BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP MAKNA, POLISEMI DAN TEORI TENTANG MAKNA VERBA DERU 2.1
Semantik Dalam Linguistik Dalam mempelajari sebuah bahasa, kita mengetahui linguistik sebagai
bidang ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Semantik merupakan salah satu kajian dalam bidang studi linguistik yang membahas tentang makna. Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris : semantics) berasal dari bahasa yunani sema (kata benda) yang berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah semiano yang berarti menandai atau melambangkan. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang disini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Perancis: signe linguistique). (Chaer, 2002:2). Michael Breal dalam Ullman (2007:6) menyatakan: “Suatu studi yang mengundang pembaca untuk mengikuti kami adalah barang baru yang belum pernah diberi nama. Memang, ilmu itu mengenai batang tubuh dan bentuk kata-kata sebagaimana yang banyak dikerjakan oleh para linguis; hukum yang menguasai perubahan makna, pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan baru, lahir dan matinya bentuk ungkapan (idiom), telah ditinggalkan dalam gelap atau hanya secara kasual saja ditunjukkan, karena studi yang tidak kurang pentingnya dari fonetik dan morfologi ini perlu mempunyai nama, maka kami akan menyebutnya semantik, yaitu ilmu tentang makna”
Universitas Sumatera Utara
Ferdinand de Saussure dalam Chaer (2002:2) mengatakan bahwa tanda linguitik terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentukbentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambangi adalah sesuatu yang berada diluar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk. Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda lingistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu satu dari tiga tataran analisis bahasa : fonologi, gramatika, dan semantik ( Chaer, 2002:2). 2.2
Tinjauan Terhadap Makna
2.2.1
Pengertian Makna Setiap jenis penelitian yang berkaitan dengan kebahasaan atau linguitik
seperti struktur kalimat, kosakata, ataupun bunyi-bunyian bahasa, pada hakikatnya tidak terlepas dari konsep tentang makna. Dalam komunikasi, kata yang diucapkan harus mengandung makna agar maksud yang ingin disampaikan tercapai. Ullman (2007:65) mengatakan makna merupakan istilah yang paling ambigu dan paling kontroversial dalam teori tentang bahasa. Dalam buku The meaning of Meaning, Odgen dan Richards mengumpulkan tidak kurang dari 16
Universitas Sumatera Utara
defenisi yang berbeda-bahkan menjadi 23 batasan makna jika tiap bagian dipisahkan. Dalam kehidupan sehari-hari, untuk memahami makna kata tertentu dapat melihat artinya didalam kamus sebab didalam kamus terdapat makna yang disebut dengan makna leksikal atau makna sebenarnya. Namun, bagi orang awam sulit menerapkan makna yang terdapat dalam kamus karena terkadang makna sebuah kata sering bergeser dari makna aslinya jika berada dalam satuan kalimat. Dengan kata lain sebuah kata terkadang memiliki makna yang luas atau lebih dari satu seperti ketika berhadapan dengan idiom, gaya bahasa, ungkapan, peribahasa dan lainnya. Karena begitu banyaknya pendapat mengenai arti kata makna, perlu dibuat batasan tentang pengertian makna tersebut. Kata makna di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1993:619), diartikan (1) ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam tulisan kuno itu, (2) maksud pembicara atau penulis, (3) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Jika seseorang menafsirkan makna sebuah lambang, berarti ia memikirkan sebagaimana mestinya tentang lambang tersebut; yakni suatu keinginan untuk menghasilkan jawaban tertentu dengan kondisi-kondisi tertentu pula. Dengan mengetahui makna kata, baik pembicara, pendengar, penulis, maupun pembaca yang menggunakan, mendengar atau membaca lambang-lambang berdasarkan sistem bahasa tertentu, percaya tentang apa yang dibicarakan, didengar, atau dibaca. (Stevenson dalam Chaer, 2003:52)
Universitas Sumatera Utara
Sutedi (2008:123) berpendapat bahwa dalam bahasa Jepang ada dua istilah tentang makna, yaitu kata imi (意味) dan igi(意義). Kata imi digunakan untuk menyatakan makna hatsuwa (tuturan) yang merupakan wujud satuan dari parole, sedangkan igi digunakan untuk menyatakan makna dari bun (kalimat) sebagai wujud satuan dari langue. Dalam tata bahasa Jepang, makna sebagai objek kajian semantik antara lain makna kata (go no imi), relasi makna (go no imi kankei), antar satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam suatu idiom (ka no imi) dan makna kalimat (bun no imi). 2.2.2
Jenis-Jenis Makna Menurut Chaer (2002:289) karena bahasa itu digunakan untuk berbagai
kegiatan dan keperluan dalam kehidupan bermasyarakat maka makna bahasa itupun menjadi bermacam-macam bila dilihat dari segi dan pandangan yang berbeda. Awalnya makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, dan makna konseptual. Namun dalam penggunaannya makna kata akan menjadi bermacam-macam dan baru jelas kalau sudah berada dalam kalimatnya atau konteks situasinya. Chaer (2002:289) mengungkapkan, pembagian tipe makna berdasarkan beberapa kriteria, antara lain: a. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem, dapat dibedakan menjadi makna referensial dan makna non referensial. b. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata atau leksem, dapat dibedakan menjadi makna denotatif dan makna konotatif.
Universitas Sumatera Utara
c. Berdasarkan ketepatan maknanya, makna dapat dibedakan menjadi makna kata dan makna istilah. d. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dibedakan menjadi makna asosiatif, idiomatik, kolokatif dan sebagainya. 2.2.2.1 Makna Leksikal, Gramatikal dan Kontekstual Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun. Misalnya leksem air bermakna leksikal ‘sejenis barang cair yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari’. Dengan contoh tersebut dapat dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan hasil observasi indera kita, atau makna apa adanya. Makna gramatikal muncul ketika terjadi proses gramatikal, sepeti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Contohnya, dalam proses afiksasi, prefiks ber- dengan kata dasar kuda melahirkan makna gramatikal ‘mengendarai kuda’. Sedangkan makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam suatu konteks. Misalnya makna jatuh pada kalimat, ‘adik jatuh dari sepeda’ dengan ‘dia jatuh cinta kepada adikku’, terdapat perbedaan konteks jatuh dalam kedua kalimat tersebut. Menurut Parera (2004:47), teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme. Makna sebuah kata terikat pada lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu itu Makna konteks juga dapat berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan pengguna bahasa tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2.2 Makna Referensial dan Non-referensial Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial apabila terdapat acuannya. Kata-kata seperti meja, bangku, hitam dan gambar adalah kata-kata bermakna referensial karena terdapat acuannya dalam dunia nyata. Kata bermakna non-referensial apabila tidak bermakna referensial atau tidak mempunyai acuan. Kata-kata seperti dan, atau, karena termasuk kedalam kelompok tersebut. 2.2.2.3 Makna Denotatif dan Makna Konotatif Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Sebenarnya, makna denotatif sama dengan makna leksikal. Sedangkan makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan” pada makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok yang menggunakan kata tersebut. Misalnya, kata gerombolan bersinonim dengan kelompok. Tetapi kata gerombolan memiliki konotasi yang lebih negatif atau rasa yang tidak mengenakkan. 2.2.2.4 Makna Kata Konseptual dan Makna asosiatif Yang dimaksud dengan konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Makna konseptual sama dengan makna leksikal, makna denotatif dan makna referensial.
Universitas Sumatera Utara
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata tersebut dengan sesuatu yang berada diluar bahasa. Misalnya, kata merah berasosiasi dengan ‘berani’ atau juga ‘paham komunis’. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan atau ciri yang ada pada konsep asal kata tersebut. Jadi, kata merah yang bermakna konseptual ‘sejenis warna terang menyolok’ digunakan untuk perlambang ‘keberanian’ atau di dunia politik untuk melambangkan ‘paham atau golongan komunis’. 2.2.2.5 Makna Kata dan Makna Istilah Setiap leksem memiliki makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Namun dalam penggunaannya, makna kata itu baru menjadi jelas apabila kata itu sudah berada didalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas. Berbeda dengan makna kata, makna istilah mempunyai makna yang pasti, jelas dan tidak meragukan meski tanpa konteks kalimat sekalipun. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa makna istilah itu bebas konteks, sedangkan makna kata tidak bebas konteks. Sebuah istilah hanya dipergunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. 2.2.2.6 Makna Idiom dan peribahasa
Universitas Sumatera Utara
Idiom adalah suatu makna yang ujarannya tidak dapat “diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Misalnya, secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ‘yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya’. Tetapi dalam bahasa Indonesia bentuk menjual gigi tidaklah berarti seperti itu, melainkan bermakna ‘tertawa keraskeras’. Jadi makna seperti itulah yang disebut makna idiomatikal. Idiom biasanya dibedakan menjadi dua macam, yaitu idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan. Sehingga makna yang dimiliki berasal dari satu kesatuan tersebut. Contohnya, adalah membanting tulang. Sedangkan yang dimaksud dengan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri, misalnya daftar hitam. Peribahasa memiliki makna yang masih bisa di telusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Misalnya, tong kosong nyaring bunyinya yang bermakna ‘orang yang banyak bicara biasanya tidak berilmu’. Makna ini dapat ditarik dari asosiasi; tong yang berisi jika dipukul tidak mengeluarkan bunyi, tetapi tong yang kosong akan mengeluarkan bunyi yang keras dan nyaring. 2.2.3
Relasi Makna Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan
bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya (Chaer, 2007:297). Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya
Universitas Sumatera Utara
dengan kata atau satuan bahasa lainnya. Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi), dan sebagainya. 2.2.3.1 Sinonim Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. (Chaer, 2007:297) Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ’nama’ dan syn yang berarti ’dengan’. Maka arti harfiah dari sinonim berarti ’nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Pada definisi di atas ada dikatakan ”maknanya kurang lebih sama” Ini berarti, dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja, kesamaannya tidak bersifat mutlak (Ullman dalam Chaer, 2003:297). Ada prinsip umum semantik yang mengatakan apabila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Demikian juga kata-kata yang bersinonim; karena bentuknya berbeda maka maknanya pun tidak persis sama. 2.2.3.2 Antonim Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan atau kontras antara satu dengan yang lainnya (Chaer, 2007:299). Kata antonim berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ’nama’, dan anti yang artinya ’melawan’. Maka secara harfiah antonim berarti
Universitas Sumatera Utara
’nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik didefinisikan sebagai: ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah. Jadi, kalau kata bagus berantonim dengan kata buruk, maka kata buruk juga berantonim dengan kata bagus. Sama halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Verhaar menyatakan ”...yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain”. Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan. 2.2.3.3. Homonim, Homofon dan Homografi Homonim adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya kebetulan sama, maknanya berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan (Chaer, 2007:302). Kata homonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ’nama’ dan homo yang artinya sama. Secara harfiah homonim dapat diartikan sebagai ‘nama sama untuk benda atau hal lain’. Secara semantik, homonim didefinisikan sebagai ungkapan (berupa kata, frase, atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Misalnya antara kata bisa yang berarti ’racun ular’ dan kata bisa yang berarti ’sanggup, dapat’. Ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonim ini. Pertama, bentukbentuk yang berhomonim itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya kata asal yang berarti ’pangkal, permulaan’ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal yang berarti ’kalau’ berasal dari dialek Jakarta. Kedua, bentuk-bentuk yang berhomonim itu terjadi sebagai hasil proses morfologi.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya kata mengukur dalam kalimat Ibu sedang mengukur kelapa di dapur adalah berhomonim dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai
hasil
proses
pengimbuhan
awalan
me-
pada
kata
kukur
(me+kukur=mengukur); sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me+ukur=mengukur). Sama halnya dengan sinonim dan antonim, homonim ini pun dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat. Disamping homonim ada pula istilah homofon dan homograf. Ketiga istilah ini biasanya dibicarakan bersama karena adanya kesamaan objek pembicaraan. Kalau istilah homonim yang dijelaskan diatas dilihat dari segi bentuk satuan bahasanya itu, maka homofon dilihat dari segi bunyi (homo=sama, fon=bunyi), sedangkan homograf dilihat dari segi penulisan dan ejaannya (homo=sama, grafi=tulisan). 2.2.3.4 Hiponimi Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain (Chaer, 2007:305). Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma bararti ’nama’ dan hypo berarti ’di bawah’. Jadi, secara harfiah berarti ’nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara semantik Verhaar (1981:137) menyatakan hiponim adalah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga berupa frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan sebab makna tongkol berada atau termasuk dalam makna kata ikan. Tongkol memang ikan tetapi ikan bukan hanya tongkol melainkan juga termasuk bandeng, tenggiri, teri, mujair, cakalang, dan sebagainya. Kalau relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah, maka relasi antara dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah. Jadi kata tongkol berhiponim terhadap kata ikan; tetapi kata ikan tidak berhiponim terhadap kata tongkol, sebab makna ikan meliputi seluruh jenis ikan. Dalam hal ini relasi antara ikan dengan tongkol (atau jenis ikan lainnya) disebut hipernim. Jadi, kalau tongkol berhiponim terhadap ikan, maka ikan berhipernim terhadap tongkol. 2.2.3.5 Polisemi Polisemi diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu (Chaer, 2007:301). Misalnya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan; (2) bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal penting seperti pada kepala meja dan kepala kereta api; (3) bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah dan kepala kantor; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat, setiap kepala menerima bantuan Rp 50.000; dan (6) akal budi seperti dalam kalimat, badannya besar tetapi kepalanya kosong. Misalnya makna leksikal kata kepala di atas adalah ’bagian tubuh manusia atau hewan dari leher ke atas’. Makna leksikal ini yang sesuai dengan referennya
Universitas Sumatera Utara
(lazim disebut orang makna asal, atau makna sebenarnya) mempunyai banyak unsur atau komponen makna. Kata kepala di atas, antara lain memiliki komponen makna: (1)Terletak di sebelah atas atau depan, (2)Merupakan bagian yang penting (tanpa kepala manusia tidak bisa hidup, tetapi tanpa kaki atau lengan masih bisa hidup), (3) Berbentuk bulat. 2.2.3.6 Ambiguitas Ambiguitas atau ketaksaan diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti (Chaer, 2007:308). Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar dari kata, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang yang berbeda. Misalnya, frase buku sejarah baru dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, atau (2) buku itu berisi sejarah zaman baru. Ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat saja, tidak dapat terjadi pada semua satuan gramatikal. 2.2.3.7 Redundansi Redundansi
diartikan
sebagai
’berlebih-lebihan
pemakaian
unsur
segmental dalam suatu bentuk ujaran’ (Chaer, 2007:310). Misalnya kalimat Bola ditendang Si Udin, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola ditendang oleh Si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang berlebih-lebihan, dan yang sebenarnya tidak perlu. Secara semantik masalah redundansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Jadi, kalimat Bola ditendang Si Udin berbeda maknanya dengan kalimat Bola
Universitas Sumatera Utara
ditendang Oleh Si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua akan lebih menonjolkan makna pelaku (agentif) daripada kalimat pertama yang tanpa kata oleh. Sesungguhnya pernyataan yang mengatakan pemakaian kata oleh pada kalimat kedua adalah sesuatu yang redundans, karena makna kalimat itu tidak berbeda dengan kalimat yang pertama, adalah pernyataan yang mengelirukan atau mengacaukan pengertian makna dan informasi. Makna adalah suatu fenomena dalam ujaran (utterance-internal) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterence-external). Jadi yang sama antara kalimat pertama dan kalimat kedua di atas bukan maknanya melainkan informasinya. 2.2.4
Perubahan Makna Dalam Bahasa Jepang Bahasa sebagai alat komunikasi manusia selalu dan akan terus
berkembang mengikuti zaman sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan penuturnya. Tentunya, pemakaian bahasa diwujudkan dalam bentuk kata. Kata juga akan mengalami perubahan terus, seiring dengan perubahan kata tersebut makna pun akan turut berubah. Seperti bahasa pada umumnya, dalam bahasa Jepang juga mengalami perubahan makna. Dibawah ini merupakan jenis perubahan yang terjadi dalam bahasa Jepang seperti yang dikatakan oleh Sutedi (2008:116) : 1. Dari yang Konkrit ke abstrak Misalnya kata atama
, ude , dan michi <jalan> yang merupakan benda konkrit berubah menjadi abstrak ketika digunakan seperti berikut ini: 頭がいい
atama ga ii
Universitas Sumatera Utara
腕が上がる
ude ga agaru
日本語教師への道
nihongo kyoushi e no michi
2. Dari ruang ke waktu Misalnya kata mae <depan> dan nagai <panjang> yang menyatakan arti , berubah menjadi <waktu> seperti contoh berikut: 三年前
sannen mae
長い時間
nagai jikan
3. Perubahan bentuk indera Misalnya kata ookii semula diamati dengan indera pendengaran (telinga), seperti pada ookii koe <suara keras>, kata amai <manis> dari indera perasa menjadi karakter seperti dalam amai ko . 4. Dari yang khusus ke umum/ generalisasi Misalnya kata kimono yang semula berarti <pakaian tradisional Jepang> digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umum, fuku dan sebagainya. 5. Dari yang umum ke khusus Misalnya kata hana dan tamago digunakan untuk menunjukkan hasil yang lebih khusus seperti dalam penggunaan berikut: 花見
hanami
<sakura>
卵を食べる
tamago o taberu
6. Perubahan nilai negatif
Universitas Sumatera Utara
Misalnya kata kisama dulu sering digunakan untuk menunjukkan kata anata , tetapi sekarang digunakan hanya kepada orang yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran nilai dari yang baik menjadi kurang baik. 7. Perubahan nilai positif Misalnya kata boku <saya> digunakan untuk budak atau pelayan, tetapi sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai dari yang kurang baik menjadi baik. 2.3
Pengertian Polisemi Pengertian polisemi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu kata
yang memiliki makna lebih dari satu (KBBI 2008:1200) Parera (2004:81) mendefinisikan bahwa polisemi ialah suatu ujaran dalam bentuk kata yang mempunyai makna berbeda-beda tetapi masih ada hubungan dan kaitan antar makna-makna yang berlainan tersebut. Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu (Chaer,2007:301) Misalnya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan; (2) bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal penting seperti pada kepala meja dan kepala kereta api; (3) bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah dan kepala kantor; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat, setiap kepala menerima bantuan Rp 50.000; dan (6) akal budi seperti dalam kalimat, badannya besar tetapi kepalanya kosong.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia kata kepala setidaknya mengacu kepada enam buah konsep/makna. Padahal menurut pembicaraan terdahulu setiap kata hanya memiliki satu makna, yakni yang disebut makna leksikal atau makna yang sesuai dengan referennya. Kunihiro dalam Sutedi (2003:135) mengungkapkan Polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu, dan setiap makna tersebut ada pertautannya, sedangkan yang dimaksudkan dengan homonim (dou-on-igigo), yaitu beberapa kata yang bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda dan diantara makna tersebut sama sekali tidak ada pertautannya. Satu persoalan lagi yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana perbedaannya
dengan
bentuk-bentuk
yang
disebut
dengan
homonim.
Perbedaannya yang jelas adalah bahwa homonim bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena homonim bukan sebuah kata, maka maknanya pun berbeda. Oleh karena itu, didalam kamus, bentuk-bentuk yang berhomonim, didaftarkan dalam entri yang berbeda-beda. Sebaliknya, bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata memiliki makna lebih dari satu. Lalu, karena polisemi ini hanyalah satu kata, didalam kamus didaftarkan dalam satu entri. 2.4
Verba Deru
2.4.1
Pengertian Verba Dalam penelitian ini, yang diangkat menjadi objek penelitian adalah
tentang makna sebuah verba. Oleh karena itu diperlukan sebuah landasan teori
Universitas Sumatera Utara
mengenai verba itu sendiri. Dibawah ini akan dikemukakan definisi verba beserta klasifikasinya yang diambil dari beberapa sumber. Terdapat banyak pengertian verba tentang ahli bahasa, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:1260), disebutkan bahwa verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan yang disebut juga kata kerja. 2. Dalam buku Linguistik Suatu Pengantar karya Chaedar (1993:48) verba menurut Nesfield adalah kata yang dipakai untuk menyatakan sesuatu tentang seseorang atau sesuatu. Dalam bahasa Jepang verba disebut dengan doushi. Makna doushi bila dilihat dari kanjinya yaitu : 動
: ugoku, dou : bergerak
詞
: kotoba, shi : kata
動詞
: doushi : kata yang bermakna bergerak Doushi adalah kata kerja yang berfungsi sebagai predikat dalam suatu
kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri (Sutedi, 2003:42). Nomura dalam Dahidi dan Sudjianto (2004:149) menyebutkan pengertian verba atau doushi adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, kelas kata ini
Universitas Sumatera Utara
dipakai untuk menyatakan aktifitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Doushi dapat mengalami perubahan, dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat. Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa verba (doushi) adalah salah satu kelas kata dan termasuk salah satu yougen yang menyatakan aktifitas, keberadaan atau keadaan, mengalami perubahan (katsuyou), dapat berdiri sendiri dan bisa menjadi predikat dalam suatu kalimat dan biasanya selalu diakhiri dengan suara /u/. Demikian pula halnya dengan verba deru. Verba ini menyatakan suatu kegiatan atau aktifitas dari manusia. Seperti halnya verba lain, verba deru pun berakhiran dengan suara /u/. 2.4.2
Jenis-Jenis Verba Menurut Sutedi (2003:47), verba dalam bahasa Jepang digolongkan ke
dalam tiga kelompok berdasarkan bentuk konjugasinya. 1. Kelompok I Kelompok ini disebut dengan 五段動詞 (godan-doushi), karena kelompok ini mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang, yaitu ( あ, い, う, え, お, ‘a-i-u-e-o’). Ciri-cirinya yaitu verba yang berakhiran ( う, つ, る, ぶ, ぬ, む, く, ぐ, す, ‘u-tsu-ru-bu-nu-mu-ku-gu-su’). Contoh : a. 会う
a-u
(bertemu)
b. 待つ
ma-tsu
(menunggu)
Universitas Sumatera Utara
c. 帰る
kae-ru
(pulang)
d. 飛ぶ
to-bu
(terbang)
e. 死ぬ
shi-nu
(mati)
f. 飲む
no-mu
(minum)
g. 書く
ka-ku
(menulis)
h. 急ぐ
iso-gu
(bergegas)
i. 話す
hana-su
(berbicara)
2. Kelompok II Kelompok ini disebut dengan 一 段 動 詞
(ichidan-doushi), karena
perubahannya hanya pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini adalah verba yang berakhiran (え-る ‘e-ru’) yang disebut kami ichidandoushi, dan verba yang berakhiran ( い -る ‘i-ru’) yang disebut shimo ichidan-doushi. Contoh : a. 出る 食べる b. 見る 起きる
d-eru
(keluar)
tab-eru
(makan)
m-iru
(melihat)
ok-iru
(bangun)
Universitas Sumatera Utara
3. Kelompok III Verba kelompok ini merupakan verba yang perubahannya tidak beraturan, sehingga disebut 変格 動詞 (henkaku-doushi) dan hanya terdiri dari dua verba berikut. a. カ変動詞 (kahendoushi) Contoh : 来る
kuru
(datang)
b. サ変動詞 (sahendoushi) Contoh : する
suru
(melakukan)
Verba kelompok ini juga merupakan verba yang terbentuk dari kata benda + verba suru, 「名詞 ‘meishi’」+「する ‘suru’」, namun meishi yang dapat ditambahkan dengan verba suru disini hanyalah terbatas pada katakata yang bermakna gerak atau terdapat gerakan di dalamnya. Contoh : a. 勉強する
benkyou suru
(belajar)
b. 食事する
shokuji suru
(makan)
c. 買い物する kaimono suru
(belanja)
Selanjutnya, dalam bahasa Jepang terdapat 10 jenis kata dan salah satunya adalah verba atau doushi. Banyak istilah yang menunjukkan jenis-jenis doushi tergantung pada dasar pemikiran yang dipakainya. Di antaranya ada yang
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan jenis doushi seperti yang diterangkan oleh Shimizu dalam Sudjianto (2007:150), yaitu: 1. Tadoushi Tadoushi atau verba transitif adalah verba yang memerlukan objek dalam kalimatnya. Dengan kata lain verba ini memerlukan partikel “o( を )”. Contoh: 太郎が窓を開けた。 Tarou ga mado o aketa 2. Jidoushi Jidoushi adalah verba intransitif yang tidak memerlukan objek dalam kalimatnya. Dengan kata lain verba ini memerlukan partikel “wa”, “ga”, “ni”. Contoh: 窓が開いた。 Mado ga aita <Jendela terbuka> 3. Shodoushi Shodoushi merupakan kelompok doushi yang memasukkan pertimbangan pertimbangan pembicara, dan tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif dan kausatif. Selain itu, tidak memiliki bentuk perintah dan ungkapan kemauan (ishi hyougen).
Universitas Sumatera Utara
Contoh: 見える
mieru
‘terlihat’
聞こえる
kikoeru
‘terdengar’
似合う
niau
‘sesuai’
行ける
ikeru
‘dapat pergi’
Dari pengertian yang telah dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa verba deru (出る) termasuk ke dalam kelompok verba intransitif (jidoushi). Sedangkan verba transitif dari verba deru adalah verba dasu ( 出 す ) yang berarti mengeluarkan. Hal ini disebabkan karena verba deru bisa berdiri sendiri dan tidak memerlukan pelengkap ataupun objek dalam kalimatnya. Selain itu verba deru juga dapat berfungsi sebagai fukugou doushi (kata kerja majemuk) maupun hojo doushi (kata kerja pelengkap). 2.5
Teori Tentang Makna Verba Deru Pada dasarnya ada banyak buku yang menjabarkan polisemi verba deru.
Namun penulis hanya akan menuliskan teori makna verba deru yang diambil dari Nihongo kihon doushi youhou jiten tahun 1989 oleh Koizumi dkk dan buku Nihongo O Manabu Hito No Jiten Tahun 2000 oleh Sakata Yukiko. Dibawah ini akan dijabarkan beberapa penelitian dan teori mengenai pemakaian verba deru dalam bahasa Jepang. Hal ini diupayakan untuk memberikan kejelasan dan arahan bagi penelitian. Diantaranya sebagai berikut: 2.5.1
Koizumi dkk.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kamus yang berjudul Nihongo No Kihon Doushi Youhou Jiten tahun 1989 (hal.345-347), Koizumi dkk menjabarkan makna verba deru sebagai berikut: 1. 中から外に移動する。(Koizumi, 1989:345) Naka kara soto ni idousuru (1)
私は部屋から廊下にでた Watashi wa heya kara rouka ni deta <Saya keluar dari kamar ke koridor>
(2)
お風呂からでた Ofuro kara deta
(3)
こたつからでる Kotatsu kara deru
(4)
私は午前 8 に裏口から家を出た Watashi wa gozen 8 ni uraguchi kara ie o deta <Saya keluar dari rumah pada jam 8 pagi lewat pintu belakang>
(5)
部屋を出る Heya o deru
(6)
舟が港を出る Fune ga minato o deru
2.(ある目的を持って)ある場所を離れる。(Koizumi, 1989:345)
Universitas Sumatera Utara
( Aru mokuteki o motte ) aru basho o hanareru <(Memiliki maksud tertentu) meninggalkan suatu tempat> (7)
大学を出る=卒業する Daigaku o deru = sotsugyousuru
(8)
下宿を出る=引越しする Geshuku o deru = Hikkoshi suru
3. ある場所に行き着く(Koizumi, 1989:345) Aru basho ni ikitsuku (9)
私たちは海岸に出た。 Watashi tachi wa kaigan ni deta
(10)
タクシーは裏通りから表通りへ出た Takushi wa uradoori kara omotedoori e deta
(11)
この道は駅前に出る Kono toori wa ekimae ni deru <Jalan ini sampai ke depan stasiun>
(12)
この川は日本海に出る Kono kawa wa nihonkai ni deru <Sungai ini sampai kelaut Jepang>
4. 止まっていた乗り物が発進する。(Koizumi, 1989:345) Tomatte ita norimono ga hasshin suru
Universitas Sumatera Utara
(13)
次の列車は 20 分後に 5 番線から出ます Tsugi no ressha wa 20 bun ato ni 5 bansen kara demasu
(14)
舟が出る Fune ga deru
5. 内部にあったもの。隠れていたものが外部に現れる。(Koizumi, 1989:345) Naibu ni atta mono. Kakureteita mono ga gaibu ni arawareru <Sesuatu yang ada dibagian dalam. Barang yang tersembunyi muncul keluar> (15)
月は東の方にでる Tsuki wa higashi no hou ni deru <Bulan muncul dari arah timur>
(16)
なくしたと思った財布が出てきた Nakushita to omotta saifu ga dete kita
(17)
木の枝が出た Ki no eda ga deta
(18)
布団から足が出る Futon kara ashi ga deru
(19)
優子は額から汗が出ていた Yuuko wa hitai kara ase ga deteita
Universitas Sumatera Utara
(20)
あの先生は感情[喜び・悲しみ・不満]がすぐ顔に出る。 Ano sensei wa kanjyou [ yorokobi/kanashimi/fuman ] ga sugu kao ni deru
(21)
非難の言葉が口に出る Hinan no kotoba ga kuchi ni deru
6.会合・活動などに参加する。(Koizumi, 1989:345) Kaigou / katsudou nado ni sanka suru (22)
係員が窓口に出た Kakari’in ga mado guchi ni deta
(23)
[試合・会議・選挙・社会]に出る Shiai / kaigi / senkyo / kaisha ni deru
7. 人の目に触れたり、公にされる。(Koizumi, 1989:345) Hito no me ni furetari, kou ni sareru (24) この事件は新聞に大きく出た Kono jiken wa shinbun ni ookiku deta (25)
新しく雑誌が出る Atarashiku zasshi ga deru <Majalah baru akan terbit>
Universitas Sumatera Utara
8. ある物事が新たに, あるいは結果として生じる。(Koizumi, 1989:345) Aru monogoto ga atarata ni, arui wa kekka to shite shoujiru <Memperbaharui suatu perkara, atau menemukan akhir> (26)
200 キロのスピードが出る 200 kiro no supiido ga deru <Menghasilkan kecepatan 200 kilometer>
(27)
この地方には石油[温泉]が出る Kono chihou ni seiyuu ga deru
(28)
会議の結論が出る Kaigi no ketsuron ga deru <Menghasilkan kesimpulan rapat>
(29)
事故でけが人が出る Jiko de kega hito ga deru
9. 食事・金銭・命令などが与えられる。(Koizumi, 1989:346) Shokuji / kinsen / meirei nado ga ataerareru (30)
全員にコーヒーが出た Zen’in ni kohi ga deta <Menyuguhkan kopi pada semua anggota>
(31)
数学の宿題がでる Suugaku no shukudai ga deru <Mendapatkan PR matematika>
(32)
バーナスが全社員に出た Bonasu ga zen’shain ni deta
Universitas Sumatera Utara
<Memberikan bonus untuk seluruh karyawan> 10. 店などが営業を始める。(Koizumi, 1989:346) Mise nado ga eigyou o hajimeru <Memulai toko atau usaha> (33)
新聞の広告に載っていた店が駅前に出た Shinbun no koukoku ni otteita mise ga ekimae ni deta
(34)
今度表通りに喫茶店が出た Kondo omotedoori ni kissaten ga deta
(35)
神社の境内に屋台の店がたくさん出ている Jinja no keidai ni yatai no mise ga takusan deteiru
11. ある種の態度を取る。(Koizumi, 1989:346) Aru shu no taido o toru <Mengambil suatu sikap> (36)
日本は相手国に強い態度に出た Nihon wa aite koku ni tsuyoi taido ni deta <Jepang mengambil sikap yang tegas kepada negara lawannya>
(37)
相手がどう出るか見守ろう Aite ga dou deru mimarou
12. 商品が売れる。(Koizumi, 1989:346) Shouhin ga ureru
Universitas Sumatera Utara
(38)
この本はよく出ます Kono hon wa yoku demasu <Buku ini terjual dengan baik>
(39)
夏場にはこの製品が飛ぶように出る Natsuba ni wa kono seihin ga tobu youni deru <Pada musim panas, produk ini terjual seperti terbang>
13. 事柄の由来がある起源から生じている。(Koizumi, 1989:346) Kotogara no yuurai ga aru kigen kara shoujiteiru <Suatu perkara ada karena ada asal usulnya> (40)
この言葉はオランダ語からでた Kono kotoba wa oranda go kara deta
(41)
この行事は昔の遊郭の習わしから出たものだ Kono gyouji wa mukashi no yuukaku no narawashi kara deta monoda
2.5.2
Sakata Yukiko (2000) Pengertian verba deru dalam buku berjudul Nihongo O Manabu Hito No
Jiten Tahun 2000 (638-639) memiliki banyak makna dan dijabarkan sebagai berikut: 1. 中から外を移る。( Sakata Yukiko, 2000:638) Naka kara soto o utsuru < Berpindah dari dalam keluar > (42)
五時に会社を出る Go ji ni kaisha o deru
Universitas Sumatera Utara
(43)
庭に出る Niwa ni deru
2. 出発や発射をする。 ( Sakata Yukiko, 2000:638) Shuppatsu ya hassha o suru (44)
汽車は上野駅を出た Kisha wa Ueno eki o deta
(45)
旅に出る Tabi ni deru
3. 卒業する。 ( Yukiko, 2000:639) Sotsugyou suru < Tamat dari > (46)
大学を出て 10 年になる Daigaku o dete 10 nen ni naru <Sudah 10 tahun sejak lulus universitas>
4. 行き着く。 ( Yukiko, 2000:639) Ikitsuku < Pergi dan tiba> (47)
次の角を左に行けば公園に出る Tsugi no kado o hidari ni ikeba kouen ni deru
5. 外に現れる。 ( Yukiko, 2000:639) Soto ni arawareru < Muncul keluar>
Universitas Sumatera Utara
(48)
喜びが顔に出る Yorokobi ga kao ni deru
6. 仕事や活動をするために、ある場所に現れる。( Yukiko, 2000:639) Shigoto ya katsudou wo suru tame ni, aru basho ni arawareru
<Muncul
disuatu tempat demi pekerjaan atau kegiatan> (49) 会社に出る Kaisha ni deru <Menghadiri rapat> (50) クラス会に出る Kurasu kai ni deru <Menghadiri pertemuan kelas> 7. 出版されたり出版物に載ったりする。 ( Yukiko, 2000:639) Shuppansaretari shuppanbutsu ni nottari suru < Terbit, dimuat, muncul dipenerbitan/surat kabar> (51)
雑誌の1月号が出る Zasshi no ichi gatsu gou ga deru <Majalah terbitan bulan 1 akan keluar>
(52)
新聞に出た公告 Shinbun ni deta koukoku
8. 産出する。( Yukiko, 2000:639) Sanshutsu suru < Memproduksi , dihasilkan > (53)
この地帯は石油が出る Kono chitai wa seki yu ga deru
Universitas Sumatera Utara
9. 生じる。( Yukiko, 2000:639) Shoujiru < Menghasilkan> (54)
風がでる Kaze ga deru <Menghasilkan angin (demam)>
10. 売れる。( Yukiko, 2000:639) Ureru < Terjual > (55)
よく出る品物をたくさん仕入れる Yoku deru shina mono o takusan shiireru
Universitas Sumatera Utara