BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIKIRAN ISLAM
A. Pengertian Pemikiran Islam Secara etimologis, pemikiran berasal dari kata dasar pikir, yang berarti akal budi, ingatan, angan-angan. Dan ketika kata dasar tersebut mendapatkan imbuhan awalan ber-, maka akan mempunyai makna menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, atau menimbang-nimbang dalam ingatan. Adapun kata pemikiran sendiri mempunyai pengertian proses, cara atau perbuatan memikir.1 Sedangkan kata Islam secara etimologi berasal dari bahasa Arab, didefinisikan dari “salima” yang berarti selamat dari bahaya atau aslama yang berarti yang lebih selamat, aman. Adapun islam dalam bentuk noun atau kata benda berarti ketundukan, kepatuhan, agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW.2 Dari kata “aslama” tersebut yang berarti “memelihara dalam keadaan yang selamat sentosa”. Dan juga berarti “menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat”. Kata aslama itulah yang menjadi kata pokok dalam “Islam”. Mengandung segala arti yang ada dalam arti pokoknya. Sesungguhnya Islam itu adalah agama sepanjang sejarah kehidupan manusia, agama yang diseru oleh Nabi dan Rasul yang pernah di utus oleh Allah SWT kepada bangsa-bangsa dan kelompokkelompok manusia.3 Dengan demikian pengertian Islam dapat diambil dari ungkapan Dawam Rahardjo sebagaimana yang dikutip oleh Amin Syukur4, bahwa Islam dalam wujudnya memiliki dua bentuk. Pertama, Islam sebagai sistem keagamaan yang bersifat transendental yang ideal. Yaitu sebagaimana tertuang dalam berbagai 1
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 682-683 2
A.W. Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997, hlm. 656-656 3
Amin Syukur, Pengantar Study Islam., CV. Bima Sejati, Semarang, 2000, hlm. 27 – 28
4
Ibid., hlm. 5
13
14
ilmu keislaman yang merupakan hasil interpretasi atau pemahaman secara kontekstual para ulama’ terhadap Al-Qur’an dan keteladanan Rasulullah SAW. Kedua, Islam yang tercermin dalam realitas sejarah kebudayaan, peradaban dan masyarakat muslim. Ini artinya bagaimana Islam sebagai agama yang memuat ajaran-ajaran Ilahi dapat dibahasakan dan dilaksanakan oleh manusia, sehingga untuk dapat menerjemahkan pesan Tuhan yang disabdakan melaui Al-Qur’an sebagai kitab tuntunan umat Islam, maka perlu adanya suatu pemikiran atau kajian ilmu untuk memahami pesan yang disampaikan Al-Qur’an, sehingga Al-Qur’an dapat membumi di masing-masing hati sanubari umat Islam. Oleh karena itu semua pemikiran umat Islam tentang agama, sudah barang tentu adalah Al-Qur’an.5 Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, terutama setelah pemukaan abad kesembilan belas, yang dalam sejarah Islam dipandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia Barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti
rasionalisme,
nasionalisme, demokrasi dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalanpersoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islampun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru itu. Dengan jalan tersebut diharapkan akan dapat melepaskan umat islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.6 Untuk mengetahui dan melihat perkembangan maju mundurnya umat Islam yang terjadi dalam sejarah pemikiran, akan diuraikan di bawah ini.
B. Ruang Lingkup Pemikiran Islam Berbicara ruang lingkup pemikiran Islam, maka tidak terlepas dari mana Islam tersebut lahir. Tanah Arab adalah cikal bakal tumbuh dan berkembangnya agama Islam, sehingga untuk mengetahui sejauh mana perkembangan pemikiran Islam, maka perlu kiranya menelisik sumber aslinya hingga masa sekarang. Ketika masa Nabi Muhammad masih hidup, penggunaan penalaran rasional dalam memahami ajaran Islam belum banyak dilakukan, karena wahyu 5
Baca H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 1992, hlm.1-
3 6
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, 1994, hlm. 12
15
masih belum berhenti diturunkan. Masalah-masalah yang timbul di kalangan masyarakat diselesaikan oleh wahyu, atau oleh Nabi Muhammad sebagai orang yang memperoleh “otoritas tasyri’” (menetapkan hukum). Bahkan dalam akidah terdapat kecenderungan agar tidak umat Islam tidak mempertanyakan hal-hal yang memang bukan jangkauan atau otoritas akal untuk membahasnya, misalnya seperti masalah takdir. Hal tersebut dikarenakan umat Islam pada masa Nabi baru saja dialihkan dari keyakinan syirik (politeisme) kepada keyakinan tauhid (monoteisme), dan situasinya memang belum memerlukan penggunaan nalar rasional.7 Dengan bergulirnya waktu sejarah umat Islam mewarisi sebuah peradaban kuno yang besar di abad ke-20 dalam beberapa dekade sekarang, dunia Arab sedang melakukan modernisasi berbagai aspek kemasyarakatan. Proses perubahan ke arah modernitas ini tidak terjadi secara bersamaan atau meliputi seluruh bagian dunia Arab. Di beberapa bagian terjadi perubahan yang lebih mendalam dibandingkan dengan bagian lainnya, dan modernisasi memperlebar jangkaunnya hingga merambah ke dalam beberapa struktur sosial Arab, serta mulai menjebol institusi-institusi mapan yang mempengaruhi nilainilai tradisional, pola-pola perilaku dan sikap. Kekuatan perubahan pada dasarnya didorong oleh model kebudayaan Barat modern, khususnya yang terjadi hegemoni kolonial. Bahkan setelah kemerdekaan politik, negara-negara Arab terus melakukan modernisasi dengan berusaha melampaui paradigma Barat. Seluruh perubahan ke arah modernitas ini bukan tanpa tantangan, kadang ringan dan kadang berat, yang terus menerus menghambat pertumbuhan, meskipun tidak menghentikan proses modernisasi secara total.8 Dalam dunia Islam tradisional, subjek dan objek pengetahuan dipandang bersifat hierarkis. Realitas objek bukan hanya dunia spasio-temporal (ruangwaktu) yang tersedia yang bagi alat-alat indra saja. Yang pertama adalah Realitas Mutlak, Allah. Dia sendirilah Yang Ada dalam pengertian mutlak kata itu. Kemudian terdapat alam malakut, alam khayal yang dekat (‘alam al-khayal), 7
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi, Mizan, Bandung, 1993, hlm. 20 8
Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi Gelegar Pemikiran Arab Islam, LKiS, Yogyakarta, 2001, hlm. 1
16
dunia jin dan manusia, dan akhirnya dunia alami. Al-Qur’an secara konstan menyebut realitas-realitas ini sebagai langit dan bumi. Langit, perlu digaris bawahi, selalu dalam bentuk jamak. Dari sudut Islam jelas bahwa ilmu yang berhubungan dengan Tuhan tidak mempunyai pijakan yang sama dengan ilmu tentang jiwa manusia ataupun dengan ilmu tentang mineral. Ini kontras sekali dengan sistem pendidikan modern di mana teologi, psikologi dan geologi ditempatkan secara horisontal satu sama lain, sebagaimana laci-laci dalam sebuah lemari kabinet yang masing-masing berisi sejumlah informasi. Selanjutnya, dalam perspektif Islam terdapat hierarki dalam diri subjek yang mengetahui. Manusia bukan hanya subjek Cartesian cogito yang “mengetahui” pada satu dataran tunggal dari apa yang disebut dengan pikiran. Manusia dapat mengetahui melalui indra, melalui daya khayal, melalui akal budi yang begitu sering disinggung dalam Al-Qur’an dan akhirnya melalui wahyu yang merupakan mitra objektif pengintelekan (inteleksi) melalui mata hati (‘ain al-qulub). Sebagai wahyu pemungkas Kalam Tuhan, Al-Qur’an memuat segenap prinsip pengetahuan karena ia berada pada puncak hierarki dalam cara dan sumber ‘untuk mengetahui’ yang kemudian disusul secara hierarkis oleh caracara ‘untuk mengetahui’ yang lain. Otoritas-otoritas intelektual Islam sepenuhnya sadar akan hierarki objek dan subjek pengetahuan. Berdasarkan realitas-realitas ini mereka mencoba mengklasifikasikan ilmu-ilmu yang dijabarkan hukan hanya dari Al-Qur’an dan hadits, tetapi juga yang diwarisi oleh para ilmuan dan sarjana muslim dari peradaban-peradaban terdahulu seperti, Yunani, Persia, dan India. Mereka mengembangkan skema-skema klasifikasi ini menurut perspektif intlektual mereka sendiri, bukan berdasarkan ulah atau khayalan individual, karena dalam tradisi Islam apa yang diucapkan (maa qaala) selalu lebih didahulukan daripada siapa yang mengucapkan (man qaala). Ini merupakan tradisi-tradisi intelektual utama yang amat penting dalam menentukan sisi-sisi pemikiran Islam mengenai subjek tertentu.9 Dari perkembangan pemikiran Islam dari masa ke masa inilah, muncul pemikaran atau gerakan Islam yang sangat bervariatif, sehingga di era modern ini 9
Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Pen. Purwanto, Mizan, Bandung, 1997, hlm. 12
17
Islam memiliki madzhab (aliran) pemikiran yang banyak sekali. Akan tetapi kita tidak ingin menyoroti madzhab dan aliran pemikiran tersebut kecuali dari sudut peranan dan sejauh mana keterkaitan dengan dua sistem, yaitu elitisme (nakhbawiyah) dan populisme (jamahariyah), sebagaimana kajian ini juga tidak ingin memasukkan pembahasan tentang madzhab-madzhab dan aliran-aliran pemikiran lain yang tidak membawa ‘misi perubahan’ secara sempurna. Berdasarkan hal itu ada tiga madzhab pemikiran yang berkembang di Dunia Islam secara Internasional. 1. Madzhab Pemikiran Pertama Madzhab pemikiran ini menyatukan sistem-sistem elitisme, bunyawiyyah (strukturalasime) serta populisme). Didirikan oleh oleh Imam Hasan Al-Banna pada tahun empat puluhan sejak bermunculan beberapa madzhab pemikiran lain yang mempunyai misi untuk memperbaiki kondisi umat (Islam) pada saat itu. Seperti yang paling terkenal madzhab-madzhab Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Syaid Rasyid Ridha. 2. Madzhab Pemikiran Kedua Madzhab ini bercirikan ishthifaiyyatu al-munha (selektifitas misi) dan nukhbawiyyatu at-tasykil (kaderisasi golongan elit) yang dilandasi dengan pemikiran radikal (al-fikr al-mistaly). Pencetusnya adalah As-Syahid Sayid Quthb pada tahun enam puluhan. Gerakan Islam ini telah mengalami tekanantekanan sangat kejam yang dilakukan oleh para penguasa Mesir dan dibantu oleh badan-badan militer Inggris. 3. Madzhab Pemikiran Ketiga Madzhab pemikiran ini bercirikan ulamiyyah-jamahariyyah (dimotori oleh kaum cendekia dan rakyat) dam terbentuk oleh pemikiran serta pengaruh Revolusi Islam di Iran khususnya pemikiran-pemikiran pemimpin revolusi tersebut yaitu Imam Khomaini. Aliran ini menuntut pentingnya peran aktif dari rakyat dalam mewujudkan suatu perubahan yang Islam di mana para ulama (kaum cendekia)-nya juga dituntut untuk mampu memikul tanggung jawab dalam memimpin rakyat serta sebagai motor penggerak proses perubahan tersebut secara keseluruhan.
18
Imam Hasan Al-Banna mempunyai satu keyakinan kuat akan pentingnya ‘Gerakan Islamisasi’ yang mana ia sendiri telah menetapkan langkah-langkah serta menyerukan keada segenap umat Islam untuk merealisasikannya. Namun beliau berpendapat bahwa suatu gerakan perubahan pertama kali harus melalui satu fase yang mana di situ dibentuk satu generasi muslim yang mampu menghadapi konsekwensi-konsekwensi yang terjadi sebelum dan sesudah proses perubahan tersebut. Beliau juga menekankan akan pentingnya kualitas (anggota pergerakan) dalam menghadapi sistem jahiliyah dan menetapkan syarat-syarat khusus yang tidak ringan yang harus dipenuhi oleh siapa saja yang disiapkan untuk kepentingan tersebut. Hal itu tampak jelas berdasarkan pandangan beliau tentang ‘komunitas yang berkualitas’ sebagaimana yang beliau sampaikan kepada generasi pertama dari para aktifis: “anda sekalian merupakan spirit baru yang mengalir dalam qalbu umat Islam untuk membangkitkan kembali dengan AlQur’an. Dan merupakan cahaya baru yang memancarkan untuk menghancurkan kegelapan materialisme dengan ma’rifatullah. Serta merupakan suara yang menggema dan senantiasa menyerukan dakwah Rasulullah SAW”.10 Dengan demikian dengan keragaman pemikiran Islam yang muncul ke permukaan diharapkan akan membawa Islam mencapai Renaisans yang pada akhirnya akan mencapai kejayaan umat Islam (Aufklarung).
C. Jenis-Jenis Pemikiran Islam Secara historis pemikiran Islam dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Pertumbuan kajian terhadap teologi (ilmu kalam), tasawuf dan kebahasaan. 2. Kajian terhadap filsafat, sains, dan sejarah. 3. Kurun waktu kebekuan, kemunduran, dan kebangkitan. Secara detail pembagian di atas dapat dijelaskan bahwa segera setelah wafatnya Nabi Muhammad, kebutuhan mendesak yang dirasakan adalah bagaimana
memelihara
dan
menyebarluaskan
naskah
Al-Qur’an
yang
mendapatkan prioritas utama dari Nabi Muhammad sendiri selama hayatnya. Pengajaran Al-Qur’an, tajwid, hifdh Al-Qur’an dan bahkan pengajaran penulisan 10
Fathi Yakan, Islam Era Global (Kajian Proyek Islamisasi Ideal), Ababil, Yogyakarta, 1996, hlm. 63-65
19
bahasa Arab mendapatkan perhatian utama. Tugas untuk mengumpulkan hadits Nabi yang dimulai sejak masa hayat beliau juga mendapatkan perhatian. Akan tetapi dengan perkembangan Islam ke negara-negara lain yang memiliki peradaban dan budaya sendiri, menyebabkan bangsa Arab terpaksa menghadapi tantangan-tantangan baru dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip ajaran agama mereka terhadap persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Hal ini mendorong perkembangan ilmu fiqih (hukum) yang paling penting pada saat itu. Ilmu ini memerlukan ilmu pengetahuan tentang Al-Qur’an dan Sunnah dan juga memerlukan intelejensi untuk memberikan suatu ketetapan hukum berdasarkan ajaran-ajaran pokok dan jiwa Islam. Dalam kenyataannya, semenjak dahulu umat Islam sendiri menyadari betapa pentingnya fiqh tersebut dalam semua hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari.11 Fiqh, menurut pendapat Al-Ghazali, menjadi makanan sehari-hari bagi setiap muslim. Ia memberikan penjelasan terinci bukan hanya tentang ibadah tetapi juga juga tentang berbagai transaksi atau perjanjian, hukuman, hukum perundang-undangan, status perorangan, waris-mewaris, perkawinan, perceraian, dan sebagainya, yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits tersebut. Imam-imam besar ini adalah Imam Abu Hanifah (w. 767/ 768 M), Imam Malik (w. 795 M), Imam Syafi’i (w. 820 M), dan Imam Hanbal (w. 855 M). Semuanya adalah ahli-ahli yang berbobot dalam bidang teologi Islam. Pemahaman mereka yang sempurna terhadap Al-Qur’an, hadits-hadits dan persepsi-persepsi yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad serta takwa mereka menyebabkan menjadi bintang-bintang yang senantiasa bercahaya di atas cakrawala Islam. Secara detail perkembangan pemikiran Islam atau ilmu pengetahun Islam terbagi dalam empat tahap: Tahap I: Kajian kebahasaan (masa Khulafaurrasyidin 40 H dan masa Khilafah Bani Umayah 134 H) Bahasa Arab adalah bidang studi pertama yang banyak ditulis orang pada masa-masa sebelum Islam yang dikenal dengan masa Jahiliyah. Mereka selalu mencari kenikmatan khusus dengan bahasa ini karena kekayaan kosa katanya, 11
Hamid Hasan Bilgrami & Sayid Ali Asyraf, Konsep Universitas Islam, Tiara Wacana, 1989, hlm. 6-7
20
bentuk-bentuknya, padanan katanya, kemampuannya untuk menunjukkan maknamakna kiasan yang terbaik serta keindahan dan kefasihannya. Sehingga tidak mengherankan jika dalam rangka memahami Al-Qur’an secara tepat, maka perhatian yang cukup besar dicurahkan kepada kajian tata bahasa yang langkah pertama dirintis oleh Ali. Pada masa-masa Khalifah Abbasiyah, para Imam mengikuti jejak para khalifah yang saleh dengan memperlakukan teologi dan ilmu kalam sebagai cabang dari fiqih. Namun para cendikiwan muslim di belakang hari menganggap teologi skolastik atau ilmu kalam dan ilmu hukum (fiqh) merupakan studi yang terpisah. Kemajuan pemikiran (ilmu pengetahuan) Islam pada tahap pertama ini mendapatkan keberhasilan-keberhasilan sebagai berikut: 1. Al-Qur’an adalah prioritas dalam kajian pemikiran Islam, yang meliputi bacaan, makna, hafalan, serta pengklasifikasian ayat-ayat muhkamat dan mustasyabihat. 2. Ilmu hadits diformulasikan dan dikembangkan secara ilmiah, metode untuk menetapkan kesahihan dan ketidak sahihan hadits ditetapkan secara meyakinkan, koleksi-koleksi hadits dibuat dan penelitian lebih lanjut digerakkan. 3. Ilmu fiqh termasuk ilmu ushul fiqh dirumuskan secara baik. 4. Ilmu tasawuf mulai dikembangkan, yaitu ilmu tentang penyucian batin dan kedisplinan pribadi atau ilmu untuk menyadari adanya Allah melalui kesadaran terhadap diri pribadi dan latihan untuk berserah diri secara mutlak kepada-Nya berdasarkan syariah. 5. Cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya seperti kedokteran, astronomi dan semua keterampilan yang diperlukan untuk kepentingan jihad tidak diabaikan (sudah mulai berkembang).12 Tahap II: kajian-kajian terhadap filsafat, sains dan sejarah, dan dampaknya terhadap kurikulum (masa khalifah Abbasiyah tahun 132 H) Pada masa ini budaya dan pendidikan Islam sudah mulai dikembangkan. Penekanannya bergeser dari ilmu-ilmu bertingkat tinggi dan bersifat spritiual 12
Ibid., hlm. 13-14
21
keapda ilmu-ilmu filsafat dan kealaman tanpa meninggalkan konsep-konsep ilmu pengetahuan yang lebih luas menurut Islam. Hal ini disebabkan dua faktor penting; pertama; pengaruh Persia (Iran) dan kedua: pemindahan ibukota dari Damaskus ke Bagdad pada tahun 763 M. Ibukota yang baru ini dihuni oleh orang-orang yang berbeda-beda agama dan kebudayaannya. Para pemeluk agama-agama Kristen dan Zoroaster membawa peradaban Persia dan berbagai unsur budaya Yunani (Hellenisme). Karena bahasa Persia merupakan bahasa yang paling dominan, maka bahasa tersebut diajarkan di sekolah-sekolah, universitas dan digunakan dalam penulisan bukubuku. Masa inilah merupakan masa kajayaan bagi bangsa-bangsa muslim (saracens) di timur, karena masa penaklukan telah lewat dan peradaban mulai dibangun. Bagdad sebagai kota terindah sepanjang masa juga telah berubah menjadi pusat berbagai kegiatan ilmiah dan intelektual. Penerjemahan buku-buku filsafat dan warisan pemikiran Yunani mulai digiatkan oleh apra khalifah. Hal tersebut dibuktikan dengan dibentuknya Baitul Hikmat (dewan Ilmu Pengetahuan) yang mempunyai fungsi menerjemahkan dan menyalin berbagai macam naskah dan manuskrip, di samping itu juga dijadikan sebagai perpustakaan. Dari terjemahan-terjemahan
ini selain menampilkan
dimensi-dimensi baru dalam ilmu pengetahuan kepada para cendekiwan muslim, juga menampilkan tantangan-tantangan baru. Pada masa ini, pemanfaatan kemampuan intelek dan penalaran untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dirintis oleh Islam benar-benar mencapai puncaknya pada tahap kedua ini. Akan tetapi kecenderunagn-kecenderungan rasional dalam Islam telah mendorong kebangkitan spekulasi teologik yang tidak selalu didasarkan atas ajaran Qur’ani dan semangat Islam yang benar. Sehingga muncullah banyak sekte, di antaranya adalah Mu’tazilah yang dijadikan sebagai ideologi negara pada masa khalifah al-Ma’mun. Begitu berartinya masa ini, terutama pada bidang-bidang kajian filsaafti dan rasionalnya. Yang paling penting adalah filsafat yang diakui menempati posisi sentaral dan dianggal sebagai induk dari segala macam ilmu. Dengan terjemahan-terjemahan berbagai karya para filsuf Yunani, terutama karya Plato
22
dan Aristoteles, menempatkan filsafat itu sebagai pusat perhatian para cendikiawan muslim pada saat itu. Oleh karenanya semenjak Al-Kindi, filsafat mulai dikembangkan. Para filsuf Arab kenamaan dan para pemikirnya tidak hanya menguasai berbagai macam cabang ilmu pengetahuan tetapi juga memberikan sumbangan-sumbangan istimewa dengan mengislamisasikan ilmu-ilmu Yunani itu dengan memberikan penjelasan tentang berbagai konsep dasar pendidikan. Di antara para filsuf tersebut adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina (Avicennna), Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd (Averos) dan Ibnu Khaldun. Kecuali pemikiran kefilsafatan rasional seperti disajikan para filosof muslim untuk mempertemukan filsafat Yunani dengan ajaran Islam, muncul pula pemikiran tasawuf sebagai reaksi terhadap kemewahan-kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai. Dalam perkembangannya, muncul tarekat-tarekat sufi yang menjauhkan kemajuan Islam dari dari kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan (science) dan kehidupan dunia yang diperlukan bagi kesejahteraan hidup umat manusia. Pengaruh mistik luar pun (dari Cina, India, dan Persia) tidak dapat terelakkan. Paham panteisme masuk ke dalam dunia tasawuf. Namun demikian masih ada tokoh sufi yang masih bertahan pada ajaran Islam murni, termasuk di dalamnya al-Ghazali.13 Tahap III: Kurun waktu kebekuan dan kemunduran Hal tersebut terjadai pasca jatuhnya Baghdad dan penghancurannya oleh bangsa Tartar, walaupun di lain tempat, yaitu Spanyol Islam bangkit, akan tetapi itupun tidak berlangsung lama. Dengan tumbangnya pusat peradaban dan pendidikan umat Islam, maka para ulama’, sejak itu merasa khawatir jika Islam sendiri lantas ditafsirkan bermacam-macam, karena itu mereka mengambil keputusan bahwa pintu ijtihad harus ditutup dan umat muslim diberitahu bahwa pintu taqlid (mengikuti madzhab-madzhab yang sudah ada, yang dicetuskan oleh tokoh-tokoh pemikir di masa lampau) adalah satu-satunya jalan yang dapat mereka lalui. Di samping itu, setelah pusat pendidikan Islam di Cordova, Spanyol benar-benar runtuh, kepicikan dalam berpikir pun mulai timbul. Walaupun 13
Ahmad Azhar Basyir, op.cit., hlm. 23
23
khilafah Islam masih ada, tetapi ia tidak memandang perlu untuk mengamati perkembangan-perkembangan baru di bidang keilmuan di Barat dan tidak mau mengetahui filsafat barat yang baru serta munculnya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang baru pula. Akibatnya kelompok ulama’ pada waktu itu hanya memusatkan perhatiannya
pada
semua
yang
telah
ada
sebelumnya
dan
mencoba
menggunakannya untuk mengatasi tantangan baru. Dengan demikian ilmu pengetahuan itu dibatasi perkembangannya hanya sampai pada apa yang telah mereka pelajari sebelumnya. Bahkan semakin lama penekannya semakin ditujukan pada ilmu pengetahuan yang bersumber pada wahyu semata. Kurun waktu itu berlangsung hingga abad ke-19, walaupun Turki pada awal abad ke-19 menyadari akan pentingnya ilmu pengetahuan baru, terutama kepentingan kekuatan militernya dan Mesir pasca ditaklukkan Napoleon. Akan tetapi perkembangannya amat lamban. Di samping itu juga sejarah telah berbicara bahwa jatuhnya kebesaran AlIslam (dalam arti sosial empiris) bertepatan dengan munculnya dikotomi pikiran antara fundamentalisme Ghazali dengan rasionalisme Ibnu Rusyd. Karena itu hakekat pertentangan atau antoginisme ini harus kita pelajari dengan teliti, agar kita bisa belajar dari sejarah, dan mencoba untuk kembali menemukan jalan lurus yang diridhai Allah. Kaum penguasa di jaman Ibnu Rusyd menganggap pertentangan itu harus segera diatasi demi menjamin “ketahanan nasional” atau konsistensi ajaran agama. Tanpa pikiran panjang mereka melihat bahwa rasionalisme itu adalah lawan fundamentalisme, dan Islam mengajarkan hanya bisa menerima fundamentalisme. Karena itu rasionalisme Ibnu Rusyd harus dibunuh !. Ya itulah bukti bahwa manusia tidak mengerti makna ciptaan Allah yang berpasangan secara harmonis. Mustahil Allah menciptakan permusuhan. Permusuhan antara rasionalisme dengan fundamentalisme pasti bersumber pada kedunguan manusia yang tidak mampu menghayati dunia yang serba kompleks. Tahap IV: Kebangkitan kembali dan tantangannya Jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu dari Tartar mengakibatkan umat Islam mengalami kemunduran. Gerakan tarekat berkembang, mungkin sebagai kompensasi dan pelipur lara. Pada saat keadaan demikian, muncullah gerakan
24
purifikasi (pemurnian) yang mengajak umat Islam kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Filsafat dan Tasawuf ditentang, karena dirasakan telah mengantarkan umat Islam menjauhi ajaran Islam yang benar. Tokoh utama gerakan ini adalah Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah, yang kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Di Afrika Utara muncul pemikir besar Ibnu Khaldun yang kemudian terkenal sebagai “bapak sosiologi” dunia. Perhatian dunia barat terhadap pemikiran Ibnu Khaldun sangat besar. Kitabnya yang amat monumental adalah Muqaddimah, yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Kecuali sebagai bapak sosiologi, Ibnu Khaldun juga dikenal sebagai bapak filsafat sejarah yang sangat mengagumkan. Sejaman dengan Ibnu Khaldun, di Granada muncul seorang filsuf hukum Islam bernama Ali Sathibi yang mewariskan karya yang sangat bermanfaat kepada umat Islam, yaitu al-Muwafaqat. Kurun waktu setelah Ibnu Khaldun, sejarah pemikiran Islam tidak mencatat pemikiran yang menonjol, hinga akhir abad ke-19 Masehi. Pada akhir abad ke-19 Masehi, muncul kembali gerakan pembaharuan pemikiran Islam di banyak negara wilayah Dunia Islam, di Mesir, Syam, India yang sangat besar pengaruhnya terhadap pembaharuan alam pemikiran Islam di Indonesia. Namanama Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal, Abdurrahman Al-Kawakibi, dan lain-lain dapat dipandang sebagai tokoh dan pionir yang tercatat dalam “cetak biru” sejarah filsafat Islam.14 Dalam kaitannya dengan masalah pendidikan, pada abada ke-20 ini pemerintah-pemerintah Islam dan umat muslim pada umumnya menyadari akan adanya keterbatasan-keterbatasan dalam jangkauan ilmu pengetahuannya. Akan tetapi untuk menghindari terjadinya benturan-benturan dengan orang-orang yang memiliki otoritas di bidang agama, perlu ditampilkan sistem pendidikan yang lain, terutama pendidikan sistem barat yang sekuler. Akan tetapi hal tersebut mempunyai tantangan berat, karena antara ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan sekular berjalan pada dua jalur yang sama sekali terpisah. Inilah tantangannya, apakah sistem pendidikan yang dikembangkan di dunia Islam telah
14
Ibid., hlm. 23-24
25
sejalan dengan perkembanagn konsep ilmu pengetahuan ?. artinya peran apakah yang seharusnya dimainkan oleh universitas-universitas tersebut saat ini ?.15 Pada perkembangan selanjutnya pemikiran Islam mengalami masa kebangkitan. Hal ini perlu dilakukan karena Islam memiliki peran penting historis bagi kita semua, tetapi pada saat yang sama, pemahaman kita terhadap fenomena ini sangat tidak memadai. Ada kebutuhan untuk mendorong dan memprakarsai pemikiran yang berani, bebas, dan produktif tentang Islam sekarang. Apa yang disebut dengan revivalisme Islam telah memonopoli wacana tentang Islam, para ilmuan sosial, lebih-lebih, tidak memberikan perhatian terhadap apa yang disebut “Islam yang diam” (the silent Islam), yaitu Islam dari kaum mukminin sejati yang lebih mementingkan hubungan religius dengan Tuhan Yang Absolut ketimbang dengan demonstrasi-demonstrasi gerakan politik yang berapi-api. Dengan merujuk pada para pemikir Islam dan kaum intelektual yang mengalami banyak kesulitan besar dalam memasukkan pendekatan kritis mereka ke dalam wilayah sosial dan kultural yang, pada saat ini, sepenuhnya didominasi oleh ideologi-ideologi militan. Inilah mengapa Arkoun yang hidup di Aljazair, yang mana pernah dijajah oleh Perancis sebagai kolonial, merasa tergugah untuk melakukan ijtihad terhadap pemikiran Islam. Ia dikejutkan oleh konfrontasi yang tajam dan keras antara budaya dan bahasa Perancis sebagai penjajah. Ia berusaha memikirkan kembali (rethinking) Islam. Dengan pendekatan historis, dengan kuriositas modernnya yang luas. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk menghentikan konfrontasi yang tidak relevan antara dua sikap dogmatis ini, yaitu klaim teologis kaum beriman dan postulat-postulat ideologis rasionlisme positivis. Studi agama-agama, masih dirintangi oleh definisi-definisi dan metode-metode yang kaku, yang diwarisi dari teologi dan metafisika klasik. Sejarah agama telah mengumpulkan banyak fakta dan deskripsi mengenai berbagai agama, tapi agama sebagai sebuah dimensi universal eksistensi manusia tidak didekati dari perspektif epistimologis yang relevan. Kelemahan dalam pemikiran modern ini lebih jelas digambarkan
15
oleh literatur yang miskin,
Hamid Hasan Bilgrami & Sayid Ali Asyraf, op.cit., hlm. 12- 23
26
konformis, dan kadang-kadang polemis mengenai agama-agama Kitab, seperti akan kita lihat nanti. Karena alasan-alasan inilah, maka penting untuk menyingkirkan berbagai hambatan yang ditemukan dalam literatur Islam sebagaimana dalam literatur orientalis mengenai Islam dan mencurahkan perhatian yang lebih banyak di universitas-universitas kita untuk mengajarkan dan mempelajari sejarah sebagai sebuah antropologi masa lalu dan bukan hanya sebagai sebuah catatan naratif mengenai fakta-fakta. Arkoun bersikeras menggunakan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis bukan untuk menyangkal pentingnya pendekatan teologis dan filosofis, tapi untuk untuk memperkaya pendekatan itu dengan inklusi dari kondisi-kondisi historis dan sosial yang kongkrit di mana Islam selalu dipraktikkan.16 Dengan demikian jika umat Islam tidak ingin ketinggalan dari bangsa Barat, maka kemauan keras untuk bangkit dari kemalasan spritual dan intelektual harus dikikis habis, sehingga sendi-sendi keilmuan yang telah dibangun dan dikembangkan oleh founding father hirarki keilmuan dalam dunia Islam akan kembali tercipa, sehingga umat Islam akan berjaya kembali.
16
Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, terj. Rusalani., Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 4-dst