1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Fraktur diklasifikasikan
femur
proksimal
berdasarkan
atau
lokasi
secara
anatominya.
umum
disebut
Fraktur
neck
fraktur
hip
femur
dan
intertrokanter femur memiliki frekuensi yang hampir sama. Sembilan dari 10 fraktur hip terjadi pada pasien usia 65 tahun atau lebih. Kedua jenis fraktur ini lebih sering terjadi pada populasi wanita sebanyak tiga kali lipat. Faktor resiko lain terjadinya fraktur adalah ras, ganguan neurologis, malnutrisi, keganasan dan pengurangan aktivitas fisik. Fraktur hip pada populasi tua terjadi karena jatuh pada 90% kasus. Penyebab jatuh sendiri meliputi ganguan berjalan sebelum kejadian, berkurangnya waktu bereaksi dan penglihatan yang jelek (Lavelle, 2009). Fraktur intertrokanter femur diperkirakan terjadi sebanyak lebih dari 200.000 pasien setiap tahunnya di Amerika Serikat, dan mortalitasnya dilaporkan sebanyak 15-30%. Insidensi terbanyak fraktur intertrokanter femur adalah pada pasien lebih tua dari 70 tahun. Fraktur hip (intertrokanter dan neck femur) meliputi 30% semua pasien rawat inap di Amerika serikat, dan diperkirakan biaya perawatannya $10 miliar per tahun (Lavelle, 2009). Di RSUP Dr Sardjito kasus fraktur intertrokanter femur sebanyak 0,04% dari semua kasus orthopaedi di Unit Gawat Darurat pada periode tahun 2013. AO mengelompokan fraktur intertrokanter sesuai derajat kominusi dan stabilitasnya. Fraktur disebut A1 jika tanpa kominusi, A2 jika bertambah
2
kominusinya dan A3 jika garis fraktur sampai subtrokanter atau oblik terbalik. Tipe fraktur A1.1 sampai A2.1 disebut stabil sedangkan A2.2 sampai A3.3 tidak stabil (Müller et.al.,1990). Boyd and Griffin (1949) mengelompokkan fraktur intertrokanter berdasarkan tingkat kesulitan penatalaksanaanya (Boyd HB, Griffin LL, 1949). Osteoporosis adalah suatu kondisi tulang yang meningkatkan resiko fraktur. Osteoporosis merupakan resiko terjadinya fragility
fracture,
sehingga dangat
mempengaruhi angka harapan hidup dan kualitas hidup (Pramudito et.al.,2007). Fraktur hip adalah konsekuensi paling berat dari osteoporosis. Di Amerika Serikat, lebih dari 250.000 fraktur hip dikaitkan dengan osteoporosis (Riggs, 1995). Diperkirakan seorang wanita kulit putih usia 50 tahun memiliki resiko terjadinya fraktur femur proksimal17,5%. Insidensi fraktur hip meningkat setiap dekade mulai dekade ke-6 sampai ke-9 baik populasi laki-laki maupun perempuan. Insidensi tertinggi ditermukan pada usia 80 atau lebih (WHO,1994). Osteoporosis meskipun ada pada populasi beresiko tidak lebih banyak terjadi pada pasien dengan fraktur dibandingkan kontrol sesuai usia (Heneghan et.al.,1997). Indeks Singh adalah suatu metode untuk menilai osteoporosis menggunakan pola radiologi dan densitas trabekula tulang di proximal femur. Analisis morfometri dan gambaran histologi menunjukkan bahwa berkurangnya kepadatan tulang ditandai oleh berubahnya pola trabekulasi femur proksimal pada plain-foto radiologi pelvis proyeksi anterior posterior (Singh et.al.,1970). Karabulut et al menyebutkan bahwa indekss Singh berkorelasi bermakna dengan panjang axis hip, diameter neck femur dan lebar trokanter. BMD berkorelasi bermakna dengan diameter head femur dan neck, lebar kortek neck femur, lebar
3
kortek calcar femur dan lebar kortek shaft femur (Karabulut et.al.,2010). Krischak dan Julka menyebutkan bahwa indeks Singh bisa digunakan untuk memprediksi kejadian osteoporosis pada populasi tua (Khrischak et.al.,2009; Julka et.al.,2012). Morfometri femur proksimal berkaitan dengan resiko fraktur dan osteoartrhitis (Weidow et.al.,2012). Biomekanika sendi hip sangat ditentukan oleh bentuk morfometri femur proksimal dan acetabulum Persendian ini tipe ball-socket joint terdiri dari acetabulum pelvis dan head femur. Neck femur memiliki sudut spesifik pada bidang frontal dan tranversal untuk memungkinkan artikulasi yang kongruen sendi hip dan menjaga stabilitas femur menjauh dari tubuh. Sudut ini dibentuk oleh kemiringan neck femur terhadap shaft femur pada bidang frontal sebesar 125° (Hamill et.al.,2009). Sudut ini lebih besar pada saat lahir sekitar 20° - 25⁰, literatur lain menyebutkan 140° pada fetus (Ravichandran et.al.,2011). Sudut ini kemudian semakin mengecil seiring dengan bertambahnya usia dan memfasilitasi berjalan. Beberapa mempercayai sudut ini akan terus berkurang sebanyak 5° pada usia tua (Hamill et.al.,2009). Sudut inklinasi ini penting karena menentukan efektifitas otot-otot abduktor, panjang ekstremitas bawah dan tekanan yang di terima oleh sendi hip. Peningkatan sudut ini akan memperpanjang ekstremitas bawah, mengurangi efektifitas otot abduktor, menaikkan beban yang diterima oleh head femur dan regio trokanter serta menurunkan stres pada neck femur. Coxa vara, dimana sudutnya kurang dari 125°, akan memendekkan ekstremitas bawah, meningkatkan efektifitas otot abduktor, mengurangi beban yang diterima oleh head femur tetapi menaikkan stres neck femur.
4
Posisi varus ini memberikan keuntungan mekanik otot abduktor untuk melawan gaya yang di timbulkan oleh berat badan (Saudek,1985) . Hal ini akan mengakibatkan pengurangan beban yang diterima oleh sendi hip dan jumlah gaya otot yang diperlukan untuk melawan berat badan. Pada penelitian ini kami mengukur parameter morfometri (neck shaft angle (NSA), mid-pelvis caput distance (MCD), medial offset (MO), femoral neck length (FNL), acetabulum – acetabulum distance (AcAc), Acetabulum - head distance (AcH)) yang menggambarkan ukuran tulang dan dapat dikalkulasikan untuk menggambarkan biomekanik sendi hip (Weidow et.al.,2012).
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang seperti di atas maka dapat di buat rumusan masalah sebagai berikut: Individu usia tua memiliki resiko untuk terjadinya fraktur proximal femur, khususnya fraktur intertrokanter femur. Dengan menilai populasi usia tua pada rentang yang sama dan derajat osteoposis sama, maka dapat dilakukan pengukuran morfometri femur proksimal pada populasi pasien fraktur intertrokanter dan populasi yang tidak fraktur. Pengukuran morfometri ini akan menujukkan biomekanik dan faktor prediktif populasi pasien fraktur dan populasi normal. Pada populasi pasien fraktur sendiri bisa dilakukan penilaian parameter morfometri yang paling mempengaruhi derajat keparahan suatu fraktur intertrokanter femur.
5
1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas maka dapat dibuat pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah indeks Singh populasi pasien fraktur intertrokanter femur berbeda dengan populasi tidak fraktur? 2. Apakah morfometri femur proksimal dan pelvis populasi pasien fraktur intertrokanter femur berbeda dengan populasi tidak fraktur? 3. Apakah morfometri femur proximal dan pelvis menjadi faktor prediktif terjadinya fraktur intertrokanter femur? 4. Apakah morfometri femur proksimal dan pelvis mempengaruhi derajat keparahan fraktur intertrokanter femur?
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah membandingkan indeks Singh populasi pasien fraktur intertrokanter femur dengan populasi tidak fraktur. Selain itu untuk mengetahui perbedaan morfometri femur proksimal dan pelvis populasi pasien fraktur intertrokanter femur dan faktor prediktifnya dibandingkan populasi yang tidak fraktur serta mengetahui parameter morfometri yang paling mempengaruhi derajat keparahan fraktur.
6
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini berguna untuk mengetahui morfometri femur proksimal dan pelvis serta biomekanik sendi hip pasien fraktur intertrokanter bisa menjadi salah satu faktor resiko terjadinya fraktur intertrokanter. Hal ini bisa digunakan untuk melakukan edukasi kepada pasien yang memiliki bentuk femur proksimal dan pelvis yang beresiko untuk terjadinya fraktur intertrokanter. Selain itu bisa menjadi acuan bagi klinisi untuk dapat memperkirakan derajat keparahan fraktur intertrokanter berdasarkan morfometri femur proksimal dari sisi kontralateral dan pelvis.
1.6. Keaslian penelitian Berdasarkan kepustakaan peneliti belum ada yang melakukan penelitian morfometri femur proksimal dan pelvis dikaitkan dengan indeks Singh dan fraktur intertrokanter di RSUP Dr. SardjitoYogyakarta.
7