BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Manajemen Pengetahuan Konsep manajemen pengetahuan berasal dan berkembang di dunia bisnis, diterapkan dengan tujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki pengoperasian perusahaan dalam rangka meraih keuntungan kompetitif dan meningkatkan laba. Manajemen pengetahuan digunakan untuk memperbaiki komunikasi diantara manajemen puncak dan diantara para pekerja untuk memperbaiki proses kerja, menanamkan budaya berbagai pengetahuan dan untuk mempromosikan dan mengimplementasikan sistem penghargaan berbasis kinerja. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, konsep manajemen pengetahuan semakin berkembang pula sesuai dengan bidangnya. Dalam bidang perpustakaan manajemen pengetahuan meliputi keseluruhan siklus pengetahuan, yaitu mulai dari penciptaan, pengadaan dan pengolahan, penyebaran, akses dan pengunaan, dan dilanjutkan dengan penciptaan kembali pengetahuan, dan seterusnya. Selama ini perpustakaan lebih banyak berfokus pada penyediaan akses dan penyebaran informasi. Disamping itu, perpustakaan selama ini lebih memperhatikan pengetahuan yang sudah terekam di luar pikiran penciptanya. Padahal banyak pengetahuan yang masih dalam kepala orang (dan belum pernah direkam dalam sumber-sumber informasi yang umumnya dikelola oleh perpustakaan selama ini).
7
Untuk dapat berpartisipasi aktif dalam siklus pengetahuan, dan mengelola pengetahuan yang explisit maupun implicit perpustakaan harus menjadi mitra bagi pengguna, menjadikan pengguna sebagai mitra, dan melayani mereka sebagai anggota jaringan. Disamping itu, perpustakaan harus menyediakan fasilitas yang memudahkan terjadinya keseluruhan proses pengetahuan. Dengan demikian, perpustakaan bisa membantu, para pengguna berkolaborasi menjadi manajermanajer pengetahuan. 2.1.1 Pengertian Manajemen Pengetahuan Seperti yang
diketahui bahwa pengetahuan (knowledge) itu cukup
kompleks jika diuraikan secara multiaspek. Dalam berbagai tulisan yang ada, manajemen pengetahuan adalah sebuah konsep baru di dunia bisnis utamanya, namun sekarang di banyak kegiatan organisasi, aplikasi manajemen pengetahuan sering digunakan, langsung ataupun tidak langsung. Menurut Laudon (2002, 372) bahwa : ”Manajemen pengetahuan berfungsi meningkatkan kemampuan organisasi untuk belajar dari lingkungannya dan menggabungkan pengetahuan ke dalam proses bisnis. Manajemen pengetahuan adalah serangkaian proses yang dikembangkan dalam suatu organisasi untuk menciptakan, mengumpulkan, memelihara dan mendiseminasikan pengetahuan organisasi tersebut”. Sampai saat ini belum ada definisi tunggal yang disepakati secara internasional mengenai manjemen pengetahuan. Tiap ahli memiliki pengertian dan penekanan pemahaman yang berbeda dalam mendefinisikan manajemen pengetahuan. Definisi itu juga semakin bervariasi dilihat dari cara pandang terhadap pengetahuan itu dan cara organisasi menggunakan dan memanfaatkan pengetahuan. 8
Widayana (2005, 5) mendefinisikan bahwa: Manajemen pengetahuan merupakan suatu sistem yang dibuat untuk menciptakan, mendokumentasikan, menggolongkan dan menyebarkan pengetahuan dalam organisasi. Sehingga pengetahuan mudah digunakan kapan pun diperlukan, oleh siapa saja sesuai dengan tingkat otoritas dan kompetensinya.
Manajamen pengetahuan juga berarti sebagai sebuah proses perencanaan dan pengontrolan kinerja aktivitas tentang pembentukan proses pengetahuan, yakni proses yang membantu suatu organisasi atau lembaga dalam mendapatkan, memilih, menyebarluaskan (distribusi), dan mentransfer informasi yang dianggap penting dan informasi yang didapat dari beragam keahlian seseorang seperti informasi yang muncul pada saat diskusi untuk menyelesaikan masalah organisasi, pembelajaran dinamis, perencanaan strategis, dan proses pengambilan keputusan. (Yusuf 2012, 23) Banyak bidang ilmu yang mempelajari manajemen pengetahuan sehingga definisinya pun bervariasi. Dari kebanyakan pendapat yang dikemukakan mengenai
pengertian
manajemen
pengetahuan,
pengertian
manajemen
pengetahuan yang dinilai paling mendekati bidang ilmu perpustakaan yaitu pengertian dari Gartner Group yang dikutip oleh Srikantaiah (2000, 3) : Knowledge Management is a discipline that promotes an integrated approach to identifying, capturing, evaluating, retrieving, and sharing all of an enterprise’s information assets. These assets may include databases, documents, policies, procedures, and previously uncaptured expertise and experience in individual.
9
Dari pendapat-pendapat di atas dapat dipahami bahwa konsep manajamen pengetahuan berkaitan dengan manajemen dokumen yang menjadi salah satu fungsi perpustakaan yaitu penciptaan, pengumpulan, penyimpanan, pemanfaatan dan penyebaran serta penemuan kembali pengetahuan dan informasi yang tepat sehingga mudah diakses kapan pun diperlukan oleh siapa saja sesuai dengan kebutuhannya. Namun ada satu konsep baru yang menarik dalam manajemen pengetahuan yaitu experience in individual workers atau pengalaman kerja seseorang. Konsep ini yang belum diadaptasi oleh perpustakaan sehingga menjadi bidang kerja yang tidak hanya mampu mengembangkan organisasi tetapi juga bermanfaat bagi perpustakaan itu sendiri. 2.1.2 Manfaat Manajemen Pengetahuan Pada umumnya manfaat dari manajemen pengetahuan adalah untuk meningkatkan kinerja organisasi. Menurut Webster Online Dictionary (2008, 2) manfaat manajemen pengetahuan adalah: 1. They facilitate the collection, recording, organization, filtering, analysis, retrieval, and dissemination of explicit knowledge. This explicit knowledge consists of all documents, accounting records, and data stored in computer memories. This information must be widely and easily available for an organization to run smoothly. A KMS is valuable to a business to the extent that it is able to do this. 2. They facilitate the collection, recording, organization, filtering, analysis, retrieval, and dissemination of implicit or tacit knowledge. This knowledge consists of informal and unrecorded procedures, practices, and skills. This “how-to” knowledge is essential because it defines the competencies of employees. A KMS is of value to a business to the extent that it can codify these “best practices”, store them, and disseminate them through-out the organization as needed. It makes the company less susceptible to disruptive employee turnover. It makes tacit knowledge explicit. 3. They can also perform an explicitly strategic function. Many feel that in a fast changing business environment, there is only one
10
strategic advantage that is truly sustainable. That is to build an organization that is so alert and so agile that it can cope with any change, no matter how discontinuous. This agility is only possible with an adaptive system like a KMS which creates learning loops that automatically adjust the organizations knowledge base every time it is used. 4. These three benefits mentioned above can be extended to the whole supply chain with the use of extranet based knowledge portals.
Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa manfaat manajemen pengetahuan adalah memfasilitasi pengumpulan, perekaman, pengorganisasian, penyaringan, analisis, temu kembali dan penyebaran pengetahuan eksplisit dan implisit serta dapat menunjukkan fungsi strategis dengan sangat jelas. Menurut Frappaolo dan Toms yang dikutip oleh Dewiyana (2009, 29), fungsi aplikasi manajemen pengetahuan dalam suatu organisasi ada lima, yaitu: 1. Intermediation: yaitu peran perantara transfer pengetahuan antara penyedia dan pencari pengetahuan. Peran tersebut untuk mencocokkan (to match) kebutuhan pencari pengetahuan dengan sumber pengetahuan secara optimal. Dengan demikian, intermediation menjamin transfer pengetahuan berjalan lebih efisien. 2. Externalization: yaitu transfer pengetahuan dari pikiran pemiliknya ke tempat penyimpanan (repository) eksternal, dengan cara seefisien mungkin. Externalization dengan demikian adalah menyediakan sharing pengetahuan. 3. Internalization: adalah “pengambilan” (extraction) pengetahuan dari tempat penyimpanan eksternal, dan penyaringan pengetahuan tersebut untuk disediakan bagi pencari yang relevan. Pengetahuan harus disajikan bagi pengguna dalam bentuk yang lebih cocok dengan pemahamannya. Maka, fungsi ini mencakup interpretasi format ulang penyajian pengetahuan. 4. Cognition adalah fungsi suatu sistem untuk membuat keputusan yang didasarkan atas ketersediaan pengetahuan. Cognition merupakan penerapan pengetahuan yang telah berubah melalui tiga fungsi terdahulu. 5. Measurement, yaitu kegiatan knowledge management untuk mengukur, memetakan dan mengkuantifikasi pengetahuan korporat dan performance dari solusi knowledge management. Fungsi ini mendukung empat fungsi lainnya, untuk mengelola pengetahuan itu sendiri.
11
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi aplikasi manajemen pengetahuan adalah sebagai perantara transfer pengetahuan antara penyedia dan pencari pengetahuan dari pikiran pemiliknya ke tempat penyimpanan eksternal dan sebaliknya pengambilan pengetahuan dari penyimpanan eksternal yang disaring sesuai dengan kebutuhan dan mudah dipahami oleh pengguna. 2.1.3 Level Manajemen Pengetahuan Level manajemen pengetahuan terdiri dari beberapa tingkatan yang digambarkan dengan piramida Gambar 2.1 dimana masing-masing tingkatan menunjukkan proses yang saling terkait satu sama lain.
Wisdom
Knowledge analized and aplied
Judgement and values Experince and learning Heuristic and rules
Knowledge
Information analized and aplied
Information
Data analized and aplied
Processing Data
Disprate data
Gambar 2.1 : Piramida Manajemen Pengetahuan Sumber: Diolah dari Outsell (2000, 10); Bawden (1996, 75); Partridge dan Hussain (1994, 2); Rosenberg (2001, 70) dalam Dewiyana (2009, 24)
12
Berdasarkan Gambar 2.1 terdapat empat level dalam manajemen pengetahuan dengan rincian sebagai berikut: Level 1: Data tersebar ditransformasikan oleh processing (pemrosesan data) ke informasi. Pada level ini biasanya disebut manajemen dokumen yaitu mengelolah isi informasi (content management), mengorganisasikan dan mendistribusikan informasi. Pemakai dapat melakukan akses dan temu kembali dokumen secara Online pada database. Level 2: Data dianalisis dan diterapkan sehingga menjadi informasi. Pemakai bisa menyumbangkan informasi ke sistem, menciptakan isi baru dan mengembangkan database pengetahuan. Pemakai bisa membaca dokumen Online, men-download, melengkapinya dan kemudian mengirimkannya ke tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian informasi dapat secara terus menerus di-update. Level 3: Informasi dianalisis dan diterapkan sehingga menjadi pengetahuan. Hal ini memerlukan pemahaman tentang input dan output informasi untuk mendukung kegiatan organisasi. Pengetahuan dibangun oleh organisasi melalui proses pemerolehan, pendistribusian, kolaborasi dan komunikasi serta penciptaan pengetahuan baru. Level 4: Pengetahuan dianalisis dan diterapkan sehingga membuat orang bijaksana. Pada level ini enterprise intelligence dikembangkan dengan membangun jaringan pakar, interaksi dengan database operasional, dan performance support, dimana pengetahuan baru yang dihasilkan, ditambahkan pada sistem.
13
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa terdapat keterkaitan antara level manajemen pengetahuan yang satu dengan level yang lain yaitu sebagai perantara transfer pengetahuan antara penyedia pengetahuan dengan pencari pengetahuan. 2.1.4 Jenis Pengetahuan Menurut yang dikemukan oleh Polanyi (1967) yang dikutip oleh Prasetya bahwa pengetahuan dibagi menjadi dua yaitu pengetahuan tacit dan explicit. 1. Pengetahuan Implisit (Tacit Knowledge) Pengetahuan implisit adalah pengetahuan yang berada di dalam pikiran manusia yang tidak dinyatakan dalam bentuk tulisan, melainkan sesuatu yang terdapat dalam benak orang-orang yang bekerja di dalam suatu organisasi. Pengetahuan implisit berupa wawasan (insights), gerak hati (intuitions), dan firasat (hunches) yang sulit diungkapkan dan dibagi kepada orang lain. Pengetahuan implisit bersifat subyektif, intuisi, terkait erat dengan aktivitas dan pengalaman individu serta idealisme, values, dan emosi. Menurut Nonaka, pengetahuan implisit memiliki dua dimensi. Yang pertama adalah dimensi teknis dan yang kedua adalah dimensi kognitif, seperti dikutip berikut ini: “Technical dimensions encompasses the kind of informal personal skills often offered as “know-how”. Cognitive dimensions consist of beliefs, ideals, values, and mental models” (Nonaka yang dikutip oleh Prasetya, 2014). a. Dimensi teknis, yang lebih bersifat informal dan know-how dalam melakukan sesuatu. Dimensi teknis yang mengandung prinsip-prinsip dan teknis
14
pengetahuan yang diperoleh karena pengalaman ini, relatif sulit didefinisikan dan dijelaskan. b. Dimensi kognitif, terdiri dari kepercayaan, persepsi, idealisme, values, emosi dan mental yang juga sulit dijelaskan. Dimensi ini akan membentuk cara seseorang menerima segala sesuatu yang ada di lingkungannya. Pengetahuan implisit individu ini sangat penting bagi sebuah organisasi. Berbeda dengan pengetahuan eksplisit, pengetahuan implisit adalah pengetahuan tak bersrtuktur. Pengetahuan implisit hanya berada dikepala manusia dalam bentuk abstrak. Pengetahuan implisit berbentuk pengalaman, skill, pemahaman, serta pengetahuan yang sulit diartikulasikan dan dituliskan dalam kata-kata, teks, maupun gambar yang berada di dalam benak seseorang. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut maka penulis memahami bahwa pengetahuan implisit adalah pengetahuan yang bersumber dari pengalaman, keyakinan, asumsi, kebiasaan dan budaya atau proses pembelajaran yang terbentuk dalam pribadi maupun kelompok yang sifatnya sulit diidentifikasi, disimpan, dipetakan dan sulit dibagi. 2. Pengetahuan Eksplisit (Explicit Knowledge) Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah dinyatakan dalam bentuk data, formula, spesifikasi produk, manual, prinsip-prinsip umum dan sebagainya. Pengetahuan eksplisit tertuang dalam media tercetak seperti buku, koran, jurnal, laporan penelitian, majalah, dan media elektronik seperti internet, EBook, online journal, dan lain-lain.
15
Menurut Awad dan Ghaziri yang dikutip oleh Prasetya (2014, 12) “pengetahuan eksplisit lebih mudah ditemukembali dan ditransfer kepada orang lain dibandingkan pengetahuan implisit. Hal ini disebabkan karena pengetahuan implisit sulit untuk dibagi melalui ruang dan waktu.” Dari pengertian tersebut pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan implisit yang telah didokumentasikan, telah diartikulasikan dalam bahasa yang formal sehingga lebih mudah diterima oleh orang lain. Sedangkan menurut Nonaka dan Takeuchi (1995, 3), Explicit knowledge (documented, computer) readily accessible, as well as documented into formal knowledge resources that are often well organized. Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang siap diakses, telah didokumentasikan dalam sumber pengetahuan formal yang telah diorganisir dengan baik. Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang bersumber dari pengetahuan implisit (tacit knowledge) yang diartikulasikan, didokumentasikan, dikodifikasi, diorganisir, dalam sebuah media tertentu misalnya dengan bantuan IT, sehingga dapat mudah diakses dan disebarkan ke pihak lain yang memerlukan. Hal ini juga dapat dilihat dalam Gambar 2.2 yaitu pertukaran pengetahuan dalam suatu organisasi. Kedua tipe ini pengetahuan tersebut tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan individual dan pengetahuan organisasi, bahkan saling berinteraksi satu sama lain.
16
Gambar 2.2 : Pertukaran Pengetahuan dalam Organisasi Sumber : Nonaka yang dikutip oleh Dewiyana (2009, 26) 2.1.5 Sumber Pengetahuan Sumber-sumber pengetahuan dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: modal pengetahuan (knowledge capital), modal sosial (social capital) dan modal infrastruktur (infrastructure capital) (Short 2000, 354-357). a) Modal pengetahuan (knowledge capital) Aset pengetahuan boleh jadi tersimpan, atau terletak pada pekerjaan rutin, proses dan prosedur, peran jabatan dan pertanggungjawaban, dan struktur organisasi. Pengetahuan yang tersimpan dalam sistem ini digunakan secara reguler untuk melaksanakan tugas atau langkah-langkah proses pekerjaan secara konsisten. b) Modal Sosial (social capital) Nahapiet dan Ghosal yang dikutip oleh Honeycut (2000), memberikan definisi aset sosial sebagai sejumlah sumberdaya yang potensial dan aktual yang
17
tersimpan dalam, tersedia melalui, dan diperoleh dari jaringan antar hubungan yang diproses oleh individu atau organisasi. Inti teori aset sosial adalah tersedianya jaringan antar hubungan yang menyediakan sumber untuk menjalankan kegiatan sosial, menyediakan koleksi aset pengetahuan yang dimiliki kepada anggota mereka. c) Modal Infrastruktur (Infrastructure Capital) Telah dimaklumi secara umum bahwa kekuatan layanan informasi tergantung pada ketersediaan infrastruktur informasi yang dapat memenuhi meningkatnya permintaan akan pertukaran dan manipulasi informasi melalui jaringan kepada pengguna yang terpisah secara geografis (McLean yang dikutip oleh
Honeycut,
2000).
Infrastruktur
kapital
mencakup
sumber-sumber
pengetahuan suatu perusahaan, seperti jaringan LAN/WAN, file, server, network, intranet, PC, dan aplikasinya. , semua infrastruktur teknologi informasi dapat dikatakan sebagai bagian dari infrastructure capital juga mencakup struktur organisasi, pembukuan atau pemberkasan, peran pertanggungjawaban, dan lokasi kantor secara geografis yang menyediakan sarana fisik dalam berbagai pasar. Sumberdaya ini secara rutin ditopang oleh perusahaan dengan tugas keseharian, baik administrasi maupun operasional. Secara ringkas, Prusak (1998) yang dikutip oleh Koenig dan Srikantaiah menggambarkan sumber-sumber pengetahuan, social capital, dan infrastructure capital dalam tabel berikut:
18
Tabel 2.1 : Sumber-Sumber pengetahuan Knowledge Resources
Social Capital
Infrastructure
Explicit
Culture
Processes
Tacit
Trust
Resources
Formal
Knowledge Behavior
Technology
Informal
Human Capital Issues
Matric
Sumber: Prusak (1998) seperti dikutip Koenig dan Srikantaiah (2000, 30) Dari Tabel 2.1 dipahami bahwa agen yang menggunakan aset pengetahuan (customer capital) berada dalam semua ranah. Di dalam sumber-sumber pengetahuan mencakup customer, di infrastruktur juga mencakup customer, dan dalam social capital mencakup antar hubungan, bukan hanya dengan organisasi, tetapi juga dengan customer (dan supplier yang juga salah satu dari customer). 2.1.6 Penerapan Manajemen Pengetahuan Menurut Bhatt yang dikutip oleh Dewiyana (2008, 12) menyatakan bahwa ada tiga aspek yang berkaitan dengan penerapan manajemen pengetahuan. Ketiga aspek tersebut adalah: 1. People aspects, terdiri dari pendidikan, pengembangan, rekrutmen, motivasi, retensi, organisasi, uraian pekerjaan, perubahan budaya perusahaan, dan mendorong adanya pengembangan pemikiran, kerjasama dan partisipasi seluruh pegawai (share knowledge to creating value through social interaction). 2. Process aspects, yaitu terdiri dari proses inovasi, continues improvement, dan perubahan radikal seperti reengineering. 3. Technology aspects, yaitu terdiri dari informasi dan decision support system, knowledge-based system, dan data mining system.
19
Gambar 2.3 : Komponen Knowledge Sumber: Bhatt, 2000 Dari Gambar 2.3 dapat diketahui bahwa komponen sumber daya manusia menjadi faktor penting penerapan manajemen pengetahuan untuk menghasilkan budaya belajar dalam suatu organisasi karena hampir sebagian besar pengetahuan yang dimiliki seseorang jauh lebih berpotensi daripada teknologi yang disediakan oleh organisasi. Pendapat lain dikemukakan Brooking yang dikutip oleh Dewiyana (2008, 15), ada empat langkah strategi aplikasi manajemen pengetahuan di perpustakaan, yaitu: 1. Identify knowledge, yaitu mengidentifikasi pengetahuan, termasuk level dan fungsinya yang sebenarnya. 2. Audit knowledge yaitu mengidentifikasi pengetahuan optimal yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan yang optimal. 3. Docment knowledge, yaitu mendokumentasikan asset pengetahuan menggunakan sistem dan alat-alat berbasis pengetahuan. 4. Disseminate knowledge, yaitu menyebarkan pengetahuan
20
Menurut Sangkala (2007, 201) ada sepuluh langkah strategi untuk menerapkan manajemen pengetahuan dalam organisasi, antara lain: 1. Analisis infrastruktur yang ada 2. Mengaitkan manajemen pengetahuan dengan strategi bisnis 3. Mendesain infrastruktur manajemen pengetahuan 4. Mengaudit aset dan sistem pengetahuan yang ada 5. Mendesain tim manajemen pengetahuan 6. Menciptakan blueprint manajemen pengetahuan 7. Pengembangan sistem manajemen pengetahuan 8. Prototipe dan uji coba 9. Pengelola perubahan, kultur dan struktur penghargaan 10. Evaluasi kinerja, mengukur roi, dan perbaikan sistem manajemen pengetahuan.
Langkah-langkah di atas merupakan suatu proses yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi suatu sistem yang utuh dari pendekatan knowledge management dalam pengelolaan perpustakaan. Sedangkan menurut Bynton (1996), strategi aplikasi KM mencakup: (a) making knowledge visible (mudah digunakan: menentukan siapa mengetahui apa; klasifikasi
keahlian);
(b)
building
knowledge
intensity
(penciptaan
pengetahuan/khazanah lokal: training, mengembangkan kecakapan; manajemen proses pengetahuan; dan jaringan); (c) developing a knowledge culture (mendorong motivasi: nilai dan budaya, rewarding, sharing atau bertukar pengetahuan, berbagi pemikiran dan pandangan, percaya satu sama lain); (d) building a knowledge infrastructure (memungkinkan akses ke sumber-sumber informasi dan pengetahuan, baik dari dalam maupun dari luar organisasi; menggunakan metode dan alat-alat modern). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini:
21
Tabel 2.2 Strategi Konsep Manajemen Pengetahuan Making Knowledge Visible
Building Knowledge Intensity
Easy Usability: − Who knows what − Taxonomy of expertise − Yellow pages − Competence
(Local) Creation: − Training face to face contact − Competence centers − Community of practices − Management to knowledge processes − Networking
Building Knowledge Infrastructure
Developing a Knowledge Culture
Global Access: − Common communication infrastructure − Access to external/internal − Information/knowledge/Sources − Use of modern methods and tools
Motivation Enabler: − Values and culture − Rewarding − Sharing/exchange knowledge − Shared mindset and vision − Trust if each other
Sumber : Bynton dalam Muralidhar (2000, 24) Dari pendapat tersebut disimpulkan bahwa strategi penerapan manajemen pengetahuan terdiri dari mengidentifikasi, mengaudit dan mendokumentasikan asset pengetahuan yang ada, kemudian membangun infrastruktur komunikasi menggunakan metode dan alat-alat modern untuk penyebaran dan pengaksesan ke sumber informasi dan pengetahuan baik dari dalam maupun dari luar organisasi. 2.1.7 Penerapan Manajemen Pengetahuan dalam Konteks Perpustakaan Dalam konteks perpustakaan, manajemen pengetahuan dapat digolongkan sebagai
proses
penciptaan,
pengadaan,
penyaringan,
pengorganisasian,
penyimpanan, penemuan kembali, pemanfaatan pengetahuan dan kembali ke penciptaan dan seterusnya. (Dewiyana 2009, 35)
22
2.1.7.1 Penciptaan Pengetahuan Dalam penciptaan pengetahuan, dikenal yang namanya Spiral Of Knowledge, yaitu sebuah model yang menggambarkan bagaimana sebuah pengetahuan berpindah dari yang berbentuk tacit menjadi eksplicit dan berpindah lagi menjadi tacit. Dalam proses ini, pengetahuan bukanlah sesuatu yang statis dan memiliki akhir, melainkan suatu proses yang berkelanjutan dan dinamis antar pengetahuan tacit dan eksplicit. Pengetahuan terus-menerus diciptakan dalam setiap kelompok, perusahaan atau organisasi dengan berinteraksi di antara orangorang yang menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan dapat diciptakan melalui kombinasi dan pertukaran. Masih mungkin ada cara lain selain dua cara tersebut namun dua cara ini termasuk mekanisme kunci dalam pembentukan pengetahuan bersama. Pengetahuan juga dapat tercipta dari pengetahuan yang melibatkan kegiatan penciptaan kombinasikombinasi baru, baik dengan jalan mengkombinasikan elemen-elemen yang tadinya tidak saling berhubungan maupun dengan mengembangkan cara baru dalam mengkombinasikan elemen-elemen yang sudah berhubungan. Menurut cara yang digunakan, terdapat 4 proses konversi knowledge menurut Nonaka (dalam Dewiyana 2009, 37) yaitu: 1. Socialization, adalah konversi dari tacit knowledge ke tacit knowledge, terjadi ketika seorang individu berbagi tacit knowledge secara langsung dengan orang lain, seperti melalui diskusi, seminar, percakapan dan sebagainya sehingga pengetahuan seseorang menjadi bagian dari pengetahuan orang lain. Proses ini tidak cukup hanya dilakukan dengan mendengarkan dan berpikir. 2. Externalization, adalah konversi dari tacit knowledge ke explicit knowledge, terjadi ketika tacit knowledge diartikulasikan dalam bentuk karya tulis seperti buku, laporan penelitian, artikel dan sebagainya.
23
3. Combination, adalah konversi dari explicit knowledge ke explicit knowledge. Hal ini terjadi ketika seorang individu menggabungkan explicit knowledge yang berbeda ke dalam lingkaran explicit knowledge yang baru melalui analisis, pengelompokan, dan penyusunan kembali. 4. Internalization, adalah konversi dari explicit knowledge ke tacit knowledge, yang terjadi ketika explicit knowledge dimanfaatkan bersama (sharing) melalui organisasi dan jaringan informasi untuk memperluas, mengkerangkakan kembali (reframe) dan mengembangkan tacit knowledge-nya.
2.1.7.2 Pengadaan Pengetahuan Pengetahuan tidak hanya dapat diraih dari buku manual atau literatur, tetapi juga dapat diraih dengan metafora, intuisi, dan pengalaman (Nonaka 1995, 11). Pengadaaan pengetahuan merupakan istilah lain dari perekaman pengetahuan (knowledge capture). Dapat dipahami bahwa proses pengadaan pengetahuan merupakan kegiatan pengumpulan segala sumber daya pengetahuan yang telah diciptakan yang selanjutnya dapat disimpan dan diintegrasi dalam sistem perpustakaan. Berikut ini merupakan proses pengadaan pengetahuan yang ditawarkan Partridge dan Hussain, proses diawali dengan perencanaan, kemudian dilanjutkan dengan pengorganisasian, sampai kepada test kehandalannya.
24
Plan knowledge-base
Identify Define Develop partial Knowledge dictionaries Plan testing phase
Organize knowledge
Identify type knowledge needed Classify knowledge Select knowledge engineer and domain expert Determine knowledge
Extract/explicit knowledge
Select technique of knowledge acquisition Conduct interview Conduct brainstorming Consult resources Document knowledge
Formulate and represent knowledge
Implement knowledge-base
Test knowledge-base
Select instrument Use instrument Analyse result Represent knowledge
Code knowledge-base
Prepare test scenarios Verivy Validate
Gambar 2.4 Proses Pengadaan Pengetahuan Sumber : Partidge dan Hussain (1995,187) yang dikutip oleh Dewiyana (2009, 40)
25
2.1.7.3 Penyaringan Pengetahuan Penyaringan pengetahuan berarti memilih sumber pengetahuan yang tersedia melalui suatu proses penyaringan (filtering process). Proses penyaringan bertujuan untuk mempertimbangkan mana informasi yang tepat untuk digunakan dan mana yang harus diabaikan. Hal ini untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber-sumber pegetahuan yang akan disimpan. Selain itu juga untuk menjamin agar sumber-sumber pengetahuan senantiasa relevan dengan kebutuhan sehingga tetap diminati pemakainya. Faktor utama yang menentukan mana informasi yang akan dinilai, adalah relevansi informasi bagi penerima. Relevansi juga berarti bahwa seseorang akan lebih memperhatikan ke informasi yang berhubungan dengan minatnya atau kepada masalah yang sedang dihadapi (Dewiyana 2009, 41). Peran perpustakaan dalam penyaringan pengetahuan adalah memilih dan menggunakan
pengetahuan
yang
sangat
mendukung
pencapaian
tujuan
perpustakaan. 2.1.7.4 Pengorganisasian dan Penyimpanan Pengetahuan Kegiatan pengorganisasian lebih dekat dengan pengolahan explicit knowledge, atau knowledge yang terekam. Organisasi harus memastikan informasi yang diakuisisi atau pengetahuan bersama yang mudah diakses orang lain. Hal ini dapat dilakukan dengan menyimpan informasi di lokasi yang terpusat untuk memudahkan pengambilan.
26
Pada perpustakaan dikenal dengan istilah klasifikasi, yaitu kegiatan yang berhubungan dengan representasi pengetahuan yaitu penomoran bahan pustaka dengan menggunakan berbagai skema klasifikasi seperti DDC, UDC, LC, dan di lingkungan internet untuk koleksi berbentuk digital digunakan standar metadata Dublin Core. Menurut Dewiyana (2009, 43): Kegiatan pengorganisasian selalu diikuti dengan kegiatan penyimpanan. Jika kegiatan dilakukan di tingkat organisasi, pengetahuan disimpan dalam penyimpanan pengetahuan (knowledge repository) misalnya: server, yang dapat diakses secara kolektif untuk pemanfaatan bersama. Adanya knowledge repository ini dan ketersediaan data di dalamnya merupakan prasyarat terjadinya pertukaran dan penggabungan pengetahuan yang memungkinkan terciptanya pengetahuan baru.
Dapat disimpulkan bahwa proses pengorganisasian pengetahuan di perpustakaan selalu terkait dengan proses penyimpanannya. Hal ini berkaitan dengan fasilitas penemuan kembali informasi yang dibutuhkan user. Teknologi informasi yang dapat digunakan dalam proses ini adalah Relational Database Management System (RDBMS), misalnya: database katalog seperti OPAC, WEBPAC dan lain-lain. 2.1.7.5 Penyebaran dan Akses Pengetahuan Luasnya pengetahuan yang tersedia, penyedia informasi harus tetap dapat menyediakan informasi secara konstan dan tanpa batas dengan bantuan teknologi informasi unruk penelusuran dan akses pengetahuan. Penyebaran pengetahuan bisa dilakukan dengan meningkatkan akses (improve knowledge access) dan transfer pengetahuan organisasi, seperti melalui penciptaan jaringan pakar (expert
27
networks) di mana individu dengan keahlian yang diharapkan, terorganisasi secara formal dalam suatu jaringan dan melakukan kontak satu sama lain, menggalang komunitas dengan minat yang sama (creating a community of interest). (Dewiyana 2009, 44) Ada 4 langkah strategis aplikasi knowledge manegement di perpustakaan tersebut menurut Brooking dalam Muralidhar (2000, 223) secara garis besar yaitu: 1. Identify knowledge (mengidentifikasi pengetahuan, termasuk level dan fungsinya yang sebenarnya). 2. Audit knowledge (mengidentifikasi pengetahuan optimal yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan yang optimal). 3. Document knowledge (mendokumentasikan aset pengetahuan menggunakan sistem dan alat-alat berbasis pengetahuan). 4. Disseminate knowledge (menyebarkan pengetahuan). Sebagaimana yang dijelaskan di atas merupakan langkah-langkah proses saling terkait satu sama lain sehingga menjadi suatu sistem yang utuh dari konsep manajemen pengetahuan dalam pengelolaan perpustakaan. Konsep
tersebut
menekankan pada pentingnya pemberdayaan aset intelektual suatu organisasi baik eksplisit maupun implisit. 2.1.7.6 Pemanfaatan Kembali Pengentahuan Pemanfaatan pengetahuan merupakan hal pokok dari proses manajemen pengetahuan, pemanfaatan pengetahuan merupakan penentu dari kaitan seluruh proses manajemen pengetahuan. Berikut ini merupakan pendapat Levinson yang dikutip oleh Prasetya (2014, 24): “Knowledge management is the process which generates the value from their intelectual Knowledge-Based Assets.Most often, generally value from such assets involvels codifying what employees partner and customers know and sharing that information among to devise best practices.”
28
Pemanfaatan pengetahuan ekplisit dengan cara akses dan sharing akan melahirkan ide-ide baru yang menjadi awal terciptanya pengetahuan baru. Proses ini terjadi, hanya dimungkinkan terbukanya akses ke sumberdaya pengetahuan kolektif. Akses pengetahuan adalah suatu proses pengambilan (extraction) pengetahuan dari knowledge repository. Beberapa hal yang berkaitan dengan akses adalah : keanggotaan, ketersediaan data (misalnya : full teks, abstrak, dan lainnya), dan layanan yang bersifat terbuka untuk siapa saja. Teknologi yang dibutuhkan dalam proses ini adalah teknologi untuk knowledge sharing. Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa hasil dari manajemen
pengetahuan
adalah
proses
penciptaan
pengetahuan
secara
berkesinambungan dimana hasil penciptaan kemudian dimanfaatkan kembali dalam proses penciptaan pengetahuan selanjutnya. Siklus pengetahuan yang dimulai dari penciptaan sampai pemanfaatan kembali sehingga tercipta pengetahuan baru memyerupai spiral seperti gambar 2.5 berikut ini:
Gambar 2.5 : Knowledge Spiral Sumber : Nonaka dalam Dewiyana (2009, 45)
29
Jika gambar 2.5 di atas dikonversikan ke siklus pengetahuan yang terjadi di perpustakaan maka gambarnya akan menjadi seperti gambar 2.6 berikut ini: New Idea New Decision
Tacit
Collaboration
Knowledge Creation
Knowledge Capital
Conten Explicit Management
Knowledge Acquisition Knowledge filtering Knowledge organization
Knowledge Dissemination
Knowledge Seeker
Knowledge Repository Infrastruktur
Knowledge
Knowledge
Access
Sharing
New Idea New Decision
Gambar 2.6 : Pendekatan Manajemen Pengetahuan di Perpustakaan Sumber : Main (dalam Dewiyana 2009, 46)
30
2.2 Grey Literature 2.2.1 Pengertian Grey Literature Grey literature (literatur abu-abu) merupakan jenis koleksi yang terdiri dari laporan penelitian atau karya ilmiah, makalah seminar, dan terbitan pemerintah. Grey literature tidak tersedia di deretan buku untuk dijual (non-commercial printed materials); fisik luar (cover), pencetakan dan penjilidan sederhana; dibuat untuk keperluan khusus atau untuk kalangan terbatas, misalnya prosiding, disertasi, bibliografi, laporan dan sebagainya. Banyak penulis atau para ahli memberikan pendapat tentang grey literature. Reitz (2004, 68) dalam Dictionary for Library and Information Science memberikan definisi grey literature sebagai: Printed works such as reports, preprints, internal documents, Ph.D. dissertations, master’s theses, and conference proceedings, not readily available through regular market channels because they were never commercially published or listed or were poorly distributed. Sedangkan menurut Virginia Institut of Marine Science (VIMS) (2003, 1), grey literature adalah : This term refers to papers, reports, technical notes or other documents produced and published by governmental agencies, academic institutions and other groups that are not distributed or indexed by commercial publishers. Dari ketiga pendapat tersebut terdapat kesamaan bahwa grey literature adalah koleksi tercetak maupun elektronik yang diterbitkan oleh lembaga pemerintah, institusi akademik, pusat penelitian, yang meliputi makalah seminar, laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi, terbitan pemerintah, dan dokumen lain yang merupakan hasil kajian karya ilmiah yang tidak didistribusikan secara
31
komersial dan tidak tersedia dipasaran (tidak semua perpustakaan memiliki) karena jumlah cetakan yang sangat terbatas. 2.2.2. Jenis Dokumen Grey Literature Secara umum, koleksi grey literature tidak dapat dipinjamkan kepada pengguna dan hanya boleh dibaca di tempat saja. Skripsi, tesis, disertasi, makalah seminar, laporan penelitian, dan pidato pengukuhan adalah jenis koleksi grey literature yang terdapat di perpustakaan perguruan tinggi. Namun beberapa contoh dokumen grey literature lainnya terdapat dalam buku Perpustakaan Perguruan Tinggi: Buku Pedoman (2004, 55) menyatakan bahwa: Grey literature (literatur abu-abu) yang dimaksud adalah: 1. Skripsi, tesis, disertasi 2. Makalah seminar, symposium, konferensi, dsb 3. Laporan Penelitian dan Pengadian kepada masyarakat 4. Laporan lain-lain, Pidato Pengukuhan, dsb 5. Artikel yang Dipublikasikan oleh media masa. 6. Publikasi Internal Kampus 7. Majalah atau Buletin Kampus. Pendapat lain dikemukakan Rompas yang dikutip oleh Huda (2007, 19) yang menyatakan bahwa: Karya tulis ilmiah, yang dapat berupa penelitian, survey dan evaluasi, karya persyaratan akademisi dapat berupa skripsi, tesis dan disertasi; buku pedoman dan petunjuk yang dibuat mengiringi sebuah produk barang baru berupa alat, metode atau suatu peraturan dan undangundang, laporan-laporan penelitian, liputan peristiwa, organisasi/instansi, perkembangan bidang ilmu tertentu dan sebagainya, bibliografi, katalog dan daftar. Dari segi informasi yang terkandung, literatur kelabu merupakan informasi yang dipilih dan orisinil, objektif dan mutakhir.
32
Adapun bentuk dokumen Grey Literature terdiri dari tercetak dan elektronik. Menurut Santosa (2014) ada tipe baru dalam Grey Literature yang merupakan bentuk elektronik yaitu 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Informal communication (minutes) E-prints and pre-prints Blogs Web-based video and audio (YouTube, podcast) Google Scholar Research profiles Repositories Catalogues
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa koleksi grey literature meliputi karya ilmiah dan non ilmiah yang dihasilkan oleh suatu perguruan tinggi, lembaga pemerintah, pusat penelitian baik dalam bentuk tercetak maupun elektronik berupa skripsi, tesis, disertasi, laporan penelitian, majalah, bulletin kampus, terbitan pemerintah, laporan tahunan, pidato pengukuhan guru besar yang wajib disimpan di perpustakaan sesuai keputusan rektor. 2.2.3 Pengolahan Grey Literature Kegiatan pengolahan dilakukan dimulai dari bahan pustaka masuk ke perpustakaan sampai siap untuk digunakan oleh pengguna. Adapun kegiatan pengolahan koleksi meliputi: pengadaan, inventarisasi, pengorganisasian dan penyimpanan koleksi, pengolahan dokumen elektronik serta pengaksesan dan temu kembali dokumen tersebut. Kegiatan pengolahan bertujuan agar semua koleksi dapat ditemukan atau ditelusur dan dipergunakan dengan mudah oleh pemakai.
33
Menurut Sutarno (2005: 104) “kegiatan pengolahan bahan pustaka meliputi pekerjaan membuat identifikasi informasi, katalogisasi, klasifikasi, pembuatan kelengkapan koleksi, penyusunan koleksi, dan pengolahan dengan komputer”. Sedangkan menurut Qalyubi yang dikutip oleh Iskandar (2011) yaitu “yang dimaksud dengan kegiatan pemrosesan atau pengolahan bahan pustaka adalah suatu kegiatan yang meliputi kegiatan-kegiatan: inevntarisasi, klasifikasi, pembuatan catalog, penyelasaian dan penyusunan buku di rak”. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan pengolahan bahan pustaka meliputi inventarisasi, katalogisasi, klasifikasi pembuatan kelengkapan koleksi dan penyusunan koleksi ke rak. Hal ini sama halnya dengan pengolahan koleksi grey literature. 2.2.3.1 Pengadaan Koleksi Grey Literature Pada prinsipnya pengadaan bahan pustaka di setiap perpustakaan merupakan salah satu bagian dari pekerjaan perpustakaan yang mempunyai tugas mengadakan dan mengembangkan koleksi-koleksi yang menghimpun informasi dalam segala macam bentuk, seperti buku, majalah, brosur, tukar menukar maupun pembelian. Dengan demikian pengadaan bahan pustaka baru bisa dikatakan suatu proses kerja untuk mengindentifikasi dan menghimpun bahanbahan yang sesuai untuk dijadikan koleksi di setiap perpustakaan. Menurut Sulistyo-Basuki (2001, 27) menyatakan bahwa: Pengadaan bahan pustaka merupakan konsep yang mengacu kepada prosedur sesudah kegiatan pemilihan untuk memperoleh dokumen, yang digunakan untuk menggembangkan dan membina koleksi atau himpunan dokemun yang diperukan untuk memenuhi kebutuhan informasi serta mencapai sasaran unit informasi.
34
Menurut Darmono (2001, 43), Ada beberapa metode dalam pengadaan bahan pustaka adalah sebagai berikut : 1. Pembelian, untuk meringankan biaya pembelian, kita bisa melakukan pembelian di bursa buku-buku bekas atau menelusuri pameranpameran buku karena pameran buku biasanya memberikan diskon besar-besaran, kesempatan seperti ini harus dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi pengelola perpustakaan. 2. Tukar-menukar, kita bisa melakukan kerja sama dengan perpustakaan yang lain dengan tukar-menukar koleksi dengan cara peminjaman jangka panjang. Sehingga pemustaka bisa memanfaatkan koleksi dari perpustakaan yang lain. 3. Hadiah, untuk mendapatkan buku secara cuma-cuma/ hadiah, maka perpustakaan dan pustakawan harus pro aktif bekerja sama dalam mencari unit kerja atau instansi atau LSM mana yang dapat menghadiahkan buku-bukunya bagi keperluan perpustakaan. Pendekatan ini sangat diperlukan, karena dengan adanya permohonan yang resmi dari pejabat perpustakaan akan memudahkan proses pustakawan dalam memperoleh buku-buku yang di perlukan perpustakaan secara cuma-cuma. 4. Sumbangan, perpustakaan dan pustakawan harus pro aktif mencari perpustakaan yang akan mengadakan penyiangan koleksi, sehingga bisa membuat permohonan buku-buku hasil penyiangan tersebut bisa disumbangkan dan dimanfaatkan oleh perpustakaan kita. 5. Kerjasama, kita bisa mendapatkan bahan pustaka dengan melakukan kerjasama, misalnya dengan penerbit dan penulis dengan mendapatkan harga buku-buku yang serendah-rendahnya dengan kualitas yang sama dengan buku yang bagus dan mahal. 6. Terbitan Sendiri, metode pengadaan koleksi yang terakhir adalah dengan memproduksi sendiri koleksi perpustakaan. Contoh kongkrit dari metode pengadaan ini antara lain adalah kliping atau karya tulis yang dihasilkan oleh pustakawan, siswa dan guru yang kemudian dihimpun menjadi koleksi perpustakaan.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengadaan koleksi bahan pustaka dapat dilakukan dengan cara pembelian, hadiah/sumbangan, tukar menukar, kerjasama dan wajib simpan terbitan perpustakaan itu sendiri.
35
Sebagai pusat deposit untuk seluruh karya dan pengetahuan yang dihasilkan oleh suatu perguruan tinggi, setiap publikasi di lingkungan perguruan tinggi wajib diserahkan ke perpustakaan. Melalui pusat deposit ini, perpustakaan memungkinkan untuk mendapat tambahan bahan pustaka yang bersifat grey literature. Dalam perpustakaan perguruan tinggi, kegiatan pengumpulan atau pengadaan koleksi grey literature dilakukan melalui wajib simpan terbitan perguruan tinggi sesuai keputusan rektor. (Siagian 2009, 48) 2.2.3.2 Pengorganisasian dan Penyimpanan Koleksi Grey Literature Kegiatan pengorganisasian dilakukan sejak koleksi Grey literature masuk ke perpustakaan sampai siap untuk dilayankan dan dimanfaatkan oleh pengguna. Kegiatan ini bertujuan agar semua koleksi dapat ditemukan dan dipergunakan dengan mudah oleh pengguna. Dalam organisasi perpustakaan, pengorganisasian lebih dikenal dengan proses klasifikasi, katalogisasi serta pembuatan metadata koleksi. Klasifikasi yaitu kegiatan penomoran koleksi dengan menggunakan standar klasifikasi seperti DDC, UDC, LC dan penentuan subjek menggunakan LCSH. Sedangkan untuk koleksi elektronik/digital digunakan standar metadata Dublin Core. Kegiatan pengorganisasian diikuti dengan kegiatan penyimpanan koleksi. Koleksi yang sudah selesai diolah, disimpan dan ditempatkan ke rak penyimpanan koleksi yang biasa disebut dengan shelving. Sedangkan koleksi digital/elektronik disimpan dalam repository melalui website perpustakaan.
36
2.2.3.3 Pengaksesan dan Temu Kembali Kecepatan
perubahan
dan
penambahan
informasi
menyebabkan
dibutuhkannya suatu sistem yang dapat mengakses dan menyediakan berbagai informasi tersebut. Dengan munculnya keragaman kebutuhan manusia dan keterbatasan komputer yang hanya bisa bekerja jika langkah-langkah kerja itu teratur atau terpola sebelumnya. Maka persoalan keragaman kebutuhan ini menimbulkan persoalan relevansi. Sistem temu kembali hanya bisa bekerja dengan efektif jika pemakai melakukan tindakan-tindakan yang terpola juga. Jika pemakai sistem bertingkah laku serampangan, sistem komputer akan bingung juga akhirnya. Dalam konteks ini, temu kembali informasi berkaitan dengan representasi, penyimpanan, dan akses terhadap dokumen representasi dokumen. Dokumen yang ditemukan tidak dapat dipastikan apakah relevan dengan kebutuhan informasi pengguna yang dinyatakan dalam query. Pengguna Sistem Temu Kembali informasi sangat bervariasi dengan kebutuhan informasi yang berbeda-beda. Oleh karena itu strategi penelusuran sangat penting dirumuskan bagi seorang penelusur sebelum melakukan penelusuran, terutama agar penelusuran berjalan efektif. Hasil dari penelusuran informasi itu tidak selamanya cocok dengan kebutuhan pemakai, ada kalanya menyimpang dikarenakan kurang tepatnya dalam merumuskan pertanyaan penelusuran (search statement).
37
Hasugian (2003) menjelaskan bahwa sistem temu kembali informasi pada dasarnya adalah suatu proses untuk mengidentifikasi, kemudian memanggil (retrieval) suatu dokumen dari suatu simpanan (file), sebagai jawaban atas permintaan informasi. Sedangkan Salton yang dikutip oleh Janusaptari (2006, 2) menyatakan bahwa temu kembali informasi merupakan: Suatu sistem yang menyimpan informasi dan menemukan kembali informasi tersebut. Secara konsep bahwa ada beberapa dokumen atau kumpulan record yang berisi informasi yang diorganisasikan ke dalam sebuah media penyimpanan untuk tujuan mempermudah ditemukan kembali. Dokumen yang tersimpan tersebut dapat berupa kumpulan record informasi bibliografi maupun data lainnya. Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa temu kembali informasi adalah proses pencarian dokumen dengan mengguanakan istilah (query) yang berhubungan agar dokumen yang muncul sesuai dengan subjek yang dibutuhkan pengguna. 2.2.4 Pengolahan Dokumen Elektronik Banyak teknik dalam mengolah dokumen elektronik. Pengolahan dokumen elektronik memerlukan teknik khusus yang memiliki perbedaan dengan pengelolaan dokumen tercetak. Pengolahan dokumen elektronik yang baik dan terstruktur adalah bekal penting dalam pembangunan sistem perpustakaan digital (digital library). Salah satu proses pengolahan dokumen elektronik adalah proses digitalisasi dokumen. Proses digitalisasi adalah proses pengalihan dokumen tercetak menjadi dokumen elektronik. Proses digitalisasi dapat dilakukan terhadap berbagai macam bahan pustaka termasuk grey literature.
38
Menurut Pendit (2007, 244) Proses digitalisasi tersebut meliputi 3 kegiatan utama yaitu: 1. Scanning, yaitu proses memindai (men-scan) dokumen dalam bentuk cetak dan mengubahnya ke dalam bentuk berkas digital. Berkas yang dihasilkan dalam contoh ini adalah berkas PDF. Dalam bagan tersebut tampak bahwa alat yang digunakan untuk memindai dokumen adalah Canon IR2200. Mesin lain yang kapasitasnya lebih kecil dapat digunakan sesuai dengan kemampuan perpustakaan. 2. Editing, adalah proses mengolah berkas PDF di dalam komputer dengan cara memberikan password, watermark, catatan kaki, daftar isi, hyperlink, dan sebagainya. Kebijakan mengenai hal-hal apa saja yang perlu diedit dan dilindungi di dalam berkas tersebut disesuaikan dengan kebijakan yang telah ditetapkan perpustakaan. Proses OCR (Optical Character Recognition) dikategorikan pula ke dalam proses editing. OCR adalah sebuah proses yang mengubah gambar menjadi teks. Sebagai contoh, jika kita memindai sebuah halaman abstrak tesis, maka akan dihasilkan sebuah berkas PDF dalam bentuk gambar. Artinya, berkas tersebut tidak dapat diolah dengan program pengolah kata. Untuk mengubahnya menjadi teks, dibutuhkan proses OCR. Proses OCR hanya dilakukan untuk halaman abstrak saja karena 2 (dua) alasan: Pertama, halaman abstrak perlu dikonversi menjadi teks, karena setiap kata di dalam abstrak akan diindeks menjadi kata kunci oleh software temu-kembali. Proses pengindeksan tersebut hanya dapat dilakukan terhadap dokumen dalam bentuk teks. Alasan kedua, proses OCR tidak dilakukan terhadap seluruh halaman karya akhir karena proses ini memakan waktu dan tenaga yang cukup banyak, sehingga proses digitalisasi ini tidak efisien. Memang benar bahwa ukuran berkas yang dihasilkan dari proses OCR ini akan lebih kecil dari ukuran berkas dalam bentuk gambar, namun, dengan teknologi hardisk yang semakin maju – ukuran hardisk saat ini semakin besar dan harganya semakin murah – maka alasan melakukan proses OCR untuk memperkecil ukuran berkas menjadi tidak relevan lagi disini. 3. Uploading, adalah proses pengisian (input) metadata dan mengupload berkas dokumen tersebut ke digital library. Berkas yang diupload adalah berkas PDF yang berisi fulltext karya akhir dari mulai halaman judul hingga lampiran, yang telah melalui proses editing. Dengan demikian file tersebut telah dilengkapi dengan password, daftar isi, watermark, hyperlink, catatan kaki, dan lainlain. Sedangkan metadata yang diisi meliputi nama pengarang, judul, abstrak, subjek, tahun terbit, dan lain-lain.
39
Berdasarkan pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa proses digitalisasi terdiri atas 3 tahap yaitu scanning , editing dan uploading. Proses ini dilakukan dalam digitalisasi koleksi Grey literature tercetak menjadi koleksi elektronik. Koleksi yang akan di digitalisasi diubah dari bentuk tercetak ke bentuk eletronik kemudian diedit dan diolah menjadi berkas digital didalam komputer dengan cara memberikan watermark, footer, hyperlink sesuai dengan standar perpustakaan tersebut dan kemudian di upload dan mengisi metadata dokumen tersebut.
40