BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Konsep Pengetahuan 1. Definisi Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba dimana sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau ranah kognitif ini merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour) (Notoatmodjo, 2012).
2. Tingkat Pengetahuan Dalam Domain Kognitif Menurut Notoatmodjo (2012) pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan : a. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Oleh sebab itu tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
b. Memahami Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
7
8
harus
dapat
menjelaskan,
menyebutkan
contoh,
menyimpulkan,
meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi ini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintesis Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
9
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan Menurut Notoadmojo (2003) pengetahuan dipengaruhi oleh faktor : a. Pendidikan Pendidikan adalah proses belajar yang berarti terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, keluarga atau masyarakat. Beberapa hasil penelitian mengenai pengaruh pendidikan terhadap perkembangan pribadi, bahwa pada umumnya pendidikan itu mempertinggi taraf intelegensi individu.
b. Persepsi Persepsi, mengenal dan memilih objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.
c. Motivasi Motivasi merupakan dorongan, keinginan dan tenaga penggerak yang berasal dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dengan mengesampingkan hal-hal yang dianggap kurang bermanfaat. Dalam mencapai tujuan dan munculnya motivasi dan memerlukan rangsangan dari dalam individu maupun dari luar. Motivasi murni adalah motivasi yang betul-betul disadari akan pentingnya suatu perilaku akan dirasakan suatu kebutuhan.
d. Pengalaman Pengalaman adalah sesuatu yang dirasakan (diketahui, dikerjakan) juga merupakan kesadaran akan suatu hal yang tertangkap oleh indera manusia. Faktor eksternal yang mempengaruhi pengetahuan antara lain meliputi : lingkungan, sosial, ekonomi, kebudayaan dan informasi. Lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh bagi pengembangan sifat dan perilaku
10
individu. Sosial ekonomi, penghasilan sering dilihat untuk memiliki hubungan antara tingkat penghasilan dengan pemanfaatan.
4. Pengetahuan Keluarga Tentang Skizofrenia Sebuah keluarga dengan penderita skizofrenia perlu mengetahui dan menyadari keadaan diri penderita, mengambil keputusan untuk menentukan bagaimana sikap yang sebaiknya diambil agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita boleh berhenti minum obat (berobat) apabila gejala-gejala sudah menghilang/ berkurang, juga banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita skizofrenia hanya perlu medikasi (obat-obatan) untuk dapat sembuh saat proses pemulihannya di rumah. Hal ini jelas keliru, dan kekeliruan ini sebagai akibat dari kurangnya pengetahuan keluarga tentang skizofrenia (Vijay, 2005 dalam Marsono 2010).
Pengetahuan keluarga tentang skizofrenia sudah banyak diteliti oleh peneliti lain. Purnamasari (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia di Poliklinik Rumah Sakit Prof. V.L. Ratumbuysang Manado” menyatakan bahwa 48% keluarga memiliki pengetahuan yang kurang dan seluruhnya tidak patuh dalam minum obat.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Wulansih dan Widodo (2008) dengan judul Hubungan
antara
Tingkat
Pengetahuan
dan
Sikap
Keluarga
dengan
Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia di RSJD Surakarta menyatakan bahwa dari 60% pengetahuan keluarga yang cukup sebanyak 36% pasien melakukan rawat inap ≥ 3 kali.
11
B. Konsep Kesiapan Keluarga Memberikan Perawatan Lanjutan 1. Definisi Kesiapan Menurut kamus lengkap bahasa Indonesia bahwa kesiapan adalah sanggup menjalankan atau melaksanakan, sudah tersedia, tinggal menggunakan (Departemen Pendidikan, 2008). Kesiapan adalah keseluruhan kondisi seorang/individu yang membuatnya siap untuk memberikan respon/jawaban didalam cara tertentu terhadap sesuatu situasi (Slameto, 2003). Kesiapan merupakan hal yang paling mendasar memulai sesuatu pekerjaan.
Penyesuaian pada suatu kesiapan suatu saat akan berpengaruh pada kondisi individu atau kecenderungan memberi respon. Kondisi tersebut mencakup 3 aspek yaitu : a. Kondisi fisik, mental dan emosi. b. Kebutuhan-kebutuhan, motif dan tujuan. c. Keterampilan, pengetahuan dan pengertian yang lain yang telah dipelajari.
Kesiapan keluarga untuk tetap merawat dan tetap mengakuinya sebagai bagian dari orang yang disayangi sangatlah diperlukan agar mereka tetap merasa dihargai sebagai manusia layaknya, karena keluarga sebagai sistem terdiri dari anggota keluarga yang saling berinteraksi dan saling ketergantungan sesamanya,
hidup
dalam
lingkungan
fisik,
psikologis
dan
sosial.
Ketergantungan dan saling mempengaruhi elemen-elemen dalam keluarga serta lingkungannya merupakan potensi yang baik untuk digunakan dalam meningkatkan taraf kesehatan (Tarjum, 2004 dalam Lawolo 2013).
2. Prinsip-prinsip Kesiapan Prinsip-prinsip perkembangan kesiapan menurut Slameto (2003) yaitu : a. Semua aspek pertumbuhan berinteraksi dan bersama membentuk readiness. b. Pengalaman seorang ikut mempengaruhi pertumbuhan fisiologi individu.
12
c. Pengalaman mempunyai efek kumulatif dalam perkembangan fungsi-fungsi kepribadian individu, baik jasmaniah ataupun rohaniah.
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesiapan a. Faktor internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari diri seseorang. Faktor ini dibagi kedalam dua bagian yaitu jasmaniah dan rohaniah (psikologi), dimana bagian tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Termasuk faktor jasmaniah dapat dilihat dari kondisi fisiknya yaitu panca indra. Sedangkan untuk faktor rohaniah (psikologi) adalah minat, tingkat kecerdasan, motivasi dan kemampuan kognitifnya. Aspek-aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kesiapan yaitu : 1) Tingkat kematangan Kematangan adalah suatu kondisi yang dapat menimbulkan perubahan tingkah laku sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan.
2) Tingkat kecerdasan Kecerdasan adalah daya pikir yang merupakan salah satu aspek penentu keberhasilan seseorang dalam
melaksanakan
sesuatu pekerjaan.
Seseorang yang memiliki kecerdasan normal dan diatas normal akan lebih siap dalam menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dibanding dengan orang yang kecerdasannya dibawah normal. Aspek kecerdasan ini sangat berpengaruh terhadap kesiapan seseorang dalam melakukan tugas-tugasnya.
3) Tingkat keterampilan Keterampilan adalah kegiatan psikomotorik yang merupakan salah satu aspek yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat mengemmbangkan dirinya dan lebih kreatif dalam segala hal.
13
4) Kemampuan dan minat Kemampuan dan minat merupakan aspek yang harus dimiliki seseorang. Karena itu sebagai individu harus mengetahui dan menyadari kemampuan dan minat yang ada terhadap sesuatu yang dilakukan.
5) Motivasi Motivasi merupakan dorongan yang mendasari dan mempengaruhi setiap usaha dan kegiatan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Seseorang memiliki motivasi yang tinggi dalam melakukan sesuatu kegiatan, maka akan mendorong dirinya untuk terus berusaha menghasilkan produk yang lebih baik.
6) Kesehatan Tubuh yang sehat merupakan kondisi yang memungkinkan seseorang melakukan tugasnya dengan baik.
b. Faktor eksternal Faktor eksternal merupakan faktor yang datang dari luar diri seseorang, diantaranya : faktor lingkungan dalam, faktor lingkungan luar, dan faktor sistem instruksi.
4. Perawatan Skizofrenia Oleh Keluarga Menurut Setiadi (2006) beberapa hal penting yang harus dilakukan keluarga dalam upaya penyesuaian diri dengan kehadiran skizofrenia dalam sistem mereka dan cara mengatasinya : a. Aktif mencari informasi atau psikoedukasi Informasi-informasi yang akurat tentang skizofrenia, gejala-gejalanya, kemungkinan perjalanan penyakitnya, berbagai bantuan medis dan psikologis yang dapat meringankan gejala skizofrenia merupakan sebagai informasi vital yang sangat dibutuhkan keluarga. Informasi yang tepat akan
14
menghilangkan saling menyalahkan satu sama yang lain, memberikan pegangan untuk dapat berharap secara realistis dan membantu keluarga mengarahkan sumber daya yang mereka miliki pada usaha-usaha yang produktif. Pemberian informasi yang tepat dapat dilakukan dengan suatu program psikoedukasi untuk keluarga.
b. Sikap yang tepat adalah SAFE (Sense of humor, Accepting the illness, Family balance, Expectations which are realistic) Keluarga perlu memiliki sikap tepat tentang skizofrenia, disingkatnya sikapsikap yang tepat itu dengan SAFE. Psikoedukasi bagi keluarga dapat turut menyertakan upaya menumbuhkan sikap yang tepat ini. Adapun sikap yang tepat yaitu : 1) Sense of humor Sense of humor adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan humor sebagai cara menyelesaikan masalah, keterampilan menciptakan humor bagi orang lain/menghibur orang lain, kemampuan menghargai atau menanggapi humor. Sense of humor yang dimiliki individu dapat memperoleh perspektif yang lebih baik tentang diri sendiri. Individu yang memiliki sense of humor dapat mengembangkan pemahaman diri dan memandang dirinya secara realistik. Meskipun tidak menyukai apa yang dilihatnya, dengan sense of humor yang dimiliki individu dapat melakukan pengembangan, penerimaan diri dan menambah kematangan psikisnya.
Aspek-aspek yang berkaitan dengan sense of humor meliputi tiga cara yaitu pertama the conformist sense, yaitu tingkat kesamaan antara individu satu dengan lainnya dalam mengapresiasi materi-materi humor. Hal ini menunjukkan kemampuan individu dalam menanggapi atau pun memberikan penghargaan terhadap humor. Kedua the quantitative sense, yaitu seberapa sering individu tersenyum dan tertawa, serta
15
seberapa mudah individu merasa gembira. Hal ini menunjukkan kemampuan individu dalam menggunakan humor sebagai cara dalam menyelesaikan masalah, karena efek senyum dan tertawa akan dapat mengurangi ketegangan atau kekakuan. Ketiga the productive sense, yaitu seberapa banyak individu menceritakan cerita-cerita lucu dan membuat individu lain gembira. Dalam hal ini menunjukkan kemampuan atau keterampilan individu dalam menciptakan suatu humor.
2) Accepting the illness Accepting the illness adalah penerimaan seseorang berkaitan dengan kerelaan membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi kepada orang lain, dan kesehatan psikologis individu. Sikap menerima orang lain digambarkan sebagai sifat seseorang yang tidak pernah memberikan cap tertentu didalam sikapnya terhadap orang lain. Penerimaan keluarga merupakan hubungan keluarga menerima anggota keluarga sehingga menimbulkan suasana hangat dan rasa aman serta pemenuhan kebutuhan. Pada dasarnya penerimaan anggota keluarga ditunjukkan melalui perhatian dan kasih sayang yang mendukung pengembangan kemampuan. Wujud dari perhatian ini terlihat dalam pemberian kesempatan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan keluarga.
Menerima kenyataan adalah kunci pertama proses penyembuhan atau pengendalian skizofrenia. Keluarga harus bersikap menerima, tetap berkomunikasi dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan kasar, bentakan, atau mengucilkan malah akan membuat penderita semakin depresi bahkan cenderung bersikap kasar. Akan tetapi, terlalu memanjakan juga tidak baik. Keluarga harus membantu menumbuhkan sikap mandiri dalam diri si penderita. Mereka harus sabar dan menerima kenyataan, karena penyakit skizofrenia sulit disembuhkan.
16
Penerimaan keluarga terhadap skizofrenia ditandai dengan adanya perhatian dan kasih sayang, memberikan waktu berperan serta dalam kegiatan sehari-hari, tidak mengharapkan terlalu banyak pada penderita. Penerimaan keluarga terhadap skizofrenia yang sebenarnya sesuai dengan pemahaman yang dimiliki keluarga akan menerima kondisi penderita baik secara mental maupun fisik serta memberikan kasih sayang, perhatian yang banyak dan mampu untuk memahami perkembangan sejak dini. Menerima seseorang dengan ikhlas, tepat serta apa adanya orang tersebut adalah faktor kritis dalam membantu mengembangkan perubahan konstruktif orang tersebut, dalam memberi kemudahan pemecahan problemnya, dan mendorong usaha menuju kesehatan jiwa yang lebih besar atau belajar produktif.
3) Family balance Kehadiran dalam keluarga merupakan stressor yang sangat berat yang ditanggung keluarga. Keluarga sebagai salah satu matriks relasi, yang didalamnya seluruh anggotanya terhubung satu sama lain, terkena dampaknya yang besar. Keseimbangan keluarga sebagai suatu sistem dan
mendapat
tantangan
yang
besar.
Bilamana
suatu
sistem
mendapatkan tantangan atau ancaman sistem akan bereaksi dengan berusaha
mengamankan
dan
mengkonsolidasikan
energi
untuk
menghadapi ancaman tersebut. Dalam suatu sistem keluarga yang sehat dan tangguh, usaha itu akan meliputi peningkatan kohesivitas antara anggota keluarga.
Keluarga akan meningkatkan contextual holding, centered holding, centered realiting diantara mereka. Sebaliknya, keluarga yang kurang sehat dan tangguh biasanya akan merespon kehadiran skizofrenia dalam sistem dengan cara-cara yang berlebihan rigid dan defensif. Pemusatan energi pada upaya defensif justru akan melemahkan sistem dan secara
17
jangka panjang akan menguras energi yang dimiliki serta pada gilirannya mengancam integrasi sistem itu sendiri.
Sebagai individu tentunya kita semua juga menjadi salah satu anggota dari kelompok sosial yang terkecil yaitu keluarga. Di dalam keluarga ini kita masing-masing mempunyai kedudukan/posisi sendiri-sendiri. Dalam kapasitas usaha menjadi seorang individu seutuhnya, tentu saja kita sebagai seorang keluarga juga mempunyai hal penting lainnya yaitu pembagian perhatian, pengaturan waktu dan kegiatan yang seimbang dalam keluarga sesuai posisi masing-masing. Dengan berpatokan pada keseimbangan,
diharapkan
pula
kita
akan
mendapatkan
atau
mewujudkan keluarga yang harmonis.
4) Expectations which are realistic Keluarga berperan dalam memberikan harapan yang realistis terhadap anggota keluarga. Harapan yang tidak realistik terlalu tinggi menjatuhkan pasien secara mental. Jatuh dari tempat tinggi tentu lebih menyakitkan. Harapan yang tinggi bisa menghancurkan mental pasien yang memandang harapan tersebut adalah segala-galanya. Membangun harapan yang realistis dalam keluarga dan kepada penderita gangguan jiwa sehingga keluarga memiliki kesabaran dan tetap mendukung anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa.
c. Support group Bila mana keluarga menghadapi skizofrenia dalam keluarga mereka seorang diri, beban itu akan terasa sangat berat, namun bila keluarga yang samasama memiliki anggota keluarga skizofrenia bergabung bersama maka beban mereka akan terasa lebih ringan. Mereka dapat saling menguatkan, berbagai informasi yang mutahir, bahkan mungkin menggalang dana
18
bersama bagi keluarga yang kurang mampu. Upaya peradaan ketegangan emosional secara kelompok juga akan efektif dan lebih murah. d. Family therapy (Object relations family therapy) Family therapy dapat menjadi bagian dari rangkaian upaya membantu keluarga agar sebagai suatu sistem meningkat kohensivitasnya dan lebih mampu
melakukan
penyesuaian
diri.
Keluarga
harus
membantu
menumbuhkan sikap mandiri dalam diri si penderita seperti melibatkan dalam kegiatan sehaari-hari dan mereka harus sabar dan menerima kenyataan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh keluarga dan lingkungan dalam merawat penderita skizofrenia dirumah : 1) Memberikan kegiatan/kesibukan dengan membuatkan jadwal seharihari. 2) Berikan tugas yang sesuai kemampuan penderita dan secara bertahap tingkatkan sesuai perkembangan. 3) Menemani dan tidak membiarkan penderita sendiri dalam melakukan kegiatan, misalnya : makan bersama, bekerja bersama, rekreasi bersama. 4) Minta kelurga atau teman menyapa ketika bertemu dengan penderita, dan jangan mendiamkan penderita, atau jangan membiarkan penderita berbicara sendiri. 5) Mengajaknya/mengikutsertakan
penderita
dalam
kegiatan
bermasyarakat, misalnya pengajian, kerja bakti. 6) Berikan pujian yang realistis terhadap keberhasilan penderita, atau dukungan untuk keberhasilan sosial penderita. 7) Hindarkan berbisik-bisik di depan penderita/ ada penderita dalam suatu ruangan yang sama/disaksikan oleh penderita. 8) Mengontrol dan mengingatkan dengan cara yang baik dan empati untuk selalu minum obat dengan prinsip benar nama obat, benar nama pasien, benar dosis, benar waktu, benar cara pemberian.
19
9) Mengenali adanya tanda-tanda kekambuhan seperti : sulit tidur, mimpi buruk, bicara sendiri, senyum sendiri, marah-marah, sulit makan, menyendiri, murung, bicara kacau. 10) Kontrol suasana lingkungan yang dapat memancing terjadinya marah. 11) Segera kontrol jika terjadi perubahan perilaku yang menyimpang, atau obat habis.
5. Kesiapan Keluarga Memberikan Perawatan Lanjutan a. Struktur keluarga Struktur keluarga meliputi pola dan proses komunikasi yang memungkinkan anggota keluarga untuk mengekspresikan marahnya, sedih, gembira, komunikasi yang terbuka, komunikasi yang dapat menyelesaikan konflik keluarga, suasana emosi yang hangat, saling percaya, menghargai, memperhatikan dan menerima. Pelaksanaan peran yang dilakukan keluarga, nilai-nilai yang dimiliki dan dianut keluarga yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, norma sosial yang dianut oleh masyarakat turut mempengaruhi kesiapan keluarga. Keluarga harus bersikap menerima, tetap berkomunikasi dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan kasar, berantakan atau mengucilkan justru akan membuat penderita semakin depresi bahkan cenderung bersikap kasar. Akan tetapi, terlalu memanjakan juga tidak baik ( Chandra, 2004 ).
Tetapi yang kita temukan pada kenyataannya justru keluarga menjadi emosional, kritis, bahkan bermusuhan, jauh dari sikap hangat yang dibutuhkan ketika berhadapan dengan penderita memicu kekambuhan ( Sumarjo, 2004 ).
b. Sistem pendukung keluarga Keluarga sebagai sebuah kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah atau memperbaiki masalah kesehatan yang dalam hal ini adalah gangguan
20
jiwa yang ada dalam kelompoknya sendiri, oleh karena itu keluarga merupakan sistem yang terutama sebagai pendukung bagi klien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Maka dukungan keluarga dan lingkungan menjadi faktor yang penting (Marsono, 2010 dalam Lawolo 2013).
Keluarga pasien diharapkan memberikan perhatian khusus kepada penderita. Biasanya keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan mental menyembunyikannya sehingga tidak terlihat oleh tamu-tamu yang datang ke rumah mereka. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena penderita akan merasa dikucilkan. Yang harus dilakukan adalah menyapa penderita setiap hari dan memberikan perhatian agar mereka tidak disingkirkan ( Chandra, 2004 ).
Kesedian keluarga untuk tetap merawat dan tetap mengakuinya sebagai bagian dari orang yang disayangi sangatlah diperlukan agar mereka tetap merasa dihargai sebagai manusia layaknya. Dukungan keluarga dan teman merupakan salah satu obat penyembuhan yang sangat berarti bagi penderita. Dengan dibentuknya kelompok keluarga gangguan jiwa di masyarakat akan memungkinkan klien dan keluarga mengadakan diskusi dan tukar pengalaman dalam mengatasi gejala yang timbul pada pasien gangguan jiwa. Sayangnya masyarakat sendiri justru mengasingkan keberadaan penderita gangguan jiwa sehingga hal ini turut mempengaruhi sikap keluarga terhadap pasien bahkan gangguan jiwa dianggap sebagai penyakit yang membawa aib bagi keluarga sehingga diputuskan untuk dibuang oleh keluarganya sendiri, akhirnya faktor lingkungan dalam keluarga justru tidak mendukung kesembuhan pasien (Sumarjo, 2004 ).
Penyakit jiwa sampai saat ini memang masih dianggap sebagai penyakit yang memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya sendiri. Masyarakat kita menyebut penyakit jiwa pada tingkat yang paling parah
21
seperti “gila”, sehingga penderita harus disembunyikan atau dikucilkan, bahkan lebih parah lagi ditelantarkan oleh keluarganya. Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat secara etis untuk melakukan diskriminasi dan perlakuan buruk terhadap penderita kelainan jiwa. Karena pengucilan dan diskriminasi justru memperburuk kondisi penderita itu sendiri (Lawolo, 2013).
Tempat terbaik bagi penderita gangguan jiwa bukan di panti rehabilitasi atau di rumah sakit jiwa, apalagi dijalanan. Tempat terbaik bagi mereka adalah berada di tengah-tengah keluarganya, diantaranya orang-orang yang dicintainya. Yang mereka butuhkan adalah perhatian, pengertian, dukungan, cinta dan kasih sayang. Perhatian dan kasih sayang tulus dari keluarga dan orang-orang terdekatnya akan sangat membantu proses penyembuhan kondisi jiwanya ( Tarjum, 2004 ). Sudah seharusnya keluarga dapat mengurangi persepsi dan diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa dalam keluarga dan memberikan dukungan sosial kepadanya, rasa empati, penerimaan, mendorong untuk mulai berinteraksi sosial, dan dorongan untuk tidak berputus asa dan terus berusaha. Terapi sosial ini akan sangat membantu penderita gangguan jiwa dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang menjadi stressor bagi penderita ( Nash, 2005 ).
Penyakit gangguan jiwa ini sesungguhnya dapat teratasi dengan syarat ditangani secara tepat dan cepat. Dukungan moril dari keluarga dan orangorang terdekat jelas sangat penting bagi penderita. Ironisnya penerimaan merupakan hal tersulit yang dapat diperoleh seorang penderita. Masih banyak orang tua yang malu mengakui anaknya adalah penderita gangguan jiwa. Penyangkalan ini justru semakin menjauhkan penderita dari kemungkinan untuk sembuh (Indirani, 2005 dalam Marsono 2010).
22
c. Sumber daya keluarga Sumber keuangan seperti ekonomi dan sumber keluarga. Pekerjaan pasien yang lalu baik pekerjaan yang pokok maupun sambilan. Kemampuan pasien untuk melakukan pekerjaan di rumah sakit jiwa dan kemungkinan klien untuk kembali ke pekerjaan semula atau harus mengganti pekerjaan yang baru. Faktor ini juga adalah faktor yang penting di kaji dari keluarga karena pada umumnya kemampuan finansial keluarga pasien dengan gangguan jiwa tidak memungkinkan untuk membiayai penyembuhan penyakit yang cenderung berjalan kronis sehingga kejadian seperti ini memicu tindakan dan sikap keluarga terhadap penolakan pasien gangguan jiwa ( Chandra, 2004 ).
Vijay ( 2005 ) juga mengatakan bahwa perawatan yang dibutuhkan penderita gangguan jiwa menimbulkan dampak yang besar bagi keluarga, yaitu dampak ekonomi yang ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung.
C. Konsep Skizofrenia 1. Definisi Skizofrenia Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock, 2003).
Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh dan terganggu (Videbeck, 2008).
23
2. Penyebab Skizofrenia Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab skizofrenia, antara lain : a. Faktor genetik Menurut Hawari (2003), faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluargakeluarga penderita skizofrenia. Studi terhadap keluarga menyebutkan bahwa angka kesakitan yang orangtua nya mengalami skizofrenia adalah 5,6% ; saudara kandung 10,1% ; anak-anak 12,8% dan penduduk secara keseluruhan 0,9%. Studi terhadap orang kembar (twin) menyebutkan pada kembar identik (monozygote) 59,2%, sedangkan kembar non identik atau fraternal (dizygote) adalah 15,2%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand & Barlow, 2007).
b. Faktor biokimia Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuronneuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa
24
neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan (Durand & Barlow, 2007).
c. Faktor psikologis dan sosial Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang; sehingga orang itu terpaksa mengadakan penyesuaian diri (adaptasi) untuk menanggulangi stresor (tekanan mental) yang timbul. Namun, tidak semua orang mampu melakukan adaptasi dan mampu menanggulanginya sehingga timbullah keluhan-keluhan kejiwaan, antara lain berbagai jenis gangguan jiwa yang salah satunya adalah skizofrenia (Hawari, 2003).
Pada umumnya jenis stresor psikososial yang dimaksud dapat digolongkan sebagai berikut : perkawinan, problem orang tua, hubungan interpersonal (antar
pribadi),
pekerjaan,
lingkungan
hidup,
keuangan,
hukum,
perkembangan, penyakit fisik atau cedera dan faktor keluarga (Hawari, 2003).
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat mengalami konflik kejiwaan yang bersumber dari konflik internal (dunia dalam) dan konflik eksternal (dunia luar). Tidak semua orang mampu menyelesaikan konflik yang dialaminya sehingga orang tersebut jatuh dalam keadaan frustasi yang mendalam. Sebagai kelanjutannya yang bersangkutan menarik diri, melamun, hidup dalam dunianya sendiri yang lama-kelamaan timbullah gejala-gejala berupa kelainan jiwa misalnya halusinasi, waham dan lain sebagainya yang merupakan perjalanan awal dari skizofrenia (Hawari, 2003).
25
3. Tanda dan Gejala Skizofrenia Hawari
(2003)
menyatakan
skizofrenia
adalah
gangguan
jiwa
yang
penderitanya tidak mampu menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) dengan baik dan pemahaman diri (self insight) buruk. Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gejala terdisorganisasi. a. Gejala positif skizofrenia 1) Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun penderita tetap menyakini kebenarannya. 2) Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan (stimulus). Misalnya penderita mendengar suara-suara atau bisikanbisikan ditelinganya padahal tidak ada sumber dari suara atau bisikan itu. 3) Kekacauan alam pikiran, yaitu dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikiranya. 4) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan. 5) Merasa dirinya “orang besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan sejenisnya. 6) Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya. 7) Menyimpan rasa permusuhan.
Gejala-gejala positif skizofrenia sebagaimana diuraikan dimuka amat mengganggu lingkungan (keluarga) dan merupakan salah satu motivasi keluarga untuk membawa penderita berobat.
26
b. Gejala negatif skizofrenia Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada penderita skizofrenia adalah sebagai berikut: 1) Alam perasaan (affect) “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukan ekspresi. 2) Menarik diri atau mengasingkan diri (with drawn) tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming). 3) Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara, pendiam. 4) Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial. 5) Sulit dalam berpikir abstrak. 6) Pola pikir streotip. 7) Tidak ada atau kehilangan dorongan kehendak (avolition) dan tidak ada inisiatif, tidak upaya dan usaha, tidak ada spontanitas monoton, serta tidak ingin apa-apa dan serba malas (kehilangan nafsu).
c. Gejala terdisorganisasi 1) Dingin perasaan, tak ada perhatian pada apa yang terjadi disekitarnya. Tidak terlihat padanya reaksi emosional terhadap orang yang terdekat kepadanya, baik emosi marah, sedih dan takut. Segala sesuatu dihadapinya dengan acuh tak acuh. 2) Banyak tenggelam dalam lamunan yang jauh dari kenyataan, sangat sukar bagi orang untuk memahami pikiranya. Dan penderita lebih suka menajuhi pergaulan dengan orang banyak, dan suka menyendiri. 3) Mempunyai prasangka-prasangka yang tidak benar dan tidak beralasan. 4) Sering terjadinya salah tanggapan atau terhentinya pikiran. 5) Halusinasi pendengaran, penciuman atau penglihatan, seakan-akan penderita mendengar orang lain membicarakannya. 6) Penderita banyak putus asa dan merasa bahwa penderita adalah korban kejahatan orang banyak dan masyarakat.
27
7) Keinginan menjauhkan diri dari masyarakat, tidak mau bertemu dengan orang dan sebagainya.
4. Tipe-tipe Skizofrenia Menurut Hawari (2003), skizofrenia dapat dibagi menjadi beberapa tipe : a. Tipe paranoid Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya
meliputi
ansietas,
kemarahan,
menjaga
jarak
dan
suka
berargumentasi, dan agresif.
b. Tipe hebefrenik Ciri utama skizofrenia tipe hebefrenik adalah inkoherensi (jalan pikiran) yang kacau, tidak dapat dimengerti apa maksudnya. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata yang diucapkan tidak ada hubungannya satu dengan yang lain. Alam perasaan yang datar, tanpa ekspresi serta tidak serasi atau ketolol-tololan (silly). Bisa juga dijumpai perilaku aneh seperti menyeringai sendiri, menunjukkan gerakan-gerakan aneh, berkelakar, pengucapan kalimat yang diulang-ulang dan kecenderungan untuk menarik diri secara ekstrim dari hubungan sosial.
c. Tipe katatonik Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang berlebihan, negativisme yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang
28
ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain (echopraxia).
d. Tipe tak tergolongkan Tipe undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan.
e. Tipe residual Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan-keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.
5. Penanganan Pasien Skizofrenia Skizofrenia diyakini merupakan interaksi dari tiga faktor (biogenik-psikogeniksosiogenik) maka pengobatan gangguan skizofrenia juga diarahkan pada ketiga faktor tersebut yaitu somatoterapi, psikoterapi, dan sosioterapi. Dengan kata lain, tidak ada pengobatan tunggal yang dapat memperbaiki keanekaragaman gejala dan disabilitas berkaitan dengan skizofrenia, tetapi harus dilakukan secara komprehensif (Kaplan & Sadock, 2003). a. Somatoterapi Sasaran utama somatoterapi adalah tubuh manusia dengan harapan pasien akan sembuh melalui reaksi holistik. Somatoterapi yang umum dilakukan
29
adalah psikofarmaka dan ECT (Electroconvulsive Therapy). Psikofarmaka atau disebut obat neuroleptika/antipsikotika dibedakan menjadi dua golongan tipikal (konvensional) dan golongan atipikal (generasi kedua). Dasar pemilihan suatu jenis psikofarmaka adalah atas pertimbangan manfaat dan resiko secara individual yang mencakup farmakokinetik dan farmakodinamik.
Semua antipsikotik yang saat ini tersedia (tipikal maupun atipikal) adalah bersifat antagonis reseptor dopamin D2 dalam mesokortikal. Blokader reseptor D2 ini cenderung menyebabkan symptom ekstrapiramidal walaupun secara umum golongan atipikal mempunyai resiko efek samping neurologik
yang lebih rendah (dibandingkan antipsikotik tipikal).
Antipsikotik golongan atipikal dengan efek samping neuromotorik relatif sedikit tersebut merupakan suatu kemauan terapi terhadap skizofrenia. Meskipun demikian tetap harus dipertimbangkan bahwa efek samping lain yang tidak diinginkan dari golongan atipikal tersebut yaitu peningkatan berat badan, hiperprolaktinemia, hiperglikemia, dan dislipidemia. Akibat kurang baik lainnya seperti dislipidemia, ketoasidosis diabetika, diabetes melitus, dan perubahan elektrokardiografi (EKG) serta resiko kanker payudara akibat hiperprolaktinemia juga telah dicatat pada penggunaan antipsikotik atipikal (Kaplan & Sadock, 2003).
Jenis intervensi somatogenik selain psikofarmaka adalah ECT. Bagaimana sebenarnya cara kerja ECT sehingga dapat menyembuhkan penderita gangguan jiwa sampai sekarang belum diketahui pasti walaupun beberapa teori telah diajukan dimana ada yang berorientasi secara organik tetapi ada juga yang tidak berorientasi organik.
30
b. Psikoterapi Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada penderita skizofrenia baru dapat diberikan apabila penderita dengan terapi psikofarmaka di atas sudah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai realitas (Reality Testing Ability/ RTA) sudah kembali pulih dan pemahaman diri (insight) sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan catatan bahwa penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka (Hawari, 2003).
Psikoterapi ini banyak macam ragamnya tergantung dari kebutuhan dan latar belakang penderita sebelum sakit, sebagai contoh misalnya adalah psikoterapi suportif, psikoterapi re-edukatif, psikoterapi re-konstruktif, psikoterapi kognitif, psikoterapi psiko-dinamik, psikoterapi perilaku hingga kepada psikoterapi keluarga (Hawari, 2003).
D. Kerangka Konsep
Skema 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independen Pengetahuan tentang skizofrenia
Variabel Dependen Kesiapan keluarga memberikan perawatan lanjutan
E. Hipotesis Ada hubungan pengetahuan tentang skizofrenia dengan kesiapan keluarga memberikan perawatan lanjutan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan Tahun 2014.