BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI
A. Pengertian Ekstradisi dan Sejarah Ekstradisi Ekstradisi berasal dari kata latin “axtradere” (extradition = Inggris) yang berarti ex adalah keluar, sedangkan tradere berarti memberikan yang maksudnya ialah menyerahkan. Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara peminta. Menurut I Wayan Parthiana, SH 13, “Ekstradisi adalah Penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seseorang yang tertuduh (terdakwa) atau atas seorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dilakukannya (terhukum, terpidana) oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut, dengan tujuan untuk mengadili atau melaksanakan hukumannya.” M. Budiarto 14, mengatakan bahwa secara umum ekstradisi dapat diartikan suatu proses penyerahan tersangkan atau terpidana karena telah melakukan suatu kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang memeriksa dan mengadili pelaku kejahatan tersebut. Sedangkan sarjana-sarjana asing yang memberikan definisi ialah:
13
I Wayan Pharthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional”. Alumni, Bandung, 1993, hal. 16. 14 M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Azasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal.13.
Universitas Sumatera Utara
L. Oppenheim 15 menyatakan: “Extradition is the delivery of an accused or confited individual to the state on whose teritory he is alleged to have committed, or to have been convicted of a crime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to be”. Yang artinya ialah; ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu negara diwilayah mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan kejahatan. J. G. Starke16 memberikan pengertian sebagai berikut: “The term extradition denotes the process where by under treaty or upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence comitted againts the law of the requesting state competent to try alleged offender”. Artinya ialah penyerahan (Ekstradisi) menunjukkan suatu proses dimana suatu negara menyerahkan atas permintaan negara lainnya, seorang dituduh karena kriminal yang dilakukannya terhadap undang-undang negara pemohon yang berwenang untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut. Biasanya kejahatan yang berwenang untuk mengadili penjahat tersebut yang dilakukannya dalam wilayah yang diserahkan.
15
L. Oppenheim, International Law A Treaties, 8 th edition, 1960, vol. On-Peace, Hal.
696 16
J. G. Starke, An Introduction International Law (terjemahan F. Isjwara) Penerbit Alumni, Bandung, Hal. 13
Universitas Sumatera Utara
Pada umumnya, ekstradisi adalah merupakan sebagai tujuan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan. Secara umum permintaan ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi dan tata krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan ekstradisi diluar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan timbal balik maupun sepihak. Praktek ekstradisi yang didasarkan tata cara tersebut disebut ”Handing Over” atau Disguished Extradition” (ekstradisi terselubung). Handing Over atau Disguished Extradition diartikan sebagai penyerahan pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata lain penyerahan pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan proses dan prosedur ekstradisi sebagaimana ditentukan dalam pengaturannya diekstradisi. Dalam memberikan definisi mengenai ekstradisi ini penulis hanya mengemukakan beberapa pendapat dari para sarjana, namun tidaklah berarti sarjana-sarjana termuka lainnya tidak memberikan definisi. Akan tetapi masih banyak lagi sarjana-sarjana yang memberikan batasan-batasan. Ekstradisi pertama sekali dikenal yakni dengan adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis pada tahun 1979 sebelum Masehi antara Ramses II dari Mesir dengan Hattusili dari Kheta. Perjanjian bantuan timbal-balik termasuk juga
Universitas Sumatera Utara
kerja sama dalam menghadapi musuh-musuh dalam negeri yang harus diserahkan kepada negara asal kalau pelaku kejahatan berlindung pada raja dan negara lain. Dengan dibuatnya perjanjian antara kedua negara tersebut menandakan adanya tahap-tahap permulaan dari lahirnya perjanjian ekstardisi. Akan tetapi suatu hal yang merupakan ciri istimewa dalam perjanjian yang dibuat pada tahun 1279 sebelum Masehi ini adalah adanya ketentuan bahwa orang yang akan diserahkan tidak dijatuhi hukuman. 17 Kemajuan-kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi disertai dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran yang baru dalam bidang politik, ketatanegaraan dan kemanusiaan turut pula memberikan dorongan terhadap perkembangan lembaga ekstradisi dalam konteks hukum internasional. Memang kita akui bahwa kemajuan ilmu pengetahuan pada satu sisi dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, namun pada sisi lain timbul pula efek-efek negatifnya. Misalnya timbulnya kejahatan-kejahatan dalam bidang keuangan, perbankan, kejahatan komputer dan lain-lain yang dapat menimbulkan akibat yang cukup meresahkan masyarakat tidak saja pada satu negara tetapi juga berpengaruh pada negara-negara lain. Dengan demikian untuk mengantisipasi kejahatan-kejahatan yang berkembang tersebut sangat diperlukan adanya kerja sama antara negara-negara dalam menanggulanginya. Hal ini dapat diwujudkan misalnya, dengan menangkap pelaku kejahatan yang melarikan diri dan menyerahkannya kepada negara yang mempunyai yurisdiksi untuk mengadili dan menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut. Dengan demikian kita dapat 17
Arthur Nussbaum, Terjemahan Sam Suheidi, “Sejarah Hukum internasional”.Bina Cipta, Bandung, 1969,hal 3.
Universitas Sumatera Utara
melihat bahwa ekstradisi adalah merupakan sarana yang ampuh untuk memberantas kejahatan. Memang kita akui bahwa lembaga ekstradisi adalah lembaga atau sarana yang ampuh untuk dapat memberantas kejahatan. Hal ini hanya dapat diwujudkan jika terdapat hubungan yang baik antara negara-negara didunia, sehingga dapat lebih memudahkan dan mempercepat peneyerahan penjahat pelarian. Namun bukanlah tidak mungkin yang terjadi adalah sebaliknya, dimana antara negara sipelaku kejahatan dengan negara dimana ia melarikan diri saling bermusuhan, sehingga sangat sulit untuk saling menyerahkan penjahat pelarian. Bahkan masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat pelarian dan mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya. Dengan demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum. Demikian pula memberikan perlindungan kepada seseorang atau beberapa orang yang bersangkutan patut untuk dilindungi. Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi bermusuhan, maka kerja sama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat tersebut, Demikian pula sebaliknya. Disamping itu pula praktek-pratek penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk kerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan. Dalam merumuskan dan membuat perjanjian-perjanjian ekstradisi, negaranegara yang bersangkutan perlu memperhatikan beberapa aspek, baik aspek pemberantasan kejahatan dimana individu sipelaku kejahatan tetap diberikan hak
Universitas Sumatera Utara
dan kewajiban. Dengan demikian perjanjian-perjanjian ekstradisi dalam isi dan bentuknya yang modern memberikan jaminan kesimbangan antara tujuan memberantas kejahatan dan penghormatan hak-hak azasi manusia. Apalagi masalah hak azasi manusia adalah merupakan masalah yang cukup aktual dibicarakan didunia. Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik adalah merupakan wujud dari pengakuan hak azasi manusia untuk menganut keyakinan politik atau hak politik seseorang. Pada masa sekarang ini, didalam pelaksanaannya negara-negara dalam melakukan penyerahan penjahat pelarian tidak harus tergantung kepada adanya perjanjian antara negara-negara tersebut. Bisa saja antara kedua negara tersebut tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, namun mereka menyerahkan penjahatpenjahat pelarian untuk diadili, meskipun bukti-bukti untuk menguatkan dugaan tentang kejahatan belum dapat ditunjukkan. Hal ini umumnya terjadi diantara negara-negara yang mempunyai hubungan yang baik. Dengan demikian tidaklah berarti bahwa adanya perjanjian merupakan persyaratan yang mutlak dalam melaksanakan penyerahan penjahat tersebut. Agar dapat dimengerti dan dipahami lebih dalam mengenai ekstradisi, maka haruslah diketahui hal-hal pokok-pokok atau unsur-unsur dari ekstradisi itu sendiri. Menurut I Wayan Parthiana, SH ada beberapa unsur dari ekstradisi yakni: 1. Unsur Subjek. Yang dimaksud dengan unsur Subjek adalah negara. Dalam hal ini ada 2 (dua) negara yang terkait yakni:
Universitas Sumatera Utara
a) Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum sipelaku kejahatan. b) Negara tempat pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau siterhukum itu berada atau bersembunyi. Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum ini sangat berkepentingan untuk mendapatkan kembali orang tersebut untuk diadili atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Biasanya negara yang memiliki yurisdiksi untuk menghukum ini lebih dari satu. Untuk mendapatkan kembali orang yang bersangkutan, negara atau negara-negara tersebut mengajukan permintaan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara ini disebut negara peminta (the resqusthing state). Negara tempat pelaku kejahatan berada atau bersembunyi diminta oleh negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili supaya menyerahkan orang yang berada dalam wilayahnya itu (tersangka, terhukum) yang dengan singkat disebut negara diminta (the resquithing State). 2.
Unsur Objek. Unsur objek yang dimaksud adalah sipelaku itu sendiri (tersangka,
tertuduh, terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara diminta supaya diserahkan. Dengan perkataan lain disebut sebagai “orang yang diminta”. Walaupun sebagai objek namun sebagai manusia dia harus diperlakukan sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya yang azasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.
Universitas Sumatera Utara
3.
Unsur Tata cara dan Prosedur. Maksud dari pada unsur tata cara atau prosedur yakni bagaimana tata cara
untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta. Permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua belah pihak atau apabila perjanjian itu belum ada juga bisa didasarkan pada azas timbal balik yang telah disepakati. Kalau tidak ada
permintaan
untuk
menyerahkan dari negara peminta, maka sitersangka tidak boleh ditangkap atau diserahkan. Kecuali penangkapan atau penahanan itu didasarkan atas adanya yurisdiksi negara tersebut atau orang yang kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan orang itu sendiri harus diajukan secara formal kepada negara yang bersangkutan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan atau menurut hukum kebiasan internasional. 4. Unsur Tujuan. 18 Sedangkan yang dimaksud dengan unsur tujuan adalah untuk tujuan apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Hal ini tentunya melihat kepada bentuk kejahatan yang telah melakukan suatu kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara atau negara diminta. Penyerahan atau ekstradisi yang dimaksudkan ialah untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut dan menjatuhkan hukuman apabila terbukti bersalah dan agar sipelaku kejahatan 18
I Wayan Parthiana, SH, “Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional”. Alumni Bandung 1993, hal.17.
Universitas Sumatera Utara
menjalani hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya yang telah mempunyai kekuatan hukum dinegara yang berwenang mengadilinya. Namun satu hal yang lebih penting bukan hanya menyeret pelaku kejahatan kedepan pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum, tetapi lebih jauh lagi sebagai upaya mencegah makin meluasnya tindakan serupa yang akan mengancam keamanan dan ketertiban serta keselamatan internasional yang sudah menjadi tanggung jawab dari seluruh negara-negara didunia ini. B. Ruang Lingkup Ekstradisi Pada masa sekarang ini, akibat dari kemajuan teknologi yang semakin canggih khususnya dibidang komunikasi dan kedirgantaraan, maka jarak antara satu negara dengan negara lain dapat ditempuh dengan waktu yang singkat. Disatu sisi kemajuan ini tentunya berdampak positif terhadap proses percepatan pembangunan diseluruh dunia tetapi disisi lain hal ini sangat berpengaruh pula terhadap kecanggihan-kecanggihan baik dari bentuk-bentuk kejahatan maupun pelaku-pelaku kejahatan dalam menghindari tuntutan yang akan dijatuhkan terhadapnya. Seorang pelaku kejahatan tentunya dengan mudah untuk mudah melarikan diri ke negara lain untuk menghindari tuntutan dan ancaman yang akan dijatuhkan terhadapnya. Jika hal ini terjadi, maka telah terlibatlah kepentingan dua negara bahkan lebih. Agar orang yang telah melakukan kejahatan disuatu negara dimana ia telah melarikan diri ke negara lain dapat dihukum, maka negara tempat ia melakukan kejahatan tersebut tidak dengan mudah menghukum dan menangkapnya dinegara
Universitas Sumatera Utara
lain, karena hal ini telah melanggar kedaulatan di wilayah negara lain. Ini hanya dapat dilakukan dengan persetujuan dari negara dimana sipelaku tersebut berada. Jika dilakukan tanpa adanya persetujuan dari negara tersebut maka hal ini telah dipandang sebagai intervensi atau campur tangan yang dilarang menurut hukum internasional. Cara yang legal untuk dapat mengadili dan menghukum sipelaku kejahatan itu ialah dengan meminta kepada negara tempat sipelaku kejahatan itu berada, supaya menangkap dan menyerahkan orang tersebut. Sedangkan negara tempat sipelaku kejahatan berada, setelah menerima permintaan untuk menyerahkan itu dapat menyerahkan sipelaku kejahatan tersebut kepada negara atau salah satu negara yang mengajukan permintaan penyerahan tersebut. Cara atau prosedur semacam ini telah diakui dan merupakan prosedur yang telah umum dianut baik dalam hukum internasional maupun dalam hukum nasional yang lebih dikenal dengan ekstradisi. Hal ini tentunya dapat berjalan dengan lancar jika hubungan antara negara yang meminta penyerahan dengan negara yang diminta penyerahannya berjalan dengan lancar pula. Secara teoritis kelihatannya ekstradisi ini mudah untuk dilaksanakan, namun dalam pelaksanaannya ditemui banyak kesulitan-kesulitan. Apabila dalam pelaksanaan ekstradisi ini tidak ada satu patokan apakah harus ada perjanjian antara negara-negara tersebutnya sebelumnya atau tidak. Oleh karena itulah kita harus melihat ekstradisi ini dari lingkup yang lebih luas, baik dalam konteks hukum internasional maupun dalam konteks hukum nasional.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hukum internasional, sampai saat ini belum mengenal adanya suatu perjanjian internasional multilateral (International Convention) yang mengatur lembaga ekstradisi secara umum atau universal. Yang ada dikalangan masyarakat internasional (International Community) kebanyakan ialah perjanjian bilateral ekstradisi dan sejumlah kecil perjanjian multilateral yang sifatnya kerja sama regional dibidang ekstradisi, misalnya:
The Arab Leage Extradition Agreement Tahun 1952.
The Inter America Convention Extradition.
European Extradition Convention, dan lain-lain. Memang diakui, agar ekstradisi mudah dilakukan maka keberadaan
perjanjian internasional tentang ekstradisi sebelumnya akan sangat diperluka. Dengan demikian penyerahan seorang dapat dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang telah diletakkan dengan pasti dalam perjanjian tersebut. Walau demikian, tanpa adanya perjanjian ekstradisi penyerahan seseorang yang dituduh melakukan kejahatan dapat dilakukan menurut hukum kebiasaan internasional. Ekstradisi
yang
dimintakan
bukan
berdasarkan
suatu
perjanjian
internasional (karena adanya traktat) biasanya sering menimbulkan masalah. Hal ini disebabkan tidak adanya dasar hukum yang pasti yang dapat digunakan sebagai landasan untuk menyerahkan seseorang. Dalam keadaan demikian itu umumnya penyerahan seseorang yang tertuduh melakukan kejahatan dilakukan dengan cara permintaan secara sopan santun internasional (international courtesty), perlakuan timbal balik (reciprocity), juga berupa kemurahan hati (exgratia).
Universitas Sumatera Utara
Ekstradisi tumbuh dan berkembang dari praktek negara-negara yang lama kelamaan
bekembang
menjadi
hukum
kebiasaan.
Negara-negara
mulai
merumuskannya didalam perjanjian-perjanjian ekstradisi baik yang bilateral, multilateral, ataupun multilateral regional. Disamping menambahkan ketentuanketentuan baru sesuai dengan kesepakatan para pihak. Beberapa konvensi internasional yang dapat dijadikan dasar hukum sebagai pelaku kejahatan menurut ketentuan tentang ekstradisi sebenarnya juga sudah ada sebelumya, misalnya kejahatan penerbangan yang telah diatur dalam konvensi Tokyo 1963, konvensi Den Haag 1970, konvensi Montreal 1971, konvensi Tentang Obat Bius 1971, dan lain-lain. Disamping melihatnya dari aspek hukum internasional, ekstradisi juga harus dilihat dari aspek hukum nasional, karena tidaklah mungkin pembahasan ekstradisi dapat dipecahkan jika hanya ditinjau dari sisi hukum internasional saja. Hal ini disebabkan karena adanya hal-hal yang tidak diatur atau dirumuskan sepenuhnya dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi, terutama hal-hal yang merupakan masalah dalam negeri masing-masing negara yang bersangkutan. Dalam hal seperti inilah perjanjian-perjanjian ekstradisi menunjukkan kepada hukum nasional masing-masing pihak untuk menentukannya dan pengaturannya secara lebih mendetail. Misalnya tentang penangkapan dan penahanan orang yang diminta, keputusan tentang penentuan kejahatannya apakah termasuk kejahatan politik atau tidak, tentang lembaga atau instansi yang berwenang untuk memutuskan apakah permintaan akan diterima atau ditolak dan lain-lain sebagainya. Namun bukan hukum nasional yang sudah ada itu sendiri masih
Universitas Sumatera Utara
belum dapat menjawab semua masalah yang timbul bertalian dengan ekstradisi ini. Oleh karena negara-negara juga memandang perlu memiliki sebuah undangundang nasional yang secara khusus mengatur mengenai tentang ekstradisi. Disamping itu, mengadakan perjanjian-perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain. Perjanjian-perjanjian yang telah lebih dahulu diadakan, akan merupakan pembatasan-pembatasan yang harus diperhatikan oleh negara yang bersangkutan apabila kemudian hendak membuat undang-undang ekstradisi nasional. Hal ini dimaksudkan supaya tidak timbul pertentangan antara ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ekstradisi dengan terdapat didalam perundang-undangan ekstradisi itu sendiri. Hukum internasional pada prinsipnya tidak membenarkan suatu negara melalaikan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam hukum internasional berdasarkan alasan-alasan yang merupakan masalah dalam negeri dari negara yang bersangkutan. C. Prosedur Dalam Pelaksanaan Ekstradisi Yang dimaksud dengan prosedur disini ialah tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri dengan segala hal yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila sebelumnya ada diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta. Penyerahan dan permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara masing-masing kedua belah pihak. Apabila
Universitas Sumatera Utara
perjanjian itu tidak ada, juga bisa didasarkan pada azas timbal balik yang telah disepakati. Jadi bila sebelumnya tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara peminta, orang yang bersangkutan tidak boleh ditangkap, atau ditahan ataupun diserahkan. Kecuali penangkapan dan penahanan itu didasarkan adanya yurisdiksi negara tersebut atas orang dan kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan orang itu dalam wilayah negara tersebut. Permintaan untuk menyerahkan itu haruslah diajukan secara formal kepada negara diminta sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam perjanjian ekstradisi atau hukum kebiasaan internasional. Jika permintaan untuk menyerahkan tersebut tidak diajukan secara formal melainkan hanya informal saja misalnya hanya dikemukakan secara lisan oleh wakil negara peminta kepada wakil negara diminta yang kebetulan bertemu dalam suatu pertemuan ataupun dalam konferensi internasional. Hal itu tidak dapat dianggap sebagai permintaan untuk menyerahkan dalam pengertian dan ruang lingkup ekstradisi. Tetapi barulah merupakan tahap penjajakan saja. Sebelum permohonan ekstradisi diajukan melalui saluran dipomatik, harus ada dua faktor yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu: 19 1. Adanya orang yang harus diserahkan (extraditiable person) Dalam praktek ekstradisi umumnya terdapat keseragaman antara negaranegara, yaitu bahwa negara peminta lazimnya memperoleh orang yang diminta, bila orang itu warga negara dari peminta atau warga negara suatu negara ketiga, dimana adanya perjanjian sebelumnya. Tetapi kebanyakan negara yang diminta
19
Eddy Damian, “Kapita Selekta Hukum Internasional”, Alumni, Bandung, 1991, hal 19.
Universitas Sumatera Utara
biasanya menolak untuk menyerahkan warga negaranya sendiri untuk diserahkan kepada negara lain. Dengan perkataan lain warga negara yang telah melakukan kejahatan akan diserahkan kembali kenegara asalnya (non extradition of nationals). 2. Kejahatan yang dapat diserahkan (extraditiable offence) Kejahatan yang dapat diserahkan pada umumnya atas kesepakatan dari negara yang melaksanakan perjanjian tersebut dengan pengecualian yaitu: a) Kejahatan politik. b) Kajahatan militer. c) Kejahatan agama. 20 Dalam praktek negara-negara dewasa ini, dalam menetapkan kejahatankejahatan apa yang dapat diserahkan, dipergunakan salah satu dari tiga sistem, yaitu: 1) Sistem Enumeratif atau sistem daftar (list system) yaitu sistem yang memuat dalam perjanjian suatu daftar yang mencantumkan satu persatu kejahatan mana yang dapat diekstradisi. 2) Sistem Eliminatif, yaitu sistem yang hanya menggunakan maksimum hukuman atau minimum hukuman sebagai ukuran untuk menerapkan apakah suatu kejahatan merupakan kejahatan yang dapat diserahkan atau tidak, tanpa menyebutkan satu persatu nama delik yang dapat diekstradisi.
20
Ibid, hal. 70.
Universitas Sumatera Utara
3) Sistem campuran yang merupakan kombinasi sistem enumeratif dan sistem eliminatif, mencantumkan juga kejahatan dengan minimum atau maksimum hukumman yang dapat diekstradisi. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa untuk melaksanakan ekstradisi ini haruslah dilihat kepada perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan jika tidak ada perjanjian ekstradisi sebelumnya harus menuruti prinsip timbal balik yang disepakati. D. Azas-azas Yang Terdapat Dalam Ekstradisi Azas-azas atau dasar-dasar yang dipakai dalam ekstradisi, apakah itu merupakan perjanjian ekstradisi bilateral atau multilateral maupun dalam undangundang nasional suatu negara megenai ekstradisi pada pokoknya adalah sama. Dasar-dasar yang sama tersebut terus diikuti oleh negara-negara yang membuat perjanjian ekstradisi maupun yang merumuskan peraturan ekstradisi dalam perundang-perundangan. Dengan demkian azas-azas yang sama ini telah dapat diterima dan diikuti sebagai azas-azas yang melandasi ekstradisi. Adapun azas-azas tersebut ialah: 1. Azas Kejahatan Ganda (Double Criminality). Azas ini merupakan azas yang memandang bahwa penyerahan pelaku kejahatan hanya dapat dilakukan apabila kejahatan yang dilakukan oleh orang tersebut juga diyakini dan diterima sebagai suatu kejahatan yang terhadapnya harus dijatuhi hukuman baik oleh negara peminta maupun negara diminta. Dengan demikian apabila negara diminta memandang bahwa permintaan dari negara peminta terhadap orang yang perbuatannya bukanlah merupakan perbuatan
Universitas Sumatera Utara
kejahatan dinegara yang diminta maka negara tersebut tidak dapat menyerahkan orang yang diminta tersebut kepada negara peminta, karena hal ini akan melanggar azas kejahatan ganda yang telah diterima sebagai azas utama dalam suatu perjanjian ekstradisi yang telah dibuat sebelumnya. Dengan perkataan lain bahwa penyerahan pelaku kejahatan hanya dapat dilakukan apabila perbuatan orang tersebut merupakan kejahatan yang diakui oleh kedua negara. 2. Azas Kekhusussan atau Specially. Azas ini berhubungan dengan azas yang pertama karena azas ini mengatur tentang penyerahan atas tuduhan kejahatan yang disebutkan dalam permintaan penyerahan pelaku kejahatan. Jika sipelaku kejahatan tersebut hanya melakukan satu kejahatan saja dan sipelaku diminta untuk diserahkan berdasarkan atas kejahatan tersebut tidaklah menjadi masalah. Namun bagaimana jika sipelaku tersebut telah melakukan pembunuhan, sipelaku juga melakukan kejahatan penipuan, pemalsuan mata uang dan lain-lain yang kesemua jenis kejahatan ini dapat dijadikan dasar untuk penyerahannya kepada negara peminta. Untuk itulah harus ditentukan secara khusus oleh negara peminta atas dasar kejahatan apa sipelaku tersebut diminta untuk diserahkan, sekalipun semua jenis kejahatan yang dilakukan dapat dijadikan dasar untuk penyerahan tersebut. Oleh karena itu negara peminta dalam mengajukan permintaan penyerahan itu harus menegaskan untuk kejahatan apa saja orang tersebut diminta penyerahannya.
Kemudian
negara
diminta
mempertimbangkan
apakah
penyerahan dilakukan atau ditolak. Apabila negara diminta berpendapat bahwa
Universitas Sumatera Utara
sipelaku tersebut akan diserahkan maka negara diminta harus menegaskan pula untuk kejahatan apa sipelaku tersebut diserahkan. Dalam hal ini ada 2 (dua) kemungkinan yakni: Negara diminta menyerahkan sipelaku tersebut berdasarkan semua kejahatan yang telah dituduhkan kepadanya. Negara diminta hanya menyerahkan sipelaku berdasarkan beberapa atau sebagian perbuatan kejahatan yang dituduhkan kepada pelaku tersebut: Dalam hal peradilannya, maka sipelaku hanya boleh dituntut oleh negara peminta berdasarkan jenis-jenis kejahatan untuk mana sipelaku tersebut diserahkan oleh negara diminta. Diluar dari kejahatan tersebut sipelaku tidak dibenarkan untuk dituntut. Hal ini penting karena tujuan ekstradisi itu sendiri adalah untuk menjamin kepastian hukum terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum bagi orang yang diminta. 3. Azas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non Extradition of Political Criminal). Kejahatan politik mempunyai pengaturan tersendiri dalam perjanjian politik maupun perundang-undangan mengenai ekstradisi. Terhadap kejahatan politik erat kaitannya dengan pengakuan tentang hak-hak azasi manusia yang tertuang dalam deklarasi tentang hak-hak azasi manusia yang dalam salah satu isinya ialah setiap orang berhak mencari dan menikmati perlindungan politik dari negara lain. Meskipun Pasal tersebut tidak mewajibkan suatu negara untuk memberikan perlindungan kepada setiap individu yang datang meminta
Universitas Sumatera Utara
perlindungan kepadanya. 21 Dengan demikian negara peminta apabila memandang bahwa kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku yang melarikan diri tersebut sebagai kejahatan politik, maka sebaiknya tidak meminta kepada negara lain, karena besar kemungkinan permintaan tersebut akan ditolak oleh negara diminta. Kalau persoalan hak azasi manusia menjadi cukup kompleks aplikasinya, karena hak azasi manusia dimasuki unsur politik, dan topik itu akan selalu menarik untuk dibicarakan sebahagian manusia baik oleh negara-negara yang telah benar-benar menghormati hak azasi manusia secara formal dan material ataupun bagi negaranegara yang kurang menghormati. Bagi negara yang sudah menghormati hak-hak azasi manusia akan dijadikan contoh kebaikannya, dan yang sebaliknya dijadikan intropeksi bagi negaranya. 4. Azas Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non Extradition Nationality). Negara diminta diberikan kekuasaan untuk tidak menyerahkan warga negaranya kepada negara peminta sehubungan dengan kejahatan yang dilakukannya dinegara tersebut dengan pertimbangan bahwa setiap negara wajib melindungi warga negaranya, karena dikhawatirkan apakah negara peminta akan mengadilinya secara jujur dan adil serta keobjektifannya sehingga warga negara tersebut betul-betul memperoleh keadilan yang sama dengan apabila ia diadili dinegaranya sendiri. 5. Azas Non Bis In Idem. Azas ini memberikan kepastian hukum bagi pelaku kejahatan untuk tidak dihukum dua kali dengan kejahatan yang sama. Suatu peristiwa pidana dapat saja 21
K. Martono, SH. “Hukum Udara, Angkutan Udara, dan Hukum Angkasa”, Alumni Bandung, 1987, hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
melibatkan lebih satu negara yang berhak atas yurisdiksi bagi kejahatan tersebut. Apabila pelaku kejahatan telah dijatuhi hukumman dinegara dimana ia berada, maka negara peminta tidak dapat meminta penyerahan penjahat tersebut untuk diekstradisi karena kejahatan yang sama yang baginya telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti dinegara diminta. Karena tujuan ekstradisi adalah memberantas kejahatan dengan kerja sama tanpa mengesampingkan pelaku sebagai manusia dengan segala hak dan kewajibannya yang harus dijamin dan dihormati. 6. Azas Kedaulatan. Azas ini berbeda tetapi mengandung makna yang sama, yaitu tidak akan melakukan penyerahan apabila penuntutan atau pelaksanaan hukumman terhadap kejahatannya yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan telah kadaluarsa menurut hukum dari salah satu pihak. Batasan waktu yang diberikan sehubungan dengan ini bagi tiap-tiap perjanjian berbeda. Suatu peristiwa dianggap kadaluarsa apabila telah lewat waktunya yang seharusnya berlaku. Peristiwa tersebut dibiarkan begitu saja sehingga dilupakan orang seakan-akan tidak pernah terjadi. 7. Azas Capital Punishment. Yaitu suatu prinsip yang menyatakan apabila negara menuntut suatu ekstradisi atau kejahatan yang diancam dengan hukumman mati maka ekstradisi demikian tidak dapat diterima. 8.
Azas Lex Loci Delictus. Yakni suatu azas yang menyatakan tempat dimana kejahatan terjadi akan
mendapat prioritas utama bilamana terdapat lebih dari satu negara yang menuntut
Universitas Sumatera Utara
suatu ekstradisi. Hal ini berarti tuntutan ekstradisi yang diutamakan ialah tuntutan dari negara diwilayah mana kejahatan itu dilakukan. 9. Azas yang menyatakan prosedur penangkapan, penahanan dan penyerahan tunduk kepada hukum nasional dari negara masing-masing. 10. Azas yang menyatakan suatu permintaan ekstradisi dapat saja ditolak bila kejahatan yang dilakukan seluruhnya atau sebagian berada dalam yurisdiksi dari negara yang diminta. Azas ini tampaknya mempunyai kaitan dengan azas Lex Loci Delictus mengenai tempat dimana kejahatan itu dilakukan. Jelasnya disini faktor tempat sangat mempengaruhi kemungkinan dapat
tidaknya permintaan ekstradisi suatu negara
dikabulkan. 11. Azas yang menyatakan bila mana terjadi ekstradisi kenegara ketiga, maka hanya dapat dilakukan dengan izin dari negara yang diminta. Dari berbagai azas yang mewarnai peraturan ekstradisi, dapat dilihat bahwa ekstradisi merupakan tindakan yang harus diambil dengan penuh pertimbangan dan jaminan demi tercapainya tujuan ekstradisi itu sendiri yaitu yakni memberantas kejahatan secara kerja sama untuk mewujudkan masyarakat internasional yang aman, tertib, dan adil. Disamping itu azas-azas ini telah mendapat pengakuan dari negara-negara didunia dalam usaha untuk menjamin agar hak-hak azasi manusia tidak dilanggar dalam pelaksanaannya.
Universitas Sumatera Utara