opresi terhadap perempuan. Pada tahun-tahun selanjutnya, semakin jelas bahwa meskipun feminisme radikal secara prinsip setuju bahwa seks, gender dan reproduksi adalah bentuk opresi yang pertama, yang paling menyebar dan paling dalam; tidak terdapat kesepakatan dalam kalangan ini mengenai sifat dan fungsi elemen-elemen tersebut maupun cara terbaik untuk menghapuskan opresi terhadap perempuan. Sebaliknya, dengan kemunculan berbagai pemikiran yang berbeda, komunitas feminis radikal terbagi menjadi dua kubu, feminisme radikal libertarian dan feminisnie radikal kultural (Tong, 1998). 2.1.6.3. Feminisme Postmodern Gerakan feminisme posmodern hadir sebagai sebuah “jalan baru” bagi upaya sebagian perempuan untuk melakukan kritik dan otokritik terhadap
78
patriarki, baik dari dalam maupun dari luar gerakan feminisme. Sebagai kelanjutan dari feminisme gelombang kedua, feminis posmodern hidup dalam lingkungan masyarakat yang telah memberikan hak-hak yang setara dan berbagai keuntungan bagi kaum perempuan. Maka dan itu, wacana publik era 1980an dan 1990an menyatakan secara tidak langsung bahwa karena perempuan telah mencapai kesetaraan dengan laki-laki, gerakan protes tidak perlu dilanjutkan lagi. Jika tidak, perempuan akan menjadi lesbian dan pembenci laki-laki. Kendati sudah memahami posisi feminisme posmodern terhadap gerakan feminisme secara keseluruhan, perdebatan yang mengemuka mengenai wacana ini membawa kesulitan tersendiri untuk menyusun sebuah definisi yang baku. Dalam upaya menanggapi berbagai pro dan kontra, istilah “posfeminisme” dapat dipahami sebagai sebuah reaksi terhadap beberapa generasi feminis yang berdebat di antara mereka sendiri tentang definisi feminisme, tentang nature vs nurture, dan pria jahat vs. patriarki jahat. Posfeminis tidak lagi peduli untuk mewarisi tuduhan, sebaliknya memproklamirkan keperempuanan dan bersukaria karenanya. Melalui tokoh-tokohnya, Helen Cixous dan Luce Irigay, feminis postmodern bertujuan untuk mendekonstruksi budaya perempuan (women’s culture) melalui ikon perempuan baru yang tangguh, berani dan percaya di (Brooks, 1997). 2.1.6.4. Feminisme Multikultural Kalangan
feminis
multikulturalis
menyambut
baik
pemikiran
multikulturalisme karena penekanannya adalah pada perbedaan. Karena sudah lama para feminis menjadi gelisah melihat teori feminisme yang gagal untuk membedakan perempuan berkulit putih, kelas menengah, heteroseksual, beragama Kristen yang berada dalam negara-negara industri Barat dengan perempuan yang
79
mempunyai latar belakang berbeda di negara-negara berkembang. Menurut seorang
feminis
tradisional
adalah
keinginan
mereka
untuk
melihat
adanyapersamaan pada setiap perempuan. Yang tidak dilihat oleh para feminis terdahuluadalah
bahwa
ketertindasan
dapat
juga
berlaku
dengan
memperlakukan“kesamaan”. Artinya, Spelman menolak untuk mengatakan bahwa setiap perempuan berkulit hitam sesungguhnya adalah perempuan berkulit putih, atau bahwa setiap perempuan adalah seperti dirinya. Bila setiap perempuan Latin dikatakan sama dengan perempuan yang keturunan Inggris, karena keperempuannya yang sama, maka menurut Spelman, tidak mengherankan jika banyak perempuan kulit hitam yang berontak. Mereka protes keras tentang asumsi adanya persamaan persoalan antara perempuan kulit hitam dan perempuan kulit putih. Perempuan kulit hitam menekankan adanya perbedaan antar kulit hitam dan kulit putih dan antara kulit dan kelompok minoritas lainnya. Kebanyakan pejuang hak perempuan berkulit hitam menolak adanya ketersediaan semata-mata karena ia perempuan. Kalangan feminis kulit hitam mencoba menjelaskan pentingnya keterkaitannya dengan peranan rasisme, seksisme dan klasisme dalam pemahaman ketertindasan perempuan kulit hitam. Tidak semua kaum feminis kulit putih menanggapi persoalan feminis kulit hitam dengan simpatik. Beberapa di antaranya tetapfanatik bahwa perlawanan terhadap seksisme harus menjadi prioritas dan ismeisme yang lain seperti rasisme dan lainnya, tidak menjadi penting. Pemahaman seperti ini sudah ditanamkan oleh Elizabeth Cady Stanton yang diikuti oleh banyak feminis kulit putih yang mencoba meyakinkan feminis kulit hitam bahwa perjuangan melawan seksisme adalah paham feminisme sesungguhnya.
80
Pemahaman seperti yang dipaparkan Stanton membuat kalangan feminis kulit hitam menjadi frusatasi. Mereka bersikeras bahwa penindasan terhadap perempuan harus dilihat secara keseluruhan dalam arti adanya “system keterkaitan” dengan elemen-elemen lain. Audre Lorde, seorang feminis sosialis kulit hitam, berumur 49 tahun, ibu dari dua anak termasuk ibu dari seorang anak laki-laki dan masuk dalam komunitas yang beras campur menegaskan bahwa, “untuk mengatasi ketertindasan perempuan bukan dengan cara ‘mengambil satu bagian’ dan menganggap bahwa bagian tersebut telah menjelaskan seluruh persoalan ketertindasan perempuan, tetapi harus dilihat sebagai ‘suatu keseluruhan’ yang memungkinkan kita untuk dapat bergerak secara bebas dalam menganalisa dan tidak tersempitkan oleh hanya satu pandangan apalagi dibatasi oleh definisi tertentu (Arivia, 2003). 2.1.6.5. Feminisme Global Feminisme global berbeda dari feminisme multikultural karena feminisme global berfokus kepada hasil opresif dari kekebijakan dan praktek kolonial dan nasionalis, bagaimana Pemerintah Besar dan Bisnis Besar membagi dunia ke dalam apa yang disebut sebagai Dunia Pertama (ranah Yang Berpunya) dan apa yang disebut sebagai Dunia Ketiga (ranah Yang Tidak Berpunya). Sependapat dengan fenimisme harus diperluas untuk mencakup segala sesuatu yang mengoperasi perempuan, baik yang berdasarkan ras atau kelas, atau hasil dari imperalime atau kolonialisme, feminis global menekankan bahwa “opresi terhadap perempuan di satu bagian di dunia seringkali disebabkan oleh apa yang terjadi di bagian dunia yang lain, dan bahwa tidak akan ada perempuan yang bebas hingga semua kondisi opresi terhadap perempuan dihancurkan di manapun
81
juga. Berkomitmen terhadap tugas untuk meluruskan kesalahpahaman dan membangun aliansi antara perempuan Dunia Ketiga dan Dunia Kesatu, feminis global bertekad untuk memperluas cakupan pemikiran feminis. Dengan keyakinan bahwa perempuan Dunia Kesatu hanya tertarik pada isu seksual, atau pada usaha untuk meyakinkan bahwa diskriminasi gender adalah bentuk opresi terburuk yang dapat dialami seorang perempuan, banyak perempuan Dunia Ketiga menekankan bahwa mereka lebih tertarik pada isu politik dan ekonomi dari pada isu seksual. Mereka juga menekankan bahwa dalam pengalaman mereka, opresi yang dialaminya sebagai perempuan, masih jauh lebih buruk daripada opresi yang dialaminya sebagai orang Dunia Ketiga. Karena itu, banyak perempuan Dunia Ketiga menolak label feminis. Sebagai penggantinya, mereka menggunakan istilah “womanist” yang didefinisikan oleh Alice Walker sebagai “feminis kulit hitam atau kulit berwarna” yang berkomitmen terhadap kelangsungan dan keutuhan seluruh umat manusia, laki-laki dan perempuan. Bagi feminis global, apa yang personal dan apa yang politis adalah satu. Apa yang terjadi dalam ranah pribadi seseorang di rumah, termasuk yang terjadi di kamar tidur, mempengaruhi cara perempuan dan laki-laki berelasi dalam tatanan sosial yang lebih luas. Kebebasan seksual dan reproduksi seharusnya tidak kurang atau lebih penting daripada keadilan politik dan ekonomi. Feminis sosialis Emily Woo Yamski menerangkan hal ini dengan sangat jelas ketika ia menyatakan: ”Saya tidak dapat menjadi perempuan Asia Amerika pada hari Senin, seorang perempuan pada hari Selasa, Seorang lesbian pada hari Rabu, seorang pekerja atau mahasiswa pasa hari Kamis, dan seorang radikal politik pada hari Jumat. Saya adalah kesemua itu setiap hari”.
82
Dengan penekanan yang berulang-ulang atas keterkaitan antara beragam jenis opresi yang dihadapi seorang perempuan setiap hari di dalam hidupnya, feminis global menekankan hubungan antara beragam jenis opresi yang dialami di seluruh penjuru dunia. Apa yang seorang perempuan lakukan di Amerika Serikat mempengaruhi hidup seluruh perempuan di seluruh dunia, dan secara kolektif, apa yang perempuan di seluruh dunia lakukan juga akan mempengaruhi perempuan di Amerika Serikat (Tong, 1998). 2.1.6.6. Ekofeminisme Seperti feminisme multikultural dan global, ekonfeminisme berusaha untuk menunjukkan hubungan antara semu opresi manusia, tetapi juga memfokuskan pada usaha manusia untuk mendominasi dunia bukan manusia atau alam. Karena perempuan secara kultural dikaitkan dengan alam, ekofeminis berpendapat ada hubungan konseptual, simbolik, dan linguistik antar feminis dan isu ekologi. Menurut Karen J. Warren, keyakinan, nilai, sikap, asumsi dasar dunia barat atas dirinya sendiri dan orang-orangnya dibentuk oleh bingkai piker konseptual patriarkal yang opresif, yang bertujuan untuk menjelaskan, membenarkan dan menjaga hubungan antara dominasi dan subordinasi secara umum serta dominasi laki-laki terhadap perempuan pada khususnya. Ekofeminisme adalah varian yang relatif baru dari etika ekologis. Sebenarnya, istilah ekofeminisme muncul pertama kali pada tahun 1974 Francoise d’Eaubonne yang berjudul Le Feminisme ou la mort. Dalam karya ini ia mengungkapkan pandangan bahwa ada hubungan langsung antar opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam. Ia mengklaim bahwa pembebasan salah satu dari keduanya tidak dapat terjadi secara terpisah dari lain. Dalam
83
banyak hal ekofeminisme mirip dengan ekologi-dalam, meskipun demikian, ekofeminisme secara umum menyalahkan ekologis-dalam, karena mereka tidak melihat satu poin yang sangat penting. Menurut ekofeminisme, ekologi-dalam secara keliru telah melawankan atropomorfisme secara umum, ketika yang menjadi masalah yang sesungguhnya bukanlah semata-mata keterpusatan pada manusia di dunia barat, melainkan keterpusatan pada laki-laki (Tong, 1998).
2.1.7.
Perempuan Pengertian perempuan menurut Fakih (2004), perempuan adalah manusia
yang memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Sedangkan menurut konsep gender, perempuan adalah manusia yang memiliki sifat lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Pengertian perempuan menurut Gandhi (1933). Pengertian Perempuan adalah mitra kaum laki-laki yang diciptakan dengan kemampuan-kemampuan mental yang setara. Kaum perempuan memiliki hak penuh untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas kaum laki-laki, dalam detail yang sekecil-kecilnya. Kaum perempuan juga memiliki hak atas kemerdekaan dan kebebasan yang seperti yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan berhak untuk memperoleh tempat tertinggi dalam ruang aktivitas yang dia lakukan, sebagaimana kaum laki-laki dalam ruang aktivitasnya. Istilah ini yang disebut dengan kesetaraan gender. Gender sendiri memiliki istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan (Sunarto, 2004: 127).
84
2.2. Nisbah Antar Konsep Film merupakan salah satu komunikasi massa yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan pesan, tanda, atau simbol-simbol secara serempak, dan banyak menjangkau banyak segmen sosial dan menimbulkan efek yang berbedabeda, sesuai dengan sudut pandang individu yang menerimanya. Sehingga menghasilkan efek yang kognitif, afektif, dan behavior dari media massa. Hasil dari efek ini tergantung dari kondisi kultural dan sosial seseorang. Pada umumnya film memiliki banyak pesan, tanda , atau simbol-simbol yang disampaikan, yang menyebabkan hubungan antara film dan pemirsa mempunyai hubungan yang linier, dengan arti film mempengaruhi dan membentuk penonton sesuai dengan pesan, tanda, atau simbol-simbol yang disampaikan, dan menimbulkan argumen bahwa film dapat merekam sebuah hal nyata yang dalam suatu pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam dunia film banyak mengandung pesan, tanda, atau simbol-simbol, maka teori semiotika dipergunakan dalam analisis ini. Karena semiotika merupakan studi mengenai pertandaan dan makna dari sistem tanda; ilmu tentang tanda, bagaimana makna dibangun dalam ”teks” media; atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkonsumsi makna. (Fiske, 2004:282). Dan direpresentasikan, karena representasi merupakan sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra, atau kombinasinya. Pesan, tanda atau simbol-simbol yang terdapat pada film juga dapat mempengaruhi perempuan-perempuan Indonesia mengenai feminisme. Dalam
85
penelitian ini diharapkan dapat melihat makna yang ingin disampaikan dalam film ”Sex And The City 2”. 2.3. Kerangka Pemikiran Film Sex And The City 2 Representasi Feminisme Semiotika Semiotika Televisi Kode-kode televisi John Fiske
Level Realitas
Level Representasi
Level Ideologi
Representasi Feminisme dalam Film Sex And The Ciry 2
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran
86