BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL 2.1.
Aspek-aspek Perjanjian Internasional
2.1.1.
Istilah-Istilah Perjanjian Internasional Mengenai peristilahan dari perjanjian internasional, jika dikaitkan dengan konteks praktek
yang berkembang dalam pembentukan perjanjian internasional oleh negara-negara di dunia telah melahirkan berbagai macam bentuk peristilahan atau terminologi dalam perjanjian internasional itu sendiri.
Namun
apapun peristilahan yang
digunakan dalam pembentukan
perjanjian
internasional tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang telah sepakat dalam mengadakan perjanjian internasional tersebut. Adanya perbedaan dari peristilahan perjanjian internasional yang dibuat, dimaksudkan untuk mengelompokan suatu perjanjian internasional tersebut atas dasar kesamaan materi atau subtansi apa yang diatur. Kemudian motif lain dari berkembangnya peristilahan dari perjanjian internasional adalah untuk menilai bobot dari perjanjian internasional satu dengan lainnya yang juga memiliki perbedaan substansi. Selain itu, adanya perbedaan peristilahan pembentukan perjanjian internasional ini dimaksudkan untuk membedakan antara perjanjian internasional yang baru dibuat dengan perjanjian internasional yang telah ada sebelumnya. Adapun berbagai peristilahan atau terminologi yang ada dalam perjanjian internasional adalah sebagai berikut: a. Perjanjian Internasional/Traktat (Treaty)
20
Penggunaan
istilah
treaty
dalam
pembentukan
perjanjian
internasional,
dapat
diklasifikasikan kedalam dua pengertian, yakni pengertian umum dan pengertian khusus. Berdasarkan pengertian
umum,
bahwa
treaty
diartikan sebagai perjanjian
internasional.
Maksutnya adalah bahwa perjanjian internasional dalam arti umum ini, mencakup segala hal yang ada dalam perjanjian internasional itu sendiri, 1 baik subyek yang terlibat dalam pembentukan perjanjian internasional dan juga substansi apa yang diatur dalam perjanjian internasional tersebut, serta adanya keterikatan perjanjian internasional terhadap hukum internasional. Kemudian berdasarkan pengertian khusus, perjanjian internasional diartikan sebagai traktat. Dalam artian ini bahwa penggunaan istilah traktat dalam pembentukan perjanjian internasional biasanya digunakan dalam perjanjian internasional dengan materi atau substansi yang
sangat
mendasar.2
Kemudian
dalam
membutuhkan adanya pengesahan/ratifikasi.
praktiknya,
perjanjian
internasional
tersebut
Sebagai contoh perjanjian internasional dalam
konteks ini adalah mengatur mengenai masalah perdamaian, ekstradisi, persahabatan dan lain sebagainya.3 b. Konvensi (Convention) Penggunaan istilah convention dalam pembentukan perjanjian internasional, dapat pula dibedakan menjadi dua pengertian, yakni pengertian secara umum dan khusus. Pengertian secara umum dalam peristilahan ini yakni bahwa convention diartikan sebagai perjanjian internasional. Jika kita kaitkan dengan ketentuan Article 38 Statute of The International Court of Justice (selanjutnya disebut dengan Statuta Mahkamah Internasional) yang menyebutkan adanya
1
T.O. Elias, 1974, The Modern Law of Treaties, Oceana Publications, INC, Dobbs Ferry, NY., h. 14.
2
Boer Mauna, op.cit, h. 90.
3
Kholis Roisah, 2015, Hukum Perjanjian Internasional Teori dan Praktik , Setara Press, Malang, h. 6.
penggunaan istilah convention untuk menunjuk suatu pejanjian internasional yang juga dinyatakan sebagai salah satu sumber hukum internasional. Atas dasar tersebut maka istilah ini dinyatakan dalam kedudukan tertinggi, karena digunakan dalam praktek internasional. 4 Kemudian dalam artian khusus, bahwa convention merujuk kepada perjanjian internasional yang bersifat luas dan memberikan kesempatan kepada masyarakat internasional untuk ikut berpartisipasi. Selain itu dalam pengertian ini, perjanjian internasional dengan istilah convention memiliki sifat law-making, yang artinya bahwa merumuskan atau menciptakan kaidah-kadihan hukum bagi masyarakat internasional. 5 Selain itu dalam perjanjian internasional yang diistilahkan dengan convention ini, digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional multilateral yang mengatur tentang masalah yang besar serta penting dan dimaksudkan untuk berlaku secara luas baik dalam lingkup regional maupun umum. c. Persetujuan (Agreement) Penggunaan istilah agreement dalam pembentukan perjanjian internasional, biasanya ditujukan bagi perjanjian internasional yang materi atau substansinya bersifat teknis dan administratif. Jika dibandingkan dengan peristilahan lainnya, maka agreement memiliki ruang lingkup yang lebih sederhana dan relatif kecil. Penggunaan istilah agreement biasanya ditemukan pula dalam kerjasama pada bidang perkenomian. Misalnya, perjanjian internasional dalam bidang perpajakan, perlindungan investasi atau penanaman modal, dan dalam perjanjian bantuan keuangan. 6
4 5 6
Ibid, h. 91. Ibid. Ibid, h. 92.
d. Piagam (Charter) Penggunaan istilah charter dalam pembentukan perjanjian internasional, sangat erat kaitannya dengan organisasi internasional. Maksutnya adalah, dalam pembentukannya suatu organisasi internasional menggunakan istilah charter untuk konstitusi atau dasar dari dibentuknya organisasi tersebut. e. Kovenan (Covenant) Penggunaan istilah covenant dalam pembentukan perjanjian internasional, hampir sama dengan istilah charter yakni erat kaitannya dengan perjanjian internasional yang kemudian dijadikan sebagai konstitusi bagi suatu organisasi internasional. 7 Hanya saja dalam istilah ini kita dapat menemukan contoh lain yang berbeda dan tidak berhubungan dengan organisasi internasional yakni adanya International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) pada tanggal 16 Desember 1966. f.
Deklarasi (Declaration) Penggunan istilah declaration dalam pembentukan perjanjian internasional, erat kaitannya
dengan suatu perjanjian internasional yang mengatur mengenai suatu ketentuan umum dari para pihak untuk melakukan suatu tindakan atau langkah-langkah yang bijaksana dimasa yang akan datang.8 Selain itu yang menjadi ciri khas dalam declaration adalah dari segi isinya, declaration tidak mengatur mengenai hal-hal yang spesifik seperti misalanya bagaimana cara berlakunya perjanjian internasional tersebut, kemudian siapa pihak yang bertanggung jawab dan lain 7
Wayan Parthiana, op.cit, h. 31.
8
Boer Mauna, op. cit, h. 93.
sebagainya. Akan tetapi hal-hal yang ada dalam declaration hanya berisi prinsip-prinsip dan suatu pernyataan umum akan sikap pihak tertentu terhadap permasalahan yang sedang dibahas. g. Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding) Penggunaan istilah MoU pada prakteknya dapat merupakan perjanjian yang sifatnya ksepakatan dasar atau induk dan perjanjian yang bersifat implementatif, bahkan dalam MoU tidak mengatur hak dan kewajiban secara jelas, serta dalam pelaksanaanya memerlukan perjanjian lagi. 9 Selain itu, penggunaan istilah MoU dalam pembentukan perjanjian internasional, merupakan perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknis operasional dari suatu perjanjian induk. Sepanjang materi yang diatur bersifat teknis, MoU ini dapat berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian induk. Jenis perjanjian ini umumnya dapat segera berlaku setelah penandatanganan tanpa memerlukan pengesahan.10 h. Protokol (Protocol) Penggunaan istilah protocol dalam pembentukan perjanjian internasional, merupakan salah satu jenis perjanjian internasional yang kurang formal menurut J G Starke. 11 Hal tersebut di dasari atas adanya jenis-jenis dari protocol itu sendiri, antara lain protocol of signature, optional protocol, dan protocol based on a framework treaty,12 yang keseluruhannya bersifat perjanjian tambahan bagi ketentuan yang belum diatur dalam perjanjian utamanya.
9
Kholis Roisah, op.cit, h. 11.
10
Ibid, h. 95.
11
Wayan Parthiana, op.cit, h. 34.
12
Boer Mauna, op.cit, h. 92-93.
i.
Statuta (Statute) Penggunaan istilah statute dalam pembentukan perjanjian internasional, dapat disamakan
dengan charter atau piagam. Hal ini dikarenakan pada dasarnya istilah ini erat kaitannya dengan pembentukan organisasi internasional yang diawali oleh pembentukan konstitusi yang berasal dari perjanjian internasional dengan istilah statute. j.
Pakta (Pact) Penggunaan istilah pact dalam pembentukan perjanjian internasional, erat kaitannya
dengan peruntukan perjanjian internasional dalam bidang militer, pertahanan, dan keamanan. 13 k. Pengaturan (Arrangement) Penggunaan istilah arrangement dalam pembentukan perjanjian internasional mengacu kepada suatu bentuk perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian yang sudah ada sebelumnya (perjanjian induk). Dalam istilah ini juga merujuk kepada suatu perjanjian internasional yang bersifat implementatif, serta berkaitan dengan suatu perjanjian yang memiliki jangka waktu relatif singkat serta bersifat teknis.14
2.1.2. Pengertian Perjanjian Internasional Mengenai pengertian dari perjanjian internasional, kita dapat mencari dari dua sumber utama, yakni melalui berbagai ketentuan perundang-undangan baik pada tingkat nasional maupun
13
Wayan Parthiana, op.cit, h. 33.
14
Kholis Roisah, op.cit, h. 13.
internasional serta melalui pendapat para ahli yang mendefinisikan perjanjian internasional itu sendiri. Pertama, jika kita tinjau pengertian perjanjian internasional berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional, khususnya UU Perjanjian Internasional Pasal 1 angka 1 yang menjelaskan bahwa: “Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.” Sementara dalam UU Hubungan Luar Negeri khususnya Pasal 1 angka 3 menjelaskan bahwa: “Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.” Kedua,
jika kita tinjau pengertian perjanjian internasional berdasarkan peraturan
internasional, khususnya ketentuan Pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1969 yang menyatakan sebagai berikut: “Treaty means an international agreement conclude between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever is particular designation” Yang artinya bahwa perjanjian internasional adalah suatu persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya.
Sementara dalam ketentuan Pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1986 yang menyatakan sebagai berikut: ”Treaty means an international agreement governed by international law and conclude in written form: i. between one or more States and one or more international organizations; or ii. between international organizations, whether that agreement is embodied in a single instruments and whatever its particular designation. Yang artinya bahwa Perjanjian berarti suatu persetujuan internasional yang diatur oleh hukum internasional dan dirumuskan dalam bentuk tertulis: i. antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasiona l; atau ii. sesama organisasi internasional, baik persetujuan itu berupa satu instrumen atau lebih dari satu instrumen yang saling berkaitan dan tanpa memandang apapun juga namanya. Kemudian pengertian dari perjanjian internasional pun dikemukakan oleh beberapa ahli. Pertama,
Wayan
Parthiana
menglasifikasikan
pengertian
Perjanjian
Internasional
menjadi
pengertian dalam arti luas dan arti sempit. Yang pada pokoknya menjelaskan bahwa Perjanjian Internasional merupakan kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. 15 Sementara Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa Perjanjian intenasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.16 Kemudian para ahli hukum internasional juga memberikan pandangannya mengenai definisi perjanjian internasional antara lain, menurut O’Connel perjanjian internasiona adalah an agreement between states, governed by international law as district from municipal law, the form and manner of wich is material legal consequances of the act.17 Kemudian para ahli yang lain
15
Wayan Parthiana, op.cit, h. 12.
16
Mochtar Kusumaatmadja, loc.cit. O’Connel DP, International Law, Volume I, Stevens, London: Stevens 1965, h. 146.
17
berpendat bahwa tidak hanya negara yang dapat menjadi subyek dalam pembentukan perjanjian internasional. Pendapat tersebut diantaranya dikemukakan oleh Herman Mosler yang menjelaskan bahwa perjanjian internasional adalah Treaties are contractual angangement between subject of international law destined to create rights and obligation for the parties.18 Kemudian Maclom Show berpendapat bahwa A treaty is basically an agreement between parties on the international scene. Althought may be conclude, or made, between states and international organizations, they are primarily concerned with relation between state.19
2.1.3. Unsur-unsur Perjanjian Internasional Berdasarkan pengertian perjanjian internasional seperti yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, maka dapat kita sebut dan jelaskan unsur-unsur yang harus dipenuhi dan harus ada, agar suatu perjanjian internasional dapat dikatakan sempurna. Adapun unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: a. Kata Sepakat Unsur ini merupakan unsur utama dari adanya suatu perjanjian internasional. Hal ini dikarenakan tanpa ada kata sepakat tidak mungkin tebentuknya suatu perjanjian internasional. Kata sepakat ini dapat pula dikatakan sebagai suatu asas hukum yang umum, karena segala perbuatan hukum khususnya pada bidang perjanjian, umumnya pun wajib mengandung unsur kata sepakat atau yang dapat pula disebutkan dengan istilah asas konsensualisme. Jika kita melihat
18 Herman Mosler, The International Society as a Legal Community, The Nederland: Sjnoff and Nor doff, 1980, h. 95. 19
Kholis Roisah, op.cit, h. 2.
secara umum pula, berdasarkan ketentuan Pasal 1320 Burgelijk Wetbook (BW) yang menyebutkan salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan oleh para pihak. Selai itu kata sepakat juga mengandung tiga pengertian dalam konteks pembentukan perjanjian internasional antara lain, pertama bahwa kesepakatan yang sah dalam pembentukan perjanjian internasional adalah kesepakatan yang dilakukan oleh subyek hukum internasional, kedua bahwa kesepakatan yang telah terjadi harus tunduk kepada hukum internasional baik dalam bentuk tertulis, maupun hukum internasional yang tidak tertulis (international customary law) dan yang ketiga, bahwa kesepakatan yang dimaksud dalam konteks ini, kesepakatan yang akan menimbulkan suatu akibat hukum. Akibat hukum yang dimaksud adalah adanya hak dan kewajiban yang dimilki oleh para pihak dalam pembentukan perjanjian internasional sebagai konsekuensi logis dari adanya pembentukan perjanjian internasional. 20 b. Adanya Subyek Hukum Subyek Hukum yang dimaksud dalam konteks perjanjian internasional, tentu saja subyek hukum internasional. Bedasarkan ketentuan hukum internasional setidaknya ada 7 (tujuh) subyek hukum yang dapat mejadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional, antara lain Negara, Negara Bagian, Tahta Suci atau Vatikan, Wilayah Perwalian, Organisasi Internasional, Kelompok yang sedang berperang atau kaum Belligerensi, dan Bangsa yang sedang memperjuangkan haknya. Adanya subyek hukum internasional sebagai pihak dalam pembentukan perjanjian internasional, merupakan konsekuensi logis dari hak dan kewajiban yang dimiliki oleh setiap subyek hukum internasional, termasuk mengadakan atau menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian intenasional.
20
Ibid, h. 3.
Namun Wayan Parthiana menjelaskan tidak semua subyek hukum internasional memiliki kemampuan yang sama dalam pembentukan perjanjian internasional. Maksutnya adalah bahwa adanya pengklasifikasian kekuatan para subyek
hukum internasional dalam mengadakan
perjanjian internasional. Misalnya ada subyek hukum internasional yang memilki kapasitas penuh (full capacity) dalam mengadakan perjanjian internasional seperti negara. 21 Namun ada juga subyek hukum internasional yang memiliki kekuatan terbatas pada bidang atau lapangan apa yang dikuasai, misalnya seperti suatu organisasi internasional yang bergerak dalam bidang kesehatan tidak boleh melampaui kekuatannya untuk mengadakan perjanjian internasional diluar daripada bidang kesehatan. c. Adanya Suatu Obyek Tertentu Suatu obyek dalam perjanjian internasional merupakan salah satu unsur yang wajib ada dalam pembentukan perjanjian internasional. Hal ini sangat beralasan dengan argumentasi bahwa para pihak dalam mengadakan perjanjian internasional tentu saja menginginkan sesuatu dari pihak lainnya. Obyek merupakan salah satu main point atau poin utama dalam terciptanya suatu perjanjian internasional. Biasanya untuk mengetahui apa obyek yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian internasional kita dapat melihat dari judul atau nama suatu perjanjian internasional tertentu. Kejelasan obyek dalam perjanjian internasional juga menjadi penting karena melalui obyek lah dapat menimbulkan berbagai dampak mulai dari dampak moral yang paling rendah, dampak politik, hingga dampak hukum dengan adanya suatu perkara atau kasus jika terjadi suatu permasalahan ataupun sengketa atas obyek yang ada dalam suatu perjanjian internasional tersebut.
21
Wayan Parthiana, op.cit, h. 19.
d. Tunduk pada Rezim Hukum Internasional Mengenai unsur ini Boer Mauna menjelaskan bahwa, suatu perjanjian internasional yang sesuai adalah perjanjian internasional tersebut diatur oleh rezim hukum internasional. Maksutnya adalah
suatu
perjanjian
internasional
wajib
tunduk
kepada
ketentuan-ketentuan
hukum
internasional yang juga memiliki dampak pada ranah hukum publik. Tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional apabila dasar mengikat dari perjanjian internasional tersebut ada pada ketentuan hukum setempat yang hanya berlaku pada beberapa kalangan atau wilayah maupun hal-hal yang menyentuh ranah privat atau kepentingan salah satu pihak, meskipun pihak dalam pembentukan perjanjian internasional tersebut adalah negara atau organisasi internasional yang merupakan subyek hukum internasional yang memilki hak dalam mengadakan perjanjian internasional berdasarkan kekuatan masing- masing pihak.22 2.1.4. Subyek-Subyek Perjanjian Internasional Dalam konteks pembentukan perjanjian internasional, subyek yang dimaksud adalah tentu saja subyek-subyek hukum internasional yang dikenal dan diakui memiliki kemampuan untuk menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional. Jika kemudian kita melihat dari sejarah perkembangan hukum internasional khususnya pada masa abad duapuluh dan setelah perang dunia kedua, telah terjadi suatu peningkatan pada pola hubungan-hubungan internasional dan juga lahirnya organisasi internasional yang bersifat permanen.23 Yang kemudian berbagai hubungan-hubungan internasional tersebut tidak hanya dilakukan oleh negara sebagai actor tetapi pihak lain seperti organisasi internasional maupun pihak
22
Boer Mauna, op.cit, h. 88.
23
Wayan Parthiana, op.cit, h. 18.
lain mulai mengeksiskan diri pada pergaulan internasional melalui berbagai cara. Oleh sebab perkembangan tersebut, negara tidak lagi satu-satunya subyek hukum internasional yang diakui, namun subyek-subyek hukum internasional berkembang kearah yang lebih variatif. Para subyek hukum internasional lainnya ini disebut dengan istilah non state actors. Namun demikian, meskipun sudah dikenal dan diakui sebagai subyek hukum internasional, tidak lantas membuat tiap-tiap subyek hukum internasional memiliki kemampuan yang sama dalam mengadakan perjanjian internasional. Setiap subyek hukum internasional memiliki batasanbatasan tertentu terkait dengan pembentukan perjanjian internasional yang sama sekali berbeda satu sama lain. Adapun subyek hukum internasional dalam konteks pembentukan perjanjian internasional adalah sebagai berikut: a. Negara Negara dalam kedudukannya sebagai pihak dalam pembentukan perjanjian internasional menurut wayan parthiana adalah subyek hukum internasional yang memiliki kemampuan penuh untuk mengadakan atau untuk duduk sebagai pihak dalam suatu perjanjian internasional. Hak suatu negara untuk mengadakan perjanjian internasional adalah merupakan atribut dari kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara.24 Kemudian berkaitan dengan obyek-obyek perjanjian internasional yang dapat dibentuk oleh negara, itu erat kaitannya dengan dua hal. Pertama berkaitan dengan konstitusi dari negara terkait mengenai asas-asas, kaidah-kaidah, yang menjadi cita-cita negara dalam konteks pembentukan perjanjian internasional yang dapat menjadi salah satu cara untuk mensejahterakan warga negara. Kedua berkaiatan dengan politik luar negeri dan dalam negeri negara terkait. Hal
24
Ibid, h. 19.
ini jelas saja menjadi faktor penentu dari perjanjian internasional disuatu negara, karena pada hakikatnya suatu perjanjian internasional memilki dampak yang bersifat publik, oleh karena itu akan menjadi penting pertimbangan politis dalam negeri serta strategi dan kebijakan politik luar negeri dari suatu negara dalam mengawal dan mengarahkan pembentukan perjanjian internasional. b. Negara Bagian Berbicara mengenai negara bagian, tentu saja akan berkaitan dengan bentuk dari suatu negara. Bentuk negara yang mengenal adanya negara bagian, tentu saja negara dengan bentuk federasi atau bisa juga disebut dengan negara federal. Dalam konteks pembentukan perjanjian internasional ada dua model yang diterapkan oleh negara-negara federal menurut wayan parthiana. Pertama, adalah negara federal yang hubungan-hubungan internasionalnya dilaksanakan oleh pemerintah negara federal, sedangkan pemerintah negara bagian hanya mengurus dan mengatur masalah-masalah dalam negeri, dan tidak berhak mengurus dan mengatur masalahmasalah internasional. Jadi hanya negara federal yang dapat mewakili negara dalam konteks pembentukan perjanjian internasional.
Kedua, adalah negara federal yang memberikan hak-
hak dan kewenangan kepada negara bagiannya, dalam batas-batas tertentu untuk mengadakan hubungan-hubungan internasional, yang salah satu bentuknya adalah mengadakan atau menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional. 25 c. Tahta Suci atau Vatikan Tahta Suci atau Vatikan, yang dikepalai oleh Paus sebagai pemimpin tertinggi dari gereja katolik, juga diakui sebagai subyek hukum internasional. Diakuinya tahta suci sebagai subyek
25
Ibid, h. 20.
hukum internasional mempunyai latar belakang sejarahnya tersendiri. Walaupun Tahta Suci bukanlah negara dalam pengertian yang sebenarnya tetapi praktis kedudukannya sama dengan negara, yang salah satu pola hubungannya Tahta Suci dapat menjalin hubungan diplomatik dalam bidang keagamaan dengan negara lain ataupun organisasi internasional.26 d. Organisasi Internasional Suatu organisasi internasional dibentuk berdasarkan perjanjian internasional dalam istilah covenant ataupun statute. Dimana perjanjian internasional tersebut langsung menjadi konstitusi dari organisasi internasional tersebut. Kemudian dalam konteks pembentukan perjanjian internasional yang dilakukan oleh organisasi internasional, suatu organisasi internasional memiliki kewenangan dan cakupan yang cukup besar. Hanya saja organisasi internasional harus dan wajib taat kepada konstitusi dari organisasi internasional tersebut yang sudah terlebih dahulu menentukan batasan serta arahan dari organisasi internasional itu sendiri. Selain itu organisasi internasional hanya dapat mengadakan perjanjian internasional pada ranahnya saja, tidak boleh meluas kepada ranah lain yang tidak disebutkan dalam konstitusi dari organisasi internasional tersebut.
2.1.5. Bentuk-Bentuk Perjanjian Internasional Mengenai bentuk dari perjanjian internasional, secara umum dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:
26
Ibid, h. 21.
a. Perjanjian Internasional yang berbentuk tertulis Perjanjian internasional dalam bentuk tertulis ini merupakan bentuk yang sering dilakukan dalam berbagai praktik pembentukan perjanjian internasional. Hal ini didasari atas adanya suatu kepastian serta ketegasan atas kekuatan mengikat dari perjanjian internasional itu sendiri. Selain itu dalam bentuk ini akan terciptanya suatu kejelasan mengenai sasaran apa yang dingin dituju oleh para pihak dalam membentuk suatu perjanjian internasional. Dari segi kepastian hukum, perjanjian internasional dalam bentuk ini akan dapat menjadi bukti yang otentik dan sah dalam kaitannya terjadi suatu pelanggaran dikemudian hari. b. Perjanjian Internasional Tidak Tertulis Perjanjian internasional tak tertulis, pada umumnya adalah merupakan pernyataan secara bersama atau secara timbal balik yang diucapkan oleh kepala negara, kepala pemerintahan ataupun menteri luar negeri, atas nama negaranya masing-masing mengenai suatu permasalahan tertentu yang menyangkut kepentingan para pihak.27 Jika mengacu kepada kenyataan yang terjadi, pernyataan yang bemuatan positif dari representatif suatu negara baik itu presiden atau menteri luar negeri dalam menanggapi suatu permasalahan dari pihak lain, secara langsung akan memiliki ikatan seperti bentuk perjanjian untuk ditaati dan dilaksanakan, hanya saja ikatan tersebut hanya bersifat tanggung jawab moral atau morale obligation dan belum bisa dikatakan telah mengikat secara hukum layaknya perjanjian internasional dalam bentuk tertulis. 2.1.6. Macam-Macam Perjanjian Internasional
27
Ibid, h. 35.
Adapun macam-macam dari perjanjian internasional dapat dilihat dari berbagai macam pendekatan, antara lain sebagai berikut:28 a. Perjanjian Internasional ditinjau dari jumlah negara yang menjadi pihak 1. Perjanjian internasional pihak pembentukannya, 2. Perjanjian internasional pihak pembentukannya,
bilateral, yaitu suatu perjanjian internasional yang jumlah dari hanya terdiri dari dua negara saja; multilateral, yaitu suatu perjanjian internasional yang jumlah dari terdiri dari lebih dari dua negara.
b. Perjanjian Internasional ditinjau dari segi kesempatan yang diberikan kepada negara-negara untuk menjadi pihak dalam pembentukannya 1. Perjanjian internasional khusus atau tertutup, yaitu suatu perjanjian internasional yang substansinya hanya berisi mengenai kepentingan dan maksud dari para pihak yang mengadakan perjanjian saja, jadi tidak dimungkinkan adanya pihak lain karena memang tidak memiliki kepentingan; 2. Perjanjian internasional terbuka, yaitu suatu perjanjian internasional yang memungkinkan adanya pihak lain untuk ikut menjadi pihak dalam suatu perjanjian internasional, meskipun sebelumnya pihak tersebut tidak termasuk kedalam pihak yang mengadakan perjanjian internasional. Adanya pihak baru dalam jenis perjanjian internasional ini dinyatakan melalui pernyataan untuk mengikatkan diri atau consent to be bound dan bersedia untuk tunduk pada ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional tersebut. c. Perjanjian Internasional ditinjau dari kaidah hukumnya 1. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang khusus berlaku hanya pada pihak terkait, yaitu suatu perjanjian internasional yang substansinya menciptakan suatu
28
Ibid, h. 40-44.
kaidah hukum namun dari segi keterikatannya hanya mengikat pihak yang dinyatakan secara jelas dalam perjanjian, dan tidak mengikat pihak lain. 2. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang berlaku terbatas dalam suatu kawasan, yaitu suatu perjanjian internasional yang sifatnya terbuka bagi pihak lain yang sebelumnya tidak menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional, hanya saja dengan syarat bahwa pihak terkait harus berasal dari suatu kawasan yang sama. Misalnya negara-negara yang tergabung dalam Association of South East Asian Nations (ASEAN) 3. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang berlaku umum, yaitu suatu perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum serta berlaku secara umum. Adapun alasan dari berlakunya secara umum dalam jenis perjanjian ini dikarenakan substansi yang diatur pastilah bersinggungan dan berkaitan dengan kepentingan seluruh negara di dunia. Salah satu contoh dari perjanjian internasional yang berlaku secara umum Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tahun 1982.
2.1.7. Unsur-Unsur Formal Perjanjian Boer Mauna menjelaskan bahwa berkaitan dengan unsur-unsur formal dari suatu perjanjian terdiri dari mukadimah, batang tubuh, klausula-klausula penutup dan annex, yang kemudian penjelasannya adalah sebagai berikut:29 a. Mukadimah Bagian mukadimah bisa dikatakan sebagai bagian pembuka dari suatu perjanjian internasional, yang biasanya terdiri dari penyebutan para pihak atau negara-negara yang menjadi
29
Boer Mauna, op.cit, h. 105-107.
pihak dalam pembentukan perjanjian internasional tersebut. Selain itu dalam bagian ini biasanya berisi mengenai spirit atau semangat dari dibentuknya suatu perjanjian internasional. b. Batang Tubuh Pada bagian batang tubuh ini segala substansi dari suatu perjanjian internasional itu diatur dan kemudian dari segi penulisan biasanya pelbagai hal yang diatur dan ingin dituju, dituliskan melalui bentuk pasal-pasal dan jumlahnya tergantung dari hal apa yang diatur dan dibicarakan. c. Ketentuan Penutup Pada bagian ketentuan penutup ini biasanya berisi mengenai beberapa mekanisme pengaturan seperti mulai berlaku, syarat-syarat berlaku, lama berlakunya perjanjian, amandemen, revisi, aksesi dan lain-lainnya.30 d. Annex Pada bagian ini berisi mengenai ketentuan-ketentuan teknik atau tambahan mengenai satu pasal atau keseluruhan perjanjian dan terpisah dari perjanjian. Walaupun terpisah tetapi merupakan satu kesatuan dengan perjanjian dan memiliki kekuatan hukum yang sama seperti pasal-pasal dalam perjanjian.
2.1.8. Proses Perumusan dan Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional Secara yuridis, berdasarkan ketentuan Pasal 6 UU Perjanjian Internasional disebutkan tahapan dari pembentukan perjanjian internasional adalah sebagai berikut:
30
Ibid, h. 107.
a. Penjajakan Berdasarkan penjelasan Pasal 6 UU Perjanjian Internasional bahwa yang dimaksud dengan penjajakan adalah merupakan tahapa awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. Dapat dicermati berdasarkan penjelasan diatas bahwa pada proses ini erat kaitannya dengan suatu langkah-langkah informal yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak yang ingin mengadakan perajanjian internasional. Misalnya saja dengan mengunjungi pihak yang ingin diajak mengadakan perjanjian internasional, kemudian melakukan perbicangan atau diskusi antar kepala negara mengenai kemungkinan diadakannya suatu perjanjian internasional. b. Perundingan Berdasarkan penjelasan Pasal 6 UU Perjanjian Internasional bahwa yang dimaksud dengan perundingan adalah merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional. c. Perumusan Naskah Berdasarkan penjelasan Pasal 6 UU Perjanjian Internasional bahwa yang dimaksud dengan perumusan naskah adalah merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional. d. Penerimaan Berdasarkan penjelasan Pasal 6 UU Perjanjian Internasional bahwa yang dimaksud dengan penerimaan adalah merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil
perundingan dapat disebut penerimaan yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing- masing. Sementara dalam perundingan multikateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional. e. Penandatanganan Berdasarkan penjelasan Pasal 6 UU Perjanjian Internasional bahwa yang dimaksud dengan Penandatanganan adalah merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan (ratification/ accession/ acceptance/ approval) Sementara menurut Damos Dumoli Agusman, dari sisi internal Indonesia maka pembuatan perjanjian internasional didasarkan pada beberapa komponen utama, yaitu:31 a. Lembaga Pemrakarsa Langkah awal dalam pembentukan suatu perjanjian internasional, negara Indonesia biasanya akan menentukan manakah lembaga/pihak yang paling tepat untuk mengambil alih atau menjadi tonggak terdepan dalam pembentukan perjanjian internasional. Berdasarkan UU Perjanjian Internasional Pasal 5 menyebutkan lembaga negara dan lembaga pemerintah baik departemen maupun nondepartemen di tingkat pusat dan daerah dapat menjadi pemrakarasa dalam
31
Damos Dumoli Agusman, op.cit, h. 44-50.
pembentukan perjanjian internasional. Hanya saja pada hakekatnya lembaga pemrakarsa disini haruslah lembaga yang secara ekslusif memiliki tugas pokok dan fungsi yang relevan dengan materi perjanjian internasional. b. Mekanisme Koordinasi dan Konsultasi Jika dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya mengenai lembaga pemrakarsa bahwa setiap lembaga yang memiliki keinginan dalam mengadakan perjanjian internasional harus terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri Luar Negeri (Menlu). Adanya sistem koordinasi dan konsultasi dengan menteri luar negeri ini merupakan salah satu konsep yang dinamakan one door policy yang artinya bahwa menteri luar neegeri dalam konteks ini, merupakan satu-satunya
jalan
masuk
untuk
melakukan
evaluasi dan
penilaian
terhadap
keinginan
pembentukan suatu perjanjian internasional, dalam rangka meningkatkan efisiensi kerja dan kepastian hukum. Kemudian berkaitan dengan prosedur yang harus dilakukan dalam mekanisme konsultasi dan koordinasi ini adalah sebagai berikut: (1) Lembaga pemrakarsa/focal point mengkoordinasikan rapat yang melibatkan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan instansi terkai lainnya untuk tahap penjajakan, perumusan posisi, dan pelaksanaan perundingan. (2) Apabila rapat intradepartemen menyetujui draft yang dibahas, maka lembaga pemrakarsa akan mempersiapkan counterdraft. Counterdraft ini selanjutnya disampaikan kepada pihak mitra melalui Kemlu. Proses tukar menukar dokumen (draft/counterdraft) ini berlangsung terus, dan sekiranya kedua pihak belum mencapai kesepakatan atas materi perjanjian
internasional tersebut, maka kedua pihak akan membahasnya dalam tahap perundingan yang juga melibatkan Departemen Luar Negeri (Deplu). (3) Pedoman Delegasi Republik Indonesia Mengenai pembuatan pedoman delegasi republik Indonesia merupakan salah satu unsur yang paling penting ketika akan mengadakan suatu perjanjian internasional, karena nantinya pedoman ini lah yang dapat menjadi acuan bagi negara Indonesia dalam mengadakan suatu perjanjian internasional. Hal tersebut cukup beralasan mengingat sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU Perjanjian Internasional yang menjelaskan hal-hal yang ada dalam pedoman delegasi republik Indonesia ini antara lain:
a. Latar belakang permasalahan b. Analisis permasalahan, yang ditinjau dari aspek politis dan yuridis serta aspek lain yang dapat mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia c. Posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan untuk mencapai kesepakatan.
2.1.9. Pembatalan dan Berkahirnya Perjanjian Internasional Berakhirnya pengikatan diri pada suatu perjanjian
internasional (termination
or
withdrawal or denunciation) pada dasarnya harus disepakati oleh para pihak pada perjanjian dan diatur dalam ketentuan perjanjian itu sendiri. Sebelum memutusklan melakukan terminasi atau penarikan diri, maka lembaga pemrakarsa perlu mengkoordinasikan rapat interdepartemen dengan instansi terkait.32 Jika mengacu kepada Konvensi Wina 1969 telah membedakan antara pengakhiran perjanjian internasional yang didasarkan pada kesepakatan para pihak dengan pengakhiran yang
32
Damos Dumoli Agusman, op.cit, h. 64.
dilakukan secara sepihak atau yang dikenal dengan doktrin Rebuc Sic Stantibus seperti pembatalan dan penghentian sementara terhadap perjanjian internasional. Namun jika mengacu kepada UU Perjanjian Internasional, justru tidak mengenal atau mengatur mengenai pembatalan dari perjanjian internasional, akan tetapi hanya mengenal dan mengatur mengenai pengakhiran dari perjanjian internasional. Adapun alasan yang dapat mengakibatkan pengakhiran dari perjanjian internasional berdasarkan ketentuan Pasal 18 UU Perjanjian Internasional adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g. h.
terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian; tujuan perjanjian tersebut telah tercapai; terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian; salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian; dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama; muncul norma-norma baru dalam hukum internasional; obyek perjanjian hilang; terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.