BAB II TINJAUAN TEORETIS 2.1.
Kajian Pustaka
2.1.1
Kanker Payudara
2.1.1.1
Pengertian Kanker dan Kanker Payudara Tubuh manusia dibangun dari berjuta-juta sel hidup.
Selama masa-masa awal kehidupan manusia, sel-sel normal memperbanyak diri dengan cepat sehingga manusia dapat bertumbuh. Setelah manusia menjadi dewasa, kebanyakan sel memperbanyak diri hanya untuk mengganti sel-sel yang mati atau yang rusak setelah adanya perlukaan (American Cancer Society, 2001). Tetapi dalam perkembangannya, terkadang ada hal yang berjalan
tidak semestinya
dalam proses
pertumbuhan
dan
pelipatgandaan sel-sel, sehingga mengakibatkan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol. Pertumbuhan sel yang tidak terkontrol tersebut dapat menghasilkan sel-sel darah yang abnormal atau dapat menjadi benjolan yang disebut tumor (Understanding Breast Cancer, 2009). Tumor dibagi menjadi dua macam, benigna dan maligna. Tumor benigna merupakan tumor jinak dan bukan merupakan kanker, karena tumor benigna tidak dapat menyebar atau menginvasi bagian tubuh lainnya. Meski tumor benigna tidak membahayakan nyawa, tetapi dapat mengakibatkan masalah 11
karena tumor jenis ini dapat bertumbuh besar dan menekan jaringan serta organ sehat pada daerah tumbuhnya tumor tersebut (American Cancer Society, 2001). Sebaliknya, tumor maligna atau yang disebut juga kanker, merupakan salah satu penyakit yang dapat mengancam hidup, karena sel-sel kanker tumbuh di luar kontrol dan mampu menyebar ke jaringan atau organ lain (Understanding Breast Cancer, 2009). Tumor maligna atau kanker juga didefinisikan sebagai satu
set
atau
kumpulan
penyakit
yang
ditandai
dengan
pertumbuhan sel yang tidak teratur yang kemudian menginvasi atau menyerang jaringan di sekitarnya dan menyebar (metastasis) ke organ tubuh lainnya (King, et al., 2006). Machsoos (dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2006), menyatakan kanker atau neoplasma ganas atau keganasan sebagai penyebab terjadinya tumor padat. Tumor padat sendiri diartikan sebagai suatu penyakit yang berbentuk benjolan abnormal dalam tubuh. The American Cancer Society (2001), menyatakan bahwa kanker dimulai ketika sel-sel pada suatu bagian tubuh mulai bertumbuh di luar kontrol. Kanker,
berdasarkan
berbagai
pemaparan
di
atas,
dinyatakan sebagai suatu set atau kumpulan penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak teratur atau di luar kontrol, yang dimulai dari suatu bagian tubuh tertentu dan sebagian besar berbentuk
tumor atau
benjolan,
kemudian
menginvasi dan
12
menyebar ke jaringan serta organ di sekitarnya. Kanker juga merupakan
salah
satu
penyakit
yang
mengancam
nyawa
penderitanya (Understanding Breast Cancer, 2009). Hingga saat ini, dari 100 jenis kanker yang ditemukan, yang paling sering dijumpai adalah kanker payudara, kanker paru, kanker kulit, kanker usus dan kanker prostat. Di Indonesia, jenis kanker
tertinggi
yang
diderita
adalah
kanker
payudara
(GLOBOCAN, 2008). Kanker payudara sendiri didefinisikan sebagai tumor ganas yang pertumbuhannya berawal dari sel-sel di payudara (American Cancer Society, 2001). Breast Cancer Facts & Figures 2009-2010 (2010), mencatat definisi kanker payudara sebagai tumor ganas yang bermula dari jaringan di payudara, yang merupakan kelenjar untuk memproduksi ASI yang disebut lobus dan duktus atau saluran yang menghubungkan lobus dengan puting susu (nipel). Pada dasarnya kanker payudara adalah tumor ganas yang pertumbuhannya berawal dari sel-sel di payudara dan seperti jenis kanker lainnya, dapat menyebar dan bermetastasis ke jaringan dan organ di sekitarnya. Umumnya, kanker payudara menyerang wanita pada usia di bawah 60 tahun, namun tidak menutup kemungkinan bagi pria untuk menderita kanker payudara, meskipun kemungkinannya adalah 1 % (Breast Cancer Facts & Figures 2009 - 2010). Selain karena wanita memiliki lebih banyak sel payudara daripada pria,
13
alasan utama kanker payudara lebih banyak terjadi pada wanita adalah karena payudara wanita secara konstan terpapar dengan efek dari hormon esterogen dan progesteron. Karena itu, pria, meskipun dapat menderita kanker payudara, namun penyakit ini 100 kali lebih sering pada wanita daripada pria (American Cancer Society, 2001).
2.1.1.2
Faktor Risiko Kanker Payudara Smeltzer & Bare (2001), mengemukakan beberapa faktor
risiko kanker payudara, antara lain: 1.
Riwayat pribadi menderita kanker payudara. Jika pernah menderita kanker payudara pada salah satu payudara, risiko untuk mengalami kanker payudara pada payudara sebelahnya meningkat hampir 1% setiap tahun.
2.
Anak perempuan atau saudara perempuan (hubungan keluarga
langsung)
dari
wanita
dengan
kanker
payudara. Risikonya meningkat dua kali jika ibunya terkena
kanker
sebelum
usia
60
tahun.
Risiko
meningkat 4-6 kali jika kanker payudara terjadi pada dua orang saudara kandung.
14
3.
Menarche (menstruasi pertama) dini. Risiko kanker payudara meningkat pada wanita yang mengalami menstruasi pertama di bawah usia 12 tahun.
4.
Belum
pernah
melahirkan
(nullipara)
dan
hamil
(maternal) pada usia lanjut. Wanita yang mempunyai anak pertama setelah usia 30 tahun memiliki risiko dua kali lipat untuk menderita kanker payudara dibanding wanita yang mempunyai anak pertama pada usia sebelum 20 tahun. 5.
Menopause pada usia lanjut. Menopause pada usia setelah 50 tahun dapat meningkatkan risiko menderita kanker payudara.
6.
Riwayat tumor payudara jinak. Wanita yang pernah memiliki tumor payudara jinak disertai perubahan proliferatif mempunyai risiko dua kali lipat mendertita kanker payudara.
7.
Kontak secara terus-menerus dengan radiasi ionisasi setelah masa pubertas dan sebelum usia 30 tahun berisiko hampir dua kali lipat untuk menderita kanker payudara.
8.
Obesitas. Wanita dengan obesitas yang didiagnosis menderita kanker payudara mempunyai angka kematian yang lebih tinggi, dan paling sering disebabkan oleh
15
lambatnya diagnosis (kanker payudara ditemukan pada stadium lanjut). 9.
Kontrasepsi oral. Wanita yang menggunakan alat kontrasepsi oral berisiko tinggi untuk menderita kanker payudara, tetapi risiko tersebut menurun dengan cepat setelah pemakaian kontrasepsi oral dihentikan.
10. Terapi penggantian hormon. Terdapat laporan yang membingungkan mengenai risiko kanker payudara pada wanita dengan terapi penggantian hormon. Wanita yang berusia lebih tua yang menggunakan esterogen jangka panjang (10-15 tahun) dapat mengalami peningkatan risiko. Sementara penambahan progesteron terhadap penggantian esterogen meningkatkan angka kejadian pada
kanker endometrium,
namun
tidak berisiko
terhadap kanker payudara. 11. Intake
(masukan)
alkohol.
Pada
wanita
yang
mengkonsumsi alkohol tiga kali sehari, risiko menderita kanker payudara meningkat hingga dua kali lipat. Wanita yang pada masa mudanya mengkonsumsi alkohol lebih rentan pada kanker payudara di usia yang lebih lanjut.
16
Implan payudara dengan silikon pada beberapa tahun terakhir dihubungkan dengan kontraksi kapsular fibrosis dan gangguan imun tertentu. Namun, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa implan payudara berkaitan dengan peningkatan risiko kanker payudara (Smeltzer & Bare, 2001).
2.1.1.3
Pentahapan kanker payudara Pentahapan
mencakup
klasifikasi
kanker
payudara
berdasarkan pada keluasan penyakit. Untuk dapat menentukan tahapan kanker payudara dilakukan beberapa pemeriksaan, diantaranya pemeriksaan darah, foto rontgen dada, pemindaian tulang, serta fungsi hepar
(Smeltzer & Bare, 2001). Terdapat
beberapa sistem dalam pentahapan kanker payudara, namun yang paling sering digunakan di bidang medis adalah pentahapan menurut AJCC (American Joint Committee on Cancer) yang mengevaluasi ukuran tumor, jumlah nodus kelenjar limfe (kelenjar getah bening) yang terkena, serta bukti adanya metastasis atau penyebaran yang jauh (dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2006). Pentahapan menurut AJCC ini awalnya harus menentukan T (T = tumor primer), N (nodul, metastase ke kelenjar regional), dan M (metastase organ jauh) dari kanker sesuai ketentuan yang ada, dan selanjutnya dikelompokkan dalam stadium yang dinyatakan
17
dalam angka Romawi (I-IV) dan angka Arab (khusus untuk stadium 0). Smeltzer & Bare (2001), meringkas pentahapan sistem klasifikasi TNM sebagai berikut: Tahap I terdiri atas tumor yang kurang dari 2 cm, tidak mengenai nodus limfe (kelenjar getah bening), dan tidak terdeteksi adanya metastasis. Tahap II terdiri atas tumor yang lebih besar dari 2 cm tetapi kurang dari 5 cm, dengan nodus limfe tidak terfiksasi negatif atau positif, dan tidak terdeteksi adanya metastasis. Tahap III terdiri atas tumor yang lebih besar dari 5 cm, atau tumor dengan sembarang ukuran yang menginvasi kulit, dengan nodus limfe terfiksasi positif (sel kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening) dalam area klavikular (tulang menonjol di atas payudara), dan tanpa bukti adanya metastasis. Tahap IV terdiri atas tumor dalam sembarang ukuran, nodus limfe positif dan adanya metastasis jauh. Tahap I dan II sering dikenal sebagai kanker payudara tahap awal (early breast cancer), sedangkan tahap III dan IV disebut juga dengan kanker payudara tahap lanjut (secondary breast cancer or advanced breast cancer).
18
Pentahapan lain yang lebih sederhana adalah Ringkasan Pentahapan SEER (The SEER Summary Stage System) dan umumnya
digunakan
untuk
melaporkan pada
saat
adanya
penderita kanker payudara baru dan untuk penelitian dan perencanaan publik (Breast Cancer Facts & Figures 2009 - 2010). Berdasarkan sistem ini, kanker dibagi menjadi tiga tingkat: a.
Tingkat lokal (local stage): tumor ganas berada atau tumbuh di bagian tertentu dari tubuh.
b.
Tingkat regional (regional stage): tumor tersebut telah menyebar ke sekitar jaringan dan nodus limfe terdekat.
c.
Tingkat jauh (distant stage): kanker telah bermetastasis ke organ terjauh.
2.1.1.4
Tanda dan gejala Berikut beberapa tanda dan gejala yang umumnya ditemui
pada pasien dengan kanker payudara, menurut American Cancer Society (2001): 1.
Terdapat benjolan atau massa di payudara
2.
Kulit sekitar payudara berkerut seperti kulit jeruk
3.
Puting susu (nipel) masuk ke dalam dan keadaan seperti ini tidak ditemukan sebelum penyakit ini ada
4.
Haluaran dari payudara yang bukan ASI dan keluar dengan sendirinya serta cenderung keruh
19
Terdapat perubahan pada bentuk, susunan atau warna
5.
kulit payudara
2.1.1.5
Dampak Kanker Payudara bagi Penderita Clinical Practice Guidelines for The Psychosocial Care of
Adults With Cancer (2003) mencatat bahwa individu dengan kanker akan menghadapi berbagai tantangan emosional, psikologikal, fisikal dan praktikal. Tantangan-tantangan tersebut dapat berupa koping dengan syok akibat diagnosis dan ketakutan terhadap kesehatan dan masa depan; tanda dan gejala fisik serta efek-efek yang merugikan dari perawatan yang dijalani, seperti mual, kelelahan dan perubahan dalam penampilan dan fungsi tubuh; kondisi keuangan, perubahan pada pekerjaan atau jabatan; serta kesulitan-kesulitan psikologikal, mulai dari kekhawatiran mengenai penampilan dan seksualitas hingga gangguan yang berat seperti depresi dan atau ansietas. Sementara itu, wanita dengan kanker payudara juga berhadapan dengan dampak yang tidak berbeda jauh dengan pasien
kanker
umumnya,
sebelumnya.
Menurut
perspectives
sub-group
seperti
catatan
yang
NHMRC
yang
telah
dikutip Working
dipaparkan
dari
Women’s
Party
(dalam
Management of Early Breast Cancer, 2001), diagnosis kanker payudara
dan
perawatannya
mengganggu
berbagai
aspek
20
kehidupan seorang wanita, diantaranya pekerjaan, olahraga, hubungan seksual, serta pekerjaan rumah tangga termasuk mengurus anak-anak. Takahashi, et al. (dalam Jurnal PsychoOncology 17, 2008) melakukan penelitian mengenai dampak dari diagnosis dan pengobatan kanker payudara pada kehidupan seksualitas 72 wanita penderita kanker payudara di Jepang, dan hasilnya adalah sebagian besar responden berhadapan dengan masalah seksual setelah pengobatan kanker payudara. Selain berbagai aspek di atas, perawatan terhadap kanker payudara juga berdampak terhadap kondisi keuangan akibat pengobatan serta pengeluaran lainnya (Management of Early Breast Cancer, 2001). Pendapat tersebut diperkuat dengan hasil penelitian secara longitudinal yang dilakukan oleh Gordon, et al. (dalam Jurnal Psycho-Oncology 16, 2007) pada 287 pasien kanker payudara, mengenai dampak ekonomi pada pasien kanker payudara selama 18 bulan setelah diagnosis ditegakkan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa sumber terbesar dari beban ekonomi
adalah
kehilangan
pengeluaran-pengeluaran
lainnya
sumber yang
pendapatan, berhubungan
serta dengan
layanan kesehatan. Kerugian ekonomi yang berhubungan dengan kanker payudara dapat terus menerus mempengaruhi pasien hingga 18 bulan setelah diagnosis.
21
Berdasarkan berbagai pemaparan di atas, diketahui bahwa diagnosis dan perawatan kanker payudara berdampak terhadap seluruh aspek kehidupan individu, baik secara biologis, sosial, psikologis, serta aspek ekonomi. Hampir semua wanita dengan kanker payudara berhadapan dengan setiap dampak tersebut, yang membedakan wanita yang satu dengan yang lainnya adalah cara mereka berhadapan dengan permasalahan sebagai akibat dari dampak diagnosis dan perawatan kanker payudara.
2.1.2
Resiliensi
2.1.2.1
Pengertian Resiliensi merupakan kekuatan yang didemonstrasikan
oleh individu maupun sistem yang memungkinkan mereka untuk berdiri di atas kesengsaraan (Rak & Patterson,1996). Istilah resiliensi pertama kali dikemukakan oleh Block (dalam Klohnen, 1996) yang disebut sebagai ego-resilience, yaitu kemampuan umum yang melibatkan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes bila berhadapan dengan tekanan internal dan eksternal. Sementara itu, Lazarus (dalam Tugade et al., 2004), menganalogikan resiliensi dengan kelenturan pada logam. Misalnya, besi cetak yang banyak mengandung karbon sangat keras tetapi mudah patah (tidak resilien) sedangkan besi tempa mengandung sedikit karbon sehingga lunak dan mudah dibentuk sesuai dengan kebutuhan
22
(resilien).
Perumpamaan
tersebut
bisa
diterapkan
untuk
membedakan individu yang memiliki daya tahan dan yang tidak saat dihadapkan pada tekanan psikologis yang dikaitkan dengan pengalaman negatif. Definisi resiliensi lainnya menurut Banaag (2002) adalah suatu proses interaksi antara faktor individual dengan faktor lingkungan. Faktor individual ini berfungsi menahan perusakan diri sendiri dan melakukan kontruksi diri secara positif, sedangkan faktor
lingkungan
berfungsi
untuk
melindungi
individu
dan
“melunakkan” kesulitan hidup individu. Sementara itu, Masten & Coatswerth (dalam Davis, 1999), menyatakan bahwa untuk mengidentifikasikan resiliensi diperlukan dua syarat, yaitu yang pertama adanya ancaman yang signifikan pada individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan trauma yang kronis)
dan
yang
kedua
adalah
kualitas
adaptasi
atau
perkembangan individu tergolong baik (individu berperilaku dalam compotent manner). Resiliensi
juga
berarti
keterampilan,
kemampuan,
pengetahuan, dan wawasan yang terkumpul dari waktu ke waktu sebagai orang yang berjuang untuk mengatasi kesulitan dan menghadapi tantangan. berkelanjutan
dan
Resiliensi merupakan
mengembangkan
dana
sesuatu yang
dari
energi
dan
keterampilan yang dapat digunakan pada pertempuran yang
23
sedang berlangsung (Garmezy dalam VanBreda, 2001). Egeland et al. (dalam VanBreda, 2001) mengemukakan bahwa resiliensi adalah kapasitas untuk proses adaptasi yang sukses, menjalani fungsi secara positif atau kompeten, meskipun berada dalam status risiko tinggi, stres kronis, atau trauma yang sangat hebat. Berdasarkan berbagai pemaparan di atas, resiliensi merupakan suatu kapasitas individu maupun kelompok yang didalamnya termasuk keterampilan, kemampuan, pengetahuan dan wawasan yang digunakan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan pada saat ditimpa masalah atau kesengsaraan. Resiliensi juga merupakan kapasitas untuk proses adaptasi individu yang sukses, mampu tetap berfungsi secara kompeten meskipun sedang berada dalam kondisi trauma yang hebat.
2.1.2.2
Faktor-faktor Resiliensi Resiliensi
individu
seperti
yang
dikemukakan
oleh
Chandra (dalam Rumah Belajar Psikologi, 2010), dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kekuatan personal yang berkembang dalam diri individu (seperti harga diri, spiritualitas, bersifat altruisme, dan mampu mengendalikan diri sendiri), dukungan eksternal dan sumber-sumbernya
yang
berupa
dukungan
keluarga
atau
organisasi, serta kemampuan interpersonal (seperti manajemen konflik dan kemampuan berkomunikasi yang baik).
24
Sementara itu, Grotberg (1995) menggunakan istilah yang berbeda untuk menggambarkan faktor-faktor di atas. Untuk kekuatan individu digunakan istilah I am, sedangkan untuk dukungan ekternal dan sumber-sumbernya digunakan istilah I have. Untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah I can. Faktorfaktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Grotberg, 1995) : a.
Kekuatan Individu (I am) Faktor ini merupakan kekuatan yang berasal dari dalam
diri individu, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan diri. Faktor I am terdiri dari beberapa bagian, antara lain: bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai dan sikap yang menarik, individu yang dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan, mencintai, empati dan altruistik serta mandiri dan bertanggung jawab. Berikut ini pemaparan bagian-bagian dari faktor I am. Bangga pada diri sendiri. Individu yang bangga akan diri sendiri akan memahami bahwa dirinya adalah seorang yang penting dan merasa bangga terhadap dirinya. Individu tersebut tidak akan membiarkan
dirinya
diremehkan
atau
direndahkan.
Saat
berhadapan dengan masalah, kepercayaan diri dan self esteem membantu untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut. Bagian kedua adalah perasaan dicintai dan sikap yang menarik. Individu dengan perasaan dicintai dan sikap yang menarik pasti memiliki orang yang menyukai dan mencintainya. Individu
25
tersebut dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. Bagian ketiga adalah mencintai, empati, altruistik. Individu peduli terhadap hal-hal yang terjadi pada orang lain dan mengekspresikan melalui berbagai perilaku atau kata-kata. Individu merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk menghentikan atau berbagi penderitaan atau memberikan kenyamanan. Bagian yang terakhir adalah mandiri dan bertanggung jawab. Individu dapat melakukan berbagai macam hal menurut keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi dan perilakunya. Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.
b.
Dukungan Eksternal (I have) Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang
meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya antara lain, memberi semangat agar mandiri. Individu, baik yang hidup mandiri maupun masih
tergantung
mendapatkan
dengan
pelayanan
keluarga,
seperti
secara
rumah
sakit,
konsisten
bisa
dokter,
atau
pelayanan lain yang sejenis.
26
Sumber yang kedua adalah struktur dan aturan rumah. Setiap keluarga mempunyai aturan-aturan yang harus diikuti, jika ada anggota keluarga yang tidak mematuhi aturan tersebut maka akan diberikan penjelasan atau hukuman. Sebaliknya jika anggota keluarga mematuhi aturan tersebut maka akan diberikan pujian. Sumber lainnya adalah role models, yaitu orang-orang yang dapat menjadi contoh bagi individu serta memberikan informasi
terhadap
sesuatu.
Sumber
yang
terakhir
adalah
mempunyai hubungan. Orang-orang terdekat individu seperti suami atau istri, anak, orang tua merupakan orang yang mencintai dan menerima individu tersebut. Tetapi individu juga membutuhkan cinta dan dukungan dari orang lain yang kadang kala dapat memenuhi kebutuhan kasih sayang yang kurang dari orang terdekat mereka.
c.
Kemampuan Interpersonal (I can) Faktor I can yang dimaksud adalah kompetensi sosial dan
interpersonal dari individu. Bagian-bagian dari faktor ini adalah mengatur berbagai perasaan dan rangsangan. Individu dapat mengenali perasaannya, mengenali berbagai jenis emosi, dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan tingkah laku namun tidak menggunakan kekerasan terhadap perasaan dan hak orang lain maupun diri sendiri. Individu juga dapat mengatur rangsangan
27
untuk memukul, ‘kabur’, merusak barang, atau melakukan berbagai tindakan yang tidak menyenangkan. Sumber yang kedua adalah mencari hubungan yang dapat dipercaya. Individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, untuk mencari cara mendiskusikan
dan
menyelesaikan
masalah
terbaik agar personal
dan
interpersonal. Sumber yang lain adalah keterampilan berkomunikasi. Individu mampu mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengar hal-hal yang diungkapkan oleh orang lain serta berempati. Sumber berikutnya adalah mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain. Individu memahami temperamennya sendiri dan juga temperamen orang lain. Hal ini membantu individu untuk mengetahui durasi waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, mengetahui kecepatan untuk bereaksi, serta kemungkinan sukses dalam berbagai situasi. Sumber yang terakhir adalah kemampuan memecahkan masalah. Individu dapat menilai suatu masalah secara alami serta mengetahui kebutuhannya untuk memecahkan masalah tersebut, serta jenis bantuan yang dibutuhkan dari orang lain. Individu dapat membicarakan menemukan
berbagai
penyelesaian
masalah masalah
dengan yang
orang paling
lain
dan
tepat
dan
28
menyenangkan. Individu dapat terus bertahan dalam menghadapi suatu masalah hingga masalah tersebut terpecahkan. Setiap faktor dari I am, I have, dan I can memberikan konstribusi
pada
berbagai
macam
tindakan
yang
dapat
meningkatkan potensi resiliensi. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari setiap faktor, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor, tidak dapat dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang mampu berkomunikasi dengan baik (I can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan orang lain (I have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I am), tidak dikategorikan ke dalam individu yang resilien. Di samping tiga faktor menurut Grotberg di atas, terdapat juga beberapa karakteristik kunci yang berhubungan dengan individu yang resilien, yaitu: 1. Menerima perubahan. Individu yang resilien menyadari bahwa perubahan adalah hal yang terjadi secara terusmenerus. Daripada tetap berada pada masa lalu, individu ini mampu berhadapan dengan perubahan yang terjadi dan mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut. 2. Belajar
secara
terus-menerus.
Individu
yang
resilien
berorientasi ke arah pembelajaran seumur hidup. Mereka
29
memperlakukan pengalaman, terutama yang buruk, sebagai kesempatan untuk belajar. 3. Dukungan sosial. Individu yang resilien membentuk dan memelihara hubungan sepanjang hidup mereka. Mereka memahami sifat dasar dari sebuah hubungan, yaitu adanya hubungan timbal balik, pentingnya mendukung orang lain agar mereka juga didukung ketika mengalami masa-masa yang sulit.
Dinamika psikologis riset partisipan ditelaah pula dengan menggunakan model Five Stages of Grief atau Lima Tahap Kedukaan. Model ini dikemukakan oleh Kübler-Ross berdasarkan hasil wawancaranya terhadap 500 orang penderita penyakit terminal, atau dengan kata lain mereka yang sedang berhadapan dengan kematian. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa setiap orang melalui lima tahapan yang sama ketika menghadapi kematian atau kedukaan, yaitu denial (penyangkalan), anger (kemarahan), bargaining (tawar menawar), depression (depresi), dan acceptance (penerimaan). Dengan adanya pengetahuan mengenai tahapan kedukaan ini, diharapkan keluarga ataupun tenaga kesehatan lebih memahami psikologis dan fisiologis individu yang sedang dilanda duka.
30
Dalam perkembangannya, lima tahap kedukaan ini juga digunakan sebagai panduan untuk menanggapi emosional dan psikologis yang dialami oleh sebagian besar individu ketika berhadapan dengan penyakit yang mengancam nyawa atau keadaan yang merubah kehidupan. Tahapan-tahapan ini tidak hanya berlaku untuk mereka yang kehilangan oleh karena kematian tetapi dapat pula tampak kepada seseorang yang mengalami peristiwa yang merubah hidup, seperti perceraian atau putusnya suatu hubungan, atau kehilangan sebuah pekerjaan. Tahapan ini merupakan reaksi subjektif individu, setiap individu memiliki reaksi yang berbeda bahkan terhadap stimulan yang sama. Tidak semua individu mengalami seluruh tahapan ataupun secara berurutan. Beberapa tahapan mungkin dilewati sepenuhnya, individu lain akan mengalami dalam urutan tahapan yang berbeda, sementara sebagian individu akan mengalami kembali tahapan yang sama dan bagian lain mungkin terjebak pada satu tahapan. Tahapan yang pertama adalah penyangkalan atau denial. Reaksi pertama dari individu yang mengalami kehilangan atau yang menderita penyakit terminal adalah menyangkali situasi yang sedang
terjadi.
Ini
merupakan
reaksi
yang
normal
untuk
merasinonalkan perasaan atau emosi yang sedang membanjiri (Axelrod, 2006). Pada tahap ini, individu biasanya menolak untuk
31
mempercayai bahwa kehilangan sedang terjadi, tidak siap untuk berhadapan dengan permasalahan sederhana, serta kemungkinan menampakkan kegembiraan atau kebahagiaan yang dibuat-buat hingga penyangkalan yang berkepanjangan. Individu pada tahap ini akan mengatakan "saya merasa baik-baik saja" atau "hal ini tidak mungkin terjadi, tidak pada saya." Tahapan yang kedua disebut anger atau marah. Individu pada tahap ini biasanya mudah ‘meledak’ pada hal-hal sepele yang normalnya tidak pernah mereka permasalahkan. Sasaran utama dari kemarahan ini adalah benda mati, orang asing, teman atau keluarga. Secara rasional, individu tersebut mengetahui bahwa kemarahannya tidak harus diproyeksikan kepada benda atau orang lain. Namun secara emosional, individu lebih marah terhadap keadaannya saat itu. Meski ia merasa bersalah setelah marah, namun rasa bersalah ini justru lebih membuatnya marah. Tahapan yang ketiga adalah bargaining atau tawar menawar. Reaksi normal terhadap rasa tidak berdaya dan kerentanan adalah keinginan untuk mendapatkan kembali kontrol dengan mengatakan ‘seandainya..’ diharapkan kehilangan atau kondisi sakit tidak akan terjadi. Individu pada tahap ini melakukan perjanjian dengan Tuhan atau pemilik kekuatan yang tertinggi sebagai usaha untuk menunda atau menangguhkan kondisi yang sedang dialaminya. Individu dapat memperlihatkan rasa bersalah
32
atau ketakutan terhadap hukuman kesalahan masa lalu, baik itu yang dilakukan secara nyata ataupun dalam bentuk khayalan semata. Tahapan selanjutnya adalah depresi atau depression. Pertama adalah reaksi terhadap implikasi praktis terkait kehilangan. Kesedihan dan penyesalan merupakan reaks yang menonjol dari depresi tipe ini. Tahap ini akan berkurang dengan klarifikasi yang sederhana. Tipe depresi yang kedua lebih halus dan bersifat pribadi. Individu yang bersangkutan tidak memperlihatkan tandatanda depresi sejelas tipe yang pertama. Ia lebih menyimpan segala kegelisahannya untuk dirinya sendiri. Namun, terkadang ia juga membutuhkan dukungan dari sekitarnya, ia hanya memilih untuk tidak mengutarakannya.
2.1.3
Dukungan Keluarga
2.1.3.1
Pengertian Keluarga Friedman (1998), menyatakan dukungan keluarga sebagai
sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Keluarga, dalam hal ini merupakan unit pelayanan kesehatan yang terdepan dalam meningkatkan derajat kesehatan komunitas yang sehat. Masalah kesehatan yang dialami oleh salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi anggota keluarga yang lain (Sudiharto, 2007).
33
Departemen
Kesehatan
(dalam
Sudiharto,
2007)
mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga serta beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Sementara itu, menurut Bailon dan Maglaya (dalam Sudiharto, 2007) keluarga merupakan dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Friedman (1998) menyatakan hal yang serupa, yaitu keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena ikatan tertentu untuk saling membagi pengalaman dan melakukan pendekatan emosional, serta mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian
dari keluarga.
Sedangkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN)
(dalam
Sudiharto,
2007)
mendefinisikan
keluarga sebagai dua orang atau lebih yang dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materil yang layak, bertakwa kepada Tuhan, memiliki hubungan yang selaras dan seimbang antara anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya. Pemaparan-pemaparan di atas setuju akan beberapa hal yang sama mengenai keluarga, yaitu bahwa keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat, yang dibentuk dari ikatan perkawinan, ikatan darah serta berbagai ikatan tertentu, yang tinggal bersama untuk
saling
berbagi
pengalaman,
melakukan
pendekatan
34
emosional, yang saling mempengaruhi dan berketergantungan satu dengan yang lain. Struktur berkomunikasi,
kekuatan
keluarga
kemampuan
keluarga
meliputi untuk
kemampuan
saling
berbagi,
kemampuan sistem pendukung di antara anggota keluarga, kemampuan perawatan diri, dan kemampuan menyelesaikan masalah (Sudiharto, 2007).
2.1.3.2
Fungsi Dukungan Keluarga Caplan (dalam Friedman, 1998) menjelaskan bahwa
keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan yaitu: a.
Dukungan informasional Keluarga
berfungsi
sebagai
sebuah
kolektor
dan
diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi. b.
Dukungan penilaian Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan
balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai
35
sumber dan validator indentitas anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, perhatian. c.
Dukungan instrumental Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis
dan konkrit, diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan. d.
Dukungan emosional Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk
istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.
2.1.3.3
Sumber Dukungan Keluarga Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan
sosial yang dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses/diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti dukungan dari suami/istri atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal (Friedman, 1998).
36
2.1.3.4
Manfaat Dukungan Keluarga Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang
terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998). Wills dalam Friedman (1998) menyimpulkan bahwa baik efek-efek penyangga (dukungan sosial menahan efek-efek negatif dari stres terhadap kesehatan) dan efek-efek utama (dukungan sosial
secara
langsung
mempengaruhi
akibat-akibat
dari
kesehatan) pun ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi (Ryan dan Austin dalam Friedman, 1998).
2.1.3.5
Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga Menurut Feiring dan Lewis (dalam Friedman, 1998), ada
bukti kuat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa keluarga
37
besar dan keluarga
kecil secara
kualitatif
menggambarkan
pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anakanak dari keluarga yang besar. Selain itu, dukungan yang diberikan orangtua (khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia. Menurut Friedman (1998), ibu yang masih muda cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau mengenali kebutuhan anaknya dan juga lebih egosentris dibandingkan ibu-ibu yang lebih tua. Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah kelas sosial ekonomi orangtua. Kelas sosial ekonomi dimaksud meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi daripada orang tua dengan kelas sosial bawah (Friedman, 1998).
2.2.
Perspektif Teoretis Kanker payudara tercatat sebagai jenis kanker yang paling
banyak diderita oleh penduduk Indonesia, dan sekaligus menjadi peringkat ke 7 dari 10 besar penyebab kematian di Indonesia.
38
Sebagian besar dari penderita kanker payudara adalah wanita dengan kondisi telah berada dalam stadium lanjut, yaitu tahap III dan IV. Apabila kanker payudara ditemukan pada stadium awal, maka akan mempermudah proses penyembuhan karena sel-sel kanker belum menyebar ke bagian tubuh yang lain. Namun jika kanker payudara yang ditemukan sudah dalam stadium lanjut yang sel-sel kankernya telah menyebar dan menyerang organ tubuh lainnya melalui kelenjar getah bening dan pembuluh darah, maka proses penyembuhan akan semakin sulit dilakukan. Kanker payudara, sebagaimana penyakit yang lain, akan mengakibatkan perubahan bagi penderitanya. Perubahan tersebut tidak hanya berupa perubahan fisik, tetapi juga pada kondisi ekonomi serta keadaan psikis penderita. Perubahan-perubahan ini saling terkait dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya dan berbeda antara penderita yang satu dengan yang lainnya. Perubahan-perubahan tersebut juga berbeda antara stadium awal dengan
stadium
lanjut.
Pada
stadium
awal,
pasien
akan
mengeluhkan adanya benjolan pada salah satu atau kedua payudaranya,
biasanya
saat
hasil
diagnosis
positif
kanker
payudara, kebanyakan wanita akan terguncang dan kaget, kemudian akan berpengaruh terhadap sosialisasi pasien dengan lingkungannya. Bila kanker payudara ditemukan pada tahap lanjut, kebanyakan wanita merasakan kecemasan, kesedihan, kemarahan
39
yang sangat besar. Perubahan fisik pada tahap ini bergantung dari bagian tubuh yang terkena. Bagian tubuh yang tersering terkena adalah tulang, hati, paru-paru dan otak. Seiring
dengan
perubahan
yang
diakibatkan
oleh
penyebaran sel kanker ke organ tubuh lain, individu dan keluarga dihadapkan pada berbagai pengambilan keputusan-keputusan penting, seperti penghentian pengobatan tertentu karena tidak dapat bekerja secara efektif. Setiap keputusan yang diambil berdampak pada mental atau sisi psikologis dari individu. Individu yang mampu bertahan atau memiliki kapasitas untuk beradaptasi dengan keadaannya, serta menjalani fungsi secara positif dan kompeten meski berada dalam status risiko tinggi, stres kronis atau trauma yang hebat, disebut sebagai individu yang resiliens (Egeland et al., dalam VanBreda, 2001). Individu dengan kemampuan resiliensi adalah individu yang optimis, memiliki harapan terhadap masa depan dan memiliki keyakinan bahwa setiap persoalan dapat diatasi dengan baik. Individu yang seperti ini mampu mengatasi stres akibat perubahanperubahan baik di dalam maupun di luar tubuhnya yang diakibatkan oleh kanker payudara tahap lanjut. Terdapat berbagai faktor yang mendukung resilensi, diantaranya adalah dukungan sosial. Individu dengan resiliensi yang baik atau tinggi akan memiliki dukungan sosial lebih baik dan memiliki tingkat stres yang rendah.
40
Salah
satu
sumber
dukungan
sosial
yang
sangat
berpengaruh adalah dukungan yang berasal dari keluarga, karena keluarga memegang peranan yang cukup besar dalam kehidupan setiap individu, yang meliputi hal-hal sederhana seperti makanan yang dimakan, jenis pakaian yang dikenakan hingga pengambilan keputusan-keputusan penting. Tentu saja dukungan keluarga pada individu yang sehat dan sakit berbeda. Ada kalanya individu yang sakit atau pasien tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, baik itu kebutuhan yang berkaitan dengan kebersihan diri, makan dan minum serta pengobatan, karena itulah individu yang sakit, terutama yang menderita penyakit kronik, memerlukan perhatian dan dukungan yang lebih dibandingkan dengan individu yang sehat. Dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga berfungsi sebagai media informasional bagi pasien yang juga berperan sebagai sumber penilaian, instrumental dan emosional. Seberapa besar dukungan keluarga berpengaruh terhadap kehidupan individu bergantung pada seberapa dekat individu dengan keluarganya. Sementara itu, dukungan keluarga yang diberikan mempengaruhi resiliensi individu, karena dukungan keluarga termasuk dalam salah satu faktor penting dari resiliensi menurut Grortberg (1995), yaitu faktor I have atau faktor eksternal individu, yang merupakan sumber atau bantuan dari luar individu yang menopang berbagai aspek dalam kehidupan individu. Faktor ini bersumber dari lingkungan
41
eksternal individu, yaitu kondisi yang memberi semangat pada individu untuk mandiri, struktur dan aturan rumah, role models dan memiliki hubungan. Selain faktor I have, individu yang resilens juga memiliki 2 faktor lainnya, yaitu I am dan I can, yang memiliki sumber-sumber yang berbeda. Setiap faktor memberikan kontribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Individu yang resilens harus memiliki setiap faktor dalam dirinya, namun tidak harus memiliki semua sumber-sumber pada setiap faktor, tetapi sekurang-kurangnya lebih dari 1 sumber tiap faktor.
42