BAB II TINJAUAN TEORI 2.1
Landasan Teori
2.1.1
Pemahaman Teori Perpajakan
2.1.1.1 Pengertian Pajak Pada dasarnya untuk menyelenggarakan pemerintahan yang dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakatnya, tiap daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat yang berupa pajak. Pengertian pajak menurut para ahli dalam bidang pajak memberikan pengertian yang berbeda-beda, namun pada dasarnya definisi tersebut mempunyai tujuan dan inti yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami. Pengertian pajak Menurut Marihot P Siahaan (2010,7) mengatakan bahwa : “Pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayar dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi atau balas jasa) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam Mardiasmo (2011;1) bahwa: “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan UndangUndang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
13
14
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 pajak adalah : “Pajak adalah kontribusi wajib negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Berdasarkan beberapa definisi pajak yang dikemukakan para ahli diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, yaitu sebagai berikut : 1. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 2. Pajak dipungut berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanannya. 3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya jasa timbal (kontraprestasi) individual oleh pemerintah. 4. Pajak memiliki sifat yang dapat dipaksakan, artinya wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran pajak, dapat dikenakan sanksi, baik sanksi pidana maupun denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 5. Digunakan
untuk
membiayai
rumah
tangga
negaranya
seperti
pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan umum
15
2.1.1.2 Fungsi Pajak Menurut Diana Sari (2013;37) fungsi pajak dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Fungsi Penerimaan (Budgeter) Pajak sebagai alat (sumber) untuk memasukan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara dengan tujuan membiayai pengeluaran negara yaitu pengeluaran rutin dan pembangunan. 2. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dibidang keuangan (bidang ekonomi, politik, budaya,pertahanan, keamanan).
2.1.1.3 Syarat Pemungutan Pajak Menurut
Mardiasmo
(2011;2),
agar
pemungutan
pajak
tidak
menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan) Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundangundangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yaitu dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengadukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
16
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-undang (Syarat Yuridis) Di Indonesia, pajak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik negara maupun warganya. 3. Tidak menggangu perekonomian (Syarat Ekonomis) Pemungutan tidak boleh menganggu kelancaran kegiatan produksi maupun
perdagangan,
sehingga
tidak
menimbulkan
kelesuan
perekonomian masyarakat. 4. Pungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial) Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. 5. System pemungutan pajak harus sederhana System pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini lebih dipenuhi oleh Undang-Undang perpajakan yang baru.
2.1.1.4 Sistem Pemungutan Pajak Menurut Abuyamin Oyok (2010;15) Sistem Pemungutan Pajak terdiri dari: 1. Official Assessment System Official Assesment System adalah suatu sistem pemungutan pajak berdasarkan UU pemerintah (fiskus) diberi wewnang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri Official Assesment system:
17
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang pada fiskus. b. Wajib pajak bersifat menunggu (pasif). c. Utang pajak yang dibayar oleh WP timbul setelah diterbitkan surat jketetapan pajak (SKP) oleh fiskus. 2. Self Assessment System Self Assesment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang berdasarkan
UU
memberikan
kepercayaan
kepada
WP
untuk
melaksanakan hak dan kewajibannya dibidang perpajakan. Ciri Self Assesment System: a. WP menghitung dan memperhitungkan sendiri oleh WP, pajak yang harus dibayar atau pajak yang terutang. b. WP membayar atau menyetor sendiri pajak yang harus dibayar atau pajak yang terutang ke bank / kantor pos. c. WP melaporkan sendiri pajak yang harus dibayar atau pajak yang terutang. d. Pemerintah (fiskus) mengawasi pelaksanaan hak dan kewajiban WP di bidang perpajakan. 3. With Holding System With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang berdasarkan UU memberi kepercayaan atau wewenang kepada pihak ketiga (bukan pemerintah dan bukan WP yang bersangkutan) untuk memotong atau memungut pajak yang wajib dipotong atau dipungut dari
18
WP yang wajib membayarnya. Pihak ketiga wajib menyetorkan hasil pemotongan atau pemungutan pajak tersebut. Ciri With Holding System: a. Pemotongan atau pemungutan pajak dilakukan oleh pihak ketiga (bukan pemerintah ). b. Pemotongan atau pemungutan pajak wajib menyetorkan hasil pemotongan atau pemungutan pajak tersebut. c. Pemerintah (fiskus) mengawasi pelaksanaan pemotongan atau pemungutan dan penyetoran oleh pihak ketiga.
2.1.1.5 Tarif Pajak Menurut Mardiasmo (2011;9) ada empat macam tarif pajak yaitu : 1. Tarif sebanding atau Proporsional, yaitu tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proposional terhadap terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Contoh : untuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%. 2. Tarif tetap, yaitu tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contoh : besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah Rp 3.000,00
19
3. Tarif progresif, yaitu persentase tariff yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. Contoh : pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi dalam negeri Sampai dengan Rp 50.000.000
5%
Di atas Rp 50.000.000 s.d Rp 250.000.000
15%
Di atas Rp 250.000.000 s.d Rp 500.000.000
25%
Di atas Rp 500.000.000
30%
4. Tarif degresif, yaitu persentase tariff yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
2.1.1.6 Pengelompokan Pajak Menurut Mardiasmo (2011;5) pengelompokan pajak terdiri dari beberapa bagian yaitu : 1. Menurut golongannya a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan. b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut sifatnya
20
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperlihatkan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan
keadaan
diri
Wajib Pajak.
Contoh
: Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut Lembaga Pemungutannya a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga. Contoh
: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai. b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
2.1.2
Sumber Pendapatan Daerah Pada era otonomi daerah seperti ini, pemerintah daerah diberikan
kewenangan dalam mengelola, menggunakan dan menggali lebih luas sumber daya alam serta potensi-potensi lain yang terdapat di daerahnya sendiri, dalam mendukung pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pendapatan daerah bersumber dari : 1. Pendapatan Asli Daerah
21
2. Dana Perimbangan 3. Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
2.1.2.1 Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 1 ayat 18, definisi dari Pendapatan Asli Daerah yaitu : “Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan perundang-undangan.” Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 3 ayat 1 bahwa : “PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi Daerah sebagai perwujudan Desentralisasi. Menurut Ahmad Yani dalam Widiartini (2014:28) mengatakan bahwa : “Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan asli daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil daerah lain yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan atas desentralisasi.” Menurut definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan yang berasal dari semua penerimaan daerah yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, kekayaan daerah dan sumbersumber lain yang dimiliki oleh daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk membiayai penyelenggaraan kegiatan daerah dan pembangunan daerah. Indikator dalam penelitian ini yaitu jumlah pendapatan asli daerah (PAD).
22
2.1.2.2 Sumber – sumber Pendapatan Asli Daerah Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Pendapatan Asli Daerah Bersumber dari : 1. Hasil pajak daerah adalah pungutan daerah menurut peraturan yang ditetapkan oleh daerah untuk pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik. Pajak daerah sebagai pungutan yang dilakukan pemerintah daerah yang hasilnya digunakan untuk pengeluaran umum yang balas jasanya tidak langsung diberikan sedang pelaksanaanya bisa dapat dipaksakan. 2. Hasil retribusi daerah yaitu pungutan yang telah secara sah menjadi pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik pemrintah bersangkutan. Sifat-sifat retribusi daerah yaitu pelaksanaannya berifat ekonomis, ada imbalan langsung walau harus memenuhi persyaratan-persyaratan formil dan materil, tetapi ada alternatif untuk mau tidak membayar, dalam hal-hal tertentu retribusi daerah
adalah pengembalian biaya yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah daerah untuk untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat. 3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Hasil perusahaan milik daerah merupakan
pendapatan daerah dari keuntungan bersih perusahaan daerah yang
23
berupa dana pembangunan daerah dan bagian untuk anggaran belanja daerah yang disetor ke kas daerah, baik perusahaan daerah yang dipisahkan, sesuai dengan motif pendirian dan pengelolaan, maka sifat perusahaan daerah adalah suatu kesatuan produksi yang bersifat menambah pendapatan daerah, memberi jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum, dan memperkembangkan perekonomian daerah. 4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah adalah pendapatanpendapatan yang tidak termasuk dalam jenis-jenis pajak daerah, retribusi daerah, pendapatan dinas-dinas. Lain-lain usaha daerah yang sah mempunyai pembuka bagi pemerintah daerah untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan baik berupa materi dalam kegiatan tersebut bertujuan untuk menunjang, melapangkan, atau memantapkan suatu kebijakan daerah disuatu bidang tertentu. Sumber-sumber pendapatan asli daerah harus digali secara maksimal, namun tetap dalam ruang lingkup Undang-Undang yang berlaku. Dalam rangka menggali sumber-sumber keuangan daerah terutama dalam meningkatkan pendapatan asli daerah, maka pemerintah daerah harus berusaha mencari sumbersumber keuangan yang potensial yaitu pajak daerah dan retribusi daerah.
24
2.1.2.3 Dana Perimbangan Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 1, bahwa : “Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 10, dana perimbangan terdiri dari : 1. Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. 2. Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. 3. Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasiona.
25
2.1.2.4 Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 43 Lain-lain Pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan Dana Darurat. Dana hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat, Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 mengatakan bahwa : “Hibah adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan.lembaga internasional, pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jas, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.” “Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa dan/atau krisis solvabilitas.”
2.1.3
Pajak Daerah
2.1.3.1 Pengertian Pajak Daerah Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah guna untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Menurut Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (2009:3) bahwa : “Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”.
26
Menurut Mardiasmo (2006;12) mengatakan bahwa : “Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah”.
2.1.3.2 Jenis Pajak Daerah Unsur – unsur yang mencakup pajak daerah yang diatur dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 2 ayat 1 dan 2 yaitu : 1. Jenis Pajak Provinsi terdiri dari a. Pajak Kendaraan Bermotor b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor d. Pajak Air Permukaan; dan e. Pajak Rokok 2. Jenis Pajak Kabupaten / Kota terdiri dari : a. Pajak Hotel b. Pajak Restoran c. Pajak Hiburan d. Pajak Reklame e. Pajak Penerangan Jalan f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan g. Pajak Parkir
27
h. Pajak Air Tanah i. Pajak Sarang Burung Walet j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
2.1.4
Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
2.1.4.1 Pengertian Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, “Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Yang dimaksud dengan perolehan atas tanah dan bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Adapun yang dimaksud dengan hak atas tanah dan bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan pembangunan. Pengenaan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupatn atau kota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah Kabupaten atau kota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupaten/kota. Karena itu untuk dapat dipungut pada suatu daerah, pemerintah kabupaten/kota harus terlebih dahulu menerbitkan Peraturan Daerah tentang BPHTB yang akan
28
menjadi landasan hukum operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan BPHTB di daerah kabupaten/ kota yang bersangkutan. Sedangkan menurut Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah menjelaskan bahwa : “Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disebut Pajak BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang bidang pertanahan dan bangunan.
2.1.4.2 Dasar Pengenaan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, pasal 69 dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud adalah dalam hal : a. Jual beli adalah harga transaksi; b. Tukar menukar adalah nilai pasar; c. Hibah adalah nilai pasar; d. Hibah wasiat adalah nilai pasar; e. Waris adalah nilai pasar; f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
29
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar; h. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang menmpunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar; i. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar; j. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar; k. Penggabungan usaha adalah nilai pasar; l. Peleburan usaha adalah nilai pasar; m. Pemekaran usaha adalah nilai pasar; n. Hadiah adalah nilai pasar o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud diatas tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah). Nilai Perolehan Objek
30
Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud tersebut ditetapkan dengan Peraturan Daerah. . 2.1.4.3 Objek, Bukan Objek, Subjek dan Wajib Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 2.1.4.3.1 Objek Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menurut Marihot P Siahaan (2010:581), objek pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) adalah perolehan hak atas tanah dan banguan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi hal-hal dibawah ini: a. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan akibat pemindahan hak, karena hal-hal berikut : 1. Jual beli. 2. Tukar menukar. 3. Hibah. 4. Hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi pemberi hibah wasiat meninggal dunia. 5. Waris 6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain, yaitu pengalihan hak atas tanah dan bangunan dari orang pribadi atau badan kepada perseroan
31
terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada perseroan terbatas atau hukum lainnya tersebut. 7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu pemindahan sebagai hak bersama atas tanah dan atau bangunan olh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama. 8. Penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu pentapan pemegang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang. 9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut. 10. Penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung. 11. Peleburan Usaha, yaitu pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha dan mngalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama. 12. Hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang telah dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah. Akta yang dibuat dapat berupa akta hibah.
32
b. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan akibat pemberian hak baru dikarenakan : 1. Prolehan hak baru atas tanah dan atau bangunan sebagai kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah-tanah yang berasal dari pelepasan hak. 2. Perolehan hak baru atas tanah dan atau bangunan di luar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau hukum dari negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan jenis-jenis hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud diatas adalah : a. Hak milik, yaitu hak turun tenurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. b. Hak guna usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku. c. Hak guna usaha bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sndiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
33
d. Hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. e. Hak milik atas satuan rumah susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. f. Hak pengelolaan, yaitu hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
34
2.1.4.3.2 Bukan Objek Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Banguan Mnurut Marihot P Siahaan (2010:585), mengatakan bahwa, pada Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tidak semua perolehan hak atas tanah dan bangunan dikenakan pajak. Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh oleh orang atau badan tertentu, sebagaimana dibawah ini : a. Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. b. Negara untuk penyelenggara pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan guna kepentingan umum. c. Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut. d. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama. Yang dimaksud konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh pemerintah. e. Orang pribadi atau badan karena wakaf. Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan
35
melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun. f. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
2.1.4.3.3 Subjek dan Wajib Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Marihot P Siahaan (2010:587) mengatakan bahwa bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Sementara itu, yang ditetapkan menjadi wajib pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Hal ini berarti pada pengenaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, subjek pajak dan wajib pajak berada pada diri orang atau badan yang sama.
2.1.4.4 Tarif dan Cara Perhitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 2.1.4.4.1 Tarif Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Tarif Pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai dengan kondisi masing-masing
36
daerah kabupaten/kota. Dengan demikian setiap daerah kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif pajak yang mungkin berbeda dengan kabupaten/kota lainnya, asalkan tidak lebih dari 5%. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya Nomor 2 pasal 63 Tahun 2011 tentang pajak dearah mengatakan bahwa tarif bea perolehan hak atas tanah dan bangunan ditetapkan sebesar 5%.
2.1.4.4.2 Cara perhitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Besaran pokok Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak setelah dikurangi NPOTPKP.. Secara umum perhitungan pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) adalah sesuai dengan rumus berikut :
Pajak terutang = Tarif Pajak X Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak X (NPOP-NPOTPKP)
Apabila NPOP tidak diketahui atau lebih kecil daripada NJOP, maka perhitungan BPHTB adalah sebagai berikut :
Pajak terutang = Tarif Pajak X Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak X (NJOP-NPOTPKP)
37
Berikut contoh perhitungan jumlah pokok Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang terutang : Seorang wajin pajak A membeli tanah dan bangunan dengan harga transaksi sebesar Rp 65.000.000. diketahui NJOP PBB pedesaan dan perkotaan untuk objek pajak tersebut adalah sebesar Rp 55.000.000 dan besaran NPOPTKP yang ditetapkan pada kota dimana objek pajak berada adalah sebesar Rp 60.000.000. Hitunglah jumlah BPHTB yang terutang. Pajak terutang = Tarif Pajak X Dasar Pengenaan Pajak = 5% X (Rp 65.000.000-Rp 60.000.000) = 5% x Rp 5.000.000 = Rp 250.000
2.1.5
Pajak Penerangan Jalan
2.1.5.1 Pengertian Pajak Pnerangan Jalan Menurut Undangan-undang Nomor 28 Tahun 2009 dalam Marihot P Siahaan (2010:407), menjelaskan bahwa: “Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik untuk menerangi jalan umum yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah”. Pengenaan Pajak Penerangan Jalan tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupaten atau kota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupaten atau kota. Untuk dapat dipungut pada suatu daerah kabupaten atau kota, pemerintah daerah harus terlebih
38
dahulumenerbitkan peraturan daerah tentang pajak penerangan jalan yang akan menjadi landasan hukum operasional dalam pelaksanaan pengenaan dan pemungutan pajak penerangan jalan di daerah kabupatn atau kota yang bersangkutan. 2.1.5.2 Dasar Pengenaan Pajak Penerangan Jalan Dasar pengenaan pajak penerangan jalan berdasarkan peraturan daerah Kabupaten Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2011 tentang pajak daerah adalah Nilai Jual Tenaga Listrik. Nilai jual tenaga listrik ditetapkan sebagai berikut : a.
Dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/ tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabl yang ditagihkan dalam rekening listrik.
b.
Dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah Kabupaten Tasikmalaya. Harga satuan listrik ditetapkan oleh Bupati dengan berpedoman pada harga satuan listrik yang berlaku.
2.1.5.3
Objek, Bukan Objek, Subjek dan Wajib Pajak Penerangan Jalan
2.1.5.3.1 Objek Pajak Penerangan Jalan Berdasarkan Peraturan daerah Kabupaten Taskmalaya Nomor 2 Tahun 2011 tentang pajak daerah menjelaskan bahwa objek pajak penerangan jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang
39
diperoleh dari sumber lain. Listrik yang dihasilkan sendiri
meliputi seluruh
pembangkit listrik.
2.1.5.3.2 Bukan Objek Pajak Penerangan Jalan Pada Pajak Penerangan Jalan tidak semua pengguna tenaga listrik dikenakan pajak. Ada beberapa pengecualian pada pajak penerangaj jalan, yang tidak termasuk objek pajak berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 adalah : a. Penggunaan tenaga listrik oleh instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. b. Penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing dengan asas timbal balik. Ketentuan tentang pengecualian pengenaan pajak penerangan jalan bagi perwakilan
lembaga-lembaga
internasional
berpedoman
kepada
Keputusan Menteri Keuangan. c. Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dngan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait. d. Penggunaan tenaga listrik lainnya yang diatur dengan peraturan daerah. Misalnya penggunaan tenaga listrik yang khusus digunakan untuk tempat ibadah serta panti asuhan yatim piatu dan sejenisnya.
40
2.1.5.3.3 Subjek Pajak dan Wajib Pajak Penerangan Jalan Pada Pajak Penerangan Jalan yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat menggunakan tenaga listrik. Secara sederhana yang menjadi subjek pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yang diberikan oleh pengusaha penerangan jalan. Sedangkan yang menjadi wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan tenaga tenaga listrik. Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, wajib pajak penerangan jalan adalah penyedia tenaga listrik. Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh PLN, pemungutan Pajak Penerangan Jalan dilakukan oleh PLN (Marihot:409).
2.1.5.4
Tarif dan Cara Perhitungan Pajak Penerangan Jalan
2.1.5.4.1 Tarif Pajak Penerangan Jalan Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupatn Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2011 tentang pajak dearah mengatakan bahwa : 1. Tarif Pajak Penerangan Jalan untuk penggunaan tenaga listrik dari sumber lain ditetapkan sebesar 10% 2. Tarif Pajak Penerangan Jalan untuk penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak dan gas alam ditetapkan sebesar 3% 3. Tarif Pajak Penerangan Jalan untuk penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri paling tinggi sebesar 1,5%
41
2.1.5.4.2 Cara perhitungan Pajak Penerangan Jalan Besaran pokok Pajak Penerangan Jalam yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum perhitungan Pajak Penerangan Jalam yaitu dengan rumus: Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak x Nilai Jual Tenaga Listrik Jika Pajak Penerangan Jalan dipungut oleh PLN, besarnya pokok pajak terutang dihitung berdasarkan jumlah rekening listrik yang dibayarkan oleh pelanggan PLN. Umumnya dalam rekening listrik sudah tercantum perhitungan besarnya Pajak Penerangan Jalan yang harus dibayar berdasarkan jumlah pemakaian listrik dan biaya langganan yang digunakan oleh pelanggan PLN (jumlah yang tercantum dalam rekening listrik).
2.1.6
Pengertian Kontribusi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian kontribusi adalah
iuran uang atau sumbangan. Kontribusi merupakan sesuatu yang diberikan bersama-sama dengan pihak lain untuk tujuan biaya atau kegiatan tertentu atau bersama. Sehingga yang diartikan dengan kontribusi dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai
sumbangan yang diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah
terhadap besarnya Belanja Pembangunan Daerah dari Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penerangan Jalan terhadap.
42
Rumus yang digunakan dalam menghitung kontribusi yaitu :
Kontribusi =
2.2
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penerangan Jalan terhadap Pendapatan Asli Daerah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti yang tercantum pada tabel dibawah ini : Tabel 2.2 Jurnal dan Penelitian Terdahulu No 1
2
Peneliti Afina Lianawati (2015)
Judul Efektifitas dan Kontribusi Penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Semarang
Hasil Penelitian Hasil pnelitian menunjukkan pertumbuhan pajak BPHTB berfluktuatif, pemungutan pajak BPHTB di Kabupaten Semarang selama empat tahun setelah pengalihan tergolong sangat efektif dengan rata-rata 109%, kontribusi pajak BPHTB terhadap PAD sangat kurang dengan rata-rata 8,87% dan proyeksi pajak pada tahun 2015-2017 mengalami kenaikan.
Christine Lidya Manongga, David Paul Elia Saerang, Inggriani Elim
Efektifitas pajak penerangan jalan dan kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah di Kabupaten Minahasa
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektifitas dari pajak penerangan jalan yang terjadi sangat bervariasi. Secara keseluruhan kontribusi pajak penerangan jalan memberi
43
Utara
3
Helvianti (2009)
4
I Gusti Ngurah Dwi Purna Wijaya, Nyoman Trisna Herawati, dan Anantawikrama Tungga Atmadja (2014)
Kontribusi pajak reklame dan pajak penerangan jalan terhadap pendapatan asli daerah Kabupaten Rokan Hilir
kontribusi yang baik terhadap PAD di Kabupaten Minahasa Utara.
Pengujian secara simultan menunjukkan bahwa pajak penerangan jalan dan pajak reklame secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap PAD. Pengujian secara parsial menunjukkan bahwa pajak penerangan jalan dan pajak reklame berpengaruh signifikan terhadap PAD. Pengaruh Desantrilasi Hasil penelitian ini Bea Perolehan Hak menunjukkan bahwa: Atas Tanah Bangunan 1)BPHTB hanya berpengaruh terhadap Pendapatan signifikan terhadap Asli Daerah Pendapatan Daerah sebelum Kabupaten desentralisasi, 2) Dana Bagi Karangasem Hasil (DBH) hanya berpengaruh signifikan terhadap Pendapatan Daerah sebelum desentralisasi, 3) BPHTB tidak berpengaruh signifikan terhadap PAD, 4) Setelah desentralisasi BPHTB mengalami penurunan penerimaan, 5) DBH setelah desentralisasi mengalami kenaikan, 6) Kontribusi PAD terhadap Pendapatan Daerah setelah desentralisasi masih rendah.
44
2.3
Kerangka Pemikiran Salah satu sumber penerimaan pemasukan pemerintah yang potensial
yaitu berasal dari pajak. Pentingnya peran pajak didalam suatu instansi atau perusahaan dikarenakan pajak merupakan salah satu sumber penerimaan bagi negara. Setiap pemasukan pajak bagi pemerintah dapat dikatakan optimal jika sesuai dengan target dan potensi yang telah ditetapkan, karena pajak sangat berpengaruh bagi pembangunan nasional, dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam melaksanakan pembangunan memerlukan biaya yang memadai, dimana pembiayaan pembangunan negara kita sebagaian besar berasal dari penerimaan pajak. Sehingga baik pemerintah maupun masyarakat harus bersamasama menegakkan kesadaran bahwa pentingnya membayar pajak. Pajak yang dipungut oleh pemerintah merupakan penerimaan pendapatan negara, baik pendapatan pusat maupun pendapatan asli daerah. Dimana pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Undang-undang No.33 tahun 2004 yaitu pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan perundang-undangan. Semua Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari pajak daerah dan retribusi daerah. Menurut Mardiasmo (2006;12), Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
45
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penerangan Jalan termasuk dalam jenis pajak daerah di Kabupaten Tasikmalaya, yang merupakan salah satu penerimaan yang potensial. Pajak tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah jenis pungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penerangan Jalan. Berdasarkan paparan diatas dapat menunjukan kesimpulan bahwa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penerangan Jalan ini menunjukan kemampuan pendapatan asli daerah untuk memudahkan Pemerintah
Daerah
dalam
melakukan
pembangunan
diberbagai
sektor
didalamnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber pendapatan asli daerah (PAD) diantaranya adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penerangan Jalan. Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, dapat dijelaskan dalam suatu skema kerangka pemikiran sebagai berikut : Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (X1) Pajak Penerangan Jalan
(X2)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Y)
46
2.4
Hipotesis Penelitian Sugiyono (2012:93) menyatakan bahwa “Hipotesis adalah jawaban
sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pernyataan”. Dikatakan sementara karena jawaban atau kesimpulan yang diberikan baru berdasarkan teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan pengujian hipotesis yang berkaitan dengan signifikan atau tidaknya pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen. Hipotesis Nol (
merupakan suatu hipotesis
mengenai tidak signifikannya pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen, sedangkan Hipotesis Alternatif (
merupakan hipotesis kerja
dari penulis yaitu mengenai adanya pengaruh yang signifikan dari variabel independen terhadap variabel dependen. dan
dapat dinyatakan sebagai berikut :
Ho1 : Kontribusi bea perolehan hak atas tanah dan bangunan tidak berpengaruh secara parsial terhadap pendapatan asli daerah. Ha1 :
Kontribusi bea perolehan hak atas tanah dan bangunan berpengaruh secara parsial terhadap pendapatan asli daerah.
Ho2 : Kontribusi pajak penerangan jalan tidak berpengaruh secara parsial terhadap pendapatan asli daerah. Ha2 : Kontribusi pajak penerangan jalan berpengaruh secara parsial terhadap pendapatan asli daerah.
47
Ho3 : Kontribusi bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan pajak penerangan jalan tidak berpengaruh secara simultan terhadap pendapatan asli daerah. Ha3 : Kontribusi bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan pajak penerangan jalan berpengaruh secara simultan terhadap pendapatan asli daerah.