BAB II TINJAUAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Pada Bab II ini, penulis mendeskripsikan secara khusus keberadaan masyarakat Jawa di Desa Bangko Lestari secara detail, sebagai masyarakat pendukung seni pertunjukan reog yang ada di Riau terutama kaitan sosial dan budaya dengan
keberadaan Grup Reog Sri Karya Manunggal. Deskripsi ini
memakai pendekatan etnografi yang lazim digunakan dalam disiplin antropologi. Namun demikian terlebih dahulu akan dibahas mengenai identitas atau jati diri yang akan dikaitkan dengan situasi kebudayaan yang ―didatangi‖ oleh para migran Jawa. Seperti diketahui bahwa Riau dan beberapa tempat lainnya di Pulau Sumatera
seperti
Langklat,
Deli,
Serdang
bedagai,
Batubara,
Asahan,
Labuhanbatu, Tamiang, Jambi, Sumatera Selatan, bangka Belitung, sampai ke Lampung merupakan wilayah kebudayaan masyarakat Melayu. Oleh karena itu dideskripsikan pula secara singkat mengenai etnografi masyarakat Melayu Riau dan interaksinya dengan masyarakat Jawa. Selanjutnya penulis uraikan pula sejauh apa identitas kebudayaan Melayu ini berinteraksi dengan kebudayaan Jawa di Riau secara umum, dan di lokasi penelitian secara khusus. Oleh karena itu terlebih dahulu diuraikan keberadaan kebudayaan Melayu Riau.
2.1 Riau sebagai Wilayah Budaya Melayu dan Penerimaan Etnik Jawa Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang terdapat di gugusan pulau Sumatera, Indonesia. Provinsi Riau dikenal sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia karena memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti 36
Universitas Sumatera Utara
minyak bumi dan hasil hutannya. Selain kaya akan sumber daya alam dan hasil hutan, Provinsi Riau juga kaya akan budaya dan tradisi baik lisan maupun tulisan. Provinsi Riau merupakan pusat kebudayaan dan tradisi Melayu. Anggapan tersebut didukung oleh fakta bahwa di kawasan ini sampai sekarang masih ada sejumlah suku asli atau yang lebih terkenal dengan sebutan suku terasing, yaitu, suku Sakai, suku Bonai, suku Talangmamak, suku Kubu, suku Hutan dan suku Petalangan yang mendiami daratan di Riau. Kemudian ada suku Laut atau suku Akit yang mendiami kawasan Kepulauan Riau. Di kawasan Riau juga terdapat masyarakat adat seperti rantau nan kurang oso duo puluo di Kuantan, masyarakat limo koto dan tigo boleh koto di Kampar, dan lain-lain. Sejumlah peninggalan sejarah (candi dan artefak lainnya) yang ditemukan memberi petunjuk pula tentang kewujudan kebudayaan dan peradaban kuno dikawasan Riau, mulai dari pra-sejarah hingga ke periode Hindu dan Budha. Beberapa kajian ilmiah bahkan menyatakan bahwa imperium Sriwijaya pun pernah bertapak di kawasan ini. Di pinggir empat sungai besar dan anak-anak sungainya yang membelah kawasan ini selama berabad-abad pernah bertapak sejumlah kerajaan, seperti Gasib (kemudian Siak Sri Inderapura), Kampar (dan Pelalawan dan Gunung Sahilan), Rokan (dan Kunto Darussalam, Tambusai, Rambah serta Kepenuhan), dan kerajaan Keritang, Inderagiri, serta Kandis (Raahman, 2009). Secara umum wilayah Riau baik itu Riau daratan maupun kepulauan adalah sebagai wilayah budaya Melayu. Dengan demikian, kebudayaan setempat adalah kebudayaan Melayu. Masyarakat Melayu Riau menganggap dirinya sebagai bahagian dari masyarakat Dunia Melayu, yang meliputi kawasan-kawasan 37
Universitas Sumatera Utara
Indonesia, Singapura, Brunai Darussalam, Thailan Selatan, dan sekitarnya. Masyarakat Melayu di Riau mendasarkan kebudayaannya pada adat Melayu. Mereka menyebutnya dalam konsep adat bersendikan syarak—syarak bersendikan kitabullah. Artinya bahwa kebudayaan Melayu berdasarkan kepada ajaran-ajaran agama Islam. Ajaran Islam itu sendinya adalah hukum (syarak), kemudian hukum Islam ini berasas kepada Kitab Suci Al-Qur’an, termasuk juga hadits. Selain itu, identitas Melayu juga tidak lepas dari dasar yang mereka sepakati yaitu, orang Melayu adalah orang yang beragama Islam, memakai adat Melayu, berbahasa Melayu, dan memenuhi berbagai syarat-syarat tempatan. Selanjutnya orang Melayu juga sangat terbuka menerima etnik-etnik lain untuk datang, menetap, dan menjadi orang Riau, sesuai dengan konsep identitas Melayu yang universal, seperti dalam ungkapan adat: Ketuku batang ketakal, Kedua batang keladi mayang, Sesuku kita seasal, Senenek kita semoyang.1 Nilai ini mengajarkan orang untuk merasa seasal dan seketurunan, yaitu sama-sama keturunan Adam dan Hawa. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, menyadarkan seseorang akan nenek moyangnya yang sama, yakni berasal dari rumpun Melayu yang satu. Nilai ini mampu menumbuhkan rasa kekeluargaan dalam arti yang seluas-luasnya. Nilai ini menyebabkan setiap individu dan
1
Data ungakapan Melayu ini diperoleh dari tokoh adat Melayu Riau, yaitu Bapak Tenas Effendi di Pekanbaru, Januari 2011. 38
Universitas Sumatera Utara
kelompok maupun puak untuk berpikir jernih menjaga tali keturunan yang seasal tersebut, sehingga mereka terhindar dari perpecahan dan disintegrasi sosial. Dengan konsep-konsep kebudayaan seperti terurai di atas, maka orangorang melayu Riau sangat terbuka untuk menerima orang-orang di luar Riau untuk menjadi anggota warganya di Riau. Apalagi orang-orang yang datang itu seiman pula, yaitu beragama Islam, maka lebih mudah lagi mereka menerimanya. Bagi orang Melayu Riau, orang jawa yang datang ke kawasan ini dipandang sebagai kawan seiman dan juga satu rumpun. Selain itu, orang-orang Riau juga memandang bahwa orang-orang Jawa yang migrasi ke kawasan mereka adalah aset untuk membangun daerah Riau. Bukti penerimaan orang Jawa sebagai warga Riau itu, di antaranya adalah pernah orang Jawa menjabat gubernur Riau, di antaranya adalah Soeripto dan Imam Munandar. Demikian pula gubernur Bangka dan belitung juga pernah dipimpin orang melayu keturunan Jawa. Demikian juga di tempat-tempat lainnya di Dunia Melayu.
2.2 Kesenian Melayu Riau sebagai Identitas Budaya Kesenian Melayu sebagaimana halnya kesenian Jawa adalah menjadi salah satu identitas kebudayaan. Kesenian Melayu ini, termasuk di Riau memiliki ciriciri yang khas secara struktural dan fungsional, namun di dalamnya terkandung kearifan-kearifan lokal Melayu dan juga kebijakan budaya yang universal. Berikut ini adalah uraian mengenai kesenian (musik dan tari Melayu). Dalam kaitannya dengan budaya musik Melayu, menurut seorang pengamat seni dari Malaysia, Hamzah (1974) perkembangan musik Melayu dapat diklasifikasikan kepada sembilan bentuk, yaitu: (1) musik tradisional Melayu; (2) 39
Universitas Sumatera Utara
musik pengaruh India, Persia, dan Thailand atau Siam, seperti: nobat, menhora, makyong, dan rodat; (3) musik pengaruh Arab seperti: gambus, kasidah, ghazal, zapin, dan hadrah; (4) nyanyian anak-anak; (5) musik vokal (lagu) yang berirama lembut seperti Tudung Periuk, Damak, Dondang Sayang, dan ronggeng atau joget; (6) keroncong dan stambul yang tumbuh dan berkembang awalnya di Indonesia; (7) lagu-lagu langgam; (8) lagu-lagu patriotik tentang tanah air, kegagahan, dan keberanian; (9) lagu-lagu ultramodern yang kuat dipengaruhi budaya Barat. Sebenarnya pembagian musik Melayu itu di atas secara umum hanya terbagi dua bagian saja yaitu musik tradisional dan musik modern. Empat jenis yang pertama adalah musik tradisional dan empat jenis yang kedua adalah musik modern. Namun demikian, adakalanya kita sulit memasukkan satu jenis musik ke dalam dua kategori besar itu, karena asal-usulnya tidak dapat dilacak lagi. Namun tujuan kategorisasi ini dilakukan supaya kita mudah melihat jenis musik dalam konteks budaya Melayu. Berdasarkan aspek fungsional, maka nyanyian (lagu) hiburan sambil kerja (working song) atau dalam konteks bekerja juga terdapat dalam kebudayaan Melayu. Musik seperti ini biasanya dilakukan dalam rangka bercocok tanam, bekerja menyiangi gulma, menuai benih, mengirik padi, menumbuk padi, sampai menumbuk emping. Begitu juga dengan nyanyian sambil bekerja di laut, yang dikenal dengan sinandung nelayan atau sinandung si air dan gubang yang dijumpai di kawasan Batubara, Asahan, dan Labuhanbatu. Sebagai masyarakat yang egaliter, terbuka menerima pengaruh luar, maka akulturasi dengan kebudayaan luar menjadi sebuah fenomena yang menarik dalam 40
Universitas Sumatera Utara
budaya Melayu. Dalam musik tradisional Melayu, berbagai unsur musik asing mempengaruhi perkembangannya baik dari alat-alat musik maupun nyanyian. Pengaruh itu misalnya dari India, Tiongkok, Timur Tengah, dan Barat. Unsurunsur musik yang datang dari Indonesia juga memiliki peran strategis dalam perkembangan musik Melayu di Malaysia, misalnya musik gamelan, angklung, talempong, dan lainnya. Berbagai musik yang terdapat di Sumatera dan Jawa juga terdapat di Semenanjung Malaysia, seperti gambus, keroncong, kecapi, ronggeng, dan sebagainya. Seterusnya hubungan kultural antara rakyat yang diperintah dan golongan yang memerintah juga terekspresi dalam seni musik. Nobat merupakan ensambel musik yang menjadi lambang kebesaran negara, dan berhubungan dengan struktur sosial masyarakat. Secara etnomusikologis, nobat diperkirakan berasal dari Persia (Iran sekarang). Perkataan nobat berasal dari akar kata naba (pertabalan), naubat berarti sembilan alat musik. Kata ini kemudian diserap menjadi salah satu upacara penobatan raja-raja Melayu. Nobat yang dipercayai berdaulat telah diinstitusikan sejak zaman Kesultanan Melayu Melaka pada abad kelima belas. Ensambel musik ini biasanya memainkan berbagai jenis lagu yang khas dan orang yang memainkannya dihidupi oleh kerajaan dan disebut dengan orang kalur (kalau). Alat-alat musik nobat dipercayai mempunyai daya magis tertentu, dan tak semua orang dapat menyentuhnya. Nobat menjadi musik istiadat (upacara) di istanaistana Melayu Patani, Melaka, Kedah, Perak, Johor, Selangor, Terengganu, Riau, Lingga, Deli, Serdang, dan lain-lainnya. Alat-alat musik nobat yang menjadi dasar dalam kesatuan ensambelnya adalah: gendang, nafiri, dan gong. Selain itu, serunai, nobat besar dan kecil, dan gendang nekara juga dipergunakan. 41
Universitas Sumatera Utara
Hubungan kultural antara kesenian Jawa dan Melayu di antaranya dapat dilacak melalui keberadaan ensambel gamelan di istana-istana Melayu. Ensambel gamelan yang berasal dari Tanah Jawa, juga menjadi bagian dari musik istana pada kesultanan-kesultanan Melayu. Pada akhir abad kesembilan belas, sudah terdapat kelompok musik gamelan diraja di istana Sultan Riau-Lingga dan Pahang. Joget gamelan Lingga tidak mempunyai pelindung ketika Sultan Lingga terakhir turun takhta dan pindah ke Singapura tahun 1912. Namun ketika Sultan Ahmad dari Pahang wafat tahun 1914, putrinya Tengku Mariam yang kawin dengan Sultan Sulaiman dari Terengganu, membawa musik gamelan ke Terengganu dan dinamakan gamelan diraja Terengganu (Takari dan Dewi, 2008). Selain itu, di dalam budaya Melayu dikenal pula ensambel makyong yang mengiringi teater makyong. Alat-alat musik yang dipergunakan adalah rebab, gendang anak, gendang ibu, gong ibu, gong anak, dan serunai. Dalam pertunjukannya, makyong mempergunakan unsur-unsur ritual. Teater ini memiliki lebih dari 100 cerita dan 64 jenis alat musik, dan 20 lagu. Di antara lagu-lagu makyong yang terkenal adalah Pak Yong Muda, Kijang Mas, Sedayung, Buluh Seruan, Cagok Manis, Pandan Wangi, dan lainnya (Nasaruddin, 2000). Wayang kulit juga memiliki unsur-unsur musik tersendiri, menjadi suatu bentuk seni pertunjukan untuk masyarakat umum. Di antara lagu-lagu dalam wayang kulit Melayu yang terkenal adalah lagu Bertabuh yang menjadi lagu pembuka pertunjukan. Selain itu lagu Seri Rama, Rahwana Berjalan, Maha Risi, Pak Dogol, dan lainnya. Pada genre pertunjukan main puteri (boneka yang diisi roh) tampak adanya
unsur
magis
yang dipandu
oleh
dukun
(bomoh).
Genre
ini
42
Universitas Sumatera Utara
mengekspresikan kepercayaan masyarakat Melayu kepada alam-alam ghaib, namun disesuaikan dengan asas ajaran-ajaran agama Islam. Pada genre hadrah, marhaban, zikir, tampak pengaruh yang diserap dari Timur Tengah. Pada genre-genre ini aspek ajaran-ajaran agama Islam muncul. Biasanya alat musik yang menjadi dasarnya adalah jenis rebana. Genre musik seperti ini memainkan peran penting dalam berbagai aktivitas sosial seperti upacara perkawinan, khitanan, dan khatam Al-Qur’an. Di dalam kebudayaan Melayu, di Semenanjung Tanah Melayu terdapat pula boria adalah sebuah genre musik dan tari yang diperkirakan berkembang dan berasal dari Pulaupinang. Pertunjukan boria umumnya dilakukan pada awal (tanggal 1 sampai 10) bulan Muharram setiap tahun. Pada saat itu setiap kumpulan boria pergi ke suatu tempat yang dianggap dan diasosiaasikan sebagai Padang Karbala, dan sebagai tempat penolak bala. Genre musik dan tarian ini berhubungan dengan kelompok muslim dari Persia untuk memperingati kemenangan mereka dalam perang bersama dengan Hassan dan Hussein cucu Nabi Muhammad, selepas era khulafaur rasyiddin. Secara historis, boria ini masuk ke dalam kebudayaan Melayu bersama kedatangan orang-orang Hindustani pada saat Pulaupinang dibuka oleh Inggris. Pengaruh musikal Hindustani lainnya dalam kebudayaan Melayu terdapat pada genre ghazal. Pertunjukan ghazal adalah satu genre musik Melayu yang kuat dipengaruhi budaya musik Hindustani. Di dalamnya terdapat alat musik sarenggi, sitar, harmonium, dan tabla. Orang-orang Melayu menerima musik ini karena berkaitan erat dengan fungsi keagamaan, lagu-lagunya sebagian besar memuji Allah dan Nabi Muhammad. Alat-alat musik Hindustan seperti harmonium dan 43
Universitas Sumatera Utara
tabla tetap dipergunakan. Di sisi lain, alat musik sarenggi digantikan biola; dan sitar digantikan gambus, dan ditambah gitar. Genre keroncong tumbuh dan berkembang di dalam kebudayaan Melayu di Semenanjung Tanah Melayu, yang sangat kuat dipengaruhi oleh tradisi keroncong di Indonesia. Awalnya keroncong muncul di daerah Tugu Jakarta, yang merupakan musik paduan antara budaya setempat dengan Portugis. Genre musik ini menggunakan alat-alat musik Barat, seperti: biola, ukulele, cuk, bas akustik, drum trap set, dan lainnya dengan gaya melismatik dan up beat yang menghentak-hentak. Lagu-lagu seperti Bengawan Solo, Keroncong Moresko, Sepasang Mata Bola, Jembatan Merah, merupakan contoh-contoh lagu keroncong yang populer di Alam Melayu.2 Komedi stambul adalah genre seni hasil pertemuan (akulturasi) antara budaya Melayu Semenanjung Malaysia dengan Melayu di Indonesia yang berasaskan cerita Arabian Nights atau ceritas seribu satu malam. Genre musik ini menggabungkan unsur-unsur musik Barat dan Asia yang menyebabkan dapat menarik minat segenap lapisan masyarakat. Pengaruh musik dari Timur Tengah dalam kebudayaan Melayu adalah gambus atau zapin. Musik Barat populer sejak etnik Melayu berinterkasi dengan budaya Barat yaitu sejak awal abad keenam belas. Masyarakat Melayu menyerap genre-genre musik dan tari seperti: fokstrot, rumba, tanggo, mambo, samba, beguin, hawaian, wals, suing, blues, bolero, dan sebagainya. Rentak jazz dan swing juga sangat
2
Di Johor Malaysia seni keroncong ini menjadi salah satu materi siaran setiap malam di radio-radio di kawasan tersebut. Realitas sosial ini dilatarbelakangi oleh kecintaan Sultan Johor kepada musik keroncong. 44
Universitas Sumatera Utara
populer dalam lagu-lagu Melayu. Genre-genre seperti ini lazim dipertunjukkan dalam seni ronggeng atau joget Melayu. Genre musik lainnya, yang menjadi kajian dalam buku ini adalah ronggeng atau joget. Musik ini adalah hasil akulturasi antara musik Portugis dengan musik Melayu. Di Sumatera Utara genre ini juga mengambil unsur-unsur musik etnik, seperti Karo, Batak Toba, Simalungun, Minangkabau, Jawa, Banjar, dan lain-lain. Musik ronggeng terdapat di kawasan yang luas di Dunia Melayu. Genre musik dan tari ronggeng adalah seni pertunjukan hiburan yang melibatkan penonton yang menari bersama ronggeng yang dibayar melalui kupon atau tiket dengan harga tertentu. Tari dan musik ronggeng termasuk ke dalam tari sosial, yang lebih banyak melibatkan perkenalan antara berbagai etnik, bangsa, dan ras. Di dalam seni ronggeng juga terdapat unsur berbagai budaya menjadi satu. Hingga sekarang seni ini tumbuh dan berkembang dengan dukungan yang kuat oleh masyarakat Melayu, walau awalnya dipandang rendah. Dikaji dari aspek historis, maka musik Melayu (termasuk di Riau) dapat diklasifikasikan kepada masa-masa: Pra Islam; Islam, dan Globalisasi. Untuk masa Pra-Islam terdiri dari masa: animisme, Hindu, dan Budha. Masa Pra-Islam yang terdiri dari lagu anak-anak: lagu membuai anak atau dodo sidodoi; si la laule; dan lagu timang. Lagu permainan anak yang terkenal tamtambuku. Musik yang berhubungan dengan memanen padi; lagu mengirik padi atau ahoi, lagu menumbuk padi, dan lagu menumbung emping. Musik yang bersifat animisme terdiri dari: dedeng ambil madu lebah (nyanyian pawang mengambil madu lebah secara ritual), lagu memanggil angin atau sinandong nelayan (nyanyian nelayan ketika mengalami mati angin di tengah lautan), lagu lukah menari (mengiringi 45
Universitas Sumatera Utara
nelayan menjala ikan), dan lagu puaka (lagu memuja penguasa ghaib tetapi pada masa sekarang telah diislamisasi). Selain itu dijumpai juga lagu-lagu hikayat, yang umum disebut syair.3 Terdapat juga musik hiburan: dedeng, gambang, musik pengiring silat, musik tari piring/lilin/inai. Pada masa Islam, ―musik-musik‖ pada masa ini di antaranya adalah azan (seruan untuk shalat), takbir (nyanyian keagamaan yang dipertunjukkan pada saat Idul Fitri dan Idul Adha), qasidah (musik pujian kepada Nabi), marhaban dan barzanji (musik yang teksnya berdasar kepada Kitab Al-Barzanji4 karangan Syech Ahmad Al-Barzanji abad kelima belas). Di samping itu dijumpai pula barodah (seni nyanyian diiringi gendang rebana dalam bentuk pujian kepada Nabi), hadrah (seni musik dan tari sebagai salah satu seni dakwah Islam, awalnya adalah seni kaum sufi), gambus/zapin (musik dan tari dalam irama zapin yang selalu dipergunakan dalam acara perkawinan),
dabus (musik dan tari
yang
memperlihatkan kekebalan penari atau pemain dabus terhadap benda-benda tajam atas ridha Allah), dan syair (nyanyian yang berdasar kepada konsep syair yaitu teks puisi keagamaan) dan lain-lain. Pada masa pengaruh Barat, terdapat musik dondang sayang (musik dalam tempo asli, satu siklus ritme dalam 8 ketukan dasar, iramanya lambat yang awalnya adalah untuk menidurkan anak, dan kemudian menjadi satu genre yang 3
Syair adalah satu jenis sastra dalam kebudayaan Melayu, yang tumbuh dan berkembang dari proses inovasi dari dalam kebudayaan Melayu, walaupun istilahnya sendiri diadopsi dari budaya Arab dan Persia, namun bentuk, norma, isi, dan fungsinya khas Melayu. Syair ini biasanya disajikan menggunakan melodi, meggunakan rima, berbentuk naratif dan non-naratif. Perbedaan utama syair dengan pantun adalah di dalam syair tidak digunakan sampiran dan isi, yang ini menjadi dasar utama dalam pantun. 4 Kitab Al-Barzanji digubah oleh seorang ulama yang bernama Sheikh Ahmad Al-Barzanji. Diperkirakan kitab ini ditulisnya pada abad kelima belas. Secara umum Kitab Al-Barzaji ini berupa riwayat tentang Nabi Muhammad SAW. Isinya berupa syair-syair yang sangat memperhatikan keterkaitan baris, dikumpulkan dalam bait demi bait. Demikian pula diksi-diksinya yang syarat dengan aspek estetis, puitis, dan makna-maknanya yang religius. 46
Universitas Sumatera Utara
terkenal, terutama di Melaka dan Riau). Selanjutnya ronggeng dan joget (tari dan musik sosial yang mengadopsi berbagai unsur tari dan musik dunia, dengan rentak inang, joget, dan asli), pop Melayu (yaitu lagu-lagu Melayu yang digarap berdasarkan gaya musik kontemporer Barat). Pengaruh Barat ini dapat dilihat dengan didirikannya kumpulan-kumpulan kombo atau band yang terkenal di antaranya band Serdang dan Langkat di Sumatera Timur. Dengan demikian, genre musik Melayu sebenarnya adalah mencerminkan aspek-aspek inovasi seniman dan masyarakat Melayu ditambah dengan akulturasi secara kreatif dengan budaya-budaya yang datang dari luar. Masyarakat Melayu sangat menghargai aspek-aspek universal (seperti yang dianjurkan dalam Islam), dalam mengisi kehidupannya. Demikian sekilas budaya musik Melayu, termasuk di Riau. Selanjutnya adalah tari-tarian Melayu yang juga mencerminkan identitas Melayu. Seni tari dalam kebudayaan Melayu mencakup ide, aktivitas, maupun artefak. Seni tari mengekspresikan kebudayaan secara umum. Seni tari juga mengikuti norma-norma yang digariskan oleh adat Melayu. Berbagai gerak mencerminkan halusnya budi orang-orang Melayu, yang menjadi bagian integral dari diri sendiri maupun alam sekitar, seperti yang tercermin dalam ungkapan Melayu: ―Kembali ke alam semula jadi.‖ Hal ini dapat ditelusuri melalui konsepkonsep tari dalam budaya Melayu. Konsep tari dalam budaya Melayu biasanya diungkapkan melalui beberapa istilah yang mengandung makna denotasi atau konotasi tertentu. Menurut Sheppard (1972) konsep tentang tari dalam budaya Melayu, diwakili oleh empat terminologi yang memiliki arti yang bernuansa, yaitu: tandak, igal, liok, dan tari, 47
Universitas Sumatera Utara
perbedaan maknanya ditentukan oleh dua faktor, yaitu: (1) penekanan gerak yang dilakukan anggota tubuh penari dan (2) tekniknya. Tandak selalu dikaitkan dengan gerakan langkah yang dilakukan oleh kaki; igal gerakan yang secara umum dilakukan
oleh tubuh (terutama pinggul); liok atau liuk teknik
menggerakkan badan ke bawah dan biasanya sambil miring ke kiri atau ke kanan, gerakan ini sering juga disebut dengan melayah; dan tari selalu dikaitkan dengan gerakan tangan, lengan, dan jari-jemari dengan teknik lemah gemulai. Selaras dengan pendapat Sheppard yang banyak mengkaji keberadaan tari di Semenanjung Malaysia, Tengku Lah Husni (1986) dari Sumatera Utara, mengemukakan bahwa secara taksonomis, tari Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga konsep gerak: (1) tari, yaitu gerak yang dilakukan oleh lengan dan jari tangan; (2) tandak, yaitu gerak yang dilakukan oleh wajah, leher, lengan, jari tangan, dan kaki; dan (3) lenggang yang berupa gerakan lenggok atau liuk pinggang dan badan yang disertai ayunan tangan dan jari. Dari tiga istilah yang lazim digunakan dalam budaya tari Melayu di atas, sebenarnya memiliki makna-makna yang sama, yaitu berupa gerak badan manusia yang disertai dengan keindahan. Ketiganya dibedakan oleh tumpuan gerak bahagian tubuh tertentu saja. Yang paling banyak mewakili bahagian tubuh yang bergerak adalah tandak yang mencakup gerak wajah, leher, jari tangan, dan kaki. Istilah lenggang menekankan perhatian pada gerak yang dilakukan oleh lenggang atau liuk pinggang dan badan yang disertai pula dengan ayunan tangan dan jari. Sementara istilah tari menumpukan perhatian kepada gerak tangan dan jari tangan. Namun demikian, dalam budaya tari Melayu, kata tarilah yang paling 48
Universitas Sumatera Utara
sering dan lazim digunakan. Kata ini kemudian meluas maknanya sebagai seni tari secara keseluruhan yang mencakup semua motif gerak, genre tari, ekspresi tari, dan lain-lainnya. Lebih jauh lagi, menurut
Goldsworthy (1979)
tari-tarian Melayu
didasarkan kepada adat-sitiadat, dan dibatasi oleh pantangan adat. Para penari wanita disarankan untuk menjaga kehormatan dan harga dirinya. Mereka tidak diperkenankan mengangkat tangan melebihi bahunya, dan tidak diperkenankan menampakkan giginya pada saat menari. Mereka tidak boleh menggoyanggoyangkan pinggulnya, kecuali dalam pertunjukan joget. Para penari wanita sebagian besar mengutamakan sopan-santun, tidak menantang pandangan penari mitra prianya. Penari wanita mengekspresikan sikap jinak-jinak merpati atau malu-malu kucing. Penari wanita gerakan-gerakannya menghindari penari pria. Tari-tarian Melayu menurut Sheppard dapat diklasifikasikan ke dalam enam kelompok, yaitu: (1) Tari ashek yang sangat terkenal, (2) Tari yang terdapat dalam drama tari makyong dengan pola lantai berbentuk lingkaran dan gerakan tarinya yang lambat, (3)Tarian yang selalu dikaitkan dengan panen padi atau panen hasil pertanian lainnya yang sifatnya adalah musiman. Jenis tarian yang ketiga ini populer hampir di seluruh Semenanjung Malaysia, tetapi sekarang hanya mampu bertahan di bagian utara kawasan ini saja. (4) Ronggeng, yaitu tarian yang awalnya dari Melaka pada abad ke-16, yang kemudian menyebar dan populer di mana-mana. Tari ini diperkirakan berkembang selama pendudukan Portugis di Melaka, dan strukturnya 49
Universitas Sumatera Utara
memperlihatkan pengaruh budaya Portugis, yang dapat bertahan terus selama lebih dari empat abad. Tari ini disebut juga sebagai tari nasional Malaysia. (5)Tari-tarian yang berasal dari Arab, yaitu zapin, rodat, samrah, sulalah, hadrah, marawis, dan lainnya yang diperkenalkan oleh orang-orang Arab. (6) Tari yang awalnya berkembang di Perlis tahun 1945, yang kemudian menyebar ke seluruh Semenanjung Malaysia. Tari ini disajikan oleh sekelompok penari dengan iringan musik khusus (Sheppard, 1972:82-83).
2.3 Interaksi Budaya Jawa dan Melayu di Riau Dengan melihat keberadan kesenian Melayu secara luas di Alam Melayu tersebut di atas, termasuk di Riau, jelas tergambar bahwa budaya Melayu sejak awal mengalami proses interaksi dengan kebudayaan Jawa. Dalam hal ini, bagi masyarakat Melayu interaksi terjadi dalam dua arah, dan bukan hubungan antara budaya dominan dan resesif. Dalam sejarah pula diketahui adanya hubungan antara peradaban Melayu (Sriwijaya) dengan Jawa (Majapahit). Kedua kerajaan besar Nusantara ini saling bertukar kebudayaan, bahkan sampai juga ke hubungan perkawinan antara kerabat kerajaannya. Selain dalam kesenian, yang paling terlihat interaksi itu adalah pada bahasa. Seperti diketahui bahwa bahasa Melayu adalah bahasa pengantar (lingua franca) berbagai kebudayaan yang ada di Nusantara. Demikian pula dalam masyarakat Jawa sendiri ketika mereka berinteraksi dengan berbagai etnik lainnya di Nusantara yaitu menggunakan bahasa Melayu(kini bahasa Indonesia). Termasuk juga interaksi orang-orang Jawa dengan tetangga-tetangga Melayu mereka. 50
Universitas Sumatera Utara
Dalam pengamatan penulis di lapangan, interaksi antara kebudayaan Jawa dengan Melayu di Riau ini dapat dilihat dari digunakannya berbagai unsur budaya Melayu dalam kebudayaan Jawa di Riau. Di antaranya adalah penggunaan ramuan tepung tawar ketika dilakukannya upacara perkawinan adat Jawa. Demikian juga pelaminan bergaya Melayu kadangkala digunakan masyarakat jawa dalam upacara adat perkawinan atau khitanan. Di dalam kesenian reog di Riau ini, penulis melihat bahwa yang menanggapreogbukan hanya orang-orang Jawa di Riau saja tetapi ada pula di antara orang-orang melayu yang menanggap kesenian reogyang digunakan sebagai hiburan maupun ruwatan.
2.4 Suku Jawa di Desa Bangko Lestari, Provinsi Riau Riau merupakan propinsi yang awalnya merupakan daerah budaya dan dihuni oleh mayoritas suku Melayu. Selain suku Melayu terdapat juga suku Jawa yang bermigrasi5 di Riau. Di Indonesia sendiri selain di Pulau Jawa, suku Jawa ini tersebar ke berbagai kawasan, dengan tujuan meningkatkan taraf hidup melalui transmigrasi yang dilakukan sejak zaman Belanda sampai sekarang. Masyarakat Jawa dari JawaTimur merupakan salah satu kelompok etnik pendatang yang ada di Indonesia di antaranya berdiam di Desa Bangko Lestari, Propinsi Riau.
5
Patersen mendefinisikan migrasi sebagai perpindahan seseorang yang relatif permanen dalam jarak yang cukup bererti. Namun definisi ini tidak dapat dipastikan, dan sifatnya relatif. Misalnya seberapa permanenkah atau berapa jauhkan jarak perpindahan tersebut. Harus dilihat kasus per kasus. Misalnya sesorang yang pidah ke negara lain untuk menghabiskan sisa hidupnya, ini dapat dikategorikan sebagai migrasi. Contoh lain seseorang yang pergi ke sebuah kota yang dekat dengan kotanya, tetapi berada di negara lain, hanya untuk berjalanjalan selama dua jam, tidak dapat dikategorikan sebagi migrasi. Lihat, William Patersen (1995:286). 51
Universitas Sumatera Utara
Pada masa kini, perpindahan orang Jawa dilaksanakan dalam rangka kebijakan transmigrasi yang disponsori oleh pemerintah.Transmigrasi ini dilakukan karena alasan pemerataan penduduk dan padatnya penduduk di pulau Jawa, kekurangan lahan pertanian, dan kemiskinan di pedesaan Jawa pada umumnya. Orang Jawa pada hakekatnya mempunyai watak yang senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan orang di lingkungannya, dan mementingkan keharmonisan. Mereka mengatasi ego dan nafsu demi ketenangan hidup dan kebijaksanaan, dan sukarela bekerja untuk umum dengan cara gotong-royong. Para migran orang Jawa yang umumnya terdiri dari petani kecil hidup sederhana, dan menerima kesengsaraan dengan menganggap hidupnya memang begitu. Namun tak lupa mempertahankan nama dan harga dirinya (Sadarmo dan R. Suyono 1985:2). Orang
Jawa
yang
tinggal
di
Riau,
selain
bermigrasi
juga
membawakesenian-keseniannya.Mereka melestarikan budayanya dengan cara memperke-nalkan kesenian tradisional mereka kepada masyarakat yang ada di Riau. Diantara kesenian tersebut yang hingga sekarang masih dijalani yaitu kesenian reog yang ada di desa-desa termasuk desa Bangko Lestari. Dahulu Kepenghuluan Bangko lestari merupakan Pemekaran dari Kepenghuluan Bangko Sempurna yang berdiri sejak Tahun 1996 dan kemudian dimekarkan menjadi Kepenghuluan Bangko Lestari pada tahun 2012.
52
Universitas Sumatera Utara
Peta 2.1: Provinsi Riau
Peta 2.2: Kecamatan Bangko Pusako Peta tersebut di atas menunjukkan lokasi penelitian yaitu Kecamatan Bangko Pusako yang di dalamnya terdapat desa Bangko Lestari yang sudah terjadi pemekaran pada desa tersebut. Hal ini sesuai dengan konteks pemekaran dalam era reformasi yang terjadi mulai dari 1998.Pada waktu pemekaran Kepenghuluan 53
Universitas Sumatera Utara
Bangko Lestari terbagi menjadi 11 (sebelas) Rukun Warga dan memiliki 26 ( dua puluh enam ) Rukun Tetangga dan dibagi menjadi 5 (lima ) Dusun. Adapun Penghulu yang Menjabat dari waktu kewaktu yaitu sebagai berikut: Tahun Nama Penghulu
Keterangan Menjabat
Maruddin Limbong
1996-1997
Desa
Persiapan
Bangko
Sempurna Maruddin Limbong
1997-2002
Desa Bangko Sempurna
Sariyem, S.Pd.I
2002-2012
Desa Bangko Sempurna
Lilik Awaluddin
2012-sekarang
Desa Bangko Lestari
Tabel 2.1: Penghulu Desa Bangko Lestari Dari Tahun 1996 sampai Sekarang (Sumber: Data Statistik Kantor Kepala Desa Bangko Lestari Tahun 2014)
2.5 Letak Geografis Lokasi Penelitian Desa Bangko Lestari merupakan desa yang terletak di kecamatan Bangko Pusako Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau. Rokan Hilir sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Riau merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Bengkalis, sesuai dengan UU No. 53 tahun 1999. Wilayah Rokan Hilir terletak pada bagian pesisir timur Pulau Sumatera antara 1°14’ sampai 2°30’ LU dan 100°16’ sampai 101°21’ B T. Luas wilayah Rokan Hilir adal ah 8.881.59 km2, Kecamatan Tanah Putih merupakan kecamatan terluas dengan luas 1.933,23 km2 dan kecamatan terkecil adalah Tanah Putih Tanjung Melawan dengan luas 198,39 km2. 54
Universitas Sumatera Utara
Kabupaten Rokan Hilir beriklim tropis dengan rata-rata curah hujan pada tahun 2009 adalah 277,94 mm/tahun, dan temperatur udara berkisar antara 26° sampai 32°C. Musim kemarau di daerah ini umumnya terjadi pada bulan Februari sampai dengan Agustus, sedangkan musim penghujan terjadi pada bulan September sampai dengan Januari dengan jumlah hari hujan tahun 2009 sebanyak 52 hari. Kabupaten Rokan Hilir mengalami pemekaran kecamatan dari lima kecamatan ketika berpisah dari Kabupaten Bengkalis menjadi tiga belas kecamatan hingga tahun 2009 yaitu: Tanah Putih, Pujud, Rantau Kopar, Tanah Putih Tanjung Melawan, Bagan Sinembah, Simpang Kanan, Kubu, Pasir Limau Kapas, Bangko, Sinaboi, Batu Hampar, Rimba Melintang, dan Bangko Pusako. Desa Bangko Lestari yang merupakan lokasi penelitian penulis terletak Kecamatan Bangko Pusako Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau, tepatnya di Jalan Pasar Balak Kilometer 19 Balam. Lokasi tersebut dapat dicapai dari rumah peneliti yang berada di Bagan Batu ke desa tersebut dengan menggunakan sepeda motor selama lebih kurang 30 menit. Kepenghuluan Bangko Lestari termasuk wilayah Kecamatan Bangko Pusako Kabupaten Rokan Hilir dengan luas wilayah 3600 Ha. Secara administratif wilayah Kepenghuluan Bangko Lestari dibatasi oleh wilayah-wilayah berikut: (a) Sebelah Utara
: Desa Teluk Nilap Kecamatan Kubu,
(b) Sebelah Selatan
: Jalan Lintas Riau-Sumatera Utara,
(c) Sebelah Barat
: Desa Balam Sempurna Kecamatan Balai Jaya, dan
(d) Sebelah Timur
: Desa Bangko Bakti Kecamatan Bangko Pusako.
55
Universitas Sumatera Utara
2.6 Keadaan Penduduk 2.6.1 Keadaan Sosial Penduduk Kepenghuluan Bangko Lestari Jumlah penduduk desa Bangko Lestari adalah sebanyak 3971 jiwa yang terdiri laki-laki sebanyak 2077 jiwa dan perempuan sebanyak 1894 jiwa (data kependudukan kantor desa tahun 2014) dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Jumlah
Jumlah
Jumlah Anak
Penduduk
Penduduk
Tidak Sekolah
Miskin
Usia 5 Tahun
446 KK
656 Orang
3971 jiwa 1014 KK 2077 (Laki – Laki) 1894 (Perempuan) Tabel 2.2: Data Penduduk Desa Bangko Lestari Tahun 2014 (Sumber: Data Statistik Kantor Kepala Desa Bangko Lestari Tahun 2014) Dari tabel tersebut di Desa Bangko Lestari dihuni oleh beberapa suku bangsa seperti suku Jawa, suku Melayu, dan suku Batak. Suku Jawa merupakan suku yang paling banyak jumlahnya di Desa tersebut sekitar 60% , suku Melayu 40 % dan suku Batak 10 %. Dan jumlah penduduk miskin yang ada di Desa tersebut sebanyak 446 KK. Penyebab kemiskinan tersebut karena susahnya mendapatkan pekerjaan tetap dan ada juga yang bekerja hanya menjadi tukang panen kelapa sawit milik orang lain dan mendapatkan digaji sesuai pendapatan sawitnya tersebut yang terkadang tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun anggota dari grup Sri Karya Manunggal tersebut berprofesi sebagai petani yang mempunyai lahan sendiri yang ditanami seperti sawit, karet, dan sayur-sayuran sehingga kehidupan mereka bisa terpenuhi.
56
Universitas Sumatera Utara
2.6.2Sarana Pendidikan Penduduk desa Bangko Lestari kebanyakan menyediakan sarana pendididikan di jenjang TK/PAUD/RA, hal ini dapat di lihat pada tabel berikut:
No
1
Jenjang Pendidikan
TK / PAUD / RA
Jumlah
Lokasi
6
Dusun Pelita Jaya, Dusun Maju Jaya, Dusun Antara
2
SD
1
Dusun Bourtrem Jaya
3
SLTP
3
Dusun Bourtrem, Dusun Maju Jaya, Dusun Antara
4
SLTA
1
Dusun Antara
5
Perguruan Tinggi
-
-
Jumlah
11
Tabel 2.3: Sarana Pendidikan di Desa Bangko Lestari (Sumber: Data Statistik Kantor Kepala Desa Bangko Lestari Tahun 2014) Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa pemain dari grup Sri Karya Manunggal ini berada di Dusun Maju Jaya yang hampir lengkap dengan sarana pendidikannya. Pemain atau penari grup Sri karya Manunggal yang masih muda hampir semua dapat menyelesaikan sekolahnya hingga ke jenjang SLTA. Namun Mbah Bolong yang merupakan seniman yang sudah berumur 63 tahun itu hanya menyelesaikan sekolahnya sampai Sekolah Dasar kelas 4 saja.
57
Universitas Sumatera Utara
2.7 Keadaan Pemerintah Kepenghuluan Bangko Lestari 2.7.1 Pembagian Wilayah Kepenghuluan Bangko Lestari Kepenghuluan Bangko Lestari terbagi menjadi 5 ( Lima ) dusun,11 RW, 26 RT dengan rata-rata jumlah Penduduk per dusun 900 Jiwa, dengan perincian sebagai berikut:
Jumlah No
DUSUN RW
RT
Jiwa
1
Dusun Antara
2
5
1006
2
Dusun Maju Jaya
3
6
917
3
Dusun Bourtrem
2
4
953
4
Dusun Bourtrem Jaya
2
5
608
Dusun Pelita Jaya
2
6
1020
JUMLAH
11
26
4504
5
Tabel 2.4: Penduduk Desa Bangko Lestari Setiap Dusun (Sumber: Data Statistik Kantor Kepala Desa Bangko Lestari Tahun 2014) Dari data di tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah KK terbanyak terdapat pada dusun I, para anggota grup kesenian reog ini memiliki tempat tinggal yang berada di dusun Maju Jaya dengan jumlah 917 jiwa. Di dusun ini selain grup kesenian reog ada juga 2 grup kuda kepang yang masih aktif sampai sekarang.
58
Universitas Sumatera Utara
2.8 Kondisi Kepenghuluan Bangko Lestari 2.8.1 Pemanfaatan Lahan Pada umumnya, lahan yang terdapat di Kepenghuluan Bangko Lestari digunakan secara produktif dan hanya sedikit saja yang tidak dipergunakan. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan Kepenghuluan Bangko Lestari memiliki sumber daya alam yang memadai dan siap untuk diolah. Berikut ini luas lahan menurut jenis penggunaannya: No
URAIAN
LUAS
1
Luas Wilayah
3600 Ha
2
Tanah Kering
Ha
3
Tanah Basah
Ha
4
Hutan Rakyat
Ha
5
Hutan Negara
Ha
6
Perkebunan
Ha
7
Fasilitas Umum
Ha
8
Perumahan
Ha
Tabel 2.5: Lahan di Desa Bangko Menurut Jenis Penggunaannya (Sumber : Data Statistik Kantor Kepala Desa Bangko Lestari Tahun 2014) Di Desa Bangko Lestari, tanah basah ditanami sayur-sayuran seperti Bayam, Sawi, terong, cempoka, daun ubi dan juga ditanami tanaman tumpang sari seperti kunyit, kencur, jahe, lengkuas dll. Kebanyakan yang memanfaatkan lahan basah tersebut adalah suku Melayu dan suku Batak. Kemudian tanah perkebunan ditanami kelapa sawit rakyat dan pohon karet. Kebanyakan orang yang berkebun tersebut adalah orang Jawa karena perkebunan kelapa sawit dan karet lebih 59
Universitas Sumatera Utara
berkembang dikelola oleh orang Jawa pendatang seperti anggota dari grup reog Sri Karya Manunggal. Pemukiman penduduk berada di belakang area perkebunan tersebut.
2.9 Sistem Religi dan Kepercayaan Agama Islam adalah agama mayoritas masyarakat Jawa selain Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha serta aliran kepercayaan. Agama Islam yang dianut masyarakat Jawa di Desa Bangko Lestari sudah dianut sejak mereka bermukim di Pulau Jawa, dan diteruskan ke daerah migrasi mereka di Riau. Seiring perkembangan waktu agama Islam orang-orang Jawa yang ada di Riau ini berinteraksi juga dengan agama Islam yang dianut oleh masyarakat Melayu sebagai etnik tempatan dan pendatang lainnya seperti Minangkabau dan Mandailing. Bagaimanapun walau mereka berbeda etnik, namun agama Islam menjadi salah satu unsur integrasi sosioreligius antara etnik-etnik yang beragama Islam ini. Dalam masyarakat Jawa tidak semua orang melakukan ibadahnya sesuai kriteria Islam. Ada tiga tipe kebudayaan orang Jawa yaitu abangan, santri, dan priyai. Pembagian kedalam tiga varian ini, menurut Geertz, merupakan pembagian yang dibuat oleh orang-orang Jawa sendiri.
2.9.1 Tiga Varian Kebudayaan Jawa 2.9.1.1 Golongan Islam Abangan Golongan Islam abangan ini percaya kepada ajaran Islam tetapi tidak secara patuh menjalankan rukun Islam. Tradisi keagamaan abangan, yang 60
Universitas Sumatera Utara
terutama sekali terdiri atas pesta keupacaraan yang disebut slametan, kepercayaan yang luas dan kompleks terhadap makhluk halus serta serangkaian teori dan praktik pengobatan, sihir, serta magi, adalah subvarian pertama dalam sistem keagamaan umum orang Jawa. Slametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacara keagamaan paling umum di dunia, pesta komunal. Sama seperti di hampir semua tempat, ia melambangkan kesatuan mistik dan sosial dari mereka yang ikut serta di dalamnnya. Slametan dapat diadakan untuk merespon nyaris semua kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa, khitanan dan permulaan suatu rapat politik, semuanya bisa menyebabkan adanya slametan. Reog identik dengan golongan abangan yang mempunyai kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus, lewat persembahan sesaji untuk dhanyangan atau roh penunggu, penguasa, atau penjaga sebuah desa. Roh harimau dianggap sebagai roh yang paling kuat dalam menjaga keselamatan. Menurut F. Wilken, kepercayaan manusia terhadap kekuatan roh hewan tersebut tidak lain disebabkan adanya ilmu penitisan. Roh-roh halus tadi dipersonifikasikan sebagai leluhur yang dihormati diberi sesaji. Mahluk halus membuat masyarakat Desa Bangko Lestari mempercayai ada kekuatan lain diluar manusia sehingga dalam mengambil suatu tindakan harus didahului dengan melakukan ritual-ritual, seperti ritual ruwatan rumah.
61
Universitas Sumatera Utara
Pada zaman modern yang serba canggih seperti sekarang ini masyarakat yang ada di desa Bangko Lestari masih mempertahankan budaya lokalnya. Kesenian reog merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat tersebut masih mempertahankan budaya lokalnya. Jika mereka ingin mengadakan acara slametan, maka mereka ―menanggap‖ reog sebagai pelengkap hiburan dan juga dipercaya membawa kebaikan bagi yang ―menanggapnya‖ agar terhindar dari halhal yang buruk. Mayoritas penduduk desa Bangko Lestari adalah pemeluk agam Islam. Di Desa Bangko Lestari ini terdapat beberapa tempat ibadah diantaranya: 7 buah Masjid, 5 buah musollah untuk agama Islam dan 3 buah gereja untuk agama Nasrani. Meskipun penduduk desa Bangko Lestari sudah mengaku sebagai pemeluk agama Islam, namun mereka masih sering melakukan hal-hal lain diluar ajaran agama Islamtersebut. Sampai saat ini mereka juga masih melakukan perbuatan tersebut, yaitu mereka masih saja percaya pada roh nenek moyang, halhal gaib, seperti percaya pada makhluk halus penunggu tempat-tempat keramat. Mereka juga percaya bahwa makhluk gaib atau roh tersebut bisa dipelihara untuk kepentingan seni daripada makhluk tersebut berkeliaran dan mengganggu manusia atau makhluk lainnya. Pementasan tari rakyat yang terkait erat dengan spirit religiusitas senantiasa muncul dalam keikutsertaan berbagai ragam tari rakyat dalam berbagai upacara-upacara adat serta berbagai upacara bertema slametan. Fakta yang turut menguatkan bahwa tari rakyat memiliki peran sebagai sarana upacara nampak dalam keberadaan berbagai ragam jenis sajen yang selalu ditemukan dalam kamar ganti para penari. Terdapat berbagai bentuk serta ragam jenis sajen, mulai dari 62
Universitas Sumatera Utara
bentuk yang sederhana, hingga berisikan berbagai materi yang kompleks dan beraneka ragam. Berbagai ragam sajen tersebut, disamping memiliki sifat mistis juga memiliki makna simbolik yang syarat dengan berbagai ajaran berharga warisan leluhur (Alkaf, 2013) Grup kesenian reog ini sebelum melakukan pertunjukan terlebih dahulu mereka harus melakukan ritual terhadap roh nenek moyang, mereka membakar kemenyan didepan topeng dhadhak merak dan menaburi kembang tujuh rupa dan bunga kantil disekitar tempat pertunjukan sambil membacakan doa-doa. Hal ini mereka yakini akan dapat melancarkan jalannya pertunjukan, jika mereka tidak melakukan hal itu maka pertunjukan tidak akan dapat berjalan dengan lancar dan para pemain barongan tidak mungkin bisa mengangkat topeng dhadhak merak yang beratnya sekitar 50 kilogram hanya dengan gigitan tanpa melakukan ritual terlebih dahulu. Dan diyakini oleh mereka bahwa orang yang bisa memainkan dhadhak merak tersebut hanya orang-orang tertentu dan tidak bisa sembarang orang yang memainkannya. Bagi masyarakatJawa diDesa Bangko Lestari yang akan melakukan slametan (hajatan), sebelumnya mereka harus menentukan kapan hajat itu akan dilaksanakan. Jika ingin melakukan hajat terlebih dahulu tuanrumah biasanya akan mengundang seorang ahli agama untuk menentukan hari baik menurut hitungan sistem kalender Jawa. Hal ini dilakukan untuk menghindari naas yaitu hari yang dianggap tidak baik atau pantang. Jika hajat dilakukan bertepatan dengan geblak yaitu saat meninggalnya salah seorang keluarganya, maka hari tersebut harus segera dihindari agar tidak ada kejadian buruk yang akan menimpa mereka. 63
Universitas Sumatera Utara
Bahwasanya kebanyakan penduduk desa Bangko Lestari masih ada yang mengenal kepercayaan yang bersifat dinamistis dan animistis, yang percaya kepada adanya kekuatan gaib dan adanya roh arwah yang selanjutnya mereka personifikasikan sebagai roh leluhur atau juga sing sumare, yang maksudnya mereka yang sudah tiada. Konsep leluhur ini selalu ada dalam alam pikiran mereka sebagai perintis atau pembuat adat yang sampai sekarang mereka ikuti, sebab kalau tidak dipatuhi, bencana akan menimpa desa mereka. Pada umumnya masyarakat Jawa membedakan makhluk halus menjadi dua macam, yaitu: makhluk halus yang berasal dari roh leluhur yang disebut dengan bahureksa dan makhluk halus sebagai roh pelindung yang disebut dengan danyang, yaitu suatu kekuatan supranatural yang diyakini oleh masyarakat pendukung sebagai pemimpin para jin atau roh halus yang dianggap sebagai penunggu dan penyelamat serta penjaga desa. Agar para makhluk halus tersebut mau menuruti mereka maka pada waktu-waktu tertentu mereka harus menyediakan sesajen. Sesajen ini terdiri dari beberapa jenis makanan dan bungabungaan berbagai rupa yang akan mereka letakan di tempat-tempat tertentu yang mereka anggap keramat. Pada waktu mereka memberikan sesajen harus disertai dengan mantra-mantra ataupun doa-doa. Selain slametan dan kepercayaan kepada makhluk halus orang abangan juga mengakui adanya pengobatan, sihir dan magi yang berpusat di sekitar peranan seorang dukun (sekalipun dukun juga diakui digolongan santri dan priyayi tapi tidak sebesar di golongan abangan. Dukun memiliki beberapa macam: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan (medium), dukun calak (tukang sunat), dukun wiwit (ahli upacara panen), dukun temanten (ahli upacara perkawinan), 64
Universitas Sumatera Utara
dukun petungan (ahli meramal dengan angka), dukun sihir, dukun susuk (spesialis mengobati dengan memasukkan jarum emas di bawah kulit), dukun jampi, dukun siwer (spesialis mencegah kesialan alami, seperti hujan), dukun tiban (tabib dengan kekuatan hasil dari kerusakan roh). Kesenian reog, bagi grup Sri Karya Manunggal ini selain seni, ia juga berfungsi sebagai praktik pengobatan. Maksudnya ialah bahwa Roh yang ada di topeng Dhadhak Merak (Gembong Bawono) itu dipanggil untuk meminta pertolongan apa saja yang dibutuhkan. Bapak Tukijo (Mbah Bolong) selain ia seniman, ia juga disebut sebagai ―orang pintar‖ di desa Bangko Lestari karena ia bisa mengobati orang yang sakit menjadi sembuh melalui pengobatannya. Masyarakat tersebut masih mempercayai pengobatan Mbah Bolong sebagai alternatif
mereka
untuk
penyembuhan.
Penyakit
yang
disembuhkannya
kebanyakan dari penyakit buatan seperti guna-guna atau santetdan gangguangangguan dari makhluk halus yang bisa menyebabkan orang tersebut sakit. Pengobatan ala ―orang pintar‖ biasanya menggunakan doa-doa yang mempunyai makna tertentu. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ebdi Irwanto sebagai berikut ini: “Daripada roh-roh halus berkeliaran dan mengganggu manusia lebih baik kami pelihara supaya gak ganggu dan bisa digunakan untuk kepentingan seni reog. Bisa juga kami gunakan untuk pengobatan. Kalo ada orang yang sakit trus minta bantuan pengobatan dari kami ya kami bantu. Ya sakitnya itu biasanya dibuat sama orang. Gembong bawono inilah yang selalu bantu kami untuk ngobatin orang sakit. Pengobatan yang dilakukan Mbah Bolong bisa dari jarak jauh yaitu melalui telefon genggam. Pertama-tama Bapak Tukijo (Mbah Bolong)membakar kemenyanuntukriual topengdhadhak merak lalu menghadap ia ke topeng dhadhak 65
Universitas Sumatera Utara
meraktersebut sambil membacakan baca-bacaannya kemudian orang yang di telefon tersebut mengikuti perintah dari Mbah Bolong maka beberapa hari kemudian penyakit tersebut akan segera sembuh. Setiap pasien yang ditanganinya tak jarang yang tidak sembuh, hampir semuanya sembuh sehingga Mbah Bolong seringkali dipanggil orang untuk berobat kepadanya atau bahkan orang itu datang langsung ke rumah Mbah Bolong untuk berobat dengannya.
Gambar 2.1: Mbah Bolong Menghadap Topeng Dhadhak Merak
2.9.1.2Golongan Islam Santri Islam yang lebih murni itu merupakan subtradisi yang disebut dengan santri. Walaupun dengan cara yang umum dan luas, subvarian santri ini dipertautkan dengan elemen dagang orang Jawa, ia tidak hanya berlaku bagi kalangan dagang saja. Demikian juga, tidak semua pedagang betul-betul merupakan pemeluk subvarian itu. Ada elemen santri yang kuat di desa-desa. Mereka seringkali berada di bawah pimpinan para petani yang lebih kaya yang sudah mampu naik haji ke Mekkah dan setelah kembali, mendirikan sekolah-sekolah agama. Tradisi 66
Universitas Sumatera Utara
keagamaan kalangan santri tidak hanya terdiri atas pelaksanaan ritual dasar Islam secara cermat dan teratur sembahyang, puasa, haji, tetapi juga mencakup seluruh organisasi sosial, kedermawanan serta politik islam. Tradisi ini adalah subvarian kedua dari sistem keagamaan orang Jawa pada umumnya.
2.9.1.3 Golongan Islam Priyai Istilah priyai mengacu kepada orang-orang dari kelas sosial tertentu, yang menurut hukum merupakan kaum elite tradisional: ia mengacu kepada orangorang yang menurut hukum dianggap berbeda dari rakyat biasa yang disebut wong widah, wong cilik, atau bagi kaum mayoritas, wong tani. Elite pegawai kerah putih ini, yang ujung akarnya terletak pada keraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara serta mengembangkan etiket keraton yang sangat halus, sebuah seni tari, sandiwara, musik dan puisi, yang sangat kompleks dan mitisme Hindu-Buddha. Mereka tidak menekankan elemen animistis dan sinkretisme Jawa yang serba melingkupi seperti kaum abangan, tetapi tidak pula menekankan elemen Islam sebagaimana kaum santri, melainkan menitikberatkan pada elemen Hinduisme. Tiga titik utama kehidupan priyai adalah etiket, seni dan praktik mistik. Di Desa Bangko Lestari masyarakat jawa tidak lagi mempertajam tiga kategori masyarakat seperti yang ada di Jawa. Mereka merasa satu tingkat saja sama-sama orang Jawa, dan sekaligus beradaptasi dengan lingkungan di Riau. Di antara mereka pun tidak ada yang menggunakan derajat-derajat sosial kebangsawanan seperti Raden, Raden Ajeng, Raden Ngabehi, Raden Roro, dan lain-lainnya. Mereka sebagaian besar memberikan nama-nama kepada anaknya 67
Universitas Sumatera Utara
dengan nama-nama khas Jawa, seperti: Ponisan, Marijan, Supomo, Tukiyem, Pairah, Ponisah, dan sejenisnya. Namun sebagian kecil yang memiliki wawasan dan identitas keagamaan Islam yang kuat, umumnya memberikan nama kepada anak-anaknya dengan nama-nama yang Islamik, seperti Muhammad Ali, Ahmad Salim, Siti Khiriyah, Musaddad, Ali Usman, dan lain-lainnya. Menurut penenelitian penulis di lapangan, para pemusik gamelan, penari Hanoman, penari Dhadak Merak, di dalam komunitas reogini, sebagaian besar menggunakan nama-nama khas Jawa, yang masih melekat unsur kelompok abangan yang dibawa dari Tanah Jawa.
2.10 Sistem Kekerabatan Sistem kekerabatan pada masyarakat Jawa
umumnya,
termasuk
jugamereka yang tinggal di desa mengenal adanya kelompok kekerabatan yang keanggotaannya diperhitungkan berdasarkan prinsip keturunan bilateral yakni memperhitungkan keanggotaan kelompok kekerabatan itu melalui pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Bentuk kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat disebut keluarga batih yang keanggotaannya terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang belum kawin (Depdikbud, 1985/1986:30). Disamping bentuk-bentuk kelompok kekerabatan tersebut, orang Jawa juga mengenal bentuk kelompok kekerabatan yang disebut kindred yakni sanak, sedulur atau nak dulur atau nak sanak. Keanggotaan kelompok kekerabatan yang disebut dengan sanak sedulur ini sangat luas dan besar, yakni meliputi saudarasaudara sepupu dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, saudara-saudara sepupu
68
Universitas Sumatera Utara
derajat kedua baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu atau juga saudarasaudara sekandung atau sepupu dari pihak suami maupun pihak istri. Budaya Jawa menganut prinsip gotong royong yang dilandasi adanya kerukunan hidup. Menurut Koentjaraningrat, ada tiga nilai yang didasari oleh masyarakat Jawa dalam melakukan gotong royong (Bratawijaya, 1997:82-83). Ketiga tata nilai itu pertama, bahwa orang itu harus sadar bahwa hidupnya selalu bergantung pada orang lain. Seseorang tidak dapat hidup sendiri untuk itulah seseorang harus menjalin hubungan baik dengan siapapun. Kedua, orang itu harus selalu bersedia membantu sesamanya dan yang ketiga, orang itu harus selalu ingat bahwa seseorang sebaiknya jangan berusaha menonjol atau melebihi orang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap gotong
royong ini dilandasi
oleh
suatu pemikiran filosofis, yaitu sikap sepi ing pamrih, rame ing gawe, artinya tidakmengharapkan balasan pamrih, dan mengutamakan kerja bersama-sama. Maka dalam hal ini bentuk kelompok kekerabatan yang paling kecil adalah keluarga batih, yang anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya yang belum menikah, apabila keluarga batih mempunyai kerabat satu dengan yang lain maka
terbentuklah
suatu
kelompok
kekerabatan
yang
disebut
dengan
paseduluran: (1) sedulur tunggal kringkel merupakan saudara lahir dari ibu dan ayah yang sama; (2) sedulur kuwalon yaitu saudara lain ayah tetapi ibunya sama, atau sebaliknya saudara lain ibu nemun ayahnya sama, dan saudara tiri; (3) sedulur misanan merupakan saudara satu nenek atau satu kakek, yang mencakup kandung atau tiri; (4) sedulur mindoan adalah saudara satu buyut (orang tau kakek atau nenek ) berlaku baik untuk saudara kandung atau tiri, (5) sedulur mentelu yaitu saudara satu canggah (buyutnya ayah dan ibu) baik saudara kandung atau 69
Universitas Sumatera Utara
tiri; (6) bala yaitu yang menurut anggapan mereka masih saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak kedudukannya, dan disebabkan oleh interaksi mereka,karena kebutuhan yang erat, misalnya jenis pekerjaan sama, sering berkomunikasi, dan sejenisnya; (7) tangga yang konsepnya tidak terbatas pada letak rumah yang berdekatan saja, tetapi dalam kepentingan tertentu mereka saling membutuhkan. Dalam sistem kekerabatan juga menganut istilah-istilah yang masih dipergunakan di Desa Bangko Lestari sampai saat ini. Istilah-istilah tersebut yaitu sebagai berikut: (1) ego memanggil ayahnya dengan sebutan bapak dan ibunya dengan sebutan simbok/mbok; (2) untuk menyebut saudara laki-laki yang lebih tua dengan sebutan kangmas/kakang dan untuk saudara perempuan disebut dengan mbakyu/yu, untuk saudara laki-laki yang lebih muda disebut dengan adhi/dhi sedangkan saudara perempuan disebut dengan nok; (3) sebutan untuk kakak kandung ayah laki-laki adalah pakdhe dan yang perempuan budhe/mbokde, sedangkan kepada adik ayah laki-laki disebut dengan istilah paman/pakcik/paklek dan yang perempuan dengan sebutan bibi/bulik/mbok;(4) sebutan terhadap kakek adalah mbah lanang/simbah kakung sedangkan sebutan kepada nenek adalah simbah wedok sebaliknya kakek dan nenek akan menyebut ego adalah ptu/wayah sedangkan ego menyebut orang tua simbah dengan sebutan simbah buyut istilah ini dapat dipakai untuk menyebut orang tua simbah baik laki-laki maupun perempuan (Sitopu, 2008).
70
Universitas Sumatera Utara
2.11 Kesenian Masyarakat suku Jawa tetap menampilkan ciri etnisnya dan mereka juga tetap menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi mereka sehari-hari, walaupun masyarakat Jawa tersebut sudah berdampingan dengan berbagai suku yang tinggal menetap di desa Bangko Lestari. Mereka masih mempertahankan kesenian tradisionalnya di zaman modern seperti sekarang ini.
Kesenian
tradisional yang ada di desa tersebut tidak hanya kesenian reog saja, melainkan juga ada kesenian Kuda Kepang grup Sawunggaleng, Wayang, dan campur sari, namun yang paling menonjol di desa tersebut adalah kesenian Reog Grup Sri Karya Manunggal.
2.12Kegiatan Sosial Kegiatan sosial di Desa ini masih aktif dilakukan seperti adanya perwiritan, qasidah/marawis, dan juga gotong royong atau bersih desa. Perwiritan dan qasidah dapat dikategorikan sebagai aktivitas sosial keagamaan Islam, di sisi lain gotong royong adalah bersifat sosial kemasyarakatan dalam konteks pembangunan terutama yang berkaitan dengan aktivitas sosial. Perwiritan yang ada di Desa Bangko Lestari tetap berjalan seperti rutinitas biasanya yang dilaksanakan setiap hari kamis. Anggota dari grup Sri Karya Manunggal ini pun mengikuti perwiritan di desanya tersebut. Dan juga sering terlibat dalam kelompok qasidah yang ditampilkan pada saat acara seperti mengayunkan, acara pernikahan, Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, dan sebagainya.
71
Universitas Sumatera Utara