BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUASA DAHR (DALÂIL)
A. Pengertian Puasa Dahr (Dalâil)
ﻭﺩﻫـﺭﺍ- ﺩﻫﺭ – ﻴﺩﻫﺭyang berarti masa atau zaman.1 Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhailî ﺍﻟـﺩﻫﺭ Kata
ﺍﻟﺩﻫﺭ
berasal dari kata
yang artinya waktu panjang dan terbatas.2 Sedangkan menurut istilah atau syari’at puasa Dahr adalah puasa terus-menerus sepanjang tahun, kecuali hari raya Idul Fitri, Adha, dan Ayyâmu al-Tasyrîq .3 Sedangkan kata
ﻭﺍﻟﺩﻻﻟﺔ- ﺩﻟﻴل
ﺩﻻﺌل
adalah jama’ taktsîr dan berasal dari kata
yang artinya dalil atau petunjuk.4 Puasa Dalâil adalah
puasa tahunan kecuali 1 hari raya Idul Fitri, 1 hari raya Idul Adha, dan 3 hari tasyrîq
dan itu juga harus dibayar akhir batas puasanya yang dibarengi
dengan bacaan wirid yang harus dilakukan oleh salîk (sufi pemula) dibawah bimbingan dan melalui ijazah dari seorang Kiyai/ Syaikh.5
1
A. W. Anwar, Kamus Munawir (Arab-Indonesia), Yogyakarta: Unit Pengadaan Bukubuku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren “al-Munawir”, 1984, hlm. 460. 2 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqhu al-Islâmî wa Adalatuhû, Beirut Lebanon: Dâr al-Fikr alIlmiyah, t. th., hlm. 583 3 Yûsuf Qardhawi, Fiqihush Shiyâm, Alih bahasa : Ma’ruf Abdul Jalil, Solo: Citra Islami Press, 1995, hlm. 206 4 A. W. Anwar, Op. Cit., hlm. 417 5
Wawancara dengan Ahmad Yûsuf Mujiono, S.Sos.i (seorang pelaku) tanggal 6 Mei 2003 di Pon-pes Ad-Danuriyyah –2 Semarang.
12
13
Melihat definisi antara Dahr dan Dalâil itu ada kesamaan dalam pelaksanaan puasanya, Dahr itu untuk nama puasanya sedangkan Dalâil itu diambil dari nama wiridnya.6 Jadi antara puasa Dahr dan Dalâil itu sama melihat dari definisi di atas, kalau Dahr itu dikenal dengan puasanya pada zaman Rasulullah SAW. SAW. Sedangkan puasa Dalâil itu adalah dikenal dengan wiridnya atau auradnya dan merupakan puasa tahunan. Sedangkan yang membedakan hanya segi amalannya yaitu wirid. 7 Untuk lebih efesien dalam penulisan skripsi ini, dan karena di dalam masyarakat atau santri pausa Dahr terkenal dengan puasa Dalâil maka penulis akan menggunakan kata Dalâil dalam bab berikutnya. B. Dasar Hukum Puasa Dalâil Di dalam al-Qur’ân tidak menerangkan tentang puasa Dalâil atau puasa sunah yang lain, al-Qur’ân hanya menerangkan puasa wajib Ramadhan, yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi :
ﻥ ْ ﻥ ﻤِـ َ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﱠـﺫِﻴ َ ﺏ َ ﺼﻴَﺎ ُﻡ ﹶﻜﻤَﺎ ﹸﻜ ِﺘ ﻋﹶﻠ ْﻴﻜﹸ ُﻡ ﺍﻟ ﱢ َ ﺏ َ ﻥ ﺁ َﻤﻨﹸﻭﺍ ﹸﻜ ِﺘ َ ﻴَﺎ َﺃ ﱡﻴﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺫِﻴ (١٨٣:)ﺍﻟﺒﻘﺭﺓ Artinya :
ﻥ َ ﹶﻗ ْﺒِﻠ ﹸﻜ ْﻡ ﹶﻟ َﻌﱠﻠ ﹸﻜ ْﻡ ﹶﺘ ﱠﺘﻘﹸﻭ
Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (Q. S al-Baqarah : 183) .8
Sedangkan yang menjelaskan tentang puasa Dalâil itu terdapat dalam Hadîts yang berbunyi : 6
Wawancara dengan K.H Maksum (pelaku) tanggal 6 Agustus 2003 di Desa Ngemplak Kec. Mranggen Kab. Demak 7 Wawancara dengan K. H. Maksum di Desa Ngemplak Kec. Mranggen Kab. Demak tanggal 6 Agustus 2003. 8 Departemen Agama RI, Al-Qur’ân dan Terjamahnya, Jakarta: 1993, hlm. 44.
14
ﻥ ﺼَـﺎ َﻡ ﺍﻟـ ﱠﺩ ْﻫ َﺭ ْ َﻤ: ﺴﱠﻠ َﻡ َ ﻥ ﺍﻟ ﱠﻨ ِﺒ ِﻋ َ ﻥ ﹶﺍﺒِﻰ ُﻤ ْﻭﺴَﻰ ْﻋ َ َ ﷲ ﻋَﹶﻠ ْﻴﻪِ َﻭ ُ ﺼﻠﱠﻰ ﺍ َ ﻰ 9
()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺤﻤﺩ
ﺠ َﻬ ﱠﻨ َﻡ َﻫ ﹶﻜﺫﹶﺍ ﻭَ ﹶﻗﺒَﺽَ ﹶﻜﻔﱠ ُﻪ َ ﻋﹶﻠ ْﻴ ِﻪ َ ﺕ ﻀ ﱢﻴ ﹶﻘ ﹾ ُ
Artinya : Dari ِAbî Mûsâ dari Nabi SAW barang siapa berpuasa satu tahun sesungguhnya akan menyulitkan baginya (tidak ada tempat di neraka jahannam) (HR.Ahmad). Hadîts di atas menjadi pegangan para ulama salaf dalam menentukan hukum. Dan juga ada Hadîts yang menjelaskan tidak bolehnya melaksanakan puasa Dalâil dalam Hadîts berikut ini :
ﺼ ْﻭ َﻡ ﺍﻟ ﱠﺩ ْﻫ َﺭ ﹸﻜﱡﻠ ُﻪ؟ ُ ﻥ َﻴ ْ ﻑ ِﺒ َﻤ ﷲ ﹶﻜ ْﻴ ﹶ ِ لﺍ َ ﺴ ْﻭ ُ َﻴﺎ َﺭ:ل َ ﻋ َﻤ َﺭ ﹶﻗﺎ ُ ﻥ ﻰ ﹶﻗ ﹶﺘﺎ َﺩ ﹶﺓ َﺃ ﱠ ْ ﻥ َﺃ ِﺒ ْﻋ َ 10
()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ
ﻁ َﺭ ﻻ َﺃ ﹾﻓ ﹶ ﺼﺎ َﻡ َﻭ ﹶ َ ﻻ ﹶ:ل َ ﹶﻗﺎ
Artinya : Dari Abî Qatâdah, katanya bahwa Umar berkata, “ Ya Rasulullah SAW bagaimana (ketentuan) orang yang berpuasa satu tahun. Rasulullah menjawab : “tidak dipandang puasa dan tidak (juga) berbuka”(HR. Bukhârî) Dalam Hadîts yang lain disebutkan :
ِ لﺍ ِ ﺴ ْﻭ ُ ل ِﻟﻰ َﺭ َ ﹶﻗﺎ: ل َ ﻋ ْﻤ ٍﺭﻭ ﹶﻗﺎ َ ﻥ ِ ﷲ ْﺒ ِ ﻋ ْﺒ ِﺩ ﺍ َ ﻥ ْﻋ َ ﺴﱠﻠ َﻡ َ ﷲ ﻋَﹶﻠ ْﻴﻪِ َﻭ ُ ﺼﻠﱠﻰ ﺍ َ ﷲ ل؟ ِ ﺼ ْﻭ َﻡ ﺍﻟ ﱠﻨ َﻬﺎ ِﺭ َﻭ ﹶﺘ ﹸﻘ ْﻭ َﻡ ﺍﻟ ﱠﻨ َﻬﺎ ِﺭ َﻭ ﹶﺘﻘﹸـ ْﻭ َﻡ ﺍﱠﻟﻠﻴْـ ُ ﻙ ﹶﺘ َ ﺨ ِﺒ ْﺭ َﺃ ﱠﻨ ﷲ َﺃﹶﻟ ْﻡ ُﺃ ﹾ ِ ﻋ ْﺒ َﺩ ﺍ َ َﻴﺎ: ﻥ ﻁ ْﺭ َﻭ ﹸﻗ ْﻡ َﻭﻨﹶـ ْﻡ ﻓﹶـِﺎ ﱠ ِ ﺼ ْﻡ َﻭَﺃ ﹾﻓ ُ ل ْ ﻼ ﹶﺘ ﹾﻔ َﻌ ﹶﻓ ﹶ: ل َ ﷲ ﹶﻗﺎ ِ لﺍ َ ﺴ ْﻭ ُ َﺒﹶﻠﻰ َﻴﺎ َﺭ: ﺕ ﹶﻓ ﹸﻘ ﹾﻠ ﹸ ﻥ ْ ﺤﻘﹰـﺎ َﻭِﺍ َ ﻙ َ ﻋﹶﻠ ْﻴ َ ﻙ َﺠ ِ ﻥ ِﻟ َﺯ ْﻭ ﺤ ﹰﻘﺎ َﻭِﺍ ﱠ َ ﻙ َ ﻋﹶﻠ ْﻴ َ ﻙ َ ﻥ ِﻟ َﻌ ْﻴ ِﻨ ﺤ ﹰﻘﺎ َﻭِﺍ ﱠ َ ﻙ َ ﻋﹶﻠ ْﻴ َ ﻙ َ ﺴ ِﺩ َﺠ َ ِﻟ ﺸ ُﺭ َﺃ ْﻤ ﹶﺜﺎِﻟ َﻬﺎ ﻋﹾ َ ﺴ ﹶﻨ ٍﺔ َﺤ َ ل ﻙ ِﺒ ﹸﻜ ﱟ َ ﻥ ﹶﻟ ﻼ ﹶﺜ ﹶﺔ َﺃ ﱠﻴﺎ ٍﻡ َﻭِﺍ ﱠ ﺸ ْﻬ ٍﺭ ﹶﺜ ﹶ ل ﹶ ﺼ ْﻭ َﻡ ﹸﻜ ﱠ ُ ﻥ ﹶﺘ ْ ﻙ َﺃ َ ﺴ ِﺒ َﺤ َ ِﺒ ﺠ ﱡﺩ ﹸﻗ ﱠﻭ ﹶﺓ َ ﷲ ِﺍ ﱢﻨﻰ َﺃ ِ لﺍ َ ﺴ ْﻭ ُ ﻴﹶﺎ َﺭ: ﺕ ﻋﱠﻠﻲ ﹸﻗ ﹾﻠ ﹸ َ ﺸ َﺩ ْﺩ ﺼ َﻴﺎ َﻡ َﺩ ْﻫ ِﺭ ﹸﻜﱡﻠ ُﻪ ﹶﻓ ﹶ ِ ﻙ َ ﻥ ﹶﺫِﻟ ْ ﹶﻓِﺎ ﹶﺫ ﻥ َ ﻑ َﺩ ْﻫ ٍﺭ َﻭ ﹶﻜﺎ ﺼ ﹸ ْ ِﻨ: ل َ ﻼ َﻡ ؟ ﹶﻗﺎ ﺴ ﹶ ﻋﹶﻠ ْﻴ ِﻪ ﺍﻟ ﱠ َ ﷲ َﺩﺍ ُﻭ َﺩ ِ ﻲﺍ ﺼ َﻴﺎ ُﻡ ﹶﻨ ِﺒ ﱠ ِ ﺼ ْﻡ ُ ﹶﻓ: ل َ ﹶﻗﺎ 9
Imâm Ahmad, Musnad Imâm Ahmad Ibnu Hanbal, Beirut Lebanon: Dâr al-Kutub alArabi, t. th., hlm 237 10
Imâm Bukhârî, al-Bukhârî, Juz I, Semarang; Nur Asia, t.th., hlm. 338.
15
َ ﺼ ﹰﺔ ﺍﻟ ﱠﻨ ِﺒ َ ﺨ ﺕ ُﺭ ﹾ َﻴﺎﹶﻟ ْﻴ ﹶﺘ ِﻨﻰ ِﻗ ْﻴﹶﻠ ﹾ: ل َﺒ ْﻌ َﺩ َﻤﺎ ﹶﻜ ِﺒ ْﻴ ٌﺭ ِ ﷲ ِﺒ ﹶﻘ ْﻭ ِ ﻋ ْﺒ َﺩ ﺍ َ ﷲ ُ ﷲ ﺼَـﻠﱠﻰ ﺍ ِ ﻰ ﺍ 11
Artinya :
()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ
ﺴﱠﻠ َﻡ َ ﻋَﹶﻠ ْﻴﻪِ َﻭ
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata : Rasulullah SAW. Bersabda kepadaku, “Ya Abdullah ! bukankah aku mendapat kabar bahwa engkau berpuasa (terus-menerus) di siang hari dan mengerjakan shalat malam (terus menerus) ?” maka saya menjawab, “ benar ya Rasulullah! Sabda Beliau : “ jangan engkau lakukan (lagi) puasalah dan berbukalah, dirikanlah shalat malam dan tidurlah ! karena sesungguhnya jasadmu punya hak yang harus engkau tunaikan, kedua matamu punya hak yang harus engkau tunaikan, isterimu punya hak yang harus engkau tunaikan, para tamumu yang harus engkau tunaikan haknya, cukuplah engkau berpuasa tiga hari di tiap-tiap bulan. Sebab bagimu tiap-tiap kebaikan di balas sepulah kebaikan. Maka kalau begitu yang demikian itu sama dengan sepanjang tahun penuh, “ kemudian saya memaksa berkata lagi, “ Ya Rasulullah! sesungguhnya saya kuat (lebih dari itu)” sabda beliau : “ berpuasalah puasa Nabiyullah Dâud As. dan tidak boleh melebihinya” . kepada beliau saya bertanya “berapa lama puasa Nabi Uullah Dâud As ? jawab beliau, “ setengah tahun”. Adalah Abdullah pernah berkata setelah menginjak usia tua, “ alangkah tepatnya dulu saya menerima rukhsah dari Nabi SAW.(HR. Bukhârî)
Puasa Dahr sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya makruh karena ada Hadîts yang menerangkan/menjelaskan atas makruhnya puasa tersebut (Hadîts) karena ada dua alasannya yaitu : 1. Tidak berbukanya yang berpuasa pada waktu ‘aidaini (dua hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha) dan juga pada hari tasyrîq padahal peristiwa ‘aidaini merupakan hari besar pada satu tahun. Sebagai Hadîts Abdullah bin Umar yang dikeluarkan oleh Imâm Bukhârî.
11
Ibid.
16
ﻋﹶﻠﻴْـ ِﻪ َ ﷲ ِ ﷲ ﺼَـﻠﱠﻰ ﺍ ِ لﺍ َ ﺴ ْﻭ ُ ل َﺭ َ ﹶﻗﺎ:ل َ ﻋ ْﻤ ٍﺭﻭ ﹶﻗﺎ َ ﻥ ِ ﷲ ْﺒ ِ ﻋ ْﺒ ُﺩ ﺍ َ ﻥ ْﻋ َ 12
()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ.َﺒ َﺩ
ﻷ َ ﺼﺎ َﻡ ﹾﺍ َ ﻥ ْ ﺼﺎ َﻡ َﻤ َ ﻻ ﹶ: ﺴﱠﻠ َﻡ َ َﻭ
Artinya : Dari Abdullah bin Amr berkata: Rasulullah SAW bersabda: tidak ada puasa bagi orang yang berpuasa satu tahun (HR.Bukhârî) 2. Mensunahkan bagi orang yang berpuasa berbuka, sebab Allah SWT. menetapkan bagi mereka rukhsah/keringanan. Apabila tidak menjadi hal tersebut dan demi mutlak kebaikan pada dalam menjalankan dalam satu tahun maka lakukan itu. Para jama’ah dari para sahabat tabî’in banyak yang melakukan hal itu. C. Macam-macam Puasa Dalâil Adapun macam-macam puasa Dalâil yang selama ini dikenal dan banyak dalam kalangan santri ada dua yaitu : 1. Dalâil al-Qur’ân 2. Dalâil Khairât Pada prinsipnya puasa Dalâil tidak beda dengan puasa pada umumnya baik syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkannya. Puasa Dalâil alQur’ân adalah melakukan riyadhah dengan melakukan puasa minimal selama satu tahun. Selama melakukan puasa tersebut, seorang salik (lelaku) membaca wirid harian. Dalam wiridnya itu yang dibaca adalah al-Qur’ân dengan ketentuan 1 Juz dalam sehari (dalam sebulan satu kali hatam). Di dalam setiap menyelesaikan 1 juz diakhiri dengan doa yang telah diterima dari
12
Ibid.
17
syaikhnya. Kegiatan ini berlangsung secara continue (istiqâmah) selama 1 tahun dan bisa disambung kembali atas izin dari Kiyai.13 Sedangkan puasa Dalâil al-Khairât adalah melakukan riyadhah dengan melakukan puasa selama 3 tahun. Selama melakukan puasa, seorang salik (lelaku) membaca wirid yang dibacanya adalah shalawat Nabi SAW yang telah disusun oleh Syaikh Abû Abdillah Muhammad Sulaiman al-Jazulî dalam sebuah kitab Dalâil al-Khairât, dengan ketentuan yang berfariasi, tergantung yang ditentukan oleh Syaikhnya, ada yang satu minggu satu kalu hatam dan ada pula yang sehari satu kali hatam. Kegiatan ini dilakukan secara continue selama 3 tahun, dan bisa disambung atas izin dari Kiyai/Syaikh.14 Namun untuk pendahuluannya salik diharuskan puasa nyirih (tidak mengkonsumsi makanan yang bernyawa dan dihasilkan darinya) selama 7 hari dibarengi dengan wirid yang diantaranya doa tolak sihir dari syaikhnya, dalam rangka memohon pertolongan kepada Allah SWT agar dalam pelaksanaan puasanya dilindungi dari gangguan sihir. D. Sejarah Singkat Puasa Dalâil al-Khairât Berdasarkan sejarah yang terdapat dalam buku “Sejarah Singkat Kitab Dalâil al-Khairât Syaikh Abû Abdillah Muhammad bin Sulaiman al-Jazulî” akan diperoleh sejarah singkat awal mula adanya puasa Dalâil. Sejarah singkat dari puasa Dalâil Khairât berawal dari perjalanan hidup seorang wali Allah SWT yang besar dan sempurna, yang ma’rifat
13
Wawancara dengan Mansuri (pelaku) tanggal 3 Mei 2003 di Banyumeneng Mranggen Demak Wawancara Ahmad Yusuf Mujiono, S. Sos.i (pelaku) tanggal 6 Mei 2003 di Pon-pes AdDaruriyyah –2 Semarang. 14
18
kepada Allah SWT, yang muhaqqiq dan washil kepada-Nya, seorang tokoh yang terkenal pada zamannya yang berbeda pada masanya, beliau adalah Sayyid Abû Abdillah Muhammad bin Sulaiman al-Jazulî r.a yang telah mengarang kitab Dalâil Khairât. Beliau adalah putra dari Sulaiman bin Abdurrahman bin Abû Bakar bin Sulaiman bin Ya’la bin Yakhluf bin Mûsâ bin Alî bin Yûsuf bin Isa Abdullah bin Jundur bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ahmad bin Hisan bin Ismail bin Ja’far bin Abdullah bin Hasan bin Alî bin Abî Thâlib karramallahu wajhah.15 Beliau dilahirkan di Jazulah yaitu sebuah kabilah dari Barbar di pantai negeri Maghribi, (Maroko) Afrika. Beliau belajar di Fas yaitu di sebuah kota yang cukup ramai yang terletak tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan Mesir. Adapun sebab-musabab beliau mengarang kitab Dalâil Khairât adalah karena pada saat beliau singgah disebuah desa bertepatan dengan waktu shalat dhuhur, tetapi beliau tidak menjumpai seorangpun yang dapat ditanyai untuk mendapatkan air wudhu. Akhirnya beliau menemukan sebuah sumur yang tidak ada timbanya, dalam keadaan bingung karena tidak ada alat untuk menimba air. Tapi kemudian beliau dilihat seorang anak perempuan kecil yang berumur sekitar 7 tahun. Anak itu bertanya : “ya Syaikh, mengapa anda nampak bingung berputar-putar di sekitar sumur ?”. Syaikh menjawab ; “saya
15
hlm. 2
Kisbiyato, et. el, Pon-pes Darul Falah Sejarah pengarang kitab Dalail al-Khairat Kudus 2000,
19
Muhammad Bin Sulaiman, waktu shalat dhuhurku sudah sempit, tapi saya tidak mendapatkan air untuk berwudhu”. Anak itu bertanya lagi : “apakah dengan namamu yang sudah terkenal itu tidak bisa mendapatkan air sekedar untuk berwudlu dari dalam sumur ? tunggu sebentar ! kemudian anak itu mendekat ke dekat bibir sumur dan meniupnya sekali, tiba-tiba airnya mengalir dan memancar di sekitar sumur seperti sungai besar. Kemudian anak itu pulang ke rumahnya dan syaikh Muhammad al-Jazulî pun segera berwudhu dan melaksanakan shalat. Telah selesai menjalankan shalat, beliau mendatangi rumah anak peremuan kecil itu, sesampainya di sana beliau mengetuk pintu. Anak kecil itu berkata : “siapa itu !”, maka Syaikh itu menjawab, “wahai anak perempuanku saya tanya kepadamu demi Allah SWT dan kemahaagunganNya yang menciptakan kamu dan menunjukkan kepadamu terhadap Nabi SAW Muhammad SAW. sebagai Nabi SAW dan Rasulmu yang diharapakan syafaatnya, aku harap engkau mau menemuiku, saya hendak menanyakan satu hal. “ketika anak itu menemuinya, Syaikh Muhammad al-Jazulî bersumpah, “Aku bersumpah kepadamu demi kemahaagungan Allah SWT, demi
kemahakuasaan-Nya,
kemahamemberi-Nya,
demi
kemahakesempurnaan-Nya, dan demi Nabi SAW Muhammad SAW, demi risalah dan syafaatnya (pertolongan keselamatan yang dikuasakan oleh Allah SWT kepada Nabi SAW Muhammad bagi umatnya) saya mohon kamu mau menceritakan kepadaku dengan apakah kamu bisa mendapatkan martabat yang tinggi sehinga bisa mengeluarkan air dari sumur tanpa menimba ?”.
20
Anak perempuan itu menjawab, kalaulah tidak karena sumpahmu wahai syaikh, tentulah akan tidak mau meceritakannya. Saya mendapatkan keistimewaan yang demikian itu karena membaca shalawat kepada Nabi SAW Muhammad SAW.16 Setelah mendengar jawaban dari anak kecil itu kemudian Syaikh Muhammad al-Jazulî r.a mengarang kitab Dalâil al-Khairât di kota Fas. Dan sebelum beliau mensosialisasikan kitab itu, beliau mendapat ilham untuk pulang kembAlî ke tanah kelahirannya. Maka beliau kembali dari Fas ke desanya di tepi daerah Jazulah. Kemudian dengan kesendirinya itu bertemu Syaikh Abû Abdillah Muhammad bin Abdullah al-Saghir seorang penduduk di pinggiran desa dan beliau berguru Dalâil Khairât kepadanya.17 Syaikh Muhammad al-Jazulî pada mulanya mulai mendidik para murid (orang-orang yang hendak menempuh jalan menuju sampai wushul kepada Allah SWT) di Pinggiran Asafi di mana banyak sekali orang yang sadar dan bertobat atas bimbingannya. Dzikirnya begitu terkenal dan tersebar dan diamalkan orang-orang diberbagai negeri dan nampaklah keistimewaankeistimewaan yang besar dan keramat-keramatnya. Syaikh Muhammad alJazulî senantiasa berpegang teguh kepada hukum-hukum Allah SWT dengan melaksanakan ajaran al-Qur’ân dan sunah Rasulullah SAW. SAW. Kemudian beliau pindah dari Asafi ke suatu tempat yang terkenal dengan Afrighal (Afrika). Kemudian beliau membangun masjid dan menetap di tempat itu untuk tetap mendidik dan membimbing para murid ke jalan yang 16
Ibid., hlm. 4
21
benar sesuai petunjuk Allah SWT. Jelaslah cahaya kebarkahan beliau, dan nampaklah tanda-tanda kerahasiannya para fakir dan orang-orang yang tekun membaca dzikir kepada Allah SWT dan mambaca shalawat semakin banyak. Dzikir-dzikir beliau dikenal di segenap penjuru dan para pengikutnya pun tersebar di setiap bagian negeri sehingga menjadi semarak dan hiduplah negeri Maghribi. Syaikh Muhammad al-Jazulî memperbaruhi thariqah di Maghribi setelah pengaruh-pengaruh dari pengajarannya, beliau juga mengutus para sahabatnya ke berbagai negeri untuk mendakwahkan hukum Allah SWT dan mendorong ke jalan yang diridhai Allah SWT. Banyak sekali orang-orang yang mengikuti dan mengamalkan thariqah-nya. Mereka juga banyak yang langsung datang kepada syaikh Muhammad al-Jazulî untuk bertaqarrub dan mencapai ridha Allah SWT. Jumlah dari pengikut beliau mencapai 12665 orang di mana kesemuanya itu bisa mendapat fadhilah menurut kadar martabat dan kedekatan mereka dengan Syaikh Muhammad alJazulî. Beliau wafat waktu melaksanakan shalat subuh pada sujud yang pertama (atau pada sujud yang kedua menurut satu riwayat) tanggal 16 Rabi’ul Awwal 870 H. Kitab Dalâil al-Khairât inilah yang mengilhami adanya puasa Dalâil, yaitu puasa yang diiringi dengan pembacaan wirid berupa membaca shalawat Nabi Muhammad SAW.18 E. Pelaksanaan Puasa Dalâil 17
Ibid., hlm. 5
18
Ibid., hlm. 7
22
Seperti pada ibadah puasa lainnya, puasa Dalâil dilakasanakan dengan mengerjakan syarat, rukun, dan meninggalkan segala yang membatalkan puasa, di mana syarat, rukun dan hal yang membatalkannya tak berbeda dengan puasa Ramadhan.19 Jadi untuk itu perlu dijelaskan hal-hal yang termasuk syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkan puasa : 1. Syarat Puasa a. Beragama Islam b. Baligh (Sampai umur) c. Berakal d. Kuasa mengerjakannya e. Suci dari haid dan nifas bagi perempuan f. Pada waktu yang diperbolehkan puasa.20 Syarat-syarat di dalam puasa ada yang merupakan syarat wujub, seperti puasanya anak kecil yang mumayyîz (yang belum mencapai baligh) itu sah menurut hukum, walaupun tidak wajib atasnya, tetapi puasanya sah menurut syari’at. Kemudian ada yang merupakan syarat wujud, seperti : Berakal, tidak haid, tidak nifas, tidak sakit, dan tidak bepergian.21 2. Rukun puasa :
19
Wawancara dengan Ahmad Yusuf Mujiono, Sos.i (seorang pelaku) tanggal 6 Mei 2003 di Pon-Pes. “Ad-Danuriyah - 2” Semarang. 20 A. Munir, Sudarsono, Dasar-dasar Agama Islam, Jakarta: PT. Bineka Cipta, 1992, hlm. 191 21 Muhammad Jawad Mughniyah/Umar Shahab, Fiqih Ja’fari, Jilid-2, Jakarta: Lentera, 1996, hlm. 8-9
23
Rukun puasa ada dua yaitu : niat puasa, dan menahan diri dari segala yang membatalkannya, sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. a. Niat pada malamnya, yaitu menyengaja dalam hati pada tiap-tiap malam puasa, waktunya dari tenggelam matahari hingga terbit fajar shiddiq. b. Menahan dari segala yang membatalkan/membukakan dari terbit fajar hingga matahari terbenam.22 Karena merupakan ibadah mahdhah (ibadah yang macam dan cara pelaksanaannya telah ditentukan oleh syari’at, dan ketentuan tersebut tidak boleh ditambah maupun dikurangi), maka puasa tidak sah tanpa niat. Sebagaimana Hadîts Nabi SAW :
ﷲ ِ لﺍ َ ﻥ َﺭﺴُـ ْﻭ َﺃ ﱠ.ﷲ ﻋَﹶﻠ ْﻴﻪِ َﻭﺴَـﱠﻠ َﻡ ُ ﺼﻠﱠﻰ ﺍ َ ﺝ ﺍﻟ ﱠﻨﺒِﻲ ِ ﻥ ﺤَ ﹾﻔﺼَ ﹶﺔ َﺯ ْﻭ ْﻋ َ
ﻼ ﺠ ِﺭ ﻓﹶـ ﹶ ْ ل ﹾﺍﻟ ﹶﻔ َ ﺼ َﻴﺎ ُﻡ ﹶﻗ ْﺒ ﺠ ِﻤ ْﻊ ﹶﺍﻟ ﱢ ْ ﻥ ﹶﻟ ْﻡ ُﻴ ْ َﻤ: ل َ ﺴﱠﻠ َﻡ ﻗﹶﺎ َ ﷲ ﻋَﹶﻠ ْﻴﻪِ َﻭ ُ ﺼﻠﱠﻰ ﺍ َ 23
()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺒﻰ ﺩﺍﻭﺩ
ﺼ َﻴﺎ َﻡ ﹶﻟ ُﻪ ِ
Artinya : Dari Hafshah isteri Nabi SAW. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : barang siapa tidak berniat pada malam hari sebalum fajar maka tidak sah puasanya. (HR.. Abî Dâud). Akan tetapi puasa sunah dapat diniatkan pada siang hari sebelum tergelincir matahari ini didasarkan pada Hadîts Nabi SAW yang berbunyi :
22
A. Munir, Sudarsono, Op, Cit., hlm. 193 Abî Dâud, Sunan Abî Dâud, Semarang: Toha Putra, t. t.h, hlm. 565
23
24
ﺠ ِﻪ ِ ﺽ َﺃ ْﺯ َﻭﺍ ِ ﻋﹶﻠﻰ َﺒ ْﻌ َ ل َﺨ ﻥ َﻴ ْﺩ ﹸ َ ﺴﱠﻠ َﻡ ﹶﻜﺎ َ ﷲ ﻋَﹶﻠ ْﻴﻪِ َﻭ ُ ﺼﻠﱠﻰ ﺍ َ َ ﻲ ﺍﷲ َ ﻥ ﺍﻟ ﱠﻨ ِﺒ َﺍ ﱠ )ﺭﻭﺍﻩ
ﹶﻓِﺈ ﱢﻨﻰ ﺼَـﺎ ِﺌ ٌﻡ: ل َ ﹶﻗﺎ,ﻻ ﹶ: ﻥ ﹶﻗﺎﹸﻟ ْﻭﺍ ْ ﻏ ﹶﺫﺍ ٍﺀ ؟ ﹶﻓِﺈ ﻥ ﹶ ْ ل ِﻤ ْ َﻫ: ل ُ ﹶﻓ َﻴ ﹸﻘ ْﻭ 24
( ﺍﻟﻨﺴﺎﺉ
Artinya : Bahwa Nabi SAW. pernah masuk ke kediaman sebagian isterinya, kemudian beliau bertanya : “apakah ada makanan” ? “maka karena mereka jawab” : “tidak ada” beliau bersabda : maka kalau begitu aku puasa. (HR. an-Nasâî’ ). Berdasarkan Hadîts di atas maka puasa sunnah boleh melakukan niat puasanya pada pagi hari sebelum tergelincir matahari. Sedangkan puasa wajib niatnya harus dilakukan pada malam hari dan batasannya sampai terbit fajar. Niat tidak cukup dengan ucapan lisan dan tidak disyaratkan untuk mengucapkannya, tempat niat itu di dalam hati. 3. Hal-hal yang membatalkan puasa a.
Makan minum setelah terbit fajar hingga sebelum terbenam matahari. Makan dan minum yang membatalkan puasa ialah apabila dengan sengaja. Kalau tidak sengaja, seperti lupa, tidak membatalkan puasa
b.
Muntah dengan cara disengaja.
c.
Bersetubuh pada siang hari (waktu puasa)
d.
Dalam keadaan haid dan nifas.
e.
Gila/ hilang ingatan. Jika kegilaan tersebut pada siang hari.
f.
Keluar air mani karena bersetubuh dengan perempuan, akibat dari timbulnya birahi atau keluarnya mani karena disengaja, seperti : onani
24
Jalaluddin as-Suyuti, Sunan Nasâ’î, Juz –3, Beirut Lebanon: Dâr al-Fikr al-Ilmiyah, 1978, hlm. 190.
25
dan lain-lainnya. Sedangkan kelaur mani karena mimpi atau berhayal tidak membatalkan puasa.25 F. Tujuan Puasa Dahr (Dalâil) Tujuan orang melakukan puasa Dalâil adalah mahabbah li Rasul (cinta kepada Rasulullah SAW). Di antara menambah cinta kepada Rasulullah SAW adalah dengan jalan memperbanyak mambaca shalawat. Untuk lebih serius dan husyu’ di dalam mambaca shalawat, maka akan lebih baik bila dipadukan dengan puasa. Salah satu bukti cinta kepada rasul adalah suka membaca shalawat, dan dengan pembacaan shalawat, ia berharap akan menambah dekat dengan Rasulullah SAW dan mendapatkan syafa’at-Nya.26 Disebutkan dalam Hadîts Nabi SAW. Bahwa :
ﺼﱠﻠﻰ َ ﺤ َﺩ ﹰﺓ ِ ﻼ ﹰﺓ َﻭﺍ ﺼﹶ َ ﺼﱠﻠﻰ َ ﻥ ْ َﻤ: ﺴﱠﻠ َﻡ َ ﷲ ﻋَﹶﻠ ْﻴﻪِ َﻭ ُ ﺼﻠﱠﻰ ﺍ َ ﷲ ِ لﺍ َ ﺴ ْﻭ ُ ل َﺭ َ ﹶﻗﺎ 27
()ﺭﻭﺍﻩ ﻤﺴﻠﻡ
ﺕ ٍ ﺼﹶﻠ َﻭﺍ َ ﺸ َﺭ ﻋﹾ َ ﻋﹶﻠ ْﻴ ِﻪ ِﺒ َﻬﺎ َ ﷲ ُ ﺍ
Artinya : Rasulullah SAW Berasabda : “Barang siapa membaca shalawat untuk-Ku satu kali, Allah akan memberi rahmat sepuluh kali lipat. (HR. Muslim) Hadîts ini menunjukkan bahwa orang yang memperbanyak bacaan shalawatnya di dunia ini, akan mendapatkan tempat yang mulia di hari akhir nanti. Dan berada dekat dengan Rasulullah SAW. besok hari kiamat. Hadîts ini juga menunjukkan keutamaan bagi orang-orang yang gemar mambaca shalawat, dengan memperbanyak shalawat maka dia 25 26
Semarang.
A. Munir, Sudarsono, Op. Cit., hlm. 194 Wawancara dengan Khairazi (pelaku) tanggal, 5 Mei 2003 di Kampus IAIN Walisongo
26
termasuk orang yang paling berhak menerima syafaat dari Rasulullah SAW di hari kiamat nanti. Barang siapa yang merasa cinta kepada Rasulullah SAW., maka sebaiknya selalu membaca shalawat dan salam kepadanya. Shalawat dan salam laksana pelepas kerinduan yang dalam. Di dalamnya terkandung beberapa ribu keutamaan baik kepada Rasulullah SAW. sendiri maupun kepada orang yang membacanya. Bershalawat dan salam kepada Nabi SAW SAW, tidak banyak memakan waktu dan tenaga, shalawat bisa diucapkan dengan ringan tanpa mengganggu kegiatan sehari-hari. Sedangkan membaca al-Qur’ân saja, sudah termasuk amal yang sangat mulia dan akan mendapat pahala yang berlipat ganda, sebab yang dibacanya adalah kitab suci, al-Qur’ân adalah sebaik-baiknya bacaan bagi orang mukmin, baik di kala senang maupun di kala susah, di kala gembira maupun di kala sedih. Malahan mambaca al-Qur’ân itu bukan saja menjadi amal dan ibadah, tetapi juga sebagai obat dan penawar bagi orang yang gelisah jiwanya.28 Sebagaimana Firman Allah SWT :
ﻥ َ ﻥ ﻭَﻻ َﻴﺯِﻴ ُﺩ ﺍﻟﻅﱠﺎِﻟﻤِﻴ َ ﺤ َﻤ ﹲﺔ ِﻟ ﹾﻠ ُﻤ ْﺅ ِﻤﻨِﻴ ْ ﺸﻔﹶﺎ ٌﺀ َﻭ َﺭ ِ ﻥ ﻤَﺎ ُﻫ َﻭ ِ ﻥ ﺍ ﹾﻟ ﹸﻘﺭْﺁ َ ل ِﻤ ُ َﻭ ﹸﻨ ﹶﻨﺯﱢ (٨٢:)ﺍﻻﺴﺭﺍﺀ
ﺨﺴَﺎﺭﺍﹰ ِﺇﻟﱠﺎ ﹶ
Artinya : Dan kami turunkan dari al-Qur’ân suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur’ân itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian (Q.S. alIsraa’ : 82)29 Adapun keutamaan puasa sangat banyak sekali yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW. sabdanya : 27
28
Muslim, Shahîh Muslim, Jilid 2. Semarang: CV. asy-Syifa’, 1992, hlm. 507
Wawancara dengan K.H. Maksum, Loc. Cit.
27
ِﷲ ﻋَﹶﻠﻴِﻪ ُ ﺼﻠﱠﻰ ﺍ َ ﷲ ِ لﺍ َ ﺴ ْﻭ ُ َل ﺭ َ ﻗﹶﺎ: ل َ ﻋ ﹾﻨ ُﻪ ﻗﹶﺎ َ ﷲ ُ ﻲﺍ َﻀ ِ ﻲ ُﻫﺭَ ْﻴﺭَ ﹶﺓ َﺭ ْ ﻥ َﺃ ِﺒ ْﻋ َ 30
()ﺭﻭﺍﻩ ﻤﺴﻠﻡ
ﺠ ﱠﻨ ﹲﺔ ُ ﺼ َﻴﺎ َﻡ ﺴﱠﻠ َﻡ ﹶﺍﻟ ﱢ َ َﻭ
Artinya : Dari Abî Hurairah r.a berkata : Rasulullah SAW bersabda : puasa itu merupakan salah satu tameng (HR. Muslim) Makna dari tameng adalah terjaganya orang yang berpuasa dari siksa Allah SWT. Sesungguhnya puasa itu menjaga syahwat, sedangkan menjaga syahwat itu sesuatu yang sangat dibenci syaitan. Nabi Muhammad SAW Bersabda di dalam Hadîts qudsi :
ﻙ ِ ﺢ ﺍﹾﻟ ِﻤﺴْـ ِ ﻥ ِﺭﻴْـ ْ ﷲ ِﻤ ِ ﻋ ﹾﻨ َﺩ ﺍ ِ ﺏ ُ ﻁ َﻴ ﺨ ﹾﻠ ﹶﻔ ﹸﺔ ﹶﻓﻡِ ﺍﻟﺼﱠﺎ ِﺌ ِﻡ ﹶﺍ ﹾ ﻲ ِﺒ َﻴ ِﺩ ِﻩ ﹶﻟ ﹸ ْ ﺴ ِ ﻱ ﹶﻨ ﹾﻔ ْ ﹶﻓﻭَﺍﱠﻟ ِﺫ 31
()ﺭﻭﺍﻩ ﻤﺴﻠﻡ
Artinya : Demi dzat yang diriku berada di tangan-Nya, sesunguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menuurut pandangan Allah dari pada bau minyak kasturi ( HR. Muslim) G. Pandangan Ulama Tentang Puasa Dalâil Dalam menanggapi tentang hukumnya puasa Dalâil yang dikenal dengan puasa tahunan, ulama fuqaha berbeda pendapat, dikarenakan adanya Hadîts berbunyi :
ﺼ ْﻭ َﻡ ﺍﻟ ﱠﺩ ْﻫ َﺭ ﹸﻜﱠﻠ ُﻪ ؟ ُ ﻥ َﻴ ْ ﻑ ِﺒ َﻤ ﷲ ﹶﻜ ْﻴ ﹶ ِ لﺍ َ ﺴ ْﻭ ُ َﻴﺎ َﺭ: ل َ ﻋ َﻤ َﺭ ﹶﻗﺎ ُ ﻥ ﻥ َﺃ ِﺒﻰ ﹶﻗ ﹶﺘﺎ َﺩ ﹶﺓ َﺃ ﱠ ْﻋ َ ()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎ ﺭﻯ
ﻁ َﺭ ﻻ َﺃ ﹾﻓ ﹶ ﺼﺎ َﻡ َﻭ ﹶ َ ﻻ ﹶ:ل َ ﹶﻗﺎ
Artinya : Dari Abî Qatâdah, katanya bahwa Umar berkata, “ Ya Rasulullah SAW bagian (ketentuan) orang yang berpuasa dan tidak (juga) berbuka” (HR. Bukhârî)
29
Departemen Agama RI, Op. Cit., hlm. 437 Imâm Muslim, Shahih Muslim, Juz IV, Beirut Lebanon: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th., hlm. 99 31 Ibid., hlm. 98 30
28
Dengan adanya Hadîts di atas maka ulama dalam cara memahaminya terdapat perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Syarih Rahimahullah berkata : Sabda Nabi SAW. “Tidak (dibenarkan) orang yang puasa sepanjang masa” itu, menunjukan makruhnya Puasa sepanjang masa, dan menurut Ibnu Hazm puasa sepanjang masa itu hukumnya haram. Sedangkan menurut jumhur puasa sepanjang tahun hukumnya sunnah. Dan mereka memberikan jawaban terhadap Hadîtsnya Ibnu Umar dan Abî Qatâdah, bahwa Hadîts itu berlaku untuk orang yang memberatkan dirinya atau menghilangkan hak (dirinya).32 Disebutkan dalam kitab Mughni al-Muhtâj yang disyaratkan oleh Syaikh Muhammad al-Khatib ‘ala Matni Minhajuth Thâlibin karangan Imâm Abî Zakariya Yahya bin Syarîf al-Nawawî disebutkan : “Puasa Dalâil (tahunan) selain hari raya dan hari tasyri itu dimakruhkan bagi orang yang hawatir akan membahayakan dirinya dan terjadi hilangnya hak. Dan disunahkan bagi orang yang kuat melakukan dan tidak terjadi hilangnya hak. Dan disunatkan bagi orang kuat melakukannya dan tidak khawatir terjadi bahaya terhadap dirinya”.33 Imam Malik membolehkan puasa Dalâil (tahunan) dengan syarat berbuka pada hari-hari yang dilarang oleh Rasulullah SAW. untuk berpuasa yaitu : Hari-hari tasyrîq, Hari raya Idul Adha dan Hari raya Idul Fitri.34 Berbeda dengan pendapatnya Ibnu Tin,35 beliau mengatakan bahwa makruhnya puasa tahunan itu disebabkan karena 4 hal itu :
32
Imâm asy-Syaukanî, Nail al-Authâr, Beirut Lebanon: Dâr al-Kutub al-Arabi, t.th., hlm. 237 Syaikh Muhammad al-Khatibi Syarbani, Mughnî al-Muhtâj, Juz I, Beirut Lebanon: Dâr al-Fikr alIlmiyah, t.th., hlm. 448 34 Jalaludin as-Suyuti, Tanwîr al- Hawâlik, Beirut Lebanon: Dâr al-Fikr al-Ilmiyah, t.th., hlm. 280 35 Imâm asy-Syaukanî, Loc. Cit. 33
29
a. Adanya larangan Nabi SAW. tentang menambah dari yang telah ditentukan. b. Adanya perintah Nabi SAW. agar supaya melakukan berpuasa sehari dan berbuka sehari. c. Adanya pertanyaan bahwa puasa Nabi SAW Dâud itu tidak ada yang melebihi keutamaanya. d. Adanya do’a Nabi SAW yang tidak baik terhadap orang yang berpuasa sepanjang masa. Sedangkan Imam Ghazalî menegaskan bahwasanya menurut qaul yang shahih puasa tahunan (Dalâil) itu makruh karena dua hal : a. Bila tidak berbuka pada dua hari raya dan hari tasyriq. b. Bila menjadikan puasa sebagai penghalang dan melakukan puasa tersebut agar supaya diberi Allah SWT kekhususan dan keistimewaan.36 Dan apabila tidak melakukan dua hal di atas, maka al-Ghazalî mengatakan “Hendaknya melakukan puasa tersebut ! sebagimana yang telah dilakukan oleh para sahabat dan tabî’in.” Sedangkan menurut Yûsuf Qardawi : manusia dimakruhkan berpuasa Dalâil sehingga mereka tidak bisa menikmati hidangan di siang hari.37 Madzhab Hanafi berpendapat bahwa puasa Dalâil termasuk kategori puasa makruh tanzihî, karena bisa melemahkan tubuh, dan berdasarkan Hadîts
36 37
Al Ghazalî, Ihyâ’ Ulumuddîn, Juz I, Dâr al-Rasyad al-Hadîts, t.th., hlm. 238
Yûsuf Qardhawi, Fiqhush Shiâm, alih bahasa Ma’ruf Abdul Jalil, Solo: Citra Islami Press, 1995 hlm. 206
30
ﻻﺼـﺎﻡ ﻤـﻥ ﺼـﺎﻡ ﺍﻷﺒـﺩartinya “orang yang melakukan puasa Dahr tidaklah dipandang puasa”.38 Madzhab Malikî al-Alamah Khalil berbendapat bahwa puasa Dahr hukumnya sunah, tidak makruh. Pendapat ini berdasarkan ijma’ yang menyatakan bahwa puasa ini wajib bagi yang bernadzar. Seandainya puasa makruh atau di larang, menurutnya, niscaya ia tidak diwajibkan bagi orang yang bernadzar.39 Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa puasa dahr selain hari raya dan hari-hari tasyriq bagi orang yang menghawatirkan ada bahaya dan tidak bisa melaksanakan hak yang wajib atau sunah maka puasa Dahr dimakruhkan, hukumya sunah. Dan puasa Dahr yang dilakukan pada hari raya dan hari-hari tasyrîq hukumnya haram. Pendapat ini sejalan dengan pendapat madzhab Hambali.40
38
Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqhu al-Islâmî wa ‘Adalatuhû, jilid 2, Beirut Lebanon: Dâr al-Fikr, alIlmiyah, t.th., hlm. 585. 39 Ibid. 40 Ibid., hlm. 586