BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KONSEP MAKNA, SAKURA, HAIKU, DAN BASHO
2.1 Konsep Makna Sastra sebagai salah satu bentuk kreasi seni, menggunakan bahasa sebagai pemaparannya. Berbeda dengan bahasa keseharian, bahasa dalam sastra memiliki kekhasan tersendiri karena merupakan salah satu bentuk idiosyncratic, yakni tebaran kata yang digunakan merupakan hasil olahan dan ekspresi individual pengarangnya. Selain itu, karya sastra juga telah kehilangan identitas sumber tuturan, kepastian referen yang diacu, konteks tuturan yang secara pasti menun-jang pesan, serta keterbatasan tulisan yang mewakili bunyi ujaran. Lapis atau strata makna dalam karya sastra mencakupi (a) unit makna literal (tersurat), (b) dunia rekaan pengarang, (c) dunia dari titik pandang tertentu, dan (d) pesan yang bersifat metafisis (Ingarden dalam Aminudin, 1984:63). Bahasa ialah sebuah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh masyarakat manusia untuk tujuan komunikasi. Sebagai sebuah sistem, bahasa itu bersifat sistematis dan sistemis. Bahasa dikatakan sistematis karena memiliki kaidah atau aturan tertentu. Bahasa juga bersifat sistemis karena memiliki subsistem, yakni subsistem fonologis, subsistem gramatikal, dan subsistem leksikal.
Bahasa merupakan sistem komunikasi yang amat penting bagi manusia. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa senantiasa dianalisis dan dikaji dengan menggunakan berbagai pendekatan untuk mengkajinya. Antara pendekatan yang
Universitas Sumatera Utara
dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah pendekatan makna. Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Mansoer Pateda, 2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian. Dalam hal ini Ferdinand de Saussure ( dalam Abdul Chaer, 1994:286) mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.
Kajian makna lazim disebut semantik. Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema artinya “tanda” atau “lambang”, yang verbanya semaino artinya “menandai” atau “melambangkan”. Tanda atau lambang ini dimaksudkan sebagai tanda lingusitik. Menurut Ferdinand de Saussure (1916), tanda bahasa itu meliputi signifiant (penanda)
dan signifie (petanda). Sebagai istilah, kata semantik
digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda atau lambang-lambang dengan hal-hal yang ditandainya, yang disebut makna atau arti. Dengan kata lain, semantik adalah salah satu bidang linguistik yang mempelajari
makna
atau
arti,
asal-usul,
pemakaian,
peruahan,
dan
perkembangannya.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa makna merupakan hubungan antara lambang dan acuannya. Batasan makna ini sama dengan istilah pikiran atau referensi (Ogden & Pichards, 1923:11) atau konsep (Lyons, 1977:96). Hubungan antara makna dengan lambang dan acuan sama, yakni bersifat langsung. Secara
Universitas Sumatera Utara
linguistik makna dipahami sebagai apa-apa yang diartikan atau dimaksudkan oleh kita (Hornby, 1961:782; Poerwadarminta, 1976:624). Makna berhubungan dengan nama atau bentuk bahasa (Ullman, 1972:57). Ogden dan Richards (1972:186-187) mengumpulkan sebanyak 22 definisi makna. Dijelaskannya bahwa makna adalah: (1) Suatu sifat yang intrinsik. (2) Hubungan dengan benda-benda lain yang unik, yang sukar dianalisa. (3) Kata lain tentang suatu kata yang terdapat di dalam kamus. (4) Konotasi kata. (5) Suatu esensi. Suatu aktivitas yang diproyeksikan ke dalam suatu objek. (6) Tempat sesuatu di dalam suatu sistem. (7) Konsekuensi praktis dari suatu benda dalam pengalaman kita mendatang (8) Konsekuensi teoritis yang terkandung dalam sebuah pernyataan. (9) Emosi yang ditimbulkan oleh sesuatu (10) Sesuatu yang secara aktual dihubungkan dengan suatu lambang oleh hubungan yang telah dipilih. (11) Efek-efek yang membantu ingatan jika mendapat stimulus. i. Asosiasi-asosiasi yang diperoleh. ii. Beberapa kejadian lain yang membantu ingatan terhadap kejadian yang pantas. iii. Suatu lambang seperti yang kita tafsirkan. iv. Sesuatu yang kita sarankan. Dalam hubungannya dengan lambang; penggunaan lambang yang secara aktual kita rujuk. (12) Penggunaan lambang yang dapat merujuk yang dimaksud. (13) Kepercayaan menggunakan lambang sesuai dengan yang kita maksudkan.
Universitas Sumatera Utara
(14) Tafsiran lambang. i. Hubungan-hubungan. ii. Percaya tentang apa yang diacu. iii. Percaya kepada pembicara tentang apa yang dimaksudkannya. Dalam kaitannya dengan makna terdapat berbagai istilah yang sering terkacau-kan, istilah-istilah tersebut antara lain: (1) arti, yakni maksud yang terkandung di dalam perkataan atau kalimat, guna, faedah; (2) amanat, yakni pesan atau wejangan, keseluruhan makna atau isi suatu pembiacaraan, konsep dan perasaan yang disampaikan penyapa untuk diterima pesapa, gagasan yang mendasari karangan, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca; (3) gagasan, yakni ide, hasil pemikiran; (4) ide, yakni gagasan, cita-cita, rancangan yang tersusun dalam pikiran; (5) informasi, yakni, penerangan, keseluruhan makna yang menunjang amanat; (6) isi, yakni suatu yang ada dalam benda, volume, inti wejangan; (7) konsep, ide, pengertian yang diabstrasikan dari peristiwa konkret, gambaran mental dari obyek, proses apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal lain; (8) maksud, yakni sesuatu yang dikehendaki, tujuan, niat, arti atau makna dari suatu hal atau perbuatan;
Universitas Sumatera Utara
(9) pesan, yakni amanat yang harus disampaikan kepada orang lain, nasihat, wasiat; (10) pengertian, yakni gambaran atau pengetahuan mengenai sesuatu di dalam pikiran, paham, arti, dan kesanggupan intelegensi untuk menangkap makna suatu situasi atau perbuatan; (11) pikiran, yakni hasil berpikir, ingatan atau akal, niat, maksud, angan-angan, aktivitas mental yang mencakupi konsep atau olahan ingatan dan pernyataan; (i) pernyataan, yakni proposisi; (ii) proposisi, yakni rancangan usulan, ungkapan yang dapat dipercaya, disangsikan, disangkal, atau dibuktikan benar tidaknya. Proposisi adalah makna kalimat atau klausa yang terdiri atas perdikator dan argumen. Dari beberapa keterangan di atas dapat disimpulkan beberapa hal yang berikut. Pesan (massage) adalah isi komunikasi yang berada pada penyapa, yang diwadahi oleh tatanan lambang kebahasaan secara individual. Pesan yang sudah ditransmisikan lewat tanda (signal) disebut informasi. Pesan yang telah diterima oleh pesapa disebut amanat.
2.1.1 Tanda dan Lambang Dalam istilah linguistik tanda dibedakan dari lambang. Tanda memiliki hubungan yang langsung dengan kenyataan, sedangkan lambang meimiliki hubungan yang tidak langsung dengan kenyataan. Tanda dalam bentuk bunyi ujaran atau huruf-huruf disebut lambang. Lambang juga merupakan tanda, tetapi tidak secara langsung, melainkan melalui sesuatu yang lain. Warna merah
Universitas Sumatera Utara
misalnya, merupakan lambang keberanian. Tanda diklasifikasikan atas beberapa jenis, antara lain: (1) tanda yang ditimbulkan oleh alam; (2) tanda yang ditimbulkan oleh binatang; dan (3) tanda yang ditimbulkan oleh manusia, terbagi atas: (a) yang bersifat verbal, disebut lambang bahasa; (b) yang bersifat nonverbal, berupa isyarat/kinestik dan bunyi (suara). Lyons (1977:96) mengganti istilah symbol dengan sign; tought atau reference dengan concept; dan referen dengan signicatum atau thing. Kemudian istilah tanda diwujudkan dengan leksem. Dalam hal ini, the lexeme signifying the concept and the concept signifyng the thing. Oleh karena itu, Kridalaksana (1987:52) membatasi leksem sebagai: (1) satuan terkecil dalam leksikon; (2) satuan yang berperan sebagai input dalam proses morfologis; (3) bahan baku dalam proses morfologis; (4) unsur yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah disegmentasikan dari bentuk kompleks merupakan bentuk dasar yang lepas dari afiks; dan (5) bentuk yang tidak tergolong proleksem atau partikel. Charles S. Pierce menjelaskan hubungan antara tanda, penanda, dan petanda dengan tiga istilah, yakni: (a) icon, yang mengandung similarity (kesamaan); (b) index, yang mengandung non-cognitive relation (tidak ada hubungannya dengan pengetahuan ); dan (c) symbol, yang dipakai karena habits (kebiasaan). Yang berkaitan dengan masalah leksem ialah ikon, yang dapat dideskripsikan sebagai tanda yang mempunyai kemiripan topologis antara penanda dan petandanya. Ikon ini terdiri atas beberapa bagian sebagai berikut.
Universitas Sumatera Utara
(1) image, yaitu ikon yang penandanya dalam beberapa hal menyerupai pertandanya; (2) diagram, yaitu ikon yang merupakan susunan dari penanda-penanda teratur yang masing-masing tidak menyerupai pertandanya, tetapi yang berhubungan, di antaranya mencerminkan hubungan petandanya; (3) metaphor, yaitu ikon yang antara penanda dan petandanya terdapat kesamaaan fungsional. Tingkatan kemiripan antara penanda dan petanda itulah yang disebut ikonisitas, atau istilah Ullamnn (1963:217) motivation. Jadi, ikonisitas bersangkutan dengan kejelasan tanda bahasa atau leksem. Jika suatu leksem jelas (transparent), dalam arti ada kesepadanan antara penanda dan petandanya, maka leksem itu tidak ikonis. Acuan atau referen adalah sesuatu yang ditunjuk atau diacu, berupa benda dalam kenyataan, atau sesuatu yang dilambangkan dan dimaknai. Acuan merupakan unsur luar bahasa yang ditunjuk oleh unsur bahasa. Misalnya, benda yang disebut rumah adalah referen dari kata rumah. Dalam kaitannya dengan acuan, makna, dan lambang, Ladislav Zgusta (1971) dalam bukunya Manual of Lexicography, menjelaskan tiga istilah yang terkait, yakni designasi atau denotasi, konotasi, dan lingkungan pemakaian. Designasi atau denotasi membentuk makna dasar. Komponen ini mencakupi tiga unsur utama, yakni: (1) leksem, sebagai wujud ekspresi yang berupa lambang bunyi, disebut juga penanda (signifiant); (2) designatum, sebagai pengertian atau konsep benda yang dilambangkan tadi, disebut juga petanda (signifie); dan (3) denotatum, sebagai acuan atau hal-hal yang langsung mengenai benda-
Universitas Sumatera Utara
nya, objek yang diacu, berada di luar bahasa. Konotasi ialah segala makna yang terjadi karena penambahan sebuah makna yang bersifat lain dari makna dasar. Makna konotasi dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain: (1) pembentukan ungkapan, contohnya: makan tangan; (2) dialek sosial, contohnya: kata anda lebih hormat dari kata engkau; (3) dialek regional, contohnya: kata kamu berkonotasi baik untuk orang Batak, tetapi berkonotasi kurang sopan bagi orang Jawa; (4) bentuk metaforis, contohnya: alap-alap (pencuri); (5) asosiasi, contohnya: batu (hal-hal yang keras); dan (6) konteks kalimat, contohnya: „Dengan tembakan yang bagus dari Eri Irianto, akhirnya bola menjala‟. Lingkungan pemakaian atau konteks merupakan tempat pemakaian kata berserta maknanya. Kata yang sama dipakai di lingkungan yang berbeda akan memiliki makna yang berbeda pula. Misalnya, mangkat dan meninggal bermakna sama, tetapi berbeda pemakaiannya.
2.1.2 Aspek-aspek Makna Ujaran manusia itu mengandung makna yang utuh. Keutuhan makna itu merupakan perpaduan dari empat aspek, yakni pengertian (sense), perasaan (feeling), nada (tone), dan amanat (intension). Memahami aspek itu dalam seluruh konteks adalah bagian dari usaha untuk memahami makna dalam komunikasi (periksa Shipley, 1962:263).
Universitas Sumatera Utara
a. Tema Pengertian atau tema adalah aspek makna yang bersifat obyektif, yakni ide yang sedang diceritakan, berupa hubungan bunyi dengan obyeknya. Tema merupakan lanadasan penyapa untuk meyampaikan hal-hal tertentu kepada pesapa dengan mengharapkan reaksi tertentu.
b. Perasaan Perasaan adalah aspek makna yang bersifat subyektif, yakni sikap penyapa terhadap tema atau pokok pembicaraan. Misalnya, sedih, gembira, dan marah.
c. Nada Nada adalah aspek makna yang bersifat subyektif, yakni panyapa terhadap pesapanya. Pesapa yang berlainan akan mempengaruhi pilihan kata (diksi) dan cara penyampaian amanat.Karena itu, relasi penyapa dan pesapa melahirkan nada tertentu dalam komunikasi. Misalnya: sinis, ironi, dan imperatif.
d. Amanat Amanat adalah aspek makna yang berupa maksud dan tujuan yang ingin dicapai oleh penyapa, berupa sampainya ide panyapa kepada pesapa secara tepat. Amanat berkaitan dengan maksud penyapa serta penafsiran dari pesapa. Jika amanat tidak diterima dengan tepat oleh pesapa, maka akan timbul salah paham atau salah komunikasi. Karena itu, amanat sebenarnya merupakan pesan penyapa yang telah diterima oleh pesapa. Dalam kaitannya dengan aspek makna, Verhaar (1982:131) menjelaskan bahwa ujaran manusia itu berkaitan dengan tiga aspek, yakni maksud, makna, dan informasi. Maksud berupa amanat, bersifat subyektif, berada pada
Universitas Sumatera Utara
pemakai bahasa. Makna berupa isi suatu bahasa, bersifat lingual. Informasi berupa tema, apa yang sedang diceritakan, bersifat obyektif, dan nonlingual. Hubungan di antara ketiga aspek itu dapat dibagankan sebagai berikut.
Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan.
Komunikasi bukan hanya sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna (the generation of meaning) . Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya orang lain tersebut memahami maksud pesan kita, kurang kebih secara tepat. Supaya komunikasi dapat terlaksana, maka kita harus membuat pesan dalam bentuk tanda (bahasa, kata). Pesan-pesan yang kita buat, medorong orang lain untuk menciptakan makna untuk dirinya sendiri yang terkait dalam beberapa hal dengan makna yang kita buat dalam pesan kita. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, makin banyak kita menggunakan sistim tanda yang sama, maka makin dekatlah “makna” kita dengan orang tersebut atas pesan yang datang pada masing-masing kita dengan orang lain tersebut.
2.2 Sakura 2.2.1 Sejarah Bunga Sakura Sakura berasal dari kata “saku” yang dalam bahasa Jepang berarti “mekar” dan ditambah dengan akhiran yang menyatakan bentuk jamak “ra”. Dalam Bahasa
Universitas Sumatera Utara
Inggris, bunga sakura disebut cherry blossom. Pemandangan bunga sakura adalah sebuah fenomena yang diadopsi orang Jepang dari Negeri Cina selama Zaman Heian. Para penyair, penyanyi, bangsawan dan anggota keluarga biasa biasanya akan berkumpul bersama di sekeliling pohon bunga sakura dan mengunkapkan kekagumannya masing-masing terhadap keindahan bunga sakura. Selama bertahun-tahun bunga sakura telah menjadi spesies yang diagungkan dan sangat dihargai oleh orang Jepang. Bunga sakura sekarang dikenal sebagai lambang dari Negara Jepang. Kata sakura dipercaya berasal dari kata “sakuya” yang artinya mekar dan diambil dari nama putri Kono Hana Sakuya Hime yang menjaga barang suci di atas puncak Gunung Fuji. Nama putri tersebut diartikan sebagai “putri pohon yang sedang mekar”, dinamakan demikian karena dikatakan bahwa ia menjatuhkan pohon sakura dari langit. Oleh karena itu, bunga sakura dipertimbangkan menjadi bunga nasional Negara Jepang. Sebagaimana bunga sakura merupakan representasi yang melambangkan seorang wanita di China, namun dalam kebudayaan Jepang sakura memiliki makna lebih mendalam. Bangsa Jepang sangat bangga dengan bunga sakura karena mereka beranggapan hanya mereka yang memiliki bunga seindah sakura. Walaupun di beberapa negara seperti China dan Korea juga memiliki pohon sakura yang hampir sama dengan pohon sakura, namun ciri bunga dan sifatnya cenderung berbeda karena kebanyakan pohon bunga sakura tidak berbuah melainkan hanya berbunga saja. Kalaupun memiliki buah, biasanya ukurannya kecil dan tidak bisa dimakan, sedangkan negara lain cenderung berbuah dan buahnya bisa dimakan.
Universitas Sumatera Utara
Pada zaman dahulu bunga sakura bukan hanya sebagai simbol bunga musim semi, akan tetapi juga sebagai tradisi budaya yang muncul setahun sekali. Masyarakat membaca tanda kemunculannya dan mengetahui keadaan cuaca tahun itu sehingga mereka dapat memutuskan untuk bertani. Pemaparan mengenai bunga sakura juga dalam Kojiki dan Nihonshoki (buku sejarah kuno Jepang). Di dalam Kojiki bunga sakura di deskripsikan sebagai putri dari Tuhan, sedangkan dalam Manyoshu yaitu koleksi waka (puisi Jepang) pada periode Nara (710-784) dapat diketahui bahwa ternyata bunga ume (sejenis buah tuah armeni/ plum) adalah bunga yang lebih familiar dibandingkan bunga sakura. Tetapi, di dalam Kokin-Wakashu yang diterbitkan lebih lambat dari Manyoshu dapat dilihat bahwa bunga sakura yang lebih sering diekspresikan daripada bunga ume. Kelihatannya bunga sakura menjadi tipikal bunga sebagai pengganti bunga ume pada era showa (834-848). Selama periode zaman Heian (794-1192) tepat di depan shishinden (balai pusat upacara) pada halaman istana kekaisaran, mereka menanam pohon jeruk di sisi kanan yang dinamakan dengan ukon no tachibana dan menanam pohon apricot Jepang disisi kanan yang mereka sebut dengan sakon no ume. Lambat laun pohon apricot ini diganti dengan pohon sakura yang menunjukkan betapa pentingnya bunga sakura.
2.2.2 Jenis-Jenis Bunga Sakura Pohon sakura merupakan pohon yang tergolong kedalam familia Rosaceae, genus Prunus yang sejenis dengan pohon plum, peach, apricot, tetapi secara umum sakura digolongkan dalam subgenus sakura. Umumnya bunga
Universitas Sumatera Utara
sakura dikenal dengan kelopaknya yang berjumlah lima buah dan berwarna merah muda. Akan tetapi, sebenarnya di Jepang ragam bunga sakura mencapai ratusan jenis. Sejak zaman Edo (1603-1868) telah muncul jenis baru dari bunga sakura di pasaran yang dinamakan dengan satosakura dan banyak buku yang berhubungan dengan studi tentang bunga sakura yang diterbitkan pada zaman itu, sehingga banyak orang yang mengembangkan spesies bunga sakura dan menyilangkannya dan muncul beberapa varietas baru dari bunga sakura. Bahkan, sampai sekarang di Jepang usaha untuk mengembangkan varietas-varietas baru bunga sakura melalui proses penyilangan terus dilakukan agar di peroleh bibit unggul. Bunga sakura atau dengan nama latinnya prunus serrulata, yaitu pohon cherry yang dipakai sebagai hiasan seharusnya jangan salah ditafsirkan sebagai sakuranbo (pohon cherry yang buahnya dapat dikonsumsi) karena sebenarnya jenisnya sama sekali berbeda dengan pohon bunga sakura yang cenderung berbunga saja. Warna bunga sakura tergantung pada spesiesnya, ada yang berwarna putih, ada yang berwarna putih dengan sedikit sentuhan warna merah jambu, ada yang berwarna kuning muda, hijau muda sampai berwarna merah menyala. Bunga sakura digolongkan menjadi tiga jenis berdasarkan susunan daun mahkotanya, antara lain: 1. bunga tunggal dengan daun mahkota satu lapis 2. bunga ganda dengan daun mahkota berlapis 3. bunga semi ganda
Universitas Sumatera Utara
Ada berbagai macam jenis bunga pohon bunga sakura, salah satunya adalah yang menyerupai pohon willow yang meleleh. Bunganya berwarna putih, merah muda, atau putih dengan campuran merah muda. Bunga sakura jenis ini sangat indah terutama saat melihatnya jatuh berguguran di atas tanah. Bunga sakura jenis lain yang juga banyak ditemukan adalah bunga sakura dari jenis someiyoshino. Pohon sakura jenis someiyoshino yang tersebar di seluruh Jepang sejak zaman Meiji adalah hasil persilangan pohon sakura di zaman Edo akhir. Sakura jenis someiyoshino inilah yang sangat tersebar luas, sehingga kebanyakan orang hanya mengenal someiyoshino (yang merupakan salah satu jenis sakura) sebagai sakura. Ciri khas dari bunga sakura jenis someiyoshino adalah bunganya lebih dahulu mekar sebelum daun-daunnya mulai keluar. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan batang pohon berada dalam lokasi yang sama. Bunganya mekar secara serentak, dan rontok satu per satu pada saat yang hampir bersamaan. Bunga sakura jenis someiyoshino hanya dapat bertahan kurang lebih 7 sampai 10 hari dihitung dari mulai kuncup bunga terbuka hingga bunga mulai rontok. Rontoknya bunga sakura tergantung pada keadaan cuaca dan sering dipercepat oleh hujan lebatdan angin kencang. Beberapa burung juga diketahui suka memakan bagian bunga yang manis, bahkan burung merpati memakan seluruh bagian bunga. Sebagian besar jenis pohon sakura adalah hasil persilangan. Saat ini ada lebih dari 300 jenis bunga sakura di Jepang yang telah disilangkan dari pohon sakura yang ditemukan dari seluruh kawasan Asia. Misalnya, pada zaman dulu sebelum ada jenis someiyoshino, orang Jepang mengenal bunga sakura yang mekar di pegunungan yang disebut yamazakura dan yaezaki no sakura sebagai
Universitas Sumatera Utara
sakura. Di saat mekarnya bunga sakura, ribuan batang pohon Yamazakura yang tumbuh di Pegunungan Yoshino (Prefektur Nara) menciptakan pemandangan menakjubkan warna putih, hijau muda, dan merah jambu dan semakin indah lagi dengan fenomena daun bunganya yang berwarna merah muda pekat dan bungabunga yang lebih besar.
Beberapa jenis sakura:
A. Edohigan
Edohigan adalah sakura yang mekar di Hari Ekuinoks Musim Semi dan bunganya paling panjang umur. Jenis-jenis lain yang serupa dengan edohigan adalah ishiwarizakura dan yamadakashinyozakura yang termasuk pohon sakura yang dilindungi. Miharutakizakura adalah salah satu jenis edohigan yang rantingnya menjuntai-juntai, sedangkan yaebenishidare dikenal daun bunganya yang banyak dan warnanya yang cerah.
B. Hikanzakura
Hikanzakura atau disebut juga kanhizakura adalah sakura yang tersebar mulai dari wilayah Tiongkok bagian selatan sampai ke Pulau Formosa. Kanhizakura banyak ditemukan tumbuh liar di Prefektur Okinawa. Bagi orang Okinawa, kata "sakura" sering berarti hikansakura. Pengumuman mekarnya bunga sakura di Okinawa biasanya berarti mekarnya hikanzakura. Di Okinawa, kuncup bunga hikanzakura mulai terbuka sekitar bulan Januari atau Februari. Di Pulau Honshu, hikanzakura banyak ditanam mulai dari wilayah Kanto sampai ke Kyushu dan biasanya mulai mekar sekitar bulan Februari atau Maret.
Universitas Sumatera Utara
C. Fuyuzakura
Fuyuzakura (sakura musim dingin) adalah jenis pohon sakura yang bunganya mekar sekitar bulan November sampai akhir bulan Desember. Onishimachi di Prefektur Gunma adalah tempat melihat fuyuzakura yang terkenal.
Pohon sakura menghasilkan buah yang dikenal sebagai buah ceri (bahasa Jepang: sakuranbo). Buah ceri yang masih muda berwarna hijau dan buah yang sudah masak berwarna merah sampai merah tua hingga ungu. Walaupun bentuknya hampir serupa dengan buah ceri kemasan kaleng, buah ceri yang dihasilkan pohon sakura ukurannya kecil-kecil dan rasanya tidak enak sehingga tidak dikonsumsi.
Pohon sakura yang menghasilkan buah ceri untuk keperluan konsumsi umumnya tidak untuk dinikmati bunganya dan hanya ditanam di perkebunan. Produsen buah ceri terbesar di Jepang berada di Prefektur Yamagata. Buah ceri produk dalam negeri Jepang seperti jenis sato nishiki harganya luar biasa mahal. Di Jepang, buah ceri produksi dalam negeri hanya dibeli untuk dihadiahkan pada kesempatan istimewa. Buah ceri yang banyak dikonsumsi masyarakat di Jepang adalah buah ceri yang diimpor dari negara bagian Washington dan California di Amerika Serikat. Semua jenis bunga sakura dikatakan hampir tersebar di seluruh wilayah Jepang, kecuali jenis someiyoshino yang tidak ditemukan di Okinawa karena merupakan daerah subtropis. Mekarnya bunga sakura di jepang mempunyai waktu yg berbeda-beda, dimulai di bulan Januari di Okinawa dan sampai di daerah Kantou/Tokyo sekitar akhir Maret sampai April.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Masyarakat Jepang dan Bunga Sakura Bunga sakura pada kenyataanya tidak hanya sekedar dinikmati keindahannya ketika bermekaran saja, akan tetapi bunga sakura juga dapat dikonsumsi dengan berbagai olahan menggunakan bunga, daun dan buahnya sebagai bahan. Bunga sakura diawetkan dengan menggunakan garam. agar dapat disimpan lama. Ketika bunga yang sudah disimpan lama dimasukkan ke dalam gelas dan diseduh dengan air panas maka dapat disajikan segelas minuman yang harum dan nikmat. Tidak hanya sekedar harum dan indah saja, tetapi juga memberikan pemandangan yang indah seolah-olah bunga sakura mekar di dalam gelas. Minuman ini dapat disajikan kapan saja, namun biasanya lebih khusus disajikan pada pertemuan pertama antara pengantin pria dan wanita dalam upacara pernikahan dan pesta-pesta. Secara tradisional orang Jepang tidak menyajikan teh pada saat pesta pernikahan karena akan menjadi chakasu (menjadi teh) yang artinya “membuat semuanya menjadi senda gurau”. Sehingga menyajikan teh dalam upacara pernikahan akan menjadi selamatan agar pernikahan tersebut gagal. Jadi keistimewaan dari minuman sakura adalah minuman ini dihidangkan dengan maksud mendoakan kebahagiaan dari pernikahan dan memulai lembaran hidup yang baru. Satu lagi tradisi membuat panganan yang berhubungan dengan bunga sakura adalah sakura mochi. Sakura mochi adalah kue beras berbentuk bulat pendek yang terdiri dari pasta kacang manis yang dibungkus dengan
Universitas Sumatera Utara
menggunakan daun sakura yang diberi cuka atau garam. Sakura mochi biasanya dibawa-bawa oleh perempuan para pembuat gula-gula selama festifal boneka. Ketika menyaksikan keindahan bunga sakura disajikan beberapa kue atau panganan yang wajib ada, salah satunya adalah hanami dango, yaitu kue manis yang terbuat dari beras kukus yang ditumbuk dengan pemukul kayu yang besar. Kue ini ada dua jenis, yaitu jenis yang berwarna agak gelap karena dilapisi dengan selai kacang dan jenis yang berwarna merah muda dan dipanggang dengan kecap asin. Hanami dango terkenal pada tahun 1.800-an sebagai kue yang disajikan pada orang-orang yang menikmati mekarnya bunga sakura. Pada saat hanami juga akan ditemui minuman keras yang terbuat dari campuran bunga sakura, selai sakura, dan permen rasa/ wangi bunga sakura. Sejak dahulu kulit pohon sakura juga sangat bermanfaat untuk digunakan sebagai bahan tambahan dalam obat untuk mengobati penyakit seperti batuk. Kayunya juga dimanfaatkan untuk membuat perabotan, balok untuk material bangunan,alat musik seperti piano, organ, dan koto (alat musik tradisional Jepang) serta untuk cetakan kayu karena kualitasnya yang bagus, kuat dan mudah diproses. Buah dari pohon bunga sakura berukuran kecil dan tidak dapat dimakan, tetapi ada jenis dari pohon bunga sakura yang buahnya sebesar duku, warnanya merah dan dapat dimakan. Namun pohon bunga sakura jenis ini berbeda karena semua jenisnya didatangkan dari Barat untuk dikembangkan di Jepang. Satu lagi tradisi yang tidak akan dilewatkan oleh rakyat Jepang ketika bunga sakura sedang bermekaran dengan indahnya adalah tradisi hanami. Hanami berasal dari kata hana yang artinya bunga dan mi yang artinya melihat, jadi
Universitas Sumatera Utara
hana-mi artinya melihat bunga. Kebiasaan hana-mi merupakan kebiasaan tahunan masyarakat Jepang yaitu dengan berkumpul dengan keluarga, teman, atau kolega dan menikmati mekarnya bunga sakura yang dilakukan pada setiap musim semi.
Merayakan musim bunga sakura dengan kegiatan hana-mi memang sudah dimulai sejak Periode Nara (710-784) yang sebenarnya datang karena pengaruh Dinasti Tang dari Cina. Awalnya mereka lebih mengagumi bunga Ume. Tapi saat periode Heian, sakura mulai menarik perhatian orang Jepang. Mulai dari situ hana-mi menjadi festival yang rutin dirayakan setiap tahun. Mekarnya bunga sakura juga dijadikan sebagai ritual keagamaan dan digunakan sebagai tanda dari akhir tahun serta dimulainya musim bercocok tanam. Karena itu, banyak orangorang Jepang yang berdoa di kuil atau berdoa di bawah pohon sakura. Pada periode Heian, hanya kalangan bangsawan yang selalu merayakan hana-mi ini. Kebiasaan ini kemudian masuk ke kalangan samurai dan akhirnya menyebar sampai kalangan rakyat dari berbagai golongan pada periode Edo. Perayaan Ohanami sedikit demi sedikit mulai berubah tujuannya. Dari merayakannya untuk ritual agama, menjadi bagian dari gaya hidup para samurai dan kemudian menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan. Sedangkan di jaman modern ini, O-hanami lebih kepada acara pribadi dan merupakan kesempatan untuk berkumpul dan bersenang-senang.
Hana-mi pertama kali digunakan sebagai istilah yang sama dalam kegiatan melihat bunga sakura dalam novel “ cerita tentang Kenji” pada masa Heian. Dalam kegiatan hana saja orang-orang akan mengerti bahwa yang dimaksud adalah bunga sakura karena tidak ada bunga lain selain bunga sakura dalam hana-mi.
Universitas Sumatera Utara
Kaisar saga pada masa Heian melanjutkan kebiasaan ini dan mengadakan hana-mi dengan berpesta sake di bawah pohon bunga sakura yang sedang mekar di istana kekaisaran di Kyoto. Puisi-puisi akan ditulis sambil menikmati bunga dimana ini terlihat sebagai metafora untuk kehidupan itu sendiri yang terang dan indah. Pemandangan dalam hidup yang sebentar ini banyak dibicarakan dalam kebudayaan Jepang dan sering dipandang sebagai bentuk pujian terhadap keberadaan samurai kuno dimana mereka memandang akhir hidup merupakan keindahan tertinggi dari seseorang. Simbol ini masih menyediakan subjek yang populer untuk seni, syair, dan tarian.
Pesta bunga sakura dengan kegiatan hana-mi semakin populer pada masa Azuchi Momoyama (1586-1600) dimana pesta diadakan dengan teliti oleh Toyotomi Hideyoshi di Yoshino dan Daigo. Pesta ini melukiskan keindahan dari suatu festival dann kebiasaan ini hanya terbatas untuk para orange lit dari istana kekaisaran tapi kemudian segera menyebar ke kalangan samurai. Dalam waktu singkat para petani memulai kebiasaan ,ereka sendiri dengan mendaki gunung pada waktu musim semi dan mulai makan siang di bawah pohon sakura yang sedang mekar. Kegiatan ini dikenal sebagai “perjalanan musim semi ke gunung”. Pada zaman Edo (1600-1867), Tokugawa Yoshimune menanam pohon sakura di tempat-tempat umum untuk menyemangati rakyat, sebagai hasilnya semua orang bersama-sama mulai mengambil bagian dalam festival tersebut.
Tradisi ini berlanjut sampai sekarang ini dengan orang-orang yang berkumpul dalam jumlah yang besar dan biasanya berpesta sampai larut malam. Karena sejarahnya yang panjang, hana-mi mengelilingi dan mengakar kuat dalam perjalanan kehidupan masyarakat Jepang. Aspek kebudayaan Jepang ini
Universitas Sumatera Utara
merupakan produk dari lingkungan alam Jepang dengan musim tersendiri dan sensitifitas dari masyarakat Jepang sendiri.
2.2.4 Sakura Dalam Pandangan Masyarakat Jepang Bunga sakura adalah bunga yang sangat dalam dicintai oleh rakyat Jepang sejak dulu. Meskipun tidak disahkan melalui undang-undang, tetapi secara umum bunga sakura diakui sebagai salah satu bunga yang menjadi simbol kebanggaan bangsa Jepang (Aneka Jepang, 2009:324). Bunga sakura seperti sudah mendarah daging dalam kehidupan bangsa Jepang. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam tradisi dan perayaan yang berkaitan dengan bunga sakura yang sampai saat ini masih dilestarikan. Misalnya hanami, kegiatan hanami ini bertujuan untuk mempererat hubungan sosial, kekeluargaan, dan kekerabatan antara sesama masyarakat Jepang, baik keluarga sendiri, teman, kolega atau rekan bisnis.
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. M. Fortes (2001:14) mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, kakak, adik, menantu, cucu, paman, bibi, kakek, nenek, dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari jumlahnya dari relative kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat.
Masyarakat
Indonesia
umumnya
juga
mengenal
kelompok
Universitas Sumatera Utara
kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.
Orang Jepang akan saling mempererat hubungan sosial dan kekeluargaan atau kekerabatan melalui acara seperti kegiatan hanami, misalnya hubungan keluarga antara orang tua dan anak-anaknya yang tinggal maupun tidak tinggal serumah lagi ataupun dengan teman dan kerabat jauh, juga antara atasan dengan bawahan yang juga memanfaatkan momen hanami sebagai perayaan awal tahun bisnis yang baru. Biasanya mereka akan berkumpul bersama dibawah pohon sakura yang sedang bermekaran dan berpiknik serta berpesta dengan diiringi musik sambil menikmati minuman dan makanan khas perayaan mekarnya bunga sakura. Berdasarkan paparan di atas penulis berpendapat bahwa kegiatan hanami ini merupakan sarana silaturahmi antar sesama warga Jepang dan merupakan simbol pemersatu rakyat Jepang. Bunga sakura sudah menyatu dalam kehidupan sehari-hari bangsa Jepang. Hal ini dapat dilihat dari referensi lukisan dan lagu-lagu yang bertemakan sakura. Bahkan dalam manga (komik Jepang) dan anime (film animasi Jepang) bunga sakura juga dipakai sebagai metafora. Tidak sedikit pula orang tua yang memberikan nama anaknya dengan nama Sakura-ko bagi anak perempuan mereka. Nama sakura-ko berarti perempuan yang cantik, putih dan bersih. Bunga sakura juga merupakan simbol dari wanita, kekuatan, cinta, kekuatan seorang wanita, kelembutan, dan euphoria kebahagiaan menyambut kedatangan musim semi. Di lain pihak, di China bunga sakura dijadikan lambang dari dominasi feminim, kecantikan wanita dan sexualitas, dan sebagai lambang dari pemimpin wanita.
Universitas Sumatera Utara
Selama masa perang dunia ke-II, pilot kamikaze (pasukan AU khusus Jepang) akan men-cat atau menggambar bunga sakura di sisi pesawat terbang mereka. Pilot-pilot ini adalah sukarelawan yang akan mengorbankan nyawa mereka untuk misi bunuh diri. Para pemimpin mereka akan memaksa mereka dengan arahan itu dan meyakinkan mereka bahwa hak tersebut merupakan suatu kehormatan. Kehormatan memiliki arti segala-galanya bagi para pemuda Jepang dan mereka diberitahu bahwa ketika gugur dalam medan perang maka mereka akan bereinkarnasi sebagai bunga sakura sebagai penghargaannya. Bunga sakura memang istimewa di hati orang-orang Jepang. Pada zaman dulu menikmati bunga sakura hanya ditujukan bagi kaisar dan kaum bangsawan, namun bagi para prajurit samurai yang telah berperang dan membela negara juga memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati bunga sakura. Bunga sakura dikatakan dapat menggerakkan hati para samurai, tidak hanya ketika bermekaran akan tetapi juga pada saat berguguran. Sebagai prajurit, bunga sakura menjadi simbol yang berarti keberanian dan kehormatan. Kemurnian dan kesederhanaan nilai-nilai tradisional masyarakat Jepang merupakan refleksi dari bunga sakura. Dari segi estetika bunga sakura merupakan simbol trensisi dan keindahan atau kecantikan sesaat, bunga sakura akan mekar sekitar satu minggu dan kemudian jatuh berguguran. Fenomena ini sering diibaratkan sebagai refleksi dari kehidupan manusia yang singkat dan tidak kekal. Bunga sakura sering dijadikan simbol transisi kehidupan karena umurnya yang pendek. Simbol ini sejalan dengan pengajaran agama Budha.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak terlepas dari aktivitas keagamaan atau yang biasa disebut dengan kegiatan religi. Berbagai kegiatan bahkan upacara peringatan dilakukan di berbagai wilayah setiap Negara, dengan
Universitas Sumatera Utara
tujuan yang sama, yaitu untuk memperoleh kasih sayang dan kebahagiaan dari sang pencipta. Demikian halnya dengan Negara Jepang yang memiliki berbagai macam kegiatan keagamaan. Masyarakat berpikir serta merasa dan bertindak didorong oleh kepercayaan (religi) pada tenaga-tenaga gaib yang diyakini mengisi, menghuni seluruh alam semesta dalam keadaan yang seimbang. Tiap tenaga gaib itu merupakan bagian dari kosmos dan bagian dari keseluruhan hidup jasmaniah dan rohaniah. Keseimbangan inilah yang harus ada dan tetap dijaga, apabila terganggu maka harus dipulihkan. Memulihkan keseimbangan ini berwujud dalam beberapa upacara, pantangan dan ritus-ritus. Kegiatan-kegiatan upacara atau perayaan yang dilakukan tidak selalu dilaksanakan dari segi religi saja, tetapi berdampingan dengan kegiatan budaya. Karena antara religi dan budaya hampir memiliki kesamaan, namun berbeda antara pengertian maupun pelaksanaannya. Kebudayaan merupakan wujud ideal yang bersifat abstrak, tidak dapat diraba dan ada dalam pikiran manusia, misalnya: gagasan, ide, norma, religi dan sebagainya (koentjaraningrat, 1974: 376-377). Maka dapat dilihat bahwa religi adalah bagian dari kebudayaan yang merupakan rangkaian kebiasaan dan pusat dari aktifitas keagamaan.
Masyarakat Jepang yang beragama Budha setiap tahunnya pada tanggal 8 April akan mengadakan upacara keagamaan di kuil Budha untuk merayakan kelahiran Budha. Upacara tahunan ini dinamakan dengan Kanbutsu-e. upacara dan festival ini juga sering disebut dengan hana-matsuri (festival bunga). Masyarakat Jepang percaya akan reinkarnasi, dalam ajaran agama Budha reinkarnasi merupakan siklus kehidupan yang akan dijalani oleh manusia di dunia. Kehidupan manusia itu tidak kekal dan sangat singkat, oleh karena itu bunga sakura sering
Universitas Sumatera Utara
diartikan sebagai simbol kehidupan masyarakat Jepang. Dalam kehidupan Masyarakat Jepang, ada pohon yang memiliki makna simbolik : 1. Pohon Cemara : melambangkan persahabatan dan keawetan. 2. Pohon Bambu : Kejujuran, tidak ada kejahatan. 3. Pohon Aprikot (ume bai) : Kebangsawanan dan keberanian. 4. Sakura : sebagai pagar Tuhan
Orang Jepang juga percaya bahwa pohon sakura adalah pagar antara Tuhan dan manusia. Oleh karena itu, melakukan kegiatan hana-mi juga merupakan ritual keagamaan. Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa sakura juga memiliki makna religious yang juga merupakan simbol ikatan antara Tuhan dan manusia. Manusia sering diingatkan akan kehidupan duniawi yang tidak kekal dan singkat, sama seperti umur bunga sakura yang singkat. Jadi manusia senantiasa diingatkan untuk menjalani kehidupan yang singkat ini dengan sebaik-baiknya. Bunga sakura juga menyimpan makna filosofis. Setiap pohon bunga sakura hanya akan memekarkan bunganya selama tujuh sampai sepuluh hari saja dalam setahun. Setelah itu bunga-bunganya akan berguguran. Bunga sakura banyak memberikan inspirasi filosofis bagi orang Jepang, diantaranya adalah falsafah
kemanfaatan,
ketulusan,
dan
keberanian.
Sakura
mengajarkan
kemanfaatan sebab kehadirannya memberi keceriaan bagi banyak orang. Pada hari-hari bunga sakura mekar, orang-orang bersukacita dalam kebersamaan. Sakura yang sepanjang tahun tidak pernah “ditoleh” orang, tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Setelah bunga-bunganya berguguran orang-orang pun melupakannya. Tapi sakura tetap hadir lagi ditahun mendatang. Inilah lambang ketulusan orang
Universitas Sumatera Utara
dalam berkarya. Bagi sakura, kebahagiannya adalah pada saat bisa memberikan kebahagiaan bagi banyak orang. Sedangkan falsafah keberanian ditunjukkan oleh kaum samurai. Bagi para samurai keindahan bunga sakura justru pada saat ia berguguran. Samurai adalah se butan bagi komunitas pejuang yang hidupnya diabdikan untuk membela keagungan negeri. Bagi mereka kehidupan ini singkat, seperti singkatnya hidup sakura dan puncak keindahan perjuangan dalam hidup adalah saat gugur membela kebenaran. Dilihat dari keistimewaan bunga sakura yang sangat dibanggakan oleh masyarakat Jepang maka tidak heran jika bunga sakura sejak dahulu sering menjadi falsafah bagi seniman maupun sastrawan dalm menghasilkan karya seperti lagu maupun karya sastra berupa haiku (puisi Jepang). Bunga sakura sering dianggap sebagi perlambangan dari kehidupan manusia sehingga sering dijadikan pandangan hidup bagi masyarakat Jepang. Para sastrawan pada zaman dahulu menggunakan bunga sakura untuk mengekspresikan perasaan dan emosi mereka dalam puisi-puisi dan sajak-sajak bahkan dalam lagu sekalipun. Setiap lirik dan sajak mewakili perasaan penyair yang sulit diungkapkan secara langsung sehingga mereka menggunakan puisi ataupun lagu untuk mengekspresikan keindahan bunga sakura dan segala sesuatu yang sedang terjadi atau mereka alami sendiri saat itu. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam karya sastra bertemakan kepahlawanan yang muncul dalam kojiki (712) bahwa pada masa itu masyarakat sudah biasa menikmati bunga sakura. Para penyair zaman Heian (794-1192) menceritakan bahwa bunga sakura merupakan simbol dari alam yang penting bagi manusia.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Haiku 2.3.1 Pengertian Haiku Haiku adalah bentuk puisi paling singkat di dunia yang hanya terdiri atas 17 suku kata yang terdiri dari 3 matra (baris) yang masing-masing tersusun dari 5, 7 dan 5 suku kata secara berurutan (Encyclopedia of Japan, 1985:78). Penghitungan jumlah suku kata pada haiku terlihat pada contoh di bawah ini: Hi to tsu ya ni
: 5 suku kata
Yu jo mo ne ta ri
: 7 suku kata
Ha gi to tsu ki
: 5 suku kata
Namun tidak semua haiku mematuhi aturan yang berlaku, ada yang kurang ataupun lebih dari 17 suku kata. Seperti contoh berikut: Su ma no a ma no
: 6 suku kata
Ya sa ki ni na ku ka
: 7 suku kata
Ho to to gi su
: 5 suku kata
Haiku di atas berjumlah 18 suku kata. Sebagian penyair ada yang menggunakan pola suku kata lebih dari 17. Namun aturan haiku yang sebenarnya adalah 17 suku kata, dan pada umumya haiku menggunakan aturan 17 suku kata. Proses kreatif penggubahan haiku dimulai dengan terbawanya perasaan oleh satu kejadian atau benda yang dilihat, lalu timbul keinginan untuk mencurahkan perasaan itu dalam bentuk yang ringkas dan tepat, agar mudah dipahami oleh pembaca haiku tersebut. Haiku merupakan syair yang menampilkan penggambaran melalui perumpamaan yang merupakan hasil dari suatu pengamatan. Jika kita melihat pada penggunaan kata-katanya, maka akan terlihat sebuah kekuatan kebenaran. Dalam teorinya, sebuah haiku menampilkan
Universitas Sumatera Utara
sepasang penggambaran yang sangat kontras, di satu sisi menekankan pada ruang dan waktu, sedangkan di sisi lainnya tentang penggambaran kehidupan yang singkat. Kedua elemen ini bersama-sama menimbulkan suasana hati dan emosi. Haiku tersebut tidak menguraikan tentang kedua hubungan elemen tersebut, tetapi sebaliknya memberikan perumpamaan dari kedua elemen tersebut kepada pembaca untuk dipahami. Selain dari pengertian 17 suku kata menurut Higginson (1996:28) menyatakan bahwa haiku merupakan pengungkapan (rekaman) dari suatu peristiwa yang melibatkan kemampuan pengarang dalam memahami kekuatan alam. Hal ini terlihat dari puisi-puisi Jepang sebelum haiku yang banyak menggunakan tema alam, seperti waka dan renga, dan sama halnya seperti haiku yang ditulis oleh Basho yang hampir sebahagian dari karya-karyanya mempergunakan tema alam. Pada zaman dahulu sebagian besar orang Jepang hidup sangat dekat dengan alam. Penyair hanya menulis apa yang mereka alami dan setiap orang yang membacanya mengerti tentang penggunaan kata musim tersebut tanpa harus berpikir lebih dahulu. Namun selanjutnya, hal ini menjadi suatu kebiasaan untuk menghasilkan syair-syair menurut keadaan musim-musim yang ada di Jepang. Tema alam yang paling umum digunakan dalam haiku yaitu berupa pergantian musim, dimana di Jepang terdapat empat musim. Masing-masing musim ini memiliki keindahan yang berbeda yang dapat dituangkan dalam puisi salah satunya seperti peristiwa mekar dan gugurnya bunga sakura dan lain sebagainya. Sejak dahulu, kata-kata khusus dan ungkapan-ungkapan harus mengandung makna-makna tentang empat musim tersebut atau disebut juga dengan kigo.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Sejarah Haiku
Bangsa Jepang baru mengenal sistem tulisan dan kegiatan tulis menulis pada abad ke-8 Masehi. Dan tulisan-tulisan yang pertama kali adalah berbentuk puisi. Puisi Jepang dahulu dibawakan secara lisan yang kemudian pada akhirnya ditulis dan menjadi cikal bakal buku-buku pertama di Jepang. Semua pria dan wanita
Jepang
zaman dahulu
menggunakan
puisi sebagai alat
untuk
berkomunikasi. Mungkin itulah sebabnya mengapa orang Jepang sering memasukkan puisi dalam surat-surat mereka. Puisi Jepang memiliki banyak ragam seperti: Haiku, Tanka dan Renga. Jika berbicara tentang haiku maka akan berkaitan dengan waka dan renga. Secara khusus, puisi tradisional Jepang ini berisi tentang kehidupan sehari-hari, cinta dan juga tentang alam. Antara puisi Jepang yang satu dengan puisi Jepang yang lain memiliki ciri khusus dengan struktur dan susunan atau tata letak yang beragam pula.
A. Ragam Puisi Jepang
a.Tanka Ragam lain dari puisi Jepang adalah Tanka yang usianya lebih tua dari Haiku tetapi tidak seterkenal Haiku. Tanka telah dikenal sebagai salah satu jenis puisi di Jepang sekitar 1300 tahun. Tanka biasanya dibuat setelah selesainya sebuah peristiwa, kejadian atau suatu perayaan yang spesial. Tanka cenderung lebih panjang dari Haiku, dan itu memberikan ruang kapada para penyair untuk lebih dapat mengekspresikan perasaannya dengan lebih dalam. Secara khusus,
Universitas Sumatera Utara
Tanka ditulis atas perasaan seseorang. Dalam menulis puisi jenis ini, pertama yang harus ditulis adalah tentang sesuatu yang disenangi dan memiliki hasrat atas sesuatu tersebut. Sebagai contoh yaitu tentang alam, tentang suatu tempat, keluarga, cinta atau kehidupan sehari-hari yang menyenangkan dan merupakan sesuatu yang dianggap benar. Menulis Tanka dengan baik akan menciptakan kecemerlangan penggambaran atau mendapat kesan yang mendalam yang sangat berkaitan dengan perasaan. Jenis puisi seperti ini memberikan penyair kesempatan untuk mengekspresikan perasaannya dengan cara yang unik.
b.Renga Ragam puisi Jepang lainnya lagi adalah Renga. Berdasarkan sejarahnya, puisi Jepang berkembang terus. Seiring waktu, tekniknya selalu mengalami perkembangan. Dari seorang penyair, kemudian menjadi dua orang penyair dapat bekerja sama dalam menciptakan sebuah puisi di waktu yang bersamaan, konsep ini dikenal dengan Renga. Latar belakang ide pembuatan Renga ini yakni salah seorang penyair menuliskan bagian yang menjadi idenya dan penyair lainnya menuliskan kelanjutan puisi dari ide penyair yang pertama dengan idenya sendiri. Dua orang penyair menyatukan ide-ide mereka membentuk sebuah puisi, kegiatan ini di waktu dahulu menjadi sebuah hiburan yang populer. Banyak orang berpikir bahwa membuat Renga sama halnya bermain dalam sebuah kompetisi. Dalam mengikuti permainan seperti ini – seperti halnya sebuah kebiasaan, dibutuhkan pemikiran yang cepat dan dengan rasa humor yang baik untuk dapat bermain Renga.
Universitas Sumatera Utara
c. Haiku Bentuk asli Haiku sebenarnya berasal dari Renga. Haiku adalah puisi Jepang yang pendek dikarenakan pemotongan atau dalam artian karena adanya pemenggalan pada kalimat yang sebenarnya memanjang. Basho adalah seorang penyair Jepang yang terkenal dan yang juga telah berjasa dalam mengenalkan Haiku. Walaupun Haiku bertahan hingga saat sekarang ini, namun orang-orang Jepang lebih menikmati membuat puisi dengan bentuk modern atau masa kini dibandingkan membuat Haiku. Sejalan dengan waktu, struktur Haiku mengalami perubahan yang sangat drastis. Pada abad ke-15 M bentuk asli Haiku berubah menjadi sekitar seratus versi yang masing-masing dari versi tersebut masih memiliki jumlah suku kata yang spesifik dengan Renga. Saat ini Haiku terdiri dari 17 suku kata walaupun dengan struktur yang selalu berubah-ubah di setiap masa. Haiku dapat berisi tentang apa saja. Tetapi banyak orang menulis Haiku untuk menceritakan tentang alam dan kehidupan sehari-hari. Tiga baris Haiku menciptakan rasa yang menggambarkan emosi dari penyairnya. Haiku merupakan bentuk baru dari sajak yang lahir di zaman Edo. Haiku mulai muncul dalam kesusasteraan Jepang pada akhir abad ke-17 atau lebih tepat lagi dalam tahun 1662. Di awal perkembangannya kesusasteraan Jepang diawali dengan sastra lisan yang kemudian dialihkan ke dalam tulisan. Secara garis besar, puisi Jepang klasik terbagi dalam dua macam yaitu kayou dan waka. Kayou adalah nyanyian rakyat yang disampaikan dari mulut ke mulut dan dinikmati melalui indra pendengaran. Kayou pada zaman Joodai ini diceritakan dari mulut ke mulut dan mempunyai hubungan yang erat dengan timbulnya kesusasteraan di Jepang pada umumnya dan shuudan bungaku (karya kesusasteraan yang dihasilkan oleh beberapa para sastrawan) pada khususnya,
Universitas Sumatera Utara
termasuk juga semua jenis pantun sebelum timbulnya waka. Nyanyian kayou inilah yang menjadi titik tolak terciptanya waka. Pada mulanya kayou tercetus dari gerak hati yang diungkapkan dengan kata yang sangat sederhana. Dari suara teriakan yang tidak segera dirasakan artinya dan yang keluar ketika bekerja atau pada waktu mengadakan perayaan untuk memuja dewa-dewa yang akhirnya terbentuklah kata-kata. Kata-kata inilah yang kemudian disambung-sambungkan akhirnya lahir dalam bentuk nyanyian kayou. Materi kayou beraneka ragam, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan atau barang-barang buatan manusia dan lain-lain yang mempunyai hubungan yang urat dengan kehidupan manusia, pengutaraannya tidak jelas seperti yang dijumpai dalam kata-kata sehari-hari, namun ada juga yang menggugah perasaan. Kadangkadang mempergunakan kasane kotoba (pengulangan kata) misalnya sungaisungai, hewan-hewan dan lain-lain, tsuika (kata yang menggambarkan perbedaan kontras) misalnya laki-laki kuat wanita lemah, zensoho (kata-kata yang menggambarkan puncak suatu keadaan) mis: miskin, melarat dan lain-lain. Kayou dalam satu bait, suku kata yang dipergunakan berjumlah 2 sampai 9. Namun yang banyak dipergunakan adalah bait yang terdiri dari 5 dan 7 suku kata. Selain itu ada juga bait yang terdiri 2, 3, dan 6 suku kata. Jika berbicara tentang haiku maka akan berkaitan dengan waka dan renga. Waka adalah jenis puisi tradisional Jepang yang berkembang pada abad ke14 dan tersusun dari 31 suku kata. Sedangkan renga apabila dilihat dari huruf kanjinya, renga merupakan salah satu bentuk puisi tradisional Jepang yang mengalami perkembangan pesat diantara abad ke-14 dan 15. Walaupun waka dan renga memiliki persamaan dalam penggunaan jumlah suku kata yaitu 31 suku kata. Namun, pembuatan renga ini dilakukan secara berantai dan berkelompok,
Universitas Sumatera Utara
seperti berbalas pantun. Kelompok pertama membuat puisi bagian pertama atau pembuka. Puisi pembuka ini disebut dengan hokku yang memiliki aturan 5, 7 dan 5 suku kata. Selanjutnya kelompok kedua yang akan membuat puisi atau syair bagian kedua. Syair yang kedua ini disebut dengan wakiku (syair pendamping) dengan pola 7-7 suku kata. Setelah selesai pada syair yang kedua maka kelompok pertama akan kembali lagi membuat syair pada bagian hokku, dan dilanjutkan pada wakiku demikian seterusnya. Kegiatan ini terus berlanjut sampai akhirnya tercipta seratus rangkaian syair puisi. Selanjutnya muncul bentuk lain dari renga yaitu haikai-renga atau yang disebut juga haikai. Penyajian haikai-renga hampir sama dengan bentuk renga sebelumnya. Jika dilihat dari artinya, haikai berarti sesuatu yang jenaka atau lucu. Perkembangan haikai berlangsung sekitar abad ke15 dan ke-16. Perbedaan renga dan haikai-renga pada dasarnya lerletak pada isi serta orang-orang yang terlibat didalamnya. Haikai-renga merupakan jenis puisi yang dinikmati hampir semua golongan masyarakat Jepang pada masa itu, mulai dari bangsawan sampai dengan masyarakat biasa bahkan lebih didominasi oleh masyarakat biasa. Berbeda dari waka ataupun renga yang terbatas hanya pada kalangan bangsawan, isi dari haikai-renga juga lebih ringan, santai dan lebih bebas. Haikai lebih menitikberatkan pada segi humor dan merupakan realita dari kehidupan masyarakat. Dalam titik tertentu haikai-renga telah berhasil mempopulerkan renga pada masyarakat umum. Namun dari sekian banyak yang tercipta sedikit sekali yang memiliki nilai sastra yang tinggi. Di mulai dari pertengahan zaman Chusei (abad pertengahan) sampai permulaan Kinsei (zaman modern) haikai-renga banyak diminati oleh banyak kalangan karena berfokus pada humor. Kemudian karena dianggap dapat berdiri
Universitas Sumatera Utara
sendiri dan terlepas dari puisi renga akhirnya haikai-renga mulai ditulis dengan bagian hokku-nya (haiku) saja. Dalam perkembangan haiku, Basho memiliki peran yang sangat penting karena dia adalah salah seorang penyair haiku yang berhasil mengadakan perbaikan pada haikai terutama dalam isi. Selanjutnya dalam perkembangan haikai, ia berhasil mengangkat bentuk hokku (syair pembuka) menjadi bentuk yang berdiri sendiri. Basho sering membuat hokku tanpa memperhitungkan syair pendamping (wakiku). Dalam perlombaan membuat haikai basho sering membuat hokku tanpa wakiku. Syair pembuka inilah yang sekarang ini disebut dengan haiku. Haiku yang berkembang sampai sekarang ini merupakan haiku yang berasal dari hokku, yaitu bait pertama dari renga. Nama haiku yang ada sekarang ini pertama kali dicetuskan oleh Masaoka Shiki. Masaoka Shiki adalah salah seorang dari penyair haiku yang muncul pada abad ke-19. Sebutan haiku digunakan untuk memisahkan antara hokku (sebagai syair pembuka pada renga) dengan hokku yang berdiri sendiri, dan di batasi pada perkembangan hokku selama beberapa tahun sebelum berakhirnya masa Edo. Walaupun masih terdapat kesimpangsiuran dalam hokku dan haiku, yang terpenting adalah haiku itu pada awalnya merupakan syair pembuka pada haikai renga dan mengalami pemisahan karena dapat berdiri sendiri tanpa adanya wakiku. Namun sekarang ini Basho lebih dikenal sebagai penyair haiku, karena ia adalah penyair yang berhasil mengangkat hokku dari renga. Walaupun pada masa itu ia tidak membuat nama tersendiri untuk bait pertama dari haikai-renga tersebut. Namun karena ia sering membuat hokku tanpa wakiku maka ia dianggap
Universitas Sumatera Utara
sebagai penyair yang telah berhasil memperbaharui haikai. Selain itu Basho di sebut juga sebagai pelopor dalam perkembangan haiku, meskipun pada awalnya ia memulai karir puisinya dari haikai-renga. Haiku mengalami perkembangan yang pesat pada masanya. Haiku yang dikembangkan oleh Basho mencakupi tema-tema yang luas. Bagi Basho tidak ada tema yang tidak terlalu umum baginya, dan tidak ada tema yang sifatnya agung atau indah. Namun seiring dengan berjalannya kehidupan yang dialami Basho, ia memilih untuk menulis syair-syair yang menunjukkan perhatiannya terhadap alam dan kehidupan manusia.
2.4 Riwayat Hidup Matsuo Basho Matsuo Munefusa atau yang lebih dikenal dengan nama Matsuo Basho, dilahirkan pada tahun 1644 di Ueno, yaitu daerah yang terletak di propinsi Iga (saat ini dikenal dengan prefektur Mie). Tidak terdapat keterangan pasti tentang tanggal lahirnya. Namun ada yang menyebutkan bahwa Basho lahir pada tanggal 15 September, bertepatan pada saat bulan purnama. Ia memiliki seorang kakak laki-laki dan empat orang saudara perempuan. Ayahnya, Matsuo Monzaemon, adalah seorang samurai dari kelas bawah yang hidup bertani selama masa damai. Nama Basho bukanlah nama yang dimilikinya sejak kecil. Nama asli dari Basho sendiri adalah Matsuo Munefusa. Nama tersebut diberikan oleh muridnya dikarenakan tanaman yang tumbuh di dekat pondok kecilnya yang sederhana. Dalam bahasa Jepang Basho diartikan sebagai pohon pisang. Pondok atau lebih tepatnya gubuk kecil yang dihuni oleh Basho dikelilingi banyak pohon pisang, yang memang sengaja di tanam oleh muridnya. Oleh karena itu, nama Basho merupakan nama julukan yang diberikan oleh oran-orang disekitarnya.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun kehidupan Basho tidak terlalu mewah, ia masih termasuk keturunan samurai dan sering keluar masuk istana. Pada tahun 1656, setelah beberapa tahun kematian ayahnya, Basho yang dikenal dengan Munefusa, bekerja melayani Todo Yoshikiyo yang masih kerabat dari seorang daimyo (penguasa daerah) yang menguasai propinsi Iga. Tidak terdapat catatan tentang kegiatan Basho selama bekerja. Namun beberapa pendapat menyebutkan bahwa jabatannya rendah dan tugasnya sedikit. Selanjutnya ia bergabung dalam kegiatan anak Yoshikiyo, yaitu Yoshitada, yang berumur dua tahun lebih tua darinya. Yoshitada merupakan seorang penulis haikai di waktu senggangnya dengan nama samaran Sengin. Nama Sengin merupakan pemberian dari guru Yoshitada, yaitu Kitamura Kingin. Kingin merupakan salah seorang penyair haikai terbaik dari sekolah Teimon. Dari sinilah awal mula Basho menyukai dunia haiku dan mempelajari Teimon, sampai akhirnya dia menemukan alirannya tersendiri. Isoji Aso (1938:125-126) mengatakan bahwasannya, aliran Teimon ini lebih mengutamakan pada permainan kata-kata yang menekankan pada hal-hal yang menjadi bahan tertawaan atau lucu. Namun ketika bergabung dengan Sengin, Basho tidak menggunakan nama aslinya, ia menggunakan nama samaran Sobo. Ia mulai menulis puisi pertama yaitu pada tahun 1662. Namun puisi pertamanya yang tercatat yaitu pada Pebruari 1663, yang isinya sebagai berikut: Haru ya koshi Toshi ya yukiken Kotsugumori
Universitas Sumatera Utara
Terjemahannya adalah: Apakah musim semi yang datang Apakah tahun yang telah berlalu Dua hari terakhir Kehidupan Basho yang sesungguhnya dimulai pada saat ia mulai bergabung dengan Yoshitada. Kehidupannya sebagai samurai ia jalani sambil membuat puisi. Tetapi pada musim pada tahun 1666, Basho mengalami masa sulit ketika gurunya Yoshitada (Sengin) tiba-tiba meninggal dunia di usia yang sangat muda. Karena kejadian ini Basho memutuskan untuk meninggalkan tempat kelahirannya dan mulai mempelajari Zen di sebuah biara (Kimpuji) di dekat Kyoto di antara tahun 1666-1671. Di biara ini ia juga mempelajari tentang kesusasteraan Cina dan kaligrafi. Meskipun ia telah meninggalkan kampung halamannya, Basho masih terus menulis haikai. Pada tahun 1672 Basho pindah ke Edo (Tokyo), dimana ia semakin aktif menulis puisi. Selama keberadaannya di Edo, di kota ini (1673-1684) ia juga berlatih/mempelajari meditasi Zen yang tinggal di kuil Chokeji. Pada musim panas tahun 1684, Basho memulai salah satu dari perjalanan panjangnya dari Edo menuju Kyoto. Tidak seperti perjalannya sebelumnya, perjalanan ini tidak untuk suatu perjalan spiritual. Adapun tujuan dari perjalanan ini adalah untuk mengunjungi makam ibunya, mengunjungi muridnya di Ogaki, dan mendisiplinkan dirinya melalui perjalanan yang sulit ini.perjalanan ini sangat sulit karena dia harus melewati beberapa daerah yang berada antara Edo dan Kyoto. Dari perjalanan ini, Basho mulai menemukan dan menciptakan gaya puisinya sendiri. Selama perjalanan berlangsung sama seperti seorang Bhiksu,
Universitas Sumatera Utara
Basho menggunakan jubah hitam yang biasa digunakan pendeta Budha, sebuah, kebiasaan yang akan digunakan sampai akhir nidupnya. Setelah melakukan perjalanannya Basho akhirnya kembali lagi ke Edo pada musim dingin 1691. Selama perjalanan ada beberapa kemajuan yang dialaminya dalam menciptakan haiku yang lebih dekat pada keindahan alam. Begitu banyak haiku yang diciptakan dari berbagai perjalanan jauhnya, antara lain Oku No Hosomichi, Sarumino, dan lain sebagainya. Setelah kembali ke Edo Basho memutuskan untuk melakukan perjalanan kembali. Ia ingin mengenalkan dasar pemikiran ataupun gaya puisinya yang baru yaitu karumi kepada para penyair di luar Edo. Makoto Ueda (1992:428) menjelaskan bahwa Karumi memiliki pengertian “ringan atau menerangi”, menunjukkan pada sebuah kesederhanaan, yaitu kesederhanaan akan keindahan yang muncul ketika penyair menemukan tema puisinya pada hal-hal yang umum dan mengekspresikannya dalam bahasa yang sederhana. Pada akhirnya Basho memutuskan untuk melakukan perjalanan lain pada musim panas 1694. Namun karena meninggalnya salah seorang teman terdekatnnya, perjalanan Basho harus terhenti dan dia harus kembali ke Edo. Selanjutnya Basho kembali lagi ke Ueno pada awal musim semi untuk istirahat selama sebulan. Selanjutnya ia melanjutkan perjalanan ke Osaka dengan beberapa teman dan sanak saudara. Tetapi selama perjalanan kesehatan Basho menurun drastis, meskipun begitu ia tetap menulis beberapa syair-syair yang sangat indah. Salah satu dari haiku yang ditulisnya di Osaka adalah: Ko no aki wa Nan de toshiyoru Kumo ni tori
Universitas Sumatera Utara
(Makoto Ueda, 1992:407) Terjemahan: Musim gugur ini Mengapa usia bertambah tua Kepada awan dan burung Haiku ini mengindikasikan kekhawatiran Basho menuju kematian. Selang beberapa waktu karena sakit perut yang dideritanya ia berada di tempat tidur, dan tidak pernah sembuh sejak itu. Begitu banyak muridnya yang berdatangan ke Osaka dan berkumpul di samping tempat tidurnya. Basho terlihat begitu tenang dihari-hari terakhirnya. Haiku terakhir yang berhasil ia tulis adalah: Tabi ni yande Yume wa kareno wo Kakemeguru (Makoto Ueda, 1992:413) Terjemahan: Sakit di dalam perjalanan Mimpiku berkelana Mengitari padang rumput yang kering Haiku ini tercipta di saat-saat terakhir hidupnya dengan dibantu oleh muridnya. Basho wafat pada Nopember 1694 pada usia 50 tahun.
Universitas Sumatera Utara