39
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN, NARAPIDANA TERORIS SERTA PROGRAM REHABILITASI DAN REINTEGRASI SOSIAL
2.1
Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Pembinaan bagi narapidana muncul dari perubahan istilah dari penjara yang bertumpu pada tujuan pembalasan menjadi lembaga pemasyarakatan yang bertujuan untuk membina narapidana. Secara etimologi, kata penjara berasal dari kata penjoro ( kata dari bahasa Jawa) yang berarti taubat atau jera, dipenjara berarti dibuat jera.35 sehingga siapa saja yang karena tindak pidana yang dilakukannya, harus berurusan dengan penjara maka ia adalah orang-orang yang diharapkan jera atas perbuatan yang pernah dilakukannya tersebut. Istilah penjara dalam terminologi hukum di Indonesia mengandung dua makna yakni penjara sebagai tempat bagi terpidana dan penjara sebagai salah satu jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Pidan penjara sudah dikenal sejak abad XVI. Embrio pidana penjara pertama-tama dijalankan di Inggris. Pada tahun 1955 kastil Bridewell di London digunakan oleh Raja Edward VI sebagai tempat berteduh bagi
35
R.A. Koesnoen, 1964, Susunan Pidana Dalam Negara Sosialis Indonesia, Sumur, Bandung, hal. 9, (selanjutnya disebut R.A. Koesnoen I).
40
pengemis, gelandangan dan anak terlantar. Setelah itu di tempat-tempat lain di Inggris didirikan Bridewell- Bridewell yang menjadi bentuk-bentuk dari rumah penjara (houses of correction). Tempat tersebut awalnya digunakan untuk menampung pengemis, gelandangan dan anak terlantar tadi.
namun
lama-kelamaan
diubah
fungsinya
menjadi
tempat
penyiksaan.36 Pada tahun 1596 di Amsterdam (Belanda) didirikan thuchthuis (rumah penertib) yang dinamakan rushuis (khusus bagi terpidana laki-laki) dan spinhuis (khusus bagi terpidana perempuan). Thuchthuis digunakan sebagai wadah pembinaan agar para penghuni terbiasa bekerja produktif dan memperbaiki kesusilaannya. Melalui perbaikan tingkah laku, mereka diharapkan dapat kembali ke masyarakat. Lama-kelamaan dalam thuchthuis dihuni oleh narapidana yang menjalani pidana berat. Pembentukan thuchthuis tersebut segera diikuti oleh negara-negara lain.37 Thuchthuis merupakan awal mula dari konversi fungsi penjara dari tempat
penyiksaan
menjadi
tempat
pembinaan.
Setiap
negara
menggunakan sistem kepenjaraan yang berbeda-beda. Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia” sebagaimana dikutip oleh Widodo, ada tiga sistem kepenjaraan yakni:
36
Ibid., 90-91.
37
Ibid.
41
a.
Sistem Pensylavania. Sistem ini menekankan pada penutupan secara terasing terhadap narapidana agar insyaf dan menyesal atas perbuatannya dan agar merasakan pidananya. Menurut sistem ini narapidana dimasukkan dalam sel, narapidana mendapatkan pekerjaan di selnya masing-masing dan mendapat bacaan kitab Injil. Sistem Pensylvania banyak dianut negara-negara Eropa. Dalam sistem ini, narapidana tidak diberi kesempatan menerima pengunjung, dan tanpa diberi kesempatan berbicara dengan orang lain.
b.
Sistem Auburn. Sistem ini pertama kali dilaksanakan di penjara Kota Auburn di Negara Bagian New York, kemudian karena sistem tersebut menunjukkan keberhasilan maka pada tahun 1925 sistem ini juga dilaksanakan di penjara Sing Sing. Menurut sistem ini, narapidana pada malam hari harus tinggal di dalam sel, sedangkan pada siang hari mereka melakukan pekerjaan secara bersama-sama, tetap antara narapidana satu dengan lainnya dilarang berbicara. Sistem ini banyak dipraktikkan di Amerika.
c.
Sistem Irlandia. Sistem ini menghendaki agar para narapidana pada awalnya ditempatkan terus-menerus dalam sel. Tetapi kemudian dipekerjakan bersama-sama. Pada tahap ke tahap narapidana diberikan kelonggaran untuk bergaul antara narapidana satu dengan lainnya. akhirnya setelah menjalani ¾ (tiga per empat) dari lama pidana yang harus dijalani, narapidana dibebaskan dengan syarat.38
38
Widodo, op.cit., hal. 11-12.
42
Indonesia tidak secara khusus menganut salah satu dari sistem kepenjaraan ini. Dilihat dari pola resosialisasi yang terjadi di penjara, para narapidana tetap diperkenankan untuk saling berbicara dan menerima kunjuangan. Mereka juga diberikan bimbingan rohani dan diberikan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya. Istilah “penjara” selain diartikan sebagai tempat, ia juga dapat diartikan sebagai jenis sanksi pidana. Hal ini dapat dilihat pada rumusan jenis pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yang menyatakan bahwa: Pidana terdiri atas: a.
pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan.
b.
pidana tambahan 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim. Pidana penjara, berdasarkan ketentuan Pasal 10 KUHP tersebut
merupakan pidana pokok yang dapat dijatuhkan seumur hidup atau selama waktu tertentu. Mengenai pidana penjara ini, Roeslan Saleh menyebutkan bahwa pidana penjara adalah pidana utama diantara pidana hilang kemerdekaaan dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk sementara waktu.39 Pidana penjara selama waktu tertentu paling 39
92.
Tolib Setiady, 2010, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, hal.
43
pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut dan pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu. Begitu juga dalam hal batas lima belas tahun
dilampaui
sebab
tambahanan
pidana
karena
perbarengan,
pengulangan atau karena ditentukan pasal 52 KUHP. Pidana penjara selama waktu tertentu tidak boleh melebihi dua puluh tahun. Bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut.40 Leden Marpaung menganggap hukuman penjara ditujukan kepada penjahat yang menunjukkan watak buruk dan nafsu bejat.41 Ancaman pidana penjara sangat dominan dirumuskan dalam KUHP Indonesia, bahkan sejak dahulu sampai saat ini. Perumusan ancaman pidana penjara yang bersifat imperatif di Indonesia tersebut merupakan
108.
40
Ibid.
41
Leden Marpaung, 2008, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
44
warisan dari pemikiran aliran klasik yang menetapkan pidana dengan definite sentence.42 Hal ini mengakibatkan jenis pidana penjara menjadi sanksi yang paling banyak dijatuhkan oleh hakim, baik di Indonesia maupun di dunia. Lebih dari 9 juta orang di penjara di seluruh dunia. Populasi tahanan penjara di kebanyakan negara meningkat dengan tajam pada awal tahun 1900-an. Jumlah tahanan Amerika Serikat adalah yang terbanyak berdasarkan negara, melebihi 2 juta jiwa dan 70% dari jumlah tersebut merupakan tahanan dengan kasus narkoba. Di Rwanda, hingga tahun 2002, lebih dari 100.000 orang ditahan dengan kecurigaan mengenai keikutsertaan mereka dalam genosida yang terjadi pada tahun 1994. Rusia dan Republik Rakyat Cina (dengan populasi 5 kali lebih besar dari AS) juga mempunyai jumlah tahanan melebihi 1 juta pada tahun 2002.43 Pengaturan mengenai pelaksanaan pidana penjara di Indonesia, semula diatur dalam Ordonnantie op de Voorwaardelijke Invrijheidstelling (Stb.
1917-749,
Gestichtenreglement
27
Desember (Stb.
1917
1917-708,
jo. 10
Stb.
1926-488),
Desember
1917),
Dwangopvoedingsregeling (Stb. 1917-741, 24 Desember 1917); dan Uitvoeringsordonnantie op de Voorwaardelijke Veroordeeling (Stb. 1926-
42
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 201-202 (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief III). Wikipedia, 2011, “Penjara”, Serial online 20:01, 7 Maret 2011., Cited 2011 Jan. 2), available from: URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Penjara 43
45
487, 6 November 1926). Namun sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, maka reglemen tersebut sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan dinyatakan tidak berlaku. Hal ini menurut R.A. Koesnoen melalui bukunya yang berjudul “Politik Penjara Nasional” “maka menjadi suatu keharusan dan kewajiban bagi para yang berwajib untuk menyusun reglemen penjara baru yang mengatur bagaimana narapidana harus diperbaiki agar menjadi seorang manusia yang susila.”44 Dalam rangka pembaharuan sistem pelaksanaan pidana penjara maka pada tahun 1964, istilah sistem kepenjaraan telah diubah menjadi sistem pemasyarakatan, dan istilah penjara diganti menjadi lembaga pemasyarakatan. Selanjutnya diadakan suatu Konferensi Dinas Direkturdirektur Penjara seluruh Indonesia yang diadakan di Lembang, “Treatment System of Offenders” yang di dalamnya memuat sepuluh prinsip umum pemasyarakatan.45 Perubahan nama menjadi lembaga pemasyarakatan itu mempunyai hubungan dengan gagasan untuk menjadikan lembaga ini bukan sebagai suatu tempat yang semata-mata menghukum dan menderitakan orang, tetapi suatu tempat untuk membina atau mendidik orang-orang yang telah berkelakuan menyimpang (narapidana) agar setelah menjalani pembinaan
44
R.A. Koesnoen, 1961, Politik Penjara Nasional, Sumur, Bandung, hal. 44, (selanjutnya disebut R.A. Koesnoen II). 45
A. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, 1979, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, hal. 15.
46
di lembaga pemasyarakatan dapat menjadi orang yang baik dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat. Hal ini tercermin dalam pidato Suhardjo pada 5 Juli 1963 ketika menerima gelar doktor honoris causa dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menegaskan “Di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena kehilangan kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Dengan singkat, tujuan pidana adalah pemasyarakatan.”46 Upaya pembinaan
menjadikan tercermin
lembaga dalam
pemasyarakatan
definisi
lembaga
sebagai
wadah
pemasyarakatan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.” Sebelum ada sistem pemasyarakatan, maka sistem yang dipakai adalah sistem kepenjaraan. Sistem Kepenjaraan adalah tujuan dari pidana penjara, dan tujuan dari pidana penjara maksudnya adalah untuk melindungi
46
47
masyarakat
dari
segala
bentuk
kejahatan.47
Dengan
Pidato Suhardjo dalam Adami Chazawi, op.cit., hal. 38.
A. Widiada Gunakaya, 1988, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, CV Armico, Bandung, hal. 43.
47
diundangkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan maka sistem kepenjaraan ini berubah menjadi sistem pemasyarakatan. Pasal 1 angka 2 menjelaskan bahwa: Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Perubahan istilah dari penjara menjadi lembaga pemasyarakatan yang menunjuk pada tempat menjalani pidana, mengindikasikan bahwa negara berupaya untuk merehabilitasasi dan mengarahkan narapidana pada reintegrasi sosial agar dapat kembali lagi terjun di dalam masyarakat. Hingga kini masyarakat lebih sering menyebut tempat tersebut sebagai penjara, sebab jenis sanksi yang dijatuhkan adalah pidana penjara. Sehingga istilah penjara lebih familiar bagi masyarakat awam daripada istilah lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan adalah salah dalam komponen peradilan pidana yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan. Melalui sistem pembinaan yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan maka warga binaan diharapkan dapat memperbaiki diri dan siap untuk kembali ke masyarakat. Warga binaan juga diharapkan agar tidak mengulangi kembali perbuatannya.
48
Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bias narapidana atau Warga Binaan Pemasyarakatan atau mereka yang statusnya masih tahanan,yakni orang-orang yang masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang menangangi pembinaan narapidana dan tahanan di lembaga pemasyarakatan disebut dengan Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu lebih di kenal dengan istilah sipir penjara. Dalam konsep pemasyarakatan, tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat. 48 Mantan penghuni lembaga pemasyarakatan harus bisa kembali hidup di tengah-tengah masyarakat tanpa diskriminasi dari lingkungannya. Perlakuan
narapidana
sebagai
subjek
pembinaan
merupakan
konsekuensi dari individualisasi. Ide individualisasi pemidanaan tercantum dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, dimana dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di lembaga pemasyarakatan dilakukan penggolongan atas dasar umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan yang dijatuhkan dan
Wikipedia, 2010, “Lembaga Pemasyarakatan”, Serial Online 10:30, 14 Agustus 2010, (Cited 2011 Jan. 2), available from: URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan 48
49
kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Selanjutnya dalam Pasal Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa narapidana berhak : a.
melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b.
mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c.
mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d.
mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e.
menyampaikan keluhan;
f.
mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
g.
mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h.
menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i.
mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j.
mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k.
mendapatkan pembebasan bersyarat;
l.
mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan maka dalam sejarah peraturan perundang-undangan,
Pemerintah
pernah
mengeluarkan
Peraturan
Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun
50
1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 mengenai syarat dan tatacara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan. Tahun 2012, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa “Pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan.” Petugas Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) merupakan Pejabat Fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Pembinaan terhadap narapidana memerlukan perhatian banyak pihak. Dalam
pembinaan
tersebut
maka
lembaga
pemasyarakatan
dapat
bekerjasama dengan pihak lain. Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995
penyelenggaraan
tentang
Pemasyarakatan
pembinaan
dan
disebutkan
pembimbingan
Dalam
rangka
Warga
Binaan
Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah terkait, badan-badan kemasyarakatan lainnya, atau perorangan
51
yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan suatu proses dalam penyelesaian perkara pidana. Pada dasarnya kepada seseorang pelaku suatu tindak pidana harus dikenakan suatu akibat hukum. Akibat hukum itu pada umumnya berupa hukuman pidana.49 Pidana adalah suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan negara kepada sesorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Rumusan lain menyebutkan pidana adalah reaksi atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik.50 Penjatuhan pidana bagi pelaku merupakan kewenangan Negara dalam rangka menciptakan kehidupan yang tertib dan aman di wilayah yurisdiksinya. Dalam penjatuhan pidana tersebut, Negara memperhatikan dua aspek kepentingan yakni kepentingan masyarakat umum dan kepentingan dari pelaku. Dengan demikian hak-hak pelaku masih tetap dilindungi oleh negara. Pengakuan terhadap hak asasi manusia yang diperjuangkan oleh bangsa-bangsa di dunia berimplikasi pada sistem hukum di Indonesia. Perlindungan hak asasi manusia semakin diupayakan untuk ditegakkan semaksimal mungkin terhadap setiap orang, termasuk kepada terpidana. Terpidana pada dasarnya memiliki hak-hak yang dibatasi namun bukan
49 50
S.R. Sianturi, 1996, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Alumni, Jakarta, hal. 442.
Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9, ((selanjutnya disebut Bambang Waluyo II).
52
berarti mereka sama sekali tidak memiliki hak asasi. Perjuangan hak asasi bagi terpidana ini telah dimulai sejak pra kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam sejarah dunia, penghargaan terhadap martabat manusia sudah melekat dalam budaya dan agama manusia. The idea of human dignity is as old as the history of humankind and exists in various forms in all cultures and religions.51 Pada tahun 1918 mulai berlaku “Reglemen Penjara Baru” (Gestichten Reglement) Staatblad 1917 No. 708, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1918 berdasarkan Pasal 29 Wet boek van Strafrecht (WvS) atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), mengenai perlunya disusun suatu reglemen baru tentang penjara sudah dikemukakan oleh R.A. Koesnoen melalui tulisannya, maka menjadi suatu keharusan dan kewajiban bagi para yang berwajib untuk menyusun reglemen penjara baru yang mengatur bagaimana narapidana harus diperbaiki agar menjadi seorang manusia yang susila.52 Narapidana memiliki hak untuk lepas dari labelisasi yang melekat pada diri sebagai penjahaat. Oleh sebab itu pembinaan terhadap narapidana sangat perlu dilakukan. Menurut Mardjono Reksodiputro, proses hukum yang adil adalah lebih jauh dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan formal. Dalam pengertian proses hukum yang adil terkandung penghargaan akan
51
Wolfgang Benedek, 2006, Understanding Human Rights Manual on Human Rights Education, Neuer Wissenschaftlicher Verlag GmbH, Austria, hal 29. 52
R.A. Koesnoen II, op.cit., hal. 44.
53
kemerdekaan seorang warga negara. Dengan demikian, meskipun warga masyarakat telah melakukan suatu perbuatan tercela (tindak pidana), hakhaknya sebagai warga negara tidaklah hapus atau hilang. 53 Kemerdekaan dari warga negara tida boleh hilang namun dalam keadaan tertentu hak-hak warga negara dapat dikurangi. Narapidana merupakan anggota masyarakat yang dikarenakan telah melakukan tindak pidana dan dijatuhi hukuman, maka untuk sementara waktu dipisahkan dari masyarakat dan ditempatkan di bawah asuhan, didikan dan pembinaan lembaga pemasyarakatan. Oleh karena mereka adalah anggota masyarakat maka sudah barang tentu pada suatu saat manakala telah selesai menjalani hukuman harus kembali ke masyarakat lagi.54 Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, “narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS.” Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ditegaskan bahwa narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas
53
Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, hal 28. 54
Tolib Setiady, op.cit.hal. 140.
54
adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan Narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajibankewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan Narapidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai. Penempatan narapidana sebagai subjek pembinaan merupakan cerminan dari hak narapidana yang dilindungi oleh negara. Pembinaan ini dilakukan melalui sebuah sistem yang kini dikenal dengan istilah sistem pemasyarakatan. Dalam sistem pemasyarakatan, terpidana disebut dengan istilah
warga
pemasyarakatan tidak
binaan.
Pembinaan
yang
dilakukan
di
lembaga
merupakan sarana untuk mencegah agar warga binaan
mengulangi
kembali
perbuatannya
selepas
dari
lembaga
pemasyarakatan. Melalui program-program pembinaan, warga binaan diharapkan dapat kembali diterima oleh lingkungan sosialnya. Hal ini merupakan pengejawantahan dari prinsip keadilan, yang juga diamanatkan oleh sila ke-2 Pancasila yakni “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.” Pemikiran ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Adi Sujatno dalam
bukunya
yang
berjudul
Sistem
Pemasyarakatan
Indonesia
Membangun Manusia Mandiri, yang menyatakan: Sistem Pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak
55
pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.55 Konsep dari prinsip pemasyarakatan bukan hanya semata-mata merumuskan tujuan dari pidana penjara, melainkan merupakan suatu sistim pembinaan, suatu methodologi dalam bidang “Treatment of Offenders”, yang multi lateral oriented, dengan pendekatan yang berpusat pada potensipotensi yang ada, baik itu ada pada individu yang bersangkutan, maupun yang ada di tengah-tengah masyarakat, sebagai suatu keseluruhan.56 Oleh sebab itu pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakat perlu dilakukan secara holistik. Pelaksanakan sistem Pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga partisipasi atau keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerjasama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya.57 Upaya pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan adalah bagian dari pelaksanaa teori tujuan pemidanaan sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Berkenaan dengan tujuan tersebut maka Barda Nawawi Arief menyatakan:
55
Adi Sujatno, 2004, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta hal. 23, (selanjutnya disebut Adi Sujatno I). 56
R. Achmad S. Soema di Pradja, 1979, Sistim pemasyarakatan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, hal. 19 57
Ibid., hal. 22-23.
56
Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk tujuan tersebut (membentuk manusia seutuhnya), maka pendekatan humanistik harus pula diperhatikan. Hal ini penting karena hanya kejahatan itu pada hakekatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakekatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai-nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.58 Paradigma pemikiran mengenai narapidana sebagai subjek pembinaan menunjukkan pengakuan terhadap eksistensi manusia. Mengenai hal ini, John Delaney mengatakan bahwa perlu adanya pemahaman narapidana sebagai manusia apa adanya karena pelaku kejahatan (narapidana) adalah mahkluk manusia pusat dari nilai-nilai yang harus diakui martabatnya. Oleh karena itu pendekatan eksistensial harus dilakukan untuk mengintegrasikan kembali narapidana ke dalam masyarakat.59 Narapidana sebagai subjek dalam pembinaan, diharapkan setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, narapidana: a. Tidak lagi melakukan tindak pidana; b. Menjadi manusia yang berguna serta berperan aktif dan kreatif dalam membangun bangsa dan negara; c. Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa dan mendapat kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.60 Tujuan pemikian narapidana sebagai subjek dalam pembinaan ini telah menunjukkan perubahan fungsi pemidanaan dari pembalasan menuju pada perbaikan. Fungsi hukum sebagai salah satu alat untuk “menghadapi”
58
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal, 37.
59
Ibid., hal. 5.
60
L.S. Allagan dalam Petrus Irwan Panjaitan dan Chairijah, 2009, Pidana Penjara Dalam Perspektif Penegak Hukum, Masyarakat dan Narapidana, IND Hill Co, Jakarta, hal. 4.
57
kejahatan melalui rentetan sejarah yang panjang mengalami perubahanperubahan dan perkembangan, dari satu cara yang bersifat “pembalasan” terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan, yang berubah menjadi alat untuk
melindungi
individu
dari
gangguan
individu
lainnya,
dan
perlindungan masyarakat dari gangguan kejahatan akan terus berubah sebagai wadah pembinaan nara pidana untuk pengembalian ke dalam masyarakat.61 Hukuman yang ideal seharusnya memenuhi tiga fungsi, yakni melayani tiga pihak yakni: a. Retributif, melayani pihak yang dibina atau dilanggar haknya. b. Korektif, melayani si pelanggar. c. Preventif, melayani masyarakat luas.62 Berdasarkan pandangan tersebut maka hukuman yang ideal harus memenuhi semua kepentingan yaitu pelaku, korban dan masyarakat. Pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan memerlukan berbagai fasilitas. Tanpa adanya fasilitas tersebut mustahil cita-cita serta harapan dari sistem pemasyarakatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pemasyarakatan akan tercapai. Adapun fasilitas itu berupa: a. Fasilitas pembinaan fisik b. Fasilitas non fisik atau mental63
61
Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Sejarah dan Azaz Penologi, Armico, Bandung, hal. 11
62
Petrus Irwan Panjaitan dan Chairijah, op.cit., hal. 13.
63
Widiada Gunakaya. Sejarah Dan Konsepsi Pemasyarakatan, Armico, Bandung, hal. 96.
58
Fasilitas pembinaan fisik berupa penyediaan fasilitas olah raga, kesenian, keterampilan, perpustakaan dengan buku-buku yang memadai, rumah ibadah dan sarana ibadah dan sebagainya. Pembinaan narapidana juga didukung dengan penyediaan fasilitas non fisik seperti fasilitas kesehatan kesehatan, bimbingan rohani dan psikolog. Di lembaga pemasyarakatan, terdapat dokter umum dan dokter gigi. Fasilitas fisik dan mental yang disediakan di lembaga pemasyarakatan merupakan cerminan narapidana yang dipandang sebagai subjek hukum yang memiliki hak asasi. 2.2
Narapidana Teroris Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa “Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan.” Terpidana berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah “seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Narapidana adalah salah satu dari warga binaan yang tinggal di lembaga pemasyarakatan selain Anak Didik Pemasyarakatan dan Klien Pemasyarakatan. Narapidana teroris adalah terpidana yang hilang kemerdekaan karena melakukan tindak pidana terorisme yang telah diputus pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Mengenai tindak pidana terorisme sendiri, hingga saat ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan terorisme. Berbagai perdebatan yang terjadi antara pakar hukum internasional dalam menentukan ruang lingkup dari
59
kejahatan ini disebabkan karena subjektifitas negara dalam memandang terorisme. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional mengatakan bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna terorisme tersebut.64 Kesulitan ini juga dinyatakan oleh Walter Lacquer dalam bukunya The Age of Terrorism, menurutnya tak mungkin ada sebuah definisi yang dapat mengkover ragam terorisme yang pernah muncul dalam sejarah. Selanjutnya menurut Brian Jenkins, terorisme merupakan pandangan yang subjektif.65 Ketiadaan
definisi
baku
mengenai
terorisme,
bukan
berarti
meniadakan definisi hukum mengenai terorisme apalagi sampai meniadakan hukuman atas kejahatan ini. Kata terorisme berasal dari bahasa latin yakni terrere yang berarti untuk menakuti. Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Tidak ada negara yang ingin dituduh mendukung terorisme atau menjadi tempat perlindungan bagi kelompok-kelompok terorisme. Tidak ada pula negara yang ingin dianggap melakukan tindakan terorisme karena menggunakan kekuatan (militer).66
64 Indriyanto Seno Adji, 2010, Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, O.C. Kaligis & Associates, Jakarta, hal. 35. 65
66
Indriyanto Seno Adji, loc.cit.
Abdul Wahid, Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Refika Aditama, Bandung, hal. 22.
60
Pengertian terorisme
pertama kali
diungkap pada
European
Convention on the Suppression of Terorism (ECTS) di Eropa pada tahun 1977. Dalam konvensi ini terjadi perluasan paradigma arti dari crimes against state menjadi crimes against humanity. Crimes against humanity meliputi
tindak
pidana
untuk
menciptakan
suatu
keadaan
mengakibatkan individu, golongan dan masyarakat umum
yang
ada dalam
suasana teror. Dalam kaitannya dengan HAM, crimes against humanity termasuk kategori gross violation of human rights yang dilakukan sebagai bagian serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih-lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang yang tidak bersalah (public by innocent).67 Definisi hukum mengenai terorisme dapat ditemukan di sejumlah dokumen hukum internasional. Dalam The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, menyebutkan bahwa: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear.”68 PBB menjelaskan terorisme sebagai berikut: Terrorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed by (semi) clandestine individual, group or state actors for idiosyncratic, criminal or political reasons, whereby-in contrast to assassination-the direct target s of attacks are not the main targets. The immediate human victims of violence are generally chosen randomly (targets of opportunity) or selectively (representative or symbolic targets) from a target population, and serve as message generators. Threat-and violence-based communication processes 67 68
Ibid., hal. 23.
Loebby Loqman, 1990, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 98.
61
between terrorist (organization), (imperiled) victims, and main targets are used to manipulate the main target (audience(s), turning it into a target of terror, a target of demands or target of attention, depending on whether intimidation, coercion or propaganda is primarily sought.69 Menurut Konvensi PBB tahun 1939, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
Dalam kamus Webster’s New School and
Office Dictionary dijelaskan, “Terrorism is the use of violence, intimidation, etc to gain to end; especially a system of government ruling by terror …” (terorime adalah penggunaan kekerasan, intimidasi dan sebagainya untuk merebut atau menghancurkan, terutama, system pemerintahan yang berkuasa melalaui teror…). Dari definisi-definisi tersebut dapat dipahami bahwa terorisme adalah kejahatan (crime) yang mengancam kedaulatan Negara (against state/nation) melawan kemanusian (against humanity) yang dilakukan dengan berbagai bentuk tindakan kekerasan. RAND Corporation, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan swasta terkemuka di Amerika
Serikat,
melalui
sejumlah
penelitian
dan
pengkajiannya,
menyimpulkan bahwa setiap tindakan kaum teroris adalah tindakan kriminal.70 Teroris merupakan kejahatan terhadap umat manusia.
69 Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 140.
2005, Pengantar Ilmu
Centre for Moderate Muslim Indonesia, 2010, “Bentuk-Bentuk Jihad dan Padanannya,” Serial Online 05-February-2010 Buletin No. 290, (Cited 2011 Jan. 2), available from: URL: http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=5747_0_3_0_C 70
62
Pengaturan mengenai terorisme dalam ranah hukum nasional diatur melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Tindak pidana terorisme menurut undang-undang ini adalah segala perbuatan yang memenuhi unsurunsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. berdasarkan Pasal 6 sampai Pasal 16 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme maka ruang lingkup tindak pidana terorisme adalah: 1.
2.
3.
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup. Setiap orang yang: a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut; b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut; c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk
63
pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru; d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru; e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara; g. karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak; h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan; i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan; j. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang; k. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut; l. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan; m. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat
64
4.
5.
6.
7.
8.
menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan; n. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n; o. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan; p. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan; q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan. Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional. Setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10. Setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan: a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki, menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan
65
nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda; b. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya; c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya; d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atau ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi; e. mengancam: 1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya untuk menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan harta benda; atau 2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf b dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi internasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c; dan g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f. 9. Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan: a. memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme; b. menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau c. menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme. 10. Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. 11. Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. 12. Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
66
Evans dan Murphy mengartikan terorisme sebagai penggunaan kekerasan yang disengaja, atau ancaman penggunaan kekerasan oleh sekelompok pelaku yang diarahkan pada sasaran-sasaran yang dimiliki atau di bawah tanggung jawab pihak yang diserang. Hal ini dimaksud untuk mengkomunikasikan kepada pihak yang diserang, adanya ancaman atau tindakan yang lebih kejam lagi di masa mendatang (the intentional use of violence or the threat of violence by precipitators against an instrumental target in order to communicate to a primary target a threat of future violence). Gerakan terorisme dilakukan berdasarkan keinginan untuk melakukan perubahan secara radikal guna terpenuhinya keadilan atau untuk memenuhi kepentingannya. Kepentingan-kepentingan tersebut bersumber pada penafsiran ajaran agama, ideologi, serta ketidakpuasan politik atau sosial- ekonomi.71 Kepentingan-kepentingan tersebut menjadi motivasi bagi jaringan terorisme untuk menentukan target dan melakukan aksi terorisme. Teori terorisme sebagai extra ordinary crime dan crimes against humanity. Kejahatan terorisme adalah hostis humanis generis, yakni kejahatan yang menjadi musuh umat manusia. Ia bukan hanya kejahatan biasa melainkan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) dan organized crime (kejahatan yang terorganisir) yang memerlukan perhatian serius. Hagan dalam bukunya yang berjudul Introduction to Criminology Theories,
71 FX Adji Samekto, 2002, “Motivasi dan Karakteristik Terorisme”, Serial Online Kamis, 24 Oktober 2002, (Cited 2011 Jan. 2), available from: URL: http://www.suaramerdeka.com/harian/0210/24/kha1.htm
67
Methods and Criminal Behavior menuliskan “While no single definition can cover all its varieties, terrorism may be defined as ‘the consciou use of cruelty and killing to spread fear through a population as an instrument power.”72 Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusian dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan Negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well-organized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiscriminative). Definisi teorisme ini tentu berbeda dengan konsep hukum jihad (dalam pengertian perang-red) dalam Islam. Jihad wajib dilakukan bagi yang mampu dengan beberapa syarat. Pertama, untuk membela agama dan menahan agresi musuh yang menyerang terlebih dahulu. Kedua, untuk menjaga kemaslahatan atau perbaikan, menegakkan agama Allah dan membela hak-hak orang-orang yang teraniaya. Ketiga, terikat dengan aturan hukum Islam seperti musuh yang jelas, tidak boleh membunuh orang-orang tua renta, perempuan dan anak-anak yang tidak ikut perang. 73
72 Frank E. Hagan, 1989, Introduction to Criminology Theories, Methods and Criminal Behavior,Nelson Hall, Chicago, hal. 300.
73
Centre for Moderate Muslim Indonesia, loc.cit.
68
Penempatan terorisme sebagai kejahatan yang tergolong istimewa/ luar biasa (extra ordinary crime) demikian logis
mengingat terorisme
dilakukan oleh penjahat-penjahat yang tergolong profesional, produk rekayasa dan pembuktian emampuan intelektual, terorganisir, dan didukung dana yang tidak sedikit. Selain itu kejahatan ini bukan hanya menjatuhkan kewibawaan negara dan bangsa, tetapi juga mengakibatkan korban rakyat tidak berdosa yang tidak sedikit.74 2.3
Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial Bagi Narapidana Teroris Penjara adalah istilah yang sesungguhnya lahir dari sifat hukum pidana. Menurut Franz von List sebagaimana dikutip oleh Bambang Purnomo, yang mengajukan problematik sifat pidana yang menyatakan bahwa, hukum pidana rechtsguterschutz durch rechtsguterverletung yang artinya melindungi kepentingan tetapi dengan menyerang kepentingan. Selanjutnya Hugo de Groot mengungkapkan bahwa dalam hubungan tersebut malum passionis (quod infligitur) propter malum actionis yang artinya penderitaan jahat menimpa dikarenakan oleh perbuatan jahat.75 Penjara menjadi tempat untuk menyerang kepentingan narapidana demi melindungi kepentingan korban dan masyarakat. Sehingga penjara menjadi tempat bagi penyerangan terhadap kepentingan orang yang dinyatakan bersalah.
74
Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, op.cit., hal. 59.
75
Bambang Purnomo, 1982, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, hal. 27.
69
Penjara adalah tempat yang terstereotipe pada kejam, pembalasan dan penyiksaan. Bahkan penjara dikatakan sebagai lembaga prisonisasi yakni lembaga pendidikan yang mencetak penjahat-penjahat yang lebih canggih setelah narapidana keluar dari penjara. Djisman Samosir tidak menampik hal ini, ia mengatakan bahwa memang harus diakui bahwa di dalam penjara terjadi prisonisasi atas narapidana, artinya narapidana itu terpengaruh oleh nilai-nilai yang hidup di penjara seperti kebiasaan-kebiasaan dan budaya di penjara tersebut. Adapun tujuannya mencegah agar jangan terjadi pemaksaan pengaruh dari narapidana yang satu terhadap narapidana lainnya, maupun bentuk pemerasan terlebih-lebih prisonisasi (prisonitation).76 Kekhawatiran akan prisonisasi ini telah menimbulkan pergeseran orientasi pemidanaan dari pembalasan menuju pembinaan. Menurut Roeslan Saleh, pergeseran orientasi pemidanaan disebabkan hukum pidana berfungsi dalam masyarakat77 Dalam sistem pembinaan narapidana, metode pembinaan harus diubah dari top down approach menjadi bottom up approach. Bottom up approach adalah pembinaan narapidana yang berdasarkan kebutuhan belajar narapidana.78 Fungsi pembinaan ini direalisasikan pada program rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
76
Djisman Samosir, 1992, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, hal. 81. 77 Roeslan Saleh, 1981, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasannya, Aksara Baru, Jakarta, hal. 2., (selanjutnya disebut Roeslan Saleh II). 78
C.I. Harsono, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta, hal. 21.
70
Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiranpemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem pembinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang lalu dikenal dan dinamakan sistem pemasyarakatan. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga “rumah penjara” secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. Sistem Pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. (penjelasan umum Undang-undang nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan). Pembinaan di lembaga pemasyarakatan bertumpu pada konsep rehabilitasi
dan
reintegrasi
sosial.
Rehabilitasi
berasal
dari
kata
rehabilitation yang berarti perbaikan, penempatan atau pengembalian hak. Rehabilitasi bagi narapidana dengan demikian bertujuan untuk mendukung dan memberikan penanganan dan perbaikan mental yang bersifat informal dan tertutup. Konsep pemasyarakatan sejalan dengan filosofi reintegrasi
71
sosial yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat. Sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya (reintegrasi).79 Rehabilitasi wajib dilakukan di lembaga pemasyarakatan sedangkan reintegrasi dapat dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan maupun di luar lembaga pemasyarakatan. Program rehabilitasi dan reintegrasi sosial diwujudkan dalam bentuk deradikalisasi terhadap narapidana teroris. Kata deradikalisasi menjadi aktual belakangan ini sebagai suatu bentuk pendekatan baru dalam rangka mencegah dan menanggulangi bahaya terorisme. Deradikalisasi menjadi populer dalam siklus kontra terorisme, yang juga dapat berarti suatu proses konseling yang bertujuan pada memodifikasi interpretasi naskah-naskah religius, memberi jarak atau melepaskan ikatan (disengagement) seseorang dari kelompok jihad tertentu, atau dukungan untuk merehabilitasi dan reintegrasi narapidana teroris ke dalam masyarakat. Menurut The International Centre for the Study of Radicalisation and Political Violence, istilah deradicalisation dan disengagement menggambarkan proses dimana individu atau kelompok untuk melepaskan keterlibatan mereka dalam
Anonim, 2010, “Sistem Pemasyarakatan Indonesia”, Serial Online 2010, ,(Cited 2011 Jan. 2), available from: URL: http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk1/225/gdlhub-gdl-s3-2010praptonoor-11238-th4209-k.pdf 79
72
organisasi kekerasan atau kelompok teroris. Deradikalisasi secara substantif bertujuan untuk merubah tindakan dan ideologi individu atau kelompok.80 Merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial dalam pembinaan di lembaga pemasyarakatan merupakan penegakan hak asasi manusia dari setiap narapidana yang ada.81 Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman yang merupakan tempat untuk mencapai tujuan sistem pemasyarakatan melalui rehabilitasi dan reintegrasi.82 Konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial melalui sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas : a.
pengayoman;
b.
persamaan perlakuan dan pelayanan;
c.
pendidikan;
d.
pembimbingan;
e.
penghormatan harkat dan martabat manusia;
80 Farid Septian, “Pelaksanaan Deradikalisasi Narapidana teroris Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang,” Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 7 No.I Mei 2010 : 108 – 133 108 81
Sebagai narapidana, ada hak-hak yang memang dibatasi, misalnya hak atas kebebasan. Namun ada beberapa hak yang harus dipenuhi yakni hak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya, mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani, mendapatkan pendidikan dan pengajaran, mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, menyampaikan keluhan, mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang, mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan, menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya, mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga, mendapatkan pembebasan bersyarat, mendapatkan cuti menjelang bebas dan mendapatkan hakhak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 82
Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 103.
73
f.
kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan
g.
terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orangorang tertentu. Untuk mengefektifkan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial
maka upaya pembinaan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dilakukan dengan penggolongan atas dasar: a.
umur;
b.
jenis kelamin;
c.
lama pidana yang dijatuhkan;
d.
jenis kejahatan; dan
e.
kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Pembinaan terhadap narapidana wanita, anak dan dewasa (laki-laki)
dilakukan secara terpisah. Ketentuan ini merupakan lex specialist dari ketentuan Pasal 13 KUHP yang menyatakan bahwa “para terpidana dijatuhi pidana penjara dibagi-bagi atas beberapa golongan.” Upaya yang dilakukan untuk meminimalisi radikalisasi yaitu dengan mengundang pimpinan pesantren untuk lakukan pembinaan, dan melalui kurikulum workshop agama, dan pelatihan anti radikalisme. Selain itu, dia menjelaskan juga, deradikalisasi intinya adalah mengurangi radikalisme, upaya yang dilakukannya adalah melalui program rehabilitasi terhadap keluarga-
74
keluarga mantan teroris untuk dilakukan pencerahan, dan pendampingan psikologis.83 Lembaga pemasyakatan merupakan wadah dari upaya pembinaaan terhadap narapidana. Penerapan pembinaan itu sendiri merupakan parsialisasi dari sistem pemasyarakatan. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Pemasyarakatan adalah suatu proses therapeutic, di mana narapidana pada waktu masuk lambaga pemasyarakatan merasa dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakat di sekitarnya. Sistem pemasyarakatan juga beranggapan bahwa hakekat perbuatan melanggar hukum oleh warga binaan pemasyarakatan adalah cermin dari adanya keretakan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara yang bersangkutan dengan masyarakat sekitarnya.84 Pemasyarakatan sebagai tujuan pidana diartikan sebagai pemulihan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan yang hakiki, yang terjadi antara individu pelanggar hukum dengan masyarakat
serta
lingkungannya.85
Pemidanaan
yang
dijatuhkan
diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat.
Vicky Anggriawan, “BNPT Lakukan 4 Program Untuk Hentikan Terorisme”, Serial Online, (Cited 2013 April. 2), available from: URL: http://www.aktual.co/sosial/123233bnptlakukan-4-program-untuk-hentikan-terorisme 83
84 85
Dwidja Priyatno, op.cit., hal. 14.
Farhan Hidayat, Pemasyarakatan Sebagai Upaya Perlindungan terhadap Masyarakat (Jakarta: Warta Pemasyarakatan No. 19 Tahun VI, September 2005), hal. 27.
75
Fungsi lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga pendidikan dan dan sebagai lembaga pembangunan diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah bagi narapidana, dengan mempertajam program pembinaan narapidana (warga binaan pemasyarakatan). Dengan kata lain lembaga pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan narapidana harus mampu berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan pembangunan.86 Menurut Adi Suyatno, ide dasar dan gagasan-gagasan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. 2. 3.
Pohon beringin pengayoman sebagai lambang hukum di Indonesia Tugas hukum ialah memberi pengayoman agar cita-cita luhur bangsa tercapai dan terpelihara. Di bawah pohon beringin pengayoman tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat.87
Pembinaan disamping bertujuan menimbulkan rasa derita karena dihilangkan kemerdekaan bergerak, juga membimbing terpidana agar bertobat dan kembali diterima masyarakat. Upaya melindungi hak-hak narapidana selama berlangsungnya proses pemasyarakatan diikuti dengan memberikan pekerjaan, hal ini untuk memotivasi narapidana agar
86
Adi Sujatno, 1993, Upaya-Upaya Menuju Pelaksanaan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin Bandung, Seminar Nasional Pemasyarakatan Terpidana II, U.I., hal. 13, (selanjutnya disebut Adi Sujatno II). 87
Ibid., hal 14-16.
76
mempunyai rencana selepas menjalani masa hukuman.88 Program rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang diberikan kepada narapidana teroris lebih terbatas daripada narapidana lainnya. Hal ini disebabkan karena pengamanan bagi mereka harus lebih ketat daripada kepada narapidana lainnya. Pada dasarnya ada tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut: a. b. c.
Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri. Membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan-kejahatan. Membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali.89 Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada
umumnya
terwujud
dalam
mengandung nilai-nilai
kepentingan-kepentingan
sosial
yang
tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-
kepentingan sosial tersebut menurut Bassiouni ialah: a. Pemeliharaan tertib masyarakat; b. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahayabahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain; c. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum; d. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.90
88
Petrus Irwan Panjaitan dan Chairijah, op.cit., hal. 7.
89
Tolib Setiady, op.cit., hal. 31.
90
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 33, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief IV).
77
Pidana harus dijatuhkan sesuai dengan tujuan dalam penanggulangan kejahatan. Oleh sebab itu diperlukan standar dalam penjatuhan pidana. Herbert L. Packer, menyatakan recent philosophical discussion has produced a definition of punishment that will serve as a starting point for our inquiry. This definition presents the standard case of punishment as exhibiting five characteristics: (1) (2) (3) (4) (5)
It must involve pain or other consequences normally considered unpleasant. It must be for an offense against legal rules. It must be imposed on an actual or supposed offender for his offense. It must be intentionally administered by human beings other than the offender. It must be imposed and administered by an authority constituted by a legal system against which the offense is committes.91 Program rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi napi teroris bertujuan
untuk memutus mata rantai kejahatan melalui internalisasi nilai-nilai yang dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan. Sehingga ketika kembali ke masyarakat, mantan narapidana teroris tidak lagi tergabung dalam jaringannya dan melakukan aksi-aksi terorisme kembali. Tujuan ini sejalan dengan tujuan dari pemidanaan.
91
Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, hal. 21.