BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Film 2.1.1.Definisi Film Film atau gambar bergerak adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual dibelahan dunia ini. Sinematografi adalah kata serapan dari bahasa inggris cinematography yang berasal dari bahasa latin kinema “gambar”. Sinematografi sebagai ilmu terapan. Merupakan bidang ilmu yang membahas tentang teknik menangkap gambar dan menggabung – gabungkan gambar
tersebut
sehingga
menjadi
rangkaian
gambar
yang
dapat
menyampaikan ide (dapat mengembangkan cerita). 13 Film merupakan sarana mengungkapkan daya cipta dari beberapa cabang seni sekaligus dan produksinya bisa diterima dan dinikmati layaknya karya seni. Film sebagai sarana baru digunakan untuk menghibur, memberikan informasi, menyajikan cerita, peristiwa dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum.14 Pada tingkata penanda film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata. Pada tingkat petanda film merupakan cermin kehidupan metafooris15. Sistem signifikasi yang mendasari bagaimana kita menarik makna dan film juga merupakan metafora dari pengalaman hidup kita yang terpecah. Film memungkinkan kita saling mengaitkan cerita kriminal, kejadian 13
James Monaco. Cara Menghayati Sebuah Film. Yayasan Citra. 1977 hal 34 Moekijat. Teori Komunikasi. Mandar Maju. Bandung: 1977 hal 150 15 Marcel Danesi. Pengantar Memahami Semiotika Media. Jalasutra. Yogyakarta: 2010 hal 158 14
10
11
misterius, romantika dan seks, serta banyak hal lain yang membentuk realitas sosial kita melalui mata kamera yang selalu menyelidik. Jelas bahwa topik dari film menjadi sangat pokok dalam semiotika media karena didalam genre film terdapat sistem signifikasi yang ditanggapi orang – orang masa kini dan melalui film mereka mencari rekreasi, inspirasi, dan wawasan pada tingkat interpretant. Industri film adalah industri bisnis. Predikat ini telah menggeser anggapan orang yang masih meyakini bahwa film adalah karya seni, yang di produksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang – orang yang bertujuan memperoleh
estetika
(keindahan)
yang
sempurna16.
Meskipun pada
kenyataanya adalah bentuk karya seni, industri film adalah bisnis yang memberikan keuntungan, kadang–kadang
menjadi mesin uang yang
seringkali, demi uang, keluar dari kaidah artistik film itu sendiri (Dominick. 2000:300).
16
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, dan Siti Karlinah. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Simbiosa Rekatama Media. Bandung: 2007 hal 143
12
2.2. Surealisme 2.2.1.Sejarah Surealisme Surealisme lahir di Paris, Perancis, pada tahun 1924. Dengan diterbitkannya “The First Manifesto of Surealisme” yang ditulis oleh Andre Breton, penulis sekaligus psikiatri asal Perancis, surealisme resmi menjadi sebuah gerakan kebudayaan baru. Bahkan secara eksplisit Andre Breton sebagai pencetus gerakan surealis mengatakan bahwa surealisme adalah sebuah gerakan revolusioner. Setelah itu, secara bertahap gerakan surealisme pun menyebar ke seluruh penjuru dunia. Bisa dikatakan surealisme, dalam banyak karakteristik merupakan kelanjutan dan pengembangan dari gerakan seni yang bernama “Dada,” yang lahir ketika Perang Dunia I sedang berkecamuk.17 Perang Dunia I telah menyebabkan seniman dan penulis yang semula berkumpul di Paris berpencar. Selama berada di luar Paris, para seniman dan penulis itu kemudian tergabung di dalam gerakan dada. Gerakan dada murni bersifat politis. Dada lahir atas dasar kekecewaan terhadap kehancuran besarbesaran yang disebabkan oleh perang. Kaum dadais percaya bahwa pikiran rasional yang berlebihan dapat mengakibatkan konflik mengerikan di dunia. Kaum dada mengejek rasionalitas dan mengusung irasionalitas. Menurut mereka, rasionalitas adalah belenggu kebudayaan yang sudah semestinya dibongkar. Sebagai akibatnya, kaum dada sering terlihat eksentrik dan antirasional dalam berkarya. Mereka meracau dengan menggunakan kata-kata
17
Aliran Seni Surealis, www.syidiksulis2.blogspot.com, Diakses 9 Maret 2015 pukul 20:21
13
ganjil keras-keras, menyobek kata-kata yang terdapat di dalam koran-koran lantas menyusunnya kembali untuk kemudian disebut sebagai puisi, memberi kumis pada lukisan “Monalisa” dan menyatakan kepada publik bahwa celana dalam dan tiang listrik adalah sebuah karya seni. Gerakan surealisme ini adalah pengembangan dari gerakan dada tersebut, namun surealisme ini lebih fokus untuk menyorot kepada alam bawah sadar dan mimpi-mimpi yang berasal dari hasrat-hasrat yang terkekang. Dapat dikatakan juga bahwa surealisme adalah tindakan yang bersifat asketis. Para surealis bertujuan untuk memperbaharui pengalaman manusia yang meliputi aspek individu, budaya, sosial, dan politik, dengan membebaskan manusia dari apa yang mereka lihat sebagai rasionalitas palsu, kebiasaan (custom) dan pola (structure) terbatas.18 Para surealis secara hebat dipengaruhi oleh Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis dari Austria, yang mengkaji sifat ketidak sadaran dengan menganalisis berbagai macam fenomena psikologi: salah ucap, neurosis, psikosa, karya seni, ritual dan yang paling terpenting adalah analissnya mengenai mimpi. Menuruf freud, mimpi adalah ketidaksadaran dapat sepenuhnya ganjil. Ketidaksadaran bersifat alogika (hal yang berlawanan dapat mengandung arti yang sama). Tidak menghiraukan waktu (peristiwa dari berbagai periode dapat muncul bersamaan) tidak menghiraukan ruang (ukuran dan jarak diabaikan sehingga bagian yang besar sesuai dengan bagian-bagian yang kecil dan jarak dapat disatukan. Mimpi berhubungan dengan dunia
18
Aliran Seni Surealis, www.syidiksulis2.blogspot.com, Diakses 9 Maret 2015 pukul 20:21
14
simbol tempat banyak ide dapat dilihat menjadi satu kata dan bagian dari objek dapat berarti berbagai macam hal19.
2.2.2.Seni Surealis Surealisme adalah suatu aliran seni yang menunjukkan kebebasan kreativitas
sampai
melampaui
batas
logika.
Surealisme
juga dapat
didefinisikan sebagai gerakan budaya yang mempunyai unsur kejutan sebagai ungkapan gerakan filosofis. Surealisme merupakan suatu karya seni yang menggambarkan suatu ketidak laziman, oleh karena itu surealisme dikatakan sebagai seni yang melampaui pikiran atau logika. Karya seni surealisme ini hanya dapat ditafsirkan oleh seorang seniman yang menciptakannya dan sangat sulit bagi seseorang untuk menafsirkan karya seni surealisme tersebut, karena pada hakikatnya surealisme bersifat tidak beraturan atau alurnya melompat-lompat.20 Surealisme yang titik pangkal dan bahanya ialah dunia bayangan dan mimpi, tentu saja ada hubungan dengan psikoanalisis Sigmund Freud dan minatnya akan yang bawah sadar. Dapat dikatakan bahwa aliran pada awal permulaan masa modern sudah muncul dalam karya Hieronymus Bosch (1450-1516) dengan dunia mimpi yang dapat membingungkan orang. Dewasa ini surealisme tampil dan berkembang terutama antara dua perang dunia.
19
20
Daniel Carvone, Lawrence A. Pervin, Kepribadian: Teori dan Penelitian, Edisi 1. Salemba Humanika: Jakarta. 2011 hal 96 Ahmad Muzakki, Surealisme, www.sunnaholomihalakrispen.wordpress.com, Diakses 9 Maret 2015 pukul 20:45
15
Membawa kesan bahwa tidak ada pegangan lagi bagi manusia, semua yang ada dan di lukiskan itu asing satu sama lain, sekaligus dilukiskan dengan ketelitian besar, menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang masuk akal.21 Surealisme merupakan suatu gaya ekspresi yang menembus kedalam alam batin manusia, atau lebih tepatnya bagaian bawah sadar dari jiwa manusia. Dengan menimbulkan apa yang hidup dalam bawah sadar, para pengarang surealisme mengemukakan suatu kenyataan yang lebih luas, yang meliputi segala kesadaran dan ketidaksadaran22. Jika surealisme merupakan gaya ekspresi yang mencoba menembus alam batin manusia, sesungguhnya kecendrungan ini bukanlah sesuatu yang baru, sejak jaman Armyn Pane menulis Belenggu, atau mungkin sebelumnya, hal itu sudah mulai. Kecendrungan itu begitu menonjol dengan munculnya karyakarya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Budi Dharma dan Danarto. Melalui karyanya mereka tampak berkeinginan untuk mengemukakan bawah sadar manusia. Dengan demikian, gaya ekspresi yang mereka pakai tentulah bukan gaya ekspresi yang biasa, yang natural, karena dirasa tidaklah cukup. Untuk itu gaya surealisme dipertimbangkan dengan gaya ekspresi yang tepat. Artinya. Para pengarang itu mengungkapkan suatu keadaan, suatu peristiwa, suatu pengalaman yang jika dilihat lewat kacamata biasa terasa berlebihan, tetapi sesungguhnya itu merupakan simbolisasi tertentu.23
21
Mudji Sutrisno, Chriest Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan, Kanisius, Yogyakarta: 1993 hal 57 22 Iman Budi Santosa, surealisme Gelap Penyair Dekade 80-an, Diskusi 1 Forum Pusara Taman Siswa, Yogyakarta: 1992 23 Iman Budi Santosa, Ibid
16
Definisi lain yang menyatakan bahwa surealisme adalah sebuah sebuah lukisan realisme atau naturalisme yang berupa daya khayal dan sesuatu yang tidak mungkin atau merupakan sebuah mimpi. Asal kata surealisme pertama kali muncul pada catatan tentang balet parade, pada tahun 1917 yang ditulis oleh Guillaume Apolliuaire dalam karyanya “Super Realisme” atau surealisme.24 Secara teoritis surealis di terangkan pada tahun 1924 oleh Andre Breton (1896-1966) sebagai usaha untuk membebaskan manusia dari cengkraman rasionalisme maupun dari paksaan yang berasal dari bermacam-macam prasangka estetis maupun etis: pembahasan itu terjadi dalam dunia mimpi dan dalam setiap langkah yang “mengucapkan” kegiatan batin tanpa adanya hambatan.25 Sementara itu Salvador Dali seorang seniman surealis mendefinisikan surealis sebagai “The Systemization of confusion design to destroy the shackles limiting our vision”.26 Lukisan Dali yang benar-benar bergaya surealistis muncul pada pameran tahun 1929 di Paris. Beberapa aspek pada lukisan awalnya terkesan dipengaruhi De Chirico, contohnya pada lukisan “The Accomodation of Desire” (1929), dia menggunakan kedalaman – yang menjadi ciri De Chirico – dalam menyusutkan kesan ruang dengan bayangan dan simbolisme yang menggugah. Unsur nyata dan maya ia kacaukan sedemikian rupa dan gagasan merupakan unsur dasar yang bertahan dalam karya-karyanya yang matang. Teknik realisme yang menghadirkan kesan 24
Ahmad Muzakki, op.cit. Mudji Sutrisno, Op.Cit hal 57 26 Robert Radford, Dali, Phaidon Press Limited, London: 1997 hal 88 25
17
“fotografi buatan tangan” atau “handmade photography” dengan simbolisme yang dikembangkannya menjadi cirri khas gaya surealisme Dali. Kontribusi terpenting Dali bagi surealisme adalah apa yang ia sebut “paranoiac critical.” Hal ini melibatkan penggunaan metode yang lebih luas dari alam bawah sadar daripada penganut surealis lain. Jika mitranya mengandalkan mimpi dan teknik, maka untuk membangkitkan citra dari alam bawah sadarnya, Dali justru mengaku menjadi orang gila (paranoiac) yang terbiasa mengalami halusinasi dan khayalan bergambar (visual delusions) yang membentuk subject matter pada karyanya. Tujuannya dalam melukis adalah merekam kinerja batin dalam pikirannya secepat mungkin. Dali membaca tulisan Freud dengan antusias dan terlihat banyak perlambangan yang dipakainya dipengaruhi kajian psikoanalisis. Sedangkan kerangka surealisme yang didefinisikan oleh James Cliffoerd mengatakan bahwa surealisme atau lebih tepatnya keberadaan surealisme, tidak hanya terbatas pada surealisme yang disebarluaskan Andre Breton dan lingkaran seniman seangkatannya yang dimulai di Eropa tahun ’20-an’. Dalam kebiasaan atau kebelakan lokal, tegas Clifford, selalu ada alternative eksotis, suatu kemungkinan untuk melakukan penjajaran, atau ketidak kongruenan. Di bawah (secara psikologis) dan di atas (secara geografis) kenyataan sehari-hari, ada suatu kenyataan lain yang dikandung oleh surealisme. Ini menyarankan bahwa jumlah bentuk surealisme adalah sebanyak bentuk konteks sosialnya.27
27
M. Dwi Maryanto, Surealisme Yogyakarta, Merapi Publishing House, Yogyakarta: 2000 hal 8
18
Terlepas dari semua itu, yang peneliti maksud dengan surelisme disini adalah penjajaran gagasan-gagasan yang nampaknya tidak saling terkait dalam ruang dan waktu yang bersamaan, sehingga keseluruhan pemandangan atau penampakan itu terlihat aneh, absurd atau tidak kongruen. Momentum surealistik umumnya menyajikan sesuatu yang cenderung nakal dan kocak. Karena ia hanya berpedoman kepada kebebasan manusia. Ia menjadi Nampak indah dan bermakna, karena bermain dengan ketidakterdugaan ia hanya mengolah kebetulan-kebetulan, dan mentolerir psikologi. Pada tingkat tertentu mirip catatan tentang berbagai kebingungan dan kekeliruan sebagai resiko kemerdekaan.28
2.2.3. Konteks Surealisme Surealisme sebagai sebuah gerakan tentu memiliki dasar pemikiran yang melandasi setiap kegiatannya. Dasar-dasar pemikiran atau filosofi yang mendasari gerakan surealisme ini membawa surealisme menjadi sebuah gerakan yang memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan gerakan seni yang lain. Surealisme mementingkan aspek bawah sadar manusia dan nonrasional dalam citraan (di atas atau di luar realitas kenyataan), aliran ini ingin melukiskan kehidupan dan pembicaraan alam bahwa sadar, alam mimpi, segala peristiwa dilukiskan terjadi dalam waktu yang bersamaan dan serentak, realitas mimpi dan khayalan seolah tidak ada batas-batasnya, inilah yang disebut dengan super realisme atau melampai kenyataan. Surealisme 28
Iman Budi Santosa, surealisme Gelap Penyair Dekade 80-an, Diskusi 1 Forum Pusara Taman Siswa, Yogyakarta: 1992
19
mempunyai unsur kejutan sebagai ungkapan gerakan filosofis yang menunjukkan kebebasan kreativitas sampai melampaui batas logika. Filosofi yang muncul adalah wujud dari keinginan para seniman untuk membebaskan diri dari segala bentuk pembelengguan terhadap ide daan ekspresi. Andre Breton dalam manifesto-nya mencangkan bahwa gerakan surealisme adalah sebuah gerakan yang bergerak berdasarkan konsep “Love and Liberation” bebas seutuhnya tanpa dibatasi gaya apapun. Oleh karena itu bila kita amati lebih jauh, kalangan surealisme terdiri dari seniman-seniman yang berkarya dengan berbagai gaya (style). Karya seni surealis memang tidak bisa di lihat atau ditentukan lewat gaya (style), tetapi ditentukan oleh komitmen akan kebebasan berekspresi, kebebasan imajinasi dan komitmen untuk mengabaikan pandangan seni yang baku dan mapan untuk menciptakan sesuatu yang baru.29 Para surealis secara hebat dipengaruhi oleh Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis dari Austria. Mereka terutama sangat menerima pembedaannya antara ego dan id-yaitu, antara naluri-naluri dan hasrat-hasrat utama kita (id) dan corak perilaku kita yang lebih beradab dan rasional (ego). Sejak tuntutan dan kebutuhan utama kita secara berkala berjalan bersinggungan dengan pengharapan masyarakat, Freud menyimpulkan bahwa kita menekan hasrat asli kita ke dalam bagian bawah sadar pikiran kita.
29
Matthew Gale, Dada & Surrealism, Phaidon Press Limited, London: 1997 hal 228
20
Untuk individu yang ingin menikmati kesehatan kejiwaan, ia rasa, mereka harus membawa hasrat-hasrat itu ke pikiran sadar. Freud percaya bahwa – mengesampingkan desakan tuntutan untuk menekan hasrat-hasrat – yang ada di pikiran bawah sadar tetap menampilkan dirinya, terutama ketika pikiran yang sadar melonggarkan cengkeramannya dalam: mimpi, mitos, corak kelakuan ganjil, terpelesetnya lidah, ketidaksengajaan, dan seni. Dalam pencarian untuk mendapatkan akses ke alam pikiran bawah sadar, para surealis menciptakan bentuk dan teknik baru seni yang radikal30.
Mimpi, menurut Freud, adalah jalan terbaik untuk mempelajari alam bawah sadar, karena dalam mimpilah pikiran bawah sadar kita, hasrat-hasrat utama menampilkan dirinya. Ketidakberaturan dalam mimpi, Freud percaya, adalah hasil dari pergulatan memperebutkan dominasi antara ego dan id. Dalam usaha untuk mengakses kinerja pikiran yang sebenarnya, banyak surealis yang menggali untuk meraba kualitas mimpi yang tak masuk akal. Para pemimpin dari seniman-seniman tersebut antara lain Salvador Dali dari Spanyol, dan Rene Margrite serta Paul Delvaux dari Belgia.
Untuk mengungkap kualitas irasional dari alam mimpi – dan secara bersamaan, untuk mengejutkan para penyimaknya – banyak pembuat film surealis menggunakan representasi yang realistis, tapi meletakkan secara berdampingan objek-objek dan gambarannya dengan cara yang irasional. Andre Breton menjabarkan konsep kebebasan tersebut dengan metode
30
Ibid malaikatcacat.com
21
automatism-nya. Dengan mengandalkan alam bawah sadar untuk mengontrol proses para seniman dalam menciptakan karyanya, konsep ini menghasilkan karya-karya yang imajinatif dan aneh bagi penikmatnya.
Metode automatisme ini tidak sepenuhnya diterapkan oleh para seniman surealis dalam menciptakan karyanya, sebab banyak juga seniman surealis yang tidak mempergunakan metode tersebut dalam proses penciptaan karyanya meskipun Andre Breton menyatakan bahwa dasar seni surealisme adalah “pure psychic automatism” sesuai dengan yang tercantum dalam manifesto-nya seniman-seniman yang lainnya ini menciptakan karya-karya yang menggambarkan dunia mimpi dengan menggunakan simbol-simbol seperti karya-karya gerakan Pittura Metafisica, mereka diantaranya adalah Salvador Dali dan Max Ernst.
Aliran ini berusaha menggambarkan mimpi seperti menceritakan sebuah kisah dengan citra-citra yang simbolik. Perbedaan metode tersebut membawa surealisme kemudian terpecah antara yang
mempergunakan
metode
automatisme yang memploklamirkan diri sebagai Pure Bretonian Surrealist atau Veristic Surrealist31.
31
Surealisme, https://malaikatcacat.wordpress.com Diakses 9 Maret 2015 pukul 20:51
22
Metamorfosis dari satu objek ke objek lainnya, yang populer digunakan oleh para pelukis dan pembuat film surealis, adalah perangkat yang juga digunakan oleh para pemahat surealis, hal ini bertujuan membawa penyimaknya untuk membayangkan sensasi yang membingungkan dengan meminum dari cangkir serupa itu32. Gambar surealis bisa berupa lisan atau bergambar dan memiliki fungsi ganda. Pertama, gambar yang tampak kompatibel satu sama lain harus disandingkan bersama-sama untuk menciptakan analogi mengejutkan yang mengganggu pasif penonton kenikmatan dan harapan konvensional seni. Teknik ini mungkin pengaruh dari teori montage Soviet, dengan yang surealis yang akrab. Kedua, gambar harus menandai awal dari eksplorasi ke yang tidak diketahui bukan hanya mewakili hal keindahan. Pengalaman surealis keindahan malah terlibat gangguan psikis, sebuah "keindahan kejang" yang dihasilkan oleh gambar mengejutkan dan analogi mereka menciptakan dalam pikiran pemirsa. 33 Mitos, banyak surealis yang menjadi terpesona dengan mitos. Menurut Freud, mitos-mitos mengungkap belenggu kejiwaan yang tersembunyi dalam setiap manusia. Psikolog Swiss Karl Jung meneruskan dengan argumen bahwa mitos – mengesampingkan tempat asal dan waktu terjadinya – menunjukkan persamaan yang patut diperhatikan. Ia menjelaskan persamaan-persamaan tersebut melalui keberadaan apa yang ia sebut dengan “ketidaksadaran kolektif”, lapisan kejiwaan yang entah bagaimana dimiliki oleh semua 32 33
Aliran Seni Surealis. www.syidiksulis2.blogspot.com Diakses 9 Maret 2015 pukul 20:21 Michael Richardson, Surrealism and Cinema, Berg: 2006 hal 3
23
manusia. Seperti halnya mimpi menampilkan gambaran-gambaran irasional yang mengungkap kejiwaan pemimpinya, mitos mengungkap kejiwaan semua umat manusia. Selain menarik bagi surealis dikarenakan peran pentingnya bagi budayabudaya non-barat. Dalam pandangan para pengikut Freud, peradaban barat berada dalam bahaya karena menceraikan kemanusiaan dari sifat alaminya. Secara luas dipercaya bahwa budaya-budaya non-barat lebih selaras dengan sifat dan dorongan-dorongan alami – dorongan-dorongan yang diekspresikan melalui mitos-mitos dan seni kebudayaan tersebut. Dari dua aliran yang mempergunakan metode yang berbeda tersebut, baik metode automatism atau tidak, keduanya mempunyai ciri yang sama. Ciri yang tampak dari kebebasan berekspresi tersebut adalah munculnya karyakarya yang sangat imajinatif, dengan citra yang irasional dan menghasilkan efek-efek yang aneh serta misterius. Para penikmat senipun dibawa oleh perasaan ganjil, asing dan bagai terhanyut dalam mimpi34. Absurd, pemikiran bahwa surealisme hampir mirip dengan absurdisme, yakni paham (aliran) yang didasarkan pada kepercayaan bahwa manusia secara umum tidak berarti dan tidak masuk akal (kesadaran para pengikut aliran itu terhadap tata tertib sering berbenturan dengan kepentingan masyarakat umum).
34
Michael Richardson, Surrealism and Cinema. www.bergpublishers.com Diakses pada tanggal 29 Maret 2015 pukul 21:16
24
Akan tetapi setelah proses penggalian informasi lebih lanjut, surealisme berbeda dengan absurdisme, walaupun sama-sama membicarakan hal-hal yang absurd (tidak masuk akal/mustahil) dalam teknik penciptaanya. Bedanya absurdisme adalah ledakan-ledakan bawah sadar yang disertai penolakan serta pengingkaran terhadap kesadaran, sedangkan surealisme dengan teknik otomatismenya menciptakan proses kreatif yang menempatkan diri pada ledakan bawah sadar yang didasarikan pada kesadaran. Dalam otomatisme segala hal dalam kesadaran dikeluarkan, kemudian diledakan oleh alam bawah sadar, untuk kemudian dikembalikan lagi pada kesadaran. Tidak heran, karya-karya bercorak surealis umumnya susah dipahami, khususnya pada karya sastra surelis gaya penyusunan gagasan, alur, yang melompat-lompat dan tidak beraturan kadang terasa kacau.
2.2.4.Film Surealis Di perancis, pembuatan film memperkenalkan surealis pada seni pembuatan film yang berarti suatu bentuk representasi yang memasukkan citra aneh untuk menggambarkan suasana alamiah yang kelam dan menakutkan pada realtas sehari – hari.35 Sebagai contoh Entr’acte (1924), arahan sutradara Rene Clair mempergunakan trik awal kamera fotografi untuk menghasilkan citra surealis pada layar dengan desain dan objek teranimasi.
35
Marcel Danesi. Pengantar Memahami Semiotika Media. Jalasutra. Yogyakarta: 2010 hal 139
25
Serta Luis Bunuel dan Salvador Dall dari Spanyol memproduksi film surealis Un Chien Andalou (1929) dan L’ Age d’Or (1939) menjadi dokumen penting yang menunjukkan minat kaum surealis akan penggunaan hubungan kesejajaran yang ganjil (unexpected juxtaposition) antara obyek dengan gagasan. Film surealis yang ideal berbeda dari Dada bekerja dalam hal itu tidak akan menjadi lucu, kumpulan kacau peristiwa. Sebaliknya, itu akan melacak mengganggu, sering dikenakan seksual cerita yang mengikuti logika bisa dijelaskan dari mimpi, banyak surealis mengecam jika film surealis pada periode awal terlalu sedikit narasi. Mungkin film Surealis klasik diciptakan pada tahun 1928 oleh sutradara pemula Luis Buñuel. Sebuah film antusias Spanyol dan penyair modernis, Buñuel telah datang ke Perancis dan dipekerjakan sebagai asisten oleh Jean Epstein. Bekerja sama dengan Salvador Dali, ia membuat Un chien andalou (An Andalusion Dog). Cerita dasar bersangkutan pertengkaran antara dua kekasih, namun skema waktu dan logika tidak mungkin. Interval waktu yang lewat, seperti ketika "enam belas tahun sebelumnya" muncul dalam suatu tindakan yang terus tanpa jeda36. Serangkaian urutan mengejutkan dirancang untuk menantang setiap penonton. Tangan terbuka untuk mengungkapkan luka dari mana sekelompok semut muncul, seorang pemuda menyeret dua grand piano di ruangan, sarat
36
Kristin Thompson & David Bordwell, Film History: An Introduction, McGraw-Hill: 2003 hal 177-79, 318-19
26
dengan sepasang keledai mati dan dua imam bingung, dalam upaya sia-sia untuk memenangkan kasih sayang dari seorang wanita yang terbuka bernafsu. Ini hanya dua dari urutan yang lebih keterlaluan dalam film, mungkin adegan yang paling terkenal terjadi dekat awal, ketika Buñuel sendiri adalah terlihat mengasah pisau cukur di balkon dan kemudian menggorok bola mata dari seorang wanita muda yang duduk pasif di kursi beberapa saat kemudian. Penulisan otomatis dan lukisan, pencarian citra aneh atau menggugah, menghindari sengaja bentuk rasional dijelaskan atau gaya - ini menjadi fitur Surealisme seperti yang berkembang pada periode 1924-1929. Dari awal, para surealis tertarik dengan sinematograpi, terutama mengagumi film-film yang disajikan keinginan liar atau (misalnya, komedi slapstick, Nosferatu, dan serial tentang supercriminals misterius) fantastis dan luar biasa. Sinematograpi surealis terang-terangan anti-naratif, menyerang kausalitas itu sendiri. Jika rasionalitas adalah untuk diperjuangkan, hubungan kausal antara peristiwa harus dihilangkan37. Film impresionis akan memotivasi keadaan seperti mimpi atau halusinasi, tapi di film ini, semua karakter psikologi tidak ada. Hasrat seksual dan ekstasi, kekerasan, hujatan, dan humor aneh memberikan peristiwa yang berupa film yang surealis mempekerjakan dengan mengabaikan prinsipprinsip narasi konvensional. Harapannya adalah bahwa bentuk bebas dari film akan membangkitkan impuls terdalam dari penampil.38
37 38
Michael Richardson, Surrealism and Cinema, Oxford, New York: 2006 hal 3 Michael Richardson hal 4
27
Mata yang di iris, begitu mengejutkan pada awal film Un chien andalou bergantung pada beberapa prinsip editing kontinuitas dan memang pada efek Kuleshov, gaya sinema surealis eklektik, Mise-en-scene sering dipengaruhi oleh lukisan surealis. Semut di Un chien andalou berasal dari gambar Dali, pilar dan kotak kota The Seashell dan Pendeta mendengar kembali ke pelukis Italia Giorgio de Chirico. Editing surealis adalah campuran dari beberapa perangkat impresionis (banyak larut dan superimposisi) dan beberapa perangkat dari bioskop dominan. Bola). Namun, editing terputus juga biasa digunakan untuk fraktur setiap koherensi temporalspatial terorganisir. Dalam Un Chien andalou, pahlawan mengunci orang keluar dari ruangan hanya untuk mengubah untuk menemukan dia bisa dijelaskan belakangnya. Secara keseluruhan, gaya film yang surealis menolak untuk mengkanonisasi perangkat tertentu, karena itu akan memesan dan merasionalisasi apa yang harus menjadi "permainan diarahkan pemikiran."
2.3. Semiotika Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda, berupa perangkat atau simbol yang kita gunakan dalam hubungan manusia. Karena itu Semiotika komunikasi adalah suatu pendekatan dan metode analisis yang digunakan untuk memahami tanda-tanda dalam proses komunikasi, yang
28
meliputi enam unsur komunikasi yang meliputi pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran, dan acuan/hal yang dibicarakan.39 Secara etimologi istilah semiotika berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri di definisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.40 Secara terminologis, menurut eco, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek – objek, peristiwa – peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Van Zoest mengartikan semiotika sebagai ilmu tanda dan segala hal yang berhubungan dengannya, caranya berfungsi, hubungan dengan kata lain, pengirimnya dan penerimanay oleh mereka yang menggunakannya.41 Pada dasarnya yang menyatukan tradisi semiotika ini adalah “Tanda” yang diartikan sebagai a stimulus designating something other than itself ( suatu stimulus yang mengacu pada sesuatu yang bukan dirinya sendiri). Pesan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam komunikasi. Menurut John Powers (1995), pesan memiliki tiga unsur yaitu, tanda dan symbol, bahasa, serta wacana.42 Oleh karena itu ilmu ini merupakan suatu alat penting dalam menganalisa isi dari pesan – pesan media, baik dalam media verbal, non verbal maupun keduanya. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis 39
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung: 2006 hal 15 Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, Mitra Wacana Media, Jakarta: 2010 hal 5 41 Alex Sobur, Analisis Teks Media:Suatu Pengantar untuk Analis Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis Framin, PT Remaja Rosdakarya, Bandung: 2011 hal 95 42 Morissan, Teori Komunikasi, Ghalia Indonesia, Bogor: 2013, hal 27 40
29
untuk mengkaji tanda, tanda – tanda adalah peragkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika adalah ilmu yang menganalisa pesan – pesan dari media baik verbal maupun non verbal, dalam film The Double jelas pesan atau makna yang ingin ditampilkan kepada audiens adalah bagaiman seni surealis dalam alur cerita dapat mengambarkan suatu kondisi seorang manusia dengan dirinya maupun ruang lingkupnya.
2.4. Semiotika Julia Kristeva Julia Kristeva lahir pada tahun 1941 di Bulgaria. Pada tahun 1965 pindah dari Bulgaria ke Paris, kemudian ia masuk ke dalam kehidupan intelektual Paris, mengikuti seminar Roland Barthes dan terlibat dalam dunia pemikiran kesastraan. Selain sebagai tokoh semiotika, Julia Kristeva, juga sebagai tokoh teoretisi feminis. Ia mulai merenungkan sifat feminitas yang dilihatnya sebagai sumber yang tak bernama dan tak terungkapkan. Seperti Derrida, Kristeva menjadikan semiotika struktural Ferdinand de Saussure sebagai objek subversi dan pembongkaran43. Keinginannya untuk melakukan analisis kepada hal yang tidak bisa diungkapkan secara heterogen dan yang bersifat radikal pada kehidupan individu dan kultural, adalah menjadi ciri yang menonjol pada karyakaryanya. Kristeva menjadi seorang teoretisi bahasa dan sastra dengan 43
Julia Kristeva. Desire in Language a Semiotic Approach to Literature and Art. Oxford: Basil Blackwell. 1980 hal 14
30
konsepnya yang khas, yaitu “semanalisis”. Semanalis menitik-beratkan materialitas bahasa–suara, irama, dan perwatakan grafiknya–dan bukan hanya pada fungsi komunikatifnya. Semanalisis adalah sebuah pendekatan terhadap bahasa sebagai suatu proses penandaan yang heterogen dan terletak pada subjek-subjek yang berbicara. Semanalisis merupakan pengkajian terhadap bahasa sebagai wacana yang spesifik, bukan sebagai sistem yang berlaku umum. Sebagai contohnya dalam bahasa puitis44. Bahasa puitis tidak bisa diformalkan dengan menggunakan kerangka prosedur ilmiah konvensional. Karena prosedur ilmiah konvensional digunakan
untuk
menghapuskan
kontradiksi,
maka
bahasa
puitis
membutuhkan kerangka yang lebih luwes dan canggih. Bahasa puitis menentang bentuk bahasa homogen yang hanya dapat diterima secara umum sebagai satu-satunya alat pemaknaan dan komunikasi. Bahasa puitis mengganggu makna. Selebihnya akan membuka kemungkinan makna baru atau bahkan membuka pemahaman baru. Dan bila kita tidak mampu memahami bahasa puitis, ini berarti suatu petunjuk sangat jelas dari pengaruh bahasa itu. Kristeva memberi rasa untuk menangkap bahasa dalam bentuknya yang dinamis, keluar dari aturan dan praktis, bukan membentuk yang statis, seperti yang dikemukakan oleh para ahli linguistik45. Kristeva mengklaim bahwa pandangan tentang bahasa sebagai yang statis terikat dengan pengertian bahwa bahasa itu bisa direduksikan ke 44 45
Julia Kristeva, Ibid hal 65 Julia Kristeva. Revolution in Poetic Language. NY: Columbia University Press 1984 hal 23
31
dimensi-dimensi yang bisa diterima oleh kesadaran dan mengesampingkan dimensi material, heterogen, dan ketidaksadaran. Ketidaksadaran mengembangkan teori Kristeva tentang subjek sebagai yang berada dalam proses. Maksudnya, bahasa tidak berupa suatu gejala yang statis yang bisa dikomunikasikan kepada yang lain, tetapi bahasa adalah bentuk yang tidak terucapkan, tidak bernama, dan teredam, dan hanya bisa diketahui melalui pengaruh yang ditimbulkannya. Dalam tesis doktoralnya ia mulai mengembangkan teori tentang semiotika–Le revolution du langage poetique (Revolusi dalam Bahasa Puisi), disini ia membedakan semiotika konvensional maupun yang “simbolis”– lingkungan representasi, imaji, dan semua bentuk bahasa yang sepenuhnya terartikulasi. Yang sepenuhnya bersifat tekstual, semiotis dan simbolis, masing-masing berkorespondensi dengan apa yang disebut sebagai Genoteks dan Fenoteks. Menurut Kristeva, genoteks itu bukan linguistik, melainkan hanya sebuah proses, sedangkan fenoteks sesuai dengan bahasa komunikasi. Fenoteks adalah apa yang terbaca (terdengar) dipermukaan, sedangkan genoteks adalah apa yang terdapat di bawah permukaan. Keduanya tidak bisa berdiri sendiri. Relasi antara genoteks dan fenoteks lebih kepada tempat kita biasa membaca teks dan mencari maknanya. Proses ini disebut proses penandaan46.
46
Dadan Rusmana, Filsafat Semiotika: Paradigma, Teori dan Metode Interpretasi tanda, CV Pustaka Setia, Bandung: 2014 hal 325
32
Genoteks adalah teks yang mempunyai kemungkinan tak terbatas yang menjadi substratum bagi teks-teks aktual. Genoteksdapat pula dianggap sebagai sarana yang membuat seluruh evaluasi histoeis bahasa da berbagai praktik penandaan. Seluruh kemungkinan yang dimiliki oleh bahasa di masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang sebelum tertimbun dan tenggelam di dalam fenoteks tercakup didalamnya. Fenoteks adalah teks aktual yang bersumber dari genoteks.
Fenoteks meliputi seluruh fenomena dan ciri-ciri yang dimiliki oleh struktur bahasa, kaidah-kaidah genre, bentuk melismatik yang terkode, idiolek pengarang dan gaya interpretasi. Jadi, segala sesuatu di dalam performansi bahasa yang berfungsi untuk komunikasi, representasi, dan ekspresi; dan segala sesuatu yang dapat diperbincangkan, yang membentuk jalinan nilainilai budaya, yang secara langsung berhubungan dengan alibi-alibi ideologis di suatu zaman47. Kristeva menyebut bahasa puitik sebagai produk dari signifiance, yang merupakan satu-satunya bahasa yang menghasilkan revolusi. Bahasa puitik melalui kekhususan operasi pertandaannya, dan tidak boleh dikatakan penghancuran identitas makna-makna dan transendensi. Yang dicari dalam proses pertandaan bahasa puitik bukanlah kepaduan dan kemantapan identitas dan makna, melainkan penciptaan krisis-krisis dan proses pengguncangan segala sesuatu yang telah melembaga secara sosial.
47
Dadan Rusmana, Ibid hal 326
33
Bahasa puitik menghasilkan tidak saja penjelajahan estetik yang baru, namun juga efek-efek kehampaan makna melalui penghancuran, tidak saja kepercayaan dan penandaan yang sudah melembaga, tetapi dalam bentuk yang radikal tata bahasa sendiri. Perbedaan antara dua praktik pembentukan makna dalam wacana, yaitu (1) signifikasi, yaitu makna yang melembagakan dan dikontrol secara sosial (tanda berfungsi sebagai refleksi dari konvensi dan kode-kode sosial yang ada), dan (2) signifiance, yaitu makna yang subversif dan kreatif. Signifiance adalah proses penciptaan yang tanpa batas dan tak terbatas, pelepasan rangsangan-rangsangan dalam diri manusia melalui ungkapan bahasa. Signifiance berada pada batas terjauh dari subjek, konvensi moral, tabu, dan kesepakatan sosial dalam suatu masyarakat. Dalam bahasa puitis sendiri–seperti yang diungkapkan oleh penyairpenyair–teks mempunyai banyak bentuk makna, tidak hanya berdiri di atas satu bentuk imajiner saja. Sebagaimana struktur yang diturut oleh Julia Kristeva48. Teks mempunyai kemungkinan tidak terbatas untuk menemukan teks aktual. Maksudnya, teks mempunyai historisitas yang kaya kemungkinan yang akhirnya akan ditemukan teks aktual. Sedangkan di dalam makna juga terjadi struktur semacam itu. Karena teks dan makna tidak akan dapat dipisah. Jika terdapat teks, tentu akan diikuti oleh makna. Apabila ada makna, maka ada retrospeksi fenomena untuk menuju sebuah teks. Hal ini berkait dengan
48
Julia Kristeva, Ibid hal 31
34
konsep intertekstualitas, di mana tanda-tanda mengacu kepada tanda-tanda yang lain, setiap teks mengacu kepada teks-teks yang lain.
2.4.1.Teks dan Tekstualitas Sesuatu yang disebut teks (dari bahasa latin, texere ‘tenunan; anyaman’jadi, teks = tenunan atau jejaring tanda-tanda) apabila memenuhi beberapa standar tekstualitas (textulity), yaitu kohesi, koherensi, situasionalitas dan intertektualitas. Kohesi bersangkutan dengan syarat kepaduan gramatikal dan leksial. Kepaduan ini secara langsung akan berkaitan erat dengan koherensi yaitu keutuhan semantis (makna). Saran kohesi berupa konjungtif (kata dan frase penghubung) antarkalimat. Kata dan perkataan ini tidak hanya berfungsi untuk mengaitkan satu kalimat dengan kalimat sebelumnya secara gramatikal, melainkan juga sekaligus menciptakan hubungan makna yang utuh. Dengan kata lain, fungsi sarana-sarana kebebasan ini adalah untuk menandai secara formal jalinan makna (koherensi) diantara suatu kalimat dengan kalimat sebelumnya. Sementara itu, yang dimaksud dengan situasional merajuk kepada konteks situasional yang menurut Dell Hymes mecakup latar (setting and scene – S), peserta (participants – P, tujuan (ends – E), topic dan perubahan topic (act sequences – A), cara tutur (keys – K), sarana tutur (instrumentalities – I), norma interaksi (norms – N, serta jenis wacana (genre – G), yang seluruhnya dapat diringkas kedalam akronim SPEAKING. Disatu pihak,
35
sebagai salah satu standar tekstualitas, situasional tentu saja lebih bersangkutan dengan teks lisan yang masih sangat terikat kepada situasi tutur tertentu, simentara dipihak lain, teks tertulis pada umunya tidak lagi terikat oleh teks situasinalnya49. Dalam hal ini teks adalah bahasa lisan, bahasa tulis, gambar, bunyi, arsitektur, sistem makanan, sistem busaana, dan berbagai manifestasi dari kebudayaan, teks dalam pengertian Barthes dan Kristeva adalah bahasa lisan dan tulis sekaligus. Namun teks yang tertulis mempunyai tempat tersendiri karena sifatnya yang khusus. Dalam kkelanjutanya, Barthes sudah melampaui bahasa, dan dalam melihat semua jenis produksi budaya sebagai teks. Ia kemudian memperkenalkan gejala budaya sebagai mitos yang menurutnya adalah bahasa. Dalam Image, Music, Text, Barthes bahkan membahas Fotografi, music dan teks sebagai bahasa. Dalam banyak tulisannya, ia juga menggarap kajian atas arsitektur, sistem makanan, dan sisem busana. Semua bertolak dari konsep-konsep strukturalisme yang dikembangkannya50.
2.4.2.Kajian Intertekstual Pendekatan intertekstual pertama diilhami oleh gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat besar pada sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan 49
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep Isu dan Problem Ikonisitas, Jalasutra, Yogyakarta: 2011 hal 48-50 50 Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, Komunitas Bambu, Jakarta: 2011 hal 71
36
pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan.51 Kemudian, pendekatan intertekstual tersebut diperkenalkan atau dikembangkan oleh Julia Kristeva. Menurut Kristeva, intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva52. Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipankutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh53. Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan. Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia
51
Redyanto Noor, Perspektif Resepsi Novel Chiklit dan Teenlit Indonesia, Makalah Diskusi Program Studi S3 Sastra: 2007 hal 4-5
52
Worton, Michael dan Judith Still, Intertextuality and Practices, Manchester University Press, New York: 1990 Hal 1
53
Worton, Ibid hal 66
37
hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan54. Setiap penonton yang berhadapan dengan film pasti bertarung dengan proses pemaknaan. Ia di dalam kubangan untuk menentukan bagaimanakah signifikansi film yang ia lihat. Tanpa dia sadari, kode dan signifikansi yang ada di dalam teks tersebut diperoleh dari teks-teks yang pernah ia lihat sebelumnya. Dengan demikian, tanpa ia sadari pula bahwa sebenarnya tidak ada satupun teks yang benar-benar mandiri. Setiap teks yang ada selalu terkait dengan teks-teks lain untuk mendapatkan signifikansi. Keadaan ini telah disinggung oleh Julia Kristeva menyatakan bahwa jumlahan pengetahuan yang dapat membuat suatu teks sehingga memiliki arti, atau intertekstualitas, merupakan hal yang tidak bisa dihindari sebab setiap teks bergantung, menyerap, atau merubah rupa dari teks sebelumnya55. Culler menekankan intertekstualitas sebagai dua hal fokus kajian, fokus pertama adalah penyadaran posisi penting prior texts (teks-teks pendahulu) yang demikian juga berarti istilah ‘otonomi sebuah teks’ adalah istilah yang tidak tepat sebab sebuah teks baru memiliki makna ketika ada teks-teks yang lebih dulu mendahuluinya, jadi tidak ada otonomi. Sedangkan fokus kedua adalah mengenai intelligibility (tingkat terpahaminya suatu teks) dan meaning
54
55
Worton, Ibid hal 1 Jonathan Culler, Structuralist Poetics, Structuralism, Linguistics, and the Study of Literature, Routledge & Kegan Paul, London: 1977 hal 104
38
(makna) yang ditentukan oleh kontribusi teks-teks pendahulu terhadap berbagai macam efek signifikansi56. Ada sepuluh tesis intertekstual, yaitu:57 1. Konsep intertekstualitas menghendaki bahwa teks harus dipahami bukan sebagai sebuah struktur yang dipertahankan oleh dirinya sendiri, tetapi sebagai sesuatu yang bersifat historis dan berbedabeda. Teks dibentuk bukan melalui waktu yang immanen, tetapi melalui permainan temporalitas yang terpisah-pisah. 2. Teks-teks bukan merupakan struktur yang hadir, tetapi merupakan jejak-jejak dan penelusuran-penelusurannya dari teks-teks lain.Jejakjejak dan penelusuran-penelusurannya itu dibentuk oleh repetisi dan transformasi dari struktur tekstual lainnya. 3. Struktur tekstual itu tidak muncul pada salah satu teks yang dimasukkan, tetapi hadir pada salah satu dari momen-momen dan prakondisi teks. 4. Bentuk representasi struktur intertekstual bergerak dari tataran eksplisit ke implisit. Lagipula, struktur-struktur itu mungkin lebih khusus, mungkin juga lebih umum ataupun mungkin berupa jenis pesan atau jenis kode. Teks-teks dibuat keluar dari norma-norma ideologi dan budaya; keluar dari konvensi-konvensi genre; keluar dari idiom-idiom dan gaya-gaya yang dikitarkan dalam bahasa; keluar dari perangkat-perangkat kolektif dan konotasi; keluar dari 56 57
Jonathan Culler, Ibid hal 104 Worton, Ibid hal 45-46
39
klise-klise, formula-formula, peribahasa-peribahasa; dan keluar dari teks-teks yang lain 5. Intertekstual ibarat mesin tenun yang menempatkan persoalan perbedaan dari bentuk-bentuk representasi intertekstual dengan cara menjawab pertanyaan apakah pantas seseorang dapat menyampaikan sebuah relasi intertekstual kepada sebuah genre. Relasi demikian itu bukan merupakan relasi yang kaku bagi sebuah interteks, tetapi relasi yang segera mengijinkan bahwa tidak mungkin membuat pembedaan yang kaku antara level-level kode dan teks. 6. Proses referensi intertekstual diatur oleh jalur-jalur formasi diskursif. Relasi teks-teks sastra dengan wilayah diskursif yang lebih umum dimediasi oleh struktur sistem sastra dan otoritas aturan sastra. 7. Efek mediasi ini adalah memberikan efek reduksi metonimik dari diskurif kepada norma-norma sastra, dan mungkin pula membuat tematisasi refleksif dari relasi teks-teks kepada struktur otoritas diskursif. Sejak intertekstualitas berfungsi, baik sebagai jejak maupun representasi, tematisasi ini tidak ingin tergantung kepada maksud kesadaran yang mutlak. 8. Identifikasi sebuah interteks adalah sebuah tindakan interpretasi. Interteks bukan merupakan sebuah sumber yang nyata dan kausatif, tetapi merupakan bangunan teoretik yang dibentuk oleh tujuan pembacaan.
40
9. Apa yang relevan bagi interpretasi tekstual bukanlah sumber intertekstual yang khusus, melainkan struktur diskursif yang umum (genre, formasi diskursif, ideologi) 10. Analisis intertekstual dibedakan dari kritik sumber, baik karena penekanannya yang lebih pada interpretasi daripada kemantapan fakta-fakta khusus, maupun oleh penolakannya terhadap satu kausalitas yang tidak linier bagi sejumlah karya yang dipertunjukkan di atas materi intertekstual dan integrasi fungsionalnya pada teks yang muncul belakangan.
Intertekstualitas adalah istilah tentang masalah kontroversi. Untuk tujuan pengulasan ini, kita akan mengarah penggunaan pada teks (secara sadar atau tidak). Hal lain tentang kesadaran intertektualitas, diperlukan ketika penulis naskah atau sutradara membuat adegan-adegan sehingga dapat dikenal sebagai “pengutipan” dari film-film yang lain. Pembuat film Avant-Garde dan artisartis yang lain sering secara sadar “meniru” kerja dari artis-artis yang lain, mereka mengambil sedikit potongan-potongan dari hal yang telah diketahui secara umum (atau jrang diketahui secara umum) dan menyusun sebuah kerja (adegan/gaya) yang baru.