585
Studi Awal Perjanjian InternDSionol
STUDI AWAL TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG BERTENTANGAN * Oleh : Hlkmahanto Juwana
.wam
Di HuJcum InlernasiOnal kiIa ",.ngenal pula objd; hukum yang 80ling hemnlllllgan tIIilU tiiIaJr usUili ankJra SDlu ungan loinnya, sebogaimana dilunal huJcum Nasionol. ApabiJa dilihoJ darl sifatnya pemnlizllgan ini dibogi dua, ]aJcni henri/al vel1ikal dan horizontal. &rbeda haln]a ungan hukum rwuionol hukum inJenuJ!Jional sulit s.1udi ",_nJuIum "'Il/UJ ]aIIg herlolcu apabila ada dua perj
.wam
.wam
.wam
Pendahuluan Melihat judul diatas segera akan timbul suatu pertanyaan: apa yang menjadi obyek pertentangan dari suatu perjanjian intemasional? Menumt McNair' suatu perjanjian intemasional dapat bertentangan atau tidak sesuai (incompatibility) dengan: "(a) II IUIe (Jf customof)' international law; (b) II IUle (Jf general conventional intemational/aw; (c) the Chllrter of the United Nations;
Thlisan ini merupokao buiI pcngembangOD dari tugas pcnulio palla PenatarOD Prinaip-prinsip Hukum inlemaoioBaJ yang dioelengprakan oIeh Fakultaa Hukum Univenitaa Pndjadjaran 16-28 Nopcmh
,
Lord Me Nair, 1M lAw of TroaIicr (Oxford :
Nomor 6 Tahun XXII
a~on
Pre.. , 1961), 214.
Hukum dan Pembangunan
586 (d) specifIC obligations created by other
Beranjak dari sini dalam tulisan ini yang menjadi obyek pertentangan dari perjanjian internasional akan dibatasi pada Piagam PBB dan 'specific obligations created by other treaties' dengan catatan ditambah dengan apa yang disebut sebagai jus cogens. Dengan kata lain perjanjian internasional yang bertentangan dengan 'a rule of customary and general conventional international law' tidak akan mendapat pembahasan dalam tulisan ini. 2 Dilihat dari sifatnya pertentangan itu sendiri dapat dibagi menjadi dua. Apabila perjanjian internasional yang bertentangan berada dalam posisi yang lebih rendah (atau sebaliknya lebih tinggi) maka pertentangan yang demikian disebut sebagai pertentangan yang bersifat vertikal. Pertentangan ini terjadi apabila dalam hukum perjanjian (the law . of treaties) terdapat norma yang mempunyai peringkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan perjanjian internasional pada umumnya. Sedangkan apabila dua atau lebih perjanjian internasional yang mempunyai kedudukan sederajat saling bertentangan, maka pertentangan yang demikian disebut sebagai pertentangan yang bersifat horiwntal. Terjadinya pertentangan yang bersifat horizontal disebabkan banyaknya perjanjian yang dihasilkan oleh masyarakat internasional. Akibatnya adalah diantara perjanjian-perjanjian tersebut ada yang berisi pengaturan ulang (redundant) atau pengaturan yang tumpang tindih (overlapping), yang akan menimbulkan keadaan bertentangan (conflicting). Dalam hukum nasional suatu produk hukum yang berada dalam keadaan bertentangan, baik vertikal maupun horiwntal, dengan mudah dapat diketahui mana yang berlaku dengan merujuk pada asas yang berlaku dalam perundang-undangan. Apabila pertentangan tersebut bersifat vertikal maka digunakan asas "peraturan yang lebih rendah dinyatakan tidak berlaku apabila berlentangan dengan peraturan yang lebih tinggi" Sedangkan apabila pertentangan bersifat horiwntal maka ada dua asas hukum yang dapat digunakan sebagai acuan yaitu asas "lex posteriore
2
Pertentangan yang demikian dapat dijadikan obyek penelitian dan penulisan tersendiri.
Desember 1992
,587
Studi Awal Peljanjian Inlemo.rional
derogat lD; priori" dan asas "lD; speciali derogat lD; generali"?
Berbeda halnya dengan hukum nasional, dalam hukum intemasional sulit untuk menentukan mana yang berlaku apabila ada perjanjian yang bertentangan; sekalipun masa!ah ini telah mendapat pengaturan dalam Pasa! 30 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian. • (selanjutnya disingkat "Konvensi Wma"). Tulisan ini hendak menguraikan dan mengidentifikasi beberapa masalah yang dapat diangkat ke permukaan apabila suatu perjanjian intemasional berada dalam keadaan bertentangan. Untuk keperluan sistematika pembahasan, tulisan ini akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama akan membahas pertentangan yang bersifat vertikal dan pada bagian kedua akan dibahas pertentangan yang bersifat horizontal. Ada dua pertanyaan yang saling berkaitan yang akan dijadikan pijakan bagi pembahasan terhadap pertentangan perjanjian intemasional yang bersifat vertikal. Pertanyaan pertama adalah apakah dalam hukum perjanjian dikenal norma tertinggi? Dan apabila memang dikenal apa yang dijadikan norma tertinggi? Sehingga apabila suatu peIjanjian intemasional bertentangan dengannya akan dapat dinyatakan tidak berlaku. Sedangkan pertanyaan kedua adalah apakah mungkin untuk melakukan hirarki dari norma yang tertinggi hingga terendah dalam hukum peIjanjian dengan menerapkan teoTi Stufenbau dmi Hans Kelsen?
Jus Cogens Sebagai Norma Tertinggi Apabila kita meniliki pada perumusan Pasal 53 Konvensi Wina disitu
dikatakan bahwa: A treaty is void if, at the time of its conclusion, it conflicts with a peremptory norm of general international law. ...
Kemudian Pasal 64 menyebutkan:
3
lIaea: Pumadi Purbacaraka dan SocJjono SockanlO, y~
(Bauduog: Peoerbit Alumni.1979). hal. 16- 17.
Vienna Conven.tion on the l..aw of Treaties, 22 Mei 1969
Nomor 6 Tahun XXII
p~
wtdanpn doll
Hulaun dan. Pembangunan
588
If a new peremptory norm of general international law emerges, any existing treaty which is in conflict with that norm becomes void and terminates.
Dari kedua pasal diatas dapat dikatakan bahwa dalam hukum perjanjian dikenal suatu norma tertinggi yaitu apa yang diaebut sebagai peremptory norm' atau lebih dikenal dengan nama jus cogens.5 Adapun yang dimaksud dengan jus cogens adalah •... the body of peremptory principles or norms from which no derogation is permitted, and which may therefore operate to in~alidate a treaty or agreement between States to the extent of the inconsistency with any such principles or norms."
Sehingga jus cogens mempunyai kedudukan sebagai ·superior principles or norms governing the legality of treaty provisions".7 Kesimpulan ini dipertegas oleh Shaw yang mengatakan bahwa: These ru/es form a higher /eIIel of international legal pro~isions since, unlike the majority of international provisions, they may not be altered or excluded by States in their international dealings"
Beranjak dari hal ini maka jus cogens bagi masyarakat internasional hams dianggap sebagai norma tertinggi yang tidak boleh dilanggar oleh
5
Diantara para ahli hukum intemasional masih ada perbedaan pandangan tentang keberadaan jus cogens. Misalnya Glahn berkesimpulan bahwa jus cogens sebenarnya tidak ada. Llhat: Gerhard von Glahn, Law Among Na/ions, 5th ed. (USA: Maanillan Publishing Co.• 1986). 510. Sedangkan Brownlie mengakui keberadaan J us Cogens dengan mendefinisikannya sebagai .....rules of customary law which cannot be SIll aside by tTf!Q/y 01' acquisscence but only by 1M fomtation of a subsequent customary rule of contrQIY effect." Uhat: Ian Brownlie, PriMipla oj Public Inlel"NlliOlUll lAw, 4lIJ ed. (Oxford: Clarendon Press, 19(0). 513. Penulis sependapat dengan Brownlie babwa jus cogens dikenal dalam hukum intemasional. Haoya saja penulis tidak sependapat dengan definisi yang diberikan oleh Brownlie. brena dengan dikatakan sebagai rules of cU5tomary law, maka sebenarnya rules of customary law mempunyai kedudukan yang lebih tingi dari "perjanjian intemasional" alau "prinsip-primip hukum umum" yang sudah paiti bertentangan dengan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkarnah Internasional yang tidak mengenal hir4!'ki. J.G. Swlu:JnJToduclion
/Q
InJemaJionai Law. 10th ed.(l.ondon: Butterworths. 1989). 55
Ibid .. 21
Malcolm N. Shaw. InlemaJional Law, (Great Britain: Hodder and Stoughton. 1977). 370-371
Desember 1992
Studi Awal Perjanjian Internasional
589
perjanjian yang dibuat diantara mereka. Oleh O'Connell dikemukakan bahwa: 9
The inclusion of the concept ofjus cogens in the Vzenna Convention constitutes an important recognition of the fact that contemporary society is bound together by the acceptance offundamental principles constituting the rule of law, ... Kalau jus cogens diterima sebagai norma tertinggi dalam hukum perjanjian, timbul pertanyaan apakah dengan demikian jus cogens dapat dijadikan sumber hukum dalam hukum intemasional dan apa bentuknya? Secara tegas dapat dikatakan bahwa Jus cogens tidak dapat dijadikan dan ia bukan merupakan sumber hukum dalam hukum internasional. lo Menurut hemat penulis keberadaan jus cogens mirip dengan keberadaan Pancasila sebagai norma dasar. Pancasila sebagai norma dasar bukan merupakan sumber hukum. 1I Sedangkan bentuk dari jus cogens, sebagaimana halnya Pancasila, harns tidak dalam bentuk perumusan pasal atau maxim, melainkan harns berupa prinsip yang memuat nilai filsafat yang diterima oleh masyarakat intemasional secara kese1uruhan. Bisa saja jus cogens diturunkan dalam perumusan pasa1-pasal yang ada dalam Piagam PBB atau perjanjian internasional pada umumnya. Atau sebaliknya perumusan pasal dari Piagam PBB/perjanjian-perjanjian internasional pada umumnya ditarik nilai filsafatnya untuk dijadikan jus cogens.
9
D.P. O·Connell. InIolfUUicNd Law VolI (London: Stevens & Sons. 1970). 244. 10
II
Seperti yang diungkapkan oIeh Levi densan a1asan yang berbeda bahw. jUJ cogens •...is unsuitable u a IOUrce of law.- Uhat: Werner Levi, ConlMlpOl'aty /nI.maJional Law 2nd lid. (USA: West view Press. 1991). 38.
Pcrlu diinpt bahw. Pancasiia merupakan sumber dari sesaJa sumber hukum yanS berlaku di Negara RI. Demikian pula dengan jus cogen. dengan dipersamakan keduduwnya dengan Pancasila.. maka ia merupakan sumber dari sqala sumber hukum intemasional.
Nomor 6 Tahun XXII
590
Hukum dan Pembangunan
Piagam PBB sebagai Perjanjian Tertinggi Selanjutnya pembahasan dialihkan pada perjanjian internasional yang memiliki kedudukan "superior" (lebih tinggi) dibandingkan dengan perjanjian internasional pada umum!1ya. Penulis berpendapat bahwa perjanjian internasional yang memiliki kedudukan "superior" adalah Piagam PBB. Dikatakan demikian karena dalam pasall03 Piagam disitu dikatakan bahwa: In the event of a conflict between the obligations of the Members of the United Nations under the present Charler and their obligations under any other international agreement, their obligations umkr the present Charter shall prevail (huruf tebatailri penulis).
Dengan demikian negara peserta Piagam PBB telah membatasi diri untu .... tidak membuat perjanjian-perjanjian internasional yang bertentangan dengan Piagam PBB. 12 Dalam kaitan ini Oppenheim mengatakan: 13 The Charler (thus) establishes a significant hierarchy in the system of conventional rules of international law. It constitutes what may be called a 'higher. law', with a resulting limitation of the contractual capacity of the members of the United Nations.
Kemudian McNair 14 menambahkan bahwa " members by acceptance of the Charler, ... , have accepted a limitation of their treaty-making capacity. " Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Piagam PBB, walaupun juga merupakan perjanjian internasional, memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perjanjian-perjanjian internasional pada umumnya.
12
Konsekuensi lain adalah perjanjjan~perjanjian inte"!asional yang telah dibuat sebelum
lahimya Piagam PBB apabila setelah berlakunya Piagam mempunyai isi yang bertentangan maka perjanjian intemasional tersebut dinyatakan tidak berlaku. 13
14
L Oppenheim, Inlemali()IIIJ/LawA Treatise Ed . by H. Laulerpach1, 8th ed.(Grea1 Britain: Longman., Green and Co., 1955), hal. 896. Lord McNair. op.cit., 218
Desember 1992
Studi Awal Perjanjian lntemasional
591
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah suatu perjanjian internasional yang bertentangan dengan Pia gam dapat langsung dinyatakan tidak berlaku tanpa melalui proses suatu kasus yang diajukan di forum pengadilan?IS Menurut Kelsen ketentuan Pasal 103 oleh para perancangnya tidak ditujukan untuk memungkinkan adanya "automatic abrogation".'· Namun patut disayangkan karena hingga saat ini belum pernah ada kasus yang diajukan sehubungan dengan pertentangan antara perjanjian internasional dengan Piagam. Artinya keberlakuan Pasal 103 belum pemah diuji. Dengan menempatkan Piagam PBB sebagai suatu perjanjian internasional yang dapat membatalkan perjanjian internasional pada umumnya, timbul pertanyaan apakah Piagam PBB dapat juga membatalkan perjanjian internasional yang dibuat oleh para negara yang bukan menjadi pesertanya ? Dengan kata lain apakah ketentuan Pasal103 juga mengikat negara yang bukan peserta Piagam ? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, menurut hemat penulis, hams dipisahkan dua fungsi dari Piagam PBB. Pertama adalah fungsi Piagam sebagai anggaran dasar (constitution) bagi sebuah organisasi intemasional.
Sebagai anggaran dasar maka Piagam mengatur ten tang organ-organ yang ada, masalah-masalah prosedural, immunitas dan lain-lain." Sedangkan fungsi kedua dari Piagam PBB adalah menampung aturan-aturan yang dianggap mendasar oleh masyarakat intemasional. Dalam kata-kata Starke fungsi Piagam yang demikian disebut sebagai "enunciating rules of universal international law. ,,18
IS
Dalam hllkum nasional dikenal dengan sebulan "Judicial Revievl yang rnerupakan suatu hak yang diberikan pad. Mahkamah Agung (Supreme Courl).
16
Kelsen menptakan bahwa "Abroption should 'depend upon and be linked with 1M case of • conflict - . " 1M two caJegoriu of ob/ixatioru,' 1Aot: Hans Kelsen, The Uw 01 tho UDiIed NotIoas, (London: Slevens & Son. LId.• 1950). p. 117.
11
Oleb Bowett dikatakan bahwa sebagai suatu anggaraa dasar maka Piagam PBB berisi "organizational strudure, principles, powers. and functions" Li.h.a.: A. leRoy Bannel, ["'emotiona/ Organizarioru, 2nd ed. (USA: Prentice·Hall)nc., 1980),54
18
Op.cil., him 43.
Nomor 6 Tahun XXII
592
Hulaun dan Pembangunan
Bagi negara yang bukan peserta Piagam PBB, benar bahwa mereka tidak terikat pada fungsi pertama Piagam, tetapi negara-negara tersebut sebagai bagian dari masyarakat internasional mau tidak mau terikat pada fungsi kedua Piagam. Dengan demikian terjawab pertanyaan apakah negara yang bukan peserta dari Piagam terikat oleh ketentuan Piagam. Sehingga merekapun tidak dapat membuat perjanjian-perjanjian yang isinya bertentangan dengan Piagam. Penerapan teori Stufenbau Dalam Hukum Internasional Sebagaimana terlihat dalam pembahasan diatas pertentangan perjanjian internasional ·yang bersifat vertikal telah menciptakan suatu hirarki. Dalam ilmu perundang-undangan dikenal sebuah teori yang menata norma-norma dalam suatu hirarki yaitu teori Stufenbau (the higher-lower level approach). Sebagaimana diungkapkan oleh Leo Gross, Hans Kelsen dalam bukunya "The Pure Theory of Law" berpendapat "(E) very law-applying act is seen as a law-creating act, from the highest norm, the basic norm, to thi lowest act of application. .19 Pertanyaan yang muneul sehubungan dengan hal ini adalah apakah mungkin menerapkan teori Stufenbau dalam hukum perjanjian? Dari apa yang dikemukakan diatas tentang jus cogens, Pia gam PBB dan perjanjian-perjanjian internasional pada umumnya, maka dapat dikonstruksi suatu piramida hirarkis dari penerapan teori Stufenbau zo
19
Lihat: Leo Gross, "Editorial Comment. Hans Kelsen October 11, 1886 - April 15, 1973,ft AJIL Vol. 67 No.3 (1973): hIm. 499. 8andingkan dengan lJpa yang dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi tentang pendapat Keisen ini dimana pada pucuk piramida adalah "Grundnorm" yang kemudian diikutidengan "norm"-"noon" yang lebih rendah. Sedangkan Hans Nawiasky, mund Hans Kelsen, menala norma-norma secara berurutan sebagai berikut: Nonna Fundamental Negara; Aluran Dasae Negara/Aturan Pokok Negara; Undang-undang (formal); dan Peraturan Pelaksanaan serta Peraturan Otonom. Libat: A. Hamid S. Attamimi. Peranan Keputusan Pftddeo RepubUk Iudonesia DaJaJD Peoyelenuaraan Pe.ae:riotaban Negara (Di.iertasi Doktor, 19(0). ha1.287. Karena keiulitan penulis mendapatkan buku asH dan Hans Kelsen berjudul -The Pure Theory of Law" penuHs hanya meodasarkan diri pada tulisan Leo Gross.
'"
Bandingkan densan peoerapan teori ini pada Negara R.1. Liliat: A. Hamid S. Attamimi, Pemnan KeputusaD P~n Repubtik IndoDtsia Dalaw Penyelegganuto Pemerintah Negara (Disertasi Doktor, 19(0), Gambar 6.
Desember 1992
593
Studi Awal Perjanjian Inremasiontll
sebagai berikut: Teori Stufenbau
Hukum Perjal\iian
Jus Cogens
Basic Norm Act of Application
Piagam PBB Perjanjian Internasional pada umumnya
Dalam menerapkan teori Stufenbau satu hal yang perlu dipahami sejak awal yaitu penerapan teori:Stufenbau dalam hukum internasional tidak dapat dilakukan secara mutlak. Adapun alasannya karena hukum internasional, tidak seperti hukum nasionaI, tidak didasarkan pada suatu konstruksi tunggal (monistic construction). Maksudnya adalah produk hukum yang dihasilkan tidak dikeluarkan oleh lembaga-Iembaga yang sarna seperti yang dikenal dalam hukum nasional.2J Dalam membahas pertentangan yang bersifat horizontal tulisan ini akan meinbatasi diri pada dua kemungkinan saja. Kemungkinan pertama adalah dua peJjal\iian internasional dimana para pesertanya sarna. Kemungkinan yang kedua adalah dua perjanjian dimana para pesertanya tidak sarna.
21
Misalnya dalam hukum ketatanegaraan Indonesia dikenallembaga-Iembaga MPR, DPR dan Presiden, PresideD, Menteri dan seterusnya yang masing-masing rnengt
Nomor 6 Tahun XXII
Hukum dan Pembangunan
594 Kernungkinan Pertama: Peserta yang Sarna
Apabila ada dua perjanjian yang saling bertentangan yang rnengatur hal yang sarna, rnaka asas /ex posteriore derogat /ex priori atau asas lex specia/i derogat /ex generali dapat diberlakukan. 22 Disini praktis tidak ada rnasalah. Contoh kongkrit mengenai hal ini adalah dalam pengaturan 'il'ilayah udara. Dalam sejarahnya wilayab udara telah mendapat dua kali pengaturan oleh masyarakat internasional, yaitu Konvensi Paris 1919;3 dan Konvensi Chicago 1944.24 Andaikan dari kedua perjanjian ini timbul ketentuan yang saling bertentangan, misalnya dalam hal innocent passage,25 rnanakah perjanjian yang harus diberlakukan? Apabila yang llendak diberlakukan adaIah Konvensi Chicago 1944 apa yang rnenjadi dasar hukumnya? Karena dalam Konvensi Chicago 1944 tidak ada slltupun pasal yang menyata kan bahwa dengan berlakunya (enter into force) Konvensi Chicago 1944 maka Konvensi Paris 1919 dinyatakan tidak berlaku. Memang dalam keadaan yang demikian ini yang dapat dijadikan dasar hukum untuk pemberlakuan Konvensi Chicago 1944 adalah dua asas yang disebutkan diatas. Dua asas tersebut dapat diterapkan karena para peserta dari Konvensi Paris 1919 26 adalah juga para peserta dari
22
Dalam Konvensi Wina hal ini diatur dalam Pasal 30 ayat (2) dan ayat (3). Ayat (2) mengatakan -When a treaty specifies thai it is subj«t 1o, or that it is not to be considered as incompatible with, an etulieT or laler lTtIaty, lhe provisions of thai oIhu lTeQ~ prevails.· Dan ayat (3) "When all the parties to [he earlier treaty is nol terminated or susupended in operation under artic:k 59, the earlier treaty applies only to the extent that its provisiolll are compatible with those of the later treaty". Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation ditandatangani di Paris
pada tanS8al 13 Oktoo.r 1919.
Convention on Internatiooal Civil Aviation ditandatangani di Chictgo pada tannal 7 Desember 1944. Dalam Pasal 2 Konvensi Paris 1919 diatur tentallS iMocent passage, namun lembagai ini tidak dikenal dalam Konvensi Chica&o 1944. Adapun negara peserta Konvensi Paris berjumlab 38 nesara.
Desember 1992
· Studi Awal Perjanjian Inlemasional
595
Konvensi Chicago 1944.27 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas lex posteriore derogat lex priori atau asas lex speciali derogat lex generali dapat diberlakukan pada perjanjian internasional yang saling bertentangan apabila para peserta dari perjanjian tersebut adalah sama. Kemungkinan Kedua: Peserta yang Tidak Sarna Dalam hukum perjanjian dikenal suatu maxim yang mengatakan 'pacta tertijs nec nocent nec prosunt' yaitu sebagaimana dituangkan dalam Pasal 34 Konvensi Wina "(A) treaty does not create either obligations or rights of a third State without its consent." Jadi misalkan ada perjanjian A dan B dimana para pihakoya berbeda maka para pihak hanya terika! pada perjanjian dimana ia menjadi peserta. Sampai disini mungkin tidak timbul masalah. Namun masalah timbul apabila dua perjanjian tersebut mengatur hal yang sarna dengan ketentuan yang berbeda sehingga menimbulkan overlapping padahal para pesertanya tidak sarna. Dalarn keadaan yang demikian perjanjian yang manakah yang hams diberlakukan?Z8 Untuk lj:bih mudah mengilustrasikan masalah yang ingin dikedepankan akan diarnbil suatu contoh kongkrit. Contoh kongkritnya adalah sengketa antara Indonesia dengan Australia tentang penetapan landas kontinen di daerah selatan Tunor Timur. Indonesia menghendaki agar penetapan landas kontinen di wilayah selatan Timor Timur dengan Australia didasarkan pada prinsip garis tengah (median line) sebagaimana diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Sedangkan Australia, 29 menuntut agar batas landas kontinen kedua negara ditetapkan berdasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1958
27
Z8
29
Jumlah negara poserta Konvensi 1944 per 1 Mei 1978 berjumlah 142 negaca Dalam pasaJ 30 Konvensi Wina pengaturan rnengenai keadaan ini tidak terlihat secara jelas. Memaog dalam ayat (4) disebutkan bahwa "JJ7am 1M parties to the /aJ., do not includs all lIN parties 10 1M elUli.,. one: (a) 4S' bdween statu pcutiIU /0 both ITeahes 1M same ruh app6es a.s in paragraph 3; (b) as IMtween Slate party both fTfJalies and a slale party to only OM of 1M 1r60';ss governs IMi, mu/ual riglw atui obligations." Namun demildan ketentuan ini tidak dapat dijadikan rujukan. Australia meratifikasi Konvensi Jenewa 1958 dan baRya sebagai penandatangan pada Konvensi Hukum Laut 1982
Nomor 6 Tahun XXII
596
Hukum dan Pembangunan
yang menggunakan kriteria kedalaman 200 meter dan- eksploitabilitas serta teori "natural prolongation".30 Berdasarkan pada penggunaan dua perjanjian internasional yang berbeda yang mengatur masalah yang sarna ini kemudian timbul daerah tum pang tindih berdasarkan tuntutan kedua negara yang kemudian disebut sebagai "daerah sengketa" (dispute area), yaitu daerah yang terletak dian tara Median Line sebagai tuntutan Indonesia dan Poros Palung Timor sebagai tuntutan Australia. Kesepakatan sementara antara Indonesia dan Australia di Palung Timor, yang melahirkan suatu "joint development", dapat dianggap sebagai us aha Indonesia dan Australia untuk membeli waktu (buying time) sebelum akhirnya kedua negara mempunyai "common ground" dalam menetapkan landas kontinen. Terlepas dari kesepakatan yang dilakukan oleh Indonesia dan Australia contoh ini secara teoritis menarik untuk dikaji. Dalam keadaan dua perjanjian berlaku dimana pesertanya tidak sarna, perjanjian internasional yang manakah yang harus diberlakukan? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini sungguh sangat tidak mudah dan tentunya diperlukan suatu penelitian tersendiri.
Penutup Dalam tulisan ini telah diuraikan beberapa segi dari perjanjian internasional yang berada dalam keadaan bertentangan, baik terhadap jus cogens, Piagam PBB maupun antar perjanjian internasional itu sendiri. Dari apa yang diuraikan ternyata masih banyak masalah yang harus mendapat pembahasan tersendiri, disamping beberapa masalah yan8.tidak d<tpat terjawab karena perlu untuk diadakan penelitian yang lebih lanjut. Memang sejak awal, mengingat keterbatasan ruang, disadari bahwa tillisan ini tioak berpretensi untuk menjawab segala permasalahan secara tllntas dan konklusif. Sesuai dengan judul dari tulisan ini yaitu suatu studi
Mochtar Kusuma~Atmadja. Perjanjianlndonesia-Auslralia u!ah Timor Majalah Hukum dan Pembangunan, NOQlor 3 Tahuo 1992., hal. 221-222.
Desember 1992
Studi Awal Petjanjian Inlemasional
597
awal maka tulisan ini dimaksudkan agar (1) apa yang diutarakan dalam tulisan ini mendapat pene\aahan Jebih lanjut; dan (2) tulisan ini dapat dijadikan acuan untuk membahas masalah-masalah yang belum terliput.
•••••••
Nomor 6 Tahun XXII