ANALISIS KONSEP PEMIKIRAN WABI SABI DALAM EMPAT HAIKU KARANGAN MATSUO BASHO
Felisia Gunawan Jln. Camar Elok 7 no 8 PIK, 08197667207,
[email protected] Felisia Gunawan, Linda Unsriana, SS, M.Si
ABSTRAK
Haiku, salah satu puisi Jepang yang mengandung konsep pemikiran estetika tradisional Jepang yaitu wabi sabi. Salah satu pengarang haiku yang terkenal adalah Matsuo Basho. Rumusan permasalahan penelitian adalah menemukan konsep wabi sabi dalam empat haiku karangan Matsuo Basho. Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif. Korpus data adalah empat haiku karangan Matsuo Basho yang dipilih dari buku kumpulan haiku. Satu persatu kata dalam haiku akan dicari artinya lalu dihubungkan dengan konsep wabi sabi. Tujuannya yaitu mengetahui apa itu wabi sabi dan menemukannya dalam empat buah haiku tersebut. Haiku merupakan puisi yang terdiri dari tiga baris dengan bentuk 5-7-5 silabel. Wabi sabi, berarti kesedihan dan kesepian, konsep pemikiran akan keindahan yang ditemukan dalam ketidaksempurnaan dan ketidakabadian. Dalam keempat haiku ini ditemukan semua unsur wabi sabi yang dicantumkan pada Bab 2, juga ditemukan beberapa karakteristik dari tujuh karakteristik wabi sabi dalam Budha Zen. Haiku pertama mengandung wabi zumai dan karakteristik kanso, seijaku, yuugen dan kokou. Haiku kedua mengandung kepasrahan menghadapi waktu yang terus berjalan dan karakteristik seijaku, yuugen, fukinsei, dan shizen. Haiku kedua dan ketiga mengandung nilai wabi yang mengingatkan manusia pada lingkungan dan karakteristik pada haiku ketiga adalah fukinsei, shizen dan kokou. Haiku terakhir mengandung ekspresi keindahan yang berada diantara kematian dan kehidupan serta karakteristik kokou. Wabi sabi merupakan konsep keindahan yang mempunyai hubungan erat dengan lingkungan dan hal yang ada di sekitar manusia. Kata kunci : haiku, wabi sabi, Matsuo Basho Haiku, as one of Japanese poems has a traditional Japanese aesthetic known as wabi sabi. One of the legendary famous haiku poet is Matsuo Basho. The formulation of the problem in this thesis is to find wabi sabi in four haiku of Matsuo Basho. Qualitative method is used to do the data analysis. The data is the four haiku of Matsuo Basho. In each haiku, all the words’ meaning will be searched one by one and will be connected to wabi sabi concept. The purpose of this thesis is to know and understand what wabi sabi is and find it in the four haiku. Haiku is
a poem consists three lines with 5-7-5 syllabel form. Wabi sabi, which means sadness and loneliness, is a beauty that can be found in imperfection and impermanence. Not only the wabi sabi concept that is written in chapter 2 are found in these four haiku but also seven Zen characteristic too. First haiku has wabi zumai and kanso, seijaku, yuugen and kokou. Second haiku has submission to the fact that time is moving nonstop and seijaku, yuugen, fukinsei and shizen. In second and third haiku,there is a wabi concept where reminds us human to the environment around us and the third haiku has fukinsei, shizen and kokou. And in last haiku,has an ideal wabi sabi beauty, where the beauty lays between life and death and kokou. Wabi sabi is a beauty concept that has a deep connection between human and the environment around human. Key words : haiku, wabi sabi, Matsuo Basho
PENDAHULUAN Kesusasteraan Jepang telah berkembang sejak ratusan tahun lamanya dan telah banyak dan terus tercatat dalam sejarah Jepang sendiri. Menurut Keene (1995, hal. 1-2) di mata orang Barat, Jepang dikenal sebagai negara peniru. Keene juga berpendapat bahwa kesusasteraan Jepang merefleksikan China dari cara penulisan, filosofi, dan pengaruh agama yang terdapat di China bisa juga ditemukan dalam kesusasteraan Jepang. Dalam hal kesusasteraan, Jepang mencapai ketenaran di mata dunia dan berpengaruh lebih besar daripada kesusasteraan China. Terutama adalah puisi. Puisi Jepang berbeda dengan puisi China, terutama dalam hal bahasa. Bahasa China adalah bahasa yang bersuku kata satu dengan irama musikal yang berfungsi untuk membedakan suku katanya yang sama. Sedangkan Bahasa Jepang, sebaliknya, adalah bahasa yang bersuku kata banyak dan tidak mempunyai irama seperti Bahasa China. Dalam kepuisian Jepang, irama yang ada seperti irama di dalam Bahasa China adalah sesuatu yang dihindari (Keene, 1955, hal. 1-2). Salah satu kesusteraan Jepang yang dikenal dunia adalah haiku. Haiku atau dahulu dikenal dengan kata hokku, berkembang dan berasal dari renga, puisi yang berkembang sejak abad kedua belas yang sampai sekarang digemari oleh bukan hanya orang Jepang tetapi juga oleh orang-orang yang berada di luar Jepang. Hal yang sama dikemukakan oleh Beilenson (2008, hal. 1) yang menyatakan bahwa hokku (atau lebih sering disebut dengan haiku) adalah salah satu bagian dari puisi Jepang yang sudah berkembang ratusan tahun lamanya. Pada abad keenam belas, haiku menjadi berkembang pesat di Jepang bersama dengan teater kabuki dan lukisan kayu ukiyo-e. Sebagai salah satu kebudayaan yang cukup tua umurnya, sampai sekarang ini murid di sekolah-sekolah Jepang mempelajari apa itu haiku dan setidaknya ada kurang lebih sejuta pengarang haiku di Jepang. Bahkan di dalam koran sekalipun terdapat bagian untuk haiku. Penyuka atau peminat haiku mencari arti dalam sebuah haiku dengan memperhatikan benda dan imej yang ditampilkan untuk mengetahui dan mengerti apa yang ingin disampaikan oleh si pengarang haiku. Ada tiga kategori yaitu : apa, di mana dan kapan. Apa, adalah reaksi dari pengarang haiku seperti sesuatu yang menarik perhatian pengarang, apa yang didengar dan apa yang dirasa. Di mana, mengindikasikan tempat saat pengarang menulis haiku itu berada, seperti misalnya di Gunung Fuji atau kota kuno Nara. Kapan biasanya diekspresikan dari musim atau suatu tumbuhan atau hewan secara spesifik, yang disebut sebagai kigo. Misalnya katak mengindikasikan akhir musim semi, bunga plum adalah bunga pertama yang tumbuh saat tahun baru, dan bunga morning glory yang tumbuh saat musim panas, bulan purnama yang mengindikasikan musim gugur, serta shigure yang mengindikasikan musim dingin. Selain kigo, ada juga kireji dalam haiku yang berfungsi sebagai pemberhenti di dalam haiku (Reichhold, 2002, hal. 29). Matsuo Basho adalah salah satu pengarang haiku legendaris yang terkenal akan prinsip puisinya. Karya-karya Matsuo Basho sangat terkenal dan diakui tidak hanya di Jepang tetapi juga di mata dunia. Berkat Basho kesusasteraan Jepang banyak diminati oleh orang-orang di dunia. Matsuo Basho lahir pada tahun 1644 di Ueno, Provinsi Iga dengan nama Matsuo Kinsaku. Ia lahir dan tumbuh besar dalam keluarga samurai yang berstatus sosial rendah yang melayani keluarga Todo. Saat beranjak dewasa, ia dipanggil dengan nama samurai-nya yaitu Munefusa. Basho mulai tertarik dengan puisi sejak ia masih muda, bersama dengan teman baiknya, Todo Yoshitada yang merupakan anak dari keluarga Todo yang dilayani keluarganya. Tetapi pada tahun 1666, Yoshitada meninggal. Berita menyedihkan ini membuat
Basho sedih dan memutuskan untuk meninggalkan keluarga Todo. Saat itulah, Basho pergi meninggalkan kampung halamannya dan mulai mengisolasikan dirinya. Saat itu, Basho merasa tidak puas akan dirinya. Basho masuk ke suatu kuil Zen dan melakukan meditasi dibawah bimbingan biksu di kuil tersebut. Kehidupan Basho sejak itu adalah kehidupan berkelana yang jauh dari kampung halaman dan orangorang yang ia sayangi. Barhill (2005, hal. 1) menyatakan bahwa Basho banyak melakukan perjalananan sambil menghasilkan jurnal-jurnal yang berisikan karya-karyanya. Perjalanan yang Basho lakukan bukan hanya sekedar liburan ke tempat yang indah pemandangannya dan kembali ke kampung halaman, tetapi sebagai permulaan dari hidup pelancongannya sebagai haijin ( kata sebutan untuk pengarang haiku). Basho percaya ia akan menemukan penerangan dalam keindahan dari kehidupannya yang sepi dan terisolasi dan mengekspresikan keindahan yang ia temukan tersebut di dalam haiku-haikunya. Basho merasa tidak puas akan dirinya meski ketenaran yang ia dapatkan, ia memutuskan untuk melakukan perjalanan dengan tujuan mencari jati diri sambil berkarya dalam puisi-puisinya. Sampai akhir hayatnya, Basho melakukan lima perjalanan sambil terus menghasilkan karya. Salah satu perjalanannya yang terkenal dan merupakan perjalanan terakhir sebelum hayatnya adalah Oku no Hosomichi, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan The Narrow Road to The Deep North. Basho memulai perjalanan yang panjang dan sulit ini dari Tokyo menuju ke bagian Utara Jepang, ke daerah yang sekarang dikenal dengan nama Aomori. Di dalam buku ini, Basho menulis segala sesuatu yang ia temukan di perjalanannya menuju Utara. Karya ini menjadi salah satu karya agung dan besar dalam kesusasteraan Jepang. Basho wafat di Osaka pada tahun 1694 (Barnhill, 2005, hal. 2-3). Dalam buku-buku referensi banyak tentang kesusasteraan Jepang dan haiku, haiku mengandung konsep estetika tradisional Jepang. Zen, salah satu aliran Buddhisme yang berasal dari China yang masuk ke Jepang, adalah salah satu aliran agama Buddha yang menjunjung tinggi nilai spiritual dan alam sekitar kehidupan manusia. Dalam kebudayaan, karya-karya seni dan sastra orang Jepang banyak ditemukan dan dipengaruhi nilai-nilai Zen Buddhisme seperti upacara minum teh chanoyu atau disebut juga dengan sadoo, seni merangkai bunga ikebana, haiku, dan desain taman di kuil-kuil Jepang. Wabi sabi adalah salah satu pemikiran estetika tradisional orang Jepang yang berada di bawah pengaruh Zen Buddhisme yang telah berkembang ratusan tahun lamanya. Juniper (2003, hal. 1) mengatakan wabi sabi adalah ekspresi keindahan yang berada di antara kehidupan dan kematian, kebahagian dan penderitaan yang merupakan takdir kita sebagai manusia. Istilah wabi sabi sendiri mengandung nilai-nilai yang berkaitan erat dengan alam yang dengan sendirinya menua, memudar dan akhirnya hilang tanpa campur tangan manusia. Hal ini merupakan ekspresi dari ketidakabadian, kesederhanaan, kesenjangan dan ketidaksempurnaan. Banyak artis-artis Jepang yang mencari inspirasi bagi karya mereka dari apa yang alam tawarkan kepada mereka dengan apa adanya. Puisi telah berkembang di dunia sejak ribuan tahun yang lalu. Haiku sebagai bagian dari puisi Jepang, menawarkan cara yang unik dan berbeda dalam mengekspresikan perasaan kita. Semua perasaan yang kita rasakan dapat diekspresikan dalam satu kalimat pendek yang hanya terdiri dari tujuh belas silabel dengan bentuk 5-7-5 baris. Selain itu, kita bisa mengetahui apa, dimana dan kapan pengarang haiku itu menulis haiku tersebut dan yang ingin disampaikan olehnya. Haiku juga merupakan salah satu dari banyak kebudayaan Jepang yang memperkenalkan kita tentang apa itu konsep pemikiran estetik wabi sabi. Dimana konsep pemikiran estetik ini tidak sama dengan konsep estetik yang ada pada umumnya. Wabi sabi mempunyai makna kesuraman, kesunyian, kesederhaan dan ketenangan. Dari semua hal itulah, keindahan itu berada. Alasan mengapa penulis memilih untuk meneliti penelitian yang berjudul “Analisis Konsep Pemikiran Wabi Sabi dalam Empat Haiku Karangan Matsuo Basho” ini adalah karena di dalam buku-buku kesusasteraan yang ada, banyak yang mengatakan bahwa haiku mengandung konsep pemikiran wabi sabi tersebut. Saat penulis mencoba membaca salah satu haiku, penulis tidak dapat menemukan di mana unsur wabi sabi dapat dirasakan pada haiku tersebut. Oleh karena itu, penulis memutuskan untuk menelusuri lebih dalam mengenai konsep wabi sabi dan menemukannya didalam haiku. Rumusan permasalahan penelitian ini adalah untuk menemukan dan menganalisis konsep wabi sabi yang terdapat dalam haiku karangan Matsuo Basho. Penulis akan menganalisi empat haiku yang dipilih dari dalam buku kumpulan haiku. Tujuan dan manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui apa itu unsur-unsur pemikiran estetik wabi sabi dan menemukan unsur-unsur tersebut di dalam empat buah haiku karangan Matsuo Basho.
Teori yang penting dalam penulisan ini adalah konsep haiku dan konsep wabi sabi. Pramudjo (2002, hal. 19) mengatakan bahwa wabi sabi terdiri dari dua suku kata yakni wabi dan sabi, keduanya berasal dari kata sifat yang mempunyai pengertian hampir sama yaitu wabishii yang berarti tidak senang, sepi, sunyi, lengang, suram dan redup. Sedangkan sabishii mempunyai arti kemelaratan, kesedihan, kemiskinan dan kesepian. Itoh dalam Pramudjo (2002, hal. 19) juga menggambarkan wabi sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari seperti wabi zumai yang berarti seseorang yang sepi, mengandung kesedihan dengan tanpa ada kehangatan kasih sayang dari seorang istri/suami, tetapi di sisi yang lain juga mempunyai kehidupan wabi yang bermakna positif, yakni hidup yang sederhana, hening, penuh keindahan dan keanggunan yang mempunyai tujuan mendapatkan kepuasan spiritual dengan cara mengasingkan diri dari keramaian atau keduniawian. Sedangkan sabi, yang berasal dari kata sabishii berarti sunyi, sepi, sesuatu yang rusak akibat dari pengaruh cuaca atau udara, sehingga secara tidak langsung sabi berkaitan dengan “waktu”. Itoh dalam Pramudjo (2002, hal. 19) mengartikan keindahan sabi lebih banyak ditentukan oleh faktor waktu atau usia, karena waktu mempunyai kemampuan untuk menyiratkan esensi suatu benda sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Kato dalam Pramudjo (2002, hal. 21) menekankan bahwa wabi sabi identik dengan kewajaran atau alami. Dan menurutnya, kewajaran tersebut mempunyai pengertian “tidak sempurna, tidak lengkap dan tidak abadi”. Kriteria dari kewajaran itu adalah tidak berlebihan, sesuai dengan kebutuhan hidup, sederhana, dan tidak menentang kodrat. Menurut Kato dalam Pramudjo (2002, hal. 21) “Nilai-nilai spiritual wabi sabi ini diperoleh dari hasil kontak manusia dengan alam yang dipadukan dengan pemikiran Tao, yakni mengkaitkan antara benda dan waktu, keduanya jika dipadukan berakibat tidak abadi, tidak lengkap dan tidak sempurna. Pemahaman wabi sabi dalam nuansa ketiadaan terhadap benda, merupakan efek dari bergulirnya waktu yang menimpa benda, sehingga menyebabkan benda menjadi renta, layu, retak, berlubang, mengelupas, berkerut dan perubahan wujud suatu benda itu sesuai dengan karakteristik masing-masing benda.” Secara keseluruhan, makna wabi sabi adalah kepasrahan dan ketulusan dalam menghadapi pergantian waktu, sehingga rasa itu dilukiskan oleh orang Jepang ke dalam karya seninya yang melukiskan keadaan yang hening, tenang, dan diam. Juniper (2003, hal. 1) mengatakan bahwa “Wabi sabi mengandung pandangan ketiadaan Zen yang mencari keindahan dari ketidaksempurnaan yang ditemukan di semua benda yang terus berubah, yang berkembang dari ketiadaan menjadi ketiadaan lagi.” Wabi sabi menawarkan keindahan ideal yang berfokus pada nilai keindahan yang terdapat dalam ketidakabadian yang bisa ditemukan dalam semua benda yang tidak sempurna. Ekspresi keindahan yang berada di antara kehidupan dan kematian, kebahagian dan penderitaan yang merupakan takdir kita sebagai manusia. Itoh (1993, hal. 7) menyatakan bahwa “Wabi bisa diartikan sebagai keindahan alam yang tidak pernah disentuh oleh tangan manusia, atau bisa muncul dari manusia yang melukiskan keindahan dari material. Untuk menemukan wabi, seseorang harus mempunyai penglihatan akan keindahan, yang bukan sesuatu yang hanya dimengerti oleh orang Jepang dahulu saja, tetapi juga sesuatu yang bisa dilihat oleh siapa saja, dimana saja yang bisa membedakan dan peka terhadap keindahan.” Kemudian sabi (Itoh, 1993, hal. 7) jika sebuah hal atau benda berusia semakin tua, nilai atau keberadaannya tidak akan hilang dimakan waktu. Sebuah jam tangan baru tentu saja terlihat bagus. Namun, seiring dengan waktu, jam tangan itu bukan lagi jam tangan baru melainkan sebuah jam tangan yang tua, kusam dan kemungkinan memiliki banyak goresan. Jika dilihat dari sudut pandang konsep sabi, jam tangan tua itu terlihat semakin indah, karena jam tangan tersebut memiliki ‘sejarah’ yang dimilikinya seiring dengan perjalanan hidup pemiliknya. Suzuki (2005, hal. 30) menyatakan bahwa, jika wabi dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, maka seseorang merasakan kepuasan dalam hidupnya hanya dengan tinggal di sebuah gubuk kecil dengan ruangan berukuran dua tatami dan memakan sayur-mayur yang dipetik dari kebun pribadi. Karena wabi adalah bagian dari Zen, maka wabi bertujuan untuk menyadarkan manusia bahwa alam dan sekitarnya juga penting dalam kehidupan ini. Sampai saat ini, alam dan sekitarnyalah yang telah membantu kelangsungan hidup manusia. Keindahan yang tidak sempurna adalah keindahan yang antik dan primitif,
yang disebut juga dengan sabi. Jika sebuah benda kesenian memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi, maka di dalamnya pastilah terdapat unsur sabi. Sabi memiliki unsur ketidaksempurnaan yang kampungan dan kolot (Suzuki, 2005, hal. 32). Hisamatsu (1997, hal. 29-37) mengatakan bahwa Zen memiliki tujuh karakteristik yang secara tidak langsung berhubungan dengan konsep wabi sabi yakni : fukinsei (asimetris), kanso (kesederhanaan), kokou (kekeringan yang agung), shizen (kealamian), yuugen (kedalaman esensi), datsuzoku (kebebasan) dan seijaku (ketenangan).
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dengan metode ini, penulis akan menganalisis haiku Matsuo Basho yang menjadi korpus data penelitian ini yang akan penulis hubungkan dengan unsur-unsur konsep pemikiran wabi sabi. Pertama-tama penulis akan mencari dan memahami apa itu konsep pemikiran wabi sabi. Ketika sudah mengerti dan paham akan konsep tersebut, penulis akan memilih haiku yang ada di dalam buku kumpulan haiku Matsuo Basho karangan Hori Nobuo. Empat haiku yang penulis pilih adalah haiku yang penulis perkirakan mempunyai nilai wabi sabi. Selanjutnya, penulis akan menganalisis haiku yang sudah dipilih dari kata-kata yang tertulis di dalamnya.
HASIL DAN BAHASAN Pada bab ini penulis akan menganalisis unsur-unsur wabi sabi yang terdapat di dalam empat buah haiku karangan Matsuo Basho yang sudah penulis pilih dari dalam buku kumpulan haiku karangan Matsuo Basho yang berjudul Basho Zenku karangan Hori Nobuo. Penulis akan membahas haiku-haiku yang telah penulis pilih dengan data-data yang telah dicantumkan pada bab sebelumnya. Hokku, atau sekarang dikenal dengan haiku, terdiri dari tiga baris atau larik dalam bentuk 5-7-5 silabel (Ueda 1995, hal 1). Penulis akan menganalisis satu persatu larik atau baris dari setiap haiku dengan mencari satu persatu arti dari setiap kata yang tedapat dalam haiku yang sudah dipilih, lalu akan penulis hubungkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kata tersebut yang penulis teliti dari pernyataan-pernyataan yang ada yang nantinya akan mendukung unsur wabi sabi yang penulis temukan pada setiap haiku.
Analisis Konsep Wabi Sabi dalam Haiku Pertama Tabi ni yande Yume wa kareno wo Kakemeguru Dalam baris pertama, tabi ni yande, ditemukan adanya kesedihan dan kesepian dari kehidupan Matsuo Basho, yang sesuai dengan konsep wabi zumai. Wabi zumai memiliki makna seseorang yang sepi dan jauh dari kehangatan dan kasih sayang, karena jatuh sakit saat musim dingin dan berada jauh dari rumah dan orang-orang yang disayangi. Namun dibelakangnya terdapat keindahan yang didapat dari kepuasan spiritual yang tenang dan bebas dari beban duniawi (Pramudjo, 2002, hal. 19). Kehidupan wabi zumai yang sederhana dan apa adanya mencerminkan satu dari ketujuh karakteristik Zen yaitu kanso yang berarti keserdehanaan tanpa adanya kecampur adukan (Hisamatsu, 1997, hal. 29-37). Campur aduk disini maksudnya adalah kehidupan yang jauh dari duniawi dan memperoleh kepuasan spiritual (Hisamatsu, 1997, hal. 29-37) (Pramudjo, 2002, hal. 19). Sedangkan dalam baris kedua, yume wa kareno wo, penulis temukan lagi nilai wabi sabi yang berfokus pada ketidakabadian dan mencari keindahan dari ketidaksempurnaan yang ditemukan di semua benda yang terus berubah, yang berkembang dari ketiadaan menjadi ketiadaan lagi (Juniper 2003, hal. 1). Dalam hal ini terdapat pada kata yume, yakni mimpi yang berarti sesuatu yang dialami saat tidur (KBBI, 2008). Hal ini berarti mimpi akan hilang saat manusia bangun dari tidurnya. Selain itu, pada baris kedua ini mengandung kedalaman esensi yang suram namun menenangkan (yuugen) serta ‘kekeringan’ kokou yang telah mencapai sesuatu yang terdalam dan menyisakan sesuatu yang paling esensial (Hisamatsu, 1997, hal. 29-37). Hal ini juga diperkuat oleh konsep sabi menurut Itoh (Pramudjo, 2002, hal. 19) dan konsep wabi sabi menurut Kato (Pramudjo, 2002, hal. 21), yakni sabi berhubungan dengan waktu yang mempunyai kemampuan menyiratkan esensi suatu benda sesuai dengan karakteristiknya
Dan akhirnya pada baris terahir haiku pertama ini, kakemeguru yang berarti berlari berputar (Shinmura, 2008, hal. 484) mengandung seijaku (ketenangan), yang merupakan satu dari ketujuh karakteristik Zen yang berhubungan kental dengan wabi sabi (Hisamatsu, 1997, hal. 29-37). Konsep seijaku dalam karakteristik Zen ini memiliki makna ketenangan sebagi sesuatu yang diam namun bergerak tanpa ada gangguan. Pada baris ketiga ini, seijaku terdapat pada kakemeguru, yakni gerakan berlari berputar adalah gerakan yang sama yang diulang-ulang tanpa adanya gangguan.
Analisis Konsep Wabi Sabi dalam Haiku Kedua Hi ni kakaru Kumo ya shibashi no Wataridori Dalam baris pertama, hi ni kakaru, penulis menemukan sesuatu yang bergerak dalam tenang dan tidak terganggu, yang sesuai dengan konsep ketenangan seijaku (Hisamatsu, 1997, hal. 29-37). Hal itu dalam kasus ini adalah gerakan bumi yang mengelilingi matahari mengakibat pergantian siang dan malam. Seiiring berputarnya bumi mengelilingi matahari, maka hari demi hari berlalu tanpa ada yang bisa menghentikannya. Fakta ini penulis hubungkan dengan konsep wabi sabi menurut Kato (Pramudjo, 2002, hal. 21) yakni kepasrahan dan ketulusan manusia dalam menghadapi pergantian waktu, sehingga rasa itu dilukiskan oleh orang Jepang ke dalam karya seninya yang melukiskan keadaan yang hening, tenang, dan diam. Lalu dari semua itu, hari demi hari yang berlalu, mempunyai kedalaman makna yang sesuai dengan konsep yuugen menurut Hisamatsu (1997, hal. 29-37). Konsep yuugen dalam Zen ini memiliki arti kedalaman esensi atau makna dalam hari demi hari yang berlalu di dunia ini. Sedangkan dalam baris kedua, kumo ya shibashi no, ditemukan keindahan ideal wabi sabi yakni keindahan yang berfokus pada sesuatu yang tidak abadi dan terus berubah, sesuai dengan konsep wabi sabi menurut Juniper (2003, hal. 1). Keindahan ideal wabi sabi menurut Juniper ini ditemukan dalam kata kumo yakni awan yang memiliki bentuk yang berubah-ubah lalu berkembang dari ketiadaan menjadi ketiadaan lagi dan kata shibashi yakni waktu sementara yang merupakan sesuatu yang tidak abadi. Lalu, dua dari tujuh karakteristik Zen yaitu fukinsei (asimetris) dan shizen (kealamian) dalam hal ini ada pada kata kumo. Bentuk awan yang tidak sama dan tidak simetris sesuai dengan konsep fukinsei, suatu benda yang bukan artifisial dan fukinsei biasanya berhubungan erat dengan konsep shizen yakni kealamian yang wajar dan tidak dibuat-buat (Hisamatsu, 1997, hal. 29-37). Pada baris terakhir, wataridori, yang menurut Shinmura (2008, hal. 2875) adalah burung pengembara yang berpindah setiap tahunnya mengandung unsur wabi menurut Suzuki (2005, hal. 30). Di mana unsur wabi disini bertujuan untuk menyadarkan manusia akan besarnya peran lingkungan yang ada di sekitar dalam hidup manusia. Burung-burung pengembara ini merupakan contoh salah satu makhluk hidup yang hidupnya terpengaruh oleh lingkungan. Burung-burung ini harus berpindah-pindah sesuai dengan iklim lingkungan yang cocok dan memungkinkan mereka mendapat sumber makanan dan tempat perkembangbiakan.
Analisis Konsep Wabi Sabi dalam Haiku Ketiga Kozue yori Ada ni ochikeri Semi no kara Jika dianalisis satu persatu kata yang terdapat dalam haiku ini, bisa penulis lihat yang ingin disampaikan oleh Basho dan letak wabi sabi dalam haiku tersebut bisa dirasakan. Dalam haiku ini, pada baris pertama terdapat sifat asimetris fukinsei dan shizen (Hisamatsu, 1997, hal. 29-37) yang dimiliki oleh pohon yang batang dan cabangnya tumbuh dengan bentuk dan ukuran yang tidak sama dan tidak teratur. Hal ini sesuai dengan pendapat Anesaki (1973, hal. 19) bahwa pohon yang tumbuh dengan kebebasan yang besar dan ketidakteraturan, maka pohon memiliki sifat asimetri yang dimiliki oleh alam yang tidak menentang kodrat. Juga sesuai dengan pendapat Rodd (2008, hal. 70) yang menyatakan bahwa pohon sebagai tanaman memiliki bentuk yang berbeda-beda tergantung pada sel genetik dan tempat lingkungan hidupnya. Pohon dalam haiku ini mengindikasikan tempat serangga semi jantan hidup dan mengeluarkan suara khasnya untuk menarik perhatian betina (Dalby, 2007, hal. 121).
Basho mengekspresikan, serangga semi yang memiliki umur pendek ini adalah benda dan waktu yang bila dipadukan menjadi sesuatu yang tidak abadi. Keindahan wabi sabi terletak pada ketidakabadian dan ketidaksempurnaan tersebut (Juniper, 2003, hal. 1). Lalu setelah serangga semi ini mati, terdapat karakteristik kokou (kekeringan dan sesuatu yang esensial) yaitu cangkang kulitnya yang sudah kosong, hampa dan tidak ada artinya. Meskipun demikian, cangkang serangga semi ini akan membusuk ke dalam tanah dan memiliki esensi yang terdapat di dalamnya, yakni dapat berguna bagi tanaman yang ada di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Carwardine (2008, hal. 224) menyatakan bahwa cangkang serangga semi ini nantinya akan membusuk kedalam tanah dan esensi yang terdapat didalamnya bisa berguna bagi tanaman yang tumbuh disekitarnya.
Analisis Konsep Wabi Sabi dalam Haiku Keempat Hanamina karete Aware wo kobosu Kusa no tane Penulis berpendapat bahwa unsur wabi sabi dalam haiku ini tidak bisa dilihat dan dirasakan secara kental bila hanya dilihat dari satu persatu kata dan baris yang ada. Namun jika semuanya digabungkan, haiku ini adalah ekspresi Basho yang mengindikasikan keindahan wabi sabi yang terletak di antara kehidupan dan kematian yang merupakan takdir makhluk hidup di dunia. Sesuai dengan pendapat Juniper (2003, hal. 1) bahwa keindahan wabi sabi terletak pada kehidupan dan kematian yang merupakan takdir makhluk hidup di dunia. Unsur kematian terdapat dalam baris pertama yaitu hanamina karete, yaitu semua bunga mati dan mengering. Lalu semua bunga itu meninggalkan esensinya sesuai dengan karakteristik yang ia miliki. Sesuai dengan pendapat Kato dalam Pramudjo (2002, hal. 21) yang mengatakan bahwa waktu dan benda jika dipadukan berakibat tidak sempurna dan tidak abadi. Bergulirnya waktu pada benda yang dalam kasus ini adalah hana menjadikannya tidak abadi sehingga menyebabkan bunga menjadi layu dan berkerut, sesuai dengan karakteristiknya. Dan pendapat Juniper (2003, hal. 1) yakni keindahan ideal wabi sabi berfokus pada semua benda yang tidak sempurna dan tidak abadi uakni kecantikan bunga yang bersifat sementara tersebut. Lalu kebalikannya, unsur kehidupan yang bisa dirasakan pada baris terakhir yaitu kusa no tane. Baris yang berarti adalah bibit dari rumput ini mengindikasikan kehidupan baru yang akan muncul dan berkembang, didukung oleh Sinclair (2010, hal. 47) menyatakan bahwa semua tanaman tumbuh dari bibit. Melalui baris kedua haiku keempat, aware wo kobosu, Basho mengekspresikan kesedihan akan kematian dan kehidupan. Kehidupan dan kematian, kebahagiaan dan penderitaan adalah takdir makhluk hidup (Juniper 2003, hal 1).
SIMPULAN DAN SARAN Setelah menganalisis masing-masing keempat haiku pada bab sebelumnya, maka penulis menarik simpulan, bahwa terdapat unsur wabi sabi di keempat haiku karangan Matsuo Basho yang terdapat di dalam buku kumpulan haiku karangan Matsuo Basho. Wabi sabi adalah konsep estetika akan keindahan alami yang berfokus pada ketidakabadian dan ketidaksempurnaan yang ada pada semua benda yang terus berubah karena pengaruh usia dan waktu. Dari kata wabi sendiri mempunyai arti tenang, sunyi dan sederhana. Sedangkan dari kata sabi mempunyai arti sepi, tua, dan pasrah. Semua unsur yang terdapat di dalam konsep wabi sabi telah penulis temukan dalam empat haiku pada bab sebelumnya. Keindahan ideal wabi sabi yang berfokus pada semua benda yang terus berubah, tidak abadi dan tidak sempurna bisa dilihat dalam keempat haiku. Selain itu, ketujuh karakteristik Zen yang mempunyai hubungan kental dengan wabi sabi juga bisa dilihat dalam keempat haiku ini juga. Dalam haiku pertama, terdapat kanso, kokou, yuugen dan seijaku. Haiku kedua ditemukan yuugen, seijaku, fukinsei, dan shizen. Sedangkan pada haiku ketiga, karakteristik Zen yang ditemukan adalah fukinsei, shizen, datsuzoku, kokou dan yuugen. Dan dalam haiku terakhir mengandung kokou. Kehidupan seseorang yang sederhana, yaitu wabi zumai, ditemukan dalam haiku pertama. Kepasrahan akan menghadapi waktu yang terus berjalan tanpa henti dalam haiku kedua. Sedangkan nilai wabi yang mengingatkan manusia akan lingkungan sekitar penting dalam kehidupan, ditemukan pada haiku kedua dan ketiga. Lalu yang terakhir adalah ekspresi keindahan yang terletak pada kehidupan dan kematian yang terdapat dalm haiku keempat.
Penulis juga menyimpulkan bahwa konsep wabi sabi ini sangat erat hubungannya dengan manusia dan lingkungan sekitarnya. Konsep wabi sabi ini menjadi pengingat bagi kita bahwa alam dan lingkungan yang ada disekitar kita sangat penting perannya dalam kehidupan. Saran yang dapat penulis sampaikan untuk peneliti selanjutnya adalah haiku memang sesuatu yang tidak bisa langsung dimengerti jika hanya dibaca saja. Haiku adalah sesuatu yang harus dimengerti dengan dalam untuk mengetahui nilai dan makna yang dimaksud oleh sang pengarang haiku. Haiku yang hanya terdiri tiga baris ini juga bisa dianalisis dari berbagai aspek seperti filosofi, kebudayaan, sastra, ilmu pengetahuan alam, psikologi yang dimiliki pengarang haiku, dan masih banyak lagi. Saran yang dapat penulis sampaikan untuk peneliti selanjutnya adalah meneliti lebih lanjut karya-karya dari pengarang haiku lain yang dihubungkan dengan konsep wabi sabi dalam Zen.
REFERENSI Anesaki, Masaharu. (1973). Art, Life, and Nature in Japan. Charles E. Tuttle Barnhill, David Landis. (2005). Basho. State University of New York
Basho’s
Journey:
The
Literary
Prose
of
Matsuo
Japanese.
2004
Beilenson, Peter. (2008). Japanese Haiku. Forgotten Books Brazil, Mark A. (1991). The Birds in Japan. Christoper Helm Publisher Bryant, Anthony J. An Introduction to classical Diunduh 2012 dari http://www.sengokudaimyo.com/bungo/bungo.html Carwardine, Mark. (2008). Animal records. Sterling Publishing. Dalby, Liza. (2007). East University of California Press
wind
melts
the
Ice:
A
Memoir
through
DeGraaf, R. M, & Rappole, J. H. (1995). Neotropical natural history, distribution, and population change. Cornell University Press
the
seasons.
migratory
birds:
Hisamatsu, Shinichi. (1997). Zen and the fine art. Kodansha International Hori, Nobuo. (2004). Basho zenku. Shogakukan Itoh, Teiji. (1993). Wabi-Sabi suki : The Essence of beauty. Hiroshima, Japan Juniper, Andrew. Publishing
(2003).
Wabi
Sabi
:
The
Japanese
Art
of
Impermanence.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2008). Departemen Diunduh dari http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
Pendidikan
Tuttle
Nasional.
Keene, Donald.(1995). Japanese literature. Charles E. Tuttle Koku Bungaku Gakuteisha
Henshuu-bu.
(2008).
Haiku
sousaku
kanshou
handobukku.
Tokyo
:
Lincoln, Frederick C. (2005). Migration of birds. University Press of the Pacific Loughman, Sean. (2000). The Wabi Sabi aesthetic and product design. Diunduh 2012 dari www.ci.nii.ac.jp
in
contemporary
Japanese
craft
Motoi, Chikara. (1980). Nihon no biishiki. Diunduh 2012 dari www.ci.nii.ac.jp McCullough, Helen. University Press
(1991).
Classical
japanese
prose:
an
anthology.
Stanford
Nihon kokugo Daijiten 1-20. (2001). Shogakukan, Tokyo Pradopo, Press
Rachmat
D.
(2005).
Pengkajian
puisi.
Yogyakarta
:
Gajah
Mada
University
Pramudjo, Sri Iswidayati Isnaoen. (2002). Seni lukis kontemporer estetika tradisional Wabi Sabi Jepang. Depok, Universitas Indonesia.
Jepang
Reichhold, Jane. (2002). Kodansha International
guide.
Rodd, Inc
Tony,
&
Writing
Stackhouse,
and
Jennifer.
enjoying
haiku
:
(2008)
Trees:
a
a
hands
visual
on
guide.
(kajian
Japan
Weldon
:
Owen
Ross, Bruce. (2002). How to haiku : learning to write haiku, senryu, haibun, tanka, haiga, and renga.Tuttle Publishing Sansom, George. (1961). Press
A history of Japan to 1344, volume 1. Stanford University
Shinmura, Izuru. (2008). Koujien. Tokyo : Iwanami Shoten Shirane, Haruo. (2005). Columbia University Press
Classical
japanese
reader
and
essential
dictionary.
Shirane, Haruo. (2008). Traditional japanese literature. Columbia University Press Sinclair, Thomas International
R.
(2010).
Suzuki, Daisetz Teitaro. Company, London
Principles
(1973).
Suzuki, Daisetsu T. (2005). Tokyo : Kodansha International
Essays Zen
Ueda, Makoto. (1995). Basho commentary. Stanford University Press
and
and
of in
ecology Zen
plant
Buddhism
japanese
his
in
culture
interpreters:
first :
Zen
production. series. to
selected
CAB
Rider
Nihon
hokku
and
bunka.
with
Waluyo, Herman J. (1995). Teori apresiasi puisi. Penerbit Erlangga
RIWAYAT PENULIS Felisia Gunawan lahir di kota Pekanbaru, Riau pada tanggal 23 November 1990. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Sastra Jepang pada tahun 2012.