4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2. 1
Trauma Trauma didefinisikan sebagai perpindahan energi dari lingkungan ke tubuh
manusia. Energi tersebut sebagai penyebab dari cedera fisik yang terjadi pada tubuh manusia yang mengalami trauma. Energi yang dapat menyebabkan trauma terdiri dari energi mekanik , elektrik, panas, kimia,dan radiasi. Energi mekanik merupakan energi yang paling banyak menyebabkan trauma ( Kartikawati, 2011). Trauma yang disebabkan oleh energi mekanik merupakan hasil dari tubrukan tubuh dengan benda lainya. Trauma tersebut dapat menyebabkan robek jaringan tubuh, patah tulang, kerusakan pembuluh darah, dan mengganggu aliran darah (Porth, 2006). American College of Surgeons (2008) menyebutkan, trauma terbagi dalam tiga jenis: (1)
Trauma Tumpul Trauma tumpul sering disebabkan kecelakaan lalu lintas (KLL), terjatuh, kegiatan rekreasi, atau pekerjaan. Pola perlukaan pada pasien dapat diramalkan dari mekanisme traumanya. Pola perlukaan juga sangat dipengaruhi usia dan aktivitas. Tabel 2.1 Mekanisme perlukaan Mekanisme perlukaan Benturan frontal
Kemungkinan pola perlukaan •
Fraktur servial
•
Kemudi bengkok
•
Flail chest anterior
•
Jejak lutut pada dashboard
•
Kontusio miokard
•
Cedera bull’s eye, pada
•
Pneumothorax
kaca depan
•
Ruptur aorta
•
Ruptur lien/hepar
•
Fraktur/ dislocatio coxae, lutut
Universitas Sumatera Utara
5
Benturan samping, mobil
Benturan belakang, mobil
•
Sprain servikal kontralateral
•
Fraktur servikal
•
Flail chest lateral
•
Pneumothorax
•
Ruptur aorta
•
Ruptur diafragma
•
Ruptur hepar / lien/ ginjal
•
Fraktur pelvis / asetabulum
•
Fraktur servikal
•
Kerusakan jaringan lunak leher
Telempar keluar , kendaraan
Pejalan kaki >< mobil
•
Semua jenis perlukaan
•
Mortalitas jelas meningkat
•
Trauma kapitis
•
Perlukaan toraks / abdomen
•
Fraktur tungkai / pelvis
(Sumber: American College of Surgeons, 2008). (2)
Trauma Tajam Trauma tajam akibat pisau atau benda tajam dan senjata api semakin sering ditemukan. Faktor yang menentukan jenis dan berat perlukaan adalah daerah tubuh yang terluka, organ yang terkena, dan kecepatan.
(3)
Cedera karena Suhu Panas / Dingin Luka bakar dapat terjadi sendiri atau dalam kombinasi dengan trauma tumpul ataupun tajam akibat mobil terbakar, ledakan, benda yang jatuh, dan usaha penyelamatan diri. Cedera dan keracunan monoksida dapat menyertai luka bakar. Berdasarkan akibat-akibat trauma pada organ-organ tubuh American
College of Surgeons membaginya atas: trauma kapitis, trauma torak, trauma
Universitas Sumatera Utara
6
abdomen, trauma leher, trauma medula spinalis, trauma ekstermitas, dan luka bakar (Rab, 2008). Komplikasi terbesar pada trauma adalah perdarahan (Dewangga dan Budipramana, 2011). Proses perdarahan adalah kehilangan unsur utama darah yaitu volume air, natrium, albumin, eritrosit. Terdapat juga unsur – unsur minor lainnya seperti kalium, leukosit, trombosit dan lain – lain. Volume adalah unsur yang vital dikarenakan kehilangan sebesar 15% dari Estimated Blood Volume (EBV)
sudah
berkurangnya
menyebabkan kecukupan
gangguan oksigen
sirkulasi
untuk
jantung
(takikardi)
dan
ditandai
metabolisme
sel / jaringan. Kekurangan ini untuk sementara kompensasi
yang
ventilasi
dapat paru
dengan
aerobik
diatasi yang
di
dengan meningkat
(Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reaminasi Indonesia, 2010). Jika kehilangan volume mencapai 30% maka kompensasi yang ada sudah mencapai batas maksimal bagi rata – rata pasien pada umumnya. Perdarahan yang berat dapat menimbulkan resiko syok dan kematian (Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reaminasi Indonesia, 2010). Penatalaksanaan dalam perdarahan yaitu dilakukannya pergantian cairan secara cepat atau resusitasi cairan untuk mengganti cairan yang hilang (Dewangga dan Budipramana, 2011). 2. 2
Cairan Tubuh
2. 2. 1 Kompartemen dan Distribusi Cairan Tubuh Air merupakan komponen terbesar di dalam
tubuh manusia. Air
membentuk sekitar 60% dari berat badan pria dan 50% dari berat badan wanita. Air di dalam tubuh terdistribusi dalam dua kompartemen yaitu, intraseluler dan ekstraseluler. Sekitar 40% cairan berada pada intraseluler dan 20% pada ekstraseluler.
Cairan
ekstraseluler
terdiri
dari
intravaskular
(plasma),
ekstravaskular (cairan interstisial), dan transeluler (cairan serebrospinal, cairan intraokular, dan sekresi saluran cerna) yang hanya 1% dari keseluruhan cairan ekstraseluler (Price dan Wilson, 2005).
Universitas Sumatera Utara
7
Gambar 2.1 Distribusi cairan tubuh (Sumber : Porth, 2006).
Gambar 2. 2 Perkiraan ukuran kompartemen cairan tubuh pada dewasa dengan berat badan 70 Kg. (Sumber: Porth, 2006)
Universitas Sumatera Utara
8
2. 2. 2 Elektrolit dan Non-elektrolit Ada 2 jenis bahan yang terlarut dalam cairan tubuh, yaitu elektrolit dan non-elektrolit. 1.
Non-elektrolit Non elektrolit adalah molekul - molekul yang statis menjadi partikel partikel
yang
terdiri
dari
dekstrose,
ureum,
dan
kreatinin
(Mangku dan Senapathi, 2009).
Gambar 2.3 Non-elektrolit plasma (Sumber : Guyton dan Hall, 2007) 2.
Elektrolit Elektrolit adalah molekul-molekul yang pecah menjadi partikel-partikel bermuatan
listrik
(Mangku
dan
Senapathi,
2009).
Pada
cairan
ekstraseluler, Natrium dan Klorida merupakan elektrolit yang paling banyak, dalam jumlah sedang bikarbonat dan dalam jumlah sedikit kalium,
Universitas Sumatera Utara
9
sedangkan pada cairan intraseluler lebih banyak kalium dibandingkan natrium, klorida, dan bikarbonat (Porth, 2006).
Gambar 2.4 kation dan anion utama cairan intrasel dan ekstrasel. (Sumber: Guyton dan Hall, 2007) 2. 2. 3 Perpindahan Cairan dan Elektrolit Tubuh Pembatas utama perpindahan zat terlarut dalam tubuh adalah membran sel. Membran sel bersifat semipermeabel sehingga membran ini memungkinkan pergerakan air secara bebas tapi membatasi pada pergerakan zat terlarut. Perpindahan air dan zat terlarut diantara bagian-bagian tubuh melibatkan mekanisme transpor aktif (memerlukan energi) dan transpor pasif (tidak memerlukan energi). Difusi dan osmosis adalah mekanisme transpor pasif dimana sebagian besar zat terlarut berpindah melalui mekanisme ini
(Price dan
Wilson, 2005). Difusi adalah perpindahan partikel-partikel dalam segala arah melaui larutan atau gas. Dalam proses difusi, zat terlarut berpindah dari daerah yang
Universitas Sumatera Utara
10
memiliki konsentrasi lebih tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah sampai terjadi keseimbangan konsentrasi pada kedua sisi membran (Price dan Wilson, 2005). Osmosis adalah pergerakan air secara pasif melintasi membran semipermeabel dari daerah dengan konsentrasi zat terlarut tinggi kekonsentrasi zat terlarut terendah (Ward et al., 2009). Tekanan osmotik adalah daya dorong air yang dihasilkan oleh partikel-partikel zat terlarut didalamnya. Apabila suatu zat terlarut ditambahkan pada air murni, zat ini akan menurunkan konsentrasi air dalam campuran dan meningkatkan tekanan osmotik . Jadi, semakin besar tekanan osmotik, semakin tinggi konsentrasi zat terlarut dalam suatu larutan, semakin rendah konsentrasi airnya (Guyton dan Hall, 2007). Osmolalitas suatu cairan adalah jumlah osmol dari zat terlarut per kilogram pelarut. Osmolaritas suatu cairan adalah jumlah osmol per liter cairan. Faktor determinan yang terpenting yang menentukan osmolalitas cairan ekstraseluler adalah ion Na. Bila kadar Na
meningkat, maka osmolaritas
meningkat, air akan ditarik dari sel untuk mempertahankan osmolaritas tetap isotonis, sedangkan pada cairan intraseluler faktor determinan osmolalitas adalah ion K (Mangku dan Senapathi, 2009). 2. 2. 4 Sistem Pengaturan Cairan Tubuh Cairan
tubuh
relatif
stabil
dalam
kompartemen
masing-masing
(Mangku dan Senapathi, 2009). Sejumlah mekanisme homeostatik bekerja tidak hanya untuk mempertahankan konsentrasi elektrolit dan osmotik cairan tubuh, tetapi juga volume cairan tubuh total (Price dan Wilson, 2005). Mangku dan Senapathi (2009) menyatakan , mekanisme pengaturan cairan tubuh dilakukan dengan cara: A.
Kendali osmolar (1) Sistem Osmoreseptor Hipotalamus – Hipofisis - Antidiuretik hormon (ADH) Di daerah bagian anterior yang merupakan bagian dari nukleus supra optik, terdapat neuron khusus yang dikenal sebagai osmoreseptor yang
Universitas Sumatera Utara
11
peka terhadap osmolalitas cairan ekstraseluler. Sel-sel ini mengandung vesikel-vesikel yang mengandung cairan. Apabila cairan ekstraseluler lebih pekat, osmolaritas meningkat maka vesikel mengkerut dan menghasilkan impuls, sebaliknya osmolaritas menurun maka vesikel akan mengembang dan impuls yang dilepas dari reseptor ini berkurang atau berhenti. Impuls akan merangsang hipofisis posterior untuk melepaskan ADH. Jadi semakin tinggi osmolaritas cairan ekstraselulaer akan meningkatkan pelepasan ADH. Rasa haus merangsang pemasukan air dan merangsang ADH untuk mengubah permeabilitas duktus kolingentes ginjal, meningkatkan reabsorbsi air (Price dan Wilson, 2005). (2) Sistem Renin – Angiotensin - Aldosteron Mekanisme ini bekerja apabila terjadi perubahan keseimbangan cairan yang bersifat isotonik. Mekanisme ini sangat penting dalam pengaturan volume ekstraseluler dan ekskresi natrium oleh ginjal. Keseimbangan natrium diatur melalui proses filtrasi glomerulus dan reabsorbsi tubulus. Dari sekian banyak natrium yang keluar melalui filtrasi ini, lebih dari 95% direabsorbsi oleh tubulus. Kortek adrenal merupakan faktor utama yang menjaga volume cairan ekstraseluler melalui efek hormon aldosteron terhadap natrium. Renin merupakan suatu hormon proteolitik yang disintesis, disimpan, dan dieksresi oleh ginjal. Renin disentensis di juxtaglomerular apparatus. Pelepasan renin secara teoritis dipengaruhi oleh baroreseptor ginjal. B.
Kendali Non-osmolar (1) Refleks Stretch Receptor Pada dinding atrium terdapat stretch receptor yang dirangsang oleh perubahan kapasitas atrium kiri. Apabila
atrium kiri mengalami
distensi, maka reseptor ini akan terangsang sehingga timbul impuls aferen melalui jalur simpatis yang akan mencapai hipotalamus yang kemudian akan disekresikan ADH.
Universitas Sumatera Utara
12
(2) Refleks Baroreseptor Baroresptor akan terangsang apabila terjadi perubahan tekanan darah, selanjutnya sinyal ni akan diteruskan pada sistem hipotalamus hipofisis yang akan memberikan respon melalui penahanan atau pelepasan ADH ke dalam sirkulasi. 2. 2. 5 Keseimbangan Cairan Keseimbangan cairan tubuh total (dan elektrolit) ditentukan oleh keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran. Pemasukan cairan tubuh melalui saluran cerna, dalam bentuk cairan maupun makanan. Cairan dikeluarkan dalam tubuh melalui empat rute yaitu: ginjal (urin), usus halus (feses), paru-paru (uap air dalam udara ekspirasi), dan kulit (keringat) (Price dan Wilson, 2005). Keseimbangan cairan dipertahankan dengan mengatur volume dan osmolaritas
cairan
ektraseluler.
Cairan
ekstraseluler
berfungsi
sebagai
penghubung antara sel dan lingkungan eksternal. Air yang ditambahkan ke cairancairan tubuh selalu masuk ke kompartemen cairan ekstraseluler terlebih dahulu, dan cairan juga selalu keluar tubuh melalui cairan ekstraseluler(Sherwood, 2011). Plasma adalah satu-satunya cairan yang dapat dikontrol volume dan komposisinya. Oleh karena itu, setiap mekanisme yang berkerja pada plasma pada hakikatnya juga mengatur keseluruhan cairan ekstraseluler. Cairan intraseluler sebaliknya dipengaruhi oleh perubahan cairan ekstraseluler (Sherwood, 2011). 2. 2. 6 Gangguan Keseimbangan Cairan Tubuh Bentuk gangguan keseimbangan cairan adalah kelebihan cairan ataupun kehilangan cairan (Mangku dan Senapathi, 2009). 1.
Kelebihan cairan (Overhidrasi) Terutama berkaitan dengan tindakan terapi cairan yang keliru. Etiologi overhidrasi:
Universitas Sumatera Utara
13
• Gangguan ekskresi air lewat ginjal, misalnya pada gagal ginjal akut intrinsik atau obstruktif • Masukan air yang berlebihan pada terapi cairan • Masuknya cairan irigator pada tindakan reseksi prostat transurethra • Korban tenggelam pada air tawar 2.
Kehilangan cairan (Dehidrasi) Dehidrasi adalah defisit air dalam tubuh, yang disebabkan oleh masukan yang kurang atau ekskresi yang berlebihan.
2. 3
Terapi Cairan untuk Tindakan Resusitasi Terapi cairan dan elektrolit adalah salah satu terapi yang sangat
menentukan keberhasilan penanganan pasien kritis. Tindakan ini seringkali merupakan life saving pada pasien yang menderita kehilangan cairan yang banyak atau yang disebut dengan tindakan resusitasi cairan (Mangku dan Senapathi, 2009). Optimalisasi untuk tindakan resusitasi cairan sebagai upaya pengembalian cairan yang hilang diberikan secara intravena (NICE guideline, 2013). 2.3.1 Jenis-Jenis Cairan Intravena Menurut perhimpunan dokter spesialis dokter anestesiologi dan reaminasi Indonesia pada tahun 2010, jenis-jenis cairan intravena terbagi 2 yaitu: (1)
Larutan Kristaloid Larutan kristaloid adalah air dengan kandungan elektrolit dan atau glukosa. Secara umum dapat dikatakan bahwa larutan kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel, interstisial dan plasma dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel. Adapun larutan kristaloid terbagi menjadi 2: a) Larutan kristaloid isotonik Larutan disebut isotonik apabila larutan sesuai dengan osmolalitas plasma normal secara klinis antara 280 – 300 mOsm/L. Sebagai contoh larutan kristaloid isotonik adalah NaCl 0,9% atau Ringer Laktat (RL).
Universitas Sumatera Utara
14
Resusitasi cairan kristaloid harus dalam batas aman, artinya harus menghindari kondisi ekstrem hipovolemia berat dan kelebihan cairan. Resusitasi agresif dengan cairan kristaloid pada pasien trauma berat dapat menimbulkan kelebihan cairan dan menyebabkan sindroma gangguan pernafasan akut dan edema otak pada pasien yang disertai dengan cedera kepala. Keuntungan dari cairan kristaloid adalah murah, mudah didapat, mudah penyimpanannya, bebas reaksi, dapat segera dipakai untuk mengatasi defisit volume sirkulasi, menurunkan viskositas darah, dan dapat digunakan sebagai fluid challenge test. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah terjadinya edema perifer dan edema paru pada jumlah pemberian yang besar. b) Larutan Kristaloid Hipertonik Larutan garam hipertonik NaCl 1,5% – 7,5% ( 500 – 2400 mOsm/L) telah dipakai untuk syok hipovolemik, untuk resusitasi pasien dengan luka bakar, trauma kepala dalam upaya mengurangi bertambahnya edema, luka bakar, dan edema otak. Efek larutan garam hipertonik lain adalah meningkatkan curah jantung bukan hanya karena perbaikan preload, tetapi peningkatan curah jantung tersebut mungkin sekunder karenak efek inotropik positif pada miokard dan penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi kapiler viseral. Kedua keadaan ini dapat memperbaiki aliran darah ke organ-organ vital. Efek samping dari pemberian larutan garam hipertonik adalah hipernatremia dan hiperkloremia. (2)
Larutan Koloid Larutan koloid adalah larutan yang mengandung zat terlarut dengan berat molekul 20.000 – 110.000 dalton ( albumin, gelatin, kanji/ starch, dekstran) yang dapat menghasilkan tekanan osmotik koloid atau tekanan onkotik intravaskuler. Koloid digunakan terutama untuk meningkatkan volume plasma. Adapun larutan koloid terdiri dari:
Universitas Sumatera Utara
15
a) Albumin Albumin yang diberikan secara intravena akan berdistribusi ke ruang interstisial. Larutan albumin yang dipakai tersedia dalam larutan 5, 20, 25% dalam garam isotonik. Pada kasus dengan volume intravaskular yang kurang, keadaan keseimbangan ini tidak cukup kecuali diberikan tambahan larutan garam isotonik. Efek samping pemberian albumin adalah resiko akan terjadinya hepatitis, AIDS, edema paru, terjadinya penularan penyakit, penurunan kadar Ca, serta reaksi anafilaksis. b) Dekstran Dekstran merupakan glukopolisakarida netral dengan berat molekul yang tinggi. Dekstran tersedia dalam larutan dengan berat molekul, 40000 D, 60000D, atau 70000D. Keuntungan dekstran adalah biaya produksi yang relatif rendah dan kemampuannya disimpan dalam suhu ruangan untuk jangka lama. Selain sebagai pengganti volume, dekstran dapat sebagai profilaksis embolus trombus. Efek samping terberat pada pemberian dekstran adalah reaksi anafilaktoid yang ditimbulkan oleh antibodi anti - polisakarida endogen yang bereaksi dengan molekul dekstran.
c) Gelatin Gelatin diperoleh dari kolagen sapi dan disediakan dalam larutan polidispersif setelah memalui berbagai modifikasi kimia. Sediaan gelatin memiliki berat molekul rata-rata 30000 - 35000 D dan massa molekul yang rendah. Karena berat molekul yang relatif rendah ini, maka sebagian besar gelatin diekskresikan di urin beberapa menit setelah diberikan. Keuntungan dari gelatin yaitu, tidak terlalu mahal dan dapat disimpan selama 2 -3 tahun pada suhu ruangan. Gelatin juga aman bagi fungsi ginjal.
Universitas Sumatera Utara
16
Kerugian dari pemberian gelatin adalah cepatnya ekskresi gelatin melalui urin bersamaan dengan meningkatnya diuresis, harus digantikan dengan pemberian cairan kristaloid yang adekuat untuk mencegah dehidrasi. Pemberian gelatin juga dapat meningkatkan viskositas darah dan memudahkan agregasi eritrosit tanpa mempengaruhi hasil cocok silang. Terjadinya reaksi anafilaksis paling tinggi dibandingkan larutan koloid lainnya. d) Hydroxyethyl Starch (HES) Bahan dasar pembentuk HES adalah amilopektin, polimer glukosa dengan banyak cabang, diperoleh dari lilin jagung atau tepung kentang. Keuntungan dari pemberian HES adalah pengganti plasma yang dapat menurunkan viskositas darah dan memperbaiki aliran mikrosirkulasi darah. HES aman untuk ginjal dan kemungkinan kejadian reaksi anafilaktoid sangat kecil terjadi. Kerugian dari pemberian HES adalah pruritus akibat penyimpanan dalam jaringan kulit, berdasarkan penelitian yang ada masih dapat ditoleransikan dan cukup aman. Bergantung pada jenis larutan kristaloid – koloid, maka apabila 1000 ml larutan diberikan secara cepat pada pasien dengan berat badan 70kg, maka dalam satu jam akan terjadi penambahan atau pengurangan isi kompartemen tubuh, yang ditunjukkan oleh tabel dibawah ini: Tabel 2.2 Distribusi Cairan Intravena Ke Dalam Kompartemen Tubuh Larutan
Plasma
Interstisial
Intrasel
Albumin 5%
1000
Polygeline
700
300
Dekstran-40 10%
1600
-260
-340
Dekstran-70 6%
1300
-130
-170
NaCl 0,9%
200
800
NaCl 1,8%
320
1280
-600
Universitas Sumatera Utara
17
NaCl 0,45%
141
567
RL
200
800
D5%
83
333
292
583
(Sumber: Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reaminasi Indonesia, 2010).
Berdasarkan distribusi cairan ke kompartemen - kompartemen tersebut, maka untuk menghitung jumlah cairan intravena yang dibutuhkan agar dapat mengganti volume intravaskuler yang hilang, dapat dipakai rumus sebagai berikut: Volume intravaskuler yang hilang = volume infus x Pv/Vd (Pv= volume plasma , Vd= volume distribusi) Contoh: perdarahan akut sebanyak 500ml dengan berat badan 70kg Volume ekstraseluler = 20% x BB ( interstisial 15%xBB, intravaskuler5% x BB) Pv = volume plasma = 5% x 70kg = 3,5kg =3.500 ml Vd = volume distribusi = 20% x 70kg = 14kg = 14.000 ml Volume intravaskuler yang hilang= volume infus x Pv/Vd 500 = volume infus x 3.500/14.000 Volume infus = 14.000 x 500/3.500 = 2000ml (Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reaminasi Indonesia, 2010).
2. 3.2 Resusitasi Cairan Berdasarkan American College of Surgeons (2008) larutan isotonik, hangat, misalnya Ringer laktat dan normal saline, digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi volume intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskular dengan cara menggantikan kehilangan cairan penyerta yang hilang dalam ruang interstisial dan intraseluker. Alternatif cairan awal adalah dengan larutan garam hipertonik, walaupun menurut kepustakaan terbaru belum tentu menguntungkan. Pemakaian larutan hipertonik sering dicampur dengan koloid (dextran dan hidroxy ethyl starch [HES]), dan campuran larutan ini sering memperlihatkan
Universitas Sumatera Utara
18
kemajuan yang berarti (Boldt, 2004). Pada oxford journals yang ditulis Dutton (2006) menyebutkan, larutan hipertonik-dextran telah direkomendasi untuk resusitasi awal tetapi sejauh ini belum ada dasar yang pasti akan manfaatnya. Selain itu Crosby (2009) menyebutkan, larutan hipertonik - dextran sangat efektif sebagai standar resusitasi cairan pada penanganan prehospital dan mungkin lebih efektif pada peningkatan parameter fisiologis tetapi efeknya sangat sedikit pada kelangsungan hidup pasien. Tahap awal, bolus cairan hangat diberikan secepatanya. Dosis umumnya diberikan 1 hingga 2 liter untuk dewasa dan 20 ml/kg untuk anak-anak. Perhitungan kasar pemberian kristaloid dikenal dengan hukum 3 untuk 1 dimana diartikan dengan 1 ml darah yang hilang digantikan dengan 3 ml cairan kristaloid. Jumlah darah dan cairan resusitasi sulit diprediksi dalam evaluasi awal pasien. Adapun panduan dalam menentukan jumlah cairan dan darah yang hilang sebagai berikut: Tabel 2.3 Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah KELAS I KELAS II Sampai Kehilangan darah (ml) 750-1500 750 Kehilangan darah (% Sampai 15%-30% volume darah) 15% Denyut nadi <100 >100 Normal Normal Tekanan darah Tekanan nadi (mmHg) Frekuensi pernafasan Produksi urin (ml/jam) CNS/ status mental Penggantian cairan
Normal atau naik 14-20 >30 Sedikit cemas Kristaloid
KELAS III
KELAS IV
1500-2000
>2000
30%40%
>40%
>120
>140
Menurun
Menurun
Menurun
Menurun
Menurun
20-30 20-30 Agak cemas
30-40 5-15 Cemas, bingung Kristaloid dan darah
>35 Tidak berarti Bingung, lesu (lethargic) Kristaloid dan darah
Kristaloid
( Sumber: American College of Surgeons, 2008).
2. 3. 3 Evaluasi Setelah Tindakan Resusitasi Pulihnya tekanan darah, tekanan nadi, dan denyut nadi merupakan tandatanda yang mendukung perfusi organ menjadi normal. Namun, pengamatan
Universitas Sumatera Utara
19
tersebut belum memberikan informasi tentang perfusi organ. Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif dari perfusi ginjal, jumlah produksi urin yang normal umumnya menandakan aliran darah ke ginjal yang adekuat, bila tidak dipengaruhi oleh obat-obat diuretik (American College of Surgeons, 2008).
Universitas Sumatera Utara