BAB II TINJAUAN UMUM FRAKTUR DENTOALVEOLAR PADA ANAK
2.1 Definisi Fraktur Dentoalveolar Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian terutama tulang (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002). Literatur lain menyebutkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma (Mansjoer,
2000).
Berdasarkan
definisi-definisi
tersebut
maka
fraktur
dentoalveolar adalah kerusakan atau putusnya kontinuitas jaringan keras pada stuktur gigi dan alveolusnya disebabkan trauma.
2.2 Klasifikasi Fraktur Dentoalveolar Jenis fraktur dentoalveolar pada anak diklasifikasikan menjadi beberapa kejadian. Klasifikasi ini membantu dokter gigi untuk memilih cara penanganan yang tepat untuk setiap kejadiannya sehingga pasien mendapatkan prognosis yang baik selama perawatan. Klasifikasi fraktur dentoalveolar juga dapat memberikan informasi yang komprehensif dan universal untuk mengkomunikasikan mengenai tujuan perawatan tersebut. Terdapat banyak klasifikasi yang mendeskripsikan mengenai fraktur dentoalveolar. Klasifikasi yang banyak dijadikan pedoman dalam penanganan fraktur dentoalveolar adalah klasifikasi menurut World Health Organization (WHO).
6
7
Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization (WHO) diterapkan pada gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut. Pada pembahasan ini klasifikasi WHO yang diterangkan hanya pada trauma yang mengakibatkan fraktur dentoalveolar, yaitu cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa, jaringan periodontal, dan tulang pendukung (Welbury, 2005) : 1.
Cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa (gambar 2.1) 1) Enamel infraction: jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa retakan tanpa hilangnya substansi gigi. 2) Fraktur email: hilangnya substansi gigi berupa email saja. 3) Fraktur email-dentin: hilangnya substansi gigi terbatas pada email dan dentin tanpa melibatkan pulpa gigi. 4) Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture): fraktur email dan dentin dengan pulpa yang terpapar. 5) Fraktur
mahkota-akar
tidak
kompleks
(uncomplicated
crown-root
fracture): fraktur email, dentin, sementum, tetapi tidak melibatkan pulpa. 6) Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root fracture): fraktur email, dentin, dan sementum dengan pulpa yang terpapar. 7) Fraktur akar: fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa, dapat disubklasifikasikan lagi menjadi apikal, tengah, dan sepertiga koronal (gingiva).
8
Gambar 2.1 Cedera pada Jaringan Keras Gigi dan Jaringan Pulpa (Fonseca, 2005)
2.
Cedera pada jaringan periodontal (gambar 2.2) 1) Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika diperkusi. 2) Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi. 3) Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian dari soket. 4) Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket alveolar. 5) Luksasi intrusif: perpindahan ke arah tulang alveolar disertai fraktur soket alveolar. 6) Avulsi: gigi lepas dari soketnya.
9
Gambar 2.2 Cedera pada Jaringan Periodontal (Fonseca, 2005).
3.
Cedera pada tulang pendukung (gambar 2.3) 1) Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur dan tertekannya soket alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan lateral luksasi. 2) Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang terbatas pada fasial atau lingual/palatal dinding soket. 3) Fraktur prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur prosesus alveolar yang dapat melibatkan soket gigi. 4) Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.
10
Gambar 2.3 Cedera pada Tulang Pendukung (Fonseca, 2005).
2.3 Etiologi dan Epidemiologi Penyebab trauma dibagi menjadi dua, langsung dan tidak langsung. Trauma langsung jika benturannya itu langsung mengenai gigi, biasanya pada regio anterior. Trauma tidak langsung terjadi ketika ada benturan rahang bawah ke rahang atas, gigi patah pada bagian mahkota atau mahkota-akar di gigi premolar dan molar, dan juga pada kondilus dan simfisis rahang. Faktor yang memengaruhi hasil trauma adalah kombinasi dari energi impaksi, resiliensi objek yang terkena impaksi, bentuk objek yang terkena impaksi, dan sudut arah gaya impaksi. (Welburry, 2005). Penyebab umum trauma adalah terjatuh dengan perbandingan antara 26% dan 82% dari semua kasus cedera, tergantung pada subpopulasi yang diteliti. Olahraga merupakan penyebab kedua yang mengakibatkan cedera (Berman, et al., 2007).
11
Kasus trauma dentoalveolar pada anak dapat disebabkan kecelakaan lalu lintas, serangan hewan, perkelahian dan kekerasan dalam rumah tangga. Gigi yang terkena trauma biasanya hanya satu, kecuali pada kasus kecelakaan dan olahraga. (Cameron and Widmer, 2008). Maloklusi dapat menjadi faktor pendukung terjadinya trauma dentoalveolar. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya trauma adalah protrusi gigi anterior pada maloklusi kelas I tipe 2 atau kelas II divisi 1. Insidensi pada anak dengan kondisi tersebut dua kali dibandingkan anak dengan kondisi oklusi normal. Anak dengan overjet berlebih juga dapat memiliki faktor resiko lebih tinggi terjadi trauma dibandingkan dengan anak dengan overjet normal (Holan and McTigue, 2005). Tabel 2.1 menunjukkan probabilitas fraktur gigi incisif sentral maksila dengan perbedaan overjet.
Tabel 2.1 Probabilitas Kejadian Fraktur Gigi Incisif Sentral Maksila dengan Perbedaan Jarak Overjet (Finn, 2003).
Overjet
Laki-laki
Perempuan
Semua Anak
< 1 mm
1:25
1:55
1:34
1-5 mm
1:13
1:27
1:18
6-9 mm
1:7
1:11
1:8
10 + mm
1:4
1:10
1:6
Prevalensi trauma gigi anak berkisar dari 10-30% di beberapa negara di dunia. (Shun-Te Huang, et al., 2005). Data epidemiologi mengenai fraktur gigi anak di Indonesia belum ditemukan secara pasti, namun ada beberapa laporan makalah
12
ilmiah yang memperkirakan 2%-5% (Sutadi, 2003). Penelitian yang dilakukan Sasteria pada 1.348 anak usia 1-12 tahun di Klinik Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia selama periode 1 Januari 199531 Desember 1995 menunjukkan bahwa 98 anak (7,27%) mengalami fraktur pada gigi anterior atas (Sasteria, 1997). Kejadian terbanyak trauma dentoalveolar terjadi pada usia 2-4 tahun ketika koordinasi motorik anak sedang berkembang. Trauma sering terjadi di rumah ketika anak sudah mulai mencoba banyak hal baru dan bergerak aktif, sedangkan pada usia 7-10 tahun anak biasanya mengalami trauma di sekolah ketika mereka sedang bermain, berlari, bersepeda, dan atau berolahraga. Gigi yang mengalami trauma pada usia ini biasanya gigi permanen. (Welbury, 2005). Insidensi trauma dentoalveolar pada anak menurut usia adalah sebagai berikut: pada usia 5 tahun, 31-40% anak laki-laki dan 16-30% anak perempuan mengalami trauma. Pada usia 12 tahun 12-33% anak laki-laki dan 4-19 % anak perempuan mengalami trauma gigi. Insidensi injuri pada laki-laki dua kali lebih banyak baik pada usia anak maupun dewasa (Welbury, 2005). Literatur lain menyebutkan rasio insidensi injuri pada anak hampir sama antara laki-laki dan perempuan (Berman, et.al., 2007). Kasus trauma yang terjadi pada anak sebagian besar terjadi di daerah anterior terutama incisif sentral (Welbury, 2005), sedangkan pada bagian posterior biasanya terjadi karena trauma tidak langsung, seperti trauma pada bagian dagu yang mengakibatkan tekanan berlebih pada bagian maksila (Finn, 2003). Kejadian yang paling sering terjadi pada anak-anak adalah concussion, subluksasi, dan luksasi, sedangkan pada gigi permanen adalah fraktur mahkota
13
tidak kompleks (uncomplicated crown fracture) (Welburry, 2005). Gambar 2.4 menunjukkan persentasi kejadian fraktur menurut klasifikasi cedera pada jaringan pendukung gigi.
Gambar 2.4 Persentasi Kejadian Fraktur (Koch and Poulsen, 2001).
Fraktur dentoalveolar pada anak dapat menyebabkan kerusakan gigi permanen yang berada di atas atau bawahnya. Hal ini dapat langsung terjadi dari luka atau infeksi residual yang disebabkan oleh trauma pada gigi anak. Andreasen dan Ravn
14
menemukan bahwa usia anak pada waktu terjadinya trauma merupakan faktor yang paling memengaruhi perkembangan kerusakan gigi permanen. Mereka menemukan bahwa 60% anak di bawah usia 4 tahun dengan trauma pada gigi incisif menunjukkan anomali klinis pada radiografi gigi permanen pengganti (Dummet, 2006).
2.4 Pencegahan Fraktur Dentoalveolar Hal terbaik yang dilakukan pada fraktur dentoalveolar adalah melakukan tindakan pencegahan. Pencegahan adalah orientasi utama seorang dokter gigi, terutama dalam perawatan gigi anak. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian fraktur dentoalveolar, di antaranya adalah sebagai berikut (Cameron and Widmer, 2008): 1.
Perawatan orthodonti;
2.
Sabuk pengaman;
3.
Pemakaian helm saat bersepeda;
4.
Pemakaian mouth protector;
5.
Pengawasan terhadap binatang peliharaan; dan
6.
Penyuluhan kepada para orang tua
Tindakan pencegahan tersebut dilakukan sesuai dengan kondisi. Perawatan orthodonti dilakukan pada pasien yang memiliki kecenderungan mengalami fraktur gigi, seperti pada pasien kelas II divisi 1 dengan overjet tinggi. Pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa pasien dengan overjet tinggi akan memiliki kecenderungan lebih rentan terjadi fraktur gigi daripada pasien
15
dengan overjet normal. Hal tersebut memberikan gambaran kepada dokter gigi untuk menghimbau pasien dengan keadaan overjet tinggi ini untuk melakukan perawatan orthodonti, sehingga kondisi overjet pasien dapat dikoreksi dan kejadian fraktur dentoalveolar dapat dihindari. Penyebab fraktur dentoalveolar berikutnya selain overjet adalah terjadinya kecelakaan, bukan hanya saat berkendara tetapi juga saat berolahraga. Dokter gigi dapat menghimbau kepada masyarakat untuk menggunakan sabuk pengaman saat berkendara dan memakai helm saat bersepeda. Hal ini dapat mengurangi resiko cedera saat terjadi kecelakaan lalu lintas. Cedera saat berolahraga dapat dicegah dengan mouth protector. Contoh olahraga yang biasanya membutuhkan alat ini adalah olahraga dinamis, seperti sepakbola, hoki, baseball, softball, dan lain sebagainya. Ada beberapa jenis mouth protector yang dapat digunakan sebagai langkah pencegahan terhadap fraktur dentoalveolar, berikut adalah tipe dari mouth protector (Fonseca, 2005): 1. Stock mouth protectors Jenis mouth protector ini merupakan tindakan pencegahan yang paling mudah dan murah. Mouthguard ini dibuat dari lateks atau material silikon dan hanya menjaga secara minimal karena cukup longgar saat digunakan sehingga harus dalam kondisi rahang yang tertutup. Jenis ini kurang nyaman saat digunakan karena menyulitkan pengguna untuk berbicara dan bernafas, selain itu mouthguard ini mengiritasi gingiva dan vestibula di bagian bukal. Jenis ini kurang direkomendasikan. Gambar 2.5 menunjukkan stock mouth protector.
16
Gambar 2.5 Stock Mouth Protector (Fonseca, 2005)
2. Mouth formed protectors Mouth formed protector paling sering digunakan dan terdiri dari dua jenis, yaitu shell-liner mouthguard dan thermoplastic guard. 1) Shell-liner mouthguard Shell-liner mouthguard terdiri dari karet lateks atau plastik yang menutup gigi maksila. Jenis ini cukup halus dan permukaannya lembut beradaptasi dengan gigi. Kekurangannya adalah pemakaiannya terbatas, jika sering digigit material yang mendasarinya akan berkurang dan mengilangkan ikatan dengan gigi. Lapisannya dapat mengeras jika terkena cairan mulut. Pelindung ini tidak direkomendasikan untuk atlet yang menggunakan braket ortho. 2) Thermoplastic mouthguard Jenis pelindung ini paling banyak digunakan karena keunggulannya yang murah, tahan lama, dan dapat dilembutkan kembali serta diadaptasikan jika retensinya mulai berkurang. Kekurangan dari pelindung ini adalah distorsi
17
dan pengerasan ketika kontak dengan cairan mulut. Gambar 2.6 menunjukkan pelindung mulut jenis thermoplastik.
Gambar 2.6 Thermoplastic Mouthguard (Fonseca, 2005)
3. Bimaxillary mouthguard Penggunaan pelindung mulut ini terfiksasi di mandibula dan cukup nyaman untuk bernafas secara maksimal. Efektif mencegah cedera karena concussion dan trauma yang menyebabkan jejas pada kondilus mandibula. Gigi anterior mandibula juga terproteksi dari trauma yang cukup frontal. Gambar 2.7 menunjukkan pelindung mulut jenis bimaksila.
Gambar 2.7 Bimaxillary Mouthguard
18
4. Custom-made mouth protectors Jenis pelindung mulut ini adalah yang terbaik jika dibandingkan dengan jenis lainnya dilihat dari retensi, proteksi, rasa, bau, kenyamanan saat berbicara, dan kebersihannya. Keunggulan tersebut tidak sepenuhnya menjadi bukti bahwa alat pelindung ini paling baik mencegah dampak buruk dari trauma. Pelindung ini difabrikasi menggunakan alginat menyesuaikan dengan maksila pasien tersebut. Gambar 2.8 menunjukkan pelindung mulut jenis custom-made.
Gambar 2.8 Custom-made Mouth Protector (Vito, 2012)
Tindakan yang sudah disebutkan di atas akan berjalan optimal ketika para orang tua sudah teredukasi dengan baik tentang pencegahan trauma gigi pada anak-anak. Langkah darurat yang bisa dilakukan ketika terjadi trauma gigi pada anak juga akan mengurangi keparahan trauma yang mengenai intraoral.