BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Otonomi Daerah memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang
luas
kepada
pemerintahan,
pemerintah
pelayanan
daerah
untuk
masyarakat
dan
menyelenggarakan pembangunan.
Penyelenggaraan pembangunan daerah sangat memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas, ketersediaan sumber daya alam dan ketersediaan dana. Masalah utama yang terjadi dan dialami oleh sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia adalah adanya keterbatasan dari ketiga sumber daya yang di maksud. Oleh karena itu pemerintah daerah dituntut untuk lebih pro aktif, menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang ada terutama sumber pendapatan daerah potensial. Usaha untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah yang potensial tersebut dimaksudkan untuk menghimpun dan menyediakan dana
sebesar-besarnya
guna
kebutuhan
pembiayaan
kegiatan
pembangunan daerah. Dengan demikian keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan kegiatan pembangunan di daerah sangat tergantung dari kemampuan keuangan masing-masing daerah.
1
Kemampuan keuangan daerah adalah kemampuan pengelolaan sumber-sumber penerimaan daerah guna membiayai pembangunan daerah. Objek pengelolaan kauangan daerah adalah sisi penerimaan dan sisi pengeluaran dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pada sisi penerimaan daerah pemerintah dapat melakukan dua hal yaitu memobilisasi sumber-sumber penerimaan konvensional melalui intensifikasi dan ekstensifikasi serta berupaya untuk mengoptimalkan penerimaan
yang
berasal
dari
sumber-sumber
penerimaan
baru.
Sedangkan pada sisi pengeluaran, pemerintah daerah harus meredefinisi proses anggaran. Selain memungkinkan perbaikan dalam tingkat ekonomis, efektifitas dan efisiensi setiap kegiatan, pemerintah diharapkan mampu menjawab pertanyaan apakah suatu layanan public masih harus diproduksi sendiri atau cukup disediakan oleh pemerintah daerah dengan cara kemitraan atau privatisasi. Sumber-sumber penerimaan daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. Jenis dan sumber pendapatan daerah yang dominan adalah dana yang berasal dari pemerintah pusat seperti dana perimbangan. Sedangkan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah sumber keuangan daerah yang digali dalam wilayah daerah yang bersangkutan. Pendapatan asli daerah terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan d`an lain-lain
2
pendapatan asli daerah yang sah. Sedangkan dana perimbangan merupakan sumber bagi hasil penerimaan dari pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, penerimaan sumber daya alam serta dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Sumber dana pinjaman adalah sumber dana yang berasal dari pinjaman dalam negeri maupun luar negeri. Dan yang terakhir adalah sumber dana yang berasal dari pendapatan lain yang sah meliputi hasil pengelolaan kekayaan atau barang daerah. Pendapatan Asli daerah yang merupakan sumber penerimaan resmi daerah
yang terus
diupayakan untuk ditingkatkan agar dapat
membantu dalam memikul sebagian beban biaya yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan kegiatan pembangunan yang semakin meningkat sehingga kemandirian dan otonomi daerah yang semakin nyata, dinamis dan bertanggung jawab dapat terwujudkan. Namun dalam upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya bersumber dari pajak daerah dan retribusi daerah tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pokok nasional yakni pungutan pajak dan retribusi daerah yang dilaksanakan tidak semata-mata untuk menggali sumber pendapatan daerah berupa sumber penerimaan yang memadai agar tidak memberatkan bagi masyarakat.
3
Untuk menganalisis keadaan perekonomian daerah maka pokok analisis yang dijadikan sebagai awal dari rangkaian pembahasan. Kaitannya untuk menunjang pendapatan daerah maka dapat dikemukakan beberapa alasan yaitu : (i) Pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan mutlak memerlukan sumber-sumber biaya di mana pembiayaan tersebut bersumber dari pemerintah pusat atau Provinsi daerah itu sendiri. (ii) Peningkatan pendapatan daerah, berarti memperkecil perbedaan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah untuk memantapkan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab dengan titik berat pada tingkat daerah. Berdasarkan hal di atas, maka segala hal yang menyangkut Pendapatan Asli Daerah sangat menarik perhatian untuk dikaji, sehingga dalam penulisan ini dipilih judul “Analisis Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kota Makassar Periode 2000-2009”.
4
1.2 Rumusan Masalah Adapun
masalah
yang
dikemukakan
dalam
penelitian
ini,
dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana pengaruh Produk Domestik RegionaL Bruto (PDRB), pengeluaran pemerintah, serta optimalisasi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap Pendapatan Asli Dearah (PAD).
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Adapun tujuan dan kegunaan penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pengaruh Produk Domestik RegionaL Bruto (PDRB), pengeluaran pemerintah, serta optimalisasi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap perubahan Pendapatan Asli Dearah (PAD). 2. Kegunaan Penelitian a. Sebagai sumbangan pikiran bagi pemerintah daerah serta pihak yang
terlibat
langsung
dalam
pengelolaan
sumber-sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD) di kota Makassar dalam usaha peningkatan pembangunan daerahnya. b. Dapat menjadi referensi bagi peneliti berikut yang ingin melakukan kajian lebih lanjut yang berkaitan dengan pengelolaan sumbersumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) khususnya di kota Makassar.
5
c. Merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar sarjana pada Fakultas Ekonomi Unhas.
1.4 Sistematika Pembahasan Adapun sistematika Pembahasan dalam penulisan ini disusun dengan urutan sebagai berikut : Bab 1
Pendahuluan Merupakan Bab pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab 2
Tinjauan Pustaka Menganalisis Landasan Teoritits yang membahas tentang teory dan pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Pengeluaran Pemerintah, Pajak Daerah ( fungsi pajak, pembagian pajak, asas-asas pemungutan pajak), Retribusi Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Kaitan antara PAD dengan APBD, Efektifitas, Study Empiris (Penelitian Terdahulu), Kerangka Pikir, dan Hipotesis.
6
Bab 3
Metodologi Penelitian Pada bab ini terdiri dari lokasi penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, metode analisis, dan batasan variabel.
Bab 4
Hasil Penelitian dan Pembahasan Merupakan inti dari penulisan ini yang berisi penjelasan singkat tentang
gambaran
umum
Kota
Makassar,
keadaan
perekonomian, Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Peningkatan
Produk
Domestik
Regional
Bruto
(PDRB),
gambaran peningkatan Pengeluaran Pemerintah, Rata-Rata Optimalisasi (Efektifitas) Potensi Objek Pajak dan Retribusi Daerah, Analisis factor yang berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kota Makassar periode 2000-2009, pengujian asumsi klasik ( hasil uji multikolinearitas, hasil uji autokorelasi, hasil uji heteroskedisitas, uji normalitas), pengujian hipotesis, serta upaya-upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Bab 5
Penutup menguraikan kesimpulan dan saran-saran.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teoritis 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang diusahakan langsung oleh Pemerintah Daerah yang meliputi : Hasil pajak daerah, Hasil retribusi daerah, Hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan Lain-Lain pendapatan asli daerah yang sah. Dana sumbangan keuangan pusat dan daerah terdiri dari : Bagi hasil (bagian daerah) dari pajak bumi dan bangunan, bea peralihan hak atas tanah dan bangunan dan penerimaan dari sumber daya alam, Dana alokasi khusus, Pinjaman daerah. Untuk mengetahui tentang pengertian, dan hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan mengenai sumber-sumber pendapatan asli daerah tersebut di atas, dijelaskan sebagai berikut: 2.1.1. Produk Domestik RegionaL Bruto (PDRB) Salah Satu cara untuk melihat kemajuan perekonomian adalah dengan mencermati nilai pertumbuhan PDRB, PDRB adalah merupakan nilai dari seluruh barang dan jasa yang diproduksi dalam waktu satu tahun
8
di suatu wilayah tertentu tanpa memperhatikan kepemilikan factor produksi yang digunakan dalam proses produksi itu, (BPS. Indikator Ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan 1993, hal : 98). Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ini dihitung melalui 3 pendekatan, yaitu :
Segi produksi, PDRB merupakan jumlah netto atas suatu barang dan jasa yang dihasilkan untuk unit-unit produksi dalam suatu wilayah dan lainnya dalam jangka waktu tertentu (satu tahun).
Segi
pendapatan,
PDRB
merupakan
jumlah
balas
jasa
(pendapatan) yang diterima oleh factor-faktor produksi karena ikut serta dalam proses produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun).
Segi pengeluaran, PDRB merupakan jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, pemerintah dan lembaga swasta non profit biasanya dalam jangka waktu tertentu (satu tahun).
Dalam penyajiannya, PDRB selalu dibedakan atas dua, yakni atas dasar harga konstan dan atas dan dasar harga berlaku. Adapun defenisi pembagian PDRB ini adalah sebagai berikut: a. PDRB atas dasar harga berlaku adalah jumlah nilai barang dan jasa (komoditi) atau pendapatan,
atau pengeluaran yang dinilai sesuai
dengan harga yang berlaku pada tahun yang bersangkutan.
9
b. PDRB atas dasar harga konstan adalah nilai barang dan jasa (komoditi) atau pendapatan, atau pengeluaran yang dinilai atas dasar harga tetap. Nilai PDRB atas dasar harga konstan digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi karena nilai PDRB atas dasar harga konstan ini tidak dipengaruhi oleh perubahan harga, sedangkan PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat besarnya perekonomian suatu daerah. Dalam perhitungan PDRB, seluruh lapangan usaha dibagi menjadi Sembilan sektor, yaitu : 1. Pertanian, 2. Pertambangan dan Penggalian, 3. Industri Pengolahan, 4. Listrik, gas dan air minum, 5. Bangunan, 6. Perdagangan, hotel dan restoran, 7. Angkutan dan komunikasi, 8. Keuangan, persewaan dan Jasa Perusahaan, 9. Jasa-jasa.
10
2.1.2. Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan. blaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Dalam teori makro mengenai perkembangan pemerintah dikemukakan oleh para ahli ekonomi dan dapat digolongkan ke dalam tiga golongan, yaitu (Guritno, 1994;169): 1. Model Pembangunan Tentang
Perkembangan
Pengeluaran
Pemerintah
Model
inl
dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan
pengeluaran
pemerintah
dengan
tahap-tahap
pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, presentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meingkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas. Pada tingkat
ekonomi
yang
lebih
lanjut,Rostow
mengatakan
bahwa
pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas social seperti halnya, program kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan masyarakat, dan sebagainya.
11
2. Hukum Wagner Wagner
mengemukakan
suatu
teori
mengenai
perkembangan
pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam pendapatan per kapita meningkat, secara relative pengeluaran pemerintahpun akan meningkat. Wagner menerangkan mengapa peran pemerintah menjadi semakin besar, yang terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi,
kebudayaan
dan
sebagainya.
Wagner
mendasarkan
pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemrintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. 3. Teori Peacock dan Wiseman Teori mereka didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha memperbesar pengeluaran, sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Teori Peacock dan Wiseman adalah pemerintah ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin
12
besar. Peacock dan Wiseman menjelaskan bahwa perkembangan pengeluaran pemerintah tidak berbentuk garis tetapi berbentuk seperti tangga Pelaksanaan
pembangunan
daerah
merupakan
program
yang
memerlukan keterlibatan segenap unsure satu lapisan masyarakat. Peran pemerintah dalam pembangunan adalah sebagai katalisator dan fasilitator tentu membutuhkan berbagai sarana dan fasilitas pendukung, termasuk anggaran belanja dalam rangka terlaksananya pembangunan yang berkesinambungan. Pengeluaran tersebut sebagian digunakan untuk administrasi pembangunan dan segaian lain untuk kegiatan pembangunan di berbagai jenis infrastruktur yang penting. Perbelanjaan-perbelanjaan tersebut akan meningkatkan pengeluaran agregat dan mempertinggi tingkat
kegiatan
ekonomi
(Sadono
Sukirno
1994:151).
Dengan
meningkatnya kegiatan ekonomi, maka aliran penerimaan pemerintah melalui PAD juga meningkat.
2.2 Pajak Daerah Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terusmenerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan.
13
Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau Negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Secara umum pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. Apabila membahas pengertian pajak, banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh D.J.A Adriani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso Brotodiharjo, Dalam buku “Pengantar Ilmu Hukum Pajak (1991 : 2).” “Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapati prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung
dengan
tugas
Negara
yang
menyelesaikan
pemerintahan.” Dalam defenisi di atas lebih memfokuskan pada fungsi budgeter daripada pajak, sedangkan pajak masih mempunyai fungsi lainnya yaitu fungsi mengatur.
14
Berikut ini beberapa kutipan pengertian pajak yang dikemukakan oleh para ahli lainnya adalah sebagai berikut : Menurut Davey (terjemahan Amarullah, 1998), memberikan pengertian terhadap pajak daerah adalah : Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dengan peraturan daerah itu sendiri, Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya oleh Pemerintah Daerah, Tarif yang ditetapkan dan dipungut oleh Pemerintah Daerah, Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh Pemerintah Pusat tetapi hasil pengaturannya diberikan kepada Pemerintah Daerah, dan dibagi hasilkan dengan atau dibebankan pungutan tambahan oleh Pemerintah Daerah. Menurut Supermoko (1987 : 94), Pajak adalah pembayaran iuran oleh rakyat kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dengan tanpa balas jasa yang secara langsung dapat ditunjuk. Kemudian Smeet dalam (Geodhart, 1982 : 92) merumuskan pengertian pajak daerah sebagai berikut: Pajak adalah prestasi yang dipaksakan yang harus diserahkan kepada penguasa publik daerah , menurut norma-norma yang telah ditentukan atau ditetapkan oleh penguasa public tanpa adanya kontra prestasi perorangan tertentu sebagai penggatinya. Sedangkan Rachmat Soemitro dalam bukunya Dasar Hukum Pajak dan Pendapatan (1990 : 5) menyatakan : “Pajak adalah iuran
15
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi), yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Menurut Winardi (1971 : 432), pajak {tax} dalam arti ekonomi adalah suatu pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggarakan jasa-jasa untuk kepentingan umum. Selanjutnya menurut Smeet dalam (Geodhart, 1982 : 92) merumuskan pengertian pajak daerah sebagai berikut : “Pajak adalah prestasi yang dipaksakan yang harus diserahkan kepada negara penguasa public daerah, menurut norma-norma yang telah ditentukan atau ditetapkan oleh penguasa public tanpa adanya kontra prestasi perorangan tertentu sebagai penggantinya. Dari defenisi yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri yang melekat dari pengertian pajak
daerah
adalah
Daerah
Pembayaran
yang
dilakukan
kepada
Pemerintah
(penguasa publik), Pemungutannya dapat dipaksakan, Pemungutannya mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku, Pembayarannya tersebut tidak mengharapkan balas jasa (kontra prestasi) dari pemerintah. Dengan memperhatikan unsur penting dari pengertian pajak tersebut, nampaklah bahwa pada prinsipnya kesemua arti atau pengertian dari pajak itu mempunyai inti dan tujuan yang sama.
16
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciriciri yang melekat pada pengertian pajak adalah Pajak dapat dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan, Dalam pembayaran pajak tidak dapat
ditunjukkan
adanya kontrasepsi individual oleh pemerintah, Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment, Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter yaitu mengatur. Adapun ciri-ciri dari pajak daerah yaitu Pembayaran yang dilakukan kepada Pemerintah Daerah (penguasa publik), Pemungutannya dapat dipaksakan, Pemungutannya mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku, Pembayarannya tersebut tidak mengharapkan balas jasa (kontra prestasi) dari pemerintah. 2.2.1 Fungsi Pajak Penerimaan pemerintah berasal dari pajak karena pajak adalah sumber penerimaan Negara yang terbesar dan pajak di samping sebagai sumber penerimaan Negara yang utama (fungsi budget) juga mempunyai fungsi lain yaitu sebagai alat untuk mengatur dan mengawasi kegiatankegiatan swasta dalam perekonomian (Suparmoko, 1987 : 96).
17
Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai defenisi, terlihat adanya dua fungsi pajak yaitu : a. Fungsi penerimaan (Budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber daya yang diperuntukkan bagi pembiayaan
pengeluaran-pengeluaran
pemerintah.
Contoh
:
dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. b. Fungsi mengatur (Regularend) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
di
bidang
sosial
dan
ekonomi
sebagai
contoh
:
Dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras sehingga konsumsi minuman keras dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah. Dari uraian tentang fungsi-fungsi pajak, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka pajak memegang peranan penting sebagai sumber pemasukan keuangan daerah, bahkan juga memiliki fungsi lain, yang bersifat mengatur untuk tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.
18
2.2.2 Pembagian Pajak Pajak dapat dikelompokkan dalam berbagai golongan yaitu : 1. Menurut golongan a. Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan ke pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Contoh : pajak penghasilan. b. Pajak tidak Langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain. Sebagai contoh : pajak pertambahan nilai. 2. Menurut sifat Pembagian
pajak
menurut
sifat,
maksudnya
pembedaan
pembagiannya berdasarkan pada ciri-ciri prinsip. a. Pajak subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari wajib pajak. Contoh : Pajak penghasilan b. Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan dari wajib pajak. Contoh : Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. 3. Menurut pungutan a. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. 19
Contoh : Pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dari pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan dan bea materai. b. Pajak daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakannya untuk membiayai rumah tangga daerah. 2.2.3 Asas-asas Pemungutan Pajak Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak perlu dipegang teguh asas-asas pemungutan dalam memilih alternative pemungutannya. Dengan demikian, terdapat keserasian pemungutan pajak dengan tujuan dan asas-asas yang masih diperlukan lagi yaitu : Pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith dalam buku An Inquiry into the Nature and Cause of The Wealth of Nations (Kesit Bambang Prakosa, 2003) bahwa dalam pungutan pajak agar diupayakan keadilan objektif. Artinya asas pemungutan yang mendasarinya bersifat umum dan merata. Asas pemungutan ini dikenal The Four Maxims atau Smith‟s Cannon, yaitu : 1. Equality Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak dan sesuai dengan manfaat yang diterima adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan
20
uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang diminta. 2. Certainly Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembyaran. 3. Convenience Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak sebagai contoh pada saat wajib pajak memperoleh penghasilan. 4. Economy Secara ekonomi, biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang wajib dipikul wajib pajak. 2.3 Retribusi Daerah Menurut undang-undang nomor 34 tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam pasal 1, angka 26 undang-undang yang dimaksud menyebutkan bahwa retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau golongan. Ada beberapa pengertian mengenai retribusi yaitu :
21
Menurut Kunarjo (1996 :170) mengemukakan bahawa retribusi adalah
pemungutan
uang
sebagai
pembayaran,
pemakaian
atau
memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik pemerintah baik yang berkepentingan karena jasa yang diberikan pemerintah dan berdasarkan peraturan umum yang dibuat oleh pemerintah. kemudian S. Prawiro Hardjono (1980 : 62) juga berpendapat bahwa retribusi adalah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah baik langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya R. Soedarjo (1980 : 62) berpendapat bahwa retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau jasa yang diberikan oleh daerah. Selain
itu
Sutrisno
Prawirohardjo
(1984
:
202)
lalu
mengemukakan bahwa retribusi daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah baik langsung maupun tidak langsung. Dari beberapa teori tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa retribusi adalah pungutan daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap setiap orang atau badan yang memperoleh fasilitas-fasilitas atau tempat penggunaaan atau mendapat jasa yang telah disediakan oleh pemerintah daerah baik secara langsung maupun tidak langsung.
22
Dari beberapa defenisi tentang retribusi di atas maka dapat dikemukakan beberapa ciri yang melekat pada pengertian retribusi yaitu: Retribusi dipungut oleh Negara, Dalam pemungutannya terdapat paksaan secara ekonomis, Retribusi dikenakan pada setiap orang/badan yang menggunakan jasa-jasa yang disiapkan Negara, Ada imbalan langsung saat membayar, Digunakan untuk mengisi kas Negara. Sedangkan dari pengertian retribusi daerah di atas dapat pula diikhtisarkan ciri-ciri pokoknya sebagai berikut : Retribusi dipungut oleh daerah, Dalam pemungutannya retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang langsung dapat ditunjuk, Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan, atau mengenyam jasa yang disediakan daerah. Retribusi daerah sebagaimana halnya pajak daerah merupakan salah satu pendapatan Asli Daerah diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah untuk meningkatakan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Subjek retribusi dan wajib retribusi Subjek
retribusi
adalah
orang
pribadi
atau
badan
yang
menggunakan/menikmati pelayanan jasa umum yang bersangkutan, Subjek retribusi jasa usaha adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa usaha yang bersangkutan sedangkan Subjek retribusi perizinan tertentu adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh izin tentang dari pemerintah daerah.
23
Objek retribusi daerah Objek retribusi daerah adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah. Tidak semua yang diberikan oleh pemerintah daerah dapat dipungut retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis jasa tertentu yang menurut pertimbangan sosial ekonomi layak dijadikan sebagai objek retribusi. Jasa tertentu tersebut di kelompokkan ke dalam tiga golongan yaitu: Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa dan Usaha, Retribusi perizinan tertentu. Prinsip dan sasaran penetapan tarif
retribusi jasa umum dapat
berbeda menurut jenis pelayanan dalam jasa yang bersangkutan dan golongan pengguna jasa sebagai contoh : Tarif retribusi persampahan untuk golongan masyarakat yang mampu dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga dapat menutup biaya pengumpulan sampah sedangkan untuk golongan kurang mampu, tarifnya rendah, Tarif rawat inap kelas tinggi bagi retribusi pelayanan rumah sakit umum daerah dapat ditetapkan lebih besar daripada biaya pelayanannya, sehinnga memungkinkan adanya subsidi silang bagi tariff rawat inap kelas yang lebih rendah. Selanjutnya Tarif retribusi parkir di tepi jalan umum yang rawan kemacetan dapat ditetapkan lebih tinggi daripada di tepi jalan umum yang kurang rawan kemacetan dengan sasaran mengendalikan tingkat
24
penggunaan jasa parkir sehingga tidak menghalangi kelancaran lalu lintas. 2.4 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran pendapatan dari belanja daerah merupakan suatu taksiran atau perkiraan tentang keuangan untuk melaksanakan suatu kegiatan di masa yang akan dating dalam jangka waktu tertentu. Untuk lebih jelasnya berikut ini dikemukakan beberapa pengertian tentang anggaran daerah sebagai dasar untuk memahami maksud dan tujuan dari anggaran tersebut. Pengertian anggaran itu mengandung makna suatu perkiraan tentang keuangan. Menurut M. Suparmoko (1987 : 23) pengertian anggaran dikemukakan sebagai berikut : Anggaran berfungsi sebagai hukum, dalam hal ini anggaran merupakan undang-undang yang ditetapkan dalam APBD oleh badan legislative untuk memberikan kuasa kepada badan eksekutif untuk melaksanakan usaha yang sudah ditetapkan dalam anggaran serta menutupi pembayaran dari hasil sumber-sumber pendapata daerah. Anggaran berfungsi sebagai materi, dalam hal ini adalah suatu cara perencanaan keuangan di satu pihak memuat tentang pengeluaran dan di pihak lainnya memuat penerimaan.
25
Anggaran berfungsi sebagai kebijaksanaan yaitu anggaran atau budget sebagaimana dikemukakan Ibnu Syamsi dalam bukunya dasardasar kebijaksanaan keuangan Negara (1983 : 196) adalah merupakan suatu
rencana
yang
meliputi
bermacam-macam
kegiatan
atau
menyangkut rencana kegiatan daerah baik mengenai kegiatan daerah baik mengenai kegiatan yang bersifat rutin maupun pembangunan. Menurut Suhardi (1980 : 23), menyoroti tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah sebagai rencana kerja pemerintah daerah yang diperhitungkan dalam bentuk uang yang diperkirakan penerimaan dan pengeluaran uang dalam suatu periode tertentu biasanya dalam satu tahun. Sebelum Tahun 1975 penyusunan APBD bervariasi di setiap propinsi dan kabupatem/kotamadya. Namun penyusunan APBD umumnya dirinci dalam kelompok belanja dinas biasa dan dinas luar biasa dan kadang-kadang ada daerah yang menambah dengan kelompok belanja modal atau belanja pembangunan. Dinas biasa memuat belanja rutin (operasi dan pemeliharaan), sedangkan dinas luar biasa mencantumkan belanja yang bersifat transitor. Adapun belanja modal atau belanja pembangunan memuat belanja pembangunan. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975, cara pelaksanaan APBD, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah terus dilakukan penympurnaan secara bertahap.
26
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pusat, penyusunan APBD dirici dalam pengeluaran pembangunan yang diwujudkan dalam bentuk proyekproyek, serta pengeluaran rutin termasuk konsumsi pemerintah daerah seperti gaji pegawai serta konsumsi daerah yang tidak termasuk investasi. Dalam Perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai PP No.6 Tahun 1975 tersebut, anggaran
berimbang
dan
dinamis.
menganut prinsip
Berimbang
artinya
adanya
keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran. Sedangkan dinamis diartikan bahwa dengan semakin meningkatnya anggaran pemerintah daerah,
akan
turut
meningkatkan
belanja
untuk
kepentingan
pembangunan daerah. Peningkatan penerimaan pendapatan daerah akan membawa
konsekuensi
positif
yakni
akan
menurunkan
tingkat
ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat dan propinsi, sehingga dengan demikian akan memperkuat tingkat kemandirian daerah dalm mewujudkan ekonominya. Menurut J. Wajong (1975 : 45) menjelaskan tentang pengertian APBD adalah suatu rencana pekerjaan keuangan yang dibuat untuk jangka waktu tertentu. Kegiatan yang tercakup dalam APBD merupakan kegiatan yang sifatnya mengumpulkan atau mencari sumber dana dan kegiatan yang sifatnya membelanjakan dana yang diperoleh untuk kegiatan-kegiatan pembangunan. Kegiatan dengan tujuan mengumpilkan dana diwujudkan
27
dalam bentuk pengenaan pajak dan retribusi daerah serta usaha-usaha menggali sumber PAD lainnya. Sehubungan dengan uraian di atas dapat dikatakan bahwa APBD merupakan gambaran tentang pembiayaan yang diperlukan untuk menjalankan rencana kerja daerah dan menetapkan penghasilan yang dapat diterima untuk menutupi pengeluaran. Dengan demikian mengandung makna adanya segi perolehan atau pendapatan dari segi belanja untuk penyaluran atau pengeluaran daerah otonom. Jadi dengan melalui anggaran dapat diketahui maju mundurnya sasaran yang telah dilaksanakan oleh pemerintah. Karena dengan melalui angka-angka laporan realisasi anggaran dapat diketahui berhasil tidaknya atau lancar kebijaksanaan yang telah ditempuh. Anggaran merupakan petunjuk bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijaksanaan selama 1 tahun mendatang di mana secara otomatis melalui anggaran segala kebijaksanaan yang akan ditempuh pemerintah telah diketahui oleh seluruh masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 2.5 Kaitan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pendapatan asli daerah (PAD) merupakan salah satu komponen penerimaan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Disamping penerimaan komponen lain yakni bagi hasil pajak dan bukan pajak serta sumbangan dan bantuan dari pemerintah pusat. Oleh karenanya itu tiap-tiap daerah diharapkan untuk mampu meningkatkan
28
pendapatan asli daerahnya melalui mekanisme pungutan yang lebih efektif. Jika pendapatan asli daerah meningkat yang ditandai dengan meningkatnya persentase PAD terhadap total APBD, Maka kemandirian daerah dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan daerahnya akan semakin emningkat pula. Dengan kata lain bahwa peningkatan PAD akan mengurangi ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusa, yang ditandai dengan volume subsidi atau bantuan maupun propinsi yang semakin kecil. Sebaliknya apabila PAD rendah maka akan menjadikan daerah sangat tergantung pada bantuan atau subsidi dari pemerintah pusat sehingga kurang mandiri dalam membiayai rumah tangga daerahnya.
Dengan sendirinya
prinsip
ekonomi yang nyata dan
bertanggung jawab tidak terlaksana secara konsisten. 2.6 Efektifitas Kata efektif berarti terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan. Kata efektif berarti berhasil, tepat dan manjur.
Efektifitas
pada
umumnya
digunakan
sebagai
ukuran
keberhasilan usaha dan kegiatan dalam pencapaian sasaran yang telah ditetapkan. Sodang S.P (1992 :43) menyatakan secara spesifik bahwa efektivitas berarti penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang telah ditetapkan.
29
Selanjutnya Machfud Sidik (1972 : 76) menjelaskan bahwa : Efektivitas dalam hal ini efektifitas pemungutan pajak dan retribusi yang merupakan gambaran kemampuan dari unit organisasi pengelola untuk mencapai sasaran yang ditetapkan. Sedangkan yang menjadi sasaran akhir atau utama dari pemungutan sumber PAD tersebut adalah penerimaan pajak dan retribusi yang direncanakan. Suatu kegiatan dianggap sangat efektif apabila target yang dicapai dari target yang telah ditetapkan dan dianggap efektif apabila sesuai dengan target. Kemudian kurang efektif apabila target yang dicapai kurang sesuai dengan target yang telah ditetapkan dan dianggap tidak efektif apabila tidak sesuai dengan target yang diinginkan. Secara makro, efektifitas pemungutan pajak dan retribusi dapat diukur dengan membandingkan realisasi penerimaan dengan sasaran penerimaan yang direncanakan/target. Efektifitas dalam hal ini, efektifitas pemungutan pajak dan retribusi daerah
merupakan
tolak
ukur
pemerintah
daerah
dalam
mempertanggungjawabkan tugas keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan yang sah. Lembaga atau orang itu termasuk Pemerintah Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepala Daerah (orang yang membawahi semua satuan tata usaha, dan masyarakat umum). Adapun unsur penting dari tanggung jawab mencakup tata cara yang efektif untuk menjaga kekayaan uang dan barang, mencegah penghamburan dan penyelewengan dan memastikan semua pendapatan
30
yang
sah
benar-benar
terpungut,
jelas
sumbernya
dan
tepat
penggunaanya. Sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan (pemungutan pajak dan retribusi daerah) dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu secepat-cepatnya. Secara teoritis efektivitas pemungutan pajak dan retribusi dapat diukur dengan membandingkan realisasi penerimaan dengan potensi penerimaan, tetapi potensi penerimaaan daerah tidak dapat dijabarkan dalam angka, maka digunakan target penerimaan yang mendekati potensi penerimaan daerah. Kelemahan dari teori ini terletak pada penentuan target penerimaan yang terkadang tidak relevan dengan potensi penerimaan. Hal ini disebabkan karena dalam penentuan target penerimaaan hanya berdasar pada tahun-tahun sebelumnya tanpa mempertimbangkan
aspek
yang
lainnya
yang
sangat
mungkin,
mendukung potensi penerimaan daerah. 2.7 Studi Empiris (Penelitian Terdahulu) Kadir Akhiruddin (2003) : “ Analisis Upaya Pajak Daerah Terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah Tahun Anggarn 2003-2007 ”, mengungkapkan potensi Pajak Daerah yang terus meningkat dari tahun ke tahun membuka kesempatan bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten MorowaLi apabila digali dan dikelola dengan baik. Kontribusi Pajak Daerah terhadap PAD dalam kurun lima tahun terakhir menunjukkan hasil yang bervariasi. Tahun 2004 merupakan
31
tahun dengan kontribusi Pajak Daerah yang terbesar yaitu mencapai angka 20,46 %. Dengan potensi Pajak Daerahh yang terus meningkat dari tahun ke tahun maka diharapkan realisasi penerimaan pajak daerah dapat ditingkatkan yang selanjutnya dapat meningkatkan penerimaan PAD di masa yang akan datang.. Inar Kasim (2002) : “Analisis Penerimaan Pajak Daerah Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Kabupaten Bantaeng”, mengungkapkan bahwa selama tahun anggaran
1990/1991-2000/2001
realisasi penerimaan pajak daerah mengalami peningkatan rata-rata 20,00 % pertahun dan realisasi APBD mengalami peningkatan rata-rata 20,01%. Untuk Perkembangan jenis pajak daerah selama 8 tahun anggaran, pajak penerangan jalan yang memberikan kontribusi yang terbesar terhadap penerimaan pajak daerah rata-rata 70,47 % pertahun. Peranan/Kontribusi pajak daerah dalam AnggaranPendapatan dan Belanja Daerah selama tahun anggaran 1990/1991-2000/2001 rata-rata sebesar 0,69 %, jumlah penerimaan pajak daerah Kabupaten Bantaeng pada tahun anggaran 2001/2002-2005/2006 diperkirakan sebesar Rp. 336.624,56 dan pada tahun anggaran 2005/2006 meningkat menjadi Rp. 455.538,56 dengan menggunakan Metode Analisis Trend Linear. Jumlah penerimaan pajak daerah Kabupaten Bantaeng nyata (signifikan) perbedaannya dengan Kabupaten Bulukumba, sedaangkan jumlah penerimaan pajak daerah Kabupaten Jeneponto tidak nyata (tidak signifikan) perbedaannya dengan Kabupaten Bantaeng.
32
Yohana Paliling (2006) : “Analisis Potensi Retribusi Pasar Terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Mimika”, mengungkapkan bahwa Realisasi Retribusi Pasar pada tahun 2003 masih rendah yaitu 39,38 % dari potensi retribusi pasar pada tahun yang sama dan penentuan target retribusi pasar juga masih rendah yaitu 39,4 % dari potensi yang sebenarnya. Realisasi retribusi pasar pada tahun 2005 masih rendah yaitu 19,63 % dari potensi retribusi pasar pada tahun yang sama dan penentuan target retribusi pasar juga masih rendah yaitu 40 % dari potensi yang sebenarnya. Efektifitas pemungutan retribusi ditinjau dari dimensi potensi (coverage ratio) pada tahun 2003 yaitu 39,38 % dan 19,63% pada tahun 2005. Keduanya menunjukkan efektifitas pemungutan retribusi pasar masih sangat rendah. Efektifitas pemungutan retribusi pasar ditinjau dari dimensi target (collection ratio) pada tahun 2003 yaitu 100,04 % dan 48,65 % pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2003 efektifitas pemungutan masih rendah sedangkan pada tahun 2005 efektifitas pemungutan retribusi pasar sangat rendah. Hasil analisis kontribusi retribusi pasar terhadap retribusi daerah pada tahun 2003 yaitu 8,11 % dan 2,43 % pada tahun 2005. Hasil analisis kontribusi retribusi pasar terhadap Pendapatan Asli Daerah pada tahun 2003 yaitu 1, 24 % dan 0,30 % pada tahun 2005.
33
2.8 Kerangka Pikir Dalam rangka mendorong perkembangan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab, maka pembiayaan pemerintah daerah yang bersumber dari pendapatan asli daerah haruslah dapat dikelola
lebih efisien dan efektif. Sejalan dengan tuntutan
pembangunan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat serta usaha peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah dewasa ini, sangat diperlukan penyediaan
sumber-sumber
pendapatan
asli
daerah
yang
cukup
memadai. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dan merupakan penjabaran pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan nasional dengan potensi, aspirasi, dan permasalahan pembangunan di berbagai daerah sesuai dengan program pembangunan daerah. Pembangunan daerah yang makin meningkat memerlukan biayabiaya yang makin besar yang tidak dapat sepenuhnya dibiayai dari subsidi pemerintah pusat. Penerimaan pajak dan retribusi daerah yang terus meningkat akan menambah total PAD yang merupakan salah satu dari komponen sisi penerimaan dalam APBD. Total penerimaan PAD akan digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang terdiri dari dua bagian yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan daerah.
34
Penerimaan daerah yang berasal dari pajak dan retribusi daerah yang berupa biaya-biaya operasional dalam penyelenggaraan roda pemerintahan termasuk pelayanan umum kepada masyarakat kemudian sisa
(sebagian
kecil
dari
penerimaan
daerah
setelah
dikurangi
pengeluaran rutin akan membentuk tabungan pemerintah yang ditujukan untuk pembiayaan pengeluaran pembangunan daerah di mana dananya dialokasikan melalui bantuan program dan bantuan proyek). Berbicara mengenai keuangan aspek keuangan daerah maka upaya untuk menggali sumber-sumber keuangan daerah tidak terlepas dari potensi sumber daya serta kewenangan yang dimilikinya, karena sebagaimana diketahui bahwa minimnya kontribusi PAD terhadap APBD, khususnya pada setiap daerah bukan hanya terletaPk pada aspek kebijaksanaan
nasional
semata-mata,
melainkan
juga
kinerja
pemerintahan daerah yang belum mampu menciptakan suatu mekanisme pelaksanaan pungutan secara efektif dan efisien. Melalui upaya-upaya yang demikian maka volume pendapatan asli daerah akan terus mengalami peningkatan yang dengan sendirinya daerah-daerah dapat secara mandiri mengembangkan daerahnya melalui program-program yang dapat menyentuh secara langsung dengan kebutuhan masyarakatnya.
35
Gambar 2.8 Kerangka Konsepsional
PAD( 2000-2009) ()
PENGELUARAN
PDRB
PEMERINTAH
OPTIMALISASI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
2.9 Hipotesis Adapun hipotesis yang dikemukakan dirumuskan sebagai berikut : 1). Diduga bahwa PDRB, Pengeluaran Pemerintah dan Pajak Daerah serta Retribusi Daerah secara simultan berpengaruh positif
dan
signifikan di kota Makassar periode tahun 2000-2009. 2). Diduga pula bahwa secara Parsial PDRB berpengaruh positif, Pengeluaran Pemerintah berpengaruh negative dan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berpengaruh positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di kota Makassar periode tahun 2000-2009.
36
BAB III METODOLOGI
3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini diLakukan di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. 3.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data yang berupa : a. Data kuantitatif berupa data time series tentang perkembangan realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD), peningkatan Produk Domestik Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan, total Pengeluaran Pemerintah, serta target dan realisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disertai efektifitasnya periode 2000-2009 di Kota Makassar. b. Data
Kualitatif
yang berupa
pengertian-pengertian,
defenisi-
defenisi, teori-teori yang berkaitan dengan penulisan ini. Sedangkan sumber data yang digunakan dalam penulisan ini berasal dari :
a. Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar b. Kantor Badan Pusat Statistik Kota Makassar. c. Literatur-literatur/ buku-buku, dan laporan-laporan yang berkaitan dengan penulisan ini. 37
3.3 Metode Pengumpulan Data Dalam rangka penulisan ini, data dikumpulkan dan diolah dengan cara : 1. Metode observasi data yaitu mengumpulkan data yang berkaitan dengan penulisan ini. 2. Penulisan kepustakaan, yaitu dengan menggunakan sejumlah tulisan yang berkaitan dengan penulisan ini .
3.3 Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penulisan ini diuraikan dan dirumuskan dengan formula sebagai berikut :
Optimalisasi = Efektivitas Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda yang digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari perubahan suatu variabel terhadap variabel lainnya yang ada. Yang dapat dinotasikan secara fungsional. Y = f (X1 , X2, X3)………………………………………………………….. (1) Y = α° X1β1 X2β2 e (β3X3 + μ )………………………………………………..
(2)
38
Selanjutnya fungsi regresi tersebut ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma berganda dengan menggunakan logaritma natural (In) sebagai berikut (Damodar Gujarati, 1991)
LnY = β0 + β1 lnXI + β2 lnX2 + β3 X3 + μ…………………………....... (3) di mana : Y = Pendapatan Asli Daerah X1 = PDRBsisa X2 = Pengeluaran Pemerintah X 3 = Optimalisasi pajak daerah dan retribusi daerah e = frekuensi gangguan stokhastik μ = Error term βo = Intercept β1-β5 = Koefisien Regresi b1,b2,b3 = Parameter
Kaitannya dengan pengujian hipotesis penilitian ini dimaksudkan sebagai berikut : Ho = b2, b3 = 0 artinya tidak ada pengaruh yang signifikan dari PDRB, Pengeluaran Pemerintah dan Optimalisasi dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap PAD. Hasil regresi berganda, selanjutnya diuji dengan menggunakan Uji-t untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel independent satu persatu (X) terhadap variabel dependent (Y). Sedangkan Uji-F untuk mengetahui
39
pengaruh variabel-variabel independent (X) secara keseluruhan terhadap variabel dependent (Y).
3.4 Batasan Variabel Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang digali sendiri oleh daerah untuk membiayai urusan rumah tangganya, yang digunakan adalah realisasi PAD.. PDRB yang digunakan adalah total PDRB harga konstan. Pengeluaran
pemerintah
mencerminkan
biaya
yang
harus
dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan untuk membeli barang dan jasa. Pajak Daerah adalah iuran yang dipungut pemerintah daerah yang alokasinya untuk membiayai pembangunan daerah. Retribusi Daerah adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai balas jasa fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Secara langsung dan nyata kepada pembayar.
40
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Kota Makassar Kondisi geografis kota Makassar terletak antara 119°24‟17‟38” Bujur Timur dan 5°8‟6‟19” Lintang Selatan yang berbatasan dengan : - Sebelah Utara
: Kabupaten Maros
- Sebelah Timur
: Kabupaten Maros
- Sebelah Selatan
: Kabupaten Gowa
- Sebelah Barat
: Selat Makassar
Dari segi kependudukan, Kota Makassar pada tahun 2003 jumlah penduduknya mencapai 1.160.011 jiwa yang terdiri dari laki-laki 572.686 dan perempuan 587.325 jiwa, yang tersebar di 14 Kecamatan dan 143 Kelurahan dengan sex ratio 97,57 dengan luas wilayah 175,77 per km2. Yang terluas dari 14 kecamatan tersebut adalah Kecamatan Biringkanaya yaitu48,22 km2 dan tersempit adalah Kecamatan Mariso dengan luas wilayah 1,822. Kecamatan terpadat adalah Kecamatan Makassar dengan jumlah penduduk 31.493/km 2 dan paling sedikit kecamatan Biringkanaya dengan jumlah penduduk 2.357/km 2. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table 4.1.
41
Tabel 4.1. Luas Wilayah Kota Makassar Diperinci Menurut Kecamatan Tahun 2009. No.
Kecamatan
Luas (km2)
Persentase (%)
1.
Mariso
1,82
1,04
2.
Mamajang
2,25
1,28
3.
Tamalate
18,18
10,34
4.
Rappocini
9,23
5,25
5.
Makassar
2,52
1,43
6.
Ujung Pandang
2,63
1,50
7.
Wajo
1,99
1,13
8.
Bontoala
2,10
1,19
9.
Ujung Tanah
5,94
3,38
10.
Tallo
8,75
4,98
11.
Panakukkang
13,03
7,41
12.
Manggala
24,14
13,73
13.
Biringkanaya
48,22
27,43
14.
Tamalate
31,84
18,11
175,77
100,00
Jumlah Sumber : BPS Kota Makassar
4.2 Keadaan Perekonomian Membahas masalah pertumbuhan ekonomi, maka nilai PDRB yang digunakan adalah PDRB atas dasar harga konstan 2000, yang berarti bahwa nilai PDRB dihitung berdasarkan nilai semua barang dan jasa dengan harga Tahun 2001.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator
pertumbuhan
ekonomi
suatu
negara/
wilayah/
daerah. 42
Pertumbuhan
tersebut
dapat
dipengaruhi
oleh
beberapa
faktor,
diantaranya infrastruktur ekonomi.
PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilakan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar penghitungannya.
PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi, sedangkan harga konstan dapat digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Dengan demikian,
PDRB
merupakan
indikator
untuk
mengatur
sampai
sejauhmana keberhasilan pemerintah dalam memanfaatkan sumber daya yang ada, dan dapat digunakan sebagai perencanaan dan pengambilan keputusan.
Berikut disajikan pertumbuhan PDRB Kota Makassar selama Periode 2000-2009 dalam 2 versi yaitu berdasarkan harga berlaku dan harga konstan.
43
Tabel 4.2. Perkembangan dan Pertumbuhan Ekonomi Kota Makassar Tahun 2000-2009
2000
PDRB adalah berlaku (milyar Rupiah Rp) 7.144,36
2001
Perkembangan (persen)
PDRB Adh/Konstan (Milyar Rp)
Pertumbuhan (Persen)
-
7.144,36
-
8.475,44
19,13
7.663,91
7,80
2002
9.664,57
14,03
8.178,88
7,14
2003
11.131,68
15,18
8.882,25
8,60
2004
13.127,24
17,93
9.785,33
10,17
2005
15.744,91
19,94
10.492,67
7,16
2006
18.165,32
15,38
11.341,21
8,09
2007
20.794,30
14,47
12.261,92
8,11
2008
26.068,49
25,06
13.561,18
10,52
2009
31.263,65
19,93
14.798,68
9,20
Rata-Rata
xxx
16,10
xxx
7,68
Tahun
Sumber : BPS Makassar Dari data di atas diperoleh gambaran bahwa pertumbuhan ekonomi yang dicapai di Kota Makassar selama periode tahun 2000-2009 rata-rata 7,68 % per tahun. Namun demikian rata-rata pertumbuhan ini dipengaruhi oleh pertumbuhan yang cukup signifikan periode Tahun 2009 sebesar 9,20
%
yang
disebabkan
besarnya
andil
sub
sektor
perbankan.Pertumbuhan tahun-tahun sebelumnya relative stabil yaitu 7,80% pada tahun 2001, kemudian tumbuh 7,14 % pada tahun 2002, 8,60% pada tahun 2003, 10,17% tahun 2004, 7,16 tahun 2005, terus diikuti oleh tahun berikutnya 8,09% tahun 2006, 8,11% pada tahun 2007, dan selanjutnya pada tahun 2008 tumbuh sebesar 10,52 %. Hal ini 44
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Kota Makassar dari tahun ke tahun semakin membaik. 4.3 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sesuai dengan prinsip kesatuan bahwa pemerintah daerah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pemerintah pusat, atas dasar tersebut maka kemandirian daerah dalam rumah tangganya tidak ditafsirkan bahwa setiap pemerintah daerah harus dapat membiayai seluruh pengeluaran dari Pendapatan Asli Daerah (PAD-nya) sebagai tindak lanjut dari pemberian otonomi kepada daerah agar dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam meningkatkann daya guna dan hasil guna dalam pelaksanaan pemerintah di daerah. Maka upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah mutlak diperlukan untuk mengantisipasi pelaksanaan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Pemerintah kota Makassar dalam usaha untuk mengembangkan dan membangun daerahnya telah berupaya untuk meningkatkan sumbersumber pendapatan asli daerahnya sesuai potensi yang dimiliki. Upaya tersebut dilakukan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber PAD, agar peningkatan target setiap tahunnya dapat diikuti dengan pencapaian realisasi secara konsisten. Untuk mengetahui sejauh mana pemerintah kota Makassar dalam mengelola sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah tersebut, dan perkembangan di dalam menunjang pelaksanaan pembangunan serta
45
jalannya roda pemerintahan di Kota Makassar berikut ini penulis menyajikan data tentang perkembangan realisasi Pendapatan Asli Daerah sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2009. Tabel 4.3. Perkembangan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Makassar (Dalam Juta Rp) tahun 2000-2009.
Kenaikan Jumlah Persen 1999 28.522,19 2000 30.102,42 1.580,23 5,54 2001 49.864,78 19.762,36 65,65 2002 58.477,82 8.613,04 17,27 2003 78.684,69 20.206,87 34,55 2004 87.464,29 8.779,6 11,15 2005 99.841,78 12.377,49 14,15 2006 120.904,26 21.062,48 21,09 2007 136.626,47 15.722,21 13,00 2008 154.911,89 18.285,42 13,38 2009 168.703,72 13.791,83 8,90 Sumber :Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar Tahun
Realisasi
Berdasarkan Tabel 4.4 di atas dapat kita simpulkan bahwa Pendapatan
Asli
Daerah
(PAD)
keseluruhan dapat dikatakan
Kota
Makassar,
hampir
secara
meningkat, walaupun secara terperinci
terjadi fluktuasi pertahunnya. Pada perpindahan tahun 1999 ke tahun 2000 mengalami penurunan, seperti terlihat pada tahun 1999, realisasi penerimaan sebesar Rp. 28.522,19 dan pada tahun 2000 relisasi
46
penerimaan sebesar Rp. 30.102,42 di mana terjadi kenaikan yang rendah yaitu sebesar 1.580,23 atau 5,54 % dari tahun 1999 jika di bandingkan perpindahan dari tahun 2000 ke tahun 2001, realisasi penerimaan sebesar Rp. 30.102,42 pada tahun 2000 dan tahun 2001 realisasi penerimaanya sebesar Rp. 49.864,78 sehingga mengalami kenaikan sebesar Rp. 19.762,36 atau 65,65 %. PAD tahun 2002 sebesar Rp.
58.477,82
terjadi pertambahan
hanya sebesar Rp. 8.613,04 dari realisasi tahun 2001 atau turun sebesar Rp. 11.149,32 atau 17,27 % dari tahun 2001. Di tahun 2003 realisasi penerimaan sebesar Rp. 78.684,69, mengalami peningkatan sebesar Rp. 20.206,87 atau sekitar 34,55 dari tahun 2002. Tahun 2004 ralisasi penerimaan sebesar Rp. 87.464,29 terjadi pertambahan sebesar Rp. 8.779,6 atau 11,15 % dari tahun 2003. Selanjutnya
di tahun 2005
realisasi penerimaan sebesar Rp. 99.841,78 mengalami peningkatan lagi sebesar Rp. 12.377,49 atau sebesar 14,15 % dari tahun 2004. Realisasi penerimaan pada tahun 2006 sebesar Rp. 120.904,26 juga terjadi pertambahan sebesar Rp. 21.062,48 atau 21,09 % dari tahun 2005. Realisasi penerimaan PAD tahun 2007 sebesar Rp. 136.626,47 mengalami peningkatan sebesar Rp. 15.722,21 atau 13,00 % dari realisasi penerimaan tahun 2006. Kemudian tahun 2008 realisasi penerimaan sebesar Rp. 154.911,89 meningkat sebesar Rp. 18.285,42 atau sebesar 13,38 % di lihat dari tahun 2007. Dan untuk realisasi penerimaan sebesar Rp. 168.703,72 di tahun 2009 terjadi pertambahan 47
sebesar Rp. 13.791,83 atau sebesar 8,90 % yang berselisih sebesar Rp. 4.493,59 dengan persentase 32,58 % dari tahun 2008. Kenaikan dari realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Makassar tersebut tidak terlepas dari upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah yang berasal dari sumber pajak dan retribusi yang potensial. 4.4 Peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kegiatan ekonomi suatu daerah secara umum dapat digambarkan melalui kemampuan daerah tersebut menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan bagi kebutuhan hidup masyarakat yang diindikasikan dengan (PDRB). PDRB merupakan salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu wilayah dalam suatu periode tertentu. PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Penyajian PDRB dihitung berdasarkan harga berlaku dan harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun berjalan. Nilai PDRB harga berlaku nominal menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah pergeseran dan struktur perekonomian daerah. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan dapat mencerminkan perkembangan riil ekonomi secara keseluruhan dari tahun ke tahun yang digambarkan melalui laju pertumbuhan ekonomi. 48
Struktur perekonomian suatu daerah merupakan gambaran tentang komposisi perekonomian daerah yang terdiri atas sembilan sektor ekonomi. Struktur ekonomi sekaligus menunjukkan tinggi rendahnya kontribusi atau peran seluruh sektor ekonomi terhadap pembentukan PDRB pada daerah tertentu. Apabila struktur ekonomi disajikan dari waktu ke
waktu
(time
series)
maka
dapat
dilihat
perubahan
struktur
perekonomian yang terjadi. Terdapat kecenderungan bahwa setiap tahun telah terjadi pergeseran antar sektor ekonomi, dan pergeseran tersebut diakibatkan adanya perkembangan nilai tambah yang dihasilkan oleh masing-masing sektor ekonomi.
Tabel 4.4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan, Sulawesi Selatan dan Kota Makassar (Dalam Juta Rupiah) Tahun 2000-2009.
Tahun
PDRB Sul-Sel
PDRB Kota Makassar
Persentase Kota Makassar (%)
2000
30.763.330
7. 114.360,00
-
2001
34.770.980
7.633.905,00
7,80
2002
38.522.670
8.178.880,00
7,14
2003
42.855.870
8.882.255,00
8,60
2004
48.509.530
9.785.334,00
10,17
2005
52.042.720
10.492.541,67
7,16
2006
60.902.820
11.341.848,21
8,09
2007
69.271.920
12.261.538,92
8,11
2008
85.143.190
13.561.827,18
10,52
2009
99.904.650
14.798.187,68
9,20
Sumber : BPS Makassar
49
Dari hasil perhitungan PDRB pada table 4.4, terlihat adanya peningkatan PDRB dari tahun ke tahun. Seiring dengan pertumbuhan PDRB di Sulawesi Selatan dari tahun 2000 sebesar 30.763.330 rupiah meningkat menjadi Rp. 99.904.650 pada tahun 2009, maka PDRB di kota Makassar juga mengalami perkembangan yang cukup baik. Kalau pada tahun 2000 angka PDRB kota Makassar baru 7.114.360,00 Rupiah maka pada tahun 2009 telah mencapai Rp. 14.798.187,68 yang berarti selama kurung waktu tersebut telah bertambah Rp. 7.683.827,67 atau mengalami peningkatan sebesar 108,004 persen. Melihat perubahan angka PDRB ini maka dapat diperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi kota Makassar akan semakin berkembang lebih tinggi paling tidak hal ini didukung oleh data tahun 2009 di mana angka PDRB masih dapat mengalami peningkatan
sebesar 09,20 persen. Sementara ini pada tahun 2009,
perkembangan pendapatan daerah kota Makassar yang ditunjukkan oleh PDRB kota Makassar atas dasar harga konstan mencapai angka 31.263.651,65 rupiah, maka dapat juga diketahui persentase Makassar terhadap Sulawesi Selatan sebesar 31,29 %. 4.5 Gambaran Peningkatan Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah yang meningkat dapat menciptakan efek pengganda. Jika pengeluaran pemerintah menyebabkan pengangguran untuk mendapatkan pekerjaan maka mereka akan memiliki pendapatan lebih untuk menghabiskan mengarah ke lebih meningkatkan permintaan
50
agregat. (Pekerja konstruksi misalnya dipekerjakan oleh peningkatan pengeluaran pemerintah di pub dan transportasi, menyebabkan sektorsektor ekonomi lainnya untuk memperoleh manfaat dari pengeluaran pemerintah). Dalam situasi ini kapasitas cadangan dalam perekonomian, pengeluaran pemerintah dapat menyebabkan peningkatan akhir lebih besar dalam PDB.
Peningkatan pengeluaran pemerintah melalui pajak yang lebih tinggi akan menyebabkan alokasi sumber daya yang lebih efisien karena pemerintah cenderung kurang efektif dalam pengeluaran uang.
Tabel 4.5. Total Pengeluaran Pemerintah Kota Makassar (Dalam Juta Rupiah) Tahun 2000-2009.
Tahun
Pengeluaran Pemerintah
Persentase
2000
108.559,01
-
2001
104.443,34
-3,79
2002
330.134,04
216,09
2003
452.691,12
37,12
2004
490.349,84
8,31
2005
573.965,99
17,05
2006
811.194,17
41,33
2007
871.020,25
7,37
2008
1.109.664,17
27,40
2009
1.239.084,28
11,66
Sumber : BPS Makassar 51
Di lihat dari data Pengeluaran Pemerintah pada table 4.5 di atas selama 10 tahun cenderung meningkat di kota Makassar, seiring dengan meningkatnya Pendapatan Asli Daerah. Perbandingan pengeluaran pemerintah antara tahun 2000 ke tahun 2009 terbilang sangat besar yaitu Rp. 108.559,01 pada tahun 2000 ke tahun 2009 sebesar Rp. 1.239.084,28, jadi meningkat sebesar Rp. 1.130.525,27 atau 1041,39 %. Pada tahun 2000 Pengeluaran Pemerintah sebesar Rp. 108.559,01 menurun menjadi Rp. 104.443,34 di tahun 2001 dengan persentase -3,79 %. Tetapi pada tahun-tahun berikutnya pengeluaran pemerintah kembali meningkat hingga tahun 2009. Tahun 2002 jumlah pengeluaran pemerintah kembali meningkat Rp. 330.134,07 atau 216,09 % dari tahun 2001 sebesar Rp. 104.443,34. Kemudian meningkat lagi di tahun 2003 sebesar Rp. 452.691,12 atau 37,12 % dari tahun 2002. Di tahun 2004 bertambah sebesar Rp. 490.349,84 atau 8,31 %, tahun 2005 meningkat lagi sebesar Rp. 573.965.99 atau 17,05 %, pengeluaran pemerintah di tahun 2006 meningkat sebesar Rp. 811.194,17 atau 41,33 % dari tahun sebelumnya. Selanjutnya semakin bertambah sebesar Rp. 871.020,25 atau 7,37 % di tahun 2007 dan
pengeluaran pemerintah di tahun 2008 sebesar Rp.
1.109.664,167 atau sebesar 27,40 %. Kemudian semakin meningkat di tahun 2009 sebesar Rp. 1.239.084,28 atau 11,66 %. Pengeluaran pemerintah yang cenderung semakin meningkat ini seiring dengan meningkatnya juga Pendapatan Asli Daerah Kota 52
Makassar, dari tahun ke tahun pembiayaan pembangunan daerah kota Makassar oleh pemerintah daerah semakin meningkat sehingga memicu meningkatnya pengeluaran pemerintah di kota Makassar.. 4.6 Rata-Rata Optimalisasi (Efektifitas) Potensi Objek Pajak dan Retribusi Daerah. Pajak dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah untuk memantapkan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab. Melihat pentingnya pajak dan retribusi daerah
dalam sumber
pendapatan daerah maka perlu dilakukan peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah setiap tahun dengan mengkaji potensi-potensi pajak dan retribusi daerah yang dapat meningkatkan realisasi penerimaan pajak dan retribusi daerah tersebut. Berikut ini adalah tabel obyek pajak/retribusi daerah dan realisasi penerimaannya.
53
Tabel 4.6.1. Target dan Realisasi Pajak Daerah Kota Makassar (Dalam Juta Rupiah) dari Tahun 2000 Sampai dengan Tahun 2009.
Tahun
Target
Realisasi
Efektifitas
2000 18.351,46 17.921,13 97,66 2001 25.674,40 27.060,71 105,40 2002 30.506,67 33.715,68 110,52 2003 38.487,71 41.899,55 108,86 2004 50.005,14 55.020,71 110,03 2005 59.889,43 63.113,53 105,38 2006 68.904,34 77.878,47 113,02 2007 79.867,79 85.996,52 107,67 2008 92.453,53 98.318,69 106,34 2009 115.213,92 115.223,34 100,01 Sumber :Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar
Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa pajak daerah di kota Makassar dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 semakin meningkat, pada tahun 2000 persentase target dan realisasi adalah 97,66 % meningkat 7,74 % untuk tahun 2001 menjadi 105,40 % terhadap target dan realisasi pajak daerah. Pada tahun 2002 persentase pajak daerah adalah 110,52 % artinya meningkat 5,12 % sedangkan pada tahun 2003 persentase target dan realisasi pajak daerah sebesar 108,86 % menurun 1,66 % dari tahun sebelumnya dan kembali mengalami peningkatan sebesar 1,17 % yaitu 110,03 % pada tahun 2004. Persentase target dan realisasi pajak daerah di tahun 2005 dan 2006 adalah sebesar 105,38 % dan 113,02 %.
54
Persentase target dan realisasi pajak daerah di tahun 2007 adalah sebesar 107,67 %, dan untuk tahun 2008 dan 2009 persentase target dan realisasi pajak daerah adalah sebesar 106,34 % dan 100,01 %. Hal ini menunjukkan berarti pemerintah daerah cukup berhasil dalam memungut pajak daerah terhadap masyarakat daerah. Sumber pajak yang terbesar diperoleh dari pajak penerangan jalan dan yang terkecil bersal dari pajak air bawah tanah (ABT), air permukaan tanah (APT) serta pajak pengambilan dan pengelolaan bahan galian golongan C. Tabel 4.6.2. Target dan Realisasi Retribusi Daerah Kota Makassar (Dalam Juta Rupiah) dari Tahun 2000 Sampai dengan Tahun 2009.
Tahun
Target
Realisasi
Efektifitas
2000 13.049,78 10.256,53 78,60 2001 17.411,02 17.019,05 97,73 2002 23.273,29 20.111,60 86,41 2003 25.185,40 23.536,17 93,45 2004 24.910,51 24.717,30 99,22 2005 31.884,19 31.496,67 98,78 2006 39.951,80 37.066,08 92,78 2007 38.487,90 37.972,42 98,66 2008 40.463,13 40.966,23 101,24 2009 44.281,32 39.161,12 88,44 Sumber :Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar Sama halnya dengan pajak daerah yang ditunjukkan pada tabel 4.6.2 di atas dapat juga dilihat bahwa retribusi daerah kota Makassar tahun 2000-2009 cukup meningkat, pada tahun 2000 persentase target 55
dan realisasi retribusi daerah sebesar 78,60 % meningkat sebesar 19,13 % pada tahun 2001 menjadi 97,73 %, pada tahun 2002 persentase target dan realisasi retribusi daerah sebesar 86,41 % menurun sebesar 11,32 % dari tahun sebelumnya, untuk tahun 2003 persentase target dan realisasinya sebesar 93,45 % mengalami peningkatan sebesar 7,04 % dari tahun 2002. Untuk tahun 2004 persentase target dan realisasi retribusi daerah sebesar 99,22 % meningkat 5,77 % dari tahun sebelumnya. Persentase target dan realisasi retribusi daerah tahun 2005 sebesar 98,78 % sedikit menurun 0,44 % dari tahun 2004, berikut tahun 2006 dengan persentase 92,78 % menurun lagi sebesar 6 % dan kembali meningkat 5,88 % di tahun 2007 dan 2,58 % di tahun 2008 sebesar 98,66 % dan 101,24 % dari tahun sebelumnya, selanjutnya menurun 12,8 % yaitu sebesar 88,44 % di tahun 2009 jika di lihat dari tahun sebelumnya. 4.6.3. Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam pelaksanaan pungutan terhadap pajak dan retribusi daerah sebagai sumber PAD Kota Makassar masih mengalami berbagai hambatan baik hambatan dari dalam yaitu pihak petugas pemungut (Kolektor) maupun dari luar yakni masyarakat selaku obyek pungutan tersebut.
56
a). Dari pihak petugas yaitu masih adanya petugas, Dinas Pendapatan Daerah
yang
pungutan
dalam
yang
menjalankan
bukan
tugasnya
bidangnya,
sering
misalnya
melakukan sub
seksi
penerimaan/pungutan retribusi terkadang juga melakukan pungutan atas
pajak
yang
merupakan
wewenang
sub
seksi
penerimaan/pungutan pajak dan sebagainya. Selain itu sering terjadi pula di mana para petugas yang melakukan pungutan melanggar ketentuan perundang-undangan yang sering berakibat terjadinya penyelewengan-penyelewengan
termasuk
adanya
pengelolaan
pungutan yang tidak sesuai dengan jumlah penyetoran yang dilakukan dengan petugas pemungut. Untuk masalah ini, maka Kepala Dinas Pendapatan Daerah selaku pimpinan instansi melakukan pengawasan lebih intensif serta lebih mempertegas ketentuan bagi aparatnya yang menjalankan tugas tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. b). Dari pihak masyarakat, yakni tingkat kesadaran sebagian masyarakat yang sangat rendah dalam menyelesaikan kewajibannya baik berupa pembayaran pajak maupun retribusi. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan adanya motivasi dari setiap petugas maupun pemerintah setempat, untuk secara aktif melakukan penyuluhan-penyuluhan disertai dengan penerapan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran yang ada. Terjadinya hal-hal seperti ini ,sangat berpengaruh pada tingkat efektivitas penerimaan Pendapatan Asli Daerah,, Untuk melihat tingkat 57
optimalisasi/efektivitas dari pajak daerah dan retribusi daerah terbesar sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah kota Makassar dapat dilihat pada table berikut: Tabel 4.6.3. Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kota Makassar (Dalam %) tahun 2000-2009. Efektifitas Pajak
Efektifitas
Optimalisasi
Daerah
Retribusi Daerah
(PD dan RD)
2000
97,66
78,60
88,13
2001
105,40
97,73
101,57
2002
110,52
86,41
98,47
2003
108,68
93,45
101,07
2004
110,03
99,22
104,63
2005
105,38
98,78
102,08
2006
113,02
92,78
102,90
2007
107,67
98,66
103,17
2008
106,34
101,24
103,79
2009
100,01
88,44
94,23
Tahun
Sumber : Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar Dari tabel 4.6.3 kita dapat melihat nilai rata-rata efektifitas atau optimalisasi antara pajak daerah dan retribusi daerah, dimulai dari tahun 2000 efektifitas pajak daerah sebesar 97,66 % dan retribusi daerah sebesar 78,60 %, jadi optimalisasinya sebesar 88,13 %. Selanjutnya tahun 2001 efektifitas pajak daerah sebesar 105,40 % dan retribusi daerah sebesar 97,73 % sehingga optimalisasinya 101,57 %, berikut
58
tahun 2002 efektifitas pajak daerahnya sebesar 110,52 % dan retribusi daerahnya 86,41 % dengan optimalisasi 98,47 %. Dan begitu seterusnya hingga tahun 2009 dengan nilai efektifitas pajak daerah sebesar 100,01 % dan retribusi daerah sebesar 88,44 %, optimalisasinya 94,23.
p
4.7 Analisis Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kota Makassar Periode 2000-2009 Hasil penelitian dan pembahasan merupakan penggambaran tentang hasil yang diperoleh dalam penelitian yang terdiri atas variabelvariabel independen dan variabel dependen. Dalam penelitian ini juga termasuk data yang diperoleh yakni data PAD, PDRB, Pengeluaran Pemerintah dan Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dari tahun 2000 hingga tahun 2009.
Data ini diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS) dan Dinas Pendapatan Daerah kota Makassar. Sesuai dengan permasalahan dan perumusan model yang telah dikemukakan, serta kepentingan pengujian hipotesis, maka teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif dan analisis verifikatif. Analisis deskriptif dilakukan untuk memperoleh kejelasan
mengenai
ciri-ciri
variabel
yang
diteliti
atau
untuk
menggambarkan perilaku variabel-variabel yang diamati berdasarkan data-data statistik yang diperoleh. Sedangkan verifikatif dilakukan untuk 59
menguji hipotesis dengan menggunakan alat uji statistik yaitu model regresi linier berganda dengan bantuan komputer melalui program Statistical Product and Service Solutions (SPSS).17. Tabel 4.7.1 Data Dasar Perhitungan SPSS Pengeluaran
PAD
PDRB
(Milyar Rp)
(Milyar Rp)
2000
30.102,42
7. 114.360,00
108.559,01
88,13
2001
49.864,78
7.633.905,00
104.443,34
101,57
2002
58.477,82
8.178.880,00
330.134,04
98,47
2003
78.684,69
8.882.255,00
452.691,12
101,07
2004
87.464,29
9.785.334,00
490.349,84
104,63
2005
99.841,78
10.492.541,67
573.965,99
102,08
2006
120.904,26 11.341.848,21
811.194,17
102,90
2007
136.626,47 12.261.538,92
871.020,25
103,17
2008
154.911,89 13.561.827,18 1.109.664,17
103,79
2009
168.703,72 14.798.187,68 1.239.084,28
94,23
Tahun
Sumber : T
Pemerintah (Milyar Rp)
Optimalisasi (%)
….4.3, 4.4, 4.5, 4.6.3
60
Tabel 4.7.2 Data Dasar Perhitungan SPSS setelah di Ln-kan
PAD (Y) 2000 10,31 2001 10,82 2002 10,98 2003 11,27 2004 11,38 2005 11,51 2006 11,70 2007 11,83 2008 11,95 2009 12,04 Sumber : Tabel 4.7.1 Tahun
PDRB (X1) 15,78 15,85 15,92 16,00 16,10 16,17 16,24 16,32 16,42 10,51
P.PEM (X2) 11,60 11,56 12,71 13,02 13,10 13,26 13,61 13,68 13,92 14,03
OPTML (X3) 0,88 1,02 0,98 1,01 1,05 1,02 1,03 1,03 1,04 0,94
Data dalam tabel 4.7.1 kemudian diolah dengan program SPSS, sehingga diperoleh nilai konstanta, koefisien regresi, nilai regresi, dan korelasi sebagaimana pada lampiran. Hubungan atau korelasi antara variabel penelitian dapat dilihat pada Tabel berikut : Tabel 4.7.3 Hasil Uji Korelasi Antar Variabel
Variabel
PDRB (X1)
P.PEM (X2)
OPTML (X3)
PAD (Y)
0,967
0,961
0,523
Sig (1-tailed)
0,000
0,000
0,061
Sumber : Hasil pengolahan Data, 2011
61
1. Pengaruh PDRB (X1) Korelasi antara PDRB dengan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah menunjukkan angka yang positif, yang berarti bahwa pengaruh peningkatan Pendapatan Asli Daerah sejalan dengan peningkatan PDRB, hal ini
disebabkan karena kebutuhan masyarakat di kota
Makassar akan barang dan Jasa meningkat setiap tahunnya, sehingga mempengaruhi pertumbuhan PDRB, walupun sebenarnya PDRB yang terus meningkat ini belum tentu dinikmati oleh masyarakat di kota Makassar, tetapi nilainya searah dengan peningkatan PAD, sehingga korelasinya menurut statistic adalah 0,967 (korelasi kuat). 2. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah (X2) Pengaruh Pengeluaran Pemerintah di Kota Makassar menunjukkan arah yang searah dan positif. Ini menunjukkan bahwa total pengeluaran
pemerintah
akan
sangat
berpengaruh
terhadap
peningkatan Pendapatan Asli Daerah di kota Makassar, karena dengan adanya pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah daerah kota Makassar untuk pembangunan daerah yang dananya berasal dari Pendapatan Asli Daerah. Dari analisis statistic ternyata menunjukkan arah yang positif dengan nilai korelasi sebesar 0,961 (korelasi kuat).
62
3. Pengaruh Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (X3) Hasil analisis menunjukkan bahawa nilai Optimalisasi antara pajak daerah dan retribusi daerah berkorelasi positif dengan Pendapatan Asli Daerah dan menunjukkan angka 0,523 yang berarti berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah. Hasil ini berarti bahwa jika penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah meningkat, maka kecenderungan Pendapatan Asli Daerah juga akan meningkat. Sedangkan Jumlah penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah dipengaruhi oleh banyaknya jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang diterapkan, dan strategi pemerintah dalam pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Pengaruh factor PDRB, jumlah Pengeluaran Pemerintah, dan Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah dapat diketahui setelah dilakukan pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis menggunakan analisis statistic inferensial dengan teknik analisis regresi linear berganda. Hasil analisis regresi linear berganda secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 4.7.4.
63
Tabel 4.7.4 Hasil Analisis Regresi Model
B
Beta
T
P (Sig)
-16,895
-
-4,962
0,003
Ln PDRB (X1)
1,497
0,674
5,764
0,001
Ln Pengeluaran Pemerintah (X2)
0,152
0,243
1,990
0,094
Ln Optimalisasi (X3)
2,138
0,201
4,446
0,004
Constant
R square = 0,991 R = 0,995 F hitung = 209,937 Sig F = 0,000 Sumber : Hasil pengolahan Data, 2011 Dari tabel 4.7.4 diperoleh persamaan regresi Y = a + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + e LnY = a + b1 LnX1 + b2 Ln X2 + b3 X3 + µ Ln ý = -16,895 + 1,497 Ln XI + 0,152 Ln X2 + 2,138 X3
4.8 Pengujian Asumsi Klasik Karena data yang digunakan adalah data sekunder maka untuk menentukan ketepatan model perlu dilakukan pengujian atas beberapa asumsi
klasik
yang
digunakan
yaitu
:
Multikolonieritas,
Heteroskedastisitas, Autokorelasi dan Uji Normalitas yang secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut.
64
4.8.1 Hasil Uji Multikolinearitas Masalah-masalah yang mungkin akan timbul pada penggunaan persamaan regresi berganda adalah multikolinearitas, yaitu suatu keadaan yang variabel bebasnya (independen) berkorelasi dengan variabel bebas lainnya atau suatu variabel bebas merupakan fungsi linier dari variabel bebas lainnya. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen (Ghozali, 2009). Adanya Multikolinearitas dapat dilihat dari tolerance value atau nilai variance inflation factor (VIF). Batas dari tolerance value dibawah 0,10 atau nilai VIF diatas 10, maka terjadi problem multikolinearitas. Jika terjadi multikolinearitas akan menimbulkan akibat sebagai berikut : 1) Standar error koefisien regresi yang diperoleh menjadi besar. Semakin besarnya standar error maka semakin erat kolinearitas antara variabel bebas. 2) Standar error yang besar mengakibatkan confident interval untuk penduga parameter semakin melebar, dengan demikian terbuka kemungkinan terjadinya kekeliruan, yakni menerima hipotesis yang salah. Berdasarkan hasil perhitungan SPSS maka VIF LnPDRB adalah 8,693, VIF P.PEM 9,513 dan VIF OPTML adalah 1,297. Sehingga dapat disimpulkan bahwa masalah multikolinearitas antara variabel bebas : variabel PDRB, P.PEM, dan OPT PD dan RD bebas dari multikolonieritas
65
yang ditunjukkan dengan nilai tolerance > 0,10 atau nilai VIF < 10.dapat diabaikan karena VIF berada di antara 0,10 dengan 10.
Tabel 4.8.1 Uji Multikolinearitas
Collinearity Statistics Model
Tolerance
VIF
LnPDRB
.115
8.693
LnP.PEM
.105
9.513
OPTML
.771
1.297
a. Dependent Variable: LnPAD
4.8.2 Hasil Uji Autokolerasi Autokorelasi dapat diartikan sebagai korelasi yang terjadi di antara anggota-anggota dari serangkaian observasi yang berderetan waktu (apabila datanya time series) atau korelasi antara tempat berdekatan (apabila cross sectional). Uji Autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada problem autokorelasi.
(Ghozali,
2009).
Menurut
Muhammad
Iqbal
Hasan
66
(2001:290) klaisfikasi nilai d yang dapat digunakan untuk melihat ada atau tidaknya autokorelasi dalam model regresi.
Tabel 4.6.4 Klasifikasi Nilai DW untuk Autokorelasi Nilai
Keterangan
<1,10
Ada autokorelasi
1,10 – 1,54
Tidak ada kesimplan
1,55 – 2,45
Tidak ada autokorelasi
2,46 – 2,90
Tidak ada kesimpulan
>2,91
Ada autokorelasi
Sumber: Iqbal Hasan (2001) Oleh karena itu perlu dilakukan „pengobatan‟ autokorelasi. Setelah dilakukan „pengobatan‟ autokorelasi diperoleh hasil seperti dipaparkan pada
tabel
berikut.
Tabel
4.8.2
Hasil
Uji
Autokorelasi
setelah
„Pengobatan‟.
67
Tabel 4.8.2 Hasil Uji autokorelasi Model Summaryb R Model
R
Square
1
.995a
Adjusted R Std. Error of Square
.991
the Estimate Durbin-Watson
.986
.06524
2.632
a. Predictors: (Constant), OPTML, LnPDRB, LnP.PEM b. Dependent Variable: LnPAD berdasarkan nilai DW= 2,632 (2,46-2,90) artinya tidak ada kesimpulan. 4.8.3 Hasil Uji Heteroskedisitas Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan
variance
dari residual satu
pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan
ke
pengamatan
yang
lain
berbeda
maka
disebut
heteroskedastisitas (Ghozali, 2009). Untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas didalam model regresi antara lain dapat dilakukan dengan Uji Glejser, yakni meregresikan absolut nilai residual sebagai variable dependen dengan variabel independen. Jika
probabilitas
signifikansinya diatas tingkat kepercayaan 5% maka tidak terdapat heteroskedastisitas (Ghozali, 2009).
68
Berdasarkan Uji Heteroskedastisitas ( Tabel 4.8.3 ) diperoleh hasil bahwa variabel PDRB, P.PEM, OPTM PD dan RD bebas dari heteroskedastisitas yang ditunjukkan dengan tingkat signifikansi > 0,05. Tabel 4.8.3 Hasil Uji Heteroskedastisitas Coefficientsa
Model (Constant)
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
Std. Error
-16.895
3.405
LnPDRB
1.497
.260
LnP.PEM
.152 2.138
OPTML
Beta
t
Sig.
-4.962
.003
.674
5.764
.001
.076
.243
1.990
.094
.481
.201
4.446
.004
a. Dependent Variable: LnPAD
Selain itu dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk mendeteksi gejala heteroskedasitas dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi varabel terikat (ZPRED) dengan residualnya (SRESID). Deteksi ada tidaknya heteroskedasitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara ZPRED dan SRESID dimana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual (Y prediksi – Y sesungguhnya) yang terletak di Studentized.
69
1) Jika ada titik-titik yang membentuk pola tertentu yang teratur maka mengidentifikasikan telah terjadi heterokedasitas. 2) Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedasitas. Jika ada titik-titik yang membentuk pola tertentu yang teratur maka mengidentifikasikan telah terjadi heterokedasitas.
4.8.4 Uji Normalitas Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variable pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Metode yang dapat dipakai untuk normalitas antara lain: analisis grafik dan analisis statistik. Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan cara analisis grafik. Normalitas dapat dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik atau dengan melihat histogram dari residualnya: 1) Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal regresi memenuhi asumsi normalitas. 2) Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogram tidak
70
menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas. Berdasarkan tampilan grafik histogram dapat disimpulkan bahwa variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Berdasarkan dari histogram di atas, menunjukkan pola regresi normal yang memenuhi asumsi normalitas karena histogram yang ada menyerupai lonceng (mendekati pola distribusi normal). Tabel 4.8.4 Hasil Uji Normalitas (Non-Parametic) One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test LnP.PE LnPAD LnPDRB M OPTML N Normal Parameters
a
10 Mean
10
10
10
11.3784 16.1304 13.0478
1.0000
Std. Deviation
.54836
.24685
.87764
.05150
Absolute
.124
.106
.189
.282
Positive
.115
.106
.151
.185
Negative
-.124
-.082
-.189
-.282
Kolmogorov-Smirnov Z
.392
.336
.597
.892
Asymp. Sig. (2-tailed)
.998
1.000
.869
.404
Most Extreme Differences
Test distribution is Normal.
Berdasarkan
Uji
Normalitas
menggunakan
analisis
non
–
parametric Kolmogorof - Smirnov (K-S) (dapat dilihat pada tabel 4.8.4) diperoleh hasil bahwa variabel PAD, PDRB, P.PEM, dan OPTIMALISASI mempunyai tingkat signifikansi lebih besar dari 0,05. Dengan demikian
71
dapat disimpulkan bahwa variabel - variabel tersebut terdistribusi secara normal.
4.9. Pengujian Hipotesis Hasil analisis dan pengujian hipotesis dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Uji Serentak (Uji F) Dari hasil perhitungan SPSS diperoleh nilai F hitung sebesar 209,937 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000, dengan demikian nilai P (sig) = 0,000 < α 0,005. Ini berarti Ho ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian secara serentak dapat disimpulkan
bahwa PDRB (X1),
Pengeluaran Pemerintah (X2), dan Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (X3) berpengaruh signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (Y). Selanjutnya nilai R square = 0,991, hal ini memberikan indikasi bahwa 99,1 % Pendapatan Asli Daerah (Y) ditentukan oleh PDRB (X1), Pengeluaran Pemerintah (X3), dan Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (X3), sisanya sebesar 0,9 % dipengaruhi oleh factor lain di luar model ini. Sedangkan koefisien korelasi R = 0,995 berarti korelasi antara PDRB (X1), Pengeluaran Pemerintah (X3), Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (X3) terdapat keeratan hubungan yang sangat kuat terhadap Pendapatan Asli Daerah (Y).
72
b. Uji Partial (Uji t) Uji t digunakan untuk menguji kemaknaan atau keberartian koefisien regresi partial. Pengujian melalui uji t membandingkan t
hitung
dengan t
tabel
adalah dengan
pada taraf nyata α = 0,05. Uji t
berpengaruh positif dan signifikan apabila hasil perhitungan t besar dari t
tabel
hitung
lebih
(t- hitung > t- tabel) atau probabilitas kesalahan lebih kecil dari
5 % (P < 0,05). Selanjutnya akan dicari nilai koefisien determinasi partial (r2) untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (X) secara partial terhadap variabel tidak bebas (Y). Berdasarkan persamaan regresi linier berganda di atas diperoleh koefisien regresi PDRB (X1) sebesar (+) 1,497. Koefisien tersebut mengindikasikan adanya hubungan positif
antara variabel PDRB (X1)
terhadap Pendapatan Asli Daerah (Y). Koefisien regresi Pengeluaran Pemerintah (X2) sebesar (+) 0,152. Koefisien tersebut mengindikasikan adanya hubungan positif antara variabel Pengeluaran Pemerintah (X2 ) terhadap Pendapatan Asli Daerah. Dan koefisien regresi Optimalisasi sebesar (+) 2,138. Koefisien tersebut mengindikasikan adanya hubungan positif antara variable Optimalisasi terhadap Pendapatan Asli Daerah (Y). Berdasarkan koefisien beta regresi pada tabel 4.7.4
dapat
disimpulkan bahwa semua variabel memiliki pengaruh yang besar terhadap Pendapatan Asli Daerah dengan nilai koefisien beta regresi sebesar (+) 1,497 untuk PDRB, diikuti variabel Pengeluaran Pemerintah
73
dan Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan nilai beta regresi berturut - turut sebesar (+) 0,152 dan (+) 2,138. Dari hasil Uji - t dapat dilakukan pembahasan hipotesis yang diajukan sebagai berikut : 1. H1: PDRB berpengaruh positif terhadap Pendapatan Asli Daerah. Berdasarkan Uji - t diperoleh hasil bahwa nilai t-hitung sebesar (+) 5,764 dan t- tabelnya 1,833 dengan tingkat signifikansi 0,001. Karena t hitung lebih besar dari t tabel (5,764 > 1,833) dan karena tingkat signifikansi 0,001 yang lebih kecil dari 0,05 dan nilai t hitung bertanda positif, maka secara parsial variabel independen PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel dependen PAD. Dengan demikian hipotesis diterima. 2. H2 : Pengeluaran Pemerintah berpengaruh Positif terhadap Pendapatan Asli Daerah. Berdasarkan Uji - t diperoleh hasil bahwa nilai t-hitung sebesar (+) 1,990 dengan tingkat signifikansi 0,094. Karena t-hitung lebih besar dari t-tabel (1,990 > 1,833) serta tingkat signifikansi lebih besar dari 0,05 dan nilai t-hitung bertanda positif, maka secara parsial variabel independen Pengeluaran Pemerintah berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap variabel dependen Pendapatan Asli Daerah. Dengan demikian hipotesis ditolak.
74
3. H3: Optimalisasi berpengaruh Positif terhadap Pendapatan Asli Daerah. Berdasarkan Uji - t diperoleh hasil bahwa nilai t-hitung sebesar (+) 4,446 dengan tingkat signifikansi 0,004. Karena t-hitung lebih besar dari pada t-tabel (4,446 > 1,833) dan tingkat signifikansi lebih kecil dari 0,05 dan nilai t-hitung bertanda positif, maka secara parsial variabel independen Optimalisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel dependen Pendapatan Asli Daerah. Dengan demikian hipotesis diterima. a. Variabel PDRB (X1) Hasil Penelitian ini mengindikasikan bahwa peningkatan atau penurunan PDRB selama periode penelitian mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah secara signifikan. Semakin tinggi nilai PDRB kota Makassar maka akan mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah. (H1 : PDRB berpengaruh positif terhadap PAD, diterima). Pertumbuhan Ekonomi / PDRB adalah tingkat pertambahan dan pendapatan, atau dengan kata lain sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu Negara (daerah) untuk menyediakan jenis barang-barang ekonomi kepada masyarakat. Jadi suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau perkembangan apabila tingkat kegiatan ekonomi suatu masyarakat tersebut lebih tinggi dari kegiatan ekonomi yang dicapai sebelumnya.
75
Pada umumnya para ahli-ahli ekonomi memberikan pengertian yang sama mengenai pertumbuhan ekonomi / PDRB sebagai kenaikan dalam perkapita, karena kenaikan pendapatan perkapita merupakan suatu pencerminan
terjadinya
perbaikan
dalam
tingkat
kesejahteraan
masyarakat.
Perkembangan PDRB atas dasar berlaku dari tahun ke tahun menggambarkan perkembangan PDRB yang disebabkan oleh adanya perubahan dalam volume produksi barang dan jasa yang dihasilkan dan perubahan dalam tingkat harganya. Untuk dapat mengukur perubahan volume produksi atau perkembangan produksi secara nyata, faktor pengaruh harga perlu dihilangkan dengan cara menghitung PDRB atas dasar harga konstan. Produk riil per kapita biasanya juga dipakai sebagai indikator untuk menggambarkan perubahan tingkat kemakmuran ekonomi dari tahun ke tahun. Untuk perencanaan, proyeksi dan penentuan target, selalu bertitik tolak dari perhitungan atas dasar harga konstan.
b. Variabel P.PEM (X2) Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa peningkatan atau penurunan
pengeluaran
pemerintah
selama
periode
penelitian
mempengaruhi peningkatan Pendapatan Asli Daerah namun tidak signifikan. Semakin rendah Pengeluaran Pemerintah, maka Pendapatan Asli Daerah akan meningkat. ( H2 : P.PEM berpengaruh positif terhadap PAD, ditolak).
76
Tidak ada upaya telah dilakukan untuk mengidentifikasi tingkat ideal pengeluaran pemerintah. Tingkat ideal akan bervariasi dari satu negara ke daerah, tergantung pada faktor-faktor mulai dari budaya ke geografi untuk tingkat pembangunan. Metodologi memperlakukan nol pengeluaran pemerintah sebagai tolak ukur dengan kapasitas pemerintah sedikit mungkin menerima nilai yang terlalu tinggi, sebagai hasilnya. Namun, pemerintah tersebut, yang dapat memberikan sedikit jika ada barang publik, akan dikenakan sanksi dengan skor yang lebih rendah pada beberapa komponen lain dari kebebasan ekonomi (seperti hak kepemilikan dan kebebasan keuangan).
Skala untuk penilaian pengeluaran pemerintah secara non-linear, yang berarti bahwa pengeluaran pemerintah yang dekat dengan nol adalah dihukum ringan, sedangkan tingkat pengeluaran pemerintah yang melebihi 30 persen dari PDB menerima nilai jauh lebih buruk dalam mode kuadrat (misalnya, dua kali lipat belanja hasil empat kali kebebasan kurang), sehingga hanya pemerintah benar-benar besar menerima nilai yang sangat rendah.
Pertimbangan lain adalah bahwa perekonomian dapat tumbuh sebesar 2,5% per tahun. Jika ada pengeluaran pemerintah yang lebih tinggi, tingkat pertumbuhan ini terus berlanjut. Namun, pertumbuhan tersebut tidak disebabkan oleh pengeluaran pemerintah meningkat.
77
c. Variabel OPTML (X3)
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa peningkatan atau penurunan Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di kota Makassar selama periode penelitian mempengaruhi Peningkatan PAD setiap tahunnya secara signifikan. Semakin otptimal penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah akan mendorong meningkatnya PAD. (H3 : OPTML berpengaruh positif terhadap PAD, diterima). Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting
untuk
membiayai
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh Daerah pada umumnya dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah, yang merupakan salah satu komponen dari PAD yang telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Dalam mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah, tampaknya pungutan pajak dan retribusi daerah sudah dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Ketergantungan kepada bantuan Pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD khususnya pajak dan retribusi daerah harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sebagai prasyarat mendasar
78
dalam sistem pemerintahan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, optimalisasi sumber-sumber PAD yaitu pajak daerah dan retribusi daerah perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Untuk itu
diperlukan
intensifikasi
dan
ekstensifikasi
subyek
dan
obyek
pendapatan. 4.10
Upaya-Upaya Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Sejalan dengan pelaksanaan pembangunan daerah dan menyadari
akan keterbatasan penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan, diperlukan upaya-upaya dari penggalian dari penghimpunan dana pembangunan. Di samping itu diperlukan kecermatan dalam penggunaan dana tersebut supaya terarah dan seefisien mungkin. Mengingat tidak semua sumber pembiayaan pembangunan dan investasi dilaksanakan oleh
pemerintah
daerah,
sehingga
diperlukan
pola
paket
untuk
menentukan skala prioritas yang cermat, serta di lain pihak kapasitas untuk terus meningkatkan volume pembangunan jangka panjang yang mantap. Sesuai dengan arah dan tujuan dalam pembangunan dana untuk pembiayaan pembangunan dan kegiatan pemerintahan, maka dana yang bersumber dari pemerintah akan ditujukan terutama untuk usaha yang dapat mendorong laju pertumbuhan yang dibiayai oleh dunia usaha dan swadaya masyarakat. Upaya-upaya untuk meningkatkan PAD daerah keseluruhan dan peningkatan PAD secara khusus, di samping aspek organisasi dan
79
administrasi yang perlu dibenahi sesuai dengan sistem dan prosedur manual pendapatan daerah juga pembinaan pengelolaan Pendapatan Asli Daerah diikuti dengan langkah-langkah intensifikasi dan ekstensifikasi untuk mencapai optimalisasi penggalian sumber-sumber PAD yaitu : Intensifikasi : 1). Untuk memberikan peran yang lebih besar dalam kedudukan sebagai koordinator PAD, maka upaya yang telah ditempuh adalah dengan melakukan peningkatan kualitas aparat dan peningkatan sarana penunjang yang mendukung kegiatan operasional. Hal ini dilakukan karena PAD lebih efektif dan efisien kalau ditunjang dengan perangkat yang memadai termasuk pengadaan perangkat computer dan personalia. 2). Membentuk tim intensifikasi pendapatan daerah / turun ke lapangan dan memantau secara langsung kegiatan pemungutan PAD berkaitan dengan kondisi lapangan sebagai bahan evaluasi bagi peningkatan PAD.. 3). Melakukan pembinaan dan pengarahan terhadap petugas pemungut Pendapatan Asli Daerah dan menindak tegas penyimpanganpenyimpanagan
yang
terjadi
dalam
pelaksanaan
pemungutan
pendapatan daerah di masyarakat.
80
Ekstensifikasi : 1). Secara makro aparat Pemerintah Daerah Makassar berkepentingan dengan sumber PAD, telah melaksanakan berbagai pengkajian melalui berbagai studi dari pengamatan terhadap obyek PAD yang telah dikembangkan. 2). Kebijaksanaan pengelolaan PAD menyerap dan tanggap dengan situasi yang ada khususnya dalam setiap pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan perdagangan regional dengan cara membentuk infrastruktur yang memungkinkan basis PAD yang dapat dikembangkan sehingga dapat lebih banyak menjaring jenis-jenis pungutan yang secara langsung membawa dampak terhadap PAD. 3). Melakukan inventarisasi data obyek-obyek pajak untuk ditelaah dan mengobservasi kemungkinan untuk diajukan kepada pemerintah pusat jenis pungutan pajak baru.
81
BAB V PENUTUP
5.1 Implikasi Penelitian Berdasarkan hasil analisis data, ditemukan bahwa variabel PDRB (X1), Pengeluaran Pemerintah (X2), dan Optimalisasi Pejak Daerah dan Retribusi Daerah (X3) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (Y) di kota Makassar, dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Pengaruh PDRB- Produk Domestik Regional Bruto (X1) terhadap Pendapatan Asli Daerah (Y) disebabkan :
Nilai
seluruh
produksi
dalam
perekonomian
diperoleh
dengan
menjumlahkan pendapatan seluruh factor produksi yang digunakan dalam produksi, yaitu pendapatan dari sumber alam, tenaga kerja, modal yang ditawarkan dan keahlian kepemimpinan pemerintah daerah. Hubungan antara PAD dengan PDRB merupakan hubungan secara fungsional, karena PDRB merupakan fungsi dari PAD. Dengan meningkatnya PDRB dari tahun ke tahun di kota Makassar maka akan menambah penerimaan pemerintah daerah di kota Makassar
untuk
membiayai
program-program
pembangunan.
Selanjutnya akan mendorong peningkatan pelayanan pemerintah
82
daerah kepada masyarakat yang diharapkan akan dapat meningkatkan produktifitasnya.
PDRB merupakan gambaran rata-rata pendapatan yang diterima oleh setiap daerah sebagai hasil dari produksi. Kebutuhan masyarakat di kota Makassar akan barang dan jasa meningkat setiap tahunnya, sehingga mempengaruhi pertumbuhan PDRB. Nilai PDRB juga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk suatu wilayah walaupun sebenarnya nilai PDRB yang terus meningkat ini belum tentu dinikmati oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan. Meningkatnya PDRB berdampak pada naiknya kesejahteraan penduduk yang dapat dilihat secara tidak langsung dari besarnya PDRB, sehingga juga berpengaruh terhadap PAD.
2. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah (X2) terhadap Pendapatan Asli Daerah (Y) disebabkan karena :
Pengeluaran Pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, maka pengeluaran pemerintah akan mencerminkan biaya yang harus kebijakan
dikeluarkan
tersebut.
oleh
Sedangkan
pemerintah dana
untuk melaksanakan
yang
dibutuhkan
untuk
membiayai pengeluaran pemerintah berasal dari Pendapatan Asli Daerah.
Kenaikan atau penurunan pengeluaran pemerintah daerah kota Makassar akan menaikkan atau menurunkan Pendapatan Asli Daerah
83
kota Makassar. Pemerintah daerah tidak cukup hanya meraih tujuan akhir dari setiap kebijaksanaan pengeluarannya, tetapi juga harus memperhitungkan sasaran antara yang akan menikmati atau terkena kebijaksanaan tersebut. Pemerintah pun perlu menghindari agar peningkatan perannya dalam perekonomian tidak justru melemahkan kegiatan pihak swasta.
Ada 5 hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat yaitu tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan masyarakat, urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, perkembangan demokrasi dan ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintah.
3. Pengaruh Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (X3) terhadap Pendapatan Asli Daerah (Y) disebabkan karena :
Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan Sumber Penerimaan yang signifikan bagi pembiayaan rutin dan pembangunan di suatu daerah otonom. Jumlah penerimaan komponen pajak daerah dan retribusi daerah sangat dipengaruhi oleh banyaknya jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang diterapkan. Kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap total perolehan PAD pemerintah kota Makassar dalam kurung waktu Tahun 2000-2009 cukup signifikan. Kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap total perolehan penerimaan pemerintahn daerah kota Makassar tercermin dalam APBD-nya, dikaitkan dengan kemampuannya untuk melaksanakan
84
otonomi daerah terlihat cukup baik. Untuk meningkatkan kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap total Pendapatan Asli Daerah dan sekaligus memperbesar kontribusinya terhadap APBD pemerintah daerah kota Makassar perlu dilakukan beberapa langkah diantaranya melakukan peningkatan intensifikasi pemungutan jenisjenis pajak daerah dan retribusi daerah, kemudian dilakukan ekstensifikasi dengan jalan memberlakukan jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang baru sesuai dengan kondisi dan potensi yang ada. 5.2 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab IV, dapat diambil simpulan sebagai berikut : 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), merupakan sumber pendapatan yang memerlukan penanganan yang serius, karena merupakan tulang punggung penerimaan untuk pembiayaan rumah tangga daerah. 2. Selama periode pengamatan yang dilakukan dari tahun 2000-2009 bahwa PDRB, Pengeluaran Pemerintah, dan Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai factor yang berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah kota Makassar, hamper secara keseluruhan meningkat dari tahun ke tahun.
85
3. Hasil Analisis secara parsial menunjukkan bahwa variabel independen PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel dependen Pendapatan Asli Daerah di Kota Makassar. 4. Hasil Analisis secara parsial menunjukkan bahwa variabel independen Pengeluaran Pemerintah berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap variabel dependen Pendapatan Asli Daerah di Kota Makassar. 5. Hasil Analisis secara parsial menunjukkan bahwa variabel independen Optimalisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel dependen Pendapatan Asli Daerah di Kota Makassar. 6. Prospek pengembangan sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) di kota Makassar, cukup berpeluang untuk meningkatkan volume PAD, jika dikelola secara efektif, mengingat potensi yang dimiliki seperti : luas wilayah, jumlah penduduk, produksi, dan sumber daya alamnya relative cukup besar. 5.3 Saran Adapun saran-saran yang ingin disampaikan penulis sebagai bahan masukan adalah sebagai berikut : 1. Sebaiknya pemerintah mampu memprediksi terhadap kemungkinankemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang yang memiliki dampak langsung terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah di kota Makassar.
86
2. Penurunan nilai PAD mengindikasikan bahwa pemerintah daerah belum mampu menggali potensi yang dimiliki daerahnya, oleh karena itu, bagi daerah yang mengalami penurunan nilai PAD disarankan untuk menggali secara optimal potensi yang ada di daerahnya masingmasing supaya hasilnya dapat menambah penerimaan Pendapatan Asli Daerah. 3. Pada intinya, dalam penyusunan APBD haruslah diperhatikan secara seksama antara kebutuhan dan kemampuan Fiskal masing-masing daerah, supaya penerimaan dari komponen PAD dapat dialokasikan untuk
meningkatkan
pelayanan
public
dan
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. 4. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperluas sampel yang digunakan agar dapat dibandingkan bagaimana kondisi di daerah yang memiliki karakteristik ekonomi dan geografis yang berbeda dan dengan rentang waktu yang lebih lama. 5. Aparat Dispenda Kota Makassar sebagai ujung tombak pelaksanaan pungutan sumber-sumber PAD perlu diberikan bimbingan terusmenerus serta diberikan dorongan untuk dapat bekerja secara professional, kreatif dan produktif.
87
DAFTAR PUSTAKA Aini, Hamdani. 1990. Perpajakan. PT. Bumi Aksara ; Jakarta. (BPS. Indikator Ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan 1993, hal : 98). Davey, K.J, 1982. Pembiayaan Pemerintah Daerah : Praktek-Praktek Internasional dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga, Terjemahan Amarullah, Dkk, LP FE-UI, Jakarta. Damodar Gujarati, 1995. Ekonometrika Dasar, terjemahan Sumarno Zain, Erlangga, Jakarta Geodhart, C, 1982. Garis-Garis Besar Keuangan Negara. Terjemahan Ratmoko, Penerbit Jambatan ; Jakarta. Ghozali, Imam. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Guritno Mangkuaubroto, 1993. Ekonomi Publik, PBFE UOM, Yogyakarta. Inar Kasim (2002) : “An nd p n d n B
n n
n d K
p
nB n
Angg n ng”, Makassar.
Iqbal Hasan M.M (1999). Pokok-Pokok Materi Staistik. Edisi ke-dua. PT. Bumi Aksara : Jakarta Kadir Akhiruddin (2003) : “ Analisis Upaya Pajak Daerah Terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah Tahun Anggarn 2003- 007 ”, Makassar. Kunarjo, 1996. Perencanaan dan Pembiayaan Pembangunan, Edisi ketiga, UI Press Jakarta. Mamesah.D.J. (1995). Sistem Administrasi Keuangan Daerah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mardiasmo, 1997. Perpajakan. Edisi ke-tujuh, Yogyakarta. Prawiro, Hardjono, S. 1984. Dasar-Dasar Ilmu Keuangan Negara. Balai Penerbit UGM Jakarta. Santoso, BrotodihardJo, R. 1994. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco ; Bandung. Sidik, Machfud, dkk, 1992. Keuangan Daerah, Universitas Terbuka ; Jakarta.
88
Smith, Adam, 2003. An Inquiry into The Nature and Cause of The Wealth of Nations. Kesit Bambang Prakosa. Sodang, S.P. dalam buku. Jhingan, ML.1994. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Edisi Pertama, Cetakan Kelima, PT. Grafindo Periode January. Soedargo, R. 1980. Pajak dan Retribusi Daerah, N.V. Eresco ; Bandung. Soedarjo, 1980. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, N.V. Eresco ; Bandung. Soemitro, Rochmat. 1979. Perundang-undangan Pajak di Indonesia. PT. Eresco ; Jakarta. Soeparmoko, 1987. Keuangan Negara dalam Teory dan Praktek, BPFE-UGM ; Yogyakarta. Suhardi, 1980. Penyusunan dan Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Karya Anda ; Surabaya. Sukirno Sadono, 1994. Mikroekonomi. Jakarta Supriatna, Tjahya, 1993. Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah. Bina Aksara ; Jakarta. Sutrisno, Prawirohardjo, 2001. Dasar-Dasar Ilmu Keuangan Negara, Penerbit BPFE UGM, Yogyakarta. Syamsi, Ibnu. 1983. Kebijaksanaan Keuangan Negara. Bina Aksara ; Yogyakarta. Wajong, J., 1975. Administrasi Keuangan Negara, Ichtiar ; Jakarta. Winardi, 1971, Kamus Marketing, Tarsito ; Bandung Yohana Paliling (2006) : “An n ng n nd p n A
o n K
p
nM
T d p ”, Makassar.
89