6 BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1
Loyalitas Pelanggan Loyalitas menurut Aaker (dalam margaretha, 2004:297) dinyatakan sebagai suatu
perilaku yang diharapkan atas suatu produk atau layanan yang antara lain meliputi kemungkinan pembelian lebih lanjut atau perubahan perjanjian layanan, atau sebaliknya seberapa besar kemungkinan pelanggan akan beralih kepada merek lain atau penyedia layanan ini, hal ini dikemukakan oleh Loyalitas menurut Fornell (dalam Margaretha, 2004:297) merupakan fungsi dari kepuasan pelanggan, rintangan pengalihan, dan keluhan pelanggan. yang berulang-ulang tersebut. Sedangkan loyalitas menurut Slamet (2002:62) adalah keinginan konsumen untuk mengkonsumsi kembali produk atau melakukan pembelian ulang di toko tersebut. Loyalitas pelanggan menurut Olson (dalam Trisno Musanto, 2004:128) merupakan dorongan perilaku untuk melakukan pembelian secara berulang-ulang dan untuk membangun kesetiaan pelanggan terhadap suatu produk/jasa yang dihasilkan oleh badan usaha tersebut membutuhkan waktu yang lama melalui suatu proses pembelian yang berulang-ulang tersebut. Berdasar dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan loyalitas adalah suatu sikap atau perilaku dari konsumen sebagai dampak dari tingkat kepuasan yang diperoleh setelah mengkonsumsi suatu produk atau jasa yang berakibat kemungkinan pembelian kembali produk atau jasa tersebut. Sedangkan loyalitas pelanggan adalah sikap yang terbentuk jika pelanggan yang merasa puas dan mereka dapat melakukan pembelian
6
7 ulang pada waktu yang akan datang dan memberitahukan kepada orang lain atas apa yang dirasakan. Pelanggan (Customer) menurut Musanto (2004:128) berbeda dengan konsumen (Consumer), seorang dapat dikatakan sebagai pelanggan apabila orang tersebut mulai membiasakan diri untuk membeli produk atau jasa yang ditawarkan oleh badan usaha. Seseorang yang dapat dikatakan pelanggan menurut Jill Griffin (2002:31) adalah: 1. Melakukan pembelian berulang secara teratur 2. Membeli antar lini produk dan jasa 3. Mereferensikan kepada orang lain 4. Menunjukan kekebalan terhadap tarikan dari pesaing. Kebiasaan tersebut dapat dibangun melalui pembelian berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu, apabila dalam jangka waktu tertentu tidak melakukan pembelian ulang maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pelanggan tetapi sebagai seorang pembeli atau konsumen. Pola pembelian ulang yang terjadi pada konsumen menurut Kotler (2003:381) yaitu: 1. Sangat Setia (hard core loyal) Konsumen yang membeli satu merek saja setiap saat. Jadi pola pembelian A,A,A,A,A,A yang akan mencerminkan loyalitas yang tak terbagi hanya pada merek A. 2. Agak Setia (soft core loyal) Konsumen yang setia pada dua atau tiga merek. Pola pembelian A,A,B,B,A,B mewakili setiap konsumen dengan loyalitas terbagi antara merek A dengan merek B.
8 3. Kesetiaan yang berpindah (shifting loyal) Konsumen yang pindah dari (menyukai) satu merek ke merek lain. Pola pembelian A,A,A,B,B,B akan mencerminkan seorang konsumen yang memindahkan loyalitas pada merek A ke merek B. 4. Pengalihan (switching) Konsumen yang menunjukan ketiadaan loyalitas pada merek apapun. Pola pembelian A,C,E,B,DB akan mencerminkan seorang konsumen yang tidak setia pada sebuah merek sekalipun. Setiap konsumen menurut Slamet (2000:61) tidak sama kadarnya untuk dipengaruhi oleh suatu strategi pemasaran, oleh karena itu pemasar terdorong mensegmentasikan pasar menurut dasar probabilitas bahwa berbagai macam konsumen akan membeli, menggunakan dan terus membeli ulang produk mereka.
2.1.1 Faktor yang mempengaruhi loyalitas Mempertahankan pelanggan lebih sulit daripada mendapatkan pelanggan baru oleh sebab itu pelanggan yang loyal harus dipertahankan agar tidak berpindah menjadi pelanggan pesaing. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Siat (dalam Margaretha, 2004:297) yaitu bahwa loyalitas pelanggan merupakan tiket menuju sukses semua bisnis. Loyalitas dapat terbentuk menurut Selnes (dalam Margaretha, 2004:297) apabila pelanggan merasa puas dengan merek yang atau tingkat layanan yang diterima sehingga mereka berniat untuk terus melanjutkan hubungan di waktu yang akan datang.
9 Lima tingkat loyalitas pelanggan menurut Aaker (dalam Mouren Margaretha, 2004:297-298) yaitu: 1. Pembeli Harga Pembeli sama sekali tidak tertarik pada produk yang bersangkutan, produk apapun yang ditawarkan dianggap memadai, sehingga produk yang ada memainkan peran yang kecil dalam suatu keputusan pembelian. 2. Konsumen yang Loyal dengan Biaya Peralihan Konsumen yang puas, tapi mereka memikul biaya peralihan (switching cost) dan resiko bila beralih ke produk lain. Untuk dapat memilih tipe konsumen tipe ini, perusahaan harus menawarkan manfaat lebih untuk kompensasi dengan menawarkan garansi. 3. Pembeli Kebiasaan Pembeli yang puas / tidak puas terhadap suatu produk meskipun tidak puas, pembeli cenderung tidak berganti produk jika pergantian produk tersebut ternyata membutuhkan usaha. Biasanya pembeli tipe ini sulit untuk dirangkul karena tidak ada alasan bagi mereka untuk memperhitungkan berbagai alternatif produk. 4. Pembeli Apresiasi Konsumen yang sungguh – sungguh menyukai produk tersebut, preferensi mereka didasari serangkaian pengalaman / kesan dengan kualitas tinggi yang pernah dialaminya. Hanya saja, rasa suka ini bisa merupakan umum yang tidak bisa
diidentifikasikan
dengan
cermat
karena
pemasar
belum
dapat
mengkategorikan secara lebih spesifik loyalitas konsumen terhadap produk.
10 5. Konsumen yang Setia Konsumen pada tipe ini merupakan konsumen yang setia pada konsumen yang bangga terhadap produk yang dipilihnya. Produk ini sangat penting bagi konsumen baik dari segi fungsi maupun ekspresi gaya hidup mereka. Rasa percaya diri mereka termanifestasikan pada tindakan merekomendasikan produk ke konsumen lain. Konsumen pada tipe ini cenderung setia dan tidak berpindah ke produk lain.
2.1.2
Tahap Pembentukan Loyalitas Ada 3 (tiga) tahap dalam pengukuran langkah perkembangan loyalitas. Ketiga tahap ini menurut Oskamp (dalam widiyanto 2004:5) adalah: 1. Tahap Pertama : Loyalitas Kognitif Konsumen yang mempunyai loyalitas tahap pertama ini menggunakan basis informasi yang secara memaksa menunjukan pada satu merek atas merek lainnya. Jadi loyalitasnya hanya didasarkan pada kognisi saja. Tingkat loyalitasnya baru muncul secara awal. 2. Tahap Kedua : Loyalitas Afektif Loyalitas tahap kedua didasarkan pada aspek afektif konsumen. Sikap merupakan
fungsi
dari
kognisi
(pengharapan)
pada
periode
awal.pembelian (masa pra konsumsi) dan merupakn fungsi dari sikap sebelumnya plus kepuasaan di periode selanjutnya.Loyalitas tahap ini sudah jauh lebih sulit untuk dirubah, tidak seperti tahap pertama, karena loyalitas sudah masuk ke dalam benak konsumen sebagai efek
11 dan bukannya sendirian sebagai kognisi yang mudah berubah. Munculnya loyalitas ini didorong oleh faktor kepuasan. 3. Tahap Ketiga : Loyalitas Konatif Yang dimaksud faktor lain pada kedua di muka adalah dimensi konatif (niat melakukan), yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan afek terhadap merek. Konasi menunjukan suatu niat atau komitmen untuk melakukan sesuatu ke arah suatu tujuan tertentu, niat merupakan fungsi dari niat sebelumnya (pada masa pra konsumsi) dan sikap (pada masa pasca konsumsi). Maka loyalitas konatif merupakan suatu kondisi yang mencakup komitmen mendalam untuk melakikan pembelian. Untuk melengkapi runtutan loyalitas di atas, Widyanto (2004:5-6) menyatakan perlu ditambahkan satu tahap lagi ditambahkan pada model kognitif-afektif yaitu loyalitas tindakan. Aspek konatif atau niat melakukan telah mengalami perkembangan, yaitu dikonversi menjadi perilaku atau tindakan, atau kontrol tindakan. Dalam runtutan kontrol tindakan, niat yang diikuti oleh motivasi, merupakan kondisi yang mengarah pada kesiapan bertindak dan pada keinginan untuk mengatasi hembatan untuk mencapai tindakan tersebut. Jadi, tindakan merupakan pertemuan dari dua kondisi tersebut. Dengan kata lain, tindakan mendatang sangat didukung oleh pengalaman mencapai sesuatu dan penyesuaian hambatan.
12 Pendeteksian adanya loyalitas merek tunggal yang sesungguhnya menurut Widyanto(2004:4) dapat dilakukan dengan menguji: 1. Struktur Keyakinan Artinya informasi merek yang dipegang oleh konsumen (yaitu, keyakinan konsumen) harus menunjuk pada suatu merek yang dianggap superior dalam persaingan. 2. Struktur Sikap (afektif) Artinya tingkat kesukaan konsumen harus lebih tinggi daripada merek saingan, sehingga ada preferensi afektif yang jelas pada suatu merek . 3. Struktur Niat (Konatif) Artinya konsumen harus mempunyai niat untuk membeli suatu merek tertentu, bukanya merek lain, ketika keputusan beli dilakukan. Strategi pemasar menurut Slamet (2000:60) tidak hanya dapat mempengaruhi setiap elemen kognitif, afektif, dan perilaku pelanggan, namun dapat pula sebaliknya dapat dipengaruhi oleh masing – masing kondisi tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa antara stategi pemasaran saling berhubungan dan bersifat timbal balik dengan komponen – komponen dari kognitif, afektif, dan perilaku dari pelanggan. Berdasar pemaparan teori diatas, loyalitas terbentuk dari struktur afeksi dan kognisi yang tinggi dari konsumen dan kemudian menghasilkan konatif yang disebut loyalitas atau keterikatan. Sedangkan loyalitas itu sendiri berkembang melalui urutan atau tahap, yaitu pertama – tama sebagai loyalitas kognitif, kemudian loyalitas afektif, dan loyalitas konatif,
13 dan akhirnya sebagai loyalitas tindakan (loyalitas yang ditopang oleh komitmen dan tindakan).
2.1.3
Metode Pengukuran Loyalitas Perkembangan pemikiran loyalitas pelanggan menurut Kertajaya (2007:24) menjadi lima era yakni era kepuasan pelanggan, era retensi pelanggan, era migrasi pelanggan, era antusiasme pelanggan, dan era spiritualitas pelanggan. 1. Era pertama : Kepuasan pelanggan Jika perusahaan bisa memberikan service yang melebihi ekspektasi pelanggan, maka pelanggan pasti akan puas. Dan pelanggan yang puas pasti akan mempunyai tingkat loyalitas yang tinggi terhadap produk dibandingkan dengan pelanggan yang tidak puas. Harapan pelanggan menurut Kertajaya (2007:27) cenderung akan semakin tinggi seiring dengan semakin banyaknya kabar baik yang didengar dari orang lain (word of mouth), semakin bertambahnya pengalaman mengkonsumsi produk yang lebih bagus (past experience), kebutuhan yang semakin meningkat (personal needs), dan janji yang manis diiklankan di media (external communication). Seorang pelanggan yang merasa puas akan produk atau servis yang dibelinya, pasti pelanggan juga akan berkeinginan untuk membeli produk itu kembali. 2. Era Kedua : Retensi Pelanggan
14 Dalam konsep loyalty marketing, loyalitas menurut Kertajaya (2007:33) tidak hanya diukur dari lama pelanggan tinggal (retensi), tetapi juga dari prosentase uang pelanggan yang dibelanjakan untuk membeli produk perusahaan relatif terhadap produk pesaing. Singkatnya, pelanggan yang paling loyal adalah pelanggan yang paling lama bersama perusahaan dan membeli produk kita lebih banyak. 3. Era Ketiga : Migrasi Pelanggan Mempertahankan pelanggan yang telah ada jauh lebih menguntungkan daripada membiarkanya hilang, kemudian mencari pelanggan baru sebagai gantinya. Oleh karena itu sangat penting bagi perusahaan untuk mengetahui indikasi kepindahan seseorang pelanggan sehingga perusahaan bisa menyiapkan perlakuan khusus untuk mencegah migrasi. Lebih lanjut Kertajaya (2007:38) juga menyatakan untuk mencegah presentase migrasi pelanggan dengan cara mengenali perilaku yang menjadi indikasinya, dan menarik kembali pelangganpelanggan potensial yang telah berpindah ke pesaing. 4. Era Keempat : Antusiasme Pelanggan Pada era ini berbeda pada tiga era sebelumnya. Intinya mencoba menjawab mengapa perpindahan pelanggan terus terjadi meski pelanggan telah puas dengan produk dan servis yang telah diberikan perusahaan dan bahkan dengan program loyalitas yang disediakan perusahaan. Inti dari sifat antusiasme pelanggan ini menurut Kertajaya (2007:43)
loyalitas
pelanggan
bersifat
emosional
dan
bukan
15 fungsional, yakni seberapa dalam pelanggan merasakan koneksi dengan produk. Ukuran koneksi emosi antara pelanggan dan produk menurut Mc Conneld dan Huba (dalam Kertajaya, 2007:45) adalah referensi dan rekomendasi, dan itulah ukuran yang
paling sahih dari loyalitas
pelanggan. Sejauh pelanggan mau mereferensikan sebuah brand kepada orang lain, maka selama itu pula ia termasuk pelanggan yang loyal. 5. Era Kelima : Spiritualitas Pelanggan Pada era ini loyalitas pelanggan akan masuk ke area spiritualitas pelanggan. Loyalitas dalam era ini menurut Kertajaya (2007:45-47) tidak hanya berada dalam pikiran (mind) yakni dengan cara mengingat dan menggunakan produk, dalam hati (heart) yakni dengan mereferensikan dan merekomendasikan pemakaian pada orang lain tetapi juga telah menjadi bagian dari diri pelanggan seutuhnya (spirit). Berdasarkan pemaparan teori diatas, dalam penelitian untuk mengukur loyalitas pelanggan dapat dilihat dari aspek: 1. Keinginan untuk seberapa banyak dan sering dalam membeli kembali produk atau servis yang ditawarkan, 2. Indikasi adanya perpindahan pelanggan dengan menggunakan pencetusan ketidakpuasan atau keluhan dari pelanggan, 3. Keinginan untuk menyebarkan informasi, 4. Keinginan untuk mengajak orang lain membeli, dan
16 5. Keinginan untuk menjadikan produk atau servis sebagai jati diri dari pelanggan
2.2
Experiential Marketing Experiential marketing menurut Kertajaya (2004:163) adalah suatu
konsep pemasaran yang bertujuan untuk membentuk pelanggan-pelanggan yang loyal dengan menyentuh emosi mereka dan memberikan suatu feeling yang positif terhadap produk atau servis. Sedangkan experiential marketing menurut Schmitt (dalam Hamzah, 2007:22) menyatakan bahwa pemasar menawarkan produk dan jasanya dengan merangsang unsur-unsur emosi konsumen yang menghasilkan berbagai pengalaman bagi konsumen. Pendekatan pemasaran Experiential marketing merupakan pendekatan yang mencoba menggeser pendekatan pemasaran tradisional, pendekatan tradisional ini menurut Schmitt (dalam Rahmawati, 2003:111) memiliki 4 (empat) karakteristik yaitu: 1. Fokus pada fitur dan benefit dari produk / jasa. 2. Kategori produk dan persaingan didefiniskan secara sempit, yaitu hanya pada perusahaan sejenis. 3. Konsumen dianggap sebagai pembuat keputusan yang rasional. 4. Metode dan alat yang digunakan bersifat analitikal, kuantitatif, dan verbal. Pendekatan Experiential Marketing juga terdapat karakteristik yang menonjol yaitu:
17 1. Mengutamakan
pengalaman
konsumen,
baik
pengalaman
sense,
pengalaman feel, dan pengalaman think. 2. Memperhatikan situasi pada saat mengkonsumsi seperti keunikan lay out, pelayanan yang diberikan, fasilitas-fasilitas yanng disediakan. 3. Menyadari bahwa konsumen adalah makhluk sosial dan sekaligus emosional, maksudnya bahwa konsumen tidak hanya menggunakan rasio tetapi juga mengikutsertakan emosi dalam melakukan keputusan pembelian. Adapun pergeseran dari pendekatan pemasaran tradisional ke pendekatan
pemasaran
experiential
terjadi
menurut
Schmitt
(dalam
rahmawati, 2003:112) karena adanya perkembangan tiga faktor di dunia bisnis, yaitu: 1. Teknologi informasi yang dapat diperoleh di mana-mana sehingga kecanggihan-kecanggihan teknologi akibat revolusi teknologi informasi dapat menciptakan suatu pengalaman dalam diri seseorang dan membaginya dengan orang lain dimanapun berada. 2. Keunggulan dari merek, melalui kecanggihan teknologi informasi maka informasi mengenai brand dapat tersebar luas melalui berbagai media dengan cepat dan global. Dimana brand atau merek memegang kendali, suatu produk atau jasa tidak lagi sekelompok fungsional tetapi lebih berarti sebagai alat pencipta experience bagi konsumen.
18 3. Komunikasi dan banyaknya hiburan yang ada dimana-mana yang mengakibatkan semua produk dan jasa saat ini cenderung bermerek dan jumlahnya banyak. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dalam penelitian ini experiential marketing adalah pendekatan atau strategi pemasaran dimana pemasar atau perusahaan memfokuskan pada penyentuhan emosi dan perasaan dari konsumen untuk memperoleh kesan atau pengalaman positif atas suatu produk atau servis sehingga konsumen menjadi pelanggan yang loyal terhadap produk atau servis yang diberikan.
2.3
Modul Strategi Experiential (Strategic Experiential Marketing) Merupakan modul yang dapat digunakan untuk menciptakan berbagai jenis
pengalaman bagi konsumen. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Schmitt (dalam Kertajaya, 2006:228) bahwa Experiential marketing dapat dihadirkan melalui 5 (lima) unsure yaitu panca indera (sense), perasaan (feel), cara berfikir (think), kebiasaan (act), dan pertalian atau relasi (relate). 2.3.1
Panca Indera (sense) Sense menurut Schmitt (dalam Hamzah, 2007:23), merupakan tipe experience
yang muncul untuk menciptakan pengalaman panca indera melalui mata, telinga, kulit, lidah dan hidung. Sense marketing menurut Kertajaya (dalam Hamzah, 2007:24) merupakan salah satu cara untuk menyentuh emosi konsumen melalui pengalaman yang dapat diperoleh konsumen lewat panca indera (mata, telinga,
19 lidah, kulit dan hidung) yang mereka miliki melalui produk atau servis. Lebih lanjut Kertajaya (2006:228) menyebutkan bahwa sense artinya panca indera yang merupakan pintu masuk ke seorang manusia harus dirangsang secara benar dengan menggunakan teknik multy-sensory, yang penting harus dijaga konsistensi pesan yang disampaikan. Pada dasarnya sense marketing yang diciptakan oleh pelaku usaha dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap loyalitas. Mungkin saja suatu produk dan jasa yang ditawarkan oleh produsen tidak sesuai dengan selera konsumen atau mungkin juga konsumen menjadi sangat loyal, dan akhirnya harga yang ditawarkan oleh produsen tidak menjadi masalah bagi konsumen. Kelima indera yang dirangsang ini diharapkan bisa membawa masuk suatu pesan yang solid dan terintegrasi. Pada saat konsumen datang ke tempat makan, mata melihat desain lay out yang menarik, hidung mencium aroma yang enak, dan kulit merasakan kenyamanan udara. Dilihat dari pengertian diatas, dalam penelitian ini sense marketing yaitu emosi / pengalaman yang didapat oleh konsumen setelah mengkonsumsi produk atau servis yand dilihat dari aspek atau hal-hal yang dapat ditangkap dan dirasakan kemudian menstimulasi sense untuk menerima pesan yang disampaikan oleh produsen.
20 2.3.2
Perasaan (feel) Marketing Feel Marketing menurut Schmitt (dalam Hamzah, 2007:23) ditujukan
terhadap perasaan dan emosi konsumen dengan tujuan mempengaruhi pengalaman yang dimulai dari suasana hati yang lembut sampai dengan emosi yang kuat terhadap kesenangan dan kebanggaan. Feel menurut Kertajaya (2004:164) adalah suatu penelitian-penelitian kecil yang ditunjukan kepada konsumen dengan tujuan untuk menyentuh emosi pelanggan secara luar biasa. Kertajaya (2006:228) menambahkan bahwa dalam mengelola perasaan ini, ada dua hal yang mesti diperhatikan, yaitu mood dan emotion. Seorang pemasar yang berhasil apabila dapat membuat mood dan emotion si pelanggan sama dengan apa yang diinginkannya. Feel marketing merupakan bagian yang sangat penting dalam strategi experiential marketing. Feel dapat dilakukan dengan servis dan layanan yang bagus serta keramahan pelayan dan karyawan. Agar konsumen mendapatkan feel yang kuat
terhadap
suatu
produk
atau
jasa,
maka
produsen
harus
mampu
memperhitungkan kondisi konsumen dalam arti mempertimbangkan mood yang dirasakan konsumen. Kebanyakan konsumen akan menjadi pelanggan apabila mereka merasa cocok terhadap produk atau jasa yang ditawarkan, untuk itu diperlukan waktu yang tepat yaitu pada waktu konsumen dalam keadaan good mood sehingga produk dan jasa tersebut benar-benar mampu memberikan memorable experience dan berdampak positif terhadap loyalitas pelanggan. Feeling yang bagus akan membuat pelanggan mampu berpikir positif.
21 Pelayanan yang memuaskan sangat diperlukan termasuk didalamnya keramahan dan sopan santun karyawan, pelayanan yang tepat waktu, dan sikap simpatik yang membuat pelanggan merasa puas sehingga mendorong pelanggan untuk melakukan pembelian ulang produk atau jasa yang ditawarkan dimasa yang akan dating. Berdasarkan
dari pengertian-pengertian diatas, dalam penelitian ini feel
marketing merupakan upaya dari phak pemasar atau perusahaan untuk mengikat emosi dari konsumen melalui perhatian-perhatian kecil untuk membentuk suasana hati dan emosi yang menyenangkan bagi konsumen agar sama atau sesuai dengan yang diharapkan pemasar. 2.3.3
Think Marketing Think menurut Schmitt (dalam Hamzah, 2007:23) merupakan tipe
experience yang bertujuan untuk menciptakan kognitif, pemecahan masalah yang mengajak konsumen untuk berfikir kreatif. Think marketing menurut Kertajaya (2004:164) adalah suatu cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk membawa komoditi menjadi pengalaman (experience) dengan melakukan customization secara terus menerus. Think menurut Kertajaya (2006:229) dibagi menjadi dua, yang pertama divergent thinking atau pola pikir menyebar, dan yang kedua adalah convergent thinking atau pola pikir menyatu. Ketika pelanggan sedang mencari beberapa alternatif , inilah yang disebut divergent thinking. Kemudian ketika pelanggan sudah mulai mengevaluasi untuk kemudian menyempitkan alternatif dan
22 menyatukan pilihan, itulah yang disebut convergent thinking. Kedua pilihan itu boleh diberikan sama–sama sekaligus kepada pelanggan. Ketika pelanggan masuk toko, penjaga dihadapkan pada pilihan produk atau servis yang diberikan, kemudian pelanggan diharapkan mengkombinasi pilihannya sendiri untuk menentukan dan menikmati kombinasi pikiran pelanggan tersebut. Berdasarkan dari definisi-definisi diatas, dalam penelitian ini think marketing berupa ajakan kepada konsumen untuk berperan aktif bersama produsen dalam memecahkan masalah yang bertujuan untuk mempengaruhi pelanggan agar terlibat dalam pemikiran yang kreatif. Hal ini dilakukan melalui penyediaan produk atau servis yang dibeikan kepada pelanggan kemudian pelanggan diminta untuk berpikir kreatif dalam menentukan produk atau servis yang akan dibelinya. 2.3.4
Act Marketing Act menurut Schmitt (dalam Hamzah, 2007:23) merupakan tipe
experience yang bertujuan untuk mempengaruhi perilaku, gaya hidup dan interaksi dengan konsumen. Act marketing menurut Kertajaya (2004:164) adalah salah satu cara untuk membentuk persepsi pelanggan terhadap produk dan jasa yang bersangkutan. Act menurut Kertajaya (2006:229) adalah tindakan dari konsumen karena pengaruh luar dan opini dalam diri pelanggan. Act marketing ini memberikan pengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan ketika act marketing mempengaruhi perilaku dan gaya hidup pelanggan maka akan berdampak positif terhadap loyalitas pelanggan karena pelanggan merasa bahwa produk atau jasa tersebut sudah sesuai dengan gaya hidupnya. Akan
23 tetapi sebaliknya juga dapat berpengaruh negatif apabila pelanggan merasa produk atau jasa tidak sesuai dengan gaya hidupnya. Seorang pemasar dalam hal membentuk act dari pelanggannya agar pelanggannya tersebut memperoleh pengalaman tak terlupakan (memorable experience) adalah dengan melakukan pengaruh eksternal untuk digabungkan dengan kondisi feel dan think yang ada di dalam diri pelanggan untuk menjadi aksi. Dilihat dari pengertian diatas dalam penelitian ini act marketing dapat berupa bentuk atau desain yang dibuat dengan menggabungkan pengaruh eksternal dengan kondisi feel dan think sedemikian rupa yang bertujuan untuk menciptakan tindakan yang memberi pengalaman bagi konsumen dalam hubungannya pengaruh yang diberikan dari bentuk fisik produk atau servis yang dirasakan kemudian hal itu mempengaruhi kebiasaan, gaya hidup dan interaksi pelanggan dengan orang lain. 2.3.5
Relate Marketing Relate menurut Schmitt (dalam Hamzah, 2007:23) merupakan tipe
experience yang digunakan untuk mempengaruhi pelanggan dan menggabungkan seluruh aspek, sense, think dan act serta menitikberatkan pada penciptaan persepsi positif dimata pelanggan. Relate marketing menurut Kertajaya (2004:175) adalah salah satu cara membentuk atau menciptakan komunitas pelanggan dengan komunikasi. Relate marketing dapat memberikan pengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan ketika relate marketing mampu membuat pelanggan masuk dalam
24 komunitas serta merasa bangga dan diterima. Sebaliknya relate marketing dapat memberikan pengaruh negatif terhadap loyalitas pelanggan ketika relate marketing tidak berhasil mengkaitkan individu dengan apa yang ada diluar dirinya maka konsumen tersebut tidak akan mungkin loyal. Berdasarkan definisi-definisi diatas, dalam penelitian ini relate marketing adalah penggabungan aspek sense, feel, think dan act dengan maksud untuk mengkaitkan individu dengan apa yang diluar dirinya dan mengimplementasikan hubungan antara orang lain dan kelompok sosial lain sehingga mereka bisa merasa bangga dan diterima di komunitasnya. Hal ini bisa terwujud dimana produsen menciptakan relate antara pelangganya dengan kontak langsung baik telepon maupun kontak fisik, diterima menjadi salah satu bagian dalam kelompok tersebut atau menjadi member sehingga membuat konsumen menjadi senang dan tidak segan untuk datang kembali. Sebaliknya bila hal tersebut tidak terjadi dalam arti konsumen merasa terabaikan, maka konsumen akan berfikir ulang untuk datang kembali. Jika dilihat dari pemaparan teori diatas, dalam penelitian ini faktor sense, feel, think, act dan relate merupakan faktor-faktor dalam experiential marketing yang mempengaruhi tingkat loyalitas pelanggan.
25 2.4
Hubungan atau Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Akbar Ibrahim M dalam
skripsinya yang berjudul Analisis Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Pelanggan dari Universitas Negeri Semarang didapatkan hasil bahwa experiential marketing yang didalamnya terdapat variabel sense, feel, act, think dan relate berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan. Semakin baik sense, feel, act, think dan relate maka akan menyebabkan semakin kuat loyalitas pelanggan dan semakin kurang sense, feel, act, think dan relate maka akan menyebabkan semakin menurun tingkat loyalitas pelanggan. 2.5
Kerangka Berpikir Loyalitas pelanggan merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan
oleh suatu perusahaan dalam menjaga kelangsungan maupun mengembangkan usahanya, jadi dalam hal ini perusahaan harus dituntut secara kontinyu atau berkesinambungan melakukan riset untuk mengukur loyalitas pelanggan agar tetap terjaga dan dapat cenderung meningkat. Semakin menurun tingkat loyalitas dari pelanggan maka perusahaan juga berpotensi kehilangan konsumen. Kertajaya mengungkapkan salah satu bentuk konsep pemasaran yang bertujuan untuk membentuk pelanggan-pelanggan yang loyal melalui experiential marketing dimana experiential marketing pemasar melihat keadaan emosi dari pelanggannya untuk mendapatkan loyalitas. Experiential marketing menurut Schmitt (dalam Kertajaya, 2006:228) dapat dihadirkan melalui 5 (lima) unsur yaitu panca indera (sense), perasaan (feel), cara berpikir (think), kebiasaan (act) dan pertalian atau relasi (relate).
26 Untuk lebih jelasnya model hubungan yang akan diteliti dapat diperhatikan pada kerangka pemikiran berikut:
Sense
Feel
Think
Loyalitas
Act
Relate
Gambar 2.1 Konsep Pemikiran Teoritis
2.6
Hipotesis Hipotesis menurut Suharsimi (2002:64) adalah suatu jawaban yang bersifat
sementara terhadap suatu permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang
27 terkumpul, setelah menetapkan anggaran dasar, dengan demikian kebenaran dari teori masih perlu diuji. Hipotesis menurut Nazir (2003:151) adalah pernyataan yang diterima secara sementara dari suatu fakta yang dapat diamati. Dalam penelitian ini, hipotesis yang diambil adalah sebagai berikut: H : Diduga terdapat pengaruh faktor experiential marketing yang terdiri dari sense, feel, 1
think, act, relate secara bersama-sama terhadap loyalitas pelanggan RM Saung Bandung. H : Diduga terdapat pengaruh sense terhadap loyalitas pelanggan RM Saung Bandung. 2
H : Diduga terdapat pengaruh feel terhadap loyalitas pelanggan RM Saung Bandung. 3
H :Diduga terdapat pengaruh think terhadap loyalitas pelanggan RM Saung Bandung. 4
H :Diduga terdapat pengaruh act terhadap loyalitas pelanggan RM Saung Bandung. 5
H :Diduga terdapat pengaruh relate terhadap loyalitas pelanggan RM Saung Bandung. 6